Bab 4
Dengan langkah tenang sambil
menggandeng tangan Maya, Panglima Khu berjalan keluar dan menuju ke perkemahan
besar di mana semua panglima sudah hadir menghadap Raja Yucen karena bunyi
terompet tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak oleh Raja kepada pangeran,
panglima dan perwira. Dengan sudut matanya Khu-ciangkun melihat betapa tempat
itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang siap dengan senjata mereka, juga
pasukan anak buahnya sendiri sehingga diam-diam ia mengerti bahwa keadaan amat
berbahaya dan agaknya Raja yang telah mengetahui rahasianya telah siap
menangkapnya. Biarlah ia berkorban nyawa untuk negara, akan tetapi kalau
memikirkan Maya yang digandengnya, dia menjadi bingung!
Para panglima telah siap semua
berkumpul di depan kemah Sri Baginda, menanti Sang Raja keluar. Dan mereka itu
memandang heran kepada Khu-ciangkun yang datang menggandeng seorang anak
perempuan cantik.
Keponakan.... selirku!! jawab
panglima ini pendek ketika rekan-rekannya bertanya sehingga di sana-sini
terdengar suara ketawa.
Akan tetapi, mereka semua
menjadi diam dan bersikap menghormat ketika terdengar suara terompet dari dalam
kemah, tanda bahwa Raja akan keluar dan persidangan darurat dimulai. Tempat di
depan kemah itu telah menjadi terang-benderang oleh obor-obor yang di nyalakan
para perajurit pengawal. Raja keluar dari kemah dengan.... menunggang kuda!
Memang Raja Yucen lebih suka duduk di atas kuda kalau menghadapi para
panglimanya den bangsa Yucen merupakan bangsa yang paling ahli berperang di
atas kuda.
Di belakang Raja tampak
seorang laki-laki bermuka kuda, membawa sebuah bungkusan.
Khu-ciangkun....!! Tiba-tiba
Raja berseru keras memanggil.
Hamba siap!! Khu-ciangkun
melangkah maju dan berlutut dengan sebelah kakinya dengan sikap gagah dan
hormat. Maya terpaksa ditinggalkannya di belakang dan anak itu memandang dengan
hati tegang.
Khu-ciangkun! Selama ini aku
percaya kepadamu sebagai seorang panglima yang setia. Siapa kira, ternyata
engkau adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!!
Semua panglima saling pandang
dan terdengar suara mereka berisik sekali, karena tuduhan ini benar-benar amat
hebat! Ampun, Tuanku, akan tetapi tuduhan yang tidak ada buktinya merupakan
fitnah keji!! Khu-ciangkun menjawab dengan suara tenang.
Fitnah, ya?! Raja membentak
dan memberi tanda kepada pemuda bermuka kuda itu yang segera membuka kantung
dan melemparkan sebuah benda diatas tanah. Benda itu adalah kepala orang! Semua
orang memandang dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja berkata lagi,
Orang she Khu! Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang menghubungkan engkau
dengan gurumu di Kerajaan Sung! Engkau adalah murid dari Menteri Kam Liong.
Hayo mengaku!!
Khu-ciangkun tetap tenang.
Yang penting adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa orang yang
mempunyai kepala ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah buktinya, Tuanku?!
Bukti lagi? Lihat ini! Surat
Menteri Kam Liong untukmu, keparat!! Raja itu mengeluarkan sebuah sampul kuning
dari sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.
Akan tetapi, dalam suasana
yang amat tegang itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan
Yucen yang dipimpin oleh empat orang panglima gagah berkuda dan mereka ini
menyeret tubuh dua orang anak yang meronta-ronta!
Apakah yang telah terjadi? Siapakah
dua orang bocah yang ditawan oleh pasukan Yucen itu? Mereka itu bukan lain
adalah Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara Hitam dan suaminya.
Bagaimanakah mereka dapat tertawan pasukan Yucen?
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya, Pek-kong-to Tang Hauw
Lam, bersama kedua orang muridnya itu, setelah mendengar akan kehancuran Khitan
dan tewasnya raja dan ratu lalu bermaksud mengejar pasukan yang mengunnakan
Maya ke Go-bi-san.
Karena pengejaran itu
dimaksudkan untuk melindungi keselamatan Puteri Maya, dan karena mereka tidak
tahu jalan mana yang diambil oleh pasukan yang sudah pergi lebih dulu sebulan
lebih, maka mereka melakukan perjalanan lambat sambil bertanya-tanya tentang
jejak mereka.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa
tidak sabar menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru mereka, maka
seringkali kedua orang murid ini mendahului guru-guru mereka yang melakukan
penyelidikan setelah memberi tahu bahwa mereka berdua akan mendahului ke atas
bukit di depan atau padang rumput di depan.
Pada sore hati itu, kembali
dua orang anak itu mendahului guru-guru mereka berlari-lari di padang rumput
yang luas. Tiba-tiba, muncullah pasukan Yucen yang mengurung mereka sambil
tertawa-tawa. Dua orang bocah itu berpakaian seperti orang Han dan tentu saja
bangsa Yucen yang di dalam hatinya memusuhi orang-orang selatan, ingin
mempermainkan dua orang anak ini.!Heh-heh-heh, dua ekor anjing cilik,
berlututlah kalian dan minta ampun kepada tuan-tuan besarmu, baru kami akan melepaskan
kalian!! berkata seorang di antara para panglima Yucen yang menunggang kuda.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa
adalah anak-anak yang sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat tinggi.
Selain berani dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan nama besar kedua
orang gurunya, terutama sekali nama besar ibu gurunya. Siapa berani mengganggu
mereka?
Kalian ini berandal dari mana
berani mengganggu kami? Pergilah sebelum kami berdua turun tangan tidak memberi
ampun lagi!! bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang.
Juga Ok Yan Hwa bertolak
pinggang sambil membentak.
Sungguh tak tahu diri, berani
mengganggu anak naga dan harimau!!
Dua orang anggauta pasukan itu
tertawa-tawa dan menghampiri Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Ha-ha-ha, engkau anak
naga, ya? Heh-heh, apakah kalian ini sudah gila?! Seorang di antara mereka
menghampiri Can Ji Kun.
Wah, yang ini biarpun masih
belum dewasa, sudah cantik sekali!! Tentara ke dua menghampiri Ok Yan Hwa,
tertawa-tawa dan hendak mencolek pipi gadis cilik itu.
Tiba-tiba dua orang anak itu
menerjang ke depan, terdengar teriakan-teriakan keras dan dua orang anggauta
pasukan itu roboh sambil mengaduh-aduh karena dada mereka seperti pecah
rasanya, dihantam oleh dua orang anak-anak itu!
Terkejutlah semua pasukan,
terkejut dan marah. Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok dan membunuh,
akan tetapi empat orang panglima berseru, Jangan bunuh! Biarkan kami menangkap
harimau-harimau cilik ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri Baginda. Siapa
tahu mereka ini ada gunanya kelak!!
Setelah berkata demikian,
empat orang itu mengeluarkan tali panjang yang melingkar-lingkar di lengan kiri
mereka. Ujung tali itu dibuat semacam lasso dan kini mereka berempat yang
menunggang kuda mengurung Ji Kun dan Yan Hwa, tali mereka makin lama makin panjang
tetap diputar-putar. Dua orang anak itu siap menghadapi lawan, akan tetapi
mereka bingung ketika dikurung empat ekor kuda dan memandang tali berujung
lasso yang diputar-putar. Tiba-tiba sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan
Hwa. Dara cilik ini cepat mengelak dan ketika lasso itu mengejarnya, ia
menggulingkan tubuh ke atas tanah. Luput! Para pasukan bersorak memuji. Juga Ji
Kun dapat menghindarkan diri dengan gerakan gesit sekali ketika ada tali lasso
menyambar. Bahkan sampai berkali-kali tali-tali lasso beterbangan menyambar ke
arah mereka, namun dengan lincah sekali dua orang anak itu tetap dapat
mengelak.
Empat orang Panglima Yucen ini
menjadi penasaran sekali. Mereka lalu berpencar menjadi dua rombongan dan
mengeroyok setiap anak dengan lasso mereka. Kini repotlah dua orang anak kecil
itu dan tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan tertangkap! Dua orang
panglima memegangi lengan setiap anak dan mengangkat tubuh anak itu di antara
kuda mereka yang dilarikan sehingga tergantunglah tubuh Ji Kun dan Yan Hwa,
dibawa membalap pergi! Mereka tidak sudi berteriak minta tolong, hanya
memaki-maki dan meronta-ronta.
Sikap dua orang anak inilah
yang menolong mereka sendiri. Kalau saja mereka berdua tidak memperlihatkan
sikap yang berani luar biasa, tentu mereka dianggap anak-anak biasa dan sudah
dibunuh. Kini para panglima itu menjadi curiga, maka mereka tidak membunuh
kedua orang anak itu dan merasa perlu menghadapkan kedua orang anak luar biasa
itu kepada raja yang kebetulan berada di perkemahan.Sementara itu, Khu Tek San
yang melihat bahwa bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan bahwa dia tidak
dapat menyelamatkan diri lagi, bersikap tenang dan mengambil keputusan untuk
mengorbankan dirinya dan tidak menyeret orang lain dalam pekerjaannya memata-matai
Yucen.
Yang terpenting sekarang
adalah berusaha menyelamatkan diri Puteri Maya dan menyuruh puteri Kerajaan
Khitan itu pergi ke selatan menghadap Menteri Kam Liong dan menyampaikan berita
tentang kematiannya. Maka ketika melihat keributan dengan datangnya
panglima-panglima yang menyeret dua orang anak itu, dia cepat berbisik kepada
Maya,
Engkau larilah sekarang,
cepat!!
Akan tetapi Maya menggeleng
kepala. Aku hanya mau lari kalau bersama engkau!!
Panglima she Khu itu memandang
penuh kagum. Benar-benar patut menjadi puteri Raja Khitan, cucu Suling Emas,
pikirnya. Masih begini kecil sudah kenal apa artinya budi dan kegagahan!
Tiba-tiba Panglima Khu
dikejutkan oleh suara dua orang anak kecil yang diseret itu. Yang perempuan
berkata galak.
Tidak peduli engkau ini Raja
Yucen atau Raja Akhirat, kalau tidak segera membebaskan kami, tentu akan
mampus!!
Guru kami, pendekar wanita
sakti Mutiara Hitam dan suaminya, pendekar Golok Sinar Putih, tentu akan
membalas dendam!! kata anak laki-laki, sikap mereka berdua sedikit pun tidak
takut dihadapkan pada Raja Yucen.
Tentu saja Khu Tek San
terbelalak memandang ke arah dua orang anak itu. Bagaimana bisa terjadi hal
yang begini kebetulan secara berturut-turut? Pekerjaan rahasianya terbongkar,
muncul Puteri Maya, dan kini tahu-tahu muncul pula dua orang anak yang mengaku
murid Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah adik kembar Raja Khitan, jadi adik
tirl suhunya pula, karena itu, bukan hanya Maya yang harus diselamatkan,
melainkan juga dua orang bocah itu!
Apa pun yang terjadi, aku
harus berusaha menyelamatkan mereka,! bisik Khu Tek San kepada Maya. Kaularilah
dalam keributan ini!! Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini
menggerakkan tubuhnya, melayang ke depan, ke arah dua orang anak itu. Cepat
bagaikan seekor garuda menyambar, dia menerjang empat orang panglima muda yang
memegangi dua orang bocah itu. Mereka ini terkejut, tahu akan kelihaian
Khu-ciangkun, maka mereka mundur dan mencabut senjata. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Tek San untuk menyambar tangan Can Ji Kun, anak laki-laki
itu. Ketika ia hendak menolong Ok Yan Hwa, terdengar bocah itu membentak.
Budak cilik! Aku tidak butuh
pertolonganmu!! Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah berada di
situ pula, tadi menyambar tangan Yan Hwa dan ditarik mendekatinya. Ia merasa
makin kagum. Kiranya Puteri Khitan ini tidak melarikan diri dalam keributan
seperti yang dipesankannya, malah menyusulnya meloncat ke depan untuk menolong
dua orang murid Mutiara Hitam!
Keadaan menjadi geger. Kurung....!
Tangkap....!! Raja Yucen berteriak marah sekali dan Tek San bersama tiga orang
anak itu dikurung rapat oleh pasukan panglima yang telah menghunus senjata. Tek
San menjadi khawatir sekali. Bagi dia tidak takut mati di tangan musuh-musuh
ini, akan tetapi bagaimana ia dapat menyelamatkan tiga orang anak itu?
Sri Baginda Yucen....!! Ia
berteriak lantang. Aku Khu Tek San sebagai seorang laki-laki sejati, telah
mengaku kedosaanku terhadap Kerajaan Yucen dan aku siap menerima hukuman mati
dengan mata terbuka! Akan tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai
dosa, kuharap sukalah Paduka membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku
memberontak dan biarpun kami berempat akan mati, namun kami pun akan menyeret
nyawa beberapa orang pengawalmu!!
Raja Yucen yang sudah marah
sekali kembali membentak. Tangkap dia hidup-hidup! Tangkap Si Pengkhianat ini
dan tiga orang anak iblis itu!!
Tek San yang mengambil
keputusan untuk melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap
menghadapi pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum
sekali dan tak dapat menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu
pun telah bersiap-siap dengan pasangan kuda-kuda yang tangguh, membelakanginya
sehingga mereka berempat beradu punggung menghadap ke empat penjuru! Bukan
main, pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan keturunan Suling Emas benar-benar
merupakan anak-anak yang telah memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil
itu, menghadapi bahaya maut tidak menjadi gentar dan putus asa, melainkan
hendak membela diri dengan gagah dan mati-matian!
Keadaan sudah menegangkan
sekali. Pengurungan makin ketat dan sudah dapat dibayangkan bahwa betapapun
gagahnya Khu Tek San murid menteri Kam Liong, namun menghadapi begitu banyaknya
panglima, perwira dan perajurit Yucen, tentu dia takkan menang.
Tahannnn....!! tiba-tiba
terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan semua orang.
Lengking nyaring ini disusul
berkelebatnya dua sosok bayangan yang sukar dilihat saking cepatnya. Hanya
terdengar ribut-ribut ketika sesosok bayangan menyambar ke atas kuda yang
diduduki Raja Yucen dan bayangan ke dua menyambar ke arah dua orang panglima
tinggi yang berada di sebelah kanan raja. Hanya terdengar suara gedebukan dan
suara ah-uh-ah-uh! disusul melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua orang panglima
tinggi itu ke atas batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja semua
pasukan menjadi terkejut dan mengalihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga
orang bocah itu.
Suhu....!! Ji Kun berteriak
girang.
Subo....!! Yan Hwa juga bersorak.
Ketika obor-obor diangkat
tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri
seorang wanita gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung dengan Raja ke
belakang tubuh dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari
terbuka mengancam tengkuk. Di sampingnya, seorang laki-laki gagah mencengkeram
pundak dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepala
itu, sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.
Bebaskan dua orang murid kami,
kalau tidak, Raja Yucen kubunuh!! Wanita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam
itu membentak.
Ha-ha-ha, kehilangan murid
masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe juga!!
Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. Dan penukaran
ini sudah cukup menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami
ditambah orang gagah dan anak perempuannya yang berusaha menolong, baru empat
jiwa. Kami tukar dengan dua puluh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!!
Raja Yucen dapat menduga bahwa
dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang terkenal, maka
dia tidak berani main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami
Mutiara Hitam itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga. Hemm, kalian hanya
menawan kami tiga orang, mana yang dua puluh orang lagi?!
Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang
dua puluh adalah panglima-panglima Sri Baginda yang tentu akan tewas di tangan
kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami
titipkan nyawa mereka kepada tubuh masing-masing sambil menanti penukaran ini!!
jawab Pek-kong-to Tang Hauw Lam seenaknya.
Bebaskan mereka. Raja Yucen
menghardik dengan muka merah saking marahnya.
Mereka yang tadinya mengurung
Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.
Ji-kun! Yang Hwa! Naik ke
sini!! Mutiara Hitam berteriak. Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan
gerakan indah serta ringan mereka melayang ke atas batu besar. Akan tetapi
betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka
dengan loncatan yang lebih cepat lagi!
Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan
yang berjuluk Mutiara Hitam?! Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil
memandang penuh kagum. Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga
terheran-heran menyaksikan bocah perempuan yang memiliki gerakan demikian
ringannya, mengalahkan kedua orang muridnya.
Siapa engkau? Dan siapakah
orang gagah di bawah itu?!
Tek San juga melompat ke atas
batu besar lalu menjura dengan hormat. Teecu Khu Tek San murid Suhu Kam Liong
memberi hormat kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru berdua dan berterima
kasih atas pertolongan Ji-wi.!
Ahhh....!! Mutiara Hitam
tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi berusaha
menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri! Dan bocah ini....?!
Dia adalah keponakan Sukouw
sendiri, Puteri Maya....!!
Aihhh....!! Seruan Mutiara
Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya dan
dipeluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih menelikung! Raja
Yucen.
Heeiii! Mutiara Hitam,
lepaskan kami! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang
bocah itu?!
Nanti dulu, Sri Baginda. Kami
belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.!
Akan tetapi Maya berpendirian
lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak suka.
Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada
Khu Tek San, maka ia menggeleng kepala dan berkata,
Terima kasih, Bibi. Akan tetapi
aku ingin pergi bersama Khu-ciangkun!!
Mutiara Hitam menghela napas
panjang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka cerewet.
Sekali mengambil keputusan tidak dirobah lagi, dan sekali mendengar keputusan
keponakannya, tidak banyak berbantah lagi. Hatinya masih tetap keras dan
angkuh.
Baiklah, Maya. Engkau ikut
dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-humu (Uwamu) Kam Liong pun sama saja.
Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa
orang-orang Yucen tidak akan mengganggu perjalanan kalian.!
Khu Tek San memberi hormat,
kemudian menggandeng tangan Maya sambil berkata,
Marilah kita pergi!! Keduanya
melompat turun dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun
yang berani menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan
matanya, tidak melihat adanya pemuda muka kuda yang tadi muncul bersama Raja
Yucen, pemuda yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee dan yang membunuh
kurirnya.
Setelah menanti agak lama
sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi jauh,
Mutiara Hitam melepaskan dengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak
kedua orang panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika
dicengkeramannya tadi. Mutiara Hitam menjura kepada raja itu dan berkata,
Harap Sri Baginda maafkan
kami. Kalau menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat
akan tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan kalian....!
Ahhhh, tuduhan keji itu!! Raja
Yucen membentak marah. Raja Khitan dan kami pada saat terakhir berjuang
bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan
gugur! Bukan kami yang membunuhnya!!
Mutiara Hitam dan suaminya
saling pandang, kemudian Mutiara Hitam berkata,
Siapapun yang membunuhnya,
kakakku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan
siapa-siapa. Akan tetapi, kami tidak menanam permusuhan dengan siapa juga,
dengan Raja Yucen pun tidak, maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan
sikap memusuhi kami dan memerintahkan kepada anak buah Paduka agar kelak tidak
lagi mengganggu kami!
Raja itu bersungut-sungut.
Musuh kami hanya negara lain, bukan perorangan. Apa untungnya bermusuhan dengan
Mutiara Hitam? Asal engkau tidak mengganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa
kami memusuhimu?!
Bagus, dengan demikian kita
sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda dan maaf sekali lagi!!
Mutiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya menggandeng tangan Ji
Kun, kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
Sialan!! Raja Yucen
membanting-banting kaki. Turunkan aku....! Goblok kalian semua begini banyak
orang tak berguna menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak
patut memata-matai kerajaan sahabat sendiri!
Apa-apaan ini? Kalau tidak ada
penyelesaian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung!! Raja itu mencak-mencak dan
marah-marah.
***
Karena sudah bertemu dengan
keponakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta murid-murid tidak
melanjutkan perjalanan ke Go-bi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung
Yin-san di mana terdapat sebuah guha besar yang pernah mereka pergunakan
sebagai tempat tinggal. Melihat betapa pergolakan dan perang antara suku-suku
di utara masih terjadi di mana-mana.
Mutiara Hitam ingin
mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-muridnya tidak terlibat.
Akan tetapi, dapat dibayangkan
betapa kaget dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua
orang muridnya tiba di depan guha di puncak Yin-san, dan melihat seorang kakek
dan nenek hidung mancung telah menempati guha itu dan kini menyambut kedatangan
mereka dengan senyum mengejek.
Kalian siapakah? Mau apa di
sini?! Mutiara Hitam membentak sambil memandang tajam. Karena sekali pandang
saja ia dapat mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau
Nepal, maka dia menegur dalam bahasa India.
Kakek tinggi kurus berkulit
hitam arang itu tertawa. Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa
tahun yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!!
Tang Hauw Lam menepuk dahinya,
memandang kepada isterinya dan berseru,
Wah-wah-wah, bukankah kalian
ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang itu? Kalian murid-murid
pertapa Naragita di Himalaya, bukan?!
Mutiara Hitam teringat dan dia
bertukar pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan Mutiara Hitam
berkata, Aihh, kebetulan sekali!!
Heh-heh-heh!! Nenek India yang
bernama Nila Dewi terkekeh. Memang kebetulan bagi kami akan tetapi tidak
kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!!
Mutiara Hitam mengerutkan
alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berkata, Kami sudah mengenal guru
kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama kalian?!
Aku Nila Dewi dan dia ini
Mahendra,! jawab Si Nenek India.
Maksud kedatangan kalian?!
Melihat sikap dingin penuh
ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata, Wah, kami melihat
sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam.
Kami kagum bukan main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja, benarbenar
seperti mutiara tulen, makin tua makin mengkilap!!
Mahendra, tidak perlu banyak
menjilat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya
mengambil tempat kami?!
Mahendra tertawa, akan tetapi
ketawanya ini agak dipaksakan, untuk menutupi rasa gentarnya terhadap wanita
sakti itu. Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa
kehilangan murid mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu. Banyak sekali
calon-calon murid baik di dunia ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti
raja, juga jarang bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak
seperti guha di puncak ini!!
Mutiara Hitam mengerutkan
sepasang alisnya lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan
plintat-plintut direntang panjang itu. Mahendra, jangan seperti penjual obat,
katakan kehendak kalian!!
Mutiara Hitam, kami mencontoh
perbuatanmu terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini
dan hanya akan kami kembalikan kepadamu kalau kalian suka menukar tempat ini
dengan....! Dua orang India itu tertawa-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa!
Tukar apa? Hayo katakan jangan
banyak tingkah!! Mutiara Hitam membentak.
Ditukar dengan dua orang
muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehilangan murid mudah dicari gantinya
dan....!
Wah-wah-wah, Mahendra
benar-benar pandai membadut dan pandai bicara sekarang! Eh, Hitam Jangkung!
Kaukatakan, kalau kami tidak mau memberikan murid-murid kami, lalu bagaimana?!
Tang Hauw Lam bertanya sambil tertawa.
Kami pun tidak memberikan
tempat ini!! jawab Mahendra dan bernama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di
depan guha.
Mutiara Hitam dan suaminya
pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang
segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu
hitam yang membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik
seperti dua orang murid mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya
masih bersabar dan setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata
mereka, Mutiara Hitam lalu berkata,
Nila Dewi dan Mahendra,
orang-orang macam kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan
dengan perbuatan. Nah, coba kalian kalahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah
kami tidak akan merintangi murid-murid kami kalian bawa.!
Bagus! Ini namanya ucapan
orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin kagum saja kepadamu,! kata Mahendra. Dan
kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu
dan pergi tanpa banyak ribut lagi.!
Enak saja kau bicara,
Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan, membersihkan dan
membetulkan. Kalau kami kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau
kalian kalah, kalian juga harus mengorbankan sesuatu.!
Apa?! Nila Dewi menjerit. Kau
menghendaki nyawa kami?!
Bodoh! Kami tidak haus darah
seperti kalian. Kalau kalian kalah, kalian harus membuatkan sepasang pedang
untuk kami, sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam
perjalanan dari barat dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan
pedang dari logam itu untuk kami, karena tukang-tukang pandai besi yang kami
temui semua menyatakan tidak sanggup.!
Mahendra tertawa. Wah, hebat
logam itu, makin menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah,
bagaimana pertandingan ini diatur?!
Mutiara Hitam tersenyum. Dia
tahu bahwa dua orang ini lihai sekali dan biarpun suaminya memiliki ilmu yang
tinggi, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melukai
atau membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin
menanam permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan tenaga mereka.
Kita tidak saling bermusuhan
dan pertandingan ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus
satu kali berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku
sendiri yang akan maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan
tangan kosong!!
Mahendra dan Nila Dewl saling
pandang. Mereka maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya
maju dengan tangan kosong. Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu mencabut
sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil
meloncat maju.
Akulah jago pihak kami,
Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepasang senjataku dengan tangan
kosong?!
Seorang gagah tidak akan
menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mahendra.
Nah, bersiaplah engkau!! Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan guha
dan mereka berhadapan. Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit
hitam itu menekuk kedua lututnya, merendahkan diri dan kedua tangannya
dipentang lebar, pisau belati digenggam erat-erat dengan mata pisau menghadap
keluar, ketika ia menggoyang kedua pisaunya, sinar matahari yang menimpa
permukaan pisau itu menyorot ke depan menyilaukan mata.
Sepasang senjata yang bagus!!
Mutiara Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan pukulan
dahsyat. Mahendra cepat mengelak dan sambil miringkan tubuh, pisau kirinya
menangkis lengan lawan dan pisau kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi
gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia dengan mudahnya mengelak.
Nila Dewi berdiri menonton
penuh perhatian dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan kedua
orang muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi
dia menonton dengan wajah tenang-tenang saja karena hatinya mempunyai
kepercayaan sepenuh nya akan kelihaian isterinya. Ketika isterinya maju dan
menentang untuk menghadapi lawan dengan tangan kosong, maka tahulah ia bahwa
isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya. Dan memang ini tepat sekali
karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh terhadap
isterinya. Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan
mampu mengalahkan Mahendra dengan melukainya! Padahal, isteri nya sudah lama
sekali merasa penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu,
yang mereka dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu
membuatnya menjadi pedang!
Hal ini terjadi beberapa tahun
yang lalu ketika dia berdua isterinya melakukan perjalanan dari barat ke timur.
Mereka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak
tertinggi dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal
dan India, kemudian terus ke timur menyusuri pantai Sungai Brahma Putera.
Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki Pegunungan
Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari
langit dan terdengarlah suara menggelegar tak jauh di depan.
Mutiara Hitam dan suaminya
cepat menuju ke tempat itu dan dari jauh mereka sudah melihat sinar putih di
atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap
dan hawa panas!
Agaknya itulah yang disebut
batu bintang!! kata Mutiara Hitam.
Jatuh begitu saja dari langit?
Sungguh luar biasa!! Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani
sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan sinar itu. Baru pada keesokan
harinya, berindap mereka menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah
mereka menemukan dua buah logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih
hangat. Mereka menjadi girang dan menyimpan dua buah batu logam itu, dan ketika
mereka, sudah berada di Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan
maksud untuk membuatkan sepasang pedang dari batu logam itu. Akan tetapi, semua
ahli pedang tidak sanggup mengolah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya
dibakar masih tetap keras saja!
Inilah sebabnya mengapa
munculnya dua orang murid pendeta Naragita menggirangkan hati Mutiara Hitam dan
suaminya. Dua orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli pedang
yang sakti dan agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan
sanggup membuatkan sepasang pedang dari dua buah batu logam itu untuk mereka.
Pertandingan antara Mutiara
Hitam dan Mahendra masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat
aneh, cepat gerakan sepasang pisaunya sehingga tampak dua gulungan sinar
bergulung-gulung seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam dan setiap
serangannya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Namun, Mutiara Hitam menghadapinya
dengan ketenangan yang mengagumkan. Bermacam ilmu silat tangan kosong yang
lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang
(Tangan Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu, akan tetapi tokoh India
ini ternyata merupakan seorang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun maka
sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya. Untuk melindungi tubuhnya
dari sepasang pisau lawan, baginya amat mudah. Gerakan lawannya bagi dia
terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mudah baginya untuk
mengelak. Yang menjadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini
dengan ilmu silat tangan kosong.
Tiba-tiba pendekar wanita
sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung lawan, suara
melengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khi-kang Kim-kong-sim-im
yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.
Selagi lawannya terkejut dan
mengerahkan sin-kang untuk melawan gerakan suara mukjizat ini, Mutiara Hitam
sudah menerjangnya dan mainkan ilmu silat yang memiliki gaya tidak lumrah
dahsyatnya! Dia telah mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari
ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga
Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun
tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di antara semua ilmu silat
tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan!
Mahendra mulai
menggereng-gereng dan menjadi bingung, kacau-balau gerakannya ketika angin
menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan Mutiara Hitam. Pendekar
wanita itu baru mainkan sejurus saja, yaitu jurus yang disebut
Soan-hong-ci-tian (Angin Berpusing Mengeluarkan Kilat). Tubuhnya berkelebatan
dan berputaran seperti gasing dan dari putaran tubuhnya itu, kedua tangan dan
kakinya kadang-kadang menyambar secara tak terduga-duga!
Ciaaatttt!! Mutiara Hitam
berseru, tangan kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit
pisau kiri Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biarpun yang mengancam
pisaunya hanya dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu
mengandung tenaga sin-kang yang membuat cepitannya sekuat cepitan baja dan ada
bahayanya pisaunya terampas. Cepat ia mengangkat tangannya ke atas. Mutiara
Hitam tertawa dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat. Dia
tadi telah kena dipancing sehingga menekuk tengannya melindungi pisau, akan
tetapi kiranya jari tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya
sehingga seketika lengan kirinya menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana
terjadinya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang
cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.
***
Bagus! Hebat kau Mutiara
Hitam, akan tetapi aku masih belum kalah!! Mahendra membentak dan kini
menerjang makin hebat dengan pisau kanannya. Mutiara Hitam melemparkan pisau
rampasannya kepada suaminya yang menerima pisau itu dan memeriksanya penuh
kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan amat kuat pula.
Mahendra, bersiaplah engkau
untuk mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang pedang untuk
membayar taruhanmu!! Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu menerjang
lawannya dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar bingung. Tubuh wanita
itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main,
namun mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula
berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan
Kosong Rontokkan Bunga) dari ketigabelas jurus ilmu silat sakti! Mahendra
berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak
dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula,
lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!
Aku mengaku kalah, Mutiara
Hitam!! kata kakek hitam itu penuh kagum.
Juga Nila Dewi yang mengikuti
jalannya pertandingan dengan seksama mengerti bahwa dia pun bukanlah tandingan
Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata
Kami tidak mendapat kesenangan
memperoleh anak bertulang baik, tidak pula dapat menikmati kemenangan
pertandingan, biarlah kita menikmati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh.
Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam, kami akan saling berlumba membuatkan
pedang terbagus untukmu.!
Tang Hauw Lam mengeluarkan dua
butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah logam itu kepada
Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan memeriksa logam itu,
mereka terbelalak dan membuat gerakan seperti orang menyembah dengan hormat.
Mulut Mahendra berkata lirih, Ya, Tuhan...., ini.... besi bintang putih....!!
Nila Dewi juga terbelalak,
mukanya agak pucat dan ia berkata, Luar biasa.... dan kita.... yang mendapat
kehormatan membuatkan pedang.... dari logam mulia dan keramat ini....!!
Mutiara Hitam sejak tadi
memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemudian ia berkata, Apakah kalian
hendak mengatakan bahwa kalian bisa membuat sepasang pedang dari buah benda
bola logam ini?!
Bisa? Tentu saja bisa! Akan
tetapi kami minta agar kalian tidak mencampuri dan mengganggu kami membuat
pedang!! kata Nila Dewi.
Benar.! Mahendra
mengangguk-angguk. Kami minta tempat terpisah dan tidak mau diganggu. Betapapun
tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam pembuatan po-kiam,
apalagi menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak tahu apa-apa.
Karena itu, jangan mencampuri pekerjaan kami.!
Mutiara Hitam
mengangguk-angguk. Baik, aku percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya
harus seperti ini!! Mutiara Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar
sebatang pedang di atas tanah dan menerangkan modelnya, ukurannya dan
lain-lain, diperlihatkan oleh dua orang India itu yang mengangguk-angguk.
Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali pandang saja tahulah mereka pedang
macam apa yang harus mereka bikin.
Kalian boleh menggunakan dua
buah guha di kiri sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami takkan mengganggu,
akan tetapi kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan
pedang itu?!
Mahendra dan Nila Dewi
berpikir-pikir, mengerutkan alis dan menghitung-hitung. Untuk mempersiapkan
tempat pembakaran dan penempaan sih cukup beberapa hari saja.! kata Mahendra.
Hemm, yang harus dipikirkan
adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa dan dibentuk!!
Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam bundar di tangannya.
Hal ini perlu kita selidiki
lebih dulu kata pula Mahendra, kemudian ia menoleh kepada Mutiara Hitam. Kami
minta waktu tiga bulan atau seratus hari! Kalau dalam waktu seratus hari pedang
ini belum jadi, berarti kami tidak sanggup lagi.!
Mutiara Hitam menghela napas
dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang aneh dan ia
percaya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya. Dia tidak tahu
cara bagaimana mereka akan membuat pedang dari dua batu logam aneh itu, akan
tetapi diam-diam, ia pun mengharapkan agar mereka akan dapat berhasil membuat
sepasang pedang yang ia idam-idamkan. Dua buah benda putih itu amatlah anehnya,
kalau dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga mukjizat dalam kedua benda
itu, pada satu ujungnya mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain
mengeluarkan daya tolak atau saling mendorong!
Sepasang guha yang
dipergunakan oleh Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh
dari guha yang ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya
sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang
membuat pedang itu. Mereka hanya mendengar kadang-kadang suara
klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang melihat
cahaya api dari dalam guha-guha itu. Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi
saja seolah-olah dua orang itu telah pergi meninggalkan guha tanpa pamit.
Subo, bagaimana kalau mereka
pergi minggat?! Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.
Benar, aku pun tidak percaya
dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua buah logam keramat
itu!! Ok Yan Hwa juga berkata.
Mutiara Hitam menyapu wajah
kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia berkata menegur,
Camkanlah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang gagah, baik pada golongan
putih maupun hitam, golongan bersih maupun sesat, terdapat semacam kehormatan
yang takkan dilanggar biar berkorban nyawa sekalipun. Aku percaya bahwa mereka
akan memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat yang lebih rendah
daripada tidak-memenuhi janji!!
Dua orang murid itu mundur
dengan takut dan tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi, makin lama makin
anehlah keadaan di sepasang guha itu didengar dari tempat mereka. Pada suatu
malam, terdengarlah jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari
sepasang guha itu.
Keparat!! Tang Hauw Lam yang
biasanya bersikap gembira dan tenang, kini agaknya tak dapat menahan kesabarannya
lebih lama lagi Mereka menculik anakanak!!
Akan tetapi Mutiara Hitam
hanya duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah
jeritan-jeritan itu tidak didengarnya. Eh, masa kita harus mendiamkan saja
mereka menggangu anak-anak? Mungkin membunuhnya!!
Mutiara Hitam menghela napas.
Bukankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat
pedang?!
Memang tidak mencampuri
pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau mereka membunuh anak-anak, tak
dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak tak berdosa di
depan hidung Pek-kong-to? Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi!! Tang
Hauw Lam yang biasanya bergembira itu sudah bangkit berdiri dan membawa
goloknya, siap untuk mandatangi sepasang guha itu dan menyerbu.
Nanti dulu, Suamiku!! Mutiara
Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan.
Apakah engkau mau melanggar
janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?!
Siapa mau mencampuri? Apa
hubungannya penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang?! Tang Hauw Lam
berhenti dan menoleh kepada isterinya, penasaran.
Apakah engkau lupa tentang
dongeng yang pernah kita dengar di dunia barat tentang logam mulia yang hanya
dapat dibikin cair dan lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?!
Tang Hauw Lam sejenak
memandang isterinya dengan mata terbelalak, kemudian wajahnya berubah pucat.
Kau.... kaumaksudkan.... anak-anak itu....?!
Mutiara Hitam mengangguk.
Mereka itu biarpun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk meyakinkan ilmu
hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat kita. Kalau mereka toh
melakukannya juga, tentu ada hubungannya dengan pembuatan pedang. Kalau kau
penasaran, besok boleh kau bertanya, kiranya takkan meleset dugaanku.!
Wajah Hauw Lam makin pucat.
Kalau begitu.... pedang-pedang itu.... akan menjadi Sepasang Pedang Iblis....!!
Mutiara Hitam mengangguk.
Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka kita harus lebih waspada lagi menjaga
agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke tangan lain orang. Kalau benar
sepasang pedang itu menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban untuk membasminys
sendiri agar tidak menimbulkan malapetaka!!
Tang Hauw Lam
mengangguk-angguk kemudian membentak dua orang muridnya agar tidur karena
mereka itu masih mendengarkan percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh
perhatian. Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran
menghampiri sepasang guha itu dari jauh dan berteriak.
Mahendra! Aku tidak akan
mencampuri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!!
Sunyi saja sepasang guha itu.
Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaannya, terdengar suara Mahendra
mengomel. Keparat! Dengan mengganggu samadhiku, engkau membikin aku ketinggalan
sehari oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!!
Hanya tentang jeritan suara
anak-anak semalam....!
Pek-kong-to! Kalau tidak
melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanyaanmu ini bisa kuanggap bahwa
engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau melanggar janji! Bodoh
engkau! Di dalam guha manusia yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang
tidak terdapat pada tubuh mahluk lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya
dengan campuran itulah logam ini dapat dicarikan! Apa lagi?!
Tang Hauw Lam merasa betapa
kedua kakinya menggigil. Sudah cukup!! katanya dan ia lari kembali ke guha di
mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.
Benar sekali!! Hauw Lam
berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.
Sungguh tidak kebetulan sekali
kita yang menemukan logam itu. Pedang sudah dibuat, sepasang pedang yang
sifatnya jahat sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum darah dan nyawa dua
orang anak. Kita harus membasmi pedang-pedang itu!!
Benar, kita hanya menanti
sampai sepasang pedang itu jadi.!
Mulai hari itu, setiap hari
terdengarlah bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang guha, tanda bahwa dua
orang India itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan Mutiara Hitam. Kedua
orang ini memang aneh. Mereka sesungguhnya saling mencinta, akan tetapi juga
selalu saling berlumba tidak mau kalah. Apalagi kini mereka berdua berlumba
membuatkan pedang untuk Mutiara Hitam, pedang yang sama bahannya, sama
bentuknya pula. Tentu saja mereka mulai berlumba untuk membuatkan pedang yang
sebagus-bagusnya!
Memang cara mereka membuat
pedang dari logam putih itu amat menyeramkan. Setelah beberapa hari gagal
membikin logam itu mencair atau melunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan
menculik anak-anak dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra
menculik seorang anak perempuan sedangkan Nila Dewi menculik seorang anak
lakl-laki secara terpisah. Mengapa Mahendra menculik anak perempuan dan Nila
Dewl menculik anak laki-laki?
Sebetulnya keduanya salah
mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira bahwa tentu Nila
Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik seorang anak
perempuan dan mulai membuat sebatang pedang betina! dengan menggunakan darah
dan tubuh serorang anak perempuan. Demikian pula dengan Nila Dewi yang tidak
mau kalah, dia mengira bahwa Mahendra tentu akan membuat sebatang pedang
jantan! maka dia lalu membuat pedang jantan! untuk mengalahkan saingannya itu!
Tanpa mereka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak mau kalah masing-masing.
Mahendra membuat pedang betina! sedangkan Nila Dewi membuat sepasang pedang jantan!!
Anak yang mereka culik itu,
mereka gantung dengan kepala di bawah, kemudian mereka mengerat urat nadi untuk
mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah logam itu dicuci! dan direndam,
kemudian tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke dalam kwali besar untuk
direbus bersama-sama logam putih! Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi
nyatanya, setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena darah anak-anak ini,
logam putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!
Kurang lebih tiga bulan
kemudian, pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan suaminya terkejut mendengar suara
beradunya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali. Mereka cepat
meloncat keluar menuju ke sepasang guha itu dan apakah yang mereka lihat?
Mahendra dan Nila Dewi sedang bertanding mati-matian mempergunakan dua batang
pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar-nyambar. Dari jauh saja
Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu merasai adanya
getaran pengaruh mukjizat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang
yang amat indah buatannya, persis seperti contoh yang dilukis di atas tanah
oleh Mutiara Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Mahendra agak
kecil sedikit.
Aihhh.... mengapa kalian?
Jangan berkelahi....!! Mutiara Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai,
akan tetapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya
dengan kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat
ke belakang.
Jangan mencampuri!! Mahendra
membentak. Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!!
Manusia sombong! Pedang
buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut kepalamu yang sombong!!
Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.
Cring-sing-tranggg....!! Bunga
api berhamburan menyilaukan mata dan kedua pedang itu terpental setiap kali
bertemu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.
Celaka...., tahan....!! Tang
Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.
Trang-trangggg....
aiihhh....!! Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika
goloknya tertangkis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetok oleh dua
tenaga bertentangan yang amat kuat.
Mutiara Hitam juga menerjang
maju, kini pedang Siang-bhok-kiam di tangannya sehingga ketika ia menerjang
maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar pedangnya yang hijau, akan
tetapi, kembali sepasang pedang yang tadinya saling serang itu secara aneh dan
tiba-tiba sekali telah membalik dan menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan
kekuatan mukjizat dan kerja sama yang mengherankan.
Trak-trakkk!! Juga Mutiara
Hitam menghadapi kenyataan mukjizat karena pedangnya yang jarang menemui
tanding itu kini tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang
pedang yang sinarnya seperti kilat itu!
Terpaksa ia meloncat ke
belakang dan berkata kepada suaminya, Kalau mereka sudah gila untuk saling
bunuh, biarkanlah!!
Dan memang tidak ada jalan
lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti gila, kalau
dibiarkan, saling menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan tetapi kalau
tidak dipisahkan, mereka berdua membalik dan mengeroyok lawan yang mengganggu
mereka! Tentu saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya
untuk menghentikan pertandingan mereka!
Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa
juga sudah tiba di tempat itu dan dua orang anak ini memandang pertandingan
dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang pedang itu.
Selama ini kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar percakapan antara
guru mereka tentang sepasang pedang yang sedang dibuat secara aneh oleh Nila
Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak ini ingin sekali memiliki
pedang yang luar biasa itu. Apalagi setelah kini pedang-pedang itu jadi,
melihat sinar pedang seperti kilat, mereka makin kagum.
Pertandingan Nila Dewi dan
Mahendra sudah mencapai titik puncak yang berbahaya sekali. Mutiara Hitam dan
suaminya maklum bahwa seorang di antara mereka tentu akan roboh terluka, akan
tetapi karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanya memandang dengan
alis berkerut.
Cringggg!! sepasang pedang itu
bertemu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba dan.... Blesss....!
Blesss....!! pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya
pedang wanita itu menembus dada Mahendra. Keduanya terhuyung, melepaskan pedang
masing-masing yang sudah menancap di dada lawan, kemudian roboh terguling ke
kanan kiri!
Gila!! Mutiara Hitam dan Tang
Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.
Mahendra memandang Mutiara Hitam
dan tertawa! Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu telah rampung, Mutiara Hitam!
Sepasang Pedang Iblis! Disempurnakan dengan rendaman darah kami sendiri.
Sepasang Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!!
Nila Dewi terbelalak dan juga
tertawa. Mahendra, kita berdua akan hidup terus, dalam sepasang pedang ini.
Sepasang Pedang Iblis.... hi-hik, kita akan selalu haus darah, akan selalu
bersaing.... ha-ha!!
Biarpun Mutiara Hitam dan
Pek-kong-to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami banyak hal-hal
aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua orang itu berkelojotan dan
tewas dengan ucapan-ucapan seperti itu, keduanya merasa ngeri juga. Sejenak
mereka berdua memandang kepada pedang jantan! yang kini menancap di dada
Mahendra, untuk kedua kalinya minum darah manusia, dan kepada pedang betina!
yang menancap di dada Nila Dewi.
Haruskah kita mengambil
pedang-pedang itu?! Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya dengan perasaan
jijik. Tak enak rasanya memegang kedua pedang itu.!
Mutiara Hitam mengangkat muka
memandang suaminya. Apa? Engkau.... takut?!
Suaminya tersenyum. Takut sih
tidak, hanya.... hemm, ngeri!! Ia memandang kepada dua mayat itu. Sebaiknya
kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua pedangnya!!
Tidak baik begitu!! Mutiara
Hitam mencela. Pedang ini tercipta karena kita, maka harus berada di tangan
kita. Kalau dikubur kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?!
Apa....? Kau sebatang dan aku
sebatang? Jangan-jangan setelah kita berdua masing-masing menyimpan sebatang,
kita pun akan menjadi gila dan saling menyerang seperti mereka.! Hauw Lam
menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyang tangan.
Tahyul!! Mutiara Hitam
mencela.!Memang mereka ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaingan.
Akan tetapi, biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya.! Mutiara Hitam
lalu mencabut! sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua
pedang dan ke arah dada kedua buah mayat itu.
Benar-benar Sepasang Pedang
Iblis yang suka minum darah.... !! Tang Hauw Lam berseru dengan muka pucat.
Ternyata setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada
darahnya, bahkan dada yang terluka dan ditembus podang itu pun tidak berdarah,
seolah-olah semua darahnya habis dihisap oleh kedua pedang itu!
Sepasang Pedang Iblis yang
haus darah dan harus disingkirkan!! Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba
ia membentak dua orang murid yang datang mandekat, Ho, kalian mau apa?!
Subo, berikan pedang betina
kepada taecu!! kata Ok Yan Hwa.
Dan yang Jantan untuk teecu,
Subo!! kata pula Can Ji Kun.
Dua orang suami isteri itu
saling pandang. Hemm, untuk apa pedang bagi kalian?! Kemudian Mutiara Hitam
berkata untuk membantah sendiri ketahyulannya terhadap sifat sepasang pedang
itu. Karena baru saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang masih ada
lubang-lubang dan hawa panas oleh api yang membakarnya, membuat pedang-pedang
ini mempunyai daya menghisap.! Betapapun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri
dan meneliti sepasang pedang itu penuh perhatian. Buatannya amat indah dan
halus, bentuknya sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang
berbeda sedikit besarnya. Ia mempertemukan ujung pedang yang runcing dan....
kedua pedang itu tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba-tiba
ada kekuatan aneh yang membuat gagang kedua pedang itu saling menempel!
Berkali-kali Mutiara Hitam mencoba dan mendapat kenyataan bahwa ujung runcing
kedua pedang itu saling menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.
Hemm, mengandung sembrani yang
kuat....! katanya perlahan. Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan
Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk merantau ke tempat lain karena
Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi peristiwa
kematian dua orang India itu.
Tang Hauw Lam yang amat
bijaksana dan amat mencinta isterinya, maklum sepenuhnya betapa sikap isterinya
berubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja Khitan. Isterinya
sekarang pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut karena
sering dibentak dan ditampar, pula sering kali termenung-menung dan melihat
matanya yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu secara
sembunyi-sembunyi suka menangis.
Pada suatu hari, selagi mereka
beristirahat di atas lereng dan mereka membiarkan dua orang murid bermain-main
di padang rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi tek anan batinnya. Ia
duduk mendampingi isterinya dan berkata lirih.
Kwi Lan Isteriku. Engkau
kenapakah?!
Kwi Lan yang seperti orang
termenung itu, menoleh kepada suaminya dan berkata singkat, Tidak apa-apa.!
Hauw Lam menghela napas,
kemudian berkata halus dan lirih. Kita telah menjadi suami isteri selama
belasan tahun, setiap harl kita berkumpul sehingga aku mengenal engkau seperti
mengenal tubuhku sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat terjadi atas
dirimu. Engkau membiarkan Nila Dewi dan Mahendra membunuh dua orang anak kecil,
kemudian saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja membunuh Raja Yucen, kulihat
dari getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau mendengar
bahwa pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukanlah bangsa Yucen, melainkan bangsa
Mongol. Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian kakak
kembarmu, bukan? Kedukaan yang membuat engkau menjadi dingin, tak pedulian,
kejam....!
Tiba-tiba Mutiara Hitam,
wanita sakti yang hatinya sekeras baja itu, menubruk suaminya, merangkul dan
menangis tersedu-sedu. Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan,
Lam-ko....? Aihh.... l!
Tang Hauw Lam memeluk
isterinya penuh kasih sayang dan membiarkan isterinya menangis sepuasnya untuk
memberi jalan keluar pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata.
Isteriku, kalau tidak salah
dugaanku, engkau tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja
Talibu, bukan?!
Kembali Mutiara Hitam
memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak sepasang matanya
memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia melihat betapa suaminya
memandang kepadanya penuh pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.
Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau
aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi. Aku bisa
men
jadl gila dikejar-kejar
dendaml Aku..., aku harus membalas dendam lnl, aku harus membunuh Raja Mongol!
Tang Hauw Lam menarik napas,
kemudian berkata suaranya penuh kedukaan. Aku mengerti, Isteriku. Biarpun
keputusan hatimu Ini sebenarnya jeliru, namun tidak berani aku melarangmu
karena aku tahu betul apa yang terjadi dalam hatimu.!
Mutiara Hitam merangkul
suaminya. Aihhh, Lam-ko... selamanya engkau begini penuh pengertian terhadap
aku, penuh kasih sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah...
ahhh, lam-ko... akan tetapi, kalau aku tldak membalas dendam kematlan kakakku,
agaknya aku akan menjadi gila! Aku akan mati dalam hidup merana dan selalu dlgoda
bayangan Kakak Talibu yang menuntut dlbalaskan kematiannya. Aaahh, Lam-ko,
betapa tersiksa selama beberapa malam ini... didatangi bayangan Kakak
Talibu.... Mutiara Hitam menangls lagi
terisak-isak.
Diam-diam Hauw Lam terkejut
sekali.
Dia mengerti bahwa' memang
ikatan batin dan lkatan getaran yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara
kembar. Maka Ia mengeraskan hatinya dan bertanya.
Janganlah engkau merasa
bersalah kepadaku dan hendak menyembunyikan, Isteriku. Sekarang katakanlah
terus terang, apa yang menjadi kehendak hatimu yang selama ini kautahan-tahan
dan kautekan-tekan?!
Mutiara Hitam menyusut air
matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya, sekali ini seperti
biasa, tenang dan penuh kesungguhan. Lam-ko, aku lngin pergi ke Mongol dan
membunuh Raja Mongol!
Biarpun jantung Hauw Lam
berdebar karena maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan membunuh diri,
namun ia mengangguk dan berkata, Balk sekali! Kapan kita berangkat, aku siap,
Isteriku.!
Inilah persoalan yang
mengganggu hatiku dan membuat aku selama ini tidak dapat berterus terang.
kepadamu, Lamko. Aku harus pergi sendiri!!
Berkerut sepasang alls Tang
Hauw Lam ketika la memandang tajam wajah lsterlnya. Mengapa demikian, .
Lan-moi?!
Ucusan balas dendam terhadap
Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan apI!!
Tang Hauw Lam tertawa
bergelak. Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitaml Apa kauklra aku lnl orang yang takut
mati?!
Jangan berkelakar. Lam-ko.
Dalam urusan laln, tentu saja aku leblh suka sehldup semati dl sampingmu. Akan
tetapi urusan Ini lain lagi, lnl merupakan urusan pclbadi bagiku dan aku tidak
mau menarlk dirlmu menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku juga
menjadi korban dalam urusan ini. Selain Itu, kalau kita pergi berdua, bagaimana
dengan murid-murid kita? Tidak, suamiku dan kuharap engkau suka memenuhi
permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku aku akan berterima kasih sekali
kepadamu.!
Kwi Lan.... !! Hauw Lam
menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini
isterinya tidak main-main dan sudah mengambil keputusan tetap yang takkan dapat
dirubah lagi.
Kwi Lan merangkul dan membelai
suaminya penuh kasih sayang. Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok pagl aku
akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid kita ke Gunung Merak dl
sebelah utara kota raja Khitan, kaulngat tempat yang dlsediakan untuk menjadi
tempat pekuburan keluarga Ayahku Sullng Emas? Nah, kautunggulah aku dI sana
bersama dua orang murid dan semua kitab-kltabku, juga Sepasang Pedang Iblis. Kalau
selesal tugasku di Mongol dan aku dapat keluar dengan selamat, aku akan
menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., andaikata aku tewas dalam tugas pribadi
ini, hemm... kaupimpin balk-baik kedua orang murid kita, dan aku... aku akan
selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, Suamiku.!
Lan-mol.... i! Sekali Ini .
Hauw Lam yang mencucurkan alr mata. Semalam ltu suaml lsteri ini mencurahkan
kasih sayang sepenuhnya karena mereka merase di dalam hati bahwa mungkin sekali
mereka saling menumpahkan kasih
untuk penghabisan kali!
Pada keesokan harinya, dengan
mata bengkak dan merah, di samping suaminya yang kelihatan muram dan lesu,
Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu menlnggalkan pesan.
Aku mau pergi, mungkin lama
sekali. Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus mentaati
semua perintah suhu kalian, belajar dengan tekun dan rajin sehingga kelak dapat
menjadi pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Jangan
membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara Hitam dan Golok Sinar Putih adalah
pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati kalian, kalau sepergiku kalian tidak
menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku sendiri yang akan menghukum kalian dan
kalau aku sudah mati, arwahku yang akan menghukum kalian. Mengerti?!
Dua orang murid itu
menganggukangguk sambil menangis sesenggukan karena mereka sudah mendengar
bahwa subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembalil Setelah
berpelukan untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata hanya sinar
mata . mereka saja yang melepas seribu janji bahwa dalam keadaan hidup ataupun
matti mereka pastl akan saling berkumpul kembali, Mutiara Hitam lalu berkelebat
pergi meninggalkan tiga orang yang dikasihinya!
Tang Hauw Lam merasa
seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, ia
tidak pernah berpisah dari isterinya yang tercinta itu. Merantau ke negeri jauh
berdua, menghadapi bahaya-bahaya maut berdua, dalam keadaan suka maupun duka
selalu berdua dan bersatu hati. Kini, tiba-tiba isterinya pergi meninggalkannya
untuk urusan yang amat berbahaya! Lemah seluruh tubuhnya dan kalau di situ
tidak ada dua orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira
ini akan menangis menggerunggerung.
Dia lalu mengajak kedua
muridnya, mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang Pedang
Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi menuju
ke Bukit Merak di Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi bagi Hauw Lam.
Matahari seolah-olah kehilangan sinarnya, bunga-bunga kehilangan keindahannya
dan hatinya selalu merasa kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa
gelisah dan tertekan. Namun ia tidak pernah mengeluh di depan kedua orang
muridnya. Setelah tiba di Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang
muridnya dengan tekun, akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap-harap siang
malam akan kembalinya Mutiara Hitam.
Dia hanya makan sedikit sekali
dan hampir tak pernah tidur karena kalau siang dia selalu menerawang ke jauh,
kalau malam telinganya seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang!
Tubuhnya menjadi kurus sekali dan wajahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan
tidak menentu itu benar-benar merupakan siksaan yang paling berat bagi manusia.
Kalau saja ia tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah?
Masih hidupkah isterinya? Ataukah sudah tewas?
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa
adalah dua orang anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu mereka ini
adalah seorang yang gembira selalu, tidak pernah marah, maka mereka itu amat
manja terhadap suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka
dan dua orang murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan suami
isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari Hauw Lam
mereka mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima kegembiraan,
adapun dari Mutiara Hitam mereka mendapatkan tekanan agar rajin dan mengenal
disiplin.
Kini setelah Mutiara Hitam
pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biarpun mereka masih tekun belajar
di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering kali bermain-main
sendiri dan tidak mempedulikan guru mereka.
Hal ini adalah karena Tang
Hauw Lam Juga sudah seperti sebuah arca, kehilangan semangatnya sehingga dia
pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu silat.
Setelah dua orang murid itu
tahu bahwa subo mereka pergi hendak membunuh Raja Mongol dan melakukan tugas
yang berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang
ini selain belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti kembalinya
Mutiara Hitam yang amat diharap-harapkan.
***
Mengapa Paduka tidak suka ikut
bersama bibi Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah dengan ikut beliau, Paduka
sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak dapat mempelajari ilmu silat
tinggi yang dimiliki pendekar sakti Mutiara Hitam?! Khu Tek San bertanya kepada
Maya ketika mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar berlindung dari
terik matahari.
Maya menarik napas panjang.
Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku. Sesungguhnya, aku bukanlah
puteri Khitan aseli, dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu Khitan saja!
Mereka tidak mempunyai keturunan dan aku adalah seorang yang yatim piatu.
Karena itulah, maka aku tidak suka ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu
tahu pula bahwa aku bukan keponakannya sesungguhnya. Aku orang biasa, Paman
Khu.!
Khu Tek San mengerutkan
alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi, anak sendiri
ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus dia
lindungi dan ia hadapkan kepada gurunya.
Baiklah, Maya. Mulai sekarang,
demi keselamatanmu sendiri, engkau kuaku sebagai keponakanku. Marilah kita
melanjutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit itu, adalah benteng bertahanan
barisan Sung, kawan-kawan sendiri. Setelah bertemu mereka, perjalanan ke
selatan tentu lebih lancar. Kita dapat menunggang kuda.!
Berangkatlah mereka berdua dan
karena biarpun baru berusia sepuluh tahun Maya telah memiliki kepandaian
lumayan, apalagi setelah ia makan buah-buah merah yang biarpun kini khasiatnya
sudah banyak berkurang namun telah mempertinggi gin-kangnya, maka perjalanan
itu dapat dilakukan cepat. Baru sekarang Maya tahu bahwa khasiat buah merah
yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara, dan agaknya orang-orang aneh itu
setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas saja ketika pohon buah itu ketahuan
olehnya, mereka ribut-ribut takut kalau buahnya dihabiskan!
Mereka melewatkan malam di
lereng bukit dan pada keesokan harinya, sebelum tengah hari mereka telah tiba
di daerah penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan
ia mengajak Maya untuk mempercepat jalannya. Gembira hatinya akan bertemu
dengan anak buah pasukan negaranya dan panglima-panglima yang menjadi rekan-rekannya.
Akan tetapi dapat dibayangkan
betapa kaget dan penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di tempat
penjagaan, ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa
orang panglima berkuda yang menghadapinya dengan sikap keren, bahkan seorang
panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa membentak nyaring.
Khu Tek San! Atas perintah
atasan, kami menangkapmu sebagai seorang pengkhianat!! Panglima itu lalu
memberi perintah kepada anak buahnya. Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan
itu juga!!
Apa artinya ini....?! Khu Tek
San hampir tidak percaya akan mata dan telinganya sendiri!
Hemmm, Khu Tek San! Apakah
engkau hendak memberontak pula, melawan pasukan negara?! tanya panglima tinggi
besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia tidak suka
melakukan tugas ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa banyak cakap,
dengan wajah murung.
Aku tidak akan melawan.
Silakan!! Khu Tek San memberikan kedua lengannya yang segera dibelenggu dengan
belenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang Khu Tek San
dengan mata terbelalak tidak melawan ketika kedua tangannya dibelenggu dengan
rantai besi yang lebih kecil. Hemm, agaknya rantai-rantai itu telah
dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek San. Kemudian ia memandang kepada tiga
orang panglima itu dan berkata lantang.
Ong Ki Bu! Cong Hai dan engkau
Kwee Tiang Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek
San! Kalian adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku, sudah mengenal
sepak terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan tuduhan berkhianat?!
Sejenak tiga orang panglima
itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu, panglima tinggi
besar itu, berkata, Khu Tek San, engkau tahu bahwa petugas-petugas seperti kita
hanya mentaat perintah atasan! Engkau dituduh telah berkhianat terhadap negara,
telah menjadi kaki tangan bangsa Yucen, bahkan engkau dituduh telah melindungi
puteri Khitan. Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan Sung, dan karena
itu, kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!!
Apa....?! Khu Tek San
membentak marah. Aku bukannya orang yang takut menghadapi hukuman apapun juga!
Akan tetapi, salah atau tidak, seorang panglima baru akan menjalani hukuman
setelah diperiksa di pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa aku akan dihukum
tanpa melalui pemeriksaan pengadilan?!
Kembali tiga orang panglima
itu kelihatan tidak enak sekali, muka mereka berubah merah dan dengan suara
serak dan terpaksa. Ong Ki Bu berkata, Semua ini bukan kehendak kami, Khu Tek
San, melainkan atas perintah.!
Atas perintah siapa? Apakah
Hong Siang sendiri yang memerintahkan? Harap suka perlihatkan perintah dari
Kaisar!!
Kaisar tidak mengurus hal-hal
ketentaraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San?! jawab Ong Ki Bu yang
agaknya benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan ini dan ingin agar
segera selasai. Kalau engkau hendak mendengar bunyi perintah atasan, nah,
dengarlah!! Panglima tinggi besar itu lalu mengeluarkan segulung kertas dan
membaca dengan suara lantang.
Karena sudah jelas bahwa
Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhianatan terhadap negara dengan
menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami memerintahkan kepada semua
panglima yang menjaga di tepi tapal batas, untuk menangkapnya dan menjatuhkan
hukuman mati gantung di tempat ia ditangkap!!
Wajah Khu Tek San tidak
berubah, sedikit pun tidak kelihatan ia gentar sungguhpun matanya membayangkan
penasaran dan amarah. Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah
ini, Ong-ciangkun?!
Perintah atasan harus ditaati
dan kiranya tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek San. Bersiaplah untuk
menjalani hukuman gantung,! Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buahnya
dan menunjuk ke depan. Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas
pohon bahkan telah tersedia tali gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang
telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan, tetapi ia mengenal betul
tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang gagah dan taat sehingga
tidak mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mencelakakan dirinya. Yang benar
tentulah yang menjatuhkan perintah ini!
Paman, kurasa ini pun hasil
perbuatan manusia bernama Siangkoan Lee itu....! Tiba-tiba Maya berbisik. Anak
ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut mengancam Khu Tek San
yang akan digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang
dan menjalankan otaknya.
Benar....! Kau benar....!!
Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya di antara rantai
belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang sudah siap. Kemudian ia
membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara lantang.
Aku Khu Tek San, sebagai,
seorang panglima yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara, taat akan
bunyi perintah dan karena tidak diadakan pengadilan, maka aku pun tidak perlu
untuk membela diri. Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat,
agar tidak mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah itu tidak
disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas rekan yang
baik, sukalah mengantar keponakanku ini kepada Menteri Kam Liong!!
Permintaanmu kuterima, Khu Tek
San!! Terdengar Ong-ciangkun mengguntur. Dan kalau aku Ong Ki Bu sudah
menerima, tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak itu!!
Khu Tek San tersenyum dan
wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu. Terima kasih!
Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini, rekanku Ong,
juga terima kasih karena sikapmu ini membuktikan bahwa Panglima-panglima Sung
masih merupakan laki-laki sejati yang jantan dan gagah perkasa. Nah, aku siap
menerima hukuman!!
Khu Tek San melangkah maju
menghampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak, bukan karena
ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah perkasa ini!
Seorang perajurit yang
menerima perintah, sudah maju dan menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke
leher Khu Tek San, kemudian ia mundur untuk menarik ujung tali dari belakang
batang pohon bersama tiga orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap
gagah, mata terbuka lebar, siap menerima datangnya maut.
Siaaappp!! terdengar aba-aba,
lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga lubang gantungan akan
menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.
Krekkk!! Bukan tubuh Khu Tek
San yang tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu yang tiba-tiba putus
dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San! Semua orang terheran lalu memandang ke
atas dan ributlah mereka ketika melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu telah
duduk menongkrong di atas dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi,
Ong Ki Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri, terkejut sekali
melihat betapa pemuda itu dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di
situ terdapat banyak orang pandai!
Melihat, pemuda itu jelas
datang hendak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak senang,
karena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak dan
melawan perintah atasan, Maka ia berseru.
Hei, Enghiong muda yang
lancang! Harap jangan mencampuri urusan. ketentaraan! Aku Khu Tek San dengan
rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan mencampurinya?!
Pemuda itu tersenyum dan semua
orang memandang heran. Dia masih muda sekali, paling banyak dua puluh satu
tahun umurnya, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di
punggung dan biarpun menghadapi pasukan sekian banyaknya ia kelihatan tenang
tenang saja.
Khu-ciangkun, engkau adalah
seorang gagah perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang. Engkau contoh
kegagahan. Akan tetapi, yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan,
melainkan hukum rimba! Di mana ada aturannya seorang panglima yang sudah banyak
jasanya seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung
di dalam rimba? Tidak malukah para panglima yang melakukan tugas rendah ini?!
Heh, orang muda! Turunlah dan
kita bicara yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan hukuman ini. Engkau siapa?!
Pemuda itu melayang turun,
gerakannya ringan dan indah ia sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan
tersenyum tenag!. Aku bernama Kam Han Ki....!
Ohhh....!! Khu Tek San tak
dapat menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak. Tentu saja
ia mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang
semenjak kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang
tahu-taru muncul dl situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani
menentang pasukan bala tentara Sung!
Kami melaksanakan hukuman atas
perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau berani mengatakan
hukum rimba?! Ong Ki Bu membentak marah.
Sabarlah, Ong-ciangkun. Sejak
tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para panglima adalah
orang-orang gagah perkasa seperti Khu-ciangkun, yang setia akan tugas dan
melaksanakan perintah atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan,
perlu kauperlihatkan, atasan yang manakah yang memerintahkan engkau menggantung
Khu-ciangkun? Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari kota raja!!
Semua orang terkejut dan
dengan muka merah saking penasaran karena orang tidak mempercayai dirinya. Ong
Ki Bu mengeluarkan gulungan surat perintah dan membukanya di depan orang banyak
sambil berseru keras.
Yang menjatuhkan perintah
adalah Panglima Besar Suma Kiat! Apakah masih tidak dipercaya lagi?!
Hemm, hemm.... surat bisa
dipalsukan. Dari siapa engkau menerima surat perintah ini, Ong-ciangkun?! Han
Ki bertanya.
Ong-ciangkun melotot kepada
Han Ki dan membentak. Orang muda, sudah puluhan tahun aku menjadi panglima! Apa
kaukira aku begitu sembrono untuk tidak meneliti surat perintah tulen atau
palsu? Surat ini tulen, apalagi yang membawa ke sini adalah murid dan pembantu
Suma-goanswe sendiri!!
Di mana dia? Harap engkau suka
memanggilnya!! Han Ki mendesak.
Panglima itu menyuruh anak
buahnya, akan tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat itu tidak ada. Wah, dia....
dia sudah pergi tanpa pamit. Sungguh aneh!! Ong-ciangkun berkata heran.
Kam Han Ki lalu berkata,
Ong-ciangkun, Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini. Dengarlah.
Aku adalah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa Khu-ciangkun
adalah murid dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat perintah dari
Menteri Kam Liong yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Panglima Suma,
harap kalian suka mengindahkan perintahnya!! Han Ki mengeluarkan segulung surat
pula.
Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu
menerima dan membaca surat itu yang berbunyi :
MENTERI KAM LIONG MENGUTUS
PETUGAS KAM HAN KI UNTUK MENJEMPUT DAN MEMANGGIL PULANG PANGLIMA KHU TEK SAN KE
KOTA RAJA.
Wajah panglima tinggi besar
itu berseri-seri dan ia tertawa bergelak. Ha-ha-ha! Lega hatiku sekarang! Tentu
saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani membantah
perintah beliau? Dan dengan adanya perintah Menteri Kam Liong, terpaksa aku membatalkan
perintah Panglima Suma, tidak ada yang akan menyalahkan aku. Ha-ha-ha, rekan
Khu Tek San, dasar orang baik selalu dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini
datang mengembalikan nyawamu, ha-ha-ha! Engkau tentu tahu betapa tak senang
hati kami semua melaksanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang
yang kedudukannya lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?!
Aku mengerti, Sahabat Ong, dan
terima kasih,! kata Khu Tek San dan setelah dilepas belenggu tangannya dan
tangan Maya, Khu Tek San lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kam Han Ki
sambil berkata,
Teecu Khu Tek San mengucapkan
terima kasih atas bantuan Susiok (Paman Guru)!!
Kam Han Ki cepat mengangkat
bangun orang yang lebih tua akan tetapi karena menjadi murid kakak misannya
maka menjadi pula murid keponakannya itu. Khu-ciangkun harap jangan berlaku
sungkan. Mari kuantar ke kota raja bersama anak yang kautolong itu. Maya
namanya, bukan?!
Maya memandang kepada Kam Han
Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San.
Paman Khu, dia masih begini
muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya? Sungguh tidak layak, membikin dia
besar kepala dan sombong saja!!