Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 10

"Lalu bagaimana, kakang? Teruskan ceritamu yang amat menarik hati itu."

"Oleh mendiang Bapa Guru, aku digembleng ilmu kanuragan yang kiranya tidak banyak bedanya dengan yang kau pelajari, karena datang dari satu sumber. Kemudian, beberapa bulan yang lalu padepokan Bapa Guru didatangi Paman Bhagawan Jaladara beserta dua orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang keduanya kemudian aku ketahui adalah jagoan-jagoan dari Wirosobo. Agaknya Paman Bhagawan Jaladara juga telah menjadi utusan Adipati Wirosobo. Dia datang dan hendak memaksa mendiang Bapa Guru untuk membantu kadipaten Wirosobo dan agar Bapa Guru tidak mempelajari Agama Islam. Tentu saja Bapa Guru menolak sehingga terjadilah perkelahian. Sebetulnya Paman Bhagawan Jaladara dan kedua orang kawannya itu tidak mampu menandingi Bapa Guru, akan tetapi dia lalu mengeluarkan Pecut Bajrakirana! Melihat pecut pusaka itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan aku pun dilarang melawan. Kami berdua dipukuli oleh Paman Bhagawan Jaladara dan kedua orang kawannya yang kemudian pergi sambil mengancam kalau dalam satu bulan Bapa Guru belum juga mau menghadap ke Wirosobo, maka kami akan dibunuh."

"Hemm, tak kusangka sedemikian jauhnya Paman Bhagawan Jaladara menyeleweng dan tega terhadap kakak seperguruan sendiri," Puteri Wandansari berkata dengan nada suara mengandung kemarahan.

"Sesudah sembuh dari siksaan Paman Jaladara dan kawan-kawannya, aku diutus Bapa Guru untuk pergi menghadap Eyang Resi di sini dan menceritakan mengenai perbuatan Paman Bhagawan Jaladara. Mendengar laporanku, Eyang Resi mengatakan bahwa Pecut Bajrakirana itu memang dicuri oleh Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi lalu memberi kekuatan dan menyalurkan tenaga sakti kepadaku, kemudian beliau mengutus aku untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Aku pun berangkat ke Wirosobo dan ketika tiba di perbatasan Wirosobo, secara kebetulan sekali aku bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara."

"Ahh, dan berhasilkah andika merampas Pecut Bajrakirana, kakang Sutejo?"

Sutejo menghela napas panjang. Ia teringat akan Retno Susilo, tapi dia tak ingin bercerita tentang gadis itu. Maka jawabnya, "Aku berhasil merampas pecut itu."

"Akan tetapi kenapa pecut itu kini berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara kembali?"

"Dia bertindak curang, diajeng. Setelah mendapatkan Pecut Bajrakirana, aku lalu pergi ke Gunung Kawi menghadap Bapa Guru. Akan tetapi di sana aku melihat Bapa Guru sudah tertawan oleh Paman Jaladara yang datang dengan tiga orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan ada satu orang lagi yang sakti mandraguna, yaitu Tumenggung Janurmendo. Dia ini adalah senopati tangguh dari kadipaten Wirosobo. Paman Bhagawan Jaladara mengancam hendak membunuh Bapa Guru yang sudah ditawan kalau aku tidak menyerahkan kembali Pecut Bajrakirana kepadanya. Karena melihat keselamatan Bapa Guru terancam, terpaksa aku menyerahkan pecut pusaka itu dan mereka melepaskan Bapa Guru. Aku lalu mengamuk dan menyerang mereka. Akan tetapi mereka melarikan diri sambil membawa Pecut Bajrakirana. Aku tidak bisa mengejar karena harus menolong Bapa Guru yang terluka parah. Akhirnya, karena luka-lukanya itu, Bapa Guru meninggal dunia." Sutejo berhenti dan tampak berduka sekali, teringat akan kematian gurunya.

"Jahat! Jahat sekali mereka itu!" kata Puteri Wandansari. "Aku dapat menebak kelanjutan ceritamu. Engkau datang ke sini hendak menceritakan kepada Eyang Resi akan semua kejadian itu dan melihat aku dikeroyok mereka lalu membantuku."

"Benar sekali, diajeng. Nah, demikianlah riwayatku, riwayat seorang yang semenjak kecil dirundung malang. Bagaimana kalau sekarang andika yang ganti bercerita?"

"Riwayatku memang tidak sesedih riwayatmu, kakang Sutejo. Tetapi tidak ada peristiwa yang aneh dalam hidupku selama ini, kecuali peristiwa yang terakhir di tempat ini. Meski pun aku terlahir sebagai seorang wanita, tetapi Kanjeng Romo mengutamakan pendidikan kanuragan untukku dan aku memang senang mempelajarinya. Para senopati di Mataram membimbingku, akan tetapi aku masih merasa tak puas. Akhirnya mendengar akan nama besar perguruan Jatikusumo di pantai Laut Selatan daerah Pacitan, aku lalu berguru ke sana, dengan surat pengantar dari Kanjeng Romo. Aku diterima dengan baik dan jadilah aku seorang murid perguruan Jatikusumo, dibimbing sendiri oleh Bapa Guru Sindusakti yang menjadi kakak seperguruan dari mendiang gurumu dan Paman Bhagawan Jaladara. Setelah dinyatakan tamat belajar aku lalu kembali ke istana Mataram, sampai hari ini aku diutus oleh Kanjeng Romo untuk minta dukungan Eyang Resi dengan adanya keresahan karena banyak kadipaten dan kabupaten yang menunjukkan sikap memberontak terhadap Mataram. Kanjeng Romo sangat mengharapkan bantuan Eyang Resi Limut Manik, maka datanglah aku ke sini. Ketika aku sampai di sini, aku melihat Eyang Resi tanpa melawan diserang dan dipukuli oleh keempat orang itu. Tentu saja aku tidak dapat berpeluk tangan saja. Aku lalu menerjang mereka dan biar pun mereka berempat merupakan lawan berat, aku nekat melawan mereka mati-matian. Pada saat aku telah kewalahan sekali untunglah muncul andika, kakang Sutejo, sehingga akhirnya kita berdua dapat mengusir mereka."

"Andika memang hebat, diajeng. Aku kagum sekali kepadamu. Seorang diri andika berani menentang mereka."

"Tentu saja! Untuk membela Eyang Resi, aku tidak takut untuk mempertaruhkan nyawa!" kata Puteri Wandansari dengan sikap gagah.

"Sebelum ini aku tidak dapat membayangkan bahwa seorang puteri istana dapat bersikap seperti andika. Tentu perguruan Jatikusumo itu sebuah perguruan yang hebat sekali dan agaknya Bhagawan Sindusakti yang masih terhitung uwa guruku itu telah menggembleng para muridnya secara hebat sekali. Selain andika, diajeng, siapa saja murid perguruan Jatikusumo? Aku ingin sekali mengetahui tentang mereka karena bagaimana pun juga mereka adalah saudara-saudara seperguruanku."

"Perguruan yang dipimpin oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti memiliki banyak murid, tidak kurang dari seratus orang. Tetapi mereka adalah murid-murid tingkat rendahan dan mereka itu dibimbing oleh para murid Bapa Guru. Ada pun murid-murid yang digembleng oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti sendiri hanya ada lima orang termasuk aku yang merupakan murid termuda. Murid tertua bernama Maheso Seto, berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan kedua adalah Mbakyu Rahmini yang kini sudah menjadi isteri kakang Maheso Seto. Murid ketiga bernama Priyadi, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, sedangkah murid keempat bernama Cangak Awu yang berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Nah, mereka berempat itulah kakak-kakak seperguruanku, kakang Sutejo."

"Wah, melihat kedigdayaanmu. tentu para kakak seperguranmu itu memiliki kesaktian yang hebat, diajeng Wandansari."

"Memang begitulah, kakang Sutejo. Tingkat kepandaian mereka tentu saja lebih tinggi dari pada tingkatku, terutama sekali kakang Maheso Seto dan mbakyu Rahmini, mereka telah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam ilmu kanuragan. Kakang Maheso Seto terkenal dengan permainan pedangnya, mbakyu Rahmini terkenal dengan cambuknya, kakang Priyadi amat cerdik dan pandai bersilat keris dan kakang Cangak Awu yang keras, kasar dan jujur itu sangat tangguh dengan senjata tongkatnya. Aku hanya murid bungsu, paling kecil dari Bapa Guru Sindusakti."

"Tetapi sesudah andika menerima pedang dan kitab ilmu pedang Kartika Sakti, aku yakin bahwa andika tentu lebih tangguh dari pada mereka,” kata Sutejo. "Apakah Ilmu Pedang Kartiko Sakti dan Ilmu Pecut Bajrakirana tidak diajarkan di perguruan Jatikusumo sana, diajeng?"

"Setahuku tidak, kakang Sutejo. Kami para murid hanya pernah mendengar dari Bapa Guru bahwa perguruan Jatikusumo memiliki dua buah pusaka dan ilmu simpanan yang hanya dikuasai oleh Eyang Resi."

Waktu berlalu begitu cepatnya kalau tidak diperhatikan. Karena bercakap-cakap dengan asyiknya, kedua orang muda itu tidak merasa lagi betapa cepatnya sang waktu melayang dan tahu-tahu mereka telah mendengar ayam jantan berkokok, tanda bahwa fajar sudah menyingsing.

Sesudah terang tanah, mereka kemudian menggali kuburan di antara dua makam Cantrik Pungguk dan cantrik Penggik, lalu dengan sedehana tetapi khidmat mereka menguburkan jenazah Resi Limut Manik. Setelah selesai penguburan itu barulah keduanya beristirahat, Sutejo di ruangan depan sedangkan Puteri Wandansari di ruangan dalam. Mereka tidur sebentar untuk menghilangkan lelah dan kantuk serta memulihkan tenaga mereka.....

********************

Tiga orang mendaki puncak Semeru. Tiga orang muda, seorang wanita dan dua orang pria itu bergerak dengan cepat dan tangkas ketika mendaki puncak, menunjukkan bahwa mereka bertiga bukanlah orang-orang muda biasa, melainkan orang-orang muda yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.

Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun namun masih nampak muda seperti seorang gadis remaja, pakaiannya ringkas dan cukup mewah. Wajahnya cantik, matanya bersinar tajam dan di balik kecantikan wajahnya itu terkandung kekerasan yang menyinar keluar melalui pandang matanya. Sebatang cambuk hitam dililitkan di pinggangnya yang ramping itu. Bibirnya yang berbentuk manis itu membayangkan keangkuhan karena sadar akan kemampuan dirinya.

Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, wajahnya genteng dengan kumis melintang. Sebuah tahi lalat sebesar kedele menghias dagunya. Sepasang matanya juga mengeluarkan sinar tajam dan keras, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Orang ke tiga adalah seorang lelaki yang tubuhnya lebih tinggi besar lagi, seperti raksasa muda, usianya sekitar dua puluh empat tahun. Wajahnya tidak buruk, akan tetapi wajah ini membayangkan kekasaran dan kejujuran. Matanya yang lebar itu memandang dengan terbuka dan mendatangkan kesan bodoh.

Siapakah mereka yang mendaki puncak mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi itu. Mereka itu bukan lain adalah tiga orang murid perguruan Jatikusumo! Wanita itu bernama Rahmini, murid kedua dari Sang Bhagawan Sindusakti. Yang berjalan di sebelahnya adalah suaminya bernama Maheso Seto, murid pertama dari Bhagawan Sindusakti dan orang ketiga adalah Canggak Awu, murid keempat yang bertubuh seperti raksasa.

Dengan cepat mereka bertiga tiba di depan pondok tempat tinggal mendiang Resi Limut Manik. Mereka bertiga memandang ke kanan kiri dan ketiganya merasa heran melihat keadaan di situ demikian sunyi, tidak ada suara dan tidak nampak seorang pun cantrik, sedangkan pintu pondok itu tertutup. Padahal matahari sudah naik cukup tinggi sehingga agaknya tidak mungkin kalau penghuni pondok masih tidur.

"Kulonuwun...!" Maheso Seto berseru. Mereka bertiga memandang ke arah pintu pondok, namun tidak ada jawaban, juga pintu pondok tidak dibuka dari dalam.

"Sungguh aneh! Mereka semua pergi ke mana?" kata Rahmini sambil menghampiri pintu pondok dan menggunakan jari tangannya untuk mengetuk pintu.

"Tok-tok-tok-tok!" Beberapa kali ia mengulang ketukannya akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban.

Rahmini menjadi jengkel. Ia mengerahkan tenaga dalamnya lalu berseru, suaranya tinggi melengking nyaring menggetarkan seluruh pondok. "Kulonuwuuuunnn...!"

Suara yang melengking nyaring ini segera menggugah Sutejo dan Puteri Wandansari dari tidurnya. Sutejo yang terbangun lebih dulu dan dia meloncat bangun, berdiri lalu menuju ke pintu depan pondok sambil menjawab, "Monggoooo...!"

Pintu dibuka Sutejo dari dalam. Dengan rambut masih agak awut-awutan dia melangkah keluar, memandang kepada tiga orang itu dengan mata bertanya-tanya karena dia tidak mengenal ketiga orang itu.

Tiga orang itu pun menatap wajah Sutejo dengan heran. Maheso Seto segera menegur Sutejo dengan alis berkerut,

"Kisanak, siapa andika dan mengapa andika berada di sini? Di mana para cantrik dan di mana pula Eyang Resi Limut Manik?"

Sutejo juga mengerutkan alisnya. Dia merasa curiga. Jangan-jangan tiga orang ini adalah orang-orangnya Adipati Wirosobo juga, pikirnya.

"Siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah andika mencari Eyang Resi Limut Manik?"

Canggak Ayu yang wataknya kasar dan jujur itu langsung membentak, "Kisanak, kami ini adalah cucu-cucu murid Eyang Resi Limut Manik! Hayo katakan, siapakah andika dan di mana adanya Eyang Resi!"

Sutejo terkejut dan dia segera dapat menduga siapa adanya tiga orang ini. Orang tinggi besar seperti raksasa yang memegang sebatang tongkat ini tentu adalah murid perguruan Jatikusumo yang bernama Cangak Awu, ada pun pria dan wanita itu tentulah pasangan Maheso Seto dan Rahmini! Namun sebelum dia sempat menjawab, dari dalam keluarlah Puteri Wandansari.

"Kakang Maheso Seto! Mbakayu Rahmini dan Kakang Cangak Awu!" teriaknya girang melihat tiga orang itu.

Tapi Rahmini sudah mengerutkan alisnya ketika melihat Puteri Wandansari keluar dengan rambut awut-awutan dan jelas terlihat seperti orang baru bangun tidur. Juga rambutnya yang terurai itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita, tidak seperti dandanannya sebagai seorang laki-laki, sehingga pemuda tampan itu tentu sudah tahu bahwa Puteri Wandansari adalah seorang wanita.

"Diajeng Wandansari!" bentak Rahmini dengan suara lantang. "Apa yang kau lakukan di dalam pondok bersama pemuda itu?!"

Wajah puteri Wandansari segera berubah merah mendengar teguran yang mengandung nada menuduh dan mencela ini.

"Mbakyu Rahmini, sebelum aku memberi penjelasan, perkenalkan dulu, ini adalah kakang Sutejo, murid dari Paman Bhagawan Sidik Paningal di Gunung Kawi yang sekarang sudah meninggal dunia. Kebetulan sekali kami berdua sampai di sini pada saat berbareng, lalu kami berdua melihat dua orang cantrik sudah terbunuh, ada pun Eyang Resi Limut Manis sedang dikeroyok empat orang. Kami berdua segera turun tangan membantu sehingga empat orang itu terusir pergi, akan tetapi Kanjeng Eyang Resi mengalami luka-luka parah sehingga akhirnya meninggal dunia."

"Eyang Resi meninggal dunia?" terdengar suara Cangak Awu menggeledek. "Siapa empat orang jahat itu?"

"Kakang, Cangak Awu, para penyerang itu bukan lain adalah Paman Bhagawan Jaladara bersama tiga orang kawannya," kata puteri Wandansari.

"Paman Jaladara? Akan tetapi bagaimana mungkin Paman Bhagawan Jaladara dapat menyerang dan melukai Eyang Resi?" tanya Maheso Seto terheran-heran.

"Paman Bhagawan Jaladara memegaag Pecut Bajrakirana dan agaknya Eyang Resi tidak melakukan perlawanan," jawab Puteri Wandansari.

"Lanjutkan ceritamu, lalu bagaimana engkau sampai berdua saja dengan orang muda ini?" Rahmini mendesak, alisnya tetap berkerut.

"Mbakyu, kami berdua merawat dan menanti sampai Eyang Resi meninggal dunia. Sejak kemarin dan tadi malam kami tidak tidur, menjaga jenazah Eyang Resi dan pagi-pagi tadi barulah kami menguburnya seperti yang beliau pesankan. Karena kelelahan maka kami mengaso dan tidur."

"Hemmm, sungguh tidak pantas! Benar-benar melanggar kesusilaan! Seorang gadis tidur berdua dalam sebuah pondok kosong!" Rahmini mencela dan pandang matanya kepada Sutejo dan Puteri Wandansari jelas membayangkan prasangka bahwa kedua orang muda itu tentu telah melakukan hal yang tidak senonoh.

"Mbakyu Rahmini! Kami tidur terpisah, dia di ruangan depan dan aku di ruangan dalam!" bantah Puteri Wandansari. Suaranya meninggi.

"Akan tetapi tetap saja tidak patut bila seorang gadis berdua saja dengan seorang pria di dalam sebuah pondok kosong! Seorang murid Jatikusumo harus tahu aturan dan pantang melanggar pantangan!" kembali Rahmini menyerang dengan galaknya.

Puteri Wandansari memandang dengan mata bersinar-sinar bagaikan mengeluarkan api karena marah. Kalau yang bicara itu bukan kakak seperguruannya, tentu telah dimaki dan diserangnya karena ucapannya itu sungguh merupakan dugaan yang keji dan kotor.

"Mbakyu Rahmini! Tahan sedikit ucapanmu yang menuduh itu. Aku bukan hanya murid Jatikusumo, akan tetapi juga puteri Kanjeng Romo Sultan yang dapat menjaga martabat dan kesusilaan! Dan kakang Sutejo bukan orang lain, melainkan murid Paman Bhagawan Sidik Paningal, jadi terhitung masih kakak seperguruanku sendiri. Kami berdua tak pernah melakukan hal-hal yang melanggar peraturan mau pun kesusilaan. Mbakyu Rahmini patut mengetahui hal itu!"

Rahmini masih cemberut. "Akan tetapi..."

"Sudahlah, untuk apa ribut-ribut? Aku percaya bahwa diajeng Wandansari dapat menjaga diri dan kehormatannya. Sekarang Eyang Resi sudah meninggal dunia, perlu kita selidiki tentang pusaka-pusaka itu!" kata Maheso Seto yang mencegah isterinya bicara lagi agar tidak memanaskan suasana. Kemudian sambil memandang ke arah Puteri Wandansari, Maheso Seto melanjutkan,

"Diajeng Wandansari, sebelum Eyang Resi meninggal dunia, tentu beliau meninggalkan pesan kepadamu, terutama mengenai dua buah pusaka milik beliau, yaitu Pedang Sakti Kartika Sakti dan Pecut Sakti Bajrakirana."

"Kakang Maheso Seto, seperti yang telah kuceritakan tadi, Pecut Bajrakirananya berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara dan dibawanya lari pergi," kata Puteri Wandansari.

"Dan kitabnya? Kitab pelajaran Ilmu Cabuk Bajrakirana?" tanya Maheso Seto.

Puteri Wandansari tidak menjawab melainkan menoleh dan memandang kepada Sutejo. Dengan sikap tenang Sutejo berkata kepada Maheso Seto,

"Eyang Guru Resi Limut Manik sudah berkenan memberikan kitab pelajaran Ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku dan menugaskan aku untuk merampas Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara."

"Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitab pelajarannya?"

"Pedang Kartiko Sakti berikut kitab pelajarannya telah diberikan kepadaku oleh mendiang Eyang Resi, Kakang Maheso Seto," kata Puteri Wandansari.

"Serahkan semua itu kepada kami!" bentak Rahmini dengan galak.

"Sutejo, engkau harus menyerahkan kitab pelajaran ilmu Pecut Sakti Bajrakirana kepada kami!" kata Maheso Seto kepada Sutejo.

"Mendiang Eyang Resi telah menyerahkannya kepadaku, mengapa kini harus kuserahkan kepada andika? tanya Sutejo ragu.

"Karena kitab itu harus diserahkan kepada Bapa Guru Sindusakti. Kitab itu adalah benda pusaka perguruan Jatikusumo. Begitu juga engkau, diajeng Wandansari. Pedang pusaka Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya harus kau serahkan kepada kami untuk dihaturkan kepada Bapa Guru. Kami bertiga datang ke sini memang diutus oleh Bapa Guru untuk minta dua buah pusaka dan kitab-kitanya itu dari Eyang Guru."

Puteri Wandansari mengerutkan alisnya dan otomatis tangan kanannya meraba gagang pedang Kartiko Sakti yang tergantung di punggungnya.

"Maaf, kakang Maheso Seto. Pedang pusaka ini telah diberikan kepadaku oleh mendiang Eyang Resi, maka terpaksa aku menolak permintaanmu. Biarlah kelak aku sendiri yang akan melaporkan kepada Bapa Guru dan beliau tentu dapat mengerti."

"Diajeng Wandansari! Berani engkau menentang kakak-kakak seperguruanmu?"

"Tentu aku tidak berani menentang, akan tetapi pedang pusaka ini adalah hakku, mbakyu Rahmini. Eyang Resi sudah memberikan kepadaku berikut kitab pelajarannya, maka tidak akan kuserahkan kepada siapa pun."

"Kalau bagiku aku akan merampasnya dari tanganmu!" bentak Rahmini dan dia pun telah melangkah maju, membuka pasangan untuk menyerang adik seperguruannya itu.

"Sutejo, serahkan kitab pelajaran Ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku!" seru Maheso Seto sambil menghampiri Sutejo dan dia pun sudah siap untuk menyerang pemuda itu. "Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"

Pada saat itu Cangak Awu maju ke depan dan berkata, "Kakang Maheso Seto, mbakayu Rahmini, harap segera mundur dan ingatlah. Kita adalah saudara-saudara seperguruan sendiri. Adimas Sutejo sebagai murid Paman Bhagawan Sidik Paningal adalah saudara seperguruan kita juga. Tidak baik mempergunakan kekerasan di antara saudara sendiri. Akan ditertawakan orang bahwa perguruan Jatikusumo memiliki murid-murid yang tidak dapat hidup rukun! Biarlah urusan ini kita laporkan saja kepada Bapa Guru dan biar beliau yang memutuskan."

Ucapan Cangak Awu itu menyadarkan Maheso Seto. "Hemmm. kalau tidak ada adimas Cangak Awu yang mengingatkanku, tentu aku sudah menghajarmu, Sutejo!" Dia menoleh kepada isterinya dan berkata, "Sudahlah, adimas Cangak Awu benar, kita laporkan saja kepada Bapa Guru. Mari kita pergi!"

Rahmini mengerutkan alisnya. Sejenak ia menatap wajah Puteri Wandansari dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia lalu membalikkan tubuh dan mengikuti suaminya yang sudah melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

Cagak Awu memandang kepada Puteri Wandansari. "Diajeng Wandansari, aku pamit."

"Silakan, kakang Cangak Awu, dan selamat jalan. Tolong sampaikan sembah hormatku kepada Bapa Guru," jawab Puteri Wandansari.

Orang tinggi besar itu mengangguk dan dia pun membalikkan tubuh lalu melangkah lebar mengejar kedua orang kakak seperguruannya.

Setelah bayangan tiga orang itu menghilang di tikungan depan, Sutejo memandang Puteri Wandansari kemudian berkata, "Jadi itukah kakak-kakak seperguruanmu, murid-murid Jatikusumo."

Puteri Wandansari juga memandang wajah Sutejo dan dia menghela napas. "Sebetulnya mereka adalah orang-orang gagah perkasa, akan tetapi memang Kakang Maheso Seto, terutama sekali Mbakayu Rahmini memiliki watak yang amat keras."

"Tadi andai kata mereka benar-benar menyerang kita, lalu apa yang akan kau lakukan, diajeng Wandansari?"

"Hemm, tentu saja aku akan melawannya semampuku. Mungkin aku tidak akan menang melawan Mbakayu Rahmini, akan tetapi aku harus melawan karena aku mempertahankan hakku dan aku tidak merasa bersalah. Dan bagaimana dengan andika, kakang Sutejo?"

"Aku? Aku tidak tahu, aku masih bingung. Tentu aku pun tidak akan mampu menandingi kakang Maheso Seto. Sebagai murid pertama dari Uwa Guru Sindusakti, tentu tingkat ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali."

"Jadi andika akan menyerahkan kitab Bajrakirana begitu saja kepada kakang Maheso Seto?"

"Entahlah, akan tetapi peristiwa tadi sungguh membuat hatiku merasa tidak enak, diajeng Wandansari. Bagaimana pun juga aku bukanlah murid perguruan Jatikusumo walau pun guruku adalah adik seperguruan ketua perguruan Jatikusumo. Aku merasa seperti orang luar, tidak seperti andika yang berurusan dengan keluarga seperguruan sendiri. Bisa saja mereka menganggap aku tidak berhak memiliki Bajrakirana.”

"Tidak! Aku yang menjadi saksi, kakang Sutejo! Aku yang menyaksikan ketika mendiang Eyang Resi menyerahkah kitab Bajrakirana padamu dan aku akan menerangkan kepada siapa pun juga, termasuk kepada Bapa Guru, bahwa kitab Bajrakirana berikut pecutnya telah diberikan kepadamu dan andika berhak memilikinya!"

"Sekarang apa yang akan andika lakukan, diajeng?"

"Aku akan pulang ke kota raja, kakang Sutejo. Aku akan melapor kepada Kanjeng Romo tentang wafatnya Eyang Resi, kemudian aku akan tekun melatih diri dengan Ilmu Pedang Kartika Sakti. Dan andika sendiri, kakang Sutejo?"

"Kalau saja Pecut Bajrakirana sudah terampas olehku, aku pun akan pergi ke Mataram karena aku ingin menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti Sultan. Akan tetapi karena pecut pusaka itu masih berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara, maka aku harus mencari dan merampas dulu pecut itu, Setelah pusaka itu berada di tanganku, baru aku akan pergi ke Mataram dan menghambakan diriku."

"Baik, kakang Sutejo. Kanjeng Romo pasti akan senang sekali menerimamu dan memberi kedudukan yang sesuai dengan kemampuanmu. Aku akan menerangkan kepada Kanjeng Romo bahwa engkau masih terhitung kakak seperguruanku dan pantas untuk menjadi seorang senopati."

"Senopati? Ahh, andika bergurau, diajeng! Orang seperti aku ini mana pantas menjadi seorang senopati?"

"Mengapa tidak, kakang Sutejo? Aku tahu bahwa andika sekarang sudah memiliki tingkat ilmu kanuragan yang cukup hebat. Andika hanya perlu mempelajari ilmu perang, yakni cara-cara memimpin pasukan untuk maju perang. Kalau andika sudah mempelajari ilmu perang, andika akan menjadi seorang senopati yang boleh diandalkan."

Sutejo tersipu, merasa matu dan merasa akan kekurangan pada dirinya, tetapi hatinya gembira sekali mendengar ucapan puteri itu.

"Nah sekarang aku pergi dahulu, kakang. Selamat tinggal dan mudah-mudahan andika akan cepat berhasil merampas kembali Pecut Bajrakirana."

"Selamat jalan dan selamat berpisah, diajeng. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali."

Gadis itu lalu melangkah pergi, kemudian mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Sutejo.

Setelah bayangan itu lenyap, Sutejo menarik napas panjang, pikirannya menggerayangi hati sendiri lalu dia mencela diri sendiri. "Bodoh kau! Engkau ibarat katak merindukan bulan. Sadarlah siapa engkau dan siapa dia!"

Dia segera mengusir semua gagasan dan bayangan itu, kemudian pergi ke kandang di belakang pondok, mengeluarkan tiga ekor kerbau milik mendiang Resi Limut Manik dan dituntunnya tiga ekor kerbau itu turun dari puncak, Di pondok itu kini tidak ada siapa pun juga. Kalau kerbau-kerbau itu dia tinggalkan, tentu akan mati kelaparan atau diambil orang yang tidak berhak. Dari pada begitu, lebih baik dia bawa turun puncak dan dia berikan kepada para petani miskin yang membutuhkannya.

Ketika tiba di dusun pertama di lereng Semeru, Sutejo lalu menyerahkan tiga ekor kerbau itu kepada keluarga miskin yang menerimanya dengan gembira sekali. Setelah itu Sutejo melanjutkan perjalanan menuju ke Wirosobo karena dia tahu bahwa dia harus pergi ke kadipaten itu untuk mencari Bhagawan Jaladara.....

********************

Iring-iringan pengantin itu menarik perhatian orang, terutama anak-anak banyak yang mengikutinya ketika melewati dusun itu. Rombongan itu adalah rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong ke tempat tinggal calon suaminya.

Di depan rombongan berjalan lima orang laki-laki tinggi besar dan gagah sekali dengan golok tergantung di pinggang. Mereka adalah para pengawal yang menjaga keselamatan rombongan yang terdiri dari dua puluh orang lebih itu. Serombongan penabuh gamelan berjalan di belakang sambil menabuh gamelan sehingga iring-iringan itu berjalan meriah. Selebihnya adalah sanak keluarga pengantin wanita dan para penjemput yang diutus pengantin pria untuk menjemput dan memboyong pengantin wanita. Kalau ada pengantin wanita dari dusun diboyong orang, hal itu berarti bahwa pengantin prianya tentu seorang bangsawan atau hartawan.

Pengantin wanitanya duduk di dalam sebuah joli yang dipikul empat orang. Biar pun ada suara gamelan, akan tetapi lapat-lapat terdengar tangis sedih keluar dari dalam tandu (joli). Hal ini pun bukan suara aneh karena sebagian besar pengantin wanita menangis ketika diboyong, menangis karena harus meninggalkan ayah bundanya, menangis karena gelisah menghadapi kehidupan baru yang tak dikenal sebelumnya, atau menangis karena ini merupakan suatu kepantasan. Bahkan akan menjadi pergujingan orang bila pengantin wanita tidak menangis! Karena itulah suara tangis ini tidak diperhatikan orang.

Ketika rombongan itu keluar dari dusun, mereka berpapasan dengan seorang dara yang bepakaian ringkas dan membawa pedang di punggung. Dara cantik jelita yang bermata tajam dan mulutnya berbibir menggairahkan. Ia adalah Retno Susilo yang baru saja pergi meninggalkan tempat pertapaan gurunya, Nyi Rukmo Petak, sesudah dia memperdalam ilmunya.

Selama seratus hari dia melatih diri dengan dan ilmu baru yang merupakan ilmu simpanan gurunya, yaitu Aji Gelap Sewu dan Aji Wiso Sarpo yang mengandung hawa beracun. Setelah menguasai dua macam ilmu baru ini ia lalu meninggalkan gurunya, akan tetapi ia mendapatkan sebuah tugas.

"Retno, sekali ini aku minta balas jasa darimu. Sudah banyak aku mengajarkan ilmu dan kini aku minta agar engkau membantuku membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Dengan kepandaianmu sekarang ini, aku percaya engkau akan mampu membunuh orang yang amat kubenci itu."

Retno Susilo mengerutkan alis. Sungguh tugas yang amat berat. Membunuh seseorang! "Mengapa orang itu harus dibunuh, Nyi Dewi? Dan siapakah dia?"

"Tidak perlu engkau tahu mengapa aku ingin supaya engkau membunuhnya. Namanya Harjodento dan ia adalah ketua dari perguruan silat Nogo Dento yang berpusat di Lembah Bengawan Solo di daerah Ngawi. Jika engkau dapat, sekalian bunuh juga isterinya yang bernama Padmosari. Atau kalau tidak dapat kedua-keduanya, bunuh seorang di antara mereka sudah cukuplah bagiku. Inilah tugas yang kuberikan kepadamu, Retno, dan harus kau lakukan demi untuk membalas budi yang selama ini kulimpahkan kepadamu."

Berat sekali rasa hati Retno Susilo menerima tugas ini. Ia harus membunuh orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak diketahui mengapa ia harus membunuh mereka, apa dosa mereka. Permusuhan gurunya dengan mereka pun tidak dia ketahui. Akan tetapi karena gurunya tadi menyebut-nyebut tentang budi, ia pun tidak kuasa untuk membantah atau menolak.

"Baik, Nyi, Dewi, akan kulaksanakan tugas itu."

"Akan tetapi berhati-hatilah! Dia memiliki banyak murid dan anak buah. Biar pun demikian, dia seorang yang gagah dan kalau engkau menantangnya untuk bertanding satu lawan satu, dia pasti tidak akan mau melakukan pengeroyokan."

Demikianlah, Retno Susilo meninggalkan gurunya dan pada hari itu ia berpapasan dengan rombongan pengantin wanita yang sedang diboyong menuju ke rumah calon suaminya di dusun lain.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar