Sekarang Pauw-sie dapat
kenyataan orang belum mati dan pundaknya dia itu tertancapkan sebatang anak
panah. Batang panah juga berbelepotan darah.
Nyonya ini bernama Sek Yok,
nama ini tepat sama sifatnya, yang selalu berhati murah. Nama itu pun berarti
'menyayangi yang lemah'. Begitulah di waktu masih kecil, kalau ia melihat
burung gereja atau ayam terluka, atau pun kutu seperti semut, tentu ia
mengobatinya sampai binatang itu sembuh. Kalau tidak, itu membuatnya berduka.
Karena ini, di kamarnya ia rawat banyak kutu. Sifat ini tidak berubah sampai ia
menikah. Dari itu kebetulan untuknya Yo Tiat Sim, suaminya, tidak menentangi
padanya. Maka juga di belakang rumahnya ia ada pelihara banyak burung dan
binatang peliharaan lainnya. Suatu sifat lagi ialah Pauw-sie tidak tega
menyembelih binatang piaraannya. Untuk suaminya dahar ayam, ia sengaja beli di
pasar, ayamnya sendiri ia pelihara hingga matinya ayam itu.
Demikian kali ini, menampak
orang terluka parah timbul rasa kasihannya, walau pun ia tahu orang bukannya
orang baik-baik. Cuma bersangsi sejenak, lantas ia lari pulang, niatnya untuk
mengasih bangun suaminya. Tiat Sim lagi tidur nyenyak, mungkin disebabkan mabuk
arak, ia tak mendusin kendati istrinya sudah goncang-goncang tubuhnya.
Pauw-sie menjadi sibuk, ia
tahu orang perlu lekas ditolongi. Akhirnya dengan terpaksa ia ambil obat-obatan
suaminya. Dengan bawa pisau kecil dan sepotong cita, juga arak yang hangat, ia
kembali pada si luka. Biasa merawat binatang, ia jadi juga bisa merawat orang
luka. Begitu setelah belek sedikit daging di dekat panah nancap, dengan sekeras
tenaga, ia cabut anak panah itu. Si luka menjerit, lalu pingsan. Panahnya
tercabut, darahnya muncrat mengenai bajunya si nyonya.
Dengan hati memukul
sendirinya, Pauw-sie lantas obati luka itu, ia bungkus dengan rapi.
Selang sekian lama, si luka
sadar pula. Tapi ia sangat lemah, rintihannya pun sangat perlahan.
Pauw-sie tidak kuat angkat
tubuh orang, tetapi ia dapat akal. Ia pulang untuk ambil sehelai papan pintu,
ia letaki itu diatas salju, lalu ia tarik orang ke atas papan itu, lantas ia
tarik sekuat-kuatnya. Ia tempatkan si luka di gudang kayu.
Sampai ia telah salin pakaian,
hati Pauw-sie masih belum tentram betul. Ia masak daging kuwah semangkok, lalu
ia bawa ke belakang. Hari sudah gelap, ia bawa lilin. Sejak di depan pintu
gudang, ia sudah dengar suara bernapas perlahan. Jadi orang itu tidak mati. Ia
masuk ke dalam, ia berikan daging kuwah itu.
Si luka makan sekira setengah
mangkok, lalu ia batuk-batuk keras.
Dengan bantuan api lilin,
Pauw-sie awasi muka orang. Ia dapatkan satu pemuda yang tampan, hidungnya
mancung. Karena tangannya gemetar, tanpa ia merasa ia kena bikin tetesan lilin
jatuh ke muka orang itu, yang lantas buka kedua matanya. Kaget ia akan lihat si
nyonya cantik, sinar matanya jernih, kulitnya merah dadu.
“Apa yang kau rasakan baikan?”
Pauw-sie toh menanya. “Mari makan habis daging kuwah ini…..”
Orang itu ulur tangannya, akan
sambuti mangkok, tetapi ia lemah, hampir ia bikin mangkok itu terlepas. Maka
terpaksa Pauw-sie bawa mangkok itu ke mulutnya.
Habis makan kuwah, nampaknya
orang itu segaran. Dengan mata bersinar, ia awasi si nyonya, agaknya ia
berterima kasih.
Pauw-sie likat diawasi orang
itu, maka lekas-lekas ia ambil rumput, akan tutupi tubuh orang itu, lalu dengan
membawa lilinnya, ia balik ke kamarnya. Ia tidak dapat tidur tenang. Di waktu
pulas, ia mimpi yang hebat-hebat, umpamanya suaminya tombak mati orang itu atau
dua ekor harimau kejar padanya sampai ia tak tahu mesti lari ke mana. Beberapa
kali ia mimpi, beberapa kali ia sadar dengan hati tergoncang. Ketika akhirnya
ia mendusin di waktu pagi, ia dapatkan suaminya lagi gosok tombaknya. Ia ingat
kejadian semalam, ia jadi kaget sendirinya. Diam-diam tapi dengan lekas, ia
pergi ke belakang, ke gudang kayu. Selekasnya ia membuka pintu gudang, ia jadi
terlebih kaget lagi. Di sana tak ada si luka, rumputnya teruwar kalang kabutan!
Ia lantas pergi ke pintu belakang, ia lihat pintu cuma dirapatkan, di atas
salju terlihat bekas orang merayap pergi, tujuannya ke arah barat. Ia mengawasi
ke arah itu, pikirannya tidak karuan. Sampai sekian lama, setelah mukanya ditiup
angin dingin, baru ia sadar. Itu waktu ia pun merasai pinggangnya ngilu dan
lemas, ia jadi lelah sekali, maka itu, ia lantas kembali ke dalam.
Tiat Sim masak bubur putih,
yang diletaki di atas meja. “Kau lihat!” kata suaminya dengan tertawa. “Bubur
masakanku tak ada celaannya, bukan?”
Istri itu tertawa, ia tahu
karena ia sedang hamil, suaminya itu yang sangat menyayangi ia telah masaki ia
bubur. Ia lantas dahar bubur itu. Itu waktu ia telah ambil keputusan akan tutup
mulut tentang si terluka yang ia tolongi itu, sebab ia tahu kebencian suaminya
terhadap orang jahat. Apabila suaminya diberitahukan, pasti ia bakal binasakan
orang itu.
Sejak itu beberapa bulan telah
berlalu. Dengan lewatnya sang waktu, Pauw-sie juga telah lupai itu peristiwa
yang ia sudah tolongi orang yang luka.
Pada suatu hari, Tiat Sim dan
istrinya pergi ke rumah Siauw Thian, untuk bersantap dan minum arak. Sorenya
mereka pulang, akan terus masuk tidur. Tepat tengah malam, tiba-tiba Pauw-sie
mendusin dan melihat suaminya telah bangun juga dan sedang duduk di atas
pembaringan. Ada sesuatu yang mengejutkan suaminya itu hingga ia jadi terjaga
dari tidurnya. Dan istri ini masih lungu-lungu ketika kupingnya dapat tangkap
suara samar-samar dari tindakan kaki kuda di atas es, makin lama makin nyata,
datangnya dari barat ke timur, kemudian itu disusul sama suara serupa yang
datangnya dari arah timur. Ia menjadi kaget pula apabila ia dengar pula suara
dari selatan dan utara.
“Toako!” katanya pada suaminya
sambil bangun untuk berduduk. “Kenapa ada suara kuda dari empat penjuru?”
Tiat Sim tidak menyahuti, ia
hanya segera turun dari pembaringan untuk rapikan pakaiannya.
Tindakan kuda dari empat
penjuru datang semakin dekat, lalu disusul sama gonggongan anjing kampung yang
menyahutnya.
“Kita kena dikurung,” kata
Tiat Sim kemudian.
Pauw-sie terkejut. “Untuk
apakah?” tanyanya.
“Entahlah!” jawab suaminya
itu. Ia terus serahkan pedang pengasihan dari Khu Cie Kee seraya memesan: “Kau
pegang ini untuk jaga dirimu!”
Tiat Sim buka jendela, untuk
melihat keluar, karena itu suara kuda sudah datang mendekat sekali. Ia lihat
tegas kampungnya telah dikurung oleh sejumlah tentera, kurungannya berlapis. Ia
dapat melihat karena tentera itu ada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi.
Perwira yang memegang pemimpin ada tujuh atau delapan orang.
“Tangkap pengkhianat! Jangan
kasih dia lolos!” demikian tentara itu mulai berseru-seru.
“Apakah ada pengkhianat yang
lolos kemari?” Tiat Sim menduga-duga. Ia cekal tombaknya untuk melihat gelagat.
Tiba-tiba satu perwira
berseru: “Kwee Siauw Thian! Yo Tiat Sim! Kamu berdua pemberontak, lekas muncul
untuk terima diringkus!”
Tiat Sim menjadi kaget, sedang
Pauw-sie menjadi pucat mukanya.
“Entah kenapa pembesar negeri
menfitnah rakyat,” kata Tiat Sim kemudian. “Tidak ada jalan lain, kita mesti
menerobos keluar! Kau jangan takut, walau pun musuh berjumlah puluhan ribu,
akan aku lindungi padamu!”
Dasar turunan orang
peperangan. Tiat Sim tidak menjadi kacau pikirannya. Dengan tenang tetapi
sebat, ia siapkan panahnya, terus ia pegangi tangan kanan istrinya.
“Nanti aku berbenah dulu…”
kata Pauw-sie.
“Apa lagi yang hendak
dibenahkan?” kata suaminya itu. “Apa juga tak dapat.”
Lemah hatinya istri itu, lalu
tiba-tiba ia menangis. “Dan rumah ini?” katanya.
“Asal kita dapat lolos, nanti
di lain tempat kita membangun pula rumah kita!” sahut sang suami.
“Dan itu anak-anak ayam dan
anak-anak kucing?” istri itu menanya pula.
Tiat Sim menghela napas. “Ah,
orang tolol, kamu masih memikirkan segala binatang itu! Mana dapat?”
Baru Tiat Sim mengucap
demikian, di luar kembali terdengar seruan berisik dan api terlihat berkobar.
Dua ruang di depan telah dibakar, lalu dua orang serdadu Song mulai menyulut
payon rumah.
Bukan main mendelunya Tiat
Sim. Ia buka pintu dan muncul. “Aku Yo Tiat Sim!” ia perkenalkan diri. “Kamu
hendak bikin apa?”
Dua serdadu itu kaget, mereka
memutar tubuh, sembari melemparkan obornya, mereka lari balik.
Di antara cahaya api, satu
perwira maju dengan kudanya. “Kamu Yo Tiat Sim? Bagus!” ia berkata. “Mari ikut
kami menghadap pembesar kami! Tangkap!”
Lima serdadu lantas merangsak.
Tiat Sim geraki tombaknya
dalam jurus 'Ouw liong pa bwee', atau 'Naga hitam menggoyang ekor', lalu tiga
serdadu roboh terguling. Kemudian dengan susulannya 'Cun lui cin nouw' atau
'Geledek musim semi murka', ia robohkan satu yang lain, yang tubuhnya ia lempar
balik ke dalam barisannya.
“Untuk menangkap orang, kamu
mesti lebih dahulu beritahukan kedosaannya!” ia membentak.
“Pemberontak bernyali besar!”
teriak si perwira. “Kamu berani melawan?!”
Mesti begitu ia gentar hati,
tak berani ia maju mendekati. Adalah satu perwira lain yang berada di
belakangnya mewakilkan ia maju. Berkatalah perwira ini: “Baik-baik saja ikut
kami ke kantor, kau akan bebas dari kedosaan berat. Di sini ada surat titah!”
“Kasih aku lihat!” bentak Tiat
Sim.
“Masih ada satu pemberontak
lainnya, yang she Kwee?!” kata perwira itu.
“Kwee Siauw Thian ada di
sini!” sahut Siauw Thian yang tiba-tiba muncul di muka jendela, panahnya telah
siap sedia.
Perwira itu terkejut, hatinya
ciut.
“Letaki panahmu,” katanya.
“Nanti aku bacakan surat titah ini….”
“Lekas baca!” bentak Siauw
Thian, yang justru tarik semakin melengkung gendewanya itu.
Terpaksa dengan ketakutan,
perwira itu membaca. Itulah surat titah untuk menawan Kwee Siauw Thian dan Yo
Tiat Sim, dua penduduk Gu-kee-cun yang dituduh berontak melawan negara, sudah
bersekongkol sama penjahat besar.
“Surat titah ini datang dari
kantor mana?” Siauw Thian tanya.
“Inilah surat titah tulisannya
Han Sinsiang sendiri!” jawab perwira itu.
Dua-dua Siauw Thian dan Tiat
Sim terkejut. “Hebat urusan, sampai Han Sinsiang sendiri yang turun tangan
menulis surat titah?” mereka berpikir. “Mungkin ini disebabkan terbukanya
rahasia Khu Cinjin telah membinasakan banyak hamba negara?”
“Siapakah yang mendakwa? Apa
ada buktinya?” tanya Siauw Thian pula.
“Kita cuma mesti menawan
orang!” kata si perwira. “Nanti di muka pembesar kamu boleh bicara!”
“Han Sinsiang gemar menfitnah
orang baik-baik, siapa tidak tahu itu?” kata Tiat Sim. “Kami tak sudi kena
jebak!”
Dengan perlahan Tiat Sim kata
pada istrinya: “Pergi lapis bajumu, akan aku rampas kuda dia itu untukmu! Akan
aku panah perwira itu, tenteranya bakal jadi kacau!” Dan terus ia tarik
panahnya, maka setelah satu suara “Ser!” si perwira berkoak keras, tubuhnya
terjungkal dari kudanya.
Semua serdadu lantas
berteriak-teriak. “Maju! Tangkap!” berseru perwira yang satunya.
Sejumlah serdadu taati titah
itu, akan tetapi selagi maju, mereka disambut busur-busurnya Siauw Thian dan
Tiat Sim berdua, hingga enam atau tujuh di antaranya rubuh seketika. Akan tetapi
jumlah mereka ini besar, di bawah anjuran pembesarnya, mereka maju terus.
Tiat Sim menjadi mendongkol,
ia tukar panah dengan tombaknya, setelah ia lompat keluar pintu, ia sambut
penyerang-penyerangnya. Rombongan serdadu itu kena terpukul mundur. Atas itu,
Tiat Sim melompat kepada satu perwira yang menunggang seekor kuda putih, ia
menyerangnya. Perwira itu menangkis dengan tombaknya. Ia tapinya tak kenal ilmu
tombak keluarga Yo, pahanya kena ditikam, maka dengan satu gentakan, tubuhnya
terpelanting ke tanah.
Dengan menekan tombaknya ke
tanah, Tiat Sim lompat ke atas kuda putih, maka sesaat saja, ia sudah menerjang
ke muka pintu rumahnya. Ia tikam roboh satu serdadu Song, yang menghalangi dia,
kemudian dengan satu jembretan, ia angkat tubuh istrinya naik ke kudanya. Itu
waktu Pauw-sie sudah siap menanti padanya.
“Kwee Toako, mari turut aku!”
orang she Yo itu teriaki saudara angkatnya.
Siauw Thian tengah menyerang
seru dengan sepasang tombak pendeknya yang bercagak. Ia membuka jalan untuk
istrinya Lie-sie yang bernama Peng.
Beberapa perwira tidak dapat
mencegah kedua orang gagah itu, terpaksa mereka menitahkan menggunai anak
panah.
“Enso, lekas naik!” seru Tiat
Sim, yang hampiri Lie-sie. Ia pun lantas lompat turun dari kudanya.
“Tidak bisa….” berkata
Lie-sie.
Di waktu demikian, tidak ada
lagi aturan sungkan. Maka tanpa bilang suatu apa, Tiat Sim cekal tubuh iparnya
untuk segera diangkat naik ke punggung kuda, kemudian ia bersama Siauw Thian
mengikuti dari belakang untuk melindungi.
Lolos belum jauh, di sebelah
depan mereka dicegat oleh satu pasukan lain. Riuh suara tentera itu, hebat
serbuannya. Tiat Sim dan Siauw Thian mengeluh di dalam hati. Karena terpaksa,
mereka jadi memikir untuk cari jalan lolos.
Sekonyong-konyong terdengar
suara panah sar-ser, lalu Pauw-sie menjerit keras. Kuda putih terpanah, kaki
depannya tertekuk lalu tubuhnya ngusruk. Pauw-sie roboh bersama Lie-sie, yang
pun ikut berteriak.
Tiat Sim kaget tetapi ia
tabah. “Toako, lindungi mereka, akan aku rampas kuda pula!” serunya. Lalu
dengan memutar tombaknya, ia menerjang musuh.
Kwee Siauw Thian berpikir lain
daripada saudara angkatnya itu.
“Terang kita berdua tidak
bakal dapat menerobos kurungan musuh ini, atau istri kita sukar ditolongi.
Karena kita tidak bersalah dosa, daripada antarkan jiwa disini, baiklah kita
menemui pembesar negeri untuk berbicara dengannya.”
Maka itu, ia teriaki adik
angkatnya itu: “Adik, mari kita ikuti mereka ke kantor!”
Tiat Sim heran, akan tetapi ia
hampiri saudaranya itu.
Perwira pemimpin tentera itu
menitahkan menunda penyerangan, tetapi mereka mengurung rapat-rapat. “Letaki
senjatamu, kami akan beri ampun jiwa kamu!” ia berteriak.
“Toako, jangan kena
diperdayakan!” Tiat Sim memberi ingat.
Siauw Thian menggeleng kepala,
ia lemparkan sepasang tombaknya.
Tiat Sim lihat istrinya
ketakutan, hatinya pun menjadi lemah, maka seraya menghela napas, ia lemparkan
panah dan tombaknya.
Atas itu belasan tombak tajam
dipakai mengurung empat orang itu, kemudian delapan serdadu maju mendekati,
untuk membelenggu mereka berempat.
Tiat Sim berdiri tegak, dia
tertawa dingin. Sikap ini tidak menyenangi si pemimpin tentara, ia ayun
cambuknya seraya mendamprat: “Pemberontak bernyali besar, benarkah kamu tidak
takut mampus?!”
“Bagus!” kata jago she Yo itu.
“Siapakah namamu?!”
Perwira itu menjadi semakin
gusar, cambuknya disabetkan berulang-ulang. “Tuan besarmu tak pernah ubah she
dan namanya!” katanya dengan jumawa. “Tuan besarmu she Toan namanya Thian Tek.
Thian Tek itu berarti kebijaksanaan Tuhan, kau mengerti? Ingatkah kau? Supaya
kapan nanti kau bertemu Giam Kun, kau boleh ajukan dakwaanmu!”
Tiat Sim tidak takut, ia malah
mengawasi dengan bengis.
“Ingat olehmu, tuanmu ada
cacat luka di jidatnya dan tanda biru di pipinya!” Thian Tek membentak pula. Ia
angkat pula cambuknya.
Pauw-sie menangis. “Dia orang
baik, ia belum pernah berbuat jahat. Kenapa kau aniaya dia sampai begini?”
tanya istri ini yang tidak tega melihat suaminya dicambuki.
Tiat Sim meludah tepat
mengenai mukanya perwira she Toan itu. Dia menjadi sangat murka, ia lalu cabut
golok di pinggangnya.
“Aku akan bunuh dulu padamu,
pemberontak!” teriaknya.
Tiat Sim tidak sudi mandah dibacok,
ia berkelit ke samping. Tapi segera ia merasa ada tombak-tombak yang menahan
tubuhnya.
Thian Tek membacok pula.
Tiat Sim tidak melihat lain
jalan, ia berkelit mundur dengan mengkeratkan tubuhnya.
Melihat bacokannya kembali
gagal, Thian Tek terus menikam. Kali ini goloknya yang tajam bagaikan gergaji
dapat melukakan pundaknya orang she Yo itu. Dia tapinya belum puas, kembali ia
ulangi bacokannya.
Siauw Thian lihat adik
angkatnya terancam bahaya, ia lompat maju seraya mendupak.
Thian Tek terkejut, ia batal
menyerang, terus dia menangkis.
Siauw Thian lihay, ia tarik
kakinya untuk ayun kakinya yang lain. Itulah tendangan saling susul dari ilmu
tendangan Wan-yo-twie, maka tak ampun lagi, perwira itu terjejak pinggangnya.
“Hajar mampus dia!” dia
berseru.
Beberapa serdadu segera
menyerang. Siauw Thian melawan, ia dapat menendang terguling dua serdadu,
tetapi karena ia terbelenggu tangannya, akhirnya ia kena dibokong Thian Tek
yang sambar ia dari belakang, hingga tangan kanannya terbacok kutung!
Bukan main panasnya hati Tiat
Sim menampak kakaknya itu menjadi korban keganasan si perwira. Entah darimana
datangnya tenaganya ketika ia berteriak keras sekali, belengguan pada tangannya
terputus terlepas. Maka sambil melompat maju, ia hajar roboh satu serdadu,
untuk rampas tombaknya yang panjang dengan apa ia terus mengamuk.
Thian Tek menginsyafi bahaya,
ia sudah mendahului mundur.
Yo Tiat Sim menyerang bagaikan
kalap, matanya menjdi merah.
Semua serdadu menjadi kalah
hati, dengan ketakutan mereka lari bubaran.
Tiat Sim tidak mengejar musuh,
hanya ia menubruk kakak angkatnya yang telah mandi darah. Tanpa merasa ia
kucurkan air mata.
“Adik, sudah kau jangan
pedulikan aku,” kata Siauw Thian lemah. “Lekas, lekas kau singkirkan diri…”
“Akan aku merampas kuda, mari
kita pergi bersama!” kata Tiat Sim.
Siauw Thian tidak menyahut, ia
hanya pingsan.
Tiat Sim buka bajunya, hendak
ia membalut luka kakak itu, tetapi lukanya lebar sekali, dari pundaknya
merembet ke dada, sulit untuk membalutnya.
Siauw Thian sadar pula. “Adik,
kau pergilah…” ia kata dengan suara yang sangat lemah. “Pergi kau tolong teehu
serta ensomu. Aku... aku sudah habis...” Dan ia meramkan matanya untuk
selamanya.
Hampir Tiat Sim menyemburkan
darah, saking berduka dan mendongkol. Ia lantas berpaling ke arah di mana
istrinya dan ensonya, istri Siauw Thian. Untuk kagetnya ia tidak dapat melihat
mereka itu.
“Toako, aku akan balaskan
sakit hatimu!” ia berteriak. Lalu dengan membawa tombaknya, ia lari kepada
barisan serdadu, yang sekarang sudah berkumpul pula.
Toan Thian Tek memberi
perintahnya, maka barisannya itu menyambut dengan hujan anak panah.
Tiat Sim maju terus seraya
putar tombaknya, akan halau setiap anak panah. Ketika satu perwira dekati dia
dan membacok, ia berkelit sambil mendak, akan nelusup ke bawahan perut kuda. Si
perwira membacok sasaran kosong, hendak ia putar kudanya, tetapi tombaknya Tiat
Sim tahu-tahu sudah menikam tepat ke dadanya. Maka ketika tubuhnya roboh, orang
she Yo itu gantikan ia lompat naik ke atas kudanya itu hingga dengan apa punya
binatang tunggangan, Tiat Sim bisa menyerang dengan terlebih hebat.
Sekali lagi barisan serdadu
itu lari buyar.
Tiat Sim mengejar, hingga ia
lihat satu perwira lagi kabur sambil peluki seorang perempuan. Ia tidak
mengejar, hanya ia lompat turun dari kudanya, akan rampas gendewanya satu
serdadu Song. Lalu di antara terangnya api obor, ia panah perwira itu. Tepat
panahnya ini, si perwira roboh dari kudanya yang jatuh ngusruk. Dia roboh
bersama si wanita dalam pelukannya, hingga orang jadi terlepas.
Lagi sekali Tiat Sim memanah
selagi orang merayap bangun. Kali ini perwira itu roboh pula untuk tidak dapat
bangun lagi.
Tiat Sim lari kepada wanita
itu, dan untuk kegirangannya ia dapatkan pula istrinya.
Sek Yok kaget dan girang, ia
lompat ke dalam rangkulan suaminya itu.
“Mana enso?” Tiat Sim tanya.
Dia lantas ingat istrinya Siauw Thian.
“Ia ada di sebelah depan, ia
pun dibawa lari serdadu jahanam itu!” sahut Pauw-sie.
Kapan Tiat Sim menoleh, ia
tampak mendatanginya satu barisan lain.
“Toako telah menemui ajalnya,
biar bagaimana aku mesti tolongi enso!” ini adik angkat ambil keputusan, ia
bicara sama istrinya. “Turunan toako mesti dilindungi. Kalau Thian mengasihi
kita, kita berdua dapat bertemu pula…”
Sek Yok rangkul keras leher
suaminya itu, ia menangis menggerung-gerung.
“Tak dapat kita berpisah!” ia
kata. “Kau yang bilang sendiri, kalau kita mesti binasa, kita mesti binasa
bersama! Bukankah benar kau pernah mengatakan demikian?”
Tiat Sim peluki istrinya,
hatinya karam. Tapi ia tiba-tiba keraskan hati, ia menolak dengan keras, ia
sambar pula tombaknya untuk lari. Ketika sudah lari beberapa puluh tindak, ia
lihat istrinya menangis bergulingan di tanah, dan barisan serdadu yang
mendatangi sudah mendekati istrinya itu. Ia usap mukanya, peluhnya bercampur
sama darah muncratan. Ia lari pula. Telah bulat tekadnya untuk menolongi
Lie-sie. Di sebelah depan, ia dapat rampas seekor kuda, maka itu ia jadi tambah
semangat. Kebetulan ia dapat bekuk satu serdadu. Atas pertanyaannya, serdadu
itu bilang Lie-sie berada di sebelah depan. Maka ia kaburkan kudanya.
Tiba-tiba dari samping jalanan
mana ada perpohonan lebat, terdengar cacian seorang wanita. Ia lekas tahan
kudanya, yang ia putar untuk hampirkan tempat lebat itu. Dengan tombaknya ia
menyingkap cabang-cabang pohon. Maka di hadapannya terlihat dua serdadu sedang
menyeret-nyeret Lie-sie.
Tidak ampun lagi, Tiat Sim
tikam mampus mereka satu demi satu.
Lie-sie berbangkit dengan
rambut kusut dan pakaian penuh tanah tidak karuan. Di waktu begitu, tidak ada
ketika untuk omong banyak, maka Tiat Sim angkat tubuh iparnya itu, dikasih naik
ke atas kudanya untuk mereka menunggang bersama. Ia lari balik untuk cari
istrinya di tempat dimana tadi mereka berpisah. Untuk kedukaannya ia tak
dapatkan Pauw-sie, tempat itu sunyi senyap dari segala apa. Ia turun dari
kudanya untuk memeriksa tanah. Ketika itu sudah fajar. Ia lihat tapak-tapak
kaki dan tanda bekas orang diseret, maka sakitlah hatinya. Ia percaya istrinya
telah jatuh pula ke dalam tangan musuh….
“Mari!” katanya seraya
melompat naik ke atas kudanya yang ia terus kasih lari, perut kudanya pun
dijepit hingga binatang itu kesakitan dan lari kabur.
Sedang kuda lari keras
mendadak dari samping jalanan muncul belasan orang yang hitam semua pakaiannya,
orang yang terdengar segera menyerang dengan toyanya.
Tiat Sim sempat menangkis,
dapat ia menikam.
Orang itu sebat dan gesit,
ketika ia membuat perlawanan, nyata permainan toyanya pun lihay. Hal ini
membuat heran kepada orang she Yo itu.
Pernah Tiat Sim dan Siauw
Thian berbicara tentang ilmu silat, bahwa di jamannya kawanan Liang San,
Pek-lek-hwee Cin Beng adalah yang terlihay ilmu toyanya, tetapi di jaman itu
orang Kim-lah yang terkenal. Maka itu sekarang ia curigai lawannya itu ada satu
perwira Kim. Ia hanya heran, kenapa perwira Kim bisa muncul di situ. Tapi ia
tidak bisa berpikir lama-lama, ia lantas menyerang dengan hebat. Kali ini ia
berhasil membuat lawan itu terjungkal, karena mana barisan serdadunya lantas
kabur.
Segera Tiat Sim menoleh,
hatinya lega akan dapatkan iparnya tak kurang satu apapun. Ia masih mengawasi
iparnya itu ketika “Ser!” sebatang gendewa menyambar kepadanya, menyambar dari
arah pepohonan yang lebat, hingga ia tidak sempat menagkis atau berkelit, busur
itu tembus di punggungnya.
“Encek, kau kenapa?” tanya
Lie-sie kaget.
Tiat Sim tidak menyahuti,
hanya di dalam hatinya ia kata: “Aku tidak sangka bahwa aku bakal habis disini…
Sebelum aku terbinasa, aku mesti labrak dulu musuh, supaya enso dapat lolos!”
Ketika ia geraki tombaknya, ia menjadi kaget. Ia merasa sakit hingga ke
peparunya.
“Cabut panah ini!” ia kata.
Tapi hatinya Lie-sie lemah,
tenaganya tidak ada, tak dapat ia menolong.
Tiat Sim lantas mendekam di
atas kudanya, tangan kirinya diapakai mencekal gagang panah, dengan satu kali
sentak, ia cabut anak panah itu terus ia pandangi.
Anak panah itu nancap dalam
kira tiga dim, gagangnya memakai bulu burung rajawali, batangnya terbuat dari
perunggu. Itu bukanlah sembarang anak panah. Tempo ia memeriksa lebih jauh,
pada gagang itu ada terukir tiga huruf 'Wanyen Lieh'. Ia terkejut.
'Wan-yen' itu adalah she,
yaitu nama keluarga dari bangsa Kim, dari golongan keluarga raja. Biasanya dari
raja hingga jenderalnya, bangsa itu memakai nama keluarga tersebut.
“Bagus!” serunya. “Benar-benar
si pembesar jahanam itu telah bersekongkol sama bangsa asing, bersama-sama
mereka mencelakai rakyat negeri!”
Ia serahkan anak panah itu
kepada Lie-sie. “Enso ingat baik-baik nama ini!” ia pesan. “Pesanlah anakmu
untuk menuntut balas….!”
Habis berkata, ia putar
tombaknya, ia menerjang ke antara musuh, tetapi darah di punggungnya membanjir
keluar. Tiba-tiba matanya menjadi gelap, tak dapat ia menahan diri lagi, ia
robh dari kudanya.
********************
Hatinya Pauw-sie sakit bagai
disayat-sayat karena tolakan suaminya. Tempo ia mengawasi suaminya itu, sang
suami sudah lantas lenyap, di pihak lain, rombongan serdadu telah mendatangi ke
arahnya. Ia mencoba lari, tetapi sudah kasep, ia kena kecandak dan ditawan,
tubuhnya segera dikasih naik ke atas seekor kuda.
“Aku tidak sangka dua orang
itu demikian kosen hingga mereka dapat mencelakai tak sedikit saudara-saudara
kita!” berkata satu perwira sambil tertawa.
“Tapi sekarang kita toh
peroleh hasil!” kata satu perwira lain. “Eh, sahabatku Ciong, untuk cape kita
ini kita bakal dapat persen tiga atau empat puluh tail perak!”
“Hm!” menyahut si Ciong itu.
“Aku harap asal saja potongannya dikurangi sedikit…!” Terus ia menoleh kepada
barisannya, akan beri titahnya: “Kumpulkan barisan!” Serdadu tukang terompet
sudah lantas kasih dengar suara alat tiupnya
Pauw-sie menangis
tersedu-sedu, ia lebih memikirkan suaminya yang ia tidak tahu bagaimana
jadinya.
Ketika itu sang fajar telah
tiba, di jalanan sudah ada beberapa orang yang berlalu lintas. Akan tetapi
mereka nampak serdadu, mereka lalu menyingkir jauh-jauh.
Mulanya Pauw-sie berkhawatir
sangat kawanan serdadu itu nanti perlakukan kasar atau kurang ajar terhadapnya,
kemudian ia merasa sedikit lega. Ia tidak saja tidak diganggu, ia malah
diperlakukan dengan manis dan hormat.
Barisan ini baru berjalan
beberapa lie, tiba-tiba mereka dicegat oleh belasan orang yang mengenakan
pakaian serba hitam, yang semua berbekal senjata. Mereka itu muncul dengan
tiba-tiba dari pinggir jalanan. Seorang yang berada di paling depan sudah
lantas kasih dengar suaranya yang bengis: “Kawanan serdadu tak tahu malu dan
kejam, tukang ganggu rakyat, kamu semua turun dari kuda kamu dan serahkan
diri!”
Perwira yang pimpin barisan
itu menjadi gusar. “Kawanan berandal dari mana yang berani mengacau di wilayah
kota raja?!” dia balas membentak. “Lekas menggelinding pergi!”
Pihak baju hitam itu tidak
menggubris bentakan itu. Sebaliknya mereka buktikan ancaman mereka, ialah tanpa
bilang suatu apa lagi, mereka maju menerjang. Dengan begitu dua pihak jadi
bertempur kalut.
Kawanan baju hitam itu
berjumlah lebih kecil akan tetapi mereka mengerti ilmu silat dengan baik,
dengan begitu pertempuran menjadi berimbang.
Menyaksikan pertempuran itu,
diam-diam Pauw-sie bergirang. “Bukankah mereka ini adalah kawan-kawannya
suamiku, yang mendengar kabar dan telah datang menolong?” demikian ia
menduga-duga.
Selagi pertempuran berjalan
terus, tiba-tiba satu anak panah nyasar menyambar punggung kudanya Pauw Sek
Yok. Binatang itu kaget dan kesakitan, ia berlompat dan lari kabur.
Sek Yok kaget dan ketakutan,
ia mendekam di kudanya itu yang lehernya ia peluki keras-keras. Ia takut jatuh.
Kuda itu kabur terus hingga
beberapa lie, sampai di sebelah belakangnya, terdengar datangnya kuda lain,
lalu tertampak satu penunggang kuda datang memburu. Cepat sekali larinya kuda
pengejar ini segera ia menyandak dan lewat di samping Pauw-sie. Si penunggangnya
sendiri sambil melarikan kudanya itu memutar sehelai dadung panjang di atasan
kepalanya. Apabila ia melepaskan sebelah tangannya, dadung itu ialah lasso,
lantas menyambar ke kudanya Sek Yok. Sekarang kedua kuda jadi lari berendeng.
Si penunggang kuda menahan dengan perlahan-lahan, dari itu sesaat kemudian
kedua kuda itu larinya perlahan, akan akhirnya selang beberapa puluh lie, kuda
si penunggang berhenti dengan tiba-tiba, sebab mulutnya penunggang itu
perdengarkan tanda. Dengan begitu kuda Sek Yok pun berhenti seketika. Kuda itu
meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya.
Pauw-sie kaget dan ketakutan,
ia pun ngantuk dan lelah. Karena kuda itu berlompat berdiri habislah tenaganya,
tak dapat ia memeluki lagi leher kuda lantas saja ia roboh ke tanah dan
pingsan. Ia mendusin setahu beberapa lama kemudian. Ia hanya dapatkan tubuhnya
rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk kasurnya dan tubuhnya pun
dikerebongi selimut kapas yang membuat ia merasa hangat. Ia buka matanya
perlahan-lahan. Yang pertama ia lihat ialah langit kelambu kembang. Maka
sadarlah ia yang ia telah tidur di atas pembaringan. Ia menoleh ke samping, ia
dapatkan sebuah meja dan satu pelitanya. Di tepi pembaringan berduduk satu
orang laki-laki dengan pakaian serba hitam.
Kapan pria itu melihat orang
mendusin dan tubuhnya bergerak, lekas-lekas ia bangun berdiri, untuk singkap
kelambu dan menggantungnya.
“Oh, kau sudah mendusin?” pria
itu tanya, perlahan suaranya.
Biar bagaimana, Sek Yok belum
sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia mengawasi.
Si pria ulur tangannya, untuk
meraba jidat si nyonya. “Oh, panas sekali!” katanya. “Tabib akan segera
datang…”
Sek Yok meramkan pula matanya,
terus ia tidur pula. Ia baru sadar tempo dengan samar-samar ia merasa orang
pegang nadinya, disusul mana orang memberi ia makan obat. Ia masih tak sadar
benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak: “ Engko
Tiat! Engko Tiat!” Lalu ia merasa ada tangan pria yang dengan perlahan-lahan
mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah lembut.
Kapan kemudian Sek Yok
mendusin pula, hari sudah terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit untuk
berduduk.
Seorang menghampiri dia.
“Minum bubur?” tanya ia itu dari luar kelambu.
Pauw-sie kasih dengar suara
perlahan, atas mana pria itu singkap kelambunya.
Sekarang dua muka saling
berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok dapat melihat dengan
tegas, maka ia menjadi terkejut. Ia tampak satu wajah yang tampan, yang
tersungging senyuman manis. Itulah si anak muda yang beberapa bulan yang lalu
ia tolongi selagi orang terluka dan rebah tak berdaya di atas salju, yang
kemudian menghilang tidak keruan paran dari gudang kayu.
“Tempat ini tempat apa?”
nyonya ini kemudian tanya. “Mana suamiku?”
Pemuda itu menggoyang tangan,
melarang orang berbicara.
“Sebenarnya aku bersama
beberapa kawan kebetulan lewat di sini,” ia berkata dengan perlahan.
“Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak puas, maka
aku telah tolongi kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang telah
menunjuki aku justru tolongi penolongku…” Ia berhenti sebentar, lalu ia
melanjuti: “Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang
bearda di rumahnya seorang petani, maka itu jangan Nyonya sembarang munculkan
diri. Harap nyonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah
suami Nyonya…”
Mukanya Sek Yok menjadi merah,
akan tetapi ia mengangguk.
“Mana suamiku?” ia tanya.
“Sekarang kau letih dan lemah
sekali, Nyonya,” kata pula si anak muda. “Nanti saja setelah kesehatanmu pulih,
aku berikan keteranganku. Sekarang baiklah kau beristirahat dulu.”
Sek Yok terperanjat. Dari
caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah menampak sesuatu kecelakaan.
“Dia…dia kenapa, suamiku itu?”
ia tanya, tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur.
“Nyonya, jangan bergelisah
tidak karuan,” orang itu menhibur, “Untukmu paling baik adalah merawat diri…”
“Apakah dia…dia telah meninggal
dunia?” Sek Yok menanya.
Pemuda itu mengangguk.
“Ya, ia telah dibinasakan oleh
rombongan serdadu itu…” ia beri penyahutan.
Sek Yok kaget, ia lantas
pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan.
“Sudahlah,” si anak muda
menghibur pula.
“Bagaimana caranya ia
meninggal dunia?” Pauw-sie tanya.
“Bukankah suami Nyonya berumur
dua puluh kurang lebih, tubuhnya tinggi dan lebar, yang bersenjatakan sebatang
tombak panjang?” si anak muda tegaskan.
“Benar dia.”
“Aku tengah melawan tiga musuh
ketika satu musuh jalan mengitar ke belakangnya suamimu itu yang dia tombak
punggungnya,” si anak muda beritahu.
Lagi-lagi Sek Yok pingsan.
Besar sangat cintanya kepada suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau
minum. Ia berkeputusan nekad untuk binasa bersama suaminya itu.
Si pria kelihatan halus budi
pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan
membujuki untuk nyonya legakan hati.
“Apa she dan nama Tuan?”
kemudian Sek Yok menanya. Ia menjadi tak enak hati untuk bersikap tawar terus.
“Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan kau dapat menolongi?”
Pria itu bersangsi agaknya. ia
telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian barulah ia bisa omong
juga.
“Aku ada orang she Yen dan
namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu satu dengan lain,”
ia menyahut akhirnya.
Merah mukanya Sek Yok akan
dengar itu perkataan 'jodoh', ia balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan.
Tetapi hatinya bukan tidak bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya.
“Apakah kau dan tentera negeri
itu datang dari satu jurusan?” ia tanya
“Ke…kenapa?” Yen Lieh tanya.
“Bukankah baru ini kau dapat
luka karena kau bersama tentera negeri hendak mencoba menawan Khu Totiang?” Sek
Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan pemuda itu.
“Kejadian hari itu sungguh
membuat aku penasaran!” sahut Yen Lieh. “Aku datang dari utara, hendak aku
pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba sebatang anak
panah nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku, Nyonya,
pastilah aku terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya imam siapa
yang hendak mereka tawan itu?”
“Oh, kiranya kau kebenaran
lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka itu?” berkata Sek
Yok, romannya heran. “Aku tadinya menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu
Totiang, hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau.”
Sampai di situ, Pauw-sie
tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentera negeri, karena mana imam itu
telah membuat perlawanan dahsyat.
Yen Lieh mengawasi orang
berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok dapat lihat kelakuan orang itu.
“Eh, kau hendak dengari
ceritaku atau tidak?” ia menegur.
Yen Lieh terkejut, lalu ia
tertawa.
“Ya, ya aku tengah memikirkan
cara bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongan serdadu itu,” ia
menjawab. “Tidak ingin aku yang kita nanti kena dibekuk mereka…”
Sek Yok menangis.
“Suamiku telah terbinasa,
untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama…?” katanya. “Baik kau pergi sendiri
saja…”
“Tetapi Nyonya!” peringatkan
Yen Lieh. “Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu belum terbalas,
bagaimana kau cuma ingat kematian saja? Nanti suamimu, yang berada di tanah
baka, matanya tak meram…”
Nyonya itu terkejut, tetapi ia
lemah hatinya. “Aku seorang perempuan, bagaimana dapat aku membalas dendam?”
tanyanya.
Yen Lieh kelihatannya murka.
“Biarnya aku bodoh, akan aku coba membalas dendam untukmu, Nyonya!” katanya
keras. “Apakah nyonya tahu, siapa musuh suami nyonya itu?”
Nyonya Yo Tiat Sim berpikir
sejenak. “Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya, namanya Toan
Thian Tek,” sahutnya kemudian. “Dia mempunyakan tanda biru di mukanya.”
“Dia telah diketahui she dan
namanya, gampang untuk mencari dia,” berkata si anak muda. Ia terus pergi ke
dapur, untuk sendok semangkok bubur serta satu biji telur asin.
“Jikalau kita tidak pelihara
kesehatanmu, cara bagaimana kau bisa menuntut balas?” katanya perlahan setelah
ia bawakan bubur dan telur asin itu kepada si nyonya.
Pauw-sie anggap perkataan itu
benar, ia sambuti bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan.
Besok paginya, Pauw-sie turun
dari pembaringannya, setelah rapikan pakaiannya ia hadapi kaca untuk sisiri
rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu merupakan setangkai
bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia berkabung untuk suaminya.
Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang cantik bagikan bunga akan
tetapi pemiliknya telah tak ada – yang satu tetap menjadi seorang manusia, yang
lain telah menjadi setan…. Ia menjadi sedih sekali, maka ia menangis dengan
mendekam di meja.
Yen Lieh bertindak masuk
selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah sedikit reda, ia
berkata: “Tentera di luar sudah berlalu, mari kita berangkat.”
Sek Yok susut air matanya, ia
berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu.
Yen Lieh serahkan sepotong
perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda. Satu di antaranya adalah
kudanya Sek Yok, yang terkena panah, yang sekarang telah diobati lukanya.
“Kita menuju kemana?” tanya
Pauw-sie.
Yen Lieh kedipi mata, untuk
cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain, kemudian ia membantui
nyonya itu naik ke atas kuda. Maka di lain saat, keduanya sudah jalankan kuda
mereka berendeng menuju ke utara.
Belasan lie telah mereka
lalui. “Kau hendak bawa aku kemana?” akhirnya Sek Yok menanya pula.
“Sekarang kita cari dahulu
tempat sepi untuk tinggal sementara waktu,” Yen Lieh jawab. “Kita tunggu sampai
suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah suamimu, untuk dikubur
dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian Tek si jahanam itu
guna menuntut balas.”
Sek Yok lemah hatinya, lemah
lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar
omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia
bersyukur sekali.
“Yen, Yen Siangkong, bagaimana
aku harus membalas budimu ini?” katanya.
“Jiwaku ini adalah nyonya yang
tolongi,” sahut Yen Liah, “Maka itu tubuhku ini aku serahkan kepada nyonya
untuk nyonya suruh-suruh, walau pun badanku hancur dan tulang-tulangku remuk,
meski pun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah selayaknya saja.”
Dua hari mereka berjalan, sore
itu mereka singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang
didatangi, Yen Lieh mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya
ia meminta satu kamar.
Sek Yok tidak bilang suatu
apa, akan tetapi hatinya tidak tenteram, karena itu di waktu bersantap, ia
bungkam. Diam-diam ia meraba pedang peninggalan Khu Cie Kee, di dalam hatinya
ia bilang: “Asal dia berlaku kurang ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!”
Yen Lieh menitahkan jongos
ambil dua ikat rumput kering, ia tunggu sampai si jongos itu sudah keluar, ia
lantas kunci pintu, rumput kering itu ia gelar di lantai, di situ ia rebahkan
dirinya terus ia tutupi dengan gudri.
“Nyonya silakan tidur!” ia
berkata, sesudah mana terus ia meramkan matanya.
Hatinya Nyonya Yo
berdebar-debar, matanya memandang ke satu arah. Ia jadi ingat suaminya, hatinya
menjadi sangat berduka. Ia tidak lantas rebahkan diri, untuk setengah jam ia
masih duduk bercokol. Di akhirnya ia menghela napas panjang, habis padamkan api
lilin, baru ia tidur tanpa buka pakaian luar lagi, pedang pendeknya tergenggam
di tangannya.