Bab 50 Hiat Mo Nyaris Binasa
Thio Han Liong terus
melanjutkan perjalanan ke Kwan Gwa. Beberapa hari kemudian, ia telah sampai di
luar perbatasan. Begitu luas daerah itu sehingga membingungkannya, la sama
sekali tidak tahu harus ke mana mencari Hiat Mo. Ketika ia memasuki sebuah
hutan, justru berpapasan dengan seorang tua pencari kayu.
"Paman," panggilnya
dan seraya menyapanya.
"Eh?" orangtua itu
terbelalak.
"Anak muda, engkau
kesasar ya?"
"Paman," sahut Thio
Han Liong sambil tersenyum.
"Aku mencari seseorang
tapi tidak tahu tempat tinggalnya."
"Engkau cari siapa?"
"Aku mencari Hiat
Mo."
"Hiat Mo?" orangtua
itu tampak tersentak.
"Anak muda, mau apa
engkau mencari iblis itu?"
"Aku mau
membunuhnya."
"Apa?" orangtua itu
terkejut, lalu menatap Thio Han Liong dengan mata terbelalak.
"Engkau... engkau mau
membunuhnya?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk Orangtua itu
menggeleng-geleng kepala.
"Engkau sudah tidak waras
ya? Bagaimana mungkin engkau dapat membunuhnya? Tahukah engkau? Hiat Mo adalah
iblis nomor wahid di Kwan Gwa ini"
"Kalau begitu, Paman
pasti tahu tempat tinggalnya. Ya, kan?" tanya Thio Han Liong bernada
girang.
"Aku memang tahu, tapi
tidak akan memberitahukanmu."
"Paman...."
Orangtua itu menasihatinya.
"Lebih baik engkau segera
pergi saja, jangan cari mati di daerah Kwan Gwa ini"
"Paman, biar bagaimanapun
aku harus membunuhnya," ujar Thio Han Liong tegas.
"Walaupun Paman tidak
bersedia memberitahukan tempat tinggal Hiat Mo, aku tetap akan
mencarinya."
"Anak muda...."
orangtua itu menghela nafas panjang.
"Karena engkau sudah
membulatkan tekad, maka aku tidak akan mengecewakan mu."
"Terima kasih,
Paman," ucap Thio Han Liong sambil memberi hormat.
"Terima kasih...."
"Tempat tinggal Hiat Mo
berada di Pek Ciauw Kok (Lembah seratus Burung)." orangtua itu
memberitahukan.
"Keluar dari hutan ini,
engkau akan melihat sebuah gunung. Nah, lembah Pek ciauw Kok terletak di gunung
itu."
"Terima kasih,
Paman," ucap Thio Han Liong, lalu segera melesat ke dalam hutan itu.
Berselang beberapa saat
kemudian, ia sudah keluar dari hutan tersebut. Tampak gunung menjulang tinggi
di depan. Tanpa ragu lagi ia langsung melesat ke gunung itu dengan menggunakan
ginkang, dan tak seberapa lama ia sudah berada di sebuah lembah.
Sungguh indah sekali lembah tersebut
Burung- burung yang beraneka warna beterbangan di lembah itu.
"Inikah lembah Pek Ciauw
Kok?" gumam Thio Han Liong sambil menelusuri lembah tersebut.
Mendadak ia mendengar suara
tawa yang riang gembira, la tercengang, lalu melesat ke arah suara tawa itu.
Thio Han Liong terbelalak
ternyata yang sedang tertawa riang gembira itu adalah Kwan Pek Him dan Ciu Lan
Nio.
Perlahan-lahan Thio Han Liong
mendekati mereka. suara langkahnya membuat mereka berdua menoleh dan
terbelalak.
"Kakak Han Liong"
seru Ciu Lan Nlo tak tertahan.
"Saudara Han
Liong...." Mulut Kwan Pek Him ternganga
lebar. la sama sekali tidak
menyangka Thio Han Liong akan menemukan tempat itu.
"Adik Lan Nio, saudara
Kwan" Thio Han Liong tersenyum.
"Kalian berdua baik
saja?"
"Kami baik-baik
saja," sahut Ciu Lan Nio.
"Engkau?"
"Aku pun baik-baik"
ujar Thio Han Liong dan menambahkan,
"Terima kasih atas
kebaikan kalian menemui An Lok Kong cu."
"Dia... dia pergi ke Hok
An menemuimu?" tanya Ciu Lan Nio.
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk
"Bahkan kami pun sudah
pergi ke pulau Hong Hoang To."
"Oh?" Ciu Lan Nio
mengangguk "Syukurlah kalau begitu"
Kwan Pek Him terus memandang
Thio Han Liong, lama sekali barulah membuka mulutnya.
"Saudara Han Liong,
engkau ke mari mencari Hiat Mo?" "Ya." Thio Han Liong
mengangguk.
"Kakak Han Liong,"
tanya Ciu Lan Nio dengan wajah berubah. "Engkau masih ingin bertanding
dengan kakekku?"
"Tapi...." Ciu Lan
Nio menghela nafas panjang.
"Giok Cu sudah tiada,
untuk apa engkau masih ingin bertanding dengan kakekku?"
"Semua itu karena
perbuatan kakekmu, maka aku harus membuat perhitungan dengan kakekmu"
tegas Thio Han Liong.
"Kakak Han
Liong...." Wajah Ciu Lan Nio tampak murung
sekali.
"Aku mohon engkau jangan
bertanding dengan kakekku"
"Adik Lan Nio" Thio Han
Liong menatapnya.
"Engkau adalah gadis yang
baik, punya nurani, perasaan dan berprikemanusiaan. oleh karena itu, aku
menganggapmu sebagai adikku. Tapi lain pula dengan kakekmu. Giok Cu bunuh diri
gara-gara kakekmu, maka aku harus membuat perhitungan dengan kakekmu."
"Saudara Han Liong,"
ujar Kwan Pek Him.
"Tentunya engkau tahu,
kepandaian Hiat Mo amat tinggi sekali."
"Aku tahu itu, namun aku
tetap akan membuat perhitungan dengannya," sahut Thio Han Liong.
"Kakak Han
Liong...." ciu Lan Nio menggeleng-gelengkan
kepala.
"Adik Lan Nio" Thio
Han Liong menatapnya seraya berkata,
"Aku harap engkau sudi
membawaku pergi menemui kakekmu"
"Tapi...."
"Adik Lan Nio, bawa aku
pergi menemui kakekmu" desak Thio Han uong.
"Atau aku akan pergi
mencarinya seorang diri?"
Ciu Lan Nio memandang Kwan Pek
Him, sedangkan pemuda itu hanya menghela nafas panjang, kemudian berkata.
"Saudara Han Liong telah
sampai di lembah ini, tentunya kita harus membawanya pergi menemui
kakekmu."
"Tapi...." Ciu Lan
Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau kita tidak
membawanya pergi menemui kakekmu, dia pun bisa pergi mencarinya. Ya, kan?"
ujar Kwan Pek Him.
"Baiklah." Ciu Lan
Nio manggut-manggut.
"Kakak Han Liong, mari
ikut kami pergi menemui kakekku"
"Terima kasih, Adik Lan
Nio," ucap Thio Han Liong.
Ciu Lan Nio dan Kwan Pek Him
lalu mengajak Thio Han Liong ke sebuah gua tempat tinggal Hiat Mo.
Hiat Mo sedang duduk bersila
di dalam gua. ciu Lan Nio berlari ke dalam seraya berteriak-teriak.
"Kakek Kakek..."
"Lan Nio, ada apa?"
Hiat Mo tercengang.
"Kakak Han Liong ke mari
mencari Kake.k Dia... dia ingin membuat perhitungan dengan Kakek" Ciu Lan
Nio memberitahukan dengan air mata meleleh.
"Oh?" Hiat Mo
tertawa.
"Apakah kepandaiannya
sudah tinggi, sehingga berani ke mari mencariku^"
"Aku tidak tahu,"
sahut Ciu Lan Nio.
"Kejadian itu adalah
kesalahan Kakek maka Kakek tidak boleh membunuhnya."
Bagian 26
Hiat Mo tersenyum dan
memandang cucunya seraya berkata,
"Lan Nio, kalau kakek mau
membunuhnya, tidak mungkin dia bisa hidup hingga sekarang."
"Aku tahu itu, Kakek.
Maksudku... kini pun Kakek jangan membunuhnya," ujar ciu Lan Nio.
"Dia menganggapku sebagai
adiknya, bahkan juga amat menyayangiku. Aku pun sudah menganggapnya sebagai
kakak."
"Kakek tahu itu."
Hiat Mo tersenyum sambil bangkit berdiri. "Mari kita ke luar
menemuinya"
Mereka berjalan ke luar.
Tampak Thio Han Liong sedang bercakap-cakap dengan Kwan Pek Him.
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa gelak.
"Han Liong, bagaimana
kabarmu selama ini?"
"Aku baik-baik
saja," sahut Thio Han Liong.
"Bagaimana Locianpwee?
Apakah baik-baik juga?"
"Aku pun baik-baik"
Hiat Mo menatapnya dengan penuh perhatian, kemudian manggut-manggut.
"Ngmmm. Kelihatannya
kepandaianmu bertambah tinggi. Bagus, bagus sekali"
"Kalau kepandaianku tidak
bertambah tinggi, tentunya aku tidak berani mencari Locianpwee," ujar Thio
Han Liong dengan nada mulai dingin.
"Aku ingin bertanya,
kenapa Locianpwee menikahkan Giok cu dengan Ouw Yang Bun?"
"Sebab Ouw Yang Bun
mencintainya, lagipula Giok cu harus punya anak. Nah, karena itu aku menikahkan
mereka."
"Hmm" dengus Thio
Han Liong. Justru karena itu, Giok cu bunuh diri. Itu gara-gara ulah
Locianpwee, maka Locianpwee harus bertanggung jawab."
"Tidak salah." Hiat
Mo manggut-manggut.
"Aku memang harus
bertanggungjawab tentang itu."
"Kalau begitu, aku akan
membuat perhitungan dengan Locianpwee" Thio Han Liong menatapnya tajam.
"Oh?" Hiat Mo
tersenyum.
"Cara bagaimana engkau
membuat perhitungan denganku?"
"Giok Cu mati bunuh diri
gara-gara Locianpwee, ke dua orangtuanya mati karena dibunuh para anggota Hiat
Mo Pang Karena itu, aku harus membunuh Locianpwee"
"Oh?" Hiat Mo
tertawa gelak
"Ha ha ha..."
"Kakak Han Liong"
seru Ciu Lan Nio. Betapa terkejutnya gadis itu la tidak menyangka kalau Thio
Han Liong begitu dendam terhadap kakeknya.
"Adik Lan Nio" tegas
Thio Han Liong.
"Ini adalah urusanku
dengan kakekmu, aku harap engkau jangan turut campur"
"Kakak Han
Liong...." Mata Ciu Lan Nio mulai bersimbah air.
Kwan Pek Him mendekatinya,
lalu memegang bahunya seraya berbisik-bisik.
"Lan Nio, itu adalah
urusan mereka, biar mereka yang menyelesaikannya"
"Tapi...."
"Jangan khawatir"
Kwan Pek Him tersenyum. "Kakekmu tidak akan membunuhnya, percayalah"
"Kalau mereka bertarung,
pasti ada yang akan terluka. Aku... aku tidak menghendaki itu." Ciu Lan
Nio mulai terisak-isak.
"Lan Nio" hibur Kwan
Pek Him.
"Tenanglah Kalaupun
mereka bertarung, mereka pasti tidak akan terluka."
"Aaaah Ciu Lan Nio
menghela nafas panjang.
Sementara Thio Han Liong dan
Hiat Mo saling memandang. Wajah pemuda itu tampak semakin dingin, bahkan penuh
diliputi hawa membunuh. Tersentak juga hati Hiat Mo, sebab ia tidak pernah
menyaksikan wajah Thio Han Liong seperti itu.
"Han Liong," ujar
Hiat Mo perlahan.
"Kalau kepandaianmu
memang sudah tinggi sekali, engkau boleh membunuhku,"
"Aku ke mari justru ingin
membunuhmu" sahut Thio Han Liong.
"Mari kita mulai
bertarung"
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa gelak.
"Kudengar engkau mampu
menyadarkan Giok Cu, Tong Koay dan Pak Hong dengan suara lonceng, maka aku pun
ingin mencobanya dengan suara sulingku"
"Baik" Thio Han
Liong mengangguk.
"Boleh mulai
sekarang"
Hiat Mo memandang Kwan Pek Him
dan cucunya seraya mengibaskan tangannya agar mereka menjauh.
Ciu Lan Nio segera menarik tangan
Kwan Pek Him menjauhi tempat itu. Tentunya hal itu membuat Kwan Pek Him
terheran-heran.
"Lan Nio, kenapa kita
harus menjauhi tempat itu?" tanyanya.
"Kakekku akan meniup
suling pusakanya, kita tidak akan tahan." sahut Ciu Lan Nio
memberitahukan.
"Darah kita akan bergolak
dan kemungkinan besar kepandaian kita pun akan musnah."
"Oh?" Kwan Pek Him
terbelalak.
"Begitu lihay dan hebat
suara suling itu?"
"Ya." Ciu Lan Nio
mengangguk
"Karena suara suling itu
mengandung semacam ilmu sesat."
"Oooh" Kwan Pek Him
manggut-manggut.
"Kalau begitu...
bagaimana mungkin saudara Han Liong bisa bertahan?"
"Itu...." Ciu Lan
Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Mudah-mudahan kakekku
tidak memusnahkan kepandaiannya"
Sementara Hiat Mo telah
mengeluarkan suling pusakanya, la memandang Thio Han Liong seraya bertanya,
"Kenapa engkau belum
mengeluarkan loncengmu?"
"Kalau sudah saatnya, aku
pasti mengeluarkan lonceng saktiku"
"Kalau begitu.."
ujar Hiat Mo sambil menatapnya tajam.
"Bersiap-siaplah engkau
menghadapi suara sulingku"
Thio Han Liong tersenyum
dingin, lalu duduk bersila sambil mengerahkan Ilmu Penakluk iblis.
Hiat Mu mulai meniup guling
pusakanya. Maka terdengarlah suara alunan suling yang bernada aneh terus
meninggi dan bergelombang-gelombang. Ternyata Hiat Mo mengeluarkan ilmu Toat
Hun Mi Im (suara suling Pelenyap sukma). Dengan irama tersebut ia ingin
melumpuhkan Thio Han Liong.
Akan tetapi, ia justru
terbelalak karena melihat Thio Han Liong tetap duduk bersila di tempat, sama
sekali tidak terpengaruh oleh suara sulingnya. Karena itu, ia meninggikan nada
irama sulingnya.
Tampak keringat sebesar kacang
hijau mulai merembes ke luar dari kening pemuda itu. Di saat itulah ia
mengeluarkan lonceng saktinya, pemberian Bu Beng sian Su dan mulailah membunyikannya.
Hiat Mo tersentak kaget ketika
mendengar suara lonceng sakti, karena suara lonceng itu begitu nyaring lembut
dan menggetarkan hati.
Setelah membunyikan lonceng
saktinya hati Thio Han Liong menjadi tenang sekali dan tidak merasa bergolak
lagi darahnya.
Begitu pula Kwan Pek Him dan
ciu Lan Nio. Walau mereka berada di tempat yang agak jauh, tapi ketika Hiat Mo
mulai meniup suling pusakanya, mereka harus menutup telinga.
Akan tetapi, begitu Thio Han
Liong membunyikan lonceng saktinya, mereka pun merasa tenang dan lega.
Meskipun Hiat Mo telah
mengempos semangatnya untuk meniup sulingnya, namun suara lonceng itu tetap
menggetar-getarkan hatinya. Akhirnya ia berhenti meniup sulingnya dan Thio Han
Liong pun berhenti membunyikan lonceng saktinya.
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa gelak.
"Bukan main Tak kusangka
engkau memiliki lonceng sakti, pantas engkau mampu menyadarkan Giok Cu, Tong
Koay dan Pak Hong"
"Kini kita bertanding
ilmu silat" tantang Thio Han Liong sambil menyimpan lonceng saktinya.
"Ngmm" Hiat Mo
manggut-manggut. "Dengan tangan kosong atau bersenjata?"
"Cukup dengan tangan
kosong saja" sahut Thio Han Liong dan menambahkan,
"Harap Locianpwee harus
berhati-hati, sebab aku akan membunuhmu"
"Oh?" Hiat Mo
tertawa lagi. "Ha ha ha..."
"Locianpwee,
bersiap-siaplah. Aku akan mulai menyerangnya"
"Baik"
Thio Han Liong menatapnya
tajam sambil mengerahkan Kiu Yang Sin Kang, kemudian mendadak menyerangnya
dengan Thay Kek Kun (Ilmu Pukulan Taichi). "Ha ha ha" Hiat Mo tertawa
sekaligus berkelit, lalu balas menyerang.
Terjadilah pertarungan yang
amat seru dan sengit. Kwan Pek Him dan ciu Lan Nio menyaksikan pertarungan itu
dengan hati berdebar-debar tegang.
Thio Han Liong dan Hiat Mo
saling menyerang dengan sengit sekali. Hiat Mo tampak terkejut akan kemajuan
ilmu silat Thio Han Liong.
"Ha ha" la tertawa.
"Han Liong, pantas engkau
berani ke mari menantangku. Ternyata ilmu silatmu telah maju pesat, begitu pula
Iweekangmu Aku kagum sekali pada mu"
"Hm" dengus Thio Han
Liong dingin.
"Hari ini ajalmu telah
tiba"
"Oh?" Hiat Mo
tertawa lagi.
"Kalau begitu, silakan
cabut nyawaku"
Walau mereka berbicara, tapi
tetap saling menyerang. Pertarungan telah melewati puluhan jurus namun mereka
masih seimbang.
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa gelak sambil meloncat ke belakang beberapa depa. la menatap Thio Han
Liong seraya berkata,
"Berhati hatilah Aku akan
menyerangmu dengan Hiat Mo Kang"
"Aku sudah siap menyambut
ilmu itu" sahut Thio Han Liong.
Hiat Mo mulai mengerahkan Hiat
Mo Kang, sedangkan Thio Han Liong mulai mengerahkan Kian Run Taylo sin Kang.
Mereka terus saling menatap dengan mata tak berkedip. Namun Hiat Mo hanya
mengerahkan lima bagian Iweekangnya itu, ternyata ia masih ingat akan janjinya
kepada cucunya, tidak akan membunuh Hiat Mo.
Sementara Kwan Pek Him dan ciu
Lan Nio menyaksikannya dengan wajah pucat pias. Mereka berdua tahu bahwa kali
ini merupakan pertarungan mati hidup.
"Ha ha ha" Mendadak
Hiat Mo tertawa gelak lalu mulai menyerang Thio Han Liong.
Thio Han Liong tidak berkelit.
Disambutnya serangan itu dengan jurus Kian Kun Taylo Bu Pien (Alam semesta
Tiada Batas), maka terdengarlah suara benturan keras.
Blaaaam.. Thio Han Liong
terdorong ke belakang beberapa langkah begitu pula Hiat Mo. setelah berdiri
tegak Hiat Mo menatapnya dengan mata terbelalak. Rupanya ia tidak percaya Thio
Han Liong telah menyambut serangannya itu. Bahkan ia pun merasa heran, karena
ada serangan balik dari Iweekangnya sendiri
"Ha ha ha" la
tertawa gelak.
"Tak kusangka
kepandaianmu sudah begitu tinggi, mampu menyambut seranganku"
"Hmm" dengus Thio
Han Liong sambil menatapnya dingin. "Hati-hati, aku sudah siap
membunuhmu" "Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak lagi.
"Kalau engkau mampu
membunuhku, aku pun akan mati dengan mata meram"
Sementara Kwan Pek Him dan ciu
Lan Nio terperangah akan kejadian itu, sama sekali tidak menyangka Thio Han
Liong mampu menyambut serangan yang dilancarkan Hiat Mo. Mereka berdua kagum
tapi juga cemas.
"Han Liong Hati-hatilah,
aku akan menyerang lagi" ujar Hiat Mo sambil mengerahkan Iweekangnya pada
puncaknya.
Akan tetapi, mendadak ia
teringat akan janjinya kepada cucunya. Maka seketika juga ia batal menyerang
Thio Han Liong dengan sepenuh Iweekang, hanya mengerahkan tujuh bagian saja.
"Hati-hati" seru
Hiat Mo sambil menyerang.
Thio Han Liong sama sekali
tidak berkelit, namun langsung menyambut serangan itu dengan jurus Kian Kun
Taylo Hap It (segala galanya Menyatu Di Alam semesta).
Blaaaam... Terdengar suara
benturan yang, amat dahsyat, memekakkan telinga.
Hiat Mo terpental enam tujuh depa,
sedangkan Thio Han Liong terhuyung-huyung ke belakang hampir sepuluh langkah
wajahnya tampak agak pucat. Hiat Mo jatuh terkapar di tanah, mulutnya tampak
mengeluarkan darah.
"Kakek Kakek..."
jerit Ciu Lan Nio.
Kwan Pek Him segera memegang
lengannya, agar gadis itu tidak lari mendekati Hiat Mo.
"Hiat Mo" ujar Thio
Han Liong sepatah demi sepatah "Bersiap-siaplah untuk mati"
"Han Liong...." Hiat
Mo tersenyum.
"Aku merasa puas mati di
tanganmu, karena kini engkau dapat mengalahkanku. Aku merasa puas sekali...."
"Hmm" dengus Thio
Han Liong, lalu mendekati Hiat Mo selangkah demi selangkah.
Hiat Mo sama sekali tidak
tampak takut, sebaliknya malah tampak tenang sekali. Di saat bersamaan, ciu Lan
Nio meronta sekuat-kuatnya, sehingga terlepas dari tangan Kwan Pek Him.
"Kakak Han Liong Kakak
Han Liong..." ciu Lan Nio berlari mendekatinya sambil berteriak-teriaki
"Kakak Han
Liong...."
Thio Han Liong mengerutkan
kening sambil berhenti, seketika Ciu Lan Nio berlutut di hadapannya.
"Kakak Han Liong"
Air mata gadis itu berlinang-linang.
"Jangan kau bunuh kakekku
Jangan kau bunuh kakekku" ujarnya memohon.
"Adik Lan Nio...."
Kening Thio Han Liong berkerut-kerut.
"Aku...."
"Kakak Han Liong"
ciu Lan Nio menatapnya.
"Kalau engkau membunuh
kakekku, aku pasti bunuh diri" "Apa?" Air muka Thio Han Liong
berubah menjadi hebat.
"Saudara Han Liong"
Kwan Pek Him mendekatinya seraya berkata,
"Apabila Lan Nio bunuh
diri, aku pun tidak akan hidup lagi."
"Kalian...." Thio
Han Liong berdiri termangu-mangu di
tempat, kemudian menatap
mereka dengan kening berkerut-kerut.
"Kakak Han
Liong...." ciu Lan Nio berlutut di hadapannya.
"Aku mohon, jangan bunuh
kakekku..."
Thio Han Liong diam saja, lama
sekali barulah membuka mulut.
"Sudahlah. Aku tidak akan
membunuh kakekmu."
"Terima kasih, Kakak Han
Liong," ucap Ciu Lan Nio terharu. "Terima kasih...."
"Adik Lan Nio, bangunlah.
Jangan terus berlutut di situ" Thio Han Liong membangunkannya .
"Kakak Han
Liong...." ciu Lan Nio terisak-isak saking
terharu.
"Kami berhutang budi
kepadamu."
"Jangan berkata begitu,
Adik Lan Nio"
"Terima kasih, saudara
Han Liong," ucap Kwan Pek Him sambil memegang bahu Thio Han Liong.
"Aaah.." Thio Han
Liong menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ciu Lan Nio
berlari mendekati Hiat Mo, sedangkan Hiat Mo telah bangkit berdiri
"Kakek terluka?"
tanya Ciu Lan Nio dengan rasa cemas.
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa.
"Kalau kakek berniat
membunuh Han Liong, sekarang kakek sudah tergeletak jadi mayat."
Ciu Lan Nio terperanjat
mendengar ucapan kakeknya itu.
"Kakek tidak
bohong," ujar Hiat Mo sambil menghampiri Thio Han Liong.
"Aku tak menyangka
Lwee-kang mu sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Apa yang kau alami selama
beberapa tahun ini?"
"Locianpwee...."
Thio Han Liong memandangnya, lama
sekali barulah menutur tentang
kejadian di gunung soat san.
"Haah..?" Hiat Mo
terbelalak mendengar penuturannya.
"Syukurlah engkau makan
buah soat san Ling che itu, bahkan engkau pun bertemu Bu Beng sian su"
"Locianpwee pernah
bertemu Bu Beng siansu?"
"Pernah." Hiat Mo
mengangguk
"Kalau tidak salah lima
puluh tahun lalu, aku tahu Bu Beng sian su memiliki sebuah lonceng sakti. Tak
disangka lonceng sakti itu telah dihadiahkan kepadamu. Kalau aku tahu, tentu
aku tidak akan menikahkan Giok Cu dengan ouw Yang Bun."
"Locianpwee...."
Wajah Thio Han Liong langsung berubah
murung.
"Aku ingin bertanya,
kenapa tujuh delapan tahun lalu Locianpwee begitu tega menyihir Giok cu?"
"Aaah.." Hiat Mo
menghela nafas panjang.
"Pada waktu itu aku
terlampau egois. Aku tahu Giok Cu mencintaimu, tapi cucuku ini pun mencintaimu
pula. Maka aku menyihirnya agar engkau menjauhi Giok Cu, dan selanjutnya akan
mencintai cucuku. Akan tetapi, ternyata engkau tetap mencintai Giok Cu. Karena
itu, aku pun menyatakan apabila engkau mampu mengalahkan ku, aku pasti
melepaskan Giok Cu. Aku menyatakan itu lantaran dapat memastikan tidak mungkin
engkau mampu mengalahkanku, lagipula aku menghendakimu terus berlatih dengan
giat. selain itu. Giok Cu pun tidak bisa disadarkan...."
"Lociancwee...."
Thio Han Liong menggeleng-gelengkan
kepala.
"Oleh karena itu..."
lanjut Hiat Mo sambil menghela nafas panjang.
"Akupun merasa kasihan
kepada Giok Cu, lagipula ouw Yang Bun amat mencintainya, maka aku menikahkan
mereka, agar Giok Cu punya keturunan. Itu adalah maksud baikku dan walaupun
Giok Cu masih dalam keadaan terpengaruh oleh ilmu sihirku, tapi ouw Yang Bun
tetap mencintainya. setelah mereka punya anak ouw Yang Bun yang mengurusi anak
itu Kemudian muncul Yo sian sian. Berhubung dia memperlihatkan sebuah benda,
sehingga aku harus menepati sebuah janji pula. Yo sian sian menyuruhku kembali
ke Kwan Gwa. Aku menurut dan langsung kembali ke Kwan Gwa ini...."
"Oooh" Thio Han
Liong manggut-manggut.
"Locianpwee, benda apa
itu?" tanyanya.
"Sebuah tusuk
konde," jawab Hiat Mo dan menutur tentang itu, kemudian menghela nafas
panjang. Tak kusangka Lam Hai Lo Ni adalah nenek Yo sian sian."
"Aaah.." Thio Han
Liong menghela nafas panjang.
"Yang patut dikasihani
adalah Giok Cu, dia...."
"Kakak Han Liong,"
sela Ciu Lan Nio memberitahukan.
"Kematian Giok Cu membuat
kakekku menangis tiga hari tiga malam, amat menyesali perbuatannya itu."
"Oh?" Thio Han Liong
mendekati Hiat Mo.
"Betul." Hiat Mo
manggut-manggut
"Sesungguhnya aku amat
menyukaimu, sedangkan cucuku pun amat mencintaimu. oleh karena itu...."
"Locianpwee, semua itu
telah berlalu, jangan diungkit lagi" tandas Thio Han Liong.
"Dan jangan terus bilang
Adik Lan Nio amat mencintaiku, nanti saudara Kwan akan cemburu."
"Tidak" Kwan Pek Him
tersenyum. "Sebab kini Lan Nio amat mencintaiku, itu berkat
bantuanmu."
"Saudara Kwan...."
Thio Han Liong tersenyum getir.
"Kalau aku teringat Giok
Cu, rasanya aku tiada gairah hidup,..."
"Kakak Han Liong,
bukankah engkau telah bertemu An Lok Keng cu? Jangan memikirkan yang
tidak-tidak lagi" ujar ciu Lan Nio.
"Pada waktu itu, aku
terus menangis di depan makam Giok cu." Thio Han Liong memberitahukan.
"Akhirnya mataku
mengeluarkan darah lalu pingsan. Ketika siuman, aku melihat An Lok Keng cu
berada di sisiku dengan wajah pucat pias.
"Dia terus menghibur
sekaligus menasihatiku. Kalau dia tidak muncul, aku pasti sudah mati."
"Saudara Han Liong"
Kwan Pek Him tersenyum.
"Aku dan Lan Nio pergi ke
Kotaraja menemui An Lok Keng cu."
"Dia telah memberitahukan
itu, oleh karenanya aku pun amat berterima kasih kepada kalian."
"Kakak Han Liong"
ciu Lan Nio tersenyum.
"Kini engkau sudah tidak
mendendam kakekku lagi kan?" "Adik Lan Nio," sahut Thio Han
Liong.
"Semua itu telah berlalu,
dendamku pun sirna dengan sendirinya."
"Terima kasih, Kakak Han
Liong," ucap ciu Lan Nio. "Adik Lan Nio" Thio Han Liong menghela
nafas panjang. "Aku pun harus berterima kasih kepadamu."
"Kakak Han
Liong...." ciu Lan Nio menundukkan kepala.
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa gelak
"Kini legalah hatiku,
karena Han Liong telah memiliki kepandaian yang amat tinggi Ha ha ha..."
"Locianpwee..." ujar
Thio Han Liong.
"Kalau bukan dikarenakan
Locianpwee, kepandaianku tidak akan mencapai tingkat yang sedemikian
tinggi."
"Han Liong" Hiat Mo menatapnya
seraya bertanya,
"Engkau menggunakan ilmu
apa meroboh kanku?"
"Kian Kun Taylo sin
Kang." Thio Han Liong memberitahukan.
"Bu Beng sian su yang
mengajarku."
"Ooh" Hiat Mo
manggut-manggut.
"Tapi kenapa malah diriku
terserang oleh Iweekangku sendiri?"
"Itulah keistimewaan ilmu
Kian Kun Taylo sin Kang," sahut Thio Han Liong dan menambahkan,
"Maka Locianpwee
terserang oleh Iweekang sendiri."
"Jadi...." Hiat Mo
terbelalak.
"Kian Kun Taylo sin Kang
dapat mengembalikan Iweekang lawan, sekaligus balik menyerangnya pula?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk
"Sungguh hebat ilmu
itu" Hiat Mo menghela nafas panjang.
"Kalau begitu kini engkau
adalah jago nomor wahid dalam rimba persilatan."
"Lociancwee...."
Thio Han Liong menggeleng-ge-lengkan
kepala.
"Di atas gunung masih ada
gunung, di atas langit masih ada langit. Aku bukan jago nomor wahid dalam rimba
persilatan."
"Ha ha ha" Hiat Mo
tertawa.
"Bagus Bagus Engkau masih
mau merendahkan diri, itu sungguh bagus sekali"
"Kakak Han Liong,"
tanya Ciu Lan Nio mendadak. "Engkau akan langsung ke Kotaraja?"
"Tidak" Thio Han
Liong menggelengkan kepala.
"Aku masih harus
berangkat ke Tibet."
"Mau apa engkau ke
sana?" tanya Hiat Mo heran.
"Membuat perhitungan
dengan sembilan Dhalai Lhama di sana," jawab Thio Han Liong.
"Apa?" Hiat Mo
terperanjat.
"Engkau punya dendam pada
Dhalai Lhama itu?"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk lalu menutur tentang para Dhalai Lhama itu melukai ayahnya.
Hiat Mo manggut-manggut.
"Han Liong, sembilan
Dhalai Lhama itu memiliki semacam ilmu istimewa, lagipula ketua Dhalai Lhama
berkepandaian amat tinggi, maka engkau harus berhati-hati menghadapi
mereka"
"Ya." Thio Han Liong
mengangguk
"Bagaimana kelandaian
ketua Dhalai Lhama dibandingkan dengan kepandaian Locianpwee?" tanyanya kemudian.
"Kepandaian ketua Dhalai
Lhama lebih tinggi," jawab Hiat Mo dengan jujur.
"Oleh karena itu, engkau
harus berhati-hati menghadapi ketua Dhalai Lhama itu. Namun setahuku, ketua
Dhalai Lhama amat adil dan bijaksana."
"Syukurlah" ucap
Thio Han Liong.
"Maaf, aku mau
pamit"
"Han Liong" Hiat Mo
memegang bahunya sambil tersenyum.
"Kapan engkau akan ke
mari lagi?"
"Entahlah" Thio Han
Liong menggelengkan kepala.
"Mudah-mudahan kelak aku
dapat ke mari mengunjungi Locianpwee, Adik Lan Nio dan saudara Kwan"
"Kakak Han Liong,"
pesan ciu Lan Nio.
"Jangan lupa ajak An Lok
Keng cu ke mari juga"
"Baik" Thio Han
Liong mengangguk
"sampai jumpa"
Pemuda itu melesat pergi. Hiat
Mo menghela nafas panjang sambil bergumam,
"Kalau aku berniat
membunuhnya, nyawaku pasti melayang."
"Kakek..." ciu Lan
Nio tercengang.
"Kok begitu? Aku sama
sekali tidak mengerti."
"Kakek tadi menyerangnya
dengan tujuh bagian Iweekang, maka cuma membuat kakek terpental dan muntah
darah. Kalau kakek menyerangnya dengan sepenuh tenaga kini kakek pasti sudah
tergeletak menjadi mayat."
"Kenapa bisa
begitu?" Ciu Lan Nio tetap tidak mengerti.
"Ternyata dia memiliki
semacam ilmu yang dapat mengembalikan Iweekang lawan, dan sekaligus menyerang
lawan itu pula." Hiat Mo memberitahukan.
"Oooh" Ciu Lan Nio
manggut-manggut mengerti.
"Ternyata begitu..."