Kisah Sepasang Naga Jilid 10

Sementara Sin Wan yang hanya menghadapi empat orang pengeroyok, lalu menyimpan sulingnya dan bersilat seenaknya saja, seolah-olah mempermainkan para pengeroyoknya yang sudah bernapas empas-empis! Pada saat itulah terdengar teriakan Sim Kwie,

“Cuwi, tahan!”

Para pahlawan itu saling mengetahui tingkat ilmu silat masing-masing, karena itu mereka juga tahu bahwa yang yang berada di bawah Song Tat Kin hanya Sim Kwie, maka semua pahlawan itu tentu saja mendengar perintah dan taat. Sekarang Song Tat Kin sendiri telah roboh, maka mereka cepat meloncat mundur dengan hati lega, karena memang keadaan mereka berbahaya sekali.

“Jiwi Enghiong, harap maafkan kami.” Sim Kwie mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada Sin Wan dan Giok Ciu. “Agaknya sudah terjadi salah paham yang besar. Kami sama sekali tidak tahu berhadapan dengan orang-orang gagah sehingga beberapa orang kawan kami telah berlaku kurang ajar! Harap maafkan kami. Boleh kami mengetahui nama jiwi yang mulia?” Giok Ciu tersenyum menyindir.

“Hm, baru sekarang kalian merasakan kelihaian kami, ya? Sungguh tidak tahu diri!” Sin Wan juga mencela, “Kalau tadi tuan-tuan menggunakan kata-kata halus tidak nanti akan timbul korban-korban di antara tuan-tuan. Kami tak perlu memperkenalkan nama, juga tak perlu mengetahui nama kalian. Sekarang lebih baik segera kalian bawa kawan-kawanmu yang terluka dan tinggalkan tempat ini.”

Sim Kwie mendongkol sekali karena terang sekali dia tidak dipandang sebelah mata oleh sepasang muda-mudi itu, padahal nama si Walet Terbang bukanlah nama kecil-kecilan di kalangan kang-ouw,. Ia segera berkata dengan bersungut-sungut,

“Hm, biarlah jiwi boleh merasa bangga akan kemenangan ini. Biar pun jiwi tidak memberi tahukan nama tapi tiupan suling tadi mengingatkan aku akan seseorang!”

Mendengar ini, sekali loncat saja Giok Ciu sudah berada di hadapannya dan mengancam dengan pedang rampasannya!

“Apa katamu? Mengingatkan kau akan seseorang? Hayo, katakan, siapa orang yang kau maksudkan itu!”

Sim Kwie mundur dengan muka pucat. Ia telah tahu kelihaian nona muda ini dan percuma saja kalau ia melawan. Sin Wan membujuk Giok Ciu,

“Sudahlah, moi-moi jangan bikin takut dia. Lihat mukanya menjadi biru karena ketakutan. Hei pahlawan Raja, dengarlah. Memang aku adalah cucu Kang-Lam Ciu-hiap, si Peniup Suling!”

Sim Kwie mengangkat tangan menjura, “Memang hal itu sudah kuduga! Terima kasih atas kejujuranmu.” Dia lalu memerintahkan kawan-kawannya supaya mengangkat para korban dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Sin Wan dan Giok Ciu saling pandang, lalu mereka tersenyum puas karena kemenangan tadi. Sin Wan menghela napas, kemudian memandang suling itu.

“Untunglah ada suling ini sehingga kita teringat akan ilmu kakekku dan ayahmu.” Sin Wan lalu menyerahkan suling itu kembali kepada Giok Ciu yang menerimanya dengan wajah berubah merah.

“Ternyata kau… kau selalu menyimpan suling ini baik-baik...” katanya menggoda Giok Ciu. Giok Ciu menundukkan kepala, mengerling tajam dan menggigit bibirnya. Ia merasa gemas sekali digoda dan hendak membalas dendam.

“Koko, apakah dulu kau tidak menerima sesuatu dari ibumu?”

“Menerima sesuatu? Apakah itu aku tidak ingat lagi,” jawab Sin Wan.

Giok Ciu merasa kewalahan. “Menerima sesuatu yang berasal dari... dari... Eh, sebagai... pengganti suling ini…”

“Sesuatu sebagai pengganti suling ini? Ah, aku tidak ingat lagi. Coba kau katakan barang apa itu, tentu aku akan ingat.” Sin Wan sengaja dan berpura-pura lupa sehingga Giok Ciu makin gemas dan kewalahan.

“Barang… barang kecil...,” katanya dengan muka merah.

“Kecil?” Sin Wan pura-pura memandang ke arah awan sambil mengerutkan jidat berpikir keras. “Eh, barang kecil apa, ya? Sebagaimana kecilnya? Ada segini?” Ia menggunakan kedua tangannya membuat ukuran.

“Lebih kecil lagi...,” kata Giok Ciu yang menduga bahwa Sin Wan betul-betul lupa.

“Seperti ini?” Sin Wan memperkecil ukuran dengan tangannya.

“Lebih kecil sedikit lagi,” kata Giok Ciu yang menjadi gemas.

“Sebeginikah?”

“Ya, sebegitulah kecilnya. Ahh… sudahlah, masa kau perhatikan barang tak berharga itu. Mungkin sudah kau buang jauh-jauh!” Mendadak Giok Ciu tampak menyesal dan marah, bahkan kedua matanya tiba-tiba menjadi merah! Sin Wan melihat betapa gadis itu seperti yang hendak menangis, lalu timbul kasihannya.

“O, barang itukah yang kau masudkkan? Ada, ada... ada kusimpan!”

Giok Ciu cepat menengok dan memandang Sin Wan dengan mata bersinar.

“Betulkan kau simpan barang itu?”

Sin Wan mengangguk kuat. “Ada kusimpan baik-baik.”

“Betulkah? Di mana kau simpan barang itu?”

“Di... Di mana ? Ahh, di tempat yang baik.”

“Betulkah itu? Hati-hati jangan disimpan sembarangan, takut hilang.”

“Tidak, tidak mungkin hilang. Bukankah sulingku juga kau simpan baik-baik sehingga tidak hilang?” kata Sin Wan sambil memandang suling hitam yang dipegang gadis itu.

“Ahh, kalau sulingmu ini lain lagi… barang ini selalu... kusimpan di... dipakaianku,” jawab Giok Ciu malu-malu.

“Barang itu pun... sudah kusimpan baik-baik, jangan kau takut, takkan hilang.”

“Apakah... apakah selalu di saku bajumu?” tanya Giok Ciu sambil memandang wajah Sin Wan dengan tajam, Sin Wan balas memandang.

“Mengapa harus dimasukkan saku?”

“Habis di manakah?”

Sin Wan tetap tak mau mengaku. Tiba-tiba saja Giok Ciu berkata sambil tersenyum, “Ah, tidak mau mengaku juga tidak mengapa, aku pernah melihat barang itu tersembul keluar.”

Terkejutlah Sin Wan. “He?! Apa katamu? Tersembul keluar?” dan diam-diam pemuda itu melirik ke arah dadanya.

Pancingan gadis cerdik itu berhasil. Lirikan mata Sin Wan ke arah dadanya memperkuat dugaannya. Giok Ciu lalu bangkit dari duduknya dan tiba-tiba saja suling itu terlepas dari tangannya lantas menggelinding di atas tanah.

“Tolong, koko, sulingku jatuh...”

Sin Wan buru-buru membungkuk dan mengambil barang itu, akan tetapi pada waktu dia membungkuk ia merasa sesuatu bergerak di lehernya. Ia terkejut dan segera berdiri dan... ia melihat Giok Ciu tertawa girang sambil menunjuk ke arah dada pemuda itu.

Kini Sin Wan menundukkan muka untuk memandang, kiranya sepasang sepatu kecil yang tadinya tergantung di dada dengan sutera biru yang dikalungkan di leher, ternyata sudah keluar dan bergerak-gerak di luar bajunya! Ternyata ketika ia membungkuk tadi, Giok Ciu telah menyambar pita sutera itu lantas membetotnya sehingga sepatunya terbetot keluar! Sin Wan tidak dapat berkata apa-apa, hanya memandang wajah Giok Ciu dengan mulut tersenyum lebar dan muka kemerah-merahan.

“Bukankah kataku tadi telah kusimpan baik-baik? Kau sungguh kurang percaya.”

“Sekarang aku percaya dan puas, terima kasih koko,” jawab Giok Ciu dengan manis.

“Hayo kita kembali, telah terlampau lama kita keluar, nanti Suhu marah,” tiba-tiba Sin Wan berkata.

Ucapan ini mengingatkan Giok Ciu dan mereka segera meloncat masuk ke dalam sumur itu dengan khawatir kalau-kalau gurunya akan marah. Dan betul saja, begitu kaki mereka menginjak pasir di dalam sumur itu, sudah terdengar suara Suhu mereka memanggil dari dalam goa ular.

Mereka segera masuk dan mendapatkan Bu Beng Lojin sedang duduk bersemedhi sambil menghadap ke dalam. Tanpa menengok lagi, orang tua aneh itu berkata, suaranya tetap dan keras.

“Sin Wan dan Giok Ciu! Kalian sudah melanggar laranganku dan keluar dari tempat ini sebelum waktunya!” Sin Wan dan Giok Ciu segera menjatuhkan diri berlutut,

“Ampunkan teecu berdua Suhu. Kami tidak sengaja keluar dan...”

“Cukup! Aku sudah tahu semua. Pelanggaranmu tidak kusesalkan sama sekali, tapi yang paling kusesalkan ialah karena kalian melanggar maka kalian bertemu dengan kaki tangan Kaisar itu! Dan kalian tentu tahu akan akibat pertempuran tadi. Sekarang terpaksa kalian harus keluar dari sini!”

Terkejut sekali kedua murid itu mendengar ini. Dengan khidmad mereka berlutut sambil memohon ampun.

“Muridku, jangan menganggap aku terlampau kejam kepada kalian. Aku menyuruh kalian keluar dan pergi bukanlah dengan maksud mengusir karena kemarahanku. Aku suruh kau pergi untuk mendahului mereka dan memukul lebih dulu sebelum mereka menyerbu dan mencari kalian kesini! Bukankah kalian hendak menuntut balas? Nah, sekarang waktunya! Berangkatlah dan bawalah pedangmu. Tetapi berhati-hatilah, lawan-lawanmu bukan orang lemah!”

Kalau tadinya kedua murid itu merasa bingung dan takut, sekarang mereka merasa girang sekali. Mereka lalu menghaturkan terima kasih kepada Suhu mereka yang agaknya tidak mempedulikan mereka karena duduknya membelakangi mereka itu.

Sesudah berpamit tanpa dijawab oleh Bu Beng Lojin, Sin Wan dan Giok Ciu mengambil kedua pokiam mereka lalu meloncat keluar dari sumur itu. Mereka merasa seakan-akan baru sadar dari mimpi dan seolah-olah baru terbebas dari kurungan. Hati mereka gembira sekali dan mereka berjalan turun gunung sambil bergandeng tangan seperti lakunya dua orang kanak-kanak nakal.

Seperti biasanya Sin Wan mengenakan pakaian warna putih yang menjadi kesukaannya sejak kecil, sedangkan Giok Ciu mengenakan pakaiannya yang berwarna gelap kehitam-hitaman. Memang menurut nasihat dari Suhu mereka, warna pakaian yang paling cocok dan tepat bagi Sin Wan ialah putih dan bagi Giok Ciu warna hitam!

“Karena kalian memiliki pedang pusaka yang ampuh dan keramat, maka sebisanya kalian juga harus menyesuaikan keadaan dengan pedang itu sehingga pedang pusaka itu akan lebih besar faedahnya,” demikianlah kakek yang luar biasa itu berkata ketika mereka baru berlatih pedang.

Karena pemandangan alam yang indah dan hawa gunung yang segar, timbul kegembiraan Giok Cu dan dia berkata, “Koko, hawa begini bagus. Mari kita berlatih pedang. Sekarang kita telah berada di luar dan bebas merdeka, maka aku ingin sekali mencoba pokiam-ku.” Sehabis berkata demikian, ia mencabut Ouw-liong Po-kiam sehingga tampak sinar hitam menyambar.

“Hush, Giok Ciu, jangan kita main-main dengan pokiam kita. Kalau mau berlatih, mari kita gunakan ranting kayu seperti biasa,” berkata Sin Wan.

“Selalu berlatih mempergunakan sepotong ranting, aku bosan, koko. Kita diberi pedang, untuk apa kalau tidak digunakan?”

“Kita hanya menggunakan di mana perlu, Giok Ciu.”

“Koko, jangan kau terlalu kukuh. Kita belajar ilmu pedang dan sudah bertahun-tahun kita memegang dan mainkan pedang kita, tetapi tidak sekali pun pedang kita boleh kita pakai untuk latihan bersama. Mengapakah? Bukankah kedua pedang kita sama kuatnya? Nah, marilah kita mencobanya sekalian melihat pedang siapa yang lebih hebat!”

Mendengar desakan dan bujukan nona itu, Sin Wan menjadi tertarik juga. Memang Suhu-nya betul-betul aneh dan kukuh sehingga belum pernah mereka berlatih pedang bersama dengan menggunakan pedang tulen. Pedang itu hanya boleh dipakai sendiri saja. Karena itu dia pun ingin sekali mengukur kelihaian permainan Ouw Liong Kiam-Sut dari gadis itu dengan menggunakan pedng mereka yang asli.

Ketika Sin Wan mencabut Pek-liong Po-kiam dan mereka mulai berlatih, maka tampaklah dua sinar hitam dan putih bergulung-gulung saling sambar dan saling belit bagai sepasang naga hitam dan putih sedang bersenda gurau dan berterbangan di antara mega-mega di angkasa.

Keduanya merasa kagum sekali karena setiap serangan selalu menemui tangkisan yang tepat sekali sehingga keduanya merasa tidak berdaya! Sungguh Suhu mereka lihai sekali dalam memecah Sin-liong Kiam-sut menjadi dua macam ilmu pedang itu, karena apa bila dimainkan sendiri-sendiri kedua ilmu pedang Pek-liong Kiam-sut dan Ouw Liong Kiam-Sut itu tampaknya berbeda sekali kembangannya dan mempunyai keistimewaan berbeda pula.

Pek-liong Kiam-sut gerakannya gagah dan kuat, akan tetapi gerakan-gerakan yang lurus itu mengandung bermacam-macam tenaga serta tipu gerak tak terduga. Sebaliknya Ouw Liong Kiam-Sut gerakannya lincah dan gesit sekali, membingungkan lawan karena banyak sekali pecahan dan gerak tipunya. Sinar pedangnya tajam pendek-pendek tetapi berubah-ubah mengacaukan pertahanan lawan.

Akan tetapi, kedua sifat ilmu pedang ini setelah kini dimainkan bersama dan dipakai untuk saling serang, ternyata kedua-duanya sama gagal dan tak berdaya, seolah-olah keduanya telah saling kenal baik gerakan masing-masing! Kalau Pek-liong Kiam-sut diumpamakan senjata tajamnya maka Ouw Liong Kiam-Sut adalah sarungnya!

Giok Ciu penasaran sekali dan dia mengeluarkan gerakan terhebat dari Ouw Liong Kiam-Sut, namun sia-sia saja karena Sin Wan tahu belaka ke mana dan bagaimana ia hendak menyerang. Memang hal ini tidaklah aneh kalau dipikirkan bahwa kedua ilmu pedang ini berasal dari satu cabang, yakni Sin-liong Kiam-sut, dan keduanya telah mempelajari Sin-liong Kiam-sut sampai hafal benar.

Sebenarnya mereka belum menguasai seluruh Pek-liong Kiam-sut dan Ouw Liong Kiam-Sut. Sebelum mereka tamat mempelajari kedua ilmu pedang ini dan sebelum mereka bisa menguasai dengan sempurna, sudah keburu datang perisitiwa di luar sumur itu sehingga mereka disuruh turun gunung!

Setelah lelah berlatih keduanya lalu berhenti dan menyimpan pedang masing-masing. Kini mereka duduk beristirahat di atas rumput sambil menikmati angin gunung yang sejuk. Dan aneh sekali, karena latihan itu, di dalam lubuk hati masing-masing timbul rasa tidak puas karena terhadap masing-masing mereka merasa tidak berdaya.

Lebih-lebih Giok Ciu. Gadis ini merasa mengapa kepandaian yang dimilikinya menjadi tak berarti kalau melayani Sin Wan. Kalau saja ia kalah atau menang, maka ia akan merasa puas, namun kini dia menjadi penasaran dan tidak puas. Kalah tidak, menang pun bukan! Juga dia tidak dapat menentukan, pedang mana yang lebih baik atau lebih ampuh!

“Koko, aku merasa heran sekali, Agaknya ilmu pedang yang kita pelajari ini tak seberapa hebat.”

Sin Wan memandang jauh dengan termenung, lalu menjawab, “Aneh, moi-moi, aku pun merasa mempunyai perasaan begitu. Tapi tidak ingatkah kau ketika terjadi pengeroyokan itu? Kau menggunakan pedang dan sebentar saja kau dapat merobohkan lawanmu!”

Giok Ciu teringat dan kekecewaannya agak berkurang.

“Kau benar, Koko. Tapi anehnya, kepandaianku seperti tiada gunanya sama sekali ketika menghadapi ilmu pedangmu!”

Sin Wan melirik sambil tersenyum.

“Kau ini aneh, moi-moi. Kau kan tidak mempelajari Ouw Liong Kiam-Sut untuk digunakan menyerang aku? Ketahuilah, aku sendiri merasa betapa pedangku sama sekali tak dapat menembus pertahanan ilmu pedangmu!”

Setelah beristirahat dan makan buah-buahan yang mereka petik di dalam hutan di lereng bukit, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat.

“Koko, apakah kita pergi ke gedung Suma-cianbu?”

“Ya, kita langsung menuju ke sana dan membasmi bangsat she Suma lebih dulu!” jawab Sin Wan sambil mengertak gigi karena gemas teringat akan musuh besarnya.

Karena mereka mempergunakan ilmu lari cepat, maka dalam dua hari saja mereka telah tiba di kota tempat tinggal Suma-cianbu. Hari belum terlalu gelap ketika mereka berdua memasuki kota, maka mereka menunggu sebentar sebelum menyerbu ke gedung Suma-cianbu itu.

Setelah hari menjadi gelap, keduanya lalu meloncat ke atas genteng dan sambil berlari-lari cepat di atas genteng hingga merupakan dua bayangan putih dan hitam, mereka menuju ke gedung yang tinggi dan besar itu. Tetapi mereka terheran mendapat kenyataan betapa gedung itu sunyi saja. Yang menjaga keamanan hanya empat orang anggota keamanan yang berjalan mondar-mandir di belakang tembok yang mengurung gedung itu.

Di dalam gedung sendiri sunyi senyap, hanya di bagian belakang tampak lampu menyala dan ada suara orang bercakap-cakap. Bagaikan dua ekor kucing mereka meloncat turun dengan ringan sekali sehingga tidak menerbitkan suara. Ketika dua orang penjaga lewat di tempat mereka bersembunyi, mereka menerjang dan tanpa dapat mengeluarkan teriakan kedua penjaga itu kena tertotok dan roboh pingsan. Demikian pula nasib ke dua penjaga lainnya.

Sin Wan dan Giok Ciu kemudian meloncat masuk ke dalam gedung. Alangkah kecewa mereka ketika mendapat kenyataan bahwa gedung itu benar-benar kosong dan tidak ada orangnya, dan yang sedang bercakap-cakap di bagian belakang hanyalah beberapa orang pelayan saja. Para pelayan itu, empat orang tua serta dua orang laki-laki, terkejut sekali ketika tiba-tiba tampak dua orang muda yang telah berada di hadapan mereka.

“Jangan takut, kami tak akan mengganggu!” kata Sin Wan kepada mereka yang berlutut sambil menggigil ketakutan. “Asal saja kalian terangkan di mana adanya Suma-cianbu dan keluarganya.”

“Taijin, Hujin dan Siocia bersama beberapa orang pelayan dan pengawal sudah tiga hari pergi ke kota raja.” Jawab seorang pelayan yag agak tabah.

“Awas, jangan bohong!” Giok Ciu membentak sambil menendang sebuah meja sehingga meja itu terpental dan semua barang di atas meja itu beterbangan. Mereka takut setengah mati dan makin pucatlah wajah mereka.

“Tidak… tidak, Lihiap... Kami ti… tidak berani membohong.”

Bukan main rasa kecewa hati Sin Wan dan Giok Ciu. Mereka lalu meninggalkan gedung itu, setelah terjadi pula sedikit pertentangan faham antara Sin Wan dan Giok Ciu. Karena kecewa dan marah, Giok Ciu hampir saja mengangkat tangan dan membunuh semua isi gedung Suma-cianbu, tetapi Sin Wan segera mencegahnya.

“Moi-moi tidak perlu membunuh mereka. Mereka tiada sangkut pautnya dengan kedosaan Suma-cianbu.”

“Tetapi orang-orang yang bekerja kepadanya dan menjadi kaki tangannya bukanlah orang baik-baik!” Giok Ciu bersikeras.

“Jangan begitu, moi-moi. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang bekerja untuk mencari sesuap nasi. Kalau mereka tidak mengganggu kita, tak perlu kita berlaku kejam terhadap mereka.”

Giok Ciu mendongkol sekali dan mulutnya cemberut, tetapi dia tidak membantah lagi, lalu mendahului meloncat ke atas genteng, diikut oleh Sin Wan dari belakang. Malam itu juga mereka meninggalkan kota Wie-kwan untuk mengejar Suma-cianbu yang sedang pergi ke kota raja. Jarak antara Wie-Kwan dan kota raja bukanlah dekat dan jika mereka berjalan cepat, maka mereka sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari.

“Moi-moi, di kota raja nanti kita harus berlaku hati-hati karena di sana adalah pusat para pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi.”

Giok Ciu menahan tindakan kakinya dan menengok, “Ah, jadi kau tiba-tiba merasa jeri dan takut, Koko?” katanya mengandung suara sindiran.

Sin Wan mengerutkan jidatnya dan berkata, “Tidak takut, moi-moi, tetapi berhati-hati. Kau juga ingin agar pekerjaan kita membalas dendam sekali ini jangan sampai gagal, bukan?”

Giok Ciu berkata jumawa, “Hah, apa yang dikuatirkan? Aku tidak takut segala pahlawan anjing itu. Paling-paling kita akan berhadapan dengan Tosu siluman Cin Cin Hoatsu, dan aku seujung rambut pun tidak takut padanya!”

Sin Wan makin heran melihat sikap dan kejumawaan Giok Ciu, karena tidak disangkanya gadis itu akan menjadi sesombong itu. Ia tidak tahu bahwa sejak dapat mengalahkan para pahlawan yang mengeroyok mereka di luar sumur, di dalam hati gadis muda itu timbullah sifat bangga yang besar sehingga membuat dia menjadi jumawa dan menganggap bahwa kepandaiannya telah sampai di puncak kesempurnaan! Karena inilah maka ketika berlatih mengadu pedang dengan Sin Wan, ia menjadi penasaran dan kecewa karena tidak dapat menangkan pemuda itu! Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kiong-Kwan yang besar.

Kota ini cukup ramai karena letaknya yang dekat dengan kota raja dan di sini banyak pula tinggal orang-orang berpangkat pangeran. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berjalan perlahan memasuki pintu kota, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dan ketika mereka berdiri di tepi jalan memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang tinggi besar yang pandai sekali menunggang kuda.

Pada saat ketiga orang itu lewat di depan mereka, ketiganya menengok dan memandang dengan tajam. Tapi Sin Wan dan Giok Ciu tidak ambil peduli sama sekali dan melanjutkan perjalan mereka memasuki kota.

Giok Ciu tertarik oleh sebuah rumah penginapan yang daun pintu dan tiang-tiangnya dicat warna merah sehingga nampak indah sekali, maka ia lalu mengajak Sin Wan bermalam di situ saja. Sin Wan tersenyum melihat kegembiraan gadis itu dan ia menurut saja. Kepada seorang pelayan ia lalu minta disediakan dua kamar.

“Dua kamar ukuran kecil, atau satu saja kamar berukuran besar?” Pelayan yang berlidah tajam dan jenaka itu bertanya sambil melirik ke arah Giok Ciu.

Gadis itu timbul marahnya dan ia membentak, “Tulikah kau?! Kami minta dua kamar dan jangan kau banyak cerewet lagi!” Pelayan itu memandang dengan terkejut dan buru-buru ia menyediakan kamar yang diminta.

“Sabarlah, moi-moi untuk apa meladeni segala macam orang seperti dia?”

“Apa? Orang-orang macam dia itu jika tidak diberi hajaran tentu selalu akan mengganggu orang!”

Sin Wan hanya tersenyum melihat kegalakan nona ini, karena betapa pun juga, jika Giok Ciu sedang marah seperti itu matanya bersinar-sinar, kedua pipinya kemerah-merahan, kulit hidungnya yang tipis kembang-kempis dan bibir yang bagus bentuknya itu merengut dan meruncing tetapi menambah manisnya!

Pada saat itu pula tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berkata-kata, maka Sin Wan lalu memberi isyarat kepada Giok Ciu. Ketika mereka memandang, ternyata yang datang adalah tiga orang berkuda yang tadi bertemu dengan mereka di pintu gerbang kota.

Ketiga orang itu pun memandang kepada mereka dengan tajam, akan tetapi mereka lalu membuang muka dan memasuki kamar pengurus rumah penginapan. Sin Wan mengajak Giok Ciu memasuki kamarnya dan ia berkata,

“Moi-moi, kurasa ketiga orang itu bukanlah orang-orang baik. Mereka agaknya mengikuti kita.”

“Apa? Biar kuhajar mereka sekarang juga!”

“Eh, eh! Sabar, Giok Ciu. Dengan alasan apa kita harus mencari perkara? Biarkan saja, tetapi malam ini kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati.”

“Menghadapi tiga ekor tikus busuk itu saja mengapa begitu ribut-ribut? Malam ini aku ingin melihat-lihat kota, Koko.”

Sin Wan menyatakan setuju. “Baiklah, nanti kita pergi mencari tempat makan yang paling besar.”

Sesudah membersihkan tubuh, Sin Wan dan Giok Ciu keluar dari rumah penginapan dan berjalan melihat-lihat kota yang indah dan besar itu. Giok Ciu kagum melihat bangunan-bangunan yang besar dan tinggi. Sungguh pun kedua anak muda itu tampaknya berjalan-jalan dan mengagumi pemandangan kota, namun sesungguhnya mereka tahu bahwa ada seorang di antara ketiga penunggang kuda sedang mengikuti mereka! Orang itu tinggi dan kurus dan kaki kirinya agak pincang, tetapi di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang memakai ronce kuning.

“Kita sikat dia, Koko?” tanya Giok Ciu.

Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah restoran besar dan memesan masakan. Dan alangkah mendongkolnya dan marahnya Giok Ciu ketika melihat betapa si pincang itu pun memasuki restoran lalu duduk di meja yang dekat dengan meja mereka. Alangkah kurang ajar dan beraninya! Kalau ia tidak duduk bersama Sin Wan, tentu ia sudah melemparkan meja di depannya kepada orang tinggi kurus itu!

Namun Sin Wan berkejap kepadanya untuk mencegah gadis itu melakukan sesuatu yang mengacaukan. Untuk melampiaskan marahnya, Giok Ciu berkata,

“Tidak kusangka, seekor di antara tiga bangkai tikus yang terserak di sana tadi tahu-tahu sudah terdampar ke sini!” Sambil berkata demikian, ia sengaja memandang si pincang itu dengan mata marah!

Tentu saja kata-katanya ini membuat para tamu restoran memandang heran, sedangkan si pincang itu yang merasa dirinya disindir, tampak jelas menahan-nahan diri supaya tidak memperlihatkan marahnya. Ia hanya balas memandang tajam, lalu menundukkan kepala dan makan hidangan yang dipesannya.

Setelah makan kenyang Sin Wan dan Giok Ciu sengaja mengambil jalan memutar melalui jalan yang sunyi. Dan benar saja, si tinggi pincang itu tetap mengikuti mereka. Sin Wan dan Giok Ciu lalu menggunakan ilmu lari cepat, tetapi orang itu pun pandai dalam ilmu ini! Hanya saja, kedua anak itu maklum bahwa kepandaian orang itu tidak berapa tinggi.

“Giok Ciu, tentu ada apa-apa yang tidak beres. Marilah kita pulang, lalu secara diam-diam kita lihat, mereka itu sebetulnya orang-orang apa dan sedang melakukan apa.”

“Dan tikus ini bagaimana? Aku ingin memberi rasa padanya.”

Sin Wan tersenyum, “Sesukamulah asal jangan terlalu lama.”

Giok Ciu lalu membungkuk untuk memungut sepotong batu, lalu ia berhenti dan berteriak, “He, tikus pincang, jalanmu tak sedap dipandang karena kakimu pincang sebelah. Biarlah aku tolong kau dan bikin pincang kakimu yang sebelah lagi!” Tangannya lalu diayun dan batu kecil itu meluncur cepat ke arah pengejar.

Si tinggi kurus itu berlaku waspada, tapi ternyata batu yang menyerangnya itu lebih cepat lagi. Ia tak sempat berkelit dan tahu-tahu tulang keringnya berbunyi,

“Pletakk!”

Ia pun roboh karena kaki kanannya tiba-tiba lemas dan sakit sekali. Ketika ia merabanya, ternyata tulangnya telah pecah! Ia meringis kesakitan dan diam-diam terkejut bukan main melihat kelihaian kedua anak muda itu.

“Masih baik mereka tidak menghendaki jiwaku,” ia berpikir sambil merangkak maju untuk minta pertolongan orang.

Sin Wan dan Giok Ciu kemudian melompat ke atas genteng dan mereka menggunakan kepandaian untuk meloncati rumah-rumah dan cepat menuju rumah penginapan. Ginkang mereka telah demikian sempurna sehingga yang tampak berkelebat hanya dua bayangan putih dan hitam.

Setibanya di atas rumah penginapan, mereka bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan mengintai. Tiba-tiba tampak bayangan beberapa orang bergerak di atas genteng dan meloncat ke bawah dengan gerakan cukup gesit. Mereka berdua lalu meloncat mendekati dan dengan hati-hati mereka membuka genteng kamar para penunggang kuda itu.

Ternyata di dalam kamar yang besar itu telah berkumpul banyak orang. Alangkah terkejut mereka setelah melihat bahwa di antara mereka terdapat juga pahlawan-pahlawan Kaisar yang dulu mengeroyok mereka di atas sumur! Mereka mendengarkan dengan teliti.

“Betulkah mereka mengejar Suma-cianbu?” terdengar seorang berkata. “Kalau begitu kita harus dapat menangkap mereka sebelum kabur.”

“Tetapi mereka lihai sekali,” berkata seorang yang dulu mengeroyok Sin Wan.

“Jangan takut, Hek-twako dan Mo-susiok ada di sini. Pula, mereka tadi sudah diikuti oleh Liu-sute. Kita nanti mengepung mereka, masak tidak dapat merobohkan dua orang anak muda saja?”

Maka tahulah Sin Wan dan Giok Ciu bahwa kedatangan mereka di gedung Suma-cianbu telah diketahui oleh orang-orang ini dan tahu pula bahwa orang-orang ini bukan lain ialah para pengawal dan pahlawan kerajaan.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar