Bab 52 Dewi Kecapi
Thio Han Liong kembali ke
Tionggoan dengan hati riang gembira, karena ia telah berhasil membuat
perhitungan dengan para Dhalai Lhama itu.
Kini ia telah memasuki daerah
Tionggoan. Ketika ia memasuki sebuah rimba, sayup,sayup terdengar alunan suara
kecapi yang amat menggetarkan hati. suara kecapi itu membuatnya tertarik, maka
ia melesat ke arah suara itu.
Tampak seorang gadis
berpakaian aneh duduk di bawah pohon. Bukan main cantiknya gadis itu, dari
berpakaiannya sudah dapat diduga bahwa dia bukan gadis Tionggoan, melainkan
entah gadis dari suku apa.
Suara kecapi itu memang merdu,
namun bernada agak sedih. Karena tertarik, sehingga tanpa sadar Thio Han Liong
mengeluarkan lonceng saktinya,
sekaligus membunyikannya mengikuti irama suara kecapi. Maka terjadilah
perpaduan suara lonceng dengan suara kecapi.
Gadis itu tersentak lalu
perlahan-lahan mendongakkan kepalanya. Ketika melihat seorang pemuda tampan
duduk tak jauh dari tempatnya, wajahnya langsung berubah kemerah-merahan.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah gadis itu berhenti memainkan kecapinya. Thio Han Liong pun
berhenti membunyikan loncengnya, lalu memandang gadis itu. Kebetulan gadis itu
pun sedang memandangnya, sehingga mereka berdua beradu pandang.
Thio Han Liong tersenyum
lembut, membuat hati gadis itu berdebar-debar aneh, maka cepat-cepat ia
menundukkan kepalanya.
"Maaf, aku telah
mengganggu Nona" ujar Thio Han Liong. "Tidak apa-apa," sahut
gadis itu lalu bertanya, "Bolehkah aku tahu siapa saudara?"
"Namaku Thio Han Liong.
Karena tertarik akan suara kecapimu, maka aku ke mari. Nona siapa? Kenapa
berada di rimba seorang diri?"
"Aku Dewi Kecapi, Putri
suku Hui."
"Putri suku Hui?"
Thio Han Liong terbelalak.
"Tapi... kenapa berada di
sini?"
"Aku baru memasuki Tionggoan."
Dewi Kecapi memberitahukan.
"Aku sedang mencari
seseorang."
"Engkau sedang mencari
siap "
"Bu Sim Hoatsu."
"Bu sim Hoatsu?"
"Engkau kenal dia?"
"Maaf, aku tidak pernah
mendengar nama orang tersebut," sahut Thio Han Liong.
"Dewi Kecapi, ada urusan
apa engkau mencarinya?"
"Dia pembunuh ke dua
orangtuaku." Dewi Kecapi memberitahukan.
"Kira-kira dua puluh
tahun yang lalu, Bu sim Hoatsu adalah kawan baik ayahku. Akan tetapi secara
tidak sengaja ayahku memperoleh sebuah kitab pusaka, karena itu, timbullah niat
jahat dalam hati Bu sim Hoatsu. Dia meracuni ayahku dan membunuh ibuku, untung
pamanku cepat-cepat muncul menolongku, kalau tidak aku pun pasti mati di
tangannya. Pada waktu itu, aku baru berusia setahun."
Bagian 27
"Oooh!" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Lalu apa rencanamu
sekarang?"
"Aku akan berkelana dalam
rimba persilatan Tionggoan untuk mencarinya," jawab Dewi Kecapi dan
menambahkan,
"Dia mahir ilmu hitam,
kini kepandaiannya pasti sudah tinggi sekali."
"Kalau begitu, cara bagaimana
engkau menghadapinya?" tanya Thio Han Liong penuh perhatian.
"Kalau kepandaianku masih
rendah, tentunya aku tidak berani mencarinya." Dewi Kecapi tersenyum.
"Hampir lima belas tahun
aku belajar ilmu silat...."
"Oh?" Thio Han Liong
memandangnya.
"Bolehkah aku tahu siapa
gurumu?"
"Beliau adalah seorang
pertapa sakti di gunung Himalaya." Dewi Kecapi memberitahukan.
"Sebelum aku meninggalkan
beliau, beliau pun pernah mengatakan bahwa sesampainya aku di Tionggoan, aku
akan bertemu seorang pemuda tampan yang baik hati dan pemuda itu akan membantu
aku...."
"oh?" Thio Han Liong
tersenyum.
"Kalau begitu, gurumu
pasti ahli nujum juga."
"Kira-kira
begitulah." Dewi Kecapi tertawa kecil.
"Buktinya aku bertemu
engkau di sini."
"Tapi belum tentu aku adalah
pemuda yang dimaksud itu."
"Namun aku yakin pemuda
yang dimaksud itu adalah engkau."
"Buktinya aku tidak bisa
membantu apa-apa, karena aku tidak tahu tempat tinggal Bu sim Hoatsu."
"Aku yakin..." Dewi
Kecapi menatapnya sambil tersenyum lembut.
"Engkau pasti membantuku
kelak."
"Oh?" Thio Han Liong
menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu belum tentu, sebab
sebentar lagi kita akan berpisah."
"Aku tahu." Dewi
Kecapi tersenyum lagi.
"Tapi aku yakin kita
pasti berjumpa kembali kelak."
"Oh, ya?" Thio Han
Liong tersenyum.
"Kalau begitu, engkau
pasti sudah mewarisi ilmu nujum gurumu. Ya, kan?"
"Aku tidak pernah belajar
ilmu nujum, aku cuma menduga-duga saja," sahut Dewi Kecapi dan
menambahkan.
"Aku tahu engkau memiliki
kepandaian yang amat tinggi. oleh karena itu, aku ingin mohon petunjuk."
"Nona...." Thio Han
Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan menolak"
desak Dewi Kecapi.
"Biar bagaimana pun
engkau harus memberi petunjuk kepadaku."
"Itu...." Thio Han
Liong menarik nafas dalam-dalam.
"Saudara Thio...."
Dewi Kecapi tersenyum.
"Kalau engkau menolak.
aku akan marah lho"
"Nona, cara bagaimana aku
memberi petunjuk kepadamu?" tanya Thio Han Liong.
"Aku akan bersilat dengan
tangan kosong, engkau harus memperhatikan," sahut Dewi Kecapi.
"Setelah aku berhenti,
engkau harus memberitahukan kepadaku apakah terdapat kesalahan?"
"Itu...." Thio Han
Liong menggeleng-gelengkan kepala.
Dewi Kecapi menaruh kecapinya,
lalu berjalan ke depan beberapa langkah. setelah itu, mulailah ia bersilat
tangan kosong. Bukan main kagumnya Thio Han Liong menyaksikan
gerakan-gerakannya. la tidak menyangka Putri Hui itu berkepandaian begitu
tinggi.
"Bagaimana?" tanya
Dewi Kecapiseusai bersilat tangan kosong.
"Apakah terdapat gerakan
yang salah?"
"Gerakanmu begitu cepat,
sungguh menyilaukan mataku" sahut Thio Han Liong dan melanjutkan,
"Menurutku tiada
kesalahan dalam gerakanmu."
"Oh, ya?" Dewi
Kecapi tersenyum, lalu duduk disisiThlo Han Liong.
"Aku telah memperlihatkan
ilmu silatku, kini giliranmu lho"
"Aku...." Thio Han
Liong menggeleng gelengkan kemala.
"Ayolah" desak Dewi
Kecapi.
"Jangan terus menolak.
itu akan menyinggung perasaanku"
"Baiklah." Thio Han
Liong bangkit berdiri, kemudian mulai bergerak memperlihatkan Kiu Im Pek Kut
Jiauw.
Menyaksikan itu, pucatlah
wajah Dewi Kecapi. sebab setiap jurus yang dimainkan Thio Han Liong, justru
memecahkan jurus-jurus ilmu silatnya yang diperlihatkannya tadi.
Berselang beberapa saat,
barulah Thio Han Liong berhenti. Di saat bersamaan, Dewi Kecapi langsung mendekatinya
dan sekaligus mengayunkan tangannya. Plaaak…
"Auuh" jerit Thio
Han Liong, kemudian menatap Dewi Kecapi dengan mata terbelalak.
"Kenapa engkau
menamparku?"
"Karena engkau telah
menipuku," sahut Dewi Kecapi.
"Apa?" Thio Han
Liong mengerutkan kening.
"Aku telah
menipumu?"
"Ya." Dewi Kecapi
manggut-manggut.
"Engkau berpura-pura
memuji ilmu silatku, tapi engkau pula yang memecahkan ilmu silatku. Nah,
bukankah engkau telah menipuku?"
"Nona...." Thio Han
Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Tadi engkau minta
petunjuk, maka aku memberi petunjuk cara memecahkan ilmu silatmu, itu agar
engkau berhati-hati menghadapi musuh tangguh. Tapi... engkau malah menampar
pipiku, engkau sungguh keterlaluan"
"Jadi...." Dewi
Kecapi tertegun.
"Tadi engkau memberi
petunjuk kepadaku, sungguh?"
"Tentu sungguh."
"Kalau begitu, bolehkah
engkau mengajarku ilmu silat yang engkau perlihatkan tadi?"
"Ilmu silat yang
kuperlihatkan tadi amat ganas, engkau tidak boleh belajar ilmu silat itu,"
sahut Thio Han Liong sambjl menggelengkan kepala.
"Lho? Memangnya
kenapa?"
"Karena engkau cepat
marah dan gampang emosi, buktinya tadi engkau langsung menamparku. Kalau engkau
belajar ilmu silat itu, tentunya akan mencelakai orang lain."
Mendengar itu Dewi Kecapi
malah tertawa, kemudian menatap Thio Han Liong dalam-dalam sambil berkata.
"Engkau memang pemuda
yang jujur, tidak sia-sia kita bertemu di sini, aku suka sekali kepadamu."
"Apa?" Thio Han
Liong tertegun.
"Engkau suka sekali
kepadaku?"
"Ya." Dewi Kecapi
mengangguk.
"Kok engkau tampak
terkejut? Kenapa sih?"
"Terus terang...."
Thio Han Liong memberitahukan.
"Aku sudah punya
tunangan, maka engkau tidak boleh suka padaku."
"Hi hi hi" Dewi
Kecapi tertawa geli.
"Seandainya engkau sudah
punya isteri aku masih boleh menyukaimu."
"Eh? Engkau...."
"Engkau harus tahu, kaum
lelaki Hui boleh punya isteri lebih dari satu," ujar Dewi Kecapi
memberitahukan.
"Kalau aku bersedia
menjadi isteri mudamu, tunanganmu itu pun tidak bisa berbuat apa-apa."
"Dewi Kecapi,
engkau...." Thio Han Liong menggeleng-
gelengkan kepala.
"Han Liong" Dewi
Kecapi tersenyum.
"Engkau harus tahu aku
bukanlah gadis yang cepat marah dan gampang emosi. Tadi aku menamparmu hanya
ingin menguji kesabaranmu saja."
"Tak disangka engkau
begitu sabar."
"Oh?" Mulut Thio Han
Liong ternganga lebar.
"Dan juga akupun tidak
akan belajar ilmu silat itu. Aku berkata begitu hanya ingin menarik panjang
waktu bercakap-cakap denganmu saja." Dewi Kecapi menatapnya dengan penuh
perhatian.
"Engkau memang amat
tampan dan lemah lembut, pokoknya aku akan bersaing dengan tunanganmu."
"Nona...." Thio Han
Liong menggeleng-gelengkan kemala.
"Aku ingin bertanya, dia
atau aku yang lebih cantik?" tanya Dewi Kecapi mendadak.
"Kalian berdua sama-sama
cantik," jawab Thio Han Liong dengan jujur.
"Tapi masing-masing punya
keistimewaan."
"Bagaimana keistimewaan
kami?"
"Engkau periang, nakal
dan blak-blakan. Dia agak kalem, lembut dan anggun, itulah keistimewaan
kalian."
"Oooh" Dewi Kecapi
manggut-manggut.
"Han Liong, aku masih
punya urusan lain, terpaksa harus pergi duluan. Kita pasti berjumpa kembali
kelak."
"Nona harus ingat, aku
sudah punya tunangan" ujar Thio Han Liong mengingatkan.
"Maka Nona jangan menaruh
hati padaku"
"Oh?" Dewi Kecapi
tersenyum.
"Karena engkau berkata
demikian, justru membuatku semakin menaruh hati padamu. sampai jumpa"
Dewi Kecapi melesat pergi,
sedangkan Thio Han Liong termangu-mangu berdiri di tempat, lama sekali barulah
melesat pergi.
Thio Han Liong menarik nafas
lega, sebab Dewi Kecapi telah meninggalkannya. Kalau tidak- tentunya ia akan
kewalahan menghadapinya. Kini ia melanjutkan perjalanannya menuju Kotaraja
dengan perasaan tenang. Beberapa hari kemudian ia sudah sampai di sebuah desa.
Dilihatnya ada sebuah kedai teh di pinggir jalan dan ia segera mampir.
"Tuan mau minum
apa?" tanya pemilik kedai.
"Teh saja," sahut
Thio Han Liong.
Pemilik kedai langsung
menyuguhkan teh wangi. Ketika Thio Han Liong baru menghirup tehnya, di saat
bersamaan masuk ke dalam seorang pemuda, yang ternyata Ouw Yang Bun.
Wajahnya tampak murung sekali.
"Saudara Ouw Yang Bun
mari duduk sini" seru Thio Han Liong sambil melambaikan tangannya.
Begitu melihat Thio Han Liong,
wajah Ouw Yang Bun tampak agak berseri dan segera menyapanya.
"Saudara Thio...."
"Silakan duduk" ucap
Thio Han Liong dengan ramah.
"Terima kasih," Ouw
Yang Bun duduk.
Pemilik kedai langsung
menyuguhkan teh wangi kepada Ouw Yang Bun. setelah menghirup teh wangi itu, Ouw
Yang Bun berkata.
"Saudara Thio, apakah
engkau tidak dendam padaku?"
"Kenapa aku harus dendam
padamu?" sahut Thio Han Liong lalu menghela nafas panjang.
"Semua itu telah berlalu,
mungkin juga merupakan suatu takdir."
"Maaf" ucap Ouw Yang
Bun sambil menatapnya. "Engkau bawa ke mana mayat Giok Cu?"
"Ke rumahnya di desa Hok
An, dan ku makamkan di pekarangan belakang, di sebelah makam ke dua
orang-tuanya." Thio Han Liong memberitahukan.
"Nasib Giok Cu memang
malang. Ke dua orangtuanya dibunuh para anggota Hiat Mo Pang, sedangkan dia
malah bunuh diri Aaaah...."
"Saudara Thio" Ouw
Yang Bun menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku yang bersalah dalam
hal ini. Kalau aku tidak menikah dengannya, tentunya tidak ada kejadian tragis
itu."
"Engkau tidak bersalah,
sebaliknya aku amat kagum kepadamu," ujar Thio Han Liong sungguh-sungguh.
"Engkau mau
memperisterinya yang dalam keadaan begitu, bahkan amat mencintainya. Kalau aku
tahu, akupasti tidak akan menyadarkannya, agar tetap hidup berdampingan
denganmu."
"Saudara Thio...."
Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan
kepala.
"Oh ya, engkau sudah pergi
mencari Hiat Mo?"
"Sudah." Thio Han
Liong mengangguk.
"Namun aku tidak
membunuhnya, karena harus memandang Lan Nio yang baik hati itu. Lagipula....
Hiat Mo
menikahkan kalian dengan
maksud tujuan yang baik, maka aku tidak membunuhnya."
"Engkau...." Ouw
Yang Bun terbelalak.
".... Engkau mampu
mengalahkan Hiat Mo?"
"Syukurlah" ucap Ouw
Yang Bun gembira.
"Saudara Ouw Yang
Bun" Thio Han Liong memandangnya seraya bertanya.
"Kok engkau berada di
desa ini, di mana guru dan putrimu?"
"Aaaah...." Ouw Yang
Bun menghela nafas panjang.
"Guruku terluka dan
Putriku diculik"
"Apa?" Thio Han
Liong tersentak.
"Siapa yang melukai
gurumu dan menculik putrimu?"
"Bu sim Hoatsu." Ouw
Yang Bun memberitahukan.
"Hah?" Thio Han
Liong terkejut.
"Bu sim Hoatsu?"
"Ya." Ouw YangBun
mengangguk.
"Engkau kenal Bu sim
Hoatsu?"
“Tidak kenal." Thio Han
Liong menggelengkan kemala.
"Kok dia melukai gurumu
dan menculik putrimu?"
"Guruku dan Bu sim Hoatsu
adalah musuh besar, namun sudah hampir dua puluh tahun dia menghilang entah ke
mana." sahut Ouw Yang Bun.
"Sebulan lalu mendadak ia
muncul di tempat tinggal guru, kemudian terjadi pertarungan. guruku terluka dan
kebetulan putriku ke luar. Dia tertarik pada putriku, maka menculik-nya."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Kalau begitu, putrimu
tidak dalam keadaan bahaya. oh ya, bagaimana gurumu?"
"Sudah agak sembuh."
sahut Ouw Yang Bun sambil menghela nafas panjang.
"Sudah belasan hari aku
melakukan perjalanan. sungguh kebetulan kita bertemu di sini."
"Engkau sedang mencari Bu
sim Hoatsu?"
"Ya. Ketika mau membawa
pergi putriku, dia memberitahukan bahwa tempat tinggalnya di gunung oey san Gua
Ceng Hong Tong. Maka aku menuju ke sana, tak disangka bertemu engkau di
sini."
"Saudara Ouw Yang
Bun" Thio Han Liong menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Percuma engkau ke sana
mencari Bu sim Hoatsu."
"Maksudmu?"
"Bagaimana mungkin engkau
dapat melawannya?"
"Aku tahu itu, tapi dia
menculik putriku. Biar bagaimanapun aku harus melawannya."
"Urungkan niatmu itu,
percuma engkau ke sana" ujar Thio Han Liong.
"Kalau dia tertarik pada
putrimu, tentunya akan menerimanya sebagai murid. Nah, bukankah kelak engkau
akan berjumpa dengan putrimu?"
"Memang. Tapi...."
Ouw Yang Bun memandangnya.
"Saudara Thio, aku tahu
engkau berkepandaian amat tinggi. Aku... aku ingin mohon bantuanmu."
"Maksudmu aku pergi
bersamamu ke oey san?"
"Ya."
"Itu...." Thio Han
Liong berpikir lama sekali, kemudian
mengangguk karena teringat
akan cerita Dewi Kecapi tentang Bu sim Hoatsu itu.
"Baiklah, aku akan pergi
bersamamu ke gunung oey san." "Terima kasih, saudara Thio," ucap
Ouw Yang Bun.
"Terima kasih...."
"Sudahlah Tidak usah
terus mengucapkan terima kasih" Thio Han Liong tersenyum.
"Kita adalah teman, bukan
musuh."
"Saudara Thio...."
Ouw Yang Bun menundukkan kepala.
"Saudara Ouw Yang Bun,
engkau jangan merasa tidak enak terhadapku," ujar Thio Han Liong.
"Urusan itu telah
berlalu, lagi pula itu bukan kesalahanmu."
"Engkau sungguh baik, aku
jadi malu hati." Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh ya, ketika aku mulai
melakukan perjalanan, aku dengar dalam rimba persilatan telah muncul seorang
nenek gila
berkepandaian amat tinggi. Dia
menamai dirinya Im Sie Popo (Nenek Alam Baka). "
"Im Sie Popo?" Thio
Han Liong heran.
"Siapa nenek itu?"
"Entahlah." Ouw Yang
Bun menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah bertemu
nenek gila itu, jadi tidak tahu siapa dia."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Saudara Ouw Yang,
bagaimana kita berangkat sekarang?"
"Baik," Ouw Yang Bun
mengangguk.
Mereka berdua langsung menuju
ke gunung oey San menggunakan ilmu ginkang, agar cepat tiba di tempat tujuan.
Dua hari kemudian, Thio Han
Liong dan Ouw Yang Bun sudah tiba di Gua Ceng Hong Tong di gunung oey san. Akan
tetapi, gua itu kosong tiada penghuninya.
"Aaah...." keluh Ouw
Yang Bun.
"Bu sim Hoatsu pasti
telah membawa putriku ke tempat lain"
"Ngmm" Thio Han
Liong mengangguk.
"Lalu apa rencanamu
sekarang?"
"Aku tetap akan mencari
putriku," sahut Ouw Yang Bun dan kemudian menghela nafas panjang.
"Tapi entah dibawa ke
mana putriku? Aku...."
"Saudara Ouw Yang
Bun" Thio Han Liong menatapnya seraya berkata.
"Lebih baik engkau pergi
ke desa Hok An ziarah ke kuburan isterimu dan ke dua orangtuanya."
"Ya." Ouw Tang Bun
mengangguk.
"Aku memang harus ke
sana. Terima kasih atas peringatanmu. "
"Temui bibi Ah Hiang dan
ceritakan tentang dirimu" pesan Thio Han Liong sekaligus memberitahukan.
"Bibi Ah Hiang adalah
pembantu yang amat setia, dia tetap tinggal di rumah itu."
"Ya." Ouw YangBun
mengangguk.
"Oh ya Kalau engkau
bertemu Busim Hoatsu, haruslah berhati-hati, sebab dia mahir ilmu hitam dan
ahli racun"
Thio Han uong manggut-manggut,
mereka lalu berpisah. Ouw Yang Bun menuju desa Hok An, sedangkan Thio Han Liong
menuju arah Kotaraja.
Ouw Yang Bun telah tiba di
desa Hok An. sesuai dengan petunjuk penduduk desa ia langsung menuju rumah
mendiang
isterinya. Ah Hiang, pembantu
yang setia itu menyambut kedatangannya dengan penuh keheranan.
"Tuan mau mencari
siapa?" tanyanya.
"Maaf" ucap Ouw Yang
Bun.
"Aku ke mari mau ziarah
kuburan Giok Cu dan ke dua orangtuanya."
"Oh?" Ah Hiang
menatapnya.
"Tuan siapa?"
"Aku Ouw Yang Bun, suami
Giok Cu."
"Oh?" Ah Hiang
terbelalak.
"Ternyata Tuan adalah
suami Giok Cu. Mari ikut aku ke halaman belakang"
"Terima kasih." Ouw
Yang Bun mengikutinya ke halaman belakang.
"Han Liong yang membawa
mayat Giok Cu ke mari, dia...."
Ah Hiang menceritakan tentang
keadaan Thio Han Liong di saat itu, lalu menambahkan.
"Kalau An Lok Kong cu
tidak muncul, Han Liong pasti mati...."
"Aku sudah bertemu Han
Liong." Ouw Tang Bun memberitahukan.
"Dia telah menutur
tentang semua itu."
"oooh" Ah Hiang
manggut-manggut.
Tak lama mereka sudah sampai
di halaman belakang. Begitu melihat kuburan Tan Giok Cu, Ouw Yang Bun langsung
berlutut, kemudian menangis terisak-isak.
"Giok Cu Giok
Cu...." Air mata Ouw Tang Bun berderai-
derai.
"Semoga engkau tenang di
sana, aku pasti baik-baik mengurusi Hui sian Tapi... kini dia di tangan Bu sim
Hoatsu, aku sedang mencarinya...."
Setelah itu, Ouw Yang Bun pun
berlutut di hadapan kuburan ke dua orangtua Tan Giok Cu, lama sekali barulah ia
bangkit berdiri
"Aaah...." Ouw Yang
Bun menghela nafas panjang.
"semua kejadian itu
bagaikan sebuah mimpi...."
"Tuan" Ah Hiang
menatapnya seraya bertanya. "Betulkah putri Tuan berada di tangan
penjahat?" "Ya." Ouw Yang Bun mengangguk.
"Aku sedang mencarinya,
tapi tidak tahu dia dibawa ke mana?"
"Kalau begitu...."
Ah Hiang mengerutkan kening.
"Bagaimana mungkin Tuan
akan berhasil mencarinya?" "Aku akan terus menerus mencarinya."
ujar Ouw Yang Bun.
"Bibi Ah Hiang, aku mohon
pamit."
"Tuan..." Ah Hiang
menggelengkan kepala, kemudian mengantarnya sampai di depan rumah.
"Bibi Ah Hiang, sampai
jumpa" ucap Ouw Yang Bun, lalu berjalan pergi.
-ooo000000ooo-
Thio Han Liong terus melakukan
perjalanan ke Kotaraja. Hari itu dia tiba di sebuah kota, sekaligus bermalam di
kota itu pula. la duduk di dalam kamar penginapan, pelayan segera menyuguhkan
teh.
"Pelayan" panggil
Tio Han Liong ketika pelayan itu mau meninggalkannya.
"Ya, Tuan." Pelayan
itu berhenti dan membalikkan badannya.
"Mau pesan apa,
Tuan?"
"Siapa yang tinggal di
kamar sebelah?" tanya Thio Han Liong.
"Kenapa ada suara
tangisan?"
"Maaf, Tuan" jawab
pelayan.
"Aku pun tidak kenal mereka.
Kelihatannya anak gadis itu sakit keras, maka ke dua wanita itu tampak cemas
sekali."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
Pelayan itu pergi. Thio Han
Liong mengerutkan kening, akhirnya ia berjalan ke luar menuju ke kamar sebelah.
Perlahan-lahan diketuknya pintu kamar itu, tak lama terdengar suara sahutan
dari dalam.
"Siapa?"
"Maaf, aku juga
tamu" sahut Thio Han Liong.
"Bolehkah aku masuk untuk
bercakap-cakap sebentar?"
Tiada sahutan dari dalam,
namun kemudian pintu kamar itu terbuka. seorang wanita cantik berusia empat
puluhan berdiri di situ. Ketika melihat Thio Han Liong, wanita itu tampak
tertegun.
"Siapa Anda?"
"Namaku Thio Han Liong,
Pelayan memberitahukan kepadaku bahwa anak gadis yang bersama kalian itu sakit
keras. Aku sedikit mengerti ilmu pengobatan, bolehkah aku mencoba
memeriksanya?"
"Terima kasih atas maksud
baik Anda, tapi...." Wanita itu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Penyakit yang diderita
nona kami, bukan merupakan penyakit biasa. Kami...."
"Biar dia coba periksa penyakit
siauw Cui" ujar wanita lain, yang duduk dipinggir tempat tidur.
"Ya, Kak." sahut
wanita yang berdiri dekat pintu, kemudian mempersilakan Thio Han Liong masuk.
"Masuklah"
"Terima kasih," ucap
Thio Han Liong sambil melangkah ke dalam mendekati anak gadis yang berbaring di
tempat tidur, lalu bertanya pada wanita yang duduk di pinggir tempat tidur.
"Adik kecil ini menderita
penyakit apa?"
"Kalau Anda tahu ilmu
pengobatan, tentunya akan tahu setelah memeriksanya," sahut wanita itu.
"Kalau begitu, bolehkah
aku memeriksanya sekarang?"
"Silakan"
Thio Han Liong mulai memeriksa
anak gadis itu dengan intensif sekali. seketika wajahnya tampak serius dan
kening tampak berkerut-kerut.
"Aaah...." Thio Han
Liong menghela nafas panjang seusai
memeriksa anak gadis itu.
"Bagaimana?" tanya
wanita itu tegang.
"Anda sudah tahu nona
kami menderita penyakit apa?"
"Adik kecil ini tidak
sakit." sahut Thio Han Liong memberitahukan.
"Dia terkena semacam
racun, namun jantungnya masih terlindung oleh semacam obat, maka racun itu
belum menyerang kejantungnya. Akan tetapi... obat yang melindungi
jantungnya cuma dapat bertahan
beberapa hari lagi. setelah itu, adik kecil ini tak akan tertolong."
"Aaaah...." Ke dua
wanita itu menghela nafas panjang,
kemudian berlutut dihadapan
Thio Han Liong.
"Kami mohon Anda
menyelamatkan nyawa nona kami...."
"Bangunlah" sahut
Thio Han Liong sambil membangunkan ke dua wanita itu.
"Aku akan berusaha
menolongnya."
"Terima kasih,
Tuan." ucap ke dua wanita itu sambil bangkit berdiri
"Adik kecil ini terkena
racun yang bukan berasal dari Tionggoan." ujar Thio Han Liong dan
menambahkan.
"Kalau tidak salah, racun
itu berasal dari perbatasan Mongolia, dan boleh dikatakan tiada obatnya."
"Betul." salah
seorang wanita itu mengangguk. "Kami memang bukan orang Tionggoan."
"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Kebetulan aku membawa
obat penawar racun, mudah-mudahan obat itu dapat menawarkan racun yang ada di
dalam tubuh adik kecil ini."
Thio Han Liong mengeluarkan
sebuah botol pualam kecil, kemudian manuang dua butir obat ke tangannya.
Ternyata Bu
Beng siang su yang meramu obat
penawar racun itu dari akar dan daun soat san Ling Che.
Dengan hati-hati sekali ke dua
butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut anak gadis tersebut, lalu menyuruh
salah seorang wanita itu pergi mengambil sebuah baskom.
"Ya." Wanita itu
segera pergi mengambil baskom, dan tak segerapa lama ia sudah kembali ke kamar
itu dengan membawa sebuah baskom tembaga.
"Apabila adik kecil ini
mau muntah, cepatlah sodorkan baskom itu ke mulutnya" pesan Thio Han
Liong.
"Ya." Wanita itu
mengangguk.
Thio Han Liong memandang wajah
anak gadis itu yang semula tampak pucat pias, kini sudah agak memerah, dan itu
sungguh menggirangkan Thio Han Liong. la segera membangunkan anak gadis itu,
agar duduk dan ia pun duduk di belakangnya. sepasang telapak tangan Thio Han
Liong ditempelkan di punggung anak gadis itu, lalu mengerahkan Kiu Yang sin
Kang.
Berselang beberapa saat
kemudian, anak gadis itu kelihatan mau muntah. Wanita yang memegang baskom
langsung menyodorkan baskom itu ke mulutnya.
"uaaakh uaaakh
uaaakh..." Anak gadis itu memuntahkan lendir yang agak kehijau-hijauan.
Usai muntah, anak gadis itu
membuka matanya perlahan-lahan. Ternyata tadi la dalam keadaan pingsan dan kini
sudah tersadar.
"Bibi Bibi..."
panggil anak gadis itu
"Siauw Cui.. siauw
Cui..." sahut ke dua wanita itu dengan air mata berderai-derai saking
gembiranya.
Sedangkan Thlo Han Liong telah
menurunkan sepasang tangannya, lalu meloncat turun sambil tersenyum.
"Bibi berdua"
ujarnya memberitahukan.
"Kini adik kecil ini
telah pulih, dia memiliki Iweekang yang cukup tinggi."
"Tuan...." Mendadak
ke dua wanita itu berlutut di hadapan
Thio Han Liong.
"Tuan telah menyelamatkan
nyawa nona kami, entah harus bagaimana kami berterima kasih kepada Tuan?"
"Jangan berkata
begitu" Thio Han Liong tersenyum. "Bangunlah"
Ke dua wanita itu bangkit
berdiri, sedangkan anak gadis itu terus memandang Thio Han Liong.
"Kakak yang menyelamatkan
nyawaku?" tanyanya. Thio Han Liong mengangguk.
"Terima kasih,
Kakak." ucap anak gadis itu.
"Aku telah berhutang budi
kepada Kakak, entah bagaimana aku harus membalasnya?"
"Adik kecil" Thio
Han Liong tersenyum lembut.
"Jangan berkata begitu,
aku menolongmu tanpa pamrih." "Oh?" Anak gadis itu tertawa
kecil. "Bolehkah aku tahu nama Kakak?"
"Namaku Thio Han Liong.
Namamu?"
"Namaku siauw Cui."
"Nama yang indah"
puji Thio Han Liong.
"Adik siauw Cui amat
cantik,"
Siauw Cui tersenyum.
"Kakak sungguh tampan,
sudah punya isteri belum?"
"Belum, tapi sudah punya
tunangan." Thio Han Liong memberitahukan.
"Aku yakin tunangan Kakak
pasti cantik sekali. Ke-napa dia tidak bersama Kakak?"
"Dia tinggal di Kotaraja,
sekarang aku sedang mau ke sana" "Hoooh "siauw Cui manggut-
manggut.
"Sayang sekali kami harus
segera pulang. Kalau tidak, kami ingin jalan-jalan ke Kotaraja."
"Adik kecil" Thio
Han Liong membelainya.
"Ke dua orangtua mu pasti
sangat mencemaskan mu, maka kalian harus cepat-cepat pulang."
"Betul." sahut salah
seorang wanita itu, kemudian memandang Thio Han Liong seraya bertanya.
"Thio siau-hiup, obat
penawar racunmu itu dibuat dari ramuan apa?"
"Akar dan daun soat san
Ling Che." Thio Han Liong memberitahukan.
"Haah...?" Mulut ke
dua wanita itu ternganga lebar.
"Pantas dapat memunahkan
racun itu oh ya, tadi siauhiap menggunakan Iweekang apa membantu nona kami
mendesak ke luar racun itu?"
"Kiu Yang Sin Kang."
"Oh?" Ke dua wanita
itu manggut-manggut.
"Tidak disangka siauhiap
telah memiliki Iweekang tingkat tinggi itu. Apakah siauhiap yang makan buah
soat san Ling che itu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Siauhiap sungguh
beruntung." ujar salah seorang wanita, itu.
"Siauhiap masih muda,
tapi berkepandaian tinggi dan mahir ilmu pengobatan pula, itu sungguh di luar
dugaan"
"Bibi berdua pun
berkepandaian amat tinggi," sahut Thio Han Liong sambil tersenyum.
"Siauhiap, kami berdua
cuma merupakan pelayan. Kepandaian kami tidak seberapa."
"Bibi berdua terlampau
merendahkan diri oh ya, bolehkah aku tahu kalian berdua dari mana?"
"Kami...." Ke dua
wanita itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, kami tidak bisa
memberitahukan Mudah-mudahan kelak kita akan berjumpa lagi"
"Baiklah." Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Kalau begitu aku mohon
diri"
"Kakak" panggil
siauw Cui.
"Kakak tinggal di
mana?" tanyanya.
"Aku tinggal di pulau
Hong Hoang To Pak Hai." Thio Han Liong memberitahukan.
"Pulau itu jauh
sekali."
"Tempat tinggal kami pun
jauh sekali." siauw Cui memberitahukan.
"Di puncak gunung. Kami
tidak pernah berhubungan dengan orang luar."
"Oooh" Thio Han
Liong tersenyum.
"Adik kecil, sampai jumpa
kelak" "Ya, Kakak" sahut siauw Cui. "Semoga kita berjumpa
kembali kelak"
Thio Han Liong menatapnya
sejenak. lalu kembali ke kamarnya dan duduk. la tidak habis pikir, siapa
sebenarnya siauw Cui dan ke dua wanita itu....