Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 13

Kini mengertilah Hong Ing bahwa itu adalah sebuah jalan rahasia! Dia merasa malu akan kesangsiannya tadi dan tanpa ragu dia merangkak di kolong pembaringan. Si kedok hitam lalu memasuki lobang itu, diikuti oleh Hong Ing.

Ternyata di bawah tanah terdapat sebuah lorong kecil yang pas untuk seseorang merayap maju. Beberapa lama mereka merayap maju dalam gelap hingga akhirnya mereka sampai keluar dan berada di dalam sebuah taman bunga!

“Ehh, taman bunga siapakah ini?” Hong Ing bertanya heran.

“Ssttt...!” Si kedok hitam mencegahnya, tetapi terlambat. Dari balik pintu belakang sebuah gedung terdengar suara bertanya.

“Siapa di taman?” Sebelum gema suara itu lenyap, penanyanya sudah sampai di hadapan mereka dengan sebuat golok besar di tangan!

Hong Ing terkejut melihat orang itu yang ternyata bukan lain adalah Tan-cianbu. Ia pernah melihat kapten itu beberapa kali maka dia dapat mengenalnya, tapi Tan-cianbu tidak kenal kepadanya.

“Bangsat dari mana berani memasuki taman tanpa izin? Hayo buka kedokmu dan cepat berlutut, kalau tidak kalian akan kusuruh tangkap dan masukkan penjara!”

Melihat kegagahan Tan-cianbu itu, Hong Ing segera meloloskan siang-kiamnya. Ia merasa pundaknya ditowel oleh si kedok hitam, namun tidak tahu maksudnya, bahkan dia sudah maju menyerang sambil berkata,

“Lepaskan dan jangan ganggu kami!”

Tan-cianbu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Hm, gadis kecil ini sombong amat! Kau juga berani main-main dengan pedang!” Kemudian ia menggerakkan goloknya dan menangkis.

Pedang di tangan kanan Hong Ing terpukul dan gadis itu merasa telapak tangannya perih dan panas. Ia terkejut sekali karena pedang itu hampir saja terlepas!

“Ha-ha-ha!” Tan-cianbu tertawa tapi matanya memandang kagum. “Kau boleh juga, nona kecil, karena dapat menahan tangkisanku! Hmm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu.”

Tapi Hong Ing bersangsi, karena dia merasa bukan tandingannya kapten yang bertenaga besar itu!

“He, kamu yang berkedok hitam, pengecutkah kau? Bukankah kau laki-laki? Mengapa kau biarkan saja wanita ini maju seorang diri? Hayo majulah!”

Si kedok hitam kelihatan bingung dan ketakutan! Hong Ing merasa heran sekali. Apakah kepandaian silat Tan-cianbu ini lebih tinggi dari si kedok hitam hingga si kedok hitam yang tadi sudah dia saksikan sendiri kepandaiannya juga merasa takut menghadapinya? Tetapi Tan-cianbu melihat keragu-raguan dan kebingungan si kedok hitam, timbul marahnya.

“Pengecut! Gadis ini berani maju menyerangku, tetapi kau tidak berani! Kalau begitu lebih dulu kau akan kubunuh. Mungkin perempuan ini akan kubebaskan karena dia gagah dan berani, tidak semacam kau!” Goloknya berkelebat membacok leher pemuda itu!

Si kedok hitam berkelit mundur, namun golok Tan-cianbu terus mengejar dan melakukan serangan bertubi-tubi. Kini heranlah Tan-cianbu, karena berkali-kali dia menyerang, selalu tanpa hasil. Gerakan si kedok hitam itu sangat lincah dan selalu berkelit cepat membuat ia tidak berdaya!

Si kedok hitam berkelit sambil mundur hingga mereka tiba di dekat sebuah lampu taman. Mendadak si kedok hitam merogoh saku dan melempar sesuatu ke arah lawannya. Tan-cianbu terkejut dan hendak berkelit, tetapi lemparan si kedok hitam cepat sekali sehingga tahu-tahu benda itu mengenai mukanya!

Tapi Tan-cianbu tidak merasa sakit karena ternyata benda itu hanya sehelai sapu tangan sutera saja, dan di situ terdapat tulisan besar-besar. Tan-cianbu tertarik akan sapu tangan sutera itu dan di bawah sinar lampu dia membaca beberapa huruf besar itu. Seketika itu juga kedua matanya terbelalak dan mulutnya berseru,

“Apa?! Mana bisa jadi?” Tapi ketika ia menengok, si kedok hitam telah menyambar tangan Hong Ing dan menarik gadis itu melompati tembok yang tinggi itu, kemudian lari dengan cepat sekali.

Hong Ing yang terpegang pergelangan tangannya ikut lari cepat pula, jauh lebih cepat dari pada ilmu larinya, karena dia seakan-akan ditarik oleh tenaga raksasa sehingga sepasang kakinya seakan-akan tak menginjak bumi! Gadis ini menjadi makin kagum dan diam-diam dia membandingkan kepandaian orang ini dengan Han Liong. Tetapi setelah lari beberapa belas li jauhnya dan mereka memasuki sebuah hutan, Hong Ing merasa lelah juga, karena kedua kakinya sangat dipaksa.

“Aduh, aku lelah, mari beristirahat dulu!” keluhnya.

“Maaf, aku tidak ingat bahwa kau belum pandai berlari cepat,” kata si kelok hitam sambil melepaskan pegangannya.

Hong Ing melepaskan lelah sambil duduk di atas rumput. Dia memandang si kedok hitam yang masih berdiri dan memandang jauh ke depan.

“Kita hendak ke mana?” tanya Hong Ing.

“Ke kota raja,” jawabnya singkat.

“Ke kota raja? Mau apa ke sana?”

Si kedok hitam memandang sehingga sinar matanya terbentur sinar mata Hong Ing. Dia tampak bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab. Dia lalu menghela nafas dan berkata perlahan,

“Kau... kau kini sudah bebas, terserah kepadamu hendak pergi ke mana. Aku... aku tidak memaksamu ikut, yakni... kalau kau tidak suka...”

Hong Ing merasa dadanya berdebar-debar. Jadi orang ini benar-benar hendak menolong belaka dan tidak berniat jahat? Ah, alangkah baik hatinya. Maka hilanglah kecurigaannya, karena sesungguhnya tadi dia masih merasa curiga memikirkan bahwa mungkin orang ini sengaja datang ke kamarnya hendak menculiknya. Tetapi sesudah di kamarnya terdapat jalan rahasia itu, tahulah dia mengapa orang itu berada di kamarnya. Dan sekarang orang ini melepaskannya!.

“Kalau begitu, terima kasih atas kebaikanmu.”

“Ahh, semua itu tidak berarti apa-apa. Hanya ingat, kau harus berhati-hati, karena orang-orang Istana Putih banyak dan jahat, mungkin di jalan kau akan bertemu dengan seorang di antara mereka.”

Hong Ing tidak merasa takut karena ia tak begitu memperhatikan ucapan si kedok hitam. Ia sedang terheran-heran dan mengingat-ingat karena ia seperti sudah pernah mendengar dan mengenal suara orang itu entah kapan dan dimana?

“Eh, apa katamu tadi? O ya, kau takut aku bertemu dengan mereka? Aku hendak mencari kakakku, kalau sudah bertemu, aku tidak perlu takut kepada segala orang itu.”

“Kalau begitu agaknya koko-mu itu gagah benar.”

Kembali Hong Ing memikir-mikir dan mengingat-ingat suara siapakah ini!

“Kau sudah menolongku dan kini kita hendak berpisah. Maukah kau melakukan sebuah permintaanku?” tiba-tiba Hong Ing bertanya.

“Apakah itu?”

“Aku... aku ingin tahu dan melihat wajahmu agar aku tak lupa lagi. Maukah kau membuka kedokmu itu sebentar saja?”

Si kedok hitam mundur dua langkah dan dengan cepat tangan kirinya memegang kedok sutera di mukanya, seakan-akan dia takut kedok itu akan terlepas.

“Tidak mungkin!” katanya.

“Mengapa tidak mungkin? Apa... apa mukamu bercacat dan jelek sekali?”

Si kedok hitam cepat menggeleng-geleng kepala, tetapi lalu mengangguk-angguk berkali-kali sehingga mau tak mau Hong Ing tersenyum geli.

“Tidak apalah!” Akhirnya Hong Ing berkata sambil menghela nafas. “Kalau kau tidak mau dikenal, aku pun tak akan memaksa! Tapi betapa pun juga aku akan selalu menganggap kau seorang yang gagah dan baik hati.”

Ketika mereka hendak berpisah, tiba-tiba dari belakang ada dua bayangan orang berlari cepat ke arah mereka. Kepandaian dua orang itu ternyata tinggi juga karena sebentar saja mereka sudah tiba di hadapan si kedok hitam dan Hong Ing.

Hong Ing terkejut sekali karena yang datang itu adalah seorang laki-laki bersama seorang gadis muda yang cantik jelita dan berpakaian serba hitam hingga tampak kulit tangan dan pergelangan lengannya yang putih. Dan laki-laki itu bukan lain dari Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek sendiri, orang lihai berambut putih yang mengacau di Istana Putih.

“Ha-ha-ha! Kalau memang berjodoh, biar tak disengaja dan tak disangka-sangka, akhirnya bertemu juga!” Heng-san Koai-hiap tertawa terkekeh-kekeh. Lalu dia mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada si kedok hitam yang dibalasnya dengan hormat pula.

“Sahabat berkedok yang gagah berani. Aku kagum melihat tepak terjangmu tadi. Agaknya engkau pun mengikuti jalan lurus dari para patriot. Ketahuilah, aku adalah Heng-san Koai-jin Lie Bun Tek dan dia ini adalah sumoi-ku bernama Pauw Lian. Kau tentu sudah pernah mendengar nama kami dan tahu bahwa kami bukanlah orang-orang jahat. Terus terang kukatakan bahwa kami pun pengikut jejak para patriot! Surat yang kau rampas dari Istana Putih itu sangat kami butuhkan, maka kuminta dengan hormat, berikanlah itu kepadaku, sobat.”

“Maaf, saudara, aku sendiri juga membutuhkan surat-surat penting itu. Urusanmu dengan penghuni Istana Putih tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Aku bertugas dan sebagai seorang laki-laki aku harus menunaikan tugasku itu dengan sempurna. Kelak bila tugasku telah selesai mungkin sekali aku bisa membantu menghancurkan kaki tangan durna yang rendah itu!”

“Hmm, jawabanmu sangat licin seperti belut yang tak tentu ujung pangkalnya! Pendeknya aku ingin tahu, engkau ini pembela rakyat atau pembela kaisar?” Gadis cantik berpakaian hitam yang disebut Pauw Lian itu berkata, suaranya merdu tetapi tajam.

Mendengar kata-kata setengah sesalan dan penuh curiga ini, si kedok hitam memandang dengan tajam dan menjawab, “Pembela kedua-duanya!”

Lie Bun Tek tertawa dan Pauw Lian memperdengarkan suara ejekan. “Hmm, jawaban apa ini? Kalau kau pembela rakyat dan kaisar, lalu siapa yang kau anggap musuhmu?”

“Musuhku adalah segala perampok yang mengacau rakyat dan segala macam durna yang mengacau negara!”

Lie Bun Tek dan Pauw Lian saling pandang dengan heran.

“Ehh, sobat, kau benar-benar aneh. Coba buka kedokmu dan perlihatkan mukamu kepada kami agar kami dapat melihat apakah kau ini lawan atau kawan.” berkata Lie Bun Tek.

“Kubuka juga kau takkan kenal,” jawab si kedok hitam.

“Kalau begitu engkau ini tentu bukan orang baik-baik. Orang yang bermaksud baik takkan menyembunyikan muka di belakang kedok,” kata Lie Bun Tek.

“Suheng, bangsat ini tentu mempuyai maksud rahasia,” berkata Pauw Lian kepada Lie Bun Tek.

“Memang aku mempunyai tugas dan maksud rahasia,” jawab si kedok hitam sehingga Lie Bun Tek menjadi heran dan marah mendengar orang berterus terang secara menantang itu. Dengan berseru keras dia loloskan joan-piannya dari pinggang dan berkata,

“Agaknya kau mau mencoba kami, orang muda yang aneh!”

Si kedok hitam memperdengarkan suara mengejek sambil mencabut pedangnya.

“Tahan senjatamu, dia bukanlah orang jahat!” Hong Ing cepat berteriak karena ia khawatir si kedok hitam takkan dapat melawan si rambut putih yang ilmunya tinggi itu.

“Kau pun bukan orang baik-baik!” kata Pauw Lian yang maju menghalangi.

“Kau kira aku takut padamu?” Hong Ing membentak marah dan mencabut siang-kiamnya! Tapi Pauw Lian hanya memandangnya sambil terseyum manis bagaikan seorang dewasa tengah mempermainkan seorang kanak-kanak.

Sementara itu si kedok hitam sudah mulai bertempur dengan Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek. Sekali senjata mereka beradu dan kedua-duanya mundur karena merasakan getaran hebat pada telapak tangan masing-masing. Sambil melompat mundur mereka memeriksa senjata masing-masing, namun ternyata kedua senjata itu tidak rusak. Dengan perasaan kesal Lie Bun Tek meloncat maju lagi melakukan serangan hebat. Si kedok hitam berkelit lincah dan balas menyerang.

Ternyata tenaga dan kepandaian mereka seimbang. Lie Bun Tek memainkan jurus-jurus ilmu permainan joan-pian dari cabang Heng-san-pai yang tinggi itu, tetapi pedang si kedok hitam pun dapat bergerak dengan lincah dan cepat karena ia memainkan tipu silat Pedang Delapan Dewa Bermain-main.

Hong Ing merasa gemas melihat lagak Pauw Lian yang seakan-akan memandang rendah kepadanya. Dengan teriakan keras dia lantas maju menyerang dengan siang-kiamnya! Dia memainkan jurus-jurus dari Ngo-lian-pai yang belum lama ini ia pelajari dari Biauw Niang-niang. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat lawannya berputar berbelit-belit cepat dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya! Ia terus menyerang dan mengeluarkan jurus-jurus yang ganas dan tipu-tipu mematikan dari Ngo-lian-pai.

“Hemm, sayang kau yang muda dan cantik telah mempelajari ilmu silat jahat,” kata Pauw Lian menyindir sambil meloncat menghindar.

Mendengar sindiran itu dan melihat serangan-serangannya tak mendatangkan hasil sedikit pun juga, wajah Hong Ing berubah merah karena malu dan marah. Dia segera merubah gerakannya dan kini mempergunakan ilmu pedang Ngo-houw-toan-bun-to yang ia pelajari dari Han Liong. Kedua pedangnya bergerak teratur sekali dan serangan-serangannya kuat mendatangkan angin.

“Bagus! Ini baru ilmu pedang tulen!” Nona baju hitam itu memuji.

Sebenarnya permainan siang-kiam Hong Ing hebat sekali dan gerakan kedua pedangnya sukar dilawan. Tetapi ternyata dia menghadapi lawan kelas berat yang ilmu ginkang-nya sangat tinggi sehingga ia dapat dipermainkan biar pun Pauw Lian tak memegang senjata! Hong Ing hampir menangis karena jengkel dan dia kertakkan giginya sambil menyerang terus membabi buta.

Melihat kenekadan lawannya Pauw Lian menjadi marah juga.

“Awas serangan balasanku!” sambil berseru dia mendesak dengan sepasang kepalan dan sepasang kakinya yang dapat bergerak cepat sekali.

Hong Ing terdesak mundur dan keadaannya amat berbahaya! Pada saat itu pula terdengar seruan orang,

“Ing-moi, jangan khawatir, aku datang!”

Sebelum habis gema suara itu, tahu-tahu orangnya sudah datang dan Pauw Lian melihat seorang pemuda baju putih berdiri di depannya menggantikan Hong Ing yang kini berdiri di belakang pemuda itu! Alangkah girang hati Hong Ing mendengar suara dan melihat orang yang baru datang ini. Segera dia menubruk maju dan memeluk.

“Han-ko! Syukur kau datang. Tolonglah aku dan hajarlah wanita yang sangat menghinaku ini!”

Melihat Hong Ing memeluk pemuda itu, Pauw Lian mengeluarkan suara cemoohan, “Hm, sungguh tak tahu malu!”

Hong Ing menghadapinya dengan bertolak pinggang. “Memangnya kenapa? Ini kakakku dan kalau kau memang perempuan gagah, lawanlah dia. Kalau kau menang, aku bersedia berlutut seratus kali di depanmu dan menyebut nenek guru padamu!”

Walau pun dia tahu bahwa pemuda yang berdiri bingung di depannya ini bukanlah lawan ringan, tetapi Pauw Lian merasa gemas dan marah juga mendengar tantangan Hong Ing.

“Apa yang harus ditakuti?” katanya dan tanpa banyak cakap lagi dia menerjang Han Liong dengan serangan Harimau Mencuri Hati!

Tadinya Han Liong hendak mendamaikan mereka karena dia maklum bahwa adiknya suka sekali mencari onar, tapi dia tak diberi kesempatan dan gadis itu langsung memukul Han Liong. Angin pukulan gadis baju hitam ini terasa berat dan kuat sekali, karena itu terpaksa dia melayaninya dengan hati-hati dan sebentar saja dia diam-diam mengeluh sebab lawan yang dipilih Hong Ing sekali ini betul-betul merupakan lawan paling berat yang pernah dia temui!

Ia kagum sekali akan kepandaian gadis yang jelita ini dan tak lama kemudian dia merasa semakin kagum bercampur heran karena ternyata kepandaian gadis itu, baik ginkang mau pun lweekang-nya, tidak berselisih jauh dengan kepandaiannya sendiri! Rasa sayangnya timbul dan dia ingin sekali tahu siapakah gadis ini dan murid siapakah dia?

Sebaliknya Pauw Lian merasa terkejut dan heran sekali kenapa pemuda ini bisa demikian lihai dan sungguh di luar dugaannya semula. Gadis ini baru berusia sembilan belas tahun. Dia baru saja turun gunung dan merasa diri tidak ada tandingnya lagi karena memang dia telah memiliki ilmu silat yang mendekati batas kesempurnaan, malah suheng-nya sendiri, Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek yang terkenal akan kelihaian dan kepandaiannya, tidak mampu mengalahkannya, terutama dalam ilmu pedang! Maka kini menghadapi Han Liong yang dapat melayaninya, bahkan dapat mendesaknya, dia menjadi gusar sekali. Dengan teriakan marah dia mencabut pedangnya.

Sinar hitam berkelebat di depan muka Han Liong dan pemuda ini tertejut melihat gadis itu kini memegang sebilah pedang hitam yang sinarnya menyeramkan. Tiba-tiba dia teringat akan kata-kata suhu-nya, Kam Hong Siansu yang mengatakan bahwa di dunia ini masih ada ilmu silat pedang yang dapat menandingi Pek-liong Kiam-sut, yakni Ouw-liong Kiam-sut atau Ilmu Pedang Naga Hitam. Dan gadis ini memiliki sebuah pokiam berwarna hitam berukir naga pula. Bukankah pedang ini yang disebut Ouw-liong Pokiam?

Hampir saja dia melompat keluar kalangan, tapi mendadak timbul kegembiraannya untuk mencoba sampai di mana kehebatannya Ouw-liong Kiam-sut! Ia pun mencabut Pek-long Pokiam-nya dan menangkis setiap serangan gadis itu.

Melihat sinar pedang Han Liong yang putih melepak seperti perak, Pauw Lian juga amat terkejut. Dia pun pernah mendengar gurunya bercerita mengenai Pek-liong Pokiam, maka sama juga halnya dengan hati Han Liong, ia ingin sekali mencoba ketinggian ilmu pedang pemuda itu.

Kalau tadi ketika bertempur mengadu kepalan mereka berkelebat ke sana ke mari hingga dua bayangan hitam dan putih seakan-akan bergabung menjadi satu, kini dua pokiam itu dimainkan sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya dua gulung sinar hitam dan putih berputar-putar cepat seperti kilat, sedangkan dua orangnya sama sekali tak tampak lagi! Melihat pertunjukan ini, tentu saja Hong Ing hanya dapat memandang dengan mulut ternganga saking kagumnya.

Sementara itu si kedok hitam juga sedang bertempur dengan hebatnya melawan Lie Bun Tek. Pedang dan joan-pian saling serang dan saling tangkis sampai mengeluarkan bunga api. Pada saat pertempuran sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba terdengar orang menyebut,

“Siancai, siancai...! Lie Bun Tek Enghiong, harap tahan senjatamu dan maafkan muridku. Un Kiong, buang pedangmu!”

Begitu mendengar seruan ini, dengan berbareng si kedok hitam dan Heng-san Koai-hiap melompat mundur lalu menahan senjata masing-masing, karena si kedok hitam mengenal suara gurunya sedangkan Lie Bun Tek mengenal pula suara Khouw Sin Ek atau Sin-chiu Taihiap yang sudah menolongnya ketika bertempur di atas atap Istana Putih! Sebaliknya Hong Ing yang mendengar nama Un Kiong disebut, segera menghadapi mereka dengan heran.

Lie Bun Tek menjura kepada Sin-chiu Taihiap dan berkata. “Maafkan siauwte, Lo-taihiap.”

Dan si kedok hitam berlutut sambil menyebut, “Suhu.”

“Un Kiong, buka kedokmu! Tak perlu kau menyembunyikan mukamu di hadapan kawan-kawan segolongan.”

Si kedok hitam segera merenggutkan sutera hitam itu dan Hong Ing hampir saja tak dapat menahan jerit herannya, karena si kedok hitam itu bukan lain adalah si pemuda tolol, Tan Un Kiong, putera dari Tan-cianbu yang tinggal di sebelah Istana Putih! Hal ini sama sekali tidak disangkanya, maka tanpa terasa kakinya bertindak maju mendekati pemuda itu lalu sambil menatap wajahnya, dia berkata,

“Kau...?!”

Un Kiong hanya tersenyum dan menjura. “Hong Ing cici!”

Sementara Lie Bun Tek berseru kepada Pauw Lian yang masih bertempur. “Sumoi, tahan pedangmu...”

Tetapi Khouw Sin Ek mencegahnya dan berkata perlahan, “Jangan ganggu mereka... Tak usah khawatir, mereka takkan melukai satu sama lain. Lihat, alangkah hebatnya kiamsut mereka. Sungguh yang tertinggi di dunia ini. Lihat... bukankah mirip sepasang naga hitam dan putih bermain-main di awan?”

Sesudah puas menonton. Pendekar Besar Kepalan Malaikat ini mengambil dua buah batu kecil kemudian mengayunkan dua buah batu itu ke arah dua gundukan sinar hitam putih yang sedang bertempur.

“Jiwi, silakan berhenti!” Suaranya terdengar nyaring dan keras sekali.

Dua buah batu kecil itu dengan tepat menghantam dua pedang, tapi tak membikin pedang itu terenggut, bahkan dua buah batu itu terbelah dengan mudah lalu jatuh ke atas tanah. Tetapi ini cukup membuat Han Liong dan Pauw Lian insyaf bahwa ada orang pandai yang telah memisahkan mereka. Mereka tak berani memandang rendah dan keduanya segera melompat sambil menjura.

Sepasang mata Pauw Lian yang jeli menatap wajah Han Liong dengan kagum, sebaliknya Han Liong juga amat tertarik akan kepandaian gadis itu. Ketika mereka saling pandang itu seolah-olah ada sesuatu yang mengikat hati mereka dan membuat mereka malu sehingga serentak pula keduanya menundukkan muka.

Lie Bun Tek memperkenalkan pendekar tua itu kepada sumoi-nya, sedangkan Hong Ing yang masih saja bermain mata dengan Un Kiong segera lari kemudian memegang lengan kakaknya. Gadis ini dengan lincah dan gembira memperkenalkan Un Kiong kepada Han Liong dan serta merta mempercakapkan bagaimana ‘pemuda tolol’ itu telah menolongnya lari dari Istana Putih.

Berkat kebijaksanaan Khouw Sin Ek yang mempunyai nama harum dan disegani, mereka dapat menahan rasa sakit hatinya dan melenyapkan rasa permusuhan, kemudian masing-masing memperbincangkan riwayat masing-masing untuk menghindarkan salah faham.

“Cuwi sekalian tentu heran melihat kenyataan bahwa aku orang tua mempunyai seorang murid putera seorang pembesar yang berpengaruh di kalangan pahlawan raja. Meski pun aku orang she Khouw bukan termasuk seorang anti kaisar, akan tetapi memang terdengar ganjil bahwa aku mengambil murid seorang putera cianbu! Hal ini ada sebabnya, maka kalian dengarlah riwayatku dan muridku Tan Un Kiong ini.” Demikian Khouw Sin Ek mulai membuka riwayatnya.

Khouw Sin Ek adalah seorang hiapkek besar yang mewarisi kepandaian silat tunggal dari Bong Tak Totiang, seorang pertapa dan ahli persilatan Thai-san yang mengasingkan diri kemudian diam-diam menciptakan ilmu silat dari Thai-san, Bu-tong dan Siauw-lim yang ia gabungkan menjadi satu. Tosu ini lalu menurunkan semua kepandaiannya kepada Khouw Sin Ek karena ia melihat bahwa Khouw Sin Ek mempunyai tulang baik dan pribudi tinggi.

Setelah belasan tahun belajar dan berhasil mewarisi semua kepandaian suhu-nya, Khouw Sin Ek mulai berkelana sambil menggunakan kepandaiannya untuk melakukan pekerjaan menolong sesama manusia. Sepak terjangnya yang gagah perkasa membuat namanya harum, disegani dan dikagumi kawan sebaliknya ditakuti lawan.

Pernah seorang diri dia membunuh Pangeran Liok Bin Ong yang terkenal jahat dan sering memeras rakyat dengan sewenang-wenang. Kemudian dia mengobrak-abrik sarang para perampok di Gunung Kim-wat-san yang dikepalai oleh Kang Leng Giap, seorang jagoan berilmu tinggi yang karena sombong serta mengagung-agungkan diri sebagai orang gagah nomor satu lalu berbuat sewenang-wenang saja, merampok rakyat dan petani yang sudah miskin dan hidup melarat.

Tentu saja hal ini membuat hiapkek Khouw Sin Ek marah sekali. Kepala perampok kejam ini akhirnya tewas dalam tangan Khouw Sin Ek dan sejak itu dia mendapat nama julukan Sin-chiu Taihiap atau Pendekat Gagah Kepalan Malaikat!

Akan tetapi, betapa pun gagahnya seseorang, tetap harus tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi sehingga pada suatu hari Sin-chiu Taihiap Kouw Sin Ek diserang sakit panas yang berat. Pada waktu itu dia memang menjadi buronan dan dicari oleh para pengawal raja karena dia sudah membunuh Pangeran Liok Bin Ong. Justru yang mendapat tugas untuk mencarinya adalah Tan-cianbu, ayah Un Kiong!

Ketika Khouw Sin Ek tengah rebah tak berdaya karena sakit di sebuah kelenteng kotor dan rusak, Tan-cianbu dapat membekuknya. Namun Tan-cianbu yang jujur dan berwatak satria itu merasa kagum dan sayang pada Sin-chiu Taihiap, karena menurut pendapatnya, orang semacam Liok Bin Ong itu memang sudah sepatutnya dilenyapkan dari muka bumi ini! Dia pikir kalau dia sendiri tidak menjabat pangkat cianbu, tentu semenjak siang-siang dia telah pergi mencari pangeran jahat dan cabul itu untuk menghajarnya. Demikianlah dia menyelamatkan jiwa Sin-chiu Taihiap dari hukuman.

Khouw Sin Ek merasa berterima kasih dan kagum melihat kepribadian Tan-cianbu, maka untuk membalas jasanya, secara diam-diam dan tidak setahu kapten she Tan itu, ia telah mengangkat Un Kiong sebagai muridnya. Pada suatu hari ketika Un Kiong yang berusia tujuh tahun itu bermain-main di dalam taman bunga, Khouw Sin Ek datang. Di depan anak itu ia meloncat ke sebuah pohon kemudian menggunakan tangannya menangkap burung, sedangkan ketika turun kembali, burung di telapak tangannya yang menggerak-gerakkan sayap itu ternyata tidak dapat terbang, seakan-akan menempel di telapak tangan Khouw Sin Ek.

Tentu saja Un Kiong sangat tertarik dan dia menerima dengan gembira ketika orang tua itu mengangkatnya sebagai murid. Tapi Khouw Sin Ek tak ingin orang mengetahui bahwa dia menerima murid seorang putera kapten pengawal raja, maka dia pesan dengan keras kepada muridnya supaya tidak membocorkan rahasia ini.

Selain mempunyai kemauan kuat dan berbakat baik, ternyata Un Kiong juga berhati teguh sehingga terhadap orang tua sendiri pun ia tidak memberi-tahukan bahwa ia telah menjadi murid Sin chiu Taihiap Khouw Sin Ek yang mempunyai kepandaian sangat tinggi! Bahkan untuk menyembunyikan kepandaiannya, ia berpura-pura menjadi pemuda tolol!

“Begitulah maka Un Kiong menjadi muridku. Pertama karena ayahnya pernah monolongku dan kedua karena aku melihat dia mempunyai bakat yang baik.” Khouw Sin Ek menutup penuturannya. Kini giliran Tan Un Kiong menuturkan pengalamannya.

“Sebagai seorang keturunan prajurit sejati, ayah sangat mengutamakan kesetiaan kepada pemerintah. Dia memiliki pendirian bahwa betapa pun bentuk pemerintah yang diabdinya, seorang prajurit harus membelanya dengan setia, siap mengorbankan jiwa raganya. Aku tak dapat menyalahkan sikap ini yang menurut pendapatku betul juga. Karena itulah maka biar pun aku merasa bersimpati akan perjuangan para patriot bangsa, tapi sebagai putera seorang kapten barisan penjaga istana raja, aku tak berani berhubungan dengan mereka. Lagi pula, menurut pendapatku raja yang memerintah tidaklah demikian jahat seperti yang banyak disangka orang. Dia hanya terpengaruh oleh hasutan para durna yang jahat. Ayah sangat benci kepada para durna ini, teristimewa terhadap Co-thaikam yang pengaruhnya makin lama semakin besar. Ayah sangat sedih memikirkan keadaan kaisar.”

Demikian Un Kiong memulai penuturannya. Kemudian dia menceritakan bahwa ayahnya pernah berkata kepadanya tentang adanya bisikan bahwa Co-thaikam bermaksud hendak memberontak! Memang thaikam ini sudah mempengaruhi para pembesar tinggi sehingga kaisar seakan-akan terkurung.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar