Postingan

SATU
GUNUNG Kedung yang berdiri gagah tinggi menjulang menjadi latar belakang pemandangan di Desa Wandur. Hawa desa yang terletak di kaki gunung itu amat sejuk. Penduduknya cukup padat, dan rata-rata bermata pencaharian dengan bertani dan berladang. Bila matahari mulai mengintip di ufuk timur, maka semua laki-laki di desa itu berangkat menuju sawah ladangnya. Sementara yang tinggal hanya anak-anak dan wanita serta orang tua.

Seperti juga pagi ini. Tampak anak-anak bermain sambil berlari-larian di sekitar halaman rumah mereka. Sedangkan para ibu rumah tangga menyiapkan makanan untuk suami di sawah. Suatu kegiatan yang terus berjalan sepanjang hari. Tampak beberapa orang telah meninggalkan rumah. Sementara, yang lain masih duduk di balai bambu sambil menghirup kopi dan menyantap sarapan sebelum bekerja. Sesekali mereka bertegur sapa.

“Tidak berangkat, Ki Somad?” tanya seseorang, ketika lewat di depan rumah orang yang dipanggil Somad.

“Sebentar lagi, Gimin. Kuhabiskan kopi ini dulu. Mampir! Masih ada pisang goreng hangat!” sahut laki-laki setengah baya itu tersenyum cerah. Istrinya yang berada di dekatnya ikut tersenyum lebar.

“Terima kasih, Ki Somad. Masih banyak yang harus kukerjakan!” tolak pemuda yang dipanggil Gimin.

Pemuda itu lantas melanjutkan perjalanan sambil melambaikan tangan. Dan Ki Somad pun membalasnya dengan anggukan kepalanya. Kini terlihat laki-laki setengah baya itu menggeleng pelan, seraya tersenyum-senyum sendiri. Sebentar kemudian, diseruputnya kopi yang sudah dingin.

“Pemuda itukah yang hendak kau jodohkan dengan si Marni?” tanya Nyi Somad.

“Kenapa? Kau tidak setuju?” Ki Somad malah balik bertanya.

“Dia orang baru di sini. Kita sama sekali belum begitu mengenal keluarganya,” desak wanita setengah baya yang sudah kelihatan tua dari usia yang sebenarnya itu.

“Dia anak Ki Suhanda. Dan aku kenal betul dengannya. Selain rajin, mereka termasuk orang baik-baik...,” kilah Ki Somad.

Wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang duduk di sebelah Ki Somad itu hanya menarik napas panjang. Rasanya memang sulit untuk membantah laki-laki itu.

“Kau tidak setuju...?”

“Aku hanya ingin Marni mendapat jodoh dari orang baik-baik,” sahut Nyi Somad pelan.

“Apakah menurutmu pemuda itu tidak baik?” tanya Ki Somad lagi.

“Bukan begitu. Kau tahu, keadaan kita amat susah. Sawah hanya sepetak. Apakah kau tidak ingin taraf hidup kita lebih baik lagi? Juragan Dudung telah melamar si Marni. Tapi, sampai sekarang kau belum juga memberi jawaban padanya....”

Ki Somad terkekeh. “Kau ingin aku menerima lamarannya hanya karena dia orang kaya, sehingga kelak mampu mengangkat derajat hidup kita...?” tanya laki-laki itu dengan nada sedikit sinis.

“Apa salahnya? Dia toh, bukan orang jahat. Dan lagi, istrinya telah lama meninggal!” sentak Nyi Somad.

“Tentu saja tidak salah. Tapi kau harus ingat Selain usianya lebih tua dariku, Marni pun tidak menyukainya. Apakah aku harus memaksa Marni kawin dengannya, hanya untuk membahagiakan kita? Marni berhak menentukan pilihannya sendiri. Dan dia menyukai pemuda itu. Maka, kita tidak berhak merampas kebahagiaannya!” tegas Ki Somad, coba menjelaskan.

Nyi Somad kembali terdiam, tidak berusaha membantah keputusan suaminya. Namun jelas wajahnya menunjukkan bahwa masih belum sependapat. Dan agaknya, Ki Somad bukannya tidak mengetahuinya.

“Mirah! Aku mengerti, apa yang kau inginkan. Bukannya aku tidak ingin hidup kita berubah. Walaupun rezeki yang kita miliki sedikit tapi wajib disyukuri. Kita tidak perlu mencari jalan pintas dengan menerima lamaran Juragan Dudung. Bersabarlah, Nyi. Siapa tahu kelak nasib kita akan berubah,” desak Ki Somad, berusaha meredakan kekesalan istrinya yang sebenarnya bernama Sumirah.

“Sudahlah. Aku tidak ingin membicarakannya lagi,” sahut Nyi Somad seraya bangkit berdiri. Sebentar saja, dia berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Di pintu depan, wanita itu bertemu seorang gadis manis berkulit kuning langsat terbungkus pakaian kebaya hijau. Matanya bulat indah. Hidungnya kecil mancung, serta rambutnya disanggul begitu saja. Mereka bertatapan sesaat, kemudian Nyi Somad buru buru melangkah melewati gadis itu. Sedangkan gadis berkebaya hijau itu memperhatikan dengan wajah heran, kemudian melangkah mendekati Ki Somad.

“Apa yang terjadi, Yah? Bertengkar lagi?” tanya gadis itu, dengan wajah bingung.

“Tidak ada apa-apa. Marni,” sahut Ki Somad disertai gelengan kepala yang lemah.

Laki-laki setengah baya itu lalu bangkit. Dirapikannya golok yang terselip di pinggang. Lalu, diambilnya cangkul. Sejenak matanya memandang anak gadisnya. “Katakan pada ibumu, Ayah berangkat sekarang.”

“Baik, Ayah,” sahut gadis putri Ki Somad yang ternyata Marni.

Ki Somad langsung melangkah keluar dari rumahnya. Namun belum berjalan lima langkah, tiba-tiba....

“Perampok...! Ada perampok...! Tolooong...!” Terdengar teriakan yang susul-menyusul dari ujung Desa Wandur ini.

Ki Somad kontan tersentak kaget. Bahkan beberapa orang tetangganya sudah keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sementara itu di ujung Desa Wandur sebelah barat terlihat debu mengepul menghalangi pemandangan. Namun jelas terdengar derap langkah kuda yang berjumlah ratusan. Beberapa orang penduduk menggigil ketakutan. Bahkan banyak yang langsung masuk ke dalam untuk bersembunyi.

“Heaaa...!” Tampak lebih dari dua puluh orang berwajah seram menunggangi kudanya dengan kecepatan bagai dikejar setan menuju Desa Wandur. Para penunggang kuda yang rata-rata membawa senjata tajam itu berbuat seenak hatinya. Mereka langsung membunuhi siapa saja yang ditemui di jalan utama desa ini. Bahkan sama sekali tidak peduli apakah korbannya anak-anak atau wanita yang tidak berdaya. Sementara beberapa orang laki-laki penduduk Desa Wandur mencoba memberikan perlawanan.

Namun kebanyakan tewas disambar senjata-senjata para penunggang kuda dalam waktu singkat. Jerit kematian berbaur tatapan menyayat wanita dan anak-anak yang berlari ke sana kemari menambah trenyuh bagi yang melihatnya.

“Sikat semua barang-barang berharga! Ayo, cepat! Bunuh semua yang mencoba menghalangi! Ambil wanita-wanita cantik di seluruh sudut desa ini. Hua-ha-ha...!” teriak seorang penunggang kuda bertubuh besar. Kepalanya botak dengan cambang bauk tebal. Dia terus memberi perintah sambil tertawa penuh kemenangan.

“He-he-he...! Pintar juga otakmu, Purwareksa. Tapi jangan serakah. Kita bertiga di sini. Dan bagian terbesar nanti, harus diberikan pada Aki Bergola!” sahut seseorang yang berkuda di samping laki-laki yang dipanggil Purwareksa. Dia bertubuh tinggi. Kepalanya lonjong bagai telur. Senjatanya berupa tombak bermata tiga.

“Hi-hi-hi...! Benar kata Ki Boneng. Kau tidak boleh serakah seperti yang sudah-sudah, Purwareksa. Bisa-bisa Ki Bergola akan menghukummu dengan berat!” timpal orang yang bertubuh pendek gemuk. Senjatanya berupa clurit besar yang terselip di pinggang.

“Ki Boneng, Ki Amoksa...! Jangan khawatir! Tentu saja aku tidak berani serakah. Huh! Siapa sudi dihukum Ki Bergola?” sahut Ki Purwareksa yang bersenjatakan bandul besi penuh paku-paku tajam yang dihubungkan dengan rantai besi.

Melihat dari cara mereka memerintah, agaknya ketiga orang itu adalah pemimpin para perampok ini. Sebagai pemimpin perampok tentu saja kepandaian mereka tidak rendah. Dan ini terbukti, ketika beberapa pemuda Desa Wandur dengan amarah meluap-luap bermaksud menghajar mereka, maka hanya sekali kibasan tangan, pemuda-pemuda itu dibuat terjungkal memuntahkan darah segar. Bahkan mereka tewas beberapa saat kemudian.

“Huh! Segala kecoa buduk ingin berlagak jagoan! Kalian boleh mampus sekarang juga!” dengus laki-laki bersenjata tombak bermata tiga yang bernama Ki Boneng geram.

“Ha-ha-ha...! Mereka memang harus diberi pelajaran agar tidak bertindak gegabah!” timpal laki-laki bersenjata clurit yang bernama Ki Amoksa.

Belum habis kata-katanya, mendadak meluruk seorang laki-laki setengah baya sambil mengayunkan cangkul ke arahnya.

“Keparat Jahanam! Akan kubunuh kalian semua! Yeaaa...!” teriak laki-laki setengah baya itu.

Di atas punggung kudanya, Ki Amoksa menggeram. Dan seketika tangannya bergerak, untuk menangkis cangkul yang tertuju ke arahnya.

Trakkk! Laki-laki bersenjata cangkul itu memiliki sedikit kepandaian. Buktinya ketika Ki Amoksa balik menyerang, dia mampu menangkis. Bahkan sekaligus melompat menghindar.

Bukan main geramnya Ki Amoksa melihat kenyataan ini. Maka seketika dia melompat dari punggung kudanya dengan gerakan indah sekali. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, tubuhnya langsung melesat.

“Orang Tua Busuk! Bagus! Agaknya kau memiliki kepandaian juga, he?! Ingin kulihat sampai di mana kebisaanmu...! Hiyaaa...!” geram Ki Amoksa.

Laki-laki bertubuh pendek dan gempal itu melompat ringan sambil mengayunkan clurit besar di tangannya. Sementara laki-laki setengah baya yang dihadapinya cepat mundur dua langkah sambil memasang kuda-kuda kokoh. Langsung ditangkisnya tebasan senjata clurit yang hendak menebas lehernya. Begitu habis menangkis, laki-laki penduduk Desa Wandur itu cepat bergerak ke kiri, untuk menghindari kepalan tangan kanan Ki Amoksa.

“Setan! Kau akan mampus karena ulahmu sendiri, Keparat!” desis Ki Amoksa semakin geram.

Kali ini, agaknya Ki Amoksa tidak ingin bertindak setengah-setengah lagi. Maka, telapak kirinya langsung disorongkan ke depan. Seketika dari telapak kirinya yang terbuka mendesir angin kencang berhawa panas ke arah lawannya. Sejenak laki-laki setengah baya itu tersentak kaget, namun masih mampu menjatuhkan diri ke tanah, menghindari serangan angin berhawa panas itu. Tubuhnya langsung bergulingan, karena serangan Ki Amoksa tidak berhenti sampai di situ. Bahkan tubuh laki-laki bersenjata clurit itu langsung meluruk melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.

Jderrr!

Untung saja laki-laki setengah baya itu terus bergulingan, ketika kaki Ki Amoksa mendarat di tanah. Bumi tempat berpijak kontan seperti bergetar hebat, menciptakan lubang sedalam hampir sejengkal. Sementara laki-laki setengah baya itu sudah melesat keatas. Namun pada saat tubuhnya mengapung di atas, Ki Amoksa sudah cepat mengejar sambil menyabetkan cluritnya ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga tidak mampu dihindari.

Brettt!

“Aaakh...!” Orang itu kontan memekik keras begitu perutnya tersambar clurit. Tubuhnya langsung ambruk bermandikan darah dengan perut robek dan usus terburai keluar.

“Ayaaah...!” Mendadak terdengar jeritan seseorang dari arah yang tak jauh dari situ. Rupanya jeritan itu berasal dari seorang pemuda yang tadi masih memberikan perlawanan gigih terhadap salah seorang perampok. Dan tanpa mempedulikan lawannya, dia tergopoh-gopoh menghampiri laki-laki setengah baya yang rupanya adalah ayahnya. Bola matanya berkilat tajam penuh dendam dan amarah. Giginya bergemerutuk keras dengan tubuh bergetar hebat.

“Iblis jahanam! Kubunuh kau, Kisanak! Kau harus bayar hutang nyawa ini!” desis pemuda itu garang. Langsung disambarnya sebuah golok yang tergeletak di tanah. Namun belum juga dia membuat sebuah serangan....

“Aouw...! Kakang Gimin, tolooong...! Tolooong...!”

Terdengar teriakan minta tolong dari arah kanan. Seketika pemuda itu menoleh ke arah suara jeritan tadi.

“Hei?! Marni...! Marni...!”

Tampak seorang perampok tengah menggendong gadis itu sambil terkekeh-kekeh kegirangan. Gadis yang ternyata Marni berusaha berontak sekuat tenaga dengan wajah ketakutan. Sementara, ayahnya mencoba menolong. Namun dengan sekali hajar, tubuh laki-laki yang tak lain Ki Somad kontan terjungkal. Sedangkan seorang wanita setengah baya berteriak menyayat dan buru-buru menghampiri Ki Somad. Namun salah seorang dari kawanan perampok dengan garang langsung mengibaskan tangannya, menghajar wanita itu.

“Bajingan terkutuk! Kubunuh, kalian...!” dengus pemuda bernama Gimin.

“Hmmm, cincang bocah keparat itu!” bentak salah seorang perampok.

Beberapa orang langsung mengepung Gimin yang berusaha menolong keluarga Ki Somad. Sementara pemuda itu merayapi para pengepungnya dengan sorot mata tajam penuh dendam. Dan ketika beberapa orang melancarkan serangan, Gimin cepat bertindak. Langsung ditangkisnya serangan serangan itu dengan goloknya.

Trang!

Gimin langsung balik menyerang dan mengamuk sejadi-jadinya. Gerakan-gerakannya cukup mantap. Sedang golok ditangannya menyambar-nyambar ke arah tubuh para pengepungnya.

Bresss!

“Aaaa...!” Tampak salah seorang mulai terjungkal ke tanah bermandikan darah terkena sabetan Gimin pada perutnya. Beberapa pengepung terkesiap kaget melihat kegesitan Gimin. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan pemuda itu untuk melenting ke atas, dan keluar dari kepungan tersebut. Dia bermaksud menolong Marni, gadis pujaannya yang tengah dibawa lari salah seorang perampok.

“Jahanam keparat! Lepaskan gadis itu...!” bentak Gimin garang, begitu mendarat ditanah.

Gimin cepat melesat, mengejar laki-laki yang hendak membawa Marni. Namun belum juga sampai, orang yang dikejarnya sudah berbalik menghadang. Sambil mendengus geram, orang itu langsung mengibaskan golok di tangan. Namun tangkas sekali Gimin menangkis.

“Huh!”

Trang!

Begitu habis menangkis, Gimin melayangkan kaki kanannya menghantam ke arah pinggang. Perampok itu bertindak licik. Gadis dalam rangkulannya langsung dijadikan tameng. Dan Gimin pun tidak kalah cerdik. Maka dengan cepat kakinya ditarik, langsung melepaskan tendangan ke atas.

Des!

“Aaakh...!”

Ujung kaki Gimin tepat dan telak menghantam ke muka orang itu hingga menjerit kesakitan. Tulang hidungnya langsung patah. Darah mulai mengucur dari lubang hidungnya ketika tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sehingga Marni terlepas dari pegangannya. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan. Segera dirampasnya Marni dari rangkulan orang itu. Tapi keadaan Gimin dan Marni semakin terjepit, sebab enam orang lawan lain telah kembali mengepung.

Untuk sesaat pemuda itu terkesiap sambil menyilangkan golok di dada, sementara tangan kiri menggamit lengan gadis yang baru diselamatkannya. Kelihatannya, mereka tidak akan lolos dari keroyokan ini. Namun, Gimin agaknya telah bertekad untuk mati bersama.

“Gimin! Cepat pergi dari sini! Biar kuhadang bajingan-bajingan keparat ini! Ayo, selamatkan Marni! Selamatkan diri kalian berdua!” Tiba-tiba terdengar seruan dari balik para pengepung.

“Heh?!” Gimin kaget setengah mati, ketika melihat siapa yang menyuruhnya pergi.

Belum habis rasa keterkejutan pemuda itu, Ki Somad tiba-tiba mengamuk dengan golok di tangan. Untuk sesaat Gimin jadi bingung sendiri. Mana mungkin orang tua itu dibiarkan sendiri menghadapi kawanan perampok kejam itu.

“Cepat pergi! Selamatkan Marni! Ayo...!” bentak Ki Somad garang. Belum habis teriakan Ki Somad, salah seorang perampok telah menyerang dengan kecepatan kilat. Ki Somad hendak menggeser tubuhnya, tapi terlambat. Dan....

Begkh!

“Aaakh...!” Satu ujung kaki perampok telah menghantam perut orang tua itu, sehingga tubuhnya langsung terjungkal ke tanah dan bergulingan diiringi jerit kesakitan. Namun dengan wajah garang, orang tua itu cepat bangkit.

“Eh, Ki Somad...?” Gimin semakin bingung saja melihat keadaan orang tua itu. Tapi ketika Ki Somad melotot garang ke arahnya, dia segera angkat kaki walaupun dengan perasaan berat. Dicobanya untuk menerobos kepungan para perampok sambil mengibaskan golok di tangan kanan, dan menggeret Marni dengan tangan kiri.

“Yeaaa...!”

Trang! Trang!

“Keparat! Jangan biarkan mereka lolos! Kejar dan bunuh segera!” teriak Ki Amoksa.

Tiga orang mencoba menghadang langkah Gimin. Namun dengan menggeram buas, pemuda itu melayani serangan. Namun agaknya kepandaian para perampok itu lumayan tinggi. Hingga pada satu kesempatan....

Crasss!

“Aaakh...!”

“Kakang Gimin...?!” Marni menjerit tertahan, ketika salah satu golok perampok menyambar pangkal lengan pemuda itu. Gimin mengeluh menahan rasa sakit di lengannya. Sementara darah mulai mengucur deras, membasahi lengannya.

Dan belum juga Gimin membuat serangan balik, salah seorang kembali meluruk deras ke arahnya melepaskan satu tendangan keras. Cepat bagai kilat, Gimin bergulingan sambil tetap menggamit lengan Marni. Dan kini mereka berhasil terlepas dari kurungan.

“Marni, ayo cepat!” teriak Gimin seraya bangkit berdiri. Langsung diseretnya gadis itu yang susah payah bangkit, untuk keluar dan segera berlari. Belum juga mereka jauh berlari, terdengar jeritan menyayat.

“Ayaaah...!”

Marni terkejut, dan langsung menghentikan larinya. Sekilas, terlihat tubuh ayahnya menggelepar bermandikan darah tersambar senjata-senjata para perampok. Marni langsung mengalihkan pandangannya, tak kuasa melihat kejadian di depan matanya. Wajahnya pucat dan hatinya perih tidak karuan.

“Ayo, jangan bengong! Kita pergi dari sini...!” teriak Gimin, menyadarkan gadis itu dari keterpakuannya.

“Keparat! Kejar mereka. Dan, jangan biarkan lolos!” teriak Ki Amoksa semakin geram melihat sepasang anak muda itu berhasil meloloskan diri.

Beberapa perampok langsung melompat, mengejar Gimin dan Marni yang terus berlari menembus semak belukar yang lebat, di pinggiran desa ini. Sementara itu Gimin bukannya tidak mengerti akan kesedihan Marni. Malah orangtua pemuda ini juga tewas di depan matanya. Namun dia berusaha menguatkan hati, dan terus berlari kencang sambil menyeret Marni untuk pergi sejauh-jauhnya.

“Kakang! Aku tidak kuat lagi berlari. Kakiku terasa pedih dan sakit. Dan, napasku pun sesak...,” keluh Marni. Wajahnya tampak pucat dan napasnya tidak beraturan.

“Marni, kuatkan hatimu. Kuatkan semangatmu! Mereka masih mengejar kita. Ayo! Kalau mereka bisa menemukan kita, maka, jangan harap bisa selamat. Apakah akan dibiarkan begitu saja pengorbanan orangtua kita, demi keselamatan kita berdua...?” ujar Gimin, mencoba memompa semangat gadis itu.

“Oh...!”

Marni berusaha menguatkan semangatnya. Dicobanya untuk terus berlari. Namun belum berapa jauh, dia terjatuh. Gimin langsung berhenti. Dan dia cepat memapah gadis ini.

“Kakang! Aku..., aku tidak kuat lagi. Sebaiknya, tinggalkan saja aku di sini. Selamatkan dirimu, Kakang...,” keluh gadis itu dengan napas megap-megap.

“Tidak! Kau harus selamat! Kita harus selamat..!” sentak pemuda itu. Langsung diangkatnya tubuh Marni dan dibopongnya. Kemudian Gimin berusaha lari secepatnya dari tempat itu.

Namun nyatanya keadaan pemuda itu sendiri sudah lemah. Darah yang terus mengucur di pangkal lengan seperti hendak menghambat larinya. Lagi pula ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Gimin masih tergolong rendah. Maka baru beberapa belas tombak berlari tubuhnya terjerembab bersama Marni, langsung bergulingan. Dan belum juga mereka bangkit berdiri....

“Ha-ha-ha...! Akhirnya mereka kecapaian sendiri. Maka dengan mudah kita bisa membereskannya!”

Mendadak terdengar tawa menggelegar tak jauh dari sepasang anak muda itu. Rupanya tawa itu berasal dari salah seorang kawanan perampok yang mengejar. Dan mereka yang sudah sampai di tempat ini langsung mengepung kedua anak muda-mudi itu.

Gimin terkesiap kaget. Jumlah para pengepung hanya empat orang. Meski wajah Gimin menunjukkan rasa tidak takut, tapi sebenarnya diam-diam hatinya mengeluh putus asa. Dalam keadaan sehat, belum tentu dia mampu mengalahkan mereka. Lalu, bagaimana dalam keadaannya saat ini?

“Bunuh bocah keparat ini! Dan, bawa gadis itu untuk kita hadapkan pada Ki Amoksa!” perintah salah seorang.

“He-he-he...! Sayang sekali kalau gadis semontok ini kita serahkan Ki Amoksa. Bagaimana kalau kita saja yang menikmati bersama,” usul yang lain.

“Ya! Lebih bagus begitu, Dewok!” sambung salah seorang lagi.

Orang yang dipanggil Dewok, agaknya disegani ketiga kawannya. Dan dia berpikir sesaat, sambil memandang Marni dari ujung rambut hingga kaki. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.

“He-he-he...! Pintar juga akal kalian. Ya! Lebih baik buat kita saja sebelum kita bunuh!” sahut Dewok.

Ketiga orang itu tertawa, menyambut gembira usul Dewok. Mulut mereka tertawa lebar, sambil mendekati gadis itu.

“Kakang Gimin! Aku... aku takut! Oh! Aku takut sekali...!” seru Marni dengan wajah tersembunyi di dada Gimin yang memeluknya erat-erat.

Gimin menyadari kalau keadaannya tidak menguntungkan. Dengan tangan kiri memeluk Marni, tangan kanannya segera menghunus golok dan siap menyambut serangan. Matanya tampak garang. Wajah berkerut, menyiratkan kebencian yang dalam.

“Jangan kira kalian bisa menyentuh gadis ini seenaknya! Huh! Langkahi mayatku dulu!” dengus Gimin geram.

“He-he-he..,! Apa susahnya? Kau kira dirimu apa, he?! Kau tidak lebih dari seekor tikus got yang terjepit, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa. Dengan sekali tebas, maka kepalamu akan menggelinding ke tanah!” desis Dewok diiringi tawa mengejek.

Dewok segera memberi isyarat pada ketiga kawannya. Sementara Gimin bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun sebelum segala sesuatu terjadi....

“Bajingan-bajingan Keparat! Enyahlah kalian dari sini...!”

“Heh?!” Terdengar bentakan keras menggelegar, sehingga mengejutkan semua yang ada di tempat ini. Belum juga keterkejutan mereka lenyap, mendadak melesat bagai kilat sebuah bayangan putih. Setelah membuat putaran beberapa kali di udara, bayangan putih itu mendaratkan sepasang kakinya di tanah, tepat membelakangi Gimin dan Marni.

***
DUA
Keempat orang perampok kontan tersentak kaget, melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih, berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Pemuda yang di punggungnya tersandang sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali itu melangkah mendekati para perampok dengan sorot mata tajam.

“Bocah edan! Rupanya kau sudah bosan hidup, heh! Berani benar kau mencampuri urusan kami?! Ayo, pergi cepat! Kalau tidak, kupotes kepalamu!” hardik Ki Dewok garang dengan mata melotot lebar.

Pemuda itu malah tersenyum kecil. Langkahnya berhenti saat jaraknya terpaut satu setengah tombak dengan Ki Dewok.

“Kisanak! Perbuatan kalian membuat mataku gatal! Apakah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini?” sahut pemuda itu tenang.

“Kurang ajar! Hei, bocah! Apakah kau tahu, berhadapan dengan siapa saat ini?!”

“Aku tak ingin tahu, siapa kalian, yang jelas, kalian telah bertindak konyol dengan mengeroyok orang-orang tidak berdaya. Dan itu tak boleh terjadi di depan mataku....”

“Keparat! Agaknya mulutmu perlu disumbat, heh?!”

Bukan main geramnya Ki Dewok mendengar jawaban pemuda yang seperti tidak peduli dan sangat menganggap enteng itu. Dengan cepat laki-laki bertampang kasar itu langsung melompat. Dan menyerang dengan satu tendangan keras.

“Yeaaaa...!”

Namun agaknya pemuda berbaju rompi putih itu tenang-tenang saja menanggapi serangan Ki Dewok. Baru ketika serangan itu meluncur dekat, tubuhnya cepat bergeser ke kanan. Lalu dengan gerakan dahsyat, ditangkapnya kaki Ki Dewok yang tadi mengarah ke dada. Tappp...!

Ki Dewok terkesiap. Dan belum habis rasa terkejutnya, mendadak sikut tangan kanan pemuda itu telah menyodok perutnya dengan keras sekali.

Begkh!

“Aaaakh...!” Ki Dewok menjerit kesakitan dan kontan tubuhnya terjungkal ke tanah. Isi perut seperti diaduk-aduk. Agaknya Ki Dewok betul-betul menganggap enteng. Dikiranya pemuda itu hanya seorang yang sok jago saja. Tapi nyatanya?

“Kurang ajar! Hm.... Rupanya kau punya kepandaian juga, Kisanak! Tapi jangan berlagak di depanku!” kata Ki Dewok, setelah bangkit berdiri dan menyalurkan hawa murni untuk menghilangkan rasa mual pada perutnya.

Kini Ki Dewok makin kalap. Walau dengan wajah meringis menahan sakit, dia mencabut golok. Kembali diserangnya pemuda berbaju rompi putih itu dengan ganas.

“Yeaaa...!”

Bet!

Sambil melompat-lompat ringan, pemuda itu terus menghindar. Gerakannya tak beraturan, sehingga lebih mirip orang mabuk saja. Dan rasanya, jauh jika disebut suatu jurus silat.

“Hm. Agaknya kau terlalu bernafsu hendak membunuhku, Kisanak. Jangan membuat pikiranku berubah,” kata pemuda itu mengejek, setelah berhasil menghindari satu sabetan golok yang mengarah ke perutnya.

“Tutup mulutmu, Bocah! Lebih baik kau jaga kepalamu!” desis Ki Dewok semakin garang saja, karena pemuda itu mudah sekali menghindari setiap sambaran goloknya. “Yeaaa...!”

Ki Dewok langsung melipatgandakan kepandaiannya dalam serangannya kali ini. Namun sejauh ini belum juga mampu menjatuhkan lawannya Sebaliknya, pemuda itu tampak tenang-tenang saja dalam menghindari setiap serangan. Bahkan sama sekali tidak terlihat kalau keteteran.

Wukkk!

Ki Dewok mengayunkan goloknya hendak membelah kepala pemuda itu. Namun dengan gerakan laksana kilat, pemuda itu melenting ke belakang. Melihat serangannya luput, Ki Dewok terus memburu dengan satu tendangan bertenaga dalam tinggi.

Agaknya, serangan itu memang ditunggu pemuda ini. Seketika tubuhnya mencelat ke atas, begitu menyentuh tanah. Langsung kaki kanannya diayunkan untuk memapak tendangan yang meluncur ke arahnya.

Melihat hal ini, Ki Dewok sadar kalau tak mungkin mengadu tenaga dalam dengan pemuda ini. Seketika kakinya ditarik kembali, dan langsung menggantikannya dengan satu babatan golok yang cepat bagai kilat. Namun pemuda itu segera menekuk kakinya. Lalu kakinya yang sebelah lagi cepat menghantam dada sebelah kanan Ki Dewok.

Begkh!

“Aaaakh...!” Serangan pemuda itu telak sekali menghantam dada kiri, membuat Ki Dewok terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Dari mulutnya muncrat darah segar. Dia berusaha bangkit, namun kembali tersungkur. Tampak mulutnya menyeringai menahan sakit yang luar biasa pada dadanya.

Sementara, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri tegak, sambil memandang tajam pada Ki Dewok yang masih meringis-ringis.

“Bocah kurang ajar! Kubunuh kau...!” teriak seorang kawan Ki Dewok.

Orang itu langsung menghunus golok, lalu melompat menyerang pemuda ini. Dan, tindakannya diikuti kedua kawannya yang lain. Maka secara bersamaan mereka mengeroyok pemuda berbaju rompi putih ini.

“Hm.... Agaknya kalian memang perlu diberi pelajaran!” gumam pemuda itu, bernada mengancam.

Seketika tubuh pemuda itu melompat tinggi. Kemudian tubuhnya bersalto beberapa kali. Sedangkan ketiga kawan Ki Dewok itu hanya terkesiap, karena serangan mereka luput dari sasaran. Gerakan pemuda itu cepat bukan main dan sulit diikuti pandangan mata. Sehingga ketika tiba-tiba pemuda itu berkelebat cepat, tak ada seorang pun yang menyadari. Dan tahu-tahu terdengar pekik kesakitan saling susul. Kemudian tubuh ketiga orang itu terjungkal sambil mendekap dada masing-masing yang terasa akan pecah.

Ketiga orang itu berusaha bangkit, namun kembali terjatuh ke tanah tak jauh dari Ki Dewok. Sementara pemuda berbaju rompi putih itu telah berdiri tegak didepan mereka.

“Apakah kalian ingin pikiranku berubah...?” tanya pemuda itu dingin.

“Eh..., ohh...!”

Empat orang perampok itu gelagapan dengan wajah pucat ketakutan. Tidak ada seorang pun yang berniat hendak bangkit. Apalagi untuk melakukan serangan kembali. Ki Dewok sendiri memandang pemuda itu dengan wajah tidak percaya. Betapa tidak? Kepandaiannya saat ini boleh disebut lumayan. Jarang orang bisa menjatuhkannya. Tapi pemuda ini telah membuatnya kedodoran dalam waktu singkat.

“Kisanak! Siapakah kau sebenarnya...?” tanya Ki Dewok, datar.

“Apakah itu berarti bagi kalian?”

“Buat kami mungkin tidak. Tapi bagi pemimpin kami, tentu hal ini, tidak akan bisa diterimanya. Dan bisa jadi kau akan dikejarnya...,” sahut Ki Dewok berusaha menggugah hati si pemuda.

“Oh?! Jadi, kalian punya pemimpin? Siapa pemimpin kalian?” tanya pemuda itu, tenang.

“Kisanak! Kuakui kepandaianmu sangat tinggi. Tapi menghadapi Ki Bergola yang berjuluk Iblis Langit, kau akan bersujud di telapak kakinya. Karena, dialah pimpinan Kawanan Serigala Bukit Maut. Dia tentu tidak akan tinggal diam jika anak buahnya tewas!” kata Ki Dewok berusaha menciutkan nyali pemuda itu.

“Hm, Iblis Langit? Jadi dia pemimpinmu? Baiklah. Kalian boleh kembali. Dan, katakan padanya kalau aku tidak tinggal diam dalam menghadapi kesewenang-wenangannya!” ujar pemuda itu dingin.

“Iya... tapi, apa julukanmu?” desak Ki Dewok.

“Sebenarnya hanya julukan kosong belaka. Tapi, baiklah julukanku Pendekar Rajawali Sakti,” sahut pemuda itu lagi.

Sebenarnya, pemuda yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu enggan menyebutkan julukannya. Tapi karena ingin memancing kehadiran tokoh hitam yang dikenal sebagai Iblis Langit yang menjadi Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut, Rangga memang harus menyebutkan julukannya.

“Pendekar Rajawali Sakti...?! Jadi... jadi kaukah orangnya?!” kata Ki Dewok dengan mata terbelalak. Sungguh tidak dipercaya dengan pendengarannya barusan.

Julukan itu bukan saja pernah dikenalnya. Tapi, juga sebagai momok yang menakutkan bagi orang-orang. Pemimpinnya sendiri pernah mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti merupakan penghalang besar dalam usahanya menguasai rimba persilatan. Dan hari ini, Ki Dewok telah kebentur dengan tokoh itu.

“Pergilah kalian sebelum aku berubah pendirian,” sentak Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh, baik!” sahut Ki Dewok seraya bangkit berdiri. Langsung diajaknya ketiga kawannya untuk segera angkat kaki dari tempat itu.

Rangga sempat memperhatikan keempat orang itu, sampai menghilang dari pandangan. Kemudian perhatiannya dialihkan pada kedua anak muda yang tadi ditolongnya.

“Kalian tidak apa-apa...?” tanya Rangga ramah.

“Oh! Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak, Namaku Gimin. Dan ini.... Marni,” ucap Gimin sambil sesekali mengerutkan wajahnya menahan rasa sakit.

“Gimin, coba kuperiksa. Sepertinya kau menderita luka dalam akibat pukulan...,” kata Rangga, segera diperiksanya tubuh pemuda itu.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk pelan, kemudian mengurut-urut beberapa bagian urat di punggung dan pinggang Gimin. Tidak berapa lama, terlihat wajah Gimin agak lebih segar.

“Mudah-mudahan kini kau merasa lebih baik...,” desah Rangga.

“Betul, Kisanak. Sekali lagi, kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Oh, ya. Kami tidak tahu, harus memanggil apa padamu...,” ucap Gimin.

“Namaku Rangga....”

“Rangga.... Benarkah Kisanak yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Gimin dengan wajah berseri.

“Begitulah agaknya orang mengenalku....”

“Ah! Ini suatu anugerah bagiku bisa bertemu secara langsung denganmu. Ayahku sering bercerita mengenai kehebatanmu!” desak Gimin.

“Ayahmu tentu seorang tokoh hebat...,” sambut Rangga.

Mendengar itu wajah Gimin mendadak suram. Kepalanya jadi tertunduk sejenak, lalu membuang pandangan dengan tatapan kosong. Ada nuansa sedih yang menyelimuti wajahnya. Demikian pula gadis disebelahnya yang sejak tadi diam membisu dengan wajah murung.

“Kisanak, apakah ucapanku membuatmu tersinggung?” tanya Rangga, hati-hati. Pendekar Rajawali Sakti jelas melihat perubahan di wajah Gimin.

“Maafkan aku, Rangga. Aku hanya teringat pada ayahku. Padahal, pagi tadi kami masih bercanda. Lalu, malapetaka itu datang. Desa kami hancur dan segala harta benda berharga dirampok kawanan tadi. Bukan hanya itu, bahkan biadab-biadab itu menculik dan memperkosa wanita-wanita desa! Masih untung Marni bisa kuselamatkan dari kebiadaban mereka. Tapi untuk itu, aku terpaksa harus menutup mata terhadap kematian ayahku, serta kedua orangtua Marni...,” jelas Gimin mengakhiri ceritanya.

“Maafkan aku, Gimin...,” desah Rangga pelan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Rangga. Kau tidak bersalah. Bahkan kaulah dewa penolong kami. Kalau saja kau tidak tiba tepat waktunya, entah apa yang akan terjadi terhadap kami...,” sergah Gimin.

“Jadi, kawanan itu menghancurkan desa kalian...?” tanya Rangga, ingin menegaskan.

Gimin mengangguk. “Kisanak! Dan kau juga, Nisanak.... Aku berjanji akan mengejar mereka untuk meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan terhadap semua penduduk desamu. Mungkin juga dari orang-orang yang pernah mereka aniaya. Mereka harus mendapat hukuman yang setimpal!” dengus Rangga. Seketika gerahamnya bergemelutuk. Darah Rangga memang gampang mendidih bila mendengar kebiadaban yang terjadi di muka bumi ini.

“Terima kasih, Rangga. Aku yakin, bila Pendekar Rajawali Sakti telah turun tangan, maka segala persoalan akan selesai!” sambut Gimin dengan wajah cerah.

“Kisanak, jangan berkata begitu. Aku hanya manusia biasa sepertimu. Jadi bantulah aku dengan doamu. Mudah-mudahan aku selamat,” sergah Rangga, merendah.

“Tentu! Tentu saja aku selalu mendoakanmu semoga berhasil dan senantiasa mendapat perlindungan dari Yang Maka Kuasa!” sahut Gimin.

“Terima kasih. Hm.... Apakah kalian tahu, dimana persembunyian mereka...?”

Gimin menggeleng lemah, juga Marni. “Sayang sekali. Rangga. Aku tak tahu, di mana mereka bersembunyi. Nama Kawanan Serigala Bukit Maut memang sering kudengar. Tapi, bukan berarti mereka bersarang di bukit itu. Sebab beberapa kali prajurit-prajurit kerajaan mengejarnya ke bukit itu, namun tidak menemukan apa-apa. Bahkan jejak-jejaknya sekalipun...,” jelas Gimin.

“Hm.... Kalau begitu, aku akan mencarinya meski mereka sembunyi di lubang semut sekalipun!” desis Rangga, meyakinkan kata-katanya.

“Hati-hati terhadap mereka, Rangga. Kawanan itu berjumlah banyak. Dan konon, pemimpin mereka memiliki ilmu sihir yang aneh, selain ilmu olah kanuragan yang hebat...,” Gimin memperingatkan.

“Terima kasih. Aku pasti akan mengingatnya. Nah! Kurasa, aku mesti berangkat sekarang. Apakah kalian akan kembali ke desa?”

Gimin mengangguk sebagai jawabannya. “Kami harus menguburkan kedua orangtua kami. Lalu mengungsi, dan mencari tempat yang jauh dari keramaian. Desa itu agaknya sudah tidak aman lagi...,” tambah Gimin.

“Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu,” sahut Rangga. Lalu....

“Suiiittt...!”

Begitu suitan itu hilang dari pendengaran, seekor kuda jantan berbulu hitam berkilat tampak berlari kencang menerobos semak-semak. Seketika didekati Rangga. Kuda itu memang tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu. Tak ada seekor kuda pun di dunia ini yang mampu menandingi kehebatannya.

Dengan gerakan manis sekali Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu. Begitu mendarat, langsung disentakkannya tali kekang kuda hitam itu. Seketika Dewa Bayu berkelebat cepat dari tempat itu. Sementara itu Gimin dan Marni hanya bisa memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah takjub. Dalam sekejap saja, Rangga telah lenyap dari pandangan mata Gimin dan Marni.

Di ruangan tengah sebuah rumah yang cukup besar, seorang laki-laki tua tampak tengah duduk di kursinya yang berukir indah. Bentuk kepalanya lonjong. Dahinya botak, namun bagian tengkuknya ditumbuhi sedikit rambut yang telah memutih. Wajahnya tampak menggiriskan, dengan mata setajam elang. Kulitnya keriput, Namun tubuhnya tegap dan selalu tampak segar. Bisa ditebak kalau laki-laki itu bukanlah orang tua sembarangan.

“Hm.... Jadi, pemuda itu yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...?” tanya laki-laki tua itu pada keempat orang laki-laki berwajah kuyu yang bersimpuh di hadapannya dengan kepala tertunduk.

“Be... benar..., Ki...!” sahut salah seorang, mewakili kawan-kawannya.

“Benarkah dia berkata seperti itu padaku, Dewok...?” tanya orang tua itu kembali, seperti ingin menegaskan.

“Be... benar, Ki! Bahkan sepertinya menganggap rendah dirimu!” lanjut laki-laki yang ternyata Ki Dewok, dengan nada bersemangat.

“Dan kalian diam saja?!” nada suara orang tua itu mulai meninggi.

“Eh! Tentu saja kami tidak terima!” tangkis Ki Dewok cepat.

“Ha-ha-ha...! Bagus! Kalian tentu membantahnya habis-habisan. Lalu balik mengancamnya, bukan?!”

“Tentu! Tentu saja kami berbuat begitu. Mana sudi kami mendengar Ki Bergola diremehkan!”

“Hm... bagus, Dewok! Bagus...!” puji laki-laki tua menggiriskan yang ternyata Ki Bergola sambil mengusap janggutnya yang tumbuh liar di dagu. Dialah pemimpin Kawanan Serigala Bukit Maut.

Ki Bergola memandang tiga orang laki-laki yang sejak tadi hanya membisu. Tampak wajah mereka memancarkan kegelisahan. “Ki Amoksa, Ki Purwareksa, dan kau Ki Boneng...!” sahut Ki Bergola.

“Siap, Ki?!” sahut mereka hampir berbarengan.

“Kalian dengar berita yang disampaikan anak buahmu...?!”

“Dengar, Ki!”

“Nah! Mereka telah berjasa membelaku. Apakah tidak selayaknya kalau diberi hadiah...?”

“Eh! Kalau Ki Bergola bermaksud begitu, mana mungkin kami menolaknya...,” sahut Ki Amoksa, mewakili kedua kawannya.

“He-he-he...! Bagus! Bagus...!” Ki Bergola tertawa sendiri.

Kembali orang tua itu memandang pada keempat orang anak buahnya yang masih bersimpuh dengan kepala tertunduk.

“Kalian dengar kata-kataku? Karena jasa kalian, maka akan kuberi hadiah istimewa!”

“Oh! Terima kasih! Terima kasih, Ki...!” sahut empat orang itu, serentak.

“Nah! Pergilah. Dan, temui Ki Tompel! Mintalah apa yang kalian suka!”

“Te... terima kasih, Ki...!” Disertai senyum lebar, Dewok dan tiga orang kawannya segera berdiri. Mereka langsung menjura hormat dan berbalik. Bergegas ditinggalkannya ruangan yang lebar penuh hiasan indah itu. Sementara saat itu juga kedua tangan Ki Bergola menelusup ke dalam jubah hitam besar yang dikenakannya. Dan ketika jubahnya sedikit tersingkap, seluruh tubuhnya dipenuhi pisau-pisau kecil yang terselip di baju dalamnya. Lalu ketika tangan itu bergerak keluar....

Set! Set!

Crabbb!

“Aaaa...!”

Empat buah pisau kecil yang dilemparkan Ki Bergola tepat mengenai punggung kiri keempat anak buahnya, tembus sampai ke jantung. Disertai teriakan tertahan, mereka ambruk ke lantai. Tampak di sekitar pisau yang menancap itu terdapat noda hitam yang merebak cepat ke seluruh tubuh. Sementara dari mulut mereka meleleh busa hitam yang mengeluarkan bau busuk. Mereka kontan tewas, setelah menggelepar gelepar sesaat.

“Ki...?!”

Ketiga laki-laki yang duduk di dekat Ki Bergola terkejut kaget. Namun orang tua itu segera mengangkat sebelah tangan. Lalu pandangannya tertuju ke arah Ki Amoksa. Ki Purwareksa, dan Ki Boneng dengan sorot mata tajam.

“Adakah imbalan yang pantas bagi penjilat-penjilat, selain kematian? Aku tidak sudi melihat anak buahku bersikap seperti itu. Mereka tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Dan yang lebih penting, aku tidak ingin mendengar kegagalan. Hanya ada dua pilihan bagi mereka. Mati dalam menjalankan tugas, atau berhasil!” kata Ki Bergola tajam.

Ketiga orang pembantu terdekat Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu terdiam. Mereka tidak berusaha menimpali kata-kata Ki Bergola. Orang tua itu pun ikut terdiam beberapa saat, lalu bangkit berdiri kemudian kakinya melangkah pelan mengitari keempat mayat anak buahnya. Dan ketika dia bertepuk dua kali, lima orang anak buahnya yang lain masuk ke dalam ruangan.

“Bawa mayat ini keluar. Dan, lemparkan ke hutan agar menjadi santapan serigala-serigala kelaparan!” perintah laki-laki berjuluk Iblis Langit itu.

“Baik, Ki...!” sahut mereka cepat.

Ruangan kembali sepi, ketika mayat keempat orang tadi telah dibawa keluar oleh lima orang anak buah Ki Bergola. Sementara, laki-laki tua itu telah kembali ke kursinya semula.

“Tugas kalian kini adalah melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti!” ujar Ki Bergola, disertai dengus napas tajam.

“Tapi, Ki...!”

Ki Amoksa coba memberi usul tapi kembali terdiam, ketika Ki Bergola memandang dengan sorot mata nyalang.

“Kau ingin membantah kata-kataku, Amoksa?!”

“Eh! Tentu saja tidak, Ki...!”

“Nah! Lakukan tugas kalian dengan baik. Ingat! Jangan kembali sebelum berhasil. Jika coba-coba lari, maka aku akan mengejar kalian. Dan aku pasti akan menemukan kalian. Dan saat itu juga hukuman yang paling menakutkan akan kalian terima. Mengerti?!”

“Mengerti, Ki!” jawab mereka serentak.

“Bagus! Nah, pergilah sekarang juga!”

“Baik, Ki...!” Mereka segera bangkit berdiri. Dan setelah menjura hormat, mereka berlalu dari ruangan ini.

Sementara Ki Bergola masih tetap belum beranjak dari kursinya. Wajahnya tampak kelam, dan pikirannya menerawang jauh. Lalu tiba-tiba bibirnya tersenyum kecil.

“Pendekar Rajawali Sakti! Hm... kau akan mati di tanganku...!” tidak terasa bibir orang tua itu mencetuskan apa yang berkecamuk dalam hatinya.

***
TIGA
Malam ini bulan bersinar penuh. Langit tampak cerah. Sesekali kelelawar melintasi sebuah bangunan besar seperti padepokan yang memiliki pagar tembok tinggi di sekitarnya. Di samping bangunan besar itu terdapat beberapa bangunan lain yang berjejer rapi, seperti sebuah bangsal besar. Sesungguhnya bangunan besar itu adalah ruang utama dari sebuah padepokan yang selama ini amat terkenal dan disegani.

Perguruan Naga Putih yang dipimpin Ki Jayalaga saat ini memiliki murid yang cukup banyak. Mereka terdiri dari lelaki dan wanita. Dan yang datang ke tempat itu bukan saja dari kalangan biasa, namun banyak juga yang berasal dari kalangan ningrat atau bangsawan. Hal itu tidak mengherankan, sebab banyak sekali murid lulusan perguruan itu yang bekerja pada pihak pemerintah. Baik sebagai prajurit kerajaan, maupun pejabat istana. Memang, Ki Jayalaga bukan hanya sekadar tokoh tingkat tinggi. Beliau pun ternyata juga mengerti soal ketatanegaraan. Memang, konon beliau masih keturunan para bangsawan dari kakek neneknya.

Malam itu balairung utama tempat tinggal Ki Jayalaga terlihat ramai. Rupanya hari ini banyak tamu yang berkunjung ketempatnya. Beberapa orang adalah utusan pihak kerajaan. Sedang lainnya adalah utusan beberapa padepokan lain yang ingin membina persahabatan.

Ki Jayalaga yang saat ini berusia sekitar enam puluh tahun, duduk di sebuah kursi berukir indah. Dengan pakaian serba putih, dia tampak gagah berwibawa. Walaupun, usianya sudah senja. Di sebelahnya terlihat seorang wanita setengah baya yang masih mengguratkan sisa-sisa kecantikan di masa mudanya. Wanita itu bernama Nyi Sekar Kedasih, dan merupakan istri Ki Jayalaga. Selama ini, wanita itu selalu setia mendampinginya dalam menerima tamu-tamu.

Sementara di kiri dan kanan mereka berdua, mengapit dua anak muda. Yang seorang adalah laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tegap. Kedua rahangnya menonjol menampakkan kejantanannya. Sepasang alisnya yang tebal, menandakan wataknya yang keras dan tidak mudah putus asa. Pemuda ini putra tertua Ki Jayalaga. Namanya, Arya Dipa.

Sementara seorang lagi adalah seorang gadis jelita. Rambutnya panjang, digulung rapi diselipi beberapa buah tusuk konde dari emas. Gadis berusia sekitar dua puluh satu tahun itu adalah adik Arya Dipa. Namanya Larasati Ningrum.

Sementara di depan mereka membentang permadani selebar dua langkah. Di sisi kiri dan kanan duduk tamu-tamu Ki Jayalaga di kursi yang saling berhadapan, dengan meja-meja berukir sebagai pembatas.

“Kisanak semua! Malam ini berbahagia sekali rasanya mendapat kunjungan kalian semua. Mudah-mudahan perjamuan yang kuhidangkan tidak mengecewakan...,” kata orang tua itu, membuka pembicaraan.

“Ki Jayalaga.... Hm, kami merasa diperlakukan sebagai tamu yang agung. Pelayananmu amat memuaskan!” sahut salah seorang tamu. Dia merupakan utusan dari sebuah padepokan.

“Terima kasih, Ki Soreang. Nah! Setelah kita berkumpul di sini kembali, silakan kalau ada yang hendak disampaikan,” sahut Ki Jayalaga. Orang yang dipanggil Soreang mengangguk-angguk, disertai senyum lebar.

“Ki Jayalaga! Ketua kami yaitu Ki Samparan, bermaksud hendak membina persahabatan dengan Perguruan Naga Putih. Dan hari ini, beliau membawa bingkisan untukmu...,” kata salah seorang utusan dari Perguruan Kilat Buana sambil berdiri dan memberi salam hormat. Segera dia meletakkan bingkisan yang dibawanya, di atas meja di depannya.

“Hm, Perguruan Kilat Buana yang dipimpin Ki Samparan adalah sebuah perguruan hebat. Murid-muridnya memiliki kepandaian amat mengagumkan. Sungguh suatu kebanggaan bagi kami, bisa menjalin persahabatan dengan perguruan kalian. Sampaikan salam dan terima kasihku kepada gurumu...,” sahut Ki Jayalaga merendah, setelah utusan dari Perguruan Naga Putih kembali duduk.

“Ki Jayalaga! Segala keramahan dan kemurahan hatimu, akan kusampaikan pada guruku...,” kata utusan itu.

Baru saja utusan itu selesai bicara, seorang laki-laki berkumis tebal berbaju rompi hitam bangkit dari duduknya. Diberinya salam penghormatan pada orang tua itu, dengan merapatkan kedua telapak tangannya didepan dada. Tampak otot-otot lengan bertonjolan keluar.

“Ki Jayalaga. Terimalah salam hormatku dan juga dari guruku. Malam ini, beliau menitip kabar bahwa akhir bulan ini, beliau bermaksud mengunjungi perguruanmu...,” ucap laki-laki berkumis tebal itu.

“Hm.... Terima kasih, Ki Jambu Ireng. Senang sekali hatiku, akhirnya Ki Raisan bersedia juga berkunjung ke gubukku. Perguruan Tangan Geledek yang dipimpinnya memang sebuah perguruan hebat. Bahkan banyak menelurkan pendekar digdaya. Sungguh suatu kehormatan bagi kami mendapat kunjungan dari beliau...,” sambut Ki Jayalaga dengan nada merendah.

“Ki Jayalaga memang terlalu rendah hati. Mana mungkin bagi Perguruan Tangan Geledek memiliki nama seharum Perguruan Naga Putih. Dan kami mendapat penghormatan bila bisa bersahabat dengan perguruan yang Kisanak pimpin. Mudah-mudahan persahabatan yang terjalin di antara kita akan langgeng selamanya,” sahut utusan yang ternyata bernama Jambu Ireng.

Ki Jayalaga tertawa kecil. “Terima kasih atas pujianmu, Ki Jambu Ireng. Kalian memang orang-orang rendah hati meski memiliki kemampuan hebat...,” balas Ketua Perguruan Naga Putih ini.

Ki Jambu Ireng kembali duduk setelah memberi hormat pada orang tua itu. Ki Jayalaga bermaksud akan melanjutkan kata-katanya, tapi tiba-tiba terasa angin bertiup kencang menyapu seluruh ruangan. Orang tua itu merangkapkan kedua tangan dengan sikap waspada. Demikian pula semua tamu yang berada di tempat ini.

“Kisanak semua, mohon maaf. Agaknya kita tengah mendapat kunjungan tamu tidak diundang. Sekali lagi, aku mohon maaf. Karena, belum bisa memberikan tempat nyaman dan aman bagi kalian semua. Tapi aku akan berusaha melakukannya...,” ujar Ki Jayalaga pelan. Namun, cukup didengar semua yang ada di ruangan ini.

Memang Ki Jayalaga dan semua tamu yang ada di ruangan itu sadar kalau angin yang bertiup tadi bukan sembarang angin. Jelas itu merupakan kiriman dari seseorang yang agaknya ingin mengganggu ketenangan jalannya pertemuan. Hal itu tidak heran, sebab ruangan ini berada di tengah bangunan besar yang dikelilingi ruangan-ruangan lain. Sehingga tidak mungkin ada angin yang mampu bertiup sedemikian kencang, bahkan mampu membuat baju berkibar-kibar barang sesaat.

Ki Jayalaga segera memerintahkan seorang muridnya yang berada di ruangan itu untuk memberitahu yang lain agar melihat apa yang terjadi di luar. Sekaligus membereskan segala sesuatu yang akan mengganggu jalannya pertemuan ini.

Dan baru saja murid itu berlalu dari ruangan ini, terdengar lolongan serigala yang saling bersahutan dari kejauhan, Ki Jayalaga kembali dibuat terkejut. Demikian pula tamu-tamu yang hadir.

“Ki Jayalaga! Ada apa gerangan...? Seingatku, di daerah ini tidak terdapat kawanan serigala?” tanya salah seorang tamu. Agaknya dia kenal betul dengan wilayah di sekitar tempat pemukiman Ki Jayalaga ini,

“Entahlah. Aku pun tidak mengerti. Lolongan serigala-serigala itu agaknya tidak begitu jauh. Apakah mereka telah mengungsi di hutan sebelah timur tempatku ini...?” sahut orang tua itu semakin bingung saja.

“Ki Jayalaga! Biarlah kami membantu muridmu itu mengatasi persoalan di luar. Kami yakin, ini ulah seseorang untuk mengacaukan jalannya pertemuan kita...!” kata salah seorang utusan kerajaan, menawarkan jasa baiknya.

“Terima kasih, Ki Rebung. Biarlah anak muridku yang akan mengurus persoalan ini. Kau adalah tamuku. Dan, tidak sopan rasanya bila kau sampai turun tangan mengatasi persoalan...,” tolak Ki Jayalaga, halus.

“Auuung...!”

Kata-kata Ki Jayalaga terhenti ketika kembali terdengar lolongan serigala begitu keras. Dan sepertinya, berasal dari atas atap ruangan ini. Dan bersamaan dengan itu, terdengar hiruk-pikuk di halaman depan yang diiringi raungan serigala yang kini terdengar begitu dekat. Tak lama, beberapa orang murid Perguruan Naga Putih masuk ke dalam ruangan ini.

“Ampun, Ki Jayalaga. Hamba hendak melaporkan sesuatu. Ratusan ekor serigala telah mengepung tempat kita ini...!” lapor orang itu, dengan napas memburu.

“Apa?! Ratusan...? Dari mana datangnya hewan sebanyak itu ke sini?!” tanya Ki Jayalaga kaget.

“Entahlah, Ki....”

“Ayahanda! Biarlah ananda yang akan mengurus hewan-hewan itu,” Arya Dipa berujar seraya bangkit dan memberi penghormatan pada orang-tuanya.

“Hm.... Uruslah baik-baik kawanan serigala itu, anakku...!” sahut Ki Jayalaga, mantap.

“Baik, Ayahanda!”

Baru saja Arya Dipa hendak melangkah, terdengar suara ribut dari atas ruangan. Atap-atap bangunan kasar ini hancur berantakan. Langit-langit ruangan jebol. Bahkan beberapa ekor serigala tiba-tiba melayang turun dengan ringan sambil menggeram buas.

“Heh?!” Seketika Ki Jayalaga dan semua yang ada dalam ruangan ini tersentak kaget. Mereka langsung berdiri, bersiaga akan segala kemungkinan buruk yang bakal menimpa.

Empat ekor serigala berbulu coklat abu-abu bermata garang tampak sesekali menyeringai lebar memperlihatkan barisan gigi-giginya yang runcing dan tajam. Lidahnya menjulur, seperti sengaja memperlihatkan nafsu membunuhnya. Namun bukan hal itu saja yang membuat mereka terkejut. Dan ternyata, ukuran serigala-serigala itu agak aneh. Tubuh mereka besar, dan hampir menyamai seekor kuda dewasa!

“Graungrr...!”

“Auuuung....!”

“Hewan terkutuk, mampuslah kau...!” teriak salah seorang tamu, langsung melompat menyerang.

Keempat serigala bertubuh besar yang melolong dan menggeram keras itu melompat menghindar, sekaligus menerjang tamu-tamu yang lain.

“Grrr...!”

Tentu saja hal itu telah diperhitungkan. Serentak orang-orang ini menghantam hewan-hewan dengan pukulan keras.

"Hupp!”

Trakkk!

Namun sungguh aneh, ternyata hewan-hewan buas itu sama sekali tidak merasakan sakit. Padahal, pukulan yang dikerahkan mampu membinasakan seekor banteng kuat sekalipun.

“Heh?! Hewan apa ini?! Tubuhnya keras seperti batu...!” desis Ki Rambung, seperti tidak percaya pada pukulannya tadi. Bahkan tangannya terasa sakit bukan main, dan tulang-tulangnya seperti remuk.

“Kurang ajar! Agaknya ada orang yang hendak bermain-main dengan kita!” bentak tamu lain seraya mencabut pedang. Langsung dia menghajar seekor serigala yang terdekat dengannya.

Sring!

Takkk!

Orang itu tampaknya cukup mahir menggunakan pedang. Tenaga dalamnya juga cukup tinggi. Namun kembali dia dibuat terkejut. Ternyata pedangnya seperti menghantam batu cadas yang keras bukan main. Malah telapak tangannya terkelupas, dan pedang di tangannya patah menjadi dua.

“Kisanak semua! Tenanglah. Agaknya ada seseorang yang telah sengaja mengirim hewan-hewan ini. Keempat serigala ini bukan hewan sembarangan. Ini adalah hewan jadi-jadian. Menepilah. Biar kuhadapi keempat serigala ini!” teriak Ki Jayalaga, lantang.

Mendengar itu, serentak mereka menghentikan serangan dan merapat ke dinding. Sementara Ki Jayalaga sudah memasang kuda-kuda. Lalu ditariknya napas panjang. Seketika laki-laki tua itu menghantamkan pukulan jarak jauh pada empat ekor serigala bertubuh besar yang memandang dengan sorot mata buas.

“Hiiih...!” Mendadak serangkum angin lembut melesat dari kedua telapak tangan Ketua Perguruan Naga Putih. Angin itu terus meluruk, dan menerpa keempat ekor serigala itu.

“Graungrr...!”

Keempat serigala itu menggeram buas dan terlihat semakin garang. Matanya yang merah dan nyalang, menandakan kemarahannya. Dan sambil menyeringai lebar,.agaknya mereka bermaksud menelan Ki Jayalaga bulat-bulat. Namun, orang tua ini tetap tenang di tempatnya dengan mata tak berkedip memandang keempat serigala di hadapannya. Agaknya, pukulan yang dilepaskan Ki Jayalaga tadi bukanlah pukulan sembarangan. Meski kelihatan tidak berarti, sesungguhnya serangkum angin ini seperti seutas tali kuat yang mengikat keempat hewan buas itu.

“Dari tidak ada, maka kalian akan kembali ke asalnya! Hiiih!” Ki Jayalaga membentak nyaring. Kembali dihantamnya keempat hewan buas di hadapannya dengan pukulan serupa.

“Auuung...!”

Plasss!

Keempat serigala itu kontan melolong kesakitan terhantam pukulan Ki Jayalaga. Bahkan tubuh mereka langsung lebur dan hilang tanpa bekas. Orang tua itu menghela napas lega. Begitu juga tamu-tamunya. Tapi sesaat kemudian....

“Ha-ha-ha...! Sungguh hebat! Tidak disangka tua bangka Jayalaga mampu memusnahkan ilmu sihirku...!”

Tiba-tiba terdengar tawa panjang yang disusul melesatnya sesosok tubuh ke ruangan itu dari atas wuwungan.

Kini di tengah-tengah ruangan bangunan besar Perguruan Naga Putih, berdiri seorang laki-laki berusia senja. Tubuhnya sedang dengan kepala lonjong dan dahi botak. Sepasang matanya menyipit dan terlihat menggiriskan. Tubuhnya terbungkus jubah hitam panjang. Namun, masih bisa terlihat pisau-pisau kecil yang terselip di seluruh tubuhnya dalam jumlah yang cukup banyak.

“Kisanak! Siapa kau. Dan, apa yang kau inginkan hingga mengacau di tempatku ini...?” tanya Ki Jayalaga, bernada kurang senang. Namun, dia tetap bisa bersikap sopan.

“He-he-he...! Kaukah yang bernama Jayalaga...?” tanya orang tua itu, tidak mempedulikan pertanyaan orang.

“Benar! Akulah orangnya...,” sahut Ki Jayalaga tenang.

“He-he-he...! Bagus! Bagus...! Aku Bergola, pimpinan Kawanan Serigala Bukit Maut. Tapi orang-orang menyebutku si Iblis Langit. Dan, tujuanku? He-he-he...! Sudah jelas rasanya. Mendengar di tempatmu ini berlimpah harta kekayaan yang tidak ternilai, juga gadis-gadis cantik yang amat menggairahkan, maka aku bermaksud meminta sedikit!” ujar laki-laki tua yang ternyata Bergola berkata terus terang.

“Hei?!”

“Kurang ajar!”

Beberapa orang tamu yang mendengar kata-kata lancang itu sudah langsung terkejut dan memaki geram. Namun, Ki Jayalaga berusaha menenangkan.

“Bergola! Aku tidak keberatan memberikan sebagian harta benda yang kami miliki. Namun untuk menyerahkan murid-murid wanita untukmu begitu saja, aku jadi semakin tak mengerti apa yang kau inginkan...,” sahut Ki Jayalaga dengan kening berkerut.

“Dasar tua bangka pikun! Sudah jelas murid-murid wanitamu yang cantik itu akan kujadikan selir. Nah! Cepat berikan padaku!” hardik Ki Bergola garang.

“Kurang ajar! Hei, tua bangka keparat! Lebih baik pergi dari sini sebelum kau kami tangkap dan dihukum berat!” hardik Larasati Ningrum yang geram betul melihat sikap Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu.

“He-he-he...! Dan kau siapa, Cah Ayu? Apakah kau putri tua bangka Jayalaga ini?” balas Ki Bergola, seperti tidak menghiraukan ancaman gadis itu.

Nyata sekali sikap Iblis Langit itu sangat memandang rendah semua yang ada di ruangan itu. Dan hal ini bukan saja membuat gadis itu semakin berang. Malah para tamu dan Ki Jayalaga sendiri mulai menunjukkan tidak senangnya.

“Ki Bergola! Aku peringatkan padamu, sebaiknya tinggalkan tempat ini sebelum kami bertindak keras!” ancam Ki Jayalaga.

“Bertindak keras? Ha-ha-ha...! Tua bangka busuk! Apa yang bisa kalian perbuat terhadapku? Mengandalkan anak buahmu yang besar? Hhh.... Mereka sekarang tengah sibuk dan semakin bingung menghadapi kawanan serigala ciptaanku. Sementara itu, anak buahku yang asli mengepung tempat ini. Mereka akan membinasakan murid-muridmu yang laki-laki, serta menculik murid-muridmu yang perempuan. Dan mereka juga mengambil semua harta benda berharga yang kau miliki. Nah! Tulikah telingamu mendengar jerit kematian murid-muridmu itu?!” dengus Ki Bergola, garang.

Ki Jayalaga tersentak kaget. Apa yang dikatakan Ki Bergola memang benar. Dari luar terdengar jerit panjang dan teriak ketakutan dari murid-muridnya. Orang tua itu semakin gemas. Matanya langsung memandang tajam ke arah Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut di hadapannya dengan wajah geram.

“Ki Bergola! Kau sungguh keterlaluan dan menguji kesabaranku. Tapi, aku manusia biasa dan punya batas. Dan aku tidak bisa membiarkan perbuatanmu yang seenak udelmu di tempatku. Nah! Bersiaplah menerima hukuman!” desis Ki Jayalaga, seraya melompat menyerang.

“He-he-he...! Kau kira begitu mudah menangkap dan menghukumku? Kau boleh bermimpi, tua bangka busuk!” ejek Ki Bergola menganggap enteng.

Tubuh Iblis Langit langsung mencelat ke atas. Gerakannya membuat kagum para tamu yang ada di ruangan itu. Bahkan kini kedua telapak kakinya menempel erat di langit-langit ruangan. Dan ketika Ki Jayalaga mengejar dengan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi, tubuh Ki Bergola meloncat indah ke bawah.

Brukkk!

Akibatnya sungguh hebat. Langit-langit ruangan itu langsung hancur berantakan terhantam pukulan Ki Jayalaga yang dahsyat.

“He-he-he...! Kau merusak tempatmu sendiri, tua bangka pikun!” ejek Iblis Langit kembali begitu mendarat di lantai. Dan hal ini semakin membuat amarah Ki Jayalaga memuncak.

“Huh! Hiyaaa...!”

“Uts! Sedikit lagi tua bangka busuk!” ujar Ki Bergola dengan tubuh meliuk menghindari hantaman kepalan tangan Ki Jayalaga.

Ki Jayalaga melanjutkan serangan dengan mengibaskan tendangan ke pinggang. Namun, Ki Bergola cepat melenting ke atas. Dalam keadaan masih di udara, tangan kirinya cepat bergerak menangkis sodokan keras Ki Jayalaga yang terarah pada dada kirinya.

Plak! Plak!

“Yeaaa...!”

Ketika kedua tangan mereka beradu, Ki Jayalaga merasa ada himpitan tenaga dalam dari Iblis Langit yang amat dahsyat. Tangannya terasa kesemutan. Namun begitu, ketika tendangan Ki Bergola meluncur ke arahnya, dia masih mampu menangkis dengan tangan kiri. Langsung dibalasnya serangan itu dengan mengerahkan pukulan jarak jauh ke arah Ki Bergola yang sudah berjumpalitan ke belakang.

Set! Set!

Begitu mendarat di lantai, tanpa diduga-duga Ki Bergola melemparkan senjata rahasianya, sambil menghindari pukulan jarak jauh Ki Jayalaga dengan lentingan ke atas.

Set! Set!

Wuttt!

Kedua telapak kaki Iblis Langit kini menempel di dinding. Lalu tubuhnya kembali melesat menerjang Ki Jayalaga. Ketua Perguruan Naga Putih itu terkejut bukan main. Untung saja dia cepat menghindar dengan menjatuhkan diri ke lantai. Namun tidak urung sebuah pisau berhasil menyerempet pinggangnya.

Crasss!

Ki Jayalaga mengeluh tertahan dan terus bergulingan menghindari tendangan beruntun Ki Bergola.

“Ayaaah...!” Larasati Ningrum terkejut melihat nasib orang-tuanya. Gadis itu sudah langsung melompat menerjang Ki Bergola.

Dan pada saat yang bersamaan, semua tamu yang ada di ruangan itu melompat bersamaan menyerang Ki Bergola pula.

“Yeaaaa...!”

***
EMPAT
“Ha-ha-ha...! Kalian menyerangku bersamaan? Heh! Kenapa tidak dari tadi?! Bagus! Bagus!” teriak Ki Bergola sambil tertawa keras.

Sama sekali Iblis Langit tidak merasa takut atau ciut nyalinya, melihat serangan beruntun tamu-tamu Ki Jayalaga. Malah dia tertawa girang dan menganggap enteng.

“Yeaaaa...!”

Ki Bergola melompat ke belakang untuk menghindari serangan sambil mengibaskan tangan. Seketika dari telapaknya yang terbuka melesat asap tipis laksana kabut ke berbagai arah.

Plas! Plas!

“Graungrr...!”

“Hei?!”

Asap tipis itu menggumpal, membentuk bermacam-macam rupa hewan buas. Dan, perubahan itu terjadi secara cepat, membuat semua penyerangnya tersentak kaget. Kini ruangan itu hiruk-pikuk oleh raungan serigala, auman harimau, dan jerit melengking dari hewan-hewan buas lain.

“Jangan gentar! Hewan-hewan itu hanya sihir belaka...!” teriak Ki Jayalaga memberi semangat pada para tamunya sambil menyeringai menahan rasa sakit.

Luka yang diderita Ki Jayalaga terhitung ringan baginya. Namun senjata rahasia yang menyambarnya tadi amat beracun. Maka tentu saja ini membuat Ki Jayalaga harus berjuang keras mengeluarkan racun ganas dari tubuhnya. Paling tidak, jangan sampai menyebar ke seluruh tubuh. Mendengar teriakan Ki Jayalaga tadi, mereka tersentak kaget. Maka dengan geram, kemarahan mereka dilimpahkan kepada Ki Bergola.

“Hiyaaa...!”

“He-he-he...! Boleh jadi hewan-hewan ini hanya semu belaka. Tapi, bukan berarti dia tidak mampu membunuh kalian!” dengus Ki Bergola sambil tersenyum mengejek.

“Graungrr...!”

Brettt!

“Aaaa...!”

Apa yang dikatakan Ki Bergola memang terbukti. Baru saja dia selesai berkata, hewan-hewan buas ciptaannya merobek-robek tubuh para tamu Ki Jayalaga. Jerit kematian pun terdengar. Genangan darah mulai mewarnai ruangan ini. Para tamu Ki Jayalaga semakin kalap saja. Mereka bermaksud mencincang hewan-hewan buas itu.

“Hewan-hewan terkutuk, mampuslah kalian...!” dengus seseorang mengayunkan pedang.

Plasss!

“Heh?!”

Namun orang itu sungguh kaget, ketika senjatanya seperti menebas angin saja. Begitu pula yang lain. Senjata-senjata mereka hanya mengenai tempat kosong.

“Graungrr...!”

Brettt!

“Aaaakh...!”

Kembali terdengar pekik kematian, ketika hewan-hewan buas itu mengamuk sejadi-jadinya. Tidak ada satu senjata atau pukulan pun yang mampu melukai hewan-hewan liar itu. Dan hal itu semakin membuat resah yang lainnya.

“He-he-he...! Hanya sampai di sinikah kemampuan tokoh-tokoh terhormat yang konon memiliki kepandaian hebat? Kalian tidak lebih dari kumpulan kutu busuk yang tidak berguna! Ha-ha-ha...!” teriak Ki Bergola, disertai tawa panjang mengejek.

“Keparat!”

Beberapa orang mendengus geram. Mereka ingin sekali merobek mulut laki-laki tua itu, namun tidak kuasa. Menghadapi hewan-hewan buas ciptaan Ki Bergola yang telah menghadang dan menerkam dengan ganas, mereka tidak mampu. Sementara itu Ki Jayalaga berusaha bangkit kembali. Dia berusaha menguatkan hati dan semangatnya. Dia mendengus dingin sambil menatap tajam Ki Bergola.

“Kisanak! Aku akan mengadu jiwa denganmu!” desis Ki Jayalaga dingin. Seketika, Ketua Perguruan Naga Putih itu langsung melompat menyerang.

“Huh! Kau hanya mengantar nyawa percuma, Jayalaga!” sahut Ki Bergola garang.

“Hiyaaa...!”

Ki Bergola tak berusaha menghindar ketika kepalan tangan kanan Ki Jayalaga menyodok ke arah perutnya. Tapi sedikit lagi serangan itu mengenai sasaran, tangan kirinya dikibaskan menangkis.

Plak!

“Uhh...!”

Benturan tenaga dalam tinggi terjadi. Dan Ki Jayalaga jadi mengeluh, menahan himpitan tenaga dalam yang menyerang tangannya. Seketika dia melompat ke belakang. Sementara kaki kanan Ki Bergola cepat sekali menyusul, menghantam lambung Ki Jayalaga. Begitu serangan itu luput, orang tua itu melompat ke atas untuk menghindarinya. Ki Jayalaga langsung mengibaskan tangan kirinya menghantam ke batok kepala Ki Bergola diiringi tenaga dalam tinggi.

Plakkk!

Dengan tangkas Ki Bergola menangkis dengan tangan kanannya, Ki Jayalaga tersentak kaget. Tubuhnya mendadak terasa terangkat ke atas. Namun begitu pukulannya terpapak, buru-buru dia melompat ke samping, saat kaki lawan telah menyusul menghantam ke arah perut.

Wukkk!

“Yeaaa...!”

Iblis Langit langsung melompat gesit, mengejar Ki Jayalaga. Sementara Ketua Perguruan Naga Putih itu telah bersiap menghadang pukulan maut Ki Bergola. Dari telapak tangan kanan Ki Bergola melesat selarik sinar hijau kekuningan menyambar Ki Jayalaga. Begitu kuat sambaran itu, sehingga menimbulkan angin kencang dan suara bergemuruh. Seluruh isi ruangan itu sampai terpelanting ke segala arah. Bahkan para tamu yang tengah bertarung melawan hewan-hewan buas ciptaan Ki Bergola langsung berpelantingan.

“Hup!”

Tiba-tiba Ki Bergola menjatuhkan diri ke lantai, langsung bergulingan mendekati Ki Jayalaga. Begitu bangkit berdiri, kedua tangannya bergerak ke dalam jubah. Lalu....

Set! Set!

“Heh?!”

Beberapa buah pisau beracun langsung melesat bagaikan kilat ke arah Ki Jayalaga. Ketua Perguruan Naga Putih itu terkesiap, namun tidak mengurangi kewaspadaan. Tubuhnya langsung meliuk indah, menghindari hujan sambaran pisau beracun. Namun agaknya tindakan itu memang ditunggu oleh Ki Bergola. Begitu Ki Jayalaga sibuk menghindari senjata rahasianya, telapak tangannya.dihantamkan ke depan. Maka selarik sinar ungu meluruk dari tangan Ki Bergola, langsung menyambar ke arah Ki Jayalaga.

Bukan main terkejutnya Ki Jayalaga. Dia berusaha mengelak, namun tidak urung pukulan itu masih menyambar perutnya.

Prasss!

“Aaaa...!”

Ketua Perguruan Naga Putih itu kontan memekik setinggi langit, begitu perutnya tersambar sinar ungu yang dilepaskan Iblis Langit. Tubuhnya kontan terjungkal menghantam dinding ruangan, membuat tulang-belulang berderak patah. Begitu ambruk di lantai, kulit tubuhnya berkerut bagai sehelai daun kering. Nyawanya pun melayang saat itu juga.

“Huh! Kau kira bisa bertahan dari 'Pukulan Penghancur Tulang'?! Tidak ada seorang pun yang mampu menahannya!” desis Iblis Langit dengan senyum sinis sambil menatap mayat Ki Jayalaga yang tak dapat dikenalinya lagi.

“Ayaaah...!”

Larasati Ningrum langsung menjerit kaget begitu melihat ayahnya tewas. Baru saja dia berusaha menyelamatkan ibunya yang dilarikan anak buah Ki Bergola yang telah menerobos ke ruangan itu. Dan kini, dia harus menyaksikan kematian ayahnya secara mengenaskan.

“Iblis Keparat! Hari ini aku akan mengadu jiwa denganmu...!” desis gadis itu geram dengan amarah meluap-luap.

Sring!

“Yeaaa...!” Larasati Ningrum sudah mencabut pedang, dan terus melompat menyerang Ki Bergola.

“Hm. Siapa yang sudi mengadu jiwa denganmu, Cah Ayu? Wajahmu cantik. Kulitmu mulus, dan tubuhmu montok. Sayang sekali kalau harus cepat mati. Kau harus memuaskan dahagaku lebih dulu. Baru setelah itu, baru boleh mati!” sahut Ki Bergola tenang sambil menyeringai lebar.

“Tutup mulut cabulmu itu. Keparat!” Larasati Ningrum mencelat sambil mengibaskan pedangnya.

Bettt!

“Uts...!”

Namun Ki Bergola langsung bergerak ke samping, menghindari tebasan pedang gadis itu. Lalu Iblis Langit terus melompat ke atas, menghindari serangan susulan. Dan dia kembali meloncat ke belakang, ketika putri Ki Jayalaga ini menyerangnya dengan gerakan-gerakan cepat dan kuat.

“He-he-he...! Boleh juga kepandaianmu, Cah Ayu. Tapi itu belum cukup mengalahkanku. Apalagi, mencoba membunuhku. He-he-he...! lebih baik menyerah dan ikut baik-baik denganku....”

“Chuihhh! Tutup mulutmu. Bedebah Busuk! Aku lebih baik mati dari pada menyerah!” sentak Larasati Ningrum semakin kalap saja.

“Hm.... Sungguh sayang! Tapi kau tidak akan mati dulu, sebelum aku puas menikmati kehangatan tubuhmu. He-he-he...!”

Setelah berkata begitu, tubuh Ki Bergola bergerak cepat menyelinap di antara kelebatan pedang Larasati Ningrum. Sementara gadis itu terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa. Pandangannya jadi kabur melihat kecepatan gerak laki-laki tua itu. Seolah-olah, Ki Bergola lenyap dari pandangan. Gadis itu terkesiap, dan segera menghentikan serangannya sambil celingukan ke sana kemari. Tapi tiba-tiba....

“Hup!”

“Aouw...!” Mendadak saja Larasati Ningrum merasa kalau tangannya tertangkap oleh sesuatu. Gadis itu berteriak kaget.

Tukkk!

Mendadak dua buah totokan membuat suara gadis itu tercekat. Seketika tubuhnya lemas tidak berdaya. Dan tiba-tiba seseorang langsung menangkap dan menggendongnya dengan ringan. Demi melihat siapa yang melakukannya, maka gadis itu tadi terbelalak. Wajahnya tampak geram, namun tidak mampu berbuat apa-apa.

“Ha-ha-ha...! Sudah kukatakan, kau tidak akan mampu berbuat apa-apa. Dan aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Ha-ha-ha...! Kini kau adalah milikku, Cah Ayu!” Ki Bergola bergelak keras.

“Suiiittt...!”

Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu bersuit nyaring. Sebentar saja, anak buahnya yang sejak tadi menguras seluruh harta benda di bangunan besar itu, berlompatan keluar. Sementara yang lain masih bertahan menghabisi sisa-sisa murid Ki Jayalaga yang bertarung dengan semangat menyala-nyala.

“Yeaaaa...!” Ki Bergola membentak nyaring. Hewan-hewan buas ciptaannya yang menyerang tamu-tamu dan keluarga Ki Jayalaga mendadak sirna. Namun sebagai gantinya, bangunan ini bergetar hebat bagai dilanda gempa. Tanah-tanah di sekitarnya mulai terbelah. Bahkan angin topan tiba-tiba bertiup bergulung-gulung menyapu segala yang ada di tempat itu. Semua orang menjadi kalang kabut dan sibuk menyelamatkan diri. Dan pada saat itulah Ki Bergola menyelinap kabur bersama anak buahnya yang membawa barang-barang berharga.

Wusss!

Bersama lenyapnya mereka, keadaan kembali seperti semula. Bangunan ini tiba-tiba berhenti bergoncang. Bahkan tanah yang tadi terbelah, seperti merapat kembali. Demikian pula angin topan yang bertiup, mendadak berhenti. Orang-orang yang berada di tempat itu seperti baru terbangun dari mimpi buruk.

“Jahanam! Orang itu menggunakan ilmu sihirnya untuk memperdaya kita semua...!”

Seorang pemuda yang tak lain Arya Dipa berteriak lantang menggelegar, seperti menyadarkan mereka.

“Heh?!”

Semua orang menatap ke sekeliling. Tampak di luar sana keadaan porak-poranda. Demikian pula di ruang pertemuan tadi. Mayat-mayat bergeletakan dalam jumlah cukup banyak. Arya Dipa menggeram beberapa kali sambil mengepalkan kedua tangan.

“Den Arya Dipa! Ayahandamu tewas, dan Larasati Ningrum diculik jahanam itu,” lapor seorang murid.

“Aku tahu...,” sahut Arya Dipa menahan duka mendalam.

“Apa yang akan kita lakukan, Arya?” tanya seorang tamu.

“Aku bersumpah! Mereka harus mendapat balasan yang setimpal atas perbuatannya!” desis Arya Dipa geram.

“Arya Dipa! Kejadian ini akan kukabarkan pada guruku. Seluruh murid Perguruan Tangan Geledek akan berada dibelakangmu!” sambut Ki Jambu Ireng dengan suara gemetar menahan amarah.

“Terima kasih, Paman Jambu Ireng....”

“Begitu juga Perguruan Kilat Buana. Kami akan membantumu untuk menghancurkan jahanam keparat itu!” timpal Ki Soreang.

Arya Dipa memandang orang itu sambil tersenyum haru. Lalu ditatapinya satu persatu sisa-sisa utusan yang masih hidup. Mereka rupanya juga sepakat untuk membantu pemuda itu dalam membalaskan perbuatan Iblis Langit.

“Paman-paman semua! Aku berterima kasih sekali atas kesediaan kalian dalam mendukungku...,” ucap Arya Dipa.

“Ki Jayalaga adalah orang baik. Dan selama hidupnya, beliau selalu menjalin persahabatan dengan semua tokoh persilatan dan pihak kerajaan. Dengan kejadian ini, tentu saja banyak tokoh persilatan yang akan bergabung dengan kita. Kawanan itu harus dihancurkan! Dan, Ki Bergola selayaknya dihukum gantung!” desis Ki Jambu Ireng geram.

Semua yang hadir mengangguk cepat, menyatakan persetujuannya mendengar kata-kata Ki Jambu Ireng. Dan lagi-lagi, Arya Dipa tersenyum haru. Padahal di hatinya menggumpal dendam sedalam lautan terhadap si Iblis Langit.

***

Telah hampir seharian ini, Ki Amoksa, Ki Purwareksa dan Ki Boneng menjelajahi pinggiran Desa Wandur. Namun mereka belum juga menemukan Pendekar Rajawali Sakti. Ketiga orang itu mengeluh kesal, dan beberapa kali menggeram.

“Setan! Ke mana bocah edan itu bersembunyi...?!” desis Ki Amoksa geram. Kedua belah tangannya sudah terkepal, memperdengarkan suara berkerotokan.

“Ki Amoksa! Apakah jika bertemu Pendekar Rajawali Sakti kau yakin mampu mengalahkan dan membinasakannya?” tanya Ki Purwareksa.

“Heh? Apakah kau tidak percaya pada kemampuanku, Ki Purwareksa?”

“Ki Amoksa! Agaknya Ki Purwareksa bukannya tidak percaya pada kemampuanmu. Tapi, menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, apakah kita tidak mengantarkan nyawa percuma?” timpal Ki Boneng.

“Ki Boneng! Kuakui Pendekar Rajawali Sakti memang telah menjadi buah bibir di mana-mana. Dan mendengar namanya saja, orang akan menggigil ketakutan. Tapi apakah kita akan percaya begitu saja sebelum membuktikannya? Lagi pula, kita tidak bisa mengelak dari perintah Ki Bergola! Kalau kita kabur, dia akan mencari kita. Dan itu sangat mudah baginya,” sahut Ki Amoksa mengingatkan.

“Memang. Kali ini, kita mempunyai pilihan sulit...,” keluh Ki Boneng.

“Kita tidak punya pilihan, sebab tugas memang harus dijalankan!” Ki Amoksa kembali menegaskan.

“Hm. Lalu, ke mana kita mencarinya?” tanya Ki Purwareksa.

“Itu yang kupikirkan sejak tadi. Kita akan sulit menemukannya kalau sengaja mencarinya. Orang itu tidak menetap di suatu tempat,” desah Ki Amoksa.

“Lalu...?” tanya Ki Boneng.

Ki Amoksa berpikir sejurus lamanya, kemudian memandang kedua kawannya bergantian. “Sering kudengar, pemuda itu kerap muncul bila terjadi kekacauan. Seperti tempo hari. Nah! Kita pancing kemunculannya dengan membuat kekacauan. Lalu, kita buat jejak agar dia menakuti kita...!” jelas Ki Amoksa.

“Ya! Itu usul yang baik!” sambut Ki Purwareksa.

“Bagaimana kalau dia tidak mengikuti kita?” tanya Ki Boneng.

“Jangan berpikir begitu. Aku yakin, dia akan mengejar kita. Setelah peristiwa yang terjadi di desa itu, dia tentu tengah mengejar kita. Hanya saja, dia belum menemukan jejak. Nah! Sekarang, kita buat jejak agar dia sampai pada kita!” jelas Ki Amoksa.

“Lalu, dari mana kita mulai?”

“Ki Purwareksa! Itu pertanyaan bagus. Kita mulai dari desa terdekat dari tempat pertama kali kita membuat kekacauan. Aku bisa perkirakan, dia belum begitu jauh dari daerah itu. Meski dia telah berjalan jauh, paling tidak bisa diperkirakan tempat-tempat mana saja yang pernah dilaluinya!”

“Baiklah. Kalau demikian, aku akan perintahkan anak buah kita untuk menuju timur. Mudah-mudahan di sana kita beruntung, bertemu dengannya!” sahut Ki Purwareksa segera haluan kudanya diputar. Lalu dia berteriak lantang pada anak buahnya yang selalu mengikuti dari belakang.

Tapi, baru saja mereka hendak meninggalkan tempat itu, mendadak berkelebat dua sosok tubuh menghadang. Serentak ketiga anak buah Ki Bergola itu menghentikan derap langkah kudanya. Langsung anak buahnya diperintah untuk berhenti.

“Iblis-iblis Keparat! Ke mana-mana dicari ternyata kalian berada di tempat ini!”

“Heaaaa...!”

Ketiga anak buah Ki Bergola memandang tajam pada seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya agak kurus, dengan sebatang toya baja. Dan di sampingnya, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Rambutnya sebahu, bersenjatakan sepasang golok panjang yang terselip di pinggang.

“Siapa kalian?!” bentak Ki Amoksa lantang.

“Aku Ki Jawok. Dan, ini Nyai Jawil. Kalian berhutang banyak nyawa pada kami!” desis lelaki setengah baya yang mengaku bernama Ki Jawok.

“Persetan dengan segala ocehan kalian! Menyingkirlah kalau tidak ingin mampus!” hardik Ki Amoksa.

“He-he-he...! Orang-orangnya Iblis Langit selalu sombong dan sangat menganggap rendah orang. Kalau nyawa telah berada di ujung tanduk, baru kalian menyadarinya!” sahut Ki Jawok sinis.

“Orang tua busuk! Syukur kau mengenali kami! Nah! Menyingkirlah sebelum kuremukkan kepalamu!” bentak Ki Purwareksa.

“Keparat! Agaknya kau begitu menganggap rendah kami, heh?! Rasakan toyaku ini.

Heaaatt...!” Bukan main geramnya Ki Jawok mendengar kata-kata itu. Maka dia langsung melompat menerjang.

“Hiyaaa...!”

“Hm.... Orang tua keras kepala!” Ki Purwareksa cepat bagai kilat melompat dari kudanya. Langsung disambutnya serangan itu dengan memutar bandul besi berduri di tangannya.

“Yeaaa...!”

“Dan kalian boleh berhadapan denganku!” teriak Nyai Jawil, langsung menyerang Ki Boneng dan Ki Amoksa sambil menghunus kedua golok besarnya.

“Hm.... Wanita ini boleh juga, Ki Boneng! Jangan lukai dia. Lebih baik kita lumpuhkan saja!” kata Ki Amoksa, sambil menyeringai lebar.

“He-he-he...! Ternyata apa yang kau pikirkan sama denganku, Amoksa,” sahut Ki Boneng. Dan dia cepat melompat turun dari kuda, untuk menyambut serangan wanita itu.

“Yeaaaa...!”

***
LIMA
Ki Jawok dan Nyai Jawil sebenarnya adalah dua tokoh persilatan tingkat tinggi. Mereka bermaksud menghabisi kawanan ini, yang telah memporak-porandakan Desa Wandur, tempat tinggal mereka. Memang, pada saat peristiwa itu berlangsung kedua tokoh ini sedang tidak ada di rumahnya. Sehingga, begitu tahu kalau yang membuat kerusuhan itu anak buah Kawanan Serigala Bukit Maut, mereka langsung mencari ketiga orang lawan mereka ini. Namun, sebenarnya tindakan mereka gegabah, karena ketiga pembantu utama Ki Bergola bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah tokoh hitam yang kejam berkemampuan amat tinggi.

“Hiyaaa...!”

Kedua golok Nyai Jawil berkelebat-kelebat, menyambar kedua lawannya dengan cepat dan ganas. Kalau saja yang dihadapinya sekarang tokoh berkepandaian rendah, niscaya dalam waktu singkat akan binasa tanpa bentuk lagi. Tapi saat ini, yang dihadapi adalah anak buah Ki Bergola yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Tak heran kalau Ki Boneng dan Ki Amoksa mudah saja menghindari setiap serangan-serangannya. Bahkan sesekali terlihat senjata tombak bermata tiga yang dimainkan Ki Boneng, agak merepotkan wanita itu. Belum lagi sambaran clurit besar di tangan Ki Amoksa.

Trang!

Nyai Jawil masih beruntung mampu menangkis ujung tombak Ki Boneng yang tiba-tiba saja menyambar ke arah leher. Dia melompat ke belakang, lalu cepat bersalto ke samping. Namun, senjata Ki Amoksa telah menunggunya. Terpaksa wanita itu menjatuhkan diri, untuk menghindarinya sambil mengibaskan sebelah goloknya.

Tring!

“Yeaaa...!”

Tangan wanita itu bergetar hebat. Bahkan telapak tangannya terasa nyeri ketika menangkis senjata clurit itu. Pada saat itu juga, tombak Ki Boneng menyodok ke jantungnya. Maka cepat bagai kilat wanita itu mengibaskan golok. Namun, tiba-tiba Ki Boneng menarik pulang serangan, dan langsung mengelebatkannya kearah pinggang. Nyai Jawil tercekat. Apalagi pada saat yang bersamaan, Ki Amoksa telah melompat ke atas kepalanya dengan serangan berbahaya. Sambil bergulingan. Nyai Jawil mengebutkan kedua goloknya di tangannya untuk menepis dua serangan sekaligus.

Trak! Tring!

Begitu habis menangkis, perempuan itu cepat bangkit berdiri. Namun tanpa diduga, Ki Boneng sudah cepat melancarkan tendangan kilat menggeledek. Begitu cepat gerakan laki-laki itu, sehingga....

Dukk!

“Aaakh...!” Nyai Jawil menjerit keras, begitu perutnya terhajar tendangan Ki Boneng. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum juga dia mampu mengusir rasa mual di perutnya, kedua lawan telah kembali menyerang ganas.

“Yeaaa...!”

Nyai Jawil jadi tercekat. Maka dengan nekat sebuah goloknya dilemparkan ke arah Ki Amoksa. Sementara, dia sendiri bersiap menangkis serangan Ki Boneng dengan golok yang satu lagi.

Wuttt!

Ki Amoksa tidak berusaha menangkis golok yang dilemparkan ke arahnya. Tubuhnya langsung mengegos ke kiri sedikit, sehingga golok itu luput dari sasaran. Dan seketika dia langsung melesat cepat menyusul Ki Boneng untuk menyerang wanita itu.

Trang!

“Uh...!” Kembali wanita itu mengeluh tertahan, ketika menangkis tombak di tangan Ki Boneng. Lalu sambil mendengus geram, dia berusaha kembali menyerang dengan ayunan tendangan keras ke dada Ki Boneng. Tapi cepat bagai kilat, laki-laki itu mengelak ke samping sambil mengibaskan tombak ke batok kepala Nyai Jawil. Dan pada saat yang bersamaan, clurit di tangan Ki Amoksa menyambar ke pinggang.

Dengan sebisanya, Nyai Jawil mengibaskan golok untuk menangkis kedua serangan yang datang bersamaan. Tapi tanpa diduga, Ki Amoksa menarik pulang serangannya. Bahkan tubuhnya langsung melejit ke bawah. Dan sambil bergulingan, ditotoknya pinggang wanita itu.

Tukkk!

“Ooh...!” Nyai Jawil terkejut. Mendadak saja, tubuhnya ambruk bagai tidak bertenaga.

“He-he-he...! Kini kau tidak berdaya lagi. Dan..., dan dalam genggaman kami!” ledek Ki Amoksa, disertai seringai lebar.

“Keparat! Lepaskan totokanmu pengecut! Aku masih mampu menghadapi kalian sampai seribu jurus lagi...!” maki Nyai Jawil geram, namun tak dapat bergerak lagi.

“Hm, seribu jurus? Tidak kuragukan kemampuanmu. Tapi, tenagaku akan terkuras habis. Dan saat kita berdua nanti, tentu aku akan mudah letih!” sahut Ki Amoksa enteng.

“Bangsat terkutuk! Tutup mulut kotormu itu!” rutuk Nyai Jawil.

Ki Amoksa hanya tersenyum lebar mendengar makian wanita itu. Lalu matanya memandang ke arah Ki Purwareksa yang ternyata tengah mendesak Ki Jawok. Senjata bandul besinya yang penuh paku-paku runcing, berkali-kali mengancam keselamatan lawan. Namun sampai begitu jauh, belum juga mampu menjatuhkan Ki Jawok yang mampu memberikan perlawanan gigih dengan kehebatan permainan ilmu toyanya.

“Hei?!. Kenapa kalian diam saja?! Bereskan orang itu, cepat...!” bentak Ki Amoksa pada anak buahnya yang sejak tadi diam saja memperhatikan pertarungan.

Begitu mendengar perintah, serentak para anggota Kawanan Serigala Bukit Maut itu mengepung dan menyerang Ki Jawok. Tidak mengherankan kalau sejak tadi mereka diam saja. Sebab telah menjadi kebiasaan, kalau ketiga pemimpin mereka tidak suka dibantu bila tengah bertarung satu lawan satu, ketiga orang itu memang begitu menikmati pertarungan. Tapi, agaknya kali ini lain lagi. Ki Amoksa tengah tidak berselera untuk bermain-main. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada wanita yang telah dijatuhkannya. Dan kini tidak ayal lagi, anak buahnya mengamuk sejadi-jadinya untuk membereskan lawan secepat mungkin.

Sementara Ki Jawok hanya bisa tersentak kaget Meski berusaha mati-matian mempertahankan diri, tapi jumlah lawannya kelewat banyak. Apalagi rata-rata memiliki kepandaian tidak rendah. Maka dalam waktu singkat saja, hanya soal waktu untuk menjatuhkan Ki Jawok.

Nyai Jawil memaki-maki geram. Matanya melotot lebar dengan amarah meluap-luap. Namun Ki Amoksa hanya terkekeh lebar. Dan dengan penuh nafsu laki-laki itu merobek seluruh pakaian yang melekat di tubuh wanita ini. Seketika matanya melotot lebar melihat pemandangan indah di depan mata. Bahkan kini kedua tangannya bergerak lincah, menari-nari di dada yang membusung lebar milik Nyai Jawil.

“He-he-he...! Alangkah indahnya tubuhmu. Hm. Meski kau sudah tidak muda lagi, tapi tubuhmu tidak kalah indah dibanding gadis-gadis perawan...,” desah Ki Amoksa, hampir tersedak di tenggorokan.

“Keparat terkutuk! Jangan sentuh aku! Lepaskan! Lepaskaaan...!”

Wanita itu terus berteriak-teriak memaki. Namun bagi Ki Amoksa, teriakan-teriakan itu bagai pembangkit gairahnya. Darah di kepalanya semakin mendidih. Lalu dengan kasar, pakaiannya mulai dibuka satu persatu. Sambil menyeringai lebar, ditubruknya Nyai Jawil yang terbaring tidak berdaya dalam keadaan tertotok!

“Iblis jahanam! Lepaskan! Lepaskaaan...! Ouw...! Keparat! Ouuuw...! Ohh....”

Wanita itu menjerit-jerit memilukan. Namun lelaki itu agaknya telah dirasuki iblis, sehingga tidak mempedulikannya. Malah napasnya turun naik tidak beraturan. Dan sesekali, terdengar dia menggeram hebat. Sementara semak-semak di dekat mereka ikut bergoyang-goyang keras, mengikuti irama gerakan mereka.

Beberapa saat kejadian itu telah berlalu. Sementara, masih terdengar lenguh Nyai Jawil bersama isak tangisnya yang halus. Sedangkan Ki Amoksa hanya terkekeh sambil membetulkan pakaiannya. Sebentar kemudian, dia berdiri dan melangkah tenang meninggalkan tempat itu. Sementara Ki Boneng dan Ki Purwareksa menunggu dengan wajah tidak sabar pada jarak sekitar lima tombak.

Terakhir, ketika tiba giliran Ki Purwareksa, kembali terdengar jeritan Nyai Jawil. Kali ini terdengar lebih lemah, namun semak-semak di sekitarnya bergoyang lebih keras!

“He-he-he...! Hebat! Luar biasa! Biarpun dia sedikit lebih tua, tapi masih seperti gadis perawan saja!” kata Ki Purwareksa sambil membenahi pakaiannya.

“Sebaiknya dia dibunuh saja! Kita tidak memerlukannya lagi!” ujar Ki Amoksa.

“Bunuh? Hm, terlalu mudah. Dia masih berguna bagi kita. Paling tidak, untuk beberapa kali lagi,” timpal Ki Boneng sambil tersenyum lebar.

“Ki Boneng, jangan rakus! Tugas utama kita belum selesai!” kata Ki Amoksa, sedikit lebih keras.

“Hm.... Kenapa tidak? Anak buah kita pasti telah membereskan desa itu. Apa salahnya kita bersenang-senang sedikit?” sahut Ki Boneng membela diri.

“Aku tidak ingin berdebat denganmu. Tapi kalau saja Ki Bergola tahu kalau kita mengutamakan kesenangan daripada tugas yang diberikan, maka kepala kita akan menjadi taruhan!” Ki Amoksa mengingatkan.

“Sudahlah, sobat. Tidak ada salahnya. Toh, dia tidak akan tahu....”

“Ki Boneng! Ki Bergola bukan orang sembarangan! Masihkah kau meragukannya? Matanya berada di mana-mana. Dan apa yang kita lakukan bisa diketahuinya. Lagi pula, aku yang memimpin tugas ini. Maka kuingatkan pada kalian, patuhi kata-kataku!” kata Ki Amoksa mulai agak keras.

Ki Boneng cuma mengangkat bahu. “Yah, baiklah...,” sahut Ki Boneng pelan.

Baru saja laki-laki itu akan berbalik, tiba-tiba terdengar derap kaki beberapa orang anak buahnya yang berlari-lari menghampiri. Wajah mereka tampak pucat ketakutan.

“Ki Amoksa, Ki Boneng, Ki Purwareksa...! Celaka! Celaka...!” teriak mereka berkali-kali.

“Tenang! Bicaralah yang benar!” ujar Ki Amoksa.

Mereka segera mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Setelah beberapa kali melakukannya, mereka mulai agak tenang. Lalu seorang di antara mereka bergerak ke depan menghampiri ketiga orang tangan kanan Ki Bergola.

“Seorang pemuda berbaju rompi putih menghadang kami. Kepandaiannya tinggi sekali. Beberapa kawan-kawan tewas di tangannya!” lapor orang itu.

“Siapa orang itu?!”

“Kami tidak mengetahuinya, Ki. Dia datang tiba-tiba, lalu mengamuk dahsyat!”

“Hm. Ayo kita susul ke sana!” ajak Ki Amoksa.

Namun belum lagi mereka beranjak.... “Kalian tidak perlu jauh-jauh mencariku...!”

“Heh?!”

Sebuah suara lantang tiba-tiba mengagetkan semua orang yang ada ditempat ini. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tak jauh dari mereka telah berdiri seorang pemuda tampan berambut panjang. Baju rompi putih menampakkan otot-ototnya yang kekar. Di balik punggungnya, menyembul sebilah pedang bergagang kepala burung. Sementara di belakangnya, berdiri seekor kuda hitam berkilat.

“Ki Amoksa! Pemuda inilah yang tadi menghadang kami...!” teriak salah seorang memberitahu.

“Hm.... Bocah ingusan ini agaknya yang telah berani mengganggu kesenangan kita. Hei, bocah! Siapa kau?! Apa kau sudah bosan hidup, heh?! Tidak tahukah kau, dengan siapa sekarang berhadapan? Kami adalah Kawanan Serigala Bukit Maut!”

“Kebetulan. Ternyata pesanku, belum sampai pada pimpinan kalian,” sahut pemuda itu dingin.

“Keparat! Bicara apa kau, he?!”

Pemuda berbaju rompi putih itu tersenyum kecil dengan wajah sinis. “Kurasa beberapa hari lalu anak buahmu telah menyampaikan pesanku pada pemimpin kalian yang bernama Ki Bergola. Kalian akan berhadapan denganku lagi, bila membuat keonaran!” kata pemuda itu, enteng.

Ki Amoksa tertegun. Demikian juga kedua kawannya. Mereka mulai curiga dan menduga-duga. Benarkah pemuda ini yang tengah dicari-cari?

“Hm.... Kaukah Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Ki Amoksa menyelidik dengan nada lebih datar.

“Syukurlah kalau ingatan kalian telah kembali.”

“Bagus! Selama ini kami memang tengah mencari-carimu. Pucuk dicinta ulam tiba. Kini, kami tidak perlu repot-repot lagi mencarimu. Dan ternyata telah datang sendiri!” dengus Ki Amoksa.

“Begitukah? Sungguh beruntung. Aku mendapat kehormatan besar, sehingga kalian tidak perlu mencari-cariku. Nah! Sekarang, coba tunjukkan padaku, siapa di antara kalian yang bernama Ki Bergola?” tanya pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Bocah! Kau tidak ada derajat untuk bertemu dengannya. Kami adalah pembantu terdekatnya. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk memberi pelajaran bagi orang sepertimu!” desis Ki Amoksa.

“Oh, pembantu dekatnya? Ah, sayang sekali. Agaknya pemimpin kalian begitu pemalu untuk menemuiku?” pancing Rangga ingin memanas-manasi.

“Pendekar Rajawali Sakti! Jangan sembarangan bicara! Kemampuan Ki Bergola sama mudahnya dengan membalik tangan untuk melenyapkanmu. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya. Dia adalah tokoh sakti, dan tidak bisa dibandingkan dengan kemampuanmu yang hanya seujung kuku!” timpal Ki Boneng geram.

“Jangan terlalu angkuh, Kisanak. Di atas langit, masih ada langit. Dan aku tidak akan berarti untuk menghabisi kalian semua!” sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng.

“Keparat! Kau kira kami takut padamu, he?!” sentak Ki Purwareksa, mulai bangkit amarahnya.

Rangga tersenyum kecil. “Aku tidak menganggap kalian takut padaku. Tapi kalau kalian memaksa aku akan memberikannya.”

“Setan! Bocah sombong, akan kucincang tubuhmu!” geram Ki Boneng. “Yeaaa...!”

Laki-laki bersenjata tombak bermata tiga itu sudah langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Ki Amoksa serta Ki Purwareksa tentu saja tidak tinggal diam. Mereka sadar kalau lawan yang dihadapi kali ini bukanlah orang sembarangan. Maka untuk itu, mereka menyerang secara keroyokan.

Srakkk!

Wuk! Wukkk!

Ketiga orang itu sudah langsung mencabut senjata masing-masing dengan pengerahan kemampuan tingkat tinggi.

“Uts!” Rangga cepat melompat enteng, ketika senjata-senjata lawan berkelebat menyambar. Dari angin serangan yang terasa. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau ketiga lawannya berkepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu lagi langsung dikerahkan gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Dan kini tubuhnya mencelat ke atas dengan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Lalu dia berjungkir balik beberapa kali, hinggap di atas cabang sebuah pohon dengan gerakan manis sekali.

“Ha-ha-ha...! Ayo, ke sini. Kejarlah aku...!” ledek Rangga.

“Setan!”

Ketiga orang itu menggeram hebat. Lalu, dua orang mengejar ke atas. Sementara, Ki Purwareksa menunggu di bawah.

“Yeaaa...!” Rangga cepat melompat ke dahan yang lebih tinggi, lalu melayang ke cabang pohon lain yang lebih rendah. Namun bersamaan dengan itu, bandul besi Ki Purwareksa telah menyambarnya dengan deras.

Sedikit kening Rangga berkerut, lalu cepat melesat bagai kilat, sebelum bandul besi Ki Purwareksa menghancurkan cabang pohon itu. Dan sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' Pendekar Rajawali Sakti melayang bagai elang menyambar anak ayam, ke arah Ki Purwareksa.

“Hiyaaa...!”

“Heh?!” Ki Purwareksa terkejut bukan main. Satu-satunya cara menghindar hanyalah menjatuhkan diri sambil bergulingan. Sementara itu, Ki Amoksa dan Ki Boneng tentu saja tidak akan membiarkan Pendekar Rajawali Sakti mencecar Ki Purwareksa. Maka mereka langsung menyerang dengan ganas. Ki Boneng cepat menyambarkan tombaknya ke leher Rangga.

Wuttt!

“Uts!” Dengan gerakan mengagumkan, Rangga menundukkan kepala. Lalu Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas sambil menekuk sebelah kaki. Dan tiba-tiba tubuhnya kembali meluruk gesit, sambil melepaskan tendangan. Dari gerakannya ke arah Ki Boneng bisa ditebak kalau Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Ki Boneng terkejut bukan main, melihat perubahan jurus yang demikian cepat pada lawannya. Bahkan begitu serangan datang, dia tidak sempat mengayunkan tombaknya. Maka dengan sebisanya, dia menjatuhkan diri dan bergulingan untuk menghindarinya.

“Hiiih!”

“Uts!” Tapi rupanya Rangga tidak meneruskan serangan. Tubuhnya cepat berbalik, dan melompat ke atas. Kini Pendekar Rajawali Sakti langsung menyerang Ki Amoksa secara mendadak.

Ki Amoksa yang menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti akan menghabisi Ki Boneng, tentu saja merasa kaget tidak menyangka. Bahkan tahu-tahu, ujung kaki pemuda itu nyaris menghantam ke arah leher, kalau dia tidak melompat ke belakang.

Tapi, rupanya Rangga terus mengejar dengan sodokan maut bertenaga dalam tinggi. Kali ini, Ki Amoksa mempunyai kesempatan untuk cepat mengibaskan cluritnya. Tapi untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik pulang serangannya. Sehingga tangannya selamat dari sambaran senjata clurit yang tajam berkilatan itu.

Agaknya Rangga memang sengaja bertindak demikian. Maka begitu Ki Amoksa mengibaskan senjata, saat itu juga tubuhnya bergerak ke samping. Lalu cepat bagai kilat tangan kanannya mengibas keras. Begitu cepat Rangga membah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', sehingga Ki Amoksa tidak dapat mengetahuinya. Dan....

Begkh!

“Aaaakh...!” Ki Amoksa menjerit keras begitu dadanya terhantam pukulan yang berisi jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tubuhnya kontan terjungkal dengan tulang dada terasa remuk. Untung saja, pukulan itu tidak disertai tenaga dalam penuh. Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah melompat beberapa langkah ke belakang, dengan tangan terlipat di depan dada.

“Itu baru peringatan, Kisanak!” kata Rangga dingin.

“Setan....!”

***
ENAM
Ki Amoksa bergegas bangkit, walaupun agak terhuyung-huyung. Seketika dia langsung memberi isyarat pada anak buahnya untuk ikut mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti.

“Suiiittt...!”

“Memanggil anak buahmu, heh? Sayang, mereka telah mengantar nyawa percuma!” ejek Rangga sinis.

“Setan! Kau akan mampus di tangan kami. Bocah! Kau berhutang banyak nyawa pada kami. Dan bayarannya hanyalah kepalamu!” desis Ki Amoksa.

“Baiklah, kalau kalian tetap memaksa.”

“Serang...!” teriak Ki Amoksa memberi perintah pada sisa anak buahnya yang hanya tinggal lima orang.

“Yeaaa...!”

Meski dengan hati kecut setelah melihat sendiri kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, kelima orang itu terpaksa mematuhi perintah Ki Amoksa.

“Yeaaa...!”

Begitu anak buahnya bergerak menyerang, maka saat itu juga Ki Amoksa, Ki Purwareksa, dan Ki Boneng ikut melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Agaknya mereka sengaja menggunakan siasat demikian, dengan mengorbankan lima anak buahnya untuk menjadi bulan-bulanan. Sementara itu, mereka mengincar kelemahan Pendekar Rajawali Sakti.

“Ha-ha-ha...! Bagus! Akal bagus...! Tapi buat sekumpulan maling seperti kalian, jangan coba-coba membodohiku!” ejek Rangga seraya melompat ke belakang, untuk membuat jarak.

“Kejar! Jangan biarkan dia lolos...!” bentak Ki Amoksa.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan ke mana-mana,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, langsung meluruk ke arah para pengeroyoknya.

“Hiyaaaa...!”

Lima orang lawan Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Mereka begitu kagum dengan gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat bagai kilat. Dan sebelum ada yang menyadari. Rangga telah melepaskan pukulan keras dan tendangan menggeledek secara bertubi-tubi. Begitu cepat gerakannya, sehingga tak ada yang mampu menghindar.

Des! Plak, bug!

“Aaaa...!”

Pukulan dan tendangan pemuda itu berturut-turut mendarat di tubuh kelima anak buah tiga tokoh sesat itu. Mereka kontan memekik tertahan dengan tubuh ambruk ke tanah, tanpa dapat bangun-bangun lagi. Dan tentu saja hal itu membuat Ki Amoksa, Ki Purwareksa, dan Ki Boneng tersentak kaget.

“Oh...!”

“Hei?!”

“Jangan takut! Kita masih mampu melawannya. Ayo, kita serang dia bersama-sama!” hardik Ki Amoksa memberi semangat pada Ki Purwareksa dan Ki Boneng yang mulai ciut nyalinya.

“Ki Amoksa! Kita tidak akan menang...,” bisik Ki Boneng.

“Betul! Lebih baik kita menyerah saja. Siapa tahu dia akan mengampuni kita...,” timpal Ki Purwareksa.

“Keparat! Kenapa kalian ini, he?! Ingat! Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Ki Bergola tentu akan tahu hal ini!” desis Ki Amoksa geram.

Keduanya terdiam. Dan begitu Ki Amoksa menyentak, mau tidak mau mereka terpaksa ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaaa...!”

Menyadari kalau tiga orang lawannya memiliki kepandaian tinggi. Pendekar Rajawali Sakti mengangkat tangannya, dan berhenti di balik punggung. Lalu....

Cring!

Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedangnya, yang langsung mengeluarkan sinar biru terang menyilaukan mata. Memang, Rangga tidak ingin bertele-tele lagi. Begitu ketiga orang itu melompat, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan pedangnya. Tiga orang tangan kanan Ki Bergola itu terkejut, ketika merasakan hawa panas tajam yang menyambar mereka. Secara bersamaan, mereka berusaha menangkis dengan senjata masing-masing.

Wuttt!

Trang! Trakkk!

Tapi, senjata mereka sama sekali tidak berarti. Bahkan putus tersambar pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum ketiga orang itu menyadari, ujung pedang pusaka Rajawali Sakti berkelebat cepat, menebas perut mereka secara bersamaan. Begitu cepatnya, sehingga....

Crasss!

“Aaaa...!”

Ketiga orang itu kontan ambruk, mengalami nasib yang sama dengan kelima anak buahnya. Terdengar teriakan kematian yang menyayat berturut-turut. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak setelah memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung. Seketika, sinar biru itu lenyap, bersamaan dengan masuknya pedang ke dalam tempatnya.

Pendekar Rajawali Sakti bermaksud meninggalkan tempat ini, namun mendadak terdengar rintihan pelan. Rangga segera menghampiri ke arah datangnya suara rintihan tadi. Sesaat hatinya tersentak kaget. Langsung wajahnya dipalingkan ketika melihat seorang wanita terbaring tanpa mengenakan pakaian sedikit pun.

“Nisanak, apa yang terjadi? Cepat kenakan pakaianmu kembali...,” sapa si pemuda.

“Oh, siapakah kau? Apakah kau Pendekar Rajawali Sakti yang tadi berhadapan dengan ketiga iblis keparat itu? Tolong bebaskan aku. Lepaskan aku dari totokan mereka...,” keluh wanita itu lemah.

Tanpa melihat. Rangga segera membebaskan totokan di tubuh wanita itu. Begitu terbebas, wanita itu cepat menyambar pakaiannya. Sementara Rangga sudah beranjak pergi, dan menunggu tidak jauh dari tempat itu.

“Kisanak, berpalinglah...,” ujar wanita yang tak lain dari Nyai Jawil dengan suara lemah.

Wajah Rangga segera berpaling. Tampak wajah wanita itu pucat dengan rambut kusut tidak beraturan. Kelihatannya dia begitu letih dan lemah. Bahkan wanita itu hanya diam saja, bersandar di bawah sebatang pohon kecil sambil menundukkan kepala.

“Nisanak, apa yang telah terjadi padamu. Dan, kenapa keadaanmu begini...?” tanya Rangga hati-hati.

Wanita itu masih diam, kemudian terdengar isak tangisnya yang halus. Rangga jadi berpikir sendiri. Tak lama, dia sudah tahu jawabannya, kenapa tiba-tiba wanita itu menangis terisak. Pasti dia telah jadi korban kebiadaban manusia-manusia terkutuk yang telah tewas di tangannya.

“Keparat itu harus mampus! Aku harus membunuh mereka...!”

Wanita itu tiba-tiba berteriak memilukan. Wajahnya berubah garang dan berusaha bangkit. Namun baru berjalan dua langkah, tubuhnya tersungkur ke depan. Masih untung Rangga cepat menangkapnya.

“Nisanak, tenanglah dulu. Keadaanmu lemah sekali. Kau perlu istirahat banyak...,” ujar Rangga, menghibur.

“Tidak! Aku harus membunuh mereka! Mereka harus mampus di tanganku! Lepaskan! Lepaskaaan...!” wanita itu kembali berteriak dan berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Rangga.

Tapi Rangga merasakan kalau tenaga wanita ini lemah sekali. Bahkan untuk menahannya tidak perlu menggunakan tenaga besar. Merasa usahanya sia-sia saja, wanita itu kembali menangis terisak dengan sikap putus asa.

“Oh! Hidupku tidak berguna lagi! Tidak berguna...! Hidupku telah ternoda. Dan, aib ini akan kutanggung seumur hidup. Lebih baik aku mati saja. Lebih baik mati...,” ratap Nyai Jawil berkali-kali.

“Nisanak, tenanglah. Ceritakan saja, apa yang terjadi?” pinta Rangga.

Sejenak Nyai Jawil memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata tajam. Dia berusaha bangkit dan melangkah dengan terhuyung-huyung. Nyaris saja dia kembali tersungkur. Untung saja Rangga buru-buru mencekal tangannya. Namun wanita itu menyentakkan tangannya, dan berusaha melepaskan diri. Kini Rangga hanya membiarkan saja, walau tidak berusaha meninggalkan.

“Nisanak, apa mereka telah melakukan perbuatan tidak senonoh, padamu...?” tanya Rangga hati-hati, walaupun sudah bisa menebak apa yang terjadi.

Nyai Jawil tidak menjawab. Tapi, malah menangis terisak sambil mengangguk pelan.

“Apa benar ketiga orang itu yang membuatmu sengsara?” Rangga ingin meyakinkan diri, sambil menunjuk mayat ketiga pembantu utama Kawanan Serigala Bukit Maut.

Nyai Jawil menoleh, kemudian terdiam beberapa saat. Lalu matanya memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. “Kau..., kau telah membunuh mereka...?!” tanya Nyai Jawil, bernada kecewa.

Rangga mengangguk pelan.

“Sayang sekali.... Seharusnya mereka mampus di tanganku,” desah wanita itu sambil menggeleng lemah.

Rangga terdiam. Bisa dirasakan, betapa besarnya penderitaan yang dialami wanita ini. “Nisanak, aku punya sedikit urusan dengan si Iblis Langit sehingga harus meninggalkanmu. Kalau kau suka, silakan ikut bersama dengan aku,” lanjut Rangga.

Wanita itu tidak langsung menjawab. Malah dia memandang Rangga, seperti hendak meyakinkan maksud baik pemuda ini terhadapnya. “Apa maksudmu?”

“Ketiga pembantu utama si Iblis Langit telah binasa di tanganku. Dan aku telah menuliskan pesan di dekat mayat mereka, agar si Iblis Langit menemuiku diLembah Selaksa Mayat tujuh hari mulai sekarang. Aku ingin membuat perhitungan atas perbuatannya selama ini, terhadap orang-orang yang tidak bersalah,” jelas Rangga.

“Kisanak! Kau hendak menantang si Iblis Langit...?” tanya Nyai Jawil, tidak percaya.

Rangga tersenyum manis sekali, lalu mengangguk perlahan. Wanita itu menyeka air mata yang masih membasahi pipi. Lalu, kembali dipandanginya pemuda itu dengan seksama, kemudian beralih ke tempat lain.

“Iblis Langit memang harus mendapat ganjaran setimpal atas perbuatannya...!” desis Nyai Jawil geram.

“Hm, baiklah. Tapi, kini aku akan mengantarkanmu pulang. Tentu kau tidak keberatan bukan. Mari, Nisanak!” ajak Rangga seraya melangkah pelan mendekati kudanya.

Wanita itu tak menjawab, dan mengikuti dari belakang. Dituruti saja langkah Rangga yang menuntun kudanya.

“Agak janggal rasanya kalau aku tidak mengetahui namamu, Nisanak.”

“Namaku Nyai Jawil.”

“Hm. Nyai Jawil.... Mari, kita pergi sekarang...,” ajak pemuda itu.

Sebentar kemudian. Rangga sudah membantu wanita itu menaiki punggung Dewa Bayu. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti sendiri melompat, tepat mendarat di depan Nyai Jawil. Begitu Rangga menghela tali kekang, maka Dewa Bayu melesat cepat meninggalkan tempat itu.

***

Sejak peristiwa yang menimpa Perguruan Naga Putih, maka bukan hanya tokoh-tokoh persilatan dan perguruan-perguruan silat lain yang amat mendendam dan ingin menghajar Iblis Langit. Bahkan pihak kerajaan ikut campur tangan mengejarnya. Bukan saja merasa terharu terhadap Perguruan Naga Putih. Tapi, tindakan Kawanan Serigala Bukit Maut yang dipimpin si Iblis Langit memang sudah dianggap kelewat batas. Kawanan itu bukan hanya sekadar menculik wanita cantik, tapi juga merampok dan membunuh orang-orang tidak bersalah.

Sementara, Ki Bergola bukannya tidak tahu. Malah sebaliknya, dia juga tidak merasa takut sedikit pun. Bahkan tindakan-tindakannya belakangan ini semakin menggila saja. Perampokan semakin menjadi-jadi. Penculikan terhadap wanita-wanita cantik bertambah banyak. Bahkan pembunuhan yang dilakukan sudah menyebar ke mana-mana.

Sudah banyak tokoh yang berusaha menghalangi tindakan kawanan itu binasa di tangan si Iblis Langit. Dan hal itu semakin membuatnya pongah. Dan kini, malapetaka itu menimpa Perguruan Tangan Geledek!

Perguruan yang dipimpin Ki Raisan itu terletak tidak begitu jauh dari ibukota kerajaan. Tepatnya, di Desa Dawitan. Di halaman perguruan Ki Raisan berdiri tegak, saling berhadapan dengan Ki Bergola. Laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun bertubuh tegap dan berotot menonjol itu memandang dengan sinar mata penuh kebencian pada tokoh hitam di hadapannya.

“Hm, bagus! Akhirnya kau mau juga keluar menghadapiku. Hei, Raisan! Menyerahlah. Dan, jangan coba-coba melawan. Kau beserta seluruh muridmu akan kuampuni jika bergabung denganku!” kata Ki Bergola lantang bernada merendahkan.

“Iblis Langit jahanam! Phuih! Kesombonganmu membuatku ingin muntah! Meski kau memiliki ilmu setinggi langit, tidak nantinya aku bersedia bergabung atau menyerah!” desis Ki Raisan garang.

“Ha-ha-ha...! Agaknya kau masih merasa bangga pada keperkasaan leluhurmu. Tapi kini, jangankan dirimu. Bahkan jika guru-gurumu bisa bangkit dari kubur, belum tentu mampu mengalahkanku!” ejek Ki Bergola dengan tawa bergelak.

“Phuih! Untuk menghadapimu, tidak perlu membawa-bawa nama leluhur dan guru-guruku. Kedua tanganku masih mampu mematahkan lehermu!”

“Ha-ha-ha...! Agaknya kau terlalu yakin dengan segala kemampuanmu. Hei, manusia rendah! Tidak tahukah kau kalau selama ini murid-muridmu tidak mampu mengalahkan anak buahku. Mereka telah binasa. Dan hari ini, tempatmu berikut semua muridmu akan kuratakan dengan tanah!”

“Iblis sombong! Jangan banyak mulut! Justru sebaliknya, kalianlah yang akan kuhancurkan!” dengus Ki Raisan.

“He-he-he...! Kau tidak akan sempat menyesal, Raisan! Kau tidak akan sempat menyesal...,” ejek si Iblis Langit, langsung memberi perintah pada anak buahnya untuk menyerang.

“Yeaaaa...!”

“Hancurkan mereka...!” teriak Ki Raisan, ketika melihat anak buah si Iblis Langit berteriak gemuruh dan berlompatan menyerang laksana air bah yang keluar dari bendungan jebol. Maka pertarungan tidak dapat dihindari.

Set! Serrr!

Crab! Crabbb!

“Aaaa...!”

Sebentar saja, sudah terdengar jeritan-jeritan menyayat, dari beberapa orang murid Perguruan Tangan Geledek, ketika puluhan batang anak panah melesat kearah mereka dari tempat yang tersembunyi. Tubuh-tubuh bersimbah darah pun mulai berjatuhan, tanpa bisa dihindari lagi.

Sementara itu Iblis Langit ternyata bukan saja memiliki kepandaian tinggi. Tapi juga memiliki akal cerdik. Sebagian besar anak buahnya diperintahkan menghancurkan pintu gerbang untuk mengelabui murid-murid Ki Raisan. Dengan demikian murid-murid Perguruan Tangan Geledek menduga kalau seluruh anak buah Ki Bergola telah berkumpul di tempat ini. Tapi secara diam-diam, Ki Bergola telah menempatkan lebih dua puluh orang pemanah ulungnya, di sekitar perguruan. Ketika masing-masing saling berhadapan, anak-anak panah sudah melesat menyambar murid-murid Perguruan Tangan Geledek.

Murid-murid Ki Raisan mulai bingung dan kalang kabut. Sehingga, mereka langsung kehilangan kendali. Maka pada saat itulah seluruh anak buah Iblis Langit membantai mereka dengan sangat mudah sekali!

“Keparat!” desis Ki Raisan geram.

“Hm, kenapa kau memaki? Sebaiknya, lebih baik selamatkan dirimu sendiri,” sahut si Iblis Langit, seraya melesat menyerang.

“Huh! Akan kuremukkan kepalamu. Jahanam!” geram Ki Raisan seraya menangkis.

Plakkk!

“Uhh...!” Ki Raisan tersentak kaget disertai keluhan kesakitan, ketika tangannya beradu dengan tangan Ki Bergola. Dia merasakan adanya dorongan tenaga dalam yang kuat luar biasa. Dan belum lagi dia sempat mengirim serangan susulan, mendadak tubuh Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut berkelebat mengitarinya. Sehingga, tercipta angin topan dahsyat yang melingkupi seluruh tubuhnya.

“Keparat! Apakah kebisaanmu hanya main kucing-kucingan, he?!” geram Ki Raisan dengan amarah meluap-luap. Belum sempat Ki Raisan menghentikan gerakan Ki Bergola, tiba-tiba suatu benda keras menyodok lambungnya.

Dukkk!

“Aaaakh...!” Ketua Perguruan Tangan Geledek itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah, disertai muntahan darah segar. Memang gerakan Ki Bergola cepat bukan main. Sehingga tanpa disadari, tahu-tahu sudah melayangkan satu pukulan keras.

Ki Raisan yang kepandaiannya jauh di bawah Ki Bergola, kini dijadikan bulan-bulanan. Si Iblis Langit sama sekali tidak memberi kesempatan padanya untuk mengembangkan jurus-jurusnya. Gerakannya yang lincah dan gesit, sama sekali tidak mampu diimbangi Ki Raisan. Kini, begitu tubuh Ki Raisan terjungkal. Iblis Langit telah melesat cepat dengan satu serangan dahsyat.

“Yeaaaa...!”

Dalam keadaan bergulingan, Ki Raisan berusaha menangkis serangan. Namun si Iblis Langit terus mendesaknya dengan tendangan-tendangan dahsyat Ki Raisan memang masih sempat memapaki tendangan dengan tangannya. Namun, kaki si Iblis Langit yang sebelah lagi menghantam telak dadanya.

Plakkk! Begkh!

“Aaaa...!” Kembali Ki Raisan memekik keras. Tulang dadanya seketika remuk. Dan ketika Ki Bergola menubruknya dengan satu hantaman ke leher, Ki Raisan hanya bisa mengeluh tertahan. Nyawanya putus ketika itu juga, dengan tulang leher patah! Tampak darah mengalir dari mulutnya.

“Huh! Inikah ketua kalian?! Nasib kalian akan sama dengannya!” teriak si Iblis Langit. Langsung dicengkeramnya leher Ki Raisan yang telah binasa tinggi-tinggi ke atas.

“Hei?!” Bukan main kagetnya seluruh murid Perguruan Tangan Geledek melihat nasib gurunya. Untuk sesaat mereka terpana. Dan kesempatan itu digunakan anak buah si Iblis Langit untuk membantai mereka.

Set! Settt!

Crab! Crabbb!

“Aaaa...!”

Anak-anak panah yang dilepaskan bercampur kelebatan golok anak buah si Iblis Langit membuat murid-murid Perguruan Tangan Geledek terjungkal Lebih dari dua puluh orang murid Perguruan Tangan Geledek tewas saat itu juga!

***
TUJUH
Sisa murid Perguruan Tangan Geledek yang kini kurang dari lima belas orang, terus menyerang dengan semangat menyala-nyala. Mereka bertekad mati bersama, demi membela kehormatan guru dan perguruan. Tapi, ternyata ada sebagian murid yang mulai bingung. Malah, beberapa orang yang bernyali kecil telah melemparkan senjata tanda menyerah.

“He-he-he...! Bagus! Bagus...! Itu lebih baik daripada kalian mati percuma. Nah, mendekatlah padaku!” ujar si Iblis Langit, pada lawan-lawannya yang menyerah.

Mereka yang menyerah serentak menghampiri sambil melangkah pelan. Namun begitu telah berjarak lima langkah, si Iblis Langit tiba-tiba menyorongkan telapak tangannya. Seketika dari telapak tangannya yang terbuka meluruk serangkum angin kencang berhawa amat panas menghantam ke arah murid-murid itu.

Wusss!

“Aaaa...!” Kembali terdengar jeritan setinggi langit dari murid-murid Perguruan Tangan Geledek yang menyerah. Tubuh mereka langsung ambruk, seperti terbakar api yang panas bukan main. Mereka kelojotan sesaat, dan tewas dengan tubuh melepuh.

Melihat itu sebagian murid Perguruan Tangan Geledek yang tadi mencibir dan memaki geram, kini mendengus sinis. Mereka merasa hal itu setimpal bagi pengkhianat seperti mereka. Sedang bagi yang lain menjadi pelajaran, bahwa tidak ada gunanya menyerah. Meskipun tewas, paling tidak mati secara terhormat. Dan dengan tekad itu, maka sisa-sisa murid perguruan ini kembali menyerang. Namun jumlah lawan kelewat banyak. Bahkan rata-rata memiliki kemampuan hebat. Sehingga dalam waktu singkat, mereka dapat mudah dibantai sampai habis!

“Bakar semuanya...!” perintah si Iblis Langit setelah melihat semua orang yang berada dalam Perguruan Tangan Geledek binasa.

“Tapi, Ki. Kita masih bisa mengambil benda-benda berharga yang mereka miliki,” sergah seorang anak buahnya mengingatkan.

“He-he-he...! Bagus! Agaknya kau patut menjadi anak buahku yang terbaik. Nah, bawa bersamamu beberapa orang. Lalu, kuras semua harta benda yang berharga. Setelah itu, ratakan tempat ini dengan tanah,” ujar Ki Bergola.

“Baik, Ki...,” sahut orang itu cepat.

Dan dia langsung melaksanakan perintah si Iblis Langit. Setelah mengajak beberapa temannya, orang itu segera berkelebat cepat memasuki bangunan besar Perguruan Tangan Geledek. Dalam waktu beberapa saat saja, mereka telah menguras habis benda-benda berharga yang ada di dalam perguruan itu. Dan sesuai perintah, semua bangunan yang berada di tempat ini dibakar habis. Api mulai marak. Kobaran semakin besar, bersama gelak tawa Ki Bergola.

Setelah melaksanakan perintah, seluruh anak buah Ki Bergola berkumpul di halaman Perguruan Tangan Geledek. Mereka mengelilingi laki-laki tua itu, seperti menunggu perintah selanjutnya.

“Hua-ha-ha...! Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan Kawanan Serigala Bukit Maut Siapa pun orangnya yang coba-coba menentang, akan binasa seperti mereka! Ha-ha-ha...!” teriak Ki Bergola diiringi tawa bergelak.

“Hidup Serigala Bukit Maut..!” teriak anak buahnya.

“Hidup Iblis Langit..!”

“Hidup Ki Bergola...!” sambung yang lain dengan suara gegap gempita.

Namun tiba-tiba.... “Hiyaaa...!”

“Heh...?!” Mendadak teriakan Kawanan Serigala Bukit Maut terhenti ketika mendengar bentakan nyaring, bersama terdengarnya derap puluhan ekor kuda yang mendekat ke tempat ini. Anak buah si Iblis Langit terkejut. Mereka melihat laskar prajurit kerajaan tiba-tiba menyerbu ke arah mereka. Agaknya kedatangan prajurit kerajaan itu persis bersamaan dengan hancurnya Perguruan Tangan Geledek.

“Berpencar seperti tadi. Dan sebagian besar hadang mereka!” perintah Ki Bergola dengan teriakan lantang menggelegar.

Anak buah Ki Bergola segera mengambil tempat Terutama, pasukan pemanah yang tadi memiliki andil besar dalam menghancurkan murid-murid Perguruan Tangan Geledek. Sementara yang lain membentuk suatu barisan setengah lingkaran yang agak panjang.

“Serigala Bukit Maut! Menyerahlah kalian,” bentak seorang laki-laki gagah yang menunggang kuda tegap berwarna coklat.

Set! Settt!

Namun laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang agaknya panglima pasukan kerajaan itu, terkejut bukan main. Jawaban yang mereka terima ternyata anak-anak panah yang melesat bagai kilat ke arah mereka. Dengan tangkas panglima kerajaan itu mencabut pedang besar yang tersandang di punggung. Langsung ditangkisnya anak-anak panah yang melesat ke arahnya.

Trak! Trakkk!

Demikian juga prajurit-prajurit kerajaan. Mereka langsung menangkis serangan hujan panah dengan tameng dan pedang.

“Iblis Langit! Aku Panglima Soma Manggala, atas nama Kerajaan Banguntapan terpaksa harus menangkap kalian hidup atau mati!” bentak panglima yang bernama Soma Manggala geram. Langsung dia memberi perintah pada pasukannya untuk menyerang Kawanan Serigala Bukit Maut.

“Hiyaaaa...!”

“Hua-ha-ha...! Inikah prajurit-prajurit kerajaan gagah berani yang diperintahkan untuk menangkap kami?! Ha-ha-ha...! Sebaiknya kalian kembali saja. Atau, mampus di tempat ini!” sahut Ki Bergola.

Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu melompat ke depan sambil menghantamkan satu pukulan jarak jauh yang bertenaga dahsyat ke arah para Prajurit Kerajaan Banguntapan yang bergerak maju hendak menyerang.

Wusss!

Panglima Soma Manggala terkejut, ketika merasakan angin kencang menerpa berhawa amat panas.

“Uts!” Tubuh panglima itu melompat dari punggung kuda, berusaha menghindari. Namun Ki Bergola telah menyambutnya dengan serangan mendadak.

Wusss!

“Aaaakh...!”

Sementara para prajurit kerajaan yang tidak sempat menghindar, memekik kesakitan. Tubuh mereka ambruk dalam keadaan melepuh. Dan ini membuat yang lain tersentak kaget. Maka kelengahan itu digunakan anak buah Iblis Langit untuk melepaskan anak panah dengan cepat.

Set! Settt!

Crabb!

“Aaaa...!” Kembali terdengar pekik kematian, diikuti robohnya beberapa prajurit kerajaan yang tewas tertancap panah-panah beracun anak buah si Iblis Langit.

“Kurang ajar! Kau akan mampus di tanganku. Iblis Langit...!” dengus Panglima Soma Manggala seraya mengibaskan pedang ke arah Ki Bergola.

“Uts!” Dengan gerakan gesit tubuh Ki Bergola mengegos ke kanan, menghindari serangan panglima itu. Seketika dia melompat ke atas, membuat beberapa putaran untuk menghindari serangan selanjutnya. Tapi ketika kedua kakinya baru saja menyentuh tanah, ujung pedang Panglima Kerajaan Banguntapan telah kembali menebas ke pinggangnya. Sambil terkekeh kecil, Ki Bergola bergerak ke samping, sehingga pedang panglima itu tidak menemui sasaran.

“Ha-ha-ha...! Tidak sia-sia kau diangkat jadi Panglima Perang Kerajaan Banguntapan. Kepandaianmu boleh juga. Bocah. Tapi menghadapi Iblis Langit, jangan harap bisa selamat,” ejek Ki Bergola.

“Huh! Sombong sekali kau. Iblis Langit! Menghadapi orang sepertimu memang tidak sungkan-sungkan!” balas Panglima Soma Manggala.

“Ha-ha-ha...! Kau pintar bicara, Panglima. Tapi bukan berarti bisa mengalahkanku. Coba lihat ini!”

Si Iblis Langit lalu membentak nyaring sambil menghantamkan telapak tangannya ke atas.

Blep!

Maka tiba-tiba muncul serangkum angin kencang membawa gumpalan kabut tipis. Kabut itu terus berkumpul, lalu menjelma menjadi semacam awan. Dan perlahan-lahan, awan itu mulai membentuk sesosok tubuh yang amat besar. Kemudian secara cepat, terbentuklah seorang raksasa setinggi pohon kelapa dengan kedua taring panjang dan runcing. Begitu pula kuku-kuku tangan serta kakinya yang runcing-runcing dan panjang.

“Gerrr...!”

“Heh?!” Raksasa jadi-jadian itu menggeram. Bahkan langsung hendak menerkam Panglima Soma Manggala. Panglima itu terkejut, dan cepat menghindar. Namun si Iblis Langit agaknya tidak tinggal diam. Langsung dilepaskannya pukulan jarak jauh ke arah panglima itu.

“Yeaaa...!”

Panglima Soma Manggala terkejut bukan main. Dia berusaha mengelak dengan menjatuhkan diri ke tanah. Namun, tidak urung lengan kanannya terkena sambaran pukulan jarak jauh Ki Bergola.

Prakk!

“Aaakh...!” Panglima Soma Manggala langsung mengeluh tertahan. Lengannya putus, namun tidak terlihat darah menetes selain bercak berwarna ungu di sekeliling lukanya. Tampak wajah sang Panglima itu berkerut menahan rasa sakit yang amat hebat. Agaknya pukulan yang dilepaskan Iblis Langit mengandung racun hebat.

“Ha-ha-ha...! Apa yang kukatakan tadi? Kau sama sekali tidak ada artinya bagiku. Panglima Tolol. Kau hanya membuang nyawa percuma saja. Nah! Sekarang terimalah kematianmu!”

Iblis Langit terkekeh-kekeh melihat lawannya terhuyung-huyung kesakitan. Wajah Panglima Soma Manggala tampak pucat pasi bagai mayat Tubuhnya terasa panas membara, dan tenggorokannya kering seperti tercekik. Keringat sebesar jagung sudah menetes di sekujur tubuhnya. Bahkan pandangan matanya mulai mengabur. Begitu juga pendengarannya. Namun masih bisa disadari kalau bahaya tengah mengancam dirinya. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, panglima itu berusaha menghindar dari serangan Ki Bergola yang berikut.

“Yeaaaa...!”

Namun sebisa-bisanya menghindar, keadaan panglima itu memang sudah tak memungkinkan. Maka ketika dengan cepat sekali Iblis Langit melepaskan pukulan jarak jauh. Panglima Soma Manggala tidak mampu berkutik lagi. Dan....

Brasss!

“Aaakh...!” Panglima Soma Manggala memekik tertahan, begitu hawa panas luar biasa menghantam dadanya. Tubuhnya kontan terpental tiga tombak dalam keadaan melepuh. Begitu ambruk di tanah, nyawa panglima itu melayang.

“Ha-ha-ha...! Sayang, sungguh sayang. Kau terlalu yakin pada dirimu sendiri. Sehingga harus menemui kebinasaan seperti ini...,” ejek Iblis Langit.

Pada saat yang sama, kekacauan hebat dialami prajurit-prajurit Kerajaan Banguntapan. Mereka terkejut bukan main, melihat raksasa ciptaan si Iblis Langit menyeringai lebar. Dan ini membuat wajah mereka amat ketakutan. Seolah-olah raksasa, itu hendak menelan mereka semua.

Sebaliknya kelengahan itu, dipergunakan sebaik-baiknya oleh anak buah Iblis Langit untuk membantai para Prajurit Kerajaan Banguntapan. Mereka sadar kalau raksasa ciptaan itu tidak akan menyerang dan hanya menakut-nakuti lawan.

Crab! Cras! Begkh!

“Aaa...!” Jerit kesakitan dan pekik kematian kini berbaur menjadi satu dengan sosok-sosok tubuh yang ambruk tanpa nyawa lagi. Hal seperti itu membuat para prajurit yang lain semakin bingung saja. Bahkan beberapa orang sudah melarikan diri dari pertempuran. Namun, bagi para prajurit terlatih tetap memberi perlawanan sengit. Maka satu persatu mereka gugur sebagai pembela kebenaran. Dan kini, tak ada lagi prajurit-prajurit Kerajaan Banguntapan yang tersisa, kecuali mayat-mayat prajurit yang bergelimpangan.

“Ha-ha-ha...! Orang-orang dungu yang sudah bosan hidup. Mereka kira mudah menghancurkan kita...!” ujar Ki Bergola sambil ketawa bergelak.

Kemudian orang tua sakti itu menghantam raksasa ciptaannya dengan satu pukulan jarak jauh yang menimbulkan angin kencang. Seketika raksasa ciptaannya itu buyar menjadi serpihan kecil, laksana awan yang dihancurkan angin. Lalu, hilang tanpa bekas.

“Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Kita harus merayakan pesta kemenangan kita!” teriak Ki Bergola lantang.

Anak buah Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu berteriak gembira, menyambut teriakan Ki Bergola. Sebentar saja, mereka mulai meninggalkan tempat itu, sambil sesekali diselingi gelak tawa penuh kemenangan!

***

Pesta tengah berlangsung amat meriah di sebuah bangunan besar di kaki Bukit Maut. Suasana malam yang seharusnya gelap gulita, berubah terang oleh obor-obor. Sementara suara tetabuhan mengiringi beberapa penari wanita dalam pakaian tidak senonoh.

Tampak seorang laki-laki tua terkekeh-kekeh sambil sesekali menenggak arak yang dihidangkan pelayan-pelayannya. Beberapa orang wanita berwajah cantik selalu bergelayut di pundaknya. Dan sesekali laki-laki tua itu mencumbunya. Di dekatnya, terlihat beberapa orang laki-laki berbadan tegap, duduk ditemani beberapa orang wanita yang selalu dicumbu tanpa merasa malu sedikit pun. Bahkan beberapa orang sudah langsung meninggalkan tempat itu, sambil membopong wanita yang menemani. Mereka langsung masuk ke dalam beberapa buah pondok yang tidak jauh dari situ.

Hari semakin malam. Sementara pesta berangsur-angsur mulai usai bersama selesainya tari-tarian yang tadi berlangsung semarak. Sebagian besar dari mereka telah tenggelam dalam impian indah, bersenang-senang bersama wanita yang menemaninya sejak tadi. Sementara, laki-laki tua itu sendiri masih belum beranjak dari tempat semula. Dia ditemani beberapa orang laki-laki berbadan tegap, serta wanita-wanita yang sejak tadi tidak beranjak jauh di dekatnya.

“Hm.... Pergilah kalian ke kamarku. Dan, tunggulah aku di sana,” kata orang tua itu pada wanita-wanita itu.

Mendengar itu, wanita-wanita yang berada di dekatnya segera beranjak. Demikian pula wanita-wanita yang berada di dekat beberapa laki-laki berbadan tegap tadi.

“Coba tuangkan lagi arak ke dalam mangkuk ini,” pinta orang tua itu, setelah wanita-wanita tadi hilang di balik pondok yang biasa mereka tempati.

Orang tua itu segera menenggak habis isi mangkuknya. Kemudian wajahnya terlihat berseri-seri disertai senyum kecil.

“Adakah sesuatu yang hendak Ki Bergola musyawarahkan pada kami?” tanya seseorang yang tadi menuangkan arak.

“He-he-he...! Tidak! Aku hanya ingin merasakan kemenangan-kemenangan yang diperoleh selama ini,” kata laki-laki tua yang ternyata Ki Bergola, Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut.

“Siapa yang bisa meragukannya. Iblis Langit adalah seorang tokoh hebat Dan, tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya!” puji anak buahnya.

“He-he-he...! Dawu Rejo! Kau memang pandai sekali memuji orang.”

“Aku berkata yang sebenarnya, Ki. Kita telah melihatnya. Dan selama ini, siapa yang mampu mengalahkanmu?” tandas laki-laki yang dipanggil Dawu Rejo.

Ki Bergola kembali tertawa senang.

“Apa yang dikatakan Ki Dawu Rejo memang benar. Iblis Langit adalah orang nomor satu di kolong jagad ini. Tidak ada seorang pun yang mampu menandinginya!” timpal anak buahnya yang lain.

Mendengar pujian itu, tawa Ki Bergola semakin keras saja. “Bagus! Bagus! Kalian adalah anak buahku yang setia. Kelak jika aku telah menjadi raja, maka kalian akan mendapat kedudukan istimewa!”

“Apakah Ki Bergola hendak menjadi raja?” tanya seorang anak buahnya dengan wajah takjub.

“Apakah menurutmu tidak pantas?” Ki Bergola malah balik bertanya.

“Ah! Siapa yang bisa menyangkal? Ki Bergola pantas sekali menjadi seorang raja!” sahut anak buahnya, cepat.

“Ha-ha-ha...! Kedudukan itu kini sangat kuidam-idamkan. Setelah aku menjadi raja, maka lengkaplah sudah semua yang kuinginkan dalam hidup ini!” tegas Ki Bergola.

“Kalau begitu, kapan kita akan menyerang kerajaan?” tanya Ki Dawu Rejo.

“Hm, secepatnya! Secepatnya kita akan menyerang setelah menuntaskan satu ganjalan di hatiku!” jelas Ki Bergola.

“Ganjalan apakah gerangan, Ki?” tanya anak buahnya dengan wajah heran.

“Aku harus menguasai dunia persilatan lebih dulu!” sahut orang tua itu.

“Bukankah saat ini Ki Bergola telah menguasai dunia persilatan? Lagi pula, siapa yang berani berhadapan denganmu? Perguruan silat yang besar dan terkenal hebat, hancur di tanganmu. Demikian pula tokoh-tokoh persilatan yang coba menentang. Lalu, apa yang masih menjadi ganjalanmu, Ki?” tanya Ki Dawu Rejo semakin bingung.

Iblis Langit tidak langsung menjawab. Dan dia malah menuang arak di cawannya, lalu cepat menenggaknya. Setelah itu dia menarik napas dalam-dalam. Wajahnya tampak kelam, menyiratkan sifatnya yang menggiriskan.

“Selama ini, Pendekar Rajawali Sakti selalu dipuja dan dianggap yang terhebat di kolong jagad. Kalau dia belum mati di tanganku, maka aku masih saja merasa ada ganjalan!” dengus Ki Bergola geram.

“Bukankah saat ini Ki Amoksa, Ki Boneng, dan Ki Purwareksa tengah mengurusnya?” tanya salah seorang anak buah Ki Bergola.

“Hm.... Aku tidak tahu kabar beritanya, setelah beberapa hari ini. Entah mereka masih hidup atau binasa di tangan bocah itu!”

Belum lagi anak buah Iblis Langit menyahut, mendadak dua orang anak buahnya yang lain muncul di tempat itu. Mereka berlari tergopoh-gopoh dengan wajah pucat bagai mayat.

“Jalul! Dan kau, Dipo. Kalian kukirim untuk mencari tahu, di mana mereka berada. Nah! Apa yang kalian bawa?” tanya Ki Bergola, langsung begitu kedua orang anak buahnya dekat di depannya.

“Hormat kami, Ki Bergola! Kami membawa kabar buruk, Ki. Ki Amoksa, Ki Boneng, dan Ki Purwareksa tewas. Begitu juga semua anak buahnya. Si pembunuh menulis surat tantangan yang diguratkannya di tanah. Isinya, lusa dia akan menantangmu diLembah Selaksa Mayat,” lapor salah seorang.

“Kurang ajar! Siapa yang membunuh mereka?!” geram Ki Bergola bernada garang.

“Di situ tertulis dari Pendekar Rajawali Sakti.”

Wajah Iblis Langit tampak gusar, penuh kebencian yang menyala-nyala dari sorot matanya. Untuk sesaat dia terdiam dengan kedua tangan terkepal. Dalam keadaan begitu, anak buahnya hanya terdiam. Tidak ada seorang pun yang berani buka mulut. Mereka sadar kalau sedikit saja salah bicara, maka orang tua itu tidak akan segan-segan menghajar sampai binasa.

“Pendekar Rajawali Sakti! Hm..., tunggulah. Aku akan datang ke sana. Dan, saat itulah akhir dari riwayatmu!” desis orang tua itu seraya bangkit Kakinya lantas melangkah ke pondok, meninggalkan anak buahnya.

***
DELAPAN
Berita mengenai pertarungan Pendekar Rajawali Sakti melawan Iblis Langit ternyata telah menyebar ke mana-mana. Termasuk di antaranya, yang disebarkan oleh Nyai Jawil, tanpa sepengetahuan Pendekar Rajawali Sakti. Dan agaknya ini menjadi berita menarik, sekaligus menggemparkan.

Tak heran kalau di Lembah Selaksa Mayat sekarang ini, telah dipenuhi berbagai tokoh-tokoh persilatan. Baik yang masih berilmu rendahan, maupun yang sudah tinggi tingkatannya. Memang, jarang bagi mereka mendapat tontonan menarik, berupa pertarungan tingkat tinggi. Mereka sudah mulai menduga, siapa yang keluar sebagai pemenang. 

Pendekar Rajawali Sakti yang sudah terkenal kedigdayaannya, atau si Iblis Langit yang belakangan amat menggemparkan dengan segala sepak terjangnya. Meski banyak yang berharap kemenangan ada di pihak Pendekar Rajawali Sakti, namun tidak kurang yang bersorak kegirangan. Mereka merasa, kali ini Pendekar Rajawali Sakti akan ketemu batunya.

Iblis Langit telah sejak tadi muncul bersama beberapa orang anak buahnya. Kini orang tua itu melangkah mantap dengan dagunya terangkat ke atas, menuju tengah lembah. Siapa pun tahu, akal licik yang digunakannya. Malah bisa jadi, anak buahnya telah mengepung tempat itu untuk menjaga segala kemungkinan yang akan menimpa.

Jalan menuju tengah lembah yang merupakan arena pertarungan, merupakan tanah datar ditumbuhi rerumputan kecil. Sepanjang jalan, banyak orang yang berteriak-teriak menyumpah ke arah Iblis Langit. Namun, tidak kurang pula yang memuji-muji keperkasaannya.

Sementara Ki Bergola sama sekali tidak peduli dengan semua teriakan-teriakan itu. Dia berhenti di tengah-tengah sambil berkacak pinggang. Matanya langsung memandang semua orang yang hadir di tempat itu dengan wajah angkuh.

“Pendekar Rajawali Sakti! Perlihatkan wajahmu kalau benar telah hadir di tempat ini! Atau mungkin kau takut, lalu bersembunyi?!” teriak Ki Bergola lantang.

Tak terdengar sahutan. Sedangkan mereka yang berada di tempat itu memandang ke sekeliling, mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti. Namun, tidak ada seorang pun yang tampil ke depan.

“Ha-ha-ha...! Bisa jadi nyali Pendekar Rajawali Sakti mulai ciut, setelah mengetahui kehadiranku! Hua-ha-ha...! Pada dasarnya, dia memang memiliki jiwa pengecut!” teriak Ki Bergola, kembali mengejek.

Orang-orang mulai gelisah. Terdengar suara gumaman-gumaman, mempertanyakan kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga suara itu mirip ribuan lebah yang sedang marah. Malah ada juga gumaman yang berbunyi sependapat dengan si Iblis Langit, bahwa pemuda itu tidak berani menghadapinya.

“Iblis Langit! Aku di sini...!” teriak seseorang lantang.

Semua mata serentak memalingkan perhatian ke arah datangnya suara tadi. Dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Ki Bergola telah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi. Dipunggungnya terlihat sebilah pedang bergagang kepala burung.

“Itukah Pendekar Rajawali Sakti?” bisik beberapa orang dengan wajah tidak percaya.

Agaknya, selama ini dia hanya sering mendengar nama itu, dan baru bertemu muka hari ini. Sementara orang yang berada di dekatnya mengangguk.

“Hm.... Masih muda sekali! Apa mungkin dia mampu mengalahkan si Iblis Langit?”

“Namanya tidak diragukan lagi di dunia persilatan!”

Sementara itu tokoh yang tengah dibicarakan telah saling berhadapan pada jarak sepuluh langkah.

“Maaf, aku membuatmu menunggu. Ada sesuatu yang harus kukerjakan, sebelum ke sini. Sehingga, aku datang agak terlambat...,” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

“Ha-ha-ha...! Bagus! Kukira kau seorang pengecut. Tapi setelah melihat kehadiranmu, rasanya dugaanku tidak terlalu salah,” sahut Iblis Langit, memandang enteng pada pemuda itu.

Rangga tersenyum kecil. Sama sekali kemarahannya tidak diperlihatkan mendengar ejekan laki-laki tua itu. “Yang disebut pengecut hanyalah laki-laki yang selalu berlindung di balik ketiak pengawal-pengawalnya,” sindir Pendekar Rajawali Sakti, seraya melirik ke arah anak buah Ki Bergola.

Tiba-tiba saja Ketua Kawanan Serigala Bukit Maut itu melompat Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan satu pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam tinggi. Agaknya, si Iblis Langit mendengar kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bersikap ayal-ayalan. Terbukti, serangan pertamanya begitu ganas. Bahkan langsung disusul serangan berikut dengan selang waktu hanya sekejapan saja.

“Yeaaaa...!”

“Hup!”

Iblis Langit agaknya sedikit pun tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti. Dia terus mencecarnya dengan serangan-serangan gencar yang mematikan. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti memang belum menggerakkan jurus andalannya. Dia hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk mengukur tingkat kepandaian lawannya. Kini Rangga harus melompat ke belakang, untuk menghindari pukulan jarak jauh Ki Bergola. Dan ketika telapak tangan kanan Iblis Langit kembali menghantam ke depan, dari situ keluar segumpal kabut tipis. Semakin lama, kabut itu berkumpul menjadi satu seperti awan, lalu membentuk seekor naga raksasa yang siap membelit dan mencincang Pendekar Rajawali Sakti.

“Grrr...! Hosss!”

“Hei?!” Bukan main terkejutnya Rangga melihat keanehan di depan matanya. Namun, Pendekar Rajawali Sakti harus buru-buru mengelak, karena naga raksasa itu hendak menerkam dengan jari-jarinya yang besar lagi kokoh.

“Yeaaa...!”

Sementara, Iblis Langit berusaha mencuri kesempatan dengan menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang bertenaga tinggi ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Masih untung Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat serangan itu. Cepat-cepat Rangga menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan beberapa kali untuk menghindarinya. Lalu, tubuhnya kembali melenting dan menjejak manis ke tanah. Dan Rangga jadi mendengus geram, melihat kecurangan lawannya.

Melihat lawan masih belum terpengaruh oleh naga raksasa ciptaannya. Iblis Langit kembali menciptakan serigala jadian yang berukuran besar. Sementara, Rangga tampak mulai bingung. Kini, Pendekar Rajawali Sakti dikelilingi makhluk-makhluk raksasa berbentuk mengerikan. Mereka siap menerkam dan mencincang-cincangnya. Sedang di sisi lain. Iblis Langit berusaha mengintai kelengahannya. Untung saja, jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti terbuka. Kepalanya lantas mendongak ke atas. Lalu....

“Suiiittt...!”

Rangga bersuit nyaring namun bernada aneh di telinga. Sebentar Rangga menatap langit, lalu bibirnya tersenyum ketika melihat titik keperakan di angkasa. Semakin dekat, semakin jelas kalau titik keperakan yang kini semakin besar itu adalah seekor rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Binatang yang sangat besar itu terbang mengitari tempat pertarungan. Sementara, semua orang yang melihatnya jadi bergidik ngeri. Seumur hidup, baru kali ini mereka melihat burung yang amat besar.

“Putih! Halau binatang-binatang celaka ini!” teriak Rangga memberi perintah.

“Kraaghh!”

Rajawali Putih seperti mengerti betul apa yang dimaksud Rangga. Seketika kedua sayapnya dikibas-kibaskannya, sehingga menimbulkan angin topan kencang di sekitar tempat itu.

“Aaah...!”

“Aouww...!”

Mereka yang melihat pertarungan kini semakin ketakutan dan berlari kocar-kacir melihat tindakan rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara hewan-hewan ciptaan si Iblis Langit bahkan melayang-layang, seperti kapas diterbangkan angin. Tak lama, binatang-binatang buas itu hancur berantakan menjadi potongan kecil, kemudian hilang sama sekali seperti tertelan bumi.

“Iblis Langit, maaf. Terpaksa aku menggunakan tenaga sahabatku untuk mengusir hewan-hewan jejadianmu. Dan dia sengaja telah kupanggil untuk mencegah anak buahmu yang berkeliaran di sekeliling tempat ini. Maaf aku sudah membaca segala tipu muslihatmu untuk membokongku secara gelap. Biarlah sahabatku itu yang akan mengawasiku jika kau mencoba berbuat curang,” jelas Rangga.

“Huh! Segala binatang celaka, apa hebatnya?! Aku bisa melakukan hal yang lebih hebat ketimbang itu!” dengus Ki Bergola dingin.

Kali ini. Iblis Langit merangkapkan kedua tangan dengan mata terpejam. Sejurus lamanya, dia diam membisu tanpa berbuat sesuatu. Rangga tidak mengerti, apa yang akan dilakukan laki-laki tua itu. Demikian juga orang-orang yang melihat pertarungan. Namun beberapa saat kemudian baru diketahui, apa yang dilakukan Iblis Langit. Karena tak lama terdengar lolongan kawanan serigala liar yang hidup di hutan sebelah timur Lembah Maut. Tampak binatang liar itu berbondong-bondong menuju tempat pertarungan.

“Auuung...!”

“Graungrr...!”

“He, kurang ajar!” Rangga mendengus geram. Ternyata kawanan serigala liar itu hanya tertuju ke arahnya. Dengan jumlah sekitar tiga puluh ekor lebih, mereka langsung menyerang dengan ganas. Terpaksa Rangga melompat ke belakang dan mencabut pedang.

Sring!

Nampak seberkas sinar biru terang menyilaukan memancar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Orang-orang yang melihat kontan terpana dengan wajah takjub. Betapa tidak? Pamor pedang itu demikian dahsyat.

“Khraaaghk...!”

Namun sebelum pemuda itu berbuat sesuatu dengan pedangnya, rajawali raksasa yang tadi hanya berputar-putar di angkasa kembali menukik tajam. Langsung dihalaunya kawanan serigala itu dengan kepakan sayapnya yang menimbulkan angin kencang laksana badai topan.

“Grrraung...!”

Hewan-hewan liar itu kontan tercerai-berai ke sana kemari sambil menjerit kesakitan. Namun sesaat kemudian, binatang itu kembali bangkit dan meraung geram ke arah Rajawali Putih. Pada saat yang bersamaan. Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah si Iblis Langit yang masih terpaku di tempatnya dengan mata terpejam dan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.

“Iblis Langit! Rupanya kau memang tidak bisa dibiarkan. Telah banyak jatuh korban akibat ulahmu. Kini, giliranku untuk menjajal kepandaianmu,” teriak Pendekar Rajawali Sakti geram. Rangga langsung melesat sambil mengebutkan pedangnya.

Wusss!

“Uts, Setan!” Iblis Langit terpaksa menghindar dengan melenting ke belakang. Namun, Pendekar Rajawali Sakti terus memburunya. Pedang pusaka dalam genggamannya menyambar-nyambar, mengincar tubuh Ki Bergola. Saat ini. Pendekar Rajawali Sakti memang langsung menggerakkan jurus, 'Pedang Pemecah Sukma'. Sehingga beberapa kali orang tua itu terkejut kaget, ketika hawa panas terasa menyambar di sekitar tubuhnya. Bahkan pikirannya jadi kacau, membuat jurus-jurus jadi tak beraturan.

“Kurang ajar! Aku tidak bisa tinggal diam saja!” geram Iblis Langit.

Rangga tersenyum dalam hati ketika mengetahui gelagat, kalau orang tua itu sudah mulai tidak terkendali lagi. Pemuda ini sempat melirik ke arah kawanan serigala yang telah dibuat kocar-kacir meninggalkan tempat itu. Rupanya, berkat jurus 'Pedang Pemecah Sukma' perhatian Ki Bergola jadi terpencar. Sehingga, pemusatan pikirannya yang kacau membuat kawanan serigala itu tak dapat dikuasai lagi. Dan Rangga memang sudah menduga kalau orang tua itu menggunakan kekuatan batin untuk mendatangkan serigala-serigala liar tadi.

Begitu kawanan serigala tadi kembali ke tempat semula, maka sang Rajawali Putih pun kembali membumbung tinggi, namun tetap mengitari tempat itu. Dan bersamaan dengan itu, si Iblis Langit membentak nyaring. Dia berusaha mengembalikan pikirannya yang melayang entah ke mana. Lalu, dilepaskannya pukulan maut ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!”

Rangga sengaja tidak ingin memapak. Dia hanya melenting ke atas untuk menghindari angin pukulan yang datang ke arahnya. Dan hal itu membuat si Iblis Langit semakin penasaran saja. Maka kembali pukulan mautnya diumbar berkali-kali.

“Yeaaa...!”

Rangga mendengus sinis. Mulai dirasakan adanya hawa kemarahan dari setiap pukulan yang dilepaskan Ki Bergola. Melihat hal ini, Pendekar Rajawali Sakti segera meningkatkan kekuatan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'-nya. Sambil melenting menghindari pukulan orang tua itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah kembali, telapak tangan kirinya langsung mengusap batang pedang yang sejak tadi digenggamnya. Sementara Iblis Langit sudah meluruk menyerang dengan pukulan jarak jauhnya. Seketika kedua tangannya dihentakkan ke depan. Maka, dari telapaknya yang terbuka, meluruk sinar ungu ke arah Rangga.

“Hiyaaa...!”

Sementara tangan Rangga sudah terselubung cahaya biru berkilauan. Dan begitu serangan Ki Bergola meluncur datang.... "Aji Cakra Buana Sukma...!”

Pemuda itu membentak nyaring. Langsung telapak tangan kirinya didorongkan ke arah pukulan maut yang dilancarkan Iblis Langit.

Jderrr!

Seketika terdengar ledakan keras menggelegar, membuat bumi jadi bergetar bagai diguncang gempa ketika kedua sinar berbeda warna itu beradu di tengah-tengah. Namun sejurus kemudian, sinar biru yang keluar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terus meluruk dan menghantam Iblis Langit.

“Aaaa...!” Terdengar pekikan nyaring, begitu tubuh Ki Bergola terhantam sinar biru dari 'Aji Cakra Buana Sukma'. Sebentar tubuh Ki Bergola berdiri tegak dengan mata melotot. Lalu tubuhnya ambruk tidak berdaya. Nyawanya terbang saat itu juga. Cahaya biru yang berasal dari pukulan Pendekar Rajawali Sakti tampak masih terlihat di sekujur tubuh Iblis Langit yang hangus sebelum sirna.

“Heh, Iblis Langit tewas!” teriak seseorang.

“Apa? Iblis Langit mati di tangan Pendekar Rajawali Sakti?” sahut yang lain.

Pertarungan tadi memang berlangsung cepat dan hebat. Sehingga, hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang mampu melihatnya. Maka ketika mendengar jeritan panjang tadi, sesaat mereka menduga, siapa yang binasa.

Melihat pertarungan usai, beberapa orang segera mendekat ke arena pertarungan. Sementara yang lain segera menyusul satu persatu, untuk meyakinkan kematian Iblis Langit. Dan kesempatan itu digunakan Rangga untuk segera menyelinap dan melompat jauh meninggalkan mereka.

“Benar! Si Iblis Langit tewas!” teriak seseorang dengan wajah gembira.

“Rasakan! Sekarang dia kena batunya!”

“Phuiiih!”

Beberapa orang segera menimpali dengan geram, dan rata-rata, mereka bersuka ria atas kematian si Iblis Langit. Sedangkan mereka yang tadi mendukung secara diam-diam meninggalkan tempat itu. Sementara itu, anak buah si Iblis Langit yang tadi mengepung kini ditangkap oleh tokoh-tokoh persilatan yang mendendam pada mereka.

TAMAT

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar