Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 09

"Tar-tar-tar...!"

"Jika Paman Bhagawan hendak memaksa maka terpaksa kami akan menghalangi!" kata Penggik.

Pemuda remaja berusia enam belas tahun ini berdiri dengan dua kaki terpentang lebar di depan pintu menghalangi empat orang itu untuk memasuki pondok. Pungguk juga sudah melompat ke dekat adiknya dan dua orang kakak beradik itu kini berjaga di depan pintu dengan sikap menantang dan tabah, sedikit pun tidak merasa takut.

Melihat sikap dua orang pemuda remaja itu, tentu saja Bhagawan Jaladara menjadi marah bukan main! Dia merasa dihina oleh dua orang cantrik, di depan tiga orang rekannya lagi.

"Keparat! Kalian sudah bosan hidup!" Pecut Bajrakirana di tangannya bergerak ke atas, meledak dua kali di udara lalu meluncur ke bawah, menyambar ke arah kepala dua orang cantrik muda itu.

Pecut Bajrakirana ialah sebuah senjata pusaka yang sakti, dan sekarang digerakkan oleh tangan Bhagawan Jaladara, seorang yang sakti mandraguna, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya serangan itu. Sia-sia saja kedua orang cantrik itu hendak mengelak. Kepala mereka telah disambar dan dilecut.

"Tarrr...! Tarrr...!"

Dua tubuh remaja itu terpelanting dan roboh tak bergerak lagi, kepala mereka retak-retak, darah merah dan otak putih berceceran di atas tanah!

"Duh Jagad Dewa Bathara!" Tiba-tiba terdengar seruan halus dan Resi Limut Manik telah berdiri di ambang pintu, matanya memandang ke arah tubuh dua orang cantriknya dengan mata sayu. Kemudian mata itu menyambar ke arah Bhagawan Jaladara dan dia menegur. "Jaladara, apa yang kau perbuat ini? Andika telah melanggar pantangan, menggunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk membunuh!"

"Bapa Resi, tak perlu banyak cakap lagi. Lihat kenyataan bahwa akulah pemegang Pecut Bajrakirana, maka andika harus menuruti semua perintahku! Cepat serahkan kitab Aji Bajrakirana dan keris pusaka Kartika Sakti berikut kitab pelajaran ilmu keris itu! Kami membutuhkan untuk memperkuat perguruan Jatikusumo yang akan kami dirikan kembali."

"Aku menghormati Pecut Bajrakirana karena pusaka itu dulu adalah pusaka peninggalan guruku, karenanya aku tidak akan melawan. Akan tetapi untuk menyerahkan kitab-kitab dan pusaka yang kau minta, hal itu jelas tidak dapat kulakukan. Jaladara, andika sudah membunuh dua orang cantrik yang tidak berdosa, semoga Hyang Widhi mengampunimu, sekarang sebaiknya kalian pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi."

"Bapa Resi, kalau tidak andika berikan barang-barang yang kuminta, terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan!" bentak Bhagawan Jaladara.

Bukan saja dia mengandalkan Pecut Bajrakirana, tetapi dia juga mengandalkan bantuan teman-temannya untuk menghadapi Resi Limut Manik yang sudah tua renta itu, terutama hendak mengandalkan Tumenggung Janurmendo yang sakti mandraguna.

"Hemm, kekerasan yang bagaimana kau maksudkan, Jaladara?" tanya Sang Resi dengan tenang dan sabar.

"Membunuhmu dan merampas kitab-kitab berikut pedang pusaka itu!" bentak Bhagawan Jaladara.

Resi Limut Manik tersenyum dan melipat kedua lengan di depan dada. "Mati dan hidupku berada di Tangan Hyang Widhi, Jaladara. Aku tetap tidak akan memberikan semua itu kepadamu karena engkau tidak berhak memilikinya."

Bhagawan Jaladara menjadi marah bukan main. Dia memberi isyarat kepada tiga orang rekannya. Tiga orang itu maklum akan isyarat yang diberikan, maka mereka bertiga pun segera mencabut senjata masing-masing.

"Serang...! Bunuh...!" teriak Bhagawan Jaladara dan dia sendiri langsung menggerakkan Pecut Bajrakirana.

"Tar-tar-tarrr...!"

Tiga kali pecut itu meledak dan menyambar ke arah kepala dan tubuh Sang Resi. Ujung pecut itu dengan tepat mengenai sasaran. Terdengar kain robek dan tampak wajah serta dada Sang Resi mengeluarkan darah dari guratan memanjang bekas lecutan pecut tadi. Tongkat hitam di tangan kiri Bhagawan Jaladara menyusul tiba dan menusuk ke arah dadanya.

"Desss...!"

Tongkat itu tepat mengenai ulu hati. Golok besar di tangan Ki Warok Petak juga sudah menyambar sehingga mengenai pundak Sang Resi, disusul keris di tangan Ki Baka Kroda menusuk perutnya dan keris pusaka di tangan Tumenggung Janurmendo juga menyambar dan menusuk lambungnya.

Tubuh Sang Resi penuh luka, akan tetapi kakek itu masih berdiri tegak dan tidak roboh, bahkan senyumnya tak pernah menghilang dari mukanya. Melihat ini Bhagawan Jaladara terbelalak, demikian pula ketiga orang rekannya sehingga mereka menahan senjata dan hanya memandang dengan heran dan jeri.

"Manusia-manusia berhati iblis yang keji!" Tiba-tiba terdengar bentakan suara yang halus dan nyaring, lalu muncullah seorang pemuda yang wajahnya tampan sekali, pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang bangsawan, usianya sekitar dua puluh tahun dan pemuda ini telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Kemudian, sekali menggerakkan kakinya pemuda itu telah melompat dan melindungi Resi Limut Manik yang masih berdiri bersedekap dengan wajah dan tubuh mandi darah serta pakaian robek-robek!

Bhagawan Jaladara menjadi marah setelah melihat munculnya seorang pemuda tampan yang melindungi Resi Limut Manik. Dia menyimpan Pecut Bajrakirana lantas menyerang dengan tongkatnya yang menyambar sangat dahsyatnya ke arah kepala pemuda tampan itu.

"Bocah lancang, berani engkau mencampuri urusan kami?!"

Begitu melihat sambaran tongkat hitam itu, si pemuda yang sudah waspada itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya. Dia mengelebatkan pedangnya menangkis.

"Trangggg...!"

Pedang dan tongkat bertemu dan Bhagawan Jaladara terkejut sekali karena tongkatnya tergetar hebat, membuktikan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang sangat kuat. Akan tetapi pada saat itu Tumenggung Janurmendo sudah turun tangan. Keris pusaka Jalu Sarpo menyambar dan menusuk ke arah dada pemuda itu.

Namun si pemuda tampan juga dapat bergerak dengan gesit dan mantap. Dia menggeser kakinya sehingga tubuhnya menjadi miring, mengelak dari tusukan keris dan dari samping pedangnya membabat ke arah leher Tumenggung Janurmendo! Serangan balasan ini pun dapat dielakkan oleh Tumenggung yang digdaya itu. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tidak mau tinggal diam dan mereka juga sudah menerjang dan menyerang dengan senjata masing-masing.

Ternyata pemuda itu memang tangguh sekali. Biar pun dia dikeroyok empat orang yang semuanya merupakan jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, dia tidak menjadi gentar. Dia memutar pedangnya sedemikian cepat dan kuatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar ke sana sini. Akan tetapi, karena dia dikepung dari empat jurusan, akhirnya dia pun hanya dapat menangkis dan tidak mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan empat orang pengeroyoknya!

Bhagawan Jaladara yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Jika mereka berempat tidak mampu mengalahkan Resi Limut Manik, itu tidaklah aneh dan tidak akan membuat dia menjadi penasaran. Nyatanya Resi Limut Manik tidak melakukan perlawanan berkat adanya Pecut Sakti Bajrakirana. Namun sekarang mereka berempat tidak mampu segera merobohkan seorang pemuda remaja yang mereka keroyok, hal ini sungguh membuat dia menjadi penasaran bukan main.

Diam-diam dia mengerahkan Aji Gelap Musti di tangan kirinya dan sesudah mengambil ancang-ancang, dia berseru nyaring sambil mendorong dengan pukulan Aji Gelap Musti.

"Makanlah Aji Gelap Musti!" teriaknya dan ketika tangan kirinya memukul, dari tangan kiri itu keluar angin pukulan yang amat dahsyat bagaikan kilat menyambar.

Akan tetapi pemuda itu cepat menekuk lututnya menyambut pukulan itu dengan pukulan yang sama!

"Wuuuuttt...! Desss...!”

Dua tenaga sakti Aji Gelap Musti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang. Bhagawan Jaladara menjadi terkejut setengah mati mendapat kenyataan betapa pemuda itu menyambut pukulannya dengan aji yang sama.

"Siapa andika...?" tanyanya dan ketiga orang kawannya juga menghentikan penyerangan mereka.

"Siapa adanya aku tidaklah penting kau ketahui!" jawab pemuda itu sambil melintangkan pedangnya di depan dada. "Yang jelas siapa adanya aku, aku akan tetap menentangmu. Andika seorang berpakaian pendeta, akan tetapi sepak terjangmu seperti penjahat yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang ini dan mengeroyok seorang tua renta yang mengalah dan tidak mau melawan kalian!"

"Keparat, engkau pun bosan hidup!" Bhagawan Jaladara membentak lalu memberi isyarat kepada tiga orang rekannya untuk menyerang lagi. Pemuda itu memutar pedangnya dan menyambut serangan mereka dengan berani meski dia segera terkepung dan terdesak.

Pada saat itu pula tampak sesosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pemuda lain. Pemuda itu adalah Sutejo yang baru datang. Melihat betapa eyang gurunya berdiri bersedakap dalam keadaan mandi darah, sementara dua orang cantrik tergeletak tak bernyawa dan seorang pemuda berpedang sedang dikeroyok dan didesak Bhagawan Jaladara dengan tiga orang rekannya, Sutejo menjadi marah sekali. Tanpa bertanya pun dia dapat menduga bahwa empat orang itu tentu datang mengacau di padepokan Resi Limut Manik, maka dia pun segera melolos kain ikat kepalanya lalu melompat ke tengah pertempuran.

"Bhagawan Jaladara, di mana-mana engkau mendatangkan kekacauan!" serunya dan kain ikat kepala berwarna biru itu segera berubah menjadi gulungan tangan sinar biru ketika dia menggerakkannya. Sinar biru itu menyerang ke arah kepala Bhagawan Jaladara.

Bhagawan Jaladara terkejut sekali ketika dia melihat bahwa penyerangnya adalah Sutejo, pemuda yang sakti mandraguna itu. Dia cepat mengelak sambil melompat mundur. Baru menghadapi pemuda tampan itu saja dia dan tiga orang rekannya belum dapat menang, apa lagi kini muncul Sutejo. Padahal Resi Limut Manik juga belum tewas.

Kini keadaan pihaknya yang terancam bahaya, maka dia segera berseru memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur. Mereka berloncatan dan di lain saat mereka telah melompat ke atas punggung kuda masing-masing kemudian melarikan diri meninggalkan puncak itu.

Sutejo sudah melompat untuk melakukan pengejaraan, akan tetapi mendadak terdengar suara Resi Limut Manik. "Sutejo, tidak perlu mengejar mereka"

Sutejo menahan langkahnya dan membalikkan tubuh memandang eyang gurunya. Dia melihat tubuh kakek itu terkulai dan bagaikan dua orang berlomba, dia dan pemuda yang tampan itu cepat sekali sudah meloncat ke depan lantas menyambut tubuh kakek yang terkulai itu sehingga tidak sampai terjatuh.

"Mari kita bawa eyang masuk ke pondok," kata pemuda itu.

Sutejo merasa heran sekali. Pemuda itu bersuara lembut namun di balik kelembutannya terkandung wibawa yang kuat, seakan-akan pemuda itu sudah biasa memerintah. Tanpa berkata sesuatu dia pun membantu pemuda itu memondong tubuh Resi Limut Manik dan membawanya masuk ke dalam pondok, merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas dipan.

Melihat luka-luka di wajah dan tubuh Resi Limut Manik, pemuda itu kembali memerintah kepada Sutejo. "Ki sanak, cepat carilah buah pace, kulit pohon dan akarnya, juga Widoro Upas dan Biji Jarak untuk mengobati luka-luka yang diderita eyang guru!"

Kembali Sutejo merasa heran. Pemuda tampan ini menyebut eyang guru kepada Resi Limut Manik! Dan dia diperintah begitu saja, anehnya dia tidak ingin membantah karena maklum bahwa apa yang diperintahkan itu benar dan perlu sekali.

Akan tetapi Resi Limut Manik telah menggerakkan tangan kirinya. "Tak perlu tergesa-gesa mengobati aku. Yang penting angkatlah jenazah dua orang cantrik itu dan uruslah mereka baik-baik. Cucunda Puteri, andika bantulah dia mempersiapkan pemakaman kedua orang cantrik, aku ingin mereka dikubur di belakang pondok."

Sutejo terbelalak memandang kepada pemuda itu. Cucunda Puteri? Jadi pemuda itu adalah seorang gadis? Seorang puteri malah? Pantas ketampannya luar biasa!

Melihat keheranan Sutejo, Resi Limut Manik bangkit duduk dibantu dua orang pemuda itu dan setelah duduk bersila dia bekata, "Kalian belum saling mengenal? Sutejo, dara yang menyamar pria ini ialah Gusti Puteri Wandansari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram dan dia adalah murid perguruan Jatikusumo, murid dari Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidal. Cucunda Puteri, pemuda ini adalah Sutejo, murid Bhagawan Sidik Paningal yang bertapa di Gunung Kawi."

Puteri Wandansari dan Sutejo saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dengan penuh perhatian lalu keduanya saling memberi hormat dengan membungkuk. Akan tetapi Puteri Wandansari segera mencurahkan perhatiannya lagi kepada Resi Limut Manik.

"Akan tetapi, Eyang. Eyang telah menderita luka-luka parah yang harus segera dirawat! Biarlah... kakang Sutejo yang mengurus dua jenazah itu dan aku sendiri akan mencarikan daun-daun obat untuk Eyang agar tidak terlambat..."

Resi Limut Manik menggoyang tangannya. "Memang telah terlambat, cucunda Puteri. Aku sudah merasa bahwa luka-lukaku tidak dapat disembuhkan lagi. Pecut Sakti Bajrakirana sudah menghantam kepala dan dadaku. Masih baik aku dapat bertahan dan tidak tewas seketika. Sekarang jangan kalian ragu dan lakukan saja apa yang kuperintahkan. Kalian berdua cepat urus penguburan dua jenazah cantrik itu, sesudah itu barulah kalian datang menghadap ke sini karena ada sesuatu yang sangat penting hendak kubicarakan dengan kalian."

Suara itu lemah dan lembut, namun mengandung pesan yang tidak dapat dibantah lagi. Dua orang muda itu saling pandang, lalu mengangguk dan keduanya segera keluar untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Resi Limut Manik.

Dua orang itu bekerja keras. Diam-diam Sutejo merasa heran dan juga kagum. Puteri itu ternyata cekatan dan meski pun dia seorang wanita, namun dia membantunya menggali lubang. Padahal dia bukan wanita biasa melainkan seorang puteri keturunan raja besar! Mereka bekerja tanpa kata-kata sehingga tugas itu bisa mereka selesaikan dengan cepat.

Matahari sudah condong ke barat ketika mereka kembali menghadap Resi Limut Manik. Mereka mendapatkan kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi pada saat mereka tinggalkan. Tadi Puteri Wandansari sudah menyelinap ke dapur dan membuatkan bubur untuk eyang gurunya, dan kini membawa bubur itu dalam mangkok ketika ia menghadap bersama Sutejo.

Resi Limut Manik membuka matanya ketika dua orang muda itu datang menghadap.

"Eyang, silakan eyang dahar bubur ini dulu supaya tubuh eyang menjadi kuat," kata sang puteri sambil menyerahkan semangkok bubur itu.

Resi Limut Manik tersenyum memandang semangkok bubur yang masih mengepul panas itu!

"Terima kasih, puteri. Andika memang seorang gadis yang baik sekali, terima kasih." Dia lalu makan bubur itu dengan perlahan dan bertanya, "Bagaimana dengan tugas kalian?"

"Kami berdua sudah menguburkan dua jenazah itu sebagaimana mestinya, Eyang." kata Sutejo.

"Bagus. Aku girang mendengar itu. Dan sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian datang ke sini. Engkau lebih dulu, Sutejo. Ceritakan mengapa engkau datang ke sini."

"Eyang, setelah dulu saya meninggalkan Eyang, saya bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara dan setelah bertanding, akhirnya saya dapat merampas Pecut Sakti Bajrakirana. Kemudian pecut itu saya bawa pulang ke Gunung Kawi dan di sana saya melihat Bapa Guru sudah ditodong oleh Paman Bhagawan Jaladara yang datang bersama tiga orang temannya tadi. Dia mengancam akan membunuh Bapa Guru bila saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu. Karena melihat Bapa Guru terancam, terpaksa pecut itu saya serahkan. Mereka lalu pergi membawa pecut dan meninggalkan Bapa Guru dalam keadaan terluka berat. Akhirnya Bapa Guru meninggal dunia karena luka-lukanya itu. Sesudah mengurus penguburannya, saya lalu pergi ke sini untuk melaporkan semua itu kepada Eyang dan mendapatkan Eyang terluka parah, kedua cantrik tewas dan... Gusti Puteri ini dikeroyok mereka berempat."

"Kakang Sutejo, Jangan menyebut aku Gusti Puteri. Bagaimana pun juga kita ini masih kakak beradik seperguruan. Cukup menyebutku adik atau diajeng saja."

"Baiklah dan terima kasih atas kehormatan itu, diajeng Wandansari,"

"Sadhu-Sadhu-Sadhu...!" Resi Limut Manik berucap sambil menghela napas panjang.

"Memang kebaikan dan keburukan saling menimpali dan saling mendorong, tak akan ada kebaikan kalau tidak ada keburukan, tidak akan ada kebajikan kalau tidak ada kejahatan. Akan tetapi di perguruan Jatikusumo muncul Jaladara, sungguh akan membuat suram dan ternoda nama perguruan kita. Apa pesan Sidik Paningal kepadamu, Sutejo?"

"Bapa Guru meninggalkan pesan dan tugas kepada saya, Eyang. Pertama saya harus mencari kemudian merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana, dan kedua saya harus mempergunakan Pecut Bajrakirana untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, lalu saya harus berbakti kepada nusa bangsa dengan menghambakan diri kepada Mataram."

"Bagus, semoga Hyang Widhi memberi bimbingan kepadamu sehingga engkau dapat melaksanakan semua tugas itu dengan baik. Kini giliranmu Cucunda Puteri. Bagaimana andika dapat kebetulan datang ke sini pada saat Jaladara sedang mengacau? Apa yang mendorong andika datang berkunjung ke sini?"

"Pertama-tama saya datang berkunjung untuk menengok keadaan Eyang Resi karena sudah lama saya tidak datang menghadap. Kedua kalinya, saya diutus Kanjeng Romo untuk datang berkunjung,"

"Hmm..., Kanjeng Romomu mengutus andika datang ke sini? Apa yang beliau kehendaki dariku Puteri?"

"Pertama-tama Kanjeng Romo mengirim salam dan hormat untuk dihaturkan pada Eyang Resi."

"Jagad Dewa Bathara...! Salam itu kuterima dengan senang hati, dan sebaliknya kalau andika pulang sampaikan doa restuku untuk Kanjeng Romomu. Dan pesan selanjutnya?"

"Eyang Resi, sekarang ini timbul gejala-gejala pemberontakkan, terutama dari kadipaten dan kabupaten di bagian timur dan utara seperti Kabupaten Wirosobo, Pasuruan, Lasem, Tuban, Jipang, Arisbaya dan Sumenep di Madura, dipimpin oleh Sang Adipati di Surabaya dengan penasihat Sunan Giri. Karena adanya gejala yang tidak sehat ini, Mataram harus memperkuat diri dan untuk usaha ke arah itu, Kanjeng Romo sudah mengundang para satria dan orang gagah untuk menjadi perwira dan prajurit, juga para pertapa dan pendeta yang arif bijaksana untuk menjadi penasihat. Mengingat Eyang Resi adalah seorang yang sakti mandraguna lagi arif bijaksana, maka Kanjeng Romo mengutus saya untuk mohon kepada Eyang agar melimpahkan pangestu dan dukungan terhadap Mataram."

Resi Limut Manik mengangguk-angguk. "Sudah semestinya demikian, Puteri. Akan tetapi sekarang aku sudah terlalu tua untuk melibatkan diri dalam perang. Apa lagi keadaanku yang terluka parah dan maut sewaktu-waktu akan datang menjemput. Aku hanya dapat mengirim doa restu yang tiada putusnya dan aku yakin bahwa Mataram akan jaya karena dikendalikan oleh Romomu, seorang raja yang bijaksana!"

"Terima kasih, Eyang. Akan saya sampaikan kepada Kanjeng Romo," kata dara perkasa itu.

"Sekarang dengarkan baik-baik. Aku hendak meninggalkan pesan penting untuk kalian berdua. Agaknya memang sudah ditentukan oleh para dewata bahwa kalian datang pada saatnya yang tepat. Sutejo, ambilkan peti kecil di balik dipan itu."

Sutejo bangkit dan mencari di tempat yang ditunjukkan Sang Resi. Ditemukan sebuah peti berukir yang panjangnya satu meter dan lebarnya tiga puluh senti berwarna hitam, terbuat dari kayu jati yang tua. Dibawanya peti itu kepada Resi Limut Manik.

Resi Limut Manik yang tampak makin lemah menggunakan kedua tangannya yang agak gemetar untuk membuka tutup peti dan dikeluarkan tiga buah benda dari dalam peti, yaitu sebatang pedang dan dua buah kitab. Ketika dia mencabut pedang itu dari sarungnya, tampak sinar berkilat menyilaukan mata. Pedang itu lalu dimasukkan kembali ke dalam sarung pedang.

"Cucunda Puteri, pedang ini disebut Pedang Kartiko Sakti, merupakan pedang pusaka perguruan Jatikusumo di samping Pecut Bajrakirana. Terimalah, aku memberikan pedang pusaka ini kepadamu agar dapat kau gunakan untuk membela Mataram. Dan ini adalah kitab pelajaran ilmu pedang Kartiko Sakti, sebuah ilmu pedang yang tak pernah kuajarkan kepada murid yang mana pun juga. Pelajarilah ilmu ini dengan Pedang Kartiko Sakti."

Dengan sikap hormat Puteri Wandansari menerima pedang dan kitab kuno itu. "Banyak terima kasih, Eyang Resi. Saya akan mempelajarinya dengan tekun."

"Bagus. Aku akan memberi petunjuk padamu tentang dasar-dasar ilmu pedang ini selagi aku masih mampu. Dan sekarang engkau, Sutejo. Terimalah kitab ini. Ini adalah kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana. Ilmu ini memang khas untuk dimainkan dengan Pecut Bajrakirana dan seperti juga ilmu pedang Kartiko Sakti, ilmu Bajrakirana ini tidak pernah kuajarkan kepada murid yang mana pun juga. Karena engkau bertugas untuk merampas Pecut Bajrakirana, maka setelah berhasil, pecut itu kuserahkan kepadamu berikut ilmunya ini agar dapat engkau pergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, juga untuk dipergunakan membela Mataram."

Sutejo menerima kitab itu dan menghaturkan terima kasih.

"Mulai hari ini, selagi aku masih mampu, aku akan memberi petunjuk pada kalian tentang kedua ilmu itu, yaitu mengenai dasar-dasarnya. Sutejo, carilah pecut milik Pungguk dan Penggik di belakang pondok. Engkau dapat menggunakan pecut biasa itu untuk berlatih."

Sutejo segera mencari pecut itu di kandang kerbau yang berada di belakang pondok dan menemukannya. Biar pun keadaan tubuh Resi Limut Manik lemah sekali, akan tetapi dia memaksakan diri untuk memberi petunjuk kepada Sutejo dan Puteri Wandansari dalam mempelajari kedua ilmu itu.

Puteri Wandansari menggunakan pedang pusaka itu untuk berlatih Ilmu Pedang Kartiko Sakti, sedangkan Sutejo menggunakan pecut milik Pungguk itu untuk berlatih ilmu Pecut Bajrakirana. Karena keduanya memang sangat berbakat dan sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan Jatikusumo, maka dalam waktu dua pekan saja mereka telah dapat menguasai dasar-dasarnya, tinggal mematangkan ilmu itu dengan latihan-latihan yang dapat mereka lakukan sendiri dengan petunjuk kitab masing-masing.

Setelah lewat dua pekan, dua orang muda itu telah menguasai dasar ilmu masing-masing. Skan tetapi Resi Limut Manik yang selama itu mengerahkan seluruh sisa tenaganya tidak kuat lagi dan ambruk, jatuh pingsan dalam rangkulan Sutejo dan Puteri Wandansari.

Mereka memondong tubuh sang resi ke dalam pondok kemudian merebahkannya di atas pembaringan. Napas kakek itu tinggal satu-satu ketika akhirnya dia membuka mata dan melihat Sutejo bersama Putera Wandansari duduk di tepi dipan bambu. Dia memandang dan tersenyum!

"Eyang Resi," kata Puteri Wandansari. "Eyang terlalu lelah. Ah, kami yang berdosa telah membuat Eyang terlalu lelah memberi petunjuk kami."

"Tidak, Puteri. Hatiku sudah puas sekarang. Aku yakin bahwa andika berdua yang kelak akan mengangkat nama perguruan Jatikusumo dan memanfaatkan dua ilmu warisan dari nenek moyangku. Sekarang aku siap menghadapi kematian dengan hati tenteram..." Dia terengah-engah.

"Eyang Resi...!" Hampir berbareng Sutejo dan Wandansari berseru.

Kakek itu menggelengkan kepala. "Sudah terlalu lama aku memperkuat diri dan menunda datangnya kematian, sudah terlalu lama kedua cantrikku menunggu..., Kalau ajalku tiba, kuburkanlah aku di antara kuburan mereka berdua... mereka itu setia sampai mati..."

Keadaan Resi Limut Manik menjadi semakin lemah dan malam harinya kakek itu pun menghembuskan napas terakhir di hadapan Sutejo dan Puteri Wandansari. Sutejo dan Puteri Wandansari merasa berduka, akan tetapi Sutejo mendapat kenyataan bahwa puteri itu mempunyai ketabahan dan kekuatan, tidak menangis sedih seperti sebagian besar wanita kalau merasa berduka. Puteri itu hanya duduk bersimpuh di dekat pembaringan sambil menundukkan mukanya.

Seorang dara yang luar biasa, pikir Sutejo.

Dulu dia sudah melihat betapa puteri ini sanggup menghadapi pengeroyokan Bhagawan Jaladara bersama tiga orang kawannya yang sakti. Walau pun puteri ini terdesak, namun berani dan mampu menghadapi pengeroyokan mereka sudah merupakan hal yang luar biasa sekali. Seorang dara yang luar biasa cantiknya, hal ini mudah dilihat walau pun dia berpakaian pria, juga seorang dara yang memiliki kedigdayaan.

Bahkan kepandaian Puteri Wandansari ini masih lebih hebat kalau dibandingkan dengan Retno Susilo. Apa lagi ia memperoleh Pedang Kartiko Sakti berikut ilmu pedangnya! Dan selain memiliki kelebihan itu, kecantikan dan kesaktian, sang puteri ini juga puteri seorang raja, anggun berwibawa dan sama sekali tidak cengeng. Dia pun memandang dengan hati kagum sekali.

"Diajeng Wandansari," katanya lirih karena panggilan ini baginya masih terasa membuat hatinya risih dan canggung karena terasa terlalu lancang. Akan tetapi karena panggilan itu atas permintaan sang puteri sendiri, maka dia memberanikan diri memanggil diajeng.

"Hari sudah malam, sebaiknya andika mengaso di kamar sebelah. Biarlah aku yang akan menunggu jenazah Eyang Resi di sini." Ucapan ini keluar dari hati yang jujur.

Dia merasa kasihan kepada dara itu yang sudah membantunya ketika mengubur jenazah kedua orang cantrik, lalu selama belasan hari ini setiap hari tekun berlatih ilmu pedang yang baru secara rajin sekali. Puteri itu tentu merasa lelah dan perlu beristirahat.

Akan tetapi puteri Wandansari menggelengkan kepalanya.

"Aku memang lelah, akan tetapi untuk menjaga jenazah Eyang Resi, biar pun lelah harus kulakukan. Apakah artinya sedikit kelelahan ini kalau dibandingkan dengan budi kebaikan dan pengorbanan diri Eyang Resi kepada kita? Dalam keadaan terluka parah dan sakit berat Eyang Resi sudah memaksa dirinya membimbing kita selama dua pekan sampai raganya tak kuat lagi bertahan. Apalah artinya bergadang semalam suntuk untuk menjaga jenazahnya?"

Sutejo merasa terpukul oleh ucapan itu. Betapa tepatnya dan tak mungkin dapat dibantah lagi. Dia pun hanya menundukkan mukanya dan berkata lirih,

"Diajeng Wandansari, andika adalah seorang puteri yang arif bijaksana."

Hening mengikuti percakapan yang terhenti itu. Malam itu hawa udaranya sangat dingin sampai hawa dingin itu terasa menyusup ke tulang sumsum. Dingin dan sunyi menembus dinding menguasai kamar di mana jenazah Resi Limut Manik terbaring dengan tenangnya. Wajah itu tampak seperti sedang tidur saja, mulut di balik kumis itu tersenyum.

Sutejo merasa kesepian. Meski pun di situ ada Puteri Wandansari, namun sang puteri itu duduk bersimpuh tanpa bergerak dan diam saja tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata. Kesunyian mencekam dan seolah mencekiknya.

"Diajeng..." Ucapnya lirih sambil menatap tajam wajah yang elok itu.

Puteri Wandansari mengangkat sepasang mata bintangnya dan balas memandang. "Ada apakah, kakang Sutejo?"

"Bolehkah aku mengajak andika bercakap-cakap dalam keadaan seperti ini?"

"Bercakap-cakap? Mengapa tidak boleh? Apa yang hendak kau katakan, kakang?"

Lega rasa hati Sutejo. Tadinya dia khawatir kalau-kalau sang puteri akan marah karena diajak bercakap-cakap, maka terlebih dulu dia minta persetujuannya.

"Aku mendapatkan kenyataan yang sangat membanggakan hatiku bahwa di antara kita masih terdapat pertalian persaudaraan seperguruan. Karena adanya tali persaudaraan itu, kurasa sudah sepatutnya bila kita saling mengenal dan mengetahui keadaan diri masing-masing lebih baik. Bagaimana pendapatmu, diajeng?"

Puteri Wandansari tersenyum kecil. "Bukankah kita sudah saling mengenal, kakang? Andika adalah murid mendiang Bhagawan Sidik Paningal, paman guruku, dan andika tahu bahwa aku adalah puteri Kanjeng Romo Sultan Agung di Mataram, juga murid Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di pantai Laut Kidul."

"Maksudku, riwayat kita masing-masing, diajeng. Seperti, bagaimana seorang puteri Gusti Sultan seperti andika ini dapat menjadi murid perguruan Jatikusumo dan lain-lain. Biarlah aku bercerita tentang diriku lebih dulu."

"Berceritalah, kakang, aku siap mendengarkan."

"Aku adalah seorang yang tidak mengenal ayah ibunya sendiri. Ketika aku berusia tiga tahun, aku diselamatkan oleh mendiang Bapa Guru dari tangan seorang wanita sakti yang agaknya telah menculikku, lalu aku diberi nama Sutejo oleh Bapa Guru. Sampai sekarang aku belum tahu siapa ayah bundaku."

"Ah, untuk menyelidiki hal itu tidaklah terlampau sukar, kakang. Kalau engkau tahu siapa wanita yang menculikmu itu, dapat kau tanyakan kepadanya!"

"Baru menjelang wafatnya Bapa Guru menceritakan kepadaku tentang riwayatku itu dan menurut Bapa Guru, wanita itu bernama Ken Lasmi. Aku memang sedang berusaha mencari wanita bernama Ken Lasmi itu karena dia tentu mengetahui siapa adanya ayah bundaku." Sutejo berhenti sebentar dan menghela napas panjang, merasa sedih karena teringat akan kematian gurunya yang amat disayangnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar