Bab 22
Namun Lie Bok Liong adalah seorang pemuda yang keras
hati. Ia tidak mengeluh, tidak putus asa. Ia lalu duduk bersila di pinggir
sungai, mengatur napas dan mengerahkan tenaga. Menjelang pagi, ia sudah merasa
mendingan.
˜Liong-twako..!! Ini suara Lin Lin.
Cepat Bok Liong membuka mata, akan tetapi ketika ia
memandang, ia merasa kecewa. Ternyata Lin Lin berjalan di depan rombongan orang
Khitan, agaknya keluar dari pondok menuju ke perahu, akan tetapi di dekat gadis
itu berjalan pula Hek-giam-lo!
˜Aku tidak apa-apa, Lin-moi. Kau jagalah dirimu
baik-baik!! Ucapan ini tentu saja diterima dengan hati perih oleh Lin Lin yang
untuk kesekian kalinya mendapat kenyataan akan cinta kasih yang luar biasa
besar dan tulusnya dari pemuda ini. Sambil menahan isak gadis itu menundukkan
mukanya dan berjalan terus menuju ke perahu bersama Hek-giam-lo. Dengan tokoh
sakti ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya melawan.
Orang Khitan yang berkumis panjang lewat dekat Bok Liong,
lalu melemparkan pedang Goat-kong-kiam ke dekat pemuda itu sambil meludah dan
tertawa mengejek!
Bok Liong bukanlah orang yang sudi menerima penghinaan
begitu saja tanpa membalas. Melihat pedangnya, secepat kilat ia menyambarnya
dan mengerahkan sisa tenaganya, menggunakan pedangnya menerjang orang berkumis
itu. Si kumis kaget sekali, cepat mengelak, namun pedang Bok Liong masih saja
mencium pundaknya. Orang Khitan itu terhuyung ke belakang dan Bok Liong cepat
menambah serangannya dengan sebuah tusukan kilat. Dada orang Khitan berkumis
itu pasti akan tertembus pedang Goat-kong-kiam kalau saja pada saat itu
Hek-giam-lo tidak cepat menggerakkan tangan kanannya sambil membalikkan tubuh.
Tangan itu masih terpisah satu meter dari Bok Liong, akan tetapi pukulan jarak
jauh ini cukup membuat Bok Liong terpental sehingga tusukannya meleset dan si
kumis selamat. Kalau saja Bok Liong tidak dalam keadaan selemah itu, kiranya
belum tentu pukulan jarak jauh ini akan dapat menggagalkan tusukannya tadi.
Bok Liong benar-benar nekat dan keras hati. Ia terlempar
ke kiri dan jatuh, akan tetapi cepat ia meloncat bangun dan kali ini dengan
pedangnya ia menyerang Hek-giam-lo! Ia memang terluka dan lemah, namun jurus
serangannya adaiah jurus serangan ilmu silat tinggi, dan pedangnya adalah
pedang pusaka, maka serangan itu tak boleh dipandang ringan. Kalau lawan biasa
saja tentu sukar terlepas daripada bahaya serangan ini. Akan tetapi sayang
bahwa kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil mendengus panjang,
iblis ini menggerakkan senjatanya yang aneh diputar menyilaukan mata. Terdengar
suara nyaring entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Bok Liong terlempar ke dalam
sungai. ˜Byurrrrr!! Air muncrat tinggi-tinggi dan pemuda itu gelagapan, dengan
susah payah berusaha berenang ke tepi. Orang-orang Khitan tertawa bergelak
ketika mereka berada di atas perahu dan perahu itu meluncur menurutkan aliran
air sungai, meninggalkan Bok Liong yang masih gelagapan dan berenang ke
pinggir.
˜Lin-moi..! Jangan khawatir, aku akan menyusulmu..!!
Suara Bok Liong ini terdengar oleh Lin Lin yang berada di atas perahu, dan
makin gemaslah hati Lin Lin kepada Suling Emas mengapa sampai begitu lama belum
juga datang menolongnya sehingga Bok Liong harus mengalami derita yang demikian
hebatnya. Tak tega lagi hatinya, maka ia lari memasuki pondok perahu,
membanting diri di atas pembaringan yang disediakan untuknya, lalu menangis.
Tiba-tiba ia melihat benda bersinar dan ia segera meraih
tongkat itu. Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu yang selama ini memang
menjadi benda permainannya. Sebetulnya, sebentar saja ia sudah bosan dengan
tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini yang agaknya akan membawa ia
bertemu kembali dengan Suling Emas, maka ia selalu main-main dengan tongkat
itu. Ia merasa yakin bahwa Suling Emas pasti akan mengejar Hek-giam-lo untuk
merampas kembali tongkat ini.
Ia meraba-raba tongkat itu. Baru sekarang ia
memperhatikan tubuh tongkat, yang ternyata diukir-ukir indah. Tongkat itu
sebesar lengannya, makin ke bawah makin kecil dan pada kepalanya terdapat
mutiara-mutiara ya-beng-cu itu. Ketika Lin Lin menekan sana-sini, tanpa sengaja
ia menekan bagian bawah dan tiba-tiba terdengar bunyi ˜klikkk!! dan bagian
tengah tongkat itu bergerak memanjang! Lin Lin merasa heran sekali.
Ketika diperiksanya bagian ini, ternyata bagian tengah
tongkat itu bersambung, akan tetapi sambungannya diatur demikian rupa sehingga
takkan dapat diketahui begitu saja. Agaknya tersentuh kunci pembuka sambungan
itu maka otomatis sambungannya menjadi memanjang. Lin Lin menarik kedua ujung
tongkat dan benar saja, tongkat itu kini menjadi dua potong. Bagian atas
sebagai tutupnya dan bagian bawah sebagai wadah yang ternyata berlubang sebelah
dalamnya. Dengan amat hati-hati Lin Lin memeriksa, mengetuk-ngetukkan kedua
potongan tongkat yang berlubang itu dan keluarlah gulungan-gulungan kertas
tipis dari dalamnya.
Dengan hati berdebar-debar Lin Lin memeriksa. Kiranya
kertas-kertas bergulung itu ada tiga belas lembar banyaknya, lebarnya sekaki
persegi dan penuh dengan tulisan kecil-kecil yang indah. Lin Lin cepat
membacanya dan alangkah girang dan tegang hatinya ketika membaca pelajaran ilmu
silat aneh yang didahului dengan latihan samadhi yang aneh pula, karena di situ
diterangkan bahwa untuk latihan ini orang harus bertelanjang bulat. Memang
semua aliran menganjurkan bahwa di waktu samadhi, orang harus mengenakan
pakaian yang longgar, jangan ada yang menekan agar kedudukan tubuh menjadi enak
dan jalan darah tidak terganggu, dan memang harus diakui bahwa yang terbaik
adalah bertelanjang bulat.
Akan tetapi pelajaran ini mengharuskan orang bertelanjang
bulat dalam latihan ini, sungguh merupakan hal yang aneh dan luar biasa. Akan
tetapi, karena hatinya amat ingin dapat membebaskan diri dari tangan
Hek-giam-lo. Lin Lin berpengharapan bahwa ilmu ini merupakan ilmu mujijat yang
akan dapat menolong dirinya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka semua
pakaiannya, lalu berjungkir balik dan bersamadhi dalam keadaan aneh ini, kepala
di bawah kaki di atas seperti yang dianjurkan di dalam gulungan kertas pertama.
Beberapa menit kemudian ia merasa kepalanya pening, akan
tetapi ia memaksa diri, mendesak hawa sin-kang ke bagian menurut petunjuk dan..
sepuluh menit kemudian kakinya yang berada di atas itu terbanting ke bawah
karena gadis ini sudah menjadi pingsan!
Kebetulan sekali tubuhnya yang tak berpakaian lagi itu
menimpa tongkat dan gulungan kertas sehingga tidak tampak dari luar.
Kalau saja keadaannya tidak seaneh itu, agaknya Lin Lin
akan menimbulkan kecurigaan Hek-giam-lo. Dua kali anak buah Hek-giam-lo
mengetuk pintu pondok untuk mempersilakan dia keluar makan, dan dua kali itu
tidak ada jawaban dari dalam pondok. Akhirnya Hek-giam-lo sendiri mendekati
pintu pondok. Dengan perlahan didorongnya pintu dan ia menjenguk ke dalam. Dari
dalam kedoknya iblis ini mendengus, lalu menutupkan kembali pintu pondok dari
luar, kemudian memesan kepada semua anak buahnya agar jangan mengganggu tuan
puteri yang sedang tidur nyenyak. Betapapun juga, gadis itu akan diperisteri
oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo tidak suka mengganggunya. Apalagi
gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini tidur dalam keadaan telanjang
bulat, tentu saja tidak boleh dilihat anak buahnya. Seorang gadis yang menjadi
calon permaisuri mana boleh dilihat oleh anak buahnya dalam keadaan tak
berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak curiga, apalagi memang hawa pada
siang hari itu amat panas.
Lin Lin siuman kembali dan cepat-cepat ia berpakaian. Ia
maklum bahwa ilmu yang tertulis di dalam gulungan kertas itu merupakan ilmu
mujijat yang luar biasa. Ia dapat menduga bahwa mempelajari ilmu ini tidak
boleh secara serampangan belaka, maka ia mengambil keputusan untuk membacanya
dengan teliti dan tidak akan melatihnya sebelum ia mengerti benar inti sarinya.
Tentu saja Lin Lin tidak tahu kerena kertas-kertas itu dahulu ditulis oleh
pendiri Beng-kauw, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Telah diceritakan di bagian depan yang menyinggung
sedikit akan keadaan ketua Beng-kauw pertama itu dengan puterinya, yaitu
mendiang Tok-siauw”kui Liu Lu Sian. Lu Sian mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga
Pusaka) yang menjadi pegangan ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu
kesaktian Pat-jiu Sin-ong boleh dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak
perempuannya sendiri yang murtad (baca ceritaSuling Emas). Karena inilah maka
diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan mujijat yang seluruhnya
berjumlah tiga belas macam dan secara rahasia ia tulis dan ia sembunyikan di
dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu gaib ini ia ciptakan dengan susah payah
selama tiga belas tahun dan merupakan ilmu yang berat dan dalam.
Inilah sebabnya mengapa begitu melatih samadhi menurut
petunjuk ilmu ini seketika Lin Lin menjadi pingsan! Baiknya Lin Lin dapat
mengenal ilmu sejati, dan dengan tekun mempelajarinya secara diam-diam. Setelah
hafal betul dan tahu bagaimana harus bersikap dalam latihan samadhi yang aneh
itu, kini ia hanya berlatih samadhi di waktu malam dan sengaja ia menggelapkan
kamar dan menutupi mutiara ya-beng-cu agar tidak mengeluarkan sinar. Baru
berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan hebat dalam dirinya.
Hawa sakti yang amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam dadanya dan
berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat menahannya. Akan tetapi berkat
petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya, ia dapat mengatur dan
menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di pusar. Kemudian ia mulai
mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas buah banyaknya.
Tidaklah mudah untuk mempelajari ilmu yang diciptakan
selama tiga belas tahun ini apalagi ilmu tingkat tinggi. Baiknya Lin Lin pernah
menerima petunjuk dan gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin sehingga sedikit banyak
ia telah memiliki dasar untuk ilmu silat tingkat tinggi. Biarpun dengan susah
payah dan sukar sekali, namun kecerdikannya membuat ia lambat-laun dapat pula
memetik buahnya.
Semenjak mendapatkan kertas gulungan pelajaran rahasia
yang kalau sudah baca ia simpan kembali ke dalam tongkat, Lin Lin bersikap
tenang dan tidak lagi memaki-maki atau nekat mencari jalan pembebasan. Ia
maklum bahwa untuk dapat bebas, ia harus dapat mengalahkan Hek-giam-lo dan
untuk mencapai hal ini adalah tidak mudah. Tak mungkin ia dapat mengalahkan
orang sakti itu walaupun ia sudah mempelajari ilmu mujijat yang baru dilatihnya
beberapa hari lamanya dan masih mentah. Ia ingin memperdalam ilmu ini, kalau
perlu ia akan ikut terus sampai ke Khitan dan akan mencari jalan keluar agar
supaya kehendak Kaisar Khitan atau pamannya itu ditangguhkan. Setelah ilmu itu
ia fahami benar-benar, nah, baru ia akan melarikan diri menggunakan ilmu baru
ini untuk menghadapi dan menghalau penghalang.
***
Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh
tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam itu. Pendekar sakti ini menjadi serba
bingung. Lari terus dari orang-orang yang berkepandaian tinggi ini merupakan
hal yang amat sukar, bahkan tidak mungkin karena mereka itu rata-rata memiliki
gin-kang dan ilmu lari cepat yang mencapai tingkat tinggi. Berhenti dan
melawan, boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka dengan mengandalkan
ilmu-ilmunya, terutama ilmu kesaktian yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Akan
tetapi kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam pertempuran sehingga ia dapat
lolos, jalan satu-satunya hanya merobohkan mereka dan justeru hal ini yang
tidak ia kehendaki.
Mereka itu adalah orang-orang yang dibikin sakit hati
oleh mendiang ibunya, yang kini menuntut keadilan dan menuntut balas kepadanya.
Kalau ia merobohkan mereka, melukai apalagi membunuh, hal itu benar-benar tidak
patut dan berarti ia menambah dosa-dosa yang agaknya sudah ditumpuk oleh
ibunya. Berpikir demikian, makin sedih hatinya dan hampir saja ia menyerah,
hampir timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan menyerahkan nyawa
di tangan mereka!
Akhirnya Suling Emas terpaksa berhenti di sebuah lapangan
rumput di lereng bukit. Lari terus tiada gunanya lagi, juga hal ini akan
membuat ia makin jauh dari kedua orang adiknya yang sudah melarikan diri ke
jurusan timur karena ia sendiri lari ke arah barat. Dengan mengangkat sulingnya
tinggi-tinggi ia berseru.
˜Tahan, aku hendak bicara!!
Dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah tiba di
depannya. Sebagian daripada mereka terengah-engah karena untuk beberapa lama
melakukan pengejaran dengan pengerahan gin-kang sepenuhnya.
˜Kau mau bicara apa lagi, Suling Emas?! bentak Cheng San
Hwesio tokoh Siauw-lim-pai sambil melintangkan tongkat hwesio di depan dadanya.
˜Kau yang terkenal sebagai seorang pendekar muda yang
sakti, ternyata hanyalah seorang pengecut yang berlari-lari menyelamatkan diri.
Hemmm..!
˜Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya, anak tidak akan
jauh bedanya dari ibu kandungnya. Ibunya pengecut, melakukan kejahatan lalu
bersembunyi puluhan tahun, mana anaknya tidak pengecut pula?! kata Kok Seng Cu,
tokoh Hoa-san-pal sambil menudingkan pedangnya ke arah Suling Emas. Yang
lain-lain ikut pula bicara sehingga ramailah di situ, hiruk-pikuk. Suling Emas
melihat betapa gadis baju hijau yang berada di barisan terdepan, yang tidak
terengah-engah tanda bahwa gin-kangnya mencapai tingkat tinggi, tidak berkata
apa-apa, malah menundukkan muka dan kadang-kadang saja mengerling ke arahnya
dengan sikap bingung dan ragu-ragu.
˜Cu-wi Locianpwe harap jangan terburu nafsu, sesungguhnya
aku sama sekali tidak tahu akan urusan Cu-wi dengan mendiang ibuku. Akan tetapi
percayalah, andaikata benar ibu telah melakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai
puteranya takkan mengingkarinya dan sanggup untuk mempertanggung-jawabkannya.
Akan tetapi, ada dua hal yang harus dipecahkan lebih dulu.!
˜Apakah dua hal itu? Hayo bicara yang betul, jangan
plintat-plintut!! bentak Hek Bin Hosiang, si hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai
yang sudah gatal-gatal tangannya hendak mengemplang kepala putera musuh
besarnya ini dengan senjatanya. Ia memang jujur dan galak.
˜Pertama, Cu-wi begini banyak, yang masing-masing hendak
membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Ada yang hendak menawan, ada yang
hendak membunuh. Mana mungkin hal ini dapat dilakukan? Kedua, biarpun Cu-wi
semua mempunyai cerita masing-masing yang menuduhkan kejahatan-kejahatan kepada
mendiang ibuku, bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa semua tuduhan itu benar
belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fitnah dan tidak benar adanya?!
˜Fitnah? Jelas Tok-siauw-kwi adalah iblis betina yang
jahat, musuh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Kau putera tunggalnya, kau
harus menebus dosanya setelah ia mampus, dan kita semua akan saling
memperebutkan engkau, baik mati maupun hidup!! bentak Hek Bin Hosiang sambil
menghantam dengan toya baja di tangannya. Hantaman toya baja ini luar biasa
kerasnya karena selain toya baja itu sendiri beratnya lebih dari seratus kati,
juga tenaga hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai ini melebihi gajah! Terdengar angin
bersiutan ketika toya itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar hitam
menyambar kepala Suling Emas!
˜Syuuuuur!! Pita rambut yang panjang berwarna hitam itu
berkibaran ketika toya baja menyambar lewat di atas kepala Suling Emas yang
sudah merendahkan tubuh mengelak. Namun toya itu membuat gerakan membelok dan
meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar dengan lebih kuat lagi. Kini yang
diterjang adalah punggung Suling Emas. Pendekar sakti ini cepat menotolkan
ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke atas membiarkan toya itu
menyambar lewat di bawah kakinya. Sebelum tubuhnya turun, Suling Emas sudah
menggerakkan sulingnya ke belakang dan kipasnya ia kebutkan ke kiri karena pada
saat itu ia telah diserang dari dua fihak oleh lawan yang lain!
Terdengar bunyi nyaring ketika pedang di tangan Kok Seng
Cu tokoh Hoa-san-pai itu tertangkis suling. Kok Seng Cu melompat ke belakang
dengan kaget dan kagum. Ia seorang tokoh Hoa-san-pai tingkat dua, lwee-kangnya
sudah mencapai tingkat tinggi, akan tetapi benturan pedangnya dengan suling itu
membuat telapak tangannya panas. Lebih kaget lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh
Siauw-lim-pai, karena tongkat hwesionya yang ia pukulkan ke arah kepala,
tiba-tiba menyeleweng ketika dikebut oleh kipas di tangan Suling Emas. Tentu
saja hwesio tua ini menjadi penasaran dan juga kaget sekali. Tenaga pukulannya
dengan tongkat itu mendekati tiga ratus kati, bagaimana dapat dikebut begitu
saja oleh sebuah kipas dan menjadi meleset?
Suling Emas menarik napas panjang mengumpulkan sin-kang
dan menggetarkan sulingnya sambil mengebut-ngebutkan kipasnya karena pada saat
itu, hujan senjata menyerangnya dari segenap penjuru. Terdengar bunyi nyaring
dan semua senjata itu dapat ia pentalkan mundur oleh getaran sulingnya,
sedangkan yang lain dapat dikebut menceng oleh kipasnya. Ia kembali mengeluh
dalam hatinya. Sedih ia melihat sikap orang-orang kang-ouw ini yang amat
membencinya, yang ingin melihat ia roboh, melihat ia mati, memperlakukannya
seolah-olah ia seorang penjahat besar yang keji dan patut dibasmi! Mengingat
akan hal ini, melihat sinar kebencian berpancaran dari mata mereka, Suling Emas
tak dapat menahan kesedihannya, tak dapat lagi ia mengangkat senjata melawan
mereka dan setelah memutar sulingnya dengan gerakan memanjang sehingga sinar
senjata ampuh ini berubah menjadi pelangi memanjang yang membuat para
pengeroyoknya berlompatan mundur, Suling Emas lalu membalikkan tubuhnya dan
melarikan diri lagi!
˜Pengecut, jangan lari! Begitu sajakah nama besar Suling
Emas? Kini merasa takut dan lari terbirit-birit?! seru Kok Seng Cu tokoh
Hoa-san-pai sambil mengejar, nada suaranya penuh ejekan.
˜Ho-ho-ho! Putera tunggal Tok-siauw-kui yang jahat dan
keji mana bisa menjadi orang gagah? Tentu licik, curang dan pengecut!! It-gan
Kai-ong tertawa sambil mengejar paling depan.
˜It-gan Kai-ong! Kalau kau menghendaki bertempur, hayo
kita mencari tempat. Jangan kira aku takut padamu, memang aku masih ada
perhitungan denganmu yang belum diselesaikan.!
˜Ha-ha-ho-ho! Kau menantang sambil berlari! Bilang saja
kau takut!!
Memang Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh
banyak orang. Ejekan It-gan Kai-ong memanaskan perutnya, akan tetapi ia cukup
maklum bahwa ejekan yang dikeluarkan oleh pengemis tua mata satu itu
sekali-kali bukanlah merupakan tantangan si pengemis sakti, melainkan merupakan
akal bulus untuk mencegahnya melarikan diri dan memaksanya menghadapi
pengeroyokan begitu banyak tokoh kang-ouw.
˜Gembel busuk, aku sama sekali tidak takut menghadapi
pengeroyokan, aku hanya tidak mau melayani mereka!!
˜Ha-ha-ho-ho, akal bulus!! It-gan Kai-ong tertawa, akan
tetapi biarpun hatinya mendongkol, Suling Emas melanjutkan larinya. Para
pengejarnya juga mengerahkan gin-kang dan mulai menghujankan senjata rahasia
lagi, didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling Emas berhasil menyelamatkan diri
dengan memutar suling di belakang tubuhnya dan berloncatan ke depan secara
berbelok-belok ke kanan kiri.
Mendadak pendekar sakti itu berseru kaget dan terpaksa
menghentikan larinya. Daerah ini belum dikenalnya dan ia sama sekali tidak
mengira bahwa tadi ia melarikan diri ke jurusan yang buntu! Kini di depannya
terbentang jurang yang amat dalam dan luas, lebarnya lebih dari seratus meter
dan dalamnya tak dapat diukur lagi. Ia telah masuk perangkap, di depannya
menghalang jurang yang tak mungkin dapat dilampaui, di belakangnya mengejar
puluhan orang yang merupakan lawan-lawan berat dan terutama sekali, merupakan
lawan yang tak ingin ia hadapi bukan karena takut melainkan karena enggan.
˜Ha-ha-ha, sekarang tamatlah riwayatmu, Suling Emas!!
It-gan Kai-ong melompat maju dan menerjang dengan pukulan dahsyat. Karena
diantara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan Kai-ong merupakan orang
yang tingkat kepandaiannya paling tinggi, maka gembel iblis ini dapat menyerang
lebih dulu daripada orang lain. Serangan dahsyat sekali kedua tangannya
melontarkan pukulan dengan hawa pukulan jarak jauh sedangkan tangan kanannya
menghantamkan tongkatnya ke arah kepala. Sukar untuk dikatakan mana yang lebih
berbahaya, karena sesungguhnya pukulan tangan kiri itu, biarpun jaraknya jauh
dan tidak akan langsung mengenai kulit lawan, namun bahayanya tidak kalah oleh
kemplangan tongkat pada kepala.
Namun Suling Emas cepat menangkis tongkat dengan
sulingnya dan mengebut hawa pukulan beracun tangan kiri lawan itu dengan
kipasnya, malah kakinya digeser ke depan, kemudian kipas yang tadinya
menghembus hawa pukulan lawan terus menyelonong ke depan dan digetarkan
sedemikian rupa sehingga kedua ujungnya berturut-turut menotok jalan darah
kin-teng-hiat di pundak kiri dan tiong-cu-hiat di leher! It-gan Kai-ong
terkejut sekali. Hampir saja totokan pada pundak itu mengenai sasaran. Ia cepat
miringkan tubuh dan totokan ke dua ke arah lehernya itu ia papaki dengan air
ludah! Sudah terkenal di dunia persilatan bahwa It-gan Kai-ong memiliki ilmu
kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang terkena air ludah yang
keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air ludahnya,
lawan yang kurang kuat akan tewas! Tentu saja penggunaan air ludah ini cukup
kuat untuk menangkis kipas yang menotok leher.
Di lain fihak, Suling Emas tidak sudi membiarkan kipasnya
terkena ludah kakek menjijikkan itu, maka terpaksa ia menarik sedikit kipasnya
dan mengerahkan tenaganya mengebut. Air ludah itu terkena kebutan kipas
membalik dan menyambar muka It-gan Kai-ong sendiri! Akan tetapi kakek ini
membuka mulutnya dan menerima kembali air ludahnya dengan mulut.
˜Kawan-kawan, hayo tangkap putera iblis keji
Tok-siauw-kui ini sebelum ia sempat melarikan diri!! teriak It-gan Kai-ong yang
diam-diam merasa gentar juga menghadapi pendekar yang lihai itu. Memang para
tokoh kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap menerjang, maka tanpa
menanti komando ke dua lagi mereka beramai-ramai terjun ke gelanggang
pertempuran dan sibuklah Suling Emas menggerakkan sepasang senjatanya untuk
menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat lowongan-lowongan yang
kalau mau dapat dimasukinya dan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Akan
tetapi justeru hal ini yang tidak ia kehendaki, maka ia menjadi terdesak hebat
dan tidak melihat jalan keluar lagi. Jalan keluar ke arah kebebasan hanya
melalui jalan darah, yaitu dengan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Bingunglah hati Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang di antara mereka
tak mungkin ia bisa lolos kali ini. Hanya kepada It-gan Kai-ong seorang ia mau
balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan kakek itu, sedangkan yang lain
adalah tokoh-tokoh yang ia dengar namanya sebagai tokoh-tokoh terhormat yang
bernama baik. Akan tetapi balasan serangannya kepada It-gan Kai-ong tidak ada
artinya lagi karena ia hanya dapat mempergunakan sepersepuluh bagian saja
daripada perhatiannya yang harus ia pergunakan untuk menangkis dan menghindar
daripada serbuan lawan.
Dalam kesibukannya mempertahankan dirinya ini,
teringatlah Suling Emas akan segala pengalamannya. Mulai menyesallah hatinya
mengapa semenjak dahulu ia membenci ayah kandungnya yang ia sangka
menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa selama itu, sampai ayahnya mati,
tak pernah ia pulang, tak pernah ia berbakti kepada ayahnya yang ternyata
adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya.. ah, kini ia harus menebus
dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang tidak berbakti kepada ayah kandung!
Hatinya menjadi sedih, perlawanannya mengendur karena semangatnya menurun.
Kesedihan hatinya mendorongnya untuk meloncat saja ke dalam jurang di
belakangnya, meninggalkan para pengeroyoknya, meninggaikan dunia ini,
meninggalkan mereka yang dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya di dunia
ini? Ada memang, akan tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang dicintanya
sudah menjadi isteri orang lain!
Akan tetapi jiwa satria di dalam dirinya melarangnya
membunuh diri begitu saja. Seorang gagah tidak boleh mati secara konyol,
sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung senjata lawan daripada mati
menceburkan diri ke dalam jurang begitu saja! Oleh karena ini, semangatnya
timbul kembali dan Suling Emas tiba-tiba ingat akan ilmu yang ia dapat dari Bu
Kek Siansu. Ilmunya yang sakti, Hong-in-bun-hoat jika ia pergunakan, maka akan
berubah menjadi ilmu pedang yang dimainkan dengan senjata sulingnya, dan ia
tidak mau menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu akan merobohkan para
pengeroyoknya. Ia teringat akan Ilmu Kim-kong-sin-im (Suara Sakti Sinar Emas)
yang lebih menyerupai ilmu musik! Karena sudah tidak ada jalan lain, Suling
Emas meloncat jauh ke kiri lalu menyimpan kipasnya dan menempelkan suling pada
bibirnya.
Terdengarlah suara yang aneh, mengalun tinggi. Para
pengeroyoknya sejenak terhenyak kaget dan kesempatan ini dipergunakan oleh
Suling Emas untuk duduk bersila, mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menutup
sulingnya, menyanyikan lagu yang indah dan aneh! Karena menghadapi orang-orang
kang-ouw yang memiliki nama besar sebagai orang-orang gagah perkasa, secara
otomatis Suling Emas yang menjadi ahli dalam soal kesusastraan dan nyanyian
kuno, segera mainkan lagu MENGABDI TANAH AIR yang bersifat menggugah semangat
kebangsaan dan kepatriotan.
Memang nyanyian itu hanyalah sebuah lagu akan tetapi
jangan dikira bahwa suara suling yang nyaring merdu itu adalah suara biasa
saja. Suara itu mengandung suara sakti yang disalurkan dengan sin-kang
sepenuhnya. Mula-mula para pengeroyok itu berdiri melongo dan sejenak menahan
gerakan, akan tetapi beberapa detik kemudian, beberapa orang di antara mereka
yang kurang kuat sin-kangnya, terguling dengan tubuh lemas dan gemetaran. Suara
itu mempunyai pengaruh yang luar biasa besarnya, membuat mereka merasa terharu,
malu kepada diri sendiri, dan menghapus semangat mereka untuk bertanding
melawan bangsa sendiri, malah sekaligus melumpuhkan kaki tangan mereka. Akan
tetapi orang-orang seperti It-gan Kai-ong, Hek Bin Hosiang, Cheng San Hwesio
dan lain-lain yang cukup kuat sin-kangnya, tentu saja tidak gampang menjadi
roboh. Betapapun juga, mereka terpengaruh dan terpaksa mereka harus mengerahkan
sin-kang untuk melawan pengaruh suara aneh yang mendebarkan jantung mereka itu.
Ada sembilan orang tokoh kang-ouw yang tidak roboh oleh
suara suling itu. Yang lain, ada yang roboh terguling dengan lemas, ada yang
terpaksa harus bersila dan mengumpulkan tenaga untuk melawan arus hawa sakti
yang mempengaruhi mereka, akan tetapi tak seorang pun yang terluka di sebelah
dalam oleh suara ini karena memang Suling Emas tidak bermaksud melukai mereka.
Hebat memang ilmu ini, dan kiranya di dalam dunia pada masa itu, jarang ada
yang memiliki ilmu sehebat ini. Dahulu ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong
sendiri belum tentu dapat mengeluarkan suara yang merobohkan puluhan orang
sekaligus, dan membuat seorang tokoh seperti It-gan Kai-ong sampai harus
mengerahkan tenaga dan tidak bergerak selama sepuluh menit! Inilah kehebatan
Kim-kong-sin-im yang didapatkan Suling Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu.
Padahal ilmu ini belum lama ia dapat dan belum matang betul ia latih.
Setelah berdiam diri tak bergerak selama sepuluh menit,
mengumpulkan sin-kang untuk melawan pengaruh suara suling yang merampas
semangat dan melumpuhkan urat syaraf, perlahan-lahan It-gan Kai-ong dan delapan
orang tokoh lain mulai menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah mereka maju,
senjata siap di tangan, makin mendekati Suling Emas yang masih terus meniup
suling, mencurahkan perhatiannya kepada permainan sulingnya sehingga boleh
dibilang ia tidak mengetahui bahwa ada sembilan orang yang tidak terpengaruh
oleh Kim-kong-sin-im dan yang kini makin mendekatinya dengan ancaman maut.
Makin dekat dengan Suling Emas, pengaruh Kim-kong-sin-im
makin kuat sehingga sembilan orang tokoh itu menjadi tertahan-tahan langkahnya,
bahkan tiga orang di antara mereka terpaksa berhenti melangkah setelah berada
dekat, tinggal enam langkah lagi dari tempat Suling Emas duduk. Pengaruh
Kim-kong-sin-im demikian hebatnya sehingga tiga orang ini merasa tubuh mereka
bergoyang dan kedua kaki demikian lemas dan berat tak dapat digerakkan lagi.
Terpaksa mereka tinggal berdiri dan mengerahkan sin-kang agar tidak terguling
roboh. Enam orang lain, didahului oleh It-gan Kai-ong, masih dapat melangkah
maju sungguhpun hanya dengan lambat dan sukar. Akan tetapi, jangankan sampai
ada enam orang, baru It-gan Kai-ong seorang saja kalau pada saat itu dapat
menyerang Suling Emas, tentu akan berhasil menewaskan pendekar ini karena pada
saat itu Suling Emas seakan-akan berada dalam keadaan terbuka, tak terjaga sama
sekali.
Enam orang itu tidak melangkah lagi kini, hanya dapat menggeser
kaki maju, sedikit demi sedikit It-gan Kai-ong dengan mata bersinar-sinar maju
paling dulu, tongkatnya sudah ia angkat ke atas, siap untuk menghantam kepala
musuh lamanya itu. Hatinya sudah merasa girang sekali karena ia akan merasa
aman kalau musuh yang paling berat ini tewas. Pada saat itu, tiba-tiba
terdengar suara orang bernyanyi, mengikuti suara suling dan suara ini amatlah
lembut akan tetapi kedengaran bersemangat sekali.
˜Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan
negara, itulah paling mulia)!!
It-gan Kai-ong yang sudah mengangkat tongkatnya, terkejut
sekali. Apalagi setelah tiba-tiba terdengar suara yang-kim yang nyaring
mengiring lagu yang dimainkan oleh Suling Emas, terjadilah hal yang luar biasa.
Enam orang itu serta-merta menjatuhkan diri dan duduk bersila, meramkan mata
dan mengendalikan semangat mereka yang terbawa melayang-layang oleh lagu yang
diciptakan oleh suara suling dan yang-kim. Tak mampu lagi mereka bergerak,
apalagi menyerang, lenyap sama sekali nafsu bertempur. Juga semua orang yang
tadinya berada di bawah pengaruh suara suling, kini dapat menarik napas lega
karena gabungan suara suling dan yang”kim ini, biarpun membuat mereka terpesona
dan tak dapat bergerak, namun amat enak dan menyenangkan hati dan pikiran,
membuat mereka merasa seperti melayang-layang di angkasa dan menciptakan
pandangan tentang pahlawan-pahlawan pembela tanah air. Mereka seakan-akan mimpi
tentang dongeng akan pahlawan-pahlawan yang paling mereka kagumi!
Perlahan-lahan gabungan suara musik itu lenyap. Keadaan
menjadi sunyi kembali sungguhpun gema suara ajaib tadi masih terngiang di dalam
telinga. Semua orang membuka mata dan meloncat berdiri, seakan-akan baru bangun
daripada tidur nyenyak. Kiranya di dekat Suling Emas yang masih duduk bersila
di atas tanah, terdapat seorang kakek tua renta yang juga duduk bersila.
Seorang kakek yang berpakaian sederhana, berambut panjang sudah putih semua,
juga kumis dan jenggotnya sudah putih. Akan tetapi di balik kesederhanaannya
ini terpancar cahaya keagungan yang amat berwibawa. Pada punggungnya tersembul
keluar sebuah alat musik yang-kim. Wajahnya yang cerah itu membayangkan
keramahan, kesabaran dan pengertian yang mendalam dan luas, yang memaksa orang
memperoleh kesan baik dan menghormatnya.
Akan tetapi begitu It-gan Kai-ong mengenal kakek itu, ia
berjingkrak marah dan berkata kasar,
˜Bu Kek Siansu! Kau berat sebelah! Percuma saja kau
disebut-sebut manusia dewa yang selalu melepas budi kebaikan kepada siapapun
juga tanpa memilih bulu dan dianggap tokoh yang tak sudi lagi terikat oleh
segala urusan duniawi. Akan tetapi apa buktinya sekarang? Kau membantu Suling
Emas menghadapi kami semua dengan ilmu sihirmu!!
Semua tokoh yang hadir di situ terkejut bukan main
mendengar disebutnya nama Bu Kek Siansu. Nama ini menjadi pujaan semua tokoh
kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua tokoh kang-ouw mengharapkan bertemu
dengan kakek manusia dewa ini karena konon kabarnya setiap tahun apabila
bertemu dengan orang, kakek ini berkenan memberikan satu dua macam ilmu
kesaktian yang jarang tandingannya di dunia ini. Sekarang secara tiba-tiba
kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan Kai-ong, semua orang kini
memandang kakek itu untuk mendengar jawabannya.
Kakek itu tersenyum ramah, menarik napas panjang, lalu
bangkit berdiri dengan gerakan perlahan. Suling Emas juga bangkit berdiri dan
tanpa mengeluarkan kata-kata ia berdiri di sebelah kiri kakek itu sambil
menundukkan muka dan dengan sikap menghormat.
˜It-gan Kai-ong, bersabarlah dan hembuskan semua hawa
nafsu yang meracuni hatimu,! kata Bu Kek Siansu, suaranya tetap sabar dan
tenang serta ramah,
˜Aku tidak pilih kasih, tidak pula melepas budi kepada
siapapun juga dan tidak mengikat diri dengan dunia. Aku tidak membantu Suling
Emas, melainkan mencegah pembunuhan orang yang tidak berdosa. It-gan Kai-ong,
andaikata kau orangnya yang kena fitnah seperti Suling Emas dan akan dibunuh
kemudian kebetulan aku lewat dan melihatnya, sudah tentu aku pun akan berusaha
mencegah pembunuhan itu.!
˜Uuhhh, pemutaran lidah! Tua bangka yang pura-pura suci!!
It-gan Kai-ong memaki-maki, akan tetapi yang dimaki malah tersenyum-senyum
sehingga akhirnya kakek pengemis itu menjadi jengah sendiri dan menghentikan
makiannya, menoleh kepada orang banyak dan berkata,
˜Kawan-kawan sekalian mendengar omongannya yang busuk
itu. Sudah terang Suling Emas putera tunggal Tok-siauw-kui yang telah berbuat
banyak kejahatan, sudah jelas Suling Emas yang harus menebus dosa ibu
kandungnya, kakek sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa.
He, Bu Kek Siansu, tua bangka keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu
Suling Emas, si wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak berdosa?!
˜It-gan Kai-ong, tutup mulutmu yang busuk dan kalau
memang kau mencari lawan, boleh lawan aku sampai seribu jurus. Kau mengandalkan
kesabaran Siansu lalu melontarkan makian dan hinaan, hemmm, sungguh tak tahu
malu!! Suling Emas tiba-tiba berseru marah kepadanya.
˜Ho-ho-ha-ha! Kawan-kawan lihatlah baik-baik, tadi dia
tunggang-langgang melarikan diri, sekarang setelah ada pembelanya menjadi galak
dan sombong! Suling Emas, kau boleh menunggu giliran, sekarang kami berurusan
dengan kakek tua bangka mau mampus ini. He, Bu Kek Siansu, kau jawablah!!
Sukarlah mencari orang yang sudah sedemikian teguh
jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki dan dihina seperti ini, sama sekali tidak
marah, bahkan sedikit pun ia tidak berpura-pura sabar. Di bagian depan dari
cerita ini sudah dituturkan betapa ia dicurangi oleh Hek-giam-lo, It-gan
Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang tidak saja berusaha membunuhnya, akan tetapi
juga merampas kitab dan yang-kim, namun sama sekali kakek dewa ini tidak
menaruh dendam atau marah. Kini pun, dimaki oleh gembel iblis itu, ia hanya
tersenyum, wajahnya tetap cerah, pandang matanya tetap penuh kasih.
˜It-gan Kai-ong, aku tidak mau bilang bahwa selama
hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tak pernah berbuat dosa. Akan tetapi,
agaknya lebih baik sering kali kena fitnah daripada sungguh-sungguh berdosa.
Tentu saja aku tidak tahu akan semua urusannya, akan tetapi ada beberapa urusan
yang kuketahui benar. Sebagian besar daripada kalian yang kini menumpahkan
dendam kepada Suling Emas, ternyata telah melontarkan fitnah yang tidak
disengaja karena mungkin tidak tahu, akan tetapi aku banyak mengetahui
urusannya dan sama sekali tidak boleh terlalu disalahkan kepada Tok-siauw-kui
Liu Lu Sian, apalagi pada puteranya ini.!
Ucapan kakek ini bukan hal aneh karena memang semua orang
sudah mendengar belaka akan sepak terjang yang aneh dan luar biasa dari kakek
Bu Kek Siansu. Kalau kakek ini mengetahui akan semua urusan di dunia kang-ouw,
hal itu tidaklah mengherankan. Semenjak puluhan tahun yang lalu, nama Bu Kek
Siansu terkenal mengatasi semua nama-nama besar seperti nama Pat-jiu Sin-ong
tokoh Beng-kauw, atau pun Kim-mo Taisu si manusia emas yang menggemparkan
kolong langit (baca ceritaSuling Emas).
Kali ini, orang tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu
tahu pula akan urusan Tok-siauw-kui, akan tetapi pernyataan Bu Kek Siansu bahwa
Tok-siauw-kui tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa penasaran di hati
banyak tokoh yang mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan
dendamnya kepada putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng San
Hwesio segera melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan berkata lantang.
˜Omitohud! Benar-benar pinceng yang sudah tua dan tak
lama lagi berada di dunia, mendapat berkah besar dengan perjumpaan ini! Telah
puluhan tahun mendengar nama besar yang mulia dari Bu Kek Siansu dan pinceng
hendak menggunakan kesempatan baik ini untuk mohon petunjuk. Siansu yang
dimuliakan, dua puluh tahun lebih yang lalu, seorang janda muda telah membunuh
tiga orang suhengku dari Siauw-lim-pai, kemudian menculik seorang suteku yang
kemudian lenyap tak tentu rimbanya. Janda muda yang cantik dan berwatak iblis
itu bukan lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, puteri dari ketua Beng-kauw.
Mohon petunjuk Siansu, apakah dalam urusannya dengan fihak Siauw-lim-pai ini
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tidak bersalah?!
Si kakek tua renta mengangguk-angguk,
˜Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui
pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh
karena itu aku banyak tahu akan urusannya.! Ia menarik napas panjang dan
mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua keributan ini (baca
ceritaSuling Emas). Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui.
Hwesio yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan
berdisiplin. Kematian tiga orang suhengmu dalam pertandingan melawan Tok-siauw-kui
adalah karena tiga orang suhengmu kalah pandai. Adapun yang menjadi sebabnya
adalah sutemu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui, melainkan
karena tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan gelap dengan Liu Lu Sian
sehingga hal itu membuat tiga orang suhengmu marah-marah dan hendak membunuh
sutemu. Tok-siauw-kui membela kekasihnya dan tiga orang suhengmu tewas dalam
pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biarpun dalam hal ini Tok-siauw-kui boleh
jadi mempunyai kesalahan karena berjina dengan sutemu, namun fihak
Siauw-lim-pai juga mempunyai kesalahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sutemu.
Kiranya tidak patut kalau hendak menimpakan kesalahan ini kepada putera
Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apalagi kalau diingat bahwa
kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke
manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang menjadi pokok pelajaran
agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah
daripada BENCI yang menjadi senjata setan untuk menyeret manusia ke lembah
kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah daripada CINTA KASIH yang akan
menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan.!
˜Omitohud.. kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai
gunung yang dingin menyegarkan orang kehausan. Terima kasih, Siansu. Suling
Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh kematian Tok-siauw-kui, mulai
sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!!
Hwesio ini memberi hormat kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah
lebar meninggalkan tempat itu.
˜Omitohud.. Bu Kek Siansu telah memuaskan hati Cheng San
Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap kau akan dapat memberi penerangan
pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri
kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan
kitab itu masih lenyap dari Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada
putera tunggalnya agar kitab itu dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan
patut?!
˜Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang
kehilangan mencari yang mencuri dan mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui
sudah meninggal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada
Suling Emas, ia harus mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng apakah kau
mendapat peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?!
˜Teecu tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah
mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.!
˜Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban Suling Emas untuk
membantu pihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan kepada
Go-bi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu kandung.
Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?!
˜Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?!
˜Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng
(Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung pelajaran I-kin-swe-jwe (Mengganti
Otot Mencuci Sumsum)!!
˜Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha
mencarinya dan mengembalikannya ke Go-bi-pai.!
˜Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan
mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya
ketua kami juga akan menghabiskan perkara ini, apalagi setelah Bu Kek Siansu
yang mulia menjadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di
sini.! Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Bu Kek Siansu gembira sekali.
˜Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan?
Bukankah kita dapat mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau dengan
landasan cinta kasih?!
˜Maaf.. aku..! Suling Emas mengerutkan kening dan sinar
matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau melangkah maju dan
mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis itu sebentar pucat
sebentar merah.
˜Ya, apa yang hendak kaubicarakan, Nona Muda?! Bu Kek
Siansu menenangkannya dengan kata-kata halus.
˜Maaf, Siansu..! Gadis itu memberi hormat. ˜Teecu sudah
lama mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih
hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan
tetapi ayah.. ah, ayah meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku
telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk
ayah dan mengelabuhi ayah sehingga ayah menurunkan gin-kang keluarga kami
kepada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda
terima kasih malah membunuh ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal,
kepada siapa lagi kalau bukan kepada puteranya teecu membalas? Kalau teecu
tidak membalas dendam ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang
puthauw (tidak berbakti)?! Di dalam suara gadis ini terkandung isak.
˜Nona, siapakah ayahmu?!
˜Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui..!
Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang
berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng Tan Hui sudah amat terkenal dan
mereka tadinya tidak menyangka bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini
adalah puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang
tadinya menjadi tamu di Nan-cao. Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan
mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong yang mengajak musuh-musuh
Tok-siauw-kui membalas dendam mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh
kang-ouw mengenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang
memiliki ilmu gin-kang luar biasa sekali sehingga kalau ia main pedang,
seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar
Pedang Terbang (baca ceritaSuling Emas).
˜Ahhhhh.. dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku
sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui, karena diantara semua yang
diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan jelas. Ketahuilah bahwa semenjak
meninggalkan suaminya di kaki Gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang
merebut hati Tok-siauw-kui adalah ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula.
Mereka itu saling mencinta, dan demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu
mengajarkan gin-kangnya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun
lebih yang lalu, agaknya kau masih kecil..!
˜Teecu baru berusia lima tahun ketika ayah meninggal.
Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut warisan kitab-kitab pelajaran
dari ayah..! kembali suara ini tercampur isak.
˜Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama Tok-siauw-kui dan
agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja ayahmu tidak mendengar akan
latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayahmu menjadi kecewa, lalu
mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi
cemburu, marah, terjadi percekcokan sehingga mereka bertempur yang
mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah kematian ayahmu itu bukan
semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali temalinya
dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?!
Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat.
˜..tapi..betulkah itu, Siansu..?!
˜Begitulah kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada
pamanmu atau mereka yang mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona.
Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain
di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya,
tidak mempunyai silat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah
semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang
mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau
dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia. Ayahmu
sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus
melibatkan diri dengan urusan mereka yang sudah mati?!
Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah.
Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas, kemudian dengan isak tertahan
ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah nona itu. Semua orang
menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan gin-kang yang disohorkan orang dari
keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.
˜Wah-wah, tua bangka ini menggunakan sihirnya untuk
melemahkan semangat orang!!
It-gan Kai-ong membanting-banting tongkatnya ke atas
tanah.
˜Kawan-kawan semua, kita pergi saja jangan sampai dia
sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita
laki-laki seiati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan
berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat menghentikan cita-cita
itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera
tunggal Tok-siauw-kui!!
Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jerih dan juga
sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka mendengar ucapan It-gan
Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang
pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.
Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus,
˜Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu?
Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan
kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan
hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang
muda?!
˜Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah
menyelamatkan teecu daripada bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu
lebih besar daripada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar semua
orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan
teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu
keji dan jahat hal inilah yang menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk
Locianpwe.!
˜Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi
orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau
kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain,
kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau
sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang
memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja,
seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah mahluk
yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik
atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini
orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka
disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin
senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan
keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu
merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya,
orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul prikemanusiaannya dan
melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang yang
diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi
pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat
MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian
daripada nafsunya sendiri.!
˜Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan.
Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar
nafsu sehingga akibatnya merugikan bayak orang dan menimbulkan benci. Sekarang
mereka hendak menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe,
biarpun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu
belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas
kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu.
Apakah yang teecu harus lakukan?!
Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan
yang-kim dan mulai mainkan yang-kimnya. Suling Emas cepat-cepat mengambil
sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kembali terdengar
paduan suara yang-kim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan
tetapi yang mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah
itu amat aneh.
Kadang-kadang paduan suara itu terdengar seperti badai
mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya menjadi makin sunyi karena
binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul maupun bersuara. Di lain
saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin
lalu, seperti kicau burung dan gemerciknya air anak sungai yang bening,
sehingga burung-burung di hutan itu mulai ikut berkicau, binatang-binatang
mulai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan penuh
damai.
Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu
menghilang dan dengan senyum puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas
yang masih berlutut di atas tanah.
˜Tugasmu amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia
yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya, karena tidak ada yang lebih
mulia dalam hidup ini selain menunaikan tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga
dan pikirannya yang amat dibutuhkan orang lain.!
˜Locianpwe, setelah semua tugas teecu selesai, teecu
ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa dan menjauhkan diri daripada
urusan dunia.!
˜Lamunan semua orang muda yang sedang diamuk duka
nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha, mungkin
kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!! Maka pergilah kakek itu.
Sepergi kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus
bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan
kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar
dicari bandingnya pada masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian,
juga memiliki ilmu kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada
manusia di dunia ini lebih berkuasa daripada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas
oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodohan manusia di permukaan bumi. Dan
oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta,
pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini
yang dibilang bahwa wanita itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya
gadis yang pernah ia cinta, ia sayang, seperti hatinya!
˜Ceng Ceng.. kekasihku..! terdengar ia berbisik,
merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang terluka. Terbayanglah
wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah
jelita gadis pujaan hatinya. Suma Ceng. Terbayanglah dengan amat jelasnya di
dalam ingatan, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih menjadi seorang pengawal muda
yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat
tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran itu. Masih jelas terbayang
pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar
indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma
yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan yang
digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malem atau Dewi
Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh suara
sulingnya.
˜Ceng Ceng..! kembali Suling Emas menarik napas panjang
dalam lamunannya. Teringat dan terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan
itu, betapa sinar mata mereka yang bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir
yang tak pandai berkata-kata. Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur
berantakan oleh kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang
pelajar yang tak pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan
pangeran yang menjadi majikannya! Namun betapa cinta kasih membikin ia buta
akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia tak mungkin berjodoh
dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan mabuk asmara, asyik dan masyuk,
dibuai gelora cinta kasih yang mendalam. Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan
kadang-kadang malam gelap yang menjadi saksi akan pertalian cinta kasih di
antara mereka yang makin mendalam.
Akhirnya, semua mimpi muluk berakhir. Dalam lamunannya,
Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan kekasihnya ketahuan. Ia seorang
pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum, hampir dibunuh, akhirnya ia
tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi gurunya (baca cerita Suling
Emas yang amat menarik).
˜Ceng Ceng..!! Suling Emas mengusir ingatan tentang
kesengsaraan yang dideritanya semejak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan. Ia
kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah
yang mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah
perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin! Ia mengerutkan kening, lalu
menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari
pandang matanya.
Suling Emas bangkit berdiri, sikapnva tenang, wajahnya
biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya seakan-akan menjeritkan nama itu
berkali-kali,
˜Ceng Ceng.. Ceng Ceng..!! Jeritan yang membuat ia makin
lama makin rindu kepada yang punya nama ini.
Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di
dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada di hatinya. Orang
pertama adalah ibu kandungnya, orang ke dua adalah Suma Ceng. Akan tetapi
ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan perjumpaan dengan
ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal dunia dan meninggalkan nama yang
dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap jahat. Adapun Suma Ceng, gadis yang
dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini telah
menjadi isteri orang lain! Apalagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apalagi ia
hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu, bertapa dan
mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi kakek sakti itu bilang bahwa
kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun ia takkan mau?
Semua renungan ini membuat ia merasa makin rindu kepada
Ceng Ceng yang masih hidup. Andaikata ibu kandungnya masih hidup, tentu ia akan
mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng yang sudah menjadi isteri
orang lain. Bahkan andaikata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati
ayahnya yang selama ini ia benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua
orang tuanya sudah meninggal, hanya Suma Ceng yang masih hidup.
˜Ceng Ceng.. aku harus menemuimu.. sekali lagi..!!
Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng berada! Ada memang ingatan akan
tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan dulu
tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan
tugas-tugas itu. Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke
puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas
kembali Lin Lin dari tangan orang-orang Khitan dan menyuruh tiga orang
adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apabila mungkin,
antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan
oleh Bu Kek Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi
orang lain untuk mengangkat kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari
cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya
sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.
***
Seperti sudah menjadi sifat orang-orang kaya maupun
pembesar-pembesar yang berkuasa, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka yang
tidak mabuk akan harta dan kedudukan, mereka adalah orang-orang malas yang
enggan bekerja berat namun ingin mendapatkan hasil yang sebanyak mungkin.
Mereka bangun siang, tidur malam-malam karena tiada hentinya mengejar
kesenangan, malas dan ingin menang sendiri, ingin berkuasa saja dan enggan
dikalahkan.
Karena inilah agaknya, bangunan di sekitar istana yang
dihuni oleh kaisar, para pangeran dan pembesar istana, amat sunyi di waktu
pagi, dan baru nampak ramai dan hidup kalau matahari sudah naik tinggi. Kalau
orang boleh melongok ke dalam kamar-kamar para manusia yang kebetulan
dinasibkan menjadi pembesar dan penguasa itu, akan tampaklah orang-orang ini
masih tidur mendengkur, bertilam kasur empuk bersutera kembang, berselimut
tebal dan lunak. Para pelayan tidak ada yang berani mengeluarkan suara keras,
berjalan pun berjingkat agar tidak menimbuikan gaduh.
Namun pada pagi hari itu, seperti biasa pula, dalam
sebuah taman bunga yang indah di belakang dan samping kiri sebuah bangunan
mungil, termasuk sebuah di antara gedung-gedung dalam lingkungan istana,
terdengarlah suara suling. Suling ini bunyinya cukup nyaring, akan tetapi
pendek-pendek dan tidak dapat dibilang merdu, bahkan ada tanda-tanda bahwa yang
meniupnya adalah seorang anak-anak. Lagunya adalah lagu kanak-kanak yang
sederhana.
˜Liong-ji, suka sekalikah kau meniup suling?! terdengar
suara halus seorang wanita.
Suara suling berhenti. Kiranya di dalam taman bunga yang
indah itu, pagi-pagi sekali sewaktu penghuni gedung-gedung yang lain masih
mendengkur, terdapat seorang wanita muda yang menilik pakaian dan
gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan. Usianya masih muda,
paling banyak dua puluh tujuh tahun, wajahnya cantik sekali dan wajahnya itu
membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia memondong seorang anak laki-laki
yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang anak laki-laki lain berusia empat
tahun berlari-lari ke sana ke mari sambil tertawa-tawa, seakan-akan ia hendak
mengejar burung-burung kecil yang beterbangan sambil berkicau gembira di pagi
hari itu. Anak yang menyuling adalah seorang anak laki-laki pula, usianya
sembilan sepuluh tahun. Anak ini duduk di atas sebuah bangku dan asyik memegang
sebatang suling bambu yang tadi ditiupnya. Mendengar pertanyaan wanita tadi, ia
berhenti meniup dan menjawab.
˜Aku suka sekali, Ibu.!
Sejenak wajah cantik itu termenung, kemudian memaksa
keluar sebuah senyum sambil berkata,
˜Aku akan suruh mencarikan seorang guru suling untuk
mengajarmu, Liong-ji. Maukah kau belajar meniup suling?!