Sangum murka berbareng bingung. Ia kaget dan tidak menyangka putranya
dapat ditawan musuh selagi putra itu berada dalam lindungan tentaranya
yang berjumlah besar itu. Ia tidak bisa berbuat lain dari pada keluarkan
titahnya untuk pasukannya itu mundur seratus tombak. Mereka Cuma
mundur, tapi pengurungan tidak dibubarkan, malah kereta besar dikitarkan
di seputar bukit itu, dalam tujuh dan delapan lapis!
Temuchin puji Kwee Ceng, yang diperintah gunai dadung, untuk ringkus Tusaga.
Tiga kali Sangum mengirim utusan, meminta putranya dimerdekaan, supaya
Temuchin menyerah, nanti jiwanya Temuchin akan diberi ampun, katanya.
tapi tiga-tiga kalinya, Temuchin usir utusan itu.
Tanpa terasa, langit telah menjadi gelap. Temuchin khawatir Sangum
menyerbu, ia kasih perintah orang-orangnya terus memasang mata.
Kira-kira tengah malam, seorang dengan pakaian putih muncul di kaki
bukit. ia lantas berteriak: “Di sini Jamukha! Aku ingin bicara dengan
saudara Temuchin!”
“Kau naiklah kemari!” Temuchin menjawab.
Jamukha mendaki dengan perlahan-lahan. Ia tampak Temuchin berdiri
menantikan dengan romannya yang angker. Ia maju mendekati, ingin ia
memeluk. Adalah adat istiadat bangsa Mongolia akan saudara muda memeluk
dan merangkul saudara tuanya.
Temuchin hunus goloknya. “Adakah kau masih anggap aku sebagai kakak angkatmu?” ia menegur.
Jamukha menghela napas. Ia lantas duduk bersila. “Kakak kau telah
menjadi Khan yang agung, kenapa kau masih berambekan besar sekali?” ia
tanya. “Kenapa kau bercita-cita mempersatukan bangsa Mongolia?”
“Kau sebenarnya menghendaki apa?” Temuchin tanya.
“Pelbagai kepala suku pada membilangnya bahwa leluhur kita sudah turun
temurun beberapa ratus tahun hidup secara begini, maka itu kenapa khan
yang agung Temuchin hendak mengubahnya? Tuhan juga tidak memperkenankan
itu,” katanya Jamukha lagi.
“Apakah kau masih ingat cerita tentang leluhur kita Maral Goa?” Temuchin
tanya. “Lima putra mereka tidak hidup rukun, ia masaki daging kambing
kepada mereka, mereka juga masing-masing diberikan seorang sebatang anak
panah, ia suruh mereka masing-masing mematahkannya. Dengan gampang
mereka itu melakukannya. Lalu ia berikan mereka lima batang anak panah
yang digabung menjadi satu, kembali ia menitahkan mereka untuk
mematahkannya. Bergantian mereka berlima mencoba mematahkan anak panah
itu, mereka gagal. Ingatkah apa pesan leluhur kita itu?”
Dengan perlahan Jamukha mengatakan: “Jikalau kamu masing-masing
bercerai-berai, kamu menjadi seperti anak panah ini, yang gampang sekali
orang siapa pun dapat mematahkannya; jikalau kamu berpadu hati bersatu
tenaga, kamu menjadi seperti lima batang anak panah yang digabung
menjadi satu ini, yang tak dapat dipatahkan siapa juga!”
“Kau masih ingat itu, bagus!” seru Temuchin. “Kemudian bagaimana?”
“Kemudian mereka berlima bersatu padu bekerja sama, mereka menjadi leluhur kita bangsa Mongolia!” sahut Jamukha.
“Benar begitu!” kata Temuchin. “Kita juga adalah orang-orang gagah,
kenapa kita tidak hendak mempersatukan bangsa Mongolia kita? Kita harus
saling kepruk, kita bersatu hati bekerja sama untuk memusnahkan bangsa
Kim itu!”
Jamukha terkejut. Kata ia: “Negeri Kim itu banyak tentaranya dan banyak
panglima perangnya, emasnya tersebar di seluruh negaranya, rangsumnya
bertumpuk bagaikan gunung, cara bagaimana bangsa Mongolia bisa main gila
terhadapnya?”
“Hm!” Temuchin perdengarkan ejekannya. “Jadinya kau suka yang kita semua diperhina dan ditindih bangsa Kim itu?”
“Mereka pun tidak menghina dan menindih kita,” kata Jamukha. “Raja Kim itu telah anugerahkan pangkat Ciauw-touw-su padamu.”
Temuchin menjadi mendongkol. “Mulanya aku juga menyangka raja Kim itu
baik hati,” katanya. “Siapa tahu permintaannya kepada kita makin lama
jadi makin hebat! Sudah minta kerbau dan kambing, dia minta kuda, dan
sekarang dia menghendaki orang-orang peperangan kita membantu ia
berperang!”
“Wang Khan dan Sangum tidak ingin memberontak terhadap negara Kim itu!” kata Jamukha pula.
“Berontak? Hm! Berontak!” seru Temuchin menghina. “Dan bagaimana dengan kau sendiri?”
“Aku datang untuk meminta kau jangan gusar, kakak. Aku minta supaya kau
kasih pulang Tusaga kepada Sangum. Aku tanggung Sangum nanti melepaskan
kau pulang dengan selamat!”
“Aku tidak percaya Sangum! Aku juga tidak percaya kau!”
“Sangum bilang, kalau satu putranya terbinasa, dia bakal melahirkan dua
putra lagi! Kalau satu Temuchin terbinasa, untuk selamanya tidak bakal
ada Temuchin lagi! Jikalau kau tidak merdekakan Tusaga, kau bakal tak
dapat melihat lagi matahari besok!”
Temuchin membacok ke udara. “Aku lebih suka terbinasa dalam perang, tak nanti aku menyerah!” serunya.
Jamukha bangkit berdiri. “Kita membagi-bagikan kerbau dan kambing
rampasan kepada tentara, kau mengatakannya itu milik mereka pribadi,
bukannya milik suku beramai. Mengenai itu, semua pelbagai kepala suku
mengatakannya kau berlaku buruk, tak tepat itu dengan pengajaran leluhur
kita!”
Temuchin berseru: “Akan tetapi semua orang peperangan yang muda-muda senang dengan caraku itu!”
“Baiklah saudara Temuchin,” kata Jamukha. “Harap kau tidak mengatakannya aku tidak berbudi!”
Temuchin lantas keluarkan satu bungkusan kecil dari dalam sakunya, ia
lemparkan ke depan Jamukha. Ia bilang, “Inilah tanda mata ketika angkat
saudara untuk ketiga kalinya, sekarang kau terimalah kembali! Besok kau
membawa golokmu untuk berperang di sini!” Sembari berkata begitu, ia
geraki tangannya seperti hendak membacok batang lehernya. Ia tambahkan.
“Yang dibunuh itu adalah musuh, bukannya kakak angkatmu!”
Jamukha jemput bungkusan kecil itu. Ia pun keluarkan satu kantung kulit
kecil dari sakunya, tanpa membilang apa-apa, ia letaki itu di samping
kakinya Temuchin, lalu ia memutar tubuhnya untuk turun dari bukit itu.
Temuchin mengawasi belakang orang, sekian lama ia diam saja. Ia ada
sangat berduka. Sungguh tidak ia sangka, saudara angkat itu yang
bagaikan saudara kandungnya bisa berubah demikian rupa, hingga membaliki
belakang kepadanya. Lalu dengan perlahan-lahan ia buka kantung kulit
itu, akan tuang keluar isinya, ialah kepala panah dan biji piesek yang
diwaktu muda mereka sering membuat main. Segera terbayang di hadapan
matanya saat dahulu hari ketika mereka sama-sama bermain-main di es. Ia
menghela napas. Dengan goloknya ia mencongkel sebuah liang di tanah, di
situ ia pendam itu barang tanda mata dari adik angkatnya itu.
Kwee Ceng di samping mengawasi dengan perasaan berat. Ia mengerti, apa
yang Temuchin pendam itu adalah persahabatan yang ia paling hargakan….
Habis menguruk tanah dengan kedua tangannya, Temuchin bangun berdiri. Ia
memandag ke depan. Ia nampak api yang dinyalakan tentaranya Sangum dan
Jamukha, yang menerangi tanah datar seperti juga banyak bintang di
langit. Ia berdiam sekian lama, kemudaian berpaling, hingga ia dapatkan
Kwee Ceng berdiri diam di sampingnya.
“Apakah kau takut?” ia tanya.
“Aku tengah memikirkan ibuku,” Kwee Ceng menyahuti.
“Kau ada seorang gagah, orang gagah yang baik sekali,” Temuchin memuji.
Ia menunjuk kepada api di kejauhan itu, ia melanjutkan: “Mereka itu juga
orang-orang gagah! Kami bangsa Mongolia ada punya begini banyak orang
gagah, sayang kami saling bunuh satu sama lain! Coba semua dapat
berserikat menjadi satu…” Ia memandang ke ujung langit, lalu menambahkan
pula; “….kita pasti dapat membuat seluruh dunia, membuat seluruh dunia
menjadi ladang tempat kita menggembala ternak kita!”
Kagum Kwee Ceng akan dengar itu cita-cita dari Khan yang agung ini. Ia
lantas kata, “Khan yang agung, kita bisa menang perang, tidak nanti kita
dapat dikalahkan Sangum yang berhati kecil dan hina dina itu!”
Temuchin pun menjadi bersemangat. “Benar!” sambutnya. “Mari kita ingat
pembicaraan kita malam ini! Selanjutnya akan aku pandang kau sebagai
anak kandungku!” Dan ia rangkul si anak muda!
Sementara itu, cuaca sudah mulai terang. Di dalam pasukannya Sangum dan Jamukha segera terdengar suara terompet.
“Bala bantuan tidak datang. Hari ini kita akan mati perang di gunung ini!” kata Temuchin.
Ini waktu terlihat tentara musuh sudah mulai bergerak, rupanya mereka hendak memulai penyerbuan mereka.
Temuchin bersama ketiga putranya dan semua panglimanya mendekam di
belakang tumpukan tanah, anak panah mereka diarahkan ke setiap jalanan
di gunung itu, jalanan yang bisa diambil musuh untuk menerjang naik.
Tidak antara lama, sebuah bendera kuning muncul dari dalam pasukannya
Sangum. Di bawah bendera itu ada tiga orang, yang menuju ke sisi gunung.
Mereka itu adalah, di kiri Sangum, di kanan Jamukha, dan di
tengah-tengah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim.
Pangeran Kim ini memakai kopiah dan jubah perang berbalut emas, tangan
kirinya mencekal tameng untuk pencegah panah.
“Temuchin, adakah kau hendak memberontak terhadap negara Kim yang agung?!” tanya itu pangeran.
Juji, putra sulung Temuchin, tujukan panahnya dan memanah pangeran itu.
Di belakang pangeran ini segera muncul satu orang, yang menyambuti anak
panah itu dengan tangannya. Dia sangat gesit dan gapa.
Wanyen Lieh lantas saja berseru dengan titahnya, “Tolongi Tusaga! Bekuk Temuchin!”
Atas titah itu, empat orang berlompat maju, untuk lari mendaki ke atas gunung.
Kwee Ceng terperanjat menyaksikan kegesitan empat orang itu. Mereka itu
menggunai ilmu enteng tubuh. Jadi mereka adalah orang-orang Rimba
Persilatan, bukannya orang peperangan yang biasa.
Setibanya empat orang itu di tengah jalan, mereka dipapaki hujan panah
oleh Jebe dan Borchu beramai, tetapi dengan tamengnya, mereka halau
setiap anak panah itu.
Kwee Ceng jadi berkhawatir, “Kita di sini adalah orang-orang peperangan
semua, kita bukannya tandingan jago-jago Rimba Persilatan itu…”
pikirnya. “Bagaimana sekarang?”
Satu di antara empat orang itu, satu pemuda dengan pakaian hitam sudah
lantas sampai di atas gunung. Dia dirintangi oleh Ogotai yang
bersenjatakan sebatang golok besar. Dia ayun tangannya, lantas sebatang
panah tangan menyambar ke batang lehernya putra Temuchin itu, disusul
sama bacokan goloknya. Berbareng dengan itu, berkelebatlah sebatang
golok putih mengkilap, menikam dari samping kepada lengan penyerang itu.
Dia terkejut, sambil kelit lengannya, ia lompat mundur. Maka ia lihat
di depannya ada satu anak muda dengan alis gompiak dan mata besar, yang
mencekal pedang. Ia ini menghalang di depannya Ogotai. Dia heran dalam
rombongannya Temuchin ada orang yang pandai ilmu pedang.
“Kau siapa?” dia menegur. “Beritahukanlah she dan namamu!” Dia bicara dalam bahasa Tionghoa.
“Aku Kwee Ceng!” sahut anak muda itu.
“Tidak pernah aku dengar namamu! Lekas kau menyerah!” kata orang itu sombong.
Kwee Ceng sementara itu telah melihat, tiga kawannya orang ini sudah
tiba di atas gunung dan tengah bertempur sama Chilaun, Boroul dan
lainnya. Di lain pihak orang-orangnya Sangum hendak bergerak pula.
Mukhali lantas saja tandalkan goloknya di lehernya Tusaga. “Siapa berani maju!” ia berteriak. “Akan aku lantas memenggal!”
Sangum menjadi khawatir dan bingung. “Tuan pangeran, titahkanlah mereka
itu turun!” ia mohon kepada Wanyen Lieh. “Mari kita memikir daya
lainnya, supaya anakku jangan terbinasa…!”
“Tetapkan hatimu, anakmu tak bakal terbinasa!” kata Wanyen Lieh sambil tertawa.
Orang-orangnya Sangum tidak berani naik, sedang empat orangnya Wanyen Lieh itu melanjuti pertempurannya.
Kwee Ceng telah gunai ilmu pedang Wat Lie Kiam pengajaran Han Siauw Eng,
ia layani musuh yang bersenjatakan golok itu. Segera ia dapat
kenyataan, berat tangannya lawan itu, yang goloknya tebal. benar-benar
musuh ini bukan sembarang orang. Ia pun tidak mengerti cara bersilatnya
orang, sedang dari enam gurunya pernah ia dengar pelbagai macam ilmu
silat. Orang ini mengancam ke kanan, tiba-tiba ancamannya itu berubah di
tengah jalan, menjadi bacokan ke kiri………
Mau tidak mau, Kwee Ceng main mundur. Segera juga ia ingat pengajaran
gurunya yang kesatu: “Di waktu bertempur mesti mempengaruhi orang tetapi
jangan kasih diri kena dipengaruhi. Sekarang aku main menangkis aja,
apakah itu bukan berarti aku kena didesak?” Karena ini, waktu datang
pula bacokan, ia tidak mundur lagi, sebaliknya ia menyambut seraya tekuk
kaki kanan dan tangan kiri bersiap sedia. Keras sekali, tangan
kanannya, ialah pedangnya, membalas menikam lempang.
Terkejut juga musuh menyaksikan orang seperti nekat, bersedia akan
celaka bersama, ia lantas tarik pulang goloknya. Kwee Ceng lihat ini ia
gunai ketikanya, ialah ia menikam pula, kapan musuh berkelit, ia ulangi
serangannya dengan beruntun. Terus ia bersilat dengan Wat Lie Kiam-hoat.
Kali ini, ialah yang membuat lawannya repot.
Di pihak lain, tiga kawannya musuh itu sudah berhasil merubuhkan empat
atau lima lawannya, kapan satu di antaranya melihat ia terdesak, dengan
bawa tombaknya, dia lompat menghampirkan. “Toasuko, mari aku bantu kau!”
dia berteriak.
“Kau lihat saja dari samping, kau lihat kepandaiannya toasukomu!”
berseru orang yang bergenggaman golok itu, yang dipanggil toasuko atau
kakak seperguruan yang tertua. Dia ini menganggap dirinya adalah tertua
kaum Rimba Persilatan, sebab ia adalah orang undangannya Wanyen Lieh,
yang untuk itu telah mengeluarkan banyak uang, sedang hari ini adalah
yang pertama kalinya ia muncul di medan pertempuran. Tentu saja di
hadapan ribuan serdadu, ia malu mengaku kalah terhadap adik
seperguruannya itu. Memangnya di antara empat saudara seperguruan ini
ada perbedaan tabiat atau sikap, masing-masing tidak sudi mengalah.
Kwee Ceng gunai ketika orang bicara, ia tekuk kaki kirinya dan menikam
dari bawah ke atas. Itulah gerakan “Kie hong teng kauw” atau “Burung
hong bangkit dan ular naga mencelat”. Musuh kaget dan berlompat
berkelit, tidak urung tangan bajunya yang kiri telah kena tersontek
robek.
“Lihat kepandaiannya toasuko!” berseru saudaranya yang memegang tombak itu sambil tertawa.
Itu waktu Temuchin telah dilindungi dengan dikurung oleh Jebe dan
lainnya yang belum terluka, sikap garang mereka membuat dua musuh
lainnya yang memegang ruyung besi dan sepasang kampak pendek, tidak
berani sembarang merangsak. Mereka ini pun telah dengar suaranya jiesuko
mereka, saudara yang kedua, maka mereka anggap baiklah mereka menonton
kakak mereka yang ke satu. Mereka mau percaya musuh tidak bakal lolos
lagi. Mereka hampirkan jiesuko itu, untuk berdiri berendeng bertiga,
akan menonton pertempuran sang kakak tertua.
Sebelum berkelahi terus, si pemegang golok itu lompat keluar kalangan.
“Kau muridnya siapa?!” ia tegur Kwee Ceng. “Kenapa kau datang kemari
untuk antarkan jiwamu?!”
Kwee Ceng lintangi pedangnya, ia bersikap tenang. “Teecu adalah muridnya
Kanglam Cit Koay,” ia menjawab dengan terus terang. “Teecu mohon tanya
suwie empunya she dan nama yang besar?” ia terus berbalik menanya empat
orang itu. “Suwie” ialah “keempat tuan”.
Orang itu menoleh kepada ketiga saudaranya. Lalu ia berpaling pula,
katanya: “Tentang nama kami berempat, taruh kami mengatakannya, kau satu
anak kecil tentulah tak dapat mengetahuinya. Lihat golokku!” Ia lantas
menyerang.
Kwee Ceng sudah tempur orang, ia merasa orang ada terlebih terlatih
daripadanya, akan tetapi ia adalah muridnya tujuh guru, telah banyak
pengetahuannya, dan ilmu pedangnya pun sudah dapat mendesak musuh ini,
maka itu ia melawan dengan berani, bukan ia mundur, ia mencoba mendesak
terus.
Sebentar saja, tigapuluh jurus telah dikasih lewat.
Puluhan ribu serdadu musuh, juga Temuchin semua, berdiam menyaksikan
pertempuran itu. Tidak terkecuali adik seperguruannya si toasuko. Ia ini
cemas juga setelah banyak jurus, ia masih belum bisa berbuat suatu apa.
Diakhirnya, ia menjadi seperti nekat. Demikian satu kali, dengan bengis
ia membacok melintang.
Kwee Ceng lihat pinggangnya terancam tebasan, ia mendahulukan menikam ke
arah lengannya musuhnya. Musuh itu menjadi girang melihat lawan tidak
berkelit hanya membalas menyerang. Di dalam hatinya ia berkata: “Belum
lagi pedangmu tiba, golokku sudah mengenai tubuhmu.” ia menebas terus
tanpa membuat perubahan.
Tenang adanya sikap Kwee Ceng, jeli matanya, sebat tangannya. Ia tunggu
sampai ujung golok hampir mampir di pedangnya, mendadak ia mengegos
sedikit, sedang tangan kanannya menikam terus ke dada lawannya itu!
Bukan main kagetnya si toasuko. Sambil berteriak, ia lepas dan lemparkan
pedangnya, sebagai gantinya, dengan tangan kosong ia sampok pedang si
anak muda. Keras sampokan ini, pedang Kwee Ceng terlepas dan jatuh ke
tanah. Ia tertolong jiwanya tetapi pedangnya toh mampir juga di
tangannya, maka tangan itu bercucuran darahnya!
“Sayang!” kata Kwee Ceng di dalam hati. Cuma karena kurang pengalaman,
ia gagal, sedang sebenarnya, dengan sedikit lebih sebat saja, ia akan
dapat tancapkam pedangnya di dada lawannya itu. Selagi musuh lompat
undur, ia jumput golok musuh yang jatuh di dekatnya.
Hampir pada itu waktu ada angin menyambar di belakangnya.
“Awas!” Jebe teriaki muridnya.
Kwee Ceng dengar pemberian peringatan itu, tanpa membalik tubuh lagi,
sambil mendak sedikit, ia mendupak ke belakang. Tepat dupakannya ini, ia
membuat tombaknya musuh terpental, habis mana, sambil memutar tubuh, ia
membacok ke arah lengannya musuh. Kali ini ia gunai bacokan ajarannya
Lam Hie Jin, yaitu jurus “Burung walet masuk ke sarangnya” dari tipu
silat “Lam Sam Too-hoat” – ilmu pedang Lam San.
“Bagus!” seru lawan yang bersenjatakan tombak itu, yang membokong. Setelah berkelit dari bacokan, ia menikam ke dada pula.
Kembali Kwee Ceng bebaskan diri dengan kelitan “Dalam mabuk meloloskan
sepatu”, untuk membarengi membalas menyerang, ialah sambil melayangkan
kaki kanannya ke bahu musuh.
Penyerang bertombak ini menggunai ketikanya yang baik. Ia lihat Kwee
Ceng lihay dengan ilmu pedangnya, setelah pedang orang terlepas, ia
membokong. Ia tidak sangka si anak muda luas pengetahuannya dan gesit,
tikamannya itu dapat dihalau dan ia ditendang, terpaksa ia menarik
pulang serangannya. Tapi ia penasaran, terus ia maju pula, hingga ia
melayani musuh muda ini. Ia penasaran sebab ia tahu, dengan tombaknya
itu ia sudah punyakan pengalaman dua puluh tahun…………
Kwee Ceng berkelahi sambil matanya melihat dan otaknya bekerja. ia tahu
musuh ingin menerbangkan goloknya, bahwa musuh itu ingin memperlekas
kemenangannya.
Maka ia melawannya dengan sabar dan hati-hati. Tapi ini bukan berarti ia
berlaku kendor. Ia tetap berlaku cepat dan keras, seperti tadi melawan
si toasuko, ia mencoba mendesak, guna mempengaruhi musuh. Karena ini ia
tampaknya jadi semakin lihay, sehingga ia membuatnya si toasuko heran.
Si toasuko ini tadinya menyangka orang hanya lihay dengan pedangnya, tak
tahunya, goloknya sama aja.
Lagi beberapa lama, Kwee Ceng dapatkan musuh mulai ayal gerakannya. ia
lantas menantikan satu tikaman. Turut kebiasaan, ia mestinya menyampok
tombak seraya membarengi membacok. Tiba-tiba ia merasa tenaga musuh
berkurang, maka itu, ia batal membacok, ia terus memapas ke sepanjang
batang tombak, ke arah jari tangan musuh itu. Celaka kalau musuh itu
tidak lepaskan cekalannya.
Musuh itu terkejut, ia lantas mendahului lompat mundur.
Menghadapi lawan yang menggunai tombak ini, Kwee Ceng ada punya satu
keuntungan. ia telah dipertaruhkan akan bertempur sama anaknya Yo Tiat
Sim, karena Tiat Sim adalah keturunan kaum keluarga Yo yang terkenal
untuk ilmu tombaknya keluarga Yo, yaitu Yo Kee Chio-hoat, maka Lam Hie
Jin sengaja ajarkan muridnya ini tipu golok melawan tombak. Kebetulan
sekali, sekarang ini Kwee Ceng ada kesempatan akan pakai ilmu goloknya
yang istimewa itu dan ia berhasil. Apa yang tidak disangka, ilmu ini
bukan digunai di Kee-hin, tapi malah di sini.
Setelah dapat merampas tombak musuh, Kwee Ceng lempar goloknya ke bawah
gunung. Ia lantas berdiri diam mengawasi keempat musuhnya itu.
Musuh yang keempat, yang paling muda, tidak tahan sabaran, dengan putar
kampaknya, ia maju menyerang, mulutnya pun perdengarkan seruan. ia
agaknya penasaran yang mereka kalah dari satu bocah. Siapa menggunai
senjata pendek, ia mesti berkelahi rapat, baru ia bisa mengenai musuh,
demikian ia ini, dia mencoba merapatkan Kwee Ceng. Tapi pemuda kita,
dengan tombaknya, membuatnya orang kewalahan, sia-sia saja dia itu
mencoba berulang-ulang.
Sesudah lewat beberapa jurus, Kwee Ceng menggunai tipu. Dengan cara
biasa, tidak dapat ia rubuhkan atau lukai musuhnya ini. Ia berhasil.
Musuh tidak menduga jelek, ia mendesak, sambil membentak, ia lompat
menubruk, sepasang kampaknya turun dengan berbareng.
Kwee Ceng angkat tombaknya untuk menangkis. Hebat kampaknya itu, gagang
tombak kalah dan kena terkampak patah hingga menjadi tiga potong. Di
saat kemenangannya itu, musuh hendak mengulangi kampakannya. Dil uar
dugaannya, baru ia kerahkan tenaganya, tiba-tiba perutnya dirasainya
sakit. Tanpa ia ketahui, sebelah kaki Kwee Ceng telah melayang ke
perutnya, malah ia terdupak mental. Berbareng ia mental, tangan kirinya
terbalik, mengampak ke arah kepalanya sendiri.
Melihat bahaya itu, si saudara yang ketiga melompat dengan ruyung
besinya, akan hajar kampak di tangan kiri itu, maka di antara satu suara
nyaring, kampak itu terlepas dan terpental, si pemiliknya sendiri jatuh
numprah. Syukur untuknya, ia tertolong dari bahaya maut. Tapi ia
bertabiat keras, ia gusar dan penasaran, ia lompat bangun untuk
merangsek pula, mulutnya berteriakan tak henti-hentinya.
Kwee Ceng tidak punya senjata, ia melawan dengan ilmu silat tangan
kosong melawan senjata. Segera ia dikepung oleh musuhnya yang ketiga,
yang bersenjatakan ruyung besi itu.
Melihat orang main keroyok, tentara Mongolia di kaki gunung menjadi
tidak senang, mereka membaut ribut dengan mencaci maki dua pengeroyok
itu. Bangsa Mongolia adalah bangsa yang polos dan memuja orang gagah,
maka itu tidak puas mereka menyaksikan empat orang mengepung bergantian
kepada satu musuh, apapula satu musuh itu bertangan kosong.
Sampai di situ, Boroul dan Jebe maju untuk membantu Kwee Ceng. Karena
majunya mereka berdua, dua musuh lainnya turut maju juga. Berat untuk
Jebe berdua, mereka adalah orang-orang peperangan biasa, mereka bukan
orang kaum Rimba Persilatan, repot mereka menghadapi musuh-musuhnya yang
lihay itu. Lekas juga senjata mereka dirampas musuh.
Kwee Ceng lihat Boroul terancam bahaya, ia lompat kepada toasuheng yang
bersenjatakan golok sebatang, untuk menghajar punggungnya, ketika si
orang Hwee menebas tangannya, ia segera tarik pulang tangannya itu untuk
terus dipakai menyikut si jiesuheng, hingga dengan begitu ia pun dapat
menolongi Jebe.
Orang itu rupanya bersatu pikiran, mereka lantas meluruk kepada anak
muda she Kwee ini, mereka tidak menghiraukan lagi Jebe berdua.
Segera juga Kwee Ceng terancam bahaya, karena tidak mempunyai senjata,
terpaksa ia melawan dengan menunjuki kelincahannya, ialah main berkelit
dengan mengegos tubuh atau berlompatan.
“Ini golok!” teriak Borchu seraya ia melemparkan goloknya.
Di saat Kwee Ceng hendak sambuti golok itu, ia diserang oleh musuhnya
yang menggenggam ruyung besi hingga goloknya Borchu kena disampok
mental, sedang musuh yang memegang sepasang kampak membarengi mengampak
juga. Dia ini bersakit hati bekas kena didupak tadi.
Kwee Ceng berkelit dengan berlompat, atau sebatang golok melayang ke
arahnya. Ia masih sempat berkelit pula seraya ia angkat kakinya yang
kiri untuk menendang musuh yang memegang kampak yang berada paling dekat
dengannya. Hanya ketika itu, ia dibarengi musuh yang mencekal ruyung
besi tadi, maka tidak ampun lagi, paha kanannya kena dihajar. ia
merasakan sangat sakit, matanya pun kabur, hampir ia rubuh pingsan.
Syukur untuknya, tulang pahanya itu tidak patah, tetapi gerakannya
menjadi lambat, ia lantas kena ditubruk musuh yang bersenjatakan kampak,
yang telah melepaskan kampaknya itu. Karena ini, ia roboh bersama-sama
musuh itu, yang tak sudi melepaskan pelukannya.
Kwee Ceng insyaf ia berada dalam bahaya, sekejap itu ia ingat ibunya,
tujuh gurunya, Tuli dan Gochin, lalu semangatnya bangun, maka ia jambak
dada musuh, dengan kerahkan semua tenaganya, ia angkat tubuh orang ke
atasan tubuhnya snediri, dengan begitu ia pakai musuh sebagai tameng.
Benar saja ketiga musuh lainnya berhenti menyerang karena mereka khawatir nanti mencelakai kawan sendiri.
Kwee Ceng tetap bertahan secara demikian, hanya sekarang ia ubah caranya
mencekal. Dengan sebelah tangan ia memencet nadi musuh, untuk membikin
dia itu tak dapat bergerak, dengan tangan yang lainnya, ia mencekik
tenggorokan. Ia tidak pedulikan orang menendangi pundak atau kakinya. ia
telah pikir: “Biar aku mati, asal aku pun telah membunuh seorang
musuh!”
Jebe berdua yang tadi telah terpukul mundur, maju pula untuk membantu kawannya.
“Kamu pegat mereka, nanti aku bunuh ini bocah haram!” kata si suheng
yang memegang golok sebatang kepada dua saudaranya, habis mana ia terus
bekerja.
Kwee Ceng kaget, ia merasakan sakit pada pundaknya, terpaksa ia
menggulingkan tubuh sekitar dua tombak, habis mana ia lompat bangun,
untuk berdiri. Musuhnya yang ia cekik, telah rebah diam karena pingsan.
Baharu ia berdiri dengan berniat melawan musuh, atau kaki kanannya
dirasakan sangat sakit, sekali lagi ia roboh.
Musuh sudah lantas tiba. Dalam keadaan sangat berbahaya itu, Kwee Ceng
ingat ia ada punya joan-pian atau cambuk lemas pembela dirinya,
lekas-lekas ia lepaskan itu dari pinggangnya, lalu dengan menggulingkan
tubuh, ia menangkis, kemudian selanjutnya, ia melakukan perlawanan
dengan terus main bergulingan dengan ilmu silatnya “Kim Liong Pian-hoat”
atau “Ilmu cambuk lemas naga emas”
Musuh yang pingsan telah lantas sadar, ia ingin membalas sakit hatinya,
ia lompat bangun, untuk membantu saudaranya. Tak lama, mereka pun
dibantu oleh dua saudara yang lain, yang telah berhasil memukul mundur
Jebe berdua. Dengan begini Kwee Ceng kembali kena dikepung berempat.
Selagi Kwee Ceng terancam bahaya, di bawah bukit, pasukan tentara kacau
sendirinya, lalu tertampak enam orang bergerak dengan lincah mengacau
barisan itu, terus mereka berenam lari naik ke atas gunung.
Matanya Jebe sangat tajam, ia lantas kenali enam orang itu. “Kwee Ceng, gurumu datang!”, ia berseru.
Kwee Ceng sudah letih betul, kedua matanya pun sudah mulai kabur, kapan
ia dengar itu teriakan, semangatnya terbangun, terus ia melawan dengan
hebat.
Cu Cong dan Coan Kim Hoat lari di paling depan, mereka segera tampak
murid mereka dalam bahaya. Kim Hoat lompat maju, dengan dacinnya ia rabu
empat batang senjata musuh. “Tidak tahu malu!” ia membentak.
Empat musuh itu sudah lantas lompat mundur, tangan mereka kesemutan
bekas rabuhan senjata aneh dari orang yang baru datang ini. Mereka
merasa bahwa dalam tenaga dalam, mereka kalah jauh.
Cu Cong lompat maju, akan kasih muridnya bangun. Itu waktu, Tin Ok bersama yang lain pun telah tiba.
“Bandit-bandit tidak tahu malu, pergi kamu!” Kim Hoat mengusir.
Si toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang menebali muka. Ia tahu
pihaknya tak berdaya tetapi mereka malu untuk lari turun gunung, mereka
malu bertemu sama pangeran yang keenam.
“Liok-wie, adakah kamu Kanglam Liok Koay?” ia tanya enam orang itu.
“Tidak salah!” sahut Cu Cong tertawa. “Siapakah tuan berempat?”
“Kami adalah empat muridnya Kwie-bun Liong Ong,” sahut si toasuheng.
Kwa Tin Ok dan Cu Cong mulanya menyangka orang adalah orang-orang yang
tak bernama, sebab mereka itu main keroyok, maka terkejutlah mereka
mengetahui empat orang itu adalah murid-,muridnya Kwie-bun Liong Ong.
“Pasti kamu berdusta!” bentak Tin Ok. “Kwie-bun Liong Ong bernama besar,
mana bisa murid-muridnya ada bangsa tak berguna seperti kamu!”
“Siapa berdusta!” berseru orang yang dicekik Kwee Ceng tadi, yang masih
merasakan sakit pada tenggorokannya, “Inilah toasuheng kami, Toan-hun-to
Sim Ceng Kong! Ini jiesuheng Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat! Ini
samsuheng Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong! Dan aku sendiri, aku Song-bun-hu
Cian Ceng Kian!”
“Kedengarannya kamu tidak berdusta,” berkata Tin Ok pula, “Benarlah kau
adalah Hong Ho Su Koay! Kamu cukup ternama, kenapa kamu merendahkan diri
begini rupa, empat orang bersaudara mengepung satu musuh, seorang
bocah! Dialah muridku!”
Gouw Ceng Liat membelar. “Siapa bilang kami berempat mengepung satu
orang?!” katanya, “Bukankah di sini ada banyak orang Mongolia yang
membantu padanya?”
Cian Ceng Kong pun tanya Ma Ceng Hiong: “Samsuheng, si buta dan pengkor ini sangat berlagak, siapakah dia?”
Ceng Kong menanya perlahan sekali, tetapi Kwa Tin Ok dapat mendengarnya,
ia menjadi mendongkol. Tiba-tiba ia menekan dengan tongkatnya, tubuhnya
terus mencelat, sebelah tangannya menyambar, maka tidak ampun lagi,
punggung Ceng Kong kena dijambak, terus dilemparkan ke bawah gunung!
Tiga pengepung lainnya menjadi kaget, mereka maju untuk menolongi,
tetapi mereka tidak berdaya, malah sebaliknya, cepat luar biasa, satu
demi satu, mereka juga kena dilempar-lemparkan si Kelelawar Terbangkan
Langit!
Tentara Mongolia di atas bukit bersorak-sorai menyaksikan keempat
saudara itu, yaitu Hong Ho Su Koay, merayap bangun dengan muka penuh
debu dan seluruh badan dan pinggangnya sakit bekas jatuh terbanting dan
bergelundungan. Syukur mereka tidak patah tangan dan kaki atau singklak
batang lehernya.
Itu waktu terlihat debu mengulak naik, tanda dari datangnya beberapa
ribu serdadu, maka itu, menampak demikian, tentaranya Sangum menjadi
kecil hatinya.
Temuchin menampak datangnya bala bantuan, mengetahui Jamukha lihay dan
Sangum hanya mengandal kepintaran ayahnya, ia menunjuk ke kiri ke
pasukannya Sangum itu seraya berseru: “Mari menerjang ke sini!”
Jebe berempat dengan Borchu, Juji dan Jagatai sudah lantas mendahulukan
menerjang ke bawah, dari mana pun terdengar seruannya bala bantuan.
Mukhali kaburkan kudanya dengan ia peluki Tusaga, batang leher siapa ia
tandalkan goloknya, sembari turut menerjang, ia berteriak-teriak, “Lekas
buka jalan! Lekas buka jalan!”
Sangum menyaksikan musuh menerobos turun, hendak ia memegat, atau ia
lantas tampak putranya berada di bawah ancaman maut, putra itu tak dapat
berkutik, ia menjadi tergugu, hingga tak tahu ia harus mengambil
tindakan apa.
Sementara itu rombongannya Temuchin sudah sampai di bawah bukit, malah
Jebe sudah lantas saja turun tangan, dengan mengincar Sangum, ia
memanah.
Sangum terperanjat, ia berkelit ke kiri, tidak urung pipi kanannya kena
tertancap anak panah, maka tak ampun lagi, ia rubuh terjungkal dari
kudanya. Tentu saja, karenanya, tentaranya menjadi kaget dan kalut
sendirinya.
Temuchin ajak rombongannya kabur terus. Ada beberapa ratus musuh yang
mengejar, akan tetapi mereka dirintangi panahnya Jebe dan Borchu
beramai, yang sembari menyingkir telah menoleh ke belakang dan
saban-saban menyerang dengan panah mereka.
Kanglam Liok Koay turut mundur dengan Lam Hie Jin yang memondong Kwee Ceng.
Sesudah melalui beberapa lie, rombongan ini bertemu sama bala bantuan,
ialah barisannya Tuli, putra keempat Temuchin, maka itu mereka lantas
menggabungkan diri.
Tuli masih muda, walaupun ia adalah satu pangeran, kepala-kepala suku
dan panglima-panglima Temuchin tidak suka dengar titahnya, dari itu, ia
datang dengan cuma bersama itu beberapa ribu serdadu anak-anak muda,
hanya ia telah didulukan Kanglam Liok Koay. Tapi ia cerdik, ia tahu
jumlah musuh terlebih besar, ia perintahkan semua serdadu mengikat
cabang pohon diekor masing-masing kuda mereka, dari itu debu menjadi
mengulak besar dan musuh menyangkanya bala bantuan lawan ada berjumlah
besar sekali.
Di tengah jalan pulang, Temuchin bertemu bersama Gochin, yang pun datang
bersama sejumlah serdadu. Putri ini girang bukan main melihat ayahnya
semua tidak kurang satu apa pun.
Malam itu Temuchin membuat pesta dengan semua panglima dan tentaranya
diberi hadiah. Hanya untuk herannya semua orang, yang hatinya
mendongkol, mereka itu lihat Tusaga diundang duduk bersama di meja
pesta, dan diperlakukan sebagai tamu agung.
Temuchin hanturkan tiga cawan arak kepada putra Sangum itu.
“Aku tidak bermusuh dengan ayah Wang Khan dan saudaraku Sangum,” ia
berkata kepada putranya Sangum itu, “Maka itu aku persilahkan kau pulang
untuk menyampaikan maafku. Aku pun akan mengantar bingkisan kepada ayah
dan saudara angkatku itu, yang aku minta supaya tidak menjadi berkecil
hati.”
Tusaga girang bukan main. Bukankah ia telah tidak dibunuh? Maka ia berjanji akan meyampaikan permohonan maaf dari Temuchin itu.
Semua orang menjadi bertambah heran dan mendongkol menyaksikan Khan
mereka yang besar menjadi demikian lemah dan jeri terhadap Wang Khan,
tetapi terpaksa mereka berdiam saja.
Besok harinya Temuchin kirim sepuluh serdadunya mengiringi Tusaga
pulang, berbareng dengan itu ia mengirimkan dua buah kereta yang
berisikan emas dan kulit tiauw.
Tiga hari sepulangnya Tusaga itu, Temuchin kumpulkan orang-orang
peperangannya. Dengan mendadak ia perintahkan mereka itu kumpulkan
tentara mereka.
“Sekarang juga kita menyerang Wang Khan!” demikian titahnya.
Heran semua panglima itu, mereka melongo.
“Wang Khan banyak tentaranya, serdadu kita sedikit, tak dapat kita
melawan dia dengan terang.terangan,” menjelaskan Temuchin. “Kita mesti
membokong padanya! Aku merdekakan Tusaga dan mengirim bingkisan, itulah
untuk membuatnya tidak bersiaga.”
Baharu semua panglima itu sadar, mereka jadi sangat mengagumi Khan mereka itu. Segera mereka bertindak maju dalam tiga pasukan.
Wang Khan dan Sangum di lain pihak girang melihat Tusaga pulang dengan
selamat dan Temuchin pun mengirim bingkisan, mereka menyangka Temuchin
jeri, mereka tidak bercuriga, maka di dalam tendanya, mereka jamu Wanyen
Lieh dan Jamukha, yang mereka layani dengan hormat. Adalah tengah
mereka berpesta malam ketika mendadak datang serangannya Temuchin.
Mereka menjadi kacau, tanpa berdaya mereka pada melarikan diri.
Wang Khan bersama Sangum kabur ke barat. Di sana mereka kemudian
terbinasa di tangan bangsa Naiman dan Liauw Barat. Tusaga terbinasa
terinjak-injak kuda tentara.
Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hong Ho, yang bisa menerobos
kepungan telah lindungi Wanyen Lieh kabur pulang ke Tiongtouw (Pakkhia).
Jamukha kehilangan tentaranya, dia lari ke gunung Tannu, di sana selagi
ia dahar daging kambing, dia ditawan oleh tentara pengiringnya, terus ia
dibawa kepada Temuchin.
Temuchin terima orang tawanan itu, tetapi ia gusar, ia berseru: “Serdadu
pengiring memberontak dan berkhianat kepada majikan! Apakah gunanya
akan mengasih hidup kepada orang-orang tak berbudi begini?” Di depan
Jamukha sendiri, ia perintahkan hukum mati pada kelima pengiring itu.
Kepada Jamukha, yang ia awasi, ia kata, “Apakah tetap kita menjadi
sahabat-sahabat kekal?”
Jamukha mengucurkan air mata. “Meskipun saudara suka memberi ampun
padaku, aku sendiri tidak mempunyai muka akan hidup lebih lama pula di
dalam dunia ini,” ia menyahuti. “Saudara, aku minta sudilah kau memberi
kematian tak mengucurkan darah padaku, supaya rohku tidak mengikuti
darahku dan meninggalkan tubuh ragaku….”
Temuchin berdiam sekian lama. “Baiklah,” berkata ia kemudian. “Akan aku
menghadiahkan kau kematian tak mengalirkan darah, nanti aku kubur kau di
tempat di mana dahulu hari, semasa kecil, kita bermain bersama…”
Jamukha memberi hormat sambil berlutut, habis itu ia putar tubuhnya untuk bertindak ke luar kemah.
Besoknya Temuchin mengadakan rapat besar di datar sungai Onon. Ketika
itu namanya telah naik tinggi sekali, maka rakyat dan orang peperangan
dari pelbagai suku tak ada yang tak tunduk kepadanya, semuanya
menyanjungnya. Maka di dalam rapat besar itu ia telah diangkat menjadi
Kha Khan, atau Khan terbesar dari Mongolia, dengan gelaran Jenghiz Khan,
artinya Khan yang besar dan gagah bagaikan pengaruhnya lautan besar.
Di sini Jenghiz Khan membagi hadiah besar. Empat pahlawannya yakni
Mukhali, Borchu, Boroul dan Chiluan serta Jebe, Jelmi dan Subotai,
diangkat menjadi cian-hu-thio, semacam kapten dari seribu serdadu. Kwee
Ceng yang dianggap jasanya paling istimewa, dijadikan cian-hu-thio juga.
Maka anehlah satu bocah umur belasan tahun, pangkatnya sama dengan satu
pahlawan panglima yang berjasa.
Dalam pesta itu Jenghiz Khan minum banyak arak hadiah dari pelbagai
panglimanya, dalam keadaan seperti itu, ia kata kepada Kwee Ceng, “Anak
yang baik, aku akan menghadiahkan pula kepadamu sesuatu yang aku paling
hargakan!”
Kwee Ceng sudah lantas berlutut untuk menghaturkan terima kasihnya.
“Aku serahkan Putri Gochin kepadamu!” berkata Jenghiz Khan. “Mulai besok kau adalah Kim-to Hu-ma!”.
Semua panglima bersorak, lalu mereka memberi selamat kepada Kwee Ceng.
Mereka juga berseru-seru, “Kim-to Hu-ma! Kim-to Hu-ma! Bagus! Bagus!”
“Kim-to Hu-ma” itu berarti menantu raja golok emas.
Tuli sangat kegirangan sehingga ia merangkul Kwee Ceng erat-erat, tak
mau ia lekas-lekas melepaskannya. Si anak muda sebaliknya berdiam-diam,
tubuhnya terpaku, mulutnya bungkam. Ia menyukai Gochin, tetapi sebagai
adik, bukan sebagai kekasih. Ia lagi mengutamakan ilmu silat, tak ia
pikirkan lainnya soal apa pula soal jodoh, soal asmara. Maka kaget ia
mendengar hadiah Khan yang maha besar itu. Selagi ia tercengang, semua
orang tertawa padanya, menggodainya.
Setelah pesta bubar, Kwee Ceng lantas cari ibunya, akan tuturkan hadiah dari Jenghiz Khan itu.
Lie Peng terdiam, ia pun bingung. “Coba undang gurumu semua!” titahnya kemudian.
Kanglam Liok Koay lantas datang. Apabila mereka mendengar hal
pertunangan itu, mereka girang, mereka lantas memberi selamat kepada
nyonya Kwee itu. Bukankah murid mereka sangat dihargai oleh Khan dan
peruntungannya bagus sekali?
Lie Peng berdiam sebentar, lalu tiba-tiba ia berlutut di depan enam manusia aneh itu, sehingga mereka itu menjadi heran.
“Ada apa, enso?” mereka tanya. “Kenapa enso menjalankan kehormatan besar ini? Harap enso lekas bangun!”
“Aku ada sangat bersyukur yang suhu beramai sudah didik anakku ini
sehingga ia menjadi seorang yang berharga,” berkata nyonya ini. “Budi
ini tak dapat aku balas walaupun tubuhku hancur lebur. Hanya sekarang
ada satu hal sulit untuk mana aku mohon pertimbangan dan keputusan suhu
beramai.”
Lie Peng tuturkan keputusan suaminya almarhum dengan Yo Tiat Sim, yang tunangkan anak-anak mereka sebelum anak-anak itu lahir.
“Maka itu, kendati kedudukan anakku mulia sekali, mana dapat ia menjadi
hu-ma?” kata si nyonya kemudian. “Kalau aku menyangkal janji ini, aku
malu sekali. Bagaimana nanti suamiku dan aku menemui paman Yo dan
istrinya itu di dunia baka?”
Mendengar keterangan, Kanglam Liok Koay tertawa.
Lie Peng heran, ia mengawasi mereka itu.
“Orang she Yo itu benar telah memperoleh keturunan tetapi bukannya perempuan, melainkan pria,” Cu Cong kasih keterangan.
“Bagaimana suhu ketahui itu?” menanya Lie Peng kaget.
“Seoarng sahabat di Tionggoan mengabarkan kami dengan sepucuk surat,”
menerangkan Cu Cong lebih jauh. “Sahabat itu pun mengharap kami mengajak
anak Ceng ke sana untuk menemui putranya orang she Yo itu, untuk mereka
menguji kepandaian silat mereka.”
Mendengar itu, Lie Peng sangat girang. Ia setuju anaknya itu diajak
pergi. Ia harap, sekalian anaknya itu mencari Toan Thian Thek, guna
menuntut balas. Sepulangnya dari perjalanan itu, baharu Kwee Ceng nanti
menikah dengan Gochin.
Setelah mendapat keputusan, Kwee Ceng menghadap Jenghiz Khan, untuk memberitahukan tentang niat perjalanannya itu.
“Bagus, kau pergilah!” Khan itu setuju. “Sekalian kau pulang nanti
bawalah juga kepalanya Wanyen Lieh, putra keenam raja Kim! Untuk
melakukan pekerjaan besar itu, berapa banyak pengiring yang kau
butuhkan?”