Pendekar Rajawali Sakti eps 155 : Misteri Mayat Darah

SATU
"Ha ha ha...! Hi hi hi...!"

Malam Jum'at Kliwon. Di dalam Hutan Cagak Kemuning yang luas dan senantiasa diselimuti kesunyian, terdengar suara tawa berkepanjangan. Suara tawa itu terkadang melengking tinggi menyakitkan gendang telinga. Namun, tiba-tiba tawa itu berubah pelan, mirip rintihan seseorang yang sedang menangis. Tidak seorang pun yang tahu, apa yang sedang terjadi di hutan angker ini. Yang jelas, di sebuah dataran rendah berbatu licin terlihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan.

Melalui cahaya obor, samar-samar terlihat sosok berbaju biru berdiri tegak di atas sebongkah batu sebesar kerbau. Dia bukan hantu gentayangan atau setan penunggu hutan ini. Sebab, kedua kakinya yang terbungkus pakaian ringkas menginjak batu. Wajah orang ini tampak mengerikan. Banyak bekas guratan, sehingga tampak rusak. Bibir atasnya terbelah. Sedangkan bibir bawahnya nyaris copot, seperti tidak menempel pada daging.

Bila melihat matanya yang tanggal sebelah, orang pasti bergidik. Matanya yang sebelah itu tidak mempunyai kulit pelindung sama sekali. Sedangkan biji matanya melotot, seperti akan loncat dari dalam rongganya. Matanya yang mengerikan berwarna kuning kemerah-merahan dan tampak berkilat-kilat, terus memandang pada sebuah pendupaan yang menebarkan bau bangkai.

Di sebelah pendupaan terdapat sebuah kendi besar dari tanah liat. Sosok berpakaian serba biru tiba-tiba menyeringai. Matanya berpaling ke arah lain, tempat deretan sosok-sosok lain berbaju warna-warni yang entah hidup entah mati. Mereka terbaring di atas balok-balok kayu yang dijejer sedemikian rupa. Bagian bawah kepala mereka dilapisi daun-daun kering.

Sosok itu memandang sosok-sosok yang bergeletakan lebih lama. Kini mata yang cuma tinggal sebelah itu melotot menyeramkan dan berbinar-binar. Sekali lagi, seringai mengerikan menghias di bibirnya yang menggelambir.

"Ha ha ha...! Sekian tahun aku terpaksa mengasingkan diri di tempat ini. Ternyata, penantian dan usahaku tidak sia-sia. Kini aku memiliki anggota baru yang dapat dipercaya. Semua orang persilatan cepat atau lambat akan bertekuk lutut di bawah perintahku. Dan manusia yang bernama Danu Tirta, segera dapat merasakan kalau hidup ini tidak ubahnya seperti di neraka...!"

Terdengar suara erangan marah bercampur kebencian dari mulut laki laki berbaju biru tersebut. Tubuhnya yang tinggi semampai tiba-tiba saja berkelebat mendekati sosok-sosok yang seakan sedang tertidur lelap. Satu persatu, sosok mengerikan ini meneliti mereka yang tengah terbaring. Bibirnya yang nyaris tidak berbentuk kembali menyeringai.

"Delapan tahun aku menunggu. Delapan tahun dendam kesumat ini membeku. Sekarang, sudah tiba waktunya bagi Setan Perenggut Nyawa membuat kejutan bagi orang-orang rimba persilatan!" ujar laki laki itu dengan sebelah mata berbinar aneh.

Dengan langkah tegap, laki-laki berjuluk Setan Perenggut Nyawa kembali menghampiri kendi besar dari tanah. Lalu diambilnya sebuah batok kelapa berwarna hitam legam. Mulut laki-laki ini tampak berkomat kamit sebentar membacakan mantra-mantra yang tidak begitu jelas. Sekejap tubuhnya bergetar. Semakin lama, getaran tubuhnya semakin keras. Keringat mengalir deras membasahi wajahnya yang rusak. Setelah itu tanpa terduga, angin berhembus dari segala penjuru arah menuju dataran rendah tempat Setan Perenggut Nyawa berdiri tegak sambil memegangi batok kelapa.

"Ha ha ha...!"

Di tengah-tengah hembusan angin yang sangat kencang, kembali terdengar suara tawa serak menyeramkan yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Sehingga, tanah di sekitarnya kontan bergetar hebat. Bahkan sosok-sosok yang terbaring juga tampak bergetar. Namun anehnya, mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali. Angin terus berhembus. Bahkan suara petir mulai terdengar. Cahaya kilat menerangi wajah-wajah membeku yang terbaring dalam diam. Suara tawa Setan Perenggut Nyawa tiba-tiba saja lenyap.

"Para hantu penguasa kegelapan! Para setan penggoda manusia. Kabulkan apa yang menjadi kehendakku! Sekarang.... Sekarang juga...!" desis Setan Perenggut Nyawa dengan suara serak.

Batok kelapa di tangan Setan Perenggut Nyawa bergetar sesaat. Dan tiba-tiba saja dari atas pohon melesat seleret cahaya biru terang benderang menyambar batok kelapa di tangannya.

Splash!

"Aaakh!" Terdengar suara pekik tertahan.

Tersirat rasa keterkejutan di mata Setan Perenggut Nyawa. Tapi keterkejutannya hanya berlangsung beberapa saat saja. Tidak lama, wajahnya yang rusak tampak merah berseri-seri. Batok kelapa di tangan laki-laki berwajah buruk ini tidak lagi berwarna hitam, tapi telah menjadi merah semerah darah. Dengan tangan gemetaran kendi di tangan kanan segera dituang isinya. Ternyata, isi kendi itu adalah darah manusia. Setelah penuh terisi darah, batok kelapa di tangan diguncang-guncangkan sebentar.

Kemudian Setan Perenggut Nyawa berjalan menghampiri sosok-sosok tubuh yang terbaring diam di atas balok-balok kayu. Setan Perenggut Nyawa lalu menyiramkan darah yang ada dalam batok kelapa ke sekujur tubuh laki-laki dan perempuan yang berada di dekatnya. Dan kini, bibirnya tampak bergetar. Mulutnya mendesis-desis, seperti suara seekor ular buas.

"Ha ha ha...! Sekarang kalian telah menjadi para pembantuku yang paling setia. Bangkit...! Bangkitlah dari tidur panjang dan mimpi buruk! Bangkitlah atas nama penghuni kegelapan!" Suara Setan Perenggut Nyawa terus terdengar, mendesis-desis tidak ada henti.

Secara aneh, seiring bertambah kencangnya angin berhembus, satu demi satu orang-orang yang disiram dengan darah tadi bangkit berdiri. Tidak ada kata-kata yang terucap. Wajah-wajah pucat yang seakan tidak berdarah, tampak dingin. Tatapan mata mereka mengarah tajam pada laki-laki berbaju serba biru yang berdiri tegak di depan.

Bukan main gembiranya Setan Perenggut Nyawa melihat apa yang terjadi di depannya. Delapan tahun dia meredam dendam. Delapan tahun pula kitab 'Iblis Pembangkit' dipelajarinya. Dan ternyata apa yang dilakukannya memang tidak sia-sia.

"Dengarlah apa yang ingin kusampaikan pada kalian, wahai para pengikutku! Malam ini adalah malam yang paling bersejarah dalam hidupku, dan hidup kalian semua." Laki-laki berwajah buruk menyeramkan inimengawali ucapannya. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perasaan lega. "Aku adalah majikan kalian semua di sini. Kalian hidup dan berbangkit kembali dari tidur yang panjang, adalah karena kehendak para setan. Semua yang ada disini hanya boleh patuh kepadaku. Aku Setan Perenggut Nyawa, merupakan orang yang paling berhak atas segala-galanya. Mulai malam ini, kalian mempunyai tugas yang sangat mulia...!"

Tanpa melanjutkan ucapannya, Setan Perenggut Nyawa mendekati orang-orang di depannya. Laki-laki berwajah angker ini sempat mencium bau bunga kenanga ketika mendekatkan hidungnya ke bagian telinga laki-laki dan perempuan itu. Sejenak kemudian, mulai dibisikkannya sesuatu kepada mereka. Sementara orang-orang berwajah dingin tersebut tampak mengangguk-angguk. Mata yang semula redup, kini tampak bergerak-gerak liar.

"Bagus, kalau kalian semua sudah mengerti! Malam ini juga kalian sudah dapat melakukan tugas yang sangat mulia!" tegas Setan Perenggut Nyawa.

Lima orang laki-laki dan dua perempuan sama-sama menganggukkan kepala. Mereka berbalik arah dan terus berjalan menuju kegelapan malam.

Angin kencang berhenti berhembus. Sesekali tampak cahaya kilat membelah angkasa. Hujan turun rintik-rintik seperti menangisi bumi. Di kejauhan sana terdengar lolongan serigala hutan mendayu-dayu, mendirikan bulu roma. Laki-laki berwajah angker ini tampak menyeringai. Nyala obor semakin melemah, kemudian padam Sehingga, membuat suasana sekeliling lembah berubah menjadi gelap gulita.

***

Pagi-pagi sekali, penduduk Desa Sindang Sari sudah memenuhi sepanjang jalan yang akan dilalui Desa Adipati Blambangan yang merupakan penguasa di wilayah ini. Memang, Desa Sindang Sari masuk dalam Kadipaten Blambangan. Begitu semarak acara penyambutan ini. Umbul-umbul berwarna-warni telah dipasang di sepanjang jalan.

Tak lama menunggu, sebuah iring-iringan kereta kuda memasuki jalan utama desa ini. Di dalam kereta yang ditarik bga ekor kuda berbulu putih, duduk seorang laki-laki bertampang gagah. Bajunya serba ungu, memakai ikat kepala sebagaimana layaknya orang-orang rimba persilatan. Dialah Adipati Blambangan yang bernama Danu Tirta. Duduk di sebelah sang adipati adalah seorang wanita berkebaya. Usianya sekitar tiga puluh tahun, berwajah cantik. Istri Adipati Blambangan ini, bernama Dewi Seroja.

Sepintas lalu, sepasang suami isrti ini tampaknya memang merupakan pasangan yang pas. Hanya sangat disayangkan, sebelas tahun mereka menikah sampai saat itu belum juga dikaruniai seorang anak pun.

Sementara di belakang kereta kuda itu, tampak mengawal tiga orang penunggang kuda berbaju merah menyala. Sedangkan di bagian pinggang, terselip golok berukuran besar. Mereka ini sebenarnya orang-orang rimba persilatan yang dikenal sebagai, Tiga Pendekar Golok Bayangan. Kehadiran mereka di sini tak lepas dari jabatan sebagai pembantu utama adipati. Di samping, mereka juga kerabat dekat adipati itu sendiri. Di belakang tiga penunggang kuda ini, tampak mengiringi belasan prajurit pengawal, bersenjata tombak dan pedang di pinggang.

Saat iring-iringan Adipati Danu Tirta melewati orang-orang yang berderet di tepi jalan pekik sorak pun terdengar membahana. Orang-orang di sisi-sisi jalan melambai-lambaikan tangan penuh suka cita. Semua mengelu-elukan adipati yang bijaksana ini. Danu Tirta dan Dewi Seroja membalas lambai-lambaian tangan mereka tidak kalah hangatnya.

Dalam suasana kemeriahan itu, dua sosok tampak tengah memasuki sebuah kedai makan. Kedua anak muda berbaju kembang-kembang ini berwajah dingin. Tatapan mata mereka redup seakan tidak memiliki gairah hidup sama sekali. Dan mereka langsung saja mengambil tempat, tepat di pinggir pintu masuk.

Seorang laki-laki setengah baya yang ternyata pemilik kedai, langsung mendatangi. "Maaf, Kisanak dan Nisanak! Kedai sudah hampir tutup. Persediaan makanan telah habis," jelas laki-laki setengah baya sambil memperhatikan dua tamunya yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang wanita dengan kening berkerut.

Kedua anak muda yang duduk berdampingan itu saling pandang, lalu menatap ke arah si pemilik kedai. "Sisa makanan apa pun yang kau sediakan, kami akan menerimanya dengan senang hati!" kata gadis berbaju kembang-kembang dengan sikap acuh tak acuh.

"Tapi...!"

"Sediakan apa yang kami minta! Jangan banyak mulut, Pak Tua? Apa kau tuli?!" bentak pemuda di sebelah gadis itu.

Suaranya keras menggeledek, membuat pemilik kedai ini tersentak kaget. Dengan badan gemetar, laki-laki setengah baya ini segera berlalu untuk menyediakan apa yang dipesan kedua anak muda itu. Tidak lama kemudian pemilik warung datang kembali, membawakan makanan sisa. Semula, laki-laki setengah baya ini menduga akan di-damprat. Tapi, ternyata tidak. Pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang ini langsung menyantap hidangan. Hanya dalam waktu sekejap hidangan telah ludes tidak bersisa.

"Tambah lagi, Pak Tua!" pinta pemuda ini, dengan sikap acuh.

Laki-laki setengah baya itu tercekat. Hidangan yang disajikannya sesungguhnya cukup untuk di santap empat orang. Tapi, sungguh aneh! Gadis dan pemuda berbaju kembang-kembang ini sanggup menghabiskannya. Bahkan minta tambah lagi!

"Persediaan sudah habis Kisanak," tegas laki-laki setengah baya pemilik kedai yang dikenal sebagai Ki Rungkut.

Pemuda dan gadis itu saling berpandang kembali. Raut wajah mereka jelas tampak berubah ubah. "Hm...!" gumam gadis berbaju kembang-kembang tidak jelas. "Aku tidak mau tahu makanan di kedai yang bau busuk ini sudah habis atau masih numpuk. Kuminta, sediakan apa yang kami minta!" dengus pemuda itu menggeram marah.

"Apa yang mau kami hidangkan, bila makanan di kedai ini sudah tidak bersisa sedikit pun?" sahut Ki Rungkut seperti bertanya sendiri lalu berjalan ke ambang pintu.

Laki-laki ini kemudian memberi isyarat pada beberapa orang pemuda yang kebetulan memang sedang berbicang-bincang di sudut kedai. Mengetahui arti isyarat Ki Rungkut, tiga orang pemuda langsung menghampiri. Namun baru saja mereka tiba di depan kedua anak muda ini....

"Jika ingin mencari selamat, jangan campuri urusan orang lain!" Sambil tertawa mengikik, gadis di sebelah pemuda itu menggumam. Suaranya yang hampir tak terdengar, dikeluarkan tanpa menoleh sedikit pun.

"Siapa kalian? Dan, mengapa kalian, membuat onar di sini!" dengus salah seorang dari ketiga pemuda itu, marah.

Namun tanpa bicara apa-apa, gadis berbaju kembang-kembang langsung menggerakkan tangannya ke bagian perut pemuda yang menegurnya. Gerakannya cepat bukan main. Dan...

Bret!

"Aaa...!" Tahu tahu saja pemuda itu berteriak kesakitan. Tubuhnya mengejang dengan mata melotot. Dari bagian perutnya menyembur darah. Di lain kesempatan tubuh pemuda malang itu jatuh ke lantai. Mati.

Ki Rungkut dan dua pemuda lainnya tampak terkesiap melihat kawannya dalam keadaan mengenaskan sedemikian rupa.

"Brata...!" Dengan suara serak, Ki Rungkut dan dua pemuda itu menyebut nama pemuda yang barusan tewas menyedihkan.

Mereka langsung melihat tangan berlumuran darah milik gadis itu. Tampak di telapak tangan kanan gadis itu terdapat serpihan kulit bercampur daging perut. Mereka segera sadar kalau gadis ini telah membetot lambung Brata. Kedua pemuda teman Brata ini marah bukan main melihat kekejian gadis itu. Maka seketika itu pula mereka mencabut belati dari pinggang masing-masing. Dengan senjata terhunus di tangan, diserangnya pemuda dan gadis yang masih tetap duduk di tempatnya.

Wut!

"Uts!" Dengan gerakan indah, kedua anak muda yang tengah duduk itu memiringkan tubuhnya, menghindari terjangan pisau. Selanjutnya tanpa menoleh, tangan kiri mereka menghantam ke belakang.

Wus!

"Aaa...!" Kedua pemuda yang berbaju putih itu kontan terpelanting menabrak meja di belakang, begitu dua sambaran tangan telak menghantam tubuh mereka.

Ki Rungkut kontan tercekat. Wajahnya berubah pucat seperti mayat ketika melihat dua pemuda yang dikenalnya tewas secara menyedihkan dengan perut koyak. Laki-laki tua ini terdiam di tempatnya tanpa dapat berkata apa-apa. Terlebih-lebih, setelah melihat mayat pemuda di depannya dalam keadaan perut terkoyak berlumuran darah.

Sementara itu pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang ini hanya menyeringai kejam. Mereka bangkit berdiri. Sedangkan di pintu kedai telah didatangi orang-orang yang sempat mendengar jeritan dua pemuda tadi.

"Minggir kalian semua!" teriak sebuah suara.

Ketika mereka menoleh ke arah pintu, di sana telah berdiri tiga orang laki-laki berbaju merah dan berwajah angker penuh wibawa. Melihat siapa yang datang, Ki Rungkut tergopoh-gopoh datang menghampir. Namun...

"Manusia tidak tahu diri! Mampus...!"

Langkah Ki Rungkut seakan tertahan ketika terdengar bentakan keras dari belakangnya, disertai menderunya angin kencang menebarkan angin dingin menusuk tulang. Angin kencang laksana topan ini menderu, dan langsung menghamtam punggung Ki Rungkut.

Splash...!

"Aaa...!" Ki Rungkut kontan tersungkur ke depan, dan tewas seketika dengan tubuh hangus! Sementara, kedua anak muda tadi terus mengumbar pukulan jarak jauhnya. Akibatnya, kembali meluruk angin dingin ke arah orang-orang yang berkumpul dekat pintu.

"Awas...!" Tiga laki laki berbaju merah yang baru datang berteriak memperingati. Dan seketika itu pula mereka langsung melompat ke samping kiri mencari selamat.

"Aaa...!"

"Aaakh...!"

Kembali terdengar teriakan mengerikan. Orang-orang di depan kedai rupanya terhantam angin pukulan yang dilepaskan pemuda berbaju kembang-kembang.

Tiga laki-laki berbaju merah yang ternyata adalah Tiga Pendekar Golok Terbang tampak terkesiap kaget. Mata mereka terbelalak lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang terlihat. Tadi, ketiga pendekar pengiring Adipati Danu Tirta ini memang sempat mendengar teriakan. Dan atas persetujuan adipati, mereka langsung mendatangi kedai milik Ki Rungkut itu.

***
DUA
"Manusia-manusia keji!" bentak laki-laki bercambang lebat ini, salah seorang dari Tiga Pendekar Golok Terbang yang paling tua. Namanya, Wisesa.

Sementara itu gadis dan pemuda baju kembang-kembang ini hanya tersenyum. Wajah mereka yang dingin menyimpan maut, tampak tegak menantang. "Kalian manusia baju merah! Menyingkir dari hadapan kami kalau tidak ingin menerima nasib yang sama!" perintah gadis berbaju kembang-kembang, seperti meremehkan. Kedua anak muda ini sudah berdiri, dan hendak melangkah. Tapi....

"Setelah membunuh orang-orang tidak berdosa di wilayah kekuasaan Adipati Blambangan, kalian kira dapat pergi dari tempat ini begitu saja?!" dengus Wisesa, menghalangi langkah kedua orang asing ini.

"Kalau kami mau pergi, tidak seorang pun yang dapat menghalangi! Tidak peduli adipati ataupun raja sekalipun!"

"Witara, dan kau Permana! Kurung mereka!" teriak Wisesa memberi perintah pada dua adik seperguruannya.

Tanpa diperintah dua kali, Witara dan Permana segera mengepung pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang. Tapi sungguh mengherankan, kedua anak muda ini tampak tenang-tenang saja. Sedikit pun mereka tidak memperlihatkan sikap gentar.

"Majulah kalau kalian benar-benar ingin konyol!" dengus gadis di sebelah pemuda baju kembang-kembang.

"Kurang ajar!" maki Wisesa. "Hiyaaa...!"

Belum sempat Wisesa melakukan serangan, Witara sudah menerjang ke depan. Menyadari lawannya sangat berbahaya, langsung dilepaskannya pukulan 'Tinju Geledek', yang selama ini memang tidak pernah diragukan kehebatannya. Maka seketika seleret sinar warna merah, kuning, dan hitam menderu dahsyat menghantam pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang.

Kedua muda-mudi ini hanya menggumam tidak jelas. Namun laksana kilat, sambil berkelit ke kanan dan kiri, mereka jentikkan jemari tangan. Wus! Saat itu juga seleret sinar hitam pekat disertai gelombang angin dingin melesat dari ujung jemari kedua muda mudi ini, melabrak pukulan menebar hawa panas yang dilepaskan Witara.

"Gila! Ups...!"

Glar!

Satu ledakan keras menggelegar terdengar, membuat orang-orang yang ikut menyaksikan adu kedigdayaan itu berlari cerai berai menyelamatkan diri. Bahkan bangunan kedai ini sampai terguncang keras. Perabotan-perabotan di dalamnya hancur berantakan. Sementara itu tubuh Witara tergetar. Dadanya terasa sesak dan sangat sulit bernapas.

Sementara kedua orang asing itu hanya terhuyung-huyung sambil memegangi dada. Melihat kenyataan ini, Wisesa dan Permana segera menyerbu. Tubuh mereka berkelebat laksana bayang-bayang saja.

Sret!

"Hiya! Hiyaaa...!"

Golok besar di tangan dua dari Tiga Pendekar Tolok Terbang menderu deru menimbulkan angin kencang bersiuran. Itulah jurus 'Golok Pengusir Iblis', salah satu jurus terhebat yang dimiliki Tiga Pendekar Golok Terbang.

Sebaliknya, kedua anak muda itu mempergunakan jurus-jurus tangan kosong yang tidak kalah hebatnya. Dan mereka terus menghindari sebab datangnya serangan yang sangat mematikan. Terkadang dengan gerakan sangat ringan dan gesit mereka melancarkan serangan balasan mempergunakan jemari tangan terpentang yang berwarna hitam, mengandung racun keji.

Semakin lama, pertempuran semakin menghebat. Ketika Wirata ikut bergabung membantu saudara seperguruannya, maka hanya dalam waktu singkat pemuda dan gadis baju kembang-kembang itu sudah tidak dapat lagi melepaskan pukulan pukulan mautnya.

"Cecar! Bunuh...!" teriak Wisesa seperti orang kesetanan.

Golok di tangan Tiga Pendekar Golok Terbang menderu-deru laksana terbang. Bayangan merah dan bayangan putih tampak terus berkelebat, menyambar, menyodok, atau menebas ke batang leher dua orang asing ini.

Pemuda dan gadis baju kembang-kembang terpaksa hanya berkelit menghindar. Namun pada satu kesempatan mereka melepaskan tendangan menggeledek ke arah Wisesa dan Permana. Kedua laki-laki berumur empat puluh tahun ini terpaksa menarik balik serangannya. Lalu sambil melompat ke depan, mereka menebaskan golok ke bagian kaki kedua lawannya masing-masing.

"Hiyaaa...!" Pemuda yang mendapat serangan golok Wisesa sama sekali tidak menduga akan mendapat serangan balik begitu rupa. Cepat bagai kilat, kakinya ditarik dengan gugup. Tapi gerakannya kalah cepat.

Cres!

Aneh! Ketika kaki pemuda baju kembang-kembang itu putus terbabat senjata Wisesa, sama sekali tidak terdengar jerit kesakitan. Sambil menyeringai pemuda itu bertarung dengan terpincang-pincang. Sedangkan gadis yang sedang menghadapi serangan gencar Witara, tampak berteriak marah. Bahkan dia hendak melepaskan pukulan 'Racun Perenggut Nyawa'. Tapi sebelum tangannya sempat bergerak, golok di tangan Witara berkelebat menyambar.

Wus! Cres!

"Hugkh...! Terdengar keluhan pendek, saat tangan kanan gadis baju kembang-kembang ini jatuh ke lantai.

"Heh?!" Witara dan dua saudara seperguruannya tampak memekik kaget. Bagaimana tidak. Darah yang mengalir dari luka di pangkal lengan gadis itu bukannya berwarna merah, tapi berwarna hitam pekat. Bahkan menebarkan bau busuk seperti bangkai.

"Hap...!" Kini gadis dan pemuda baju kembang-kembang yang dalam keadaan terluka ini menerjang ke arah Tiga Pendekar Golok Terbang. Namun serangan-serangan yang dilakukan tak segencar tadi.

"Bunuh manusia setan ini!" kembali Wisesa memberi perintah.

Golok besar Wisesa berkelebat ke arah gadis berbaju kembang-kembang. Bersamaan dengan itu, dari arah lain menderu pula senjata yang sama membabat punggung dan dada pemuda asing ini. Gerakan Witara dan Permana cepat bukan main. Sehingga, pemuda baju kembang-kembang sudah tidak punya kesempatan menghindar. Dan dia hanya mampu menangkis dengan tangannya. Akibatnya...

Cres!

"Aaa...!" Pemuda baju kembang-kembang melolong begitu tangannya buntung terbabat golok Wisesa. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, dadanya telah robek disambar golok Permana. Cairan yang hitam berbau busuk mengucur membasahi bajunya. Lalu tubuhnya jatuh terduduk, dan ambruk tidak berkutik lagi.

Bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan gadis baju kembang-kembang yang ambruk terkapar. Tubuhnya nyaris terpotong-potong. Dia berkelojotan sebelum dijemput ajal. Matanya melotot, seperti mau melompat keluar. Tidak lama, terdiam untuk selama-lamanya.

"Hei... lihat...!" desis Wisesa, saat melihat perubahan yang terjadi pada mayat di depannya.

Kedua mayat itu ternyata hanya dalam waktu sangat singkat telah berubah menyusut dan membusuk. Lalu, tercium bau busuk yang demikian menusuk. Seketika meremang bulu kuduk Tiga Pendekar Golok Terbang, melihat kenyataan yang tidak pernah diduga sama sekali!

"Mayat hidup! Jadi kita telah bertarung melawan mayat hidup?" sentak Permana dengan mulut ternganga lebar.

"Kita harus melaporkan kejadian yang sangat aneh ini pada adipati...!" ujar Wisesa.

"Mari!" timpal Witara. Dengan tergesa-gesa, mereka meninggalkan kedai yang porak-poranda. Dan hanya dalam waktu singkat, kejadian menggemparkan itu tersebar ke mana-mana.

***

Seekor kuda berbulu hitam berlari cepat laksana kilat ke arah utara. Di atas punggungnya terlihat seorang pemuda gagah berompi putih. Sesekali terdengar teriakannya sambil menggebah kuda tunggangannya. Pemuda menyandang pedang bergagang kepala burung di punggung itu tidak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan kuda tunggangannya yang berbulu hitam sudah pasti Dewa Bayu.

Melihat arah yang ditempuh, tampak Pendekar Rajawali Sakti memang sedang menuju Kadipaten Blambangan. Menurut kabar yang didengar, suasana Kadipaten Blambangan yang biasanya aman tenteram, sekarang memang sedang dalam keadaan kisruh. Bahkan boleh dibilang terancam oleh terjadinya pembunuhan di mana-mana. Sudah sangat banyak korban yang berjatuhan. Bahkan Rangga pun sempat mendengar kalau keluarga dekat Adipati Danu Tirta juga tidak luput menjadi sasaran.

Kenyataan ini membuatnya jadi penasaran mengingat, dia sendiri kenal baik Adipati Blambangan. Hanya saja, sampai saat ini tidak jelas, siapa pembunuh terselubung teka-teki itu. Yang jelas menurut kabar, sejak kejadian di Desa Sindang Sari, di mana Tiga Pendekar Golok Terbang yang menjadi pengiring adipati, telah berhasil menangkap sekaligus membunuh dua orang pembuat onar. Dan ternyata, kedua orang itu berupa mayat hidup! Mungkinkah ada mayat-mayat hidup lain yang hendak membalas dendam?

"Aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan sepak terjang mayat-mayat hidup yang membunuhi orang tak berdosa itu," kata Rangga dalam hati. "Eeeh..., apakah yang terjadi di depan sana?"

Pendekar Rajawali Sakti melihat burung-burung gagak dalam jumlah besar tampak terbang rendah menyambar-nyambar ke arah benda-benda berwarna hitam yang terdapat di bawahnya. Merasa heran, Rangga langsung menggebah Dewa Bayu lebih cepat lagi. Kuda itu pun melesat laksana kilat. Tak heran kalau dalam waktu singkat, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat yang dicurigai.

"Hooop...!" Rangga berseru keras sambil menarik tali kekangnya. Maka kuda yang ditungganginya berhenti tiba-tiba. Tapi mata pemuda berwajah tampan berompi putih ini langsung terpentang lebar, ketika melihat benda hitam yang dilihatnya dari kejauhan tadi ternyata mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan hangus seperti terbakar.

"Aneh! Tidak ada kebakaran! Apa yang terjadi dengan orang-orang ini?" desis Rangga heran.

Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat dari punggung kudanya. Langsung dihampirinya mayat-mayat itu. Sejenak ditelitinya keadaan mayat yang bergeletakan. Tapi, dia tidak menemukan tanda-tanda mencurigakan. Memang di sekitar mayat seperti pernah terjadi pertempuran. Mungkin waktu telah berlalu dua atau tiga hari. Tapi, sungguh aneh?! Mengapa mayat-mayat itu demikian rusaknya?

"Mereka tewas karena racun yang sangat keji. Dan rasanya, pukulan beracun seperti ini belum pernah kutemui dalam waktu-waktu sebelumnya," kata Rangga bergumam sendiri.

Sejenak Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan suasana sekelilingnya. Matahari senja hanya meninggalkan semburat merah saja. Tentu sebentar lagi hari akan berubah gelap. Sedangkan letak Kadipaten Blambangan masih jauh lagi. Karena tidak menemukan apa-apa di situ, Rangga memutuskan untuk melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.

Kini Pendekar Rajawali Sakti mendekati Dewa Bayu. Diusap-usapnya tengkuk binatang itu sebentar. Di lain saat, Rangga telah berada di atas punggung kudanya. Dewa Bayu digebah perlahan, menuju utara. Belum lagi jauh Rangga menggebah kudanya, terdengar teriakan-teriakan perempuan meminta tolong.

Saat itu kegelapan mulai menyelimuti alam sekitarnya. Dengan tergesa-gesa, pemuda ini menghentikan kudanya. Setelah memperhatikan suasana sekelilingnya namun tidak juga melihat tanda-tanda mencurigakan, Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra', yang digabung dengan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dengan demikian Rangga dapat melihat dan mendengar pada jarak yang cukup jauh dan tersembunyi.

Mata Pendekar Rajawali Sakti bergerak liarmencari-cari. Sampai akhirnya, di sebuah kerimbunan semak belukar matanya melihat seorang laki-laki sedang berusaha memperkosa seorang gadis yang nyaris telanjang. Bibir Rangga langsung mengatup rapat. Kudanya segera dipacu ke arah tempat kejadian yang menjijikkan itu. Semakin dekat dirinya dengan tempat kejadian, semakin bertambah jelas teriakan minta tolong.

"He he he...! Walaupun kau menjerit setinggi langit, tidak seorang pun yang dapat mendengar jeritanmu! Tidak ada manusia di sekitar tempat ini, kecuali kita berdua!" dengus laki-laki bertampang angker itu sambil menjatuhkan ciuman bertubi-tubi ke bagian dada perempuan yang tampak semakin tidak berdaya ini! "Sekarang, sudah tiba saatnya bagi kita bersenang-senang!"

Tampaknya, sekejap lagi gadis malang itu segera akan kehilangan segala-galanya. Namun tiba-tiba saja berkelebat sosok bayangan putih menyambar punggung laki-laki bertampang angker ini.

Duk!

"Hugkh...!" Laki-laki itu menjerit kesakitan ketika satu tendangan keras menghantam punggungnya. Tubuhnya kontan terjengkang.

Sementara, gadis yang merasa terbebas dari laki-laki yang bermaksud menodainya itu segera bangkit berdiri. Setelah membenahi pakaiannya yang awut-awutan, segera dia menghambur dan memeluk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

"Menepilah, Nisanak...!" ujar Rangga sambil melepaskan pelukan gadis itu.

"Kurang ajar! Siapa kau?!" bentak laki-laki berbaju kembang-kembang ini dengan wajah beringas.

Rangga tersenyum. Tatapan matanya yang tajam menusuk, jelas-jelas menyimpan kejijikan terhadap laki-laki bercambang dan berkumis tebal yang berdiri bertolak pinggang di depannya. "Aku Rangga! Selamanya, aku tidak suka melihat tindakan menjijikkan di depan mataku!" sahut Rangga dingin berwibawa.

"Bangsat! Kau jangan mencoba-coba mencampuri urusan Gagak Merah jika tidak ingin mencari mati! Menyingkir! Dan, kembalikan gadis itu jika ingin selamat!" perintah laki-laki yang mengaku bernama Gagak Merah berapi-api.

Rangga hanya tersenyum. Kepalanya lantas berpaling pada gadis yang berdiri ketakutan di belakangnya. Ketika mata mereka saling bertemu, Rangga merasa hatinya jadi tidak enak. Seperti ada sesuatu yang terasa, namun Rangga tidak tahu apa penyebabnya.

"Bagaimana, Nisanak? Apakah kau mau dengan laki-laki muka monyet yang hampir memperkosamu?" tanya Rangga.

"Cih! Siapa sudi!" dengus gadis itu seraya memalingkan mukanya ke arah lain.

Rangga kembali berpaling pada laki-laki di depannya "Nah! Apakah kau dengar kalau dia tidak mau bersamamu?" ejek Rangga, sinis.

"Hm. Semua ini gara-gara kelancanganmu! Kau harus menyerahkan nyawa, karena telah mencampuri urusanku!" teriak Gagak Merah.

Tanpa memberi kesempatan lagi, Gagak Merah langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Satu serangan yang begitu cepat datangnya menderu menghantam dada dan bagian perut.

Sambil membentak keras pemuda berompi putih ini melesat ke udara. Begitu tubuhnya melesat turun ke bawah, Pendekar Rajawali Sakti telah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Mengejar Mangsa'. Kaki kanannya menendang bagian kepala.

Gagak Merah tercekat. Sama sekali tidak diduga dalam keadaan meluncur turun, pemuda itu sempat melepaskan tendangan dahsyat sedemikian rupa. Untuk menyelamatkan kepalanya dari kehancuran, terpaksa tangannya ditarik pulang. Dan dia langsung menjatuhkan diri sambil terus bergulingan menghindari serangan pemuda berompi putih ini.

"Bangsat terkutuk!" maki Gagak Merah. Laki-laki berwajah angker ini bangkit berdiri. Tatapan matanya yang redup seakan tidak bergairah memandang tajam pada Rangga. Dan orang yang dipandang hanya mendengus. "Hiyaaa...!"

Mendadak saja Gagak Merah merentangkan kedua tangannya di depan dada. Selanjutnya dengan jurus-jurus tidak menentu, dia menggebrak Rangga. Tubuh laki-laki bertampang angker ini melompat ke depan, melepaskan satu tendangan ganas.

Rangga sempat terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat serangan lawan yang tidak teratur dan cepat bukan main. Celakanya lagi, serangan-serangan gencar yang menebarkan angin dingin itu selalu terarah pada bagian bagian tubuh yang mematikan.

Di satu kesempatan, Gagak Merah berusaha mencengkeram bagian lambung Rangga. Sedangkan tangan kiri mengincar bagian mata. Serangan kilat yang dilakukan dalam waktu bersamaan ini, memang sangat sulit dihindari. Maka demi menyelamatkan diri, dengan penuh keyakinan Rangga menghantamkan tinju kanannya. Sedangkan kaki kanan menderu ke arah bagian selangkangan.

Buk! Des! Plak!

"Hup!" Rangga menggeram keras. Tangan kanannya yang membentur jemari tangan Gagak Merah terasa dingin dan bergetar. Bahkan jalan darahnya terasa sempat tersendat. Untung saja tubuhnya tak sampai terhuyung-huyung, karena dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti sudah dapat memperbaiki keseimbangannya.

"Hebat!" puji Gagak Merah. Laki-laki ini tampaknya dalam keadaan biasa-biasa saja. Seakan dia tidak merasakan akibat apa-apa dari pertemuan tenaga dalam tadi. Bahkan sekarang telah melancarkan serangan ganas kembali.

Rangga cepat melompat mundur tiga langkah. Kaki kanannya digeser ke samping satu langkah. Selanjutnya sambil berteriak nyaring, dikerahkannya jurus 'Seribu Rajawali' Tubuh Pendekar Rajawali Sakti sekarang berkelebat cepat bagai tiupan angin topan. Bahkan tubuhnya seakan berubah menjadi banyak ketika mengitari lawannya.

Hanya dalam waktu singkat, Gagak Merah merasa seperti kebingungan. Setiap tendangan maupun pukulan beruntun yang dilepaskannya selalu mengenai bayangan semu dari Pendekar Rajawali Sakti. Maka, semakin bertambah murkalah laki-laki bertampang dingin ini. Bahkan kini tenaga dalamnya mulai dikerahkan untuk melepaskan pukulan andalan 'Bayangan Perenggut Nyawa'.

Begitu Gagak Merah mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian telapak tangan, hanya dalam waktu sekejap kedua telapak tangannya yang terpentang telah berubah hitam pekat seperti arang. Kemudian tercium bau busuk bercampur amis darah yang sangat menusuk.

Rangga segera menyadari kalau laki-laki di depannya hendak melepaskan pukulan yang sangat keji. Maka tanpa menunggu lagi, Pendekar Rajawali Sakti juga bersiap-siap melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sambil membuat gerakan bagai kepakan sayap rajawali. Rangga mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangannya.

***
TIGA
Hanya dalam waktu yang sangat singkat kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti telah berubah memerah laksana bara. Gagak Merah terkesiap. Mulutnya menggumam tidak jelas. Sementara di belakang Rangga terdengar seruan kaget gadis yang ditolongnya. Gagak Merah kini sudah menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan 'Bayangan Perenggut Nyawa' ke arah Rangga. Seketika seleret warna hitam pekat menimbulkan hawa dingin membeku kan bergulung-gulung.

Kening Rangga berkerut tajam saat merasakan betapa dinginnya angin pukulan yang menderu ke arahnya. Maka tanpa membuang waktu lagi, kedua tangannya dihentakkan ke depan. Wus! Saat itu juga meluruk sinar merah berhawa panas menghabuskan, menyongsong pukulan yang dilepaskan Gagak Merah. Dan....

Glar!

"Aaa...!"

Dua kali ledakan berturut-turut terasa meng-guncang tempat di sekitar pertempuran yang disertai jerit kematian. Tampak dua sosok tubuh terhempas. Yang satu memakai baju kembang-kembang. Sedangkan yang satunya lagi tidak lain dari pemuda berompi putih. Pohon-pohon di sekitar tempat ini yang terkena sambaran pukulan dahsyat bertumbangan. Daun-daun berguguran.

Rangga merasa dadanya seperti pecah. Kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut. Dengan pandangan nanar, Pendekar Rajawali Sakti berusaha bangkit berdiri. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk mengusir kunang kunang yang seakan bermain di depan matanya. Ketika melihat ke depan, lawannya yang mengaku berjuluk Gagak Merah telah dalam keadaan hangus. Mati.

Namun belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, dari arah samping kiri terdengar suara angin menderu. Rangga terperangah. Cepat kepalanya berpaling ke arah datangnya suara mencurigakan tadi. Ternyata satu jotosan hendak menghantam wajahnya. Tak sempat lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghindar. Dan....

Buk!

"Akh...!" Rangga kontan jatuh terguling-guling begitu satu pukulan telak mendarat di wajahnya. Darah mengucur dari sela-sela bibirnya. Wajah pemuda itu tampak bengkak membiru.

"Hi hi hi...! Mampuslah kau, Pemuda Tolol!" Terdengar suara perempuan mengikik.

Sementara dengan tubuh terhuyung-huyung, Rangga bangkit berdiri. Dan saat menoleh ke arah penyerangnya, Pendekar Rajawali Sakti kontan terkejut. "Kau...!"

"Hi hi hi...! Memang akulah orangnya, Kisanak. Melihat pukulan yang kau lepaskan tadi, rasanya dugaanku tidak salah, pasti kaulah orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti!" dengus gadis berbaju kembang-kembang yang tadi telah ditolong Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapakah kau yang sebenarnya?" tanya Rangga, dingin. Tangannya telah terkepal menahan kemarahan.

"Hm. Apa perlunya menanyakan aku! Coba perhatikan bajuku, Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau tidak dapat melihat kesamaan antara aku dengan orang yang kau bunuh?" dengus gadis itu tersenyum mengejek.

Mata Rangga membulat lebar. Di bawah cahaya bulan purnama, dengan jelas terlihat baju kembang-kembang yang dipakai gadis ini. "Jadi, kau sebenarnya kawan manusia bangsat itu?" Rangga menggeram marah.

"Memang," sahut gadis itu, enteng.

"Kau dengan sengaja menjebakku! Mengapa?" sentak Rangga. semakin jengkel.

"Kami hanya menjalankan tugas dan orang yang sangat kami hormati. Dan kau tidak layak bertanya!" kata gadis ini keras, hingga membuat wajah Rangga semakin memerah.

"Perempuan biadab!" desis Rangga. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mulai curiga pada gadis berbaju kembang-kembang ini. Jika ada yang menyuruh gadis di depannya, pastilah orang itu adalah tokoh sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Hal itu terbukti, Gagak Merah yang telah menjadi mayat, hanya dalam waktu singkat telah menjadi bangkai busuk. Tidak ada orang mati berubah membusuk dalam waktu singkat. Paling tidak, kabar yang diterima Rangga terbukti. Jadi, Gagak Merah dan gadis ini adalah mayat hidup!

"Yeaaah...!"

Belum sempat tuntas apa yang dipikirkan Rangga, gadis berbaju kembang-kembang ini membentak keras, kembali melancarkan serangan.

"Uts...!" Rangga berkelit dengan melompat ke kanan, menghindari satu pukulan maut yang dilepaskan gadis itu.

Sring!

Rangga tidak ingin membuang-buang waktu lagi, langsung Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya. Saat itu juga cahaya biru berkilau memendar. Dan laksana kilat, senjata maut Pendekar Rajawali Sakti dikibaskan ke arah gadis itu, yang saat ini tengah mendesaknya.

"Yeaaah...!"

"Iiih...!" Gadis baju kembang-kembang yang hanya mengandalkan tangan kosong ini terpaksa menarik balik serangannya.

Dan pada saat yang sama, Pedang Pusaka Rajawali Sakti menyodok perut. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti tampak cepat bukan main. Terpaksa gadis itu bersalto ke belakang menyelamatkan diri. Rangga terus memburu. Namun, langkahnya langsung tertahan begitu melihat lawannya melepaskan satu pukulan jarak jauh. Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya.

Maka dalam waktu singkat, tubuh pemuda itu telah terbungkus sinar biru berkilauan dari pedangnya. Sementara, pukulan jarak jauh dari gadis itu terus meluruk, menghantam sinar biru yang melindungi Rangga.

Des!

"Heh?!" Pukulan 'Bayang Perenggut Nyawa' yang dilepaskan gadis baju kembang-kembang ini rupanya tidak sanggup menembus perisai yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti.

Belum hilang keterkejutan gadis ini, Rangga telah berteriak nyaring dengan tubuh meluruk keras ke arahnya. Pedang di tangannya berkelebat menyambar, hingga membuat mata perih. "Hiyaaa...!"

"Heh...?!" Gadis baju kembang-kembang terkejut setengah mati, melihat tidak ada kesempatan untuk berkelit atau menyelamatkan diri. Dan...

Cras!

"Aaa...!" Diiringi satu jeritan melengking tinggi, gadis berbaju kembang-kembang mengejang kaku begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti menyambar perutnya. Begitu tubuhnya ambruk, gadis itu menggelepar-gelepar sesaat. Lalu diam, tak berkutik lagi.

Trek!

"Hm," gumam Rangga tidak jelas. Untuk yang kedua kalinya, Pendekar Rajawali Sakti kembali menyaksikan satu keanehan yang sungguh-sungguh membuatnya heran. Dari luka di perut gadis baju kembang-kembang itu mengeluarkan cairan berwarna hitam. Bukan merah seperti darah. Kemudian tubuh itu membusuk cepat dan tampak menyusut, menimbulkan kerut merut di sana-sini. Bau busuk bangkai menebar, menyengat hidung.

Rangga merasa perutnya mual hendak muntah. Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti memutar langkahnya, menghampiri kuda tunggangannya yang sedang merumput di bawah sebatang pohon rindang. Kemudian dia melompat naik ke punggung Dewa Bayu.

"Mari, Dewa Bayu! Kita tinggalkan tempat ini secepatnya!" Rangga menggebah Dewa Bayu. Dalam kegelapan malam kuda berbulu hitam pekat itu berlari cepat menuju Kadipaten Blambangan.

***

Kediaman Adipati Danu Tirta yang memang besar dan mewah, pada malam hari selalu dijaga ketat oleh para pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Terlebih-lebih setelah beberapa anggota keluarganya tewas terbunuh di tangan orang-orang yang tidak dikenal. Adipati Danu Tirta memang sengaja melipat-gandakan penjagaan. Selain bertujuan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diingini, juga demi keselamatan seluruh keluarganya. Malam ini beberapa pengawal kadipaten sedang duduk duduk di balik tembok tinggi, di belakang pintu utama istana kadipaten. Dan tiba-tiba, mereka mendengar derap langkah kuda mendekat.

"Siaga semuanya!" perintah pengawal utama. Laki-laki berbadan tegap itu bangkit dari tempatnya. Melalui sebuah lubang, dia mengintip keluar.

Pada saat yang sama, seorang pemuda berompi putih tampak menghentikan kuda tunggangannya, tepat di depan pintu utama yang dalam keadaan tertutup rapat. "Hm. Dugaanku ternyata tidak meleset! Paman Adipati sekarang benar-benar meningkatkan penjagaan! Bagaimana aku harus menghubungi pengawal? Tidak seorang pun terlihat dari sini!" gumam pemuda itu pelan.

"Siapa di luar?" tanya laki-laki yang berpangkat pengawal kepala, setelah mendengar gumaman pemuda itu.

"Pengawal! Tolong bukakan pintu!"

Pengawal itu menjadi jengkel, karena pertanyaannya tidak dijawab. "Pintu ini tertutup untuk orang luar yang tidak dikenal. Terkecuali, mau menyebutkan nama atau gelar, dan tujuan datang kemari malam-malam begini!" sahut pengawal itu.

"Aku Rangga! Paman Danu Tirta adalah sahabat baikku! Aku ingin bertemu, dan membicarakan persoalan yang sangat penting dengannya!" sahut pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalau begitu, tunggu dulu di situ. Aku akan memberitahu adipati, apakah beliau kenal, denganmu atau tidak!"

"Diamput!" maki Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti mendengar langkah pengawal menjauh. Tidak lama Rangga menunggu. Sebentar saja, telinganya mendengar langkah kaki mendekati pintu.

"Kau beruntung! Ternyata adipati memang mengenalmu!" kata pengawal kepala tadi, setelah tiba di dekat pintu.

Pintu Gerbang terbuka. Tampak seorang laki-laki berbaju pengawal muncul di ambang pintu. Dengan tergesa-gesa Rangga menggebah kudanya. Ke arah sebuah pohon. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari atas punggung kudanya. Setelah menambatkan kudanya di bawah pohon rindang ini, Rangga berbalik. Dan persis di depan pintu pemuda itu melihat seorang laki-laki berbaju putih berkumis tipis tengah menunggunya dengan sikap tidak sabar.

"Maaf, Paman! Aku datang agak terlambat!" ucap Rangga seraya menjura dalam-dalam.

Adipati Danu Tirta tersenyum ramah. Namun di mata Rangga, senyum itu terasa dipaksakan. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti melihat wajah adipati ini tampak menyimpan gundah.

"Masuklah, Rangga! Sudah lama aku menunggu kedatanganmu!" ujar laki-laki setengah baya ini, mempersilakan.

Dengan diikuti Pendekar Rajawali Sakti, Adipati Danu Tirta melangkah menuju ruangan tamu. Suasana di dalam ruangan ini cukup sunyi. Sementara di luar sana, beberapa orang pengawal tampak hilir mudik melakukan tugasnya.

"Sudah lama kita tidak bertemu, Rangga! Mimpi-mimpi itulah yang mempertemukan kita! Hingga akhirnya, malam ini kita dapat bertemu muka secara langsung," kata Adipati Blambangan ini.

"Memang benar Aku pun merasa demikian. Oh ya, Paman. Bagaimana keadaan di Blambangan ini!" tanya Rangga, berusaha mengusir keheningan suasana.

"Aku pribadi dalam keadaan sehat-sehat saja. Tapi beberapa minggu terakhir ini, ada beberapa persoalan yang sangat merisaukan. Semua ini menyangkut keselamatan penduduk Kadipaten Blambangan, orang-orang persilatan, dan juga keselamatan keluargaku sendiri!" jelas Adipati Danu Tirta, pelan suaranya.

Rangga sendiri dapat memaklumi, betapa berat bagi Adipati Danu Tirta menghadapi cobaan yang dialami. Dan Rangga sendiri setelah berhadapan langsung, bertekad membantu dengan sepenuh hati.

"Paman! Tolong katakan padaku, apakah Paman tahu ciri-ciri pembunuh itu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti langsung pada pokok persoalan.

Laki-laki berbaju putih yang duduk di depan Rangga tampak menarik napas dalam-dalam. Tatapan matanya memandang lurus ke arah Rangga. "Melihat secara langsung, aku belum pernah! Tapi melihat ciri-ciri korban yang dalam keadaan hangus, dugaanku pembunuh itu merupakan orang yang sama."

"Apakah orang itu memakai baju kembang-kembang?" tanya Rangga.

Adipati Danu Tirta tampak terkesiap. Matanya yang agak kecil, terbelalak lebar. "Baju kembang-kembang?" desis Adipati Blambangan ini dengan mulut ternganga.

"Betul," sahut Rangga pendek. "Apakah kau sendiri pernah melihatnya?" desak Adipati Danu Tirta, ingin tahu.

Rangga menggeleng. Melihat pembunuh itu belum pernah. Dan mungkin aku memang tidak pernah berjumpa. Hanya saja ketika menuju ke sini, aku melihat mayat-mayat bergelimpangan. Tubuh mereka dalam keadaan hangus seperti yang Paman katakan. Tidak jauh dari tempat itu pula, aku bentrok dengan seorang laki-laki dan wanita berbaju kembang-kembang! Mereka tampaknya memang sengaja menjebakku," jelas Rangga.

"Menjebak bagaimana?"

"Semula aku melihat seorang wanita seperti akan diperkosa oleh laki-laki berbaju kembang-kembang. Tapi..., ketika aku berhasil membunuh si pemerkosa, tiba-tiba wanita itu menyerangku...!"

"Hm, aneh! Sungguh aneh sekali!" desis Adipati Danu Tirta.

"Dunia ini memang dipenuhi berbagai keanehan, Paman. Tapi lebih aneh lagi, ketika aku berhasil merobohkan mereka. Darah yang keluar dari luka-luka di tubuh mereka, berwarna hitam. Bukan merah seperti pada umumnya. Selain itu, tercium bau bangkai busuk!"

Adipati Danu Tirta semakin tercengang-cengang. Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang sama dengan kejadian yang dilihatnya di kedai beberapa hari lalu. Bagaimana mungkin semuanya bisa sama?

"Bagaimana pendapat Paman tentang ini?" tanya Rangga setelah terdiam lama.

"Sama, Rangga! Sama...!" kata Adipati Danu Tirta.

Rangga terheran-heran. "Apa yang sama?" tanya Rangga.

"Tiga Pendekar Golok Terbang juga pernah bentrok dengan seorang pemuda dan gadis berbaju kembang-kembang. Ketika tewas, dari luka-luka di tubuh kedua anak muda itu mengalir darah hitam. Tubuh mereka juga menyusut seperti bangkai," jelas laki-laki setengah baya ini.

Rangga terdiam. Kali ini dia benar-benar tidak dapat menyembunyikan keheranannya. Dan apa yang didengarnya selama ini terbukti. Mengapa pembunuh itu selalu memakai baju yang sama dan berpasang-pasangan? Mungkinkah mereka diutus seseorang untuk menyebar keonaran. Ataukah semua ini hanya tipuan saja? Rangga merasa sekarang sedang menghadapi sebuah persoalan sangat rumit.

"Apakah yang kau pikirkan. Rangga?"

"Eeeh... Tidak! Aku mulai dapat menduga, mungkin orang-orang itu hanya utusan seseorang untuk menyebar darah di mana-mana. Oh, ya... Apakah Paman punya musuh?"

Adipati Danu Tirta terdiam. Keningnya mengerut dalam. "Kukira aku tidak punya musuh seorang pun. Kalaupun ada, itu dulu. Tapi semua itu adalah kesalahannya sendiri. Sekarang, dia sudah mati.

"Siapakah musuh Paman itu?" desak Rangga.

"Masih saudara seperguruanku! Namanya, Nyi Kajar Asih! Dia seorang gadis cantik, tapi sakti mandraguna. Dia tewas di tanganku karena telah membunuh guru," jelas adipati ini.

"Apakah Paman yakin tentang kematiannya?" tanya Rangga, ingin memastikan.

"Tentu saja aku meyakininya. Karena dia tewas di tanganku sendiri...! Mengapa kau menanyakannya, Rangga?" tanya Adipati Danu Tirta tidak mengerti.

Rangga tersenyum. "Menurut pesan yang disampaikan padaku, kabarnya lebih banyak keluarga dekat Paman yang terbunuh! Secara pasti, aku belum dapat menyimpulkan. Hanya keyakinanku rasanya tidak mungkin keluarga Paman diusik, jika memang tidak ada persoalan-persoalan tertentu."

"Kurasa bukan begitu masalahnya, Rangga!" tukas Adipati Danu Tirta. "Aku merasa hubunganku dengan orang lain sangat baik. Jadi, mustahil mereka membenciku!"

"Memang sangat sulit untuk menentukan, siapa orangnya yang berdiri di balik semua peristiwa ini. Tapi aku berjanji untuk membantu Paman semampuku!" tegas Rangga meyakinkan.

Wajah Adipati Danu Tirta berubah berseri-seri. Bagaimanapun hatinya merasa yakin dengan kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. "Sebelumnya, aku mengucapkan terima kasih terhadap niat baikmu, Rangga!" ucap Adipati Danu Tirta.

"Tidak usah berlebih-lebihan, Paman. Aku belum berbuat sesuatu sahut Rangga, mendesah.

Suasana di dalam ruangan ini kemudian berubah hening. Adipati Danu Tirta meminta Pendekar Rajawali Sakti agar mau menginap di rumahnya.

***

Melewati sisa-sisa malam di salah satu ruangan kamar yang disediakan Adipati Blambangan, Rangga benar-benar tidak dapat memejamkan matanya. Hatinya sendiri merasa bingung, bagaimana mungkin orang yang telah mati dapat dibangkitkan kembali? Siapa yang dapat melakukannya? Jika orang itu adalah manusia sesat yang memiliki ilmu hitam, paling tidak memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam membuat keresahan dengan sepak terjangnya.

"Aku harus melakukan sesuatu! Aku merasa, Adipati Danu Tirta sengaja menyembunyikan satu rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain," kata Rangga dalam hati. "Untuk mencari dalang dari semua peristiwa yang terjadi, paling tidak aku harus menemukan sumbernya. Namun..., di mana aku harus mencarinya?"

Rangga menjadi ragu-ragu. Seingatku, di Kadipaten Blambangan tidak ada tempat-tempat tersembunyi yang mungkin dijadikan pusat kegiatan seseorang untuk melakukan tindak kejahatan. Apa pun yang ada dalam benak si pembunuh, yang jelas mungkin saja mengincar sesuatu yang sangat penting. Atau bahkan, mereka memang mengincar nyawa Adipati Blambangan. Rangga makin tidak mengerti. Disertai hembusan napas dalam-dalam, Pendekar Rajawali Sakti berusaha memejamkan matanya.

***
EMPAT
Sendang Sari seperti desa mati, setelah peristiwa-peristiwa pembunuhan terjadi. Setiap malam, bahkan sejak sore, rumah-rumah penduduk sudah tertutup rapat. Banyak para penduduk lebih memilih diam berada di dalam rumah, daripada berkeliaran. Ronda di daerah itu semakin ditingkatkan. Di setiap sudut jalan utama, tampak orang-orang berjaga dengan sikap waspada. Hampir sepanjang malam, penduduk diliputi keresahan dan ketegangan.

Bagaimana tidak? Setiap saat pembunuh itu dapat datang dan pergi seperti setan. Di tengah-tengah kesunyian di depan rumah mertua Adipati Danu Tirta yang bernama Ki Lokapala beberapa pengawal sengaja ditempatkan di situ. Sedikit pun mereka tidak lengah dari tugasnya. Terlebih-lebih mengingat sakit laki-laki berusia enam puluhan ini yang kian hari bertambah parah.

Istri Ki Lokapala sendiri hampir tidak pernah beringsut meninggalkan tempat tidur suaminya. Tidak jarang bila penyakit suaminya kambuh, Nyai Lokapala menangis sesenggukan. Anehnya tidak seorang tabib pun yang didatangkan, dapat menyembuhkannya.

Malam ini panas badan Ki Lokapala meninggi. Berulang kali laki-laki tua ini mengigau. Bahkan berteriak-teriak. Hingga membuat sang istri menjadi bingung dan membuat resah para pengawal kadipaten yang bertugas di situ.

Dalam suasana serba gelap di halaman rumah Ki Lokapala, tidak seorang pun yang tahu kalau di bagian belakang tampak sosok tubuh berkelebat dari satu arah, mendekati bangunan ini. Gerakan orang itu tampak ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pertanda kalau orang itu memiliki ilmu meringakan tubuh yang sangat sempurna.

Sementara di kejauhan, lolongan anjing terdengar mendayu-dayu mendirikan bulu roma. Sosok bertubuh ramping dengan dada membusung ini terus bergerak mendekati pintu dapur yang terkunci. Dengan satu keahlian yang dimilikinya, tanpa menimbulkan suara mencurigakan, pintu itu berhasil dibukanya.

Karena bagian dalam keadaan terang benderang, maka tampak jelas wajah seorang perempuan berwajah cantik. Tapi, anehnya wajah itu tampak pucat. Bibirnya membiru, seakan tidak berdarah. Tatapan matanya liar, tanpa gairah hidup sama sekali. Sebentar kemudian, wanita itu telah memasuki ruangan tengah. Matanya berputar-putar liar, meneliti suasana di sekitarnya.

Setelah merasa yakin kalau tidak ada seorang pun yang melihat kehadirannya wanita ini mendekati pintu kamar lainnya. Di situ, telinganya mendengar suara orang merintih-rintih. Dengan hati-hati wanita ini mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Di dalam kamar, dia melihat seorang laki-laki tua berambut dan berjenggot serba putih tengah terbaring lemah tanpa berdaya. Tubuhnya kurus kering terbungkus kulit keriput. Dialah Ki Lokapala, mertua Adipati Danu Tirta.

"Siapakah kau, Nisanak...!" desis Nyai Lokapala, yang bernama asli Suntini kaget, melihat ke hadiran gadis berbaju kembang-kembang yang tidak dikenal sama sekali.

Gadis itu tersenyum. Tapi yang tampak hanya sebuah seringai kejam menggidikkan. Sehingga, membuat Nyai Suntini beringsut mundur, bersikap melindungi suaminya.

"Pergi! Sebelum aku memanggil para pengawal yang berjaga-jaga di luar sana!" desis Nyai Suntini mengancam.

"Tidak perlu bersikap kasar padaku Nyai! Apakah kau sudah tidak kenal padaku lagi?" kata gadis berbaju kembang-kembang dengan suara serak. Sementara kakinya mendekati pembaringan Ki Lokapala.

"Kau... siapa...?" tanya Nyai Suntini, begitu melihat senyum gadis ini yang terkuak lebar.

"Aku Dewi Sembadra, adik kandung Kakang Danu Tirta. Masa kau tidak kenal adik menantumu sendiri?" kata gadis berbaju kembang-kembang yang mengaku sebagai adik kandung Adipati Danu Tirta.

Nyai Suntini tampak terlonjak kaget. Punggungnya seperti disengat kala berbisa. Matanya melotot, seperti mau melompat dari dalam rongganya. "Kau?! Bukankah Dewi Sembadra telah meninggal dan telah dikuburkan delapan tahun yang lalu?" desis Nyai Suntini, seakan tidak percaya.

Wanita bernama Dewi Sembadra tersenyum lagi. Sungguh manis senyumnya. Namun semua itu tidak mampu menghapus kebekuan wajahnya yang dingin menyeramkan!

"Benar, Nyai! Semua ini memang kuakui. Tapi, ketahuilah. Sebenarnya aku sendiri tidak pernah mati. Aku bangkit dari kubur, karena malu diriku sudah dinyatakan mati. Maka, akhirnya aku pergi mengembara dan berguru dengan seorang tabib sakti. Kini, aku menjadi seorang tabib yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit yang tidak pernah tersembuhkan orang lain. Jika kau tidak keberatan, aku pasti mampu menyembuhkan penyakit Ki Lokapala!"

Nyai Suntini tampak ragu. Hatinya merasa yakin dengan penjelasan Dewi Sembadra. Terlebih-lebih setelah ingat peristiwa delapan tahun yang lalu. Kala itu, Dewi Sembadra menderita penyakit aneh yang tidak tersembuhkan. Dua bulan setelah penyakitnya tidak dapat disembuhkan, dia di nyatakan meninggal. Kini, bagaimana mungkin gadis itu dapat hidup kembali? Apakah mungkin Adipati Danu Tirta menantunya salah melihat?

Keragu-raguan yang menyelimuti hati Nyai Suntini membuat kepalanya menggeleng-geleng. Namun karena gadis yang mengaku sebagai Dewi Sembadra ini terus-menerus mendesak dan membujuknya, ditambah lagi pengaruh aneh yang terpancar dari tatapan mata, maka tanpa disadari Nyai Suntini menyetujuinya juga.

"Lihatlah baik-baik, Nyai...!" kata Dewi Sembadra setengah memerintah.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Nyai Suntini menuruti perintah gadis berbaju kembang-kembang ini. Pada saat itu jemari tangan Dewi Sembadra mulai mengurut-urut bagian bagian tertentu, sampai akhirnya ke pangkal leher Ki Lokapala.

"Aaa...!" Ki Lokapala tiba-tiba saja menjerit setinggi langit. Tubuhnya berubah membiru seketika dan tampak mengejang kaku. Matanya melotot dengan mulut ternganga lebar. Dari setiap pori-porinya, menetes darah berwarna merah kehitam-kehitaman. Tubuh Ki Lokapala menggelepar sejenak, lalu diam untuk selama-lamanya.

Nyai Suntini kaget bukan main. Wanita ini menjerit sekeras-kerasnya melihat kematian suaminya. Sebentar dipeluknya jenazah suami tercinta yang sudah berubah biru ini. Namun sebentar kemudian, dia sudah berpaling ke arah gadis baju kembang-kembang.

Sementara pengawal yang berada di depan, begitu mendengar suara jeritan tadi, langsung menghambur ke dalam kamar mertua sang adipati. Dan ketika melihat ada gadis asing di situ, mereka langsung mengurung Dewi Sembadra.

"Kau benar-benar betina iblis! Pengawal! Bunuh manusia keparat ini...!" teriak Nyai Suntini.

Belasan pengawal yang berada di ruangan ini langsung menerjang ke arah gadis berbaju kembang-kembang. Sementara, Nyai Suntini yang memiliki kepandaian silat cukup lumayan, segera mencabut pedang pendek yang tergantung di dinding kamar suaminya. Namun demikian, dia belum menerjunkan diri dalam mengeroyok gadis itu.

Sret! Sret! Bet! Slap!

"Yeaaah...!"

Dengan pedang terhunus, mereka menyabetkan pedang ke arah sepuluh jalan darah di tubuh gadis itu. Serangan ini tidak dapat dianggap enteng, karena dilakukan dalam waktu bersamaan. Namun anehnya, Dewi Sembadra malah tertawa mengikik seram. Lalu dengan satu liukan indah, lima tusukan pedang berhasil dihindarinya. Bahkan tiba-tiba saja telapak tangannya yang terkembang mengibas cepat. Lalu...

Plak! Des!

"Hugkh...!"

Dua pengawal terhuyung-huyung. Tangan mereka terasa bergetar hebat. Bahkan telapak tangan terasa dingin, seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum.

Nyai Suntini kaget bukan main melihat kenyataan ini. Sama sekali tidak diduga gadis yang mengaku Dewi Sembadra ini memiliki kepandaian tinggi. Padahal, dulu dia dikenal sebagai gadis lemah. Bahkan serangan-serangan gencar yang dilakukan para pengawal tidak berhasil melukai tubuhnya. Dan Nyai Suntini tahu betul, menantunya telah menempatkan pengawal-pengawal berkepandaian lumayan.

"Bunuh! Jangan biarkan manusia iblis ini lolos" teriak Nyai Suntini memberi semangat pada para pengawal.

"Hm.... Kalian hanya manusia-manusia tidak berguna yang akan mati konyol di tanganku! dengus gadis berbaju kembang-kembang geram. Tangan Dewi Sembadra kemudian berputar sedemikian rupa. Seketika dari telapak tangannya, melesat sinar hitam bergulung-gulung, menebarkan hawa dingin membekukan darah, sekaligus menebarkan bau wangi bunga kenanga.

Para pengawal yang terus melancarkan serangan-serangan ganasnya tampak terkesiap. Pedang di tangan mereka sama sekali tidak dapat menembus sinar hitam yang mengurung tubuh Dewi Sembadra.

"Heaaah...!"

Teriak pengawal yang berada di barisan paling depan sambil menyodokkan pedang ke bagian perut Dewi Sembadra. Namun sungguh aneh pedang itu seakan tertahan dan sulit digerakkan. Di lain kejap, tangan Dewi Sembadra yang telah berubah menghitam menghantam ke depan.

Wus! Glar!

"Aaa...!"

Terdengar suara jerit kematian saat itu juga. Beberapa pengawal yang terkena pukulan jarak jauh gadis itu langsung terpelanting roboh. Tubuh mereka melejang-lejang, kemudian diam membeku dalam keadaan hangus seperti terbakar. Semakin bertambah kaget sajalah semua mata yang melihat kejadian ini.

Beberapa orang pengawal, meskipun telah berubah ciut nyalinya, langsung memperhebat serangan. Bahkan Nyai Suntini yang sejak tadi mengawasi pertempuran, sekarang sudah ikut ambil bagian menggempur Dewi Sembadra yang ternyata memang memiliki ilmu pukulan dahsyat dan sangat mematikan.

"Perempuan biadab! Makanlah senjataku Ini...! Hiyaaa...!"

Disertai teriakan lantang, Nyai Suntini mengibaskan pedangnya ke bagian dada Dewi Sembadra. Cepat bagai kilat gadis itu menggeser langkahnya ke belakang. Lalu dengan cepat, dia menarik tubuhnya dari hujaman mata pedang ditangan Nyai Suntini. Melihat serangannya luput, Nyai Suntini menggerutukkan rahangnya. Dia menjadi kalap bukan main. Bagaimanapun jurus pedang yang dimainkannya, merupakan jurus ampuh. Dan jika Dewi Sembadra dapat menghindari, tentu tidak dapat dianggap enteng.

"Hup! Yeaaah...!" Cepat sekali Nyai Suntini membangun serangan kembali. Tubuhnya berkelebat cepat. Pedang di tangannya bergerak membabat, menusuk, bahkan menderu ke bagian kepala gadis ini.

Tidak dapat disangkal lagi. Itulah jurus 'Camar Menepis Buih' yang dikeluarkan Nyai Suntini. Sebuah jurus paling tinggi yang pernah dimilikinya. Dalam beberapa jurus, Dewi Sembadra tampak terdesak. Terlebih-lebih ketika sisa-sisa pengawal ikut mencecarnya dari jurusan lain. Bahkan kini dua mata pedang di tangan pengawal menyambar pinggang dan punggung Dewi Sembadra.

Bet! Slap!

Gadis baju kembang-kembang ini menjatuhkan diri, dan terus berguling-gulingan menghindari serangan yang sangat ganas. Tapi dari arah samping, tendangan Nyai Suntini menghantam bahunya.

Buk!

"Hugkh...!" Dewi Sembada memekik kaget, begitu tubuhnya terhantam tendangan. Anehnya, akibat tendangan itu seperti tidak dirasakannya.

Nyai Suntini menjadi sangat marah. Pedangnya langsung dihujamkan ke dada. Pada saat yang sangat gawat itu, untung Dewi Sembadra segera melepaskan pukulan 'Bayangan Perenggut Nyawa' yang sangat dahsyat.

Wus!

Empat leret sinar hitam pekat yang menebarkan bau busuk langsung menerjang ke arah pengawal dan Nyai Suntini. Mertua perempuan Adipati Blambangan ini, karena berada begitu dekat dengan lawannya, sudah tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Satu-satunya yang dapat dilakukan adalah memutar pedang pendek di tangannya untuk melindungi diri. Seketika itu pula sinar putih tampak bergulung-gulung mengurung dirinya. Kini sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Dewi Sembadra langsung menghantam sinar putih keperakan dari pedang pendek yang melindungi tubuh Nyai Suntini.

Glar! Glar!

Empat kali ledakan berturut-turut terdengar menggelegar, mengguncangkan rumah yang cukup besar ini. Bahkan ledakan dahsyat tadi diwarnai suara jerit orang-orang yang meregang ajal. Tubuh Nyai Suntini tampak terlempar menghantam tembok. Kepalanya pecah seketika. Demikian juga pengawal-pengawal yang berada di belakangnya ini. Mereka tewas dengan tubuh berubah menghitam, setelah sinar hitam tadi terus meluncur ke arah mereka.

Dengan sikap angker, Dewi Sembadra memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Senyum sinis tampak menghiasi wajahnya yang dingin. Ketika tubuhnya diputar dan bermaksud meninggalkan tempat itu, telinganya mendengar rintihan seseorang. Hanya sekali melompat saja, sampailah gadis ini di depan seorang pengawal yang sempat lolos dari pukulan mautnya. Pengawal ini berusaha bangkit berdiri. Namun, gadis berbaju kembang-kembang ini menginjak punggungnya. Sehingga, membuat pengawal itu jatuh menelungkup kembali.

"Ampun! Aku masih ingin hidup...!" rintih si pengawal yang sudah berubah lumer nyalinya, melihat kehebatan gadis itu.

"Aku adalah utusan pencabut nyawa. Jadi bagaimana mungkin kau dapat kuampuni?!" dengus Dewi Sembadra.

"Aku mohon, jangan...!"

"Hm. Begitu? Sekarang, berdirilah. Permintaanmu mungkin dapat kupertimbangkan. Asal kau dapat menjalankan apa yang kuperintahkan padamu," ujar Dewi Sembadra lagi.

"Ap.., apa...?" tanya pengawal ini, bergegas berdiri.

Gadis berbaju kembang-kembang itu kemudian mengeluarkan sebuah benda terbuat dari kulit beruang. "Kau serahkan pesanku ini pada Adipati Blambangan! Katakan semua apa yang terjadi terhadap mertuanya di sini!" perintah Dewi Sembadra.

"Baik.... Aku akan menyerahkannya," tandas pengawal dengan suara bergetar ketakutan.

Gadis itu segera menyerahkan kulit binatang ditangannya pada laki-laki itu. Kemudian dicengkeramnya leher pengawal ini hingga mengeluarkan darah.

"Akh...! Apa yang kau lakukan...?" teriak pengawal bertubuh kurus itu. Rasa sakit seperti tersengat binatang berbisa mulai terasa menjalari sekujur tubuhnya. Dewi Sembadra tertawa lebar. Matanya memandang sinis pada pengawal malang ini.

"Kalau kau dapat menyampaikan wasiat itu pada Adipati Blambangan, kemungkinan besar kau akan selamat. Tapi jika kau tidak dapat menyampaikannya, mungkin sebelum sampai di Kadipaten Blambangan nyawamu sudah melayang terbang ke neraka...!"

"Kkk..., kau jangan ragu. Aku pasti akan menyampaikannya. Tapi..., kumohon bebaskan aku dari kematian," ratap laki laki kurus itu.

"Jangan banyak mulut, Manusia Tolol! Lekas kerjakan perintahku...!" bentak Dewi Sembadra lantang.

"Baik, aku segera berangkat. Tapi, kuminta padamu untuk mem...!" Pengawal ini menghentikan ucapannya.

Tubuhnya yang sudah panas dingin ini bergetar keras, kerika menyadari gadis berbaju kembang-kembang tadi sudah lenyap dari hadapannya. Setelah memutar langkah, laki-laki itu berlarian mendapatkan seekor kuda tunggangannya yang terdapat di samping rumah Ki Lokapala.

***

Seekor kuda yang ditunggangi sosok berpakaian prajurit telah memasuki halaman tempat kediaman Adipati Danu Tirta. Keadaan tubuhnya kian memburuk. Sekujur tubuhnya mulai berubah membiru. Sementara itu, panas badannya semakin meninggi. Ketika prajurit itu melompat turun dari punggung kudanya, tubuhnya tampak terhuyung-huyung. Beberapa pengawal lain yang melihat kehadirannya segera datang menghampiri.

"Hei...? Ada apa denganmu, Ludra? Mana kawan-kawan yang lain?" tanya pengawal kepala terheran-heran.

Dan dia lebih tercengang lagi setelah melihat keadaan tubuh kawannya yang telah berubah membiru. Pengawal bernama Ludra ini sama sekali tidak menjawab. Atau mungkin, dia memang sudah tidak kuasa lagi untuk menjawab pertanyaan. Dengan terhuyung-huyung, Ludra menaiki anak tangga batu dan langsung menuju ruangan lain, tempat adipati sedang berbincang-bincang dengan Rangga dan Tiga Pendekar Golok Terbang di ruangan tamu. Pintu didorongnya dengan keras.

Adipati Danu Tirta terkejut melihat kelancangan pengawal ini. Dia hampir saja membentak marah. Namun apa yang hampir disemburkannya terpaksa ditelan kembali begitu melihat keadaan pengawal yang telah berubah seperti mayat hidup.

"Yang mulia... Telah terjadi pembunuhan di Desa Sendang Sari. Hamba tidak dapat men...!"

Bruk!

Pengawal ini tidak sanggup lagi meneruskan ucapannya. Tubuhnya terjengkang roboh. Nyawanya lepas seketika itu juga.

"Ludra apa yang telah terjadi?" tanya Adipati Danu Tirta, langsung tergesa-gesa segera datang menghampiri.

Sementara Rangga yang lebih awal sampai di depan Ludra, langsung melakukan pemeriksaan. Tampaknya memang tidak ada lagi yang dapat mereka perbuat, karena ternyata jiwa Ludra sudah tidak dapat diselamatkan lagi.

"Dia terserang racun yang sangat hebat, Paman! Racun itu telah merusak pembuluh darahnya dan juga menghancurkan jantung. Bagaimana mungkin laki-laki ini dapat bertahan hingga sampai ke tempat ini?" gumam Rangga tidak mengerti.

***
LIMA
Semua orang yang berada di dalam ruangan rumah Adipati Blambangan tampak saling terdiam. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sementara Rangga yang merasa curiga, segera memeriksa sekujur tubuh prajurit yang bernama Ludra itu, yang telah menjadi mayat.

"Paman, aku yakin dia ingin menyampaikan sesuatu," ujar Rangga sambil berpaling pada Adipati Danu Tirta.

"Apa maksudnya?" tanya laki-laki berbaju putih ini. Keningnya tampak berkerut dalam.

"Lihat ini...!" Rangga menunjukkan selembar kulit beruang yang ditemukannya pada salah satu saku Ludra. Langsung diserahkannya lembaran kulit itu pada adipati.

Adipati Danu Tirta segera membukanya. Ternyata, di dalam lembaran kulit beruang ini terdapat sebuah pesan. Laki-laki berbaju putih ini dengan cepat segera membacanya.

Adipati Danu Tirta! Mungkin kau telah melupakan peristiwa belasan tahun yang lalu. Apa yang pernah kau lakukan padaku, sekarang sudah tiba waktunya untuk membayar berikut bunga-bunganya sekalian. Jika kau punya pengawal, maka aku juga sekarang telah memiliki belasan orang-orang kepercayaan. Salah satu di antaranya adalah Dewi Sembadra... Tunggulah. Danu Tirta! Waktu kematianmu semakin dekat lagi. Setan Perenggut Nyawa.

Adipati Danu Tirta jelas-jelas tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya. Bibirnya tampak bergetar. Namun tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Wajahnya berubah pucat pasi. Kenyataan ini membuat semua orang yang ada di sekelilingnya jadi semakin bertanya-tanya dalam hati. Tiba-tiba, Danu Tirta menyerahkan kulit beruang pada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti dengan cepat segera membacanya.

"Paman jelas-jelas mempunyai seorang musuh!" kata Rangga setelah selesai membaca tulisan yang tertera di atas kulit beruang, suaranya agak ditekan. "Mengapa Paman kemarin tidak berterus terang padaku?"

Adipati Danu Tirta mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Rahangnya tampak menggembung, pertanda hawa amarah telah menguasai jiwanya. Silih berganti dipandangnya Pendekar Rajawali Sakti dan Tiga Pendekar Golok Terbang.

"Aku tidak tahu, siapa orang ini, Rangga! Belasan tahun sebelum sekarang ini, aku memang punya musuh. Tapi sebagaimana pernah kukatakan, dua musuh besarku itu telah tewas di ujung pedangku!" tegas Danu Tirta, tidak ingin berlarut-larut.

"Satu hal yang cukup mengherankan, sepengetahuan kami Dewi Sembadra telah meninggal setelah menderita penyakit aneh beberapa tahun yang lalu. Jadi, bagaimana mungkin Dewi Sembadra dapat digunakan untuk melawan kadipaten?" timpal Wisesa.

"Apakah mungkin orang yang sudah mati dapat bangkit kembali?" desis Witara, dengan perasaan kecut.

Kening Adipati Danu Tirta mengerut dalam. Sekarang, seakan segala-galanya berubah menjadi jelas. Bukankah delapan tahun yang lalu banyak mayat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan diculik oleh seseorang? Di antaranya, adalah jenazah Dewi Sembadra. Delapan tahun yang lalu, memang banyak mayat yang baru dikuburkan hilang secara aneh. Tidak peduli, apakah mayat itu berasal dari kalangan bangsawan, tokoh-tokoh persilatan, maupun rakyat jelata. Kuburan mereka terbongkar sedemikian rupa.

Jenazah di dalamnya menghilang tanpa meninggalkan jejak atau petunjuk. Banyak anggota keluarga yang merasa kehilangan Jenazah saudaranya melakukan pencarian. Bahkan Adipati Danu Tirta mengerahkan belasan anak buahnya untuk mencari mayat adik kandungnya Dewi Sembadra yang meninggal karena penyakit aneh. Namun usaha pencarian itu hanya sia-sia saja. Tak satu jenazah pun yang berhasil ditemukan.

Tampaknya, penculik mayat memang tidak pandang bulu. Asalkan, yang meninggal itu telah dewasa. Tidak peduli laki-laki atau perempuan. Penculik tetap mengambilnya dari liang kubur. Tidak seorang pun yang tahu, untuk apa mayat-mayat itu. Semuanya tetap menjadi teka-teki sampai sekarang ini.

"Rangga. Apakah kau menemukan jawaban dari semua teka-teki ini?" tanya Adipati Danu Tirta.

Rangga menggeleng.

"Kalau kesimpulanku benar, mungkin orang-orang kepercayaan yang dimaksudkan tokoh itu adalah mayat-mayat yang pernah hilang dari kubur mereka. Termasuk, jenazah adik kandungku Dewi Sembadra...!"

"Maksud Paman, orang itu memiliki semacam ilmu iblis yang dapat membangkitkan orang yang sudah mati dalam waktu sekian tahun lamanya ...?" desis Rangga, terkejut.

"Bisa jadi begitu. Aku masih ingat ketika menghadapi pemuda dan gadis baju kembang-kembang beberapa minggu yang lalu. Ketika mereka berhasil dilukai, darahnya berwarna hitam. Dan saat mereka roboh oleh pukulan kami, tubuh mereka dengan cepat berubah membusuk, seperti telah tewas selama beberapa hari," timpal Permana.

Rangga sendiri segera teringat pada kejadian yang pernah dialaminya. Apa yang dikatakan Permana, sama dengan apa yang pernah terjadi di depan matanya. "Kalau begitu, jumlah mereka cukup banyak juga!" kata Rangga kemudian sambil menghembuskan napas dalam-dalam. "Tapi aku yakin, jika kita dapat meringkus orang yang mengendalikan mayat-mayat hidup itu, mungkin persoalan lain dapat diatasi."

"Aku sependapat denganmu, Rangga!" dukung Adipati Blambangan. "Sekarang aku ingin mengutus Tiga Pendekar Golok Terbang untuk segera ke Desa Sendang Sari agar melihat apa yang terjadi. Sedangkan pada kau Rangga. Aku mohon bantuanmu untuk segera menyelidik ke Hutan Cagak Kemuning!"

"Mengapa harus ke Cagak Kemuning, Paman?" tanya Rangga.

"Karena menurutku, hanya tempat itulah yang cukup baik dijadikan tempat persembunyian oleh-orang yang menghendaki nyawaku," jelas Adipati Danu Tirta.

"Baiklah kalau begitu. Aku berangkat sekarang juga!" Rangga mohon diri.

***

Sejak mendekati Hutan Cagak Kemuning, Dewa Bayu terus meringkik keras. Kuda berbulu hitam mengkilat ini tampak gelisah seperti ada sesuatu yang dirisaukan. Rangga mengelus-elus leher Dewa Bayu.

"Tenang, Dewa Bayu. Tidak perlu cemas. Aku senantiasa berada di sampingmu," gumam Rangga, pelan.

Pemuda ini merayapi tempat-tempat yang dianggap mencurigakan dengan sudut mata. Hutan Cagak Kemuning begitu hijau dan indah, namun terasa begitu menyeramkan. Dewa Bayu kembali memperdengarkan ringkikan gelisah. Rangga sempat terheran-heran. Kini dirasakan kalau bulu kudanya meremang berdiri. Nalurinya mengatakan, ada beberapa pasang mata terus mengawasi gerak-geriknya. Sambil bersikap penuh waspada terhadap segala kemungkinan yang mungkin bakal terjadi, Pendekar Rajawali Sakti membelokkan kudanya kesebelah kanan, ke arah semak-semak dan pohon-pohon berdaun rindang.

Pada saat itulah Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara berdesir dari atas pohon-pohon yang terdapat di kanan dirinya. Bahkan mendadak saja, beberapa buah benda berwarna hitam melesat melebihi kecepatan anak panah ke arah Rangga. Namun laksana kilat, pemuda berompi putih ini segera mendorongkan kedua tangannya ke arah empat penjuru. Seketika itu pula angin kencang melesat dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak bergulung-gulung, menyapu benda hitam yang ternyata berupa batu-batu kecil dengan ujung sangat tajam melebihi anak panah.

"Jika seseorang telah begitu berani memasuki daerah orang lain, maka tidak ada pilihan baginya terkecuali mati!"

Tiba-tiba terdengar suara ancaman seseorang yang disertai dengan suara tawa berkepanjangan. Rangga terkesiap. Matanya langsung merayapi ke arah suara tadi berasal. Kemudian dari atas pohon-pohon besar di sekelilingnya, tampak melesat beberapa sosok tubuh ke arahnya. Setelah menjejakkan kakinya di atas permukaan tanah, lima orang laki-laki berbaju kembang-kembang langsung mengurung Rangga.

Kening pemuda berompi putih ini makin ber-kerut dalam melihat kehadiran lima laki-laki berbaju kembang-kembang. Tidak salah lagi. Sudah dapat diduga, bahwa orang-orang yang mengepungnya adalah mayat-mayat hidup yang telah dibangkitkan, oleh seorang tokoh yang menginginkan jiwa Adipati Danu Tirta!

"Lebih baik kau menyerah, Pendekar Rajawali Sakti!" desis salah seorang.

Rangga tersentak kaget. Bagaimana mungkin orang-orang ini dapat mengenalinya? "Kalian meminta aku menyerah?" ejek Rangga tersenyum. Wajahnya yang tampan berubah dingin. "Jika kalian mau menunjukkan padaku, siapa orang yang telah membangkitkan kalian, mungkin aku akan mempertimbangkan keinginan kalian."

"Manusia sombong! Bunuh dia!" teriak laki-laki berbadan tinggi tegap berwajah pucat.

Serentak empat orang mayat hidup langsung menyerang Rangga dari empat penjuru. Sungguhpun dalam setiap tindakan mereka sama sekali tidak pernah mempergunakan senjata. Terkecuali, pukulan yang sangat dahsyat. Namun serangan tangan kosong mereka juga tidak dapat dianggap enteng. Angin pukulan yang sempat menyambar wajah Rangga terasa dingin menusuk tulang.

"Heaaah...! Hup!" Rangga berteriak melengking tinggi. Tubuhnya melesat ke udara dengan kecepatan laksana kilat. Di lain saat, Pendekar Rajawali Sakti telah meluncur lagi ke bawah mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kakinya mengibas-ngibas, langsung menderu ke bagian kepala mayat-mayat hidup itu.

Dua mayat hidup sempat melihat datangnya serangan balik ini. Sedangkan dua lainnya tidak sempat menyelamatkan kepalanya dari serangan Rangga. Dan...

"Hiyaaa...!"

Diegkh...! PrakK!

"Aaa...!" Dua laki-laki itu menjerit keras ketika kaki Rangga yang terisi tenaga dalam menghantam remuk kepala mereka. Tiga lainnya tersentak. Sama sekali tidak diduga kalau pemuda itu mempunyai kepandaian yang sangat tangguh.

Sambil menggeram marah, ketiga laki-laki ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi di atas kepala. Hanya dalam waktu singkat, kedua tangan mereka telah berubah menghitam. Sadar kalau lawan-lawannya sedang bersiap-siap melepaskan pukulan maut, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau bersikap ayal-ayalan lagi. Maka begitu menjejak tanah, Rangga bersiap-siap melepaskan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Hanya dalam waktu singkat, telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti telah berubah merah laksana bara.

"Heaaah...!"

Wus!

Begitu Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya, seleret sinar merah menghanguskan melesat laksana kilat ke arah sinar hitam yang dilepaskan mayat-mayat hidup itu. Angin kencang menderu tidak ubahnya seperti badai topan prahara. Pohon-pohon di sekeliling mereka bergetar hebat. Dan...

Glar! Glar!

"Wuagkh...!"

Terjadi ledakan dahsyat berturut-turut. Tiga mayat hidup kontan terpelanting ke arah berlawanan. Sementara Rangga sendiri tampak terhuyung-huyung. Sungguhpun mampu merobohkan lawan-lawannya yang rata-rata memiliki tenaga dalam beberapa tingkat di bawahnya, namun Pendekar Rajawali Sakti sendiri sempat menderita luka dalam.

Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk bersila. Matanya terpejam, tubuhnya tampak mengucurkan keringat dingin. Dengan cepat, segera dikerahkannya hawa murni ke bagian dadanya. Tidak sampai sepemakan sirih, Pendekar Rajawali Sakti telah membuka matanya kembali. Wajahnya yang pucat, kini telah berubah kemerah-merahan kembali.

"Hm. Tokoh aneh itu ternyata memang sengaja membangkitkan mayat-mayat hidup ini untuk menguras tenagaku! Benar-benar gila!" desis Rangga, sambil menggeleng-geleng. Pemuda berompi putih ini segera bangkit berdiri. Segera dihampirinya Dewa Bayu untuk meneruskan perjalanannya kembali merambah Hutan Cagak Kemuning.

***

Tiga Pendekar Golok Terbang yang mendapat tugas melihat keadaan mertua Adipati Danu Turta di Desa Sedang Sari, telah memasuki daerah yang dituju. Hanya ada beberapa hal yang membuat ke tiga laki-laki berbaju merah ini jadi terheran-heran. Pertama, adalah mengenai penduduk di sekitarnya yang tampak memadati halaman rumah Ki Lokapala. Selain itu, mereka juga melihat deretan mayat-mayat yang telah siap dikebumikan.

"Celaka! Kita semua terlambat sampai di sini!" desis Permana.

Dengan tergesa-gesa, mereka melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Kepala Desa Sindang Sari yang bernama Ki Dara, tampak menghampiri.

"Apa yang terjadi di sini. Paman?" tanya Wisesa tidak sabar.

"Maafkan kami semua, Raden. Kami tidak mampu melindungi Ki Lokapala dan Nyai Suntini...!"

"Katakan, apa yang terjadi dengan mereka!" sentak Witara tampak gugup.

"Seseorang yang mengaku sebagai Dewi Sembadra, telah membunuh mertua kanjeng adipati."

"Eeeh...!" desis Tiga Pendekar Golok Terbang.

Tiga Pendekar Golok Terbang saling berpandangan. Lalu mereka kontan teringat tentang pesan yang ditulis di atas kulit beruang. Kalau begini kenyataannya, sudah jelas pesan itu memang tidak dapat dianggap main-main. Wisesa melirik ke arah kerumunan orang-orang di sekitarnya. Dengan langkah tersendat, didekatinya kerumunan itu.

"Mengapa begini banyak orang-orang yang tewas?" tanya Wisesa, setelah melihat deretan jenazah yang telah terbungkus kain.

"Mereka adalah para pengawal yang ditempatkan di sini, Raden!" jelas Ki Dara.

"Orang-orang itu benar-benar telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Sayang, kita datang tertambat!" ujar Permana kagum.

"Ki Dara! Sebaiknya, kau perintahkan orang-orang di sini untuk menguburkan jenazah Ki Lokapala dan istri berikut para pengawal!"

"Segera kami lakukan, Raden...!" jawab Ki Dara.

Sebentar kemudian, laki-laki tua itu sudah memerintahkan penduduk yang tampak berkumpul di situ untuk mengusung para jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Iring-iringan jenazah segera diberangkatkan menuju pekuburan terdekat.

Sekarang, tinggallah Tiga Pendekar Golok Terbang berada di rumah Ki Lokapala. Mereka duduk-duduk di teras depan, dan tampak saling diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Angin senja bertiup perlahan, membawa kekalutan dari seluruh peristiwa yang tidak pernah terpecahkan.

"Bagaimana? Apakah kita harus kembali ke kadipaten untuk melaporkan semua yang terjadi di sini pada adipati?" tanya Permana, memecah keheningan.

"Rasanya percuma saja kita ke sana. Ki Lokapala sudah tewas bersama istrinya. Sedangkan pembunuh masih tetap berkeliaran bebas," timpal Witara.

"Sebaiknya, begini saja. Aku dan Permana menunggu di sini sampai tengah malam nanti. Sedangkan Kakang Wisesa, sekarang juga kalau bisa kembali ke kadipaten melapor pada adipati!"

"Aku tidak setuju! Aku yang tertua di antara kalian berdua. Jadi mana tega aku meninggalkan kalian di sini," bantah Wisesa kurang sependapat.

"Sebaiknya, Permana saja yang berangkat ke kadipaten! Biarkan aku dan kau menunggu di sini."

"Tapi...!"

"Sudah tidak usah tapi-tapian lagi, Permana. Lekas berangkat sekarang sebelum hari gelap!" kata Witara tegas.

Permana memang tidak ingin membantah perintah kedua saudara seperguruannya. Setelah berpamitan pada Wisesa dan Witara, Permana meninggalkan tempat itu. Udara senja semakin bertambah dingin. Suasana di sekeliling rumah besar itu terasa begitu sunyi mencekam. Namun kesunyian itu tidak berlangsung lama. Anjing milik almarhum Ki Lokapala di belakang rumah menyalak keras.

"Kau dengar suara itu?" tanya Witara, memandang tajam pada Wisesa yang berdiri bersandar pada dinding tidak jauh di belakangnya.

"Hanya suara anjing biasa," sahut Wisesa.

"Tapi aku merasa seperti ada sesuatu di belakang sana! Lihat! Bulu kudukku meremang berdiri!" desis Witara, langsung bangkit berdiri. Matanya memandang lurus ke belakang. Namun, dia tidak melihat sesuatu apa pun mencurigakan di belakang sana.

"Ada apa?" tanya Wisesa. Lama kelamaan, rupanya orang tertua dari Tiga Pendekar Golok Terbang menjadi curiga juga.

Sekarang, bahkan dia keluar menuju halaman samping. Di situ tepat di bawah pohon mangga, langkahnya terhenti dengan tiba-tiba. Wisesa mengendus-endus dan berusaha mempertajam penciumannya. Dengan jelas, Wisesa mencium bau harum bunga kenanga. Tidak jauh di belakangnya, Witara menyusul. Sama seperti kakak seperguruannya, laki-laki berkumis tipis ini juga mulai mengendus-endus tidak ubahnya seperti seekor kucing yang mencium bau harum makanan.

"Ada yang tidak beres di belakang sana, Witara!" gumam Wisesa. Suaranya nyaris tidak terdengar.

"Ya... Dan, anjing di belakang sana mengapa tiba-tiba saja terdiam?" timpal Witara. Matanya jelalatan menyapu pandang ke tempat tempat yang dianggapnya mencurigakan.

"Mari kita ke sana" desah Wisesa merasa tidak enak.

Witara mengangguk. Dengan hati-hati, kedua saudara seperguruan ini menuju ke belakang. Setelah melewati sudut rumah, mereka tampak tercekat. Tidak jauh di depan sana, tampak seekor anjing besar berbulu coklat terkapar mati dengan lidah terjulur dan mata melotot.

"Coba kita lihat!" bisik Witara di telinga saudara seperguruannya.

"Jangan! Barangkali semua itu hanya jebakan saja!" sergah Wisesa ragu-ragu.

"Tapi, kita perlu tahu apa yang membuat anjing itu mati! Aku yakin, seseorang pasti membunuhnya!"

"Memang! Justru itu kita harus berhati-hati," tegas Wisesa mengingatkan. Tanpa sadar, Wisesa meraba pinggangnya yang terdapat golok besar menggelantung.

***
ENAM
Witara dan Wisesa terus mengawasi suasana sekelilingnya dengan sikap waspada. Tepat di depan anjing yang terkapar mati, mereka berhenti.

"Lihat! Mata anjing ini berubah menghitam seperti hangus!" seru Wisesa.

"Astaga! Binatang ini dibunuh dengan racun yang sangat keji!" Witara menimpali. "Aku yakin, pembunuhnya pasti masih berkeliaran di sekitar sini."

"Periksa rumah itu!" Wisesa memberi aba-aba. Dengan langkah sangat hati-hati, Witara menghampiri pintu dapur yang tampak tidak terkunci. Namun belum sempat tiba di situ, pintu itu terbuka lebar. Angin sedingin es seketika menderu.

"Awas, Witara...!" Nyaris angin dingin itu melabrak tubuh Witara jika Wisesa tidak memperingatkan.

Wus!

"Ikh...! Gila!" Witara cepat bersalto beberapa kali menjauhi pintu. Kemudian kakinya berdiri tegak dengan napas mendengus tidak teratur.

"Bangsat pembunuh yang bersembunyi di dalam! Harap keluar, tunjukkan diri!" bentak Wisesa marah.

Sesaat suasana di sekeliling berubah hening mencekam. Dari bagian dalam tidak terdengar jawaban apa-apa.

"Manusia tengik yang ada di dalam. Cepat tunjukan diri jika ingin selamat!" Wisesa mengulangi perintahnya.

Justru pada waktu bersamaan, seleret sinar hitam kembali melesat ke luar melabrak Wisesa. Laki-laki ini tidak tinggal diam. Segera dilepaskannya pukulan tangan kosong. Seketika itu pula angin kencang disertai hawa panas luar biasa meluruk deras ke arah sinar hitam tadi.

Glar!

Saat itu juga, terdengar suara benturan menggeledek. Pintu dapur bobol, hancur porak-poranda. Tubuh Wisesa terhuyung-huyung, namun cepat memperbaiki keseimbangannya.

"Keparat!" geram laki-laki berbaju merah ini dalam hati.

Dari dalam rumah terdengar suara tawa mengikik panjang. Jelas, pemilik suaranya adalah seorang perempuan. Witara menduga-duga. Ternyata, dugaannya beralasan. Tidak lama, sosok tubuh dengan gerakan sangat indah sekali tampak melesat keluar dan menjejakkan kakinya tiga batang tombak di depan Wisesa dan Witara.

"Dewi Sembadra...!" seru kedua orang ini begitu mengenali siapa gadis berbaju kembang-kembang di depan mereka.

"Hi hi hi...! Kalian mengapa bengong begitu? Aku memang Dewi Sembadra!" kata gadis berbaju kembang-kembang mengakui.

"Bagaimana mungkin...? Dewi Sembadra telah meninggal delapan tahun yang lalu. Mustahil dapat hidup kembali...!" desis Witara, tidak percaya.

"Hik hik hik...! Memang segalanya sulit dipercaya. Tapi, berkat pengorbanan darah dan kesaktian orang yang kami junjung tinggi, terbukti kalian semua dapat melihatku kembali, bukan?" Dewi Sembadra tertawa mengejek.

"Jadi kaulah orangnya yang telah membunuh Ki Lokapala dan istrinya, berikut para pengawal kadipaten itu?" tanya Wisesa tidak sabar.

Gadis cantik di depan dua dari Tiga Pendekar Golok Terbang menyeringai lebar. Wajahnya yang pucat pasi tampak berubah mengerikan. Demikian juga tatapan matanya yang seakan tidak memiliki gairah hidup sekali. Mata itu sekarang tampak berbinar-binar, mengandung sinar aneh menyimpan kekejaman.

"Memang patut kuakui, aku yang bertanggung jawab dalam urusan kematian mereka!" dengus Dewi Sembadra.

"Mengapa kau membunuhnya?!" bentak Witara.

"Membunuh siapa pun, memang merupakan tugas yang diberikan padaku. Bahkan aku juga sebentar lagi akan membunuh dua ekor tikus jelek yang sengaja menunggu datangnya kematian!"

Wisesa dan Witara saling berpandangan. Siapa pun orangnya yang dimaksudkan oleh gadis ini, tidak lain diri mereka sendiri.

"Coba katakan padaku, siapa orang yang menyuruhmu?" tanya Wisesa lebih jauh.

"Hi hi hi. Nanti kalau telah berada di neraka, kalian pasti segera tahu siapa orang yang menyuruhku. Maka itu, bersiap-siaplah untuk mati! Hiyaaa...!" Dewi Sembadra tiba-tiba saja berteriak nyaring. Tubuhnya berkelebat cepat, sambil mengirimkan satu jotosan berisi tenaga dalam tinggi.

"Heiiit...!" Dengan gerakan indah, Wisesa dan Witara langsung berkelit ke samping sebanyak dua langkah. Lalu dengan jurus 'Membelah Mega Menggulung Topan', mereka mengadakan serangan balik yang tidak kalah gencarnya.

"Bagus! Kalian telah berani melawan adik kandung majikan sendiri. Kalian pasti akan menjadi manusia yang merugi!" dengus gadis berbaju kembang kembang ini. Lalu tubuhnya berputar. Kemudian tangan dan kakinya menghantam deras perut dan tenggorokan lawannya.

"Manusia ini hanyalah rongsokan yang dimanfaafkan iblis! Lebih baik kita cincang dia sekarang juga!" kata Witara melalui ilmu menyusup suara.

Rupanya Dewi Sembadra mampu juga mendengarnya. Sehingga sambil mendengus marah, serangannya semakin diperhebat. Setiap jurus yang dilancarkan Dewi Sembadra mengandung racun yang sangat ganas. Bahkan jemari tangannya yang terkembang dan berkuku runcing menyambar-nyambar ke bagian-bagian tubuh Wisesa dan Witara.

"Hm," gumam Witara tidak jelas.

Sementara itu serangan-serangan yang dilakukan Dewi Sembadra semakin cepat. Bahkan berkali-kali nyaris melukai lawan-lawannya.

"Heaaa...!" Witara melompat mundur. Diberinya isyarat pada kakak seperguruannya. Lalu...

Sret! Sret! Bet!

Kini sebilah golok besar tajam berkilat telah berada di dalam genggaman tangan Wisesa dan Witara. Sedangkan Dewi Sembadra hanya menyeringai lebar.

"Bagus! Kalian telah mengeluarkan senjata! Hiyaaa...!" dengus gadis berbaju kembang-kembang ini.

Dewi Sembadra kemudian memutar tangannya sedemikian rupa. Putaran tangannya semakin lama semakin cepat bukan main. Sehingga, menimbulkan gelombang angin besar yang sangat dingin. Witara terkesiap. Dari hembusan angin akibat putaran tangan lawannya saja, sudah bisa dipastikan kalau wanita itu sekarang telah bersiap-siap melepaskan pukulan beracunnya.

Tanpa menunggu lebih lama, Wisesa, Witara langsung menerjang. Pertempuran jarak dekat terjadi! Golok besar di tangan dua dari Tiga Pendekar Golok Terbang berkelebat menyambar, sehingga menimbulkan deru angin disertai berkelebatnya sinar putih berkilauan. Golok itu membabat ke berbagai jalan kematian. Gerakan mereka cepat bukan main, sehingga membuat Dewi Sembadra tampak terdesak dan terus menerus bergerak mundur. Bahkan dari arah belakang, serangan Witara juga tidak kalah gencar dan berbahayanya.

Sementara gadis yang telah meninggal delapan tahun yang lalu ini akhirnya terpaksa melompat ke udara. Namun sayang, golok besar di tangan Wisesa telah bergerak memotong terlebih dahulu. Sehingga dengan gugup dia berusaha menangkisnya.

"Heaaa...!"

Wut! Cras!

"Aaakh...!" Dewi Sembadra menjerit tertahan. Tangan kirinya yang dipergunakan untuk menangkis, terbabat putus oleh golok besar di tangan Wisesa. Dan puntungan tangan itu jatuh persis di depan kaki Dewi Sembadra. Darah langsung mengucur dari luka yang cukup mengerikan ini. Tapi, sungguh aneh. Warna darah yang mengucur dari luka itu juga berwarna hitam pekat.

"Bangsat rendah! Kalian segera merasakan betapa pedihnya pembalasanku!" teriak Dewi Sembadra. Seakan tidak menghiraukan luka yang diderita. Dan seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan dirinya, gadis berbaju kembang-kembang ini tiba-tiba saja menyilangkan tangan kanan ke depan dada. Wajahnya yang pucat tampak mengelam. Sementara, telapak tangannya telah berubah hitam. Malah perlahan-lahan bertambah hitam menggidikkan. Tangan yang telah teraliri tenaga dalam ini tampak mengepulkan uap hitam berbau menusuk.

Wisesa dan Witara tersentak kaget. Sadarlah mereka kalau lawan yang dihadapi sekarang telah mengerahkan pukulan 'Bayangan Perenggut Nyawa'. Sadar betapa berbahayanya pukulan tersebut, tanpa membuang waktu lagi kedua laki-laki ini memutar goloknya yang di tangan kiri. Sedangkan tangan kanan melepaskan pukulan 'Badai Gurun'.

"Hiyaaa!"

Wisesa dan Witara melompat tinggi. Tangan kanan mereka dihentakkan ke depan, bersamaan waktunya dengan datangnya sinar hitam yang melesat dari telapak tangan Dewi Sembadra. Sinar hitam datang menggebu-gebu. Udara di sekeliling mereka berubah panas dan dingin. Lalu...

Blar!

Terjadi benturan keras menggelegar saat dua pukulan sakti dan berisi tenaga dalam tinggi bertemu di udara.

"Hugkh...!"

"Akh!"

Wisesa dan Witara jatuh terguling-guling sambil menutupi dada dan wajahnya yang seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum. Sedangkan Dewi Sembadra sendiri jatuh terduduk, dengan kaki menekuk. Darah meleleh dari sela-sela bibir Wisesa. Sedang dari hidung Witara juga tampak darah mengucur deras. Namun, laki-laki ini cepat bangkit berdiri setelah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita.

Dia ternyata menderita luka seperti kita, Kakang!" bisik Witara setelah melihat lawannya berusaha bangkit dan tempatnya.

"Jika bisa terluka dalam, tentu tubuhnya tidak kebal terhadap senjata. Kita telah memutus tangannya. Sekarang, hanya tinggal membereskannya saja!" timpal Wisesa.

"Tapi...!"

"Jangan ragu-ragu! Dia hanya berada dalam pengaruh iblis. Sedangkan tubuhnya hanya jasad Dewi Sembadra yang telah mati!" tegas Wisesa yang seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan adik seperguruannya.

Akhirnya, tanpa berpikir panjang lagi dua saudara seperguruan ini langsung menyerang kembali mengandalkan jurus 'Membalik Bukit Memupus Siluman'. Inilah salah satu jurus yang terhebat yang dimiliki Tiga Pendekar Golok Terbang. Senjata di tangan mereka berkelebat lenyap, seakan-akan telah berubah menjadi banyak. Sinar golok berkelebat mendengung-dengung.

"Ihhh...!" Dewi Sembadra yang sudah terluka tampak terkejut bukan main.

Laksana kilat, dia melompat ke belakang menghindari tebasan golok sejauh tiga batang tombak. Tampaknya dia juga tidak mau kalah. Sambil menggeram marah, dikerahkannya jurus 'Tameng Para Iblis'. Tubuh Dewi Sembadra berkelebat menghindar. Di satu kesempatan dia melancarkan serangan balik ke arah Wisesa. Tendangan kakinya menderu deras, terarah pada bagian selangkangan Wisesa. Tapi sebelum serangan dahsyat itu mencapai sasarannya dan arah samping kiri golok di tangan Witara menebas.

Wus!

Dewi Sembadra yang tidak menyangka datangnya serangan lain, berusaha menarik balik kakinya. Tapi, terlambat. Karena...

Cras!

"Hugkh...!" Dewi Sembadra memekik kaget begitu kakinya terbabat putus oleh golok Witara. Tubuhnya mengejang. Darah menyembur dari kakinya yang putus. Dan belum sempat wanita itu berbuat apa-apa dari arah samping terlihat Wisesa juga menusukkan golok di tangan ke bagian perutnya.

"Heaaa...!"

Dengan terpincang-pincang Dewi Sembadra masih berusaha berkelit. Serangan Wisesa luput. Namun tanpa mengenal rasa putus asa, laki-laki ini berbalik. Golok di tangannya menyambar deras ke bagian dada Dewi Sembadra.

Cres!

"Aaa...!" Dewi Sembadra melolong panjang. Tubuhnya kontan terbanting keras. Darah berwarna hitam menyembur dari bagian luka di dadanya yang nyaris terputus menjadi dua bagian. Tubuhnya menggelepar sesaat, lalu terdiam mati.

Wisesa dan Witara terus memperhatikan keadaan lawannya ini. Lalu mereka tiba-tiba saja berseru kaget. Tanpa sadar mereka sempat mundur beberapa langkah. Bagaimana tidak? Wajah yang cantik mulus ini secara perlahan tampak berubah keriput seperti nenek renta berusia sembilan puluh tahun. Sekujur kulit tubuhnya juga mengendor, lalu membusuk cepat. Kemudian, tercium bau busuk yang begitu menusuk. Mayat Dewi Sembadra meleleh bagai mayat yang telah kehilangan nyawa lebih dari empat puluh hari.

"Benar-benar ilmu iblis!" desis Witara sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kalau tidak melihat sendiri apa yang terjadi di depannya, mungkin laki-laki berbaju merah ini tak akan percaya.

"Rupanya delapan tahun yang lalu, seorang tokoh telah menculik mayat-mayat dari dalam kubur, semata-mata hanya untuk dijadikan pesuruh setelah dibangkitkan dengan ilmu sesat," gumam Wisesa.

"Dunia ini memang dipenuhi berbagai keanehan, Kakang! Tapi alangkah baiknya kalau kita tinggalkan tempat ini secepatnya! Adipati Danu Tirta tampaknya membutuhkan pengawalan ketat!"

"Ayolah! Entah mengapa aku sendiri sekarang malah mengkhawatirkan keselamatan adipati," sahut Wisesa.

***

Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti meneruskan perjalanannya sampai ke tengah-tengah Hutan Cagak Kemuning. Tapi anehnya, sampai se jauh itu tidak ditemui hambatan yang berarti lagi. Hingga akhirnya, sampailah Rangga di dataran yang agak tinggi. Di sini, Dewa Bayu kembali memperdengarkan ringkikan resah. Rangga meningkatkan kewaspadaannya. Matanya yang tajam menjelajahi sekitarnya. Sampai kemudian Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah dataran rendah. Keningnya tampak berkerut dalam ketika melihat satu keanehan di sana.

"Apa itu? Kulihat seperti peti mati. Tapi, mengapa jumlahnya begitu banyak?" kata Rangga, membatin.

Pendekar Rajawali Sakti akhirnya memutuskan untuk memeriksa suasana di dataran rendah yang mirip lembah kecil itu. Perlahan-lahan kuda dipacu.

"Diamlah di sini, Dewa Bayu! Aku ingin memeriksa peti-peti mati di depan sana!" ujar Rangga, lalu melompat turun.

Setelah mengelus-elus tengkuk Dewa Bayu, Rangga menghampiri peti-peti mati itu. Mulai ditelitinya keadaan peti mati yang agaknya sudah cukup tua. Dengan penasaran, Pendekar Rajawali Sakti membuka salah satu peti. Dan ternyata, seluruhnya dalam keadaan kosong.

"Mungkin di sinilah orang itu membangkitkan mayat-mayat yang diculiknya delapan tahun lalu Eee... Ada kendi besar di sana!" desah Rangga.

Segera Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kendi berwarna hitam yang berada lima tombak di depannya. "Hm... Bukan main busuknya bau kendi ini. Jelas..., jelas sekali sisa-sisa cairan di dalam kendi ini berubah darah yang sudah tidak terpakai. Sekarang, aku baru mengerti kalau sebenarnya mayat-mayat itu dibangkitkan kembali dengan bantuan darah ini," kata Rangga dalam hati. Tapi, mengapa aku tidak melihat ada orang di sini? Ataukah, orang itu telah meninggalkan Hutan Cagak Kemuning dan menyerbu ke Kadipaten Blambangan?"

Pendekar Rajawali Sakti tampak ragu-ragu. Dan belum juga keraguannya lenyap tiba-tiba saja satu hantaman keras menderu ke arah tulang rusuk kirinya. Rangga tersentak kaget. Kehadiran orang yang menyerangnya benar-benar tidak menimbulkan suara sama sekali. Dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki pembokongnya.

"Heaaa...!" Secepat kilat Rangga berkelit menghindar. Namun sebuah serangan lain sempat menyerempet tangannya.

Buk

"Hugkh!" Rangga mengeluh pendek. Tubuhnya sempat bergetar terhantam jotosan tadi. Dengan terhuyung-huyung, tubuhnya berbalik dan langsung menghadang ke arah sosok yang baru saja menyerangnya cara gelap.

Ketika Pendekar Rajawali Sakti menoleh ke samping kiri, di sana telah berdiri seorang laki-laki tua berbaju hitam. Jenggot dan kumisnya serba putih. Laki-laki ini memegang sebatang toya pendek berwarna hitam. Pada setiap ujungnya, tampak sebuah lubang kecil.

"Siapa Kisanak? Mengapa menyerangku?" tanya Rangga, bersikap waspada.

Laki-laki berbaju hitam dan bertampang dingin ini tersenyum rawan. Wajahnya yang pucat tidak berdarah, berubah kelam dan menyimpan hawa membunuh yang menyala-nyala. "Aku berjuluk Toya Maut. Dan mengapa aku menyerangmu? Kau jangan banyak tanya!" bentak kakek berambut putih ini, sambil bertolak pinggang.

"Hm, begitu?" desis Rangga. Matanya memandang tajam pada laki-laki di depannya.

:Tentu saja. Kau memasuki lembah ini tanpa sepengetahuan majikan kami...!"

"Majikan?" potong Rangga. "Siapa majikanmu?" desak Rangga, menyelidik.

"Kau tidak pantas mengetahui majikan kami! Yang boleh kau ketahui, kau telah memasuki daerah larangan. Tidak ada jalan lain bagimu, kecuali mati!" sahut kakek ini, ketus.

Rangga tersenyum. "Hm.... Sekarang aku sudah tahu, bahwa sebenarnya kau juga merupakan anak buah manusia setan itu. Siapa pun yang menjadi anak buahnya, yang jelas tetap merupakan mayat hidup yang dirasuki kekuatan iblis! Kau adalah bangkai, Kisanak. Bangkai yang menjadi alat manusia yang mempunyai dendam membara!" sentak Rangga, sehingga membuat kakek berwajah angker ini jadi terkejut juga menggeram penuh kemarahan.

"Keparat! Heaaa...!" keras dan tajam bentakan kakek ini. Tiba-tiba saja tubuh Toya Maut melenting ke udara. Setelah bersalto beberapa kali di atas kepala Rangga, toya hitam di tangannya dipukulkan ke bagian kepala Pendekar Rajawali Sakti

Wut!

"Iblis...!" desis Rangga.

Slap!

Seketika itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menggeser langkahnya sambil menarik tubuhnya hingga condong ke belakang.

***
TUJUH
Pukulan toya kakek baju hitam yang terkenal berjuluk Toya Maut ini luput. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah lebih dulu melenting ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Kemudian tubuhnya meluruk deras ke arah si Toya Maut ini. Kedua kakinya bergerak cepat dan lincah sekali. mengarah pada bagian kepala.

"Heaaa ..!"

"Gila...! Heps!" Kakek berbaju hitam terkejut setengah mati. Cepat bagai kilat toya pendek di tangannya dikibaskan.

Tidak dapat disangkal lagi. Saat ini Rangga memang tengah mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Bukan main dahsyat serangan Rangga ini. Serangan toya lawannya berhasil dielakkan dengan cara menarik sedikit bagian kakinya.

Toya Maut terburu-buru membanting tubuhnya ke sebelah kiri. Kemudian terus berguling-gulingan beberapa kali. Serangan Pendekar Rajawali Sakti luput dari sasaran. Bunyi keras terdengar saat kaki Rangga membentur tanah, tempat di mana tadi Toya Maut berdiri. Debu dan pasir memenuhi udara sekitarnya.

"Keparat! Hampir saja!" desis si Toya Maut.

Tapi Pendekar Rajawali Sake sudah tidak menghiraukan lagi ucapan laki-laki itu. Dengan cepat, dia melompat lagi sambil melepaskan dua pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

Toya Maut yang baru saja bangkit berdiri, buru-buru melentingkan tubuhnya ke samping kiri. Serangan Pendekar Rajawali Sakti luput. Namun baru saja kedua kakinya menjejak di atas tanah, Rangga sudah kembali melakukan serangan dahsyat!

Dengan segenap kemampuan yang dimiliki, Toya Maut memutar toya pendek berwarna hitam di tangannya. Angin kencang menderu deru, melesat keluar dari setiap ujung toya. Udara di sekelilingnya berubah dingin bukan kepalang.

Terpaksa, kali ini Rangga harus berjumpalitan menghindari serangan dahsyat itu. Gerakan menghindar yang dilakukannya dalam menghadapi serangan balik lawannya, memang sungguh cepat luar biasa. Beberapa kali Rangga berusaha membendung gelombang serangan Toya Maut. Tapi sampai sejauh itu, dia masih belum mampu mematahkan pertahanan laki-laki tua itu.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga melompat mundur sejauh dua batang tombak, serangannya segera dihentikan. Begitu juga Toya Maut. Sementara itu tatapan mata Rangga memandang tajam pada kakek berbaju hitam yang berdiri tegak mengawasi tidak jauh di depannya.

"Dengan siapa kau bekerja, Kisanak?"

"Apakah itu sangat perlu bagimu?" kakek bertampang angker balik bertanya.

"Hm," gumam Rangga tidak jelas.

"Baik. Karena kau sebentar lagi akan mati, tidak salah jika aku menjawab pertanyaanmu!" kakek berbaju hitam menyeringai. "Aku bekerja untuk Setan Perenggut Nyawa. Sudah jelaskah bagimu?!"

"Masih belum cukup! Masih ada lagi satu pertanyaan buatmu!" sergah Rangga.

"Apa itu?" tanya Toya Maut sambil menyilang kan toya pendeknya ke depan dada.

"Ke mana perginya Setan Perenggut Nyawa?"

"Ha ha ha! Saat ini mungkin majikanku itu telah mencabik-cabik tubuh Adipati Danu Tirta, musuh besarnya!"

Rangga terkejut bukan main mendengar penjelasan si Toya Maut. Sekarang baru disadari kalau keselamatan adipati dalam keadaan terancam. Berarti, kedatangannya ke Hutan Cagak Kemuning benar-benar telah terlambat. Sekarang, tidak ada pilihan lain bagi Rangga, kecuali merobohkan lawannya secepatnya. Tanpa bicara lagi, tiba-tiba tubuh Pendekar Rajawali Sakti tampak melesat ke depan.

"Heaaa..!"

"Hm... Rupanya kau benar benar ingin mati secepatnya, Anak Muda!" dengus Toya Maut, langsung menyambut serangan gencar ini. Hanya dalam waktu singkat, pertempuran berubah seru kembali. Terlebih-lebih bila mengingat, masing-masing ingin merobohkan secepat mungkin.

"Uts! Setan!" maki Rangga sambil menepis toya si kakek yang hampir saja menghantam wajahnya. "Hugkh..!" Sekujur tubuh Rangga bergetar keras begitu menangkis toya. Tangannya terasa sakit seperti remuk.

Namun tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Sekejap kemudian, telapak tangan pemuda berompi putih ini telah berubah merah membara. Bahkan udara di sekelilingnya telah berubah panas luar biasa.

Laki-laki tua berwajah angker di depan Pendekar Rajawali Sakti tampak terkesiap. Langsung diselipkannya toya pendeknya di bagian punggungnya. Di lain saat, tenaga dalamnya telah dikerahkan ke bagian telapak.

Melihat tangan Toya Maut berubah menghitam, Rangga segera meningkatkan kewaspadaan. "Heaaa!" Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan kedua tangannya ke arah kakek berbaju hitam ini. Seketika itu pula, seleret sinar berwarna merah menyala meluruk, menderu hingga menimbulkan gelombang angin panas bergulung-gulung.

Pada waktu bersamaan, sinar hitam berhawa dingin membekukan dan menebarkan bau busuk menusuk hidung menderu menyongsong pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

"Huagkh...!" Pendekar Rajawali Sakti dan Toya Maut sama-sama terjungkal ke belakang.

Tanah tempat berpijak kontan bergetar laksana dilanda gempa. Di tengah-tengah ledakan dahsyat itu, terdengar pula jerit kesakitan seseorang. Pohon-pohon bertumbangan. Daun-daun berguguran dilanda angin pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti secepatnya bangkit berdiri. Tampak, Toya Maut yang semula jatuh sudah berdiri terhuyung-huyung, berusaha memperbaiki keseimbangan. Tanpa menunggu lebih lama, Rangga langsung menyerang kembali. Untuk yang kedua kalinya, dilepaskannya 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Hiya! Heaaa...!"

Saat itu pula dua leret sinar melesat cepat laksana kilat. Segelombang angin kencang menebar hawa panas seperti di neraka. langsung melanda si Toya Maut. Padahal, kakek berbaju hitam ini belum sempat berbuat sesuatu.

"Ihhh...!" Toya Maut memutar toya pendek di tangannya. Sinar hitam yang memancar dari toya bergulung-gulung membentuk sebuah perisai yang sangat kuat. Dan...

"Aaa. .!" Usaha kakek yang sebenarnya mayat hidup ini tampaknya hanya sia-sia saja. Karena, 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Rangga mengandung tenaga dalam berlipat ganda! Toya Maut menjerit keras merobek langit.

Tubuhnya tanpa tertahan lagi jatuh terpelanting, dan langsung menghantam pohon besar yang terdapat di belakangnya. Kepala Toya Maut kontan remuk. Otaknya yang berbau busuk hancur berantakan, dan meleleh keluar dari hidung dan telinganya bersama cairan hitam seperti darah.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya dalam-dalam. Tiba-tiba benaknya teringat Adipati Danu Tirta. Dengan tergesa-gesa dihampirinya Dewa Bayu yang tengah merumput di atas bukit kecil tidak jauh di depan sana. "Mudah-mudahan aku tidak terlambat datang ke Kadipaten Blambangan!" kata Rangga dalam hati.

***

Tiga Pendekar Golok Terbang dengan Adipati Danu Tirta tampak terlibat pembicaraan seputar Dewi Sembadra yang sempat membunuh mertua sang adipati. Walau bagaimanapun, Adipati Danu Tirta seakan tidak percaya mendengar penjelasan orang-orang yang telah membantunya selama ini.

Dewi Sembadra delapan tahun yang lalu, telah meninggal dan dikuburkan secara layak di pemakaman keluarga. Dan kemudian, diketahui mayat adik kandungnya itu hilang dari liang lahat diculik oleh seseorang, bersamaan waktunya dengan menghilangnya mayat-mayat keluarga orang Iain.

Sekarang ini, Dewi Sembadra muncul kembali dan melakukan serangkaian tindak keresahan di mana-mana atas perintah seseorang. Siapa pun orangnya yang berdiri di balik semua peristiwa pembunuhan ini, yang jelas pasti sangat sakti dan memiliki ilmu iblis yang kuat.

"Aku telah hampir kehilangan segala-galanya! Bahkan adik kandungku sendiri yang sudah mati menjadi lawan, sekaligus pembunuh keluarga istriku..!" ujar Adipati Danu Tirta sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

"Dewi Sembadra bukan musuh. Dia telah diperalat untuk merongrong kewibawaan Kakang," kata Wisesa menanggapi.

"Benar! Tidak ada orang yang sudah mati dapat melakukan sesuatu," timpal Witara.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Adipati Danu Tirta. Wajahnya tampak muram, pertanda sedang mengalami guncangan hebat dalam hati.

"Mungkin lebih baik kita menunggu kabar dari Pendekar Rajawali Sakti untuk memutuskan usaha selanjutnya," usul Permana.

Suasana di dalam ruangan yang cukup besar itu berubah hening. Masing-masing tenggelam dalam pikiran. Walau bagaimanapun, dalam keadaan seperti ini sangat sulit bagi mereka untuk menentukan pilihan. Terlebih-lebih, bila mengingat kalau saat ini yang menjadi incaran si tokoh berselubung teka-teki ini adalah Adipati Danu Tirta sendiri.

"Apakah ada yang punya pendapat lain?" tanya Adipati Danu Tirta, seraya mengangkat wajahnya. Matanya menatap Tiga Pendekar Golok Terbang satu demi satu.

"Tidak ada pilihan terbaik bagi kita semua. terkecuali menunggu kedatangan Rangga. Atau bahkan, kalau mungkin menantikan kedatangan biang pembunuh itu," kata Wisesa.

"Hm," gumam Adipati Danu Tirta sambil mengangguk-angguk.

Memang kalau dipikir, benar juga ucapan Wisesa. Mereka lebih baik bertahan menunggu segala kemungkinan. Tapi, bagaimana pula dengan keselamatan Pendekar Rajawali Sakti? Jika sampai terjadi apa-apa dengannya, bukankah semua itu adalah kesalahan adipati sendiri? Dialah yang telah meminta bantuan Rangga untuk mencari tempat persembunyian Setan Perenggut Nyawa!

"Apa yang Kakang Adipati pikirkan?" tanya Permana, memecah keheningan.

"Eee...! Tidak ada...!" sahut Adipati Danu Tirta,

"Kalau ada apa-apa, sebaiknya Kakang berterus terang pada kami. Karena bagaimanapun, kami telah menganggap Kakang tidak ubahnya seperti saudara sendiri!" ucap Witara.

"Sungguh tidak ada apa-apa," Adipati Danu Tirta bersikeras.

"Baiklah kalau tidak ada apa-apa. Kami ingin mohon diri untuk istirahat sementara waktu," ujar Wisesa diikuti anggukan kepala saudara seperguruan lainnya.

"Silakan. Namun sebelum itu, beritahu semua pengawal yang berjaga-jaga di depan sana untuk selalu bersikap waspada!"

"Perintah kami laksanakan!" sahut Witara.

Baru saja Tiga Pendekar Golok Terbang bermaksud meninggalkan ruangan. Terdengar benturan keras pada pintu depan. Benturan yang disertai suara berderak dan hancurnya pintu, disusul berkelebatnya sosok tubuh berpakaian pengawal. Sosok itu tampak menggelepar, lalu terdiam dengan tubuh tampak remuk. Semua orang yang berada dalam ruangan tampak terkesiap. Mereka sama-sama memandang ke arah daun pintu yang telah hancur berkeping-keping.

"Apa yang terjadi?!" sentak Adipati Danu Tirta, seraya berlari ke depan melalui pintu yang hancur berantakan.

Tiga Pendekar Golok Terbang ikut menyusul tergesa-gesa. Dan ketika sampai di teras depan, mereka memandang ke halaman. Ternyata seluruh pengawal yang ada di sana, bergelimpangan roboh dengan badan hangus seperti terbakar.

"Gila! Siapa yang telah melakukannya?!" desis Adipati Danu Tirta, jelas-jelas tidak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya.

Tiga Pendekar Golok Terbang juga tidak mampu menguasai diri. Mereka benar-benar sangat heran. Bagi mereka, jika seseorang mampu membunuh para pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi tanpa menimbulkan suara sedikit pun, berarti orang itu benar-benar memiliki kepandaian sulit diukur. Tapi, siapa orangnya? Tidak ada orang lain di tempat itu, terkecuali mereka berempat.

"Pembunuh pengecut! Cepat tunjukkan diri!" teriak Adipati Danu Tirta. Suaranya yang bercampur amarah terdengar menggelegar, hingga membuat tiang-tiang teras bergetar.

Sepi mencekam. Tidak ada sahutan apa-apa. Adipati Danu Tirta kemudian memerintahkan Tiga Pendekar Golok Terbang untuk melakukan pemeriksaan. Namun belum sempat orang-orang ini beranjak dari tempatnya berdiri, dari atas rumah tampak melayang sosok tubuh perempuan berbaju biru.

"Hah...!"

Jantung Tiga Pendekar Golok Terbang seperti terasa copot. Demikian pula Adipati Danu Tirta. Mata mereka melotot seakan hendak keluar dari dalam rongga. Mulut mereka ternganga, ketika mengenali perempuan yang tergeletak tiga tombak di depan ini sudah tidak bergerak.

"Seroja! Istriku...!" pekik Adipati Danu Tirta, langsung menghambur mendapatkan jenazah istrinya yang telentang di tanah dengan sekujur tubuh berubah hitam. "Oh...! Mengapa begini buruk nasibmu. Dinda!" teriak Adipati Danu Tirta tersedu-sedu dan sambil memeluki jenazah istrinya.

Sementara itu Tiga Pendekar Golok Terbang yang juga tampak marah melihat kematian istri sang adipati, mulai meneliti tempat di sekitarnya.

"Keparat! Sungguh manusia iblis yang begini tega membunuh istriku yang tidak berdosa!" maki Adipati Danu Tirta, melengking tinggi. "Sekalipun iblis dari neraka, tunjukkan diri jika memang berani bertanggung jawab dalam pembunuhan ini!"

"Ha ha ha...! Danu Tirta! Aku bukan iblis! Aku adalah Setan Perenggut Nyawa yang sengaja datang kemari, untuk menagih hutang nyawa berikut bunganya!"

Terdengar sebuah suara menyahuti. Suara itu melengking tinggi mendayu-dayu, menyakitkan gendang-gendang telinga dan menusuk-nusuk jalan darah.

Adipati Danu Tirta terkesiap. Lalu secepatnya kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tadi. Kini dengan jelas Adipati Danu Tirta dan Tiga Pendekar Golok Terbang melihat seorang laki-laki berbadan ramping berdiri tegak di atas atap rumah. Laki-laki ini berbaju serba hitam. Wajahnya tampak rusak di sana sini. Matanya hanya sebelah, dan seperti akan keluar dari dalam rongganya. Sementara bibirnya yang rusak tidak berbentuk, hampir copot dari dagunya.

Baik Adipati Danu Tirta maupun Tiga Pendekar Golok Terbang bergidik. Bahkan cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain. Sementara Adipati Danu Tirta yang menyimpan kemarahan besar terhadap orang yang berdiri di atas rumah itu segera memandang kembali.

"Manusia keparat! Wajahmu seperti iblis. Siapakah kau sebenarnya?!" bentak Adipati Danu Tirta.

Bukannya marah mendengar kata-kata kasar Adipati Danu Tirta, sebaliknya laki-laki bertampang rusak ini malah tertawa terbahak-bahak. Ketika suara tawa yang menyeramkan lenyap dihembus angin, kini mata Setan Perenggut Nyawa yang tinggal sebelah itu memandang tajam penuh dendam ke arah Adipati Danu

"Masih kenalkah kau dengan aku, Danu Tirta?" bentak laki-laki berjubah hitam ini kasar.

Tiga Pendekar Golok Terbang tentu saja menjadi marah, karena laki-laki bermata satu bertampang rusak ini dengan berani menyebut begitu saja nama sang adipati.

"Manusia hina! Kuharap mulutmu bisa sopan bicara dengan Kakang Adipati!" teriak Wisesa.

Laki-laki bertampang rusak tiba-tiba kembali tertawa. Sungguh aneh. Suara tawanya tidak seperti tawa laki-laki, sebagaimana pertama tadi. Tapi, sekarang telah berubah seperti tawa perempuan.

"Eee... siapakah kau...?!" tanya Adipati Danu Tirta, bergetar.

"Hi hi hi...! Sebelas tahun yang lalu, kau hampir membuat aku mati, Danu Tirta! Masih ingatkah kau dengan gadis yang bernama Kunti Arimbi?" kata orang berbadan langsing.

Sekejap kemudian, Setan Perenggut Nyawa telah menanggalkan penyamarannya. Dan, tampaklah jelas di balik rambut yang acak-acakan terdapat rambut asli yang panjang tergerai. Ketika topeng wajahnya ditanggalkan, maka wajah yang mengerikan itu serta merta lenyap. Kini, berganti wajah seorang perempuan dengan luka memanjang di pipi. Wajahnya memang masih tampak cantik. Hanya sayang, memang memiliki sebelah mata. Sedangkan mata yang lain tampak lowong, membentuk sebuah lubang menganga yang terus menerus meneteskan darah.

Kemarahan Adipati Danu Tirta serta merta lenyap, berganti dengan rasa terkejut bukan kepalang. Wajahnya yang sempat berubah memerah, sekarang telah berubah pucat seperti mayat.

Kunti Arimbi baginya bukan nama asing dalam hidupnya. Perempuan yang masih berdiri di atas atap rumah ini adalah adik seperguruannya sendiri, yang memiliki watak ugal-ugalan dan mau menang sendiri. Segala tindakannya cenderung menjurus kesesatan. Wataknya kejam, dan bahkan selalu bertindak sewenang-wenang. Dulu Kunti Arimbi melarikan diri dari gurunya, setelah mencuri kitab 'Pembangkit Mayat'. Dan apa yang dilakukan perempuan itu tentu saja membuat guru mereka marah.

***
DELAPAN
Adipati Danu Tirta, sebagai pemuda dan murid yang selalu patuh pada gurunya, segera mendapat tugas untuk mencari Kunti Arimbi yang telah melarikan kitab. Ketika mereka bertemu, ternyata Kunti Arimbi bersikeras tidak mau mengembalikan kitab 'Pembangkit Mayat' yang telah dilarikannya. Bahkan gadis itu mempengaruhi Adipati Danu Tirta dan mengajaknya bermesum dengan segala bujuk rayu.

Karena usaha yang dilakukan tidak membawa hasil, tidak ada jalan lain bagi Kunti Arimbi kecuali bertarung dengan kakak seperguruannya sampai titik darah terakhir. Pertarungan seru yang menentukan hidup atau mati dari salah satu saudara seperguruan itu, berlangsung sangat seru. Tapi, ternyata Adipati Danu Tirta lebih unggul dalam berbagai hal.

Kunti Arimbi dapat dirobohkan. Bahkan selain dapat melukai pipi, Adipati Danu Tirta yang menganggap saat itu Kunti Arimbi tewas, segera mencongkel mata perempuan itu. Kejadian sebelas tahun yang lalu itu memang tidak dapat dilupakan begitu saja, walaupun sekarang ini Adipati Danu Tirta telah menjadi Adipati Blambangan.

"Danu Tirta manusia laknat! Kukira dalam sikap diammu, kau mengingat semua peristiwa yang pernah kau lakukan terhadap diriku!" teriak Kunti Arimbi.

"Hm, tentu saja aku mengingatnya. Kukira kau telah mati...!"

"Memang semua orang mengira aku telah mati, Danu Tirta! Tapi rupanya, nyawaku begitu alot dan tidak mau meninggalkan ragaku yang rusak!" potong Kunti Arimbi, berapi-api.

"Lalu, apa yang kau inginkan dariku setelah melakukan penculikan mayat-mayat itu dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa...?" tanya Adipati Danu Tirta, yang sudah dapat menguasai dirinya kembali.

Kunti Arimbi yang selama ini dikenal berjuluk Setan Perenggut Nyawa tertawa lagi. Sungguh menyeramkan tawanya. Bahkan tidak lama setelah itu, tubuhnya tampak melesat turun dari atas atap rumah. Begitu Setan Perenggut Nyawa menjejakkan kedua kakinya di atas permukaan tanah, secara serentak Tiga Pendekar Golok Terbang langsung mengurung!

"Hm... Kalian monyet-monyet berbaju merah! Lebih baik jangan campuri urusan pribadi kami, jika tidak ingin mencari penyakit!" bentak Kunti Arimbi, meludah ke tanah.

"Bangsat! Manusia setan. Bagaimanapun, kami tidak akan membiarkan kau bertindak seenak perutmu. Terlebih lebih, setelah mengetahui siapa kau yang sebenarnya!" geram Witara. Rupanya laki-laki ini menyadari kalau wanita bermuka cacat yang terkurung itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Untuk itu, Witara telah bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan.

"Hm... Tampaknya aku harus mengirim manusia-manusia usil seperti kalian ke neraka!" dengus Kunti Arimbi.

Laksana kilat Setan Perenggut Nyawa menjentikkan jemari tangannya yang lentik ke arah Tiga Pendekar Golok Terbang. Adipati Danu Tirta terkesiap melihat serangan mendadak Kunti Arimbi ke arah tiga orang pembantu utamanya. Namun hingga sejauh itu, dia masih tetap punya keyakinan kalau Tiga Pendekar Golok Terbang mampu mengatasi.

Seleret sinar hitam tampak melesat dari ujung-ujung jemari tangan Kunti Arimbi. Melihat serangan ini Tiga Pendekar Golok Terbang secara bersamaan segera mengibaskan kedua tangan, menyongsong sinar hitam yang melesat dan ujung jemari tangan Setan Perenggut Nyawa.

Terjadi ledakan menggelegar berturut-turut. Debu dan pasir mengepul dan membubung tinggi ke udara. Wisesa, Witara, dan Permana tampak terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya. Sedangkan di pihak Setan Perenggut Nyawa hanya bergetar saja.

"Hi hi hi ! Ternyata kalian memiliki kepandaian juga! Kerahkanlah seluruh apa yang dimiliki! Hiyaaa...!" Diawali teriakan melengking tinggi, Kunti Arimbi langsung melompat ke depan. Tangan-tangannya yang terkembang membentuk cakar dan berkuku runcing berkelebat menyambar-nyambar ke bagian tertentu tubuh Tiga Pendekar Golok Terbang.

Tiga laki-laki satu seperguruan itu tampak terdesak. Mereka berusaha mati-matian membendung serangan yang datang menggebu-gebu dan menimbulkan angin dingin bersiuran.

"Kerahkan jurus 'Walet Menyambar Buih'!" teriak Wisesa, memberi aba-aba.

Dalam waktu sekedipan mata saja, Tiga Pendekar Golok Terbang telah mencabut golok besar dari warangka dan langsung menderu dahsyat menyerang ke segala penjuru titik kematian Kunti Arimbi.

"Keparat!" maki perempuan bermata satu ini, terpaksa menarik balik serangannya. Seketika jurusnya dirubah menjadi jurus 'Menerjang Karang Menghempas Badai'. "Heaaa...!"

Kunti Arimbi melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Kemudian, tubuhnya tampak berputar cepat. Semakin lama, semakin cepat. Bahkan bercampur angin menderu-deru.

Baju merah Tiga Pendekar Golok Terbang berkibar-kibar. Kulit tubuh mereka terasa perih seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum! Sungguhpun Wisesa, Witara, dan Permana telah memutar golok besar untuk mengusir pengaruh hawa dingin, namun masih tampak kewalahan. Tiba-tiba dalam waktu bersamaan, mereka mengeluarkan bentakan nyaring. "Hiyaaa...!"

Tiga Pendekar Golok Terbang sama-sama melompat melesat ke arah yang tampak terus berputar-putar seperti gasing mendekati Setan Perenggut Nyawa. Sementara tangan dan kakinya tidak henti-hentinya melepaskan serangan dahsyat. Pada saat itulah Tiga Pendekar Golok Terbang menetakkan golok di tangan ke bagian kepala wanita itu.

"Ups...! Keparat...!" maki Kunti Arimbi. Terpaksa kepalanya merunduk serendah mungkin sambil menjotos perut Witara.

"Hugkh!" Witara terhempas ke belakang. Sementara itu, Kunti Arimbi langsung berguling-gulingan untuk menyelamatkan diri dari bacokan golok di tangan Wisesa dan Permana.

Witara bangkit berdiri secepatnya, walaupun perutnya terasa seperti hancur. Dengan segenap kegeramannya, laki-laki berbaju merah ini mengibaskan goloknya. Namun, serangannya luput, karena Kunti Arimbi yang ternyata memiliki segudang pengalaman dalam bertarung sudah bangkit berdiri. Bahkan sekarang tubuhnya telah melesat ke udara.

Tubuhnya berputar beberapa kali, sekaligus menyapu dada Wisesa dan Witara dengan kakinya. Namun Witara yang sempat merasakan kelicikan wanita ini segera menghindar dengan menarik tubuhnya hingga agak condong ke belakang. Wisesa tampaknya terlambat menghindari serangan balik ini. Maka golok di tangannya dikibaskan. Sayang, gerakannya kalah cepat. Sehingga dengan telak tendangan kaki Setan Perenggut Nyawa menghantam dadanya.

"Akh...!" Wisesa menjerit sekeras-kerasnya. Tubuhnya kontan terhempas ke tanah. Dua tulang rusuknya patah. Dari hidung dan sudut-sudut bibirnya meleleh darah segar.

Sedangkan Kunti Arimbi tertawa panjang. Melihat hal ini Witara dan Permana tampak marah sekali. Maka dengan ganas dan beringas, mereka melipatgandakan serangan. Tubuh mereka berkelebat lenyap disertai bentakan-bentakan keras. Sedangkan golok di tangan mereka berkelebat, menyambar dan menimbulkan suara angin menebar udara panas.

"Hm," gumam Kunti Arimbi tidak jelas. Wisesa walaupun telah menderita luka dalam segera bangkit kembali. Sekarang Kunti Arimbi mendapat keroyokan Tiga Pendekar Golok Terbang. Dan tampaknya, dia memang harus mengakui kalau ketiga lawannya memang tidak dapat dianggap enteng. Sehingga dalam suasana sedemikian rupa, dia memutuskan untuk melepaskan pukulan 'Bayangan Perenggut Sukma'. Inilah satu pukulan andalan yang telah merenggut banyak korban!

Kunti Arimbi melompat mundur sejauh tiga batang tombak. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Tubuh perempuan ini tampak bergetar keras. Sementara dari ujung ujung jemarinya tampak mengepul kabut tipis berwarna hitam, menyebar bau busuk menusuk.

Semua lawan-lawannya segera sadar kalau wanita itu telah bersiap-siap melepaskan pukulan yang sangat mematikan. Sehingga tanpa menunggu lagi, Tiga Pendekar Golok Terbang langsung menerjang ke depan. Golok besar di tangan mereka disodokkan ke bagian lambung Kunti Arimbi.

"Kurang ajar!" maki Kunti Arimbi. Mulutnya menyeringai, ketika dadanya tergores ujung golok di tangan Witara.

Tanpa mempedulikan luka yang diderita, perempuan ini langsung melepaskan pukulan ke tiga panjuru arah. Maka seketika tiga sinar hitam melesat bagaikan kilat. Tiga Pendekar Golok Terbang selain melepaskan pukulan balasan, juga memutar golok besar di tangan masing-masing membentuk perisai diri. Dan saat itu pula tiga leret sinar kuning datang menggebu, menyongsong pukulan 'Bayangan Perenggut Sukma' yang melesat dari telapak tangan Setan Perenggut Nyawa.

"Wuagkh...!"

Di tengah-tengah dentuman keras membahana terdengar pekik kesakitan susul menyusul. Tiga Pendekar Golok Terbang terpelanting. Sebagian tubuh mereka berubah hangus. Bahkan golok di tangan mereka tampak meleleh.

Sementara itu, Kunti Arimbi juga menderita luka dalam. Walaupun tidak begitu parah, namun membuat wajahnya berubah pucat. Kini, secepatnya Setan Perenggut Nyawa mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang di deritanya.

Sementara itu, Wisesa, Witara, dan Permana sudah tidak mampu lagi bangkit dari tempatnya. Ketika Adipati Danu Tirta memeriksa, ternyata tiga pembantu utama sang adipati yang sangat dipercaya ini telah menemui ajal.

"Percuma kau membangkitkan mereka, Danu Tirta! Karena kau memang tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk membangkitkan orang yang sudah mati! Sekarang, giliranmu untuk menerima kematian dariku!" desis Kunti Arimbi, dengan sinar mata berapi-api.

Perlahan Adipati Danu Tirta berdiri. Matanya memandang tajam pada bekas adik seperguruannya yang telah telanjur menempuh jalan sesat. Tanpa berkata apa-apa, pedangnya dicabut dari warangka. Pedang di tangan Adipati Danu Tirta langsung ditudingkan ke wajah Kunti Arimbi.

Sesungguhnya, sekarang adipati itu telah sadar sepenuhnya, bahwa kepandaian Kunti Arimbi jauh lebih pesat. Bahkan mungkin berada jauh di atasnya. Terlebih-lebih, wanita berjuluk Setan Perenggut Nyawa telah menguasai pukulan 'Bayangan Perenggut Sukma'. Tidak heran jika Adipati Danu Tirta mempergunakan senjatanya untuk menghadapi lawannya.

"Majulah, Danu Tirta Keparat! Serang aku, sebelum kau benar-benar kukirim ke neraka!" dengus Kunti Arimbi, mencemooh.

"Hm.... Aku tidak akan penasaran jika harus mati di tanganmu. Tapi aku selalu yakin, kejahatan akan selalu berakhir!" tandas Adipati Danu Tirta.

Tiba-tiba laki-laki itu menggeser kaki kanan sejauh dua langkah. Pedang di tangannya menderu, hingga berubah menjadi banyak. Inilah jurus pedang 'Di Balik Hujan Menyongsong Petir'.

Kunti Arimbi tentu saja sudah tahu, sampai di mana kehebatan yang terkandung dalam jurus pedang yang dimainkan bekas kakak seperguruannya. Karena, dia sendiri pernah hampir celaka di tangan Adipati Danu Tirta. Tanpa merasa canggung-canggung lagi, Setan Perenggut Nyawa juga segera mencabut sebilah pedang tipis berwarna hitam dengan gagang berbentuk tengkorak manusia. Pedang di tangan wanita itu berkelebat menyambar, menimbulkan angin menyesakkan dada.

Adipati Danu Tirta terkesiap. Dia sadar, pedang di tangan wanita itu mengandung racun keji. Untuk itu, pedangnya segera diputar sambil melancarkan serangan-serangan gencar ke bagian-bagian tertentu di tubuh Setan Perenggut Nyawa. Semakin lama, serangan-serangan yang dilancarkan Adipati Danu Tirta semakin hebat dan menggebu-gebu.

Namun Kunti Arimbi sambil tertawa cekikikan terus bergerak mundur. Namun di lain kesempatan Setan Perenggut Nyawa cepat balas melakukan serangan gencar yang tidak pernah terduga oleh Adipati Danu Tirta. Tampaknya, Kunti Arimbi sekarang ini benar-benar ingin menunjukkan kesaktian yang dimilikinya. Terbukti dia tidak memberi kesempatan lagi pada laki-laki itu untuk bertindak lebih leluasa. Setiap serangan yang dilancarkan Adipati Danu Tirta, dapat dipatahkan Kunti Arimbi dengan mudah.

"Heaaa...!"

Dengan gigih Adipati Danu Tirta membangun serangan kembali. Kaki kanannya melepaskan tendangan keras, ke bagian perut Setan Perenggut Nyawa. Sementara, pedangnya menusuk ke bagian dada. Kunti Arimbi cepat mengibaskan pedangnya dengan gerakan sangat aneh, memapak pedang Adipati Danu Tirta, sambil melompat ke kanan. Kemudian dengan satu putaran tubuh yang cepat, pedangnya berbalik, mengincar lengan Adipati Danu Tirta ini.

"Hugkh...!" Adipati Danu Tirta mengeluh. Pedang di tangannya terlepas begitu bagian bahunya tertusuk pedang berwarna hitam di tangan Kunti Arimbi. Kini dari lukanya mengeluarkan darah. Bahkan sekitar luka langsung berubah membiru. Adipati Danu Tirta terhuyung-huyung. Pandangan matanya mengabur.

Melihat keadaan lawannya yang tidak berdaya Kunti Arimbi langsung menyerbu ke depan sambil menusukkan senjata ke bagian lambung Adipati Danu Tirta. Agaknya, Adipati Danu Tirta segera menemui ajal di tangan bekas adik seperguruannya.

Tapi pada saat-saat yang sangat gawat, mendadak melesat seleret sinar merah menderu ke arah Kunti Arimbi. Perempuan ini kontan tersentak kaget. Tapi dengan gerakan cepat, dia segera menjatuhkan diri menghindari serangan gelap yang dapat mengancam jiwanya.

Sinar merah yang melesat dari satu arah itu menghantam tempat kosong, sehingga menimbulkan sebuah lubang yang sangat besar. Begitu bangkit berdiri, Kunti Arimbi terkesiap. Matanya sudah memandang ke arah datangnya pukulan yang nyaris mencelakai dirinya tadi.

Kini terlihat seorang pemuda berompi putih sedang berusaha menyembuhkan, sekaligus menghilangkan racun yang mengeram dalam luka Adipati Danu Tirta.

"Bertahanlah, Paman! Manusia telengas itu memang pantas mati!" desis pemuda berompi putih yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.

"Manusia keparat!" bentak Kunti Arimbi. "Siapa kau, begitu berani sekali mencampuri urusan orang lain?!"

Rangga bangkit berdiri. Matanya memandang tajam pada Kunti Arimbi alias Setan Perenggut. "Rupanya, kaulah orangnya yang telah mengatur segala rencana keji itu? Perlu kau ketahui, sudah sangat lama aku mencari-carimu!" desis Rangga.

"Bangsat! Kau akan menyesal seumur hidup-mu! Heaaa...!"

Tubuh Kunti Arimbi langsung melesat ke depan. Tangannya mencakar wajah Rangga. Sedangkan tangan kiri memutar pedang di tangan dengan gerakan sangat cepat membingungkan.

"Hiyaaa...!" Tapi tiba-tiba saja Rangga berteriak keras. Kedua tangannya yang telah berubah merah membara menghentak ke arah Setan Perenggut Nyawa. Tidak aneh lagi. Itulah 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Kunti Arimbi yang pertama kali nyaris terpental oleh pukulan yang dilepaskan Rangga, segera menyadari bahwa apa yang dihadapinya benar-benar sangat berbahaya. Tanpa menunggu lagi, Setan Perenggut Nyawa segera melepaskan pukulan 'Bayangan Perenggut Nyawa' yang telah menewaskan Tiga Pendekar Golok Terbang.

Namun pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Maka seketika itu juga seleret sinar merah panas luar biasa melesat deras, seakan melindas pukulan yang dilepaskan Kunti Arimbi. Dan...

Glar! Glar...!

"Hugkh...!"

Dentuman-dentuman sangat keras terasa menghancurkan gendang telinga. Pendekar Rajawali Sakti terguling-guling. Dadanya terasa sesak dan berdenyut-denyut.

Sementara di pihak Kunti Arimbi dari bagian bibir tampak menyembur darah kental. Sekarang sadarlah Setan Perenggut Nyawa bahwa pemuda yang dihadapinya benar-benar memiliki kesaktian luar biasa. Setelah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita, Kunti Arimbi segera memutar pedang hitam di tangannya. Dan dengan jurus 'Tarian Para Iblis', Kunti Arimbi menerjang kembali. Pedangnya yang berwarna hitam berkelebat menusuk lambung pemuda berompi putih ini.

Rangga berkelit menghindar, lalu melompat ke belakang. Dan Pendekar Rajawali Sakti melihat betapa derasnya serangan wanita itu, Pendekar Rajawali Sakti cepat mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka. Sinar biru berkilauan langsung memancar dari pedang di tangan Rangga, menyilaukan mata Kunti Arimbi.

Wanita itu terkesiap. Matanya yang hanya sebelah melotot. "Kau..., Pendekar Rajawali Sakti?" desis perempuan itu dengan tubuh bergetar dan wajah berubah pucat.

"Yeaaah...!" Tanpa menghiraukan ucapan Kunti Arimbi, Rangga menggerakkan pedangnya mempergunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Hanya sekejap mata, Rangga telah menyambar deras dengan satu kibasan pedang.

Kunti Arimbi terkesiap. Dengan mata nyalang, dia berusaha memapak kibasan itu dengan gerakan pedang hitam di tangannya. Namun, gerakannya seperti tertahan oleh sinar pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguhpun tenaga dalamnya telah dikerahkan untuk menembus, namun tetap saja tidak mampu berbuat banyak. Pada saat itu juga Pedang Pusaka Rajawali Sakti berkelebat menyambar pedang hitamnya.

"Eeeh...!" Setan Perenggut Nyawa semakin bertambah kaget saja, melihat pedang pusakanya terbabat putus menjadi dua.

Sementara melihat wanita itu dalam keadaan lengah, Rangga kembali menghantamkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangannya. Gerakannya cepat laksana kilat. Sehingga tidak mungkin lagi dapat dihindari Setan Perenggut Nyawa. Dan...

"Aaa...!" Begitu ambruk di tanah, Kunti Arimbi menjerit panjang begitu lehernya tersambar pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya mengejang, kepalanya menggelinding. Darah mengucur deras dari pangkal lehernya yang terputus. Kunti Arimbi tewas seketika itu juga.

Rangga menarik napas lega. Setelah menyarungkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka, Pendekar Rajawali Sakti segera menolong Adipati Danu Tirta yang terluka.

"Ufh.... Syukurlah kau cepat datang, Rangga! Jika tidak, mungkin nyawaku sudah tidak tertolong lagi!" kata Adipati Danu Tirta, penuh rasa terima kasih.

"Sudahlah, Paman! Semua itu berkat pertolongan Yang Maha Esa," sahut Rangga.

Hati-hati sekali, tanpa menghiraukan mayat-mayat yang bergelimpangan, Rangga membawa Adipati Blambangan itu memasuki ruangan depan istananya.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar