Wanita ini tertawa, hingga tubuhnya menggetar, sedang tangan kanannya
mengerahkan tenaganya. Kwee Ceng merasakan tenggorokannya tercekik keras
sekali. Di saat mati atau hidup itu, ia pegang tangan si wanita, untuk
dipaksa melepaskan cekikannya. Ia telah mendapatkan pelajaran dari Ma
Giok, ia sudah menyakinkannya beberapa tahun, tenaga dalamnya telah
cukup kuat, sedang juga, ia dapat tenaga akibat darah ular yang ia
sedot. Pengejarannya Nio Cu Ong dan pertempurannya sama Wanyen Kang
membuatnya tenaga obat menguatkan tubuhnya. Maka juga, ia berontak
dengan berhasil.
Bwee Tiauw Hong terperanjat. “Tidak jelek kepandaiannya bocah ini!” pikirnya. Dia lantas menjambak pula, sampai tiga kali.
Kwee Ceng selalu berkelit dengan berhasil.
Panas hatinya Tiauw Hong, dia berseru panjang, tangannya menyambar ke
batok kepala. Itu dia pukulannya yang berbahaya, pukulan Cwi-sim-ciang.
Kwee Ceng kalah pandai, tangan kanannya pun masih dicekal si wanita,
tidak dapat ia berkelit lagi. Tapi dia pun nekat, maka ia angkat
tangannya yang kanan, untuk menangkis.
Begitu kedua tangannya beradu, Bwee Tiauw Hong sudah lantas menarik
pulang tangannya. Tangannya itu telah tergetar, juga seluruh tubuhnya
menjadi panas. Ia menjadi heran sekali. Ia berpikir: “Aku berlatih tanpa
guru, aku tersesat. Bocah ini sebaliknya sempurna ilmu dalamnya. Kenapa
aku tidak mau memaksa dia untuk mengajari aku?”
Maka kembali ia mencekik leher si bocah itu. “Kau telah membunuh
suamiku, tidak ada harapan lagi untuk kau hidup lebih lama!” ia kata
dengan bengis. “Tetapi jikalau kau mau dengar perkataanku, akan kau
membikin kau mati dengan puas! Jikalau kau menolak, aku nanti siksa
padamu!”
Kwee Ceng tidak menjawab.
“Bagaimana Tan Yang Cu mengajarkan kau ilmu bersemadhi?!” Tiauw Hong tanya.
Kwee Ceng dapat menerka isi hati orang. Ia berpikir, “Ah, kau ingin aku
mengajarkan kau ilmu tenaga dalam! Tidak nanti! Biar aku mati, tidak
nanti aku membikin harimau tumbuh sayap!” Maka ia lantas tutup rapat
kedua matanya, ia tidak pedulikan ancamanan orang.
Bwee Tiauw Hong mengerahkan tenaga di tangan kirinya, hal itu membuat
Kwee Ceng merasai lengannya sakit sekali. Tetapi ia sudah nekat, malah
ia kata: “Kau memikir untuk mendapatkan kepandaianku? Hm! Baiklah
siang-siang kau matikan keinginanmu itu!”
Tiauw Hong kendorkan pencetannya. “Aku berjanji akan mengantarkan obatmu
kepada Ong Cie It, untuk menolongi jiwanya,” katanya lemah lembut.
Mendengar ini, Kwee Ceng berpikir. “Inilah urusan penting,” katanya
dalam hatinya. Lekas ia bilang: “Baik! Tapi kau mesti bersumpah dulu –
sumpah yang berat, nanti aku ajarkan kau ilmu yang Ma Totiang ajarkan
aku.”
Tiauw Hong lantas saja menjadi kegirangan. “Orang she Kwee….” katanya,
dengan sumpahnya, “Sesudah si bocah she Kwee yang baru mengajari aku
ilmu dalam dari Coan Cin Kauw, apabila aku si orang she Bwee tidak
mengantarkan obat kepada Ong Cie It, biarlah tubuhku tidak dapat
bergerak seluruhnya, biarlah aku tersiksa untuk selama-lamanya!”
Wanita ini baru memberikan sumpahnya itu lalu tiba-tiba di sebelah kiri
mereka, sejarak belasan tombak, ada orang membentak dengan dampratannya;
“Budak hina, lekas kau munculkan dirimu untuk terima binasa!”
Kwee Ceng kenali itu suara bentakan, ialah dari Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay.
Lantas ia dengar pula suara seorang lain, “Budak cilik ini mesti ada di
dekat-dekat sini! Jangan khawatir, dia tidak bakal lolos!”
Sembari berbicara, mereka itu jalan pergi.
Kwee Ceng terkejut. “Kiranya Yong-jie masih ada disini,” pikirnya. “Dan
dia telah dipergoki mereka itu….” Dia lantas berpikir pula. Setelah itu,
ia kata kepada Bwee Tiauw Hong; “Kau masih harus melakukan baik satu
hal lagi, jika tidak, kau boleh siksa aku, aku akan tutup mulutku!”
“Masih ada apalagi?!” tanya Tiauw Hong yang murka sekali.
“Aku ada punya satu sahabat, satu nona kecil,” sahut si anak muda:
“Sahabatku itu lagi dikejar-kejar lawannya. Kau mesti turun tangan untuk
menolongi sahabatku itu!”
“Hm!” Tiauw Hong kasih dengar ejekannya. “Cara bagaimana aku bisa
mengetahui di mana adanya sahabatmu itu? Sudah, jangan ngoceh terus!
Lekas kau jelaskan ilmu itu!” Dia pun kembali memencet.
Kwee Ceng menahan sakit, hatinya cemas dan mendongkol. Ia membandel.
“Kau mau menolongi atau tidak, terserah padamu!” katanya keras. “Aku
suka bicara atau tidak, terserah padaku!”
Tiauw Hong kewalahan. “Baiklah bocah, aku menerima baik permintaanmu,”
bilangnya. “Bocah cilik yang bau, aku tidak sangka Bwee Tiauw Hong satu
jago yang telah malang melintang di kolong langit ini, sekarang aku
mesti menyerah kepada segala kehendakmu!”
Kwee Ceng tidak menyahuti, dia hanya berkoak-koak: “Yong-jie, ke mari! Yong-jie! Yong-jie…..”
Baru dua kali Oey Yong dipanggil, tiba-tiba dia telah muncul dari
gerombolan pohon kembang mawar di samping mereka. Dia lantas menyahuti:
“Sudah lama aku ada di sini….!”
Memang nona itu sudah sekian lama bersembunyi di situ, maka itu dia pun
telah dengar pembicaraan di antara Tiauw Hong dan Kwee Ceng. Dia menjadi
terharu dan tertarik hatinya kepada si pria, yang begitu perhatikan dan
menyayangi kepadanya. Tanpa merasa, air matanya turun meleleh di kedua
belah pipinya yang halus. Tapi ia tidak menangis terus, hanya ia lantas
kata pada Bwee Tiauw Hong: “Bwee Jiak Hoa, lekas kau merdekakan dia!”
Kwee Ceng heran, begitu pun Bwee Tiauw Hong.
Bwee Jiak Hoa itu adalah nama benar dari Tiauw Hong, nama sebelum ia
berguru, nama itu tidak dikenal kaum kongouw. Nama itu pun sudah
beberapa puluh tahun tidak pernah terdengar lagi. Sekarang Tiauw Hong
dengar nama orang menyebutnya, ia terperanjat. “Kau siapa?!” ia tanya,
suaranya bergemetar.
Oey Yong menjawab, katanya: “Di dalam tumpukan cita menyembunyikan
pedang mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si bintang
tetamu….Aku she Oey….”
Tiauw Hong menjawab terlebih kaget lagi. “Kau…kau….!” tanyanya membentak.
“Kau bagaimana?!” balas tanya Oey Yong. “Masih ingkatkah kau kepada
puncak Cek Cui Hong, gua Twie In Tong dan paseban Sie Kiam Teng dari
pulau Tho-hoa-to di Tang Hay?”
Tiauw Hong berdiam, ia merasakan seperti tubuhnya melayang-layang. Semua
puncak, gua dan paseban itu adalah tempat, di mana ia biasa pesiar
semasa dia masih belajar silat. Heran ia akan mendengar disebutnya semua
itu.
“Kau pernah apa dengan Oey Suhu, yang namanya Yok di atas dan Su di bawah?” ia tanya kemudian.
“Bagus!” seru si nona. “Kau nyatanya belum melupai ayahku! Tapi juga
ayahku belum melupakan kau! Dia telah datang sendiri menjenguk padamu!”
Tiauw Hong ingin berbangkit bangun akan tetapi kakinya tidak mau menurut
perintah. Ia menjadi kaget, seumpama kata semangatnya terbang pergi. Ia
menjadi bingung sekali.
“Lekas lepaskan dia!” Oey Yong berkata pula.
Tiba-tiba pula Tiauw Hong ingat: “Selama ini suhu tidak pernah
meninggalkan Tho Hoa To, maka cara bagaimana dia bisa datang kemari?
Bukankah aku tengah diperdayakan?”
Menyaksikan keragu-raguan orang, Oey Yong berlompat tinggi setombak
lebih, selagi lompat, ia putar tubuhnya dua kali sebelum tubuhnya turun,
ia menyerang ke arah Tiauw Hong. Itulah jurus “Burung garuda terbang ke
langit” dari Cwie-sim-ciang. Sembari menyerang, ia menaya, “Kau sudah
mencuri kitab Kiu Im Cie Keng, kau mengertikan jurus ini?”
Tiauw Hong merasakan serangan itu dari anginnya saja, ia angkat
tangannya untuk menangkis seraya ia berkata: “Sumoay, marilah kita
bicara baik-baik! Mana suhu?”
Oey Yong tidak segera menjawab. Di waktu tubuhnya turun ke bawah, ia lantas ulur tangannya akan sambar Kwee Ceng guna ditarik.
Memang Oey Yong ini adalah putrinya Oey Yok Su, Tocu pemilik pulau dari
pulau Thoa Hoa To di Tang Hay, Laut Timur. Dia adalah anak tunggal dan
tersayang. Ibunya telah meninggal dunia karena kesulitan bersalin
setelah ia dilahirkan. Dalam kedukaannya, Oey Yok Su menghibur diri
dengan merawat dan memanjakan putrinya ini dengan dibantu sejumlah
pelayan. Karena ia sangat disayang, ia menjadi sangat nakal. Ia cerdas
sekali tetepi dalam pelajaran ilmu silat, ia kurang bersungguh-sungguh,
ia tidak dipaksa ayahnya itu yang ingat ia masih berusia terlalu muda.
Maka itu, walaupun Oey Yok Su ada satu jago yang lihay, anaknya baru
mendapat permulaan saja dari kepandaiannya itu.
Pada suatu hati Oey Yong pesiar kelilingan di pulaunya itu, sampai ia
tiba di gua, di mana ayahnya telah mengurung musuhnya. Ia bicara sama
musuh itu. Ia merasa kasihan, ia memberikan sedikit arak. Belakangan Oey
Yok Su ketahui perbuatan anaknya itu, ia gusar, ia tegur anaknya itu.
Belum pernah Oey Yong ditegur, ia menjadi tidak senang, maka itu ia
pergi buron dengan menaiki sebuah getek kayu. Ia menyamar sebagai satu
pemuda melarat, ia pergi ke mana ia suka, sampai di Kalgan ia – di luar
dugaannya – bertemu sama Kwee Ceng, malah keduanya tertarik satu pada
yang lain hingga mereka lantas saja menjadi bersahabat erat. Oey Yong
pernah dengar ayahnya omong tentang Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong,
kedua murid ayahnya itu, maka itu ia jadi tahu nama benar dari Tiauw
Hong. Tentang kata-katanya tadi, yaitu, “Di dalam tumpukan cita
menyembunyikan pedang mustika, dalam suara seruling dan tambur ada si
bintang tetamu”, itulah nyanyiannya Oey Yok Suk yang sering dinyanyikan,
maka setiap muridnya kenal itu baik sekali. Ia sengaja menyebutkan itu,
untuk menggertak kepada Tiauw Hong, yang kepandaiannya tidak dapat ia
tandingi. Benar-benar Tiauw Hong jeri dan melepaskan Kwee Ceng.
Tiauw Hong masih berpikir: “Suhu telah datang, entah dengan cara apa dia
bakal menghukum aku…” Mukanya menjadi pucat kapan ia ingat
kebengisannya Oey Yok Su, tubuhnya menggigil sendirinya. Ia buta tetapi
ia seperti membayangkan guru itu dengan bajunya warna kuning muda,
dengan pundaknya menggendol sebuah pacul kecil peranti menggali
obat-obatan, lagi berdiri di hadapannya. Mendadak tubuhnya menjadi
lemas, seperti habis sudah ilmu silatnya, ia terus mendekam ke tanah
seraya berkata: “Teecu ketahui dosaku yang mesti dibunuh berlaksa kali,
tetapi teecu mohon sukalah guru mengampunkan teecu dari hukuman mati
mengingat mata teecu telah buta dan separuh tubuhku cacat…”
Kwee Ceng heran menyaksikan orang demikian ketakutan dan pasrah sedang
begitu jauh yang ia ketahui, si Mayat Besi biasanya galak dan telengas,
musuh bagaimana tangguh juga tidak dapat buat ia jeri.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya. Ia tarik tangan Kwee Ceng, terus ia
menunjuk ke luar jendela. Itu artinya ia mengajak sahabat itu lari
bersama, buat menyingkir dari istana itu.
Kwee Ceng baru memandang ke tembok tatkala di belakang mereka, mereka
dengar satu suara seruan yang disusul tertawa panjang, lalu di sana
muncul seorang yang tangannya menggoyang-goyang kipas.
“Anak yang baik, aku tidak kena kau jual!” orang itu berkata sambil tertawa.
Oey Yong lantas kenali Auwyang Kongcu, yang ia tahu ilmu silatnya lihay,
dan orang pun hendak membekuk padanya. Ia mengerti yang ia sukar lolos,
tetapi ia cerdik sekali, segera ia dapat akal, lantas ia menghadapi
Bwee Tiauw Hong dan berkata: “Bwee Suci, ayah paling dengar perkataanku,
sebentar nanti aku mohonkan ampun kepadanya, hanya sekarang kau mesti
mendirikan dulu beberapa jasa baik, supaya ayah suka mengampunkannya.”
“Jasa baik apakah itu?” Bwee Tiauw Hong tanya.
“Ada orang busuk lagi menghina aku,” Oey Yong terangkan. “Akan aku
berpura-pura tidak sanggup melawan, kaulah yang mesti hajar dia.
Sebentar ayah datang, kapan ia lihat kau membantui aku, hatinya tentu
girang.”
Tiauw Hong suka memberikan bantuannya. Kata-katanya ini sumoy, adik
seperguruan, membuat ia mendapat harapan, hingga semangatnya bangun
dengan mendadak.
Sementara itu Auwyang Kongcu lagi mendatangi bersama keempat murid
wanitanya. Begitu dia tiba di depan mereka bertiga, Oey Yong tarik
tangannya Kwee Ceng, untuk memernahkan diri di belakangnya Bwee Tiauw
Hong. Nona ini telah pikir, begitu lekas Tiauw Hong dan si kongcu
bertempur, ia mau ajak sahabatnya itu menyingkirkan diri.
Auwyang Kongcu melihat Tiauw Hong sedang duduk numprah, nyonya itu
berserba hitam dan romannya tidak luar biasa, ia ulur tangannya akan
sambar Oey Yong. Mendadak saja ia merasakan angin menyambar ke arah
dadanya, ia lihat tangan si nyonya menjambak secara hebat. Ia kaget
bukan main. Belum pernah ia mendapat serangan sehebat ini. Lekas-lekas
ia mengetok dengan kipasnya ke lengan si nyonya, tubuhnya pun dibawa
berlompat berkelit. Walaupun begitu, ia masih kurang sebat, dengan
menerbitkan suara memberebet, ujung bajunya robek sepotong sedang
kipasnya patah menjadi dua potong. Yang membikin ia terkejut sekali
adalah keempat muridnya telah roboh terguling, apabila ia mendekati
mereka, untuk memeriksa, nyata mereka sudah putus jiwanya semua, otak
mereka telah dilobangi lima jari tangan. Itulah cengkeraman Kiu Im
Pek-kut Jiauw.
Kongcu ini menjadi murka sekali, tidak banyak omong lagi, ia lompat
maju, untuk menyerang Bwee Tiauw Hong. Ia keluarkan kepandaiannya yang
istimewa, ialah “Sin-to Soat-san Ciang”, atau “Unta Sakti Gunung Salju”.
Bwee Tiauw Hong membuat perlawanan dengan Kiu Im Pek-kut Jiauw, kedua
tangannya bergerak panjang dan pendek, sambungan tulang-tulangnya
mengasih dengar suara meretek, hingga Auwyang Kongcu tidak berani
merapatkan diri.
Oey Yong hendak menggunai ketikanya untuk menyingkir, ia baru menarik
tangan Kwee Ceng atau tiba-tiba ia dengar bentakan di belakangnya,
disusul sama serangan dua tangan. Itulah Hauw Thong Hay yang telah
datang ke situ dan lantas menyerang, ke arah muka, sebab dia tahu si
nona memakai lapis berduri.
Segera setelah itu, ke situ pun datang See Thong Thian bersama Nio Cu Ong dan Pheng Lian Houw.
Chao Wang bersama putranya repot mencari orang yang menculik onghui,
mereka berlari-lari bersama barisan pengiring mereka, di dalam dan di
luar istana.
Nio Cu Ong lihat bagaimana Auwyang Kongcu terdesak, sampai bajunya robek
dan terlihat baju dalamnya. Ia pun lantas ingat bagaimana di dalam gua
ia telah dipermainkan nyonya itu, ia menjadi gemas sekali sambil
berseru, ia maju akan membantui si pemuda mengepung.
See Thong Thian dan Pheng Lian Houw menanti di pinggiran, bersiap untuk
membantui. Hati mereka tapinya gentar menyaksikan kehilayan si nyonya.
Oey Yong main berkelit terhadap pelbagai serangan Hauw Thong Hay, ia membuatnya orang she Hauw itu kewalahan.
Tidak lama, Bwee Tiauw Hong merasakan repot melayani dua lawan yang
tangguh. Tiba-tiba ia tarik sebelah tangannya dan menyambar bebokongnya
Kwee Ceng seraya ia berseru: “Kau pondong kedua kakiku!”
Kwee Ceng kaget, ia tidak mengerti maksud orang, akan tetapi ia insyaf
bahwa mereka bekerja sama menangkis musuh, ia turut perkataan orang itu,
segera ia membungkuk memegang kedua pahanya Tiauw Hong, untuk diangkat.
Dengan tangan kirinya Tiauw Hong tangkis serangan Auwyang Kongcu, dengan
tangan kanannya ia jambak Nio Cu Ong, sembari berbuat demikian, ia kata
kepada Kwee Ceng: “Kau pondong aku, kau kejar si orang she Nio itu!”
Baru sekarang Kwee Ceng mengerti maksud orang. Pikirnya: “Dia tidak
dapat menggunai kedua kakinya, dia membutuhkan bantuanku!” Ia terus
bekerja. Ia bukan lagi pondong si nyonya, dia hanya memanggulnya, lalu
dia bergerak kesana ke mari menuruti setiap petunjuk nyonya itu, untuk
maju memburu, guna mundur sembari menangkis atau berkelit. Ia bertenaga
besar, enteng tubuhnya, dan tubuh Tiauw Hong tidak berat, ia jadi dapat
bergerak dengan leluasa. Maka setelah itu Tiauw Hong menjadi menang di
atas angin.
“Bagaimana sih caranya menyakinkan ilmu dalam?” dia tanya Kwee Ceng
selagi ia melayani musuh. Dia tidak dapat melupakan ilmu itu.
“Duduk numprah, lima hati dihadapkan ke langit,” Kwee Ceng menjawab.
“Apa itu yang dinamakan lima hati?” Tiauw Hong menanya pula.
“Dengan itu dimaksudkan telapakan dua tangan, telapakan kedua kaki dan embun-embunan.”
Girang Tiauw Hong hingga ia menjadi bersemangat, hingga ketika ia
menjambret Nio Cu Ong, dia dapat mengcengkram pundaknya. Maka tidak
tempo lagi, pundaknya orang she Nio itu berlumuran darah, hingga ia
mesti melompat menyingkir.
Kwee Ceng lompat, untuk memburu, tatkala ia melihat Kwie-bun Liong Ong
See Thong Thian maju membantu suteenya untuk mengerubungi Oey Yong, ia
menjadi kaget, lantas ia putar tubuhnya. “Hajar dulu ini dua orang!” ia
kata pada Tiauw Hong.
Nyonya itu sudah lantas kasih bekerja kedua tangannya, yang kiri ke arah
bebokongnya Hauw Thong Hay, yang lalu mengkeratkan diri untuk berkelit.
Di luar dugaannya, tangan si nyonya amat sebat. Maka kagetlah ia tempo
bebokongnya kena dijambak, hingga tubuhnya segera diangkat, sedang di
lain pihak lima jari tangan kanan si nyonya itu menyambar ke batok
kepalanya. tanpa berdaya lagi, ia menjadi lemas sekujur tubuhnya, tak
dapat ia bergerak lagi.
See Thong Thian menyaksikan itu, kagetnya bukan main. Ia berlompat,
untuk menghalau lengan nyonya itu. Karenanya kedua tangan beradu satu
sama lain. keduanya menjadi kaget, tangan mereka sama-sama kesemutan.
Berbareng dengan itu, dari arah kiri terdengar suara angin menyambar.
Itulah serangan kim-chie-piauw, atau senjata rahasia yang berupa uang
dari Pheng Lian Houw.
Tiauw Hong dapat tahu datangnya serangan gelap, ia menangkis dengan
melemparkan tubuhnya Hauw Thong Hay ke arah datangnya piauw itu, maka
Thong Hay lantas saja berkoak, “Aduh!” karena tepat ia terkena piauw
itu.
See Thong Thian kaget, apa pula ia dapatkan tubuh sutee itu bakal jatuh
ke tanah. Kalau ia terbanting, celakalah sutee itu. Terpaksa ia melompat
maju, untuk menanggapi dengan menyambar pinggang si adik seperguruan
itu, yang terus ia lemparkan. Maka kali ini Thong Hay bisa kerahkan
tenaganya, hingga ia jatuh dengan wajar.
Tiauw Hong melemparkan tubuh orang dan See Thong Thian menolongi sutee
itu, semua itu terjadi dalam sejenak, menyusuli itu, Tiauw Hong segera
diserang dari tiga penjuru, oleh piauwnya Pheng Lian Houw, oleh Auwyang
Kongcu dan See Thong Thian.
Bwee Tiauw Hong memasang kupingnya, lantas jari-jari tangannya dipakai
menyentil, akan menyentil balik setiap piauw. Dari itu, semua piauw itu
mental kembali, menyerang kepada Auwyang Kongcu, Pheng Lian Houw dan See
Thong Thian, juga kepada Nio Cu Ong, yang turut maju pula.
“Apakah itu yang dinamakan mengumpulkan ngo-heng?” Tiauw Hong menanya lagi.
“Itulah kayu dari Tong-hun, emas dari See-pek, api dari Lam Sin, air dari Pak Ceng, dan tanah dari Tiong Ie.”
Ngo-heng ialah kayu, emas, api, air dan tanah.
“Apakah itu yang disebut mengakurkan su-ciang?”
“Itu artinya menyimpan mata, mengebalkan kuping, meluruskan napas dan menutup lidah.”
“Tidak salah! Itu yang dinamakan ngo-kie-tiauw-goan – lima hawa dipusatkan kepada asalnya?”
“Itulah, mata tidak melihat tetapi semangatnya ada di jantung, kuping
tidak mendengar tetapi pendengarannya ada di ginjal, lidah tidak
berbunyi tetapi pemikirannya ada di hati, dan hidung tidak mencium bau
tetapi rohnya ada di paru-paru.”
Girang Tiauw Hong mendapatkan keterangan ini. Sudah belasan tahun ia
menyakinkan Kiu Im Cie Keng, tidak pernah ia mengerti itu. Maka ia
menanya. Dengan begini ia telah memecah perhatiannya, belum lagi Kwee
Ceng menjawab dia, pundak kirinya dan iga kanannya telah terkena hajar
oleh Auwyang Kongcu dan See Thong Thian. Ia bertubuh kuat akan tetapi
toh hajaran itu membikin ia merasakan sangat sakit.
Oey Yong pun menjadi cemas. Ia mengharap Tiauw Hong bisa melibas
musuh-musuhnya, supaya ia bisa ajak Kwee Ceng kabur, siapa tahu, pemuda
ini mesti membantui orang.
Segera juga Tiauw Hong terdesak di bawah angin. Ia heran atas tidak
datangnya bala bantuan, maka akhirnya ia teriaki Oey Yong, “Eh, darimana
kau memancing begini banyak musuh lihay? Mana suhu?” Ia menanya
demikian, sebenarnya ia berkhawatir. Sungguh tak ingin ia bertemu sama
gurunya, yang ia tahu telengas,
“Dia bakal segera datang!” Oey Yong menyahuti. “Mereka ini bukannya
tandinganmu! Umpama kata kau duduk di tanah, mereka tidak nanti dapat
mengganggu selembar rambutmu!” Ia ingin membangkitkan kejumawaannya si
Mayat Besi, supaya Kwee Ceng dilepaskan. Tetapi Tiauw Hong tengah sulit
sekali, ia repot melayani musuh-musuhnya.
Nio Cu Ong berseru, ia berlompat menerjang.
Tiauw Hong merasakan ada serangan di kiri dan kanannya, ia mementang
kedua tangannya untuk menangkis, tetapi ia merasakan rambutnya ada yang
tarik. Itulah Nio Cu Ong, yang menyambar rambutnya itu. Ia kaget, begitu
pun Oey Yong.
Nona ini segera menyerang punggungnya orang she Nio itu, atas mana Cu
Ong menangkis dengan tangan kanannya, sekalian dia hendak membangkol
tangannya si nona itu, sedang tangan kirinya tidak melepaskan rambutnya
si Mayat Besi.
Untuk membebaskan dirinya, Tiauw Hong menyambar ke rambutnya, maka
bagaikan ditebas, rambutnya itu kutung putus, menyusul mana, ia serang
Nio Cu Ong.
Dengan mencelat ke samping, Cu Ong menolong dirinya. Sementara itu Pheng
Lian Houw lantas mengetahui wanita itu adalah Bwee Tiauw Hong, salah
satu dari Hek Hong Siang sat, maka itu, apa bila ia dapat kenyataan Oey
Yong membantui si Mayat Hidup, dia menegur, “Eh, budak cilik! Kau bilang
kau bukannya murid Hek Hong, nyata kau mendusta!”
Oey Yong tidak mau mengalah. “Dia guruku?” dia membalik, mengejak. “Lagi
seratus tahun ia belajar silat, dia masih belum mampu menjadi guruku!”
Lian Houw heran. Terang mereka berdua sama ilmu silatnya. Kenapa si nona
menyangkal? Kenapa agaknya si nona tidak menghormati Tiauw Hong itu?
Justru itu terdengarlah suaranya See Thong Thian: “Memanah orang lebih
dulu memanah kudanya!” Kata-kata itu ditujukan kepada Kwee Ceng, yang ia
lantas rabu kakinya.
Tiauw Hong kaget. Ia tahu Kwee Ceng masih lemah, kalau anak itu roboh,
ia pun bisa susah. Maka itu, ia membungkuk, untuk menyambut kakinya
orang she See itu. Justru itu, dengan tubuhnya si nyonya turun rendah,
Auwyang Kongcu membarengi menumbuk bebokongnya.
Tiauw Hong mengasih dengar suara “Hm!” Mendadak saja tangan kanannya
terayun, lalu terlihat berkelebatnya satu sinar putih terang. Nyata ia
telah kasih ke luar cambuknya, dengan apa ia menyabet ke empat penjuru.
Cambuknya itu bergerak bagaikan naga beracun, hingga empat lawannya
mesti menjauhkan diri.
Pheng Lian Houw berpikir: “Ini perempuan buta mesti lebih dulu
dibinasakan, jikalau suaminya si Mayat Perunggu keburu datang, sungguh
sulit!” Ia memikir demikian karena ia tidak tahu Tan Hian Hong sudah
terbinasa.
Sebenarnya cambuk Tong-liong Gin-pian dari Bwee Tiauw Hong lihay sekali,
di dalam kalangan enam tombak, siapa kena dicambuk, dia mesti
terbinasa, cuma sekarang ia menghadapi Auwyang Kongcu berempat…semua
bukan sembarang orang. Ia cuma bisa membikin mereka itu merenggangkan
diri.
Pheng Lian Houw penasaran, sambil berseru, dia menjatuhkan diri, untuk menyerbu dengan bergulingan.
Tiauw Hong tidak tahu orang hendak membokong dia, dia tetapi melayani
ketiga musuhnya. Adalah Kwee Ceng, yang menjadi kaget sekali, dalam
takutnya, ia menjerit. Atas ini tahulah Tiauw Hong atas datangnya
musuh-musuh, ia lantas ulur tangan kirinya, guna menjambret si orang she
Pheng itu.
Oey Yong tidak dapat membantu Tiauw Hong lagi, karena cambuk orang
merintangi majunya. Di lain pihak, ia melihat ancaman bahaya untuk si
Mayat Besi – artinya untuk ia sendiri berdua sama Kwee Ceng. Ia lantas
dapat akal, maka ia berteriak: “Semua berhenti! Aku hendak bicara!”
Pheng Lian Houw, yang bisa membebaskan diri, begitupun ketiga kawannya,
tidak mengambil mumet atas teriakan itu, mereka terus mengurung.
Oey Yong berkhawatir dan penasaran, hendak ia berteriak pula, atau
tiba-tiba ia dengar lain orang mendahulukan padanya: “Semua berhenti,
aku hendak ada bicara!” Suara itu datangnya dari arah tembok.
Oey Yong segera berpaling. Enam orang, yang tubuhnya tinggi kate tdak
rata, tertampak berdiri di atas tembok. Tapi malam ada gelap, muka
mereka tidak terlihat nyata.
Pheng Lian Houw semua tahu, ada datang orang dari pihak ketiga, merek tidak ambil peduli, mereka berkelahi terus.
Rupanya keenam orang di atas tembok itu tidak dapat manahan sabar, dua
diantaranya sudah lantas lompat turun. Mereka ini masing-masing
bersenjatakan joan-pian dan pikulan besi, dengan senjatanya itu, mereka
lantas serang Auwyang Kongcu. Orang yang mencekal joan-pian itu, cambuk
emas, yang tubuhnya kate, membarengi mendamprat: “Bangsat tukang petik
bunga, kemana kau hendak lari?!”
Kwee Ceng dengar suara orang, ia menjadi girang sekali. “Suhu lekas tolongi teecu!” ia berteriak.
Memang keenam orang itu adalah Kanglam Liok Koay. Sejak di Utara mereka
terpisah dari Kwee Ceng, muridnya mereka itu, kemudian mereka menguntit
delapan murid wanita dari Pek To San. Di waktu malam, mereka lantas
mempergoki Auwyang Kongcu beserta sekalian muridnya merampas anak
gadisnya suatu keluarga baik-baik. Mereka gusar, mereka lantas
menyerang.
Auwyang Kongcu membuat perlawanan, tetapi Liok Koay telah berlatih
bersungguh-sungguh di gurun pasir, telah memperoleh banyak kemajuan,
mereka membikin ia kewalahan. Begitulah tubuhnya kena dihajar tongkatnya
Kwa Tin Ok dan kakinya tertendang Cu Cong. Merasa tidak ungkulan,
terpaksa ia lepaskan si nona mangsanya itu dan lari kabur. Dua muridnya
terhajar binasa masing-masing oleh Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat.
Wat Lie Kiam Han Siauw Eng lantas menolong si nona, yang ia gendong
pulang ke rumahnya. Kemudian Auwyang Kongcu dikejar, tetapi ia licin dan
dapat meloloskan diri. Liok Koay juga tidak mengejar dengan berpisahan,
karena mereka ketahui, kalau bertempur satu lawan satu, pihaknya tidak
sanggup. Tapi mereka terus melakukan penyelidikan. Inilah tidak sukar,
sebab rombongannya Auwyang Kongcu gampang dikenali dari dandanan mereka
yang serba putih itu. Begitulah mereka menguntit hingga di onghu,
istananya Chao Wang itu.
Di waktu gelap, gampang sekali untuk melihat pakaiannya rombongan
Auwyang Kongcu itu, maka itu Lam Hie Jin dan Han Po Kie sudah lantas
melakukan penyerangan. Mereka kaget akan dengar teriakannya Kwee Ceng.
Empat yang lainnya turut heran juga. Mereka juga lantas mengawasi,
hingga mereka dapat lihat dengan tegas: Bwee Tiauw Hong si Mayat Besi
telah bersilat dengan cambuknya, dia sepertinya duduk bersilat di
pundaknya Kwee Ceng. Rupanya bocah itu berada di bawah pengaruh orang.
Karena ini tanpa bersangsi lagi, Han Siauw Eng maju menyerang si Mayat
Besi yang ia sangat benci itu, sedang Coan Kim Hoat maju untuk menolongi
muridnya.
Pheng Lian Houw semua heran atas datangnya enam orang itu, apa pula
mereka itu lantas menyerang Auwyang Kongcu, menyerang si Mayat Besi
juga. Lian Houw lantas menggulingkan tubuh, akan ke luar dari
gelanggang. Kemudian ia berteriak: “Semua berhenti! Aku hendak bicara!”
Teriakannya nyaring sekali, menulikan telinga.
Nio Cu Ong bersama See Thong Thian mendahulukan mundur.
Kwa Tin Ok, yang dengar teriakan hebat itu, percaya yang orang adalah
orang lihay, maka ia pun teriaki saudara-saudaranya: “Shatee dan
citmoay, tahan dulu!”
Dua saudara itu menurut, begitupun yang lainnya, mereka semua mundur.
Tiauw Hong pun sudah berhenti bersilat, ia hanya bernapas memburu.
Oey Yong sudah lantas menghampirkan murid ayahnya itu. “Kali ini kau
telah berjasa!” katanya. Tapi kepada Kwee Ceng ia memberi tanda dengan
gerakan tangan, agar sahabatnya itu melemparkan tubuh orang.
Kwee Ceng mengerti, untuk simpangi perhatian si Mayat Besi, ia memberi
keterangan atas pertanyaan orang tadi. Akhirnya ia berkata: “Nah, kau
ingatlah baik-baik!” Berbareng dengan itu, dengan mengerahkan tenaga, ia
melemparkan tubuh si nyonya sampai jauhnya setombak lebih, ia sendiri
segera lompat mundur. Hanya, belum lagi ia menaruh kaki di tanah, cambuk
perak yang bergemerlapan sudah lantas menyambar kepadanya. Cambuk itu
ada banyak gaetannya.
“Celaka!” teriak Han Po Kie, yang menyaksikan bahaya mengancam muridnya.
Tanpa ayal lagi ia menyerang dengan Kim-liong-pian, cambuknya, si Naga
Emas. Maka kedua cambuk itu beradu keras. Ia kaget, telapakan tangannya
sakit. Cambuknya itu terlepas, terlibat dan tertarik sama cambuknya Bwee
Tiauw Hong. Ia menyerang Kwee Ceng begitu lekas ia dapatkan tubuhnya
dilemparkan. Ketika ia jatuh ke tanah, lebih dahulu ia menampa dengan
tangannya, habis itu ia duduk dengan hati-hati. Ia ketahui datangnya
Kanglam Liok Koay begitu lekas ia dengar suaranya Kwa Tin Ok. Ia
mendongkol berbareng khawatir. Ia pikir: “Aku cari mereka ke mana-mana,
hari ini mereka mengantarkan diri. Coba hari bukannya hari ini, pasti
aku bersyukur sangat kepada Langit dan Bumi. Sekarang ini aku lagi
dikurung oleh musuh, aku hampir tidak dapat bertahan, jikalau aku mesti
tambah musuh dalam dirinya Tujuh Manusia Aneh ini, pastilah aku bakal
binasa….” Ia lantas mengertak gigi. Ia lantas mengambil keputusan: “Nio
Lao Koay beramai tak ada permusuhannya dengan aku, maka hari ini baiklah
aku terbinasa bersama-sama dengan Cit Koay saja!” Ia cekal keras
cambuknya, ia memasang kuping, akan dengari gerak-geriknya Cit Koay itu.
Ia tahu orang muncul yang berenam, ia heran: “Dari Cit Koay cuma muncul
yang enam, entah yang satunya lagi bersembunyi di mana…?” Ia tidak tahu
yang Siauw Bie To Thio A Seng telah terbinasa di tangan suaminya.
Liok Koay bersama rombongannya Nio Cu Ong berdiam semua, mereka pun
memernahkan diri di jarak tujuh tombak dari wanita kosen itu yang
cambuknya sangat lihay.
“Anak Ceng, kenapa mereka itu bertempur?” Cu Cong berbisik kepada
muridnya. “Kau sendiri, mengapa kau bantui perempuan siluman itu?”
“Mereka hendak membunuh aku, dia menolongi,” jawab Kwee Ceng.
Biauw Ciu Sie-seng heran.
“Aku minta kau memberitahukan nama kamu?!” Nio Cu Ong menegur Kanglam
Liok Koay. “Tengah malam buta, kau lancang masuk ke dalam istana, kamu
hendak berbuat apa?”
“Aku she Kwa,” menyahut Tin Ok. “Kami bersaudara bertujuh orang. Orang Kangouw menyebut kami Kanglam Cit Koay.”
“Oh, Kanglam Cit Koay!” kata Pheng Lian Houw. “Sudah lama aku mengagumi nama kamu!”
See Thong Thian tapinya berteriak. “Bagus! Cit Koay telah datang
sendiri! Aku orang she See hendak belajar kenal, untuk melihat Cit Koay
yang namanya demikian besar, kepandaiannya sebenarnya bagaimana!”
Thong Thian gusar karena ia ingat penghinaan yang diterima empat muridnya. Ia lantas lompat ke depannya Pheng Lian Houw.
Auwyang Kongcu berdiam sambil bersiap. Ia bermusuh dengan Liok Koay dan
Bwee Tiauw Hong, yang satu merusak usahanya, yang lainnya membinasakan
muridnya atau gundiknya tersayang. Inilah ketikanya untuk turun tangan.
See Thong Thian maju sambil mengawasi keenam Manusia Aneh itu. Ia
dapatkan Kwa Tin Ok bercacat mata dan kakinya, Han Siauw Eng satu nona
yang manis, Coan Kim Hoat kurus kering, Han Po Kie kate dampak dan
gemuk, sedang Cu Cong lemah lembut bukan seperti orang Rimba Persilatan.
Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin, yang romannya gagah. Karena itu,
segera ia serang si Tukang Kayu dari gunung Lam San itu.
Lam Hie Jin menancap pikulannya, tanpa bersuara, ia menangkis serangan.
Ia lihay akan tetapi baru beberapa jurus, tahulah ia bahwa ia bukannya
tandingan musuh she See itu. Karena ini, Han Siauw Eng lantas maju
dengan pedangnya dan Coan Kim Hoat dengan dacinnya.
Pheng Lian Houw tidak berdiam saja melihat kawannya dikerubuti, sambil
berseru keras, ia lompat maju akan rintangi Coan Kim Hoat, yang
senjatanya yang luar biasa itu hendak dirampasnya. Tapi Kim Hoat lihay,
gerakannya aneh, ia serang musuh ini hingga si musuh kaget dan mesti
berkelit dengan lompatan jungkir balik “Ular naga membalik tubuh.”
“Eh, senjata apa senjata kau ini?” dia tanya, heran, sesudah berkelit ke
kiri dan ke kanan. “Ini toh barang yang diperantikan menimbang di pasar
tetapi kau pakai untuk menyerang orang!”
Coan Kim Hoat mendongkol dan menyahut: “Dacin ini untuk menimbang kau, babi!”
Lian Houw murka dikatakan babi, lantas ia menyerang dengan hebat, hingga ia membikin Kim Hoat terdesak.
Meyaksikan saudara keenamnya itu kewalahan, Han Po Kie berlompat maju.
Cambuknya kena dirampas Bwee Tiauw Hong tetapi ia punyakan kepalannya.
SeeThong Thian dan Pheng Lian Houw benar lihay, walaupun mereka
dikepung, mereka masih menang di atas angin. Karena ini, Kwa Tin Ok dan
Cu Cong lantas maju, untuk membantui saudara-saudaranya itu, dengan
begitu, mereka jadi bertempur dalam dua rombongan dengan masing-masing
tiga lawan satu. Kali ini pihak Liok Koay yang menang di atas angin.
Pertempuran di antara Oey Yong dan Hauw Thong Hay juga berjalan dengan
seru. Sebenarnya Thong Hay lebih lihay tetapi ia kalah gesit dan ia pun
jeri untuk beju lapis si nona, dari itu tidak berani ia menghajar tubuh
orang. Karena ini Oey Yong yang dapat mendesak, hingga lawannya itu main
mundur.
Auwyang Kongcu telah memasang mata, ia ketahui pihaknya keteter, maka ia
lantas mengambil keputusan: “Baiklah aku binasakan dulu ini beberapa
manusia jahat. Si wanita siluman, biar bagaimana tidak nanti ia dapat
kabur, dia boleh dibereskan belakangan…” Segera ia lompat ke sampingnya
Kwa Tin Ok. Ia bergerak dengan jurus “Sekejap seribu lie” dari ilmu
silatnya Sin-to Soat-san Ciang. Ia pun lantas membentak: “Kamu usilan,
bangsat buta, maka kau rasailah lihaynya kongcumu!” Lalu tangannya
kanannya meninju.
Kwa Tin Ok mendengar suara angin di kanan, ia menangkis dengan ujung
tongkatnya, tetapi ia kebogehan, sebab serangan datang dalam rupa tangan
kiri lawan. Ia lantas saja berkelit dengan mendak, berbareng dengan
mana, ia menyerang pula dengan jurusnya “Arhat menunjuk pengaruh”.
Auwyang Kongcu menyingkir dari serangan itu, tetapi ia bukannya
menyingkir untuk berlari, hanya ia lompat kepada Lam Hie Jin, yang ia
terus serang, hingga Hie Jin terkejut dan mesti berbalik akan melayani.
Melayani Hie Jin pun Auwyang Kongcu pun tidak mau mengulur tempo, ia
lantas tinggalkan musuh ini, untuk menyerang yang lain. Begitu ia
berkelahi, hingga ia menempur Liok Koay dengan bergantian. Maka
teranglah, ia tengah mengganggu musuh-musuhnya itu, hingga Pheng Lian
Houw dan See Thong Thian jadi dapat bernapas.
Suasana kembali terbalik, Liok Koay yang mulai keteter pula.
Nio Cu Ong sementara itu terus memasang matanya terhadap Kwee Ceng, maka
tempo ia menginsyafi aksinya Auwyang Kongcu itu, ia lantas lompat
kepada bocah itu sambil ulur tangannya, ia menjambret dengan kedua
tangannya.
Kwee Ceng bukan tandingan jago ini, dalam beberapa jurus saja ia sudah
terdesak, malah lekas juga dadanya kena dicengkeram. Dengan tangan
kanannya, Cu Ong menjambak ke arah perut, untuk membikin pecah perut
orang, supaya ia bisa menghisap darah anak muda itu.
Dalam saat berbahaya itu, Kwee Ceng membela diri. Ia mengkeratkan
perutnya, hingga terdengar suara robek dari bajunya, hingga belasan
bungkusan obatnya kena disambar musuh.
Nio Cu Ong dapat mencium bau obat, ia masuki semua bungkusan itu ke dalam sakunya, setelah mana kembali ia menjambak.
Kwee Ceng berontak sekuat-kuatnya, ia dapat meloloskan diri, terus ia
lari ke arah Bwee Tiauw Hong sambil berteriak: “Tolongi aku!”
Girang Tiauw Hong mendengar suara orang. Ia memang ingin meminta beberapa keterangan pula kepada anak muda itu.
“Kau peluki aku! Jangan takuti Lao Koay!” ia menyahuti.
Kwee Ceng tahu, satu kali ia peluk wanita itu, ia tidak bakal lolos
pula, karena itu, ia tidak berani menghampirkan, ia hanya lari
berputaran dekat, di sekitarnya.
Nio Cu Ong memburu, hingga ia memasuki kalangan sambaran cambuknya si
wanita kosen, sembari mengejar, ia waspada terhadap nyonya itu terutama
terhadap cambuknya.
Bwee Tiauw Hong sendiri memperhatikan suaranya Kwee Ceng,
gerak-geriknya, maka juga mendadak saja ia geraki cambuknya, untuk
merabu kaki si anak muda!
Oey Yong melayani Hauw Thong Hay dengan selalu memperhatikan Kwee Ceng.
Ia terkejut ketika Kwee Ceng kena dijambret Nio Cu Ong, untuk menolongi,
sudah tidak keburu lagi. Sekarang ia melihat kawannya terancam
cambuknya Tiauw Hong, ia dapat menolong, maka dengan meninggalkan Thong
Hay, ia lompat ke arah cambuk! Ia tidak takuti cambuk itu, meskipun ia
tahu, kecuali ayahnya, sukar dicari orag yang bisa mengalahkannya. Ia
pun bukannya hendak menangkis, hanya ia berlompat ke atas cambuk di mana
ia menggulingkan tubuhnya.
Kwee Ceng tertolong dari bahaya tetapi sekarang Oey Yong yang kena
kelibat cambuk itu, yang terus ditarik Bwee Tiauw Hong. Atas itu Oey
Yong lantas berseru: “Bwee Jiak Hoak, beranikah kau melukai aku?!”
Kaget Tiauw Hong mengenali suaranya Oey Yong, hingga ia memandikan peluh
dingin. Dia pun berpikir: “Cambukku banyak gaetannya, sekarang aku
lukai budak ini, bagaimana suhu dapat mengampunkan aku? Tapi sudah
terlanjur, baiklah aku habiskan dia dulu!” Maka dia terus menarik,
hingga ia dapat cekal tubuh si nona, untuk diletaki di tanah. Ia percaya
tubuh si nona itu sudah tercengkeram pelbagai gaetan cambuknya.
Justru itu Oey Yong tertawa geli. Ia memakai lapisan joan-wie-kah,
tubuhnya tidak terluka, melainkan baju luarnya dan dalamnya pada robek.
Dengan jenaka ia berkata: “Kau merusaki pakaianku, aku minta ganti!”
Tiauw Hong melongo. Dari suaranya orang, ia dapat tahu nona itu tidak
kesakitan. Dengan tiba-tiba ia ingat, maka katanya dalam hatinya: “Ah,
tentu saja baju lapis berduri dari suhu telah diberikan padanya!” Ia
lantas menyahuti: “Ya, encimu ini yang salah, nanti aku pasti mengganti
bajumu ini…”
Oey Yong lantas menggapai pada Kwee Ceng.
Anak muda itu menghampirkan, ia berdiri jauhnya tujuh atau delapan kaki
dari Tiauw Hong. Sekarang ia tidak dihampirkan oleh Nio Cu Ong, yang
jeri kepada cambuknya si wanita lihay itu.
Kanglam Liok Koay sekarang berkelahi dengan mengumpulkan diri, belakang
dengan belakang, dengan begitu mereka dapat melayani See Thong Thian,
Pheng Lian Houw, Hauw Thong Hay dan Auwyang Kongcu berempat. Thong Hay
ditinggalkan Oey Yong, ia lantas membantui kawannya itu. Inilah cara
berkelahi yang Liok Koay baru pahamkan dan melatih selama mereka berdiam
di gurun pasir. Dengan begitu, mereka tidak usah repot-repot menjagai
punggung mereka. Meski begini, mereka keteter juga.
Han Po Kie terluka pundaknya, ia berkelahi terus. ia takut ke luar dari
kalangan, khawatir nanti benteng perlawanannya itu menjadi dobol. Ia
berkelahi sambil menggertak gigi, sebab Pheng Lian Houw yang lihay sudah
cecar padanya.
Kwee Ceng lihat gurunya yang nomor tiga itu terancam bahaya, melupakan
segala apa, ia lari menghampirkan, terus ia serang bebokongnya Pheng
Lian Houw dengan jurusnya, “Membuka mega untuk menolak rembulan.”
“Hm!” Pheng Lian Houw mengasih dengar suara si hidung. Ia berkelit, lantas ia memutar tubuh untuk membalas menyerang.
Justru itu terlihat muncul dari gombolan pohon bunga, sambil
berlari-lari mendatangi, dia berseru: “Semua suhu, ayahku ada urusan
penting untuk mana ia minta bantuan kamu! Lekas!”
Orang itu mengenakan kopiah emas, kopiahnya miring. Ialah siauw-ongya Wanyen Kang, si pangeran muda.
Pheng Lian Houw semua menjadi bingung. Masing-masing mereka lantas
berpikir: “Ongya adalah yang mengundang kami semua, sekarang dia ada
punya urusan penting, cara bagaimana aku tidak pergi membantu dia?”
Karena ini, mereka lantas lompat mundur, ke luar dari gelanggang.
“Ibuku telah dibawa buron penjahat,” Wanyen Kang beritahu dengan
perlahan. “Ayah minta semua suhu membantu mencari, untuk menolongi.
Tidak nanti kami berani melupakan budi suhu semua!”
Pangeran ini datang secara kesusu, malam pun gelap, ia tidak dapat melihat Bwee Tiauw Hong, yang numprah di tanah.
“Onghui telah orang bawa lari, inilah hebat!” pikir Lian Houw semua.
“Kalau begitu, apa perlunya kami berdiam di dalam istana?” Mereka juga
menduga, “Pasti Liok Koay ini lagi menjalankan siasat memancing harimau
turun dari gunung, untuk melibat kami semua. Di lain pihak, kawannya
pergi menculik onghui!” Karena ini tanpa sangsi lagi, mereka lari
mengikuti Wanyen Kang, mereka meninggalkan musuh-musuh mereka.
Nio Cu Ong berlari paling belakang, ia pergi dengan perasaan sangat
tidak puas. Ia ingat Kwee Ceng darah siapa ia belum sempat hisap. Justru
itu, Kwee Ceng teriakin dia: “Eh, kau pulangi obatku!” Dalam sengitnya,
ia menimpuk dengan senjata rahasianya, yaitu paku Cu-ngo Touw-kut-teng.
Cu Cong lompat maju, dengan kipasnya ia sampok paku itu, sesudah jatuh
ia pungut, terus dibawa ke hidungnya, untuk dicium. “Oh, paku beracun
Cu-ngo Touw-kut-teng! Inilah paku yang asal menemui darah lantas menutup
tenggorokan orang hingga orang mati seketika!”
Nio Cu Ong tercengang mengetahui orang kenal pakunya itu.
“Apa?” dia menanya seraya ia merandak, tubuhnya pun diputar.
Cu Cong lari menghampirkan, dengan tangan kirinya ia angsurkan paku itu.
“Ini aku kembalikan pada kau, tuan!” katanya sembari tertawa.
Cu Ong pun ulur tangannya untuk menyambuti. Ia tidak jeri karena ia tahu orang kalah dari padanya.
Cu Cong dapat lihat ujung baju orang penuh rumput dan debu, ia gunai tangan bajunya untuk menyapu itu.
“Siapa kesudian kau mengambil hatiku?!” Cu Ong membentak, terus ia putar tubuhnya untuk berlalu.
Kwee Ceng menjadi masgul sekali. “Dengan begitu saja kita pulang…”
katanya menyesal. Satu malaman ia menempuh bahaya, kesudahannya obat tak
didapatkan juga. Untuk menggunai kekerasan, harapannya tidak ada.
“Mari kita pulang!” mengajak Tin Ok selagi muridnya ragu-ragu. Ia pun
mendahului lompat ke tembok, maka lima saudaranya lantas menyusul.
“Bagaimana dia, toako?” Han Siauw Eng tanya sambil ia menunjuk Tiauw Hong.
“Kita telah memberikan janji kepada Ma Totiang, biar kita mengasih ampun padanya,” sahut kakak tertua itu.
Oey Yong tertawa haha-hihi, ia tidak memberi hormat kepada Liok Koay. Ketika ia pun lompat ke tembok, ia naik ke ujung lainnya.
“Adik kecil, mana suhu?” Tiauw Hong tanya nona itu.
“Ayahku?” balik tanya Oey Yong masih tertawa. “Tentu sekali ayah berada
di pulau Thoa Hoa To! Tidak pernah ayah meninggalkan rumah! Ada apa kau
menanyakannya?”
Tiauw Hong menjadi sangat gusar, hingga napasnya memburu. Ia tahu ia
tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah berhenti sejenak, ia kata pula: “Kau
toh yang membilangnya kalau suhu datang ke mari!”
Oey Yong tertawa pula. “Tanpa aku dustakan kau, mana kau mau lepaskan dia?” Dengan “dia” ia maksudkan Kwee Ceng.
Tiauw Hong murka bukan kepalang, dengan kedua tangannya ia menekan
tanah, lantas saja ia bangkit berdiri, lalu dengan tindakan
terhuyung-huyung, ia menubruk kepada si nona. Ia telah keliru
menyakinkannya ilmu silat dalam, akibatnya kedua kakinya mati, dan makin
ia memaksakan diri, makin pendek napasnya. Tapi kali ini, ia lupa
segalanya.
Oey Yong terkejut, lekas ia lompat turun ke lain sebelah, untuk lari menghilang.
Tiba-tiba Tiauw Hong sadar. “Eh, mengapa aku bisa jalan?” tanyanya pada
diri sendiri. Justru ia sadar, habis ia menanya, mendadak ia roboh pula,
kedua kakinya lemas dan kaku. Ia pun pingsan.
Gampang sekali kalau Liok Koay hendak merampas jiwa orang akan tetapi
untuk menepati janji kepada Ma Giok, mereka tidak mau turun tangan, maka
itu mereka berlalu dengan terus. Mereka ajak Kwee Ceng bersama.
“Eh, anak Ceng, kenapa kau berada disini?” kemudian Han Siauw Eng menanya.
Kwee Ceng menjawab guru ini dengan tuturkan semua pengalamannya, sampai ia berikhtiar untuk menolongi Ong Cie It.
“Kalau begitu, mari kita tolongi Ong Totiang!” Cu Cong mengajak.