Karena sejak tadi ia sendiri tidak pernah memperlihatkan
kepandaiannya, bahkan ketika naik ke atas pohon itu pun ia mendaki seperti
orang biasa, maka Kwee Seng merasa yakin bahwa tak seorang pun dapat menduga ia
berkepandaian, juga kakek itu tentu tidak. Maka ia segera pura-pura tidak
melihatnya, atau tidak mempedulikannya, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan
melanjutkan keasyikannya tadi menonton perlombaan.
Tangkas sekali Salinga dengan kuda putihnya. Sambil
mengeluarkan teriakan nyaring, Salinga mencambuk dan kudanya melompat ke atas
melewati barisan tombak. Rambut dan ujung baju Salinga berkibar-kibar bersama
ekor kuda ketika mereka melayang di atas barisan tombak, selamat sampai di
ujung dan turun kembali ke atas tanah. Akan tetapi, lebih hebat sorak-sorai
menyambut lompatan kuda merah yang ditunggangi Bayisan. Panglima muda ini
sengaja melompat tepat di belakang Salinga dan begitu kuda merahnya melompat diam-diam
Bayisan mengerahkan lwee-kang dan gin-kangnya. Ia menjepit perut kudanya dan
menambah tenaga loncatan kuda dengan loncatannya sendiri sehingga dia bersama
kudanya melayang jauh lebih tinggi daripada Salinga ! Para penonton dengan
jelas melihat betapa kuda merah itu semeter lebih berada di atas kuda putih dan
melayang lebih cepat. Kalau saja Bayisan menghendaki, bisa saja ia menurunkan
kuda merahnya tepat di atas Salinga sehingga pemuda itu dengan kuda putihnya
akan celaka. Kalau hal ini terjadi, tentu merupakan kecelakaan yang tidak
disengaja, namun ia tetap kuatir kalau-kalau Raja dan Tayami mengetahui
rahasianya, selagi para penonton menahan napas dan berseru kaget melihat kuda
merah meluncur di atas kuda putih, tiba-tiba Bayisan berseru keras sekali dan
tahu-tahu kuda merahnya itu berjungkir balik membuat salto di udara dan turun
beberapa meter di sebelah depan kuda putih!
Gemuruh sorak dan tepuk tangan menyambut pertunjukan yang
hebat ini. Bahkan Kwee Seng sendiri yang ikut bertepuk tangan, diam-diam
terkejut dan kagum menyaksikan kelihaian Bayisan. Ia tahu bagaimana caranya
Bayisan melakukan semua itu, dan inilah pula yang menyebabkan ia kagum karana
tokoh Khitan itu ternyata amat maju dalam lwee-kang dan gin-kangnya. Kalau
semua orang bertepuk dan bersorak, adalah kakek di atas Kwee Seng itu
bersungut-sungut,
"Ah, bau...! Bau...!" Kwee Seng mendengar ini
akan tetapi pura-pura tidak dengar dan tidak tahu, karena sebenarnya ia pun
tidak mengerti mengapa kakek itu mengatakan bau. Bau apa sih?
Dengan lagak dibuat-buat Bayisan sengaja minggirkan
kudanya dan memberi isyarat dengan tangan agar Salinga melarikan kudanya
terlebih dahulu memasuki barisan anak panah. Para penonton sudah diam semua
karena kini mereka mulai merasa tegang. Bagaimanakah gerangan cara kedua orang
gagah ini menghadapi hujan anak panah? Apakah juga seperti yang dilakukan
peserta pertama tadi bersembunyi di bawah perut kuda? Cara seperti ini memang
amat populer di antara orang-orang Khitan dan boleh dibilang setiap prajurit
mempelajarinya, walaupun tidak banyak berhasil baik karena cara ini hanya dapat
menyelamatkan diri dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan darurat saja.
Dalam keadaan perang sungguh-sungguh, cara ini malah kurang tepat karena
biarpun tubuh sendiri tidak terkena anak panah, kalau kudanya yang terkena dan
roboh, bukankah penunggangnya akan tergencet dan memudahkan musuh untuk
membunuhnya? Betapapun juga, cara lain tidak ada dan kini menyaksikan dua orang
muda itu memasuki barisan panah, tentu saja para penonton, termasuk raja
sendiri dan juga puteri mahkota, memandang penuh perhatian dan ketegangan.
Ketika kudanya telah memasuki barisan anak panah, begitu
terdengar menjepret dan anak panah menyambar-nyambar, sekali menggentakkan
tubuhnya, Salinga telah meloncat dan berdiri di atas punggung kudanya, berdiri
sambil menekuk lutut membuat tubuhnya sependek mungkin, hampir berjongkok.
Dengan begini, anak panah menyambar ke arahnya ke seluruh bagian tubuh dari
kepala sampai ke kaki! Karena para pemanah itu memang diperintahkan untuk
memanah Si Penunggang Kuda dan sama sekali tidak boleh memanah kudanya. Begitu
puluhan batang anak panah itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba Salinga berseru
keras dan tubuhnya mencelat ke atas dalam keadaan masih seperti berjongkok.
Kudanya lari ke depan, akan tetapi karena Salinga juga mencelat ke depan,
ketika ia turun lagi, tepat kakinya tiba di atas pelana kudanya. Kembali anak
panah menyambar, akan tetapi kembali tubuh Salinga mencelat ke atas dan
demikianlah secara bertubi-tubi anak panah itu dapat dielakkan sambil meloncat
ke atas dengan gerakan yang tangkas sekali !
Sorak-sorai menyambut cara menghindarkan anak-anak panah
ini, cara yang dianggap lebih tangkas dan lebih berani daripada cara
bersembunyi di perut kuda, akan tetapi sudah tentu saja merupakan cara yang
lebih sukar, yang hanya dapat dipelajari orang-orang pandai. Tiba-tiba
sorak-sorai lebih menggegap-gempita ketika Bayisan dengan tenangnya memasuki
barisan anak panah bersama kudanya yang ia jalankan seenaknya saja. Anak panah
menyambar bagaikan hujan ke arahnya, namun panglima muda ini sama sekali tidak
membuat gerakan mengelak. Semua orang termasuk raja kaget karena bagaimana
orang itu begitu enak-enakan sedangkan puluhan anak panah menyambar dengan
cepat ke arahnya? Akan tetapi tiba-tiba Bayisan menggunakan cambuk di tangan
kanan yang diputar-putar cepat sekali, menangkis semua anak panah yang runtuh
ke kanan kiri begitu terkena sambaran cambuk yang diputar. Tangan kirinya juga
ikut membantu, begitu lengan baju yang kiri menyampok, anak panah menyeleweng
atau terpental kembali Kwee Seng diam-diam memuji. Kiranya Bayisan sudah banyak
maju dan kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
"Ah, bau...! Tengik dan kecut ! gembel busuk tak
pernah mandi!" Terdengar makian perlahan di sebelah atas Kwee Seng.
Mendengar makian ini, Kwee Seng mengerutkan kening. Kurang ajar, pikirnya.
Kiranya yang dimaki bau tengik dan kecut adalah dia! Dengan hati mendongkol
Kwee Seng berdongak, memandang kakek itu yang juga memandang kepadanya sambil
menutup lubang hidung dengan telunjuk dan ibu jari yang menjepit hidung.
"Heh-heh, kakek cebol. Bau tengik dan kecut itu
datangnya dari jenggot dan kumismu. Coba kau cukur bersih cambang baukmu, tentu
lenyap bau tak enak itu, heh-heh-heh!"
Mendengar ini, kakek itu melepaskan dekapan pada hidung
nya, lalu tangannya menyambar jenggot dan kumisnya yang panjang, dibawa
dekat-dekat ke ujung hidung lalu ia mendengus-dengus dan mencium-cium. Mendadak
ia berbangkis dua kali.
"Haching ! Haching ! Apek... apek ! Wah, gembel
busuk, kau berani mempermainkan aku, hah? Burung setan, kau wakili aku pancal
hidungnya sampai keluar kecap dan tampar kedua pipinya sampai
bengkak-bengkak!" Kakek itu berkata perlahan.
Kwee Seng memang sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan,
karena orang takkan dapat menduga apa yang akan dilakukan seorang kakek aneh
seperti itu, akan tetapi ia kaget juga ketika tiba-tiba sesosok sinar abu-abu
menyambaar ke arah mukanya, kiranya burung hantu itu telah menyerang dengan
gerakan terbang yang sama sekali tidak menimbulkan bunyi, tahu-tahu burung itu
telah menggunakan paruhnya untuk mematuk hidungnya, disusul tamparan dengan
kedua sayap burung itu ke arah kedua pipinya! Serangan yang hebat sekali, lebih
hebat daripada sambaran anak-anak panah yang betapa laju pun.
"Plak-plak-plak!!!" Beberapa helai bulu burung
rontok dan burung itu sendiri mengeluarkan suara
"huuuk... huuuuk...!" terbang ke atas, lalu
lenyap ke atas pohon, mengeluh kesakitan. Hidung Kwee Seng sama sekali tidak
mengeluarkan kecap dan sepasang pipinya tidak bengkak-bengkak seperti yang
diharapkan kakek cebol itu. Kwee Seng masih duduk enak-enakan dan tidak
pedulikan lagi kakek di atasnya, melainkan menonton kelanjutan perlombaan di
bawah. Tadi ia menggunakan sentilan dan tamparan mengusir burung tanpa
membunuhnya karena ia tahu bahwa burung itu tidak bersalah apa-apa, hanya
memenuhi perintah Si Kakek Cebol.
Saat itu, Salinga sudah melarikan kuda putihnya
mengelilingi lapangan untuk memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah.
Pemuda ini biarpun tidak selihai bayisan namun ketangkasannya sudah cukup untuk
menjadi seorang perwira jagoan di dalam barisan Khitan. Gendewanya yang besar
dan berat mengeluarkan suara menjepret, hanya dua kali dan tahu-tahu tujuh
batang anak panah telah menancap, empat batang anak panah yang kesemuanya tepat
mengenai sasaran di bagian yang penting dan mematikan. Tentu saja para
penonton, termasuk Puteri Tayami sendiri, menyambut ketangkasan ini dengan
tepuk sorak gemuruh, karena jelas bahwa Salinga telah lulus ujian dan patut
menjadi calon panglima !
Akan tetapi, apa yang dilihat penonton selanjutnya,
benar-benar membuat penonton besorak lebih gemuruh lagi, karena pertunjukan
Bayisan benar-benar mengagumkan mereka. Seperti juga Salinga, panglima muda ini
melarikan kuda merahnya amat cepat mengelilingi lapangan, demikian cepatnya
kuda merah itu lari sehingga merupakan bayangan merah yang bagaikan terbang
mengelilingi sasaran. Ketika larinya kuda tiba di depan sasaran, tiba-tiba
tampak sinar berkilauan menyambar dari atas kuda menuju sasaran, dan .... Tiga
belas batang hui-to telah menancap di tiga belas bagian tubuh yang mematikan
yaitu di antara kedua alis, ditenggorokan, di kedua pundak, di kanan kiri dada,
di pusar, di kanan kiri lambung, dikedua paha dan kedua lutut!. Tentu saja ini
merupakan demonstrasi ilmu melempar senjata yang amat hebat, yang belum pernah
disaksikan oleh mereka semua. Memang sebenarnya Bayisan merahasiakan
kepandaiannya ini, akan tetapi karena ingin memamerkan kepandaiannya di depan
Tayami, untuk mengalahkan Salinga, terpaksa kini ia perlihatkan.
"Bau... bau...! He, jembel muda yang tengik. Kau
berada di bawahku, baumu naik memenuhi hidungku. Hayo kau bersamaku
memeperlihatkan kepada monyet-monyet itu bahwa tidak ada artinya semua
pertunjukan ini. Akan tetapi karena kau bau sekali, kau harus berada di atasku,
aku menjadi kuda, kau boleh menunggang punggungku!"
Kwee Seng berdongak ia terkekeh geli. Kakek itu tidak
tampak lagi mukanya, ditutup baju yang ditariknya ke atas, kemudian tubuh kakek
itu melayang jauh ke bawah, di depannya menyambar tangannya untuk ditarik
bersama ke bawah. Kwee Seng terkejut, namun ia cepat mengerahkan gin-kangnya
yang ikut melayang ke bawah. Maklum bahwa kakek ini memang hendak main-main dan
cari perkara, ia merasa gembira dan begitu melihat kakek itu tiba di tanah
dalam keadaan merangkak, yaitu kedua tangan menjadi kaki depan, muka seekor
keledai kecil sekali, ia tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan melayani
kehendak Si Kakek, cepat ia melompat dan tepat tiba di punggung kakek itu
dengan ringan !
Begitu merasa tubuh gembel muda itu tiba-tiba di
punggungnya, Si Kakek memperdengarkan suara meringkik mirip kuda, lalu ia
"lari" dengan empat kakinya, lari congklang ke tengah lapangan! Kwee
Seng terkekeh-kekeh, rambutnya riap-riapan, dan ia menoleh ke kanan kiri dengan
lagak congkak, meniru lagak Bayisan dan lain-lain peserta tadi. Seolah-olah ia
juga seorang peserta yang gagah perkasa menunggang kuda yang tangkas.
Ributlah para penonton, terdengar gelak tawa di
sana-sini, lalu memecah terbahak-bahak. Lucu sekali memang. Penunggangnya
seorang jembel berpakaian compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan
bertelanjang kaki, "kudanya" mirip seekor anjing buduk yang pincang
kakinya.
Para perajurit penjaga menjadi marah dan hendak
menghalangi Si Gila itu membikin kacau, akan tetapi raja mengangkat tangan
mencegah. Sambil tertawa-tawa Raja Kulu-khan berkata,
"Biarkan! Biarkan! Bukankah ini merupakan
pertunjukan lawak yang menarik?"
Diam-diam Si Kakek aneh itu kagum ketika tadi merasa
tubuh jembel muda itu tiba di punggungnya seperti sehelai daun kering. Rasa
kagum yang disusul rasa penasaran karena biarpun ia adalah sudah tua bangka,
namun ia adalah seorang yang memiliki watak yang tidak mau kalah oleh siapapun
juga! Maka kini ia lari mencongklang ke arah barisan tombak. Kemudian sekali ia
menggerakkan kaki tangannya, tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas
tombak ! Di atas ujung mata tombak yang runcing, yaitu empat buah tombak
pertama, tangan dan kakinya menekan ujung itu seperti seekor burung hinggap di
atas cabang ! Kwee Seng terkejut sekali dan diam-diam ia merasa amat kagum.
Gelak tawa dari para penonton seketika terhenti, dan kini
para penonton melongok terheran-heran. Raja Kulu-khan sendiri terhenti di
tengah-tengah senyumnya. Puteri Tayami bangkit berdiri, dan para penglima,
termasuk Kalisani dan Bayisan berubah air mukanya. Ini bukan pelawak-pelawak
gila lagi, melainkan pertunjukan yang hebat ! Bayisan segera lari ke arah
barisan panah dan memberi perintah dengan suara perlahan, kemudian kembali lagi
di tempat semula sambil memandang penuh perhatian.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, kakek yang
menjadi kuda itu melangkahkan "empat kakinya" setapak demi setapak
melalui ujung mata tombak yang berjajar-jajar itu, sedangkan Kwee Seng
enak-enak duduk di atas punggungnya. Karena Kwee Seng juga merasa panas
perutnya melihat kakek ini seakan-akan memamerkan kepandaiannya, maka diam-diam
Kwee Seng tidak menggunakan lagi gin-kangnya, membiarkan tubuhnya memberat dan
menindih kakek itu. Akan tetapi, kakek itu cerdik juga karena sekarang ia cepat
melompat-lompat di atas mata tombak, tidak menekankan tangan kaki lagi seperti
tadi melainkan memegang dengan tangan lalu melompat sehingga akhirnya ia sampai
di baris terakhir lalu melompat ke bawah.
Para penonton sudah sadar kembali dari kaget dan heran,
maka kini suara sorak-sorai mengalahkan yang tadi karena sorakan itu diseling
tawa terbahak saking kagum dan lucu.
Akan tetapi, suara ketawa mereka itu hanya sebentar
karena "orang gila" bersama "kudanya" yang aneh sekali itu
telah mendekati barisan anak panah. Apakah mereka benar-benar hendak memasuki
barisan itu ? Mencari mampus ?
Ketegangan memuncak karena Kwee Seng yang masih enak-enak
"nongkrong" di punggung kakek itu seakan-akan tidak melihat bahaya,
membiarkan dirinya dibawa ke dalam barisan anak panah, di mana ahli-ahli panah
telah siap melepaskan anak panah. Busur telah mereka tarik sepenuhnya! Bahkan
di panggung kehormatan, tidak ada suara berkelisik semua mata memandang penuh
ketegangan, agaknya napasnya pun ditahan menanti detik-detik yang akan datang
itu. Dari mulut Raja Kulu-khan terdengar suara.
"Ah, sayang... kalau sampai mereka tewas..."
Akan tetapi suara ini hanya seperti bisik-bisik saja, pula pada saat seperti
itu, siapa orangnya tidak ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan peristiwa aneh
itu? Raja sendiri biarpun mulut berkata demikian, hatinya amat ingin
menyaksikan dan tentu akan melarang kalau ada yang hendak menghalangi orang
gila itu memasuki barisan anak panah.
Para ahli panah yang telah menerima bisikan dari Bayisan,
menanti sampai orang gila itu tiba di tengah-tengah lapangan, dan tepat pula
seperti yang diperintahkan Bayisan, mereka memanah untuk membunuh, maka begitu
terdengar suara tali busur menjepret disusul berdesirnya anak panah yang puluhan
batang banyaknya, semua anak panah itu selain menuju ke arah bagian-bagian
berbahaya dari tubuh Kwee Seng, juga ada yang mengaung lewat di pinggir dan
aras kepalanya intuk mencegah orang gila itu mengelak !
"Aduh celaka...!" "Ahh...!"
"Mati dia...!"
Bahkan Raja Kulu-khan sendiri mengeluarkan seruan kecewa,
demikian pula puteri Tayami dan yang lain-lain ketika melihat betapa anak-anak
panah yang banyak sekali mengenai tubuh "orang gila" itu sehingga
tubuhnya seperti penuh anak panah, di kanan diri dada, bahkan ada yang menancap
di mukanya ! Akan tetapi anehnya, "kuda" kecil itu masih merayap
terus dan orang gila itu masih enak-enak duduk mengantuk, seakan-akan anak-anak
panah yang menancap pada dada dan mukanya itu tidak dirasainya sama sekali !
Kembali anak panah yang banyak sekali menyambar, kini menuju kepada
"kuda"! Berbeda dengan peraturan yang berlaku dalam ujian ketangkasan
itu, kini karena telah diberi komando Bayisan yang tahu bahwa dua orang itu
adalah orang-orang pandai yang agaknya memancing keributan, mereka lalu
menghujani "kuda" itu dengan anak panah pula.
"Anak kecil itu pun mati...!" teriak
orang-orang yang menonton yang tentu saja sudah dapat menduga bahwa kuda itu
adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan seorang manusia. Tentu seorang anak-anak
karena kaki tangannya begitu kecil dan pendek.
Aneh pula, seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu
pun sama sekali tidak mengelak dan tubuhnya pun penuh dengan anak panah ! Akan
tetapi, lebih aneh lagi, dia masih saja merangkak-rangkak, bahkan kini menuju
ke lapangan di mana tersedia sasaran boneka besar untuk menguji kepandaian
memanah !
Barulah kini orang-orang melihat bahwa anak-anak panah
yang disangka menancap di dada orang gila itu sama sekali bukan menancap,
melainkan di kempit di antara kedua ketiak dan di antara jari-jari tangan,
malah yang tadinya disangka menancap di muka ternyata adalah anak-anak panah
yang kena gigit oleh "orang gila" itu. Entah bagaimana cara
"kuda" itu menerima anak-anak panah yang kelihatannya masih menancap
pada tubuhnya, karena tubuh itu masih tertutup baju yang dikerobongkan di
kepala ! Setelah tiba di lapangan memanah, tiba-tiba "kuda" itu lari
congklang, bukan main cepatnya, agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya kuda
!
Tentu saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi
kaget, kagum, heran, dan gembira sehingga meledaklah sorak-sorai mereka,
melebihi yang sudah-sudah, Raja Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri
Mahkota Tayami bertukar pandang dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang
lucu adalah Kalisani. Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil
kegirangan dan mulutnya tiada hentinya berteriak.
"Hebat... ! Mereka orang-orang sakti ! Ah, mana bisa
kepandaian kita dibandingkan dengan mereka?"
Hanya Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya
menyinarkan kemarahan. Pada saat itu ia mendekati seorang pangeran yang juga
merupakan putera Raja Kulu-khan dari selir, tapi lebih tua daripada Bayisan
yang bernama Pangeran Kubakan. Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik
dengan Bayisan.
"Siapakah mereka...?" tanya Kubakan.
"Aku tidak tahu..." jawab Bayisan bingung.
"Jangan-jangan..." Kubakan menoleh ke arah
ayahnya yang berdiri dan memandang kagum ke arah lapangan, malah kini kedua
tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji bersama semua penonton.
"Ah, agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan
tetapi siapa tahu? Malam ini kita harus turun tangan..."
Kembali Kubakan menoleh ke arah ayahnya, lalu
mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang pangeran ini bertukar pandang,
kemudian mereka berpisah. Bayisan lari ke arah lapangan untuk menyaksikan dua
orang aneh itu dari dekat.
Setelah lari cepat seputaran dengan cara berloncatan
seperti kuda, kakek yang menggendong Kwee Seng itu tiba di depan sasaran,
jaraknya sama dengan jarak para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan
seruan bentakan yang nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang
jaraknya terlalu dekat roboh terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya
meloncat turun dari punggung "kuda" dan sekali tubuhnya itu terbang
cepat ke arah sasaran.
"Cap-cap-cap-cap!!!" Cepat sekali anak-anak
panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran, tak sebatang pun luput.
Akan tetapi para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya.
Setelah mata yang memandang ridak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya
anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah yang
dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap di atas gagang tiga belas buah
pisau terbang papnglima muda !
Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan
tetapi diam-diam Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa "orang
gila" itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu menancap di gagang
hui-to yang tadi ia lepaskan.
Tiba-tiba terdengar suara berkakakan dan "kuda"
itu meloncat berdiri di atas dua kaki belakangnya dan tampaklah seorang kakek
cebol yang wajahnya seperti wajah patung dewa di kelenteng, kedua tangannya
sudah menggenggam banyak sekali anak panah sambil masih tertawa-tawa bergelak,
keuda tangannya bergerak ke depan dan meluncurlah anak-anak panah itu
beterbangan ke arah sasaran. Anehnya, anak-anak panah itu terbangnya masih
berkelompok dan setelah dekat dengan boneka lalu terpisah menjadi lima
rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan kedua pangkal lengannya,
dan kedua kakinya telah patah !
Tanpa mempedulikan keributan semua orang di situ, Kwee
Seng kini berdiri dengan kakek aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee
Seng pringas-pringis menyeringai aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin
juga keduanya sudah miring otaknya !
"Hoa-ha-hah, jembel muda bau busuk, kau lumayan juga
! Aku harus mencobamu!"
"Kakek cebol menjemukan! Siapa gentar menghadapi
kesombonganmu?" Kwee Seng menjawab, karena betapapun juga, ia mendongkol melihat
kakek ini amat takabur. Biarpun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali
tidak memasang kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang
berdiri dengan kaki dibengkokkan lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan
waspada karena maklum bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang
tentulah amat hebat sekali.
Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan
pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya
mengacau dan hendak membikun rusuh. Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak.
"Aha-ha-ha ! Sudah cukup main-main hari ini, gembel
muda bau, kakekmu tidak ada waktu laagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah
lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing
oleh pukulanku!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat,
makinlama makin itnggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat.
Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang
banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu,
karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh sehingga
kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah hebat dan
lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si Kakek melepas
kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak !
Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak
orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap
di antara pohon-pohon yang lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah
keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan
keras pada hari itu dan seterusnya.
Kalisani mendekatinya dan berkata,
"Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas
bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat
buruk terhadap kita, bahkan gaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal.
Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai
tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan
mengejar-ngejar mereka seperti maling?"
Dengan wajah berkerut, Bayisan menjawab,
"Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini
berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga
keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakkukan perondaan di
dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka
amatlah lihai."
(Note : Di bab 5, Bayisan menyatakan kepada Kwee Seng
bahwa Kalisani adalah kakak misannya, tetapi mengapa Bayisan memanggil Kalisani
dengan Paman?? Apakah memang orang Khitan mempunyai adat memanggil kakak misan
dengan panggilan Paman??)
Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani
yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa
sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin
sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh
Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau
ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang
pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan
kakek cebol yang begitu aneh.
Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam
tenang tentram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai
menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya
yang tenang redup, membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya
sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan
menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk
menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang
muda yang masih selalu haus akan kesenangan.
Di tepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat
dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang
amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita
dengan rambut disanggul ke atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan
gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini
adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang
mengetahuinya, Dinda Tayami," terdengar pemuda itu berkata, suaranya
seperti orang bersyair. "Lihat bulan selalu tersenyum-senyum
kepadaku!"
"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga,
setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku
menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang
akan kau minta tentulah diriku namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah
pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku
lega sekali." Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai,
saling pandang penuh mesra.
"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa
jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang
kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian
disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku
segera memilih tanganmu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan
Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku...."
Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran.
"Betapapun juga Kanda Salinga, kita harus waspada
terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar
keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri
kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi."
"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta
kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak
terhadap adiknya."
"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku
teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan
perlombaan bangsa kita ? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan,
entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun juga, mereka berdua memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?"
"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini.
Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa
bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai,
betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu
kecil."
Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya.
Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan
kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan dan
bernisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki
perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu
meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar
kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee Seng berdiri di belakang pohon, memandang dengan
melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan
itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, di bawah sinar bulan purnama di
dalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca,
rambut halus juita terurai di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan,
sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka.
Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun
membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang
jauh di masa lampau, membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa,
membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang
wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri
sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat
kalau ia teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang
ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk
dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur
dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia
menjadi seperti orang gila.
Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat
tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak
jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, mendekat. Di bawah bayangan pohon yang
amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian
hitam.
"Ah, mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat
ini...?" Seorang di antara mereka mengeluh.
"Mereka tidak pandai berenang."
"Goblok ! Apa kau hendak membantah perintahnya?
Justeru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita
menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok
orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main di perahu
tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam.."
"Ahhh...!" Kembali yang seorang mengeluh, yaitu
orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua orang temannya, yang
bertubuh kokoh kekar.
"Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita
mulai!" Tiga orang itu lalu turun ke dalam air perlahan-lahan, kemudian
mereka menyelam dan berenang dengan cepat. Kwee Seng maklum bahwa mereka
bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa ada komplotan jahat
hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik dimabok cinta itu.
Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan hati mangkal karena perasaannya
amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara hatinya tidak membolehkan dia
berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon terdekat dengan tangan
dimiringkan.
"Krakkkk!" Batang pohon itu tidak dapat menahan
hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh, bagian yang dihantam pecah remuk dan
patah, membuat pohon itu tumbang seketika !
"Eh, apa itu...?" terdengar dari jauh suara
Salinga ketika mendengar suara keras robohnya batang pohon.
"Aiihhh, Kanda... celaka...!" Disusul jeritan
Tayami karena pada saat itu, perahu mereka tiba-tiba terguling membalik dan
mereka berdua terlempar ke dalam air! Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan
tertelungkup menuju ke tengah dan diseret arus air menjauhi mereka.
Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki
tangan mereka, akan tetapi karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang
memasuki mulut.
"Tolonggg...!" Tayami menjerit akan tetapi
suaranya terhenti oleh air yang memasuki hidung dan mulut.
"Dinda...!"
"Kanda Salinga... ooohh...!" Mereka saling
menangkap tangan, akan tetapi justeru ini membuat gerakan mereka mengurang dan
tubuh mereka tenggelam kembali. Cepat-cepat mereka menendang-nendang dengan
kaki dan muncul lagi gelagapan. Pada saat itu, entah darimana datangnya,
sebatang pohon meluncur di dekat mereka.
"Dinda Tayami, cepat pegang ini...!" Salinga
berseru girang. Tak lama kemudian mereka sudah berhasil menangkap batang pohon
itu. Dengan bantuan Salinga, Tayami sudah duduk di atas batang pohon sambil
muntahkan air yang telah banyak diminumnya. Salinga sendiri memeluk batang
pohon itu agar jangan bergulingan. Pakaian mereka basah kuyup, rambut mereka
terurai, akan tetapi untuk sementara mereka selamat.
"Kanda... mengapa perahu kita terguling..?"
"Entahlah, tidak perlu dipikirkan sekarang. Paling
penting kita harus dapat mendayung batang ini ke pinggir..." Dengan susah
payah Salinga berusaha menggerak-gerakkan batang itu ke pinggir akan tetapi
karena tidak didayung, batang pohon itu bergerak perlahan menurutkan arus
sungai.
Pada saat itu, terdengar suara "huuukk..
huuukkk...!" dan menyambarlah seekor burung yang matanya berkilauan
seperti mata kucing.
"Ihhh... burung hantu...!" seru Tayami dengan
perasaan ngeri. Sudah menjadi kepercayaan di daerah itu bahwa burung hantu ini pembawa
berita kematian, maka siapa bertemu dengannya tentu akan kematian seorang
keluarga.
Ia... membawa bungkusan...!" seru pula Salinga
terheran-heran.
Betul saja. Kuku burung itu mencengkram tali di mana
tergantung sebuah bungkusan kecil. Anehnya, begitu melihat mereka, burung itu
menyambar turun dan sayapnya hampir saja mengenai muka Tayami kalau saja gadis
ini tidak cepat-cepat mengelak sambil berseru jijik. Akan tetapi burung itu
bukannya menyerang, melainkan melepas tali dan bungkusan itu jatuhlah ke depan
Tayami, tepat di atas batang pohon !
"Ada tulisannya!" Tayami berseru heran melihat
tulisan huruf-huruf besar dan jelas di atas bungkusan. Kalau huruf-huruf itu
tidak jelas tentu takkan dapat terbaca di bawah sinar bulan.
"LEKAS PULANG DAN ISI BUNGKUSAN INI PAKAI SEBAGAI
BEDAK BARU MALAPETAKA DAPAT DICEGAH."
Tayami membaca dengan keras sehingga terdengar pula oleh
Salinga.
"Apa artinya ini?" "Entahlah, Dinda. Semua
terjadi serba aneh. Perahu kita terguling. Kita hampir celaka lalu tiba-tiba ada
batang pohon ini yang menolong kita. Lalu muncul burung hantu yang memberi
bungkusan dan surat. Ihhh, benar-benar menyeramkan sekali. Kau simpan bungkusan
itu, mari bantu aku mendayung batang pohon itu dengan kaki agar dapat
minggir." Mereka segera bekerja dan betul saja, sedikit demi sedikit
batang kayu itu bergerak ke pinggir.
Sementara itu, tiga orang Khitan yang telah selesai
melakukan pekerjaan jahat itu, cepat-cepat menyelam dan berenang ke pinggir
kembali. Akan tetapi begitu mereka muncul di pinggir dan meloncat ke darat,
mereka kaget sekali karena di depan mereka telah berdiri seorang yang
terkekeh-kekeh dan ketika mereka mengenal laki-laki gila yang pagi tadi
mengacaukan perlombaan, mereka menjadi ngeri.
"Heh-heh-heh, setelah membunuh lalu lari, ya?"
Kwee Seng menegur. Tentu saja mereka bertiga terkejut bukan main. Pekerjaan
mereka tadi mencelakai dan membunuh puteri mahkota adalah perbuatan yang amat
berbahaya. Kalau diketahui orang, tentu mereka akan celaka, maka sekarang
mendengar bahwa jembel gila ini sudah melihat perbuatan mereka, serentak dua
orang yang bertubuh tinggi besar itu mencabut golok dan menerjang Kwee Seng!
Cepat gerakan mereka ini, dan cepat pula hasil ayunan golok mereka, yaitu
kepala mereka sendiri terbelah oleh golok masing-masing sampai hampir menjadi
dua dan tubuh mereka masuk ke dalam sungai dan hanyut. Hanya dengan sentilan
jari tangannya Kwee Seng telah membuat golok yang menyerangnya itu membalik dan
"makan tuan". Sejenak ia memandang dua buah mayat yang menggantikan
tempat Tayami dan Salinga itu, kemudian sekali berkelebat ia telah meloncat dan
menangkap tengkuk orang ke tiga yang melarikan diri ketakutan.
"Ke mana kau hendak lari?"
"Am... ampun... hamba tahu pekerjaan itu terkutuk...
akan tetapi hamba terpaksa... kalau tidak mau melakukan tentu akan
dibunuh..."
"Hemm, aku mendengar tadi keraguan melakukan
perbuatan itu. Siapa yang memaksamu melakukannya?"
"Panglima Muda Bayisan..."
"Mengapa? Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan
dibunuh?"
"Hamba... hamba tidak tahu... mungkin karena cemburu
setelah ... Sribaginda menerima Salinga menjadi calon mantu..."
"Hemmm..." Kwee Seng mengangguk-angguk,
kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang Khitan itu telah roboh
tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dalam
kegelapan malam.
Setelah berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari
ke arah kuda mereka, meloncat ke punggung kuda setelah melepaskan kendali dari
pohon, lalu membalapkan kuda kembali ke kota raja.
"Aku merasa kuatir sekali akan terjadi sesuatu di
kota raja." Kata Salinga.
Akan tetapi ketika mereka tiba di kota raja, keadaan
sunyi saja dan biasa, tidak ada tanda-tanda terjadi sesuatu yang luar biasa.
Karena pakaian mereka masih basah dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa
tadi, mereka langsung melarikan kuda sampai depan istana.
"Kau pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak perlu
kau ceritakan siapapun juga. Biar besok kita bertemu lagi dan kita bicarakan
peristiwa itu!" Salinga mengangguk. Tentu saja ia tidak mau bicara dengan
siapa juga tentang peristiwa itu sebelum ia dapat membuka rahasianya. Peristiwa
yang penuh keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar kudanya pergi, ia berkata.
"Adinda, sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai
isi bungkusan sebagai bedak. Lebih baik suruh selidiki dulu oleh ahli
obat."
Tayami mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami
menyerahkan kuda kepada pelayan lalu berlari-lari memasuki istana, langsung ke
kamarnya untuk bertukar pakaian. Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju ke
rumahnya. Setelah para pelayan sibuk membuka pakaian basah sang puteri cantik
ini, menyusuti tubuhnya sampai kering kemudian menggantikan pakaian bersih,
lalu hendak menyanggul rambut yang belum kering benar itu, Tayami mengusir mereka,
"Keluarlah kalian semua, aku ingin mengaso seorang
diri."
Sambil tersenyum-senyum maklum para pelayan itu
berlari-lari ke luar dan Tayami duduk di atas pembaringan dengan rambut
terurai, seluruh tubuh terasa segar karena habis digosoki. Bungkusan yang
dijatuhkan burung hantu tadi ia buka perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah
sejenis obat bubuk yang halus sekali berwarna kuning. Begitu dibuka tercium bau
yang amat harum oleh Tayami. Ganda harum ini dan tulisan yang menganjurkan agar
ia memakainya sebagai bedak untuk mencegah malapetaka, membuat tangannya
gatal-gatal untuk memakainya. Akan tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema di
telinganya. Salinga benar juga, pikirnya. Aku tidak tahu siapa yang memberi
bedak ini, dan mencegah malapetaka apakah? Di sini aman saja. Puteri Tayami
bimbang antara kepercayaannya akan tahyul dan pesan kekasihnya. Bungkusannya
yang sudah terbuka itu ia taruh di atas meja dekat pembaringan.
Gadis puteri raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak
tadi ada dua pasang mata mengintai, penuh kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau
dua orang yang mengintainya itu dating seperti setan, tanpa menimbulkan suara
sedikitpun ketika kaki mereka menginjak genteng? Dan dua pasang mata itu
memandang kagum ke dalam kamar pun tak dapat dipersalahkan. Siapa orangnya,
apalagi kalau ia laki-laki, takkan terpesona dan kaagum melihat gadis puteri
mahkota yang cantik jelita itu? Melihat di ditukar pakaiannya oleh para dayang
keraton, kemudian kini dengan pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk termenung
seorang diri di dalam kamar yang indah.
Kwee Seng yang datang terlebih dulu karena sejak tadi ia
dari jauh mengikuti puteri ini, bersembunyi di sudut atas, maka ia pun tahu
akan kedatangan sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang membuka
genting dan mengintai ke dalam pula, seperti dia ! Berdebar hatinya ketika
mengenal orang itu, yang bukan lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk
dibalas kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi karena ia pun
terpesona oleh keindahan di dalam kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun
tangan, ingin melihat dulu apa yang dikehendaki Bayisan. Pula, melihat
kecantikan Puteri Khitan, teringatlah ia kepada Liu Lu Sian dan Ang-siauw-hwa,
membuatnya termenung dan penyakitnya hampir kumat!
Tayami yang sedang termenung di dalam kamarnya, mengenang
peristiwa di sungai tadi. Teringat akan kekasihnya, ia tersenyum. Akan tetapi
ketika ia teringat akan peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia
memandang bubukan obat. Apakah maksudnya pengirim obat ini? Benarkah burung itu
bukan burung biasa? Ataukah disuruh oleh orang sakti? Sungguh harum baunya
bedak ini. Dan kalau memang bedak ini dipakai untuk menolak malapetaka, apa
salahnya? Tentu pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau aku
pakai sedikit untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus
runcing itu bergerak mendekati kertas, hendak menjumput bedak. Akan tetapi
tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin
bergoyang-goyang. Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang
terbuka lebar sambil membalikkan tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget
melihat bahwa di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki yang
tersenyum-senyum, Bayisan !
"Kanda Panglima Bayisan...! Apa artinya ini? Mengapa
kau masuk ke sini secara begini?" tayami bertanya gagap.
Bayisan memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak
menelan bulat-bulat gadis di depannya, mulutnya menyeringai lalu terdengar ia
berkata, suaranya gemetar penuh perasaan,
"Alangkah indahnya rambutmu, Tayami... alangkah
cantik engkau...., bisa gila aku karena nafsu melihatmu...."
Tiba-tiba Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar
kemerahan.
"Kanda Panglima! Apakah kau sudah gila? Berani kau
bersikap kurang ajar seperti ini di depanku? Pergi kau keluar! Kau tahu apa
yang akan kauhadapi kalau kuadukan kekurang-ajaranmu ini kepada ayah!"
"Huh ! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal
malam ini kau sudah menjadi milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja
Khitan, kau lebih patut menjadi isteriku daripada menjadi isteri seorang
berdarah seorang berdarah pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah... aku
sudah terlalu lama menahan rindu nafsuku...!" Bayisan melangkah maju,
kedua tangannya dikembangkan seperti akan memeluk, matanya yang agak kemerahan
karena nafsu itu disipitkan, mulutnya menyeringai.
"Bayisan, berhenti! Kalau tidak, sekali aku menjerit
kamar ini akan penuh pelayan dan penjaga. Ke mana hendak kau taruh
mukamu?"
"Heh-heh-heh, menjeritlah manis. Para pelayan dan
penjaga sudah kutidurkan pulas dengan totokan-totokanku. Lebih baik kau menurut
saja kepadaku, kau layani cinta kasihku dengan suka rela karena... karena
terhadapmu aku tidak suka menggunakan kekerasan."
Mengingat akan kemungkinan ucapan Bayisan yang memang ia
tahu amat lihai. Tayami menjadi makin panik. Sambil berseru keras ia melompat
ke samping, menyambar pedangnya, yaitu pedang Besi Kuning yang tergantung di
dinding, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menerjang Bayisan dengan bacokan maut
mengarah leher. Cepat bacokan ini dan dilakukan dengan tenaga yang cukup hebat,
karena Tayami adalah seorang puteri mahkota yang terlatih, menguasai ilmu
pedang yang cukup tinggi. Akan tetapi, tentu saja silat puteri mahkota ini tak
ada artinya.
"Heh-heh, Tayami yang manis. Kau seranglah, makin
ganas kau menyerang, akan makin sedap rasanya kalau nanti kau menyerahkan diri
kepadaku!"
"Keparat! Jahanam berhenti iblis! Tak ingatkah kau
bahwa kita ini seayah? Tak ingatkah kau bahwa aku ini Puteri Mahkota dan kau
ini Panglima Muda? Lupakah kau bahwa pagi tadi ayah telah menjodohkan aku
dengan Salinga? Bayisan, sadarlah dan pergi dari sini sebelum kupenggal
lehermu!"
"Heh-heh-heh, Tayami bidadari jelita. Kau hendak
memenggal leherku, kau penggallah, sayang. Tanpa kepala pun aku masih akan
mencintaimu!" Bayisan mengejek dan betul-betul ia mengulur leher
mendekatkan kepalanya, malah mukanya akan mencium pipi gadis itu.
Tayami marah sekali, pedangnya berkelebat, benar-benar
hendak memenggal leher itu dengan gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh
tenaganya. Bayisan tertawa, miringkan tubuh menarik kembali kepalanya. Pedang
menyambar lewat, jari tangan Bayisan bergerak menotok pergelangan lengan dan...
pedang itu terlepas dari pegangan Tayami, terlempar ke sudut kamar!
Bayisan sudah mencengkeram rambut yang panjang
riap-riapan itu ke depan mukanya, mencium rambut sambil berkata lirih,
"Alangkah indahnya rambutmu... halus... ah,
harumnya..."
Tayami kaget sekali, tangan kirinya diayun memukul
kepala, akan tetapi dengan mudah saja Bayisan menangkap tangan ini dan ketika
tangan kanan Tayami juga datang memukul, kembali tangan ini ditangkap. Kedua
tangan gadis itu kini tertangkap oleh tangan kanan Bayisan yang tertawa
menyeringai.
"Kaulihat, alangkah mudahnya aku membuat kau tidak
berdaya!" Tangan kirinya mengelus-elis dagu yang halus.
"Kau baru tahu sekarang bahwa aku amat kuat, amat
kosen, jauh lebih lihai dari Salinga, dari laki-laki manapun juga di Khitan
ini!" Sekali mendorong, ia melepaskan pegangan tangannya dan tubuh Tayami
terguling ke atas pembaringan.
Gadis itu takut setengah mati, lalu nekat, menerjang maju
lagi sambil melompat dari atas pembaringan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
menjadi lemas ketika jari tangan Bayisan menotok jalan darah bagian
thian-hu-hiat yang membuat seluruh tubuhnya menjadi seperti lumpuh ! Dengan lagak
tengik Bayisan kembali mengusap pipi gadis itu sambil tertawa.
"Heh-heh, betapa mudahnya kalau aku mau menggunakan
kekerasan. Kau tak dapat bergerak sama sekali, bukan ? Akan tetapi aku tidak
menghendaki demikian, juitaku. Aku ingin kau menyerahkan diri secara sukarela
kepadaku, ingin kau membalas cinta kasihku, bukan menyerah karena terpaksa dan
tak berdaya. Nah, bebaslah dan kuberi kesempatan berpikir."
Tangannya menotok lagi dan benar saja. Tayami dapat
bergerak kembali. Muka gadis ini sudah pucat sekali, akan tetapi sepasang
matanya berapi-api saking marahnya. Ia akan melawan sampai mati, tidak nanti ai
mau menyerah ! Baru sekarang ia teringat untuk menjerit, karena tadinya, selain
terpengaruh oleh ucapan Bayisan yang katanya telah merobohkan semua penjaga dan
pelayan, juga tadinya ia merasa malu kalau peristiwa ini diketahui orang luar.
Akan tetapi melihat kenekatan Bayisan yang seperti gila itu, ia tidak peduli
lagi dan tiba-tiba Tayami menjerit sekuatnya. Aneh dan kagetlah ia ketika
tiba-tiba lehernya terasa sakit dan sama sekali ia tidak dapat mengeluarkan
suara!
"Heh-heh-heh, jalan darahmu di leher kutotok,
membuat kau menjadi gagu! Nah, sadarlah, Tayami, betapa mudahnya bagiku. Dengan
tertotok lemas dan gagu, apa yang dapat kaulakukan untuk menolak kehendakku?
Akan tetapi aku tidak mau begitu... aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya,
berikut hatimu. Manis, kau balaslah cintaku...." Bayisan melangkah maju
lalu memeluk.
Tayami memukul-mukulkan kedua tangannya, akan tetapi
pukulan-pukulan itu sama sekali tidak terasa agaknya oleh Bayisan. Pemuda
Khitan yang seperti gila ini menciumi muka Tayami, mebujuk-bujuk dan terdengar
kain robek. Terengah-engah Tayami ketika Bayisan untuk sejenak melepaskannya
sambil memandang dengan mulut menyeringai. Baju Tayami bagian atas sudah robek,
wajah gadis ini pucat sekali.
Celaka pikirnya. Tidak ada senjata lagi. Tiba-tiba Tayami
teringat akan bungkusan bedak di atas meja. Kalau bedak itu mengenai mata,
tentu untuk sesaat Bayisan takkan dapat membuka matanya, mungkin ada kesempatan
baginya untuk lari ke luar kamar.
Bayisan sudah hendak memeluk lagi.
"Tayami sayang, aku cinta kepadamu... kau layanilah
hasratku...."
Tiba-tiba Tayami memukulkan tangan kirinya ke arah ulu
hati Bayisan. Melihat pukulan itu keras juga dan mengarah bagian berbahaya,
sambil tertawa Bayisan menangkap tangan ini dan hendak mendekap tubuh Tayami.
Mendadak tangan Tayami yang kanan menyambar dan segumpal uap putih
menghantammuka Bayisan yang sama sekali tidak menyangka-nyangka itu. Begitu melihat
sambitannya mengenai sasaran, Tayami cepat melompat ke belakang sampai mepet
dinding belakang pembaringan.
"Kau... kau apakan mukaku ? Tayami... kau gunakan
apa ini...?"
Ia terhuyung-huyung menuju ke meja rias di mana terdapat
sebuah cermin. Ketika ia memandang wajahnya pada cermin itu, keluar teriakan
liar seperti bukan suara manusia lagi.
Tayami yang sudah tak dapat menahan ngerinya, menutupi
mukanya dengan kedua tangannya tak sanggup ia melihat lebih lama lagi. Ia
memang seorang gadis perkasa, tak gentar menghadapi perang, sudah biasa melihat
mayat bertumpukan sebagai korban perang, melihat orang terluka parah. Akan
tetapi peristiwa yang mereka hadapi sekarang ini benar-benar mengerikan sekali,
apalagi kalau ia ingat betapa tadi sebelum Bayisan datang, hampir saja ia
menggunakan bedak beracun itu untuk membedaki mukanya. Menggigil kengerian ia
kalau membayangkan betapa kulit mukanya yang halus itu akan digerogoti
perlahan-lahan oleh racun itu, betapa mukanya akan tak berkulit lagi, seperti
muka iblis yang seburuk-buruknya.
Kembali Bayisan menggereng seperti binatang liar ketika
ia membalikkan tubuh menghadapi pembaringan di mana Tayami duduk bersimpuh
kengerian dan ketakutan.
"Kau... kau... setan betina... kucekik lehermu
sampai mampus..."
Ia menubruk maju, akan tetapi tiba-tiba ia berseru
kesakitan dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya meraih ke arah pundak
kanannya yang terasa sakit, lumpuh dan gatal panas. Ketika ia berhasil mencabut
jarum hitam yang menancap di pundak kanannya, ia berteriak kaget, mundur
beberapa langkah dan berdongak ke atas. Di sana, di celah-celah genteng,
tampaklah sebuah muka menyeringai, muka seorang muda yang rambutnya
riap-riapan. Bayisan tentu saja mengenal jarum hitamnya, maka tadi ia kaget
setengah mati melihat pundaknya dilukai orang dengan jarumnya sendiri, kini
melihat muka itu, muka jembel muda yang siang tadi membikin kacau, teringatlah
ia akan muka Kwee Seng, teringatlah ia akan semua peristiwa di puncak
Liong-kwi-san.
"Liong... kwi.... san ...."
Bayisan mengeluh, mukanya pucat sekali dan tahulah ia
bahwa tidak harapan baginya untuk menghadapi pemuda gila yang ternyata Kwee
Seng adanya itu. Tahu pula ia bahwa tak mungkin ia dapat tinggal di istana
setelah apa yang ia lakukan terhadap Tayami, setelah kini mukanya menjadi
seperti muka iblis yang mengerikan. Terdengar ia melengking panjang seperti
lolong seekor srigala hutan yang kelaparan ketika tubuhnya berkelebat ke arah
jendela dan lenyaplah Bayisan di dalam kegelapan malam.
Kwee Seng tersenyum puas. Tak perlu ia membunuh Bayisan,
cukup dengan mengembalikan jarumnya di tempat yang sama. Ia puas melihat
Bayisan sudah cukup terhukum oleh perbuatannya sendiri yang jahat. Siapa kira,
bungkusan yang ia duga dikirim kakek cebol untuk puteri mahkota Khitan itu,
ternyata berisi bedak beracun dan secara tidak sengaja telah dapat memberi
hukuman mengerikan kepada Bayisan si manusia jahat ! Akan tetapi kakek cebol
itu juga jahat. Bagaimana seandainya bedak itu dipergunakan oleh puteri
mahkota? Kwee Seng bergidik. Tak sampai hatinya membayangkan hal ini. Dia amat
sayang akan segala yang indah-indah, kalau sampai wajah yang jelita itu,
dikupas kulitnya oleh bedak beracun, hiiiih !
"Kakek cebol, kau tua bangka iblis, tak dapat
kudiamkan saja perbuatanmu ini!" kata Kwee Seng di dalam hatinya dan ia
pun meloncat turun dari atas genteng, menghilang di dalam gelap
Pada keesokan harinya, kota raja bangsa Khitan itu geger
ketika Pangeran Kubakan mengumumkan bahwa Raja Kulu-khan telah meninggal dunia
dengan mendadak karena terserang sakit setelah menghadiri pesta perlombaan
kemarin. Tentu saja hal ini mengejutkan bangsa Khitan yang merasa sayang kepada
raja yang adil itu. Semua orang berkabung untuk kematian yang tak
tersangka-sangka ini.
Adapun di dalam istana sendiri, tidak kurang hebatnya
pukulan yang tak tersangka-sangka ini. Tayami mengisi jenazah ayahnya dan para
panglima hanya saling pandang dengan penuh pengertian. Tidak ada tanda-tanda
penganiayaan, akan tetapi tahu-tahu raja telah meninggal dunia di atas pembaringannya,
tidak ada tanda luka, tidak ada tanda minuman atau makanan beracun. Akan tetapi
bagi pandang mata yang awas dari para panglima yang tahu akan ilmu silat
tinggi, yaitu misalnya Kalisani Si Panglima Tua, atau juga panglima-panglima
kosen seperti Pek-bin Ciangkun (Panglima Muka Putih) dan Salinga, dapat menduga
bahwa kematian raja mereka itu adalah akibat pukulan jarak jauh yang mengandung
tenaga sin-kang dengan hawa beracun. Dari sembilan lubang di tubuh raja itu
keluar darah menghitam, ini tandanya keracunan hebat oleh pukulan yang merusak
tubuh sebelah dalam.
Ketidak hadiran Bayisan menimbulkan dugaan mereka ini
bahwa Bayisan itulah yang telah membunuh raja, ayahnya sendiri! Mungkin karena
tak senang dengan pengangkatan Salinga sebagai calon panglima dan mantu raja.
Akan tetapi, setelah mereka mendengar penuturan puteri mahkota tentang
kekurangajaran Bayisan memasuki kamar Sang Puteri lalu dapat diusir oleh Puteri
Tayami dengan bubuk beracun sehingga Bayisan menghilang, para panglima itu
tidak mau membicarakan hal ini di luaran. Hanya diam-diam mereka mencari
Bayisan untuk membalas dendam atas kematian raja, namun semenjak saat itu
Bayisan menghilang sehingga orang menyangka bekas panglima itu tentu telah
tewas oleh racun.
Sejak kematian Raja Kulu-khan itulah, timbul perebutan
kedudukan raja di Khitan. Tentu saja menurut sepatutnya karena yang menjadi
puteri mahkota adalah Tayami, maka puteri inilah yang menggantikan kedudukan
raja. Akan tetapi ia seorang wanita yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan,
sedangkan calon suaminya hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi
perdebatan sengit di antara mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi
Tayami, yang pro dengannya tidaklah banyak. Terutama sekali yang mendukungnya
adalah panglima tua Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.
"Biarpun tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri
tidaklah sekuat pimpinan putera, akan tetapi apa gunanya kita semua menjadi
pembantu raja? Kalau ada urusan, cukup ada kita yang akan maju dengan
persetujuan raja. Puteri Tayami adalah puteri mahkota, hal ini mendiang raja
sendiri yang menetapkan. Kalau kita sekarang tidak mengangkat beliau menjadi
pengganti raja, bukankah itu berarti kita tidak mentaati perintah mendiang raja
kita?" Demikian antara lain Kalisani membela kedudukan Puteri Tayami!
Akan tetapi, pihak lain membantah dengan sama kerasnya.
"Kita semua maklum bahwa bangsa Khitan menghadapi
banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai bangsa yang gagah perkasa tidak
sekarang mencari tempat di selatan mau tunggu sampai kapan lagi? Dan penyerbuan
itu membutuhkan bimbingan seorang raja yang gagah berani, seorang laki-laki
sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami juga seorang wanita jantan yang
gagah perkasa, akan tetapi betapapun juga, langkah seorang wanita tidak selebar
laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga tinggal dalam kedudukannya sebagai puteri
mahkota yang kita hormati, akan tetapi pimpinan kerajaan harus berada di tangan
seorang pangeran."
Perdebatan sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani
kalah suara. Sebagian besar para panglima dan ponggawa memilih Pangeran Kubakan
untuk mengganti kedudukan ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini mengecewakan
hati Kalisani yang amat tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya
itu, apalagi karena dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami
kekalahan, tentu saja golongan raja ini akan membencinya. Maka pada hari itu
juga ia meletakkan jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan perantauan
yang menjadi kesukaannya sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini
pula agaknya yang membuat Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi
meninggalkan Khitan, Kalisani hanya minta diri kepada Puteri Tayami.
"Harap Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah
Paduka wafat, belum tentu keadaan pemerintahan akan sebaik sebelumnya. Terutama
sekali, harap Paduka berhati-hati terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali
lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri. Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan
Paduka."
Tentu saja Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak
dahulu juga menaruh hati cinta kepadanya. Ia menjadi terharu sekali karena
maklum bahwa perasaan cinta panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur
dan tulus ihklas, yang murni. Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya
di dalam sidang. Mengingat betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan
Kalisani, dua orang yang benar-benar menaruh sayang kepadanya, tak terasa pula
Tayami menangis. Puteri ini lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi
barang permainan dan kesayangannya sejak kecil, menyerahkannya kepada Kalisani
sambil berkata.
"Terima kasih atas segala kebaikan yang telah
kaulimpahkan kepadaku, Kalisani. Semoga para dewa yang akan membalasnya dan
terimalah sepasang roda emas milikku ini sebagai kenangan-kenangan."
Kalisani mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi
basah, menerima sepasang roda emas, mencium kedua benda mengkilap itu, lalu
mengundurkan diri sambil berkata,
"Sampai mati aku takkan berpisah dari sepasang roda
emas ini..."
Biarpun kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan,
namun Puteri Tayami masih mendampingi kakak tirinya ini dan kekuasaan puteri
mahkota ini masih besar sekali. Raja Kubakan yang baru tidak berani mengganggu
Tayami, karena sungguhpun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja,
namun boleh dibilang semua panglima masih bersetia penuh kepada puteri mahkota.
Raja Kubakan merasa kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan
tidak ada orang tahu entah kemana perginya. Kalau seandainya ada Bayisan di
sampingnya, tentu rasa ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan.
Demikianlah, secara singkat dituturkan di sini bahwa
Puteri Mahkota Tayami menikah dengan Salinga dan mereka berdua hidup rukun dan
saling mencinta. Tidak terjadi sesuatu di antara raja baru dan Puteri Tayami
maupun suaminya karena mereka tidak saling menganggu, bahkan di waktu bangsa
Khitan berperang menghadapi musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi,
sesungguhnya di dalam hati mereka itu terdapat semacam "perang
dingin".
Kita kembali kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana
dan terus keluar dari kota raja. Sambil menggerogoti sepotong paha kambing
panggang yang ia sambar secara sambil lalu dari dapur istana sebelum keluar, ia
berjalan seenaknya di malam hari itu. Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee
Seng yang kondisi tubuhnya sudah luar biasa anehnya itu, tidak tidur selama
seminggu atau tidak makan selama sebulan bukan apa-apa lagi, juga sebaliknya ia
bisa saja tidur tiga hari tiga malam terus-menerus atau sekali makan
menghabiskan makanan sepuluh orang!
Kwee Seng masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah
matahari muncul mengusir kegelapan malam. Dan pada saat itulah ia mendengar
suara orang tertawa-tawa, suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya karena
itulah suara Si Kakek Cebol!
Mendengar suara Si Cebol, bangkitlah amarah di hati Kwee
Seng. Si Kakek Cebol yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak
muka yang demikian cantiknya seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis
itu harus diberi hajaran. Dengan tangan kanan memegang tulang paha kambing,
tangan kiri menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu
mempercepat langkahnya menghampiri arah suara ketawa.
Kakek cebol itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon
besar, tertawa-tawa sabil memeriksa muka seorang yang menggeletak di depan
kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal orang yang menggeletak itu, ia
terheran-heran dan kaget, karena orang itu bukan lain adalah Bayisan ! Memang
aneh kakek itu, ia membungkuk, mengamat-amati muka Bayisan yang rusak, lalu
terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi, memeriksa dengan jari-jari
tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.
"Huah-hah-hah, lucu perbuatan si tangan jahil iblis
siluman! Muka Si Cantik halus yang aku maksud, kiranya malah bocah tolol ini
yang terkena ! Heh-heh-heh!"
Makin yakin kin hati Kwee Seng bahwa kakek cebol ini
sengaja mengirim obat bubuk beracun untuk merusak muka Tayami, maka ia menjadi
makin marah. Di samping kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti mengapa
kakek itu hendak berbuat sedemikian kejinya terhadap Tayami. Untuk melihat apa
yang akan dilakukan selanjutnya oleh kakek itu Kwee Seng menanti sesaat.
Bayisan agaknya pingsan, atau mungkin sudah mati, karena tubuhnya tidak
bergerak sama sekali.
Tiba-tiba kakek itu berseru. "Aiiihhh, bau...
bau...! Bau gembel tengik... !"
Terkejutlah Kwee Seng, dengan kening berkerut ia
menggerakkan muka ke kana kiri, hidungnya kembang-kempis mencium-cium.
Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga kehadirannya tercium oleh kakek
itu? Tentu saja pakaiannya yang sudah butut itu tak enak baunya, akan tetapi
tidaklah begitu tengik sehingga dapat tercium dari jarak sepuluh meter jauhnya.
Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek cebol itu tentu sengaja memakinya
dan kenyataan bahwa kakek itu dapat mengetahui kehadirannya menunjukkan kelihaiannya.
Terpaksa ia muncul dari balik pohon dan melangkah maju menghampiri.
Kakek itu berdiri membelakanginya dan kini kakek itu
mencak-mencak berjingkrakan sambil mengoceh.
"Wah, baunya, baunya makin keras! Jembel busuk
tengik ini kalau tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan
sekelilingnya. Wah, bau... bau... tak tertahankan... !" Kakek itu lalu
berbangkis-bangkis.
Rasa mendongkol di dalam hati Kwee Seng seperti membakar,
"Kakek cebol tua bangka tak sedap dipandang!"
Ia memaki.
"Sudah mukamu seperti monyet tua, tubuhmu cebol,
mulutmu kotor watakmu pun keji seperti ular berbisa !"
Kakek itu kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee
Seng, matanya dibelalakkan lebar, mengintai dari balik alisnya yang panjang dan
berjuntai ke bawah menutupi mata.
"Gembel tengik, gembel bau, kiranya benar engkau
yang mengotori hawa udara di sini ! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku
tidak keliru. Memang mukaku seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka
monyet itu lebih buruk daripada muka orang. Hah-hah-hah, coba kau Tanya kepada
monyet betina, muka monyet siapa yang lebih gagah menarik, muka monyet jantan
berbulu ataukah mukamu yang licin menjijikkan! Tubuhku memang cebol, lebih baik
cebol daripada merasa tubuhnya besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti
tubuh yang menggeletak di sini. Tentang mulut kotor, memang kau benar. Mulut
manusia mana yang tidak kotor? Segala macam bangkai dimasukkan ke mulut,
sedangkan yang keluar dari mulut pun selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah
segala penyakit disebabkan oleh yang masuk melalu mulut, dan bukankah segala
cekcok dan ribut disebabkan oleh apa yang keluar melalui mulut? Memang mulut
manusia kotor dan bau pula! Huah-hah-hah! Tapi tentang watak keji seperti ular
berbisa? Eh, jangan kau menuduh dan memaki sembarangan, bocah gembel!"
Kwee Seng tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging
yang menempel di tulang paha, sedangkan dengan daun lebar ia mengipasi
lehernya, padahal hawa udara di pagi hari itu amat dingin.
"Kakek cebol, omonganmu memang tidak keliru dan
mendengar omonganmu tadi, agaknya kau tahu juga akan kebenaran. Akan tetapi,
kau menyangkal watakmu yang keji berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti di
depan mata."
Kakek itu meloncat-loncat dan membanting-bantingkan
kakinya di atas tanah, mukanya memperlihatkan kejengkelan dan kemarahan.
"Iihh... oohh... aku adalah Bu Tek Lojin! Selamanya
belum pernah ada orang berani memaki kepada Bu Tek Lojin. Tapi hari ini kau
jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek Lojin berwatak keji dan dua
buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek Lojin. Hayo katakan, apa
buktinya?"
Diam-diam Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki
nama yang hampir sama dengan Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa yang suci dan
yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, yang sudah hampir dapat membebaskan diri
sepenuhnya daripada ikatan lahir. Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah
membayangkan kesombongan.
Bu Tek Lojin! Orang Tua Tanpa Tanding! Belum pernah Kwee
Seng mendengar nama ini. Banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti ia kenal, baik
mengenal muka maupun hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia mendengar
nama Bu Tek Lojin! Ada Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan, Hui-kiam-eng Tan Hui, Kim-tung Lo-kai, disamping tokoh-tokoh besar yang
menjadi ketua partai persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua Siauw-lim-pai,
Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana munculnya kakek
cebol yang mengaku bernama Orang Tua Tanpa Tanding ini?
"Huh, tua bangka sombong, kau masih hendak
berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah jelas tampak di depan mata pada saat ini
pun juga. Kau lihat yang menggeletak di depan kakimu itu! Siapa dia? Kau
agaknya malah hendak menolongnya, bukan? Tadi kulihat betapa kau menotok
beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun di mukanya. Mengapa kau
menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan? Bukankah orang-orang gagah
tahu bahwa membantu pekerjaan penjahat sama artinya dengan diri sandiri
melakukan kejahatan? Bukti pertama sudah jelas, kau membantu Bayisan Si Jahat
!"
Tiba-tiba kakek cebol yang mengaku bernama Bu Tek Lojin
itu tertawa bergelak, kembali tubuhnya meloncat-loncat berjingkrakan seperti
seorang anak kecil diberi kembang gula.
"Ho-ho-ho-hah! Ada anak ayam mengejar terbang seekor
garuda! Kau anak ayamnya dan aku garudanya!" Ia tertawa-tawa lagi.
Kwee Seng mendongkol sekali. Kakek ini selain lihai
ilmunya, juga lihai mulutnya, seperti anak yang nakal sekali. Akan tetapi ia
diam saja mendengarkan.
"Bocah, kau tahu apa tentang membantu? Tahu apa
tentang menolong? Tahu apa tentang jahat dan baik? Membantu tidak sama dengan
menolong, akan tetapi jahat tidak ada bedanya dengan baik, kau tahu??"
Kwee Seng seakan-akan menghadapi teka-teki.
"Kakek sombong, apa bedanya membantu dan
menolong?"
"Uuhhh, goblok! Kalau dia ini melakukan sesuatu dan
aku ikut-ikutan mendorong agar apa yang ia lakukan itu berhasil, itu namanya
membantu. Melihat lebih dulu sebab dan akibat sebelum berbuat, itulah membantu.
Tanpa mempedulikan sebab dan akibatnya lalu turun tangan, itulah menolong.
Siapapun juga dia, apa sebabnya dan bagaimana akibatnya, tidak peduli,
pendeknya harus turun tangan, itulah penolong yang sejati!"
Kakek itu bicaranya seperti orang membaca sajak, pakai
irama dan berlagu pula sukar dimengerti. Akan tetapi Kwee Seng terkejut karena
mengenal filsafat ini, biarpun diucapkan seperti sajak berkelakar, namun adalah
kata-kata filsafat yang amat dalam! Mulailah ia kagum dan tidak lagi main-main.
"Bu Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kau
katakan bahwa jahat tidak ada bedanya dengan baik?"
"Ho-ho-hah-hah, memang kau bodoh dan goblok! Semua
menusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua manusia goblok itu merasa diri
pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan buruk? Apa bedanya siang dan malam?
Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada matahari, mana ada siang malam?
Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada? Kalau tidak menyayang diri
sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh bocah, siapa namamu?"
"Aku yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo
Taisu!" Kwee Seng sengaja memakai nama ini untuk menandingi kesombongan Si
Kakek. Ia memang telah mempunyai nama poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Aneh Berhati
Emas), akan tetapi untuk mempergunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan
dirinya sendiri, padahal ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee
Seng yang di anggap sudah mati terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja
menamakan dirinya Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar Berhati Emas!"
"Wah, wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama,
memang memilih nama bebas, boleh pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka
aku pun memilih nama Bu Tek Lojin, huah-hah-hah! Eh. Kim-mo Taisu yang tidak
patut bernama Kim-mo Taisu karena masih muda, aku Tanya, apakah kau orang
baik-baik?"
Ditanya begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha, tentu saja dalam hatimu kau menjawab
bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di dunia ini orang yang mengaku dirinya
orang jahat. Biarpun mulutnya bilang jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi,
siapakah dia yang baik? Yang baik adalah dirinya sendiri, dan orang yang
melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya sendiri, dianggap orang baik pula.
Siapakah dia yang dinamakan orang jahat? Yang jahat adalah orang yang melakukan
sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya sendiri, nah, mereka ini tentu akan
disebut jahat. Baik dan jahat tidak ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di
hati orang yang membedakan demi kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri
dianggap baik, yang tidak menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha!
Menolong yang dianggap baik, itu bukan menolong namanya! Bukan menolong orang,
melainkan menolong diri sendiri, menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah
kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"
Di dalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol
ini kiranya bukan sembarangan orang! Betapapun juga, hatinya tidak puas. Kakek
ini sifatnya terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya
dan suka menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang
lain.
"Bu Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apapun
juga, boleh kau membongkar-bongkar filsafat untuk mencari kebenaran, sendiri.
Akan tetapi aku melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada
Puteri Mahkota Tayami dengan nasihat supaya dia memakai bubuk itu membedaki
mukanya. Apa kau mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak
membikin rusak muka yang begitu cantik bukankah itu perbuatan keji sekali?
Kalau kau masih mengaku seorang manusia, di mana peri-kemanusiaanmu?"
"Huah-hah-hah! Memang aku bukan manusia biasa, aku
setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu, memang ku sengaja, dan memang
maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang menyebabkan semua keributan itu?
Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu berlomba dan saling membenci? Tak
lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota! Dan mengapa mereka berlomba
memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena
itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya. Kecantikan hanya sebatas kulit
muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya, hendak kulihat apakah para
pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya menghilangkan akibat
dengan membongkar sebabnya!"
"Hemm, membongkar sebab secara merusak tanpa
mengenal kasihan seperti itu, benar-benar mencerminkan hatimu yang keji. Kau
tua bangka yang benar-benar berhati iblis!"
"Uwaaaahh! Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa
kau mau mengajak aku berkelahi?"
"Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran
kepadamu!"
"Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada
ular kecil mau menghajar seekor naga. Lucu... lucu....!"
Makin mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini,
tadi menyamakan dia anak ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia
ular kecil dan mengangkat dirinya sendiri seekor naga!
"Biarpun naga, kalau matanya buta dan merusak
sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!"
"Bagus, mari kaulayani aku beberapa jurus!"
Kakek itu berkata, lalu meloncat ke kiri dan memasang kuda-kuda yang aneh,
kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari tangan terbuka dan miring, tubuhnya
doyong ke depan, pundaknya diangkat pula ke depan, matanya melirak-lirik,
persis gaya seekor jago aduan yang akan dipersabungkan! Melihat kakek itu tidak
bersenjata, Kwee Seng menyelipkan tulang paha kambing dan daun ke pinggangnya,
kemudian ia pun menghampiri kakek itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia
mengerahkan sin-kangnya seperti yang ia pelajari di Neraka Bumi karena ia cukup
maklum bahwa betapapun aneh dan lucu sikap kakek itu, namun sudah terbukti
kemarin betapa kakek ini memiliki lwee-kang yang amat kuat serta gin-kang yang
amat tinggi. Lawan ini amat berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti
sambil siap siaga, tidak mau menyerang lebih dulu.