"Dan pengemis itu?"
"Dia tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi
sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan
tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong (Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada
laki-laki muda gembel itu. Aku marah dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi
Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya di rumah, ia hanya
menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut kai-ong!
Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan hidungku sendiri tanpa aku dapat
berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan membawa pergi Bi Loan�
"Apa? Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget.
Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah lumayan, kalau laki-laki
muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu
saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian gembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh aku harus merasa malu, menjadi guru silat
puluhan tahun lamanya, sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang penjahat
tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"
"Suhu...!" lima orang murid kepala berseru.
"Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang
lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas.
"Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa
baik tenagaku maupun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku
benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui
padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar
puteriku, memondongnya keluar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar
puteriku berkata "Selamat tinggal, Ayah" dan melihat berkelebatnya
bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu
kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung,
namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian
menghilang di dalam gelap!"
Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini, baru Bayisan seorang
yang ia anggap seorang muda yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang
muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian
lihai!
"Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh
murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan tetapi bukannya
mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani
berlaku kurang ajar kepadamu. Betapapun juga, hal ini kuanggap kebetulan
sekali, karena, kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi yang dapat mencuci
bersih namaku ini?"
Suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh
permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang
semangatnya begitu menderita kekalahan.
"Baiklah, Lo-enghiong, mendengar ceritamu, aku jadi
ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan
dapat menemukannuya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu
telah memilih Si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu
kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara..." Perih hati Kwee Seng
berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang
berkali-kali menjadi korban asmara jahil!
"Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa
mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah
ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai keturunan."
Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik
puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu
untuk mencari orang yang amat menarik hatinya Si Raja Pengemis!
Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi
besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di
antara mereka yang berkepala botak bertanya serius,
"Dari mana mau ke mana?"
Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode
rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan menjawab seenaknya,
"Dari belakang mau ke depan!"
Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar
jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak dan orang ke dua yang hidungnya
bengkok ke atas menghardik.
"Gembel kapiran! hayo lekas pergi, di sini bukan
tempat kau mengemis!"
"Tempat apa sih ini?" Kwee Seng bertanya,
berlagak orang sinting.
"Di sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo
lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?" bentak Si Botak sambil
mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee Seng itu di depan hidung Si Pendekar
Sakti.
"Waduh, tanganmu bau kencing kuda!"
Kwee Seng menutupi hidungnya, lalu menjauhkan mukanya dan
memandang kepada papan nama di depan pintu, mengerutkan keningnya dan
membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik
kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya memang bau tangannya itu, karena
hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat.
Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia
dipermainkan, akan tetapi sebelum ia sempat memukul, ia dan kawannya yang
berhidung bengkok itu memandang heran karena pengemis itu sudah membaca papan
nama dengan suara keras,
"BAN HOA PO KOAN (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah,
kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"
Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi
keheranan. Mana ada seorang gembel pandai membaca huruf, dan mana mungkin
gembel itu masih gemar berjudi pula?
"Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta,
bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek Si Botak
dan kedua orang penjag apintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka
yang gendut.
Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka
melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung
kuning berisi penuh uang perak yang berkilauan!
"Apakah modal sekian ini kurang cukup?"
Dua orang itu menelan ludah menaksir-naksir bahwa kantung
itu isinya tidak kurang dari seratus tail perak. Kemudian mereka
mengangguk-angguk.
"Cukup... cukup... silakan masuk...!"
Kwee Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung
ia melangkah masuk, diawasi dua orang penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi
Kwee Seng tidak mempedulikan mereka, terus saja melangkah masuk ke dalam
ruangan yang cukup luas, di mana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa
buah meja judi.
Ngeri hati Kwee Seng ketika menyaksikan orang-orang yang
berjudi. Bukan seperti wajah manusia lagi, melainkan seperti sekelompok
binatang kelaparan. Muka penuh peluh, berkilauan basah, mata melotot dan
seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang
kehabisan uang kelihatan putus asa, penasaran, dendam, dan iri.
Tempat setan dan iblis berpesta-pora, pikir Kwee Seng.
Hawa udara panas di dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam. Luar
panas Karen kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang.
Kwee Seng menhampiri meja tengah yang paling besar dan
paling ramai. Semua meja adalah meja permainan dadu. Meja tengah juga tempat
bermain dadu, akan tetapi di sini agaknya tempat istimewa di mana taruhannya
amat besar. Uang perak bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas. Yang
mainkan dadu adalah seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu
terpejam. Orang itu usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung
sampai ke siku. Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar
biji-biji dadu di dalam mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok
itu ke atas meja dengan biji-biji dadu di bawah mangkok. Mulailah orang-orang
memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan
selesai, dengan gerakan tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka
tampaklah dua biji dadu di atas meja dengan permukaan memperlihatkan
titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka yang keluar. Bagi
yang pasangannya kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah
berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Bagi yang kalah, dan sebagian besar
memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu betapa tumpukan uang
taruhan mereka digaruk oleh Si Bandar yang tertawa-tawa lebar. Agaknya yang
nasib nya mujur adalah selalu Si Bandar, buktinya yang mendapat atau yang
pasangannya terkena selalu hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang
taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!
Kedatangan Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang
semua perhatian ditujukan ke atas meja. Setelah melihat tiga empat kali
pasangan melalui pundak orang-orang yang bertaruh. Kwee Seng mendesak maju.
Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya
di atas meja dengan keras. Jelas tampak bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan
banyak, maka tertegunlah semua orang. Yang merasa pasangannya hanya
kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga akhirnya Kwee Seng dapat duduk
berhadapan dengan Si Bandar Judi. Pundi-pundi itu belum dibuka, maka Si Bandar
yang kurus itu memandang tajam dengan mata sipitnya, kemudian bertanya.
"Pasangan dengan uang tunai. Apakah anda punya
uang?"
Diam-diam SI Bandar ini merasa heran mengapa penjaga
pintu memperkenankan seorang gembel masuk ruangan itu.
"Heh-heh-heh, kalau tidak punya uang, tentu aku
tidak akan berjudi!"
Kwee Seng membuka pundi-pundinya dan terdengar
seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi pundi-pundi oleh mereka.
"Tapi aku tidak sudi berjudi kecil-kecilan. Aku
ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap,
dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"
Kembali orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini,
menantang bandar! Ban-hwa Po-koan adalah rumah judi besar, orang-orang yang
menjadi bandar adalah ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini
tersenyum-senyum memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi
tikus.
"Mengapa tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan
kaupertaruhkan?"
"Isi pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail,
kupertaruhkan semua!"
Terdengar seruan
"Ah-oh-eh"
Ramai sekali ketika para penjudi mendengar ucapan ini.
Sekali pasang seratus dua puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang
dapat melakukan hal ini! Bahkan Si Bandar Kurus itu sendiri menjadi basah penuh
keringat Karena betapapun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan yang
begini hebat. Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk
kepalanya seperti orang mencari kutu rambut.
"Eh, Muka Tikus, berani tidak?" akhirnya ia
berkata kesal melihat bandar itu hanya memandang kepadanya.
Ada yang teratawa geli, ada pula yang kuatir mendengar
gembel itu berani menyebut muka tikus kepada bandar. Apalagi ketika mereka
melihat betapa empat orang tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap
tubuhnya, diam-diam mendekati Kwee Seng dan berdiri di belakang Si Gembel ini
sambil saling memberi tanda dengan mata, siap untuk menerjang kalau perlu.
"Apa? Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau
bertaruh genap atau ganjil?"
Si Bandar menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam
memasukkannya ke dalam mangkok yang telentang di atas meja. Suasana menjadi
tegang, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara, menanti jawaban Kwee
Seng sehingga keadaan menjadi sunyi dan sebuah jarum yang jatuh ke lantai
agaknya akan terdengar pada saat itu.
Kwee Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong
pundi-pundinya ke depan.
"Seratus dua puluh tail perak kupasangkan untuk
angka ganjil!"
Si Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena
tiba-tiba ada makanan begini lunak tersodor di depan mulutnya. Jari-jari
tangannya sudah terlatih sempurna sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat
mempergunakan dua jari telunjuk dan tengah yang berada di belakang mangkok
untuk membalik-balik biji dadu di waktu ia menutup atau membuka mangkok, tanpa
seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan ini sudah ia lakukan bertahun-tahun
dan tak pernah ada yang tahu. Dengan jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik
dua biji dadu sesuka hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya.
Tiap kali ia menutup mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan
dapat melihat angka yang berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu
membuka mangkok, cepat jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan
tersembunyi di belakang mangkok bekerja membalik biji-biji dadu menjadi
angka-angka yang hanya dipasangi taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian,
selalu pemasang taruhan besar akan kalah. Sekarang, gembel gila ini bertaruh
angka ganjil untuk sebuah biji dadu. Alangkah mudahnya untuk membalikkan biji
dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas untuk memperoleh
kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah mudahnya!
Baik!, semua orang disini menjadi saksi. Kau memasang
angka ganjil!"
Kemudian ia menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi
lagi, dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga
dadu yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya,
kemudian dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan
biji dadu di bawahnya.
"Heh-heh-heh!" Si Bandar mengusap peluh di
dahinya.
"Apakah kau tidak merobah pasanganmu? Tetap ganjil?
Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak memilih. Ganjil atau
genap?"
Suasana makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin
Kwee Seng menaruh kedua tangannya di atas meja, di depannya, dan ia
tenang-tenang menjawab.
"Aku tetap memasang angka ganjil!"
Si Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok,
mulutnya berkata.
"Nah, siap untuk dibuka, semua orang menjadi
saksi!" Jari-jarinya bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si
Bandar.
"Heeeeeiiitt!"
Semua mata memandang kepada biji dadu yang telentang,
jelas memperlihatkan lima buah titik merah.
"Ganjil... !" Semua mulut berseru.
"Aaahhhhh..." Si Bandar menjadi pucat, berdiri
terlongong keheranan memandang ke arah biji dadu, hampir tidak percaya kepada
matanya sendiri. Tadi ketika menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa
dadu itu tadi berangka lima, maka ketika membuka mangkok, telunjuknya sudah
menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam atau empat. Akan tetapi mengapa
dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan
jarinya tadi berhasil baik? Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?
"Heh-heh-heh, apakah kemenanganku hanya cukup
kaubayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar seratus dua puluh tail!"
kata Kwee Seng tertawa-tawa.
Empat orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di
gagang golok, akan tetapi bandar itu tidak memberi tanda maka mereka tidak
berani turun tangan. Bandar itu menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh
yang memenuhi muka dan lehernya, kemudian ia tertawa ha-hah-heh-heh.
"Tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan
tetapi, apakah kau termasuk botoh kendil?"
Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia
tidak mengerti apa artinya istilah "botoh kendil!" ini. Botoh berarti
penjudi, adapun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan
kening, mengira istilah itu merupakan makian.
"Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin
terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa gembel ini bukanlah
seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan
malah menang?
"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari
meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk golongan yang
licik!" jawab Si bandar yang juga terheran-heran.
"wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku
pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi
kekalahan? Jangan kuatir, tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar dulu
kemenanganku!"
Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum,
bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu,
dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee
Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil
berkata, suaranya nyaring.
"Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat
puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!"
Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil
menjadi tertarik dan berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar.
Seakan-akan menjadi terhenti sama sekali perjudian di dalam ruangan itu, semua
penjudi menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan Si
Bandar bermata sipit. Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya
berseri-seri. Kiranya gembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia
dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal Si
Gembel! Kalau tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak
mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus! Kau benar-benar menjadi penjudi
jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak
jempol." Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu yang
berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di
atas meja di depan dadanya.
Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok
itu sudah tertelungkup lagi di atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya.
"Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan
semua orang!"
Si Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan
ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang ditutupnya itu
telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Gembel ini
tidak merobah taruhannya.
"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk
angka ganjil!" Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas.
Muka Si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai
penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.
"Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia
bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti
kalah!"
Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya
tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu
berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu,
tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak
berharga itu.
"Wah, ganjil lagi...!!" Seru semua orang dan Si
Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa
dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia
mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata?
Apakah matamu lamur? semua orang melihat jelas bahwa itu angka satu, berarti
ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"
Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin
sebesar kedele.
"Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil
lagi...?" Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk
memerintahkan menangkap Si Gembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau
perlu membunuhnya.
"Hayo bayar!, apakah rumah judi ini tidak mampu
bayar lagi?"
Selagi Si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang
tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas,
tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang
laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh
tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak
lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu. Heran tapi nyata! Si Bandar
kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua
ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan
sikap hormat sekali!
Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar,
mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!
"Baiklah, Pangcu," kata Si Bandar dan mendengar
sebutan Pangcu ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh
perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi
jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru
sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang
sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya sedangkan kedua tangannya
ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah
seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah
menggunakan tenaga lwee-kangnya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa
lwee-kang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap
atau membalik sesuka hatinya.
Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan
kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat
ratus delapan puluh tail! Setelah membayar, Si Bandar ragu-ragu untuk
melanjutkan perjudian, karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia
akan celaka, harus mempertanggung jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi
ketika ia melirik ke arah kakek itu, Si Kakek berkata perlahan.
"Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib
baik orang muda ini."
Mendengar ini, Si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan
itu berarti bahwa Si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya
perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya. Siapakah kakek ini? Dia
ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa
Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota, akan tetapi
kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi
nama Ban-hwa-po-koan, karena sesungguhnya, terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa
Kai-pang. Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya
dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya
memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat
menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul
yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan) Ketua ban-hwa
Kai-pang, menjadi ketakutan, akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua
ini, mereka menjadi besar hati.
Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu
di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat
jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki
Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk
dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan
pasangan ganjil atau genap?" keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali,
lebih tegang daripada tadi. Semua orang yang berada di situ, biarpun sebagian
tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah
seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi. Benar-benar amat menarik
melihat gembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini
berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini
terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton
dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak
lupa akan kekalahannya.
Sambil menarik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong
empat pundi-pundi perak sambil berkata.
"Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat
ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung.
Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya Si Bandar
bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu
membalikkan dadu agar membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau
dua. Dengan gerakan hati-hati Si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari
tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di
pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki
lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan
ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya
dengan tenaga sin-kang.
"Siap Buka... heeeiittt! Aduuhhh....!" Si
Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang
menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua
jepitan baja, tertekan oleh hawa sin-kang Si Kakek dan terhimpit dari depan
oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia
menarik kembali tangannya.
"Ganjil lagi...!" Hebat...!!" Semua orang
berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga! Diam-diam Si
Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa gembel muda ini bukan orang
sembarangan, dan maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena gembel muda
itu menyerang dengan dorongan berhawa sin-kang dari jari-jari tangan, mencegah
Si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!
Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia
memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu
hanya tersenyum dan berkata.
"Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah
menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar ini, Si Bandar dan para pembantunya sibuk
mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar?
Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari
kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil beberapa hari!
Orang-orang di situ makin terheran-heran melihat betapa
gembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan
besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir
seribu tail perak, masih belum puas agaknya buktinya ia masih memandang ke arah
mangkok dadu. Kini kakek pengemis itu yang bertanya.
"Sahabat muda masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri.
"Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli.
Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari
kakek pengemis, cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya
di depan Kwee Seng,
"Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan
kami untuk tamu yang menjadi langganan�
"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar,
masih disuguhi arak lagi." Kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan
menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis
setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju.
"Arak baik... arak baik... ha-ha, hayo teruskan
permainan!"
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan
menggigil memegang mangkok, Si Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong
bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir
roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sialan!"
Kwee Seng menertawakan. Koai-tung Tiang-lo memegang
mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik.
"Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil,
ha-ha"
"Gila!" seru seorang di antara para penonton.
Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan
sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan. Kwee Seng mendengar makian
menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah
memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kau
mainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu
bukan kemenangan uang."
Kata Si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam
mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang
Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan
seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh
lebih cepat dariapada kalau diputar oleh Si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi
perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil
semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang,
aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu
tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga.
"Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan
tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah
cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh
tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk.
"Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri
seorang gembel muda macam kau ini yang menyebut dirinya kai-ong, aku ingin
berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar
tajam.
"Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kau terima?"
"Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih
berharga daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak
kaudapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau bayarkan
kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan
tentang di mana adanya kai-ong. Akur?"
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut
tangan kiri? Berarti tangan kiri gembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi?
Ah, kalau tidak gila, tentu Si Gembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng
mengangguk dan berkata,
"Akur!"
Wah, benar-benar gembel muda ini sudah gila. Masa sebuah
keterangan tentang seorang Kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail
perak berikut sebuah tangan dibuntungi!
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah
rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu
ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si
Gembel dan tangan kiri. Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup,
sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan
terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si
Gembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan
isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan
matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung
Tiang-lo segera berseru.
"Siap buka, lihatlah!" Tangan kirinya
mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kiri mengangkat mangkok dan jari-jari
tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, juga jari-jari tangan kiri
Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan
ini, menyambar keluar tenaga sin-kang ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena
begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu
saja tidak mungkin Karena begitu tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu
itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa
berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti
sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau
terloncat keluar dari tempatnya. Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di
sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian
rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua!
Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar
mendoyomg ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada
kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong
dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada
dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah
dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh
peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan
telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah. Adapun
pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya
menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan
kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan
getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga,
akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik
lagi menjadi miring!
"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras?�
Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapapun
juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia
maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu ini adalah seorang terkemuka,
maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sin-kang itu, tentu
sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang,
lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa
mereka telah saling mengadu sin-kang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras
kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang
yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis,
maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah
terhadap seorang gembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu
itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan
kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya
masih memegang dengan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela
napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja
duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu
yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak
mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa
yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi
mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang
aneh itu.
"Aaiiihhh!" Teriakan ini keluar dari dalam dada
Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee
Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan dan sebelum
mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali
kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara
karena "terjepit" di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka
berapakah permukaan dadu itu? Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga
sin-kang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga
tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung
Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan
biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga
pada permukaannya. Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak
berkata
"Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau
kalah...." Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu empat orang tukang
pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari
belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini, namun karena sambaran tenaga
empat batang golok itu tidak arti baginya dan karena ia sedang mengerahkan
sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia pura-pura tidak tahu dan diam
saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, tiba-tiba...
"wuuuutttt!" senjata-senjata itu membalik
seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi,
golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat
dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik. Bukan kepala Kwee Seng yang
termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung
golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan
golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun punggung golok baja
cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor" dan tumbuh tanduk
biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok
itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh
Koai-tung tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa lalu
menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung
Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya
agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung
Kwee Seng dengan senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah
panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangn menjura kepada
Kwee Seng.
"Sicu hebat, pantas berjumpa dengan kai-ong. Di
lereng sebelah utara Tapie-san, di mana kai-ong kami menanti kunjunganmu."
"Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan
kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu
berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh
lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-aakan amat ringan.
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku
keluar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus. Sebentar saja, lebih dari
tiga puluh orang ikut keluar, dan tentu saja tidak semua dari mereka penderita
kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar.
Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata
banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar
akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang
lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding
dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-suadara sekalian telah kalah berjudi,
bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian
tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara
sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, Saudara akan
habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan
karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan
lainnya. Kerugian batin, Saudara akan menjadi orang yang suka melakukan
kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah,
ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan
tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit
uang ini untuk modal bekerja!"
Tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh
mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut
uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih!
Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee
Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia
hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada
gunanya sama sekali!"
Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang
semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang
melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang
mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya.
Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang
dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat
menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh
tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah
terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman
tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar pupuk pada
tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti
sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak
ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid
guru silat Liong Keng!
"Ha-ha-ha-ha, bocah sinting muncul lagi!"
tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song.
"Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan
mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita tidak kusengaja akan
tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu,
aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang,
aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia
belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi
"kuliah" oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi
karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia
perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada
saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng
lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas
tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di depannya dengan pandang mata penuh
perhatian. Kwee Seng tertawa lagi.
"Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan,
mengapa perbuatanku tadi kau katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua
hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda
bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas.
"Pertama bertentangan dengan wejangan ini."
Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia
dengan suara keras nyaring.
"Diri sendiri melakukan kejahatan
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?"
Kwee Seng melongo.
"Eh, apakah kau murid seorang hwesio? Nyanyianmu
adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak itu.
Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
"Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang
mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin
terterik.
"Anak baik, mari kau duduklah di sini."
Ia tidak mau lagi menyebut anak itu anak sinting. Setelah
Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya.
"Anak baik, coba kau jelaskan, apa hubungannya
pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh,
adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi
atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka
karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang
menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya,
ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya
sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya
bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan
hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya
maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka
melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai
membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua
anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa
yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun
juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat
kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan
tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini
"ngoceh" tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan
dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah
muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari
mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah
dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah
artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak
kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada
belajar sendiri! Oleh karana itu. PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU
MEMPERBAIKI ORANG LAIN."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng
berseru, kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang
seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri,
kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan
mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI,
maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak
mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman,
itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu.
Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasihat Paman itu
mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling..."
"Hahhh...? Apa kaubilang? Aku.... maling?" Kwee
Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan
muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali
tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya sungguh-sungguh.
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya
tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa
Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama.
Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha
panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia
tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku.
"Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kau anggap
maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
"Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu
mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan
mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian.
Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata
yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah
seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Adapun Bu
Song tidak merasa bahwa gembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri
memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia
menghela napas dan berkata,
"Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan
sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian
Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng.
Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain,
dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah
mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela
dirinya sendiri. Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab
segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau
kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia
menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan
berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
"Lima warna membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!"
Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum.
Sama sekali tidak disangkanya bahwa gembel yang seperti orang gila dan suka
bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring
merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu
menimbulkan kesan mendalam di hatinya dan karena semenjak kecil ia dijejali
kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar
sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk
tangan memuji.
"Bagus sekali, Paman terutama isi sajaknya!"
"Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah
membacanya?"
Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya
melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran
dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang
sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata.
"Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi
agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"
Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu.
"Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab
To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah
namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman."
"Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala.
"Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song
saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak.
"Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum.
Bab -
"Sama dengan engkau Paman."