Pecut Sakti Bajrakirana Jilid 01

Malam Jumat kliwon yang gelap pekat dan menyeramkan pada tahun 1613.

Suasana di lereng Gunung Kawi yang sunyi sepi itu demikian angker dan menyeramkan. Sebuah pondok kayu yang berdiri di lereng sebelah timur tampak sunyi diselimuti malam. Hanya ada sebuah lampu gantung kecil menerangi depan pondok, sinarnya yang lemah menimbulkan bayang-bayang besar dan menakutkan, menjadikan rupa-rupa bentuk yang mengerikan. Pohon-pohon besar di sekitarnya yang tersapu angin malam tampak seolah-olah menjadi hidup dan bergerak-gerak.

“Kulik-kulik-kulik...!” Suara burung malam yang terdengar lapat-lapat menambah seram suasana dan bau kemenyan menyengat hidung. Bau kemenyan ini mengingatkan orang-orang mati dan setan iblis belasakan.

Terpisah dua lereng di bawah pondok itu lapat-lapat bisa terdengar suara anjing meraung, datang dari arah dusun di sana yang tampak lampunya berkelap-kelip dari lereng di mana pondok itu berdiri. Tentu malam itu tak seorang pun dari para penduduk dusun itu berani keluar, karena sudah menjadi kepercayaan turun temurun bahwa malam Jumat kliwon adalah malamnya bangsa setan demit dan iblis yang berkeliaran di permukaan muka bumi untuk menggoda manusia.

Di dalam pondok kayu itu pun suasananya sepi sekali, seakan-akan pondok itu tidak ada penghuninya. Padahal penghuni pondok itu tengah duduk bersila di atas pembaringannya. Seorang lelaki berusia enam puluh lima tahun, rambutnya yang sudah hampir putih semua itu digelung ke atas dan diikat kain berwarna kuning. Jubahnya seperti jubah pendeta yang berwarna putih dan hanya merupakan pakaian yang amat sederhana.

Wajahnya masih tampak segar seperti wajah orang muda saja, terutama sekali sepasang matanya yang lembut itu kadang mengeluarkan cahaya mencorong, menandakan bahwa dia seorang pendeta atau pertapa yang memiliki kesaktian dan tenaga dalam yang amat kuat.

Dari balik pintu kamarnya muncul seorang pemuda yang segera duduk bersila di bawah pembaringan. Melihat pertapa itu seperti orang dalam semedhi, pemuda itu tidak berani mengusiknya, hanya duduk diam seperti gurunya, bersila dan memangku kedua tangan. Tak lama kemudian keduanya sudah tenggelam ke dalam semedhi mereka dan suasana menjadi semakin sunyi.

Siapakah pendeta itu? Dia seorang pertapa yang sudah bertahun-tahun bertapa di lereng Gunung Kawi. Orang-orang menyebutnya sebagai Bhagawan Sidik Paningal. Seorang tua yang bertubuh jangkung kurus, yang mukanya masih segar seperti muka orang muda dan wajah itu masih terdapat bekas wajah seorang pria yang tampan dan lembut.

Ada pun pemuda yang duduk bersila di bawah pembaringan itu adalah Sutejo, muridnya yang terkasih. Seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang dan kedua pundak dan lengannya tampak kokoh kuat.

Wajahnya tampan dengan sepasang mata lebar yang memandang dunia dengan sinar mata cerah dan penuh semangat. Sepasang alisnya hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengandung senyum yang ramah. Dagunya berlekuk hingga menambah kejantanan wajah itu, dan kulit tubuhnya juga bersih kemuning. Rambutnya yang panjang ditekuk dan digelung ke atas, diikat dengan sehelai kain biru. Bajunya berlengan pendek sebatas siku, celananya hitam sampai ke betis dan sehelai sarung dikalungkan di pundak kiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Dia menghadap gurunya bersemedhi, dia pun tidak berani mengganggu, hanya mengikuti contoh gurunya, ikut pula bersemedhi di depan gurunya.

Tiba-tiba Bhagawan Sidik Paningal terbatuk-batuk tiga kali. Batuk yang lebih merupakan isyarat kepada muridnya yang berada di depannya, bahwa dia sekarang sudah sadar dari semedhinya dan isyarat itu pun bertanya apa keperluan muridnya memasuki kamarnya dan menghadap.

Sutejo menangkap isyarat itu lalu menyembah. “Mohon maaf Bapa, bahwa saya berani menghadap dan mengganggu semedhi Bapa. Akan tetapi, Bapa, sejak senja tadi saya merasakan sesuatu yang aneh, suasana yang amat berbeda dibandingkan malam-malam yang lainnya. Seluruh perasaan saya tergugah, bahkan batin saya merasa terkacau oleh suatu tenaga yang penuh rahasia. Karena itu saya berani mengganggu Bapa untuk minta penjelasan apa artinya semua yang saya rasakan pada saat ini.”

“Hong wilaheng... Andika juga merasakan itu, Sutejo? Bagus, hal itu menunjukkan bahwa andika sudah memiliki kepekaan. Memang apa yang andika rasakan itu ada sebabnya, kulup. Sekarang cepatlah engkau pergi ke belakang, ambil air jernih sepiring dan letakkan piring itu di depan kita di sini. Cepat, mereka telah mulai menyerang!”

Sutejo sangat terkejut. Siapa yang mulai menyerang? Dan menyerang bagaimana yang dimaksudkan gurunya? Akan tetapi dia tidak bertanya dan cepat melaksanakan perintah gurunya, mengambil air jernih dalam sebuah piring yang dibawanya masuk lagi ke kamar gurunya lalu meletakkan piring itu di atas lantai di antara mereka.

“Bagus! Sekarang mari kita bersemedhi lagi dan kerahkan seluruh tenaga batinmu untuk melindungi diri dari mara bahaya. Kerahkan aji kekebalanmu seolah engkau berhadapan dengan musuh yang hendak menikam tubuhmu. Jangan banyak bertanya, tetapi lakukan saja apa yang kukatakan.”

“Sendhika, Bapa Guru.” Sutejo tidak bertanya-tanya lagi, melainkan sepenuhnya menaati perintah gurunya. Dia bersila lagi dan bersemedhi mengumpulkan seluruh akal pikirannya dan mengerahkan aji kekebalan untuk melindungi tubuhnya.

“Kulik-kulik-kulik...!” Burung malam itu seperti terbang melewati atas pondok mereka sambil mengeluarkan bunyi yang mengerikan itu.

Akan tetapi Sutejo tidak mempedulikan suara itu dan tetap tenggelam dalam semedhinya. Terdengar pula raungan anjing di kejauhan dan kelepak sayap burung di atas rumah, lalu bunyi seperti dua batang tulang dipukul-pukulkan.

“Tek-tek-tek-tek!” Menurut dongeng tahyul itu adalah suara setan tetekan.

Akan tetapi semua itu tidak menggoyahkan Sutejo yang tetap tenang dalam semedhinya. Bau kembang menyan semakin menyentuh hidung dan tiba-tiba Sutejo merasa dadanya dan lehernya tertusuk sesuatu yang runcing. Namun aji kekebalannya menolak tusukan itu dan terdengar suara nyaring berdenting di depannya, di atas piring terisi air jernih itu. Sampai beberapa kali peristiwa itu berulang, akan tetapi semua tusukan tidak ada yang mempan ketika mengenai kulit tubuh Sutejo yang sudah dilindungi aji kekebalan Kawoco (Baju Besi) itu.

Kemudian sunyi kembali dan terdengar Bhagawan Sidik Paningal terbatuk tiga kali. Sutejo membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah piring yang terisi air jernih itu. Kini di dalam air itu, tampak jelas adanya beberapa batang jarum dan paku berserakan di dalam piring!

Bhagawan Sidik Paningal membuat gerakan. Ternyata kakek itu melemparkan dua batang cundrik (keris kecil) dari atas pembaringan. Dua batang cundrik itu jatuh ke atas lantai di dekat piring kemudian Sutejo melihat betapa ujung kedua batang cundrik itu berwarna biru kehitaman, tanda bahwa dua batang senjata kecil itu mengandung racun yang berbahaya sekali.

“Sadhu-sadhu-sadhu...! Keji sekali orang yang menyerang kita dengan ilmu hitamnya.”

Mata Sutejo terbelalak. “Kita diserang orang, Bapa? Jadi beginikah bila orang menyerang secara gelap dengan ilmu santet?”

Sutejo pernah diceritakan gurunya mengenai ilmu hitam dan ilmu santet, akan tetapi baru sekarang ini dia menyaksikan sendiri karena dia pun menjadi sasaran serangan santet!

Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk. “Bawalah semuanya itu ke belakang dan tanam dua batang cundrik beserta semua paku dan jarum itu ke dalam tanah.”

Tanpa bicara Sutejo melaksanakan perintah gurunya lalu dia duduk kembali di hadapan gurunya.

“Akan tetapi, Bapa. Bukankah Bapa dulu pernah mengatakan bahwa serangan ilmu hitam seperti itu dapat ditangkis, bahkan semua serangannya dapat dikembalikan kepada pihak penyerang? Kenapa Bapa malah memerintahkan saya untuk menguburkan semua senjata rahasia itu?”

“Kulup, membalas kejahatan dengan kejahatan pula adalah perbuatan sesat. Tadi mereka menyerang kita dengan santet, hal itu jelas merupakan kecurangan dan kejahatan. Kalau sekarang kita menyerang mereka dengan cara yang sama, bukankah itu berarti keadaan kita tidak berbeda dengan mereka? Tidak, muridku. Dan ingatlah bahwa selama hidupmu engkau tidak boleh melakukan serangan dengan ilmu santet yang jahat dan curang itu.”

“Kalau demikian, apakah kita harus mendiamkan saja perbuatan jahat orang pada kita?”

“Jangan khawatir mengenai hal itu. Yang menjerat seseorang, yang membalas seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Aku yakin bahwa besok pagi penyerangnya akan datang sendiri ke sini. Sekarang beristirahatlah engkau, Sutejo, karena besok akan terjadi hal-hal menegangkan yang mungkin akan menguras tenaga kita. Jangan khawatir, pada umumnya serangan ilmu hitam yang tidak mengenai sasaran tidak akan diulangi dalam malam yang sama. Tidurlah.”

“Sendhika, Bapa.”

Sutejo lalu memasuki kamarnya sendiri. Pondok kayu yang sederhana itu memang hanya memiliki dua buah kamar yang bersebelahan. Walau pun baru saja menghadapi peristiwa yang menegangkan, namun begitu Sutejo mengambil keputusan untuk menaati gurunya dan tidur, maka segera dia tertidur lelap.

Matahari pagi muncul dengan megahnya. Semenjak subuh sinarnya telah mulai mengusir kegelapan malam. Embun pagi bergantungan pada ujung-ujung daun bambu. Kabut mulai berterbangan, seolah-olah takut menghadapi sinar matahari yang semakin terang. Burung-burung berkicau dari dahan ke dahan, tampak sibuk dan cerewet dalam persiapan mereka untuk mencari makan hari itu. Tidak lama lagi celoteh mereka akan terhenti dan mereka akan berterbangan ke segenap penjuru untuk mencari makan.

Kini sinar matahari mulai menyusuri tebing-tebing dan jurang-jurang di pegunungan Kawi, menjenguk semua celah dan menghidupkan segala yang tampak di permukaan bumi.

Sutejo telah bangun sejak ayam jantan berkokok tadi. Dia telah sibuk bekerja, mengambil air dari sumber dan memenuhi semua gentong dan tempayan tempat air, lalu memasak air untuk membuatkan minum bagi gurunya. Ketela dan pohung yang diambilnya kemarin masih bersisa banyak dan dia tahu bahwa gurunya suka sekali makan ketela dan pohung yang dibakar, maka dia pun membakar beberapa butir pala-kependam itu. Gurunya hanya minum air teh yang encer, tanpa gula.

Sambil bekerja Sutejo selalu waspada. Dia tidak lupa akan kata-kata gurunya bahwa para penyerang gelap dengan ilmu hitam semalam, hari ini tentu akan muncul. Setelah selesai semua pekerjaannya, dia cepat mandi dengan air dingin sehingga tubuhnya terasa segar dan penuh semangat.

Gurunya juga terbangun dan segera pergi ke tempat pemandian di mana telah tersedia air setempayan besar penuh. Setelah Bhagawan Sidik Paningal duduk di pendopo rumah itu seperti biasa setiap pagi, Sutejo lalu menghidangkan ketela dan pohung bakar dengan air teh.

Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk tanda senangnya hati, lalu mulai sarapan sederhana itu. Dia menawarkan kepada Sutejo dan pemuda ini pun menemani gurunya sarapan pagi.

Sinar matahari mulai menyentuh pelataran rumah itu ketika mereka melihat kedatangan tiga orang itu. Sutejo memandang dengan penuh perhatian. Dia tidak mengenal tiga orang itu.

Yang pertama adalah seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau. Pendeta ini berusia kurang lebih enam puluh tahun dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.

Yang kedua juga seorang laki-laki tinggi besar yang kumisnya melintang sekepal sebelah, tampak gagah dan juga seram. Di pundaknya tergantung sebatang golok yang sarungnya terukir indah.

Sedangkan orang ketiga bertubuh kecil pendek, berusia kurang dari orang kedua, paling banyak lima puluh tahun. Dia tampak gesit dan cekatan, di pinggangnya terselip sebatang keris dan tiga batang pisau belati telanjang.

“Kakang Sidik Paningal!” Pendeta itu berseru memanggil dengan suaranya yang bukan mengandung salam, melainkan mengandung teguran.

“Ahh, ternyata andika yang datang, Adi Jaladara, dan tidak tahu siapakan andika, dua orang yang datang bersama adi Jaladara?” tanya Bhagawan Sidik Paningal dengan suara lembut dan wajah mengandung keramahan.

“Aku bernama Ki Warok Petak!” kata orang tinggi besar yang berkumis tebal.

“Dan aku adalah Ki Baka Kroda!” kata orang yang bertubuh kecil pendek.

Sikap kedua orang ini ketika memperkenalkan diri begitu angkuh seolah memperkenalkan nama yang sudah amat terkenal. Tetapi Sutejo belum pernah mendengar nama-nama itu, bahkan nama Bhagawan Jaladara juga belum pernah didengarnya.

“Selamat datang dan selamat pagi, adi Jaladara dan kalian berdua, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda. Mari silakan duduk dan berbagi sarapan pagi sekedarnya ini bersamaku,” kata Bhagawan Sidik Paningal dengan suara ramah dan tidak dibuat-buat.

Akan tetapi tiga orang itu tetap berdiri dengan kaki terpentang lebar dan sikap menantang. Bhagawan Jaladara mengelus jenggotnya yang panjang dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut sebelum dia menjawab dengan suara yang kaku.

“Kakang Sidik Paningal, andika tentu tahu bahwa kunjunganku ini bukan untuk sarapan pohung bersamamu dan bukan untuk mengobrol denganmu!”

Bhagawan Sidik Paningal masih tetap sabar dan senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang cerah dan berseri itu. ”Kalau bukan untuk itu, apakah andika berkunjung untuk membicarakan peristiwa semalam. Adi Jaladara?”

Wajah yang sudah hitam itu berubah semakin hitam dan matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar berapi ketika dia meluruskan lehernya dan menatap wajah Bhagawan Sidik Paningal dengan alis berkerut.

“Peristiwa semalam tidak perlu dibicarakan lagi. Andika telah dapat menangkis serangan kami, akan tetapi pagi hari ini, kalau andika tetap tidak mau mendengarkan saran kami, terpaksa kami akan bertindak keras dan tidak memberi ampun kepadamu.”

“Hm, Adi Jaladara. Coba ulangi apa saranmu itu. Aku sudah hampir lupa,” kata Bhagawan Sidik Paningal dengan sabar.

“Lupa atau pura-pura lupa? Kami mendengar bahwa andika mulai tertarik dan mempelajari agama baru, berarti andika mengingkari guru kita dan melupakan agama sendiri. Kedua, andika telah menolak untuk diajak bekerja sama membantu Bupati Wirosobo.”

“Ah, itukah yang kau maksudkan? Adi Jaladara, aku adalah seorang manusia yang bebas untuk mempelajari agama apa pun juga dan aku sudah melihat bahwa Agama Islam tidak menyimpang dari ajaran-ajaran lama. Bukan berarti aku melupakan agama sendiri. Siapa pun tidak berhak untuk melarang aku mempelajari Agama Islam. Bahkan jika andika mau, ada baik sekali kalau andika juga mempelajarinya sehingga andika akan dituntun kembali ke jalan benar, meninggalkan jalan dursila.”

“Pengkhianat! Andika memburuk-burukkan agama sendiri dan memuji agama baru?”

“Bukan, karena yang jahat dan baik itu bukan agamanya, melainkan manusianya. Semua agama mengajarkan kebajikan, tetapi manusianya sendiri yang mengingkari semua ajaran itu dan terperosok ke jalan sesat. Apakah kau kira Sang Hyang Widhi akan meridhoi jalan yang kau tempuh semalam, mengirim santet untuk menyerang orang secara rahasia dan pengecut? Sadarlah, Adi Jaladara bahwa jalan yang kau tempuh itu sesat dan keliru.”

“Babo-babo, kakang Sidik Paningal. Kata-katamu semakin membakar hatiku. Sekarang katakan, apakah andika tetap tidak mau bekerja sama untuk membantu Bupati Wirosobo. Bukankah kita berasal dari daerah Wirosobo? Kenapa andika tak mau membantu bahkan memusuhi daerah sendiri?”

“Apa bila Wirosobo mengadakan usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya dengan pembangunan maka dengan senang hati aku akan membantu. Akan tetapi kalau diajak untuk memberontak terhadap Mataram, terima kasih, aku tidak suka bekerja sama!”

“Bagus, berarti andika menantang kami!”

“Adi Jaladara, aku adalah kakak seperguruanmu, bagaimana aku hendak menantangmu. Aku tidak menantang siapa pun juga, akan tetapi juga tidak akan mundur selangkah pun kalau ditantang orang.”

“Baik, kalau begitu mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kesaktian!” Bhagawan Jaladara berkata sambil membantingkan tongkat hitamnya ke atas tanah. Tampak debu mengepul dan... tongkat hitam itu sudah berubah menjadi seekor ular hitam yang besar dan ular itu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal dengan sikap mengancam, mendesis-desis sambil menjulurkan lidahnya yang merah.

Dengan tenang Bhagawan Sidik Paningal melepaskan kain pengikat rambutnya kemudian melemparkan kain itu ke arah ular yang siap menyerangnya sambil berseru dengan suara lembut namun amat berwibawa, “Kembalilah ke asalmu!”

Kain pengikat rambut mengenai ular dan kembalilah wujud ular itu menjadi tongkat hitam dan sekali Bhagawan Sidik Paningal menjulurkan tangan kanannya, kain pengikat rambut berwarna kuning itu terbang ke arah tangannya!

Bhagawan Jaladara tidak mau kalah. Dia pun menjulurkan tangan kanannya dan tongkat itu terbang ke tangannya.

“Kakang Bhagawan Jaladara, biarkan aku yang lebih dulu maju menghajar orang tua yang keras kepala ini!” tiba-tiba Ki Baka Kroda yang bertubuh kecil pendek dan yang gerak geriknya gesit itu meloncat ke depan dan melolos kerisnya yang tidak berlekuk akan tetapi cukup panjang itu. “Hayo, Bhagawan Sidik Paningal, kita mengadu kedigdayaan!”

Bhagawan Sidik Paningal memandang Ki Baka Kroda seperti seorang guru memandang muridnya yang sombong. Pada saat itu Sutejo sudah melangkah ke depan.

“Maaf, Bapa Guru. Mereka datang bertiga menantang Bapa, sungguh tidak adil! Karena itu perkenankan saya mewakili Bapa menghadapi lawan yang sombong ini!”

Bhagawan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepala, “Boleh, untuk latihan bagimu, Sutejo. Tetapi hati-hati, jangan sampai engkau melukai parah apa lagi membunuhnya.”

“Sendhika, Bapa. Saya mengerti bahwa ilmu yang saya pelajari bukan untuk menyiksa atau membunuh orang,” kata Sutejo dan dia sudah melangkah maju menghadapi Ki Baka Kroda sambil mengikatkan sarungnya di pinggang.

Pemuda ini tidak memegang senjata apa pun, tetapi melihat lawannya memegang keris, dia pun melepaskan pengikat kepalanya yang berwarna biru dan membiarkan rambutnya terlepas dan berjuntai disekeliling pundaknya.

“Ki Baka Kroda, bila andika memang ingin mengadu kesaktian, akulah lawanmu mewakili Bapa Guru. Nah, mulailah!” kata Sutejo sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar.

Kain pengikat kepala yang panjangnya sama dengan lengannya itu terpegang di tangan kanannya. Dia memegang sudut kain itu dan begitu diputar, kain itu menjadi segulungan kain yang keras.

“Bocah sombong, engkau sudah bosan hidup! Makanlah senjataku!” mendadak Ki Baka Kroda berseru keras dan dia sudah menyerang dengan kerisnya, menubruk dan keris itu meluncur ke arah dada Sutejo yang bidang.

Biar pun gerakan Ki Baka Kroda ini sangat cepat, namun gerakan Sutejo lebih cepat lagi. Pemuda itu mengelak ke kiri dan dari situ dia menggerakkan tangan kanannya. Gulungan kain pengikat kepala itu berubah menjadi sinar biru yang mencuat dan memukul ke arah hidung Ki Baka Kroda.

Orang ini terkejut sekali karena sambaran kain itu mendatangkan angin yang kuat! Dia melompat ke belakang dan mendadak tangan kirinya bergerak cepat tiga kali. Tiga batang cundrik segera melayang dan menyambar ke arah leher, dada dan perut Sutejo!

Pemuda itu agak terkejut juga karena serangan itu amat mendadak dan tak terduga-duga datangnya!

“Curang!” serunya dan tubuhnya sudah melesat ke samping sehingga tiga batang cundrik itu lewat dan tidak mengenai tubuhnya.

Kini Sutejo balas menyerang dengan kain pengikat kepalanya. Meski pun kain itu lemas, akan tetapi di tangannya bisa berubah menjadi kaku dan gulugan kain itu berubah seperti sebatang tongkat atau tombak. Dari gurunya dia memang sudah mendapat gemblengan menggunakan kain pengikat kepala ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dan ilmu silat yang dimainkannya dengan kain itu disebut Sihung Nila (Taring Biru).

Begitu Sutejo menggerakkan senjatanya itu dan memainkan Sihung Nila, Ki Baka Kroda segera terdesak hebat. Kain itu berubah menjadi gulungan sinar biru yang mengepungnya dari segenap penjuru sehingga dia hanya dapat menggunakan kerisnya untuk menangkis saja, sambil mengelak ke sana ke mari.

Setelah lewat lima puluh jurus, Sutejo sudah merasa cukup. Saat melihat keris lawannya menyambar ke arah dadanya, dia cepat mengerahkan aji kekebalan Kawoco.

“Tukk!”

Keris itu mengenai dadanya, akan tetapi tidak dapat menembus kulit dadanya. Ki Baka Kroda terkejut bukan main dan pada saat itu pula sinar biru menyambar lalu mengenai lehernya. Ki Baka Kroda terbanting dan terpelanting roboh!

Dengan kepala agak pening Ki Baka Kroda bangkit berdiri, akan tetapi dia maklum bahwa dia telah kalah. Kalau nekat maju lagi, tentu akan mengalami kekalahan kedua. Dia tidak mau dia menjadi bahan tertawaan, karena itu sambil bersungut-sungut dia lalu mundur ke sebelah Sang Bhagawan Jaladara seperti minta bantuannya.

“Babo-babo, muridmu telah dapat mengalahkan seorang rekanku, kakang Sidik Paningal. Sekarang mari kita yang tua sama tua maju untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang,” kata Bhagawan Jaladara sambil memalangkan tongkat hitamnya di depan dada.

Bhagawan Sidik Paningal bangkit dari tempat duduknya kemudian berdiri di hadapan adik seperguruannya. “Adi Jaladara, sejak kecil kita sudah sama-sama digembleng oleh Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru, apakah sesudah tua begini kita sama-sama menggunakan semua ilmu itu untuk saling serang, hanya karena kesalah fahaman sekecil ini? Kalau andika hendak membantu Bupati Wirosobo, silakan tetapi jangan bawa-bawa aku. Ada pun tentang agama baru yang kupelajari, engkau tiidak perlu memusingkan hal itu karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Adi Jaladara, apakah kita tidak dapat menyudahi saja pertikaian ini dan menghindarkan diri dari buah tertawaan orang sedunia bahwa ada kakak dan adik seperguruan saling hantam di sini? Apakah hal ini tidak akan menurunkan derajat dan wibawa Bapa Guru Resi Limut Manik?”

“Kakang Sidik Paningal! Kalau engku berkecil hati dan takut menghadapi aku, lebih baik engkau memenuhi saranku dan marilah kita sama-sama membantu Kabupaten Wirosobo sehingga suka duka akan kita alami bersama.”

“Adi Jaladara, seorang pertapa seperti aku ini sudah tidak punya nafsu sama sekali untuk mencapai kemahsuran, kemuliaan dan kedudukan. Kau berangkatlah dan lakukan sendiri. Aku akan tinggal bertapa di sini memisahkan diri dari keramaian dunia.”

“Andika tetap berkukuh, kakang Sidik Paningal?”

“Justru andikalah yang berkukuh, Adi Jaladara, sebab andika yang hendak memaksakan kehendak.”

“Babo-babo, kalau begitu tidak ada jalan lain kecuali memutuskannya dengan mengadu kesaktian!”

“Terserah kalau andika menghendaki demikian.”

“Kakang Sidik Paningal, agaknya saat ini sudah waktunya bagimu untuk meninggalkan dunia ini! Awas serangan tongkatku!” Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara lalu mengirim serangan hebat.

Serangan ini datangnya dahsyat bukan main, mendatangkan angin menderu tanda bahwa tongkat digerakan oleh tenaga yang amat dahsyat. Sutejo sendiri sampai terkejut melihat hebatnya serangan dari paman gurunya yang baru pertama kali dijumpainya.

Bhagawan Sidik Paningal cepat mengelak. Seperti juga Sutejo, pendeta ini mengandalkan ikat kepalanya sebagai senjata untuk membela diri. Dia melepaskan kain pengikat kepala dan membiarkan rambutnya yang sudah hampir putih itu terjurai. Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kakak melawan adik seperguruan itu.

Demikian hebatnya perkelahian itu sehingga debu mengebul tinggi dan daun-daun pohon yang terletak di sekitar tempat perkelahian itu bergoyang-goyang dan banyak daun kuning rontok seperti dilanda angin besar. Sutejo dapat merasakan pula sambaran angin pukulan yang dahsyat dari kedua orang sakti itu.

Sesudah mereka bertanding selama hampir satu jam, dari kepala kedua orang kakek itu mengepul uap putih dan tubuh keduanya sudah mandi keringat. Agaknya ilmu kepandaian mereka memang setingkat. Akan tetapi perlahan namun pasti, Bhagawan Jaladara mulai terdesak.

Kain pengikat kepala berwarna kuning itu sudah berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang berwarna kuning dan agaknya sinar ini menembus semua pertahanan Bhagawan Jaladara sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terus terdesak mundur. Pada suatu saat, ketika tongkat hitam itu menyambar ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal, kain kuning itu meluncur dan menangkis lalu melibat tongkat sehingga tak mampu dilepaskan lagi.

Melihat ini Bhagawan Jaladara langsung mengeluarkan suara bentakan nyaring kemudian dia memukul dengan tangan kirinya ke arah kepala kakak seperguruannya. Akan tetapi Bhagawan Sidik Paningal sudah waspada, dia pun segera mengangkat lengan kirinya ke atas sambil mengerahkan tenaga.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar