Pendekar Rajawali Sakti eps 156 : Ratu Wajah Maya

SATU
TELAH LAMA Rangga yang juga Raja Karang Setra tidak kembali mengunjungi kerajaannya. Pendekar Rajawali Sakti ini hanya berharap mudah-mudahan keadaan di sana aman dan tenteram. Dari sini memang akan memakan waktu dua hari perjalanan berkuda bila ingin ke Karang Setra.

Dan niatnya sudah bulat kalau Rangga akan pulang serta beristirahat untuk beberapa saat, sebelum melakukan perjalanan kembali. Telah lama negerinya ditinggalkan. Dan rasa rindu di hati semakin menyentak-nyentak saja. Memikirkan semua itu, Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kudanya kencang-kencang.

“Ayo, Dewa Bayu! Kita harus secepatnya tiba di Karang Setra. Kau pun tentu sudah rindu, bukan?!” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Hewan itu meringkik, kemudian mendengus kasar. Baru saja kuda itu berlari kencang...

Wesss...!

Mendadak pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam menangkap angin berdesir di belakang, Rangga terkesiap. Disadari, ada sesuatu yang mengancam di belakangnya.

“Hup!” Pemuda itu melompat dari punggung kudanya. Lalu tubuhnya berputaran beberapa kali untuk menghindari sesuatu yang mengancam keselamatannya. Begitu Rangga menjejakkan kaki di tanah, ternyata tidak ada serangan lain. Dan pemuda itu segera mengamati keadaan sekelilingnya.

Setelah merasa yakin kalau penyerang gelap itu tidak berada di sini lagi, perlahan-lahan kepalanya menoleh pada benda yang tadi hendak menyambarnya. Ternyata, sebuah anak panah menancap pada sebatang pohon. Dan pada batang anak panah terlilit selembar kulit tipis yang biasa digunakan sebagai kertas surat.

“Hm... Perbuatan iseng siapa pula kali ini?” gumam pemuda itu seraya mengambil anak panah dan membuka isi surat di dalam gulungan.

Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau tidak bisa menemukanku? Atau barangkali aku yang mesti menemukanmu? Tapi bila hal itu terjadi, maka kebinasaanmu semakin dekat!

Ratu Wajah Maya

“Sial! Sudah dua kali dia memperdayaiku dengan mengirim surat seperti ini. Siapa Ratu Wajah Maya ini sebenarnya? Dan, apa yang diinginkannya dariku?” keluh Pendekar Rajawali Sakti dengan hati mendongkol sambil menghampiri Dewa Bayu.

Setelah menyimpan surat itu, Rangga melompat kepunggung kudanya. Matanya kembali beredar ke sekeliling. Dahinya berkerut seperti sedang berpikir. Dan sebenarnya, isi surat ini memang sempat membuatnya kembali berpikir.

Kemarin, ketika niat di hatinya begitu keras ingin kembali ke Karang Setra, di dekat sebuah kedai yang berada di dalam desa pertama yang dilalui, seorang bocah perempuan mendekat dan menyodorkan sepucuk surat pada Rangga. Ketika ditanya, siapa yang menitipkan surat itu, si bocah menunjuk seorang nenek. Tapi, si nenek yang ditunjuknya telah lenyap entah ke mana. Isi surat itu sama seperti surat yang baru saja diterimanya.

Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengingat, apakah memiliki musuh bernama Ratu Wajah Maya? Namun setelah berpikir lama, tidak juga ditemukannya. Kemudian, di simpulkannya kalau orang itu adalah salah seorang kerabat dari tokoh yang pernah tewas di tangannya. Mungkin ingin balas dendam atau menuntut balas.

Namun bila dugaannya benar demikian, kenapa sosok itu tidak langsung muncul saja? Bukankah dia telah menemukan dirinya? Kenapa harus bersembunyi? Atau barangkali menunggu saat yang tepat?

Seribu pertanyaan mulai bergayut di benak Rangga. Ketika menerima surat yang pertama, hatinya tidak terlalu terusik. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti mulai waspada, sebab seseorang telah mengancamnya. Namun setelah menerima surat kedua ini, mau tidak mau pikirannya kembali bertambah. Dan demikian pula kewaspadaannya.

Pemuda itu merasa tidak bisa lagi bepergian dengan santai. Malah kini segala panca inderanya dikerahkan setiap saat agar musuh tidak membokong dari belakang. Sebelum habis pikiran Rangga tentang surat itu, mendadak....

“Tolong...! Tolooong...!”

“Heh?!” Rangga terkesiap ketika mendengar jeritan seseorang, di tengah kesunyian hari bolong ini. “Ayo, Dewa Bayu! Coba kita lihat, apa yang terjadi!” seru Pendekar Rajawali Sakti seraya menggebah kudanya ke kanan, asal teriakan itu.

***

Jeritan itu memang berasal dari seorang wanita yang tengah dikerubuti empat orang laki-laki berwajah kasar. Seorang memegangi tangan kanannya. Seorang lagi menarik tangan kiri. Sementara seorang memeluk pinggangnya dari belakang. Sedang orang keempat tengah menyeringai lebar di depan wajahnya.

Gadis itu berusaha berontak. Namun cekalan laki-laki itu begitu kuat sehingga dia sama sekali tidak mampu melepaskan diri.

“Oh, tolong! Tolooong...!”

“He he he...! Berteriaklah sepuasmu. Di tempat sepi ini, mana ada yang bersedia menolongmu? Kau akan tetap di sini dan meladeni kami, Cah Ayu,” sahut laki-laki di depannya disertai tawa lebar penuh kebuasan.

“Bajingan keparat! Enyahlah dari hadapanku! Melihat mukamu saja sudah jijik. Apalagi berdekatan denganmu!” maki gadis itu, garang.

“Hua ha ha...! Kau kira bisa berbuat apa terhadap kami, Cah Ayu? Lebih baik menurut, dan jangan bertingkah.”

“Setan! Huh! Aku lebih suka mati ketimbang disentuh kalian! Enyah kataku! Pergi...!” teriak gadis berbaju kuning gading ini seraya memandang kesekeliling tempat ini. Dan dia berharap seseorang lewat untuk menolongnya.

“Huh! Kau hanya membuang kesabaranku saja, Anak Manis! Aku tidak bisa bertahan lebih lama. Kau boleh berteriak sesuka hatimu. Tapi, ingat! Tidak akan ada yang menolongmu?!” dengus laki-laki di hadapannya.

“Huh, Bajingan Busuk! Kau memang bisa berbuat apa saja. Tapi begitu ada kesempatan, aku akan bunuh diri daripada hidup menanggung aib!” balas gadis cantik ini dengan sikap tidak kalah garang.

“Persetan dengan ocehanmu itu...!” desis laki-laki itu. Dan dia bersiap menerkam si gadis.

Namun belum lagi niatnya terlaksana, mendadak...

“Kuharap hentikan perbuatan busuk kalian!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar yang diiringi berkelebatnya satu bayangan putih ke arah para pemerkosa.

“Heh?!” Belum sempat hilang rasa terkejut keempat lelaki itu, bayangan tadi sudah mendarat ringan di depan mereka. Rupanya, sosok bayangan itu adalah seorang pemuda tampan berompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.

“Bocah lancang! Siapa kau, he?!” bentak laki-laki yang tadi berdiri di depan gadis berbaju kuning gading.

Laki-laki itu berusia empat puluh tahun. Biji mata kirinya mendelik keluar. Dan agaknya, dialah pemimpin dari ketiga kawannya. Dia berkacak pinggang sambil meludah dengan wajah geram.

“Kau tidak perlu tahu siapa aku. Lepaskanlah gadis itu. Dan, pergilah kalian dari sini!” sahut pemuda berbaju rompi putih itu datar.

“Phuih! Anak kemarin sore mau memerintah Empat Gandrik Setan?! Hei, Bocah! Pulang dan minta netek pada ibumu! Minggat cepat sebelum kupotes batok kepalamu!” bentak laki-laki itu. Matanya melotot lebar hendak menakut-nakuti.

“Hm.... Empat Gandrik Setan. Mestinya kalian tidak usah menakut-nakuti begitu. Aku memang mau pulang, tapi beserta kepala kalian berempat,” sahut pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti kalem.

“Kurang ajar...!” mata orang tertua dari Empat Gandrik Setan makin lebar membelalak mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti.

Demikian pula tiga dari Empat Gandrik Setan lainnya yang berusia tidak jauh berbeda. Pemuda itu sungguh lancang dan tidak tahu diri. Bahkan ucapannya tadi membuat mereka marah bukan main!

“Bedebah! Biar kuhabisi sekalian!” desis salah satu dari Empat Gandrik Setan yang bernama Gandarwoto. Goloknya sudah dicabut, dan siap menebas leher Pendekar Rajawali Sakti.

Gandarwoto memiliki tubuh besar dan kumis tebal melintang. Adatnya memang penaik darah. Sehingga tanpa menunggu perintah orang tertua dari Empat Gandrik Setan, langsung diterjangnya pemuda ini.

“Modar kowe, Bocah Kunyuk!” bentak Gandarwoto geram.

“Uts!” Rangga cepat bagai kilat melompat ke kiri. Sehingga golok laki-laki berkumis hanya menebas angin.

“Kurang ajar! Punya kepandaian juga rupanya kau?! Huh, baik! Kau rasakan yang satu ini!” bentak Gandawoto semakin geram.

Laki-laki berkumis melintang itu kembali melompat sambil menebaskan golok beberapa kali ke arah Rangga. Gerakannya cepat dan dari angin tajam yang bersiur kencang, nyata terasa kalau seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk menghabisi pemuda itu secepatnya.

“Yeaaat! Yaaap...!”

“Haiiit...!”

Namun hanya menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindari setiap serangan dengan mudah. Saat golok menebas perut, tubuhnya bergerak sedikit ke belakang sambil miring ke kanan. Dan ketika senjata itu menyambar leher pemuda itu menunduk. Kemudian tubuhnya bersalto sambil melepaskan satu tendangan keras mengancam dada.

“Hiiih!”

“Uhhh...!” Gandarwoto terkesiap. Buru-buru dia berusaha memapas tendangan pemuda itu dengan goloknya. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik kakinya. Kemudian seperti menjatuhkan diri, kakinya menyambar pinggang. Dan ini tidak bisa dielakkan, apalagi ditangkis Gandarwoto.

Des!

“Aaakh...!” Gandarwoto jatuh terjerembab. Namun dia cepat bangkit kembali dengan amarah makin meluap.

“Kunyuk sial!” Kupotes batang lehermu, Keparat..!” dengus laki-laki berkumis melintang ini.

“Huh, cecunguk seperti kalian hanya bisa menggertak!” sahut Rangga kalem.

“Haram jadah...! Mampus...!”

Bet! Wut!

Rangga memiringkan kepala ke kiri ketika golok Gandarwoto kembali menyambar. Lalu tubuhnya membungkuk, saat senjata itu menyambar ke dada. Dan tahu-tahu, pemuda itu melayangkan kepalan tangan ke perut Namun, dengan sigap Gandarwoto mengibaskan golok. Dengan sekali tebas, dia bermaksud memenggal tangan dan leher Pendekar Rajawali Sakti.

Wuk!

“Uts! Heaaa...!” Dengan pengalaman yang sudah sangat matang Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri, tepat di bawah selangkangan Gandarwoto. Kemudian kedua kakinya terayun gesit menghantam perut.

Des!

“Aaakh...!” Gandarwoto menjerit lebih keras ketika tubuhnya kembali terjungkal.

“Hup!” Pendekar Rajawali Sakti melompat, dan kembali tegak berdiri sambil tersenyum dingin.

“Tidak perlu kita lanjutkan urusan ini lebih lama. Pergilah. Dan, tinggalkan gadis itu...,” ujar Rangga datar.

“Meninggalkan gadis ini dan membiarkannya bersamamu?!” Orang tertua dari Empat Gandrik Setan membelalakkan mata dengan suara nyaring.

“Kenapa tidak?”

“Ha ha ha...! Bocah kunyuk! Kau kira aku tidak tahu akal bulus yang kau pakai? Huh! Setelah kami tinggalkan, maka kau akan leluasa menggagahi gadis ini seorang diri!” kata pemimpin gerombolan ini, yang sebenarnya bernama Turangga.

“Bisa jadi. Maka, pergilah kalian!” kata Rangga makin kesal.

“Phuih! Apa pangkatmu berani mengusirku?!” dengus Turangga.

“Untuk mengusir orang-orang seperti kalian, tidak perlu pangkat tinggi-tinggi. Orang sepertiku, sudah cukup melakukannya.”

“Bocah sombong! Biar kusobek mulutmu biar tidak sembarangan bicara!” desis seorang anak buah Turangga yang bernama Ragawi.

“Tidak! Biar aku saja yang memberi pelajaran padanya!” seru seorang lagi dengan sikap tidak kalah garangnya. Dia bernama Jaladri.

“Tidak usah saling rebutan!” bentak Turangga.

Ragawi dan Jaladri terdiam saat Turangga memandang dengan tajam. Juga ketika Gandarwoto menghampiri dengan langkah tertatih. Mukanya pucat dan tangan kiri mendekap perut, seperti masih merasakan sakit yang tidak kunjung sirna.

“Kita beri bocah itu pelajaran yang tidak terlupakan! Ayo, cepat!” lanjut orang pertama Empat Gandrik Setan.

“Baik! Kita bagi tugas. Dan masing-masing, akan mendapat anggota tubuhnya yang berbeda. Aku ingin tengkorak kepalanya!” seru Jaladri dengan wajah gembira, penuh semangat.

Mereka segera mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu gadis yang menjadi calon korban Empat Gandrik Setan telah bersembunyi di balik pohon dan memandang dengan wajah cemas. Disadari kalau keempat laki-laki itu akan mengeroyok pemuda yang menjadi penolongnya. Wajahnya cemas, mungkin memikirkan jika penolongnya celaka di tangan keempat orang jahat itu.

“Huh! Kali ini aku tidak akan memberi ampun lagi padamu!” dengus Turangga, geram.

Laki-laki itu menyipitkan mata sebelum memberi isyarat pada anak buahnya untuk menyergap.

Srak! Set!

Serentak Ragawi dan Jaladri mencabut golok. Sementara Gandarwoto telah bersiap pula dengan senjatanya. Dia mencoba membokong Pendekar Rajawali Sakti dari belakang.

“Habisi bocah kunyuk ini!” bentak Turangga seraya mengacungkan golok ke atas sebagai isyarat.

“Heaaa...!”

“Hup!” Begitu tiga orang menyergap bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Sehingga serangan itu kandas. Bahkan mereka satu sama lain nyaris mencelakakan kawan sendiri. Namun, tidak demikian Turangga. Kepandaiannya sedikit di atas ketiga kawannya. Sehingga saat Rangga melompat ke atas, dia langsung melompat sambil menyabetkan golok ke arah perut.

Wuk!

Rangga cepat menarik perutnya. Dengan demikian senjata golok itu hanya menyambar angin. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti cepat melakukan serangan balasan. Ujung kaki kanannya menyambar ke perut. Namun, dapat ditangkis oleh Turangga. Sayang, gerakan pemuda itu cepat dan sulit diikuti. Baru saja tangannya menangkis, maka kaki Pendekar Rajawali Sakti itu telah melayang ke pelipis. Dan....

Des!

“Akh...!” Orang tertua dari Empat Gandrik Setan mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Ketiga kawannya coba kembali menyergap, saat Pendekar Rajawali Sakti baru saja menjejakkan kedua kakinya di tanah.

“Heaaa...!”

“Huh...!” Pendekar Rajawali Sakti mendengus geram. Tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat. Dan....

Duk! Begkh!

“Aaakh...!” Tiba-tiba terasa angin kencang menyapu tiga orang kawan Turangga. Sebelum disadari apa yang akan menimpa, kembali terasa hantaman keras menimpa dada serta perut ketiganya. Mereka memekik keras dan jatuh terjerembab.

Rangga tidak berhenti sampai di situ. Begitu Turangga akan membokongnya dari belakang, tubuhnya berputar seraya mengayunkan tendangan.

Plak! Begkh!

“Aaakh...!” Golok di tangan Turangga terpental begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti terus menghantam dadanya. Turangga jatuh terjungkal. Sementara Pendekar Rajawali Sakti menangkap goloknya, lalu langsung menempelkannya ke leher Turangga sebelum sempat bangkit.

“Bawa kawan-kawanmu pergi dari sini! Kalau tidak..., mereka akan melihat kepalamu berpisah dari tempatnya!” desis Rangga mengancam.

“Eh! Baik..., baik...,” sahut Turangga dengan suara tercekat di tenggorokan.

“Cepaaat!” bentak Rangga seraya melompat, membiarkan laki-laki itu berdiri.

Empat Gandrik Setan agaknya benar-benar ketakutan. Dan mereka segera lari terbirit-birit tanpa berani menoleh lagi.

“Huh!” Rangga mendengus sinis. Golok di tangannya dibuang, sedangkan keempat orang itu sudah tidak terlihat lagi.

***
DUA
“Kisanak.... Oh, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak lewat, entah apa jadinya diriku ini!” ucap seorang gadis berpakaian kuning gading pada Rangga yang baru saja menolongnya.

“Sudahlah.... Kini kau aman...,” sahut Rangga.

“Tapi..., aku masih takut...,” ujar si gadis seraya menunduk dan memalingkan muka.

“Takut kenapa?”

“Mereka pasti akan menggangguku lagi...,” sahut gadis itu dengan nada cemas.

“Mereka tidak akan berani mengganggumu!” tegas Rangga, meyakinkan.

“Kau tidak kenal, siapa mereka!” keluh gadis itu lagi.

“Huh! Aku banyak kenal penjahat tengik seperti mereka. Orang seperti mereka akan lari terbirit-birit bila telah dicundangi.”

“Empat Gandrik Setan tidak seperti itu....”

“Apakah kau kenal mereka, Ni...,” ucap Rangga terputus.

“Panggil saja aku Endang Sari,” potong gadis berpakaian kuning gading itu.

“Hm. ya.... Endang Sari.... Apakah kau kenal mereka?” Rangga mengulangi pertanyaannya.

“Mereka sering merampok desa kami,” sahut Endang Sari. “Telah lama aku ingin membalas dendam. Namun, selalu tidak pernah tersampaikan. Bahkan akhirnya mereka yang hendak melakukan perbuatan nista terhadapku.”

“Ingin balas dendam? Bukankah, itu sama saja cari penyakit?”

“Aku tahu! Tapi, masih banyak cara untuk membunuh mereka.”

“Dengan cara apa?”

“Yaaah, kubuntuti mereka. Lalu menunggu saat lengah. Kemudian, baru kubunuh mereka dari belakang,” sahut Endang Sari, enteng.

Rangga menggeleng lemah disertai senyum kecil. “Kau memang gadis pemberani. Tapi harus ingat, bahwa tidak selamanya rencana itu berjalan mulus.”

Endang Sari hanya mendengus sinis dengan wajah ditekuk. Kelihatan kalau hatinya belum merasa puas dengan kejadian tadi. “Kenapa kau biarkan mereka pergi begitu saja? Orang seperti itu harusnya dibunuh agar tidak mengganggu orang lain!” cibir gadis itu.

“Kita tidak boleh membunuh sembarang orang sebelum mengetahui jelas siapa dan apa kesalahannya....”

“Kenapa tidak? Aku tahu kesalahannya! Mereka rampok, dan pembunuh. Itu sudah cukup alasan kalau mereka sepatutnya mendapat hukuman!” sahut Endang Sari garang.

Rangga terdiam. Dia menghela napas panjang. “Sudahlah.... Tidak usah membicarakan mereka lagi. Sebaiknya, kembalilah kedesamu...,” lanjut Pendekar Rajawali Sakti dengan nada datar.

“Kau mengusirku...?” tanya Endang Sari tak suka dengan suara pelan.

Wajahnya tampak memelas, sehingga membuat Rangga merasa iba bercampur lucu. “Tidak. Tapi kini kau telah aman dari mereka. Dan di antara kita tidak ada urusan lagi. Oleh sebab itu, sebaiknya kau kembali ke desamu. Kedua orangtua mu tentu tengah mencemaskanmu.”

“Aku bukan anak kecil yang harus dikhawatirkan lagi!” sahut Endang Sari ketus.

“Memang kau bukan anak kecil. Tapi, kau seorang wanita. Dan, tidak baik bila wanita keluyuran jauh dari rumah. Banyak bahaya mengancam yang tidak disadari. Pulanglah segera,” bujuk Rangga.

Gadis itu terdiam, dan kembali menunduk. “Kenapa? Apalagi yang kau tunggu?” tanya Rangga.

“Aku tidak tahu, ke mana harus pulang...,” sahut gadis itu sedih.

“Ya tentunya dari mana kau berasal!”

“Rumahku sudah rata dengan tanah. Bahkan kedua orang tua serta saudara-saudaraku telah tiada...,” lanjut Endang Sari lirih.

Kali ini Rangga yang terdiam. Dipandanginya gadis itu barang sesaat. Wajahnya manis. Usianya sekitar dua puluh tahun. Sepasang matanya bening dan seperti bercahaya saat memandang lawan bicaranya.

“Musibah apa yang menimpamu, sehingga kau kehilangan semuanya...?” tanya Rangga.

“Banjir. Desa kami dilanda banjir hebat. Dan semua rumah penduduk rata oleh tanah, terbawa air. Entah ke mana. Saat itu, aku tengah ke sawah mengantar makanan untuk ayah. Dia terkejut, dan bermaksud pulang untuk menyelamatkan ibu dan adik-adikku. Tapi, pada akhirnya beliau pun hanyut terbawa air yang bukan main derasnya saat itu...,” jelas Endang Sari dengan mata berkaca-kaca. Dan kepalanya segera berpaling ketika pemuda itu coba berdiri di hadapannya. Rangga terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Cerita yang baru saja didengarnya membuat hatinya terhanyut rasa pilu.

“Apakah tidak ada lagi sanak-saudaramu di tempat lain...?” tanya Rangga setelah melihat kesedihan Endang Sari mulai berkurang.

“Tidak....”

“Hm.... Lalu apa rencanamu saat ini?”

“Entahlah...,” sahut gadis itu lemah. Endang Sari menoleh, memandang Pendekar Rajawali Sakti beberapa saat.

“Kau telah menolongku. Dan aku terikat hutang budi padamu. Apakah boleh kalau aku mengabdi padamu...?”

“Apa?!” Rangga terkesiap mendengar kata-kata gadis itu. Endang Sari mengulang permintaannya dengan wajah memelas. Dia tampak lugu. Malah sama sekali tidak berpikir jauh ke depan. Padahal hal seperti itu yang dipikirkan Rangga. Tidak mungkin dia membawa gadis ini ke mana-mana!

“Tidak! Aku tidak bisa....”

“Kenapa? Kau malu memiliki abdi sepertiku?” tanya gadis itu dengan wajah memohon.

“Bukan begitu. Tapi, banyak hal yang harus kau ketahui. Aku seorang pengembara. Dan rasanya, tidak pantas berjalan dengan seorang gadis yang belum kukenal. Apa jadinya bila orang-orang menceritakan kita. Itu aib.”

“Katakan saja aku budakmu. Atau, apamu. Lagi pula peduli amat dengan ocehan orang,” desak Endang Sari.

“Tidak! Tidak bisa...!” tegas Rangga seraya melompat ke punggung kudanya.

“Kalau kau tidak mau menerimaku sebagai abdimu, maka aku akan tetap duduk di sini memohon sampai kau mengabulkannya!” ancam gadis ini seraya berlutut dengan kepala menunduk.

Rangga menghela napas. Matanya melirik sekilas, lalu menggebah kudanya pelan. “Maaf, aku tetap tidak bisa...,” ucap Rangga begitu Dewa Bayu melangkah.

Gadis itu tetap tidak beranjak dari tempatnya bersimpuh. Bahkan saat jarak mereka telah terpaut jauh. Rangga sesekali menoleh. Dan tampak gadis itu masih bersikap seperti saat ditinggalkannya. Dia menggerutu kesal, lalu berbalik cepat menghampiri kembali.

“Endang Sari, bila kau berkeras mengikutiku sebagai apa pun, aku tidak bisa mengabulkannya. Tidak layak rasanya. Dan lebih dari itu, aku tidak tahu kau harus bawa ke mana. Bila ke tempat tinggalku, tidak mungkin. Aku telah memiliki kekasih. Dan aku tidak mau dia salah paham atas kehadiranmu!” Rangga mencoba memberi pengertian.

“Aku berjanji tidak akan merusak hubungan kalian...”

“Mungkin saja. Tapi secara tidak langsung, tetap saja kau akan membuatnya cemburu.”

“Aku bisa menjelaskan padanya...”

Rangga menghela napas panjang seraya menggeleng kesal. “Mungkin kau sudah kutolong. Tapi, aku sama sekali tidak mengharapkan apa-apa sebagai imbalannya.“

“Itu tidak mungkin. Kau tahu, dalam adat keluarga kami, telah tertanam dalam kebiasaan untuk membalas setiap kebaikan seseorang. Aku tidak punya sesuatu untuk membalasnya. Maka kuserahkan diriku menjadi abdimu,” sahut Endang Sari mantap.

Pemuda itu berpikir sejenak, kemudian tersenyum kecil. “Baiklah. Kalau begitu, kuterima usulmu....”

“Jadi kau mengabulkannya?! Oh, terima kasih! Terima kasih...!” sahut Endang Sari seraya memandang Rangga dengan wajah berseri-seri.

“Eh, bukan begitu maksudku...!” potong Rangga cepat.

Gadis itu menghentikan senyumnya. Kemudian dipandangnya Rangga dengan wajah bingung. “Lalu..., apa maksudmu?”

“Bukankah kau ingin balas budi padaku?”

Endang Sari mengangguk.

“Nah! Aku akan meminta sesuatu, dan kau harus mengabulkannya.”

Endang Sari terdiam, menunggu pemuda itu meneruskan kata-katanya.

“Keinginanku adalah..., kau tidak boleh menjadi abdiku. Kau bebas pergi ke mana saja!”

“Aku tidak bisa mengabulkannya,” sahut gadis itu cepat.

“Kenapa tidak?”

“Karena persoalan pertama belum lagi tuntas. Aku telah bersedia menawarkan diri. Dan suka maupun tidak, kau harus menerimaku menjadi abdimu,” sahut Endang Sari gamblang.

Lagi-lagi Rangga menghela napas panjang. Kini hatinya terasa kesal. Senyum kemenangan yang tadi tersungging di bibir, kembali sirna. Bahkan berganti dengan raut wajah penuh kejengkelan. Gadis ini betul-betul keras kepala, dan tidak mau beringsut dari pendiriannya. Dan kalau tidak dikabulkan, tentu akan nekat untuk terus bersimpuh di sini.

“Tahukah kau, siapa aku?” tanya Rangga. Rangga bermaksud memancing. Dia ingin menakut-nakuti gadis itu, kalau dirinya bukan orang baik-baik, melainkan tidak kalah bejat dengan keempat orang tadi.

“Tahu, tapi sedikit....”

“Bagus! Kalau demikian, kau tahu pula betapa berbahaya bila berjalan denganku. Bisa saja aku berbuat lebih bejat dibanding keempat orang tadi!” gertak Rangga.

Endang Sari mengangkat wajah. Dipandangnya pemuda itu sambil tersenyum kecil. “Kenapa aku harus berpikir begitu? Kau tidak ada bakat seperti mereka. Sebab, aku tahu siapa dirimu. Lagi pula, seseorang yang berniat jahat tidak akan mengatakan sebelumnya. Tapi, kau telah mengatakannya. Dan itu pertanda kalau kau sekadar menakut-nakutiku,” sahut Endang Sari dengan bola mata memancarkan kecerdikan.

Rangga menggerutu sendiri mendengar jawaban gadis itu. “Sudah! Aku tidak peduli apa pun yang terjadi denganmu. Yang jelas, kau tidak boleh mengikutiku!” sentak Rangga kesal. Baru saja Rangga hendak menggebah kudanya.

“Kau tidak peduli pada siapa pun? Apakah termasuk kepada Pandan Wangi...?”

“Heh?!” Betapa terkejutnya Rangga. Niatnya seketika dihentikan. Kepalanya menoleh dan memandang gadis itu dengan wajah heran. “Apa yang kau katakan? Dari mana kau tahu soal Pandan Wangi segala?!” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Kenapa tidak? Karena aku tahu siapa kau, maka kenapa tidak bisa mengetahui siapa kekasihmu...?” sahut Endang Sari, enteng.

“Tidak banyak orang mengetahuinya. Lantas dari mana kau tahu?” desak pemuda itu, memandang curiga.

“Sudah kukatakan. Dan kau tidak mempedulikannya. Apakah kau ingin memperdebatkan hal ini, atau menolong Pandan Wangi?”

“Apa maksudmu?!” sentak Rangga semakin kaget.

“Orang-orang itu menculik kekasihmu....”

“Huh! Ocehanmu semakin ngawur! Kau coba mengelabuiku!” desis Rangga, berusaha menepis bayangan buruk yang tiba-tiba merasuk benaknya.

“Terserah pendapatmu. Tapi, aku melihat sendiri dia ditangkap dan diseret beberapa orang laki-laki. Kepandaian mereka hebat, sehingga kekasihmu berhasil diringkus. Aku bermaksud menolong, tapi apalah daya? Sebab, aku tidak memiliki kemampuan. Maka kuputuskan untuk mencarimu dan memberitahukannya,” sahut Endang Sari, menjelaskan.

Rangga terdiam beberapa saat, kemudian memandang tajam pada gadis itu. “Tunjukkan padaku, di mana mereka menyekap Pandan Wangi!”

“Boleh saja. Tapi, kau harus berjanji mengabulkan permintaanku tadi.”

“Hm, baiklah. Nah! Naik ke belakangku!”

Gadis itu segera melompat ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka pun segera berlalu dari sini.

***

Sebenarnya salah satu yang membuat niat Rangga kembali ke Karang Setra adalah juga karena rindu kepada Pandan Wangi. Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti mendengar gadis itu tertangkap! Maka bukan main terkejutnya dia. Apa yang menyebabkannya tertangkap?

Apakah Pandan Wangi hendak mencari dirinya karena telah lama tidak pulang ke Karang Setra? Dengan perasaan tidak sabar, Pendekar Rajawali Sakti memacu kudanya kencang-kencang agar bisa tiba di tujuan secepat mungkin.

“Masih jauhkah tempatnya?” tanya pemuda itu di sela-sela desir angin kencang yang membuat gadis di belakangnya kalang-kabut membenahi rambutnya.

“Tidak. Sebentar lagi!” sahut Endang Sari bergetar, karena rasa takut. Memang seumur hidup, baru kali ini dia menunggangi kuda yang bisa berlari bagai kecepatan kilat.

“Sejak tadi kau mengatakan sebentar lagi. Lalu, tidak lama lagi. Kemudian tidak jauh lagi! Yang mana bisa kupercaya?!” ujar pemuda itu bernada kesal.

“Sabarlah... Sebentar lagi pun kita akan tiba....”

Rangga hanya mendengus dalam hati. Namun tidak berapa lama gadis itu menunjuk ke suatu tempat.

“Di sana! Sebaiknya kita berhenti di sini. Mereka bukan orang sembarangan. Dan sedikit saja ada suara ribut, mereka akan mengetahui kehadiran orang asing!” gadis itu memperingatkan.

Rangga segera menghentikan laju kudanya. Setelah turun dari punggung Dewa Bayu. Pendekar Rajawali Sakti menuntunnya, berjalan bersama Endang Sari yang telah lebih dulu turun. Kini, Rangga memasang indera pendengarannya tajam-tajam sambil berjalan mengikuti Endang Sari yang telah mengendap-endap di depannya.

“Kau lihat rumah panggung di sana?” tunjuk gadis itu ketika mereka menyelinap di balik pohon yang di bawahnya banyak ditumbuhi semak-semak lebat.

Rangga mengangguk seraya memperhatikan keadaan sekitarnya. Tampak sebuah rumah panggung berukuran besar dan terbuat dari jalinan kayu-kayu yang tersusun rapi. Di teras depan serta di bawahnya, terlihat banyak orang berjaga-jaga. Pakaian yang mereka kenakan amat aneh, dan hanya sekadar menutupi aurat belaka. Wajah mereka penuh coreng-moreng warna hitam, putih, dan kuning. Masing-masing membawa sebatang tombak.

“Mereka seperti sekelompok suku pedalaman...!” gumam Rangga.

“Memang! Tapi jangan anggap enteng. Sebab, aku telah melihat kemampuan mereka beberapa kali,” Endang Sari kembali mengingatkan.

“Hm.... Kau sepertinya tahu banyak. Sangat tidak pantas bagi wanita desa....”

“He?! Bukankah aku telah katakan? Meski wanita desa, namun demi mencari Empat Gandrik Setan atau telah banyak berkelana dan banyak pula melihat kejadian aneh. Apa hebatnya? Kaupun tentu bisa mengetahuinya karena pengetahuanmu hasil pengalaman selama berkelana...” potong gadis ini cepat.

“Eee, sudah diam! Jangan cerewet...!”

Endang Sari menunjukkan wajah cemberut mendengar pemuda itu menyentak begitu rupa.

“Kau punya akal, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Rangga.

Gadis itu diam tidak menjawab.

“Hm, baiklah. Kalau begitu biar kutanya langsung pada mereka,” sahut pemuda ini, menjawab sendiri pertanyaannya. Rangga bangkit, bermaksud menghampiri orang-orang yang ada didepan.

Melihat itu, Endang Sari buru-buru menarik tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan membawanya kembali merunduk. “Gila! Apa kau mau mati konyol? Bukan begitu caranya!” desis gadis itu melotot.

“Lalu bagaimana?”

Gadis itu memandang Rangga sesaat. “Kau bisa bergerak cepat, bukan?” Pendekar Rajawali Sakti mengangguk. “Nah! Aku akan mengalihkan perhatian para penjaga. Setelah mereka beranjak, maka cepatlah masuk kedalam dan bebaskan kekasihmu,” sahut gadis itu.

Rangga ingin menanyakan akal apa yang dipergunakan untuk memancing agar para penjaga berpindah dari tempatnya, namun Endang Sari telah pergi dan tidak mengindahkan panggilannya. Sehingga terpaksa dia menunggu sambil memandang ke arah lenyapnya Endang Sari. Lalu kepalanya kembali berpaling mengawasi orang-orang didepannya.

“Heh?!” Pendekar Rajawali Sakti terkesiap ketika terdengar ribut-ribut didepan sana. Dan ketika berpaling kesatu arah, terlihat nyala api yang merambat cepat menuju ke arah rumah didepannya, melalap apa saja yang menghalangi.

Para penjaga terkejut, langsung lari kalang-kabut. Ada yang berusaha mencari air untuk memadamkan api, ada juga yang berlari ke dalam rumah. Sementara, ada yang memukul kentongan. Namun kebanyakan dari mereka kalang-kabut untuk memadamkan nyala api.

“Ini barangkali yang dilakukan gadis itu!” gumam Rangga, langsung melompat dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Tubuhnya berkelebat cepat, menyelinap kerumah panggung di depannya.

“Hup!” Rangga melompat kesamping, lalu mencelat ke atas. Disibaknya atap rumbia rumah ini. Dan setelah melihat kedalam kalau keadaan aman, pemuda itu melompat turun. Ruangan ini sepi. Mata Pendekar Rajawali Sakti menyelidik ke segala penjuru dengan sorot tajam. Lalu sambil berjingkat, ditelusurinya kamar demi kamar yang lain. Begitu memasuki sebuah kamar yang cukup besar, pemuda itu terkejut melihat pemandangan yang ada didepannya.

“Pandan Wangi...?!” seru Rangga kaget.

***
TIGA
Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah kayu berbentuk lingkaran yang melekat di dinding dan bisa berputar. Di kayu itu tampak seorang gadis berbaju biru dengan kedua tangan dan kaki terkembang, masing-masing terikat tambang yang amat liat. Mulutnya pun tersumbat. Bola matanya tampak bercahaya, begitu melihat siapa yang muncul di ambang pintu. Namun kegembiraannya segera berganti, tatkala gadis itu mendelik garang. Sepertinya dia hendak memberitahu sesuatu pada pemuda itu.

“Hmhf...! Hemmff...!”

“Ada apa? Rangga terkesiap. Namun segera disadari bahaya yang mengancam jiwanya, ketika terasa angin berkesiur di belakangnya.

Set!

“Hup!” Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat kesamping, begitu menyadari bahwa yang mengincarnya ternyata sebatang tombak. Dan baru saja kakinya menjejak tanah beberapa buah anak panah kembali menyambar dengan kecepatan kilat.

“Hup! Yeaaat..!”

Crab!

Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting tinggi. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya melesat menerjang beberapa sosok bertelanjang dada yang berada di belakangnya. Salah seorang dari mereka bukannya menghindar, malah langsung memapaki serangan Pendekar Rajawali Sakti.

Plak! Duk!

Tendangan Rangga dapat ditangkis. Demikian pula pukulannya. Bahkan saat tubuhnya berbalik dan kembali berusaha menyodok ke arah dada, orang-orang bermuka coreng-moreng itu berhasil menangkis. Dari tangkisan tadi, Rangga bisa merasakan kalau tenaga dalam lawan-lawannya cukup hebat.

“Heaaa...!”

Kini tiga orang balas menyerang. Mereka langsung menghunuskan tombak ke arah Rangga. Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti melambung ke atas menembus atap yang tadi dikuaknya. Sementara orang-orang bertelanjang dada itu tak sudi membiarkan buruannya lolos. Mereka mengejar keluar dengan kecepatan kilat.

“Hiyaaat!”

Baru saja Pendekar Rajawali Sakti mendaratkan kakinya di tanah, orang-orang yang lebih mirip suku pedalaman ini telah menyerangnya kembali.

“Heaaa...!” Disertai bentakan keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti membalas serangan menggunakan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’ tingkat menengah. Tapi serangan Rangga dihadapi dengan tenang. Mereka mampu bergerak menghindar dengan gesit, saat merasakan pemuda itu mengerahkan tenaga dalam untuk menyerang.

Sementara, tiga orang berwajah coreng-moreng yang lain mengancam lewat serangan tombak. Serangan mereka memang tidak bisa dibuat main-main. Sebab jurus-jurus yang digunakan nyatanya bukan jurus sembarangan. Tak heran kalau Rangga merasa kerepotan juga dibuatnya.

“Kurang ajar...!” dengus Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga melompat kebelakang, bermaksud mendekati gubuk tempat Pandan Wangi terikat. Bila ada kesempatan, dia akan membebaskannya secepat mungkin. Namun rencananya tidak berjalan mulus, sebab beberapa orang telah melompat dan berdiri tegak didepan Rangga dengan sikap mengancam.

“Sial!” pemuda itu kembali memaki.

Pelataran di sekitar rumah-rumah itu telah di penuhi orang-orang yang berwajah penuh coreng-moreng. Mereka bersenjata pedang serta tombak. Dan rasanya tiada kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk lolos. Rangga sendiri berada persis di tengah-tengah mereka, dan orang-orang ini siap merencahnya.

Apa yang dikatakan Endang Sari ternyata bukan isapan jempol belaka. Mereka memiliki kepandaian hebat dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Padahal, bila melihat keadaannya, orang-orang ini seperti suku yang tidak memiliki keahlian khusus dalam ilmu kanuragan.

“Jangan coba-coba menghalangiku! Gadis yang kalian tawan adalah kawan dekatku. Dan tidak seorang pun yang kubiarkan mencelakainya!” dengus Pendekar Rajawali Sakti seraya memandang orang-orang itu sambil memutar tubuhnya.

“Kau boleh mengambilnya bila mampu!” Mendadak satu suara menyahut. Nadanya terdengar dingin seperti mengejek.

Pendekar Rajawali Sakti cepat menoleh kearah asal suara. Dan dia melihat yang berbicara tadi ternyata seorang wanita berpakaian amat menyolok. Wajahnya ditutupi topeng kayu agak lebar berwarna-warni. Tubuhnya langsing dan pinggulnya besar. Pada bagian atas tubuhnya yang tertutup hanya payudaranya saja. Dan di bagian bawah, dari perut sampai bagian paha, hanya ditutupi sekadarnya.

“Kaukah kepala suku mereka?” tanya Rangga.

“Bisa dikatakan begitu...!”

“Kenapa kau menangkap kawanku?”

“Aku melakukan apa saja yang kusuka. Dan tak ada seorang pun yang boleh menghalangi!”

“Kali ini kau melakukannya pada orang yang salah. Lepaskan gadis itu. Atau, kalian akan terima akibatnya!” ancam Pendekar Rajawali Sakti.

Mendengar ancaman itu, mereka yang berada di tempat ini langsung tertawa lebar. Demikian pula wanita bertopeng itu.

“Hi hi hi...! Kau hendak mengancam kami? Boleh coba bila mampu! Tunggu apa lagi? Ayo, bebaskan kekasihmu itu. Atau, barangkali kau ingin lebih dulu membantai kami?!” sahut gadis bertopeng itu dengan sikap menantang sambil berkacak pinggang.

“Kurang ajar! Agaknya kalian tidak bisa dikasih hati. Aku telah cukup memberi peringatan. Maka jangan salahkan bila aku bertindak kasar!” dengus pemuda itu seraya mencabut pedangnya.

Sring!

“Ah...! Sebilah pedang yang bagus!” seru gadis bertopeng ini tatkala melihat cahaya biru terpancar dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti.

Yang lainnya ikut berdecak sambil menggelengkan kepala. Namun seruan kaget mereka lebih terasa sebagai pujian belaka, bukan sebagai pertanda ketakutan!

Sementara itu, beberapa orang telah mengeluarkan Pandan Wangi dari gubuk. Di bawah todongan senjata, dan dalam keadaan tertotok pada pinggulnya, gadis berjuluk si Kipas Maut berjalan membelah kepungan. Karena yang ditotok bagian pinggul, gadis itu hanya mampu berjalan tanpa mampu menggerakkan anggota tubuhnya yang lain.

“Aku tidak peduli, apakah kalian mengerti atau tidak isyarat ini! Masih ada kesempatan untuk berbaik bila kalian melepaskan gadis itu,” lanjut Rangga sambil memandang kasihan pada Pandan Wangi yang berada di bawah ancaman senjata.

“Melepaskannya? Hi hi hi...! Tidak! Sekali-sekali tidak! Apa yang telah kuperoleh tidak pernah kulepas begitu saja. Dan kau sendiri, apa yang hendak kau lakukan? Membunuh kami? Atau sekadar mengancam...?” ejek wanita bertopeng ini.

“Nisanak, percayalah. Aku akan berbuat apa saja untuk membebaskan gadis itu. Harap kalian mengerti dan tidak mengajakku untuk bertindak keras,” sekali lagi Rangga mengancam dengan nada datar.

“Hi hi hi...! Lucu. Sangat lucu! Siapa yang bertindak keras dan siapa yang memulai?!” ejek kepala suku orang-orang pedalaman ini.

“Kalian telah menangkap gadis itu. Bahkan menahannya seperti hewan!” dengus Rangga kesal.

“Itu salahnya sendiri. Dia memasuki kawasan kami tanpa izin. Dan menurut peraturan, dia harus mati. Tapi kami punya kebijaksanaan yang tidak main hantam saja....”

“Apa maksudmu?”

“Dia telah kami beri kesempatan untuk minta maaf. Tapi, ternyata dia keras kepala. Sehingga hukuman mati lebih tepat baginya,” jelas wanita bertopeng.

Rangga menoleh kembali pada Pandan Wangi yang tengah tertotok. “Benarkah begitu, Pandan?” tanya Rangga.

“Huh! Kenapa Kakang mesti percaya ocehan mereka?! Orang-orang ini tidak beradab. Mana mereka mengerti sopan-santun segala!” sahut Pandan Wangi. Saat itu, sumpalan pada mulutnya telah dilepas.

“Tapi tidak ada salahnya bila kau meminta maaf, bukan?” desak Rangga.

“Aku tidak sudi! Bila aku salah, mungkin saja akan minta maaf lebih dulu. Tapi dalam hal ini, aku tidak bersalah. Maka untuk apa minta maaf segala?!” dengus si Kipas Maut semakin geram.

“Pandan.... Aku ingin persoalan ini diselesaikan secara baik-baik. Minta maaflah pada mereka. Dan mungkin persoalan akan selesai...”

“Huh! Tidak semudah itu!” sahut gadis bertopeng itu memotong ucapan Rangga.

“Lalu, apa maumu sebenarnya?” tanya Rangga, menatap tajam pada gadis bertopeng.

“Bagi kami, kesempatan meminta maaf hanya sekali. Dan gadis itu telah diberi kesempatan namun ditolak. Maka dia harus menemui kematiannya!” jelas gadis bertopeng, menegaskan. Nada suaranya terdengar ketus.

“Nisanak, ternyata kalian memang tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Bahkan sengaja mencari urusan...,” sahut Rangga dingin. Kemarahan Pendekar Rajawali Sakti yang mulai reda, kini bangkit kembali perlahan-lahan.

“Tidak usah berlagak di sini! Kau masuk wilayah kami. Dan kini, seenaknya pula memasuki rumah ini. Kau adalah tawanan kami. Dan kau lebih pantas mendapat hukuman mati!” dengus gadis bertopeng lantang seraya mengetuk tongkat ke tanah.

Dua orang berwajah coreng-moreng yang berada di dekat Pandan Wangi bergerak cepat. Yang seorang kembali menyumbat mulut si Kipas Maut kembali. Sementara yang seorang lagi menyeretnya menuju gubuk tempat gadis itu disekap.

Darah Rangga seketika menggelegak. Jelas, mereka tahu kalau gadis itu kekasihnya. Dan mereka juga tahu kalau dia tengah mengancam. Tapi ancamannya sama sekali tidak diindahkan. Bahkan mereka berani berbuat seperti itu di depannya?

“Kurang ajar...!” Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke arah Pandan Wangi sambil mengibaskan pedang untuk menghalau orang-orang yang coba menghalangi niatnya. Sinar biru berkilauan berkelebat laksana sapuan kilat.

“Heaaa...!” Rangga langsung menyambar kepala dua orang berwajah coreng-moreng dengan pedangnya. Namun kedua orang ini cukup tangkas dalam menangkis dengan tongkatnya.

Trak...!

“Heh?!” Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Tongkat yang digunakan orang-orang berwajah coreng-moreng untuk menangkis, seperti tongkat biasa saja. Bahkan sama sekali tidak istimewa. Namun, tongkat itu ternyata mampu menahan pedangnya. Apalagi sampai patah. Bahkan saat pedangnya berusaha menyambar leher, kedua lawannya bergerak gesit untuk menghindar.

“Heaaat!” Rangga menjadi penasaran. Tubuhnya kemudian berputar lalu menghantam dengan satu tendangan kilat. Namun, dua laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah mencelat ke atas. Sehingga serangan Pendekar Rajawali Sakti mampu dihindari dengan gerakan gesit. Bahkan saat pedang Rangga kembali menyambar, keduanya bergerak ke samping dengan arah berlawanan.

“Sial!” dengus pemuda itu geram.

“Hi hi hi...! Jadi inilah Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu? Hi hi hi...! Ternyata kepandaiannya hanya seujung kuku. Bahkan pedangnya yang tersohor itu tidak lebih dari barang rongsokan belaka!” ejek gadis bertopeng itu, tertawa cekikikan.

Bukan main geramnya Pendekar Rajawali Sakti mendengar ejekan lawannya. Rahangnya sampai bergemelutuk dan mendengus geram. Kini, Rangga kembali bersiap hendak menyerang. Kali ini, sasarannya jelas tertuju pada gadis bertopeng itu. Pendekar Rajawali Sakti mempunyai suatu rencana. Yaitu bila gadis ini bisa dijatuhkannya dalam waktu singkat, maka yang lain tentu akan segera menyerah.

“Heaaat..!”

Wuk! Trang!

Gerakan Rangga cepat sekali. Bahkan bagi mereka yang berkepandaian tinggi sekalipun, belum tentu mampu mengimbanginya. Namun ternyata gadis bertopeng ini mampu mengelak ke samping.

Dan saat Pendekar Rajawali Sakti membabat leher dan terus bergerak cepat ke pinggang, gadis itu mencelat keatas. Rangga tidak mempedulikannya, dan langsung mengejar.

“Jangan coba-coba lari dariku!” dengus Pendekar Rajawali Sakti.

“Lari?! Hi hi hi...! Aku bahkan ingin tahu, sampai dimana kehebatanmu yang sering digembar-gemborkan orang,” sahut gadis bertopeng sambil tertawa nyaring.

“Hiyaaat!”

Kembali Pendekar Rajawali Sakti menerjang dengan kecepatan tinggi. Gerakannya sangat beragam. Sehingga sepertinya gadis bertopeng itu tidak akan luput dari serangannya. Apalagi untuk bisa meloloskan diri. Namun....

Slap!

“Heh?!” Pendekar Rajawali Sakti terkesiap, begitu gadis bertopeng lawannya menghilang dari pandangan! Kepalanya sampai celingukan ke sana kemari.

“Menghilang? Mustahil! Rasanya jarang ada orang mampu lolos dari seranganku!” gumam Rangga dengan dahi berkerut.

“Hi hi hi...! Kebingungan, he? Aku masih disini, menanti seranganmu selanjutnya. Ayo, keluarkan seluruh jurus ampuh yang kau miliki!” teriak gadis bertopeng, nyaring.

Rangga berbalik. Tampak wanita bertopeng itu tengah duduk tenang-tenang pada sebuah cabang pohon yang berada di belakangnya. Padahal, tadi dia telah melihat kesana. Dan nyatanya tak ada siapa-siapa!

“Sial! Hei, Perempuan Licik! Turun kau dari situ!” teriak Rangga geram.

“Licik? Kau sebut aku licik? He he he...! Lucu! Sungguh lucu! Tapi, tidak apa. Barangkali julukan itu ada gunanya suatu saat. Tapi kalau memang kau begitu bernafsu untuk bertarung denganku, maka naiklah keatas. Apakah Pendekar Rajawali Sakti tidak mampu ke sini?” ejek wanita bertopeng itu, keterlaluan.

Rangga kembali mendengus. Disertai bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti melompat mengejar dan langsung mengayunkan pedang.

“Heaaa...!”

Wut! Tras!

Gadis itu hanya tersenyum-senyum. Bahkan sama sekali tidak berusaha menghindar. Namun sesaat lagi pedang Rangga menyambarnya, tubuhnya kembali menghilang. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti hanya menebas cabang pohon.

“Hup!” Dia kembali melompat ke bawah dan berdiri tegak seraya memandang berkeliling tempat ini dengan wajah penasaran.

“Sial! Hei?! Apakah kau ingin bertarung atau mengajakmu main-main?! Ayo keluar! Tunjukkan dirimu...!” bentak Pendekar Rajawali Sakti menggelegar.

“Hi hi hi...!”

“Heh?!” Mendadak terdengar suara tawa melengking. Pemuda itu cepat berpaling kearah sumber suara. Namun, tidak seorang pun terlihat. Dan suara itu kembali muncul dari belakangnya. Dan saat kepalanya berpaling, kembali tidak juga terlihat ada orang di sana. Suara tawa itu semakin nyaring memekakkan telinga dan datang dari segala penjuru.

“Uhhh...!” Rangga cepat menutupi kedua lubang telinga dan jatuh terduduk. Wajahnya berkerut seperti menahan rasa sakit yang hebat. Dia berusaha melawan, dengan mengerahkan segenap kemampuan. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak, namun kedua tangannya tetap menutupi kedua lubang telinga.

“Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti yang malang. Apakah harus begini nasibmu? Sahabat para pendekar pembela kebenaran, dan tokoh yang amat dikagumi semua orang. Apakah nasibmu akan berakhir seperti ini? Atau, barangkali kau hanya memiliki kemampuan seujung kuku, sehingga tidak mampu menolong dirimu sendiri...?!”

Suara itu terdengar berulang-ulang melengking dan menyakitkan gendang telinga. Bahkan sampai menusuk sumsum tulang pendengarannya. Rangga mengempos tenaga dan membentak nyaring untuk melawan pengaruh kekuatan suara.

“Heaaa...!”

Suara tawa itu kontan berhenti. Sementara pemuda itu jadi terengah-engah mengendalikan jalan nafasnya yang kalang kabut.

“Boleh juga. Tapi lain kali akan kuperkenalkan dengan yang lebih bagus ketimbang ini! Hi hi hi...! Sampai ketemu lagi, Pendekar Rajawali Sakti...!” Suara gadis itu kembali terdengar.

Hanya saja, kali ini tidak menyakitkan gendang telinga. Namun tetap saja orangnya tidak terlihat. Suara tawa itu berhenti. Dan Rangga tidak mempedulikannya. Kepalanya segera menoleh kerumah tadi, dan bermaksud menyelamatkan Pandan Wangi. Namun saat berbalik, bola matanya melotot lebar.

“Apa?! Tidak mungkin! Kemana rumah itu?!” desis Rangga kaget.

Segera kakinya melangkah ke sekitar tempat ini. Pandangan matanya mencari-cari ke sekeliling. Apa yang dilihat Pendekar Rajawali Sakti memang mengherankan. Betapa tidak? Rumah tadi hilang tidak berbekas. Tak ada seorang pun yang berada di sini selain dirinya. Bahkan halaman rumah yang tadi kelihatan bersih dan hanya sedikit ditumbuhi rumput, kali ini terlihat penuh pepohonan besar serta semak-semak.

Rangga mundur kebelakang dengan wajah kaget. Bola matanya tak lepas mengawasi keadaan tempat ini. Tiba-tiba, dia teringat akan kudanya. Dan segera pemuda itu bersuit nyaring.

“Hieee...!”

“Dewa Bayu! Ah, syukur kau masih ada...!” seru Pendekar Rajawali Sakti girang ketika kuda kesayangannya meringkik keras dan menghampiri dari balik semak-semak.

Rangga cepat melompat ke punggung Dewa Bayu. Segera kudanya digebah pelan berlalu dari sini dengan wajah penasaran. Sesekali kepalanya menoleh, dan berharap kalau dia akan salah lihat. Namun apa yang terlihat masih tetap sama. Hanya pepohonan hutan serta semak-semak yang lebat!

***
EMPAT
Sepanjang perjalanan, kejadian aneh yang menimpa Pendekar Rajawali Sakti terus bergayut di benaknya. Antara kenyataan dan mimpi. Yang lebih gila adalah, dia tidak juga bisa menemukan jawaban dari kejadian itu. Siapa mereka? Dan, benarkah Pandan Wangi diculik? Mimpi ataukah kenyataan yang tadi terjadi? Lalu, ke mana perginya Endang Sari? Kalau ini akal-akalan seseorang, siapakah dia? Belum tuntas pertanyaan dalam benak Rangga, mendadak....

Twang! Wes...!

Pendekar Rajawali Sakti seketika merasakan ada angin mendesir di belakangnya.

“Uts!” Cepat bagai kilat, Rangga melenting ke atas. Rupanya, sebatang anak panah nyaris menyambar tubuhnya. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya mendarat dua setengah tombak dari kudanya.

“Ratu Wajah Maya...!” seru Rangga menduga.

Rangga menoleh. Namun tidak seperti biasanya, kali ini dia menemukan seorang gadis cantik berambut panjang dengan ikat kepala warna kuning. Warna pakaiannya sama dengan ikat kepalanya. Di tangannya tergenggam sebuah busur. Dan di pinggang kirinya terlihat lebih dari sepuluh batang anak panah di dalam tempatnya.

“Jadi kau yang bernama Ratu Wajah Maya...?” tuding pemuda itu disertai senyum kecil.

“Huh, dasar edan! Jangan sembarangan bicara. Kau kira, siapa dirimu sehingga sok tahu menebak seseorang?!” sahut gadis itu dengan raut muka galak.

Rangga kemudian mengalihkan perhatiannya pada sebatang pohon, tempat menancapnya anak panah yang mengancam dirinya. Tidak ada surat yang disisipkan di situ. Dia menghela napas, dan kembali menoleh ke arah gadis itu.

“Hm.... Jadi, siapa kau sebenarnya...?”

“Huh! Apa urusannya kau ingin tahu diriku!”

“Nisanak! Kau hampir saja merenggut nyawaku!”

“Itu salahmu sendiri! Aku hendak memanah seekor kijang. Dan tiba-tiba saja kau lewat persis di depan sasaran anak panahku. Dan sekarang, seenaknya saja kau bicara yang bukan-bukan!”

Rangga menghela napas mendengar gadis galak ini bicara. Sikapnya angkuh. Mulutnya judes, kata-katanya pedas.

“Baiklah. Tidak usah kita perpanjang urusan ini. Kau boleh teruskan buruanmu. Dan aku akan teruskan perjalananku...,” lanjut Rangga mengalah, dan hendak menghampiri kudanya.

“Hei, enak betul...!” desis gadis itu seraya mencibir sinis.

“Apa maksudmu, Nisanak?”

“Seharusnya tadi aku memperoleh seekor kijang. Tapi gara-gara kehadiranmu, maka kijang itu pergi entah kemana. Aku kehilangan buruanku. Dan sekarang, kau enak-enakan akan pergi begitu saja. Kau harus bertanggung jawab!” cecar gadis ini.

“Nisanak! Jangan mengada-ada. Aku sama sekali tidak melihat seekor kijang pun di sekitar sini!”

“Eee! Sekarang kau malah hendak mungkir! Dasar bajingan! Aku tidak akan membiarkan kau pergi begitu saja sebelum mempertanggung jawabkan perbuatanmu!” sentak gadis ini, seraya berkacak pinggang dengan mata melotot lebar.

Rangga menghela napas sesak. Kejengkelannya mulai meluap, namun berusaha ditahan.

“Nisanak! Aku tidak ingin memperpanjang urusan denganmu. Ada urusan yang hendak kuselesaikan secepatnya. Oleh sebab itu, aku harus segera pergi. Kuharap kau bisa mengerti,” kilah Rangga.

“Hm.... Sedemikian besarkah urusanmu, sehingga tidak bisa ditunda?”

“Maaf, aku tidak bisa berlama-lama...!” sahut Rangga tidak mempedulikan pertanyaan gadis itu.

Rangga segera menaiki kudanya dan bermaksud meninggalkan tempat ini secepatnya. Namun mendadak....

Set!

“Sial!” Pendekar Rajawali Sakti mendegus geram ketika tiga batang anak panah kembali melesat. Satu mengarah ke tengkuk, satu lagi ke punggung kiri, dan sebatang lagi mengarah kepinggang. Rangga melompat keatas. Tubuhnya segera berputar beberapa kali, lalu mendarat empuk di punggung kudanya seperti semula.

“Hup!” Rangga kemudian menarik tali kekang kudanya. Lalu Dewa Bayu dipalingkan hingga berbalik. Sinar mata Pendekar Rajawali Sakti kini memandang penuh kejengkelan kepada gadis itu.

“Nisanak! Kau betul-betul menjengkelkan! Apa maumu sebenarnya? Atau, barangkali kau sengaja hendak mencari urusan denganku?”

“Aku paling tidak suka dianggap rendah oleh siapa pun. Makanya, jangan salahkan bila aku terpaksa menggunakan cara kekerasan untuk memaksamu!”

“Tidak usah berbelit-belit! Katakan saja, apa maumu?!” potong Rangga semakin kesal.

“Aku ingin kau bertanggung jawab atas perbuatanmu. Dan ternyata kau seorang pengecut. Aku bertanya padamu, tapi kau malah menganggap sepi. Seharusnya aku yang bertanya, apa maumu?! Apakah aku harus menggunakan kekerasan agar kau tahu sopan-santun?!” sahut gadis ini dengan sikap garang.

“Nisanak! Aku tidak ada waktu untuk bermain-main. Kuperingatkan padamu! Bila kau coba membokong, maka terpaksa aku harus memberi pelajaran terhadapmu!” dengus Rangga.

“Tidak perlu menunggu. Sekarang pun, aku siap menerima pelajaran darimu!” sahut gadis itu disertai senyum sinis.

Bersamaan dengan itu, gadis ini mengambil tiga batang anak panah yang langsung dipasangkan ke busur. Lalu dia membidikkan tepat ke arah pemuda berompi putih itu.

Rangga terkesiap melihat tindakan gadis itu. Bukannya berpikir mendengar ancamannya, tapi malah semakin mencari gara-gara. Kejengkelannya semakin memuncak menjadi kemarahan.

“Kau boleh lakukan apa yang kau suka. Tapi, ingat! Kesabaran orang ada batasnya!” ancam Rangga.

Sebagai jawabannya, gadis itu betul-betul menahannya!

Set! Set...!

“Hup!” Cepat bagai kilat, Rangga mencelat ke atas. Sehingga ketiga anak panah yang mengancam luput dari sasaran. Begitu berada di udara, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’, menerjang. Namun, gadis itu agaknya telah siap pula. Busurnya dikibaskan untuk menghalau serangan hantaman tangan pemuda itu.

Tak!

“Uhhh...!” Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan. Dalam perhitungannya, busur itu hanyalah senjata biasa. Sehingga dengan sekali hantaman pukulan tangannya, tentu akan remuk. Namun yang terjadi sungguh membuatnya kaget. Tangannya justru seperti menghantam tembok baja yang bukan main tebalnya. Dan bukan hanya itu. Bahkan tenaga pukulan Pendekar Rajawali Sakti seperti berbalik.

“Hm.... Jadi hanya segitukah kemampuan Pendekar Rajawali Sakti yang tersohor itu...?”

“Heh?! Kau mengenalku?” Rangga terhenyak, mendengar gadis itu menyebutkan julukannya.

“Siapa yang tidak mengenal tokoh nomor satu dalam dunia persilatan saat ini? Namun, masih banyak kekurangan yang harus kau perbaiki. Sebab dengan kemampuan yang seperti itu, mudah sekali aku bisa mengalahkanmu. Nah! Masih banyak waktu bagimu untuk memperbaiki diri,” sahut gadis itu membuat kening Rangga berkerut.

Setelah berkata demikian, gadis itu melesat ke atas cabang-cabang pohon. Lalu tubuhnya menghilang dari pandangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hei, tunggu...!” Rangga berteriak memanggil. Dan dia bermaksud mencegah kepergian gadis itu. Namun teriakannya sama sekali tidak dipedulikan. Gadis itu telah lebih cepat menghilang dalam sekejapan mata.

Pendekar Rajawali Sakti termangu-mangu. Tidak habis pikir, siapa gadis itu sebenarnya? Usianya kelihatan masih amat muda, namun kepandaiannya sulit diukur. Banyak kejadian aneh yang ditemuinya belakangan ini. Dan ini membuat teka-teki yang membingungkan!

***

Pendekar Rajawali Sakti meneruskan perjalanan kembali. Hutan ini sepertinya luas sekali. Hampir setengah harian Rangga mencoba mencari jalan keluar, namun selalu buntu. Bukan jalan keluar yang ditemui, melainkan hutan yang semakin lebat.

Pepohonan yang besar dan berbaris rapat semak belukar, serta tanah lembab yang menandakan sinar matahari jarang menembus tempat ini. Kegelapan mulai menyelimuti, karena begitu rapatnya ranting-ranting pepohonan yang saling bertemu! Sehingga, tempat ini seperti dikungkungi payung raksasa saja. Rangga berhenti dan mengamati keadaan sekitarnya.

“Hm.... Kemana arah yang kutuju sebenarnya? Kenapa bisa jadi begini? Setiap jalan yang kulihat luas dan dari kejauhan terlihat pepohonannya jarang, kukira jalan keluar. Tapi yang kutemui ternyata seperti ini...,” gumam Rangga dengan dahi berkerut.

Apa yang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti memang begitu kenyataannya. Sejak tadi pemuda ini bermaksud keluar dari hutan. Namun jalan keluar tidak juga ditemui. Menurut perhitungannya, bila ada tempat yang pepohonannya jarang, maka di situlah jalan keluar. Namun setiba di sana, pepohonan semakin banyak. Dan akhirnya semakin rapat. Lalu ketika mencoba menembus hutan lebat ini, tidak juga membawa hasil. Hutan ini seperti tiada bertepi. Dan ke mana pun arah yang dituju selalu saja berputar-putar.

“Dewa Bayu apakah kau tidak salah jalan? Cobalah kau cari jalan. Gunakan nalurimu,” ujar pemuda itu seraya menepuk-nepuk leher kudanya.

“Hieee...!” Dewa Bayu meringkik pelan seperti mengerti kata-kata Rangga. Lalu ke empat kakinya melangkah ke kiri dan berlari kecil menembus semak belukar. Bila tadi Rangga yang mengendalikan, kini kuda berbulu hitam itu dibiarkan mencari jalan keluar bagi mereka berdua.

“Hooop...!” Rangga menghentikan laju kudanya, ketika tidak jauh di depan berjalan tertatih-tatih seorang laki-laki tua.

Laki-laki tua itu berpakaian penuh tambal. Punggungnya menggendong seikat besar ranting kayu. Tubuhnya kurus dan kulitnya sedikit keriput ditutupi pakaian yang besar dan longgar. Pinggangnya terlihat genting, tatkala terbungkuk-bungkuk membawa bebannya.

“Hup!” Pemuda itu melompat dari kudanya dan segera menghampiri.

“Mari kutolong kakek membawakan kayu-kayu ini...,” kata Rangga, menawarkan.

“Eee, sial betul! Apa kau kira aku tidak mampu membawanya, he?! Kurang ajar...!” maki kakek ini dengan mata melotot lebar.

“Oh, maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud menghina. Kulihat kau begitu keberatan mengangkatnya. Dan aku tidak bermaksud menghina. Aku hanya ingin menolongmu...,” sahut Rangga buru-buru.

“Tidak perlu! Huh! Anak muda zaman sekarang, apa hebatnya? Kalian hanya bisa bermain dan bersenang-senang. Tidak seperti di zamanku dulu. Kami selalu bekerja keras, sehingga tenaga kami kuat dan mampu bertahan walau di usia tua. Kalau kalian..., huh! Mana mungkin!” dengus kakek ini, mencibir.

Rangga menggeleng lemah seraya menghela napas panjang. “Baiklah.... Kalau memang kau tidak mau dibantu, ya sudah. Aku akan melanjutkan perjalanan...,” sahut Rangga, beranjak dari situ. Dan dia bermaksud naik ke punggung kudanya kembali.

“Hei, tunggu dulu!” bentak kakek itu garang.

“Ada apa lagi, Kek...?”

“Kurang ajar! Dasar anak muda tidak tahu sopan-santun. Apa kau kira bisa pergi begitu saja, he?!” Bola mata orang tua itu mendelik garang.

Rangga jadi salah tingkah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia juga tidak mengerti kenapa orang tua ini marah-marah. “Aku tidak mengerti, apa yang Kakek inginkan? Kutawarkan bantuan, kau menolak dan marah-marah. Sekarang aku akan pergi, kau malah lebih marah...,” gumam Rangga.

“Pada zamanku, setiap anak muda yang bertemu orang tua, dia harus hormat. Cium tangan, atau berlutut... terserah. Demikian pula bila hendak berlalu, juga harus melakukan hal yang sama. Bila tidak dilakukan, maka anak muda itu pasti kurang ajar! Tidak tahu sopan-santun. Dan biasanya, harus dihukum cambuk!” sahut kakek ini, menjelaskan, dengan nada marah.

“Kek! Ini bukan zamanmu lagi. Dan pula, kau bukan siapa-siapa ku. Sehingga, aku tidak mesti bersikap hormat seperti yang kau katakan. Aku menghormatimu, terbukti aku menahan sabar atas kelakuanmu yang aneh ini....”

“Apa kau katakan?! Aku aneh?! Anak kurang ajar! Seenaknya saja mulutmu bicara. Apa kau tidak pernah diajar sopan-santun, he?!” desis kakek itu bertambah garang.

Buru-buru kakek peyot ini menjatuhkan tumpukan ranting. Langsung dicabutnya ranting, kemudian melompat menyerang si pemuda.

“Kau rasakan hajaranku ini, bocah kurang ajar!” dengus si kakek.

“He, apa-apaan ini?!” seru Rangga kaget. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menghindar karena tidak menyangka orang tua ini akan menyerang. Tubuhnya melenting ke atas.

Wut!

Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti bermaksud jungkir balik melewati kepala, saat itu juga ranting di tangan si kakek menghantam punggung.

Wut! Pak!

“Aaakh...!” Rangga menjerit tertahan. Sama sekali tidak disangka, kalau orang tua ini mampu berbuat demikian.

“Menganggap enteng, he?” ejek kakek itu sambil terkekeh kecil.

***
LIMA
Pemuda itu mengusap-usap punggungnya, setelah tadi sempat tersuruk. Dia mencoba bangkit berdiri dengan wajah masih meringis menahan rasa nyeri.

“Siapa sebenarnya kau orang tua? Dan, apa maksudmu atas semua ini?” tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan nada curiga.

“Apa maksudmu? Sontoloyo! Seharusnya kau sudah tahu, karena telah kukatakan. Sikapmu tidak sopan. Bahkan kurang ajar. Kusuruh kau menghormat sebagaimana mestinya, eh, malah menolak. Kau kira aku tidak bisa menghukummu?!” sahut orang tua itu seraya menyeringai lebar.

“Bukan begitu maksudku. Tapi, gerakan silatmu sedikit mirip dengan yang kumiliki....”

“Sial! Kau kira aku menirumu? Phuih! Apa hebatnya? Aku memiliki ilmu olah kanuragan yang bahkan lebih hebat daripada kepandaianmu, atau dari siapa pun di muka bumi ini!” sahut si kakek jengkel, langsung meludah beberapa kali.

“Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu. Tapi, kukira kau adalah....”

“Aku tidak peduli apa yang kau kira! Kau baru saja menghinaku. Dan..., camkan baik-baik! Aku tidak pernah dihina seumur hidupku. Siapa yang menghinaku, harus menerima akibatnya!” potong kakek itu cepat dengan wajah semakin geram.

“Tapi....”

“Tutup mulutmu! Sekarang berlutut! Dan, cium kakiku serta segera minta maaf. Dengan begitu, kesalahanmu akan kuampuni!” bentak si kakek garang.

Rangga terhenyak. Perintah kakek ini tidak mungkin dilakukannya. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Dan si kakek ini mencak-mencak sendiri. “Orang tua, maaf. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu....”

“Kalau begitu, kau memilih yang kedua. Bersiaplah! Akan kutunjukkan padamu, bagaimana caranya bersikap sopan terhadap orang tua!” sahut si kakek seraya mengayun-ayunkan ranting di tangannya.

Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak, mengawasi kakek ini dengan mata tidak berkedip. Tentu saja, tidak sudi kecolongan seperti tadi.

“Yeaaat...!” Mendadak kakek aneh itu melompat Langsung diserangnya Rangga dengan kebutan ranting di tangan.

“Uts! Hup...!” Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke samping, lalu balik ke tempat semula dengan lompatan agak tinggi. Sehingga kelebatan ranting yang menyambar ke dadanya, dapat dihindari. Namun Rangga sempat terkesiap menyaksikan gerakan si kakek yang cepat luar biasa. Nyaris ranting kayu itu menghujam perutnya, kalau saja tidak cepat mencelat ke belakang.

“Hup!”

“Hih! Kau rasakan ini...!” dengus si kakek terus mengejar.

Wut! Bet!

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar ke kiri menghindari kebutan ranting. Sementara, si kakek terus mengejarnya dengan kepandaiannya ini menggunakan ranting.

Ranting itu kelihatan remeh dan sembarangan saja. Namun di tangan si kakek, berubah menjadi senjata dahsyat yang tidak bisa dipandang enteng. Padahal, besarnya hanya sekelingking. Bahkan kelihatan rapuh.

Rangga telah merasakannya tadi ketika ranting itu menggebuk punggungnya. Adapun hal lain yang membuat Pendekar Rajawali Sakti tidak habis pikir dan sekaligus kesal adalah, ternyata kakek itu memiliki kepandaian yang mirip betul dengannya.

Ketika Rangga menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari serangan, kakek ini malah menyerangnya dengan jurus yang mirip ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Begitu mirip sehingga sulit dibedakan. Dan cara memainkannya pun sama seperti bila Rangga memainkan.

“He he he...! Apakah hanya segini kemampuanmu, Bocah Tolol? Melompat ke sana kemari seperti kunyuk?!” ejek si kakek sembari terkekeh-kekeh.

“Orang tua! Agaknya kau sengaja mempermainkanku! Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?” tanya Rangga, agak membentak.

“Dasar kunyuk tolol! Kau telah tahu, tapi masih bertanya juga. Apa gunanya orang sepertimu hidup di dunia ini? Lebih baik kau mampus saja!” bentak si kakek, mendengus geram.

“Aku tidak percaya kalau urusannya hanya sekecil itu...?”

“Mau percaya atau tidak, bukan urusanku! Urusanku saat ini adalah, mengemplang kepalamu!”

“Tidak semudah apa yang kau kira, Orang Tua. Jangan membuatku kesal dan bertindak kasar.”

“Huh, Bocah Sombong! Kau kira bisa berbuat apa terhadapku? Dengan kepandaianmu yang hanya seujung kuku, kau tidak lebih dari seekor kunyuk tolol yang menari-nari di depanku!”

“Sial!” dengus Rangga semakin geram melihat ulah orang tua ini.

Orang tua itu tidak mempedulikannya. Dia terkekeh, lalu kembali melompat menyerang. Kali ini, serangannya terasa berat dan bersungguh-sungguh seperti hendak menghabisi secepatnya.

“Uhhh...!” Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Dan segera mencabut pedangnya untuk mengimbangi serangan.

Srang...!

“Yeaaa...!” Baru saja pedang Rangga keluar dari warangka, ranting itu telah menyambar pergelangan tangan.

Trak!

Rangga terkejut. Tangannya bergetar hebat dan bukan main sakitnya. Bahkan pedangnya sampai terpental. Belum lagi sempat disadari apa yang terjadi, kembali senjata ranting itu menghantam perut dan kaki belakangnya berturut-turut dalam waktu singkat

Prat! Par!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti mendekap perut, dan jatuh terduduk persis di depan kakek itu.

“He he he...! Kini kau bisa lihat, bukan? Aku mampu melakukan apa saja yang kuinginkan. Apalagi dari kunyuk tolol sepertimu!” ujarnya seraya terkekeh lebar.

Wajah Pendekar Rajawali Sakti meringis kecil. Bisa saja selangkangan kakek ini dihantamnya dalam keadaan seperti ini. Namun tindakan itu tidak ksatria, dan hanya pantas dilakukan orang-orang pengecut. Sehingga sambil menanggung perasaan kesal dan geram, Rangga diam saja tidak berusaha beranjak berdiri.

“Orang tua! Kau boleh merasa menang. Tapi tetap saja kau tidak bisa memaksaku untuk berlutut!” dengus pemuda itu sinis.

“Kenapa tidak? Coba lihat!”

Orang tua itu memajukan kaki. Namun dengan sigap, Rangga menangkisnya. Juga saat kaki kakek itu bergerak lincah menyambar-nyambar muka dan dadanya.

Plak! Tak!

“Hiiih!” Kini Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang. Namun orang tua itu mengejar sambil mengayunkan tongkat. Tubuhnya berputar dengan kedua kaki terbuka lebar. Lalu dia melakukan tendangan beruntun berturut-turut, mendesak Pendekar Rajawali Sakti sampai tidak berkutik.

Wut!

Rangga menjatuhkan diri ke bawah, ketika tendangan kakek itu menghantamnya. Dan dia sempat menangkis ketika sebelah kaki kakek ini menyambar pinggang ketika hendak bergulingan.

Plak!

Namun, secepat itu pula senjata si kakek menghantam punggungnya.

Begkh!

“Aaakh...!” Pemuda itu mengeluh tertahan. Rasa sakit hebat menyerang punggungnya. Namun begitu Pendekar Rajawali Sakti masih sempat bergulingan untuk menjauhi, kemudian bangkit berdiri.

“Heaaa...!” Tapi rupanya si kakek tidak memberi kesempatan. Tubuhnya terus melompat ringan, lalu kaki kanannya mengayun cepat menyambar perut Rangga.

Duk!

“Ugkh...!” Pemuda itu mengaduh kesakitan. Tubuhnya melengkung dengan wajah berkerut Sebelah kaki kakek ini yang satu lagi, telah mengapit pinggang Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga pemuda ini seperti bersujud. Dan terakhir, ranting kayu di tangannya menotok tengkuk Pendekar Rajawali Sakti.

Tuk!

“Aaakh...!” Seketika itu pula Rangga tidak mampu merubah sikapnya. Sedikit pun dia tidak mampu bergerak.

“He he he...! Kini kau rasakan, bagaimana tidak enaknya menjadi anak keras kepala!” ujar si kakek seraya tertawa lebar.

“Kau bisa membuatku seperti ini. Tapi, kau tidak bisa memaksakan hatiku untuk berbuat begitu!” dengus Pendekar Rajawali Sakti dengan perasaan geram.

“Siapa peduli dengan hatimu? Aku hanya ingin, kau mencium telapak kakiku. Dan, sekarang telah kau lakukan. Padahal, bila kau mau melakukannya dengan sukarela, tidak akan selama ini. He he he...!”

“Orang tua keparat! Aku akan membalas penghinaanmu ini nanti!” sentak pemuda itu geram.

Apa yang dilakukan orang tua ini memang keterlaluan. Kedua ujung kakinya dihentakkan dan digerak-gerakkan di muka pemuda itu. Ini merupakan penghinaan yang tiada tara bagi pemuda itu. Namun, dia tidak mampu berbuat apa-apa. Totokan orang tua ini kuat bukan main. Meski dia berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga, tetap saja tidak mampu berkutik.

“Bangsat terkutuk! Hentikan perbuatanmu ini...!” bentak pemuda itu garang.

“Apa? Hentikan?! Ho ho ho...! Aku tengah menikmatinya. Dan tak ada seorang pun yang boleh melarang. Nanti bila telah puas, baru aku menghentikannya!”

“Kau.... Orang tua terkutuk...!” dengus Pendekar Rajawali Sakti.

Apa yang dilakukan orang tua itu semakin keterlaluan. Telapak kakinya digunakan untuk mengusap wajah pemuda ini secara bergantian sambil tertawa terkekeh kegirangan.

“Hieee...!”

“Heh?!” Mendadak saja Dewa Bayu meringkik keras. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi ke hadapan si kakek. Orang tua itu terkejut. Dan dia segera melompat ke belakang.

“Hieee...!” Kuda berbulu hitam itu tidak tinggal diam. Dewa Bayu berlari-lari mengejar si kakek yang terlihat gusar.

“Hush! Hush...! Pergi sana! Hewan celaka! Mengganggu kesenangan orang saja!” sentak si kakek seraya mengibas-ngibaskan ranting kayu di tangan.

“Heeeiii...!”

“Uhhh...! Sial! Edan...! Brengsek...!” maki orang tua itu berkali-kali ketika mukanya nyaris terhantam tendangan kedua kaki belakang hewan itu. Tiba-tiba saja kakek itu mencelat ke atas dan hinggap pada sebuah cabang pohon.

“He he he...! Kita akan bertemu kembali, Bocah. Dan nanti akan kita lanjutkan permainan tadi!” teriak si kakek dengan suara membahana. Lalu tubuhnya berkelebat cepat dari sini.

Rangga merutuk di dalam hati, namun tidak mampu berbuat apa pun.

“Hieee...!” Dewa Bayu mendekat dan mendengus beberapa kali di dekat Pendekar Rajawali Sakti. Terasa hembusan nafasnya yang kasar menyapu wajah. Kuda kesayangan Rangga ini berusaha membantu majikannya untuk bangkit. Namun, Rangga tidak kuasa melakukannya.

“Tunggu, Dewa Bayu. Jangan bersikap kasar begitu! Aku akan berusaha melepaskan totokan tua bangka keparat itu!”

“Hieee...!” Hewan itu meringkik kecil, kemudian menjauh sedikit seperti apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti. Dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tertancap di tanah dengan mulutnya. Lalu diletakkannya pedang itu di dekat Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian Dewa Bayu kembali mundur sambil memperhatikan pemuda itu yang berusaha melepaskan diri dari totokan.

Sementara itu, Rangga mengerahkan tenaga dalamnya. Dan perlahan-lahan totokan pada dirinya bisa dimusnahkan.

“Heaaa...!” Rangga membentak keras, sampai kudanya terlonjak kaget Tubuhnya mencelat ke belakang, lalu melompat ke atas sambil berputar beberapa kali. Kemudian kakinya berdiri tegak di tanah.

Totokan orang tua itu telah hilang di tubuhnya. Namun kesal di hatinya belum lagi sirna. Nafasnya terasa sesak bila mengingat kejadian tadi. Dan bola matanya seperti bersinar memandang kosong ke depan.

“Hieee...!”

“Ohhh...!” Pemuda itu terkesiap melihat Dewa Bayu mendekat seraya meringkik kecil. Pendekar Rajawali Sakti mengusap-usap lehernya, lalu melompat ke punggungnya setelah menyambar pedang dan menyarungkannya kembali.

“Mari, Dewa Bayu. Kita tinggalkan tempat ini! Gunakan nalurimu. Dan, kita selidiki orang tua itu!”

“Hieee...!” Kuda berbulu hitam pekat itu kembali meringkik kecil, lalu berlari sedikit kencang menyusuri satu arah, menembus semak belukar. Mula-mula terlihat kalau kuda itu mampu mencium jejak. Namun beberapa saat kemudian dia berhenti, lalu kembali meringkik halus. Kepalanya menggeleng-geleng pelan.

“Kenapa, Dewa Bayu? Kau kehilangan jejaknya...?”

Kuda hitam itu mendengus kasar sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kudanya, segera memeriksa tempat di sekitarnya. Pendengarannya dipertajam. Demikian pula panca inderanya yang lain.

“Apakah kau yakin dia berada di sekitar tempat ini..?” tanya pemuda itu lirih.

Kuda berbulu hitam itu menggerak-gerakkan kepalanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti menghela napas panjang. Kuda kesayangan Pendekar Rajawali Sakti ini memang istimewa. Bukan saja mampu berlari kencang, tapi juga mampu mengendus seperti seekor serigala. Dan Rangga tahu betul, bagaimana cara berhubungan dengannya.

Dan saat ini Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau hewan itu gagal mencari buruannya. Mereka kehilangan jejak, dan telah jauh terperosok di dalam hutan lebat tidak berarah ini. Di sekeliling hanya pohon-pohon besar bercabang banyak dan berdaun lebat. Bila siang hari, suasana tidak beda malam hari. Dan saat malam tiba, maka tempat ini begitu gelap dan menakutkan!

Pendekar Rajawali Sakti mencari tempat yang agak terbuka untuk beristirahat. Hampir seharian dia berada di hutan ini, dan tidak tahu harus ke mana untuk mencari jalan keluar. Namun saat ini, bukan itu yang dipikirkannya. Tapi bagaimana cara menemukan Pandan Wangi.

“Pandan...,” gumam Pendekar Rajawali Sakti lirih seraya menghidupkan api unggun.

Nyala api pertama terlihat kecil. Bahkan nyaris padam. Namun pemuda itu cepat menambahkan ranting-ranting kering yang kecil. Lalu ketika nyala api mulai besar, kembali ditambahkannya ranting-ranting yang berukuran lebih besar. Bola mata pemuda itu sayu memandang nyala api di depannya. Suara unggas malam serta angin lembab yang bertiup sesekali, tidak mampu mengusik lamunannya. Pendekar Rajawali Sakti duduk menekur, memikirkan kejadian aneh yang menimpanya berturut-turut.

“Ada apa semua ini? Sangat aneh dan membingungkan. Apa sebenarnya yang terjadi? Atau barangkali, aku mulai gila...?” pikir Rangga dengan dahi berkerut.

Wer...!

“Heh...?!” pemuda itu tersentak kaget. Seekor kelelawar tiba-tiba saja nyaris menyambar mukanya. Masih untung, dia sempat menghindar.

Wer!

“Hewan celaka!” desis Rangga geram ketika seekor kelelawar lain mulai menyerang.

Bukan hanya kelelawar itu saja. Namun yang lain mulai melesat terbang menyambar-nyambar Rangga. Pemuda itu bangkit berdiri seraya meraih sepotong ranting berukuran agak besar yang ujungnya masih terlihat nyala api.

Wus!

“Mampus kau!” desis Rangga geram sambil menghantam seekor kelelawar yang kembali menyambar.

Plas!

“Heh?! Luput? Mustahil!” desis Rangga kaget.

Rangga yakin betul kalau hewan itu kena dihajarnya. Namun seperti bayangan, kelelawar itu menembus ranting di tangannya. Dan bersamaan dengan itu, yang lain beramai-ramai menyerangnya. Seolah-olah, mereka sama sekali tidak gentar terhadap nyala api yang berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

“Keaaakh...!”

“Kurang ajar...!” Rangga mendesis geram.

Seketika Pendekar Rajawali Sakti memasang kuda-kuda. Kemudian tangannya dihentakkan ke arah kawanan kelelawar. “Aji ‘Bayu Bajra’! Heaaa...!”

Wur!

Serangkum angin kencang menerpa kawanan kelelawar yang berada di depan Rangga. Angin kencang yang bersiur kencang laksana badai topan itu menerbangkan dedaunan serta ranting-ranting pohon. Bahkan dalam sekejap, angin ribut membuat suasana gaduh.

“Gila! Mereka sama sekali tidak mempan? Hewan apa ini?!” desis pemuda itu kaget ketika melihat kawanan kelelawar itu sama sekali tidak terpengaruh ajiannya.

***
ENAM
Binatang-binatang itu terus melesat menyerang. Dan dari angin serangan, terasa kalau kawanan kelelawar ini bisa mencelakai dirinya.

“Hup!” Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat, lalu bergulingan untuk menghindari serangan kawanan kelelawar. Namun hewan-hewan itu kini merubah siasat serangannya. Mereka tidak lagi menyerang dari arah yang sama, tapi berpencar. Kemudian, kembali menyerang dari arah berbeda.

Wer...!

“Kurang ajar! Cerdik juga hewan-hewan keparat ini!” desis Pendekar Rajawali Sakti.

Kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, menghantam salah seekor kelelawar yang hendak menyambar wajah. Namun seperti menghantam angin, pukulannya luput dari sasaran. Sebaliknya, hewan itu meliuk gesit. Bahkan menyambar pundak kanannya.

Pias! Bret!

“Uhhh...!” Rangga mengeluh tertahan. Pundak kanannya terluka. Namun meski sedikit perih, dia bisa merasakan kalau cakaran hewan itu cukup dalam.

“Keaaakh...!”

“Keparat!” maki pemuda itu berulang-ulang ketika pukulannya tak satu pun yang mengenai sasaran.

Hewan-hewan itu mampu bergerak gesit dan lincah, baik menyerang maupun menghindar. Kemudian dengan cepat, mereka balas menyerang bertubi-tubi. Sehingga membuat Rangga terpaksa bergulingan serta bergerak ke sana kemari menghindarinya. Di tengah-tengah kesibukan Rangga menangani binatang-binatang itu, mendadak....

“Tolong! Tolooong...!”

Terdengar teriakan kencang yang tidak jauh dari tempat ini. Kemudian seperti terkejut, kawanan kelelawar itu terbang kalang kabut. Dan dalam sekejap mata mereka hilang tak tersisa.

Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri termangu, dan memandang tidak percaya ke sekelilingnya. Baru saja kawanan kelelawar itu muncul tiba-tiba dan menyerangnya, lenyap tiba-tiba pula!

“Tolong! Tolooong...!”

“Heh?!” Pemuda itu kembali terkejut. Di tengah malam buta seperti ini, terdengar jerit ketakutan tidak jauh dari tempatnya berada.

Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat, bermaksud menolong. Namun baru saja akan melakukannya, sesosok tubuh ramping menerobos semak-semak dan langsung menghampiri serta memeluknya dengan wajah ketakutan.

“Tolong! Tolong, Kisanak! Mereka hendak berbuat jahat terhadapku! Tolong...!” ratap sosok yang ternyata seorang wanita.

“Eee, tenanglah! Tenang....”

Rangga jadi risih sendiri melihat wanita ini memeluknya erat-erat. Sepertinya tidak disadari kalau yang dipeluk adalah seorang laki-laki. Namun baru saja Rangga hendak melihat sosok ini sebenarnya, gadis itu malah mendongak. Sehingga keduanya saling terkejut.

“Endang Sari, kaukah itu...?!”

“Rangga?! Benar kau Rangga?!”

“Ya, aku memang Rangga....”

“Oh! Syukurlah ternyata kau selamat. Aku cemas memikirkanmu....”

“He, lepaskan dulu pelukanmu. Lalu, ceritakan apa yang menimpa dirimu...,” ujar Rangga.

“Oh, apa? Maaf...,” ucap gadis itu seraya tersenyum malu dan tertunduk. Buru-buru gadis yang ternyata Endang Sari melepaskan pelukannya setelah menyadari kekeliruannya.

“Ada apa, Endang? Aku tidak melihat seorang pun. Apa yang terjadi?”

Gadis itu berbalik, dan mencari-cari dengan sorot mata tajam ke sekeliling tempat itu. Wajahnya tampak kecewa, sekaligus gembira dan lega.

“Mungkin mereka takut dan terus kabur setelah melihat kehadiranmu....”

“Siapa yang kau maksud?”

“Dua orang itu. Mereka hendak berbuat jahat padaku!”

“Hm...,” gumam Rangga pendek. Rangga melangkah beberapa tindak, kemudian berhenti serta memperhatikan keadaan sekelilingnya sambil mempertajam pendengaran. Namun tiada satu pun suara mencurigakan yang terdengar, kecuali suara binatang malam dan gemerisik dedaunan.

“Aku tidak mendengar apa-apa....”

“Sudah kukatakan, mungkin mereka takut melihat kehadiranmu. Lalu, mereka terus menyingkir,” sahut Endang Sari mengemukakan alasannya.

“Mungkin juga...,” sahut Rangga pendek.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian duduk didekat nyala api yang kelihatan akan padam. Ditambahkannya lagi beberapa buah ranting. Dan saat nyala api mulai berkobar kembali, Endang Sari duduk di sebelahnya.

“Bagaimana kau bisa tiba di sini...?” tanya gadis itu ketika keadaannya mulai tenang.

“Entahlah.... Tiba-tiba saja aku telah berada di sini,” desah Rangga.

“Sudah kau bebaskan kekasihmu?”

“Belum....”

“Kenapa? Apakah kau gagal?”

Rangga memandang wajah gadis itu sejurus lamanya. Dan untuk beberapa saat, Endang Sari balas menyerangnya. Tapi tiba-tiba dia merasa jengah sendiri, kemudian memalingkan muka.

“Mereka memang tidak bisa dianggap enteng...,” ucap Endang Sari lirih.

“Kau mengetahuinya?”

“Tidak banyak....”

“Endang, aku ingin bertanya....”

“Apa yang ingin kau tanyakan?” sahut gadis itu kembali mengangkat wajahnya.

“Bagaimana kau bisa tiba di hutan ini?”

Endang Sari terdiam. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam. Tapi kemudian, dia tersenyum lebar.

“Apa maksudmu? Tentu saja kau telah tahu, bukan? Kedua orang itu hendak menggangguku. Dan mereka akan berbuat tidak senonoh, lalu secara kebetulan aku bertemu denganmu!”

“Dari mana arah datangmu?”

“Dari utara! Eh! Tapi, kenapa...?”

Rangga tersenyum. “Lalu, dari mana kau tahu kalau kau dari utara?” sindir Rangga.

“Kenapa tidak? Aku melihat petunjuk dari bintang-bintang!”

“Endang, ketahuilah. Aku pun dari utara. Dan sepanjang perjalanan yang telah kulalui, hanya hutan rimba dengan cabang-cabang lebat serta dedaunan yang memayungi bumi. Bagaimana mungkin kau bisa melihat bintang-bintang?”

Kali ini gadis itu yang tersenyum lebar sambil memandang lucu pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Apa katamu? Hutan lebat sejauh berpuluh-puluh tombak? Aneh sekali! Tidak jauh dari sini, malah terdapat perkampungan penduduk. Kita saat ini berada di pinggiran hutan!” balas Endang Sari, tak mau kalah.

Rangga memandang gadis di depannya dengan mata tidak berkedip. Pikirannya melayang tidak menentu, memikirkan kata-kata gadis ini.

“Bagaimana mungkin? Aku telah berputar-putar di hutan ini sejak tadi. Namun sama sekali tidak menemukan perkampungan penduduk...,” ujar Rangga dengan suara menggantung.

“Apakah kau tidak percaya? Aku bisa menunjukkannya padamu!” sahut Endang Sari, bersemangat.

Gadis itu berdiri sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.

“Sekarang...?”

“Ya, sekarang. Kenapa? Kau masih belum percaya? Ayo, akan kubuktikan kata-kataku!” seru Endang Sari, langsung mencekal lengan pemuda itu.

Rangga beranjak. Segera dituntunnya Dewa Bayu mengikuti langkah Endang Sari yang berada di depannya.

***

Apa yang dikatakan Endang Sari terbukti. Dari kejauhan di depan, Rangga mulai melihat cahaya obor dari rumah-rumah penduduk. Dan anehnya pula, jalan yang dilalui semakin lapang. Padahal, perasaan pemuda itu mengatakan kalau mereka tidak pernah menempuh jalan ini. Namun, keadaannya tidak seperti sekarang. Waktu itu jalan yang ditempuhnya dipenuhi pohon-pohon lebat yang menandakan kalau semakin jauh ke tengah hutan.

“Coba lihat! Benar kataku, bukan...?!” seru gadis itu.

“Ya...,” desah Rangga mengangguk.

“Sekarang, terserahmu. Apakah akan kembali ketempat tadi, atau menumpang menginap di salah sebuah rumah di desa ini. Namun sebagai abdimu, kusarankan sebaiknya kita menginap di desa ini saja...,” usul Endang Sari.

Rangga masih diam, belum memberikan jawaban. “Kenapa? Kau ragu?” tanya gadis itu lagi.

“Entahlah...”

“Ayolah!” Endang Sari sedikit memaksa, sambil menggamit tangan Rangga.

“Apakah ada seseorang yang kau kenal di desa ini?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Tidak. Tapi nanti juga kita akan kenal mereka.”

“Ini telah tengah malam. Dan tidak sopan membangunkan mereka....”

“Jadi, kau ingin tidur di luar? Berembun, lalu diserang binatang buas?!” bola mata gadis itu membesar ketika memandang Rangga.

“Aku telah terbiasa...,” sahut pemuda itu, kalem.

“Huuuh...!” dengus Endang Sari dengan wajah kesal.

“Tapi kalau kau suka, ketuklah pintu rumah salah seorang dari mereka. Dan mintalah agar bisa menumpang menginap. Aku tidak pernah menghalangimu....”

“Dan kau sendiri?” tanya Endang Sari, dengan kening berkerut.

“Aku akan kembali ke tempat tadi...,” sahut Rangga enteng.

“Gila!” desis gadis itu bersungut-sungut.

“Tidak. Aku hanya sungkan mengganggu mereka....”

“Baiklah.... Kalau begitu, kita tidak usah kembali ke tempat tadi. Kita bermalam di sini saja karena lebih aman,” ujar gadis itu mengalah.

“Kita akan buat perapian dulu....”

Rangga kembali mencari ranting-ranging kering di sekitar tempat ini. Sementara gadis itu mengikuti perbuatannya. Setelah dirasa cukup banyak, mereka membuat perapian.

“Oeeeah! Perutku lapar...,” gumam Endang Sari setelah menguap panjang.

“Aku juga. Tapi, di mana menemukan makanan di malam hari begini?”

“Sudahlah, tidak sudah dipikirkan. Biar kutahan saja. Dan aku pun sepertinya sudah ngantuk...,” sahut Endang Sari.

Gadis itu kembali menguap, lalu merebahkan diri di dekat perapian dengan mata terpejam. Kelihatannya, Endang Sari lelah dan sangat mengantuk. Sehingga dalam waktu singkat, telah pulas terlelap.

“Hhh....” Rangga menghela napas panjang. Perhatiannya dipalingkan, setelah memandangi gadis itu sejurus lamanya. Entah apa yang bergayut dalam pikirannya. Namun yang jelas, kantuknya belum juga tiba. Pemuda itu duduk bersila menghadap perapian, lalu mulai memejamkan mata untuk melakukan semadi. Kelopak matanya tertutup. Dan pernapasannya pun mulai diatur, sehingga perlahan-lahan suasana di sekitarnya mulai hening.

Sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti mulai berpikir. Mungkin ada yang tidak beres pada dirinya, sehingga perlu untuk menelaahnya. Semadi ini dilakukan untuk melihat, apakah keadaannya masih wajar seperti sediakala. Melalui perasaan dan mengandalkan pendengaran, Rangga mulai memilah-milah keadaan di sekitarnya setelah segalanya mulai sunyi.

Lama Pendekar Rajawali Sakti melakukan hal itu. Dan dia sempat membuat hatinya terkejut. Rangga yang memiliki aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’, sehingga dengan begitu mampu membedakan gemerisik dedaunan yang jatuh, suara hewan yang halus, bahkan desah napas dari tiap-tiap orang yang berada di sekitarnya.

Dan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak merasakan kehidupan apa-apa dari orang-orang di desa ini. Padahal, jarak mereka tidak terpaut jauh, dan masih dalam jarak jangkau pendengarannya. Bahkan Rangga juga tidak mendengar desah napas Endang Sari!

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti membuka kelopak matanya. Dan dia melihat gadis itu masih tertidur pulas. Kedua bahunya tampak terangkat ketika menarik napas. Dan hela nafasnya pun terdengar. Namun ketika pemuda itu menutup kelopak matanya serta mengetrapkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’, kembali tidak terdengar apa-apa dari gadis ini. Seolah-olah, Endang Sari tidak ada. Dan dia hanya seorang diri di sini.

Pemuda itu kembali membuka kelopak matanya, dan duduk bersandar pada batang pohon di belakangnya. Dari kejauhan, terdengar ayam jantan berkokok saling bersahutan. Tidak lama lagi, pagi akan tiba. Dan tidak terasa kalau dia telah mengalami kejadian aneh beberapa hari ini.

***

Endang Sari menggeliat bangun seraya menguap lebar dengan merentangkan kedua tangan. Sesaat matanya dikucek-kucek, lalu duduk di dekat Rangga. Diliriknya sejenak perapian yang hampir padam, lalu menoleh ke sekitarnya. Matahari pagi belum lagi muncul, namun udaranya yang dingin mulai terasa sampai ke tulang sumsum.

“Kau tidak tidur...?”

Rangga menggeleng lemah.

“Kenapa?”

“Aku memikirkan Pandan Wangi....”

“Kau ingin mencarinya lagi?”

“Tentu saja. Aku akan mencari di mana pun dia berada!”

Endang Sari terdiam, kemudian membetulkan sikap duduknya. “Kau begitu mencintainya, ya?” tanya gadis itu.

“Ya!” jawab Rangga, singkat.

“Rasanya, tidak ada gadis lain yang bisa menggantikan kedudukannya di hatimu?” usik Endang Sari.

“Ya!”

“Meski banyak gadis cantik di sekelilingmu dan sangat mencintaimu?”

“Aku tidak banyak dikelilingi gadis cantik, dan jarang sekali yang mencintaiku.”

“Mustahil! Dengan wajahmu yang tampan dan namamu yang terkenal serta kepandaianmu yang hebat, gadis mana yang tidak tergila-gila denganmu?”

“Kelihatannya memang begitu, ya? Terima kasih atas pujianmu. Tapi, kenyataannya memang begitu. Aku tidak merasa tampan, tidak merasa terkenal, juga tidak merasa hebat. Dan ternyata, tidak banyak gadis yang mendekat. Apalagi mencintaiku,” sahut pemuda itu tenang.

Endang Sari terdiam mendengar jawaban Rangga dan dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti untuk sejurus lamanya. Tapi kemudian terlihat dia tertawa sendiri.

“Kenapa tertawa? Ada yang lucu?”

“Biasanya dugaanku selalu benar. Tapi, ternyata kali ini keliru. Atau barangkali kau yang pura-pura?!”

Pemuda itu tersenyum. “Aku bicara sungguh-sungguh! Tapi, hm... mungkin saja. Karena tidak semua dugaan manusia benar. Meski begitu aku percaya kalau kau punya dugaan kuat akan sesuatu.”

“Maksudmu...?”

“Kau memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain!”

Endang Sari tertawa renyah. “Kau ingin memujiku?”

“Tidak. Apa yang kukatakan memang benar. Sebab, selama bertemu denganmu, aku selalu beruntung. Kata-katamu mengandung kebenaran. Nah, maukah kau menolongku lagi?”

“Entahlah.... Apa kau sekadar memuji, atau memang mempercayaiku. Tapi sebagai abdimu, tentu saja aku tidak bisa menolak keinginanmu. Nah, apa yang bisa kubantu sekarang?” tanya Endang Sari.

“Menurutmu, dimana aku bisa menemukan Pandan Wangi?”

Gadis itu tidak langsung menjawab, melainkan terdiam beberapa saat.

“Kenapa? Kau tidak bisa menduga, di mana kira-kira Pandan Wangi saat ini?” desah Rangga.

“Entahlah, aku tidak bisa mengira-ngira di mana dia sekarang...,” sahut Endang Sari juga mendesah.

“Sayang sekali....”

“Barangkali saat ini dia telah tiada....”

“Kenapa kau bisa menduga seperti itu?”

“Suku yang menangkapnya tidak pandang bulu.”

“Hm, ya. Suku itu! Tahukah kau, di mana mereka berada?”

“Bukankah kau pun tahu di mana mereka?”

Pemuda itu tersenyum. “Ya. Aku hanya ingin kau kembali menunjukkan tempat itu padaku...,” sahut Rangga.

Endang Sari terdiam sesaat “Kenapa? Kau keberatan?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Eh, tidak! Tapi..., bukankah kau telah gagal? Mereka memiliki kepandaian hebat dan kau bisa celaka!”

“Ya.... Aku bisa merasakan hal itu. Tapi kali ini, aku telah bertekad bulat untuk membebaskan Pandan Wangi!” sahut pemuda itu cepat.

“Hm..., bagaimana kalau kau celaka?”

“Aku telah pikirkan!” sahut Pendekar Rajawali Sakti, mantap.

“Baiklah kalau memang keputusanmu sudah bulat...”

“Kita akan berangkat sebentar lagi, saat matahari mulai bersinar.”

“Ya, tapi aku belum sarapan. Perutku sudah melilit minta diisi!” seru gadis itu seraya tersenyum lebar.

“Ayo kita lihat, apa yang bisa dimakan!”

Mereka kemudian beranjak. Dan ketika melihat seekor burung terbang melintas di angkasa, pemuda itu memungut sebuah kerikil lalu menyambitnya ke atas.

Tak!

“Kaaak...!”

“Hebat! Burung itu kena! Bagaimana kau bisa melakukannya?” seru Endang Sari, kagum.

Pemuda itu tersenyum seraya memungut burung yang tadi ditimpuknya. “Kau bisa melakukannya....”

“Gila! Mana mungkin...!”

“Maksudku, bila kau punya keinginan, dan tentu saja sedikit latihan,” jawab pemuda itu sekenanya.

Endang Sari hanya tersenyum mendengar jawaban Rangga.

“Burung ini cukup untuk kita berdua!”

“Ya, cukup besar juga...,” sahut gadis ini seraya memperhatikan Rangga yang tengah menguliti bulu burung.

***
TUJUH
Seperti yang direncanakan, Rangga dan Endang Sari segera beranjak ketika matahari mulai bersinar. Sebenarnya, pemuda itu memang tidak mengetahui lagi jalan mana yang harus ditempuh untuk kembali ke perkampungan tempat Pandan Wangi ditahan. Sehingga tidak heran bila Endang Sari berkali-kali harus menunjukkan jalan.

“Hm, kau betul-betul pikun! Padahal baru kemarin, tapi sudah lupa.”

Rangga hanya tersenyum. “Entahlah. Terlalu banyak hal yang mesti kupikirkan...,” sahut Rangga, mendesah.

“Kau cemas memikirkan nasib kekasihmu?”

“Mungkin....”

“Firasatku mengatakan saat ini dia ada dalam keadaan baik-baik saja,” papar Endang Sari.

“Syukurlah kalau memang begitu....”

“Tapi jangan terlalu banyak berharap. Sebab, bisa saja firasatku salah. Karena, suku itu kejam dan tidak kenal belas kasihan.

“Pernahkah kau berurusan dengan suku itu?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Apa? Uh! Aku tidak berani dekat-dekat, karena salah-salah bisa berabe!”

“Lalu dari mana kau bisa tahu banyak soal mereka?”

“Aku pernah mengikuti kegiatan mereka beberapa kali secara sembunyi-sembunyi...,” jelas Endang Sari.

“Tidak pernah tertangkap basah?”

Endang Sari menggeleng cepat.

“Hm.... Di sana aku bertemu seorang wanita berpakaian seronok dengan wajah ditutupi topeng kayu. Kelihatannya dia pemimpin suku itu. Apakah kau pernah melihatnya?” tanya Rangga.

“Pernah. Sepertinya memang begitu...,” sahut Endang Sari.

“Tahukah kau, siapa dia?”

“Mungkin kepala suku mereka...!”

“Bukan begitu maksudku. Tapi, pernahkah kau melihatnya tanpa mengenakan topeng? Dan tahukah kau, siapa namanya?” desak Rangga.

“Entahlah.... Aku sendiri tidak tahu. Tapi, untuk apa kau ingin tahu wajah dan namanya?” tanya Endang Sari.

Rangga tersenyum. “Untuk memastikan, apakah wajahnya serupa denganmu...,” sahut Rangga, datar.

Mendengar itu Endang Sari tertawa renyah. Bahkan sedikit terpingkal. “Gila! Pikiran apa yang merasuk otakmu, sehingga kau berpikir begitu?”

“Entah. Barangkali aku membayangkan kalau ratu mereka secantikmu....”

“Wajahku tidak cantik...,” sahut Endang Sari, lirih.

Kalau Rangga mau menoleh ke belakang, maka akan melihat gadis itu tertunduk dengan senyum malu dan wajah tersipu.

“Kata siapa? Menurutku, kau cantik dan menarik. Lebih dari itu, kau cerdas dan cepat tanggap!” puji Rangga kembali.

“Pujianmu terlalu berlebihan, Rangga. Bila dibandingkan dengan kekasihmu, aku pasti tak berarti apa-apa...”

“Hm.... Aku berkata yang sebenarnya. Bahkan kalau mau jujur, kau melebihi Pandan Wangi!” kata Rangga, makin membuat gadis itu tersipu malu.

“Ini keterlaluan! Kau pasti hanya sekadar melebih-lebihkan untuk membuatku senang, bukan?” cibir Endang Sari.

“Tidak! Apakah kau tidak menyadari kelebihanmu?”

“Entahlah...,” sahut gadis itu kembali. Suara Endang Sari terdengar lirih. Wajahnya tertunduk merona merah.

Untuk sesaat keduanya terdiam.

“Endang, mungkin kau bisa tahu tentang seseorang...?” tanya Rangga, memecah keheningan.

“Siapa?”

“Entahlah, aku tidak tahu namanya. Namun dia menyebut dirinya sebagai Ratu Wajah Maya...,” jelas Rangga.

“Ratu Wajah Maya?” ulang gadis itu dengan dahi berkerut.

“Ya!”

“Nama itu asing bagiku. Ada urusan apa kau dengannya?”

“Tidak ada urusan apa-apa. Mungkin hanya sekadar ingin berkenalan denganku...”

“Lalu, apakah kau telah berkenalan dengannya?”

“Rasanya aku tengah berkenalan dengannya...,” sahut pemuda itu, kembali tersenyum.

“Heh?! Kau bukan tengah menuduhku, bukan?!”

Rangga tertawa melihat wajah gadis itu tampak cemberut menahan kesal. “Tenanglah. Aku sama sekali tidak menuduhmu....”

“Lalu, apa maksud kata-katamu itu?”

“Ssst...!” Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk ketika telah berada di pinggiran perkampungan yang dituju.

“Aku tidak peduli! Kau harus menjawab pertanyaanku lebih dulu. Kalau tidak, aku akan berteriak biar mereka mengetahui kehadiran kita di sini!” ancam Endang Sari.

Rangga tertawa seraya memandang lucu pada Endang Sari. “Kau mau berteriak dan membiarkan mereka menangkap kita? Kau tahu, aku bisa melindungi diri. Sedang, kau tidak. Bagaimana kalau aku meninggalkanmu, lalu mereka menangkapmu? Nasibmu tidak akan beda dengan Pandan Wangi,” kata Rangga.

“Aku tidak peduli!” sentak gadis itu masih dengan wajah cemberut.

“Kalau begitu, berteriaklah sekarang.”

“Aku bersungguh-sungguh!”

“Tapi jangan merasa menyesal nantinya! Ayo, berteriak kencang-kencang.”

Endang Sari memandang pemuda itu dengan wajah ragu. Lalu wajahnya berpaling pada rumah besar yang terbuat dari jalinan kayu di depan mereka. Di sekeliling rumah itu, dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata tombak dan golok panjang. Pakaian yang dikenakan amat sederhana, sehingga terkesan seperti sekelompok suku pedalaman.

“Huuuh...!” dengus Endang Sari geram. Gadis itu duduk tidak jauh dari Rangga. Wajahnya yang cemberut dipalingkan.

Rangga mendekati sambil tersenyum kecil. “Kenapa tidak jadi berteriak?”

Endang Sari diam saja tidak menjawab. “Bagiku, tidak jadi soal kau mau berteriak atau tidak. Karena, aku akan datang menemui mereka secara terang-terangan....”

“Gila! Kau pernah datang mengacau. Dan bila tertangkap, mereka pasti tidak akan mengampunimu lagi!” desis Endang Sari.

“Mungkin. Tapi, tidak kubiarkan mereka meringkusku,” sahut pemuda itu terus berdiri.

“Jangan gila! Kau bisa celaka di tangan mereka!” desis gadis itu melarang sambil mencekal tangan Rangga.

“Kenapa? Kau mencoba menghalangi aku? Apa kau kira aku takut?”

“Bukan. Tapi...”

“Nah, lepaskan tanganmu. Tekadku sudah bulat. Mereka harus membalas perbuatannya padaku yang selama ini telah mempermainkanku!” desis Rangga.

“Apa maksudmu? Apakah kau tidak mementingkan nasib kekasihmu?”

“Tentu saja!”

“Tetapi kenapa urusan dendam yang lebih diutamakan?”

“Kau akan tahu nanti...,” ujar Rangga pendek, seraya melirik lengannya.

Endang Sari buru-buru melepaskan cekalannya, dan menunduk dengan wajah malu.

“Kau boleh tunggu di sini jika takut.”

“Tidak. Aku akan ikut denganmu!”

“Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu.”

“Aku bisa jaga diri.”

“Terserahmulah....”

Rangga bangkit mendatangi tempat itu secara terang-terangan diikuti Endang Sari dari belakang. Tentu saja kehadiran mereka langsung diketahui. Dan orang-orang itu cepat mengepung. Mereka tampak ribut sambil menodongkan senjata. Bahasa yang digunakan sangat kacau dan tidak dimengerti Rangga. Namun pemuda itu tidak mempedulikannya, dan terus saja melangkah mendekati rumah panggung di depannya.

Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti ketika salah seorang dari para pengepungnya berdiri di depan. Ujung tombaknya terhunus tepat di dadanya. Wajahnya yang penuh coreng-moreng itu tampak berkerut-kerut menandakan kemarahannya.

“Rangga! Aku..., aku takut...!” lirih suara Endang Sari, merapat ke punggung pemuda itu.

Rangga tidak mempedulikannya. Bahkan berani menentang pandangan mata orang yang ada di depannya dengan tajam.

“Panggil pemimpinmu kesini! Atau, aku akan masuk ke dalam secara paksa!” dengus Rangga geram.

Orang itu menyahut dengan bahasa yang tetap saja tidak bisa dimengerti. Namun kesannya terlihat marah.

“Aku tidak peduli kau bicara apa. Tapi, aku yakin kau mengerti apa yang kukatakan! Pergilah! Dan, sampaikan padanya bahwa permainan telah berakhir. Dan aku muak melihat semua ulahnya!” bentak Pendekar Rajawali Sakti.

Orang itu berteriak-teriak, bermaksud menghujamkan ujung tombak ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja. Sama sekali dia tidak bermaksud menghindar. Namun anehnya, orang itu hanya menggertak. Bahkan seperti tidak berani untuk betul-betul menghujamkan tombaknya ke dada Rangga.

“Rangga, oh tolong! Tolong...!” teriak Endang Sari.

Tiba-tiba saja beberapa orang berwajah coreng-moreng itu menangkap Endang Sari dan memisahkannya dari Rangga. Gadis itu berteriak dan berusaha berontak untuk melepaskan diri, namun sia-sia saja. Sebab, tenaga mereka sangat kuat dan tidak mampu diimbangi.

“Rangga! Kenapa kau diam saja?! Bertindaklah. Dan, tolong aku! Ouw...! Rangga, tolong! Mereka berbuat tak senonoh padaku...!” teriak gadis itu, kalap.

Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bergeming. Bahkan sama sekali tidak mau menoleh ketika mereka menyeret gadis itu memasuki rumah lewat jalan belakang. Pemuda itu menghela napas pendek, lalu melangkah tegap ke depan. Namun orang yang ada di depannya kelihatan semakin gusar, dan berteriak-teriak kasar seraya menghunuskan tombaknya.

“Kau hendak membunuhku? Ayo, silakan! Tapi kalau tidak, menyingkirlah. Biarkan aku lewat. Dan, jangan coba menghalangi!” sentak pemuda itu mendengus kasar.

Pendekar Rajawali Sakti menepis tombak yang menghalangi jalannya. Namun, hal itu membuat mereka tidak senang dan berubah marah. Orang di hadapannya langsung menghujamkan tombak.

“Uts!” Rangga bergeser ke samping sedikit. Dan saat itu juga, datang serangan dari belakang menyambar leher. Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin, lalu melenting ke atas sambil berputar.

“Hiaaa...!”

Tiga orang berteriak nyaring. Mereka ikut melompat. Dua orang bersenjata tombak, dan seorang lagi menggenggam golok panjang. Senjata-senjata itu langsung berkelebat saling menyusul menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts! Pendekar Rajawali Sakti berkelit lincah ke sana kemari menghindari setiap serangan. Gerakannya gesit dan indah ketika memainkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Dan yang lebih hebat lagi, caranya memainkan jurus itu. Rangga menutup kedua kelopak matanya, sehingga hanya mengandalkan pendengaran sambil mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’ untuk menghindari.

Plak! Plak!

Dua kali serangan orang-orang suku pedalaman itu berhasil ditangkis Rangga yang terus bergerak cepat ke beranda depan rumah di dekatnya. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti cepat bukan main. Sehingga terasa kalau dia berhasil menghajar dua orang lawan. Namun, tidak terdengar jeritan apa-apa. Padahal, Rangga yakin kalau mereka terpental.

Tap!

Pemuda itu hanya terkejut sesaat Selanjutnya dia tidak peduli, dan langsung menerobos ke dalam rumah itu. Tapi, mendadak terasa angin kencang bersiur ke arahnya.

“Hup!” Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Lalu kedua telapak kakinya menjejak dinding ruangan, kemudian kembali mencelat ketika satu sambaran tajam menyerangnya.

“Yeaaa...!” Sambil melompat menghindari serangan, telapak kanan Rangga yang terbuka menghantam ke samping kiri. Dari situ, terdengar suara ribut ketika sinar merah yang keluar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam sesuatu.

Wur! Jger!

Meski dengan mata tertutup ini, namun pendengaran pemuda itu amat tajam. Aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’ dalam hal ini memang amat berperan. Meski sampai sejauh ini lawan-lawannya belum juga mengeluarkan satu suara pun, namun kehadirannya bisa dirasakan.

“Aku tidak tahu siapa kau adanya! Tapi perbuatanmu, sudah keterlaluan! Bila saja aku berbuat salah, kau tentu boleh menegur. Dan aku tak akan malu meminta maaf...!” ujar pemuda itu nada datar.

Ajaib! Begitu Rangga selesai berkata demikian, serangan itu berhenti. Pendekar Rajawali Sakti sendiri berdiri tegak. Dan dia berusaha merasakan apa yang terjadi di sekitarnya serta memperkirakan di mana lawan-lawannya saat ini.

Tempat ini terasa sunyi dan hening. Bahkan telinga Rangga tidak mendengar suara apa pun. Baik suara hewan di sekitar tempat ini, gemerisik dedaunan, atau hela napas lawannya. Pemuda itu mengernyitkan dahi. Matanya tidak berani dibuka karena tengah memusatkan pikiran menghadapi lawan. Bila matanya terbuka untuk memastikan keadaan yang sebenarnya, dia khawatir akan kembali terjebak dalam permainan musuhnya.

Dengan sikapnya itu, Rangga ternyata mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres di sekelilingnya. Bahkan sebelum menginjakkan kaki ke hutan ini, sampai kejadian-kejadian aneh yang menimpanya. Semua ini tidak lepas dari pemikirannya. Pendekar Rajawali Sakti merasa dirinya baik-baik saja.

Dan dia mulai menyimpulkan bahwa seseorang, atau apa pun namanya, tengah mempermainkannya menggunakan kekuatan gaib. Atau juga seseorang itu memiliki kepandaian hebat dalam ilmu sihir yang mampu mempengaruhi lawan. Mempengaruhi pandangan mata, dan mempengaruhi jalan pikiran. Dan bila hal itu terus terjadi, bisa jadi pemuda ini akan gila!

“Hi hi hi...! Kau mulai mengerti! Kau mulai mengadakan perlawanan denganku Pendekar Rajawali Sakti...?!”

Tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring dan melengking menusuk pendengaran Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, membuat pemuda itu kaget bukan main. Wajahnya berkerut dan kedua tangannya menutupi telinga dengan tubuh menggigil menahan rasa sakit hebat. Namun begitu, Rangga tetap tidak berani membuka matanya.

Duk!

“Aaakh...!” Dalam keadaan begitu, mendadak satu tendangan keras menghantam Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memekik setinggi langit. Tubuhnya bergulingan dan seperti terlempar entah ke mana. Darah segar menyembur dari mulutnya. Tendangan tadi terasa keras bukan main, laksana bandul besi besar yang menghantam perutnya. Padahal, dia telah melindungi diri dengan tenaga dalam tinggi. Entah bagaimana jadinya bila tubuhnya tidak terlindungi.

“Hi hi hi...! Inikah Pendekar Rajawali Sakti yang tersohor itu? Hm.”. Boleh juga. Ternyata kau tidak setolol apa yang kukira!” teriak suara tadi. Nadanya melengking dan masih menyakitkan telinga.

“Uhhh...!” Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergetar. Kedua tangannya mendekap dada seperti kedinginan. Dia berusaha melawan pengaruh tekanan tenaga dalam suara itu yang dahsyat bukan main.

“Hi hi hi...! Ayo, kerahkan semua kekuatanmu! Lawan aku! Lawan aku dengan semua kemampuanmu!” teriak suara tadi seperti berpindah-pindah tempat!

“Iblis keparat! Jangan kira aku takut. Meski aku mesti mati, tapi jangan harap bisa mempermainkanku sesuka hatimu!”

“Hi hi hi...! Jadi, kau ingin mati? Jadi, kau benar-benar sudah putus asa? Hi hi hi...!”

“Hhh...!” Pendekar Rajawali Sakti mengkertak rahangnya, lalu perlahan-lahan dia bangkit seraya duduk bersila. Kembali pikirannya dipusatkan, untuk mengerahkan seluruh tenaganya. Padahal saat itu lawan terus tertawa nyaring, dan membuat jantungnya bergetar hebat.

“Demi Yang Maha Kuasa, Pencipta segala kehidupan... Tolonglah aku menyingkirkan iblis terkutuk ini...!” desis pemuda itu berkomat-kamit.

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergetar hebat ketika mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’ untuk melindungi diri dari serangan. Bahkan sekaligus untuk menghadapi segala kemungkinan bila lawan hendak mengecohnya.

Namun suara ketawa itu mendadak menghilang. Bahkan keadaan di sekelilingnya kembali hening. Sunyi bagai di pekuburan. Tak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun yang dirasakannya di sekitar tempat ini.

“Kakang Rangga! Tolong! Oh, tolong...!”

Mendadak terdengar teriakan seseorang. Rangga amat mengenali suara itu. Merintih seperti menanggung kesakitan hebat.

“Pandan Wangi...?” seru Pendekar Rajawali Sakti kaget.

“Kakang, tolong aku! Tolong aku...! Oh, sakit sekali. Tolong, Kakang...!” rintih suara yang mirip Pandan Wangi itu.

***
DELAPAN
Rangga merasakan dadanya berdegup kencang. Perasaan haru, dendam, serta rasa kasih bergumpal jadi satu. Sehingga tapa sadar dan didorong oleh nalurinya, pemuda itu bangkit serta membuka kelopak matanya. Namun....

Wuuung...!”

Suara bagai gong besar yang dipukul kencang menyambutnya. Pendekar Rajawali Sakti kontan mengeluh tertahan. Tubuhnya langsung merungkel menahan rasa sakit hebat. Belum sempat menguasai diri, mendadak satu hantaman keras mendera dada.

Begkh!

“Aaakh...!” Pemuda itu memekik setinggi langit. Tubuhnya terpental jauh, dan darah segar muncrat dari mulutnya.

“Ohhh...!” Kepala Pendekar Rajawali Sakti pusing tujuh keliling bercampur rasa sakit hebat seperti yang dirasakan dadanya. Kesadarannya nyaris hilang akibat menahan rasa sakit yang tiada tertahan. Namun, pemuda itu berusaha menguatkan diri. Dan dengan sisa tenaga yang ada, dia berusaha memompa semangatnya untuk tetap bertahan.

“Hi hi hi...! Pandan Wangi, Pandan Wangi...! Itukah gadis pujaanmu? Hi hi hi...! Sungguh kasihan kalau dia mesti kehilangan seorang kekasih yang tampan. Hi hi hi...!” Kembali terdengar suara menyakitkan telinga.

“Iblis terkutuk! Kau memang licik dan bajingan...!” rutuk pemuda itu geram.

“Kematianmu hanya soal waktu. Lalu, kenapa tidak kau gunakan untuk bersenang-senang?”

“Kematianku bukan di tanganmu, Iblis Terkutuk!”

“Hi hi hi...! Aku adalah penguasa tempat ini. Dan segala sesuatu yang berada di sini, ada dalam genggaman kekuasaanku. Apa kau kira mampu bertahan dari maut yang kutentukan?” ejek suara itu.

“Aku tidak tertarik mendengar bualanmu. Kau adalah pembohong besar, dan terlalu banyak omong!”

“Huh! Kau boleh rasakan berikut ini!”

Pias!

“Uts!” Rangga bergulingan ke samping ketika merasakan sambaran angin kencang ke arahnya yang datangnya entah dari mana.

Jder!

Terdengar ledakan keras. Bumi terasa bergoncang. Sekali lagi terasa angin sambaran serangan yang serupa, dan Pendekar Rajawali Sakti cepat bergulingan menghindarinya. Namun sebelum serangan datang untuk yang ketiga kali, pemuda itu bersuit nyaring memanggil kuda kesayangannya.

“Hieee...!” Dewa Bayu meringkik keras seraya mendengus kasar. Kedua kaki depan serta kaki belakangnya berusaha menendang ke sana kemari.

“Binatang celaka! Pergi kau! Pergiii” teriak suara itu dengan galak.

Namun, hewan tunggangan Pendekar Rajawali Sakti malah meringkik semakin keras, dan bertingkah lebih liar. Dan pada saat itulah, sambil duduk bersila Rangga mencabut pedangnya.

Srang!

Batang pedang bercahaya biru itu diacungkan Pendekar Rajawali Sakti ke atas. “Demi bumi dan langit. Dan, demi manusia yang memiliki derajat lebih tinggi daripada makhluk lainnya! Sesungguhnya kau adalah iblis terkutuk! Kau datang tanpa kuminta, memperlihatkan keangkuhan laksana dewa yang menentukan jiwa manusia. Terkutuklah kau!” dengus Pendekar Rajawali Sakti.

Setelah berkata begitu, pemuda ini berteriak lantang sambil menghujamkan pedang di tangannya ke bumi. “Aji ‘Cakra Buana Sukma’!”

Glar...!

“Aaakh...!” Seketika terdengar suara menggelegar laksana guntur membelah angkasa dan bumi, diikuti getaran dahsyat. Tanah seperti bergoncang. Dan saat itu juga, terdengar jeritan melengking nyaring yang diselingi ringkikan Dewa Bayu.

“Dewa Bayu! Hajar dia. Dan, jangan biarkan lolos!” teriak Rangga dengan sikap tetap memegang gagang pedang yang ditancapkannya ke tanah.

“Hieee...!” Dewa Bayu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Kemudian dia bergerak ke sana kemari sambil terus meringkik dan mendengus kasar. Kedua kaki belakangnya tak henti-hentinya menghantam ke satu arah. Seolah-olah, hewan itu tengah lepas kendali dan mengamuk liar.

“Tobaaat..!”

Mendadak terdengar jeritan panjang dari seseorang yang tengah mengalami siksaan. Namun begitu, Dewa Bayu tidak menghentikan perbuatannya dan terus saja menendang-nendang. Dan Rangga tetap pada sikapnya semula, duduk bersila dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang yang tertancap di tanah. Sementara kedua kelopak mata tetap tertutup.

“Bocah sial! Hentikan binatang celaka ini! Hentikan dia...!” teriak suara tadi.

“Kau tidak memohon padaku...?” sahut Rangga dingin.

“Terkutuk kau! Hentikan dia...! Oh! Aku sudah tidak tahan lagi! Hentikan semua ini...!”

Rangga tetap diam, sama sekali tidak memberikan tanggapan. Sikapnya tenang-tenang saja mendengar teriakan-teriakan yang semakin memilukan hati.

“Baik..., baik! Aku memohon padamu dengan sangat. Tolong hentikan siksaan ini...,” ratap suara itu.

Rangga tersenyum mendengar kata-kata itu. “Jadi kau mengaku kalah...?”

Tak terdengar sahutan. Rangga memberi isyarat pada kudanya untuk kembali menyiksa suara tadi setelah tadi diperintahkannya untuk berhenti. Namun sebelum hewan itu bertindak kasar....

“Baiklah, aku mengaku kalah...,” ucap suara itu.

“Aku tahu, kau yang bernama Ratu Wajah Maya, bukan?” tanya Rangga.

“Ya....”

“Kenapa kau mengganggu perjalananku?”

“Kau memasuki wilayah kekuasaanku. Tidak seorang pun kuizinkan mendekati Rimba Keramat. Apalagi, coba memasukinya!” jelas suara itu.

“Aku tidak tahu kalau rimba ini tidak boleh dimasuki. Sebab, ini adalah milik kerajaan. Maka, semua orang boleh memasukinya,” jelas Rangga pelan.

“Tidak usah berdebat panjang. Bebaskanlah aku....”

“Aku akan membebaskanmu, setelah menjelaskan apa keperluanmu mengganggu perjalananku!” desak Rangga.

“Aku telah katakan tadi!”

“Kau berdusta! Kau telah memberi pesan padaku, sebelum aku tiba di pinggiran rimba ini!” sentak Rangga jengkel.

Kembali tak terdengar sahutan apa-apa.

“Aku hendak ke Karang Setra. Dan jalan termudah yang biasanya kutempuh, tidak melewati rimba ini. Demikian pula niatku ketika memasuki desa yang berada di pinggiran rimba ini. Aku sama sekali tidak melewatinya. Tapi, itu bukan karena takut oleh cerita-cerita tentang keseraman Rimba Keramat ini. Terus terang, aku terjebak oleh sihirmu ketika pertama kali mendapat surat darimu. Kau sengaja menyeretku ke sini. Apa yang kau inginkan dariku?!” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

Tak terdengar sahutan. Dan pada saat itu, terdengar ringkik halus kuda Dewa Bayu. Sesekali hewan itu mempermainkan kaki-kakinya dengan mengetuk-ngetuk tanah.

“Aku menunggu jawabanmu...,” sambung pemuda itu.

“Aku tidak bermaksud jahat padamu. Dan apa yang kulakukan, hanya sekadar iseng. Kudengar kabar burung kalau kau seorang tokoh hebat, lagi gagah perkasa. Banyak gadis yang tergila-gila padamu. Sehingga ketika kau berada dalam jarak jangkauanku, aku menarikmu ke sini...,” jelas suara itu, lirih.

“Perbuatanmu itu sungguh keterlaluan. Bahkan mendatangkan bahaya...,” keluh Rangga menyesalkan.

“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu celaka...”

“Hm.... Keisenganmu itu justru hampir membahayakan diriku. Untung saja aku cepat berpikir....”

Rangga terdiam. Dan suara itu pun belum terdengar lagi, sehingga suasana hutan ini kembali sepi. Meski begitu, Pendekar Rajawali Sakti tetap belum merasakan kehadiran sosok manusia berjasad atau bernapas. Pendengarannya tidak merasakan tanda-tanda itu, sehingga tidak berani membuka matanya.

“Kau yang menyamar sebagai Endang Sari, bukan...?”

“Dari mana kau tahu?”

“Semula aku tidak tahu. Tapi aku terus berpikir bahwa sesungguhnya kau sendiri yang menuntunku lewat penjelmaanmu sebagai Endang Sari. Kau bukan makhluk berjasad seperti manusia. Ketika berdekatan denganmu semalam, aku tidak mendengar hela napasmu. Aku tidak mampu mendengar detak jantungmu. Juga, tidak mendengar semua gerakanmu. Padahal selama ini, pendengaranku tidak tertipu dalam jarak begitu dekat. Kau makhluk halus, dan tidak berjasad!” sahut Rangga, menyimpulkan.

“Hi hi hi...!” Terdengar tawa cekikikan halus yang panjang. Pemuda itu mendiamkan saja, dan menunggu sampai suara itu puas tertawa.

“Lalu, dari mana kau mengetahui kalau aku takut dengan kudamu ini?” lanjut suara yang rupanya milik makhluk halus bernama Endang Sari setelah tawanya reda.

“Hanya kebetulan saja. Aku terpengaruh sihirmu, sedang kudaku tidak. Dan yang lebih meyakinkan, ketika aku bertarung dengan seorang laki-laki tua. Dan ternyata laki-laki itu takut dengan kudaku. Dari situ aku yakin, kalau laki-laki aneh itu adalah penjelamaan mu juga. Karena, dia langsung meninggalkanku, begitu Dewa Bayu datang. Bahkan kudaku ini dapat menunjukkan jalan keluar dari hutan ini. Namun, Dewa Bayu amat setia dan bisa merasakan keinginanku. Ketika aku bermaksud keluar dari hutan ini, maka kau tidak mampu menghalanginya. Namun dia berhenti di suatu tempat, karena mengetahui bahwa sarangmu ada di situ. Dia sengaja membawaku, karena bisa mengetahui kalau aku masih punya ganjalan denganmu. Dan kurasa, tempat kudaku kemarin adalah di sini. Tempat ini merupakan sarangmu, bukan?”

Kembali terdengar suara tawa nyaring. Dan untuk kedua kalinya, pemuda itu terdiam.

“Lalu bagaimana menurutmu peristiwa-peristiwa yang lain?” tanya suara itu lagi setelah ketawanya reda.

Rangga tersenyum kecil, karena menyadari kalau sosok halus bernama Endang Sari ini begitu suka dengan keisengan. Setelah mengetahui rahasianya terbongkar, dia malah ingin tahu apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti. Namun sejauh itu, agaknya Rangga tidak keberatan untuk menjawabnya.

“Semula, tentu saja aku tidak menyadari akan sihirmu. Tapi lambat-laun, aku berpikir. Bahwa, semua ini tidak mungkin. Endang Sari yang tahu segala sesuatu, gadis bertopeng yang mengaku sebagai kepala suku, gadis pemburu yang galak, orang tua aneh dengan segala jurus-jurusnya yang sama sepertiku, serta Pandan Wangi yang berada dalam sekapanmu. Kalau bukan kau sendiri yang berperan, tentu kau telah membuat makhluk ciptaan yang aneh-aneh itu. Sebab, watak mereka semua sama. Yaitu, watakmu! Iseng dan suka mencari perkara!” jelas Pendekar Rajawali Sakti.

Kembali terdengar tawa, penuh perasaan girang. Dari suara itu, Rangga hanya bisa menyimpulkan kalau pemiliknya seorang wanita.

“Nisanak! Di antara kita tidak ada urusan apa-apa. Aku memaafkan keisenganmu. Dan kuharap, kau tidak menggangguku keluar dari hutan ini. Juga, kuminta agar kau tidak mengganggu siapa saja dari orang-orang yang tersesat di hutan ini...,” jelas Rangga mantap.

“Hi hi hi...! Bila saja permintaanmu kau lakukan sebelum menyadari siapa aku, tentu saja akan kupotong lehermu. Itu keterlaluan dan sangat kurang ajar! Aku adalah seorang ratu. Dan keputusan ada di tanganku. Tidak seorang pun boleh mengaturku! Tapi, permintaan pertama tadi tentu saja akan kukabulkan....”

“Dan permintaanku kedua...?”

“Tidak! Aku tidak bisa mengabulkannya. Semua orang sudah tahu, termasuk kau sendiri. Hutan ini dinamakan Rimba Keramat. Dan, tidak sembarang orang boleh memasuki seenak hati!” tandas suara yang menguasai hutan ini, dan berjuluk Ratu Wajah Maya.

Rangga terdiam. Ratu Wajah Maya telah menentukan keputusannya dengan nada lantang. Rangga merasa, keputusan itu tidak dapat diubah-ubah lagi. Maka pemuda itu hanya bisa menghela napas panjang.

“Baiklah kalau memang begitu keputusanmu. Aku segera angkat kaki dari sini....”

Pendekar Rajawali Sakti memanggil kudanya. Tampak Dewa Bayu segera mendekat.

“Hup!” Rangga segera mencabut pedang dan menyarungkannya. Lalu dia melompat ke punggung Dewa Bayu. Meski demikian, dia tetap memejamkan mata.

“Kau bisa saja membokongku dari belakang. Namun aku percaya, kau akan memegang janjimu...,” lanjut Pendekar Rajawali Sakti mengingatkan.

“Aku memang iseng dan jahat. Tapi, tidak pernah mungkir dari janji. Hanya saja....”

Rangga menunggu suara itu melanjutkan kata-katanya. Namun untuk sejurus lamanya, hanya keheningan yang didengarnya.

“Ada apa...?”

“Apakah kau tidak ingin membuka matamu dan melihat padaku, sebelum meninggalkan hutan ini...?” tanya Ratu Wajah Maya.

“Kau tidak bermaksud menipuku, bukan?” Rangga malah balik bertanya.

“Aku bersungguh-sungguh!”

Rangga terdiam dan pikirannya bekerja. Kalau matanya dibuka maka segalanya bisa saja berubah. Dalam sekejap mata, akan menyihirnya. Lalu, keanehan akan terjadi dan membuatnya bisa gila. Namun, Rangga percaya pada kata-kata wanita itu. Maka, perlahan-lahan matanya dibuka.

Yang pertama dilihatnya adalah pepohonan yang tumbuh lebat, semak belukar, dan onggokan daun-daun kering. Tak seorang pun yang berada di tempat ini, selain dirinya. Bisa dimaklumi kalau lawan bicara Rangga tadi bukanlah manusia yang punya jasad. Sehingga, tidak mungkin baginya untuk melihat makhluk gaib itu.

“Rangga...!”

Mendadak terdengar panggilan dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti terkesiap dan menoleh cepat. Rangga terkejut setengah mati melihat pemandangan di depan matanya itu. Seraut wajah tersenyum dan berdiri tidak jauh darinya. Rambutnya panjang. Wajahnya cantik. Senyumnya menarik. Dia memakai baju biru muda.

“Hm. Kau hendak mengecohku lagi...!” dengus pemuda itu kesal. Betapa tidak? Sosok itu ternyata mirip Pandan Wangi.

“Tidak. Penampilanku memang sengaja agar mirip dengannya. Tapi bila kau ingin tahu dan percaya, beginilah wajahku yang sebenarnya...,” sahut gadis itu.

“Benarkah? Hm... Ini sungguh keterlaluan! Kalian mirip satu sama lain seperti pinang dibelah dua....”

“Ini mungkin salah satu alasan, mengapa aku berbuat iseng padamu. Aku sedikit iri pada Pandan Wangi. Dia menemukan pemuda idaman yang segalanya sempurna...,” ucap gadis itu lirih.

Rangga terdiam sambil tersenyum haru melihat gadis itu tertunduk. Diam-diam diperhatikannya dengan seksama, setelah kagetnya hilang. Gadis dihadapannya ini memang begitu mirip Pandan Wangi. Dan ini membuat Rangga terkesima. Bentuk tubuh, rambut, wajah, dan sampai senyumnya sangat mirip Pandan Wangi. Kalau saja tidak ada kejadian ini, dan kalau saja gadis ini tidak mengaku, maka Rangga akan menyangka bahwa gadis ini adalah Pandan Wangi.

“Kau adalah seorang ratu. Dan segalanya mudah bagimu jika kau menginginkannya. Suatu saat, kau tentu akan menemukan seseorang yang pantas untukmu. Mungkin dari golonganmu sendiri...,” sahut Rangga hati-hati karena takut menyinggung perasaan gadis ini.

Ratu Wajah Maya tersenyum sambil mengangkat wajahnya. Sebagaimana layaknya seorang gadis yang meningkat remaja, dipandangnya pemuda itu dengan tersipu-sipu.

“Apakah orang sepertimu tidak pantas menjadi pendampingku? Aku tahu banyak tentangmu. Bahkan Pandan Wangi sendiri, tidak tahu. Aku bisa membaca pikiranmu. Aku tahu, kau seorang raja. Aku pun tahu, apa yang kau pikirkan...,” sahut Ratu Wajah Maya pelan.

Rangga tidak bisa menjawab. Dan dia hanya mampu memandang gadis ini. Lalu bibirnya tersenyum. “Entahlah, apa yang kupikirkan saat ini. Mungkin kau juga tahu bahwa hatiku telah kuberikan pada Pandan Wangi. Dan tentu saja tidak ingin kubagi pada orang lain...!”

“Ya, aku tahu....”

“Selamat tinggal, Ratu Wajah Maya...,” ucap pemuda itu lirih.

Ratu Wajah Maya hanya mengangguk. Dan perlahan-lahan, Rangga memacu kudanya sambil melambai pelan meninggalkan hutan ini tanpa menoleh lagi ke belakang.

***

Ratu Wajah Maya tidak mengingkari janjinya. Pendekar Rajawali Sakti keluar hutan ini dengan selamat. Dan menjelang tengah hari, Rangga tiba di sebuah perkampungan yang tidak berapa jauh dari pinggiran Rimba Keramat. Tampak orang-orang desa memandangnya dengan takjub!

“Lho? Dia keluar dari Rimba Keramat, tho?!” seru seseorang yang baru saja beristirahat setelah menggarap sawahnya.

“Iya! Dia baru keluar dari Rimba Keramat!” desis seorang lagi, menimpali.

Orang-orang yang lalu-lalang sejenak berhenti dan membungkuk hormat ketika pemuda itu melewati. Dan saat Pendekar Rajawali Sakti telah berada agak jauh, kembali orang-orang desa itu berkumpul membicarakan seraya memandang takjub.

“Gila! Dia tidak apa-apa...?!” desis seorang pemuda, mendecah kagum.

“Biasanya tak ada seorang pun yang selamat setelah masuk Rimba Keramat!” sahut yang lain.

“Mungkin dia sakti...!”

“Mungkin dia mujur saja....”

“Mungkin juga dia penghuni Rimba Keramat...!”

Tiba-tiba terdengar suara menimpali, membuat semuanya terdiam. Lalu mereka berpaling pada orang yang mengeluarkan suara tadi. Lalu mereka saling berpandangan sesaat sambil mengangguk-angguk lemah.

“Mungkin juga...,” sahut beberapa orang lain membenarkan.

Lalu orang-orang itu bubar, kembali ke rumah masing-masing dengan wajah sedikit pucat ketakutan!

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar