Kisah Sepasang Naga Jilid 19

“Moi-moi...!” Sin Wan juga berlari mengejar.

Tetapi mendadak Giok Ciu mencabut pedang Ouw-liong Po-kiam lalu membalikkan tubuh dengan pedang hitam itu melintang di dada. Sikapnya garang sekali dan dia membentak, “Bangsat rendah! Kau mau apa? Jangan halang-halangi kepergianku, kembalilah kepada isteri dan anakmu! Awas, satu tindak saja kau melangkah maju, aku akan mengadu jiwa denganmu!”

Tadinya Sin Wan hendak nekad maju, tapi ia pikir lagi bahwa Giok Ciu sedang panas hati dan mata gelap, maka tidak baik bila dipaksa dan mungkin akan terjadi pertempuran mati-matian. Ia menganggap ini bukanlah penyelesaian yang baik, maka ia hanya memandang gadis itu dengan wajah sedih, lalu berkata,

“Baiklah, moi-moi. Kau menuduh aku yang bukan-bukan tanpa memberi kesempatan dan waktu kepadaku untuk membela diri!”

Tapi Giok Ciu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara terus karena gadis itu telah membalikkan tubuhnya lalu berlari ke bawah gunung dengan cepat sekali. Ouw-liong Po-kiam di tangannya berkilau-kilau ditimpa sinar matahari!

Sesudah bayangan gadis itu tidak tampak lagi, akhirnya Sin Wan membalikkan tubuhnya dan ia teringat kembali akan Suma Li Lian, maka dengan mengertak gigi karena gemas, ia berlari kembali ke tempat gadis bangsawan itu. Ia melihat betapa gadis itu berdiri sambil menyusui anak itu, maka wajah Sin Wan memerah. Ia memalingkan mukanya dan dalam keadaan malu dan jengah melihat betapa Li Lian tanpa malu-malu menyusui anak itu di hadapannya, timbullah keheranan besar dalam hati Sin Wan.

Li Lian telah mempunyai anak dan mengaku bahwa anak itu adalah anaknya pula! Li Lian mengaku bahwa dia adalah suaminya! Sungguh gila, gila dan lucu.

Sambil berdiri membelakangi Li Lian, Sin Wan berkata, “Suma-siocia, apa bila kau sudah selesai menyusui anak itu, harap beri-tahukan aku agar kita bisa bicara dengan baik.”

Beberapa saat lamanya mereka berdiri dalam keadaan demikian. Li Lian berdiri menyusui anaknya sambil menatap tubuh belakang Sin Wan dengan pandang mata sayu dan agak terheran melihat sikap pemuda itu, sedangkan Sin Wan berdiri memangku kedua lengan sambil memeras otaknya mengapa timbul perkara aneh dan gila ini! Tidak lama kemudian terdengar Li Lian berkata kepadanya,

“Kanda Sin Wan, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu. Kau adalah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi tinggi. Benar-benarkah kau tidak mau bertanggung jawab atas perbuatanmu sendiri?”

Sin Wan kertak giginya dengan marah dan gemas sekali.

“Sudah selesaikah kau menyusui anakmu?” bentaknya.

“Sudah, biar pun aku tidak mengerti mengapa kau pura-pura tidak dapat melihat anakmu sendiri menyusu di dada Ibunya!” jawab Li Lian penasaran.

Bagai kilat cepatnya Sin Wan meloncat sambil membalikkan tubuh dan ia berdiri di depan Li Lian. Tangannya sudah terasa gatal-gatal ingin menampar perempuan ini, akan tetapi ia menjadi lemas ketika melihat betapa sepasang mata yang bening dan wajah yang ayu itu tampak sangat agung memandangnya tanpa rasa takut sedikit pun juga,.

“Nona Suma, sekarang katakanlah yang sebenarnya. Mengapa kau lakukan hal keedan-edanan ini? Apakah salahku kepadamu maka kau memfitnah padaku?” Tiba-tiba Sin Wan menjadi pucat dan kedua matanya bersinar-sinar. Dia lalu tertawa dan berkata kepada Li Lian yang terheran-heran.

“Ha-ha-ha! Kau perempuan licin! Kau sungguh cerdik dan lihai! Sekarang aku tahu, tentu kau lakukan ini untuk membalas dendammu karena aku telah membunuh ayahmu bukan? Ha-ha-ha-ha! Benar-benar kau hebat dan lihai! Dengan tenaga kau tidak mungkin mampu membalas, maka sekarang kau membalas dengan akal jahatmu. Tetapi hasil muslihatmu ini ternyata lebih hebat dan sakit rasanya dari pada kalau kau membalas dengan pukulan maut! Ahh, mengapa Giok Ciu tidak menginsafi hal ini...?”

“Koko Sin Wan! Jangan kau ngaco belo tidak karuan...” Dan mendadak Li Lian menangis sedih. “Aku... mengapa pula aku harus membalas dendam? Bukankah aku sudah menjadi isterimu? Koko, sungguh pun kau hendak berlaku pengecut dengan mengingkari janji dan membodohi semua orang, tetapi kau tidak dapat menipu Thian Yang Maha Agung! Inilah buktinya! Lihatlah anak ini, inilah hasil pertemuan kita dulu! Atau kau pura-pura lupa ketika kau memasuki kamarku pada pagi hari dahulu itu? Koko, kau tahu bahwa aku... aku cinta padamu. Jika tidak demikian halnya, mungkinkah aku sudi melayanimu padahal aku tahu bahwa kau adalah musuh ayahku? Aku telah korbankan ayahku, korbankan namaku dan perasaanku untuk membalas cintamu, tetapi mungkinkah seorang pemuda gagah perkasa dan berbudi seperti engkau ini mempunyai hati palsu? Ahh, tidak mungkin! Aku tidak akan percaya! Wajahmu tak mungkin palsu tapi... kenapa sikapmu begini terhadapku, koko...” dan dengan amat sedihnya Li Lian menangis sambil menutupi mukanya sehingga dia tak melihat betapa Sin Wan mendengarkan ucapannya dengan wajah semakin terheran-heran dan mata makin lebar terbelalak. Sin Wan benar-benar tak berdaya karena herannya.

Setelah menggunakan lidahnya untuk membasahi bibirnya yang kering, akhirnya Sin Wan berkata dengan halus, “Nanti dulu, nona, tenanglah dahulu. Coba kau ceritakan kepadaku tentang pagi hari itu, pada saat mana kau bilang aku memasuki kamarmu. Coba ceritakan hal itu dengan terus terang.”

Suma Li Lian memandangnya heran seolah-olah tak percaya akan apa yang didengarnya dari mulut pemuda itu. Akhirnya dia pun menghela napas dan berkata, “Baiklah kalau kau kehendaki itu. Dulu ketika mendengar bahwa kau mencari-cari ayahku untuk kau bunuh, hatiku hancur dan sedih sekali sebab sebenarnya aku tidak suka melihat kau membunuh ayah. Pertama-tama memang sebagai seorang anak tentu saja aku tidak rela kalau ayah dibunuh orang. Kedua, di lubuk hatiku aku sangat tertarik dan suka kepadamu yang biar pun menjadi musuh ayahku, namun kau telah berlaku sopan dan jujur terhadapku, bahkan kau sudah membela aku dari kemarahan Kwie-lihiap. Semenjak itulah maka timbul rasa cinta di dalam hatiku. Malam ketika kau pergi itu aku tak dapat tidur. Menjelang fajar aku melihat ada bayangan orang memasuki kamarku dari jendela. Karena lampu telah padam, maka aku tak dapat mengenal mukamu, hanya dapat menduga karena potongan tubuhmu sudah kukenal baik dan bayangan itu potongan tubuhnya memang sama dengan engkau. Kemudian kau membuka suara memanggilku, maka aku tak ragu-ragu lagi bahwa kaulah yang datang. Kau menyatakan cintamu tanpa banyak kata dan aku... aku tidak berdaya menolakmu karena... memang aku cinta padamu...! Ah, kanda Sin Wan, perlukah hal ini disebut-sebut lagi? Atau apakah ketika itu kau hanya pura-pura saja dan sengaja hendak mempermainkan aku?”

Mendadak Sin Wan mengangkat tangan dan meramkan mata karena dia sedang berpikir keras.

“Nanti dulu... ketika hal itu terjadi, yakni ketika bayangan itu memasuki kamarmu, apakah waktu itu sudah terdengar ayam berkokok?” tanyanya kemudian.

Sejenak Suma Li Lian mengingat-ingat, lalu berkata tetap, “Belum koko, karena aku ingat benar bahwa sesudah kau pergi meninggalkan aku, barulah aku mendengar suara ayam berkokok memasuki jendela kamarku yang terbuka karena agaknya kau lupa menutupnya kembali.”

Sin Wan mengangguk-angguk, “Hmm, kini aku tahu kenapa dulu ketika hendak berpisah dengan aku, kau mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti sama sekali, yakni kau sesalkan aku yang tak ingat akan kejadian pagi itu. Kini aku mengerti. Ketahuilah, Suma-siocia, pada saat itu aku masih belum kembali ke Kelenteng, karena aku tiba di kelenteng sesudah matahari naik tinggi! Pada saat ada orang memasuki kamarmu itu aku sedang berada di hutan seorang diri, mencegat kendaraan ayahmu!”

Mendadak wajah Suma Li Lian menjadi pucat sekali, kemudian dia berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran, “Apa...? Kalau begitu... siapakah... siapakah...?”

Dia lalu menggunakan kedua tangan menutupi mukanya yang pucat dan terlihat oleh Sin Wan betapa sepuluh jari itu menggigil sehingga timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap nasib gadis yang malang ini.

“Siocia, walau pun tidak ada bukti, namun aku berani pastikan bahwa yang mengganggu engkau tentu bukan lain adalah Gak Bin Tong!”

“Apa katamu?!” Li Lian berteriak keras.

Sin Wan mengangguk-angguk. “Engkau tentu tidak tahu bahwa pada malam itu, pemuda muka putih itu bermalam di Kelenteng. Ia memiliki ilmu silat yang tinggi juga dan tentang potongan tubuh, agaknya memang ia sama dengan aku. Pula, ia memang terkenal sangat cerdik dan licin, juga aku tahu bahwa ia mempunyai adat yang buruk, maka sudah pasti ia meniru-niru suaraku untuk mengelabui engkau!”

Mendengar kata-kata ini, tiba-tiba Li Lian berteriak lantas roboh pingsan! Cepat sekali Sin Wan menyambar tubuh nona itu sambil mengambil anak kecil dari gendongan Li Lian, lalu merebahkan tubuh itu perlahan di atas rumput.

Anak itu menangis nyaring sekali, maka Sin Wan terpaksa menggendong anak itu sambil mengayun-ayunnya di dalam lengannya. Dia merasa kasihan sekali melihat Li Lian dan di dalam hati ia bersumpah hendak membunuh Gak Bin Tong manusia keparat itu!

Ketika Li Lian sadar dari pingsannya, dia menangis menggerung-gerung sambil memukul-mukul kepala sendiri. Rambutnya menjadi awut-awutan dan berkali-kali dia mengeluh, “Ya Tahun, Engkau tidak adil! Sungguh tidak adil!! Mengapa aku harus menderita semua ini? Koko Sin Wan, meski perbuatanku itu rendah dan hina, tapi agaknya aku masih sanggup mempertahankan hidupku bahkan sanggup mencapai kebahagiaan jika kiranya engkaulah orang itu! Tak kusangka... dia itu... Gak Bin Tong keparat, manusia iblis terkutuk... aduh, aduh... nasib diriku... dosa apakah yang telah kuperbuat hingga terhukum sehebat ini...? Gak Bin Tong, kau... kau... bangsat! Tunggulah, aku harus bunuh kau untuk perbuatanmu yang terkutuk itu!”

Suma Li Lian, gadis bangsawan cantik jelita yang biasanya halus itu, tiba-tiba menjadi liar dan ganas. Rambutnya awut-awutan, matanya yang bening terputar-putar dan mulutnya mengeluarkan busa! Ia lalu lari turun gunung, tersaruk-saruk, jatuh dan bangun lagi, terus berlari sambil memaki-maki nama Gak Bin Tong seolah-olah pemuda muka putih itu telah berada di depannya dan sedang dikejar-kejarnya untuk dibunuh!

Sin Wan kaget melihat bahwa Suma Li Lian agaknya sudah berubah pikiran dan menjadi gila! Ia hendak mengejar, tapi tiba-tiba anak perempuan yang baru berusia lima bulan dan berada di dalam gendongannya itu menangis keras!

Ia menjadi serba salah, karena dengan cara kikuk dan kaku sekali ia menggendong anak kecil itu dan tidak berani berlari sambil menggendong. Untuk meninggalkan anak itu ia pun tidak tega. Lagi pula, untuk apa ia mengejar Li Lian?

Maka akhirnya ia hanya berdiri bingung sambil memandang anak yang menangis keras di dalam pelukannya itu. Sesudah ditimang-timang beberapa lama akan tetapi anak itu tidak juga mau diam seakan-akan menangisi Ibunya yang lari pergi meninggalkannya, Sin Wan menjadi bingung sekali.

Kemudian dia meletakkan anak itu di atas rumput kering, lalu dia meloncat memetik buah yang telah masak. Setelah ia memberi makan anak itu dengan buah, diamlah tangis anak itu sehingga Sin Wan yang tadinya bingung sekali sampai mengeluarkan peluh dingin di dahinya, kini tersenyum girang karena anak itu makan buah sambil tertawa-tawa lucu!

Sin Wan memutar-mutar otaknya. Mengapa ia harus mengalami peristiwa yang aneh dan membingungkan ini? Kalau teringat kepada Giok Ciu, ia merasa sedih sekali dan hatinya terasa perih, apa lagi kalau mengingat betapa gadis kekasihnya itu telah menghancurkan suling pengikat jodoh mereka! Kalau teringat kepada Li Lian, hatinya amat terharu dan ia merasa kasihan sekali akan nasib gadis cantik itu.

Ayahnya telah terbunuh olehnya, sedangkan ia sendiri mengalami nasib memalukan yang menghancurkan namanya serta nama keluarganya. Teringat akan hal ini, memuncaklah kegemasan Sin Wan kepada Gak Bin Tong!

Kemudian dia teringat kembali pada anak Li Lian yang ditinggalkan oleh ibunya. Apa yang harus dia lakukan? Memelihara anak ini? Ah, dia tidak sanggup dan juga tidak mau. Habis bagaimana? Tiba-tiba ia teringat akan kampung ibunya dan wajahnya menjadi terang.

Ia pun mengangkat anak itu dalam dukungannya kemudian berangkatlah ia turun gunung menuju ke perkampungan ibu dan kakeknya. Kedatangannya disambut girang oleh para penduduk kampung, tapi alangkah heran mereka ketika melihat bahwa pemuda pahlawan mereka itu datang sambil mendukung seorang anak perempuan yang masih bayi!

Secara singkat Sin Wan menuturkan riwayat anak kecil itu, tentu saja tanpa membongkar rahasia ibu anak itu, kemudian dia menyerahkan anak itu kepada seorang janda she Thio untuk dirawat. Kepada janda itu Sin Wan memberi beberapa potong emas sebagai bekal membiayai pemeliharaan anak itu.

Setelah itu dia pun pergi hendak mencari Giok Ciu. Dia pikir gadis itu tentu pergi mencari musuh besarnya, yakni Cin Cin Hoatsu. Asalkan ia pergi mencari pendeta Tibet itu, maka banyak harapan ia akan bertemu dengan Giok Ciu. Ia ingin sekali segera bertemu dengan gadis itu untuk menjelaskan segala hal, tapi apa boleh buat, ia harus bersabar karena ia tidak tahu jurusan mana yang diambil oleh gadis itu!

Beberapa hari kemudian ketika tiba di luar sebuah kampung, Sin Wan melihat bayangan seorang yang dikenalnya baik, karena dari belakang ia kenal bahwa orang itu adalah Kwi Kai Hoatsu!

Pertapa lihai itu sedang keluar dari kampung itu dan berlari kencang sekali. Sin Wan yang merasa penasaran dan marah karena pernah terjatuh dalam tangan imam dari Tibet ini segera mengejar. Selain hendak membalas kekalahan dulu, ia pun tahu bahwa ini adalah saudara seperguruan dari Cin Cin Hoatsu, maka kalau mungkin dia hendak mendapatkan keterangan tentang musuh besar itu dari Kwi Kai Hoatsu.

Karena kepandaiannya memang tinggi, Kwi Kai Hoatsu segera tahu bahwa dirinya dikejar orang, maka segera ia ‘tancap gas” dan membalap sekerasnya! Tapi Sin Wan mempunyai ginkang yang sudah mendekati puncak kesempurnaan, maka dia tidak tertinggal, bahkan lambat laun tapi pasti dia makin dekat dengan pendeta yang dikejarnya itu.

Ketika Kwi Kai Hoatsu menengok, diam-diam ia terkejut sekali melihat betapa orang yang mengejarnya itu semakin dekat saja. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa pengejarnya begitu lihai. Tadinya ia menyangka bahwa yang mengejarnya hanyalah orang biasa saja, maka ia hendak mempermainkannya, tidak tahunya, setelah mengerahkan tenaga larinya, ternyata jarak antara ia dan pengejarnya itu makin dekat saja.

Karena marah dan penasaran, ketika tiba di tempat sunyi dan di kanan kirinya hanya ada sawah kosong, ia berhenti dan menanti dengan mata melotot. Tetapi ketika pengejarnya dengan cepat sekali telah tiba di depannya, ia memandang pemuda tampan yang sedang tersenyum di depannya itu dengan heran, karena ia mengenal pemuda ini.

“Ehh, ternyata engkaukah ini?” katanya dengan senyum sindir karena ia hendak tetapkan hati sendiri dengan memandang rendah pemuda itu.

Tak mungkin pemuda ini dapat memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya karena biar pun andai kata pemuda ini belajar lagi, namun waktunya hanya setahun dan dalam masa waktu sependek itu tidak mungkin pemuda ini akan dapat melawan kepandaian lweekang dan hoatsut yang telah dipelajarinya berpuluh tahun lamanya.

Sin Wan menjawab dengan tenang, “Ya, akulah!”

Pertapa itu memandang ke kanan kiri, seakan-akan hendak mencari-cari apakah pemuda ini berteman, karena kalau gadis lihai yang dulu itu ikut datang pula, maka mereka berdua merupakan lawan yang berat juga. Tapi hatinya merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa Sin Wan memang hanya seorang diri saja.

“Anak muda, apa maksudmu mengejarku? Apakah pelajaran yang dahulu kau terima itu belum membikin kau merasa kapok?” Sin Wan tersenyum mengejek.

“Maksudmu, engkau atau akukah yang menerima pelajaran dan merasa kapok? Kwi Kai Hoatsu, sebenarnya antara kita tidak terdapat sesuatu permusuhan yang menyebabkan kita saling membenci, kecuali barang kali sifat-sifat sombong dan tak mau kalah dari kita masing-masing. Aku mengejarmu bukanlah dengan niat hendak mengajak kau bertempur, kecuali kalau kau sendiri yang memaksaku!”

Kwi Kat Hoatsu memandang pada Sin Wan dengan heran. “Bila bukan untuk bertempur, mengapa kau mengejarku?”

Sin Wan tersenyum sabar. “Aku hanya ingin bertanya, di manakah gerangan adanya Cin Cin Hoatsu pada waktu ini?”

Tiba-tiba Kwi Kai Hoatsu tertawa besar. “Enak saja kau bicara. Kau mencari saudaraku itu untuk mengajak berkelahi dan mengadu jiwa, bukan? Dan kau katakan bahwa antara kita tidak ada permusuhan?”

“Memang saudaramu itu musuh besarku. Dia telah membunuh mati Suhu-ku, yakni Hui-houw Kwie Cu Ek, maka aku harus membalas dendam ini. Bukankah ini sebuah hal yang lajim dan pantas?”

“Anak muda, jangan banyak ribut. Dengan kepandaianmu yang serendah ini mana dapat kau melawan Cin Cin Hoatsu? Kau boleh mencoba-coba kepandaianmu padaku, coba aku lihat apakah kau cukup pantas untuk bertanding melawan saudaraku itu!” Sambil berkata demikian Kwi Kai Hoatsu mencabut keluar tongkar ular dan hudtim-nya yang terkenal lihai itu dan mendahului menyerang.

Sin Wan juga telah mencabut keluar Pek-liong Po-kiam dan melayani Tosu itu. Pada saat pedang pusaka berwarna putih itu beradu dengan tongkat ularnya, maka terkejutlah Tosu itu karena dari bentrokan kedua senjata ini saja dia tahu betapa hebat tenaga lweekang pemuda itu!

Sungguh luar biasa betapa dalam waktu setahun saja tenaga lweekang pemuda itu yang dulu jauh di bawahnya, kini boleh dikata telah mencapai kedudukan setingkat dengan dia, malah mungkin lebih tinggi! Karena inilah maka dia menjadi jeri.

Memang dalam hal ilmu silat, setahun yang lalu pun ilmu pedang Pek-liong Kiam-sut telah membuat Tosu itu sibuk, hanya pada waktu itu lweekang-nya masih menang jauh hingga ia berhasil merobohkan Sin Wan. Maka, kini sesudah pemuda itu mendapat gemblengan khusus dari Bu Beng Lojin dalam hal tenaga lweekang dan batin, tentu saja kepandaian pemuda itu jauh lebih hebat lagi.

Sin Wan juga merasa betapa sampokan-sampokan senjata lawannya tak terasa berat lagi baginya sehingga dia menjadi girang dan mendesak hebat dengan sinar pedang. Dulu dia merasa betapa dari tongkat ular itu keluar bau amis yang memuakkan, namun sekarang dia dapat melawan hawa itu dengan mengatur napasnya dan mengusir hawa jahat yang menyerang mulut dan hidungnya dengan tiupan napas. Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, ia berhasil membabat putus kebutan lawannya hingga Tosu itu berseru kaget.

Kalau saja Sin Wan berlaku kejam, agaknya ia akan berhasil membunuh Kwi Kai Hoatsu. Akan tetapi pemuda itu tak bermaksud membunuhnya, hanya ingin mengalahkannya saja sebagai pembalasan tahun lalu. Maka cepat sekali pedangnya lantas mengurung dengan maksud hendak membuat senjata lawan terlepas dari pegangan.

Kwi Kai Hoatsu yang tidak tahu akan kehendak pemuda itu dan mengira bahwa Sin Wan tentu akan mendesak dan membunuhnya, menjadi sibuk sekali dan mendadak ia berseru keras sambil mencabut keluar sabuk sutera hitam yang dulu digunakan untuk merampas pedang Sin Wan. Sekarang agaknya ia pun hendak menggunakan lagi senjata luar biasa itu. Sambil membentak keras dan mengerahkan tenaga ilmu hitamnya, ia menggerakkan tangan kiri dan sutera hitam itu bagaikan ular yang hidup menyambar pedang Sin Wan.

Pemuda ini girang sekali melihat senjata aneh ini dikeluarkan, karena ia memang hendak mencoba kelihaian senjata yang dulu pernah merampas pedangnya. Ia berlaku tabah dan bahkan membiarkan senjatanya dibelit benda itu. Setelah ujung Pek-liong Po-kiam terlibat erat, ia lalu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak serangan pengaruh bentakan lawan dan membarengi menggunakan lweekang-nya untuk menggerakkan pedang itu.

Terdengarlah suara kain robek dan ternyata sutera hitam yang amat diandalkan oleh Kwi Kai Hoatsu telah terputus oleh pedang Pek-liong Po-kiam! Kwi Kai Hoatsu menjerit kaget karena dia tahu bahwa kini dia akan tewas dalam tangan pemuda yang kosen ini, maka tanpa malu-malu lagi dia lantas meloncat jauh untuk melarikan diri.

Tapi Sin Wan cepat meloncat pula mengejar sambil berseru. “Kwi Kai Hoatsu! Nanti dulu, jangan kau pergi sebelum memberi tahu padaku tempat tinggal Cin Cin Hoatsu!”

Akan tetapi Tosu tidak mempedulikan teriakannya dan berlari makin cepat. Sin Wan terus saja mengejar dengan lebih cepat.

Biar pun ilmu lari cepat dari Tosu itu sudah cukup tinggi, tapi mana ia dapat melawan Sin Wan yang selain mendapat didikan seorang suci dan berilmu tinggi, juga ia telah makan buah-buah mujijat yang membersihkan darahnya dan membuat tubuhnya menjadi ringan. Lambat laun jarak antara mereka makin dekat.

Tetapi, ketika Kwi Kai Hoatsu tiba di dalam sebuah hutan dan Sin Wan telah dekat benar dengannya, tiba-tiba saja Tosu itu mengeluarkan sebuah benda lantas membantingnya ke belakang. Benda itu pecah kemudian mengeluarkan asap hitam tebal bergulung-gulung di belakangnya dan membuat ia lenyap dari pandangan mata pengejarnya.

Sin Wan merasa terkejut, dan cepat ia membelokkan arah jalannya agar jangan sampai menerjang asap hitam itu karena dia dapat menduga tentu asap itu adalah asap berbisa yang berbahaya. Namun ternyata Tosu itu sudah dapat melenyapkan diri di belakang tabir asap itu karena Sin Wan tidak mengetahui ke mana arah yang ditempuh oleh imam itu.

Sin Wan merasa penasaran dan kecewa sekali kenapa tidak ia robohkan saja imam jahat itu tadi agar dapat ia paksa untuk mengaku di mana tempat tinggal Cin Cin Hoatsu. Kini ia kehilangan pegangan dan tidak tahu harus mencari ke mana.

Tapi dia pikir bahwa keadaan Giok Ciu juga sama dengan dia sendiri, yakni tidak memiliki tujuan yang pasti dalam mencari musuh besarnya. Maka besar kemungkinannya gadis itu akan mencari di kota raja, karena di situlah pusat para pembatu Kaisar berkumpul dan di situ pula akan dapat dicari keterangan tentang musuh besar itu. Karena pikiran ini, maka Sin Wan segera menuju ke kota raja.

Pikiran Sin Wan yang berotak cerdas ini memang tidak keliru.....!

********************

Dengan hati sedih dan kalbu hancur Giok Ciu berlari turun dari Kam-hong-san. Gadis itu berlari-lari sambil tiada hentinya menangis. Kini ia tidak pedulikan segala apa dan tujuan hidupnya hanya satu, yakni mencari Cin Cin Hoatsu dan membunuh orang yang sudah membunuh ayahnya itu. Dia merasa bingung sekali karena tidak tahu harus mencari ke mana, maka dia lalu menuju ke kotaraja, karena teringat bahwa selain dari tempat itu, agaknya sukar untuk mencari tahu tempat tinggal pendeta Tibet itu.

Karena sedihnya, ia tidak mau berhenti berlari dan lupa makan lupa tidur. Setelah sehari semalam lari cepat tanpa berhenti sedikit pun, ia tiba di kota Ang-len dan karena merasa kepalanya pening sekali serta tubuhnya panas, maka terpaksa ia mencari sebuah rumah penginapan dan minta sebuah kamar. Begitu menutup pintu kamar lalu merebahkan diri di atas pembaringan, ia pun jatuh pingsan.

Ternyata karena mendapat serangan dari dalam dan luar, gadis itu tidak kuat menahan lagi. Dari dalam ia mendapat pukulan hebat sekali karena hatinya merasa hancur sesudah dikecewakan oleh kenyataan betapa Sin Wan, pemuda kekasihnya, orang satu-satunya di dunia ini yang dicintanya dan dijadikan sandaran hidupnya, ternyata sudah mencemarkan kesucian ikatan jodoh mereka. Ternyata pemuda itu telah melakukan perbuatan hina dina dan yang tak mungkin dapat ia maafkan lagi.

Sedangkan dari luar ia mendapat serangan penyakit panas yang tentu akan dapat dilawan dengan kekuatan tubuhnya kalau saja ia tidak memaksa tubuhnya berlari terus-menerus sehari semalam tanpa mengaso dan tanpa makan. Karena itu akhirnya tubuhnya tak kuat bertahan lagi sehingga dia pun jatuh sakit.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar