Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 02

“Wuuuuutttt...! Desss...!”

Dua lengan kini bertemu dan akibatnya, tubuh Bhagawan Jaladara terhuyung ke belakang kemudian roboh terjengkang. Dari mulutnya mengalir darah. Sedangkan tubuh Bhagawan Sidik Paningal hanya terguncang dan mukanya berubah pucat.

Dengan bantuan tongkatnya Bhagawan Jaladara bangkit berdiri dan pada saat itu pula Ki Warok Petak yang tinggi besar berkumis tebal itu sudah menerjang dan membacokkan goloknya dari samping ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal.

“Sadhu-Sadhu-Sadhu!” Sang Bhagawan berseru dan sekali dia mengangkat lengan kirinya dia sudah berhasil menangkap golok itu dan sekali rengut golok itu berpindah tangan lalu dipatahkan oleh jari-jari tangan sang Bhagawan yang sakti. Ki Warok Petak memandang dengan mata terbelalak dan tidak berani bergerak lagi.

Bhagawan Jaladara membuang tongkat hitamnya kemudian dari pinggangnya dia melolos sesuatu. Ia lalu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal sambil membentak dengan suara yang masih nyaring, “Sidik Paningal, lihat pusaka ini. Beranikah andika menentangnya?”

Bhagawan Sidik Paningal cepat menengadah untuk melihat benda itu. Seketika mukanya menjadi pucat dan cepat dia berlutut lalu menyembah ke arah pecut itu. Sebatang pecut yang panjang dengan gagang terbuat dari gading gajah, dan pecut itu terbuat dari benang semacam lawe yang panjangnya ada dua meter.

“Saya tidak berani...” kata Sang Bhagawan Sidik Paningal ketika melihat pecut itu.

Dia segera mengenal cambuk itu yang bukan lain adalah Pecut Sakti Bajrakirana, pusaka milik gurunya. Gurunya pernah memesan kepada para muridnya bahwa siapa yang kelak memegang pecut itu, dialah orangnya yang menggantikan kedudukan gurunya dan harus ditaati oleh para murid lain! Dan sekarang pecut itu berada di tangan Bhagawan Jaladara.

Sebagai seorang murid yang sangat hormat dan patuh kepada gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik dari puncak Semeru, Bhagawan Sidik Paningal segera memberi hormat dan menyembah ketika melihat pecut wasiat itu.

“Hemm, engkau murid yang tidak patuh! Pecut pusaka sudah berada di tanganku tetapi kau masih belum juga mau menuruti perintahku? Sidik Paningal, aku perintahkan padamu mulai sekarang juga harus meninggalkan agama baru dan membantu Bupati Wirosobo. Bagaimana, apakah engkau masih berani membangkang?”

“Saya tidak berani membangkang, akan tetapi dulu Bapa Guru telah memberi peringatan agar kita jangan sampai terlibat dalam perang saudara. Karena itu aku tetap tidak dapat membantu Bupati Wirosobo kalau dia ingin memberontak terhadap Mataram!”

“Kurang ajar!” Bhagawan Jaladara lalu menggerakkan kakinya menendang.

“Desss...!” Tubuh Bhagawan Sidik Paningal tertendang seperti bola, terlempar lalu jatuh bergulingan karena dia sama sekali tidak berani melawan, juga tidak berani mengerahkan aji kekebalannya. Bibirnya pecah dan berdarah, akan tetapi dia bangkit duduk lalu berlutut lagi menghadap Bhagawan Jaladara yang masih memegang pecut di atas kepalanya.

“Andika masih tidak mau menurut?!” bentaknya.

“Sampai mati pun saya tidak akan bisa membantu kabupaten yang hendak memberontak terhadap Mataram. Bapa Guru sudah berpesan supaya kita semua membantu Mataram, bukan melawannya.”

“Tar-tar-tarrrr...!”

Cambuk itu meledak-ledak di udara lalu meluncur turun ke arah tubuh Bhagawan Sidik Paningal. Pakaian pendeta itu tercabik-cabik dan kulit tubuhnya robek berdarah. Namun Bhagawan Jaladara tidak peduli dan masih mencambuki terus.

“Tar-tar-tar-tar-tarrrr...!”

Tubuh Bhagawan Sidik Paningal bergulingan dan seluruh tubuhnya mandi darah.

Melihat ini, Sutejo tidak dapat tinggal diam lagi. Dia melompat dan berusaha merampas pecut itu dari tangan Bhagawan Jaladara, namun sebuah tendangan dari paman gurunya telah membuatnya terjungkal. Sebelum dia mampu bangkit, Ki Warok Petuk dan Ki Baka Kroda sudah mengeroyoknya dan memukulinya. Dia dijadikan bola oleh kedua orang itu hingga jatuh bangun dan bengkak-bengkak.

“Cukup!” kata Bhagawan Jaladara kepada dua orang pembantunya.

Mereka melepaskan Sutejo yang terkulai roboh ke atas tanah, setengah pingsan. Akan tetapi pemuda ini menggoyangkan kepalanya, mengusir kepeningan dan dia memandang kepada gurunya yang kini bagaikan seonggok daging yang berdarah.

“Bapa Guru...!” Dia merangkak mendekati, lalu merangkul gurunya yang seluruh tubuhnya sudah bermandikan darahnya sendiri.

“Sutejo... kita... tidak... boleh... me... lawan...” kata gurunya terputus-putus.

“Sidik Paningal, sekali lagi kuperingatkan. Kalau dalam waktu satu bulan ini engkau belum datang ke Kabupaten Wirosobo, aku akan datang kembali dan mewakili Bapa Guru untuk membunuhmu!” Sesudah berkata demikian, Bhagawan Jaladara meninggalkan tempat itu bersama dua orang rekannya.

“Bapa...!” Sutejo merangkul lalu memondong tubuh gurunya yang basah oleh darah itu, diangkatnya masuk ke dalam rumah pondok walau pun tubuhnya sendiri penuh luka dan semua bagian tubuh terasa nyeri.

Tetapi kakek pendeta itu tidak sempat menjawab karena dia sudah jatuh pingsan di atas pembaringannya. Meski tubuhnya sendiri penuh luka, namun Sutejo tidak mempedulikan dirinya dan dengan tekun dia merawat dan mengobati luka-luka cambukan yang diderita gurunya.

Dia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya. Dia mencari biji pinang, daun piciran, bawang merah, gula aren dan arang kayu. Semua ini diaduk dan dipergunakan untuk mengobati luka-luka di tubuh gurunya. Setelah seminggu luka-luka di seluruh tubuh gurunya itu pun menjadi kering dan sembuh.

Tubuh Sutejo sendiri adalah tubuh yang kuat dan sehat, maka luka-luka yang dideritanya sendiri dengan mudah saja diobatinya dan dalam waktu yang tiga hari luka-luka itu sudah sembuh. Untung bahwa Bhagawan Jaladara tidak bermaksud untuk membunuh mereka sehingga mereka tidak menderita luka dalam, hanya luka di kulit saja. Sementara Sutejo ketika dipukuli dua orang kawan Bhagawan Jaladara telah mengerahkan ilmu kekebalan Kawoco sehingga dia pun tidak menderita luka dalam.

Pada hari ke delapan, seperti biasa Bhagawan Sidik Paningal sudah bangun dari tidurnya dan bersama muridnya dia sarapan pagi. Keadaan mereka biasa saja seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

“Bapa, bolehkah saya bertanya?”

“Tentu saja, Sutejo. Apakah yang hendak kau tanyakan itu?”

“Bapa tidak kalah ketika melawan Bhagawan Jaladara itu...”

“Hmm, dia itu paman gurumu, maka engkau juga sepatutnya menyebut dia Paman Guru.”

“Baiklah, Bapa. Bapa tidak kalah melawan Paman Guru Jaladara, akan tetapi mengapa Bapa mandah saja dan sama sekali tidak melawan ketika dia mengeluarkan cambuk itu! Apa artinya itu, Bapa?”

Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang.

“Cemeti itu disebut Pecut Sakti Bajrakirana dan pecut itu adalah pusaka milik Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru. Guruku itu memiliki tiga orang murid. Yang pertama bernama Bhagawan Sindusakti yang kini bertapa di pantai Laut Kidul di daerah Pacitan. Murid ke dua adalah aku sendiri, dan Bhagawan Jaladara itu adalah murid ke tiga. Guruku pernah mengatakan kepada kami bertiga bahwa Pecut Skti Bajrakirana adalah senjata pusaka guruku semenjak beliau masih muda dan berpesan pula bahwa kelak siapa yang memegang pecut itu dialah pengganti guru dan segala perintahnya harus ditaati. Nah, hari itu Bhagawan Jaladara mengeluarkan pecut itu! Tentu saja aku tidak berani menentang paman gurumu itu.”

“Akan tetapi apakah Eyang Guru itu masih hidup, Bapa?

“Setahuku masih, karena kalau beliau sudah meninggal dunia, tentu ada yang memberi kabar kepadaku.”

“Akan tetapi kalau Eyang Guru masih hidup, mengapa pecut sakti itu diserahkan kepada Paman Guru Jaladara kemudian dia pergunakan untuk memaksa Bapa untuk membantu kabupaten Wirosubo?”

Kembali Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang.

“Bapa Guru biasanya bertindak secara bijaksana sekali, maka aku sendiri pun merasa heran kenapa Cambuk Sakti Bajrakirana bisa berada di tangan Jaladara. Karena itu aku hendak mewakilkan kepadamu untuk melaksanakan penyelidikan akan hal ini, Sutejo. Pergilah engkau ke puncak Semeru dan pergi menghadap eyang gurumu, ceritakan apa yang terjadi di sini. Kalau Adi Jaladara memiliki pecut itu secara tidak semestinya, engkau harus membantu eyang guru untuk merampasnya kembali.”

“Akan tetapi, Bapa Guru, cara bagaimana saya akan mampu merampasnya kembali dari tangannya? Paman Guru Jaladara demikian sakti, sedangkan saya...”

“Percayalah, dalam hal kesaktian, engkau tidak kalah olehnya. Hanya karena dia memiliki ilmu pukulan yang disebut Aji Gelap Musti, maka engkau takkan mampu menandinginya. Akan tetapi sebelum pergi engkau akan kulatih ilmu itu agar dapat menandinginya kalau engkau berkelahi melawannya.”

“Dan bagaimanakan dengan Kabupaten Wirosubo itu Bapa? Saya masih tidak mengerti mengapa Paman Guru hendak memaksa Bapa untuk membantu kabupaten itu. Benarkah bahwa kabupaten itu hendak memberontak terhadap Mataram?”

“Ketahuilah keadaan Mataram pada saat ini, Sutejo. Engkau tentu sudah mendengar pula betapa selama pemerintahan Mas Jolang atau yang kemudian disebut Sang Prabu Sedo Krapyak karena beliau wafat di Krapyak, di mana-mana terjadi pemberontakan. Terutama sekali di bagian timur yang didukung oleh Adipati di Surabaya dan disokong pula oleh Sunan Giri. Daerah-daerah seperti Ponorogo, Kertosono, Kediri, Wirosobo (Mojoagung) beramai-ramai bangkit dan memberontak. Sungguh pun sebagian dari mereka itu sudah ditundukkan kembali oleh Mas Jolang, tetapi daerah-daerah itu kembali bergolak setelah beliau wafat. Kini yang menjadi pengganti Mas Jolang adalah puteranya, yaitu Pangeran Raden Mas Rangsang yang setelah dinobatkan menjadi raja Mataram lalu memakai gelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman (1613-1645).”

“Saya sudah mendengar akan semua itu, Bapa.”

“Beliau disebut pula Sang Prabu Pandan Cokrokusumo dan disebut pula sebagai Sultan Agung. Dalam usianya yang masih sangat muda ketika dinobatkan, beliau sudah harus berhadapan dengan daerah-daerah yang bergolak dan memberontak dan di antara daerah-daerah itu, kabupaten Wirosobo juga memberontak. Nah, Paman Gurumu itu membela kabupaten Wirosobo dan memaksaku agar membantu pula. Akan tetapi aku teringat akan pesan Eyang Gurumu bahwa kita harus membantu Mataram, tidak boleh melibatkan diri dalam pemberontakan. Nah, begitulah keadaan kerajaan Mataram pada saat ini, Sutejo. Engkau harus berjanji pula kepadaku bahwa engkau akan membela Mataram dari para pemberontak. Sesudah engkau berhasil merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dan mengembalikannya kepada Eyang Gurumu, engkau harus mengabdikan dirimu kepada Mataram. Dengan demikian tidak sia-sialah selama ini aku mengajarkan semua ilmu itu kepadamu.”

“Sendhika dawuh, Bapa Guru. Saya akan menaati semua perintah Bapa.”

“Bagus! Nah, sekarang marilah engkau kulatih dengan Ilmu Gelap Musti. Kalau engkau sudah menguasai ilmu itu, engkau tidak perlu takut lagi menghadapi Bhagawan Jaladara. Waktunya tidak banyak. Sebelum satu bulan lewat, engkau harus sudah dapat merampas pecut wasiat itu. Kalau Adi Jaladara sudah tidak mempunyai Pecut Sakti Bajrakirana, dia tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadap diriku.”

Demikianlah, mulai hari itu sampai dua pekan lamanya, Sutejo melatih diri dengan Aji Gelap Musti. Karena dia memang amat berbakat dan dia telah memiliki dasar yang kokoh dan kuat, maka dalam waktu dua pekan saja dia sudah dapat menguasai ilmu itu dengan sempurna. Sesudah itu berangkatlah dia menuju ke puncak Gunung Semeru untuk pergi menghadap Eyang Gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik yang bertapa di puncak gunung besar itu, sesuai dengan petunjuk gurunya.

Sultan Agung yang tadinya bernama Pangeran Raden Mas Rangsang dan yang kemudian diangkat menjadi raja menggantikan pamannya yang telah wafat, bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman (1613-1645), usianya masih cukup muda ketika dinobatkan menjadi raja di Mataram. Usianya baru tiga puluh tahun dan dia telah mempunyai beberapa orang putera dan puteri yang berusia sekitar tujuh sampai sepuluh tahun.

Begitu dinobatkan menjadi raja, Sultan Agung sudah harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan beberapa daerah, terutama di daerah timur. Namun dia seorang pemimpin negara yang cakap. Segera disusunnya pasukan besar untuk melindungi Mataram, juga diangkatnya orang-orang yang gagah perkasa menjadi senopati. Pemimpin negara yang bijaksana adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan, pandai mengumpulkan orang-orang sakti dan memberi mereka kedudukan penting.

Sultan Agung juga memperhatikan kepentingan rakyat jelata sehingga rakyat tunduk dan patuh kepada rajanya yang sangat bijaksana. Wilayah Mataram di sepanjang Bengawan Solo merupakan daerah yang subur makmur, di mana pertanian berjalan dengan baiknya, tanahnya loh jinawi sehingga kehidupan rakyat pada umumnya makmur.

Juga pemerintahan dilaksanakan dengan adil sehingga keadaan aman tenteram tidak ada penjahat yang berani muncul terang-terangan karena mereka tentu akan ditumpas oleh pasukan keamanan yang selalu menjaga ketentraman kehidupan rakyat jelata. Apa bila membutuhkan tenaga bantuan rakyat, dalam beberapa hari saja Sultan Agung tentu bisa mengumpulkan ratusan ribu rakyat yang berbondong datang untuk mengabdi kepadanya.

Sultan Agung sendiri adalah seorang pria yang berwajah bundar dan amat tampan. Gerak geriknya halus lembut, tegur sapanya ramah, dan sepasang matanya mencorong penuh wibawa walau pun sinarnya lembut. Pakaiannya sederhana, tidak mencolok dan tidak jauh bedanya dengan pakaian para punggawa dan senopati. Kehidupan sehari-harinya juga tidak bermewah meriah, melainkan sederhana saja. Keadaan inilah yang membuat rakyat semakin mencintai junjungan ini.

Karena Sultan Agung ingin sekali untuk selalu berdekatan dengan para punggawanya, maka sepekan dua kali, yakni hari Senin dan Kamis, tentu diadakan ‘sebo’ (persidangan menghadap raja). Dalam kesempatan itu, Sang Prabu duduk di atas bangku dari kayu cendana yang terletak di atas setinggil (Batu Balai) yang luasnya tiga meter persegi. Di sekelilingnya menghadap ratusan punggawanya, duduk di lantai tiga jajar.

Sultan Agung akan menanyakan tentang keadaan pemerintahannya, keadaan kehidupan penduduk dan terutama sekali dari para senopati dia ingin mendengar laporan mengenai ketentraman.

Juga Sultan Agung memerintahkan kepada para senopatinya agar memperhatikan kesiap siagaan pasukannya, mengadakan latihan perang-perangan sedikitnya satu pekan sekali sehingga pasukannya selalu berada dalam keadaan sigap dan terampil, dan siap apa bila sewaktu-waktu dibutuhkan untuk berperang.

Sekali dalam setahun, para Adipati dan bupati yang masih tunduk diharuskan menghadap Sang Prabu untuk berwawancara, untuk menyuburkan hubungan-hubungan yang sudah baik dan menghilangkan kesalah pahaman di antara mereka.

Sang Prabu juga menaruh perhatian besar dalam hal kesusatraan. Bukan kesusatraan saja, melainkan juga tentang filsafat dan kesenian. Bahkan beliau sudah menulis kitab filsafat ‘Satrio Gending’.

Pada masa itu orang-orang Belanda telah mulai menancapkan kuku-kuku penjajahannya, mula-mula di Batavia. Hal ini amat mengganggu perasaan Sultan Agung sehingga timbul satu cita-cita dalam hatinya, yaitu mempersatukan semua kekuatan daerah-daerah untuk kelak mengusir bangsa Belanda. Tetapi sebelum itu, lebih dahulu dia harus menundukkan daerah-daerah yang bergolak dan yang memberontak terhadap kedaulatan Mataram.

Pada suatu hari Sultan Agung mengadakan persidangan ‘sebo’ yang dihadiri oleh para punggawa secara lengkap. Dia ingin sekali tahu tentang gerakan di daerah-daerah, maka tanyanya kepada seorang senopati tua yang dipercayanya, yaitu Senopati Ki Mertoloyo.

“Kakang Senopati Mertoloyo, bagaimana keadaan di daerah-daerah sekarang?”

Senopati Ki Mertoloyo menyembah sambil mengerutkan alisnya. “Beritanya tidak begitu menyenangkan Gusti. Terjadi pergolakan di Lasem, Pasuruan, Tuban, Gresik, bahkan di kabupaten Wirosobo yang tadinya tidak berapa kuat itu sekarang telah membentuk dan mengembangkan pasukan. Pada Adipati dan bupati di daerah-daerah timur itu tidak mau sowan (menghadap) paduka dan meremehkan Mataram.”

“Hemm, sampai demikian jauh sikap mereka, kakang Mertoloyo? Menurut pendapatmu, bagaimana baiknya untuk menghadapi mereka?”

“Menurut hamba, sebaiknya kita menyerang mereka lebih dulu sebelum mereka bergerak, Gusti.”

Sang Prabu mendengarkan pendapat para senopati yang lain. Kebanyakan dari mereka juga mengusulkan agar segera menggempur daerah-daerah yang membangkang. Setelah mendengarkan pendapat mereka semua, Sang Prabu lalu berkata dengan lantang dan tegas,

“Usul dan pendapat andika sekalian memang benar, tetapi kami tidak dapat menyetujui kalau kita harus menggempur lebih dahulu. Apa akan kata daerah-daerah lain yang masih setia kepada kita apa bila kita menggempur daerah-daerah itu tanpa alasan yang kuat? Biarkan mereka itu lebih dulu memperlihatkan pemberontakan mereka, baru kita gempur memberi pelajaran kepada mereka. Kalau mereka memberontak dengan bersatu, akan lebih mudahlah bagi kita untuk sekali pukul menghancurkan beberapa daerah, dari pada harus menundukan daerah satu demi satu. Sebaiknya diambil jalan musyawarah lebih dulu dengan mereka itu, bujuk mereka agar jangan melakukan tindakan yang sia-sia itu. Kalau mereka menolak dan tetap memperlihatkan gerakan pemberontakan, kita pun harus membalasnya dengan kekuatan.”

Semua senopati menunduk dan taat terhadap pernyataan yang bijaksana ini.

“Hamba mendengar bahwa daerah-daerah yang bergolak didukung oleh Adipati Surabaya dan bahkan didukung oleh Sunan Giri. Apa yang harus hamba lakukan terhadap dua daerah besar itu?”

“Sama saja, tunggu sikap mereka lebih jauh dan kirimlah orang-orang yang berhubungan dekat dengan mereka untuk membujuk agar mereka itu menghentikan sikap permusuhan mereka. Kalau mereka membangkang, kelak kami sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menghukum mereka.”

“Mohon beribu ampun, Gusti,” kata Senopati Mertoloyo. “Menurut pendapat hamba, lebih baik membunuh ular sebelum dia menggigit kita dari pada membiarkan mereka semakin besar dan berbahaya bagi keselamatan kita sendiri.”

“Kakang Mertoloyo, ingatlah bahwa bagaimana pun juga mereka adalah bangsa-bangsa Jawa, bangsa kita juga. Sebelum mengambil jalan terakhir, yaitu memerangi mereka, alangkah baiknya kalau mereka itu dapat diajak bermusyawarah dan dengan jalan damai menyelesaikan semua masalah. Musuh kita yang utama adalah orang Belanda yang kini semakin berkuasa saja di Barat, bukan bangsa Jawa, bangsa kita sendiri.”

Senopati Mertoloyo menyembah dan tidak membantah lagi. “Sendika dawuh, Gusti.”

“Mulai sekarang undang semua pemuda dan para pendekar agar membantu kita, berikan kedudukan kepada mereka sesuai dengan bakat dan kepandaian mereka. Juga persilakan para sesepuh dan pendeta yang arif bijaksana supaya bekerja sama dengan kita untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata. Undang pekerja-pekerja yang pandai, seniman-seniman, sastrawan untuk membangun Mataram. Jangan lupa memperkuat penjagaan keamanan, tangkapi dan hukum semua maling dan perampok. Urus perkara pertikaian seadil-adilnya, tanpa pilih kasih atau melihat kedudukan dan kekayaan masing-masing, menangkan yang benar dan kalahkan yang salah.”

“Sendhika dawuh, Gusti.”

Persidangan itu ditutup lalu bubaran dan dalam hati masing-masing punggawa tertanam kesan yang mendalam akan segala perintah yang dikeluarkan Sultan Agung…..

********************

Pendeta itu sudah tua. Usianya tentu paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya yang panjang terurai sampai ke punggung, sudah putih semua. Bahkan alis, kumis serta jenggotnya yang sudah putih semua seperti terbuat dari benang-benang perak.

Yang amat mencolok adalah sinar matanya yang demikian lembut tapi menghanyutkan. Kalau mata kita bertemu dengan pandang mata itu, perasaan seperti luluh dan segala kekerasan dalam hati melunak, memancing datangnya senyum ramah. Agaknya di dunia ini tidak ada yang dapat bersikap keras dan kasar terhadap orang yang memiliki sepasang mata seperti itu.

Dia adalah Sang Resi Limut Manik, pertapa yang sudah puluhan tahun tinggal di puncak Semeru. Tubuhnya kurus tinggi, terbungkus kain putih yang agaknya selalu bersih. Dia duduk di depan sebuah pondok kayu yang kokoh, duduk di atas batu besar dan dari jauh dia tampak seperti sebuah arca saja sehingga membuat suasana di sekeliling tempat itu menjadi keramat.

Pagi itu udara sangat cerah. Sinar matahari sudah menerobos celah-celah daun pohon. Seorang cantrik berusia empat belas tahun sedang menyapu pelataran setelah lebih dulu menyirami tanah pelataran agar tidak menimbulkan debu. Daun-daun kering disapu, lalu dikumpulkan menjadi setumpuk dan akhirnya dibakar. Seorang cantrik lain sedang bekerja di belakang mencuci pakaian.

Pendeta itu tidak merasa terganggu oleh pekerjaan cantrik di pekarangan itu. Dia tetap duduk bersila di atas batu seperti sedang termenung dan sesekali dia menghela napas panjang. Bukan tarikan napas karena duka, melainkan tarikan napas untuk menyedot hawa murni sebanyaknya sehingga seluruh dada dan perut terisi hawa murni yang dapat menentramkan gejolak hati dan merasakan apa yang belum tampak oleh kedua matanya.

“Penggik.” Akhirnya dia membuka matanya yang bersinar lembut itu dan memandang kepada cantrik yang sedang membakar daun-daun kering. “Pergilah ke belakang dan beri-tahu Pungguk agar mempersiapkan minuman dan jagung bakar untuk seorang tamu.”

“Sendhiko, Bapa Resi,” kata cantrik bernama Penggik itu.

Dia tidak merasa heran mendengar bahwa pendeta itu sudah mengetahui bahwa akan ada tamu yang datang. Baginya biasa saja melihat sang pendeta melakukan hal-hal yang tak masuk akal, seperti dia tidak tahu bahwa pendeta itu sudah duduk di atas batu, tidak melihat datangnya dan tahu-tahu orang tua itu sudah duduk di situ. Maka dengan taat dia pun pergi ke belakang untuk memberi-tahu rekannya.

Hanya Penggik dan Pungguk, dua orang kakak beradik ini yang bekerja di situ membantu sang resi sebagai cantrik-cantrik. Mereka ini tidak diberi ilmu kanuragan, melainkan diajar tentang kehidupan dan bagaimana untuk menjadi manusia yang baik dan benar.

Baru saja air yang dimasak mendidih untuk dijadikan minuman teh, dan baru saja jagung-jagung muda itu selesai dibakar sampai kekuning-kuningan dan menyiarkan bau harum, tibalah ‘tamu’ yang dimaksudkan oleh Sang Resi Limut Manik. Wajah sang resi yang biar pun sudah tua masih memperlihatkan bekas ketampanan itu berseri dan mulutnya yang masih bergigi utuh itu tersenyum ketika dia melihat seorang pemuda tampan dan gagah datang menghampiri rumah dan memasuki pelataran.

“Kulonuwun...!” kata pemuda itu yang bukan lain adalah Sutejo.

“Hemm, orang muda, silakan maju mendekat.”

Sutejo segera melangkah maju menghampiri kakek itu. Sambil membungkuk sopan dia bertanya, “Apakah saya berhadapan dengan Eyang Guru Resi Limut Manik?”

“Heh-heh, benar, akulah yang disebut Resi Limut Manik, orang muda.”

Mendengar ini, tanpa ragu lagi Sutejo lalu maju dan menjatuhkan diri berlutut di bawah batu besar yang diduduki pendeta itu lalu menyembah dengan sikap hormat dan khidmat.

“Eyang Guru, saya Sutejo murid Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal datang menghadap dan memberi hormat kepada Eyang Guru.”

Mulut itu tersenyum lebar, wajah itu berseri-seri dan matanya bersinar-sinar.

“Duh Jagat Dewa Bathara! Sungguh pandai Sidik Paningal memilih murid. Selamat datang di Semeru, Sutejo. Angin dari mana yang meniupmu sampai ke tempat ini? Berita apa yang kau bawa dari gurumu?”

“Bapa Guru berada dalam keadaan baik-baik saja dan beliau menitipkan sembah sujud untuk dipersembahkan kepada Eyang Guru. Dan Bapa Guru juga mendoakan semoga keadaaan Eyang Guru baik-baik dan sehat-sehat saja.”

Pendeta itu mengangguk-angguk. “Gurumu itu muridku yang baik sekali, dan kebaikanlah yang membuat dia hidup bahagia. Selain salam yang telah kuterima dengan senang hati, ada urusan apa lagi yang harus kau sampaikan kepadaku, Sutejo?”

“Eyang Guru, ada peristiwa terjadi beberapa hari yang lalu menimpa diri Bapa Guru. Pada hari itu kami kedatangan paman guru Bhagawan Jaladara yang datang bersama dua orang kawannya yang bernama Ki Warok Petak dan Ki Bara Kroda. Setelah mereka berhadapan dengan Bapa Guru, Paman Guru Jaladara memaksa Bapa Guru untuk tidak mempelajari agama baru dan juga supaya Bapa Guru membantu Kabupaten Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi Bapa Guru lalu menolak, terutama sekali menolak untuk membantu kabupaten Wirosobo dalam pemberontakannya. Paman Guru Jaladara marah dan terjadi pertandingan adu kesaktian. Paman Guru Jaladara kalah lalu dia mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana. Bapa Guru tidak berani melawan lalu beliau dihajar oleh cambukan-cambukan pecut sakti itu sampai babak belur. Setelah menghajar saya juga, mereka bertiga lalu pergi dengan pesan akan kembali dalam waktu satu bulan. Apa bila dalam waktu itu Bapa Guru belum juga mau membantu Kabupaten Wirosobo, Paman Guru Jaladara akan membunuhnya dengan Pecut Sakti Bajrakirana. Demikianlah Eyang Resi, pesan Bapa Guru agar disampaikan kepada paduka.”

Wajah itu tetap tersenyum dan dia mengangguk-angguk. “Mengeruhkan batin saja kalau mengingat Jaladara. Ketahuilah, Sutejo. Beberapa pekan yang lalu Jaladara datang ke sini. Dia bermalam dan pada keesokan harinya dia pamit pergi, dan ternyata Pecut Sakti Bajrakirana telah dicurinya dari kamarku.”

“Ahh! Tepat seperti yang diduga oleh Bapa Guru!”

Resi itu mengangguk-angguk. “Tak kuduga Jaladara akan menggunakan pecut itu untuk memaksakan kehendaknya atas gurumu. Gurumu sudah benar menolak permintaanya.”

“Bapa Guru telah memerintahkan saya untuk merampas kembali pecut sakti itu, kemudian mengembalikannya kepada Eyang Guru.”

Resi Limut Manik mengangguk-angguk dan mengelus-elus jenggotnya yang putih bersih. “Dia telah mencurinya, maka sudah sewajarnya kalau engkau sebagai cucu muridku pergi merampasnya kembali. Akan tetapi apakah engkau akan sanggup menandingi Jaladara?”

“Bapa Guru sudah mengajarkan Aji Gelap Musti kepada saya untuk menandingi Paman Guru Jaladara.”

“Bagus! Akan tetapi Jaladara itu pandai dan licik. Mendekatlah dan julurkan kedua telapak tanganmu menghadap aku,” perintah sang resi.

Sutejo menurut. Dia meluruskan lengannya dengan telapak tangan menghadap sang resi. Kakek itu pun menyodorkan sepasang lengannya sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu.

“Jangan kerahkan tenagamu. Terima saja apa yang masuk!” kata kakek itu.

Mula-mula Sutejo merasa betapa telapak tangannya hangat lalu panas sekali dan dia merasa ada hawa yang sangat dahsyat memasuki lengannya, terus berputar di tubuhnya dan akhirnya menerobos masuk ke pusat hawa di pusarnya! Dia mencoba bertahan, akan tetapi demikian kuatnya hawa itu sehingga dia pun pingsan dengan masih duduk bersila dan beradu telapak tangan dengan kakek itu.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar