Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 17 (Tamat)

Pada saat itu musuh telah menyerbu naik, dan di pintu gerbang yang dipasang di depan telah penuh dengan musuh yang bertemu dengan pihak tuan rumah. Han Liong mengajak kawan-kawannya menyusul ke sana.

Ketika melihat rombongan yang datang itu, Un Kiong merasa terkejut bukan main karena rombongan itu dipimpin oleh orang-orang kepercayaan Co-thaikam serta para pahlawan kaisar, termasuk ayahnya sendiri! Yang membuat dia merasa sangat heran adalah kedua golongan ini ternyata sekarang dapat bekerja sama. Ini sungguh hebat dan berbahaya.

Melihat Un Kiong berada di situ, untuk sesaat mata Tan-cianbu memandang penuh kagum dan sayang, tapi ia segera membuang muka dan tak mau memandangnya. Tapi Kui Lan, murid Loh-san Sam-moli yang genit dan memang menaruh hati terhadap pemuda tolol itu, segera maju menghampiri dan berkata,

“Ehh, Tan-siangkong, kau berada di sini? Apa kau diculik oleh gerombolan pengacau ini? Biar nanti aku balaskan sakit hatimu. Mari ikutlah dengan kami!” Sambil berkata begini Kui Lan si muka hitam itu ulurkan tangannya dengan lemah lembut untuk menarik tangan Un Kiong. Tetapi ternyata dia rasakan tangan Un Kiong keras dan tak dapat disentakkan! Dia mengerahkan tenaga, namun tetap tak dapat ia menarik pemuda itu.

Sementara itu dengan hati sebal Un Kiong mengerahkan tenaganya dan berseru, “Pergi kau!”

Tangannya disentakkannya dan Kui Lan terlempar ke atas setinggi satu tombak lebih dan kalau tidak Biauw Niang-niang segera mengulurkan tangan menangkapnya, tentu dia akan terbanting ke bawah. Semua orang yang kenal Un Kiong, kecuali ayahnya sendiri yang sekarang sudah tahu akan rahasia anaknya, merasa amat heran melihat ketangkasan dan kepandaian pemuda tolol itu.

Pauw Kim Kong sebagai tuan rumah segera melangkah maju dan menjura kepada para pemimpin rombongan sambil berkata,

“Selamat datang, cuwi Enghiong. Sungguh merupakan satu kehormatan yang besar sekali bahwa cuwi sudi menginjak tempat tinggalku yang buruk dan kotor ini.”

Rombongan yang datang itu terdiri dari dua golongan. Golongan pertama terdiri dari tiga puluh lebih pahlawan kaisar yang dipimpin oleh Tan-cianbu serta empat orang kawannya, yakni pahlawan-pahlawan pilihan yang kepandaian silatnya sama lihainya dengan Tan-cianbu. Sedangkan tiga puluh orang kawannya pun terdiri dari pahlawan-pahlawan jagoan dari istana kaisar!

Golongan kedua tak kalah hebatnya, bahkan lebih lihai lagi! Golongan ini yang terdiri dari orang-orang kepercayaan dan kaki tangan Co-thaikam, pembesar kebiri yang amat jahat, sebagian besar terdiri dari penghuni Istana Putih. Golongan ini dipimpin oleh orang-orang yang begitu dilihat membuat Pan Kim Kong dan orang-orang lain yang telah mengenalnya menjadi terkejut sekali.

Selain Loh-san Sam-moli si Tiga Iblis Wanita dari Loh-san di situ ada pula Kek Kong Tojin si Toya Aneh Kepala Ular, saikong yang kosen itu! Tetapi ini masih belum seberapa hebat karena dua orang tua yang tampak alim dan yang berdiri di dekat Kek Kong Tojin agaknya bukan orang-orang lemah, bahkan Kek Kong Tojin sendiri tampak sangat hormat kepada mereka.

Pihak tuan rumah merasa agak cemas ketika Khouw Sin Ek maju menjura kepada Kek Kong Tojin dan dua orang tua itu sambil tertawa gelak-gelak.

“Pantas bulan menjadi suram, rupanya kalian orang-orang tua yang sakti ikut datang pula menengok kami!” Kemudian Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek berpaling kepada semua kawannya. “Saudara-saudara, jangan berlaku kurang hormat kepada ketiga tamu agung ini. Ini adalah Ngo-lian-posat Ang Gwat Niang-Niang, yang tengah ini bukan lain adalah Lo Thong Sianjin, sedangkan yang ketiga adalah Kek Kong Tojin! Mereka bertiga merupakan tokoh-tokoh dan pendiri dari Ngo-lian-pai yang tersohor!”

“Ha-ha-ha! Ternyata di sini ada Khouw Lojin! Pantas Gunung Beng-san menjadi semakin tinggi saja.” Kek Kong Tajin balas mengejek.

Sesungguhnya di antara semua orang yang berada di situ, baik dari pihak penyerang dan pihak yang hendak diserang, hanya ketiga pendiri Ngo-lian-pan dan Khouw Sin Ek ini saja yang boleh dibilang setingkat dan menduduki tempat tertinggi. Maka, melihat ketiga orang tua itu sekarang datang semua, diam-diam Khouw Sin Ek merasa khawatir juga. Tetapi ia adalah seorang cerdik dan banyak pengalaman, maka kecemasannya tidak kentara. Lagi pula dengan adanya Han Liong dan Pauw Lian di situ, ia mempunyai dua orang pembantu yang kiranya takkan mengecewakan.

“Khouw Toyu! Jika telingaku yang tua tak salah dengar, kau bukanlah termasuk golongan pengacau dan pemberontak, juga kau tak pernah ikut campur urusan pemerintahan. Maka kau bukanlah musuh kami. Karena itu pandanglah mukaku dan tinggalkanlah gunung ini dengan damai,” kata Lo Thong Sianjin.

“Ha-ha! Kau orang tua enak saja bicara. Memang aku biasanya tak suka campur urusan segala macam yang tidak penting. Tapi kalau aku tidak salah, kalian orang-orang tua juga biasanya jarang turun gunung kalau tidak ada hal yang penting sekali. Kini aku berada di sini sebagai tamu si Malaikat Rambut Putih, maka apa yang akan terjadi pada tuan rumah seolah-olah terjadi padaku sendiri.”

“Hmm, bagus! Biarlah, ikut atau tidaknya Khouw Lo-enghiong tidak menjadi soal,” tiba-tiba Ang Gwat Niang-niang berkata, suaranya merdu dan nyaring.

“Pauw Kim Kong! Kau telah bersekongkol dengan para pemberontak, mencuri surat-surat penting dan bersiap hendak memberontak. Karena itu, untuk menebus dosamu ini, cepat serahkan kepada kami beberapa orang pemberontak dengan damai!”

“Hm, alangkah mudahnya kau bicara. Siapakah yang harus diserahkan?” tanya Pauw Kim Kong dengan suara mengejek.

Ang Gwat Niang-niang memberi tanda kepada Biauw Niang-niang yang segera maju dan menunjuk dengan jarinya.

“Mereka ini!” Dan yang ditunjuknya adalah Han Liong, Hong Ing, Lie Bun Tek, Pauw Lian, Siok Houw Sianseng, dan keempat guru Han Liong!

“Eh, ehh, kenapa tidak kau tunjuk semua saja berikut aku juga?” terdengar Khouw Sin Ek mengejek.

“Itu lebih baik lagi, memang seharusnya semua karena tak seorang pun di antara kalian yang bukan pemberontak!” Kek Kong Tojin berseru dan mendadak dia memberi aba-aba. “Hayo tangkap, serbu!” Ia mendahului dengan toyanya memukul kepala Khouw Sin Ek.

Tapi Sin-chiu Taihiap tertawa keras.

“Lie Bun Tek Enghiong dan Un Kiong, kalian lawan yang ini!”

Kedua orang itu segera maju dengan senjata masing-masing, Un Kiong dengan pokiam-nya dan Lie Bun Tek dengan joan-piannya. Kedua senjata segera bergerak melawan toya kepala ular yang lihai dari saikong itu.

Ang Gwat Niang-niang mencabut pedang dan hudtim-nya. “Khouw-lojin sekarang pin-ni terpaksa melanggar larangan membunuh!” Kedua senjatanya mengeluarkan angin dingin ketika menyambar ke arah Khouw Sin Ek.

Tapi si Kapalan Dewa ini kembali berkelit dan melompat sambil berteriak, “Ouw-liong dan Pek-liong, kalian tidak lekas turun tangan mau tunggu apa lagi?”

Mendengar perintah ini, Han Liong dan Pauw Lian segera mencabut pokiam mereka dan lompat ke depan menyambut serangan Ang Gwat Niang-niang yang gerakan-gerakannya luar biasa dan lihai sekali.

Kemudian Khouw Sin Ek melompat menghadapi Lo Thong Sianjin. “Kau juga hendak turun tangan? Silakan, biar tua sama tua!”

Lo Thong Sianjin yang sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, kini melihat orang-orang bertempur segera timbul kegembiraanya. Lagi pula dia memang sudah lama mendengar nama Sin-chiu Taihiap, maka dia yang berwatak tidak mau kalah itu ingin sekali mencoba kepandaian Khouw Sin Ek. 

“Marilah pinto melayanimu barang seratus jurus,” katanya dan mereka berdua lalu saling serang dengan hebat.

Sebenarnya Lo Thong Sianjin biasa menggunakan senjata rantai, tapi melihat Khouw Sin Ek hanya bertangan kosong maka dia yang tak mau kalah itu tidak sudi merendahkan diri melawannya dengan menggunakan senjata. Kedua jago cabang atas yang tinggi ilmunya itu dan yang pada jaman itu sudah termasuk tingkat tertinggi, berkelahi dengan luar biasa serunya sehingga debu dan pasir di dekat kaki mereka berhamburan mengepul ke atas!

Memang Khouw Sia Ek sangat cerdik. Dia tahu bahwa di antara ketiga tokoh Ngo-lian-pai itu yang paling rendah kepandaiannya adalah Kek Kong Tojin, sedangkan yang paling lihai ilmu pedangnya adalah Ang Gwat Niang-niang. Maka ia memerintahkan Lie Bun Tek dan muridnya, Un Kiong, untuk melayani Kek Kong Tojin, ada pun untuk melayani ilmu pedang dan hudtim yang lihai dari Ang Gwat Niang-niang, dia menugaskan kepada Han Liong dan Pauw Lian! Dia maklum pula betapa tinggi ilmu silat dan lweekang dari Lo Thong Sianjin, tokoh tertua dari Ngo-lian-pai itu, maka dia sendirilah yang melawannya!

Sementara itu semua pahlawan, Loh-san Sam-moli dan kawan-kawannya telah bertempur melawan Pauw Kim Kong dan semua kawannya yang juga terdiri dari jagoan-jagoan lihai. Maka Sam-moli dan Tan-cianbu serta kawan-kawannya yang memiliki kepandaian tinggi dan menjadi pemimpin rombongan segera berhadapan dengan Pauw Kim Kong, Liok-tee Sin-mo Hong In, Hee Ban Kiat, Bie Kong Hosiang, Ngo-lohiap dari Kengciu, Souw Kwan Pek si Toya Ular Dewa, Lok Twie Hwesio wakil Siauw-lim, Pek Ciok Tojin ahli Kun-lun, Khu Bu Houw, Beng Hwa Suthai, Kok Tiang Lojin dan lain-lainnya yang menjadi tamu di Beng-san.

Maka terjadilah pertempuran yang amat ramai di puncak Gunung Beng-san. Suara senjata beradu yang disertai bentakan-bentakan marah dan teriakan-teriakan kesakitan memenuhi udara.

Kek Kong Tojin mempergunakan tongkat kepala ularnya yang sakti untuk mengalahkan lawannya, namun Un Kiong dan Lie Bun Tek bukanlah lawan-lawan lemah. Ketangguhan kedua orang ini pernah diuji oleh Kek Kong Tojin di atas genteng Istana Putih. Kini setelah mereka bertempur dengan mempergunakan senjata, sekali lagi Kek Kong Tojin terpaksa harus mengakui kehebatan lawan yang masih muda ini.

Dari gerakan-gerakannya, Kek Kong Tojin dapat mengetahui bahwa si kedok hitam dahulu bukan lain adalah Un Kiong yang kini menggerakkan pokiam-nya dengan begitu gesit dan berbahaya. Maka ia makin marah dan memutar toyanya sehingga merupakan dinding baja yang sukar ditembus!

Akan tetapi pedang Un Kiong bukanlah pedang biasa, juga joan-pian Lie Bun Tek adalah sebuah senjata pusaka yang kuat dan terbuat dari pada logam mujijat. Lagi pula ilmu silat kedua orang ini yang memang sudah tinggi, kini bergabung menjadi satu, maka mereka merupakan lawan yang sangat tangguh dan berat. Setelah lewat dari tiga ratus jurus, Kek Kong yang sudah tua dan yang terlampau banyak menghamburkan tenaga menuruti hawa nafsunya, mulai tampak lelah dan terdesak.

Yang paling indah dilihat adalah pertempuran antara Ngo-lian Posat Ang Gwat Niang-niang melawan Han Liong dan Pauw Lian. Kalau gerakan-gerakan pedang dan hudtim wanita tua merupakan awan hitam bergulung-gulung naik turun dan menyelubungi kedua anak muda itu, maka Pek-liong Pokiam dan Ouw-liong Pokiam merupakan dua naga sakti hitam-putih yang terbang berkejar-kejaran di antara awan hitam itu.

Angin pedang mereka bertiga bersiutan sampai lebih dari tiga tombak di sekeliling mereka sehingga daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin. Tubuh ketiganya telah lenyap dari pandangan mata. Maka dapatlah dibayangkan betapa sengit dan mati-matian pertempuran ini.

Diam-diam Ang Gwat Niang-niang terkejut melihat ilmu pedang yang luar biasa dari kedua anak muda itu. Dia akui bahwa jika dia tidak memiliki pengalaman luas dan bila dia tidak sudah meyakinkan Ngo-lian Kiam-sut sampai semasak-masaknya, tentu dia tak akan kuat menahan kedua pedang Naga ini.

Sebaliknya Han Liong dan Pauw Lian merasa gembira bukan main karena mereka diberi kesempatan untuk main pedang bersama lagi, maka diam-diam mereka sangat berterima kasih kepada Khouw Sin Ek. Kali ini mereka makin merasa betapa cocoknya kedua ilmu pedang mereka ketika digabungkan untuk menggempur Ngo-lian Kiam-sut yang memiliki banyak tipu kejam dan licin sekali itu.

Sementara itu keadaan Khouw Sin Ek dan Lo Thong Sianjin ternyata seimbang. Lo Thong Sianjin lihai karena ilmu goloknya, sedangkan Khouw Sin Ek sangat terkenal karena ilmu tendangannya yang berbahaya. Maka keduanya berlaku hati-hati sekali dan sedikit pun tak mau mengalah. Diam-diam mereka juga saling mengagumi.

Pekik kesakitan makin sering dan makin banyak terdengar, tanda bahwa yang mendapat luka dalam pertempuran itu semakin banyak. Kui Lan telah rebah dengan luka berat pada pundaknya terkena tusukan golok Bie Kong Hosiang, sedangkan pahlawan kaisar sudah banyak yang menderita luka-luka berat.

Di pihak tuan rumah, beberapa orang juga mendapat luka dan sudah diangkat ke dalam untuk diobati. Hong Ing tidak ikut bertempur karena diam-diam Un Kiong telah memesan padanya agar jangan ikut bertempur, bahkan surat-surat penting yang dapat dirampasnya di Istana Putih dulu, kini dia berikan kepada gadis itu untuk disimpan!

Juga Han Liong berpesan padanya agar jangan ikut bertempur karena musuh terdiri dari orang-orang yang amat lihai. Biar pun merasa girang melihat perhatian mereka, terutama melihat Un Kiong mengkhawatirkan keselamatannya, tetapi diam-diam Hong Ing merasa dongkol karena merasa dipandang rendah. Akhirnya ia merasa terhibur setelah mendapat kepercayaan dari Un Kiong agar menyimpan dan menjaga surat-surat penting itu, merasa bahwa tugas menjaga surat-surat itu bahkan jauh lebih penting dari pada ikut bertempur melawan musuh.

Maka dia berdiam di tempat aman sambil menonton pertempuran hebat itu. Akan tetapi lambat-laun ia merasa khawatir dan ngeri juga melihat betapa fihaknya mulai terdesak dan banyak korban yang sudah jatuh. Pikirannya bekerja cepat dan ia segera masuk ke dalam kamarnya. Di situ ia buka gulungan kertas-kertas penting itu dan setelah cepat mencari, ia mendapatkan surat rencana pemberontakan Co-thaikam. Surat ini ia bawa lari keluar dan matanya mencari-cari Tan-cianbu.

Akhirnya dia mendapatkan kapten Tan itu sedang bertempur mati-matian, dikeroyok dua oleh Bie Cauw Giok murid Pauw Kim Kong beserta Bhok Kian Eng murid Liok-te Sin-mo! Permainan golok Tan-cianbu cukup lihai dan tenaganya yang besar membuat dua orang pengeroyoknya tidak dapat mendesaknya. Hong Ing mendekati mereka dan dengan suara keras ia berkata,

“Bie-toako dan Bhok-toako, silakan berhenti sebentar! Aku ada urusan penting, biar aku yang menghadapi Tan-cianbu ini!”

Meski pun terheran mendengar permintaan Hong Ing, tapi kedua jago muda itu melompat mundur dan membiarkan Hong Ing menghadapi Tan-cianbu. Kapten itu mengenal wajah Hong Ing sebagai gadis yang dulu memasuki tamannya bersama dengan Un Kiong. Maka dia menahan goloknya dan membentak,

“Kau mau apa?!”

“Tan Lo-enghiong jangan marah dan terburu nafsu. Saya datang bukan untuk bertempur, tapi hendak memberi-tahukan sesuatu bukti yang penting sekali. Dulu saudara Un Kiong berhasil mencuri beberapa surat penting dari Istana Putih dan tahukah lo-enghiong apakah yang didapatnya? Ini silakan lo-enghiong baca sendiri!”

Dengan terheran-heran Tan-cianbu menyambut surat itu dan cepat dibacanya. Mukanya menjadi pucat dan ia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Ia baca lagi dan tiba-tiba ia berteriak keras.

“Semua pahlawan, tahan senjata!” Berulang ia berteriak demikian hingga semua kawan-kawannya segera lompat mundur dan menahan serangan mereka. Juga pihak kaki tangan Co-thaikam dengan sendirinya mundur hingga sebentar saja semua orang yang sedang bertempur menghentikan perkelahian.

Tidak hanya fihak penyerbu, fihak tuan rumah juga merasa sangat heran. Bahkan ketiga tokoh Ngo-lian-pai sudah menghentikan serangan masing-masing. Dengan surat di tangan dan tindakan kaki tetap serta sikap mengancam Tan-cianbu segera menghampiri ketiga tokoh Ngo-lian-pai.

“Cuwi silakan baca ini dan lihat betapa jahat dan palsunya orang-orang yang cuwi bela!”

Lo Thong mengambil surat itu dan sehabis membacanya ia memberikan surat itu kepada Ang Gwat Niang-niang dengan wajah merah padam. Pertapa wanita itu membaca dengan tenang tapi sehabis membaca surat itu ia berpaling kepada ketiga muridnya dengan mata berapi.

“Biauw Niang, apa artinya ini? Kalian hendak memberontak dan membantu perbuatan terkutuk? Jadi kau sudah menipu gurumu sendiri untuk memusuhi para hohan ini?” suara ini merdu dan nyaring, tetapi di dalamnya mengandung kebengisan hebat sehingga Biauw Niang menjadi gemetar ketakutan.

“Subo... teecu... teecu tidak... tidak berani berbuat begitu. Yang membawa rencana dan berhubungan langsung dengan Co-taijin adalah Kek Kong susiok!”

Ang Gwat Niang-niang menatap Kek Kong Tojin dengan mata mengandung pertanyaan dan tuntutan. Tapi yang dipandang hanya tertawa lalu berkata,

“Suci, apakah suci takut menghadapi penjahat-penjahat ini? Jika suci takut dan tidak mau membantu, silakan suci dan suheng pulang kembali ke gunung, biar aku menghadapinya sendiri!”

“Kek Kong, kau sungguh tersesat!” Lo Thong Sianjin membentak.

“Biauw Niang, kalian bertiga membuat malu gurumu. Mulai saat ini kalian bukanlah anak murid Ngo-lian-pai lagi!”

“Cuwi, maafkan pin-ni yang tertipu,” kata Ang Owat Niang-niang sambil menjura kepada pihak tuan rumah, kemudian ia tersenyum kepada Han Liong dan Pauw Lian, “Kalian Pek-liong dan Ouw-liong sungguh gagah sekali. Giok Ciu dan Sin Wan sangat beruntung bisa mendapatkan murid seperti kailan. Kalau bertemu kedua guru kalian, sampaikan salamku kepada mereka!”

Kemudian sekali berkelebat, Ang Gwat Niang-niang lenyap dari pandangan, hanya masih terdengar suaranya memanggil, “Hayo, suheng!”

Lo Thong tertawa sambil menjura kepada Khouw Sin Ek dan berkata dengan suara tidak puas. “Aku telah berkenalan dengan kepalan dewa, tapi sungguh sayang belum kenyang kita mengadu kepalan terpaksa harus berakhir sampai di sini. Khouw-lojin, bila mana ada kesempatan jangan lupa padaku untuk mencoba dan melanjutkan pertempuran ini.”

“Ha-ha-ha, Lo Thong toyu, kau serakah sekali. Baik, baik! Lain kali bila ada kegembiraan pasti aku mengunjungi gunungmu.”

Lo Thong menjura lagi lalu melompat pergi menyusul sumoi-nya. Sementara itu, karena tak dapat menahan marahnya lagi, Tan-cianbu berteriak memerintahkan kawan-kawannya,

“Serbu pemberontak dan penghianat-penghianat ini!” Goloknya terayun membacok Kek Kong Tojin yang menangkisnya dengan toyanya.

Un Kiong melompat mendekati ayahnya. “Ayah biarkan aku menghajar imam yang jahat ini!”

Tan-cianbu maklum bahwa anaknya memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka dia tertawa dan berkata, “Hati-hati, Un Kiong!” Lalu dia pimpin kawan-kawannya berbalik menghantam Kek Kong Tojin dan kawan-kawannya!

Sebaliknya pihak Han Liong dan kawan-kawannya menjadi bingung karena musuh sudah saling gempur sesamanya. Tapi tiba-tiba Han Liong berkata,

“Sudah diputuskan untuk membasmi para durna dulu. Nah, mereka ini adalah kaki tangan durna. Hayo bantu Tan-cianbu!”

Lie Bun Tek segera terjun lagi ke medan pertempuran, membantu Un Kiong, sedangkan Han Liong dan Pauw Lian menyerang ketiga siluman wanita dengan sengit. Juga Hong Ing tidak mau tinggal diam. Ia memutar siang-kiamnya dan maju melabrak musuh. Tetapi beberapa orang dari fihak tuan rumah yang tak mau ikut campur urusan orang lain tinggal diam saja menjadi penonton.

Keadaan kedua fihak tidak seimbang, maka sebentar saja korban yang berjatuhan di fihak Kek Kong Tojin segera memenuhi tempat itu. Pek-liong Pokiam dan Ouw-liong Pokiam mengamuk dengan hebatnya dan di mana saja pedang warna hitam dan putih berkelebat, maka pasti ada korban yang jatuh tanpa dapat menjerit lagi.

Ketika Han Liong dan Pauw Lian sedang mengamuk hebat dan merasa gembira melihat hasilnya, tiba-tiba saja ada angin bertiup keras dan Han Liong dan Pauw Lian merasa ada tenaga raksasa yang menahan pedang mereka! Mereka terkejut sekali, tetapi tidak dapat menahan tarikan itu sehingga dalam sekejap mata kedua pokiam itu terlepas dari tangan dan terbang entah ke mana!

Selagi mereka terheran-heran, dari atas melayang sehelai kertas putih. Han Liong segera memungutnya dan bersama Pauw Lian membacanya. Alangkah terkejut mereka dan tiba-tiba saja mereka merasakan seluruh muka panas karena malu.

Han Liong dan Pauw Lian memandang sekeliling. Juga mereka yang sedang bertempur, semua berdiri terheran-heran dengan mulut ternganga karena semua senjata mereka tiba-tiba saja lenyap dari tangan mereka tanpa mereka ketahui siapa yang merampasnya!

Hanya Khouw Sin Ek saja yang menjura ke arah barat sambil berseru keras, “Siansu dan Suthai, terima kasih atas bantuan kalian. Silakan singgah di tempat kami yang kotor!”

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara yang keras menggema, “Khouw Toyu, sudah ada kau orang tua, kami tidak perlu khawatir, semua pasti selesai. Maafkan kami mengganggu dan tak dapat mampir. Selamat tinggal!”

Khouw Sin Ek hanya menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas! Han Liong dan Pauw Lian berlutut dan menyebut,

“Suhu!”

Hanya Khouw Sin Ek saja yang dapat melihat gerakan Kam Hong Siansu dan Kui Giok Cu Suthai yang datang berdua lalu merampas semua senjata dari mereka yang sedang bertempur. Bahkan Kam Hong Siansu sempat meninggalkan sepucuk surat kepada Han Liong dan Pauw Lian!

Melihat hal itu, Khouw Sin Ek menghampiri sepasang anak muda itu dan bertanya, “Surat apakah yang kalian terima? Pesanan Siansu?”

Sambil menundukkan kepala Han Liong menyerahkan surat kepada Khouw Sin Ek yang membacanya:

Han Liong,

Sudah terlampau banyak darah mengalir. Hentikanlah pertempuran. Belum saatnya untuk menggulingkan kekuasaan yang memerintah. Kelak bila sudah tiba saatnya akan runtuh sendiri. Pek Liong telah bertemu dengan Ouw Liong, maka kami minta kembali. Sebagai gantinya kau mendapatkan Pauw Lian dan dia mendapat kau. Kami memberi doa restu, jadilah kalian suami isteri yang bahagia dan bijaksana. Terima kasih kepada Khouw-toyu yang telah sudi menjadi perantara!

Tertanda
Kam Hong Siansu
Kui Giok Ciu Suthai.

Khouw Sin Ek tertawa geli tiada terhingga.

“Ah, sungguh pintar orang tua itu!” Kemudian ia berpaling kepada semua orang. “Hai, cuwi yang terhormat. Kami sebagai tuan rumah di gunung ini mengharap hendaknya agar cuwi jangan membikin kotor tempat ini dengan pertumpahan darah selanjutnya! Para Enghiong yang merasa tertipu oleh biang keladi pemberontakan dan kini telah menjadi sadar, harap suka kembali ke tempat masing-masing dan mengubah kekeliruan masing-masing. Para pahlawan yang setia kepada negara harap mengurus hal ini melalui saluran tertentu. Dan kau, Kek Kong dengan tiga muridmu, jika ingin selamat hentikanlah kesesatanmu, karena kalau tidak, biar kali ini lolos dari bencana, pasti lain kali akan mengalami mala petaka!”

“Kau sungguh sombong, Khouw-lojin. Memang kuakui bahwa kali ini kami kalah. Orangmu sudah dapat merampas senjata kami. Tetapi lain kali tentu aku hendak membalas hormat padamu!” Kemudian saikong itu menggandeng tangan ketiga keponakan muridnya itu dan membawa mereka lari turun gunung.

Semua orang bubar sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan terbinasa. Tapi Khouw Sin Ek menahan Tan-cianbu yang memang telah dikenalnya baik.

“Khouw lo-enghiong, Sekarang aku mengerti mengapa Un Kiong berlaku demikian ketolol-tololan, tentu ini adalah kau orang tua yang mengajarnya!” kata Tan-cianbu sambil tertawa.

Khouw Sin Ek tertawa. “Tapi bagaimana pendapatmu mengenai puteramu? Puaskah kau melihatnya?”

“Terima kasih atas didikanmu kepadanya, Khouw lo-enghiong,” jawab Tan-cianbu.

“Tidak cukup dengan hanya terima kasih saja, Cianbu. Sekarang aku hendak memajukan diri menjadi perantara untuk perjodohan Un Kiong.”

“Perjodohan? Dia masih sangat muda!”

“Tidak terlalu muda untuk mendapat jodoh yang cocok dan baik.”

“Siapakah nona yang kau puji-puji itu?”

“Bukan lain adalah nona Lie Hong Ing yang memberimu surat tanda pemberontakan tadi.”

“Oh, dia...?”

Semenjak bertemu di taman dan melihat kegagahan sikap gadis itu serta kecantikannya, Tan-cianbu memang sudah merasa suka, maka dia segera menyatakan persetujuannya hingga Khouw Sin Ek menjadi girang sekali. Han Liong segera ditemui dan ketika diminta pendapatnya, Han Liong hanya mengangguk sambil tersenyum girang.

“Memang mereka berdua itu jodoh masing-masing. Kalau bukan saudara Un Kiong, siapa lagi yang sanggup menundukkan Hong Ing?”

Ketika Hong Ing diberi-tahu oleh Pauw Lian yang mendapat tugas menyampaikan kepada gadis ini, Hong Ing langsung menghujani tubuh Pauw Lian dengan cubitan sehingga Pauw Lian mengaduh-aduh dan lari. Hong Ing mengejarnya, tapi Pauw Lian berteriak,

“Tan-kongcu... Tan-kongcu... tolong aku, Ing-moi nakal sekali...!”

Terpaksa Hong Ing cepat-cepat bersembunyi di dalam kamar sendiri, takut kalau-kalau Un Kiong benar-benar muncul pada saat itu!

Sementara itu perjodohan antara Han Liong dan Pauw Lian tak menemui kesulitan. Kedua guru masing-masing telah setuju, kedua orang yang bersangkutan juga setuju, sedangkan pada waktu itu semua guru serta bibi Han Liong sedang berada di situ pula dan mereka bahkan menerima warta ini dengan gembira sekali. Ada pun Pauw Lian, karena dia yatim piatu, maka cukup diwakili oleh Pauw Kim Kong yang menjadi keluarga satu-satunya.

Begitulah, sebulan kemudian di Beng-san berlangsung perkawinan dua pasang mempelai, Tan Un Kiong dengan Lie Hong Ing dan Si Han Liong dengan Pauw Lian. Ketika upacara dilangsungkan, tiada hentinya mereka berempat saling menggoda sehingga menambah keramaian dan kemesraan pesta itu.

Untuk selanjutnya Hong Ing tinggal bersama suaminya di rumah mertuanya yang sudah meletakkan jabatan dan pulang ke kampung, sedangkan Han Liong dan isterinya tinggal di Kam-hong-san atas permintaan guru-guru dan bibinya. Walau pun kedua pokiam sudah ditarik kembali oleh gurunya masing-masing, namun keduanya terus berlatih ilmu pedang Pek-liong Kiam-sut dan Ouw-liong Kiam-sut, bahkan mereka berusaha menggabungkan kedua ilmu pedang ini.

Hidup mereka penuh kebahagiaan karena sebagai Bengcu Han Liong dikenal oleh seluruh hohan di kalangan kang-ouw yang datang mengunjungi, juga mereka sering turun gunung untuk mengunjungi sahabat-sahabatnya. Hong Ing pun hidup bahagia dengan suaminya yang amat menyintanya dan dari Un Kiong, Hong Ing mendapat bimbingan ilmu silat tinggi sehingga ia memperoleh kemajuan pesat sekali.

Seperti juga Han Liong suami isteri, Un Kiong suami isteri ini juga sering kali melakukan perjalanan mengunjungi sahabat-sahabat untuk meluaskan pengalaman dan di mana saja mereka tak pernah lupa mengulurkan tangan dan menggunakan kepandaian mereka untuk membantu fihak lemah yang tertindas dan membasmi orang-orang jahat yang mengacau rakyat jelata.

Sesuai petunjuk Kam Hong Siansu, untuk sementara Han Liong beserta kawan-kawannya menghentikan gerakan mereka sambil menanti suasana melihat keadaan pemerintah. Yo Leng In atau Yo-toanio, bibi Han Liong, ikut keponakannya tinggal di Kam-hong-san dan janda ini melawati sisa hidupnya dengan menumpang sambil ikut merasakan kebahagiaan hidup Han Liong dan Pauw Lian.

Hampir satu bulan sekali atau lebih sering lagi, kalau bukan Han Liong dan isterinya yang mengunjungi kampung Un Kiong yang tidak jauh dari Kam-hong-san, tentu Un Kiong dan Hong Ing yang naik ke Kam-hong-san untuk mengunjungi kakaknya yang tercinta itu, di mana pada tiap pertemuan mereka mengobrol dengan gembira-ria.....!
T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar