Bab 55 Terkena Racun Pelemas Tulang
Kenapa sudah sebulan lebih An
Lok Kong cu belum tiba di Kotaraja? Apa yang terjadi atas dirinya? Ternyata
ketika dalam perjalanan pulang, ia melihat seorang pendeta sedang menyiksa para
penduduk desa, tampak pula seorang nenek tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalian harus menyediakan
makanan lezat untuk kami Kalau tidak..." ujar pendeta itu dingin.
"Aku akan membunuh kalian
semua"
"Kami... kami tidak pun
ya makanan lezat, kami"
Para penduduk desa menyembah
dekat kaki pendeta itu.
"Bukankah kalian pelihara
ayam? Nah, ayam-ayam itu harus kalian potong untuk menjamu kami Kalau tidak,
nyawa kalian pasti melayang"
"Itu... itu adalah harta
benda kami...."
Plak Plok Pendeta itu langsung
menampar penduduk desa yang bicara itu.
"Aduuh" jerit
penduduk desa itu menjerit kesakitan.
"Ampun..."
Menyaksikan itu, gusarlah An
Lok Kong cu dan langsung melesat ke arah pendeta itu.
"Pendeta jahat"
bentaknya.
"Jangan menyiksa penduduk
desa, cepat berhenti"
"Oh?" Pendeta itu
menatap An Lok Kong cu yang telah berdiri di hadapannya, kemudian tertawa
dingin.
"He he he Sastrawan muda,
tahukah engkau siapa diriku?" "Katakan" sahut An Lok Kong Cu.
"Aku Bu Sim Hoat su dan
nenek gila itu Im Sie Popo" Pendeta itu memberitahukan. Memang sungguh di
luar dugaan, An Lok Kong Cu berjumpa mereka di desa tersebut.
"Hmm" dengus An Lok
Kong Cu dingin.
"Engkau seorang pendeta,
tapi kenapa begitu jahat?"
"Ha ha ha" Bu Sim
Hoatsu tertawa gelak.
"Sastrawan muda, siapa
engkau?"
"Namaku Cu An Lok"
An Lok Kong Cu memberitahukan.
"Sebagai seorang pendeta
seharusnya berhati welas asih, tapi engkau...."
"Diam" bentak Bu Sim
hoatsu.
"Lebih baik engkau cepat
meninggalkan tempat ini, jangan mencampuri urusanku"
"Aku akan meninggalkan
tempat ini, asal engkau tidak menyiksa para penduduk desa" sahut An Lok
Kong Cu.
"Ha ha ha" Bu Sim
Hoatsu tertawa.
"Karena engkau begitu
usil mencampuri urusanku, maka aku terpaksa menangkapmu"
"Oh?" An Lok Kong cu
tertawa dingin.
"Tidak begitu gampang
engkau tangkap aku"
Bu sim Hoatsu menatapnya
tajam.
"Im Sie Popo, cepat
tangkap sastrawan muda itu" serunya.
"Ya." Im Sie Popo
mengangguk. lalu mendadak menyerang An Lok Kong Cu.
Betapa terkejutnya An Lok Kong
Cu, sebab tidak menyangka kalau nenek itu akan bergerak begitu cepat.
Segeralah ia berkelit, namun
Im Sie Popo menyerangnya lagi. Sementara Bu sim Hoatsu terus tertawa gelak.
"Im Sie Popo, totok jalan
darahnya agar tidak bisa bergerak" serunya.
"Ya." sahut Im Sie
Popo dan mulai menotok jalan darah An Lok Kong cu.
Walau terus diserang, An Lok
Kong cu masih berusaha berkelit ke sana ke mari. Akan tetapi, belasan jurus
kemudian, Im Sie Popo berhasil menotok jalan darahnya. Maka tak ayal lagi An
Lok Kong cu langsung terkulai tak bergerak lagi.
Di saat bersamaan, berkelebat
sosok bayangan ke belakang pohon, lalu mengintip ke arah Im Sie Popo, Bu sim
Hoatsu dan An Lok Kong cu.
Yang bersembunyi di belakang
pohon adalah seorang tua yang tidak tain adalah Pak Hong (si Gila Dari Utara-).
la tampak terkejut sekali ketika melihat Im Sie Popo.
"Dia... dia Kwee In Loan?
Dia tidak mati di dasar jurang itu?" gumamnya. la tidak berani keluar dari
tempat persembunyiannya karena tahu kepandaian Kwee In Loan amat tinggi.
"Itu.... Bu Sim Hoatsu
Kenapa kelihatannya Kwee In Loan
di bawah pengaruh pendeta
itu?" la tidak habis pikir.
"Dan kenapa Kwee In Loan
seperti tidak waras?"
"He he he" BU sim
Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh sambil mendekati An Lok Kong cu yang tergeletak
tak bergerak itu.
"Karena engkau begitu
usil, maka aku memberi pelajaran padamu"
"Hm" dengus An Lok
Kong cu.
"Engkau pendeta jahat dan
pengecut pula Kalau engkau berani, hadapilah seseorang"
"Oh?" Bu sim Hoatsu
tersenyum sinis.
"Siapa orang itu?"
"Thio Han Liong"
"Apa?" Wajah Bu sim
Hoatsu langsung berubah.
"Engkau kenal dia?"
"Kenal"
"Bagus Ha ha ha" Bu
sim Hoatsu tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, engkau
akan kusandera Ha ha ha...."
"Engkau...."
"Im Sie Popo, bopong
dia" ujar Bu sim Hoatsu.
"Kita ke gua suan Hong
Tong (Gua Angin Puyuh) di gunung cing san."
"Ya." Im Sie Popo
segera membopong An Lok Kong cu.
"He he he" Bu sim
Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian memasukkan sesuatu ke mulut An Lok Kong
cu.
Yang dimasukkan ke dalam mulut
An Lok Kong cu ternyata Jiu Kut Tok (Racun Pelemas Tulang). siapa yang terkena
racun tersebut, kian hari tulangnya akan bertambah lemas, akhirnya akan mati
lemas seperti tak bertulang sama sekali.
"Im Sie Popo, mari kita
pergi" seru Bu sim Hoatsu sambil melesat pergi.
Nenek gila yang membopong An
Lok Kong cupun melesat pergi mengikutinya, sedangkan Pak Hong masih tetap
bersembunyi di belakang pohon.
"Siapa sastrawan muda
itu?" gumamnya dengan kening berkerut-kerut.
"Karena dia menyebut nama
Thio Han Liong, maka ditangkap. Kalau begitu, tentu Bu sim Hoatsu punya dendam
terhadap Thio Han Liong. Aku harus berusaha mencari Thio Han Liong. Tapi pemuda
itu berada di mana?"
Pak Hong menggeleng-gelengkan
kepala. sejenak kemudian barulah ia pergi melesat ke arah timur untuk mencari
Thio Han Liong.
Sudah tigg hari Thio Han Liong
melakukan perjalanan ke arah tenggara dengan hati tercekam. la yakin telah
terjadi sesuatu atas diri An Lok Kong cu. itulah yang menyebabkannya menjadi
cemas sekali.
Hari itu ketika ia memasuki
sebuah rimba, mendadak terdengar suara pertempuran. sebetulnya ia tidak mau
mendekati tempat pertempuran itu, karena sedang memburu waktu ke daerah Tibet.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara Ting Ting" yaitu suara kecapi.
Oleh karena itu, ia segera
melesat ke arah suara pertempuran. Tampak beberapa orang mengeroyok seorang
gadis bersenjata kecapi, yang tidak lain adalah Dewi Kecapi.
"Berhenti" seru Thio
Han Liong.
suara seruannya yang begitu
keras membuat mereka langsung berhenti bertempur. Betapa girangnya Dewi Kecapi
ketika melihat pemuda itu.
"Han Llong Han
Llong..."
Thio Han Liong tersenyum
sambil manggut-mang-gut, kemudian memandang orang-orang yang mengeroyok Dewi
Kecapi.
"Kenapa kalian mengeroyok
gadis itu?" tanyanya.
"Siapa engkau?"
orang yang bertubuh jangkung balik bertanya.
"Lebih baik engkau segera
enyah dari sini Kaiau tidak...."
"Namaku Thio Han Liong.
Aku harap kalian jangan bertempur lagi" ujarnya.
"Engkau... Thio Han
Liong?" Beberapa orang itu terbelalak, kemudian memberi hormat.
"Maaf. Maaf...."
Mereka langsung melesat pergi.
Itu membuat Thio Han Liong tercengang, dan Dewi Kecapi pun terheran- heran.
"Kenapa mereka pergi
begitu saja?" tanya gadis itu.
"Aku pun merasa heran.
Padahal aku tidak kenal mereka," jawab Thio Han Liong.
"Oh ya, kenapa engkau
bertempur dengan mereka?"
"Aku sedang beristirahat
di bawah pohon" Dewi Kecapi memberitahukan.
"setelah itu pun aku
memetik kecapi. Tak lama kemudian mereka muncul dan marah-marah kepadaku."
"Kenapa mereka
marah-marah kepadamu?"
"Mereka bilang suara
kecapi ku telah mengganggu latihan mereka, maka aku disuruh pergi. Karena
mereka marah-marah, maka darahku naik dan kami lalu bertempur. Tak kusangka
sama sekali, kepandaian mereka begitu tinggi."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Maka lain kali jangan
cepat gusar agar tidak menimbulkan masalah"
"Terima kasih atas
nasihatmu," ucap Dewi Kecapi dengan wajah berseri-seri.
"oh ya, bagaimana engkau
bisa muncul di sini?"
"Yaaah" Thio Han
Liong menghela nafas panjang.
"Aku sedang menuju daerah
Tibet."
"Mau apa engkau ke
sana?" tanya Dewi Kecapi.
"Mencari
tunanganku," sahut Thio Han Liong memberitahukan.
"Dia ke Tibet mencariku,
maka aku ke sana menyusulnya."
"Oooh" Dewi Kecapi
manggut-manggut dan bertanya mendadak.
"Engkau gembira bertemu
aku?"
"Tentu gembira, sebab
kita adalah teman," jawab Thio Han Liong.
"Kenapa engkau berada di
sini?"
"Aku mencari Bu sim
Hoatsu, tapi...." Dewi Kecapi
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hingga saat ini belum
berhasil."
"Aku pun pernah ke gua
Ceng Hong Tong di gunung oey san untuk mencari Bu sim Hoatsu, tapi pendeta itu
sudah tidak tinggal di sana." Thio Han Liong memberitahukan.
"Oh?" Dewi Kecapi
tertegun.
"Mau apa engkau
mencarinya?"
"Dia menculik putri
temanku," sahut Thio Han Liong.
"Aku bertemu temanku itu
di suatu tempat. Dia minta bantuanku, maka aku pergi bersamanya."
"Oooh" Dewi Kecapi
manggut-manggut.
"Siapa temanmu itu?"
"Dia bernama Ouw Yang
Bun."
"Ouw Yang Bun?"
"Ya."
"Ternyata dia
temanmu." ujar Dewi Kecapi dan melanjutkan.
"Aku pernah bertemu
temanmu itu, dia dalam keadaan tak bergerak karena jalan darahnya
tertotok."
"Oh?" Thio Han Liong
terbelalak. "Siapa yang menotok jalan darahnya?"
"Bu sim Hoatsu dan
seorang nenek gila, dia yang memberitahukan," sahut Dewi Kecapi.
"Dia tidak berhasil
menolong putrinya, sebaliknya malah tertotok jalan darahnya."
"Siapa nenek gila
itu?"
"Katanya Im Sie
Popo."
"Im Sie Popo?" Thio
Han Liong mengerutkan kening.
"Siapa Im Sie Popo
itu?"
"Ouw Yang Bun
memberitahukan, bahwa Im Sie Popo itu bernama Kwee In Loan...."
"Apa?" Thio Han
Liong terperangah. "Im Sie Popo itu adalah Kwee In Loan?"
"Ya." Dewi Kecapi mengangguk. "Engkau kenal nenek gila
itu?"
"Kenal." Thio Han
Liong manggut-manggut, kemudian menceritakan tentang Kwee In Loan.
"Aku justru tidak habis
pikir, dia tidak mati di dalam jurang itu, hanya berubah tidak waras."
"Kata Ouw Yang Bun,
kepandaian Im Sie Popo bertambah tinggi. Tapi kini dia di bawah pengaruh Bu sim
Hoatsu."
"Kalau begitu..."
Thio Han Liong menatapnya.
"Engkau harus hati-hati
menghadapi mereka"
"Terima kasih atas
perhatianmu," ucap Dewi Kecapi sambil tersenyum.
"Oh ya sebulan yang lalu
aku bertemu dengan seorang gadis yang menyamar sebagai sastrawan muda."
"Oh? siapa gadis
itu?"
"Dia mengaku bernama Cu
An Lok...."
"Apa?" Thio Han Liong
tersentak.
"Gadis yang menyamar
sebagai sastrawan itu bernama Cu An Lok?"
"Engkau kenal dia?"
"Kenal. Dia ke
mana?"
"Kalau tidak
salah..." jawab Dewi Kecapi berpikir sejenak. "... katanya mau pergi
ke Tibet."
"Dia tahu engkau
siapa?"
"Tentu tahu, sebab kami
sudah berkenalan." Dewi Kecapi tersenyum.
"Aku memberitahukan bahwa
aku pernah bertemu engkau, dia tampak terkejut."
"Oh?"
"Cukup lama kami
mengobrol. Dia pun mengaku berasal dari Kotaraja dan sudah punya tunangan. Aku
juga memberitahukan kepadanya, bahwa engkau kembali ke Kotaraja."
"Ngmmm" Thio Han
Liong manggut-manggut, tapi hatinya makin cemas, karena yakin telah terjadi
sesuatu atas diri An Lok Kong cu.
"Han Liong" Dewi
Kecapi menatapnya seraya berkata.
"Bolehkah aku berkenalan
dengan tunanganmu kelak?"
"Tentu boleh." Thio
Han Liong mengangguk. "Kenapa...
engkau ingin berkenalan dengan
tunanganku?"
"Aku ingin tahu, dia atau
aku yang lebih cantik," sahut Dewi Kecapi dan menambahkan.
"Kalau dia lebih cantik,
aku tidak akan merasa penasaran. Tapi seandainya aku yang lebih cantik itu
pasti membuatku penasaran sekali"
"Lho? Memangnya
kenapa?"
"Jika aku lebih cantik,
kenapa engkau tidak tertarik pada ku? Sudah barang tentu aku merasa penasaran
sekali."
Thio Han Liong
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian bangkit dari tempat duduknya dan
berpamit.
"Maaf, aku mau pergi
sekarang"
"Han Liong...." Dewi
Kecapi juga bangkit dari tempat
duduknya. Wajahnya tampak
murung sekali. "Kapan kita akan berjumpa lagi?"
"Entahlah." Thio Han
Liong menghela nafas panjang. "Dewi Kecapi...."
Ucapannya terputus karena
mendadak terdengar suara seruan, kemudian tampak sosok bayangan berkelebat ke
arah mereka.
"Thio Han Liong ..Thio
Han Liong..." Muncul seorang tua di hadapan mereka, yang tak tidak lain Pak
Hong.
"Pak Hong
Locianpwee" Thio Han Liong segera memberi hormat.
"Syukurlah aku bertemu
engkau di sini" sahut Pak Hong sambil memandang Dewi Kecapi.
"Nona ini..,."
"Dia adalah Dewi Kecapi,
Putri suku Hut." Thio Han Liong memperkenalkan mereka.
"Dewi Kecapi, ini adalah
Pak Hong Locianpwee."
"Locianpwee" Dewi
Kecapi memberi hormat. "Ha ha ha" Pak Hong tertawa gelak.
"Dewi Kecapi, engkau
sungguh cantik sekali"
"Locianpwee...."
Wajah Dewi Kecapi tampak kemerah-
merahan.
"Locianpwee mencari
aku?" tanya Thio Han Liong sambil memandangnya.
"Apakah ada sesuatu yang
penting?"
"Ya." Pak Hong
manggut-manggut.
"Sudah satu bulan lebih
aku mencarimu ke sana ke mari, tapi kini aku bersyukur karena kita telah
bertemu."
"Locianpwee...."
Thio Han Liong tercengang.
"Aku melihat Bu sim
Hoatsu bersama Im Sie Popo..." "Apa?" Dewi Kecapi tersentak.
"Di mana Bu sim Hoatsu?"
"Eh?" Pak Hong
menatapnya.
"Engkau punya hubungan
dengan pendeta jahat itu?"
"Aku harus
membunuhnya," sahut Dewi Kecapi memberitahukan.
"Dia membunuh ke dua
orangtuaku, maka kau harus batas dendam."
"Kepandaian Bu sim Hoatsu
amat tinggi, apalagi Im Sie Popo," ujar Pak Hong sambil menggeleng-geleng
kan kepala.
"Bagaimana mungkin engkau
dapat membunuhnya?"
"Aku...." Dewi
Kecapi menghela napas panjang.
"Walau kepandaianku lebih
rendah, aku memiliki kecapi pusaka."
"Kecapi pusaka?" Pak
Hong terbelalak. "Maksudmu dengan suara kecapi membunuhnya?"
"Ya." Dewi Kecapi mengangguk.
"Itu pun tidak
gampang." Pak Hong menggeleng-gelengkan kepala.
"Sebab Bu sim Hoatsu
memiliki Lwee-kang yang amat tinggi, lagipula mahir ilmu hitam. sulit bagimu
membunuhnya
.... "
"Biar bagaimanapun, aku
harus membunuhnya," tegas Dewi Kecapi.
"Aku khawatir engkau yang
akan dibunuhnya," ujar Pak Hong.
"Tidak jadi masalah,"
sahut Dewi Kecapi.
"Engkau...." Pak
Hong menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian mendadak wajahnya
berseri-seri.
"Hanya Han Liong yang
dapat menundukkan mereka, maka engkau harus minta bantuan kepadanya."
"Locianpwee, itu adalah
urusanku. Bagaimana mungkin aku minta bantuannya. Ya kan?"
"Tapi...."
"Locianpwee. sebetulnya
ada urusan penting apa Locianpwee mencariku?" tanya Thio Han Liong.
"Aku menyaksikan
sesuatu...." jawab Pak Hong serius.
"... seorang sastrawan
muda bertarung dengan Im Sie Popo, itu atas perintah Bu sim Hoatsu. sastrawan
muda itu tertotok jalan darahnya. Ternyata ia kenal engkau maka ditangkap oleh
Bu sim Hoatsu...."
"Sastrawan muda?"
tanya Thio Han Liong tegang.
"Bagaimana rupanya?"
"Dia sangat
tampan...." sahut Pak Hong memberitahukan
ciri-ciri sastrawan muda
tersebut.
"Hah?" teriak Thio
Han Liong tak tertahan
"Dia Cu An Lok"
"Engkau kenal dia?"
tanya Pak Hong.
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Kenapa Bu sim Hoatsu
menangkapnya?"
"Han Liong" pak Hong
menatapnya. "Engkau kenal Bu sim Hoatsu?" "Tidak kenal."
"Kalau begitu...."
pak Hong menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu sungguh
mengherankan, karena kelihatannya Bu sim Hoatsu menaruh dendam padamu. oleh
karena itu, dia menangkap sastrawan muda itu untuk dijadikan sandera."
"Locianpwee, aku sama
sekali tidak kenal dan belum pernah bertemu dengan Bu sim Hoatsu," ujar
Thio Han Liong.
"Kenapa dia dendam
padaku?"
"Han Liong, tahukah
engkau siapa Im Sie Popo itu?" tanya Pak Hong mendadak sambil memandangnya
.
"Dewi Kecapi telah
memberitahukan kepadaku, dia bertemu Ouw Yang Bun" Thio Han Liong memberi
tahukan tentang itu
"Aku justru tidak habis
pikir. Kwee In Loan tidak mati di dasar jurang itu, hanya tidak waras tapi
kepandaiannya justru bertambah tinggi."
"Kini dia telah di bawah
pengaruh Bu sim Hoatsu, maka engkau harus hati-hati menghadapi mereka"
pesan Pak Hong.
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk dan bertanya.
"Locianpwee tahu mereka
pergi ke mana?"
"Kalau aku tidak salah
dengar, Bu sim Hoatsu bilang mau ke Gua suan Hong Tong di gunung cing
san."
"Terima kasih,
Locianpwee," ucap Thio Han Liong sambil memberi hormat.
"Kalau tidak berjumpa
Locianpwee, aku pasti tidak tahu jejak sastrawan muda itu. Aku... sungguh
berterima kasih"
"Ha ha ha" Pak Hong
tertawa gelak.
"Jangan berterima kasih ,
aku masih berhutang budi padamu"
"Locianpwee...."
Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Oh ya, Locianpwee mau ke
mana?"
"Rencanaku mau ke Tayti
menemui Lam Khie (orang Aneh dari Selatan)," sahut Pak Hong
memberitahukan.
"Pemandangan di Tayli
amat indah, aku ingin ke sana menikmatinya."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut. "Han Liong, Dewi Kecapi" Pak Hong tersenyum.
"Sampai jumpa"
Pak Hong melesat pergi. Thio
Han Liong dan Dewi Kecapi saling memandang kemudian gadis itu tersenyum.
"Han Liong, kita harus
melakukan perjalanan bersama."
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Aku harus menyelamatkan
cu An Lok, sedangkan engkau harus menuntut balas kepada Bu sim Hoatsu."
"Betul." Dewi Kecapi
manggut-manggut.
"Engkau menghadapi Im Sie
Popo, aku akan menghadapi Bu sim Hoatsu."
"Dewi Kecapi, engkau
harus hati-hati menghadapi Bu sim Hoatsu" pesan Thio Han Liong,
"Ya." Dewi Kecapi
tersenyum manis.
"Han Liong, terima kasih
atas perhatianmu."
"Kita teman baik,...”
"Hi hi hi" Dewi
Kecapi tertawa cekikikan.
"Engkau takut aku akan
menggodamu ya?"
"Takut sih tidak. hanya
saja... aku harus menjaga jarak.
sebab aku sudah punya
tunangan," sahut Thio Han Liong.
"Han Liong...." Dewi
Kecapi ingin mengatakan sesuatu,
namun ditelan kembali,
kemudian menghela nafas panjang.
"Dewi Kecapi, mari kita
berangkat" ajak Thio Han Liong.
"Baik," Dewi Kecapi
mengangguk.
Mereka berdua lalu melesat
pergi ke gunung cing San. Dalam perjalanan, Dewi Kecapi tampak gembira sekali,
sedangkan Thio Han Liong
bersikap biasa-biasa saja, dan itu membuat Dewi Kecapi agak kecewa.
Beberapa hari kemudian, ketika
mereka memasuki sebuah rimba, mendadak Thio Han Liong berhenti sambil
mengerutkan kening.
"Ada apa?" Dewi
Kecapi berhenti di sisinya.
"Kenapa engkau
berhenti?"
"Aku mendengar suara
aneh" sahut Thio Han Liong memberitahukan.
"Oh?" Dewi Kecapi
segera pasang kuping. Namun ia tidak mendengar suara apa pun selain suara
desiran daun-daun yang terhembus angin.
"Kok aku tidak mendengar
suara aneh itu?" Dewi Kecapi heran.
"Suara aneh apa yang
engkau dengar itu?"
"Mirip pekikan suara
lelaki, tapi juga mirip suara pekikan wanita." sahut Thio Han Liong
memberitahukan.
"Aku yakin suara pekikan
itu berasal dari satu orang, tapi bernada lelaki dan wanita."
"Oh?" Dewi Kecapi
tertegun.
"Bagaimana kalau kita ke
tempat suara pekikan itu?"
"Itu...." Thio Han
Liong berpikir sejenak, kemudian baru
manggul-manggut.
"Baiklah, mari kita ke
sana"
Thio Han Liong melesat pergi
diikuti Dewi Kecapi. selang beberapa saat barulah Dewi Kecapi mendengar suara
pekikan itu. Betapa kagumnya Putri suku Hui tersebut karena dari jarak hampir
satu mil Thio Han Liong dapat mendengar suara pekikan itu Dapat dibayangkan
berapa tinggi Lweekangnya.
"Mari kita bersembunyi di
balik pohon" bisik Thio Han Liong.
Dewi Kecapi mengangguk. Mereka
berdua melesat ke balik sebuah pohon lalu mengintip. Tampak seorang pemuda
tampan sedang berlatih ilmu silat. Menyaksikan itu, kening Thio Han Liong
berkerut.
"Ilmu silat itu amat
lihay dan dahsyat," ujarnya dengan suara rendah.
"Entah ilmu silat apa
itu?"
"Gerakannya begitu aneh
dan cepat laksana kilat," tambah Dewi Kecapi.
"Setiap pukulan, penuh
mengandung Lweekang. itu betul-betul merupakan jurus-jurus maut."
"Benar." Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Itu baru gerakan-gerakan
dasar, tapi sudah begitu hebat, apalagi sesudah mencapai tingkat ilmu
tertinggi...."
"Akan berhasilkah pemuda
itu?"
"Dia begitu tekun dan
berkemauan keras, tentu akan berhasil."
Di saat bersamaan, pemuda itu berhenti
berlatih, lalu tertawa keras, kelihatannya gembira sekali. Berselang beberapa
saat, suara tawanya itu berubah menjadi suara wanita.?
"Eeeh?" Dewi Kecapi
tercengang.
"Kok suara tawanya bisa
berubah menjadi suara wanita?"
"Mungkinkah dia
banci?"
"Dia begitu berotot,
tidak mungkin banci."
"Itu...." Thio Han
Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"... sungguh
mengherankan, Mungkinkah ilmu yang dilatihnya itu mempengaruhi suara
tawanya?"
"Mungkin begitu."
Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Aku tidak menyangka,
begitu banyak pesilat di Tionggoan."
Sementara pemuda itu mulai
berlatih lagi. Di saat itulah Thio Han Liong dan Dewi Kecapi melesat pergi.
Beberapa saat kemudian, barulah mereka berhenti di suatu tempat.
"Han Liong, mungkinkah
itu ilmu sesat?" tanya Dewi Kecapi.
"Menurut aku, itu bukan
ilmu sesat, namun ilmu itu amat hebat dan lihay sekali. Tidak lama lagi dalam
rimba persilatan akan muncul seorang pendekar muda."
"Mudah-mudahan pemuda itu
tidak berhati jahat" ujar Dewi Kecapi dan menambahkan.
"Kalau dia berhati lahat,
pasti akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan."
"Benar." Thio Han
Liong mengangguk.
"Mudah-mudahan pemuda itu
tidak berhati jahat. Ayoh kita melanjutkan perjalanan."
Thio Han Liong dan Dewi Kecapi
sedang duduk dan menikmati teh wangi di sebuah kedai. Kemudian pemuda itu
memanggil pelayan.
"Ya, Tuan," sahut
pelayan sambil mendekatinya.
"Mau pesan apa?"
"Aku mau bertanya, masih
berapa jauh jarak gunung cing san dari sini?" tanya Thio Han Liong.
"Kalau naik kuda jempolan,
kira-kira masih memakan waktu dua hari," jawab pelayan dan bertanya.
"Tuan dan Nona mau pesiar
ke gunung itu?"
"Ya, “Thio Han Liong
mengangguk.
"Apakah di gunung itu
terdapat Gua Angin puyuh?"
"Gua Angin Puyuh?"
wajah pelayan tampak memucat. "Ya." Thio Han Liong menatapnya.
"Gua itu terletak di mana?"
"Tuan...." Pelayan
rnenggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih baik Tuan jangan
pesiar ke gua itu"
"Kenapa?"
"Gua itu angker. Kata
orang, gua itu merupakan tempat tinggal setan iblis, maka Tuan jangan ke gua
itu"
"Oh?" Thio Han Liong
tersenyum.
"Beritahukanlah pada
kami, gua itu terletak di mana?" "Tuan...." Pelayan tampak ragu
memberitahukan.
"Beritahukanlah"
desak Thio Han Liong sambil menyelipkan setael perak ke tangan pelayan itu.
"Tuan...." Pelayan
itu tidak berani menerima uang tersebut.
"Maaf..."
"Terimalah" desak
Thio Han Liong sambil berbisik
"Aku mengerti ilmu silat,
maka engkau tidak usah khawatir" "Oooh" Peiayan itu
manggut-manggut.
"Gua Angin Puyuh terletak
di sebelah barat gunung cing san."
"Terima kasih." ucap
Thio Han Liong.
Pelayan itu segera pergi
dengan wajah berseri-seri di saat bersamaan tampak belasan orang memasuki kedai
teh itu. Mereka terdiri dari kaum lelaki dan wanita. Pakaian mereka agak aneh.
Di antara mereka tampak seorang gadis yang cantik jelita.
Mereka duduk dan sibuklah para
pelayan, namun sungguh mengherankan, tiada seorang pun yang membuka mulut.
"Sianli (Bidadari)"
Salah seorang wanita berusia empat puluhan memberi hormat kepada gadis tersebut
"Mau pesan minuman
apa?"
"Teh wangi saja."
sahut gadis itu sambil tersenyum manis.
"Ya, sianli." Wanita
itu mengangguk dan berseru
"Pelayan, suguhkan teh
wangi"
"Ya." sahut pelayan
mulai menyuguhkan minuman tersebut.
Kemunculan rombongan itu
membuat Thio Han Liong terheran- heran.
"Dewi Kecapi, tahukan
engkau mereka berasal dari mana?" bisiknya.
"Aku tidak tahu,"
sahut Dewi Kecapi.
"Yang jelas mereka bukan
orang Tionggoan."
"Mereka memang bukan
orang Tionggoan, juga bukan kaum pedagang," ujar Thio Han Liong.
"Sebab mereka rata-rata
berkepandaian tinggi, terutama gadis itu."
"Oh?" Dewi Kecapi
heran.
"Dari mana tahu
itu?"
"Lihat Tay Yang Hiat
mereka yang menonjol itu, pertanda mereka memiliki Lweekang tinggi." Thio
Han Liong memberitahukan.
"Tay Yang Hiat gadis itu
tidak menonjol, tapi kok engkau bilang kepandaiannya jauh lebih tinggi?"
"Lweekang gadis itu telah
mencapai tingkat yang amat tinggi, maka Tay Yang Hiat tidak menonjol. Namun...
sepasang matanya menyorot
tajam sekali, itu berarti Lweekangnya telah mencapai tingkat yang amat
tinggi."
"Oooh" Dewi Kecapi
manggut-manggut.
Di saat mereka berdua
berbisik-bisik, kebetulan gadis itu mengarah pada Thio Han Liong, seketika
wajah gadis itu tampak berseri-seri.
"Gadis itu memperhatikan
mu," bisik Dewi Kecapi sambil tersenyum.
"Jangan-jangan dia
tertarik pada mu. "
"Jangan omong yang
bukan-bukan" tegur Thio Han Liong.
"Ayoh, mari kita
pergi"
Akan tetapi, di saat bersamaan
gadis itu menyapa mereka sambil tersenyum-senyum.
"Maaf." ucapnya.
"Bolehkah aku duduk
bersama kalian?" "Silakan" sahut Dewi Kecapi ramah. "Terima
kasih," ucap gadis itu sambil duduk. "Kalian berdua adalah... suami
isteri?" "Bukan," sahut Dewi Kecapi. "Kami berdua teman
baik,"
"Oooh" gadis itu
manggut-manggut.
"Maaf, bolehkah aku tahu
siapa kalian berdua?"
"Aku Dewi Kecapi dan dia
bernama Thio Han Liong."
"Aku Tong Hai sianli
(Bidadari Laut Timur)." gadis itu memperkenalkan diri sambil tersenyum.
"Kami datang dari Tong
Hai (Laut Timur)."
"Pantas pakaian kalian
agak aneh" ujar Dewi Kecapi sambil manggut-manggut dan menambahkan.
"Tong Hai sianli, engkau
sungguh cantik"
"Sama-sama," sahut
Tong Hai sianli.
"Engkau bukan orang
Tionggoan bukan?"
"Memang bukan. Aku adalah
Putri suku Hui." Dewi Kecapi memberitahukan.
"Tak disangka engkau
adalah Putri suku Hui." Tong Hai sianli memandang mereka.
"Apakah kalian berdua
sepasang kekasih?" "Bukan." Dewi Kecapi menggelengkan kepala.
"Oooh" Tong Hai
sianli menarik nafas lega, kemudian memandang Thio Han Liong seraya bertanya.
"Saudara Thio Han Liong
kenapa engkau diam saja?"
"Aku lelaki, tentunya
tidak pantas turut mengobrol. Ya kan?" sahut Thio Han Liong
sungguh-sungguh .
"Hi hi hi" Tong Hai
sianli tertawa geli.
"Engkau kaum rimba
persilatan, tapi kenapa begitu menjaga peradaban?"
"Peradaban memang harus
dijaga," sahut Thio Han Liong.
"oh ya, engkau tahu aku
orang rimba persilatan?"
"Tahu. "Tong Hai
sianli tersenyum.
"Bahkan aku juga tahu
engkau berkepandaian tinggi."
"Oh?" Thio Han Liong
juga tersenyum seraya berkata.
"Kepandaian Nona jauh
lebih tinggi."
"Tidak juga." Tong
Hai sianli memandang Dewi Kecapi. "Kepandaianmupun juga tinggi
sekali."
"Tapi masih di bawah
kepandaianmu," sahut Dewi Kecapi merendah, kemudian bertanya.
"Engkau berasal dari Tong
Hai, ada urusan apa kalian datang ke Tionggoan?"
"Ada sedikit urusan
penting, "jawab Tong Hai sianli, lalu memandang Thio Han Liong.
"Kapan sempat aku ingin
mohon petunjukmu." "Maaf" ucap Thio Han Liong menggelengkan
kepala. "Aku tidak akan bertanding dengan siapa pun."
"Aku tidak akan
bertanding denganmu, melainkan hanya ingin mohon petunjuk" ujar Tong Hai
sianli sambil tersenyum.
"Tentunya engkau tidak
akan berkeberatan memberi petunjuk kepadaku kan?"
"Kepandaianku tidak
begitu tinggi, bagaimana mungkin aku memberi petunjuk kepadamu?"
"Hi hi hi" Tong Hai
sianli tertawa cekikikan.
"Engkau memang pandai
merendah, itu membuat aku semakin merasa suka padamu."
"Apa?" Wajah Thlo
Han Llong langsung memerah.
"Engkau...."
"Apakah aku tidak boleh
merasa suka padamu?" tanya Tong Hai sianli sambil menatapnya dalam-dalam.
"Tong Hai sianli, dia
tidak akan suka padamu, sebab dia sudah punya tunangan," ujar Dewi Kecapi.
"Oh?" Tong Hai
sianli tersenyum.
"Itu tidak menjadi
masalah. seperti engkau masih terus mendekatinya, aku pun boleh mendekatinya.
Ya, kan?"
"Eeeh?" Wajah Dewi
Kecapi tampak kemerah-merahan.
"Aku tahu bahwa engkau
pun amat suka padanya, maka engkau masih menaruh harapan...."
“Tong Hai sianli" Dewi
Kecapi mengerutkan kening.
"Mulutmu...."
"Aku berkata
sesungguhnya, kenapa engkau tidak berani mengaku?" Tong Hai sianli tertawa
kecil.
"Terus terang, aku sudah
jatuh hati padanya." Mendengar itu Thio Han Liong menghela nafas panjang,
lalu bangkit dari tempat duduknya.
"Maaf, kami harus segera
melanjutkan perjalanan" "Tidak apa-apa." Tong Hai sianli
tersenyum. "Kelak kita pasti berjumpa kembali."
"Tong Hai sianli, kami
mohon pamit," ujar Thio Han Liong. "Sampai jumpa"
"Selamat jalan"
sahut Tong Hai sianli dan sekaligus memberi hormat.
"Han Liong, kelak kita
pasti berjumpa kembali."
Thio Han Liong tidak menyahut,
dan langsung meninggalkan kedai teh itu. Dewi Kecapi segera menaruh sepotong
uang perak di atas meja, dan kemudian memberi hormat kepada Tong Hai sianli.
"Sampai jumpa"
ucapnya dan cepat-cepat menyusul Thio Han Liong. Tong Hai sianli terus
memandang punggung Thio Han Liong sambil tersenyum-senyum.
"Sianli..." panggil
salah seorang wanita dari rombongan itu sambil mendekatinya.
"Bibi Ciu, bagaimana
menurutmu mengenai pemuda itu?" tanya Tong Hai sianli.
"Aku yakin dia adalah
pemuda baik yang berkepandaian tinggi," sahut Bibi Ciu sambil tersenyum.
"Pemuda itu sungguh
tampan. Tapi Nona yang bersamanya mungkin itu kekasihnya."
"Bukan." ujar Tong
Hai sianli.
"Mereka berdua cuma
merupakan teman baik saja."
"Tapi...." Tong Hai
sianli menghela nafas panjang.
"Nona itu bilang dia
sudah punya tunangan."
"Punya tunangan bukanlah
suatu masalah besar." Bibi Ciu tersenyum dan melanjutkan.
"Engkau sudah jatuh hati
padanya?"
"Ya." Tong Hai sianli
mengangguk.
"Begini," ujar Bibi
Ciu seakan mengusulkan.
"Setelah urusan kami
beres, kami akan pergi mencarinya."
"Terima kasih, Bibi
Ciu," ucap Tong Hai sianli dengan wajah agak kemerah-merahan.
Ada urusan apa rombongan Tong
Hai itu datang ke Tionggoan? Apa pula yang akan terjadi selanjutnya?