Kwee Ceng tiada bilang apa-apa lagi, ia masuki resep ke dalam sakunya,
lantas ia berlalu dari hotel. Ia lari ke luar kota barat tanpa
menghiraukan salju berterbangan menyampok mukanya. Di sekitarnya yang
luas, ia tampak segala apa putih meletak, di sana tidak ada tapak-tapak
manusia. Sesudah hampir sepuluh lie, ia lihat sinar terang dari air
telaga. Karena hawa udara tidak sangat dingin, telaga itu tidak membeku,
salju jatuh ke air, lantas lumer. Adalah di tepian, di pepohonan, salju
melulu yang tampak.
Memandang ke sekitarnya, bocah ini menjadi heran. Tidak ada bayangan orang sekalipun.
“Apa mungkin dia sia-sia menanti aku dan dia lantas pergi duluan?” ia
berpikir. Tapi ia buka mulutnya, akan perdengarkan suara nyaring: “Oey
Hiantee! Oey Hiantee!”
Tidak ada jawaban, cuma dua ekor burung air yang terbang gelapakan di telaga.
“Oey Hiantee! Oey Hiantee!” ia memanggil pula, dengan hatinya yang
masgul. Tapi ia masih dapat berpikir; “Mungkin ia belum datang, maka
baiklah aku menunggu ia di sini…”
Maka ia lantas menantikan sambil ia pandangi keindahan telaga di musim salju itu.
Belum terlalu lama atau dari tengah telaga terdengar suara tertawa
halus, kapan Kwee Ceng menoleh, ia lihat sebuah perahu muncul dari
bagian telaga yang lebat dengan pepohonan. Itulah sebuah perahu kecil
dengan penumpangnya, yang duduk di belakang perahu, ada satu nona, yang
rambutnya panjang meroyot melewati pundak, bajunya putih mulus,
rambutnya di bagian atas ada pitanya dari emas, hingga emas itu
bercahaya di antara sinar putih dari salju.
Kwee Ceng mengawasi dengan menjublak. Ia dapatkan si nona bagaikan
bidadari. Orang berumur belum lima atau enambelas tahun, kulitnya putih
halus, romannya cantik sekali dan manis, mukanya dadu segar. Ia lantas
berpaling ke lain jurusan, tidak berani ia mengawasi terus-terusan. Ia
pun bertindak dari tepian.
Si nona mengayuh perahunya sampai ke pinggir telaga. “Kwee Koko, mari
naik ke perahu!” tiba-tiba dia memanggil. Dia menyebutnya “Kwee Koko”
(“Engko Kwee”).
Kwee Ceng terkejut. Ia dipanggil selagi ia menoleh ke lain jurusan.
Begitu ia menoleh, begitu ia tampak satu wajah yang manis sekali, sedang
tangan baju orang memain di antara sampokan angin. Ia berdiri menjublak
bagaikan orang yang tengah bermimpi, kemudian ia kucak-kucak matanya
dengan kedua tangannya.
“Bagaimana, eh, engko Kwee,” berkata pula si nona. “Apakah kau tidak kenal aku?”
Kwee Ceng perhatikan suara orang. Itulah suaranya Oey Yong, sahabat eratnya, sahabat sehidup semiati…….. !
Tapi sahabatnya itu adalah satu pemuda dengan muka kotor dan pakaian
compang-camping…. Kenapa sekarang tercipta menjadi satu bidadari?
Dalam kesangsiannya, bocah ini mengawasi dengan mendelong.
Nona itu tertawa. “Aku adalah Oey Hianteemu!” ia berkata. “Benarkah kau telah tidak kenali aku?”
Oleh karena ia menatap, Kwee Ceng kenali roman mukanya Oey Yong yang
alisnya lentik dan mulutnya mungil, cuma dandannya lain. “Kau…kau….”
katanya perlahan.
Oey Yong tertawa pula. “Sebenarnya aku adalah seorang wanita,” ia
berkata pula. “Siapa suruh kau panggil aku Oey Hiantee dan Oey Hiantee
tak sudahnya? Ayolah lekas naik ke perahu ini!”
Kwee Ceng sadar, lalu ia enjoti tubuhnya, lompat ke perahu itu. “Oey Hiantee…!” katanya.
Oey Yong tidak menyahuti, ia hanya kayuh perahunya ke telaga. Ia lantas sajikan bekalannya, barang makanan dan arak.
“Kita duduk disini, dahar dan minum arak sambil memandangi sang salju, bagus bukan?” katanya merdu.
Kwee Ceng mencoba akan menenangi diri. “Ah…aku tolol sekali!” katanya
kemudian. “Sampai sebegitu jauh, aku sangka kau adalah seorang pria!
Selanjutnya tidak dapat aku panggil lagi kau Oey Hiantee….”
Oey Yong tertawa. “Kau juga jangan panggil aku Oey Hian-moay,” ia
berkata. “Aku dipanggil Yong-jie. Ayahpun selalu memanggil aku begitu.”
Dengan sendirinya nona ini tidak menghendaki di panggil “Oey Hian-moay”
(“adik Oey”) dan menghendaki di sebut namanya saja. “Yong-jie” berarti
“anak Yong”.
Tiba-tiba Kwee Ceng ingat sesuatu. “Aku membekali kau tiamsim!” katanya
seraya terus kasih keluar tiamsim yang ia bawa dari istananya Wanyen
Kang. Cuma sekarang tiamsim itu sudah pusak-pesok tiada karuan.
Oey Yong mengawasi macamnya tiamsim yang tidak karuan itu, ia tertawa.
Merah mukanya Kwee Ceng, ia jengah. “Tiamsim ini tak dapat dimakan…” katanya. Ia ambil itu, untuk dilemparkan ke air.
Oey Yong sambar tiamsim itu. “Aku bisa makan!” katanya. “Aku doyan!”
Selagi si bocah tercengang, Oey Yong sudah menggayem tiamsim itu.
Kwee Ceng mengawasi, sampai ia mendadak menjadi heran sekali. Oey Yong
dahar tiamsim itu, lantas perlahan-lahan matanya menjadi merah, lalu air
matanya perlahan-lahan mengalir turun…
“Begitu aku dilahirkan, aku sudah tidak punya ibu,” berkata Oey Yong
yang dapat membade pikirannya sahabatnya. “Seumurku, belum pernah ada
orang yang ingat aku seperti kau ini…”
Air matanya mengalir deras, ia keluarkan sapu tangannya yang putih bersih.
Kwee Ceng menyangka orang hendak menyusuti air matanya, tak tahunya
dengan cara hati-hati nona itu bungkus sisa tiamsim yang kemudian ia
masuki ke dalam sakunya. “Aku akan dahar ini perlahan-lahan…” katanya,
dan kali ini ia tertawa.
Benar-benar aneh kelakuan bocah wanita ini, Kwee Ceng asing betul dengan tingkah lakunya ini “Oey Hiantee”.
“Bilangnya ada urusan penting yang kau hendak bicarakan dengan aku,
urusan apakah itu?” kemudian ia tanya. Ia sudah lantas ingat surat si
nona dan untuk apa ia datang ke telaga ini.
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti: “Aku panggil kau datang ke mari
untuk memberitahukan padamu bahwa aku bukannya Oey Hianteemu, hanya
Yong-jie. Apa ini bukannya urusan penting?”
Kwee Ceng tersenyum. Orang benar-benar jenaka. “Kau begitu manis untuk
dipandang, kenapa mulanya kau menyamar sebagai pengemis?” ia tanya.
Oey Yong melengos ke samping. “Kau bilang aku manis dipandang?” ia tanya.
“Manis sekali!” sahut si anak muda. “Kau mirip dengan bidadari dari puncak gunung salju!” Ia menghela napas.
Oey Yong tertawa pula. “Pernahkah kau melihat bidadari?” tanyanya.
“Aku belum pernah lihat. Kalau aku dapat menemui, mana aku masih hidup lagi…?”
Oey Yong heran. “Eh, kenapa begitu?” ia menegaskan.
“Sebab pernah aku dengar pembilangannya orang-orang tua, siapa dapat
melihat bidadari, dia tidak bakal kembali ke tanah datar, untuk
selamanya ia akan duduk bengong saja di gunung salju, lalu lewat
beberapa hari, dia akan mati beku….”
Oey Yong tertawa pula. “Sekarang kau melihat aku, kau bakal bengong saja atau tidak?” tanyanya kemudian.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. “Kita toh sahabat-sahabat kekal, kita lain…”
Oey Yong menganggguk. Lalu ia berkata dengan sungguh-sungguh: “Aku tahu
kau baik hati dengan sesungguhnya, terhadap aku, tidak peduli aku pria
atau pun wanita, biar pun aku bagus atau jelek.” Ia berhenti sebentar.
“Dengan dandananku ini, kalau orang bersikap baik terhadap aku, apakah
anehnya? Di waktu aku menjadi pengemis, kau baik sekali dengan aku, nah
itu barulah sahabat sejati.” Ia rupanya sangat girang, sembari tertawa
ia kata pula: “Aku ingin bernyanyi untukmu, sukakah kau mendengarnya?”
“Apakah tidak boleh besok saja kau bernyanyi?” Kwee Ceng minta. “Sekarang ini aku mesti pergi beli obat untuk Ong Totiang.”
Kwee Ceng lantas tuturkan tentang adu kepandaian di istana Chao Wang,
sampai Ong Cie It, yang melindungi ia, mendapat luka parah, bahwa
sia-sia belaka ia mencari obat.
Oey Yong mengawasi, ia tertawa. “Aku pun heran sekali menyaksikan kau
lari mondar-mandir di jalan besar dan memasuki rumah obat dari yang satu
kepada yang lain, entah kau bikin apa, tidak tahunya kau hendak membeli
obat,” katanya.
Kwee Ceng menduga, selagi ia lari mondar-mandir, Oey Yong tentu telah
mengintai padanya tetapi ia tidak tahu, kalau tidak, niscaya nona itu
tidak ketahui ia tinggal di hotel mana.
“Oey Hiantee,” katanya kemudian, “Apakah boleh pinjam kuda merahmu yang kecil untuk aku pergi membeli obat?”
Oey Yong menatap. “Ketahuilah!” katanya. “Kesatu, aku bukannya si Oey
Hiantee! Kedua, kuda merah yang kecil itu adalah kepunyaanmu! Apakah kau
sangka benar-benar aku menghendaki kudamu itu? Aku melainkan lagi
menguji hatimu. Ketiga, di tempat sekitar ini, belum tentu kau dapat
mencari obat itu…!”
Kwee Ceng berdiam, hatinya pepat. Ia bingung sekali. Dugaan si nona nyata cocok betul dengan dugaannya Ong Cie It.
Oey Yong tertawa. “Sekarang aku nyanyai, kau dengari!” dia kata. Lalu
kedua bibirnya yang merah tergerak terbuka, segera lidahnya bergerak,
memperdengarkan nyanyiannya yang halus dan merdu.
Kwee Ceng mendengari dengan hati kesengsem walaupun tidak mengerti jelas
artinya nyanyian itu, hatinya menjadi goncang. Seumurnya belum pernah
ia peroleh pengalaman ini.
“Inilah nyanyian Sui Ho Sian dari Sin Tayjin,” kata Oey Yong perlahan habis ia nyanyi. “Bagaimana kau bilang, bagus atau tidak?”
“Aku kurang mengerti tetapi didengarnya menarik hati,” Kwee Ceng menjawab. “Siapa itu Sin Tayjin?”
“Dialah Sin Kee Cie,” sahut Oey Yong. “Menurut ayahku dialah satu
pembesar jempolan yang menyinta negara dan rakyat. Ketika dulu hari
utara Tionggoan terjatuh ke dalam tangan bangsa Kim dan Gak Bu Bok
terbinasa di tangan dorna, tinggal Sin Tayjin sendiri yang masih berdaya
untuk merampas pulang daerah-daerah yang terhilang itu.”
Kwee Ceng tahu kekejaman bangsa Kim dari penuturan ibunya, karena ia
hidup di Mongolia, ia kurang tahu. Ia kata: “Belum pernah aku pergi ke
Tionggoan, maka hal ini baik nanti saja perlahan-lahan kau tuturkan
padaku. Sekarang kita mesti pikirkan daya mencari obat untuk Ong
Totiang.”
“Kau dengar aku,” berkata Oey Yong. “Kita pesiar dulu disini, tak usah kau cemas tidak karuan.”
“Ong Totiang bilang, kalau dalam tempo dua belas jam ia tidak dapat obat, ia bisa celaka,” Kwee Ceng jelaskan.
“Aku tanggung, kau akan dapatkan obat itu,” si nona bilang.
Mendengar si nona bicara dengan sungguh-sungguh dan juga percaya orang
memang ada terlebih pandai dan cerdik dari padanya, Kwee Ceng dapat juga
melegakan hatinya.
“Mungkin ia tidak akan membikin gagal,” pikirnya. Maka ia lantas layani
si cantik itu minum arak dan dahar makanan sambil mereka pasang omong.
Dengan gembira, dan secara menarik hati, Oey Yong tuturkan bagaimana
caranya ia menggantung Hong Ho Su Koay, bagaimana ia ganggu Hauw Thong
Hay sampai si Ular Naga Kepala Tiga itu mendongkol bukan main.
“Bagus!” seru Kwee Ceng saking gembira.
“Memang bagus!” kata si nona. Dan keduanya bertepuk tangan.
Tanpa merasa sang tempo telah berlalu, Oey Yong lihat bagaimana secara
perlaha-lahan sang mega atau kabut mulai menutupi air telaga yang putih.
Dengan perlahan sekali ia ulur tangannya, terus ia genggam tangannya si
Kwee Ceng, sembari berbuat begitu ia kata dengan perlahan: “Sekarang
aku tidak takut apa juga…!”
“Kenapa?” menanya si anak muda dengan heran.
“Taruh kata ayah tidak menginginkan aku, kau tentunya sudi aku ikuti
kau, bukankah?” si nona tanya tanpa ia menyahuti pertanyaan orang.
“Pasti!” jawab Kwee Ceng sungguh-sungguh. “Aku sendiri, belum pernah aku bergembira seperti sekarang ini!”
Oey Yong membawa tubuhnya mendekati dada si pemuda dan menempelkannya,
maka Kwee Ceng lantas saja merasakan ia bagai terkurung bau harum, bau
yang meliputi juga antero telaga, seluruh langit dan bumi……
Tanpa mengucap sepatah kata, keduanya saling berpegang tangan…..
Lagi sekian lama, tiba-tiba Oey Yong menghela napas. “Tempat ini sungguh indah, sayang kita bakal meninggalkannya…” katanya.
“Kenapa begitu?” Kwee Ceng tanya. Ia heran.
“Bukankah kita harus mencari obat untuk menolongi Ong Totiang?” sahut si nona.
Kwee Ceng sadar, ia menjadi girang sekali. “Ah, ke mana kita mencarinya?”
“Ke manakah perginya itu beberapa rupa obat yang dibutuhkan, yang tidak berada di rumah-rumah obat?” Oey Yong menanya.
“Tentulah semua itu dibeli oleh orangnya Chao Wang,” menyahut Kwee Ceng.
“Benar!” berkata si nona.
“Tetapi tidak dapat kita pergi ke sana!” Kwee Ceng bilang. “Pergi ke sana artinya kita mengantari jiwa kita…”
“Habis apakah kau tega membiarkan Ong Totiang menjadi bercacad seumur
hidupnya?” Oey Yong tanya. “Jangan-jangan, karena lukanya itu berubah
menjadi berbahaya, ia pun bisa hilang jiwanya….”
Darahnya Kwee Ceng bergolak. “Baik, aku akan pergi!” ia bilang. “Tapi kau jangan turut…”
“Jangan turut? Kenapakah?” tanya si nona.
Kwee Ceng berdiam. Ia tidak punyakan alasan untuk kata-katanya itu.
Oey Yong mengawasi. “Engko yang baik,” katanya perlahan. “Kau
kasihanilah aku. Umpama kata kau menemui bencana, apakah kau sangka aku
dapat hidup seorang diri saja?”
Kwee Ceng menjadi sangat bersyukur dan bergirang. “Baiklah!” katanya kemudian. “Mari kita pergi bersama!”
Keduanya lantas mengayuh, membuatnya perahu mereka ke pinggir, setelah
mendarat, mereka menuju langsung ke istana Chao Wang, ke arah belakang.
Mereka memasuki pekarangan dengan melompati tembok.
“Engko Ceng, sempurna sekali ilmu ringan tubuhmu!” Oey Yong memuji
selagi si anak muda mendekam di kaki tembok untuk memasang kuping dan
mata.
Mendengar pujian itu, Kwee Ceng gembira bukan main. Merdu sekali suara si nona.
Tak lama, mereka mendapat dengar tindakan kaki dibarengi sama suara bicara sambil tertawa. Mereka menutup mulut.
“Siauw-ongya mengurung si nona di sini, kau tahu untuk apa?” terdengar seorang menanya. “Siauw-ongya” itu ialah pangeran muda.
“Buat apa lagi!” tertawa orang yang kedua. “Si nona ada demikian cantik!
Sejak kau dilahirkan, pernahkah kau melihat nona secantik itu?”
“Kau hati-hati, sahabat!” kata yang pertama, “Melihat macammu ini, hati-hatilah, nanti siauw-ongya kutungi batang lehermu…”
Kwee Ceng lantas berpikir: “Kiranya Wanyen Kang sudah punya pacar maka
juga ia tidak sudi nikahi nona Bok. Dalam hal ini, dia tidak dapat
disesalkan. Cuma mengapa ia mengurung nona itu? Mustahilkah si nona
menolak dan ia hendak gunai kekerasan untuk memaksa?”
Dua orang itu sudah lantas datang dekat sekali, yang satu membawa tengloleng, yang lainnya menenteng barang makanan.
Yang membawa makanan itu berkata pula sambil tertawa: “Siauw-ongya aneh!
Dia mengurung orang, dia juga khawatir orang kelaparan! Lihat, sudah
malam begini dia masih suruh mengantarkan barang makanan….”
“Jikalau tidak berlaku manis budi, mana dia dapat merampas hati si nona?” berkata yang membawa lentera.
Lantas mereka lewat, suara tertawa mereka masih terdengar.
“Mari kita lihat!” berbisik Oey Yong, yang hatinya menjadi tertarik. “Sebenarnya bagaimana sih cantiknya orang itu…”
“Lebih perlu kita mencari obat,” Kwee Ceng bilang.
“Aku ingin lihat dulu si cantik!” kata Oey Yong, yang tertawa.
Kwee Ceng heran sekali. “Apa sih bagusnya orang perempuan untuk
dilihat?” katanya dalam hati. Ia tidak menginsyafi sifat wanita. Kalau
satu nona mendengar ada nona cantik lainnya, sebelum melihatnya, hatinya
tidak nanti puas, kalau dia sendiri cantik, lebih keras lagi
keinginannya melihatnya itu. “Ah, dasar anak kecil….!”
Luas pekarangan dalam dari gedung Chao Wang itu. Mereka berdua berjalan
berliku-liku menguntit dua hamba tadi. Mereka tiba di depan sebuah
gedung besar yang gelap, tapi ada yang jaga. Mereka lantas umpatkan
diri, untuk mendengari kedua kacung itu bicara sama penjaga rumah itu,
yang ialah seorang serdadu. Dia ini lantas membuka pintu, untuk
mengijinkan orang masuk.
Oey Yong cerdik. Ia menjumput sebutir batu, dengan itu ia menimpuk
lentera orang, hingga apinya lentera itu padam seketika, membarengi mana
ia tarik tangan si anak muda, untuk diajak berlompat masuk ke pintu.
Kedua kacung dan serdadu itu tidak menduga jelek, mereka cuma menyangka
batu jatuh dari atas. Sembari mengutuk, mereka nyalakan pula lenteranya.
Setelah membuka sebuah pintu dalam yang kecil, berdua mereka masuk
lebih jauh.
Oey Yong dan Kwee Ceng menempatkan diri di sebelah belakang, dengan
hati-hati mereka menguntit pula, sampai mereka berada di depan sebuah
ruang seperti kerangkeng binatang liar, jerujinya semua besi kasar. Di
dalam situ ada dua orang, terlihat samar-samar seperti pria dan wanita.
Satu bujang lantas memasang lilin, yang mana ia masuki ke dalam
kerengkeng. Maka sekarang terlihat tegaslah dua orang yang terkurung
itu. Mengenali mereka, Kwee Ceng terkejut. Mereka adalah Bok Ek serta
gadisnya, yang tadi siang mengadakan pibu mencari jodoh. Bok Ek
nampaknya tengah bergusar. Liam Cu duduk di samping ayahnya dengan
kepala tunduk.
“Bagaimana dengan Wanyen Kang? Sebenarnya dia sukai nona ini atau tidak?” Kwee Ceng beragu-ragu.
Kedua bujang itu memasuki barang makanan berikut araknya. Bok Ek sembat
sebuah mangkok, terus ia lemparkan. Ia berseru: “Aku telah terjatuh ke
dalam tipumu yang busuk, kalau kau hendak membinasakan, binasakanlah!
Buat apa kamu berpura-pura menaruh belas kasihan?!”
Belum sampai si bujang membilang apa-apa, di sebelah luar terdengar
suaranya serdadu penjaga pintu yang tadi: “Siauw-ongya baik?”
Mendengar itu, Kwee Ceng dan Oey Yong berpaling, lalu lekas-lekas mereka mencari tempat sembunyi.
Segera juga terdengar suara membentak dari Wanyen Kang, yang datang
dengan tindakan lebar: “Siapa yang membikin Bok Lo-enghiong gusar? Awas,
sebentar aku hajar patah kaki anjingmu!”
Kedua hamba itu lantas bertekuk lutut. “Hambamu tidak berani…” berkata mereka.
“Lekas berlalu!” membentak pula si pangeran.
“Ya, ya…” menyahuti kedua hamba itu, yang berlalu dengan cepat. Hanya
setibanya mereka di pintu luar, mereka saling mengawasi dengan
mengulurkan lidahnya masing-masing…..
Wanyen Kang tunggu sampai orang telah merapatkan daun pintu, ia hampiri Bok Ek dan gadisnya.
“Jiwi silahkan kemari!” ia berkata, suaranya sabar sekali. “Aku hendak
membilangi sesuatu kepada kamu, harap kamu jangan salah mengerti.”
“Kau telah kurung kami sebagai pesakitan, apakah artinya undanganmu ini?!” Bok Ek menegur. Ia gusar sekali.
“Maafkan aku, menyesal sekali,” berkata Wanyen Kang. “Untuk sementara
aku minta jiwi harap bersabar. Aku pun merasa tak enak hati.”
“Kau boleh akali bocah umur tiga tahun!” Bok Ek membentak pula. “Aku tahu baik sifatnya kamu orang besar! Hm!”
Wanyen Kang hendak bicara pula, saban-saban ia terhalang oleh bentakan
orang tua itu, tetapi ia sabar luar biasa, sebaliknya dari bergusar, ia
tertawa.
“Ayah, coba dengar dulu apa ia hendak bilang,” akhirnya Liam Cu berkata dengan perlahan.
“Hm!” orang tua itu perdengarkan suara di hidungnya.
“Nona seperti putrimu, mustahil aku tidak sukai dia” berkata Wanyen Kang.
Mendengar itu, wajahnya Liam Cu menjadi merah, ia tunduk lebih rendah.
“Hanyalah aku adalah satu pangeran dan aturan rumah tanggaku keras
sekali,” Wanyen Kang berkata pula. “Umpama kata orang mendapat tahu aku
mempunyai mertua seorang kangouw, bukan cuma ayahku bisa memarahinya,
malah ada kemungkinan sri baginda juga nanti menegur ayahku itu…”
“Habis kau mau apa?” menanya Bok Ek. Ia anggap orang bicara beralasan juga.
“Sekarang ini aku mau minta jiwi berdiam dulu beberapa hari di sini,
untuk sekalian merawat lukamu,” sahut pangeran itu. “Setelah itu barulah
kamu pulang ke kampung halamanmu. Nanti, selang satu atau setengah
tahun, setelah suasana sudah reda, akan aku nikahi putrimu ini, baik
dengan jalan aku pergi menjemput ke rumahmu atau dengan minta locianpwee
datang ke mari. Tidakkah itu lebih bagus?” kata pangeran ini lebih
lanjut.
Bok Ek berdiam. Ia tengah memikir satu hal lain.
“Peristiwa ini bisa merembet ayahku,” Wanyen Kang berkata pula, sambil
tertawa. “Oleh karena kenakalanku, beberapa kali ayah pernah ditegur sri
baginda raja, maka kalau urusan ini sampai didengar oleh sri baginda,
pastilah pernikahan ini gagal. Maka itu aku minta sukalah locianpwee
menyimpan rahasia.”
Bok Ek gusar. “Menurut caramu ini!” katanya sengit, “Kalau nanti anakku
menikah sama kamu, untuk seumur hidupnya ia mesti main
sembunyi-sembunyi! Dia jadinya bukan satu istri yang terang di muka
umum!”
“Dalam hal ini pastilah aku akan mengatur lainnya,” Wanyen Kang memberi
keterangan. “Sekarang pun aku sudah pikir nanti minta perantaraannya
beberapa menteri sebagai orang pertengahan, supaya kita nanti menikah
secara terhormat….”
Wajahnya Bok Ek berubah. “Kalau begitu, pergi kau panggil ibumu datang
ke mari,” katanya. “Aku ingin kita omong depan berdepan dan secara terus
terang!”
Wanyen Kang tersenyum. “Mana dapat ibuku menemui locianpwee?” katanya.
“Jikalau aku tidak dapat bicara dengan ibumu, biar bagaimana, tidak sudi
aku melayani kamu!” kata Bok Ek kaku, tangannya menyambar sepoci arak,
yang dia timpukkan di antara jeruji besi.
Bok Liam Cu kaget dan berduka menyaksikan sikap ayahnya ini. Sebenarnya,
semenjak memulai bertanding sama pangeran itu, ia telah menaruh hati,
maka juga ia senang mendengar pembicaraannya si anak muda yang ia anggap
beralasan. Ia tidak sangka, ayahnya telah ambil sikapnya yang tegas
itu.
Wanyen Kang geraki tangannya menyambar poci arak itu, terus ia letaki
itu ditempatnya, di atas meja. “Menyesal tidak dapat aku menemani lebih
lama,” katanya. Ia tertawa dan memutar tubuhnya untuk berlalu.
Kwee Ceng anggap omongannya Wanyen Kang beralasan. Bukankah si pangeran
ada kesulitannya sendiri? Maka itu, menyaksikan kemurkaannya Bok Ek, ia
lantas berpikir; “Baiklah aku bujuki ia…” Ia lantas geraki tubuhnya,
untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi ia tidak dapat wujudkan
apa yang ia pikirkan itu. Oey Yong telah tarik tangan bajunya, untuk
ajak ia ke luar.
“Apakah sudah diambil?” mereka lantas dengar suaranya Wanyen Kang, yang bicara sama satu hambanya.
“Sudah,” sahut si hamba, yang terus angkat sebelah tangannya. Nyata ia
mencekal seekor kelinci. Wanyen Kang menyambuti dengan kedua tangannya,
tiba-tiba saja ia patahkan kedua kakinya kelinci itu, yang ia terus
masuki ke dalam sakunya, setelah mana ia bertindak dengan cepat.
Binatang itu berpekik satu kali, lalu kelengar.
Dua-duanya Oey Yong dan Kwee Ceng heran sekali. Mereka lantas kuntiti
pangeran itu, yang jalan memutari sebuah pagar bambu, setelah mana
terlihatlah sebuah rumah tembok putih yang kecil. Itulah rumah bermodel
rumah rakyat di Kanglam. Maka heran, di dalam pekarangan istana
mentereng itu ada sebuah rumah yang begini sederhana. Maka mereka jadi
bertambah heran.
Wanyen Kang menolak pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.
Dengan lekas Kwee Ceng berdua lari ke jendela untuk memasang kuping
sambil mengintai di sela-sela jendela itu. Mereka percaya mesti ada
sebabnya perbuatan yang aneh dari si pangeran itu.
“Ma!” mereka lantas dengar suara si pangeran.
“Ya..!” demikian suara penyahutan perlahan, suaranya seorang wanita.
Wanyen Kang lantas masuk ke dalam kamar.
Untuk bisa melihat, Kwee Ceng berdua menghampirkan sebuah jendela lain.
Maka mereka lantas tampak satu nyonya tengah berduduk di pinggiran meja,
sebelah tangannya menunjang dagu, matanya mendelong. Dia belum berumur
empatpuluh tahun dan mukanya cantik sekali. Di rambut dekat kupingnya
dia memakai setangkai bunga putih. Pakaiannya semua terdiri dari kain
kasar.
“Mama, apakah hari ini kau kurang sehat?” tanya Wanyen Kang seraya pegangi tangan si nyonya.
Nyonya itu menghela napas. “Bukankah aku tak berlega hati untukmu?” sahutnya.
Wanyen Kang senderkan diri di tubuh nyonya itu, yang ia panggil ibu, agaknya ia manja sekali.
“Ma, bukankah anakmu berada di sini?” katanya, aleman. “Toh aku tidak kekurangan walaupun sebelah kakiku…?”
“Kau mengacau, kalau ayahmu dengar itu, masih tidak apa,” berkata si ibu
itu, “Tetapi gurumu? Bagaimana kalau ia mendengar kabar? Tidakkah
hebat?”
“Ma,” berkata si pangeran, tertawa, “Tahukah kau siapa imam itu yang datang menyela untuk menolongi orang?”
“Siapakah imam itu?”
“Dialah adik seperguruan dari guruku…”
“Celaka!” berseru si nyonya kaget. “Pernah aku melihat gurumu di saat ia
tengah murka! Dia dapat membunuh orang! Sungguh menakutkan…!”
Wanyen Kang agaknya heran. “Pernah mama melihat suhu membunuh orang?” dia tanya. “Di manakah itu? Kenapa suhu membunuh orang?”
Nyonya itu angkat kepalanya, memandang lilin. Ia agaknya tengah memikir
jauh. “Itulah sudah lama, sudah lama,” katanya kemudian dengan perlahan.
“Ah, kejadian dahulu hari itu hampir aku lupa….”
Wanyen Kang tidak menanyakan lebih jauh, sebaliknya dengan gembira, ia
kata; “Ong Susiok itu telah mendesak aku, menanyakan bagaimana urusan
pibu hendak diselesaikan. Aku telah menjanjikan untuk menerima baik.
Asal si orang she Bok itu datang, apa yang diatur, aku terima baik.”
“Apakah kau sudah bicara dengan ayahmu?” tanya si nyonya itu. “Bersediakah dia akan memberikan perkenannya?”
Wanyen Kang tertawa. “Ma, kau memang baik sekali!” katanya. “Dari
siang-siang telah aku perdayakan orang she Bok itu dan gadisnya datang
ke mari, sekarang mereka ditahan di kerangkeng di belakang sini. Mana
Ong Susiok dapat mencari mereka?”
Selagi si pangeran ini demikian gembira, Kwee Ceng sebaliknya bertambah
kemendongkolannya dan kemurkaannya. Kata pemuda ini dalam hatinya; “Aku
menyangka dia bermaksud baik, siapa tahu ia sebenarnya sangat licik!”
Si wanita pun tidak setujui putranya itu. “Kau telah permainkan anak
dara orang,” katanya kurang senang, “Kau juga kurung mereka di sini.
Apakah artinya itu? Pergi lekas kau merdekakan mereka! Kau berikan
mereka uang, kau menghanturkan maaf, lantas kau persilahkan mereka
pulang ke kampung halaman mereka.”
Kwee Ceng mengangguk-angguk. Ia setujui sikap nyonya itu. “Begitu baru benar,” pikirnya.
Wanyen Kang tetap tertawa. “Ma, kau belum tahu,” katanya. “Orang kangouw
seperti mereka tidak memandang uang! Jikalau mereka dilepaskan, setelah
merdeka, tentu mereka akan buka suara lebar-lebar. Kalau itu sampai
terjadi, bagaimana suhu bisa tak ketahui urusan ini?”
“Habis, apakah kau hendak kurung mereka seumur hidup mereka?” tanya si nyonya.
Putra itu tetap tertawa. “Akan aku bicara baik-baik dengan mereka, nanti
aku perdayakan hingga mereka suka pulang ke kampung halaman mereka,” ia
bilang. “Biarlah di sana mereka menanti-nanti hingga mereka putus
asa…”. Lantas ia tertawa terbahak.
Kembali bangkit hawa amarahnya Kwee Ceng, hingga ia ayun sebelah tangannya ke daun jendela dan mulutnya pun hendak dibuka.
“Jangan turuti adat…!” demikian ia dengar bisikan di kupingnya,
berbareng dengan mana sebuah tangan yang halus menutup mulutnya dan
tangan yang lain menarik tangannya. Merdu bisikan itu……
Cuma sejenak itu, pemuda ini insyaf akan kekeliruannya, maka ia menoleh
kepada si nona manis di sisinya dan bersenyum. Karena itulah Oey Yong
yang mencegah padanya. Kemudian ia mengintai pula ke dalam kamar.
“Tua bangka she Bok itu sangat licin,” terdengar pula suaranya Wanyen
Kang. “Telah aku bujuki dia, dia tak mau makan umpan. Maka biarlah dia
ditahan lagi beberapa hari, untuk lihat akhirnya dia suka menurut atau
tidak.”
“Aku lihat nona itu bagus romannya dan gerak-geriknya, aku suka dia,”
berkata si nyonya. “Aku pikir hendak bicara dengan ayahmu, supaya kau
diijinkan menikah dengannya. Bukankah dengan begitu selesai sudah
semuanya?”
“Ah, mama, ada-ada saja!” berkata sang putra sambil tertawa. “Kita dari
keluarga apa? Cara bagaimana aku bisa menikah dengan satu nona kangouw?
Ayah sering bilang padaku bahwa dia hendak mencarikan satu jodoh dari
keluarga agung. Sayangnya ialah ayah bersaudara dengan raja yang
sekarang…”
“Apakah yang dibuat sayang?” nyonya itu bertanya.
“Sebab,” menyahut sang putra, “Kalau tidak, pasti aku akan mendapatkan putri raja dan aku bakal menjadi menantu raja!”
Nyonya itu menghela napas, ia tak bicara lagi.
“Ma, ada satu lagi hal yang lucu,” Wanyen Kang berkata pula, tak
ketinggalan tertawanya. “Tua bangka she Bok itu bilang ingin bertemu
sama kau, ingin dia bicara sendiri, untuk mendapat kepastian, setelah
itu barulah dia mau mempercayai aku.”
“Tidak nanti aku bantui kau memperdayakan orang, itulah perbuatan yang tidak baik!” berkata pula si ibu.
Wanyen Kang tertawa geli, ia jalan mondar-mandir di dalam kamar.
Oey Yong dan Kwee Ceng dapat kesempatan memperhatikan kamar itu. Semua
meja dan kursi terbuat dari kayu kasar. Pembaringan serta
perlengkapannya mirip dengan kepunyaan kebanyakan petani di Kanglam,
semua kasar dan jelek. Di tembok ada tergantung tombak serta sebuah
pacul. Di pojokan ada sebuah mesin tenun. Maka, menyaksikan semua itu,
mereka menjadi heran.
“Wanita ini mulia sebagai selir, mengapa ia tinggal dalam kamar dengan perlengkapan semacam ini?” mereka itu berpikir.
Justru itu Wanyen Kang menekan ke dadanya, ke sakunya, lalu terdengar dua kali pekikan perlahan.
“Eh, apakah itu?” sang ibu tanya.
“Oh, hampir aku lupa!” sahut putranya itu, agaknya ia terperanjat. “Tadi
di tengah perjalanan pulang aku melihat seekor kelinci yang terluka,
aku bawa dia pulang. Mama, coba kau tolong obati dia…”
Ia lantas keluarkan kelinci putih itu, diletaki di atas meja. Dengan kakinya patah, binatang itu tidak dapat jalan.
“Anak yang baik!” berkata si nyonya. Ia lantas mencari obat, untuk mengobati kelinci itu.
Lagi-lagi darahnya Kwee Ceng bergolak. Ia sungguh membenci orang punya
kelicinan dan kekejaman itu, terutama untuk memperdayakan seorang ibu
yang hatinya demikian mulia. Tidakkah binatang yang harus dikasihani itu
sengaja disakiti? Bukankah ibu telah didustai, untuk mengobati binatang
yang sengaja disiksa? Kalau terhadap ibu sendiri saja ia mendusta
demikian, maka bisalah diketahui buruknya sifat anak itu.
Oey Yong yang tubuhnya menempel sama tubuh si anak muda merasakan tubuh
orang bergemetar. Ia menginsyafi bahwa orang ada sangat gusar. Tentu
saja ia khawatir kawan ini meluap hawa amarahnya itu hingga Wanyen Kang
bisa pergoki mereka. Ia lantas pegang tangannya si pemuda itu, yang ia
tarik untuk diajak mengundurkan diri.
“Jangan pedulikan dia, mari kita pergi cari obat,” bisiknya.
“Tahukah kamu obat itu disimpan di mana?” Kwee Ceng tanya.
Nona itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu,” sahutnya. “Mari kita cari…”
Kwee Ceng bersangsi. Di mana mesti mencari obat di istana demikan besar?
Bukankah berbahaya kalau mereka kepergok See Thong Thian atau lainnya?
Ia tidak sempat berpikir lama-lama. Pikirannya itu berhenti secara
tiba-tiba. Sebab kupingnya segera mendengar orang mengoceh seorang diri
dan di depan matanya berkelebat sinar api.
“Anak yang manis, kalau kau tidak mencintai aku, kau mencintai siapa lagi? Maka, kau kasihanilah aku…”
Sembari perdengarkan suaranya yang berlagu, terlihatlah seorang bertindak dengan perlahan-lahan. Dia mencekal sebuah tenglong.
Selagi Kwee Ceng hendak menyembunyikan diri di belakang sebuah pohon,
Oey Yong justru maju memapak orang itu, hingga ia menjadi tercengang,
lalu lantas saja ia diam bagai patung, hatinya goncang keras. Oey Yong
telah ancam dia dengan sebatang pisau belati.
“Siapa kau?” si nona menanya, membentak tapi perlahan.
Orang itu kaget dan ketakutan, selang beberapa detik baru ia dapat
menyahuti, suaranya tidak lancar. Ia adalah pengurus surat-surat di
istana itu.
“Kau menjadi pengurus, bagus!” kata si nona. “Di mana disimpannya
obat-obatan yang hari ini pangeranmu yang muda menitahkan orang
membeli?!”
“Semua itu siauw-ongya yang simpan sendiri, aku…aku tidak tahu…”
Oey Yong cekal tangan orang dengan tangan kirinya untuk memencet, sedang
ujung pisaunya ditempel kepada kulit leher. Orang itu kesakitan akan
tetapi ia tidak berani berteriak.
“Kau hendak bilang atau tidak?!” si nona mengancam.
“Benar-benar aku tidak tahu….” jawab orang itu dengan gugup.
Oey Yong kerahkan tenaga di tangan kirinya itu, lalu dengan menerbitkan
suara membeletak, patahlah tangan kanan si pengurus itu. Ia buka
mulutnya, untuk berteriak tetapi dengan cepat si nona sambar kopiah
orang, untuk dipakai menyumbat mulutnya. Maka hanya sekali saja dia itu
mengasih dengar suara keras tertahan, lalu ia roboh dengan pingsan.
Kwee Ceng tidak menyangka satu nona demikian cantik dan halus
gerak-geriknya dapat berbuat demikian telengas, ia menjadi tercengang,
tak dapat ia membilang apa-apa.
Oey Yong menotok dua kali kepada iganya pengurus istana itu, lantas ia
sadar. Ia tarik kopiah orang, untuk dibelesaki ke kepalanya.
“Apakah kau ingin tangan kirimu pun dipatahkan?” ia tanya.
Pengurus itu lantas saja menangis, ia menjatuhkan diri berlutut. “Dengan
sebenarnya aku tidak tahu, percuma umpama nona membunuh aku,” katanya.
Sekarang Oey Yong mempercayainya, tetapi ia kata: “Sekarang pergi kau
kepada pengeranmu itu, bilang bahwa kau jatuh dan patah tanganmu. Kau
kasih tahu bahwa tabib membilang kau perlu obat hiat-kat, gu-cit,
thim-tha dan bu-yok. Obat itu semua tak dapat dibeli di kota raja ini,
maka kau mintalah kepada pangeran itu.”
Pengurus itu sudah membuktikan si nona tidak pernah main gila, ia suka menurut.
“Siauw-ongya ada pada ibunya, lekas-lekas kau pergi padanya!” Oey Yong
bilang. “Aku akan ikuti padamu. Jikalau kau tidak dengar aku dan sengaja
kau membuka rahasia, akan aku patahkan batang lehermu, akan aku korek
matamu!”
Tubuhnya orang itu bergemetar, ia merayap bangun, lalu dengan menggertak
gigi, menahan sakit, ia lari ke arah kamarnya onghui, si selir.
Wanyen Kang masih ada pada ibunya, mereka masih pasang omong. Ia heran
ketika ia lihat datangnya pengurus itu, yang bermandikan peluh dan air
mata, dengan separuh mewek dia mohon diberi obat. Dia mengaku seperti
ajarannya Oey Yong.
“Kasihlah dia obat!” berkata onghui, yang hatinya lemah. Ia lihat muka orang berpucat-pasi dan ia merasa kasihan.
Wanyen Kang mengkerutkan alisnya. “Semua obat itu ada pada Nio Losianseng,” katanya. “Pergi kau mengambil sendiri!”
“Tolong ongya memberikan sehelai surat,” si pengurus meminta.
Onghui itu sudah lantas sediakan perabot tulisnya. Wanyen Kang menulis
beberapa kata-kata, untuk si Nio Losianseng, ialah Thio Cu Ong.
Pengurus itu mengangguk-angguk mengucapkan terima kasihnya.
“Lekas kau pergi!” menitah onghui. “Sebentar sesudah sembuh baru kau haturkan terima kasihmu!”
Pengurus itu lantas saja bertindak keluar. Ia baru jalan beberapa tindak, atau pisau belati telah tertanda di pundaknya.
“Pergi kepada Nio Losianseng!” menitah Oey Yong separuh berbisik.
Orang itu berjalan, baru beberapa puluh tindak, ia sudah terhuyung, rupanya tak sanggup ia menahan rasa sakitnya.
“Sebelum kau dapatkan obat itu, jangan harap jiwamu selamat!” si nona mengancam pula.
Kaget hamba itu, ia mengeluarkan keringat dingin, entah dari mana,
datanglah tenaga kekuatannya, maka dapat ia berjalan terus. Sekarang ia
jalan dengan menemui beberapa hamba lainnya, mereka itu lihat ia diikuti
si nona dan pemuda, mereka itu heran tetapi tidak ada di antara mereka
yang menanya apa-apa.
Tiba di kamarnya Nio Cu Ong, pintu kamar tertutup terkunci. Pengurus itu
tanya satu hamba, ia dapat jawaban bahwa Nio Losianseng lagi menghadari
perjamuannya pengeran di ruang Hoa Cui Kok.
Kwee Ceng lantas merasa kasihan menampak orang seperti tidak kuat jalan,
ia lantas mencekal tubuh orang, untuk dipepayang. Bersama-sama mereka
menuju ke tempat pesta itu.
“Berhenti! Siapa kamu!” Itulah teguran oleh dua orang, yang memapaki
sekira beberapa tindak dari Hoa Cui Kok. Mereka itu masing-masing
memegang golok dan cambuk.
“Aku hendak menemui Nio Losianseng,” sahut si pengurus, yang perlihatkan
suratnya siauw-ongya. Dia lantas dikasih lewat. Ketika Kwee Ceng dan si
nona ditanya, pengurus itu mendahului menerangkan, “Mereka kawan kita.”
Oey Yong berlaku tenang. Ia kenali dua orang itu, ialah dua dari keempat
Hong Ho Su Koay, yaitu Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong. Mereka ini
sebaliknya tidak mengenali orang, yang telah dandan sebagai asalnya,
seorang nona. Hanya melihat Kwee Ceng, mereka tercengang, lantas mereka
mau seraya angkat tangan mereka. Tapi sejenak itu, tidak dapat mereka
menyerang dengan golok dan cambuk mereka. Tiba-tiba saja iga mereka
kaku. Karena dengan kesebatannya yang luar biasa, Oey Yong sudah totok
mereka.
Kwee Ceng kagum bukan main. Ia berada di samping si nona tetapi ia tak
sempat melihat gerakan tangan orang. Mendadak ia mengingat kejadian di
rumah makan di Kalgan, tempo kawanan nona-nona serba putih hendak rampas
kudanya, tahu-tahu mereka itu roboh tanpa berkutik.
“Pastilah mereka telah terkena tangan lihay dari si Yong ini,” pikirnya lebih jauh.
“Eh, kau pikirkan apa?” menegur si nona sambil tertawa menampak orang
termenung. Ia lantas saja tarik Sim Ceng Kong dan Ma Ceng Hiong ke
belakang pot-pot kembang, untuk disembunyikan, kemudian ia tarik tangan
si pemuda, untuk menyusul si pengurus.
Di depan Hoa Cui Kok, Oey Yong tolak tubuh si pengurus, untuk ia masuk,
ia sendiri bersama Kwee Ceng lantas lompat naik ke payon, guna mengintai
dari jendela, hinngga mereka dapat melihat jelas ke dalam.
Terang sekali ruang dalam itu di mana ada sebuah meja penuh dengan
pelbagai barang hidangan dan arak, tetapi yang membuat Kwee Ceng
terperanjat adalah kapan matanya bentrok sama hadirin yang duduk
mengitari meja itu, sampai hatinya berdenyutan. Ia lihat dan mengenali
Auwyang Kongcu dari Pek To San, Kwie-bun Liong-ong See Thong Thian,
Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, Sam Sian Lao-koay Nio Cu Ong dan Cian-ciu
Jin-touw Pheng Lian Houw. Menemani mereka itu, duduk di sebelah bawah
adalah Chao Wang Wanyen Lieh, yaitu Liok-hong-cu atau pangeran keenam
dari negara Kim. Duduk di samping, di atas kursi tay-su-ie yang besar
dan tebal amparnya, adalah Tay-cu-in Leng Tie Siangjin, kedua mata siapa
terbuka sedikit dan mukanya bagaikan kertas kuning, suatu tanda lukanya
tak enteng.
Diam-diam Kwee Ceng girang sekali, maka ia kata di dalam hatinya: “Kau
hendak mencelakai Ong Totiang, kau juga dapat merasakan enak….”
Si pengurus bertindak masuk untuk terus berlutut di depan Nio Cu Ong, kedua tangannya mempersembahkan suratnya siauw-ongya.
Nio Cu Ong menyambuti, ia baca surat itu, terus ia awasi si pembawa
surat, kemudian ia angsurkan surat itu kepada Wanyen Lieh. “Ongya,
benarkah ini tulisannya siauw-ongya?” ia tanya.
Chao Wang membaca surat itu, ia mengangguk. “Benar,” katanya. “Berikanlah dia obat itu.”
Nio Cu Ong menoleh kepada kacung di sisinya. “Tadi siauw-ongya ada
mengirimkan empat macam rupa obat,” katanya. “Kau ambilkan masing-masing
itu satu tail, berikan kepada koankee ini.”
Bocah itu menyahuti, lalu ia ajak si koankee atau pengurus itu
mengundurkan diri. Kwee Ceng berbisik di kupingnya Oey Yong: “Mari kita
pergi, lekas! Semua mereka itu sangat lihay!”
Oey Yong tertawa perlahan, ia menggeleng kepala. Oleh karena ia
menggoyang kepalanya,rambutnya si nona mengenai mukanya si pemuda,
hingga Kwee Ceng merasa gatal dari muka terus ke hatinya.
Pemuda ini tidak hendak berbantahan, ia hanya lantas geraki tubuhnya
untuk melompat turun. ia baru bergerak, atau si nona telah sambar
tangannya, untuk ditahan. Untuk itu, nona itu mesti menyantel keras
kedua kakinya pada payon, habis mana perlahan-lahan ia kasih turun tubuh
si pemuda.
Kwee Ceng terkejut, di dalam hatinya ia kata, “Ah, aku semberono sekali.
Tidakkah ini berbahaya? Bukankah orang-orang di dalam itu lihay semua?
Jikalau aku berlompat mundur, bagaimana mereka tidak dapat
memergokinya?” Ia insyaf, dasar baru masuk dalam dunia kangouw, ia jadi
kurang berpengalaman. Dengan lantas ia ikuti si pengurus dan kacung itu.
Satu kali ia menoleh ke belakang, ia dapatkan Oey Yong masih belum
turun, dengan masih bergelantungan nona itu mengawasi ke dalam ruangan.
Oey Yong tidak segera berangkat. Untuk mencari tahu orang di dalam
ketahui tentang dirinya atau tidak, ia mengintai terus. Ia lakukan itu
setelah ia lihat Kwee Ceng sudah pergi belasan tombak jauhnya. Ketika ia
mengawasi ke dalam, sinar matanya bentrok sama sinar mata tajam dari
Pheng Lian Houw, yang kebetulan berpaling. Ia tidak berani mengawasi
terus, ia hanya memasang kuping.
Seorang yang suaranya serak, berkata; “Saudara-saudara, bagaimana
pandangan kamu mengenai Ong Cie It? Adakah ia datang dengan maksud
sengaja atau itu cuma kebetulan saja?”
“Peduli ia datang dengan sengaja atau bukan!” berkata seseorang, yang
suaranya nyaring dan keras sekali. “Dia telah merasai tangannya Leng Tie
Siangjin, jikalau ia tidak mampus, sedikitnya ia mesti bercacad seumur
hidupnya!”
Oey Yong lantas mengawasi pula. Ia dapatkan orang itu adalah Pheng Lian Houw yang matanya tajam, yang tubuhnya kate dan kecil.
Seorang, yang suaranya tedas sekali, berkata sambil tertawa; “Selama aku
berada di wilayah Barat, aku pernah dengar namanya Coan Cin Cit Cu yang
kesohor itu, sekarang terbukti mereka benar-benar lihay, coba Leng Tie
Siangjin tidak menghadiahkan dia pukulan Tay-ciu-in, pastilah hari ini
kita roboh di tangan mereka itu.”
Seorang yang suaranya keras tetapi dalam berkata; “Auwyang Kongcu,
janganlah kau menempeli emas di mukamu….. Kita berdua pihak sama-sama
nampak kerugian, siapa juga tidak ada yang menang…”
Orang yang dipanggil Auwyang Kongcu itu berkata pula: “Biar bagaimana,
kalau ia tidak kehilangan jiwanya, dia bakal bercacad. Siangjin cuma
perlu beristirahat sekian waktu.”
Sampai di situ, tuan rumah mempersilahkan tetamunya mengeringi arak mereka.
Habis itu terdengar seorang berkata: “Tuan-tuan telah memerlukan datang
dari tempat yang jauh, atas itu siauw-ong sangat berterima kasih.
Sungguh inilah keberuntungan dari Negara Kim yang tuan-tuan telah dapat
diundang!”
“Dia tentulah Chao Wang Wanyen Lieh,” pikir Oey Yong.
Atas kata-kata itu, beberapa orang perdengarkan suara yang merendah.
Setelah itu, terdengar pula suaranya Chao Wang, “Leng Tie Siangjin
adalah paderi suci mulia dari Tibet, Nio Losianseng adalah guru silat
kenamaan Kwan-gwa, Auwyang Kongcu biasa hidup berbahagia di wilayah
Barat dan belum pernah datang ke Tionggoan. Pheng Ceecu jago dari
Tionggoan dan See Pangcu jago dari sungai Hong Hoo. Dari lima tuan-tuan,
satu saja sudi datang membantu, pasti uasaha besar dari Negara Kim
bakal berhasil, apapula sekarang lima-limanya telah datang semua.
Hahahaha!”
Agaknya bukan main gembiranya pangeran itu.
“Jikalau ongya ada titah apa-apa, pasti kami akan lakukan itu dengan
sepenuh tenaga kami,” berkata Nio Cu Ong sambil tertawa. “Apa yang
dikhawatirkan adalah tenagaku tidak cukup berarti dan mensia-siakan
kepercayaan ongya yang dilimpahkan kepada kami. Jikalau itu sampai
terjadi, pastilah kami akan kehilangan muka kami.” Ia pun lantas
tertawa.
Kelima orang itu adalah bangsa jago dari beberapa puluh tahun, maka itu
meskipun mereka bicara secara merendah, masih tetap tak hilang sifat
jumawanya.
Chao Wang mengangkat pula cawannya, mempersilahkan mereka itu minum.
Terus ia kata, “Siauw-ong telah mengundang tuan-tuan, pasti sekali
siauw-ong akan menaruh kepercayaan kepada tuan-tuan, urusan bagaimana
besar juga, tidak nanti siauw-ong sembunyikan, dilain pihak, apabila
tuan-tuan telah ketahui segala apa, aku percaya tidak nanti tuan-tuan
beritahukan itu kepada lain orang siapa juga, untuk mencegah pihak yang
bersangkutan nanti mendapat ketahui dan dapat bersiap sedia….”
Semua orang itu mengerti maksudnya pangeran ini, yang mempercayai mereka
tetapi secara tidak langsung masih memesan untuk mereka menyimpan
rahasia itu.
“Baik Ongya tetapkan hati, tidak nanti kami membikin rahasia bocor,”
kata mereka. Dengan sendirinya mereka itu tegang hatinya. Mereka
percaya, Chao Wang bakal percayakan mereka satu rahasia besar.
“Di tahun Thian-hwee ketika dari Sri Baginda Thay Cong kami dari Negara
Kim,” berkata pula Chao Wang kemudian, “Itulah tahun Soan-hoo ketujuh
dari Kaisar Hwie Cong dari Keluarga Tio. Ketika itu dua Panglima besar
kami Ienmeho dan Kanlipu telah pimpin angkatan perangnya menerjang
kerajaan Song, mereka berhasil menawan kedua Kaisar Hwie Cong dan Kim
Cong dari kerajaan musuh itu. Sejak jaman dahulu, belum pernah negeri
kami sekuat itu, walau pun demikian, sampai sekarang ini, keluarga Tio
itu yang tetap duduk sebagai raja di Hangciu. Tahukah tuan-tuan sebab
dari pada itu?”
Semua orang terdiam. Mereka heran raja muda itu membicarakan urusan negera. Cuma Nio Cu Ong yang lantas memohon penjelasan.
“Dunia telah ketahui yang kerajaan kami telah berulang-ulang kalah di
tangan Gak Hui, tentang ini tak usah disembunyikan lagi,” berkata pula
Chao Wang. “Wunchu, panglima kami, pandai mengatur tentara, akan tetapi
menghadapi Gak Hui, dia selamanya kena dipecundangi. Benar kemudian Gak
Hui dapat dibinasakan Cin Kwee yang dititahkan pemerintah kami, akan
tetapi tenaga kami sudah lemah, kami tidak sanggup lagi berperang ke
Selatan. Atas ini, aku tidak puas, tanpa mengukur tenaga sendiri, ingin
aku mendirikan suatu jasa besar untuk negeraku. Untuk ini, tidak dapat
tidak, aku membutuhkan bantuan tuan-tuan.”
Orang saling memandang, bagi mereka belum jelas maksudnya raja muda ini.
Mereka bukan orang peperangan tukang merobohkan atau merampas kota.
Chao Wang tampaknya sangat puas dan bernafsu ketika ia berbicara pula,
suaranya sedikit menggetar. Katanya, “Baru beberapa bulan yang lalu, di
luar dugaanku, aku telah dapat menemui sebuah surat peninggalan
pemerintahku yang dulu. Itulah suratnya Gak Hui yang bunyinya luar
biasa. Selang beberapa bulan, barulah aku dapat terka maksudnya surat
itu. Gak Hui menulis itu ketika ia dipenjarakan. Rupanya ia mengerti
bahwa ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, tetapi ia sangat mencintai
negaranya, maka ia tinggalkan warisannya itu. Itulah surat yang
merupakan rahasia ilmu perang, bagaimana harus mendidik tentara dan
berperang. Ia mengharapkan warisannya itu terjatuh di dalam tangan
seorang yang nanti bisa pakai itu untuk melawan negara Kim. Tapi Cin
Kwee menjaga keras sekali, sampai hari matinya Gak Hui, surat itu tidak
dapat diberitakan kepada orang luar.
Para hadiran sangat tertarik hatinya, sampai mereka melupakan arak dan barang hidangan mereka. Oey Yong pun ketarik hatinya.
“Gak Hui dapat mengetahui warisan itu tidak dapat diloloskan, ia terus
simpan itu di tubuhnya,” Chao Wang melanjuti. “Sebagai gantinya, ia
meninggalkan sepucuk surat warisan, yang bunyinya tidak keruan
junterungannya. Cin Kwee mempunyai kepandaian sebagai conggoan, ia masih
tidak dapat menangkap artinya surat wasiat itu, maka surat itu ia
dikirim ke negriku. Selama beberapa puluh tahun, surat itu disimpan di
dalam istana. Di pihak kami juga tidak ada yang bisa mengartikan surat
itu, orang hanya menduga, saking berduka dan penasaran, di saat-saat
kematiannya, Gak Hui menulis ngaco belo. Tidak tahunya, itu adalah
sebuah teka-teki istimewa.”
Orang heran tetapi sekarang mereka memuji kecerdikan Chao Wang itu.
“Gak Hui begitu pandai, kalau kita bisa dapatkan surat warisan ilmu
perangnya itu, bukankah gampang untuk negaraku mempersatukan benua ini?”
berkata Chao Wang.
Mendengar itu barulah semua orang dapat menerka maksudnya pangeran ini.
Mereka pada berkata dalam hati masing-masing. “Kiranya Chao Wang
mengundang kita untuk minta kita menjadi pembongkar kuburan…”
“Turut dugaanku semula, surat wasiat itu mestinya dibawa Gak Hui ke
dalam liang kubur,” Chao Wang berkata pula. Ia berdiam sebentar, agaknya
ia berpaling. “Tapi….Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah,
mustahillah aku nanti meminta tuan-tuan pergi mencuri dengan membongkar
kuburan? Di samping itu, ada satu keberatan lainnya. Gak Hui itu memang
musuh negaraku, tetapi ia adalah satu orang gagah dan setia, satu
pencinta negara, yang siapa pun menghormatinya, dari itu, cara bagaimana
aku berani mengganggu tempat perkuburannya? Karena ini, aku sudah
lantas memikirkannya terlebih jauh. Aku pun telah membongkar
surat-suratnya kerajaan Song, yang telah dikirim semenjak dulu-dulu.
Diakhirnya, aku telah berhasil memperoleh suatu sumber lain. Ketika itu
hari Gak Hui menjalankan hukuman mati di paseban Hong Po Teng, dia
dikubur di tepinya jembatan Ciong An Kio di dekat paseban itu, baru
kemudian kaisar Song Hauw Cong memindahkan kuburannya ke tepi telaga See
Ouw, di mana pun didirikan sebuah rumah abu untuknya. Di lain pihak
lagi, pakaian dan kopiahnya Gak Hui disimpan di tempat lain, ialah di
kota raja Lim-an. Karena itu tidak gampang untuk mencari surat wasiat
itu. Pada ini ada satu rahasia yang tidak boleh didengar lain orang,
atau orang nanti mendahului kita mengambilnya. Harus diketahui di
wilayah Selatan ada banyak sekali orang-orang gagah. Maka itu, setelah
memikir lama, tidak ada jalan bagiku kecuali mengundang tuan-tuan, yang
terhitung orang-orang Rimba Persilatan kelas satu.”
Mendengar ini, para hadiran itu pada mengangguk.
“Pernah aku menduga, mungkin surat wasiat itu telah diambil lain orang,”
Wanyen Lieh berkata lebih jauh. “Bukankah pakaiannya Gak Hui itu telah
dipindahkan? Ada kemungkinan, selama perpindahan itu, suratnya telah
diambil orang. Hanya kalau surat itu sampai ada yang ambil, orang itu
mesti mengerti kepentingannya itu. Siapa yang menghormati Gak Hui, dia
tentu tidak berani menggangu pakaiannya. Aku percaya, belum ada lain
orang yang mengetahuinya. Kalau kita sudah sampai di sana, aku percaya,
kita bakal dapatkan surat itu. Memang, kalau dikata sukar, sukarnya
bukan main, akan tetapi di mata orang lihay, gampangnya bukan buatan.
Sebenarnya surat wasiat itu disimpan di…..”
Baru Chao Wang mengucapkan sampai di situ, tiba-tiba pintu ruang ada
yang tabrak hingga terbuka terpentang, lalu satu orang terlihat menebros
masuk, matanya bengkak dan mukanya matang biru. Dia lantas lari ke Nio
Cu Ong.
“Suhu…!” dia berseru, lantas suaranya tertahan.
Segera orang kenali, dia adalah si kacung yang tadi Nio Cu Ong titahkan pergi mengambil obat……