Jilid 21
Sie Leng lalu bercerita seperti yang ia dengar dari ibunya.
Puluhan tahun yang lalu, kakek
mereka, yaitu ayah dari ayah mereka yang bernama Sie Hoat terkenal
sebagai seorang
tokoh dunia hitam yang amat ditakuti orang dan berjuluk
Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik
Bunga), yaitu seorang penjahat besar yang biasanya suka menculik
wanita-wanita, tidak
peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang, kemudian
diperkosanya.
Kalau hatinya puas dengan wanita itu, maka wanita itu tidak akan
dibunuh, bahkan diberi hadiah banyak benda berharga mahal hasil curian di
istana-istana pangeran atau hartawan. Akan tetapi kalau wanita itu mengecewakan
hatinya, apalagi melawan, lalu dibunuhnya secara keji, ditelanjangi dan
disayat-sayat tubuhnya.
Karena banyak tokoh kang-ouw yang berusaha menentangnya tewas pula
di tangan
penjahat cabul yang amat lihai ini, maka namanya makin terkenal
dan dia ditakuti oleh
tokoh-tokoh kang-ouw. Wanita yang memuaskan hatinya pun hanya
beberapa kali saja
didatangi, kemudian ia tinggalkan begitu saja karena tokoh jahat
ini tidak pernah mau
mengikatkan diri kepada seorang wanita.
Ada dikabarkan di antara para tokoh kang-ouw bahwa dia
sesungguhnya mempunyai isteri dan anak, akan tetapi tidak ada seorang pun yang
tahu betul akan hal ini. Di antara para wanita yang memuaskan hatinya dan yang
ia datangi sampai belasan kali hanya seorang gadis puteri seorang sastrawan she
Phang.
Orang tua gadis yang bernasib malang ini tahu dari puterinya bahwa
puterinya menjadi
korban Jai-hwa-sian, akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan?
Dengan hati perih
mereka itu hanya dapat menutup rapat rahasia itu. Akan tetapi
betapa sedih hati mereka
ibu ayah dan anak itu ketika terdapat kenyataan bahwa gadis itu
mengandung, sebagai
akibat gangguan Jai-hwa-sian selama belasan kali itu. Jalan
satu-satunya yang dapat
mereka tempuh hanyalah pindah secara diam-diam dari dusun mereka
ke tempat lain dan
di tempat baru ini puteri mereka diperkenalkan sebagai seorang
janda muda yang
ditinggal mati suaminya dalam keadaan mengandung.
Demikianlah, gadis she Phang itu kemudian melahirkan seorang
putera. Kakeknya,
sastrawan Phang, yang khawatir kalau-kalau anak keturunan
Jai-hwa-sian itu akan
mewarisi watak ayahnya, lalu memberinya nama Sie Bun An dan
semenjak kecil anak itu
dididik kesusastraan oleh kakeknya, sama sekali tidak
diperbolehkan belajar ilmu silat.
Ibu anak itu meninggal dunia tidak lama kemudian karena menanggung
penderitaan batin
yang hebat, karena sebenarnya gadis she Phang ini sudah jatuh
cinta kepada Jai-hwa-sian
yang memang tampan dan pandai merayu wanita.
Setelah dewasa, kakeknya menceritakan Sie Bun An tentang riwayat
ibunya, maka
tahulah Sie Bun An bahwa dia adalah putera penjahat besar Sie Hoat
yang berjuluk Jai-
hwa-sian! Hal ini membuat pemuda yang semenjak kecil dididik
kesusastraan dan
mempelajari filsafat itu membenci ayahnya dan sama sekali tidak
pernah bercerita kepada
lain orang. Ia amat maju dalam pelajarannya sehingga mendapat
sebutan siucai setelah
lulus ujian kota raja. Dia lalu dikawinkan dan hidup sebagai
siucai di Kam-chiu.
“Demikianlah riwayat yang kudengar dari Ibu kita, Han Han. Siapa
kira, biarpun Ayah
kita tidak mewarisi kepandaian Kakek kita itu, sekarang engkau
memiliki ilmu silat yang
begitu tinggi. Kiranya engkau yang mewarisi kepandaiannya, akan
tetapi kuharap engkau
tidak akan mewarisi wataknya.”
Han Han menghela napas panjang. Teringat ia akan ucapan-ucapan Gak
Liat Si Setan
Botak yang tertawa bergelak ketika mendengar bahwa kakeknya
bernama Sie Hoat dan
menyebut kakeknya itu sebagai Jai-hwa-sian! Pantas saja Gak Liat
mentertawakannya
karena kakek itu memperkosa Bhok Khim dan ia mencoba untuk menentangnya.
Memang mentertawakan kalau cucu Jai-hwa-sian mencela perbuatan Gak
Liat, karena
perbuatan Gak Liat memperkosa Bhok Khim itu masih belum apa-apa
kalau
dibandingkan dengan perbuatan Jai-hwa-sian terhadap ratusan,
bahkan ribuan orang
wanita!
“Hemmm, aku merasa malu untuk mengaku menjadi cucu seorang jahanam
keji seperti
Jai-hwa-sian, Cici.” Suara Han Han begitu dingin sehingga Sie Leng
sendiri mengkirik
mendengarnya. Ia teringat akan perbuatan Giam Cu kepadanya dan ia
mulai merasa ragu-
ragu apakah adiknya ini tidak amat membenci suaminya! Juga ia
merasa ngeri kalau
mengingat bahwa si pemerkosa ibu mereka adalah Giam Kok Ma,
seorang panglima yang
berada di kota raja pula!
***
Han Han kagum menyaksikan rumah encinya yang seperti istana, lengkap
dengan perabot
rumah yang serba mewah dan rumah itu sendiri amat besar, penuh
dengan pelayan. Dia
diperlakukan dengan sikap hormat sekali oleh cihunya dan karena
pada dasarnya Han
Han adalah seorang yang perasa dan mudah tunduk oleh sikap lunak,
ia menjadi makin
tidak enak hatinya. Mau membalas kebaikan cihu-nya, ia selalu
teringat akan terbasminya
keluarganya, mau bersikap kasar, cihu-nya amat hormat kepadanya
dan ia juga merasa
kasihan kepada cicinya yang amat mencinta suaminya. Yang merupakan
hiburan hatinya
adalah Kwi Hong, keponakannya yang mungil dan pandai bicara. Ia
sering kali bermain-
main dengan keponakannya itu, akan tetapi kalau teringat kepada
Lulu, hatinya menjadi
murung lagi.
Seperti telah dijanjikannya, cihu-nya itu setiba di kota raja lalu
mengunjungi rumah
Pangeran Ouwyang Cin Kok dan dengan girang sekali ia menceritakan
pengalamannya,
tentang pertemuannya dengan Sie Han, pemuda perkasa yang aneh dan
yang menjadi
bahan percakapan dalam sidang tempo hari.
“Ah, kiranya dia adalah Adik isterimu sendiri? Ha-ha-ha, bagus
sekali kalau begitu!”
Pangeran Ouwyang Cin Kok bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya.
“Akan tetapi wataknya amat aneh dan sukar diselami, Ong-ya, bahkan
isteri hamba yang
menjadi kakaknya sendiri pun menyatakan bahwa perubahan amat aneh
dan amat besar
terjadi pada adiknya sehingga hampir ia tidak mengenal watak
adiknya. Pula, ada sebuah
hal yang amat membahayakan sehingga hamba khawatir kalau-kalau dia
akan meng-
amuk. Kepandaiannya benar-benar menakjubkan sekali. Hamba
khawatir....”
“Hemmm, tentang kepandaiannya, aku sudah mendengar dari puteraku.
Betapapun
pandainya, jago-jago sakti kita akan mampu menundukkannya.”
“Tentang Ouwyang-kongcu inilah yang mengkhawatirkan hati hamba.
Menurut
pernyataannya, Adik angkatnya yang bernama Lulu, puteri Mancu itu,
diculik oleh
Ouwyang-kongcu dan dia marah sekali, mengancam hendak membunuh
Kongcu kalau
Adiknya tidak dibebaskan dalam keadaan selamat.”
Pangeran Ouwyang Cin Kok mengerutkan alisnya dan menghela napas
panjang.
“Aahhh, sungguh kedua orang bocah itu mendatangkan banyak
kerepotan saja! Adik
isterimu itu aneh dan sudah mendatangkan banyak pusing, kini Adik
angkatnya itu pun
tidak kalah anehnya. Memang Lulu itu itu anak perwira yang menjadi
korban penyerbuan
kaum pemberontak beberapa tahun yang lalu. Anak itu disangka mati,
kiranya muncul se-
bagai Adik angkat iparmu! Ouwyang Seng sudah berhasil menculiknya
dan karena
Kaisar merasa kasihan akan nasib anak itu, mengingat pula akan
jasa orang tuanya, Lulu
diperbolehkan tinggal di dalam istana sebagai dayang istana. Akan
tetapi celaka sekali,
baru beberapa hari saja bocah itu telah menghilang, minggat entah
ke mana! Kini
Ouwyang Seng yang bingung pergi mencarinya, karena lenyapnya Lulu
tadinya dianggap
mengacaukan rencana memancing Han Han ke kota raja. Siapa tahu dia
telah ikut
bersamamu. Kini Han Han mendari Lulu, benar-benar memusingkan!”
Giam-ciangkun juga menjadi bingung. “Wah, kalau begitu bagaimana
baiknya? Han Han
tentu tidak akan mempercayai keterangan itu dan hal ini bisa
berbahaya.”
“Jangan khawatir. Katakan saja terus terang bahwa Lulu minggat
dari istana. Kalau tidak
percaya boleh suruh dia menyelidiki ke istana. Sementara itu,
engkau harus dapat
membujuknya dan memperkenalkannya kepada para tokoh pengawal dan
pembantu.
Sementara menanti kembalinya Gak-locianpwe dan keponakanku Puteri
Nirahai, juga
puteraku, kita harus dapat membujuknya. Kalau perlu, kita
menggunakan akal untuk
membuat dia tidak berdaya.”
Mereka berunding, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok lalu memanggil
tokoh-tokoh
yang berada di kota raja, di antaranya adalah Sin-tiauw-kwi Ciam
Tek, kakak beradik
Tikus Kuburan Bhong Lek dan Bhong Poa Sik, Hek-giam-ong,
Pek-giam-ong dan Hiat-
ciang-sian-li Ma Su Nio yang ketiganya adalah murid-murid Setan
Botak Gak Liat dan
beberapa orang panglima pengawal, termasuk Giam Kok Ma Ciangkun,
panglima
bermuka kuning yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han.
Kemudian
diambil keputusan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh ini kepada Han
Han di rumah
Giam-ciangkun karena di situ terdapat Sie Leng yang dianggap dapat
menundukkan Han
Han apabila pemuda itu bersikap menentang. Sebelum pertemuan itu
dibubarkan, diam-
diam Giam Cu berbisik kepada Giam Kok Ma yang menjadi pucat sekali
mukanya.
Panglima muka kuning ini mendengar betapa Han Han mencarinya dan
tentu akan
membunuhnya kalau berjumpa, mengingat bahwa Giam Kok Ma inilah
yang dahulu
memperkosa dan membunuh ibu Han Han. Panglima muka kuning ini lalu
pulang ke
rumahnya dengan muka makin kuning dan jantung berdebar-debar
gelisah.
Setelah tiba di rumahnya, Giam Cu disambut oleh isterinya dan Han
Han yang ingin
segera mendengar bagaimana kabarnya tentang diri adiknya.
Giam-ciangkun menarik
napas panjang dan berkata, “Wah, Han-te. Adik angkatmu itu
benar-benar membikin
pusing kita semua.”
“Bagaimanakah? Di mana Lulu?”
“Tepat seperti dugaanku, karena Lulu adalah puteri perwira,
Ouwyang-kongcu sama
sekali tidak berani mengganggunya dan memang tidak berniat
mengganggunya. Bahkan
Lulu dihadapkan kepada Kaisar sendiri yang mengingat akan
jasa-jasa Ayahnya lalu
mengangkat Lulu menjadi dayang istana, yaitu para siuli yang
meniadi pelayan dalam
dan sebagai puteri-puteri yang terhormat. Akan tetapi, entah
mengapa, setelah mendapat
kemuliaan itu, baru beberapa hari saja tahu-tahu Lulu telah
minggat dari istana. Entah ke
mana perginya tak seorang pun mengetahuinya!”
Wajah Han Han yang tadinya bergembira dan lega itu kini berubah
menjadi suram. Ia
memandang tajam kepada Gam-ciangkun dan berkata, “Apakah Cihu
menceritakan hal
yang sebenarnya?”
“Han Han, Cihu-mu tidak pernah berbohong!” Sie Leng berkata
menegur adiknya.
“Tidak mengherankan kalau Han-te kurang percaya. Akan tetapi aku
berani bersumpah
dan kalau hal itu pun masih kurang meyakinkan hatimu, boleh saja
Han-te melakukan
penyelidikan sendiri ke istana dan bertanya-tanya. Kurasa tidak
semua petugas istana
dapat melakukan kebohongan yang sama.”
Han Han duduk melamun. Ia percaya karena apa perlunya berbohong
kepadanya? Pula,
setelah tinggal di situ beberapa hari lamanya, ia mendapat
kenyataan bahwa cihu-nya
benar-benar mencinta cicinya dan bahwa benar-benar cicinya hidup
bahagia di situ. Ia
menghela napas panjang.
“Kalau begitu, aku pun tidak bisa lama tinggal di sini. Aku harus
pergi mencari jejak
Lulu. Tidak mungkin aku dapat membiarkan adikku itu merana seorang
diri. Aku merasa
yakin bahwa pasti dia minggat untuk mencariku.”
“Ah, mengapa terburu-buru, Adik Han Han! Istana sendiri telah
berusaha mencarinya dan
banyak penyelidik telah disebar untuk mencari Lulu, bahkan ada
perintah dari Kaisar
sendiri untuk memanggil gadis itu. Kurasa, sebagai seorang gadis
Mancu, dia tidak akan
berani membangkang terhadap perintah Kaisar. Lebih baik engkau
menanti di sini, pasti
akan dapat ditemukan. Sementara itu, engkau yang memiliki ilmu
kepandaian begitu
tinggi apakah tidak ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw yang
berada di sini? Aku telah mengundang mereka dan mereka ingin benar
berkenalan
denganmu. Di antara mereka terdapat seorang tokoh sakti dan aneh
berjuluk Sin-tiauw-
kwi yang kabarnya murid keturunan tokoh sakti Hek-giam-lo dari
Khitan. Ada lagi kakak
beradik yang berjuluk Tikus Kuburan, juga mereka memiliki ilmu
yang luar biasa
lihainya. Di samping itu, lebih baik kau tunggu tokoh yang paling
hebat di antara kita
semua, yaitu Puteri Nirahai yang memiliki ilmu kepandaian mujijat
biarpun dia hanya
seorang gadis muda, dia memiliki ilmu keturunan dari pendekar
wanita sakti Mutiara
Hitam di Khitan!”
Hati Han Han tertarik juga mendengar ucapan itu, terutama sekali
mendengar nama
Puteri Nirahai. Bukankah itu puteri Mancu yang amat lihai, yang
telah mengatur siasat
mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Kalau Nirahai
memiliki ilmu
keturunan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, berarti gadis Mancu
itu masih mempu-
nyai hubungan perguruan dengan Siang-mo-kiam Can Ji Kun dan Ok Yan
Hwa, dua
orang sakti Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh sendiri itu
karena mereka adalah
murid-murid Mutiara Hitam. Selain ingin ia bertemu dengan
orang-orang sakti yang
disebut cihu-nya itu, juga memang kalau dipikir, ke mana ia harus
mencari adiknya yang
telah melarikan diri dari istana? Adiknya memang nakal, diberi
kemuliaan di istana tidak
betah dan malah minggat tanpa pamit. Ia tertawa di dalam hatinya.
Kalau Lulu tidak
menghendaki, biar kaisar sendiri tidak akan dapat menahannya!
Adiknya memang nakal
dan lucu, tentu sekarang sedang bingung mencari-carinya, padahal
dia sudah berada di
kota raja! Kaisar mempunyai kaki tangan di mana-mana, tentu lebih
mudah mencari adik-
nya itu.
Melihat pemuda aneh itu agaknya sudah dapat terbujuk,
Giam-ciangkun menjadi girang
dan mengatur rencana untuk mempertemukan Han Han dengan para tokoh
lain, bahkan
mulai membujuk-bujuk Han Han betapa senangnya kalau pemuda itu
suka menjadi
pengawal atau jagoan kerajaan.
“Engkau akan cepat mendapat kemajuan, namamu akan dikenal di
seluruh negeri, akan
mendapat kehormatan besar bahkan siapa tahu kelak akan mendapat
kehormatan menjadi
pengawal pribadi kaisar sendiri.” Demikian antara lain
Giam-ciangkun membujuk adik
iparnya.
Han Han menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau menjadi panglima
pengawal kalau
pekerjaannya hanya membunuhi orang-orang, Cihu. Selain aku tidak
mempunyai cita-cita
menjadi pembesar, juga agaknya tidak mungkin aku menjadi pembesar
Mancu karena
aku masih harus membunuh enam orang perwira Mancu.”
Giam-ciangkun mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah maksudmu,
Han Han?”
Han Han memandang cihu-nya dengan tajam. Kini ia mendapatkan
kesempatan untuk
bicara berdua dengan cihunya. “Cihu tentu mengerti bahwa aku telah
bersumpah untuk
membunuh tujuh orang perwira yang dahulu membasmi keluarga orang
tuaku. Cihu
sendiri karena sudah menjadi suami Ciciku dan kulihat memang Cihu
saling mencinta
dengan Cici, maka aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi enam orang
perwira
lainnya, terutama sekali perwira muka kuning yang telah memperkosa
dan membunuh
mendiang Ibuku, tak dapat aku mengampuninya begitu saja. Sebelum
aku dapat
membunuh enam orang perwira itu, tidak mungkin aku menjadi petugas
kaisar.”
Wajah panglima tinggi besar yang penuh jenggot terpelihara
baik-baik itu berubah pucat.
“Aihhhhh, Adik Han Han. Apakah engkau tidak dapat melupakan hal
itu? Apakah
engkau tidak dapat menerima kenyataan dan menganggap peristiwa itu
sebagai peristiwa
dalam perang yang lajim terjadi?”
Han Han menggeleng kepalanya. “Perang atau tidak, perbuatan
manusia dapat dibedakan
bagaimana yang jahat dan bagaimana pula yang baik. Kalau orang
tuaku tewas dalam
pertempuran, aku pun tidak begitu bodoh untuk mencari pembunuh-pembunuhnya,
akan
tetapi orang tuaku tidak terbasmi selagi bertempur, melainkan
dibasmi secara keji tanpa
alasan. Tidak, Cihu. Tidak mungkin aku mengampuni enam orang
perwira yang lain!”
Giam-ciangkuan tidak berkata apa-apa lagi, akan tetapi Han Han
maklum bahwa
perasaan cihunya tersinggung, akan tetapi dia tidak
mempedulikannya. Bahkan pada
malam harinya, karena ia telah menaruh curiga akan sikap cihunya
yang ia tahu menaruh
ganjelan hati terhadap dirinya, dengan mempergunakan
kepandaiannya, Han Han dapat
menyelinap mendekati jendela kamar cicinya dan mendengar
percakapan lirih yang
terjadi di dalam kamar itu. Bagi orang yang tidak memiliki
sin-kang tinggi sehingga daya
tangkap telinganya amat tajam, tidak mungkin mendengarkan
percakapan di dalam kamar
yang dilakukan sambil berbisik-bisik itu.
“Sungguh celaka. Adikmu itu tentu akan menimbulkan malapetaka
besar. Dia masih
mendendam kepada Giam Kok Ma dan lima orang perwira lainnya yang
dulu menyerbu
rumahmu. Dia bersumpah untuk membunuh mereka.”
“Aih, anak itu memang keras hati sekali. Aku tidak peduli kalau
mereka berenam itu
dibunuh, akan tetapi kalau dia melakukan pembunuhan-pembunuhan
itu, tentu dia akan
dikejar-keiar dan ditangkap. Bagaimana baiknya, suamiku?”
“Satu-satunya jalan untuk menghindarkan pembunuhan adalah memberi
tahu mereka
agar cepat-cepat meninggalkan kota raja dan jangan menampakkan
diri sebelum Han Han
pergi dari kota raja. Kurasa, kalau terlalu lama anak itu berada
di sini, akhirnya pasti akan
timbut malapetaka. Wataknya aneh sekali.”
Cicinya menghela napas panjang. “Betapa berat rasa hatiku harus
berpisah kembali
dengan saudara kandungku yang hanya satu-satunya itu. Akan tetapi
agaknya ucapanmu
itu benar sekali dan terserahlah apa yang hendak kaulakukan asal
Han Han terbebas
daripada bahaya.”
“Aku akan mengirim surat sekarang juga kepada Giam Kok Ma, agar
dia bersama lima
orang kawan lain itu melarikan diri.”
Han Han cepat menyelinap pergi, jantungnya berdebar keras. Ia agak
terharu mendengar
ucapan cicinya, juga ia percaya bahwa cihunya tidak akan
mencelakainya, akan tetapi
mendengar bahwa cihunya hendak mengirim surat kepada perwira yang
bernama Giam
Kok Ma, ia girang sekali. Kiranya enam orang musuh besarnya yang
lain itu berada di
kota raja pula! Tentu Giam Kok Ma itu pun seorang di antara enam
orang perwira itu.
Perwira rendahan yang diutus Giam-ciangkun membawa surat itu sama
sekali tidak tahu
bahwa di belakangnya ada orang yang membayangi perjalanannya
seperti setan. Ia tidak
tahu sama sekali bahwa bayangan yang mengikutinya itu terus ikut
memasuki halaman
istana Panglima Giam Kok Ma dan bayangan yang bukan lain adalah
Han Han itu
menyelinap ke dalam gelap setelah tiba di istana itu.
Bahkan ketika perwira utusan itu menyampaikan surat kepada
Panglima Giam Kok Ma
yang membaca surat itu dengan muka berkerut-kerut, Han Han
mengintai dari lubang di
atas genteng dan sinar mata Han Han berapi-api ketika ia mengenal
panglima yang
mukanya kuning itu. Itulah dia si keparat yang dahulu memperkosa
ibunya! Mukanya
terasa panas dan kalau menurutkan nafsunya, ingin ia pada saat itu
juga melompat ke
dalam kamar dan membunuh musuh besarnya itu. Akan tetapi Han Han
menahan
kemarahannya. Lebih baik menanti sampai mereka semua berkumpul,
pikirnya. Kalau
kubunuh dia sekarang, aku masih harus mencari yang lima orang
lainnya dan hal itu tidak
akan mudah. Apalagi cihunya sama sekali tidak suka membantunya
dalam hal
pembalasan dendam ini dan hal ini pun ia maklumi, bahkan cihunya
tentu saja akan
memberi kabar secara diam-diam kepada rekan-rekannya untuk
melarikan diri.
Han Han memang telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa,
akan tetapi betapapun
juga dia hanya seorang pemuda yang kurang pengalaman. Mana mungkin
ia dapat
menandingi kecerdikan tokoh-tokoh istana? Dia sama sekali tidak
tahu, bahkan menduga
sedikit pun tidak bahwa sesungguhnya semua ini telah diatur dan
direncanakan oleh para
tokoh itu, di bawah pimpinan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Tidak tahu
bahwa semua itu
adalah pelaksanaan siasat mereka. Karena Giam-ciangkun maklum
bahwa di dalam
hatinya Han Han tidak senang kepadanya dan bahwa pemuda ini
merupakan ancaman
baginya untuk selama hidupnya, maka ia telah mengatur rencana
bersama Ouwyang Cin
Kok dan para tokoh lainnya. Kalau mereka menanti kembalinya Gak
Liat, Puteri Nirahai
dan Ouwyang Seng, tentu akan memakan waktu lama dan siapa tahu
dalam waktu itu apa
yang akan dilakukan pemuda aneh itu, dan apa pun yang
dilakukannya, menimbulkan
kengerian dalam hati mereka, mengingat betapa mudahnya Han Han
membunuh puluhan
orang pengawal.
Kebetulan sekali dua hari sebelum Han Han mendengarkan percakapan
antara cihu dan
cicinya, muncul seorang nenek yang luar biasa di waktu malam di
dalam gedung istana
Pangeran Ouwyang Cin Kok. Munculnya seperti iblis saja, tahu-tahu
telah berada di
ruangan dalam tanpa diketahui oleh para pengawal yang menjaga.
Hanya setelah dia
lewat di kamar yang dijadikan kamar tidur Sin-tiauw-kwi Ciam Tek
saja maka kehadir-
annya diketahui.
“Rebahlah!” Tiba-tiba terdengar suara kaku di belakangnya dan
nenek itu merasa betapa
ada angin pukulan yang hebat luar biasa mendorongnya dari
belakang. Nenek ini bukan
lain adalah Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Maklum bahwa ada
orang berkepandaian
tinggi menyerangnya dari belakang, nenek ini memutar tubuhnya.
Pemutaran tubuhnya
ini didahului oleh menyambarnya anting-anting panjang berbentuk
rantai gelang yang
tergantung di kedua telinganya. Rantai gelang itu menyambar ke
depan menangkis
pukulan Sin-tiauw-kwi Ciam Tek.
“Tranggggg....!” Pukulan yang dilakukan Sin-tiauw-kwi adalah
pukulan Hek-in Sin-
ciang, dari kedua telapak tangannya mengebul asap hitam, hebatnya
bukan main. Ketika
ujung rantai gelang bertemu dengan tangan Si Burung Hantu, sebuah
gelang terlepas,
akan tetapi bukan terlepas runtuh, melainkan terlepas dan meluncur
ke arah tubuh Si
Burung Hantu, menyambar jalan darah mematikan di tenggorokan!
Kedua orang tokoh sakti itu sama-sama terkejut, Toat-beng
Ciu-sian-li terkejut ketika
tangkisan senjatanya yang aneh itu mengakibatkan sebuah gelang
putus, maka ia
membuat gelang itu meluncur menyerang lawan sambil meloncat
mundur. Adapun Sin-
tiauw-kwi Ciam Tek terkejut bukan main bahwa serangannya yang amat
ampuh itu selain
dapat dihindarkan lawan, juga lawan yang lihai itu malah berbalik
menyerang dengan
senjata rahasia yang aneh itu. Cepat ia miringkan kepalanya dan
mulutnya yang runcing
meniup gelang itu sehingga menyeleweng dan masuk ke dalam dinding!
Mendengar suara ribut-ribut, sebentar saja ruangan itu penuh
dengan para pengawal yang
mengepung nenek itu. Kakak beradik Tikus Kuburan yang mengenal
nenek itu berseru
dengan kaget, “Ah, kiranya Toat-beng Ciu-sian-li yang datang?”
Nenek yang tadinya menyapu para pengawal yang mengurungnya dengan
pandang mata
mengejek, kini memandang kakak beradik itu dan berkata, “Eh-eh,
agaknya kedua Tikus
Kuburan juga kesasar sampai di sini. Orang-orang she Bhong, aku
memenuhi undangan
Setan Botak yang menyatakan bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok
membutuhkan
bantuan orang pandai, akan tetapi beginikah penerimaan Pangeran
Ouwyang Cin Kok
terhadap tamunya? Siapa kira Pangeran Ouwyang memelihara anjing
galak yang
mukanya seperti burung sekarat!” Ia melirik kepada Sin-tiauw-kwi
yang mendengus saja
mendengar ucapan menghina itu.
Pangeran Ouwyang Cin Kok yang sudah bangun pula tadi bersembunyi
dari tempat
rahasia, ketika mendengar bahwa nenek yang mengerikan itu adalah
Toat-beng Ciu-sian-
li, dan melihat bahwa jagoan-jagoannya telah berada di situ, kini
berani muncul dan ia
segera berkata.
“Ah, harap locianpwe suka memaafkan orang-orangku. Karena
kedatangan locianpwe
tanpa memberi tahu dan pada tengah malam secara begini
mengejutkan, maka orang-
orangku tidak mengenal locianpwe. Silakan duduk.”
Toat-beng Ciu-sian-li sejenak memandang wajah pangeran itu, lalu
tertawa dan minum
araknya dari guci arak yang selalu diselipkan di pinggang,
kemudian tertawa lagi
sehingga kepalanya bergoyang-goyang dan anting-antingnya yang
besar dan amat
panjang itu mengeluarkan bunyi berkerincingan.
“He-he-he, Pangeran Ouwyang dapat menghargai orang pandai, itu
bagus! Eh, Ouwyang
Ong-ya, anjingmu ini selain galak juga lihai sekali. Siapakah
dia?” Ia menudingkan
telunjuknya ke arah Sin-tiauw-kwi yang sudah berdiri dengan
sebelah kaki.
“Apakah locianpwe belum mengenalnya? Dia berjuluk Sin-tiauw-kwi.”
Nenek itu membelalakkan kedua matanya. “Wah-wah, kiranya inikah Si
Burung Hantu?
Luar biasa sekali, pantas dengan namanya, memang engkau buruk
seperti burung hantu.
Aku ingin sekali mencoba kepandaianmu!”
“Hemmm, nenek tua bangka. Bukankah engkau ini seorang di antara
selir-selir Suma
Kiat? Aku pun ingin mencoba gebukan-gebukanmu beberapa jurus!
Kapan saja dan di
mana saja!”
Mendengar ini, di dalam hatinya Pangeran Ouwyang Cin Kok mengomel.
Celaka sekali
orang-orang sakti yang wataknya aneh ini. Kalau dibiarkan tentu
akan saling gebuk dan
rumahnya menjadi arena perkelahian di antara pembantu-pembantunya
sendiri. Bisa
berabe! Cepat ia tertawa dan meloncat ke depan.
“Harap ji-wi suka menangguhkan pibu itu untuk lain kali saja.
Sekarang ada urusan yang
amat penting yang kuharapkan akan mendapat bantuan Ciu-sian-li.
Marilah kita bicara di
dalam ruangan belakang. Silakan, locianpwe.”
Demikianlah pangeran yang cerdik ini berunding dengan tokoh-tokoh
itu dan hasil
perundingan ini merupakan siasat yang dijalankan Giam-ciangkun
terhadap Han Han. Di
luar tahu pemuda itu sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li yang lihai
membayangi pemuda ini,
terus membayanginya ketika Han Han mengikuti utusan yang membawa
surat Giam-
ciangkun kepada rekannya, si panglima muka kuning, Giam Kok Ma.
Ini sudah termasuk
rencana mereka. Kalau Han Han langsung turun tangan terhadap Giam
Kok Ma, tentu ia
akan berhadapan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Kalau tidak dan
pemuda ini mengikuti
Giam Kok Ma seperti yang mereka duga, hal ini pun sudah mereka
persiapkan untuk
menyambut pemuda itu!
Ketika Han Han mengintai dari atas genteng di gedung Giam Kok Ma,
ia mendengar
musuh besarnya itu berkata.
“Baikiah, sampaikan kepada Giam-ciangkun bahwa aku sudah mengerti
akan isi suratnya
dan besok pagi-pagi aku akan menghubungi rekan-rekan yang
terancam.”
Mendengar ini, Han Han lalu meninggalkan gedung dan bersembunyi di
atas sebatang
pohon sambil menjaga. Pada keesokan harinya, ia melihat Giam Kok
Ma, musuh
besarnya itu, meninggalkan gedung menunggang kuda dikawal oleh
enam orang
pengawal. Ia cepat meloncat turun dan mempergunakan gin-kangnya
mengikuti dari jauh.
Larinya cepat sekali sehingga biarpun panglima bersama
pengawal-pengawalnya itu
membalapkan kuda, ia masih dapat mengikuti mereka. Jauh di luar
kota, rombongan itu
memasuki sebuah hutan dan ternyata di pinggir hutan itu terdapat
sebuah bangunan yang
indah, agaknya sebuah rumah peristirahatan pembesar Mancu. Ia
melihat Giam Kok Ma
memasuki rumah itu, sedangkan para pengawal lalu menuntun kuda ke
kandang kuda dan
masuk di bagian belakang gedung itu.
Han Han cepat melayang naik ke atas genteng. Dari atas ia
mencari-cari namun tidak
melihat bayangan musuhnya. Ia mencari terus dan akhirnya khawatir
kalau-kalau
kehilangan musuhnya, ia meloncat turun masuk ke dalam melalui
jendela dan tiba di
sebuah ruangan yang luas. Baru saja kakinya menginjak lantai,
sebuah pintu terbuka dan
yang muncul adalah.... Giam Cu cihunya.
“Eh, Adik Han Han! Mengapa engkau berada di sini?” Panglima brewok
ini bertanya
dengan wajah kaget dan heran.
“Cihu, ini rumah siapakah?” Han Han balas bertanya, suaranya juga
heran akan tetapi
keren dan dingin.
“Ini rumahku, rumah peristirahatan!” jawab cihunya. “Dan sungguh
kebetulan sekali
kedatanganmu, Adikku. Memang aku sedang memanggil berkumpul
tokoh-tokoh
pengawal istana di sini untuk memperkenalkannya kepadamu. Siapa
tahu, engkau malah
sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?”
“Cihu, aku mengejar musuh besarku, perwira muka kuning! Ke mana
dia? Harap Cihu
jangan mencampuri, suruh dia keluar bersama musuh-musuhku yang
lain!”
“Eh-eh, Adik Han Han. Mengapa engkau memaksa diri hendak
menyebabkan
kekacauan? Harap kau suka memandang mukaku, dan mengingat Encimu.
Kalau engkau
melakukan hal-hal yang mengacaukan di sini, dan membunuh
panglima-panglima
kerajaan, berarti engkau akan mendatangkan malapetaka kepadaku.”
“Mengapa mereka datang ke rumah Cihu di sini? Mau apa? Apa artinya
ini semua?”
“Adikku, mereka adalah panglima-panglima kerajaan, tentu saja
mereka pun sudah biasa
mengadakan pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih
baik
kuperkenalkan kau dengan para pengawal.” Pada saat itu, beberapa
buah pintu terbuka
dan muncullah tiga orang yang amat aneh keadaannya. Han Han
memandang tajam dan
ia pun siap dan waspada, maklum bahwa tiga orang yang muncul ini
bukanlah orang-
orang sembarangan dan ia mulai curiga terhadap cihunya.
“Sam-wi locianpwe, inilah Adik iparku yang gagah perkasa dan yang
telah mem-
persiapkan tenaganya untuk membantu kerajaan. Inilah pendekar muda
Sie Han.” Giam-
ciangkun memperkenalkan, kemudian berkata kepada Han Han, “Adikku,
locianpwe itu
adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Adapun
kedua orang
locianpwe ini adalah kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang
Tikus Kuburan, juga
memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”
Han Han memandang mereka, terutama sekali Si Burung Hantu yang
amat aneh
keadaannya itu. Burung Hantu memandang Han Han dengan mata
disipitkan, jelas sekali
memandang rendah, kemudian berkata.
“Ehemmm, Adik iparmu ini lumayan juga, Giam-ciangkun!” Mungkin
karena ketika
bicara mulutnya terbuka dan mengeluarkan bau yang seperti sampah,
dua ekor lalat
terbang menyambar ke arah mulutnya. “Heh, segala macam lalat
mengganggu saja!” kata
Si Burung Hantu dan dua kali tampak sinar berkelebat-kelebat
ketika manusia aneh ini
menggerakkan senjatanya yang seperti sabit dan.... tubuh dua ekor
lalat kecil itu jatuh ke
lantai, terbelah menjadi dua!
Han Han yang melihat ini diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali,
maklum bahwa
manusia yang seperti burung itu benar-benar amat sakti. Akan
tetapi dia tidak mau
peduli, lalu berkata kepada Giam-ciangkun, “Cihu, aku tidak ingin
berkenalan dengan
para locianpwe ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuh-musuhku.
Suruh
mereka keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di
dalam rumah ini!”
“Heh-heh, bocah yang menjadi iparmu ini sungguh tidak memandang
mata kepada kami,
Ciangkun. Siapakah yang menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya
di sini?” tanya
Bhong Poa Sik yang kepalanya botak dan ubun-ubunnya ada
“telur”nya.
Giam-ciangkun menarik napas panjang. “Hemmm, inilah yang
menyusahkan hatiku,
Sam-wi Locianpwe. Adik iparku ini mempunyai dendam pribadi
terhadap rekan kita
Giam Kok Ma dan lima orang panglima lain dan berkeras hendak
membunuh mereka.
Bagaimana aku harus berbuat? Dia ini adalah Adik iparku sendiri,
sedangkan membunuh
enam orang rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku
Han Han, pikirlah
baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang
tidak ada gunanya
itu dan marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para
locianpwe ini.
Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan dapat menghargai seorang
pandai.”
Han Han mengerutkan keningnya dan menggeleng kepala. “Tidak bisa,
Cihu. Dari pada
menjadi seorang anak yang puthauw (durhaka), yang tidak mau
membalas kematian
keluarga orang tuaku, lebih baik aku menempuh segala bahaya sampai
mati!”
“Hem, bocah sombong. Engkau hendak membunuhi enam orang panglima
kerajaan?
Wah-wah, nanti dulu! Apa kaukira hadirnya orang macam aku di sini
tiada gunanya?
Lawan dulu sabitku, baru boleh kau coba-coba melanjutkan niatmu
yang jahat!” Sin-
tiauw-kwi mengejek dan kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu
meloncat-loncat
seperti burung, maju mendekati Han Han.
“Orang muda, dengan adanya kami di sini, mana mungkin engkau akan
membunuh
panglima kerajaan? Jangan mimpi di siang hari!” bentak Bhong Lek
yang sudah maju
pula bersama adiknya.
Han Han mengerutkan keningnya dan memandang kakak iparnya, lalu
berkata, suaranya
dingin sekali. “Hemmm, beginikah kehendakmu, Cihu?”
Bertemu pandang dengan adik iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu
tengkuknya berdiri.
Pandang mata Han Han seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi
hatinya, maka
sambil menggerakkan pundaknya dan mengalihkan pandang ia menjawab,
“Engkaulah
yang menyusahkan aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang pun di
sini yang akan
membiarkan engkau membunuh orang, apalagi hendak membunuh enam
orang panglima.
Bahkan aku sendiri mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau
aku membiarkanmu,
berarti aku seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau
sadar?”
Han Han memutar otaknya dan teringatlah ia akan semua kejadian
semenjak malam tadi.
Ia ingat akan percakapan antara cihunya dan cicinya, kemudian
teringat akan perbuatan
Giam Kok Ma sehingga perwira itu pergi ke tempat ini. Ternyata
cihunya sudah berada di
sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua ini sudah diatur
lebih dulu? Dugaan
ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia mengangkat muka
membusungkan dada.
“Keputusanku sudah jelas! Aku akan mencari Si Keparat Panglima
Muka Kuning yang
bernama Giam Kok Ma itu dan lima orang sekutunya yang dulu
menghancurkan keluarga
orang tuaku. Kalau ada yang hendak menghalang, dia itu pun harus
kuenyahkan!”
“Heh-heh, orang muda yang sombong!” Dua orang Tikus Kuburan sudah
menubruk maju
untuk menangkap Han Han. Mereka memandang rendah sekali. Pemuda
itu masih bocah,
biarpun keadaannya aneh dan sikapnya luar biasa dingin dan
beraninya, namun
mempunyai kepandaian apakah?
Han Han yang sudah marah itu membalikkan tubuh dan menggerakkan
kedua tangannya
mendorong. Karena maklum akan kelihaian dua orang kakek ini,
sekaligus ia telah
mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang pada kedua lengannya.
“Hayaaaaa....!” Dua orang itu terkejut setengah mati ketika ada
hawa panas menyambar
dan menyesakkan dada mereka, membuyarkan semua tenaga sin-kang
mereka yang
mereka pergunakan untuk menahan pukulan, akhirnya mereka tidak
kuat dan terpaksa
melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menjauhkan diri!
Mereka meloncat
bangun dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
“Ehemmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian!” Si Burung
Hantu
membentak, akan tetapi sebelum ia turun tangan, terdengar suara
ketawa.
“Hi-hi-hi, burung yang jelek, jangan rampas korbanku! Serahkan
bocah ini kepadaku!”
Tubuh Toat-beng Ciu-sian-li melayang turun dan tahu-tahu ia telah
berhadapan dengan
Han Han.
Karena merasa pernah menjadi murid wanita ini, Han Han terkejut
sekali dan otomatis ia
menjura dengan hormat sambil berkata, “Subo, harap jangan
mencampuri urusan
pribadiku!”
“Heh-heh-hi-hik, kalian semua telah mendengarnya, kan? Dia adalah
muridku dan karena
dia telah melakukan dosa melanggar peraturan-peraturan perguruan,
maka dia
sepenuhnya menjadi hakku.”
Sin-tiauw-kwi tertawa. “Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri
urusan
guru dan murid. Toat-beng Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan
tidak benar, memang
perlu sekali akan pengajaranmu!”
Teat-beng Ciu-sian-li menghadapi Han Han sambil menyeringai.
“Bocah iblis murid
durhaka. Apakah engkau tidak lekas berlutut minta ampun kepada
gurumu?”
Han Han mengerutkan alisnya. Ia melihat cihunya sudah duduk dengan
tenang di atas
kursi menghadapi meja, juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil
tempat duduk
sedangkan Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan satu kaki, sikap
mereka semua seperti
orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik. Han Han
menduga bahwa
memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang
mereka hendak
mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang
musuh-musuhnya yang
hendak ia basmi. Ia menjadi penasaran akan tetapi sedikit pun
tidak gentar. Ia meng-
hadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.
“Locianpwe, aku menghormatimu sebagai bekas guru, akan tetapi
sekarang aku bukanlah
muridmu lagi. Tentang kesalahanku dahulu telah melarikan diri
darimu karena aku
memang tidak suka menjadi muridmu. Sekarang, karena sedang
menghadapi urusan
pribadi hendak membasmi musuh-musuh keluargaku, harap kau orang
tua suka mengalah
dan membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah
selesai aku membasmi
musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita.”
“Eh, Si keparat bocah tak mengenal budi! Tak usah banyak bicara
hayo lekas berlutut di
depanku!”
Akan tetapi bentakan ini malah mendatangkan rasa penasaran di hati
Han Han. Selama ia
keluar dari Pulau Es, dia selalu dimusuhi orang, baik oleh
tokoh-tokoh kang-ouw yang
disebut golongan putih maupun oleh tokoh-tokoh golongan hitam.
Rasa penasaran ini
membuat ia marah dan nekat.
“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau mempunyai pendirian, aku pun punya!
Aku akan
membasmi musuh-musuhku dan siapa pun yang menghalangiku, biar
engkau sekalipun,
akan kulawan!”
“Wah-wah, baru sekarang aku melihat murid lebih galak dari
gurunya!” kata Sin-tiauw-
kwi sambil tertawa.
“Tutup mulutmu, Burung Buruk!” Ciu-sian-li membentak. “Kaukira aku
tidak dapat
menguasai muridku? Han Han, sekali lagi, engkau tidak mau taat?”
“Terserah kepadamu, aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi.”
Toat-beng Ciu-sian-li mengeluarkan suara teriakan melengking dan
tiba-tiba rantai
gelang yang dijadikan anting-anting telinganya itu menyambar dari
kanan kiri, yang kiri
menyambar kepala Han Han, yang kanan menyambar ke arah dada.
Sambaran kedua benda itu cepat dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi
berdesing dan Han
Han yang tidak keburu mengelak, mengerahkan tenaganya dan
menghantam ke arah dua
ujung rantai gelang itu dengan kedua telapak tangannya.
“Plak-plak!”
“Bukkk!” Tanpa disangka-sangka oleh Han Han, pukulan nenek itu
sudah menyusul pada
saat ia menggerakkan tangan menangkis sehingga dadanya kena
didorong oleh tangan
kiri nenek itu. Tubuh Han Han roboh bergulingan, dadanya ampek dan
napasnya sesak.
Akan tetapi ia menahan napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu
terkejut bukan main
karena tangkisan kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya
kehilangan dua
buah mata gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.
“Bocah keparat, berani engkau melawan Toat-beng Ciu-sian-li!”
Nenek itu memekik dan
tubuhnya sudah melayang naik dan meluncur ke arah Han Han dengan
terjangan dahsyat
sekali. Kedua tangan nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng
Tok-ciang (Tangan
Beracun Pencabut Nyawa). Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan
bunyinya dan
tercium bau amis sebelum pukulan itu datang. Melihat ini, Han Han
maklum bahwa ia
menghadapi lawan yang lebih lihai daripada Gak Liat atau Ma-bin
Lo-mo, maka ia cepat
mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan
dan menggunakan
tenaga sakti Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss.... plak-plak....!” dua pasang telapak tangan bertemu dan
akibatnya kembali
Han Han terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi nenek itu berdiri
menggigil dan
mulutnya berseru berkali-kali, “Luar biasa.... luar biasa....!”
Memang ia merasa heran setengah mati mendapat kenyataan betapa
kekuatan Im-kang
bocah itu lebih hebat daripada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo
sendiri!
“Heh-heh-heh, Dewi Pemabuk! Apakah engkau kewalahan menghadapi
muridmu
sendiri?” Si Burung Hantu mengejek sambil tertawa.
Nenek itu melengking tinggi karena marahnya, tubuhnya berkelebat
cepat ke depan dan
segera Han Han dihujani serangan dengan kedua tangan yang
bergantian memukul, kedua
kaki yang bergantian menendang, dan sepasang anting-anting raksasa
yang menyambar-
nyambar dari kiri kanan! Hebat bukan main sepak terjang nenek ini
sehingga secara ber-
turut-turut Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan dan
hantaman senjata
rantai gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa tubuhnya
sakit-sakit semua.
Sepasang Tikus Kuburan bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan
memang mereka
kagum bukan main. Sudah lama mereka mendengar nama besar Toat-beng
Ciu-sian-li,
akan tetapi baru sekarang mereka menyaksikan kelihaian nenek itu.
Tadi mereka sudah
mengenal kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat betapa nenek itu
mendesak dan
menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han,
tentu saja mereka
menjadi kagum sekali. Adapun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa
adik isterinya
terancam bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya
ia menganggap
Han Han sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat,
nenek ini pun tidak
ingin membunuh Han Han karena dia sudah mendengar dari tiga orang
muridnya tentang
keadaan diri Han Han yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Dia
pun diam-diam
menduga bahwa Han Han tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau
Es, maka ia ingin
memaksa anak muda itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es,
ingin menangkapnya
dan membawanya pergi. Di samping ini, juga ia ingin memamerkan
kepandaiannya
kepada para jagoan kerajaan, maka ia sengaja mempermainkan Han Han
dan mengeluar-
kan kepandaiannya yang memang mengagumkan sekali. Kalau ia
kehendaki, tentu ia
telah dapat membunuh Han Han dengan pukulan-pukulan
Toat-beng-tok-ciang yang
dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.
Untuk ke sekian kalinya, ketika dengan nekat Han Han menubruk,
menggunakan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im
Sin-ciang dengan tangan
kiri, yang amat mengagumkan hati nenek itu, Toat-beng Ciu-sian-li
mencelat ke atas se-
hingga kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya
menendang, mengenai dada
Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di sudut
ruangan itu. Han Han
terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja hiasan tinggi
yang menjadi tempat
pot bunga. Ia meloncat bangun dan mematahkan kaki meja itu.
Seperti juga kursi yang
diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat daripada akar pohon
yang bengkak-beng-
kok dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi sebatang tongkat dan
dengan senjata
sederhana ini Han Han maju lagi menghadapi Si Nenek sakti dengan
kemarahan meluap-
luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh, akan tetapi
kemauannya yang keras
membuat ia nekat dan pantang menyerah, kalau perlu ia akan
mempertaruhkan nyawanya
di tangan bekas gurunya ini.
“Ha-ha-ha-ha, biar engkau berubah menjadi tiga orang, tak mungkin
engkau dapat
menangkap Toat-beng Ciu-sian-li, bocah sombong!” Bhong Lek yang
mukanya kaya
tikus mengejek.
“Heh-heh, biar dia berkepala tiga dan berlengan enam, takkan mampu
menang!” Bhong
Poa Sik mengejek pula.
Mendengar ini, nenek itu terkekeh. “Jangankan hanya menjadi tiga,
biar menjadi tiga
puluh sekalipun aku masih sanggup mempermainkannya!”
Han Han makin marah, merasa dianggap rendah sekali. Ia teringat
akan kemampuannya
yang luar biasa, yang hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam
menghadapi Setan
Botak dan Si Muka Kuda tempo hari. Mendengar itu, ia pun lalu
berkata dengan suara
lantang, sinar matanya menyambar-nyambar seperti kilatan
halilintar dan suaranya yang
mengandung khi-kang kuat itu didasari kekuatan kemauan mujijat
yang amat
berpengaruh.
“Nenek sombong! Lihat, aku sudah menjadi tiga orang! Engkau mau
bisa apa?” Sambil
berkata demikian ia menyerang dengan pukulan tongkat kaki meja ke
depan dan
terbelalaklah semua orang ketika melihat betapa Han Han
benar-benar telah menjadi tiga
orang! Tiga orang muda berambut riap-riapan, ketiganya memegang
tongkat dan me-
nyerang Toat-beng Ciu-sian-li dari tiga jurusan!
“Hehhh....! Mimpikah aku?” Si Burung Hantu berkata gagap dengan
mata makin
menjuling.
“Demi segala iblis di neraka!” Si Muka Tikus Bhok Lek berseru
dengan mata terbelalak.
“Ajaib.... se.... se.... setan....!” Adiknya juga berseru.
“Ilmu hitam apakah ini....?” Giam-ciangkun juga berseru,
jantungnya seperti berhenti
berdetik.
“Ayaaaaa....!” Toat-beng Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit,
punggungnya terkena
hantaman tongkat.
Akan tetapi tubuhnya kebal dan sungguhpun ia merasa punggungnya
nyeri, namun ia
tidak terluka dan kembali ia melengking nyaring, tubuhnya mencelat
ke atas dan ia
menghindarkan pukulan tangan kanan kedua orang “Han Han” yang
berada di
belakangnya sambil menggerakkan rantai gelang telinga kanannya
menyerang ke arah
dada Han Han yang bergerak ke depannya.
“Pranggg....!” Dengan telapak tangan kanannya Han Han menampar
ujung rantai itu
sehingga dua buah gelang pecah-pecah sambil memegang tongkat
dengan tangan kiri.
Dalam pandang mata empat orang yang menjadi penonton, dua orang
“Han Han” yang
lain juga memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka menerjang
berbareng.
“Eh.... hiiihhhhh....!” Toat-beng Ciu-sian-li selama hidupnya
belum pernah mengalami
hal seperti itu. Ia kembali meloncat ke atas untuk menghindarkan
diri dan tiba-tiba ia
menggerakkan tangan. Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang
rantainya dan
melontarkannya ke arah tiga orang lawannya. Memang anting-anting
luar biasa itu selain
menjadi “perhiasan” dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan
sebagai senjata raha-
sia, yaitu dengan cara melolos gelang-gelangan rantainya.
Han Han cepat mengelak sambil menangkis dengan tongkatnya.
“Trakkk!” Tongkatnya
patah dan remuk dan ternyata bahwa tongkat kedua orang
“bayangannya” juga patah dan
remuk. Kini dia dan bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan
tangan kosong.
Melihat ini Giam-ciangkun segera berseru, “Ilmu sihir! Dia hanya
seorang, yang dua ha-
nyalah bayangan!”
Toat-beng Ciu-sian-li bukan seorang bodoh. Dia seorang datuk
golongan hitam yang
sakti. Maka ia segera sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang
dapat mengubah diri
menjadi tiga orang, maka ia mengerahkan kekuatan batinnya dan
seketika pandangannya
menjadi terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas muridnya yang
telah memperoleh
kemajuan luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga
sin-kang yang mentakjubkan.
Akan tetapi rasa gentar dan bingung tadi dipergunakan baik-baik
oleh Han Han. Selagi
lawannya bingung, ia mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan
begitu tubuh nenek
itu turun, ia menubruk ke depan, memukul dengan dorongan dahsyat.
Kini ia
menggunakan inti tenaga Im-kang yang ia latih selama
bertahun-tahun di Pulau Es,
menurut petunjuk kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang
Pedang Iblis dan
dengan pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku
dan menjadi
sebongkah salju sebesar kerbau!
“Ihhhhh....!” Toat-beng Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa
pukulan yang amat
dingin itu. Baru terkena hawanya saja, ia merasa semua darah di
tubuhnya seperti
membeku, maka maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena pukulan
itu, tentu ia tidak
akan kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya
dan tiba-tiba tubuh-
nya lenyap. Pukulan Han Han mengenai lantai di belakang tempat
nenek itu tadi berdiri,
membuat lantai itu bergetar dan semua perabot yang berada di
belakangnya hancur
semua. Kiranya nenek itu mempergunakan tenaganya yang mujijat dan
tubuhnya telah
amblas ke lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat
keluar dari lantai yang
mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki, ia kelihatan
pucat dan dari
ujung bibirnya menetes darah. Ia hanya kena serempet saja, namun
cukup membuat ne-
nek ini terluka!
“Ha-ha-ha, nenek setan arak, biar kubantu engkau!” Tiba-tiba
terdengar seruan keras dan
tahu-tahu Gak Liat Si Setan Botak telah berada di belakang Han
Han, lalu secepat kilat ia
memukul punggung Han Han dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Han
Han merasa
betapa hawa panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan
sin-kang melindungi
tubuhnya sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai
punggungnya
dan biarpun tubuhnya dilindungi sin-kang yang kuat, tidak urung ia
terlempar juga dan
roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciu-sian-li.
“Ha-ha-ha! Aku sudah membantumu. Engkau pun harus membantu kami,
membantu
kerajaan, Toat-beng Ciu-sian-li!” kata pula Gak Liat.
Nenek itu memandang tubuh yang tergolek pingsan di depan kakinya,
mengusap darah
dari ujung bibirnya dan menarik napas panjang. “Sebetulnya aku
tidak membutuhkan
bantuanmu, Setan Botak. Akan tetapi aku memang sudah berjanji
untuk membantu kalian
asal Kaisar dapat menghargai tenaga orang. Sekarang aku ada urusan
pribadi dengan
bocah ini. Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!” Ia mengempit
tubuh Han Han yang
lemas dan hendak pergi.
“Ha-ha-ha, takkan ada gunanya kau membujuk dia untuk bicara
tentang Pulau Es, Ciu-
sian-li. Dia keras kepala, engkau takkan berhasil!” kata pula Gak
Liat.
Toat-beng Ciu-sian-li menengok dan berkata, suaranya dingin,
“Siapa hendak bicara
tentang Pulau Es? Dia bekas muridku yang durhaka, harus diberi
hukuman untuk
memberi contoh kepada murid-murid lain!” Setelah berkata demikian,
tubuhnya
berkelebat dan lenyap.
Giam-ciangkun bernapas lega, merasa seolah-olah sebuah batu berat
yang selalu
menekan di dalam dadanya telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti
itu. “Aaahhhhh,
sungguh berbahaya....” katanya sambil menyapu peluh yang membasahi
lehernya. Pintu
terbuka dan munculiah Giam Kok Ma, mukanya yang kuning kini
berubah putih dan ia
bertanya terengah-engah, “Be.... betulkah apa yang kulihat tadi?
Dia.... iblis cilik itu....
berubah menjadi tiga? Celaka.... jangan-jangan hanya satu yang
dibawa pergi, yang dua
lagi....” Panglima muka kuning ini memandang ke seluruh ruangan
dengan mata jelilatan,
takut kalau-kalau ia akan menemukan dua orang Han Han lagi di
tempat itu, yang pasti
akan membunuhnya.
Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa, lalu duduk di atas kursi dan
berkata.
“Ciangkun, tidak usah khawatir. Dia memang memiliki sedikit ilmu
sihir. Bukan
tubuhnya berubah menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi pandangan
dan kemauan kita
sehingga kita melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu
betul-betul amat berbahaya
kalau dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh.
Untung dia telah
tertawan oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa
Ciu-sian-li. Iblis cilik
itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-ha-ha!”
“Syukurlah kalau begitu,” kata Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati
lega.
“Tenaga sin-kangnya tidak lumrah manusia,” kata kedua orang
Saudara Bhong.
Gak Liat hanya tertawa, tidak mau bicara banyak karena dia sendiri
masih ngeri kalau
mengingat betapa dia dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika
melawan bocah itu,
dan lebih-lebih lagi, ketika hendak membunuhnya tiba-tiba muncul
tokoh yang paling
disegani, paling dihormati, juga paling ditakuti di dunia ini.
Koai-lojin!
“Ehmmm.... sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk
menghajar bocah
sombong itu!” tiba-tiba Sin-tiauw-kwi berkata sambil menggoyang
senjata sabit di
tangannya.
“Ha-ha-ha, Sin-tiauw-kwi burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu
akan mampus di
tangan Ciu-sian-li. Kalau kau ingin memperlihatkan kepandaianmu,
boleh kau coba-coba
dengan aku.”
“Boleh! Sekarang pun boleh!” kata Si Burung Hantu dan ia
menggerakkan tangan kirinya
ke arah seekor lalat yang selalu banyak beterbangan di sekitar
tubuhnya yang mungkin
karena tertarik baunya yang apek dan penguk. Begitu ia
memutar-mutar tangannya, ada
angin berpusingan keras dan betapapun lalat itu hendak terbang, ia
tidak mampu keluar
dari pusingan angin itu dan hanya terbang bingung berputar-putar
di depannya!
Demonstrasi sin-kang yang seperti main-main ini sesungguhnya
hebat, memperlihatkan
betapa Si Burung Hantu sudah menguasai sin-kang sampai cukup
tinggi sehingga mampu
menggunakan tenaga yang dibikin halus seperti itu!
“Ha-ha-ha! Beraninya hanya sama lalat!” Setan Botak tertawa dan
menggerakkan
tangannya mendorong ke arah lalat yang beterbangan berputaran itu.
Lalat itu jatuh
dan.... hangus!
“Huh!” Si Burung Hantu mendengus. “Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi
dapat
menghanguskan seekor lalat, akan tetapi aku tidak takut!” katanya
menentang.
Melihat ini, Giam-ciangkun lalu bangkit berdiri dan menengahi
mereka, hatinya kesal
menyaksikan ulah kedua orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak
yang saling tidak
mau mengalah. “Sudahlah, harap ji-wi locianpwe suka menghentikan
main-main yang
berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil perjalanan
locianpwe?”
“Seperti ciangkun telah melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li
sudah menyanggupi untuk
membantu kita. Biarpun omongan nenek tua bangka itu belum tentu
dapat dipegang, akan
tetapi saya yakin, bahwa dia tidak akan sudi membantu kaum
pemberontak. Tentang Ma-
bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu sukar sekali
diurus. Akan
tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan murid-muridnya
yang selalu dia
tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru dalam hati mereka.
Hemmm, Si Muka
Kuda itu mengira bahwa tidak ada orang mengetahui rahasianya. Dia
lupa bahwa tidak
mudah orang menyembunyikan rahasia dari Kang-thouw-kwi, heh-heh!”
“Bagus! Rahasia apakah itu locianpwe? Murid-murid Ma-bin Lo-mo
sudah banyak
mendatangkan banyak kepusingan pada para penjaga di perbatasan.
Kalau kita dapat
menundukkan mereka, berarti semua tenaga anti pemberontakan dapat
dikerahkan
menghadapi Se-cuan saja.”
Bab 22
‘Rahasia besar Ma-bin Lo-mo, rahasia busuk, ha-ha-ha!! Gak Liat
tertawa, menyambar guci arak di atas meja lalu minum arak sampai terdengar bunyi
mengelogok di tenggorokannya.
‘Setiap orang muridnya adalah putera-puteri keluarga yang
terbasmi habis. Semua muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga mereka
terbasmi oleh pasukan Mancu. Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi
oleh pasukan Mancu. Yang membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri.
Ha-ha-ha!!
Sepasang Tikus Kuburan terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya
Ma-bin Lo-mo, seorang bekas menteri Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti
Kerajaan Mancu. Mereka mendengar betapa di In-kok-san, di puncak Pegunungan
Tai-hang-san, kakek itu melatih puluhan orang murid yang kini telah menjadi
orang-orang muda berilmu yang di mana-mana memusingkan petugas kerajaan karena
mereka itu selalu melakukan kekacauan. Mereka ini mendengar bahwa para murid
In-kok-san memusuhi Kerajaan Mancu karena mereka adalah keturunan para keluarga
yang terbasmi oleh pasukan Mancu dalam perang.
‘Eh, Gak-locianpwe. Benarkah itu?!
Kang-thouw-kwi melototkan matanya kepada kedua orang saudara Bhong
ini.
‘Mengapa tidak benar? Orang lain boleh ditipu, akan tetapi aku
tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin Lo-mo. Dia memilih calon murid, laki-laki
atau perempuan yang memiliki tulang dan bakat baik, kemudian ia membasmi
keluarga calon murid itu, mengatakan bahwa yang membasmi adalah orang-orang
Mancu dan ia membawa murid itu ke In-kok-san dan selain memberi kepandaian,
juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng. Dalam usahanya membentuk
barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah baru itu ia dibantu oleh Si
Muka Tengkorak Swi Coan, Si Muka Bopeng Ouw Kian dan Kek Bu Hwesio. Kalau
murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka, ha-ha-ha, hendak kulihat
apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!!
‘Akan tetapi, betapa mungkin dapat menginsafkan para muridnya,
locianpwe?!
‘Hal itu memang sukar, akan tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan
dapat mencari akalnya. Tentang siasat, sebaiknya kita serahkan kepada Sang
Puteri yang seratus kali lebih cerdik daripada saya si tua bangka. Dan tentang
gadis Mancu yang menjadi adik angkat Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah
mendengar dari murid saya Ouwyang-kongcu.!
‘Ouwyang-kongcu memang sudah pulang bersama Lulu, akan tetapi
gadis itu hanya menimbulkan keributan saja. Dia telah diterima di istana,
bahkan telah diangkat menjadi siuli, akan tetapi baru beberapa hari saja dia
sudah minggat entah ke mana. Kini Ouwyang-kongcu sedang berusaha mencarinya dan
belum pulang.!
‘Wah, sungguh merepotkan. Dan Puteri Nirahai, apakah sudah
pulang?!
‘Belum,! jawab Giam-ciangkun. ‘Marilah kita kembali ke kota
raja. Kita harus memberi laporan kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan aku
sendiri masih menghadapi kesukaran. Hemmm.... tak tahu aku bagaimana harus
menyampaikan kepada isteriku tentang adiknya.!
Giam Kok Ma berkata, ‘Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik
iparmu itu pergi tanpa pamit mencari Lulu. Bukankah alasan itu yang paling
baik?!
Giam Cu mengangguk-angguk. ‘Hemm, agaknya benar begitu. Memang
tidak ada alasan lain.!
Kembalilah mereka beramai ke kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang
bukan main dan baru pada malam hari itu ia dapat tidur setelah beberapa malam
semenjak diberi tahu Giam Cu bahwa dia dan rekan-rekannya diancam oleh Han Han
ia sama sekali tidak dapat tidur nyenyak tidak dapat makan enak!
***
Di dalam kempitan seorang sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li,
apalagi dua jalan darahnya telah ditotok, biarpun sudah sadar Han Han tidak
mampu berbuat apa-apa. Melihat dirinya dikempit dan dibawa lari cepat sekali,
Han Han berkata.
‘Toat-beng Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah
membawa aku pergi? Lebih baik kau bunuh sajalah aku, habis perkara!!
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke
atas tanah lalu berkata. ‘Enak saja membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah
melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau harus dihukum! Ataukah engkau dapat
bicara sesuatu untuk meringankan hukumanmu?!
Han Han tersenyum pahit. ‘Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li.
Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau menghendaki agar supaya aku
bicara tentang Pulau Es, bukan?!
‘Benar, benar....!! Ciu-sian-li berkata penuh gairah.
‘Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman, bahkan mungkin saja aku
mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya bicaramu.!
Han Han berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya
orang-orang pandai di dunia ini? Gak Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah
orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh
mereka masih belum puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu
orang lain! Tidak salah ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau
menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk dunia, ingin menyamai kekuasaan
Tuhan!
Kalau ia bicara tentang Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak
akan dibunuh! Benarkah ini? Andaikata benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada
nenek ini, padahal dia sendiri sangsi apakah dia akan sanggup mencari pulau
itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es!
Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya
dari penghuni Pulau Es! Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah
menjadi anak puthauw, belum mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini
mau ditambah menjadi pengkhianat lagi?
Biarpun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha agar tidak
menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang
mempertahankan kebenaran daripada hidup sebagai seorang manusia yang rendah
budi!
‘Tidak ada yang dapat aku bicarakan tentang Pulau Es,! katanya
tegas.
‘Hemmm, bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa?!
‘Sesukamulah. Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir
dengan kematian, dan aku tidak takut mati, Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan
Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan, mereka pun hanya melelahkan diri
sendiri. Sia-sia. Lebih baik kau bunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak
pusing, aku pun tidak jemu!!
Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini
dan memang dia tidak hanya menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu
menghadapi maut dengan mata terbuka.
‘Hemmm, enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi
hukuman agar menjadi contoh bagi semua murid yang murtad!!
Han Han tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan
sinar mata tidak acuh sama sekali. Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi
tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya lari cepat sekali seperti
terbang.
Para murid di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda
yang gagah berani dan biarpun mereka itu tidak bekerja sama, juga jumlah mereka
hanya beberapa puluh orang saja, namun sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi
pemerintah Mancu.
In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para
murid itu pulang, karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Setelah
mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah
penjajah, In-kok-san menjadi sunyi. Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di
puncak itu.
Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu
berada di situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya
untuk memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal
politik, dan tekun melatih tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan
Gu Lai Kwan. Biarpun demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke
In-kok-san oleh Ma-bin Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena
keluarga, mereka terbasmi oleh bangsa Mancu, apalagi karena semua murid Ma-bin
Lo-mo yang berada di situ juga saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga
orang muda ini tentu saja tidak mau tinggal diam melihat perjuangan para murid
Ma-bin Lo-mo. Sering kali mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk
mengganggu pembesar-pembesar Mancu, membunuhi mereka, terutama sekali kepala
kampung-kepala kampung atau pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng
Ciu-sian-li yang melihat betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang,
tidak ambil peduli dan menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini
ketika hari itu ketiga orang muridnya melaporkan bahwa mereka bertemu dengan
Han Han yang melindungi seorang Panglima Mancu yang hendak pulang ke kota raja
dan betapa mereka bertiga telah kalah melawan Han Han!
Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu saja
ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada semua murid Ma-bin
Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu?
Nenek itu marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul
keheranan dan dugaan bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang
terdapat di Pulau Es. Maka ia lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang
membujuk-bujuknya untuk membantu istana dengan menjanjikan kemuliaan kepada
nenek itu.
Toat-beng Ciu-sian-li tertarik, maka ia dianjurkan oleh Gak Liat
untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti telah direncanakan.
Karena memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek
itu menyanggupi dan seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran
Ouwyang Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han
Han berada di kota raja.
Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han keluar kota
raja kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san. Mula-mula
memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es, akan tetapi
sete lah hatinya yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang
memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam
Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan
menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han
Han, tiga orang muridnya menyambutnya dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai
Kwan menjadi girang sekali bahwa orang yang pernah mengalahkannya dan
membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya. Phoa Ciok Lin juga tersenyum
puas karena gadis bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela
seorang Panglima Marcu.
Adapun Kim Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya
seperti ditusuk pedang karena ia merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa
bekas sahabatnya yang paiing baik ini akan mengalami hukuman yang mengerikan!
Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya
memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga belasan orang murid
Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di In-kok-san memandang dan saling berbisik
membicaraken Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai seorang murid yang
murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.
Nenek itu menoleh kepada para murid yang bergerombol memandang itu
dan berkata, ‘Murid murtad sudah tertangkap, mari kalian saksikan dia
dihukum!!
Nenek itu langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan
buruk, yaitu kamar penyiksaan atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad.
Di situ hanya terdapat sebuah dipan bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng
Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke atas dipan.
‘Ikat kedua tangannya!! Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan
cepat maju, mengambil tambang yang terbuat dari serat yang ulet dan kuat,
menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan membelenggunya, melibat-libat
kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali.
Han Han tidak dapat berdaya karena ia berada dalam keadaan
tertotok. Ia hanya sekilas saja melayangkan pan dang matanya kepada para murid
itu dan mengenal mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu,
sejenak pandang mata mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat
melihat betapa gadis itu memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh
kekhawatiran dan iba. Ia menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman
segera dilaksanakan karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan
terlalu menderita rasa nyeri.
Akan tetapi harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua
kali untuk membebaskan jalan darahnya. Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri
tubuhnya dan ketika ia berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat
kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya itu kuat sekali. Pula, apa artinya
memberontak?
Dia tidak akan dapat melawan Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi di
situ terdapat belasan orang murid nenek itu dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang
rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang tentu akan mengeroyoknya. Karena
ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu miringkan tubuhnya ke kanan,
membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan nasibnya kepada Thian.
Keadaan di dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang
dengan jantung berdebar. Mereka adalah orang-orang gagah yang sudah banyak
menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh musuh tanpa berkedip. Akan tetapi
selalu, apabila ada seorang murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka
berdebar tegang, karena nasib seperti yang dialami si murid terhukum
sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri mereka sendiri.
‘Kim Cu, kau isi guci arakku yang kosong ini!! Toat-beng
Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya yang kosong kepada si
murid. Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga sin-kang sehingga bagi
orang yang tidak memiliki sin-kang kuat dan tidak terlatih, menerima lontaran
guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang meninggalkan
badan! Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan
baik, lalu lari pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya.
Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali dan menyerahkan guci arak kepada
gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak
mengalir keluar dari mulutnya karena agaknya sudah ketagihan sekali dan
tergesa-gesa minum araknya. Kemudian ia menurunkan guci dari mulut dan berkata,
suaranya bengis menyeramkan.
‘Murid-muridku, juga murid Ma-bin Lo-mo, semua murid-murid
In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah seorang murid yang murtad, yang
telah minggat dan melakukan banyak hal yang melanggar peraturan Perguruan
In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan
tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku masih memberi kesempatan kepadanya untuk
membuka suatu rahasia. Apabila dia suka bicara, mungkin sekali aku akan
mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah saat terakhir bagimu! Masihkah
engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara tentang rahasia itu kepadaku?!
Hening sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua
murid ingin mendengarkan jawaban Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu
terdengar berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia
bicara di luar kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang,
suara yang gemetar.
‘Han Han.... kau bicaralah....!!
Gadis itu terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari
mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia sadar bahwa semua mata kini ditujukan
kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.
Han Han yang berada dalam keadaan samadhi itu seperti mimpi. Ia
melihat bayangan ibunya. Ibunya menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan
pandang mata penuh kasih sayang. Tiba-tiba terdengar suara Toat-beng
Ciu-sian-li tadi yang disusul suara Kim Cu.
Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian membalikkan tubuh dan
berdiri membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka. Karena Han Han
ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang
memiliki sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam
pandang mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia
lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng Ciu-sian-li dan
anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada
tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak
seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh
menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak mau, hanya menggeleng kepala.
‘Gu Lai Kwan, ambil golok!! bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok.
Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu bersama alat-alat lain untuk
menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa murid murid
yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan
makin tegang ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, mem bawa golok yang
diminta.
‘Lai Kwan, aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kau
pergunakan golok itu untuk memenggal leher Sie Han!!
Suara nenek ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para
murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena
dia diberi kehormatan sebagai pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya
itu. Dia memang penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia
tidak mengira bahwa dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
‘Le.... lehernya, subo....?! tanyanya, seolah-olah ia khawatir
kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik.
‘Lehernya, kau dengar? Lehernya! Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus
mati!! Setelah berkata demikian, nenek itu mengangkat guci araknya dan minum
arak menggelogok dengan mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan
pelaksanaan hukuman dan menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan mengangkat golok itu ke atas mukanya sungguh-sungguh
dan kini sinar matanya mengandung kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus
mentaati perintah gurunya. Semua murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap
gerakan tangan Gu Lai Kwan yang mengangkat golok ke atas dengan hati
berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru
keras,
‘Haiiittttt!! Golok itu berubah menjadi sinar putih menyilaukan
mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher Han Han yang rebah miring
ke kanan membelakanginya.
‘Ohhhhh, jangan....!! Jeritan ini keluar dari mulut Kin Cu dan
gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata rahasia berbentuk bola baja berduri
yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang sedang melayang menuju ke leher
Han Han.
‘Tranggggg....!! Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher
Han Han itu terpukul senjata rahasia, menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri
Han Han.
‘Crokkkkk!!
‘Ibuuuuu....!!
Kaki kiri Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan
darah mengucur deras, kaki yang buntung terlempar ke bawah dipan.
‘Ibuuuuu....! Jangan tinggalkan anakmu, Ibu....!! Han Han
menjerit, dengan mata masih terpejam karena ia melihat bayangan ibunya
melangkah pergi, makin lama makin jauh dan makin kecil, sehingga akhirnya
lenyap.
‘Ibuuuuu....!! Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh
pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat
dipan dan gadis itu menotok punggung dan pangkal pahanya untuk menghentikan
darah yang mengucur keluar dari pahanya yang buntung. Han Han merasa betapa
kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan
maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh, melainkan dibuntungi sebelah kaki
kirinya!
Ruangan itu sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid
Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali
menyaksikan betapa muridnya yang paling ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal
yang amat memalukan dan memarahkan hatinya. Kini yang berada di situ hanya
Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya.
Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut, hatinya
mendongkol terhadap Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak
sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu
membela Han Han. Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu
dan gurunya berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa sucinya itu
tentu tidak akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu
masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu
yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang
mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han
Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Kedua, kakinya buntung dan apa yang dapat ia
lakukan dengan kaki yang hanya tinggal sebelah itu? Ketiga, ia amat cemas
memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah menolongnya dan di depan gurunya
berani menolong menghentikan darahnya dan berusaha pula membebat luka di
pahanya dengan robekan ujung baju!
‘Kim Cu, mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan? Mengapa
engkau berani menggagalkan hukuman penggal kepala bocah itu?! tiba-tiba Nenek
itu bertanya, suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat, namun malah
mendatangkan pengaruh yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan
tak terasa lagi dua butir air mata menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini
tidak hanya menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini telah
menolong nyawanya, menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal
lehernya!
‘Duhai.... Kim Cu, mengapa kau lakukan itu....?!
Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu dengan mata basah.
Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun
basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada
sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari pandang mata gadis itu, yang
membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
‘Kim Cu! Jawablah!! Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil
menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia marah sekali sehingga bantingan
kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar.
Setelah melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu
bangkit berdiri dan berkata.
‘Subo, teecu menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama
baik subo, dan nama kehormatan Perguruan In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan
di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han Han
memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan
semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya
dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya, maka terpaksa teecu
turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa
Thian menyetujui pendapat teecu!!
Nenek itu mengerutkan kening. ‘Hemmm.... engkau pandai bicara!
Akan tetapi mengapa engkau menolongnya dan mengobatinya pula?!
‘Subo, betapapun juga, Han Han adalah bekas suteku, bagaimana
teecu dapat membiarkan dia menderita seperti ini? Teecu.... merasa kasihan....!
‘Heh, bocah tak bermalu! Apa kaukira mudah saja membohongi aku?
Apa kaukira mataku buta tak dapat melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini?!
Wajah, Lai Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi
merah sekali, ia menundukkan mukanya. Han Han memandang bengong, mengeluh dan
bangkit duduk.
‘Toat-beng Ciu-sian-li, harap jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau
engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih belum terlambat!!
‘Han Han!! Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya.
‘Tidak boleh begitu. Murid yang sudah dihukum, tidak aken dihukum lagi!!
‘Keparat! Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung,
hendak kulihat apakah engkau akan bisa hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau
akan bisa berbuat apa? Engkau telah menjadi seorang buntung, seorang penderita
cacat yang tidak berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk kamarmu
dan sebelum kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!!
Kim Cu memandang Han Han sejenak lalu membalikkan tubuh lari dari
ruangan itu dengan isak tertahan. Han Han menghela napas, lalu bangkit berdiri
dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut
rasanya, membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri. Seluruh tubuhnya seperti
ditusuk-tusuk dan kepalanya pening, pandang matanya berkunang.
Terpaksa ia memejamkan mata untuk menghilangkan bintang-bintang
yang menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun, ketika ia memejamkan
mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di
depan matanya.
Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es?
Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna, lihat betapa lemahnya!!
Mendengar suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu,
bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia segera mengerahkan tenaganya dan hawa
yang hangat mengalir di tubuhnya. Akan tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia
sudah marah dan mengerahkan sin-kang, selalu timbul sifat beringas dan buas
yang membuat ia ingin melihat darah mengalir di tubuh lawan, ingin melihat
lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya.
Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya
setelah ia melihat akibat daripada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan
setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata,
lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan
dan roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han
setelah mendengar pernyataan gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini
buntung kakinya itu. Adapun Phoa Ciok Lin memandang dengan mata tajam, tidak
ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya.
Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia
mengerahkan tenaga dan bangkit lagi dengan kedua tangannya menekan lantai, lalu
berdiri dan dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke
pintu, terus keluar dari rumah Perguruan In-kok-san itu.
Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri yang hebat itu, ia tidak
melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu belakang memasuki taman
In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah kakinya.
Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han
berloncatan terus, kalau hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso
sebentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan
kepala.
Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting
dan daun, dan cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat
sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur
di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang
dan tongkatnya melintang di atas dadanya.
Menjelang subuh, ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan.
Dilihatnya, cuaca masih amat gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada
kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahankan, akan tetapi perutnya terasa
perih sekali karena lapar. Sudah empat hari empat malam dia tidak makan,
semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li.
Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas. Ia bangkit duduk,
bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang.
Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara
bintang-bintang itu?
Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya.
Jauh daripada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau
menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh,
lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya.
Kini ia menjadi seorang tapadaksa, murid buntung yang tentu tidak
akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli. Apalagi hendak
membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat,
itu pun tidak tegak!
Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya. Kantung
berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat
itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya.
Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam
keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara
tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya. Biarpun kini ia menduga bahwa
cihu-nya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada
Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang
yang dicinta cicinya.
Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah
ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas.
Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang
makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek
di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada!
Bahkan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang
mengorbankan nyawa orang.
Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah,
kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya?
Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apalagi
kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya!
Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasihat kankek di
kuil Siauw-lim-si. Dia dinasihatkan untuk membuntungi kaki kirinya di samping
harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han Han
tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya
tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang buntung.
Tidak susah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi
kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung
maka menasihatinya agar membuntungi kakinya sendiri, daripada dibuntungi orang
lain. Ia tersenyum pahit. Nasihat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha
Kuasa. Baik, dia akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguhpun
dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertawa,
yaitu membalas dendam.
Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada
di sampingnya, tentu akan dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai.... alangkah
akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung!
Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri
dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata. Sampai lama ia
menangis seperti ini. Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia
telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa
ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya?
Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi,
mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan
ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya
masih merah bekas banyak menangis. Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong,
hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir
sinar matahari pagi.
Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira
menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang
menembus celah-celah daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun
yang bergantungan pada daun pohon. Sambaran seekor burung yang mungkin mengira
pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya,
menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh
berkilaunya setetes air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir
mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa akar nyeri tubuhnya, lupa akan lapar
perutnya. Pandang matanya lekat pada sebutir air yang berubah menjadi mutiara
itu, lekat dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu, bergantung
dengan butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan,
hanya aman damai dan bahagia. Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap,
sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak
ada apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah
hidup. Hanya setetes air yang berkilauan untuk beberapa lama saja. Kemudian
apabila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ia
menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum
waktunya. Lenyap sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati!
Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan cahayanya karena
matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun pohon,
tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke bumi.
Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar bergerak, hanya menanti datangnya
maut menjemput!
‘Han Han....!! Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya
seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa
sebuah buntalan. Gadis yang cantik manis, rambutnya yang hitam halus itu
terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis, pakaiannya juga kusut,
wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han,
kemudian perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang buntung.
‘Kim Cu.... engkau.... datang ke sini....?! Han Han menegur
penuh kekhawatiran. ‘Tentu Gurumu akan marah....!
Kim Cu berlutut dekat Han Han dan berkata, ‘Jangan banyak bicara
dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan makanan dan minuman, dan obat bubuk
untuk menambah darah, obat untuk mengobati lukamu....!
Melihat gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil
meruncing membuka buntalan, mengeluarkan roti dan sedikit daging, sebotol
minuman air hangat, menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti segala
gerakannya dengan hati penuh keharuan.
‘Han Han, makanlah dulu....! Gadis itu mengangkat muka. Mereka
berpandangan. Kim Cu terisak, menggigit bibir menahan tangis. ‘Han Han....
kau.... kau menangis....?! Ia melihat dua butir air mata turun perlahan dari
kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
‘Kim Cu....! Suara Han Han menggetar. ‘Mengapa....?!
Kim Cu memandang, juga air matanya berderai, ‘Kau hendak berkata
apa....?!
‘Mengapa engkau sebaik ini kepadaku....?!
Dengan air mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang
dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil, seperti hendak menangis, akan tetapi
ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati Han Han.
‘Makanlah dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah....
makanlah dulu, baru nanti kita bicara....!
Han Han mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar
sekali, dan roti itu terasa lezat, akan tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang
memandang wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati
gadis itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata
mereka bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari
tangannya.
Roti yang dibawa Kim Cu itu hampir habis. ‘Engkau tidak makan?
Marilah....!
Kim Cu menggeleng kepala perlahan. ‘Makanlah, habiskan. Aku
tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan....!
Roti itu habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya
dengan ujung lengan baju. ‘Kim Cu, banyak terima kasih kuucapkan padamu.
Bukan hanya untuk roti dan minuman ini....!
‘Sssttttt, nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur
sekali, penambah darah dan peringan rasa nyeri, kemudian akan kugantikan obat
ini pada lukamu.!
Han Han minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia
melihat betapa Kim Cu membuka balut pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang
melekat dengan darah kering pada lukanya itu diambil. Akan tetapi ia tidak
mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu
membersihkan luka di pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan
obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain bersih yang sengaja dibawanya
untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka itu, Han Han berkata, ‘Kim Cu,
percayalah, aku selama hidupku takkan dapat melupakan kebaikan hatimu, karena
engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan terutama sekali,
engkau telah mengorbankan dirimu....!
‘Jangan katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu
dibunuh hanya karena kesalahanmu yang kecil itu? Engkau masih muda, engkau
masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus dibunuh secara sia-sia?!
Han Han menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, bersandar
pada batang pohon, tangan kiri menekan tongkat cabang pohon.
‘Aaahhhhh, harapan apalagi yang ada padaku? Aku telah menjadi
murid tapadaksa.... tiada gunanya....! Kembali ada dua titik air mata meloncat
keluar ke atas pipi Han Han.
Kim Cu memandang penuh iba hati, kemudian ia mendekati Han Han,
menggunakan ujung ikat pinggangnya dari sutera untuk menghapus air mata itu.
‘Ah, Han Han, kasihan sekali kau....! Sambil berkata demikian,
Kim Cu memandang dengan mata basah.
Han Han makin terharu, air matanya deras mengucur dan ia segera
memeluk dan mendekap muka Kim Cu ke dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han
menengadah ke angkasa, mengejap-ngejapkan mata untuk menahan membanjirnya air
matanya. Sampai lama keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han dengan
air matanya, kedua lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu
mengusap-usap rambut yang hitam halus dan harum itu.
‘Kim Cu....! Han Han berbisik dekat telinga gadis itu.
‘Benarkah dugaan gurumu bahwa engkau.... mencintaku?!
Gadis itu tidak menjawab, hanya gerakan mukanya yang mengangguk
amat meyakinkan. Hati Han Han terasa perih dan dengan halus ia mendorong kedua
pundak gadis itu sehingga menjauh. Gadis itu memandang kepadanya dan cinta kasihnya
tersinar keluar dari pandang matanya.
Han Han membuang muka, tubuhnya miring dan kini ia bersandar pada
batang pohon dengan pundak kirinya, alisnya berkerut dan mukanya keruh.
‘Kim Cu, ini tidak benar! Engkau tidak bisa mencintaku, tidak
boleh! Aku kini telah menjadi seorang laki-laki yang buntung kakinya, murid
laki-laki yang tidak berguna sama sekali. Engkau hanya akan menyesal kelak, dan
akan malu berada di samping seorang pria yang menjijikkan....!
‘Ohhh, Han Han, mengapa kau berkata demikian?! Kim Cu mengusap
air matanya dengan punggung tangan kemudian merangkapkan kedua tangannya dengan
jari-jari saling cengkeram, suaranya sungguh-sungguh, menggetar dan penuh
perasaan.
‘Han Han, kenapa kau menjadi putus asa? Ke mana perginya
kekerasan hatimu yang dahulu? Ke mana perginya kejantananmu yang menyinar
semenjak kita masih kecil dahulu? Dahulu engkau begitu keras hati, begitu besar
semangat, begitu mengagumkan? Setelah kakimu bun.... eh, hanya tinggal satu
apakah engkau menjadi seorang yang tidak berguna lagi? Tidak sama sekali!
Seharusnya peristiwa yang kau alami ini malah memperkuat dan memperkeras
batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh manusia bahwa engkau dapat
berbuat lebih baik daripada manusia yang utuh tanpa cacat! Bangkitkan
semangatmu, tunjukkan bahwa manusia cacat tidak boleh dihina! Jangan menjadi
melempem, Han Han!!
Ucapan yang bersemangat dari Kim Cu ini merupakan cambuk yang
mencambuki batin Han Han. Seketika matanya memancarkan api, kegairahan hidupnya
timbul kembali. Dia bukanlah seperti mutiara embun yang tidak berdaya, yang
akan mudah jatuh gugur hanya karena tiupan angin sedikit saja! Dia seorang
manusia, yang berakal budi! Biarpun cacat, kalau kemauannya masih ada, mengapa
tidak mungkin menjadi orang berguna?
‘Aduh, Kim Cu...., terima kasih....!! Saking gembiranya karena
tiba-tiba semangatnya timbul kembali, Han Han merangkul gadis itu dan
menciumnya. Dia belum pernah berciuman didasari cinta, dan biasanya dia mencium
Lulu secara main-main, dengan hidung pada pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan
ujung hidungnya sedikit saja pada kulit pipi atau kulit dahi adiknya.
Betapa senangnya Lulu menggodanya, mengatakan ujung hidungnya
dingin seperti es! Akan tetapi entah bagaimana, ciumannya sekali ini, yang
dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati dan kemesraan, menjadi kecupan cium
mulut yang penuh gairah, ciuman yang seolah-olah melekat takkan terlepas lagi.
Mereka saling melepaskan ciuman dan rangkulan, saling memandang
dengan mata terbelalak dan napas terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah
sekali dan agaknya untuk menutupi rasa malu yang tiba-tiba timbul, ia berbisik
tergagap,
‘Han Han, aku.... aku mencintamu....!
Han Han memegang kedua tangan gadis itu. ‘Percayalah kalau kau
bisa percaya kepadaku, engkau seorang gadis yang kujunjung tinggi di dalam
hatiku. Engkau murid gadis yang takkan pernah kulupakan! Engkau seorang gadis
yang semulia-mulianya bagiku dan.... heiii, Kim Cu, celaka. Engkau harus lekas
kembali! Ah, bagaimana engkau berani meninggalkan kamarmu? Bukankah....
bukankah gurumu mengatakan bahwa engkau tidak boleh keluar dari kamar? Ahhh,
bagaimana ini? Tentu engkau akan dibunuh guru dan suhengmu kalau engkau pulang
nanti....!! Tiba-tiba Han Han yang teringat akan keselamatan gadis ini berkata
dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya dan berkata, ‘Aku
sudah lari dari kamarku. Aku.... aku tidak mau kembali. Aku akan ikut
bersamamu, Han Han.!
Han Han terkejut sekali. ‘Tidak....! Jangan, Kim Cu, jangan!
Kalau sampai ketahuan gurumu, dan kakimu.... kakimu dibuntungi seperti aku....!
‘Biarlah, dengan begitu keadaan kita akan sama, bukan?! Kim Cu
menjawab, suaranya sungguh-sungguh.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan dua orang muda yang sudah
memiliki pandangan mata awas dan pendengaran tajam itu cepat menengok. Kagetlah
mereka ketika melihat Toat-beng Ciu-sian-li sudah berdiri di hadapan mereka!
‘Hemmm.... Kim Cu! Engkau berani menentang perintahku? Engkau
sudah begitu tergila-gila kepada bocah ini?!
‘Subo, aku mencinta Han Han!! kata Kim Cu dengan berani.
‘Toat-beng Ciu-sian-li, jangan salahkan dia. Hukumlah aku kalau
pertemuan ini kau anggap suatu pelanggaran!! kata Han Han.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang marah. Ia merasa kecewa sekali
bahwa Han Han tetap berkeras tidak mau bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih
kecewa lagi melihat betapa murid yang paling disayangnya, Kim Cu, mencinta
pemuda itu dan berani menentang perintahnya.
‘Kalian saling mencinta, ya? Hem, baik. Kalian tidak akan
terpisah lagi satu sama lain. Hayo ikut bersamaku!! Nenek itu berkata dengan
bengis. Kim Cu dan Han Han saling berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada
gunanya melawan gurunya, berkata kepada Han Han.
‘Marilah, Han Han. Apapun yang akan terjadi, aku rela asal
bersamamu.! Ia memegang tangan Han Han, mengajaknya pergi mengikuti gurunya.
Han Han yang merasa terharu dan tidak berdaya melindungi gadis itu, tidak
berkata apa-apa dan berloncatan dengan sebuah kakinya, dibantu dengan tongkat
dan dibimbing oleh Kim Cu.
Mereka berdua maklum bahwa mereka berada di tangan nerek itu,
mungkin menghadapi bahaya maut, akan tetapi wajah Kim Cu berseri, sedikit pun
tidak takut asal ia bersama orang yang dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi
bagi seorang yang sedang diamuk cinta.
Han Han tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim
Cu, sungguhpun ia amat suka dan berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia
akan rela mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini. Ia hanya merasa cemas,
bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan keselamatan
Kim Cu. Betapapun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan kemampuanku
untuk melindungi Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia berloncatan
bersama Kim Cu yang menggandengnya di belakang tubuh nenek yang mengerikan itu.
***
Kita tinggalkan dulu Han Han dan Kim Cu yang terancam bahaya maut
di tangan Toat-beng Ciu-sian-li, bagaikan dua ekor domba yang dituntun ke
penjagalan oleh nenek itu, dan mari kita ikuti perjalanan Lulu. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Lulu diculik oleh Ouwyang Seng dan dibawa ke kota
raja. Terhadap pemuda bangsawan yang lihai ini, Lulu tidak berdaya dan
setibanya di kota raja, Ouwyang Seng berkata kepadanya.
‘Dengarlah, bocah yang binal! Aku Ouwyang Seng, putera Pangeran
Ouwyang Cin Kok dan aku tidak mempunyai niat buruk kepadamu.! Ia masih belum
membebaskan gadis itu dari totokan.
‘Beginikah orang yang tidak berniat buruk? Kenapa kau culik aku
dan menotokku sampai tidak mampu bergerak?!
Ouwyang Seng tertawa. Gadis ini berani dan penuh semangat. Kalau
saja bukan gadis Mancu, kalau saja tidak diketahui keadaannya oleh Puteri
Nirahai, tentu ia akan dapat menikmati wanita selincah ini.
‘Kalau kau berjanji tidak akan melawan, aku akan membebaskanmu.
Akan tetapi engkau harus berjanji untuk ikut denganku ke kota raja, dan tidak
membikin ribut. Ketahuilah, aku sudah tahu bahwa engkau seorang gadis Mancu dan
engkau akan kuhadapkan ke istana kaisar.!
Lulu mengangguk dan berkata. ‘Baiklah. Bebaskan aku.! Dia cerdik
sekali dan dia akan mencari kesempatan baik untuk membebaskan diri, tentu saja
dia tidak akan nekat menggunakan kekerasan karena ia tahu bahwa dia tidak akan
menang melawan pemuda yang tampan akan tetapi jahat ini.
Ouwyang Seng membebaskan totokannya dan Lulu mengomel, ‘Engkau
kejam sekali. Sampai kaku-kaku tubuhku, dan kau apakan Han Han?!
‘Dia bukan Kakakmu, engkau gadis Mancu dan puteri perwira,
bukan?!
‘Bagaimana engkau bisa tahu?!
‘Pendeknya aku tahu, dan eh, siapa namamu?!
‘Katanya sudah tahu. Kenapa tanya nama?!
Ouwyang Seng gemas. Kalau bukan gadis Mancu, tentu sudah
ditubruknya dan digigitnya bibir manis yang lincah itu.
‘Dengarlah. Kami telah mencari-carimu dan engkau berhak untuk
hidup mulia di kota raja. Sudah lama kami mencarimu dan aku membawamu ke sini
dengan niat baik. Katakan siapa namamu.!
‘Namaku Lulu. Sie Lulu!!
Kembali Ouwyang Seng tertawa. ‘Mana bisa kau memakai nama
keturunan Sie? Apakah orang tuamu she Sie? Tak bisa kau mengambil she seperti
orang memungut batu di pinggir jalan!!
‘Kokoku she Sie, tentu saja aku pun she Sie,! bantah Lulu
merengut.
‘Sudahlah, baik kau she Sie. Lulu, engkau harus menghadap Ayahku
dulu, kemudian baru kau akan kami bawa ke istana.!
Lulu tidak membantah dan mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang
Cin Kok. Ketika pangeran ini melihat puteranya berhasil membawa Lulu, ia
menjadi girang sekali. Pangeran ini sendiri lalu membawa Lulu menghadap kaisar
dan menceritakan keadaan gadis itu. Ketika Lulu menghadap kaisar, dia merasa
takut sekali dan menundukkan muka tidak berani memandang.
Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah membuat ia merasa
dirinya kecil. Kaisar menegurnya dalam bahasa Mancu dan biarpun agak kaku, Lulu
dapat menjawab dan dia menceritakan tentang orang tuanya yang dibunuh para
pemberontak, betapa kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik angkat oleh
Han Han. Dia tidak bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han Han, dia
mengerti bahwa pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.
Kaisar merasa suka dan kasihan kepada Lulu, maka gadis itu lalu
diangkat menjadi siuli dan untuk ini ia harus belajar tata susila dan
peraturan-peraturan dari seorang petatih. Sejak hari itu, Lulu tinggal di
istana. Akan tetapi hati dara ini selalu berduka, sungguhpun hal itu ia
sembunyikan. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, pada suatu malam ia
berhasil minggat dari istana. Bagaimana mungkin ia dapat hidup senang, biar di
dalam istana indah sekalipun kalau ia jauh dari kakaknya?
Lulu memang cerdik. Ia maklum bahwa larinya tentu akan menimbulkan
geger dan ia tentu akan dicari dan dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia
berlari terus malam itu dan pada keesokan harinya, ia melepaskan semua
perhiasan emas permata yang harus ia pakai ketika dia dilatih menjadi siuli,
kemudian ia menjual sebagian perhiasan itu, membeli pakaian pria dan ia
berganti pakaian pria.
Biarpun telah menyamar sebagai seorang pemuda remaja yang terlalu
tampan, ia masih tidak mau menghentikan larinya dan ia pun melarikan diri ke
jurusan selatan. Ia hendak pergi mencari kakaknya dan di dalam hatinya ia
khawatir sekali. Kakaknya diserang oleh orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan
Kang-thouw-kwi yang lihai. Masih hidupkah kakaknya?
Ia memasuki kota Tiong-bun pada suatu sore dan melihat banyak
orang berduyun-duyun menuju ke selatan kota, ia mendekati seorang kakek dan
bertanya mengapa banyak orang pergi ke jurusan itu. Si kakek menjawab bahwa
mereka hendak menonton pertunjukan silat yang dibuka oleh rombongan ahli silat
perantauan. Lulu tertarik sekali dan ikut menuju ke tempat itu.
Di ujung selatan kota, di pinggir jalan yang sunyi, ia melihat
sebuah panggung yang tingginya hanya satu setengah meter dan dari jauh sudah
terdengar suara tambur dipukul dan tampak olehnya seorang gadis kecil berusia
kira-kira dua belas tahun bermain silat pedang.
Ilmu silat memang merupakan seni budaya yang amat indah.
Keindahannya terletak pada gerak tari yang terdapat dalam setiap gerakan kaki
tangan, gerak tarian yang indah namun menyembunyikan unsur-unsur bela diri yang
kokoh kuat dan daya serang yang lihai dan praktis. Cadis cilik itu tentu saja
belum matang gerakan-gerakannya, lebih memberatkan kepada gerak tariannya
sehingga tampak indah gemulai ketika ia bermain pedang.
Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang
bersumber pada ilmu pedang Hoa-san-pai, indah gemulai dan memang gadis itu
memiliki bakat menari yang baik, Lulu sampai melongo menonton pertunjukan itu.
Dia tidak pernah mimpi bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun
tidak tahu bahwa kalau ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah daripada
gadis itu sehingga dahulu kakaknya sering kali menggodanya dan mengatakan bahwa
dia bukan bersilat melainkan menari.
Yang menabuh tambur adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun,
wajahnya membayangkan kedukaan besar, sungguhpun kedukaan itu ditutupi dengan
senyum-senyum melihat betapa banyak orang yang menonton kelihatan tertarik
sekali kepada permainan silat pedang anak perempuan itu. Selain kakek itu, ada
pula seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi
kurus dan laki-laki ini berdiri bertolak pinggang memandang gerakan anak
perempuan itu dengan pandang mata penuh penilaian.
Ada seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini adalah
seorang wanita berusia tiga puluh tahun kurang, memegang gembreng kecil yang
ditabuhnya perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng ini
menambah keindahan tarian pedang gadis itu.
Gadis cilik itu mengakhiri permainan pedangnya dengan gerakah
indah, pedangnya berkelebat dari kanan ke kiri, berhenti di depan dada dan
diacungkan ke atas, tangan kiri dirangkapkan kepada tangan kanan merupakan
penghormatan, tubuhnya membungkuk ke empat penjuru dan senyum manis menghias
bibirnya yang mungil.
Bab 23
Tepuk tangan dan sorak-sorai meledak menyambut permainan pedang
gadis cilik itu yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda
terima kasih. Lulu ikut pula bertepuk tangan dan bersorak memuji, karena dia
benar-benar kagum sekali.
Kini kakek itu maju dengan tersenyum-senyum, tidak mempedulikan
hujan uang kepingan yang dilemparkan ke atas panggung. Juga Lulu mengambil
seraup uang kepingan dan melemparkannya ke atas panggung.
‘Cu-wi sekalian, terima kasih banyak atas perhatian cu-wi terhadap
permainan pedang yang masih buruk dari cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui
bahwa kami sekeluarga mengadakan pertunjukan silat di kota ini, bukan
semata-mata untuk mencari dana sungguhpun tidak sekali-kali kami kurang
menghargai kebaikan hati cu-wi sekalian yang telah sudi menyumbang. Tujuan kami
yang terutama adalah mencari sahabat dan kenalan dari satu golongan, yaitu para
penggemar ilmu silat. Oleh karena itu, kami harap sudilah kiranya di antara
cu-wi yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik ke panggung dan
melebarkan pandang mata, meluaskan pengalaman, dan menambah pengertian kami
dengan ilmu silat. Kini saya hendak menyuruh anak perempuan saya, kemudian
mantu laki-laki saya, dan terakhir saya sendiri akan mainkan beberapa macam
pukulan tangan kosong dan juga dengan senjata. Kami mohon sudilah suka menemani
kami sehingga kami dapat berkenalan dengan cu-wi sekalian. Terima kasih.!
Pidato singkat kakek itu disambut dengan suara riuh dan tepuk
tangan, tanda setuju. Bahkan ada yang saling towel, saling menyuruh teman untuk
naik ke panggung memenuhi permintaan kakek itu. Mereka dorong-mendorong, dan
yang merasa memiliki sedikit ilmu silat tidak berani naik ke panggung, mereka
hendak melihat-lihat dulu bagaimana macamnya dan tingginya tingkat kepandaian
mereka, yaitu keluarga tukang silat itu.
Atas isyarat kakek itu, wanita yang tadi memukul gembreng
menyerahkan gembrengnya kepada suaminya, dan dia sendiri lalu mempererat ikat
pinggangnya, kemudian ia maju beberapa langkah sampai di tengah panggung,
mengangkat kedua tangan ke dada sebagai penghormatan ke empat penjuru, kemudian
mulailah ia bersilat. Seperti juga puterinya, wanita ini bersilat tangan
kosong, gerakannya halus gemulai namun kini berbeda dengan gerakan puterinya,
gerakannya penuh dengan sambaran tenaga yang cukup kuat. Gerakan tangan kakinya
teratur baik dan jelas bahwa dia telah menguasai ilmunya dengan mahir sekali.
Wanita itu menghabiskan gerakannya sampai lima belas jurus,
kemudian berhenti dan menghadapi para penonton, berkata dengan suara manis dan
sopan.
‘Di antara cu-wi sekalian yang sudi memberi pelajaran kepadaku,
dipersilakan naik.!
Sampai lama tidak ada yang naik karena memang mereka yang mengerti
ilmu silat melihat dasar gerakan wanita itu, menjadi gentar. Benar bahwa naik
berarti hanya menguji kepandaian, akan tetapi kalau kalah, apalagi deh seorang
wanita, tentu akan menjatuhkan namanya. Maka kembali saling dorong dan saling
membujuk teman yang mengerti ilmu silat.
Setelah wanita itu mengulangi sampai tiga empat kali ajakannya
tadi, tiba-tiba mdayanglah tubuh seorang laki-laki yang bermuka hitam dan
gerakannya kasar. Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ketika kakinya
turun ke panggung, panggung itu tergetar, tanda bahwa tubuhnya berat dan
tenaganya besar. Ia menyeringai dan berkata kepada wanita yang menyambutnya
dengan kedua tangan dirangkapkan ke dadanya.
‘Aku bernama Louw Cang, penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah
utara kota ini. Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi di kotaku
aku berjuluk Hek-bin-liong (Naga Muka Hitam). Sekarang mendengar kesempatan
untuk menguji kepandaian silat, dan tertarik akan ilmu silat yang lihai dari
Hujin (Nyonya), saya ingin belajar kenal!! Ketika mengucapkan kata-kata
‘belajar kenal! matanya bermain dan sikapnya ini memancing suara ketawa
banyak orang.
‘Terima kasih atas perhatian Louw-enghiong yang saya percaya
tentu memiliki kepandaian yang lihai sekali. Silakan!! Nyonya itu sudah
memasang kuda-kuda dan menghadapi calon lawannya dengan sikap tenang sekali.
‘Nyonya, lihat seranganku!! Louw Cang menerjang maju dan sekali
bergerak saja Lulu tahu bahwa orang kasar ini hanya memiliki tenaga besar, akan
tetapi tidak memiliki kepandaian yang berarti. Agaknya hal ini dapat diketahui
oleh kakek dan mantunya, maka mereka menonton dengan acuh tak acuh.
Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak begitu hebat
kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri. Cara ia mengelak sengaja
diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa pukulan
pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya
terdorong ke depan sampai terhuyung.
Kalau nyonya itu menghendaki, selagi tubuh lawan terhuyung tentu
dengan mudah ia akan dapat mengirim pukulan atau tendangan dari belakang. Akan
tetapi mereka itu tidak akan mencari musuh, maka ia juga menanti saja. Si Muka
Hitam membalikkan tubuhnya lagi, dan kembali ia menerjang dengan pukulan yang
lebih keras, kini mengarah dada! Kembali nyonya itu mengelak.
Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia cepat membalikkan tubuh lagi
dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya bertubi-tubi dan ia mengerahkan
tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali dielakkan, tubuhnya penuh
keringat, napasnya megap-megap.
Nyonya itu merasa sudah cukup mengelak terus, apalagi kini tubuh
lawannya yang berkeringat itu mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia
mengambil keputusan untuk menyudahi saja pertempuran itu. Apalagi, dari bunyi
tambur yang dipukul ayahnya, ia tahu bahwa ayahnya pun memberi tanda kepadanya
untuk mengakhiri pertandingan. Maka ketika laki-laki lawannya itu kembali
memukul dengan keras, ia miringkan tubuhnya, menangkap pergelangan tangan yang
memukulnya dari samping, memutarnya dengan gerakan pergelangan tangannya
sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berputar, kaki Si Wanita menendang
perlahan ke arah belakang lutut sambil mendorong tangan yang menangkap
pergelangan tangan. Tak dapat dicegah lagi tubuh Si Naga Muka Hitam itu
terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya miring di atas panggung!
Tepuk sorak para penonton menyambut kemenangan nyonya yang lihai
itu. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah meloncat bangun kembali. Dia adalah
seorang kasar yang tak tahu diri, dan karena ia menjadi jagoan di kotanya maka
ia merasa bahwa kepandaiannya sudah amat tinggi. Kini dengan mudah dirobohkan
oleh seorang wanita, hatinya menjadi penasaran, apalagi karena robohnya tidak
mengakibatkan luka atau rasa nyeri. Ia sama sekali tidak mau mengerti bahwa
nyonya itu telah menjaga mukanya dan tidak merobohkannya secara hebat.
‘Aku belum kalah!! bentaknya seolah-olah hendak membantah
sorak-sorai para penonton yang menganggap nyonya itu sudah menang.
‘Jagalah seranganku!! Ia menerjang lagi dan sorakan penonton
berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan tentu akan berlangsung
lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya sudah marah sekali. Dugaan
mereka itu memang benar karena kini Si Muka Hitam menerjang dengan nekat,
mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Seperti tadi, nyonya itu mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya
untuk mengelak dengan meloncat ke kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi,
dia tidak mau mengulur waktu untuk menyudahi pertandingan dan diam-diam ia
merasa gemas melihat laki-laki yang tak tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa
kalau tidak diberi sedikit hajaran, Si Muka Hitam ini tentu akan nekat terus.
‘Hyaaatt!! Si Muka Hitam menendang dengan kaki kanan, ketika
dielakkan, ia menurunkan kaki kanan itu jauh ke depan sehingga tubuhnya
mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya yang besar itu menonjok dari bawah
mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu maklum akan datangnya pukulan maut,
cepat tubuhnya mengelak ke kiri dan melihat kaki kanan Si Muka Hitam, ia
mendapat kesempatan, sambil mengelak kakinya menyambar, ujung sepatunya
menendang dengan pengerahan lwee-kang ke arah lutut Si Muka Hitam.
‘Krekkk!! Tak dapat dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka
Hitam tercium ujung sepatu nyonya yang lihai itu.
‘Ayaaa.... waduhhh.... uggghhh....!! Si Muka Hitam itu
mengaduh-aduh, menyeringai dan mengangkat kaki kanannya ke atas, memegangi kaki
itu dengan kedua tangan sambil berloncatan dengan kaki kiri terputar-putar.
Rasa nyeri yang amat hebat membuat ia lupa diri dan merintih-rintih, rasa nyeri
menu suk-nusuk dari lutut sampai ke jantung.
Karena para penonton yang menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa
tidak senang kepadanya, kini menyaksikan penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak
merasa kasihan bahkan menjadi geli dan terdengar suara ketawa riuh-rendah.
Akhirnya Si Muka Hitam sadar bahwa dia menjadi bahan tertawaan.
‘Maafkan saya, Louw-enghiong.! Nyonya itu berkata kepadanya
setelah mendapat teguran pandang dari ayahnya. Kakek itu cepat menghampiri Louw
Cang dan menotok kaki yang terluka itu di betis dan paha, kemudian menyerahkan
sebungkus obat kepada Si Muka Hitam sambil berkata.
‘Harap Louw-enghiong memaafkan kami dan obat ini akan
menyembuhkan sambungan lututmu.!
Akan tetapi Si Muka Hitam yang kini tidak lagi menderita terlalu
nyeri setelah kakinya ditotok, memandang dengan mata melotot, kemudian
membalikkan tubuh tanpa mau menerima obat itu, dan tanpa pamit ia melangkah ke
pinggir panggung. Akan tetapi mukanya menyeringai lagi ketika ia melangkahkan
kaki karena begitu digerakkan untuk berjalan, lututnya terasa sakit lagi. Ia
menggigit bibir dan tidak berani meloncat turun, kemudian menuruni panggung
dengan memanjat tiangnya yang tidak tinggi, setelah tiba di atas tanah ia lalu
pergi dengan kaki pengkor, terpincang-pincang sehingga dari belakang tampak
pantatnya berjungkat-jungkit dan tubuhnya miring-miring amat lucu bagi para
penonton yang makin tidak suka akan sikapnya.
Setelah nyonya itu mundur, kakek itu menghadapi para penonton dan
menjura sikap tenang.
‘Kami merasa amat menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para
sahabat yang lihai dalam ilmu silat tentu mengerti bahwa kejadian itu bukan
karena kesalahan anak saya yang didesak-desak. Kami mengharap munculnya para
sahabat yang benar-benar ingin berkenalan dan mengisi kekurangan dalam
pengetahuan ilmu silat, Kami persilakan!! Ia menjura dan mundur kembali,
menabuh tamburnya perlahan-lahan dan lambat-lambat.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di antara para penonton sebelah kiri,
dan tampak para penonton bergerak mundur dan minggir untuk memberi jalan kepada
beberapa orang perwira Mancu dan para pengikutnya yang melihat pakaiannya
adalah perajurit-perajurit yang berpangkat, sedikitnya kepala regu.
Ada tiga orang perwira dan sepuluh orang anak buahnya mendekati
panggung itu. Setelah saling bicara dalam bahasa Mancu yang dimengerti oleh
Lulu, murid di antara para perwira itu, yang hidungnya melengkung seperti
hidung burung kakatua, dengan gerakan ringian meloncat ke atas panggung.
Lulu memandang penuh perhatian, hatinya merasa tidak senang
mendengar percakapan mereka tadi sebelum naik ke panggung, karena mereka itu
membicarakan kecantikan nyonya tadi dan mengandung niat hati tidak baik,
menganggap para rombongan silat itu sebagai ‘pelanggar hukum!.
Melihat majunya seorang perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu
kelihatan tenang saja, malah memberi isyarat mata kepada mantunya untuk
menggantikannya menabuh tambur. Kemudian ia sendiri melangkah maju menyambut
perwira hidung bengkok itu sambil menjura penuh hormat dan berkata.
‘Maaf, Tai-ciangkun. Apakah ciangkun juga begitu baik hati untuk
berkenalan dengan kami dan memberi petunjuk dalam ilmu silat kepada kami?!
Perwira itu mengangkat dadanya yang bidang dan dengan muka angkuh
ia berkata, suaranya nyaring,
‘Kakek, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu
bahwa kalian telah melanggar hukum?!
Para penonton mendengar suara keras ini menjadi tegang dan
gelisah. Juga mantu, anak perempuan dan cucu Si Kakek itu memandang gelisah.
Akan tetapi kakek itu tetap tenang saja ketika menjawab.
‘Maaf, ciangkun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada peraturan
yang melarang rombongan silat seperti kami membuka pertunjukan silat untuk
berkenalan dengan para ahli silat dan untuk meluaskan pengalaman.!
‘Hemmm, semua orang tahu bahwa telah dikeluarkan larangan bagi
rakyat untuk membawa senjata tajam. Apakah engkau tidak tahu atau barangkali
berpura-pura tidak tahu?!
Kembali kakek itu menjura. Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara
terdengar di antara para penonton yang menjadi gelisah, bahkan sebagian dari
para penonton diam-diam telah meninggalkan tempat itu, karena khawatir kalau
terbawa-bawa. Apalagi mereka yang merasa telah ‘melanggar hukum!.
Pada waktu itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan
yang menghina penduduk pribumi. Pertama, pribumi dilarang membawa senjata,
rambut diharuskan bertumbuh panjang dan dikuncir ke belakang seperti buntut,
dan pakaian para pribumi harus ‘mencontoh! pakaian Mancu!
Tentu saja peraturan ini tidak dapat ditaati secara serentak, dan
pemerintah Mancu pun cukup bijaksana dan cerdik untuk tidak terlalu menekan,
melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi dipaksa ke arah pelaksanaan
perintah-perintah itu. Yang terpenting adalah pelarangan membawa senjata tajam
yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak dapat mengadakan pemberontakan.
Maka di antara para penonton yang belum menyesuaikan pakaian dan
rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu ketika Si Perwira Hidung Bengkok
mempersoalkan hukum ini.
‘Maaf, Tai-ciangkun,! Si Kakek menjawab dengan sikap penuh
hormat sungguhpun tidak menjilat, ‘kami mengerti akan peraturan itu dan tidak
ada niat kami untuk melanggarnya. Kami membawa senjata hanya sebagai
perlengkapan dalam permainan silat yang kami pertunjukkan. Tanpa senjata,
bagaimana kami dapat mempertunjukkan ilmu silat? Cucu saya itu hanya bisa
menari pedang, kalau tidak membawa pedang tentu tidak akan dapat menari. Adapun
mengenai rambut dan pakaian, hal ini pun terpaksa kami sesuaikan dengan
pertunjukan kami. Bagi kami, pertunjukan silat kami selain untuk menarik
sahabat-sahabat untuk berkenalan, juga merupakan rombongan kesenian dan tentu
saja dibutuhkan pakaian dan tata rambut yang sesuai dan ringkas. Harap ciangkun
sudi memaafkan. Kalau tidak sedang mengadakan pertunjukan silat, tentu kami
akan mengubah cara kami berpakaian, dan akan kami tinggalkan semua senjata di
rumah.!
Perwira itu tertawa dan melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri
di sudut sambil memandang penuh perhatian.
‘Ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun hanya
mengingatkan kalian saja, kalau berniat buruk, tentu sudah tadi-tadi kusuruh
tangkap kalian! Kalian mencari kenalan ahli silat? Hemmm, kebetulan sekali, aku
pun pernah belajar ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai ilmu
silatnya sehingga mudah saja mengalahkan Si Muka Hitam. Biarlah aku
mencoba-coba kelihalannya. Bagaimana?!
Kakek itu mengerutkan keningnya, ‘Ah, anak perempuan saya hanya
memiliki ilmu silat pasaran saja, mana ada harganya menandingi Tai-ciangkun?
Harap ciangkun jangan main-main.! Kakek itu tersenyum.
‘Siapa main-main? Hayo suruh dia maju, hendak kulihat bagaimana
kelihaiannya!!
Kakek itu menjadi serba salah. Dia tidak khawatir kalau-kalau
anaknya akan kalah, akan tetapi bertanding menghadapi seorang perwira berbeda
dengan orang biasa. Kalau lawannya orang biasa, kalah atau menang bukanlah
merupakan hal aneh lagi. Akan tetapi kalau melayani perwira ini, kalau anaknya
menang si perwira tentu akan merasa tersinggung kehormatannya dan tentu akan
mengandalkan kekuasaannya mencelakakan mereka. Akan tetapi kalau anaknya
mengalah, tentu saja berbahaya bagi keselamatan anaknya.
‘Biarlah saya yang akan maju melayani Tai-ciangkun beberapa
jurus,! katanya. Kalau dia yang maju, tentu saja dia akan mengalah dan tidak
mengapa menerima satu dua pukulan dari ciangkun ini, asal keluarganya tidak
terganggu.
Akan tetapi, perwira hidung bengkok itu malah menjadi marah. Ia
bertolak pinggang dan alisnya diangkat, matanya melotot.
‘Heh, kalau orang lain boleh bertanding melawan perempuan itu,
mengapa aku tidak? Apakah kau anggap aku tidak cukup berharga untuk bertanding
melawan anakmu? Kakek, hati-hatilah engkau dengan sikapmu.!
Wanita itu melangkah maju dan berkata, ‘Ayah, biarkan saya
melayani Tai-ciangkun ini beberapa jurus.!
Kakek itu menghela napas dan mundur, kembali kepada tamburnya,
sedangkan mantunya yang memandang dengan wajah tidak berubah akan tetapi sinar
matanya mengandung kekhawatiran, lalu mainkan gembreng. Wanita itu melangkah
perlahan ke tengah panggung, dipandang oleh si perwira yang menelan ludah
melihat langkah-langkah lemah gemulai dan pinggang ramping yang meliuk-liuk
ketika wanita itu mendekat.
Wanita itu benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang
berkulit halus itu tanpa dihias bedak sama sekali. Bentuk tubuhnya masih
ramping padat dan matang seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh
kurang lebih usianya dan sudah mempunyai seorang anak.
Wanita itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara halus,
‘Tai-ciangkun hendak memberi pelajaran silat kepada saya? Silakan.!
Sejenak perwira itu memandang kagum, terpesona oleh kecantikan
aseli wanita itu, kemudian tertawa menyeringai. Orang yang ketawa atau
senyumnya dibuat-buat, tidak sewajarnya dengan niat agar menarik dan wajahnya
berubah tampan, akan kecelik karena senyum atau tawa yang tidak sewajarnya dan
dibuat-buat itu akan membuat mukanya makin buruk dan senyumnya seperti monyet
menyeringai.
‘Heh-heh, Nona terlalu merendah. Akulah yang minta diberi
pelajaran silat Nona yang lihai itu.! Ia sengaja menyebut nona bukan dengan
niat tidak menghormat, sebaliknya malah ingin menyenangkan hati orang karena
perwira ini maklum bahwa murid wanita akan gembira kalau disebut nona,
sebaliknya seorang nona akan cemberut kalau disebut nyonya. Akan tetapi wanita
itu adalah seorang ibu yang baik, seorang isteri yang setia, maka mendengar
sebutan yang ia tahu disengaja ini, ia menjawab.
‘Saya bukan gadis, ciangkun, melainkan seorang ibu. Di sana itu
suami saya dan anak perempuan itu adalah anak saya.!
Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini dan perwira itu
menyeringai makin lebar, wajahnya agak merah.
‘Ah, baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!! Ia lalu
melangkah maju dan menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang
main-main, akan tetapi nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini
membawa angin pukulan yang amat kuat. Ia tidak berani memandang rendah dan
cepat menggerakkan kakinya mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk ke kiri
dan dari samping kakinya mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah
tendangan kilat.
‘Aihhhhh, cepat sekali!! Si perwira berseru, akan tetapi tidak
mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan yang dimiringkan untuk membabat
kaki yang menendang.
Wanita itu cepat menarik kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan
selagi perwira itu membabatkan tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan
dan mengirim pukulan ke arah muka si perwira yang terbuka.
Perwira itu sengaja berlaku lambat dan membiarkan tangan lawan
meluncur ke arah mukanya. Setelah dekat sekali sehingga kiranya tidak mungkin
bagi lawan untuk menarik kembali tangannya seperti yang dilakukannya dengan
tendangan tadi, tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar
ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan kanan wanita yang memukul itu telah
ditangkapnya!
Terdengar seruan kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton
menahan seruan mereka. Si wanita sendiri menjadi terkejut karena tidak
disangkanya perwira itu memiliki kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah
ditangkap dan ia tidak mampu melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah
pelipis lawan dengan tangan kiri, dengan pukulan yang melengkung dari luar.
Seperti tadi, perwira itu seperti tidak mengelak, dan setelah
pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan kanannya menyambar dan menangkap
pergelangan tangan kiri lawan yang terus ia bawa ke tangan kiri. Jari-jari
tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram kedua pergelangan tangan nyonya
itu menjadi satu!
‘Ohhh.... le.... lepaskan tanganku....!! Nyonya itu berseru dan
meronta, berusaha melepaskan tangannya yang keduanya telah terbelenggu oleh
jari-jari tangan yang kuat itu. Namun usahanya sia-sia dan si perwira
tertawa-tawa bahkan mengulur tangan kanannya mencengkeram ke arah dada!
Kakek itu terkejut, maklum bahwa nyawa puterinya terancam maut.
Akan tetapi ternyata perwira itu tidak mencengkeram untuk membunuh, melainkan
mencengkeram dengan halus dan meremas-remas dada wanita itu secara kurang ajar
sekali sambil tertawa-tawa!
‘Lepaskan isteriku!! Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi
memandang penuh kemarahan, meloncat maju. Ia masih ingat bahwa ia tidak boleh
menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia
mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan
dari perwira tak tahu malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.
‘Pergilah!!
Tangan kiri yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong
sehingga tubuh si wanita terhuyung ke belakang, sedangkan tangan kanan yang
tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke arah kepala laki-laki suami
wanita itu.
‘Ahhhh....!! Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat
menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali tangan si perwira itu menyambar
pundaknya.
‘Krekkk!! Patahlah tulang pundak suami nyonya itu dan tubuhnya
terpelanting roboh.
Kakek itu meninggalkan tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan
kemudian menghadapi si perwira yang bertolak pinggang, menjura dan berkata.
‘Kepandaian Tai-ciangkun sungguh hebat sekali dan kami merasa
beruntung dan berterima kasih telah mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan
ini merupakan pengalaman dan pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk
mengundurkan diri meninggalkan kota ini.!
‘Ha-ha-ha, nanti dulu, Kakek Tua. Kita telah bertanding dan
bukankah kau tadi mengatakan bahwa niat kalian untuk menarik persahabatan? Aku
telah bertanding dengan puterimu, berarti aku telah menjadi sahabat pula,
bukan? Nah, kulihat ilmu silat puterimu hebat. Malam nanti kami serombongan
perwira hendak mengadakan malam gembira, maka sebagai sahabat, aku minta supaya
puterimu sekarang juga ikut dengan aku untuk bantu meramaikan malam gembira
itu.!
Wajah kakek itu menjadi pucat. ‘Maaf, Tai-ciangkun.... hal itu
mana bisa dilakukan....?!
‘Tentu saja bisa kalau mau!! jawab Si Perwira.
‘Aku tidak mau, Tai-ciangkun. Harap ingat bahwa aku adalah seorang
isteri, seorang ibu....!
‘Ha-ha-ha, beginikah harganya persahabatan kalian?! Perwira itu
mengejek dan dua orang perwira lain yang berada di bawah tertawa.
‘Kami sudah bosan dengan gadis-gadis, sekali waktu diselingi
seorang ibu muda tentu menggembirakan, ha-ha-ha!!
Melihat sikap mereka, kakek itu maklum bahwa bahaya tak dapat
dihindarkan lagi. Maka ia lalu berkata, nadanya tegas, ‘Maaf, Tai-ciangkun.
Kami sekeluarga tidak dapat memenuhi permintaanmu itu.!
Perwira itu menggerakkan alisnya dan memandang kakek itu dengan
mata disipitkan.
‘Apakah ini berarti bahwa aku harus mengalahkan engkau dulu?!
Kakek itu maklum bahwa perwira berhidung bengkok ini lihai sekali.
Melihat caranya mengalahkan puterinya dan merobohkan mantunya dengan sekali
pukul ia tahu bahwa dia sendiri bukan tandingan si perwira. Akan tetapi, demi
menjaga kehormatan puterinya dan nama baik keluarganya, ia memandang tajam dan
berkata.
‘Terserah penilaian Ciang-kun!!
‘Hemmm, engkau orang tua tidak memilih hidup enak, malah memilih
kematian. Kalau begitu, bersiaplah kau untuk mampus!! Perwira itu melangkah
maju dan pada saat itu berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus.
‘Tunggu dulu....!!
Perwira hidung bengkok itu menahan serangannya dan melangkah
mundur, kemudian berdiri dan terpesona ketika melihat seorang pemuda remaja
yang amat tampan telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang, sikapnya
angkuh sekali seperti seorang jenderal, akan tetapi wajah yang tampan itu
agaknya tidak bisa membayangkan kemarahan maka kelihatannya cerah dan berseri.
Sepasang mata yang lebar dan bercahaya terang seperti sepasang
bintang itu seolah-olah menembus dada menjenguk jantung. ‘Pemuda! ini bukan
lain adalah Lulu yang tak dapat menahan kemarahannya lagi menyaksikan lagak dan
per buatan perwira itu.
‘Eh, engkau ini siapakah dan mengapa menahan aku menghajar Kakek
tak tahu diri ini?!
Si Perwira akhirnya berkata setelah pandang matanya puas meneliti
seluruh tubuh pemuda yang berdiri angkuh di depannya itu.
‘Engkau yang tak tahu diri!! Lulu membentak, mengejutkan hati
semua orang termasuk kakek yang berdiri di belakangnya itu. Akan tetapi mereka
semua makin terkejut dan khawatir lagi ketika pemuda tampan itu melanjutkan
kata-katanya sambil menudingkan telunjuknya seperti hendak menusuk hidung yang
bengkok itu,
‘Engkau ini perwira macam apa, heh? Mengandalkan kepandaian
untuk menghina wanita dan memukul rakyat, mengandalkan kedudukan untuk menindas
rakyat! mentang-mentang menjadi perwira, apakah engkau lantas boleh menggunakan
kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang? Apakah engkau dijadikan perwira
untuk menginjak-injak rakyat? Seharusnya prajurit menjadi penjaga keamanan,
akan tetapi engkau malah menjadi pengacau keamanan! Seharusnya perajurit
menjadi pelindung rakyat! Akan tetapi engkau malah menjadi pengganggu rakyat!
Kalau rekan-rekanmu di bawah itu tahu diri dan mengenal kewajiban, tentu engkau
sudah diseret turun dari panggung ini dan menerima hukuman dari atasanmu!!
Tidak hanya para penonton dan rombongan silat itu yang tercengang
keheranan, juga Si Perwira sendiri berikut teman-temannya memandang dengan
melongo. Sikap pemuda ini seperti seorang jenderal memarahi anak buahnya yang
menyeleweng saja! Perwira hidung bengkok menjadi curiga dan wajahnya berubah
pucat. Ia menduga-duga akan tetapi tidak mengenal pemuda ini, maka ia lalu
bertanya.
‘Eh, pemuda yang lancang mulut. Siapakah engkau sebetulnya?!
‘Aku rakyat biasa yang tidak sudi melihat adanya perwira macam
engkau ini menghina rakyat yang tidak berdosa!!
Sejenak perwira itu memandang, kemudian tertawa bergelak.
‘Ha-ha-ha-ha, pemuda liar macam engkau ini sungguh menggemaskan! Hemmm, ingin
kupukul bibirmu sampai berdarah!! Ia menoleh kepada teman-teman di bawah pang
gung. ‘Bagaimana kalau aku tangkap pemuda liar ini agar malam nanti dia
menjadi badut meramaikan malam gembira kita?!
‘Akur! Akur!! teriak dua orang perwira dan para anak buahnya.
Perwira hidung bengkok itu kembali menghadapi Lulu dan berkata mengejek.
‘Kalian orang-orang Han memang sombong! Kalau aku menghina
orang-orang Han, engkau mau apa?!
Kemarahan Lulu membuat mukanya menjadi merah. Dia muak menyaksikan
sikap perwira bangsanya sendiri! Ayahnya dahulu juga seorang perwira Mancu,
akan tetapi ia merasa yakin bahwa ayahnya tidak jahat seperti orang ini.
‘Mau apa? Mau apa kau tanya? Mau apa lagi kalau tidak
menghancurkan hidungmu yang bengkok itu!! bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya
menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri menyodok perut yang
kanan mencengkeram leher!
‘Wah-wah, ganas....!! Perwira yang memandang rendah gadis itu
mengejek. Tangan kanan gadis itu datang lebih dulu ke lehernya, cepat ia
tangkis dan tangan kiri gadis yang menyodok perutnya, hendak ditangkapnya
seperti yang ia lakukan pada nyonya tadi. Akan tetapi, tiba-tiba ia
mengeluarkan jerit mengerikan karena tangan kanan Lulu yang ditangkis itu tidak
membalik, melainkan meluncur ke atas dan pada detik berikutnya, tangan gadis
itu sudah menampar hidungnya yang bengkok!
‘Dessss!! Perwira itu menjerit dan darah muncrat-muncrat dari
hidungnya yang benar-benar telah hancur, bukit hidungnya lenyap dan remuk
bersama tulang mudanya, dan kini hanya tinggal dua buah lubang yang penuh
darah! Lulu mengayun kakinya dan tubuh perwira yang besar itu tertendang,
terguling dari atas panggung, menimpa teman-temannya dalam keadaan pingsan!
‘Pembunuh! Pemberontak! Tangkap!! bentak dua orang perwira
lainnya dan bersama sepuluh orang anak buah mereka, dengan marah mereka
meloncat ke atas panggung dengan golok terhunus. Gegerlah tempat itu. Para
penonton lari berserabutan saling tabrak, di antara mereka yang tidak keburu
lari menjadi korban hantaman golok anak buah perwira yang seperti biasa dalam
keadaan seperti itu memperlihatkan ‘kegagahannya! menyerang orang-orang yang
tidak mampu membalas.
Kini dua belas orang perajurit itu telah menerjang ke panggung.
Melihat betapa ‘pemuda! yang perkasa itu terancam, kakek bersama puterinya
cepat maju dengan pedang di tangan membantu. Bahkan kakek itu berseru,
‘Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah pedang ini!!
‘Untuk melawan penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini,
perlu apa menggunakan pedang, Lopek?! Lulu menyambut mereka dengan
tendangan-tendangan kilat dan dua orang perajurit pengawal roboh kembali ke
bawah panggung. Karena maklum bahwa pemuda itu lihai, dua orang perwira segera
memutar golok dan menyerang Lulu yang menggunakan kegesitan tubuhnya untuk
berkelebat menghindarkan serangan-serangan golok mereka. Kakek dan puterinya
menghadapi pengeroyokan anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu
kakek itu, berdiri di sudut panggung dengan muka pucat.
Biarpun dalam hal ilmu silat Lulu belum dapat dikatakan seorang
ahli, namun dia memiliki sin-kang yang amai kuat sehingga gerakannya cepat luar
biasa dan tenaga dalamnya juga sukar dicari tandingannya.
Hujan bacokan dua buah golok di tangan dua orang perwira itu
selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira ini sebetulnya memiliki
tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira Hidung Bengkok tadi.
Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang rendah Lulu, kiranya dia
tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu, dan kehilangan
hidungnya.
Kakek dan puterinya bersilat dengan ilmu pedang Hoa-san-pai,
gerakan mereka cepat dan indah. Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah
merobohkan dua orang pengeroyok. Lulu akhirnya berhasil pula menendang perut
seorang perwira yang segera berjongkok menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba
menjadi mulas itu.
Karena kini ia hanya menghadapi seorang lawan, Lulu dapat
mempermainkannya. Sambil mengelak, tangannya menampar dan sudah empat kali ia
membuat perwira itu terhuyung-huyung. Ketika kelima kalinya ia mengelak sambil
menyodok, jari tangan kirinya berhasil menyodok tulang iga. Terdengar tulang
patah dan tubuh perwira itu terguling, mulutnya berteriak-teriak kesakitan.
Lulu kini menyerbu para pengeroyok kakek dan puterinya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan ramai dan
datanglah sepasukan perajurit Mancu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih.
Kiranya seorang di antara anak buah perwira-perwira itu tadi cepat lari melapor
ke markas ketika menyaksikan betapa fihaknya kewalahan menghadapi pemuda liar
dan rombongan tukang silat itu. Melihat datangnya bala bantuan lawan yang besar
jumlahnya, kakek itu berkata.
‘Siauwhiap, harap melarikan diri saja. Tidak perlu engkau
mengorbankan keselamatanmu untuk kami....!
‘Eh, omongan apa itu? Apa kaukira aku takut mati, Lopek?!
Kakek itu melongo. Pemuda itu lihai sekali, omongannya kasar dan
wataknya ganas. Terpaksa ia tidak membujuk lagi dan kini ia menyambar tubuh
cucunya, dikempit dengan lengan kiri sedangkan tangan kanan yang memegang
pedang menyambut datangnya para pengeroyok yang lebih banyak itu. Mereka
terkurung dan panggung yang mereka injak bergoyang-goyang, hampir tidak kuat
menahan demikian banyaknya orang yang bergerak-gerak dalam pertandingan
keroyokan kacau-balau itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berpakaian
pengemis menyerbu para perajurit dari luar sehingga keadaan pasukan pengeroyok
menjadi kacau. Para pengemis ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga
ketika menyerbu, banyak fihak tentara Mancu yang roboh.
‘Lekas kalian meloncat dan memegang kuda ini!! Seorang di antara
para pengemis itu berseru kepada rombongan tukang silat dan Lulu. Pada saat
itu, puteri kakek itu terluka oleh sebuah bacokan di pundaknya dan
terhuyung-huyung. Lulu cepat menyambarnya dan membawanya meloncat ke atas
punggung seekor kuda yang sudah disiapkan oleh para pengemis.
Kakek itu memondong cucunya, sedangkan mantunya yang patah tulang
pundaknya sudah pula membonceng kuda bersama seorang pengemis. Sambil
memutar-mutar golok dan pedang, rombongan pengemis ini membuka jalan dan
membalapkan kuda meninggalkan kota Tiong-bun ke arah timur dan tak lama
kemudian mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Atas isyarat pimpinan rombongan pengemis itu, mereka berhenti dan
si kepala rombongan yang bertubuh tinggi kurus itu berkata,
‘Pasukan besar tentu akan mengejar kita. Sebaiknya rombongan
dibagi menjadi tiga untuk menyesatkan mereka. Aku sendiri bersama
sahabat-sahabat yang perlu ditolong ini akan menemui pangcu!! Singkat saja ia
bicara dan teman-temannya sudah mengerti semua.
Mereka membagi kuda, Lulu duduk di atas seekor kuda bersama anak
perempuan kakek itu, kakek itu duduk bersama pengemis tinggi kurus sedangkan
anaknya bersama mantunya sekuda. Para pengemis lainnya dipecah menjadi dua
rombongan, yang serombongan membelok ke kiri, yang serombongan ke kanan,
sedangkan pengemis tinggi kurus bersama keluarga tukang silat dan Lulu
melanjutkan perjalanan memasuki hutan.
Belum lama mereka melanjutkan perjalanan, malam telah tiba dan di
dalam hutan itu gelap sekali.
‘Terpaksa kita harus berhenti dan bermalam di sini. Aku
mengetahui sebuah gua yang tersembunyi dan aman di depan. Mari!! kata pengemis
kurus itu yang sejak tadi tidak pernah membuka mulut.
Gua itu tersembunyi di balik rumpun alang-alang yang tebal dan
tinggi. Mereka lalu turun dari kuda, dan pengemis itu menyembunyikan tiga ekor
kuda itu dan agak jauh dari gua, kemudian mereka semua memasuki gua dan tanpa
banyak cakap pengemis kurus itu membuat api unggun di dalam gua, mengeluarkan
roti kering dan air, mengajak semua orang makan dan minum hidangan yang
bersahaja itu.
Setelah makan minum sekedarnya dan melihat betapa suami isteri itu
pucat menahan sakit, pengemis tinggi kurus itu bertanya, ‘Ji-wi terluka?!
Tukang penjual silat, kakek itu menjawab, ‘Mantuku patah tulang
pundaknya dan anakku perempuan terluka bacokan, tidak berbahaya akan tetapi
tentu saja nyeri.!
‘Jangan khawatir, Lopek. Aku membawa obat minum untuk tulang
patah.
Akan tetapi untuk menyambungnya dengan baik, harus menanti sampai
kita bertemu dengan pangcu besok, dia adalah seorang ahli menyambung tulang
patah.!
Pengemis kurus itu mengeluarkan bungkusan obat, sebungkus
diberikan kepada nyonya itu dan sebungkus lagi kepada suaminya. Suami isteri
yang sudah berpengalaman itu menghaturkan terima kasih dan merawat sendiri
luka-luka mereka. Melihat sikap pengemis yang pakaiannya compang-camping, tidak
banyak bicara akan tetapi yang menolong rombongan kakek itu dengan sungguh-sungguh,
diam-diam Lulu menjadi kagum sekali dan timbul rasa suka di hatinya.
Akan tetapi karena dia belum mengenal pengemis itu, tidak tahu
dari partai apa, juga sesungguhnya ia sama sekali belum mengenal rombongan
kakek yang mengadakan pertunjukan silat, ia diam saja dan hanya mendengarkan.
‘Bagaimana Lopek sampai diserbu gerombolan anjing-anjing Mancu
itu?! Tiba-tiba pengemis itu bertanya tanpa memandang si kakek, dan menambah
kayu api unggunnya. Lulu memandang tajam, melihat betapa wajah pengemis itu
keruh dan suaranya penuh kebencian ketika menyebut ‘anjing-anjing Mancu.!
Kakek itu menghela napas panjang dan memangku kepala cucunya, yang
kelihatan lelah dan mengantuk itu.
‘Ahhh, kami dari keluarga yang amat malang. Kami sedang
melakukan perjalanan menyelidik, mencari anak perempuanku yang kedua yang
dilarikan orang. Karena ada larangan membawa senjata tajam, kami sengaja
menyamar sebagai rombongan pertunjukan silat agar leluasa membawa senjata.
Siapa kira di kota Tiong-bun hampir saja kami celaka kalau tidak ditolong oleh
Siauwhiap ini.!
‘Lopek salah sangka. Dia ini adalah seorang Lihiap yang
mengagumkan,! kata Si Pengemis dengan tenang tanpa memandang Lulu. Tentu saja
Lulu terkejut sekali dan makin kagum. Pengemis ini benar-benar memiliki mata
yang awas! Kakek itu sendiri juga terkejut.
‘Lihiap? Seorang dara remaja? Ahhh, hebat.... ah, maafkan mataku
yang sudah lamur, Lihiap.!
Tiba-tiba terdengar bisikan nyonya cantik itu kepada suaminya,
‘Apa kataku? Dan engkau masih cemburu melihat aku boncengan dengan dia
sekuda! Apa kau kira semua laki-laki sejahat perwira Mancu itu?!
‘Sssttttt....!! Suaminya menegur dan mukanya menjadi merah
sekali. Lulu menahan hatinya yang geli dan ingin tertawa. Kiranya suami itu
menjadi cemburu ketika ia menolong isterinya dan berboncengan di atas kuda!
Betapa lucunya!
‘Lokai, pandangan matamu awas sekali, sungguh aku kagum!! kata
Lulu yang melepas penutup kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang kini terurai
dan ia biarkan saja karena ia merasa tidak perlu lagi menyamar setelah
rahasianya terbuka.
‘Tidak percuma aku merantau di dunia kang-ouw sampai puluhan
tahun, Nona. Lopek, harap suka melanjutkan ceritamu. Siapakah yang melarikan
puterimu?!
‘Siapa lagi kalau bukan anjing Mancu!!
Kembali Lulu terkejut. Hatinya terpukul berkali-kali. Hari ini ia
telah menyaksikan kejahatan perwira-perwira Mancu dan anak buahnya, dan kini ia
lagi-lagi mendengar akan kejahatan bangsanya. Hatinya tidak enak dan ia
memandang api unggun, menutup mulut membuka telinga mendengarkan penuturan
kakek itu.
Kakek itu bernama Gak Mong, seorang duda yang tinggal di kota
Bwee-hian dekat kota besar Cin-an bersama dua orang puterinya dan seorang mantu
serta seorang cucu. Puterinya yang bungsu bernama Gak Siok Ci, seorang dara
remaja berusia delapan belas tahun.
Pekerjaan kakek ini adalah piauwsut yaitu pengawal barang-barang
berharga yang dikirim jauh. Dalam pekerjaan ini, ia dibantu oleh kedua orang
puterinya dan seorang mantunya yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang
lumayan. Gak Kiong adalah seorang murid luar dari Hoa-san-pai dan karena
pergaulannya yang luas ditambah ilmu pedangnya yang lihai, maka sampai
bertahun-tahun ia bekerja dengan lancar dan selalu dapat mengawal barang-barang
kiriman dengan selamat.
Akan tetapi, malapetaka terjadi ketika pada suatu hari ia mengawal
sekereta penuh bahan pakaian menuju ke utara. Ia ditemani oleh seluruh
keluarganya karena selain mengawal barang berharga yang membutuhkan pengawalan
yang kuat, juga sekalian mengajak keluarganya pesiar ke utara, apalagi pada
waktu itu perang telah selesai di bagian ini dan perjalanan cukup aman.
Sekali ini perjalanannya mendapat gangguan, bukan oleh perampok
melainkan oleh sepasukan tentara Mancu yang dipimpin seorang perwira bermata
satu (mata kirinya buta). Kereta bahan pakaian itu dijadikan rebutan oleh
anggauta pasukan. Tentu saja keluarga Gak ini melakukan perlawanan, namun
perwira itu ternyata merupakan perwira kelas satu yang memiliki ilmu golok yang
hebat, apalagi dibantu oleh puluhan orang anak buahnya, maka keluarga Gak itu
dikalahkan dan terluka, kecuali Gak Siok Ci dara remaja yang cantik jelita itu,
yang ditawan dan dibawa pergi oleh si perwira mata satu!
Terpaksa keluarga itu pulang dengan hati penuh kedukaan. Untuk
mengganti barang kawalan yang habis itu terpaksa pula Kakek Gak menjual semua
rumah, tanah dan barang miliknya, kemudian mereka semua lalu meninggalkan
tempat tinggal mereka dan merantau ke utara dengan maksud mencari anak
perempuannya yang hilang.
‘Sampai berbulan-bulan kami merantau, namun tidak dapat menemukan
jejak anakku. Perwira mata satu itu lihai sekali, maka kurasa dia tentu berada
di dekat kota raja. Apapun yang terjadi, kami bertekad untuk mencari anakku dan
membalas dendam kepada perwira keparat itu!! Kakek Gak mengakhiri
penuturunannya sambil mengepal tinju.
‘Perwira mata satu? Tinggi besar dan senjatanya golok besar?!
Tiba-tiba pengemis itu menepuk pahanya dan berseru, ‘Jangan-jangan dia itu
Twa-to-kwi (Setan tolok Besar) Liok Bu Tang....!!
‘Serrrrr....!!
Sebatang anak panah menyambar dari luar gua dan Lulu yang bermata
tajam cepat menggerakkan tangan menangkap anak panah itu. Pengemis kurus itu
memadamkan api unggun dan berbisik,
‘Bersembunyi mepet dinding gua....!!
Dari luar gua terdengar suara ketawa bergelak, ‘Ha-ha-ha! Gembel
busuk Kwat Lee, benar sekali ucapanmu. Twa-to-kwi Liok Bu Tang telah berada di
sini. Engkau boleh berjuluk Bu-eng Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Bayangan) akan
tetapi sekali ini bukan saja bayanganmu juga orangnya, akan menjadi tawananku
atau menjadi setan penasaran. Ha-ha-ha! Pemberontak-pemberontak keji,
menyerahlah. Gua telah dikepung puluhan orang bala tentaraku!!
Pengemis tinggi kurus yang bernama Kwat Lee itu berbisik, ‘Tidak
ada pilihan lain. Tinggal di sini berarti mati konyol. Kalau menyerbu keluar, dikeroyok,
akan tetapi belum tentu kita mati semua. Masing-masing mencari jalan keluar
sendiri, lebih baik seorang dua orang ada yang selamat dan bebas daripada semua
mati. Lihiap, kau mengambil jalan kiri. Gak-lopek, engkau dan puteri serta
mantumu mengambil jalan kanan, kaupondong cucumu. Aku akan mengambil jalan
depan!!
Kembali Lulu kagum bukan main. Pengemis ini memilih jalan yang
paling berbahaya bagi diri sendiri!
Dari luar gua terdengar suara ketawa yang tadi. ‘Ha-ha-ha!
Engkau ketakutan, gembel busuk? Aku tahu bahwa engkau berada di dalam gua
bersama Keluarga Gak. Eh, Gak-piauwsu, engkau dan keluargamu hendak mencari si
manis Siok Ci anakmu? Boleh, kalian boleh berjumpa dengan dia di neraka. Dan
pemuda hijau yang ikut bersama kalian juga akan mampus. Ha-ha-ha!!
‘Aahhhhh, adikku Siok Ci.... engkau.... sudah mati....! Nyonya
itu menangis. Ayahnya membentak.
‘Dia sudah mati lebih baik! Mengapa engkau menangis? Kita pun
menghadapi kematian! Orang gagah tidak menangis menghadapi kematian di tangan
musuh!!
Seketika nyonya itu menghentikan tangisnya, mengepai tinju dan
berseru, ‘Anjing-anjing Mancu, rasakan pembalasanku!!
Lulu kagum sekali. Orang-orang Mancu itu.... ah, ia malu sekali.
Mendengar bahwa ia disebut ‘pemuda hijau!, cepat Lulu menutupi rambut yang
digelungnya dengan kain kepalanya, kemudian ia berkata,
‘Bu-eng Sin-kai, biarlah aku yang mengambil jalan depan!!
Ucapannya tegas dan sedikit pun tidak membay angkan kegentaran. Pengemis itu di
dalam gelap memandang ke arahnya dengan kagum.
‘Lihiap, engkau tidak bersenjata?!
‘Aku bisa merampas senjata dari mereka.!
‘Baiklah, engkau mengambil jalan depan. Aku mengambil jalan kiri
bersama mantu Gak-piauwsu yang patah tulang pundaknya. Gak-piauwsu, engkau
bersama puterimu dan cucumu mengambil jalan kanan.!
Tiba-tiba keadaan menjadi terang ketika pasukan yang mengepung itu
menyalakan banyak sekali obor dan memegang obor di tangan kiri, diangkat
tinggi-tinggi sedangkan tangan kanan memegang senjata tajam. Di antara sinar
obor, tampaklah perwira tinggi besar yang memegang golok besar pula, matanya
yang tinggal sebelah bercahaya mengerikan.
Mereka yang berada di dalam gua sudah siap, Bu-eng Sin-kai sudah
memegang senjatanya, yaitu sebatang tongkat bambu kuning yang kedua ujungnya
dipasangi baja runcing. Gak Kiong kakek itu memegang pedangnya di tangan kanan
dan cucunya dipondong di lengan kiri.
Puterinya juga sudah memegang pedang. Mantunya, yang lumpuh lengan
kanannya karena tulang pundaknya patah, memegang pedang dengan tangan kiri,
berjongkok dekat dengan Kwat Lee, Si Pengemis Kurus yang berjuluk Bu-eng
Sin-kai itu.
‘Siap! Kita menyerbu keluar. Satu, dua, tiga....!!
Meloncatlah mereka keluar, Lulu yang memiliki gin-kang istimewa
itu melompat paling dulu menerjang ke depan, di tengah-tengah. Sedangkan Bu-eng
Sin-kai didampingi mantu Gak-piauwsu menerjang ke kiri. Kakek Gak bersama
puterinya menerjang ke kanan.
‘Tangkap pemberontak! Bunuh....!! Terdengar teriakan riuh-rendah
dan sinar obor bergerak-gerak menyilaukan mata ketika pasukan itu mengepung dan
bergerak ke depan.
Karena mendengar cerita Kakek Gak, dan mendengar pula ucapan
perwira mata satu, timbul kebencian di hati Lulu terhadap perwira ini. Maka
begitu ia menerjang ke luar dan disambut oleh dua orang tentara Mancu, dengan
mudah ia merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan, berhasil merampas
sebatang pedang kemudian ia meloncat ke depan perwira yang memegang golok besar
itu dan terus menusuk dengan pedang rampasannya ke arah perut yang gendut itu.
‘Ha-ha-ha, pemuda hijau berani bertingkah?! Perwira mata satu
itu menggerakkan goloknya dengan pengerahan tenaga dan ia yakin bahwa sekali
tangkis, kalau tidak mematahkan pedang lawan sedikitnya ia tentu akan mampu
membuat pedang itu terlepas.
‘Heh....? Ahhhhh....!! Ia meloncat ke belakang sambil
mengelebatkan goloknya saking kaget karena pedang yang tadi menusuk dan
ditangkisnya itu tiba-tiba menyeleweng, mengelakkan tangkisannya dan terus
membacok lehernya! Tahulah perwira ini bahwa ‘pemuda! itu tak boleh dipandang
ringan.
‘Hemmm, Twa-to-kwi Liok Bu Tang, dumeh matamu cuma satu engkau
berani memandang sebelah mata kepadaku?! ejek Lulu yang menerjang terus dengan
hebatnya. Gerakannya memang gesit sekali dan ilmu pedangnya amat indah. Di bawah
sinar api obor, pedang rampasannya berubah menjadi gundukan sinar bundar
seperti payung yang melayang maju ke arah Liok Bu Tang.
‘Setan alas! Kaukira aku takut padamu?! Biarpun mulutnya berkata
demikian dan goloknya diputar cepat untuk menangkis dan balas menyerang, namun
kenyataannya perwira ini merasa lega ketika empat orang tangan kanannya, yaitu
perwira-perwira rendahan yang menyaksikan pula kelihaian Lulu, maju mengeroyok
gadis itu dan membantunya.
Adapun Bu-eng Sin-kai Kwat Lee yang menerjang ke kiri bersama
mantu Kakek Gak, juga menghadapi pengeroyokan belasan orang tentara. Kwat Lee
dengan tongkat bambunya mengamuk hebat, sebentar saja sudah berhasil merobohkan
empat orang pengeroyok. Adapun mantu Kakek Gak itu biarpun hanya dapat menggunakan
tangan kiri, namun ia masih dapat mempertahankan setiap serangan yang dapat ia
elakkan atau tangkis. Namun hatinya gelisah dan beberapa kali ia menoleh ke
kanan di mana ia melihat isterinya dan ayah mertuanya, yang menggendong
puterinya juga dikeroyok banyak orang.
Lulu marah bukan main menghadapi pengeroyokan para perwira Mancu
ini. Lenyap sama sekali perasaan tidak enak bahwa ia memusuhi bangsa sendiri
dan kini yang terasa di hatinya hanyalah bahwa ia menentang orang-orang yang
jahat, membela orang-orang yang benar. Berkat latihan-latihannya di Pulau Es,
gin-kangnya jauh melebihi para pengeroyoknya dan ketika ia mendapat kesempatan,
ketika tubuhnya melayang tinggi, dari atas ia menukik ke bawah, pedangnya
berbentuk gulungan sinar seperti payung melindungi tubuhnya dan tangan kirinya
memukul ke arah seorang pengeroyok dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.
‘Plakkkkk!! Orang itu roboh dengan kepala retak dan tewas di
saat itu juga. Lulu merasa kecewa bahwa yang tewas itu ternyata bukan Si Mata
Satu, karena dari atas tadi ia hanya menyerang pengeroyok terdekat.
‘Keparat! Kepung, bunuh!! teriak perwira mata satu dengan marah
ketika melihat seorang pembantunya tewas.
Diam-diam ia pun merasa gentar karena tidak menyangka bahwa
‘pemuda hijau! itu ternyata demikian lihainya. Atas teriakannya ini, dua
orang perwira rendahan maju menggantikan seorang yang roboh. Kini Lulu
dikeroyok oleh enam orang termasuk Si Mata Satu!
Ia mengertak gigi, memutar pedang dan bergerak seperti halilintar
cepatnya dan kembali dua orang telah kena sabetan pedangnya sehingga yang
seorang putus lengannya, yang seorang lagi pecah perutnya. Begitu roboh dua
orang, pengganti mereka sudah cepat muncul dan kembali Lulu dikeroyok dengan
kepungan ketat.
Pengemis kurus Kwat Lee juga mengamuk secara hebat. Empat orang
korbannya kini bertambah menjadi delapan orang, kesemuanya perajurit-perajurit
Mancu yang sungguhpun tidak selihai para perwira yang mengeroyok Lulu
kepandaiannya, namun karena jumlahnya amat banyak, maka ia tidak dapat maju dan
akhirnya terhalang oleh tumpukan mayat-mayat lawan yang dirobohkannya.
Pertandingan sudah berjalan hampir dua jam. Mantu Kakek Gak yang
menengok lagi ke kanan mengeluarkan teriakan ngeri ketika ia melihat isterinya
roboh oleh tusukan tombak dari belakang. Ia tidak mempedulikan lagi larangan
Kwat Lee lalu meloncat dan lari menuju ke kanan. Ia melihat isterinya roboh
mandi darah dan pada saat ia hendak menubruk isterinya, Kakek Gak berteriak
keras dan ketika mantunya menengok, ternyata ayah mertuanya itu roboh
bersama-sama puterinya, keduanya menjadi sasaran bacokan banyak golok dan
pedang!
Dengan buas laki-laki ini meloncat dan mengamuk dengan pedang di
tangan kirinya. Kemarahannya, kesedihan, dan dendam yang meluap-luap membuat
gerakan pedangnya berlipat ganda kekuatannya dan berhasil merobohkan tiga orang
pengeroyok sebelum ia sendiri roboh dengan tubuh penuh luka. Habislah riwayat
keluarga Gak yang gagah perkasa itu!
Kini tinggal Lulu dan Kwat Lee yang melanjutkan perlawanan.
Pengemis ini mengerti bahwa keluarga Gak tak dapat ditolong lagi, maka ia cepat
menggeser kedudukannya dan akhirnya berhasil mendekati Lulu. Setelah dekat ia
berteriak.
‘Lihiap! Kita mengadu punggung, saling melindungi!!
Lulu mengerti maksud pengemis itu dan ia pun lalu berdiri
membelakangi Kwat Lee dan biarpun punggung mereka tidak sampai bersentuhan,
masih terpisah kira-kira satu meter, namun dengan kedudukan mereka itu, tidak
ada pengeroyok yang akan dapat menyerang mereka dari belakang sehingga bagi
mereka akan lebih dapat melakukan pertahanan yang kuat.
Liok Bu Tang si Mata Satu sudah menjadi marah bukan main. Terlalu
banyak ia kehilangan anak buah, dan hasilnya hanya dapat membunuh keluarga Gak
yang empat orang jumlahnya, empat orang itu pun yang seorang anak kecil dan
seorang lagi sudah patah tulang pundaknya. Sungguh memalukan! Tidak kurang dari
lima belas orang anak buahnya tewas.
Si Mata Satu dan perwira rendahan yang tinggal empat lagi, dibantu
oleh dua puluh lebih anak buahnya, kini mengurung Lulu dan Kwat Lee. Lebih
marah lagi hati Si Mata Satu ketika mendengar pengemis itu menyebut lihiap
kepada ‘pemuda! itu. Hanya seorang gadis remaja!Para pengepung mengangkat
senjata, mengurung dan mencari kesempatan baik, atau menunggu komando. Lulu dan
Kwat Lee melintangkan senjata di depan dada, siap melawan mati-matian.
Keadaan amat menegangkan. Mata kedua orang yang dikeroyok ini
tidak berkedip, memandang para pengurung di bawah sinar obor yang kini dipegang
oleh puluhan orang tentara yang tidak ikut mengeroyok, karena tidak kebagian
tempat dan hanya berdiri di lingkungan luar dengan obor di tangan kiri dan
senjata di tangan kanan.
‘Serbu....!! Si Mata Satu memberi aba-aba seperti kalau biasanya
ia memberi komando pasukannya menyerbu barisan musuh.
‘Trang-trang-trang-cring-cring....!! Suara bertemunya senjata
nyaring memekakkan telinga dan tampak bunga api muncrat-muncrat disusul
teriakan-teriakan orang dan robohnya beberapa orang pengeroyok. Kenbali kedua
orang yang gerakannya amat cepat tadi berdiri diam karena para pengeroyok juga
diam dan agak menjauh, namun pengurungan tetap ketat. Kembali mereka seperti
patung, saling pandang dan menanti kesempatan. Keadaan lebih menegangkan
daripada tadi.
‘Lihiap, berapa ekor kau robohkan?!
Lulu hampir tertawa. Benar-benar luar biasa sekali pengemis ini.
Dikepung seperti itu, terancam maut, masih sempat bertanya yang merupakan
kelakar yang menyegarkan untuk mengusir ketegangan.
Bab 24
‘Lima.... ekor!! jawabnya, lupa bahwa yang disebut lima ekor itu
adalah lima orang perajurit bangsanya.
‘Aku hanya empat ekor, kalah satu ekor. Wah, engkau hebat,
Lihiap.!
Melihat sikap tenang dan mendengar percakapan mereka, seperti
hampir meledak saking marahnya dada Liok Bu Tang. Ia marah sekali dan
menganggap anak buahnya tidak becus. Mengeroyok dua orang saja sampai sekali
gebrakan roboh sembilan orang!
‘Serbu dan serang terus sampai hancur tubuh mereka!! teriaknya
sambil memutar golok. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya senjata dan
sekali ini pertandingan benar-benar amat hebat. Fihak pengeroyok terlalu banyak
dan biarpun sewaktu-waktu si pengemis kurus masih sempat bertanya berapa ekor
yang dijatuhkan Lulu, namun jumlah korban mereka makin berkurang dan mereka
menjadi lelah sekali.
Berjam-jam mereka dikeroyok dan jumlah lawan tidak pernah
berkurang karena begitu ada yang roboh, tentu ada pula yang menggantikannya.
Mereka berdua tidak hanya mandi keringat, juga mandi darah, sebagian besar
darah lawan, sebagian kecil darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka
bekas bacokan senjata para pengeroyok. Paha kiri Bu-eng Sin-kai Kwat Lee telah
terbacok golok Si Matu Satu, hampir mengenai tulangnya, juga dada kanannya
somplak dagingnya terkena bacokan pedang. Darah membasahi seluruh dada dan kaki
kiri.
Akan tetapi pengemis ini tak pernah mengeluh, terus mengamuk
dengan tongkat bambunya. Lulu juga terluka, pundaknya tertusuk mengeluarkan
darah dan pangkal pahanya di belakang, di bawah pinggul, kena diserempet pedang
sehingga kulitnya terkupas dan mengeluarkan darah pula. Seperti pengemis yang
sikapnya amat gagah dan membangkitkan semangat itu, Lulu tidak mau mengeluh dan
terus mengamuk.
‘Jangan khawatir, Lihiap. Biarpun mati, kita sudah mempunyai
banyak pengawal! Kita sudah untung besar!! demikian pengemis itu berkata
gembira.
Lulu kagum bukan main. ‘Sin-kai, aku akan bangga mati di samping
seorang gagah perkasa seperti engkau!! kata Lulu sambil menusukkan pedangnya
sampai tembus di dada seorang perajurit. Akan tetapi ketika ia mencabut
podangnya, terdengar suara ‘krekk! dan pedangnya patah! Ternyata pedangnya
itu terselip di tulang iga lawan dan ketika ia cabut, tertekuk dan patah.
Pada saat itu, golok Liok Bu Tang menyambar ganas. Lulu terkejut
mendengar desing angin golok dari samping ini. Cepat ia menjatuhkan diri ke
atas tanah dan bergulingan sampai jauh, ketika meloncat bangun tangan kanannya
menghantam kepala seorang lawan sampai pecah dan tangan kirinya merampas pedang
orang itu. Dia telah bersenjata lagi!
‘Bukan main! Gerakammu luar biasa indah dan lihainya, Lihiap!!
Bu-eng Sin-kai Kwat Lee memuji akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena kini ia sudah dihujani serangan dari para pengeroyok yang
mengepung nya. Biarpun napasnya sudah terengah-engah, terpaksa ia mengerahkan tenaga
dan memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya.
Kini keadaan kedua orang gagah ini menjadi lemah karena gerakan
Lulu yang menggelundung tadi memisahkan dia dengan Kwat Lee sehingga kini para
pengeroyok membuat gerakan mengurung menjadi dua rombongan. Dikurung seperti
itu tentu saja lebih berbahaya dan lebih sukar melindungi tubuh, juga
membutuhkan pengerahan tenaga lebih banyak untuk memutar senjata ke belakang
dan untuk berloncatan.
Saking lelahnya ditambah kehilangan darah, Lulu dan Kwat Lee sudah
hampir tidak kuat menggerakkan senjata mereka lagi. Mereka hanya mengandalkan
kelincahan mereka yang otomatis, berloncatan ke sana ke sini untuk
menghindarkan diri dari senjata lawan yang datang bagaikan hujan.
Melihat keadaan dua orang yang dikeroyok itu, Liok Bu Tang si Mata
Satu yang merasa penasaran, ingin menawan dua orang itu. Ia lalu menerjang
dengan golok besarnya, menghantam tongkat di tangan Kwat Lee. Terdengar suara
keras dan tongkat pengemis itu mencelat entah ke mana.
Tangannya yang sudah kehabisan tenaga tidak mampu lagi
mempertahankan hantaman golok yang amat kuat itu. Liok Bu Tang kini menyerang
Lulu dan seperti juga pengemis itu, dalam pertemuan tenaga, sungguhpun kekuatan
sin-kang gadis ini sebetulnya lebih hebat, namun karena tenaganya habis,
pedangnya patah dan terpaksa ia membuang pedang buntung dari tangannya.
‘Jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!! Liok Bu Tang berseru
girang. Dia amat marah dan membenci kedua orang itu dan kalau membunuh mereka,
ia anggap terlalu enak bagi mereka. Tidak, mereka harus disiksa dulu dan gadis
remaja yang cantik itu.... ah, dia sendiri yang akan ‘menanganinya!.
Perintah Si Mata Satu itu menyelamatkan nyawa Lulu dan Kwat Lee.
Andaikata tidak ada perintah itu, dalam keadaan bertangan kosong, dikeroyok
begitu banyak tentara bersenjata, dalam keadaan sudah amat lelah, tentu mereka
takkan dapat bertahan lama.
Kini para pengeroyok itu menyimpan senjata mereka dan menyerbu
dengan tangan kosong. Tentu saja Lulu dan Kwat Lee tidak mau menyerah begitu saja
dan menyambut mereka dengan hantaman-hantaman. Kembali mereka merobohkan
beberapa orang sebelum Kwat Lee terkulai roboh saking lelahnya, sedangkan Lulu
sudah merasa pening kepalanya, pandang matanya berkunang akan tetapi ia masih
bertahan terus.
Pada saat itu terdengar suitan keras sekali dan para pengeroyok
tiba-tiba menjadi kacau-balau oleh serbuan delapan orang berpakaian pengemis.
Namun delapan orang itu ternyata lihai bukan main, apalagi seorang di antara
mereka, seorang kakek gembel yang sudah tua sekali dan tubuhnya kurus kering
tinggi, rambut dan jenggotnya yang sudah putih itu riap-riapan dan kakinya
telanjang. Dengan senjata sebatang tongkat butut pengemis tua ini di samping
tujuh orang temannya mengamuk dan setiap orang yang dekat dengannya tentu
roboh.
Ketika Twa-to-kwi Liok Bu Tang melihat kakek tua ini, dia terkejut
dan cepat meloncat mendekati Lulu, menggerakkan goloknya membacok. Lulu yang
sudah lelah sekali, mengelak ke kiri, akan tetapi sebuah pukulan dari belakang
mengenai punggungnya dan ia roboh menelungkup. Ketika ia menggerakkan kepala
menoleh, ia melihat Si Mata Satu mengangkat golok disabetkan ke arah lehernya.
Lulu tidak berdaya lagi, dan ia membelalakkan mata menanti datangnya maut yang
tak terhindarkan lagi itu.
‘Tranggggg....!! Golok itu terpental dan Si Mata Satu cepat
melompat tinggi dan terus kabur. Kakek tua renta yang menangkis golok dengan
tongkat bututnya itu mengamuk dan menyambar tubuh Lulu yang sudah pingsan.
Gadis ini begitu kaget dan juga bersyukur bahwa pada detik terakhir ia
tertolong, maka tekanan batin karena kaget dan girang ini membuat tubuhnya yang
sudah lelah dan lemah kehilangan banyak darah tak kuat bertahan dan ia pingsan.
Lulu tidak tahu bahwa dia dan Kwat Lee tertolong, dan akhirnya dibawa
lari delapan orang pengemis lihai itu ke dalam hutan-hutan di kaki Gunung
Lu-liang-san. Dalam keadaan pingsan ia bermimpi bertanding dikeroyok banyak
orang di samping kakaknya, dan hatinya girang bukan main karena amukan kakaknya
membuat semua pengeroyok lari tunggang langgang!
Kita tinggalkan dulu Lulu yang ditolong oleh para pengemis dan
dibawa pergi untuk dirawat luka-lukanya dan mari kita mengikuti pengalaman Han
Han bersama Kim Cu. Telah diceritakan di bagian depan betapa kedua orang muda
itu diajak pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li menuruni Puncak In-kok-san. Agaknya
nenek yang memiliki watak sadis ini sengaja membawa Han Han dan Kim Cu melalui
lereng-lereng gunung yang terjal dan sukar.
Tentu saja Han Han yang baru saja buntung kakinya dan masih lemah,
menderita kurang darah dan nyeri, sengsara sekali harus mengikuti nenek itu
melalui jalan yang sukar. Ia terpincang-pincang dibantu tongkatnya dan untung
di sampingnya ada Kim Cu yang selalu menggandeng dan membantunya apabila
melalui jalan yang amat sukar. Cinta kasih gadis ini yang jelas tampak dalam
sikap dan pembelaannya, benar-benar amat mengharukan hati Han Han.
Ketika mereka tiba di sebelah hutan, tiba-tiba nenek itu berhenti,
menenggak araknya dan menarik napas panjang.
‘Aaahhhhh, tidak sangka engkau mati di sini....!!
Han Han dan Kim Cu yang juga berhenti, memandang nenek itu dan
mengira bahwa tentu nenek itu akan turun tangan membunuh mereka di tempat sunyi
itu. Mereka hanya menanti nasib, karena maklum bahwa melawan pun tidak akan ada
gunanya. Akan tetapi di dalam hati dua ordng muda itu terkandung tekad yang
sama. Han Han mengambil keputusan untuk menggunakan sisa hidupnya ini untuk
membela Kim Cu dan kalau nenek itu turun tangan hendak membunuh Kim Cu, ia akan
melawannya, biarpun kakinya tinggal satu. Demikian pula Kim Cu, dia akan
membela Han Han kalau hendak dibunuh gurunya dan ia akan melawan gurunya!
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Suara itu halus dan
terdengar seperti amat jauh, akan tetapi kata-katanya jelas terdengar oleh
mereka bertiga.
Cinta....!
Betapa besar kekuasaanmu
menyelimuti seluruh alam mayapada
menunggang angin menyelam air
terkandung dalam api tanah dan kayu
engkaulah penggerak perputaran ngo-heng
engkaulah imbangan Im-yang!
Cinta bertahta di langit
langit hanya memberi tanpa meminta
nafsu bertahta di bumi
memberi sedikit akhirnya
minta kembali seluruhnya!
Mendengar kata-kata dalam nyanyian itu, diam-diam Han Han
terkejut. Kata-kata yang luar biasa, dan tidak merupakan pelajaran apa pun
juga. Seorang tosukah orang itu? Ataukah seorang hwesio? Agaknya bukan. Kim Cu
yang mendengar suara itu pun terheran dan memandang gurunya, jelas bahwa gadis
ini pun tidak mengenal suara siapa yang bernyanyi itu.
Toat-beng Ciu-sian-li menghentikan langkahnya, memandang ke depan
dengan kening berkerut. Sepasang mata nenek ini berkilat dan ia menenggak arak
dari gucinya sebelum berkata dengan suara melengking tinggi.
‘Bukankah Im-yang Seng-cu di depan itu? Kalau benar, lekas
keluar jika ada urusan dengan aku, jangan sembunyi-sembunyi seperti tikus!!
Terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang
wajahnya kelihatan berseri dan bersih karena tidak ada kumis jenggotnya,
pakaiannya kuning sederhana namun bersih, kakinya telanjang dan tangan kirinya
memegang sebatang tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga. Han Han
terkejut dan girang ketika mendengar disebutnya nama kakek ini, karena ia
teringat kepada sahabat-sahabat baik yang dijumpainya di rumah
Pek-eng-piauwkiok di kota Kwan-teng, yaitu Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li. Maka
tanpa disadarinya ia berseru.
‘Ah, jadi locianpwe inikah Guru Sin Kiat dan Soan Li?!
Mendengar seruan ini, kakek itu memandang Han Han, kelihatan
tercengang dan meneliti Han Han dari atas sampai ke bawah, pandang matanya
berhenti pada kaki buntung itu. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu
kepada Han Han, bahkan dia lalu menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li dan berkata.
‘Sian-li, apakah selama belasan tahun ini Sian-li baik-baik
saja?!
Nenek itu mendengus dan mengerutkan kening, kemudian memandang
tajam dan bertanya,
‘Im-yang Seng-cu, mau apa engkau berkeliaran di sini?! Nadanya
penuh teguran dan jelas bahwa pertemuan ini tidak menyenangkan hatinya.
Im-yang Seng-cu tertawa dan merogoh bajunya, mengeluarkan
sebungkus hioswa sambil berkata,
‘Kebetulan saja aku bertemu dengan Sian-li di sini dalam
perjalananku hendak menjenguk dan menyembahyangi kuburan sahabatku
Jai-hwa-sian.!
‘Jai-hwa-sian...? Dia.... dia.... Kong-kongku....!! Han Han
berseru, terheran-heran. Benarkah kongkongnya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah
mati dan kuburannya berada di tempat ini?
Ucapan Han Han ini sungguhpun tidak ada artinya bagi Kim Cu, namun
ternyata mengejutkan Toat-beng Ciu-sian-li dan Im-yang Seng-cu. Kakek itu kini
memandang Toat-beng Ciu-sian-li dan suaranya tidak ramah lagi ketika bertanya.
‘Sian-li, apa artinya ini? Kulihat pemuda ini baru saja
menderita buntung kakinya dan kalau dia cucu Jai-hwa-sian engkau hendak apakan
dia?!
‘Im-yang Seng-cu, berani engkau mencampuri urusanku?! Toat-beng
Ciu-sian-li membentak, suara dan pandang matanya mengancam, rantai panjang di
kedua telinganya bergerak-gerak seperti hidup.
‘Mana berani aku lancang mencampuri urusanmu, Sian-li? Akan tetapi
urusan yang menyangkut diri cucu sahabatku Jai-hwa-sian, tidak bisa tidak harus
kucampuri. Kalau aku diam saja, aku malu bertemu dengan kuburannya!!
‘Im-yang Seng-cu, dengar baik-baik. Aku sama sekali tidak tahu
bahwa bocah ini adalah cucunya, dan dia ini adalah muridku yang murtad,
melarikan diri dari perguruan maka telah menerima hukuman. Adapun gadis ini
juga muridku yang membelanya, maka kini keduanya harus dihukum mati.!
Im-yang Seng-cu memandang Kim Cu dan Han Han bergantian. Pantas
saja begitu bertemu dengan Han Han tadi ia tercengang menyaksikan persamaan
pemuda itu dengan sahabatnya yang telah tewas. Kiranya bocah ini adalah cucu
Jai-hwa-sian! Dan mata kakek ini yang awas dapat pula melihat kenekatan di
dalam sikap dua orang muda itu, melihat pula pandang mata penuh cinta kasih. Ia
tersenyum dan menjawab.
‘Toat-beng Ciu-sian-li, engkau tahu bahwa aku cukup
menghormatimu sebagai golongan lebih tua, akan tetapi engkau pun cukup maklum
bahwa tak mungkin aku membiarkanmu mengulangi perbuatanmu dahulu terhadap cucu
sahabatku Jai-hwa-sian. Eh, bocah berkaki buntung! Siapakah namamu?!
Han Han tidak mengharapkan pertolongan siapapun juga, dia mengaku
cucu Jai-hwa-sian tadi pun karena tanpa disadari dan saking kagetnya mendengar
disebutnya nama itu. Kini mendengar pertanyaan itu, diam-diam ia tersenyum. Ia
dapat mengenal orang dan biarpun kakek ini bertanya secara kasar, namun ia
dapat menangkap maksudnya yang baik, maka dengan tenang ia menjawab,
‘Namaku Sie Han, locianpwe.!
Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh mengejek. ‘Dia she Sie dan
mengaku cucu Jai-hwa-sian, hi-hi-hik! Im-yang Seng-cu, setua ini engkau mudah
tertipu seorang bocah!!
Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikan ejekan Toat-beng
Ciu-sian-li, dan sambil menatap tajam wajah Han Han, ia bertanya lagi,
‘Siapakah nama Jai-hwa-sian yang kau sebut Kong-kongmu itu?!
‘Namanya Sie Hoat.!
‘Hi-hi-hi, heh-heh! Kebohongan yang dipaksakan, sungguh
menggelikan!! kembali nenek itu mengejek, lalu menenggak arak dari gucinya.
‘Dan siapa nama Ayahmu?! Im-yang Seng-cu bertanya lagi.
Han Han mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah seorang
pesakitan yang diperiksa untuk kemudian dijatuhi hukuman, dan seolah-olah ia
hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri. Biarpun Jai-hwa-sian
itu kakeknya seperti yang diceritakan Sie Leng kepadanya, namun ia tidak suka
kepada kakeknya yang amat jahat itu. Dia tidak sudi mencoba untuk menolong
nyawanya dengan menggunakan nama kakeknya.
‘Dengarlah, locianpwe dan juga engkau, Toat-beng Ciu-sian-li.
Jangan sekali-kali mengira bahwa aku hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk
menyelamatkan diri dengan mengaku sebagai cucunya! Aku hanya menceritakan
keadaan yang sebenarnya yang juga belum lama aku dengar dari Enciku. Ayahku
bernama Sie Bun An yang dulu tinggal di kota Kam-chi dan menurut Enciku,
Kakekku bernama Sie Hoat berjuluk Jai-hwa-sian. Dan biarpun dia itu Kakekku,
aku tidak sudi menyelamatkan diri dengan berlindung di belakang namanya.!
Im-yang Seng-cu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar,
diam-diam ia kagum sekali melihat sikap dan mendengar ucapan Han Han.
Teringatlah ia akan sahabatnya itu dan ia menarik napas panjang.
‘Tak salah lagi.... tak salah lagi, ia mewarisi kenekatan dan
keganasan Keluarga Suma.... akan tetapi mewarisi kekerasan hati dan kegagahan
Keluarga Kam....! Sian-li, terpaksa aku menentang kalau engkau hendak membunuh
mereka!!
Toat-beng Ciu-sian-li mendengus. ‘Hemmm, Im-yang Seng-cu, engkau
tidak tahu diri! Andaikata benar Han Han ini cucu Jai-hwa-sian dan ada alasanmu
melindunginya, akan tetapi Kim Cu adalah muridku dan kalau aku hendak
membunuhnya sebagai muridku sendiri, setan manakah yang berhak mencampuri?!
‘Bukan setan, melainkan akulah yang akan menentangmu,
Ciu-sian-li!!
Tiba-tiba Han Han berkata. ‘Engkau tidak boleh membunuh Kim Cu.
Dia tidak berdosa. Kalau mau bunuh, kau bunuhlah aku dan bebaskan Kim Cu!!
‘Kalau subo hendak membunuh Han Han, terpaksa teecu akan
menentang dan melawan subo untuk membelanya!! Tiba-tiba Kim Cu juga berseru
sambil menggandeng pemuda itu.
Toat-beng Ciu-sian-li kelihatan kaget, mukanya merah sekali dan
matanya terbelalak. Sejenak keadaan sunyi dan tegang, kemudian terpecah oleh
suara ketawa Im-yang Seng-cu, ‘Ha-ha-ha-ha. Cinta, betapa besar
kekuasaanmu....!!
Tubuhnya bergerak dan ia sudah meloncat di dekat Han Han
menghadapi nenek itu, lalu berkata,
‘Sian-li, apakah engkau masih berkeras dan hendak mencoba-coba
melawan kami bertiga?!
Kemarahan Toat-beng Ciu-sian-li memuncak, matanya berkilat
menyambar-nyambar ke arah tiga orang itu berganti-ganti. Akan tetapi dia
bukanlah seorang bodoh yang hanya menuruti nafsu amarahnya. Tidak, Toat-beng
Ciu-sian-li amat cerdik dan otaknya yang sudah masak itu penuh dengan
perhitungan. Ia mengenal siapa adanya Im-yang Seng-cu yang biarpun merupakan
tokoh murtad dari Hoa-san-pai, namun memiliki ilmu kepandaian hebat karena
tokoh ini memetik banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi dari luar yang ia gabung
dengan ilmu silat Hoa-san-pai, sehingga mungkin tingkat kepandaiannya sekarang
tidak berada di bawah tingkat supeknya sendiri yaitu Thian Cu Cinjin ketua
Hoa-san-pai.
Andaikata ia masih dapat mengatasi Im-yang Seng-cu dan tingkatnya
masih menang sedikit, akan tetapi di situ masih ada Kim Cu yang telah mewarisi
sebagian besar kepandaiannya, belum dihitung lagi Han Han yang biarpun buntung
namun sesungguhnya memiliki kepandaian yang aneh dan luar biasa.
Masih bergidik nenek ini kalau mengingat betapa ketika ia
bertanding melawan Han Han di kota raja, pemuda itu dapat ‘memecah diri!
menjadi tiga orang, kepandaian yang hanya ia dengar dalam dongeng saja, seperti
yang dimiliki Sun Go Kong, atau Kauw Cee Thian Si Raja Monyet tokoh dalam
dongeng See-yu!
Kalau mereka ini maju dan sampai kalah, hal ini benar-benar akan
amat memalukan. Kemarahannya dapat ia tekan dengan pertimbangan yang cerdik,
dan wajah yang keruh itu tiba-tiba berseri-seri, kemudian terdengar ia menarik
napas panjang dan berkata.
‘Im-yang Seng-cu, engkau yang penuh dengan muslihat dan akal
bulus! Engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah mau membunuhmu, mengingat betapa
engkau dahulu adalah seorang bocah yang dikasihi mendiang suamiku. Biarlah
mengingat akan suamiku, aku memaafkanmu. Tentang bocah yang dua orang ini,
hi-hi-hik, apa aku khawatirkan? Han Han telah buntung, tiada gunanya dan kalau
Kim Cu lebih senang hidup sengsara di sampingnya daripada mati sebagai murid
yang berbakti, terserah. Kalau aku menghendaki, kelak mereka akan dapat lari ke
manakah? Engkau pun tidak mungkin melindungi mereka selamanya. Hi-hi-hik!!
Setelah berkata demikian, Toat-beng Ciu-sian-li melangkah pergi, rantai panjang
di kedua telinganya mengeluarkan bunyi berkerincingan.
Setelah nenek itu pergi, Han Han tidak dapat menahan lagi
keinginan tahunya dan ia bertanya,
‘Locianpwe, apakah artinya ucapan locianpwe tentang Keluarga
Suma dan Keluarga Kam tadi? Dan apakah benar kuburan Kakekku berada di sini?!
‘Engkau mau tahu? Mari ikut bersamaku.! Setelah berkata
demikian, Kakek itu membalikkan tubuh melangkah pergi menuju ke selatan. Han
Han terpincang-pincang dibantu tongkatnya mengikuti dan Kim Cu cepat
menggandeng lengan pemuda itu untuk membantunya.
Han Han yang merasa sentuhan tangan Kim Cu menoleh. Mereka
berpandangan sejenak dan Han Han melihat betapa sepasang mata gadis itu basah
dengan air mata, air mata kebahagiaan bahwa mereka telah bebas daripada
bencana!
Betapa dengan kasih sayang yang mesra pandang mata gadis itu
kepadanya. Han Han terharu dan sejenak jari tangannya menggenggam tangan gadis
itu. Akan tetapi mereka segera melanjutkan langkah agar tidak tertinggal oleh
kakek yang berjalan terus tanpa pernah menengok kepada mereka.
Kakek itu keluar dari hutan, melalui pantai sebuah telaga kecil
dan memasuki hutan di sebelah telaga. Hutan ini amat sunyi dan kecil,
pohon-pohon di situ jarang sekali. Tak lama kemudian tibalah kakek itu di depan
sebuah gundukan tanah kuburan, mengeluarkan hio, menyalakannya dan
bersembahyang.
Bungkusan itu hanya terisi tiga batang dupa. Kakek itu
mengacungkan dupa menyala di atas tadi, mulutnya berkemak-kemik seolah-olah ia
sedang bercakap-cakap dengan bayangan orang yang dikubur di situ, kemudian
menancapkan tiga batang dupa berasap itu di atas tanah, di depan batu nisan
yang sederhana.
‘Inilah kuburan Jai-hwa-sian,! katanya sambil melangkah mundur
dan berdiri sambil termenung seolah-olah ia hendak merenungkan masa lalu ketika
orang yang kini tinggal kuburannya saja itu masih hidup.
Semenjak ia mendengar cerita encinya betapa jahatnya orang yang
menjadi kakeknya dan berjuluk Jai-hwa-sian itu sehingga encinya sendiri
mengakui bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah orang jahat, Han Han merasa
tidak suka kepada kakeknya.
Kini, melihat kuburannya, ia maju menghadapi batu nisan dan karena
ia melihat ukiran-ukiran huruf yang sudah hampir tak terbaca pada batu itu, ia
lalu duduk di atas tanah depan kuburan. Dengan teliti ia memandang ukiran
huruf-huruf itu dan membaca:
MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT
Berdebar jantung Han Han membaca nama itu. Suma Hoat? Mengapa
she-nya Suma, bukan Sie? Teringat ia akan arca di In-kok-san yang harus
disembah-sembah para murid In-kok-san, arca guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee
yang bernama Suma Kiat! Dan teringat pula ia akan dongeng yang dituturkan Kim
Cu bahwa sukong mereka itu mempunyai seorang putera yang bernama Suma Hoat dan
yang menghilang entah ke mana!
Melihat wajah pemuda itu, Kim Cu cepat menghampiri dan ikut
membaca tulisan itu. Tiba-tiba gadis itu meloncat mundur dan menoleh kepada
Im-yang Seng-cu sambil berkata.
‘Ahhh.... ini kuburan supek yang menjadi putera sukong Suma
Kiat! Kiranya sudah meninggal dan dikubur di sini!!
‘Ini bukan kuburan Kakekku. Kakekku she Sie, bukan she Suma!!
kata Han Han, penasaran.
Im-yang Seng-cu yang berdiri dengan tongkat di tangan kiri
tersenyum, lalu menundingkan telunjuk kanannya kepada Han Han sambil berkata,
‘Dan memang sesungguhnya engkau bukan she Sie, melainkan Suma. Engkau bukan
Sie Han, akan tetapi Suma Han!!
Wajah Han Han menjadi pucat. Dengan limbung ia bangkit berdiri,
dibantu tongkatnya dan memandang kakek itu dengan mata tajam penuh selidik.
Diam-diam Im-yang Seng-cu menaruh hati iba kepada pemuda ini.
‘Marilah kita duduk dan dengarkan penuturanku, Suma Han.!
Han Han dapat menekan gelora batinnya dan dengan muka masih pucat
ia duduk di depan kuburan itu. Kim Cu yang memegang lengan Han Han duduk di
sebelahnya sedangkan Im-yang Seng-cu duduk pula di atas batu, menghadapi
mereka. Ia menarik napas panjang, mengangguk-angguk dan berkata.
‘Benar, engkau adalah Suma Han. Ini adalah kuburan Kakekmu yang
bernama Suma Hoat, putera tunggal Suma Kiat yang menjadi Guru Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee. Jadi Suma Kiat adalah Kakek Buyutmu, sedangkan Toat-beng
Ciu-sian-li tadi, yang menjadi selir Suma Kiat, adalah Nenek Buyutmu.! Han Han
mendengar kata-kata ini seperti dalam mimpi.
‘Akan tetapi, locianpwe. Kalau benar aku keturunan Suma, mengapa
Ayahku bernama keturunan Sie?! ia membantah, ragu-ragu.
‘Hal itu tidak mengherankan dan mudah saja diduga. Suma Hoat,
Jai-hwa-sian itu, semoga Tuhan mengampuni sahabatku itu, sungguhpun seorang
jantan gagah perkasa, ditakuti lawan, memiliki kelemahan. Ia tidak dapat
menahan nafsunya apabila bertemu wanita sehingga banyaklah ia mengganggu
wanita, perbuatan sesat yang dilakukannya karena kesadarannya menjadi buta oteh
nafsu berahi, sehingga ia dijuluki Jai-hwa-sian. Jangankan wanita biasa
penduduk desa, biarpun puteri dalam istana kaisar tentu akan didatanginya kalau
hatinya sudah tertarik! Mungkin sekali, dan hal ini aku tidak meragukan, Ayahmu
terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diganggunya. Karena Kakekmu
yang she Suma itu banyak dimusuhi orang, dan mungkin karena keluarga Nenekmu
tidak suka menggunakan she Suma, maka Ayahmu, putera Suma Hoat, diberi she Sie.
Aku yakin akan kebenaran dugaanku ini, melihat betapa wajahmu mirip sekali
dengan sahabatku, terutama pandang matamu. Dia tampan, banyak wanita jatuh hati
kepadanya, akan tetapi dia hanya mengejar wanita yang menarik hatinya.!
Kakek itu lalu bercerita tentang Jai-hwa-sian Suma Hoat. Menurut
Im-yang Seng-cu, Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan
berilmu tinggi, karena seperti juga Im-yang Seng-cu sendiri, Suma Hoat
merupakan seorang petualang dan perantau yang selalu memperdalam ilmu-ilmunya
dan tidak segan-segan untuk mencangkok ilmu dari lain cabang. Mereka bersahabat
ketika keduanya berusaha mencari kakek sakti Koai-lojin.
Keduanya berhasil bertemu kakek sakti seperti dewa itu dan diberi
petunjuk sehingga mereka menjadi makin lihai. Juga mereka berdua sering kali
berjuang bahu-membahu menentang kejahatan-kejahatan. Sayang sekali, Suma Hoat
tidak dapat mengendalikan nafsu berahinya seperti nafsu-nafsu lain yang sudah
dapat ia kendalikan, bahkan ia menjadi hamba nafsu berahi ini yang sering kali
menggelapkan pikirannya, membuat ia nekat mendapatkan wanita yang disukanya,
baik wanita itu gadis, janda maupun isteri orang!
‘Darah Suma yang mewariskan watak seperti itu,! kata pula
Im-yang Seng-cu. ‘Semenjak nenek moyangnya dahulu, Keluarga Suma ini selalu
dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw karena watak mereka yang tidak
baik, semenjak Pangeran Suma Kong nenek moyangmu. Akan tetapi, di tubuh Kakekmu
ini mengalir pula darah keluarga pendekar yang turun-temurun menggemparkan
dunia, yaitu Keluarga Kam, keturunan dari Kam Si Ek, seorang Jenderal Kerajaan
Hou-han yang gagah perkasa lahir batin dan yang menurunkan pendekar sakti
Suling Emas. Engkau masih mempunyai darah Keluarga Kam ini pula, Han Han.
Mudah-mudahan saja kalau terjadi pertempuran dalam sanubarimu antara kedua
darah keturunan ini, watak Keluarga Kam yang akan menang.!
Han Han tertegun, wajahnya pucat. Cerita ini terlalu hebat
baginya. Kini dia tidak merasa heran lagi mengapa kadang-kadang ada dorongan
dan rangsangan liar dalam hatinya, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang,
seolah-olah ia menjadi buas kalau belum melihat musuh menggeletak tak bernyawa
di depan kakinya. Agaknya itulah dorongan watak Suma. Terkutuk!
‘Kalau dia begitu jahat, kenapa locianpwe bisa menjadi
sahabatnya?!
‘Kelemahannya hanya menghadapi wanita, kalau tidak sedang
dikuasai nafsu berahinya, dia seorang pendekar yang gagah. Karena itu,
sungguhpun banyak pendekar di dunia kang-ouw yang memusuhi, tidak sedikit pula
yang menjadi sahabatnya, termasuk aku sendiri.!
Han Han penasaran. ‘Kalau begitu banyak sahabat baiknya seperti
locianpwe sendiri, mengapa tidak ada yang menasihatinya seperti locianpwe
sekarang menasihati saya?!
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, tergetar jantungnya ketika ia
bertemu pandang dengan pemuda itu. Pandang mata itu! Mata setan! Mata iblis!
Belum pernah ia melihat mata orang seperti mata pemuda ini. Celaka, pikirnya,
kalau sampai pemuda ini menyeleweng, tentu akan menjadi tokoh dunia yang
terjahat di antara semua keturunan Suma yang pernah hidup, pikirnya.
‘Siapa berani menasehatinya setelah apa yang ia lakukan terhadap
Kian Ti Hosiang yang di waktu itu menjadi tokoh Siauw-lim-pai?!
Han Han teringat akan hwesio tua di Siauw-lim-pai yang amat
mengesankan hatinya itu dan segera bertanya, ‘Apakah yang telah dilakukannya
terhadap hwesio Siauw-lim-pai itu?!
Im-yang Seng-cu menghela napas. ‘Waktu itu sungguh ia sedang
gelap mata. Kian Ti Hosiang adalah seorang berilmu tinggi, tidak hanya memiliki
ilmu silat yang sukar dicari bandingnya, juga memiliki ilmu batin yang amat
tinggi. Hwesio itu menemui Jai-hwa-sian yang hendak mengganggu puteri seorang
pembesar yang terkenal bijaksana, memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian
marah dan menantang hwesio itu. Kian Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal
Jai-hwa-sian berjanji untuk menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan
Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada perlawanan sama sekali dari orang berilmu
itu! Kian Ti Hosiang mengorbankan dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan
hwesio itu dipukul sampai lumpuh kedua kakinya!!
‘Ahhh....! Jahat benar dia!! Han Han memaki dan mengepal
tinjunya. Kiranya, hwesio tua yang mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya
karena dipukul kakeknya sendiri, sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan
kesesatan kakeknya yang jahat!
‘Hemmm, dia adalah Kakekmu sendiri!! Im-yang Seng-cu
memperingatkan sambil mengerutkan keningnya.
Dia boleh seribu kali Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan
perbuatan-perbuatan sesat seperti itu, aku tetap akan mengutuknya!! kata Han
Han yang marah sekali. Kemudian ia menggerakkan tongkat di tangannya, memukul
ke arah batu nisan.
‘Bresssss....!! Batu nisan itu hancur berkeping-keping terkena
pukulan tongkat Han Han. Im-yang Seng-cu terbelalak menyaksikan betapa pemuda
itu dengan senjata hanya sebatang ranting dapat menghancurkan batu nisan,
padahal ia melihat sendiri bahwa ranting itu hampir tidak menyentuh batu nisan.
Jelas bahwa pemuda itu telah menghancurkan batu nisan dengan tenaga sin-kang
yang amat luar biasa kuatnya.
Kenapa engkau merusak nisan Kakekmu sendiri yang kubuat dengan
sengaja agar namanya tidak lenyap?! Im-yang Seng-cu bertanya dengan suara
dingin. Jelas terdengar dari suaranya bahwa ia marah.
Dengan bersandar pada tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya.
‘Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan
locianpwe, juga terhadap, kuburan Kakek saya. Akan tetapi nama seperti yang
dimiliki Kakek saya perlukah dipertahankan? Hanya akan mendatangkan aib dan
noda saja pada keturunannya!! Suara Han Han terdengar penuh kepahitan ketika ia
mengucapkan kata-kata terakhir ‘keturunannya! itu, ketika ia teringat betapa
sesungguhnya ia adalah keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya!
Im-yang Seng-cu juga kelihatan marah. ‘Orang muda, engkau
sombong! Biarpun Kakekmu tersesat dalam hal kelemahannya terhadap wanita, namun
aku sebagai sahabat baiknya maklum betapa dengan susah payah ia melawan
pengaruh jahat yang mengalir dalam tubuhnya sebagai darah nenek moyang Suma!
Engkau pun hanya seorang manusia yang tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau
engkau tak dapat memaafkan Kakekmu sendiri, bagaimana engkau akan dapat
memaafkan orang lain? Hemmm, hendak kulihat engkau kelak apakah lebih baik
daripada Suma Hoat!!
Setelah berkata demikian, Im-yang Seng-cu melesat pergi dan lenyap
dari situ. Han Han menghela mapas panjang dan merasa menyesal bahwa guru Sin
Kiat itu pun marah kepadanya.
Melihat Han Han termenung dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya
dan menyentuh lengannya.
‘Han Han, biar semua orang marah dan tidak suka kepadamu,
ingatlah bahwa di sini masih ada aku yang selamanya takkan dapat
membencimu....!
Hati Han Han seperti dibetot-betot dan ia memeluk gadis itu yang
membenamkan mukanya di dadanya yang masih panas karena kemarahannya tadi.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, kemudian Kim Cu dapat
menguasai hatinya, melepaskan pelukan Han Han dan berkata.
‘Marilah kita cepat pergi dari tempat ini.! Bisikannya
mengandung perasaan takut.
‘Jangan takut, Kim Cu. Kalau sampai gurumu muncul dan hendak
mengganggu kita, kita lawan mati-matian.!
‘Aku tidak takut, Han Han, hanya aku merasa ngeri kalau harus
berpisah denganmu. Marilah kita pergi.!
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Biarpun keduanya tidak
takut lagi menghadapi ancaman Toat-beng Ciu-sian-li, namun mereka juga bukan
orang-orang nekat yang ingin mencari mati. Mereka mengambil jalan melalui hutan-hutan
dan mendaki lereng yang tersembunyi agar jangan sampai bertemu dengan nenek
itu.
‘Han Han, kesehatanmu belum pulih kembali. Kalau kita
melanjutkan perjalanan terlalu lama, tentu engkau akan jatuh sakit. Maka,
kurasa lebih baik kita mencari tempat persembunyian dan tinggal dulu di tempat
itu sampai kesehatanmu pulih. Bagaimana?!
Han Han mengangguk. ‘Terserah kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di
mana kita mencari tempat yang baik?!
Kim Cu tersenyum. Manis sekali wajahnya setelah kini mereka terlepas
dari bahaya dan ia dapat tersenyum dengan hati lapang.
‘Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat waktu libur dan
diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan engkau yang
tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara puncak-puncak
pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat tersembunyi. Tempat itu
indah sekali, goa itu merupakan terowongann yang menjurus ke tepi jurang yang
tak berdasar saking tingginya! Tak seorang pun akan datang ke tempat itu.!
‘Hemmm, mau apa engkau dahulu bersembunyi di tempat itu?!
Wajah Kim Cu menjadi merah. ‘Mau.... menangis....!
Han Han memandang wajah cantik itu dengan mata terbelalak heran.
‘Menangis? Menangis saja mengapa mencari tempat yang
tersembunyi?!
Kim Cu mengangguk. ‘Ya, biar tidak ketahuan orang. Aku kecewa
sekali melihat engkau pergi tidak mau kembali, dan aku menangis di sana sampai
kedua mataku bengkak-bengkak!!
‘Ah.... Kim Cu.... Kim Cu....! Han Han makin terharu menyaksikan
betapa gadis ini sejak dahulu telah jatuh cinta kepadanya. Dan ia pun merasa
heran bukan main melihat perubahan dirinya. Mengapa kini ia mudah terharu,
mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah selemah ini. Dan ketika ia
marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya tidak timbul kebuasan untuk
membinasakan orang.
Kemarahannya tadi masih terkendali dan ia menghancurkan batu nisan
dengan sadar. Ia menunduk, memandang kakinya yang buntung. Karena kebutungan
kakinya itulah maka terjadi perubahan pada dirinya? Dia tidak tahu.
Melihat pemuda itu memandang kakinya yang buntung, Kim Cu salah
menduga dan berkata,
‘Jangan khawatir, Han Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu
memang sukar. Akan tetapi di bagian yang paling sukar, aku bisa menggendongmu!!
Han Han tersenyum. ‘Apa kau kira aku anak kecil? Betapapun
sukarnya, dengan bantuan tongkatku ini dan dengan bantuanmu, tentu akan dapat
kulalui.!
Kim Cu tiba-tiba menari kegirangan mengelilingi Han Han, membuat
pemuda itu makin heran. ‘Eh, eh, apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?!
‘Hi-hik, memang aku gila. Gila karena girang melihat
perubahanmu. Engkau tidak putus asa lagi dan semangatmu telah bangkit kembali.
Bagus! Bukankah hal itu amat menggirangkan hati?!
Han Han memegang kedua tangan gadis itu, tongkatnya ia kempit.
‘Kim Cu....! katanya penuh keharuan. ‘Engkau seorang gadis yang baik
sekali. Dengan engkau di sampingku, aku merasa seolah-olah mendapatkan Adikku
Lulu yang hilang itu kembali. Memang, aku tidak akan putus asa, Kim Cu. Aku
akan membuktikan kepada dunia, kepada Im-yang Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw
lainnya bahwa biarpun aku keturunan Keluarga Suma yang terkutuk, akan tetapi
aku tidak jahat seperti mereka, dan aku akan membuktikan bahwa seorang buntung,
seperti katamu, masih dapat melakukan hal yang berguna bagi manusia dan dunia!!
‘Bagus! Dan aku yakin bahwa engkau kelak tentu akan menjadi
orang yang amat berguna, jauh melebihi mereka yang kakinya utuh, dan akan dapat
membersihkan nama keturunan Suma yang berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek
moyangmu.!
Han Han mengangguk-angguk. ‘Mudah-mudahan, Kim Cu.!
Berangkatlah kedua orang muda itu mendaki puncak yang dimaksudkan
Kim Cu. Menjelang malam mereka tiba di goa yang dimaksudkan, sebuah goa yang
berada di puncak. Kim Cu membuat obor dari kayu kering dan mereka memasuki goa
yang merupakan mulut terowongan itu. Perjalanan itu amat melelahkan, terutama
sekali bagi Han Han yang kesehatannya belum pulih sama sekali.
‘Sebelum gelap, aku akan keluar mencari daun-daun obat untuk
lukamu. Lukamu perlu dicuci, diobati dan diganti kain pembalutnya.!
Han Han mengerutkan kening. ‘Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim
Cu. Daun obat dan air pencuci bisa dicari di puncak, akan tetapi kain
pembalut....?!
Kim Cu memandang pakaiannya. ‘Pakaianku masih utuh, diambil
sedikit-sedikit untuk pembalut masih lebih daripada cukup!!
Han Han hanya menggeleng kepala dan menghela napas melihat gadis
itu sambil tertawa sudah berlari keluar goa. Dia duduk bersandar pada dinding
goa, diam-diam ia merasa gelisah memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas
membuktikan cinta kasihnya yang amat mendalam kepadanya. Ia berhutang budi, dan
ia suka sekali kepada Kim Cu. Akan tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak
dapat membalas cintanya?
Dia merasa gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka
kelak karena tidak mampu membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia
seorang pemuda buntung, keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak
berharga bagi seorang gadis semulia Kim Cu.
Malam itu Kim Cu datang membawa daun obat, air dan buah-buahan.
Dengan tekun di bawah penerangan api unggun, gadis ini membuka balut kaki
buntung Han Han, sedikit pun tidak kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung,
menaruh obat, dan membalutnya lagi menggunakan sabuk suteranya.
Setelah selesai, mereka makan buah-buahan lalu mengaso dan
tertidur di dekat api unggun. Sampai jauh malam Han Han tidak dapat tidur.
Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari memikirkan Lulu sampai pengalamannya
di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek moyangnya, dan akhirnya memikirkan Kim
Cu. Gadis itu tertidur nyenyak sekali di dekat api unggun, tidur miring dengan
muka menghadap ke arahnya. Wajah yang cantik itu tampak pucat di bawah sinar
api unggun, rambutnya kusut karena tidak disisir. Bibirnya agak terbuka
memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih. Han Han mendekati api unggun,
menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis itu. Sampai hampir pagi
barulah Han Han dapat tidur, sambil bersandar pada dinding goa setelah tadi ia
duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk memulihkan tenaga dan
mengatur pernapasannya.
Han Han terkejut dan bangun dari tidurnya ketika lengannya
diguncang-guncang Kim Cu.
‘Han Han....! Han Han.... bangunlah....!!
Han Han memandang gadis itu yang mukanya pucat sekali. Segera
kewaspadaannya timbul. ‘Ada apakah, Kim Cu?!
‘Ada orang di luar.... kulihat bayangannya berkelebat....!
‘Hemmm, mengapa bingung. Biarkan saja.!
‘Tidak, siapa tahu dia subo! Bayangannya berkelebat cepat
sekali. Mari kita sembunyi!!
Gadis itu menarik-narik tangan Han Han. Pemuda ini menurut,
bangkit dan jalan terpincang-pincang dengan tongkatnya, tangannya ditarik Kim
Cu yang memasuki terowongan. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinarnya
menerobos memasuki terowongan itu sehingga keadaan dalam goa tidak terlalu
gelap.
Tiba-tiba terdengar suara yang amat mereka kenal, datangnya dari
luar goa,
‘Hi-hi-hik! Kalian hendak lari ke mana? Biar ada Im-yang Seng-cu
aku harus mengambil nyawamu, murid murtad!!
‘Celaka.... dia subo....!! Kim Cu berbisik dan menarik tangan
Han Han sambil melangkah maju lebih cepat lagi. Tak lama kemudian mereka tiba
di ujung terowongan dan Han Han melihat bahwa mereka berada di pinggir sebuah
jurang yang amat luas. Ketika ia menjenguk ke bawah, matanya berkunang.
Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga dasarnya tidak tampak,
terhalang oleh embun pagi dan awan!
Mereka berhenti dan membalikkan tubuh memandang ke arah
terowongan, menanti munculnya Toat-beng Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar
suaranya dengan hati berdebar-debar.
Melihat betapa tubuh gadis itu menggigil dan wajahnya pucat
sekali, Han Han berkata halus, ‘Jangan takut, Kim Cu. Aku akan selalu
mendampingimu.!
‘Jangan.... jangan mencampuri.... biar aku menghadapi subo,!
bisik Kim Cu sambil menjauhkan diri dari pemuda itu.
Dalam terowongan itu sunyi dan secara tiba-tiba, seperti munculnya
iblis sendiri tampak tubuh Toat-beng Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum
mengerikan. Melihat gurunya ini, Kim Cu maklum bahwa biarpun Han Han
membantunya, mereka tidak akan menang, dan akhirnya mereka berdua tentu akan
tewas. Maka ia cepat berkata.
‘Subo, teecu merasa berdosa kepada subo. Kalau teecu mau
dihukum, hukumlah. Mau bunuh, bunuhlah. Akan tetapi..... teecu mohon, jangan
subo mengganggu Han Han, dia sudah cukup menderita..... bunuhlah teecu
saja....!
‘Kim Cu....!! Han Han membentak.
‘Heh-heh-hi-hik, muridku yang paling kusayang, yang paling
banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini hendak menentangku sendiri? Murid murtad
engkau!! Toat-beng Ciu-sian-li yang masih tersenyum-senyum menyeramkan itu
memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata beringas. Kim Cu merasa ngeri
hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut telah
menjangkaunya.
‘Toat-beng Ciu-sian-li! Tahan dulu! Jangan kau membunuh Kim Cu!!
Han Han membentak marah sambil maju terpincang-pincang.
‘Bocah buntung, kau tunggulah giliranmu!! Bentak Toat-beng
Ciu-sian-li sambil terkekeh dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sinar
berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah sebuah gelang rantai
anting-antingnya yang kini dipergunakan sebagai senjata rahasia yang menyambar
dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang tidak ingin melawan,
maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata rahasia yang menyambar
ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.
‘Kim Cu....!! Han Han berteriak ketika melihat betapa gadis itu
sama sekali tidak berusaha menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han
Han lupa diri dan lupa bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke
depan menubruk Kim Cu pada kakinya dengan maksud menghindarkan gadis itu
daripada ancaman maut.
‘Han Han....!!
‘Kim Cu....!!
‘Heh-heh-heh, hi-hi-hik!! Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika
melihat tubuh kedua orang muda itu tergelincir ke bibir jurang! Han Han memang
berhasil menyelamatkan Kim Cu dari sambaran senjata rahasia, akan tetapi ia
membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus ke dalam jurang yang tak tampak
dasarnya!
Perlahan-lahan Toat-beng Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang,
menjenguk ke bawah lalu tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya kecewa.
‘Sayang...., kalau dia bisa membawaku ke Pulau Es!! Nenek ini
lalu berjalan keluar dari terowongan itu, sedikit pun tidak memikirkan lagi
keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya tentu akan hancur lebur tubuhnya
terbanting pada dasar jurang yang sedemikian curamnya.
Biarpun Toat-beng Ciu-sian-li seorang nenek yang amat lihai dan
pengalaman hidupnya sudah seratus tahun, namun ia sungguh lancang kalau berani
menentukan mati hidup manusia. Hidup dan matinya manusia berada sepenuhnya di
tangan Tuhan. Kalau Tuhan menentukan seseorang harus hidup, biar dia dihujani
selaksa batang anak panah, ada saja sebabnya yang membuat ia lolos dari bahaya
maut. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang harus mati, biar dia
bersembunyi di lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput tanpa dapat
dihindarkan lagi.
Kim Cu sudah hampir pingsan ketika tubuhnya meluncur ke bawah.
Tenaga luncuran itu sedemikian kuatnya sehingga tidak mungkin mempergunakan
gin-kang dan kepalanya menjadi pening, napasnya seperti terhenti. Masih dapat
dilihatnya bayangan tubuh Han Han berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han
yang lebih berat itu lebih cepat lagi tenaga luncurannya, apalagi Han Han
terdorong oleh tenaga loncatannya ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han
Han, Kim Cu menjadi sadar kembali dan ia menjerit panjang,
‘Han Han....!!
Seakan-akan tidak akan ada akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan
Kim Cu yang sudah setengah pingsan itu terheran apakah dia tidak sudah mati dan
kini yang melayang-layang turun itu adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya
akan dongeng yang pernah didengarnya bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan
neraka di bawah. Kalau begitu, apakah nyawanya sedang melayang menuju ke
neraka? Ia merasa ngeri, akan tetapi ia teringat akan Han Han. Kalau di neraka
ia akan bertemu dan berkumpul dengan Han Han biarlah ia menuju ke neraka!
‘Byurrrrr....!! Kim Cu merasa seolah-olah tubuhnya remuk dan ia
tidak ingat apa-apa lagi!
Tiga hari tiga malam kemudian, pada pagi harinya, Kim Cu membuka
mata. Tubuhnya masih terasa nyeri semua, akan tetapi ia dapat menggerakkan kaki
tanganya dan membuka matanya.
‘Omitohud...., Nona sudah sadar....? Omitohud, syukurlah,!
Terdengar suara halus. Kim Cu menoleh ke kiri dan melihat seorang nikouw yang
kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus, mukanya menyinarkan kebahagiaan
batin, tersenyum memandangnya. Nikouw ini usianya tidak akan kurang dari enam
puluh tahun, namun wajahnya halus dan merah penuh kesehatan dan ada sesuatu
dalam gerak-gerik nikouw ini yang membuat ia tampak seperti seorang dewi.
‘Siankouw.... seorang dewi penjaga hukuman di neraka?! tanya Kim
Cu yang masih menduga bahwa dia kini telah berada dalam neraka, sungguhpun ia
heran mengapa neraka begini bersih dan enak, dalam sebuah kamar yang bersih dan
dia rebah di atas dipan yang bertilam putih bersih pula.
‘Omitohud....! Memang dunia ini neraka bagi yang belum sadar,
anakku, akan tetapi sorga bagi yang telah sadar. Engkau masih hidup, Nona.
Thian belum menghendaki engkau mati.!
Serentak Kim Cu bangkit duduk dan tidak memperhatikan tubuhnya
yang nyeri semua rasanya.
‘Aku masih hidup? Han Han.... di mana dia....? Han Han....!! Ia
menjerit, memanggil nama itu.
Nikouw itu bangkit berdiri mendekatinya dan menaruhkan tangannya
yang halus di pundak Kim Cu.
‘Tenangkan hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik
banyak bergerak. Berbaringlah kembali.!
Suara itu halus sekali, namun mengandung wibawa yang tak mungkin
dapat dibantah sehingga Kim Cu merebahkan tubuhnya lagi di atas dipan.
‘Akan tetapi.... tolonglah beri tahu, subo. Di mana Han Han?!
‘Han Han siapakah yang Nona maksudkan?!
‘Han Han.... temanku. Kami berdua jatuh dari atas, dan kalau aku
masih hidup dia tentu hidup pula. Ah, di mana dia?!
Nikouw itu menggeleng-geleng kepalanya. ‘Sukar dipercaya ada
orang yang jatuh dari atas tebing gunung itu masih dapat hidup seperti engkau,
Nona. Engkau telah berada di sini tiga hari tiga malam, pingsan. Dan pinni
(aku) tidak pernah mendengar tentang temanmu yang bernama Han Han itu....!
‘Tiga hari tiga malam? Dan Han Han tidak ada? Ah, mana mungkin?
Subo, tolong ceritakan, apakah yang sesungguhnya telah terjadi?!
‘Nona, sebaiknya kau ceritakan dulu kepada pinni bagaimana
engkau tiba-tiba saja jatuh dari atas, seperti dari langit saja.!
Kalau dia masih hidup, lebih baik dia tidak bercerita tentang
dirinya, karena kalau hati ini terdengar oleh Toat-beng Ciu-sian-li, tentu
nenek itu akan mencarinya, demikian pikirnya.
‘Kami.... aku dan temanku ikut berjalan di atas tebing, dan aku
tergelincir, dia berusaha menolongku dan kami terjerumus ke bawah. Aku tidak
ingat apa-apa lagi. Subo, ceritakanlah bagaimana aku dapat berada di sini.!
Dengan sabar nikouw itu mengambil sebuah mangkok dari atas meja.
‘Kau minumlah obat ini dulu, Nona. Minumlah.!
Karena maklum bahwa ia ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa
membantah Kim Cu minum obat yang pahit rasanya itu sampai habis, kemudian ia
rebah kembali, siap mendengarkan cerita nikouw tua yang ramah dan amat halus
tutur sapanya itu.
!Menurut nalar orang yang jatuh dari tempat setinggi itu tentu
mati. Akan tetapi agaknya Thian menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai
Hek-ho yang mengalir tepat di bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke
saluran besar. Sungai itu di bagian bawah tebing amat deras alirannya, dan
banyak mengandung batu-batu karang menonjol di permukaan dan di bawah permukaan
air. Akan tetapi, omitohud.... engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam
sehingga tidak terluka. Dan lebih kebetulan sekali seperti telah diatur oleh
tangan Thian sendiri ketika tubuhmu yang pingsan itu timbul ke permukaan air,
dari jauh kelihatan oleh perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka
tolong dan melihat engkau seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni
adalah ketua dari Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan
karena pinni sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat
mengobatimu. Syukurlah, atas kemurahan Thian, engkau selamat.!
‘Akan tetapi temanku itu bagaimana dia? Di mana dia?!
tentu telah ditolong pula oleh para nelayan. Akan tetapi tak
seorang pun melihatnya dan seperti kukatakan tadi, tempat itu banyak mengandung
batu karang. Kalau jatuhnya menimpa batu karang, atau seperti engkau pingsan
lalu hanyut oleh air yang sedemikian derasnya.... hemmm.... agaknya tidak ada
harapan lagi baginya.!
‘Tidak.... Tidaaakkkk....!! Kim Cu menjerit dan bangkit duduk,
matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. ‘Tidak boleh dia mati aku masih
hidup! Nikouw tua yang mulia, aku harus mencari dia!!
Dari pintu kamar yang terbuka itu muncul tujuh orang nikouw, yang
lima sudah berusia lima puluhan tahun, yang dua masih muda, kurang lebih tiga
puluh tahun. Sikap mereka juga halus-halus dan wajah mereka membayangkan
ketenangan. Melihat Kim Cu hendak turun, para nikouw yang tadi mendengar
jeritan gadis itu mendekati dipan dan hendak mencegahnya, mengira bahwa gadis
ini menjadi bingung karena kecelakaan hebat itu.
Nikouw tua mengangkat tangan mencegah mereka, lalu memegang tangan
Kim Cu dan berkata, ‘Engkau hendak mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh
saja dan mari pinni menemanimu ke tepi sungai.!
Bab 25
Kim Cu berjalan dengan tubuh menggigil dan masih lemah sekali.
Akan tetapi nikouw tua yang baik hati itu menggandengnya dan pergilah mereka
berdua keluar dari kelenteng kecil itu, diikuti pandang mata tujuh orang nikouw
yang menggerakkan pundak masing-masing, hati mereka penuh iba terhadap Kim Cu.
Dengan hati yang tidak karuan rasanya Kim Cu bersama nikouw tua
itu menuju ke pinggir sungai. Ngeri hatinya melihat sungai yang benar-benar
amat deras airnya, lebih ngeri menyaksikan batu-batu yang runcing tajam
menonjol di seluruh permukaan sungai, akan tetapi ia benar-benar mengkirik
(meremang bulu tengkuknya) ketika berdongak ke atas melihat tebing yang amat
tinggi yang puncaknya tertutup mega. Dari tempat setinggi itu dia jatuh! Kim Cu
mengeluarkan seruan tertahan dan kedua pundaknya menggigil.
‘Percayakah engkau kini bahwa hanya tangan Tuhan saja yang mampu
menyelamatkan engkau, Nona? Tentang nasib temanmu itu, benar-benar pinni
meragukan keselamatannya.!
‘Tidak, kalau aku selamat, dia harus selamat, suthai! Tolong
panggil para nelayan.!
Nikouw itu bertepuk tangan, lalu menggapai ke arah seorang nelayan
yang sedang menjemur jala di tepi sungai. Nelayan itu menengok dan cepat
berlari menghampiri. Melihat Kim Cu, ia memandang dengan muka berseri.
‘Ah, inikah Nona yang jatuh dari langit itu, Sian-kouw? Sungguh
beruntung, dia dapat tertolong dan kembali terbukti kelihaian Sian-kouw
mengobati orang.! Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya kasar sederhana.
Kim Cu berkata, ‘Lopek, aku berterima kasih sekali kepada para
nelayan yang telah menolongku. Sekarang aku mohon kepada kalian untuk mencari
temanku.!
‘Temanmu, Nona? Temanmu yang mana?!
Kim Cu menahan mulutnya yang hendak menyebut nama Han Han ketika
teringat bahwa nama itu takkan ada artinya bagi si nelayan.
‘Temanku, seorang pemuda yang ikut pula terjerumus dari tebing
atas bersamaku.!
‘Heh....?! Nelayan itu terkejut. ‘Masih ada lagi yang jatuh
dari langit?!
‘A-liuk, harap kau panggil berkumpul para nelayan ke sini.!
‘Baik, Sian-kouw!! Nelayan itu lalu berlari menuju ke dusun di
mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil Kwan-im-bio yang terletak di
ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah berkumpul dua puluh orang lebih
nelayan-nelayan yang sederhana. Mereka semua, seperti A-liuk, merasa girang
melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan kepandaian nikouw yang mengobati
Kim Cu.
‘Paman sekalian, selain bersyukur dan amat berterima kasih
kepada paman sekalian, saya minta tolong sukalah paman menceritakan teman saya
yang pada hari dan saat itu jatuh pula dari atas.!
‘Kami tidak melihat ada orang lain!! terdengar suara mereka riuh
rendah bicara sendiri dan saling bertanya sendiri.
‘Mungkin paman semua tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi
karena aku selamat, kiranya dia pun selamat. Harap paman suka menggunakan
perahu dan mencari di sekeliling pantai dan di seberang kalau-kalau ia
terdampar dan mendarat di suatu tempat dalam keadaan terluka.!
‘Kalian penuhi permintaannya. Kasihan temannya itu kalau memang
benar dia selamat.!
‘Baik, Sian-kouw,! jawab mereka serempak.
‘Tunggu dulu, paman-paman yang baik!! Kim Cu berkata ketika
melihat mereka hendak pergi melaksanakan permintaannya. Ia meloloskan delapan
buah gelang emas, satu-satunya perhiasan yang berada di tubuhnya, dan
menyerahkan gelang-gelang emas itu kepada mereka.
‘Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman sekalian
membaginya sebagai hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan temanku.!
Akan tetapi tidak ada seorang pun diantara mereka yang menerima
pemberian ini. Seorang nelayan tua lalu berkata,
‘Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk membalas
jasa. Teman Nona belum diketemukan, bahkan kami belum mencarinya, bagaimana
kami dapat menerima hadiah darimu? Kalau kami begitu loba, tentu Sian-kouw
takkan mendoakan rejeki kami dan tentu ikan-ikan pada lari bersembunyi dari
jala dan kail kami.! Setelah berkata demikian, semua nelayan itu bubar, meninggalkan
Kim Cu yang masih memegangi gelang-gelangnya dengan melongo.
Nikouw tua itu tersenyum menyaksikan keheranan Kim Cu.
‘Mereka adalah nelayan-nelayan desa yang polos, jujur dan
bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh seperti pendapat
orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan akal, yang banyak akalnya
dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka gunakan untuk akal-akalan,
saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak tahu akan akal-akal macam
itu adalah sepintar-pintarnya orang.!
Selama seminggu lebih, setiap hari para nelayan mencari jejak atau
tanda-tanda Han Han, namun mereka selalu kembali dengan tangan hampa, membuat
hati Kim Cu yang menanti terus di tepi sungai menjadi makin hampa. Dua minggu
kemudian, para nelayan menyatakan keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar
terjatuh dari atas seperti halnya Kim Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu
dan hancur lebur, atau tenggelam dan mungkin juga hanyut oleh air sungai yang
amat deras. Mereka tidak mencari lagi.
Kim Cu tidak mau kembali ke kuil. Selama menanti para nelayan yang
mencari-cari, dia selalu ditemani oleh nikouw tua atau kadang-kadang ditemani
seorang di antara para nikouw secara bergilir. Makan dan minum pun hampir
dipaksa oleh para nikouw, baru Kim Cu mau makan dan minum. Akan tetapi ia tidak
pernah kembali ke kuil, tidur pun di tepi sungai!
Ketika para nelayan menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti
gila. Tidak lagi ia mau makan atau minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk
di tepi sungai, wajahnya makin kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya
sipit dan bengkak karena terlalu banyak menangis sehingga air matanya kering!
Beberapa hari kemudian, para nikouw terpaksa menggotong tubuhnya
yang menggeletak pingsan di tepi sungai, dibawa kembali ke kuil. Kembali nikouw
tua itu yang sibuk mencekokkan obat ke mulutnya sampai ia siuman kembali dan
dipaksa makan bubur atau obat.
‘Mengapa engkau menyiksa hatimu sampai sedemikian rupa, Nona?
Dicari lagi pun percuma, agaknya temanmu itu sudah tewas.!
‘Kalau dia mati, aku pun akan mati!! kata Kim Cu dan ia menangis
sesenggukan. ‘Suthai, biarkan aku mati....!! Ia terisak-isak.
‘Engkau keliru, Nona. Andaikata temanmu itu mati, matinya adalah
karena kehendak Tuhan. Kalau engkau memaksa ingin mati, matimu adalah mati
paksaan dan amatlah tidak baik mati seperti itu, Nona.!
‘Suthai, kalau Han Han mati, apa gunanya lagi aku hidup?!
Nikouw itu mengangguk-angguk dan mengelus-elus rambut gadis itu.
‘Nona, engkau tentu amat mencinta pemuda itu, bukan?!
Mendengar suara yang masih tenang akan tetapi menggetar penuh rasa
iba dan haru ini, Kim Cu memandang dengan mata basah. ‘Benar, suthai. Aku men
cintanya. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.!
‘Kalau begitu, engkau harus hidup, Nona. Kalau engkau mati,
engkau takkan dapat berguna untuk dia. Akan tetapi kalau engkau hidup, tidak
hanya engkau akan dapat berguna bagi orang yang kaucinta, akan tetapi engkau
malah akan dapat berguna bagi semua orang dan dunia.!
Kim Cu memeluk nikouw itu dan berkata, ‘Ah, suthai. Benarkah
itu? Benarkah aku akan dapat berguna, berguna bagi Han Han biarpun dia sudah
sudah mati?!
Nikouw itu mengusap air mata dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam
hatinya ia pun mengusap air matanya sendiri yang mengucur di hatinya, matanya
dikejap-kejapkan untuk menahan panasnya keharuan yang mendorong air mata,
mulutnya tersenyum untuk menekan keharuan hati, dan kepalanya mengangguk-angguk
untuk mengganti kegaguannya untuk sementara. Setelah keharuannya reda dan ia
yakin suaranya tidak menggetar, nikouw itu berkata.
‘Tentu saja, anakku yang baik. Kalau engkau menghambakan dirimu
kepada kebajikan, menjadi murid Kwan Im Pouwsat, menjadi seperti pinni, engkau
akan dapat berguna sekali bagi temanmu itu.!
‘Menjadi.... nikouw....?!
Nikouw tua itu mengangguk-angguk. ‘Tidak langsung sekarang,
terserah kepadamu. Kau pelajarilah dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im
Pouwsat, kelak engkau boleh menentukan sendiri apakah suka menjadi nikouw atau
tidak. Akan tetapi, setidaknya engkau sudah akan lebih tahu akan arti hidup,
dan engkau dapat berdoa setiap saat untuk temanmu itu sehingga andaikata dia
sudah mati, semoga ia akan mendapatkan tempat yang layak dan damai, sebaliknya
kalau masih hidup, semoga dia hidup bahagia. Bukankah dengan demikian engkau
akan berguna baginya? Dan berguna pula bagi orang lain....!
Kim Cu kembali menubruk dam memeluk nikouw itu sambil menangis,
kemudian ia melorot turun dam berlutut di depan nikouw itu. ‘Teecu, Kim Cu,
mohon petunjuk dari subo....!
Demikianlah, mulai hari itu Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw
dan mempelajari pelajaran kebatinan yang berpusat pada penyembahan Kwan Im
Pouwsat. Akan tetapi, nasib malang masih mengharuskan Kim Cu mengelami banyak
penderitaan hidup. Enam bulan sejak ia tinggal di situ, pada musim hujan, air
Sungai Hek-ho meluap dan terjadi banjir besar yang menghanyutkan dusun itu,
termasuk Kwan-im-bio.
Para nikouw dan Kim Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua
memberi pertolongan kepada para korban banjir. Dalam pekerjaan inilah, yang
dipimpin Thian Sim Nikouw, Kim Cu merasa betapa hidupnya amat berguna bagi
orang lain, yang nyata dan dapat dirasainya.
Ia makin tekun belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin
sehingga ketika semua pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan
kuil kecil sederhana di sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya
dan masuk menjadi nikouw!
Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati
Emas). Ia telah mendapat ketenangan dam kebahagiaan batin, dan rasa rindunya
yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan doa-doa bagi
keselamatan pemuda itu, baik di dunia maupun di akherat.
***
Di dalam sebuah gubuk di kaki Gunung Lu-liang-san, Lulu sadar dari
pingsannya dan mendapatkan dirinya sedang dirawat oleh kakek pengemis yang
mengobati luka-lukanya. Melihat gadis itu bergerak, kakek itu berkata perlahan.
‘Jangan bergerak dulu, Nona. Luka-lukamu bekas bacokan senjata
tajam tidak berbahaya, akan tetapi pukulan di punggung membuat tulangmu ada
yang retak. Kau rebahlah saja dan jangan banyak bergerak.!
Lulu tersenyum, hatinya girang bahwa dia belum mati. Dia mengenal
kakek gembel ini yang telah menyelamatkan nyawanya ketika golok Twa-to-kwi Liok
Bu Tang si Mata Satu menyambar lehernya, yaitu kakek yang telah menangkis golok
itu dengan tongkatnya.
‘Locianpwe, aku berhutang satu nyawa kepadamu.!
Kakek itu memandangnya dan tersenyum melihat gadis yang berpakaian
pria itu tersenyum, kaget dan kagumlah dia.
‘Wah, engkau memiliki daya tahan yang hebat. Hal ini membuktikan
bahwa engkau telah mempelajari sin-kang yang luar biasa.!
‘Eh, jangan pura-pura tidak mendengar omonganku dan mengeluarkan
puji-pujian kosong, locianpwe. Aku telah hutang satu nyawa kepadamu karena aku
tentu telah mati kalau locianpwe tidak datang menolong.!
Kakek itu menyelesaikan pekerjaannya membalut luka-luka di tubuh
Lulu, kemudian berkata sungguh-sungguh,
‘Nona, saling bantu di antara kita segolongan adalah wajar,
bahkan saling menolong di antara manusia sudah semestinya, sama sekali tidak
dapat dikatakan hutang-berhutang. Apalagi kalau kita bersama menghadapi
orang-orang Mancu yang amat jahatnya. Ah, bukan semata-mata orangnya yang
jahat, karena orang Mancu pun manusia seperti kita. Yang jahat adalah pimpinan
mereka yang mengatur penjajahan dan menimbulkan perang. Perang adalah jahat dan
kejam, membuat manusia-manusia seperti kita menjadi binatang-binatang buas! Aku
sungguh amat membenci perang, akan tetapi lebih membenci orang-orang Mancu yang
menimbulkan perang!!
Hati Lulu tertarik sekali. Ucapan kakek ini benar-benar memiliki
arti yang dalam, apalagi terdengar oleh telinganya, telinga seorang gadis Mancu!
‘Locianpwe, apakah engkau demikian membenci orang Mancu? Engkau
sendiri mengatakan tadi bahwa orang Mancu juga manusia seperti kita, mengapa
locianpwe amat membenci mereka?!
‘Mengapa tidak? Karena merekalah maka orang-orang seperti aku
menjadi binatang-binatang buas yang membunuhi manusia lain tanpa berkedip!
Dahulu, sebelum ada perang, manusia mengenal prikemanusiaan dan aku akan merasa
bangga kalau dapat menyelamatkan nyawa seorang manusia lain daripada ancaman
bahaya maut. Dahulu, nyawa manusia amat dihargai sehingga sebuah pembunuhan
akan menggegetkan dan pembunuhnya akan dikutuk manusia lain. Akan tetapi
sekarang? Ah, dalam keadaan perang, manusia menjadi makhluk sejahat-jahatnya!
Betapa banyaknya nyawa manusia melayang oleh per buatanku, dan kedua tanganku
yang berlumuran darah ini telah membunuh entah berapa banyak manusia lain!!
Lulu makin tertarik. Kakek itu mengucapan kata-kata penuh semangat
dan kesungguhan, dan wajah yang keriputan itu tampak berduka sekali.
‘Akan tetapi yang Locianwe lakukan adalah demi perjuangan.
Locianpwe berjuang demi negara dan bangsa, dan Locianpwe membunuh musuh bangsa.
Bukankah hal itu merupakan perbuatan mulia?!
Tiba-tiba kakek itu tertawa dan suara ketawanya membuat bulu
tengkuk Lulu berdiri. Kelihatannya saja tertawa, akan tetapi nadanya seperti
orang menangis!
‘Ha-ha-ha! Inilah yang menyedihkan! Manusia menganggap
penyembelihan sesama manusia ini sebagai perbuatan mulia! Makin banyak
menyembelih manusia, makin banyak merenggut nyawa sesama manusia, akan gagah
perkasa, makin mulia dan disebut pahlawan! Memang perjuangan membela nusa
bangsa, membela tanah air adalah sebuah tugas yang mulia, akan tetapi
penyembelihan sesama manusia, sungguhpun berlainan bangsa, yang dianggap mulia
oleh manusia itu, apakah juga mulia dalam pandangan Thian? Apakah Thian akan
bersenang hati menyaksikan manusia ciptaan-Nya saling bunuh hanya karena
memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah memperebutkan
kemenangan dan kemuliaan duniawi! Tidak, Nona. Aku yakin bahwa Thian tidak
menghendaki manusia berbunuh-bunuhan, dan aku yakin bahwa penyembelihan antara
manusia yang oleh masing-masing golongan manusia disebut mulia dan dipuji-puji
ini dikutuk Thian!!
Lulu menjadi terharu. Ia dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh
kakek itu, dan tentu saja bagi dia, seorang gadis Mancu, ucapan itu berkesan
amat dalam.
‘Kata-kata locianpwe benar-benar mengejutkan hatiku. Akan
tetapi, aku ingin sekali mendengar maksud ucapan locianpwe tadi bahwa perang
antara manusia hanya memperebutkan kebenaran palsu yang pada hakekatnya adalah
memperebutkan kemenangan dan kemuliaan duniawi. Apakah yang locianpwe
maksudkan?!
Kakek itu menarik napas panjang. ‘Maksudku, tidak ada bangsa di
dunia ini yang tidak menganggap bahwa perang yang dilakukannya berdasarkan
kebenaran! Lihat contohnya perang yang dikobarkan oleh bangsa Mancu yang
menjajah Tiongkok! Bangsa Mancu menyerbu ke selatan dan mereka merasa benar
karena mereka menganggap bahwa mereka semenjak dahulu direndahkan, dan
menganggap bahwa mereka itu datang untuk membebaskan rakyat Tiongkok daripada
cengkeraman pemerintahan yang tidak baik. Mereka berperang dengan dasar
kebenaran mereka, karena hanya kalau mereka berkuasa di sinilah maka rakyat
akan dapat hidup makmur, terbebas daripada penindasan kaisar dan
pembesar-pembesar Kerajaan Beng yang lemah dan jahat dalam pandangan mereka.
Jelaslah bahwa bangsa Mancu berperang dengan dasar kebenaran mereka, kebenaran
palsu! Di lain pihak, Kerajaan Beng berikut semua pejuang yang melawan mereka,
termasuk aku, mendasarkan perjuangan dengan kebenaran kita sendiri, kebenaran
orang mempertahankan tanah airnya, kebenaran negara mempertahankan hak dan
kedaulatannya. Padahal, yang diperebutkan adalah kemenangan, dan
sesungguhnyalah bahwa kemenangan yang akan mendatangkan kemuliaan duniawi
kepada mereka yang menang! Kalau perang hanya terbatas kepada mereka yang
bercita-cita, baik para pembesar yang memperebutkan kedudukan, maupun para
perajurit yang berperang karena menerima upah, atau pejuang yang berperang
karena dorongan cita-cita, masih tidak mengapa. Mereka sudah sengaja ingin
terjun ke dalam kancah perang yang isinya menang atau kalah, hidup atau mati.
Celakanya, rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban keganasan perang.!
Kakek itu menarik napas panjang, kemudian memandang Lulu tajam-tajam dan
melanjutkan kata-katanya.
‘Jahat sekali perang ini akibatnya. Pertengkaran pribadi hanya
menimbulkan kebencian, akan tetapi perang menimbulkan kebendaan antara bangsa!
Tidak ada lagi pertimbangan antara baik dan buruk, bangsa yang dibencinya
karena perang, dianggapnya semua jahat dan semua harus dibasmi! Sungguh
menyedihkan sekali karena baru dalam hal inilah ada persamaan pendapat antara
orang baik dan orang jahat! Pendeta-pendeta dan perampok-perampok dapat bekerja
sama menghadapi musuh! Dalam perang antar bangsa, biar dia perampok yang
sekejam-kejamnya kalau sebangsa, dianggap sekutu. Biar sama-sama pendeta kalau
menjadi bangsa yang dibenci dianggap lawan yang harus dibunuh! Dan maut yang
disebar tidak memandang bulu, tidak mengenal prikemanusiaan lagi. Kebencian
melanda dan menguasai hati nurani manusia sehingga menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang kejamnya melebihi srigala. Membunuh dan menyiksa
dianggap perbuatan yang baik dan gagah perkasa. Semua karena gara-gara perang
dan andaikata bangsa Mancu tidak mengobarkan perang lebih dulu, tidak akan
terjadi segala kekejaman itu. Karena itu, aku membenci orang-orang Mancu yang
menimbulkan perang, membenci mereka yang telah membuat aku sekarang menjadi seorang
pembunuh berdarah dingin!! Kembali kakek itu menarik napas panjang, kelihatan
berduka sekali.
‘Locianpwe, bukan hanya engkau yang menderita, bukan hanya
rakyat Tiongkok yang menderita akibat perang. Juga bangsa Mancu sendiri banyak
yang menderita akibat perang ini, perang yang dicetuskan oleh para pimpinan
dengan mengorbankan banyak rakyat. Rakyat Mancu yang dipaksa menjadi perajurit,
mati di sini tanpa diketahui dikeluarganya. Betapa banyaknya pula rumah tangga
para perwira yang hancur akibat perang, terbasmi oleh musuh mereka yang oleh
mereka disebut dan dianggap para pemberontak.!
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang.
‘Eh, Nona, bagaimana Nona bisa tahu akan keadaan bangsa Mancu?!
Lulu memandang tajam dan menjawab tenang, ‘Tentu saja aku tahu,
locianpwe, karena aku sendiri adalah seorang Mancu.!
‘Ahhh....!! Kakek itu benar-benar kaget mendengar ini dan ia
memandang wajah Lulu dengan sikap tegang.
‘Aku adalah seorang gadis Mancu yang menjadi korban perang ini,
locianpwe. Ayahku seorang perwira yang terbunuh bersama seluruh keluarganya
oleh segerombolan pemberon.... eh, pejuang yang dipimpin oleh seorang bernama
Lauw-pangcu. Hanya aku yang dibiarkan hidup, dirampas pakaianku, diberi pakaian
gembel dan aku dilepas sebagai seorang anak gembel yang hidup terlantar....!!
Ya Tuhan....!! Kakek itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak
memandang Lulu dengan mata terbelalak. Teringatlah ia peristiwa tujuh tahun
yang lalu dan ia berkata lirih penuh getaran perasaan,
‘Akulah Lauw-pangcu kini teringat olehku akulah yang memimpin
teman-teman menyerbu perwira dan membunuh mereka sekeluarga. Karena engkau
mengingatkan aku akar puteriku yang hampir sebaya, aku tidak membolehkan mereka
membunuhmu.... ah, Nona, engkaukah kiranya anak itu? Akan tetapi mengapa engkau
sekarang membantu kaum pejuang memusuhi bangsa Mancu sendiri?!
Berubah wajah Lulu. Hemmm, jadi kakek inikah musuh besarnya yang
selama ini ia cari-cari? Sejenak seluruh tubuhnya menegang dan timbul
keinginannya untuk menyerang kakek itu. Akan tetapi teringat akan pembicaraan
mereka tadi Lulu menarik napas panjang dan.... menangis! Sejenak Lauw-pangcu
hanya memandang gadis yang menangis itu penuh keheranan dan keharuan, kemudian
ia berkata.
‘Nona, aku mengerti bahwa di dalam hatimu mengandung sakit hati
dan dendam yang besar kepadaku. Andaikata engkau kini menjadi pembantu
pemerintah Mancu, tentu dendammu akan kau hadapi dengan kekerasan dan engkau
akan kuanggap sebagai musuh. Akan tetapi karena terbukti bahwa engkau membantu
pihak pejuang menentang kekejaman pasukan Mancu, hal ini membuat hatiku terasa
berat dan penuh oleh dosa terhadap dirimu. Nona, aku Lauw-pangcu bukan seorang
yang tidak mengenal budi dan bukan seorang yang tidak berani menanggung segala
akibat perbuatanku. Aku yang membuat keluarga Nona terbasmi, yang membuat
keluarga Nona terlantar, dan menyaksikan sepak terjangmu, kini aku siap
menerima pembalasanmu. Engkau boleh menbunuhku untuk membalas dendam
keluargamu. Silakan, aku tidak akan melawan dan menyerahkan nyawaku sebagai
tebusan dosaku kepadamu.!
Lulu mengangkat mukanya yang basah air mata memandang kakek itu,
kemudian ia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan dan kepalanya
digeleng-gelengkan.
‘Tidak.... tidak...., setelah aku menyaksikan sepak terjangmu,
setelah aku men dengar kata-katamu dan mengenal watakmu sebagai seorang gagah
perkasa, seorang pendekar sejati, bagaimana aku dapat membunuhmu? Apalagi
setelah menyaksikan keganasan perwira-perwira Mancu.... ah, biarlah kuanggap
bahwa Ayah sekeluarga terbasmi oleh perang, bukan oleh tanganmu, Lauw-pangcu.
Engkau membasmi mereka bukan karena benci pribadi, melainkan karena
perjuanganmu, karena perang. Biarlah, aku akan melupakan semua itu....!
Lauw-pangcu terbelalak, menghela napas dan mengeluh, ‘Aduh, baru
sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang wanita semuda engkau, memiliki
kebijaksanaan yang begini besar! Sikapmu merupakan tusukan pedang yang tiada
bandingnya, menembus hatiku. Ah, Nona, tahukah engkau betapa sikapmu ini
membuat aku jauh lebih menderita penuh penyesalan selama hidup daripada kalau
engkau menusuk mati aku dengan pedangmu? Aku telah membasmi keluargamu.... dan
engkau tidak mau membalas dendam. Satu-satunya jalan bagiku, biarlah aku
menjadi pengganti keluargamu, menjadi Ayah Ibumu, biarlah aku mengambil engkau
sebagai anakku, kalau engkau sudi....!
Mendengar ini, Lulu terisak, menurunkan kedua tangan, memandang
kakek itu dengan sepasang matanya yang lebar, kakek yang telah menyelamatkan
nyawanya, kakek yang telah membasmi keluarganya, kemudian ia mengeluarkan jerit
lirih menubruk maju dan berlutut di depan kakek Lauw-pancu,
‘Ayah....!!
Sepasang mata kakek tua itu menitikkan dua butir air mata dan
dengan penuh keharuan ia mengangkat bangun gadis itu, memegang kedua pundaknya
dan menatap wajah cantik jelita dengan sepasang mata lebar yang masih
mengucurkan air mata.
‘Anakku...., engkau anakku...., siapakah namamu?!
‘Lulu....!
‘Ah, nama yang bagus! Lulu, aku akan membimbingmu, melatihmu.
Engkau memiliki sin-kang yang luar biasa dan gerakanmu cepat sekali, amat
mentakjubkan, hanya ilmu silatmu yang belum matang. Aku akan menurunkan semua
kepandaianku dan kelak engkau menjadi orang yang lebih lihai daripada aku
sendiri. Akan tetapi aku heran sekali...., siapa yang mengajarimu berlatih
sehinga memiliki sin-kang begitu hebat dan.... memiliki kebijaksanaan yang
belum tentu dimiliki seorang pendeta sekalipun?!
Lulu yang merasa amat terharu dan juga berbahagia karena kini
merasa mendapatkan seorang ayah, sambil bersandar di dada ‘ayah! ini menjawab
manja, seperti kalau ia bersikap manja kepada Han Han! ‘Ayah, yang mengajarku
adalah Kakakku sendiri.!
Kembali Lauw-pangcu terkejut, memegang kedua pundak ‘anaknya!
itu dan memandang wajahnya dengan tajam.
‘Kakakmu? Engkau mempunyai Kakak? Bukankah kaukatakan tadi
bahwa.... bahwa yang hidup hanya tinggal engkau seorang?! Kalimat terakhir ini
diucapkannya dengan pahit, mengingatkan dia bahwa dia yang membunuh semua
keluarga gadis yang kini menjadi anaknya itu.
‘Kakak angkat, Ayah.!
‘Ohhh.... jadi engkau mempunyai seorang kakak angkat dan kini
mempunyai seorang ayah angkat, anakku? Agaknya engkau memang seorang yang amat
baik budi sehingga banyak orang yang suka kepadamu. Kakakmu itu tentu lihai
sekali.!
‘Kakakku adalah orang yang paling hebat dan lihai di seluruh
dunia ini....!!
‘Ayah, bocah ini adalah teman si keparat Han Han!! Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring disusul berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di
situ telah berdiri seorang gadis cantik gagah yang dikenal Lulu karena gadis
itu bukan lain adalah Lauw Sin Lian, murid Siauw-lim Chit-kiam yang amat lihai
dan yang pernah bentrok dengan Han Han ketika mereka berdua baru keluar dari
Pulau Es, ketika dia dan kakaknya membantu para piauwsu Hoa-san-pai yang
diserang orang-orang Siauw-lim-pai yang mereka kira perampok.
Melihat Sin Lian yang bersikap kasar terhadap kakaknya namun yang
ia duga mencinta kakaknya itu, Lulu tersenyum dan memandang dengan matanya yang
lebar. Sebaliknya, Sin Lian memandang dengan mata penuh kebencian, bahkan lalu
membentak dan melangkah maju,
‘Dia dan Han Han membantu penjahat- penjahat Hoa-san-pai dan
matinya dua orang suhuku mungkin karena mereka!!
Melihat puterinya maju hendak menerjang Lulu, Lauw-pangcu cepat
melompat ke depan Sin Lian, menghadang dan berseru.
‘Lian-ji, tahan dulu! Dia ini adalah Adikmu!!
Mendengar ini, Sin Lian begitu kaget dan heran sehingga ia
tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri seperti arca dalam keadaan masih
memasang kuda-kuda siap menyerang. Matanya memandang kepada ayahnya penuh
pertanyaan.
‘Apa.... apa artinya ini, Ayah?!
‘Aku telah mengangkat Lulu ini sebagai anakku, Sin Lian. Dia
telah membantu para pejuang dan hampir mengorbankan nyawanya untuk perjuangan,
selain itu.... dia adalah puteri keluarga Perwira Mancu yang terbasmi di
tanganku.... dan.... satu-satunya jalan bagiku untuk menebus dosaku
kepadanya...., yang sama sekali tidak mendendam kepadaku, mengambil dia sebagai
anakku, dan aku melarang engkau mengganggu adikmu sendiri!!
Berubah wajah Sin Lian agak pucat dan ia membantah, ‘Akan tetapi
dia.... dia dan Han Han bersekutu dengan Hoa-san-pai memusuhi
Siauw-lim-pai....!!
‘Tidak sama sekali, Enci Lian,! Lulu berkata dengan sikap
tenang. Pandang matanya yang indah tajam, wajah cantik jelita yang tersenyum
cerah, suara yang bening halus itu mengagumkan hati Sin Lian.
‘Kami sama sekali tidak pernah bersekutu dengan Hoa-san-pai, dan
tidak pernah pula memusuhi Siauw-lim-pai. Semua yang dilakukan Kakakku hanyalah
karena salah paham belaka.!
‘Kakakmu....?! Sin Lian bertanya, bingung.
Lulu tersenyum dan wajahnya berseri. ‘Benar, dia adalah Kakakku,
Kakak angkatku. Apakah engkau kira dia itu kekasihku, Enci Lian? Memang
kekasihku, karena Han-koko adalah orang yang paling kukasihi di seluruh dunia
ini, kemudian tentu saja Ayahku dan engkau Ciciku!!
Pandang mata penuh kebencian itu melunak dan Sin Lian tak dapat
berkata-kata. Adapun Lauw-pangcu ketika mendengar bahwa anak angkatnya ini juga
adik angkat Han Han, menjadi terkejut dan berseru,
‘Ah, sungguh tak kusangka Kakak angkatmu adalah Han Han. Bocah
itu! Ceritakanlah, Lulu anakku, tentu menarik ceritamu. Sin Lian, duduklah dan
kita mendengarkan ceritanya agar semua persoalan menjadi terang.!
Setelah mereka bertiga duduk, Lulu menghela napas dan berkata,
‘Kasihan sekali kakakku Han Han. Karena mengira murid-murid Siauw-lim-pai
hendak merampok dan menghadang para piauwsu Pek-eng-piauwkiok yang menjadi
murid-murid Hoa-san-pai. Kemudian melihat mayat dua orang di antara Siauw-lim
Chit-kiam, dia mengira murid-murid Hoa-san-pai yang melakukannya sehingga dalam
marahnya dia membunuh beberapa orang murid Hoa-san-pai. Akibatnya, dia dimusuhi
oleh Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!!
Sin Lian yang hatinya menjadi lega mendengar bahwa gadis cantik
yang kini menjadi adik angkatnya itu ternyata bukan kekasih Han Han seperti yang
tadinya ia sangka, menjadi tertarik sekali dan berkata,
‘Ceritakanlah.... ceritakan apa yang telah terjadi
sesungguhnya.!
Maka berceritalah Lulu tentang peristiwa yang ia alami bersama Han
Han itu, mulai dari pertemuan mereka dengan para piauwsu Pek-eng-piauwkiok
sampai terjadi pertempuran dengan para penghadang dan munculnya Sin Lian,
kemudian betapa Han Han membunuh murid-murid Hoa-san-pai, kemudian betapa dia
dan kakaknya bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.
‘Ahhh....!! Lauw-pangcu menepuk pahanya setelah mendengar
penuturan Lulu bahwa jelas sekali kedua pihak terpancing dan menjadi korban adu
domba yang diatur oleh pihak Mancu.
‘Han Han menjadi korban fitnah. Hal ini harus segera dilaporkan
kepada para pimpinan Siauw-lim-pai, Lian-ji, agar permusuhan antara kedua
partai dapat dihentikan dan juga fitnah atas diri Han Han dibersihkan.!
‘Baik, Ayah. Memang semestinya begitu. Aku pun sedang
menjalankan tugas yang diperintahkan ketua Siauw-lim-pai untuk pergi mencari
lima orang guruku, akan tetapi sungguh heran, lima orang guruku itu tidak dapat
kutemukan jejaknya. Sebaiknya aku pergi sekarang juga melaporkan hal penting
itu kepada ketua Siauw-lim-pai.!
‘Harap engkau tidak usah sibuk-sibuk dan capek-capek, Enciku
yang baik. Para pimpinan Siauw-lim-pai sudah tahu akan hal itu karena aku dan
Han-koko telah pula datang mengunjungi Siauw-lim-si untuk menghadap ketuanya.!
‘Apa? Dia yang telah difitnah dan dianggap musuh oleh
Siauw-lim-pai malah datang mengunjungi Siauw-lim-si? Begitu beraninya?! Sin
Lian terbelalak saking herannya. Sungguh gadis Mancu ini membawa cerita yang
makin aneh saja. Juga Lauw-pangcu menjadi terkejut dan heran.
‘Memang Han-ko adalah seorang laki-laki yang paling gagah
perkasa dan paling berani di seluruh dunia ini!! kata Lulu dengan bangga.
‘Dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela kebenaran. Jangankan hanya
mendatangi Siauw-lim-si menghadap ketua Siauw-lim-pai, biarpun harus
meridatangi neraka menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut), jika dia benar, akan dia
lakukan tanpa mengenal takut!!
Berceritalah dara yang lincah dan yang amat mencinta kakaknya ini
akan sepak terjang Han Han ketika mengunjungi Siauw-lim-pai. Diceritakannya
pula betapa Han Han dikeroyok oleh para tokoh Siauw-lim-pai, betapa Han Han
masuk bertemu dengan Kian Ti Hosiang. Mendengar penurutan ini, makin lama Sin
Lian menjadi makin terheran-heran dan diam-diam ia menjadi kagum sekali kepada
Han Han yang memang amat menarik hatinya dan yang sudah ia buktikan sendiri
kelihaiannya. Setelah Lutu berhenti bercerita, keadaan sunyi. Lauw- pangcu
termangu penuh keheranan, sedangkan Sin Lian termenung mengenangkan keadaan
pemuda itu.
‘Wah, ceritamu sungguh hebat!! Akhirnya Lauw-pangcu berkata
sambil menarik napas paniang. ‘Anakku Lulu, tahukah engkau bahwa dahulu
Kakakmu itu adalah muridku?
Sungguh tidak nyana dia dapat menjadi seorang yang berilmu tinggi,
juga engkau dapat memiliki sin-kang dan gin-kang yang amat luar biasa. Siapakah
guru kalian?!
Biarpun Han Han pernah memesan agar dia tidak bicara tentang Pulau
Es dengan siapapun juga, akan tetapi karena Lauw-pangcu telah menjadi ayahnya
se dang Sin Lian menjadi cicinya, Lulu merasa tidak perlu merahasiakan hal itu
dari mereka. Ia lalu menjawab.
‘Guru kami adalah pemilik Pulau Es....!
‘Heiii! Pulau Es....?! Lauw-pangcu dan Sin Lian makin terkejut.
Benar-benar makin banyak hal tak terduga-duga dan aneh-aneh mereka dengar dari
mulut Lulu! ‘Pulau Es yang semenjak puluhan tahun dicari oleh semua tokoh
kang-ouw?!
Lulu mengangguk. ‘Secara kebetulan saja kami dapat sampai di
pulau itu dalam keadaan hampir mati setelah mengalami ancaman maut
berkali-kali.! Ia lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Han Han ketika
menjadi tawanan Ma-bin Lo-mo sampai terbawa badai dalam perahu rusak sehingga
mereka mendarat di Pulau Es, menemukan peninggalan kitab-kitab pelajaran
penghuni Pulau Es dan belajar ilmu selama enam tahun di tempat itu. Betapa
kemudian dengan susah payah mereka dapat meninggalkan tempat itu.
Lauw-pangcu dan Sin Llan mendengarkan penuturan itu dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga, merasa seperti mendengarkan dongeng saja.
Cerita itu amat mempesona mereka, bukan hanya karena keanehan cerita itu
sendiri, melainkan juga karena pandainya Lulu bercerita schingga untuk waktu
yang cukup lama kedua orang ini seperti menggantungkan pandang mata mereka
kepada bibir tipis merah yang bergerak-gerak manis ketika bercerita.
‘Yang berilmu tinggi-tinggi dan berusaha mati-matian mencari
Pulau Es, tidak pernah berhasil, dua orang bocah yang tidak mencarinya malah
mendapatkan. Ha-ha, inilah yang disebut jodoh yang terjadi atas kehendak Thian!
Pantas saja engkau lihai sekali, anakku, kiranya engkau menjadi ahli waris
pusaka-pusaka mukjizat yang terdapat di Pulau Es. Sungguh engkau beruntung
sekali, anakku.!
‘Aah, ilmu yang berhasil kumiliki dengan latihan berat tidak ada
artinya, Ayah. Aku memang bodoh dan kurang tekun seperti Han-ko. Dibandingkan
dengan Han-koko, ilmuku sama sekali tidak ada artinya, dia sepuluh kali lebih
lihai daripada aku!!
Sin Lian makin kagum kepada Han Han dan diam-diam jantungnya
berdebar. Hatinya makin tertarik.
‘Sekarang di manakah.... Han Han? Mengapa engkau berpisah
darinya?! Pertanyaan ini biasa saja, akan tetapi begitu menyebut Han Han, muka
Sin Lian menjadi merah sekali. Hal ini tidak terlepas dari pandang mata Lulu
yang tajam dan pandang mata Lauw-pangcu yang berpengalaman.
Akan tetapi karena Lulu diingatkan kepada kakaknya dan hatinya
menjadi gelisah, dia tidak ingin menggoda enci angkatnya itu, bahkan lalu
menghela napas dan mengerutkan alisnya yang hitam panjang,
‘Ah, hal inilah yang menyusahkan hatiku. Ketika kami saling
berpisah, aku tertawan oleh si keparat Ouwyang Seng murid Setan Botak,
sedangkan kakakku ketika itu dikeroyok dua oleh Setan Botak dan Iblis Muka
Kuda!!
‘Apa? Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee
mengeroyok Han Han?! Lauw-pangcu berteriak dan Sin Lian pun menjadi pucat
mukanya. Mereka mengenal siapa dua orang datuk hitam ini, tahu pula akan
kehebatan ilmu kepandaian mereka. Seorang saja di antara mereka sudah merupakan
lawan yang amat hebat, bahkan ke tujuh orang sakti, Siauw-lim Chit-kiam ketika
menghadapi Setan Botak seorang diri saja hampir kalah. Apalagi kini dua orang
datuk hitam itu maju mengeroyok!
‘Mana mungkin ia dapat menangkan dua orang datuk hitam itu!!
Suara Sin Lian ini terdengar lirih, penuh kengerian dan kekhawatiran karena
sembilan bagian perasaannya mengatakan bahwa tentu Han Han tewas kalau
dikeroyok dua orang datuk hitam itu, betapapun lihainya Han Han.
‘Tidak, kakakku tidak akan kalah!! Lulu berkata. ‘Tidak
mungkin Han-ko sampai kalah! Dia sakti dan cerdik, tentu dapat mengatasi dua
orang kakek iblis itu! Akan tetapi, entah ke mana perginya. Aku sedang
mencarinya sehingga tiba di sini dan bertemu dengan Ayah. Sekarang aku akan
pergi mencarinya lagi sampai bertemu.!
‘Lulu, anakku yang baik. Jangan engkau pergi dulu. Setelah aku
mendapatkan seorang anak seperti engkau, mana boleh engkau lalu pergi lagi
begitu saja? Engkau telah memiliki sin-kang yang luar biasa, melebihi aku
sendiri, bahkan mungkin sin-kangmu lebih hebat daripada Sin Lian. Akan tetapi
ilmu silatmu belum matang, dan sementara ini engkau tinggallah di sini
bersamaku agar dapat kau perdalam ilmu silatmu. Aku yang akan menggemblengmu
sehingga kalau ilmu silatmu sudah matang, kiranya aku sendiri sama sekali tidak
akan dapat melawanmu, engkau tidak membutuhkan waktu lama untuk mematangkan
ilmu silatmu. Juga Encimu dapat membantumu. Adapun tentang Han Han, aku akan
mengerahkan anak buahku untuk membantumu mencari kabar tentang Kakakmu itu.
Kiranya akan lebih berhasil daripada kalau engkau pergi mencari sendiri.!
‘Ucapan Ayah benar sekali, Adik Lulu. Sebagai murid
Siauw-lim-pai, tentu saja aku tidak boleh mengajarkan ilmu silat Siauw-lim-pai
kepada orang lain bukan murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi agaknya sedikit banyak
aku akan dapat membantumu untuk mematangkan ilmu silatmu sendiri yang hebat.!
Dibujuk oleh ayah dan enci angkat yang amat disukainya itu,
akhirnya Lulu menurut dan demikianlah, mulai hari itu Lulu digembleng ilmu
silat oleh Lauw-pangcu dan Sin Lian. Di bawah bimbingan Lauw-pangcu yang
berpengalaman, benar saja Lulu dapat mematangkan ilmu silatnya dan Sin Lian
sendiri terheran-heran menyaksikan kehebatan sin-kang adik angkatnya itu yang
benar-benar lebih kuat dari dia sendiri, juga ilmu silat yang dimainkan Lulu selain
aneh, juga indah dan amat kuat.
Benar pula seperti yang diramalkan Lauw-pangcu, setelah ilmu
silatnya dimatangkan di bawah petunjuk Lauw-pangcu yang berpengalaman dan Sin
Lian yang berilmu tinggi, Lulu memperoleh kemajuan hebat sekali sehingga kalau menghadapi
lawan, kiranya dia lebih berbahaya daripada Lauw-pangcu, bahkan lebih sukar
dilawan daripada Sin Lian sendiri. Hal ini adalah karena ilmu silatnya tidak
dikenal orang, berbeda dengan ilmu silat Sin Lian yang merupakan ilmu aseli
dari Siauw-lim-pai.
Semenjak pertemuannya dengan Lulu dan mengangkat Lulu sebagai
anak, semangat Lauw-pangcu dalam perjuangan menentang bangsa Mancu menurun
secara menyolok sekali. Biarpun ia tidak pernah melarang anak buah Pek-lian
Kai-pang melanjutkan perjuangan mereka menentang pemerintah Kerajaan Ceng
(Mancu), namun ia sendiri tidak aktif bergerak, bahkan lalu mengundurkan diri
kembali ke sarang Pek-lian Kai-pang di lembah Sungai Huang-ho sebelah selatan
di mana ia bersama Sin Lian setiap hari berlatih silat dengan Lulu.
Hubungan antara Lulu dan Sin Lian makin akrab dan mereka saling
mencinta seperti adik dan kakak kandung. Lulu memang memiliki sifat periang
jenaka dan lincah sehingga mendatangkan rasa suka kepada siapa saja. Juga ia
jujur, polos terbuka di samping memiliki kecerdikan dan wawasan yang tajam.
Pada suatu hari, beberapa bulan setelah mereka tinggal di lembah
Huang-ho, Lulu dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan oleh Sin Lian tentang
diri Han Han. Diam-diam Lulu mentertawakan encinya ini, akan tetapi secara
cerdik dan nakal ia malah bercerita tentang Han Han secara berlebihan.
Dipuji-pujinya kakaknya itu setinggi langit, dipuji kegagahannya,
ketampanannya, kebaikan budinya dan kepandaiannya.
‘Di waktu kecil dahulu, dia adalah sahabatku,! kata Sin Lian
perlahan dengan pandang mata melamun, terkenang akan masa lalu
‘Ya, dia pernah bercerita tentang dirimu, Enci Lian.!
‘Betulkah? Apa yang ia katakan tentang aku?! tanya Sin Lian,
wajahnya berseri.
Lulu tersenyum. ‘Ia pernah mengatakan bahwa engkau adalah
seorang yang amat baik budinya.!
Wajah Sin Lian menjadi merah, akan tetapi matanya bersinar-sinar.
‘Ah, dahulu aku bersikap galak kepadanya, mana baik budi?!
‘Akan tetapi, dia betul-betul memujimu, agaknya dia senang akan
kegalakanmu, Enci Lian. Kakakku memang sabar dan suka mengalah, hal ini di
samping segala kebaikannya membuat banyak gadis jatuh hati kepadanya. Di
sepanjang perjalanan kami kulihat banyak wanita jatuh cinta kepadanya.!
Sin Lian menengok dan memandang dengan gerakan cepat. ‘Hemmm,
bagaimana engkau bisa tahu, Adikku?!
‘Hi-hik! Bagaimana aku tidak tahu? Pandang mata mereka itu!
Pandang mata yang mereka tujukan kepada Han-ko terlalu jelas, tampak
sinar-sinar cinta kasih memancar dari mata mereka dan Dewi Asmara mengintai
dari balik senyum mereka.!
‘Ihhh, genit kau!! Sin Lian mencela dan mencubit lengan adiknya.
‘Aduh!! Lulu menggosok-gosok kulit lengan yang dicubit encinya.
‘Tanganmu mencubit aku, akan tetapi pikiranmu mencubit Han-ko, bukankah
begitu, Enci Lian?!
‘Idiiih! Engkau benar-benar centil, Adik Lulu! Sudan, jangan
menggoda orang, ceritakan yang betul.!
‘Aku sudah bercerita sebenarnya, masa aku membohong? Bahkan
murid Im-yang Seng-cu, Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li yang cantik jelita dan gagah
perkasa, juga jatuh cinta kepada Kakak Han Han. Baru berkenalan beberapa hari
saja mereka sudah begitu akrab, pendekar wanita itu seperti menjadi bayangan
tubuh Han-ko, tidak mau berpisah lagi, setiap gerak-geriknya jelas menunjukkan
cinta kasih yang mendalam.!
Lulu menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa wajah Sin
Lian yang tadinya merah itu kini berubah agak pucat dan sinar mata yang tadinya
berseri itu menjadi agak muram. Ia merasa kasihan dan cepat-cepat ia
menyambung.
‘Akan tetapi, Hoa-san Kiam-li itu akan kecelik kalau mengira
bahwa Han-koko mudah saja terjebak panah asmara. Wah, sama sekali tidak!
Han-koko terlalu murni dan bersih, tidak pernah mengingat tentang asmara,
apalagi bicara tentang itu! Han-koko adalah seorang pemuda perkasa yang belum
pernah diusik panah asmara, masih bersih dan mulus seperti mutiara belum
digosok!!
Senang sekali hati Lulu melihat betapa kata-katanya mengembalikan
warna merah di kedua pipi enci angkatnya.
‘Dan lagi Han-koko tentu akan merundingkan soal jodohnya dengan
aku, kalau sudah tiba saatnya, karena di dunia ini dia tidak punya siapa-siapa
kecuali aku yang menjadi adiknya. Dan aku tentu tidak akan menyetujui dia
berjodoh dengan Hoa-san Kiam-li atau gadis manapun juga, biar puteri kaisar
sendiri!!
Dengan wajah heran akan tetapi tidak keruh lagi pandang matanya,
Sin Lian memandang Lulu dan bertanya, ‘Mengapa tidak setuju,
Adikku?!
‘Karena aku telah menemukan seorang gadis yang betul-betul
mencintanya dengan seluruh jiwa raganya, yang betul-betul cantik jelita,
betul-betul gagah perkasa, dan betul-betul berbudi mulia sehingga cocok sekali
untuk menjadi teman hidup Han-koko selamanya.!
Kembali wajah cantik itu kehilangan sinarnya dan suara Sin Lian
agak menggetar ketika bertanya, ‘Siapa.... siapa dia, Adikku?!
Lulu menengadah, seolah-olah hendak minta nasehat dari awan dan
perlahan-lahan ia menjawab, ‘Gadis itu, yang kuanggap paling cocok untuk
menjadi jodoh Han-koko, dikatakan dekat amatlah jauhnya karena dia sendiri
tidak tahu bahwa dialah pilihanku, dikatakan jauh amatlah dekatnya karena saat
ini ia duduk di depanku....!
‘Aduuuhhhhh.... Aduuuhhhhh.... tobaaat, Enci....!! Lulu menjerit
dan meronta-ronta sehingga cubitan pada pahanya terlepas dan ia meloncat dan
lari menjauhkan diri dari Sin Lian yang mukanya menjadi merah seperti udang
direbus.
‘Wah, engkau terlalu, Enci Lian! Mencubit paha orang sampai
lecet! Awas kau, kelak kulaporkan kepada Han-koko, biar kau dicubit sampai
habis! Hi-hik!!
‘Lulu....!! Suara Sin Lian terdengar marah, ‘Engkau yang
terlalu! Engkau sudah melampaui batas mempermainkan aku. Apakah engkau sengaja
hendak menghina Encimu?!
Melihat Sin Lian marah, Lulu menghampiri dan merangkulnya, mencium
pipinya dan merebahkan muka di dada yang membusung itu.
‘Enci Lian, Enciku yang baik, masa engkau tega marah-marah
kepada Adikmu? Aku sayang kepadamu, Enci, dan biarpun aku tadi main-main, akan
tetapi main-main karena ada dasarnya. Main-main yang bisa menjadi sungguhan!
Atau.... engkau hendak menyangkal dan membohongi hati sendiri bahwa.... bahwa
engkau mencinta Han-koko?!
Terdengar isak tertahan di dada Sin Lian. Ia balas memeluk adiknya
dan tidak menjawab. Ketika Lulu mengangkat muka memandang dan melihat Sin Lian
menitikkan dua butir air mata, Lulu bertanya lirih.
Salahkah dugaanku, Enci? Kelirukah aku bahwa engkau mencinta
Han-ko?!
Sin Lian menggigit bibir, mengejapkan mata, kemudian....
mengangguk! Lulu tersenyum gembira lalu berloncatan menari-nari mengelilingi Sin
Lian.
‘Bagus.... bagus....! Wah, aku girang sekali! Engkau Enciku
menjadi Sosoku (Kakak Iparku) sama saja! Wah, aku bahagia sekali, Enci.... eh,
calon Soso yang baik!! Lulu merangkul dan menciumi kedua pipi Sin Lian.
Mau tidak mau Sin Lian tertawa juga, mengusap air matanya dan
memegang kedua pundak Lulu.
‘Lulu, adikku yang nakal! Hanya kepadamulah aku sudi membuka
rahasia hatiku ini. Bahkan di depan Ayahku sekalipun aku tidak akan suka
mengaku. Akan tetapi, hendaknya engkau menutup mulut dan memegang rahasia ini,
Adikku. Biarpun aku mencinta orang, harus diselidiki lebih dahulu apakah orang
itu akan membalas cintaku. Dan.... dan.... dia masih belum diketahui berada di
mana. Karena itu, kuminta, mulai detik ini, jangan kau bicara lagi tentang
dia.!
‘Tak mungkin aku tidak boleh bicara tentang dia, hanya aku tidak
akan menyinggung perasaanmu, Enci Lian. Dan aku berjanji kelak akan
mengusahakan dia membalas cinta kasihmu.!
‘Sudahlah, lebih baik mari kita berlatih lagi. Kemajuanmu sudah
hebat dan beberapa bulan lagi saja aku takkan kuat menandingimu.!
Kedua orang dara jelita itu lalu berlatih silat dengan tekun.
Sampai setahun lebih Lulu berada di lembah Huang-ho, berlatih silat di bawah
bimbingan ayah dan enci angkatnya sehingga dia memperoleh kemajuan hebat.
Kemudian timbul lagi rasa rindu dan khawatirnya terhadap Han Han, maka ia minta
diri dari ayah angkatnya untuk pergi mencari kakaknya.
Lauw-pangcu sebetulnya tidak rela melihat puteri angkatnya yang
amat dikasihinya itu pergi, akan tetapi karena maklum bahwa hati Lulu tidak
akan bahagia sebelum dapat menemukan kembali Han Han terpaksa ia berkata.
‘Aku merasa menyesal sekali bahwa usahaku menyebar anak buahku
untuk mencari Kakak angkatmu itu selama ini sama sekali tidak ada hasilnya,
Lulu. Tidak ada seorang pun di dunia kang-ouw mendengar atau melihat adanya Han
Han. Oleh karena itu, sungguhpun hatiku tidak akan tenteram melihat engkau
pergi sendiri, namun aku tidak dapat mencegahmu. Engkau hati-hatilah di dalam
perjalanan, Lulu, karena sungguhpun sekarang tingkat kepandaianmu sudah
melampaui aku, namun di dunia ini banyak sekali terdapat orang sakti yang
menyeleweng daripada kebenaran.!
‘Jangan khawatir, Ayah. Kalau aku telah bertemu dengan Han-ko,
aku akan mengajak dia datang ke sini, terutama sekali untuk bertemu dengan
Lian-ci....! Lulu melirik ke arah Sin Lian dengan pandang mata dan senyum
menggoda.
Wajah Sin Lian berubah merah sungguhpun hatinya merasa senang
mendengar janji Lulu. Cepat-cepat ia bekata, ‘Lulu-moi, kita dapat melakukan
perjalanan bersama. Aku pun hendak pergi mencari lima orang suhuku dan mengajak
mereka mencari Puteri Nirahai yang menurut dugaanmu menjadi biang keladi semua
permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dan yang tentu mengetahui
siapa sebenarnya yang membunuh Liok-suhu dan Chit-suhu.!
Demikianlah, dua orang dara jelita itu pergi dari lembah Huang-ho
yang tersembunyi, meninggalkan Lauw-pangcu yang bersunyi diri dan yang telah
mengundurkan diri dari perjuangan, bahkan yang mulai menjauhkan diri dari
urusan duniawi karena merasa sudah terlalu tua ditambah kesadaran bahwa ikut
sertanya dalam perang sama sekali tidak akan mengubah keadaan menjadi baik,
bahkan sebaliknya. Ia kini tekun bersamadhi semenjak kedua orang puterinya
pergi, bahkan menyerahkan urusan Pek-lian Kai-pang kepada para pembantunya.
Adapun Sin Lian dan Lulu tidak lama melakukan perjalanan bersama.
Sepekan kemudian mereka terpaksa harus berpisah karena Lulu hendak mencari
kakaknya di kota raja, sedangkan Sin Lian hendak pergi ke Siauw-lim-si lebih
dulu untuk mendengar apakah lima orang suhunya telah kembali ke sana. Kedua
orang gadis remaja ini saling berangkulan ketika hendak berpisah dan berjanji
akan segera saling bertemu kembali di lembah Huang-ho.
‘Jangan lupa, Adikku. Bulan tiga tahun depan, jadi kurang enam
tujuh bulan lagi adalah ulang tahun ke tujuh puluh dari Ayah kita, tepatnya
jatuh pada pertengahan bulan. Aku bermaksud mengadakan sedikit pesta ulang
tahun, dan engkau harus membantu dan hadir,! demikian pesan Sin Lian.
‘Baik, Enci Lian. Aku pasti akan bersama kakakku!!
Sin Lian merasa betapa jantungnya berdebar dan pipinya panas,
kemudian ia merangkul sekali lagi dan mencium pipi adik angkatnya, lalu
berkata,
‘Selamat jalan, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Lulu.!
Maka berpisahlah kakak dan adik angkat ini. Lulu berdiri memandang
encinya yang berlari cepat ke selatan itu sambil tersenyum. Gadis yang amat
baik budi, pikirnya, lagi pula gagah perkasa dan cantik jelita. Tepat menjadi
isteri Han-ko. Akan tetapi di mana kakaknya?
Teringat akan ini, cepat ia membalikkan tubuhnya dan lari ke
utara, arah yang berlawanan dengan larinya Sin Lian. Ia harus dapat bertemu
dengan kakaknya yang sudah lama dirindukannya itu.
***
Telah lama kita meninggalkan Han Han. Apakah yang telah terjadi
dengan Han Han setelah dalam usahanya menyelamatkan Kim Cu dia sendiri
terpelanting dan terjerumus ke dalam jurang yang seolah-olah tak berdasar
saking curamnya? Benarkah kekhawatiran para nikouw, Kim Cu, dan para nelayan
bahwa pemuda itu tentu tewas dan hancur sehingga mayatnya pun tak dapat
ditemukan?
Memang, kalau menurut pengertian dan perhitungan manusia,
selamatnya Kim Cu setelah terjatuh dari tempat tinggi itu merupakan hal yang
ajaib dan kiranya tidak mungkin ada orang lain yang sebaik itu nasibnya. Han
Han pasti hancur lebur tubuhnya!
Akan tetapi pengertian manusia sesungguhnya amat tidak berarti,
amat kecil dan jauh daripada cukup untuk dapat menjangkau dan menjenguk untuk
mengukur kekuasaan Tuhan yang terlampau besar untuk dapat dipertimbangkan dan
diukur oleh pengertian manusia. Logika atau nalar manusia amatlah kecil.
Apalagi tentang hidup dan mati. Jika Tuhan menghendaki kematian
seseorang, ke mana pun dia pergi, biarpun dia bersembunyi ke lubang semut,
tidak urung maut akan datang menjemput! Jika menghendaki sebaliknya, biar
selaksa macam malapetaka mengancam, dia akan lolos dari bencana!
Demikianlah pula dengan Han Han. Agaknya Tuhan memang belum
menghendaki pemuda ini tamat riwayat hidupnya, sungguhpun nyawanya sudah berada
di ujung rambut, nyaris ia tewas. Ketika ia meluncur turun, lebih cepat
daripada tubuh Kim Cu yang ringan, ia menimpa air lebih keras daripada gadis
itu.
Hal ini adalah karena selama melayang turun ini, pikiran Han Han
penuh dengan kekhawatiran akan diri gadis itu. Dia selalu ingat akan
menyelaniatkan Kim Cu, maka tubuhnya melakukan gerakan melawan sehingga tubuh
itu terbanting keras ke permukaan air. Hebat sekali akibatnya, membuat matanya
gelap dan ia tenggelam dalam keadaan setengah pinpsan.
Kebetulan sekali ia jatuh di bagian yang dalam dan airnya amat
deras sehingga begitu ia jatuh dan tenggelam, tubuhnya disambar dan dihanyutkan
air amat cepatnya. Dalam keadaan pening dan setengah pingsan itu, Han Han
menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi kakinya yang buntung terasa nyeri
sekali, hampir tak tertahankan.
Untung baginya bahwa dia memang telah memiliki sin-kang yang
tinggi dan selama enam tahun menggembleng diri secara tekun sehingga ia telah
memiliki kekuatan menahan napas. Ia membiarkan dirinya hanyut, menahan napas
dan perlahan-lahan menggerakkan kedua lengan sehingga akhirnya ia dapat juga
mengambang setelah terbawa hanyut amat jauh. Aliran sungai itu makin
berbelak-belok dan arusnya kuat sekali.
Tubuh Han Han terbanting-banting batu karang menonjol sehingga
pakaiannya robek-robek, berikut kulit tubuhnya. Kakinya terasa makin nyeri,
sampai menusuk ke jantung, membuat napasnya terengah dan pandang matanya gelap.
Kalau saja Tuhan tidak menolongnya, tentu Han Han tewas dalam keadaan seperti
itu.