Kisah Sepasang Naga Jilid 06

Dari perjalanan ini maka terbuktilah kekuatan serta keuletan tubuh Sin Wan. Pemuda itu boleh dibilang sehari penuh terus berlari cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama sekali tidak merasa lelah!

Karena sering berhenti maka hari telah mulai senja ketika mereka sampai di kampung Sin Wan. Matahari telah bersembunyi di balik puncak Kam-hong-san dan keadaan telah sunyi senyap karena burung-burung telah kembali ke sarang mereka dan beristirahat sesudah seharian penuh beterbangan mencari makan. Beberapa ekor burung kuntul yang berbulu putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka perlahan namun kuat sehingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

“Sin Wan, kenapa kampungmu begini sunyi?” tanya Giok Ciu dengan heran ketika mereka mulai masuk perkampungan itu.

Sin Wan tak menjawab, tetapi dia sendiri juga heran sekali. Tiba-tiba telinga mereka dapat mendengar suara tangis sedih yang tertahan-tahan, agaknya orang-orang menangis tetapi karena ketakutan maka tidak berani menangis keras. Sin Wan terkejut dan ia memegang lengan Giok Ciu sambil berkata,

“Hayo cepat, Giok Ciu!”

Gadis itu merasa betapa tangan Sin Wan yang memegang lengannya amat dingin, maka hatinya pun berdebar karena menyangka sesuatu yang tidak beres. Dan apa yang tampak oleh mereka sungguh mengerikan!

Ketika mereka tiba di depan rumah Sin Wan, tampaklah tubuh-tubuh malang melintang di atas tanah yang telah menjadi merah karena aliran darah dari para korban itu.

“Sin Wan, apakah yang terjadi?” Giok Ciu dengan wajah pucat sambil memegang lengan pemuda itu, akan tetapi bagaikan orang kalap Sin Wan mengipaskan tangan Giok Ciu lalu meloncat masuk ke dalam rumahnya sambil berteriak-teriak,

“Ibu...! Kakek…!”

Giok Ciu cepat mengikuti pemuda itu dan meloncat masuk melalui pintu yang terpentang lebar. Sesudah berada di dalam, ia melihat Sin Wan telah berlutut sambil memeluki tubuh ibunya yang menggeletak mandi darah! Juga kakeknya rebah dengan lengan kanan putus dan tidak ingat orang!

“Ibu... Kongkong...” Giok Ciu berbisik perlahan dan dia merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil.

Sin Wan seperti orang gila. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya dua matanya melotot lebar dan dari pelupuk matanya mengalir air mata berbutir-butir yang membasahi pipinya.

Ia mengangkat kepala ibunya dan dipangkunya kepala yang lemas itu, didekapnya muka ibunya di dadanya dan diciuminya jidat yang halus putih dan pucat itu. Kemudian, lama sekali, barulah Sin Wan dapat berbisik, suaranya tenggelam dalam kerongkongannya,

“Ibu... Ibu… bangunlah, Ibu… bukalah matamu, ini aku sudah datang, Ibu... aku Sin Wan anakmu…”

Melihat keadaan pemuda itu dan juga mendengar ratap tangisnya, Giok Ciu hanya dapat mencucurkan air mata dari belakang. Ia pegang lengan Sin Wan, hatinya ingin menghibur, akan tetapi tak sepatah kata pun dapat keluar dari mulutnya. Tiba-tiba dia melihat ibu Sin Wan menggerak-gerakkan kulit matanya.

“Sin Wan, lihat. Ibumu telah siuman,” bisik Giok Ciu. Sin Wan memandang wajah ibunya dan timbul harapan dalam hatinya.

“Ibu… bangunlah, Ibu...” ratapnya dan ia mencoba untuk mengangkat tubuh ibunya, tetapi tiba-tiba nyonya itu merintih kesakitan sehingga terpaksa Sin Wan menunda maksudnya dan ia membaringkan kepala ibunya di atas pangkuannya. Nyonya yang bernasib malang itu membuka pelupuk matanya dan ia tersenyum ketika melihat Sin Wan.

“Syukur… kau… kau selamat, Sin Wan…” katanya perlahan.

“Ibu, bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau... ahh, siapakah yang melakukan ini, Ibu? Siapa? Katakanlah, hendak kubeset tubuhnya menjadi dua!”

“Siapa lagi, anakku... Kalau bukan orang-orangnya… Kaisar... lalim...” Ibu Sin Wan melirik ke arah gadis yang berada di belakang Sin Wan dan ikut mengalirkan air mata itu. Wajah yang sudah menyuram itu tiba-tiba berseri dan bibirnya berbisik,

“Sin Wan... inikah... Giok Ciu...?”

“Betul, Ibu,” jawab Giok Ciu sambil mendekat.

Ibu Sin Wan masih kuasa mengangkat lengan kanannya untuk meraba-raba muka serta rambut Giok Ciu, agaknya ia puas sekali.

“Kau... cantik… dan… baik, bahagialah kau dengan… anakku…”

Giok Ciu tak kuasa menahan keharuan hatinya, ia hanya bisa mengangguk-angguk sambil menciumi tangan yang membelainya itu.

“Sin Wan... jagalah baik-baik dia ini… dia adalah calon isterimu… tanda perjodohannya... sepatu kecil... kusimpan di dalam peti pakaianku... Sin Wan... Giok Ciu... Aduhhh...!” Dan nyonya yang telah kepayahan karena kehabisan darah yang terus mengucur dari lukanya itu menjadi lemas dan napasnya berhenti!

“Ibu…! Ibuuuu…!” Sin Wan menjerit dan kedua matanya jelalatan bagaikan mencari-cari sesuatu. Kemudian perlahan-lahan ia turunkan kepala yang berada dipangkuannya, lalu ia meloncat berdiri dan memburu ke depan sambil berteriak. “Siapa yang membunuh ibuku? Siapa?! Hayo keluar!”

Kemudian, karena yang dilihatnya hanya mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ia berlari lagi ke dalam dan menubruk mayat ibunya.

“Ibu... Ibu...! Mana Kongkong, mana...? Kongkong… di mana kau?” Sin Wan benar-benar seperti orang gila hingga ia tidak melihat kongkong-nya yang menggeletak tidak jauh dari situ.

Sambil menangis Giok Ciu memegang tangan Sin Wan lalu berkata, “Sin Wan, tenanglah, Kongkong ada di sini, lihatlah...!”

Sin Wan menengok ke bawah dan ketika melihat tubuh kakeknya membujur di situ mandi darah, ketegangan di wajahnya lenyap seketika. Ia cepat menubruk kongkong-nya lantas mengangkat kepala yang sudah putih itu.

“Kongkong! Kau juga menjadi korban? Kongkong… katakanlah siapa yang melakukan ini. Siapa?” Ia menggoyang-goyang tubuh kongkong-nya yang sudah lemas itu.

Agaknya jiwa kakek itu belum meninggalkan raganya, karena memang orang tua itu kuat sekali dan sudah mempunyai latihan tenaga dalam yang luar biasa. Maka dalam keadaan yang bagi orang lain sudah tidak mungkin dapat mempertahankan lebih lama itu karena selain lengannya yang kanan terpotong sebatas pundak, juga ia mendapat luka-luka pada dada dan perutnya, ia masih dapat membuka matanya. Mata itu memandang kepada Sin Wan dengan tajam dan dengan paksaan tenaganya yang terakhir ia berkata dengan suara parau seakan-akan bukan suara manusia lagi,

“Sin Wan... yang melakukan ini ialah... Suma-cianbu dan Siauw-san Ngo-sin-to...!” Kepala yang tadinya menegang itu lalu terkulai lemas di dalam pelukan Sin Wan, tanda bahwa hayatnya telah meninggalkan tubuh!

Perlahan-lahan Sin Wan melepaskan kepala itu ke bawah. Tiba-tiba dia membetot suling bambu yang terpegang pada tangan kiri kakeknya, kemudian dengan geraman hebat Sin Wan meloncat keluar bagaikan seekor naga mengamuk! Pemuda itu tidak ingat apa-apa lagi, yang diingat hanya dendam kepada musuh-musuhnya!

Ia tiba diluar dan matanya memandang jelalatan ke sana ke mari. Tiba-tiba ia meloncat ke samping ketika merasa betapa pundaknya dijamah orang dengan perlahan dari belakang. Sambil meloncat ia mengayun suling ke arah orang yang menjamahnya itu sehingga Giok Ciu cepat berkelit dengan kaget sekali.

“Sin Wan, ingatlah, ini aku, Giok Ciu!” kata gadis itu sambil melangkah maju kemudian memegang lengan Sin Wan, “Sin Wan, begini lemahkah hatimu? Beginikah sikap seorang jantan yang gagah perkasa? Kau boleh marah dan sakit hati, tapi kau tidak tahu di mana adanya musuh-musuhmu. Apakah kau telah melupakan jenazah ibu dan kakek? Apakah mereka itu tidak harus diurus lebih dulu dan dibiarkan saja? Ahh, Sin Wan... Sin Wan...”

Tubuh Sin Wan yang tadinya menegang dan matanya yang liar dan ganas itu melembut. Suling yang dicengkeram di dalam tangannya terlepas lantas jatuh di tanah tanpa terasa. Kemudian dengan tubuh lemas ia berlari ke dalam rumah. Melihat mayat kongkong-nya ia lalu berlutut. Sambil memandang wajah kakeknya itu ia meratap dan menyesali kakeknya.

“Kongkong, mengapa kau suruh aku pergi? Mengapa? Agaknya kau sengaja menyuruh aku menyingkir. Aku tahu... Aku tahu...! Kongkong, apa kau kira aku seorang penakut? Apa kau kira aku takut mati? Ah, Kongkong. Kalau saja aku tidak pergi... Kongkong… kau bikin aku selamanya akan menyesali saat kepergianku itu... Kau bikin aku menjadi selalu penasaran...” Kemudian, sambil menyusut air mata dengan ujung baju, pemuda tanggung yang mengalami nasib buruk itu menubruk mayat ibunya.

“Ibu... Ibu... anakmu tidak berbakti! Kau... kau diserang musuh, dilukai, dibunuh... tetapi aku... anakmu... malah pergi dan bergembira di luar! Ibu ampunkan anakmu ini. Ibu... aku bersumpah, sebelum dapat membunuh orang-orang terkutuk itu, aku tidak mau menyebut namaku kepada orang lain…” Kemudian Sin Wan menangis lagi sambil berlutut di dekat mayat ibunya. Ia pukul-pukulkan kepalanya di atas lantai hingga terluka dan kulit jidat itu mengeluarkan darah!

Demikian besar rasa penyesalannya telah pergi hingga ibunya dibunuh orang pada saat ia tidak berada di situ, maka karena menyesal dia membentur-benturkan jidat di lantai dan akhirnya sambil memekik keras ia roboh pingsan di atas dada ibunya!

Semenjak tadi Giok Ciu tidak berdaya dan hanya ikut menangis. Ia adalah seorang gadis yang keras hati, tapi menghadapi pemandangan demikian mengerikan dan mengharukan, ia tidak dapat menahan mengucurnya air mata dan rasa iba hati yang luar biasa sampai menyakitkan dadanya.

Ia merasa amat iba melihat Sin Wan, pemuda tunangannya yang sebelum diberi tahu oleh ibunya tidak mengerti bahwa Giok Ciu adalah tunangannya! Giok Ciu sendiri sudah diberi tahu oleh ayahnya, bahkan suling kecil pemberian Kang-lam Ciu-hiap sudah diserahkan kepadanya untuk disimpan. Inilah sebabnya maka ia merasa malu dan kikuk sekali ketika bertemu dengan Sin Wan.

Akan tetapi kemudian dia dapat menerka bahwa pemuda itu agaknya belum tahu tentang pertunangan mereka, maka lenyaplah rasa malunya terhadap Sin Wan. Hal ini membuat kegembiraannya timbul dan ia bisa bergaul lebih bebas dengan pemuda itu. Namun tidak disangkanya sama sekali bahwa musuh sudah mendahului mereka dan sudah mengamuk sedemikian kejamnya!

Sekarang melihat betapa Sin Wan jatuh pingsan, Giok Ciu merasa makin bingung dan ia merasa hatinya seperti diremas-remas! Ia lari keluar lalu masuk ke dalam rumah terdekat. Di dalam rumah itu terdapat dua orang wanita tua dan muda saling peluk dengan tubuh gemetar, dan di tengah-tengah mereka ada tiga anak-anak kecil. Ternyata mereka masih ketakutan.

Betapa kaget mereka ketika ada orang masuk ke rumah. Mereka sangka bahwa tentara-tentara yang kejam itu masih berada di luar. Tapi Giok Ciu berkata dengan halus,

“Bibi dan cici, jangan takut-takut, musuh telah pergi semua. Marilah kau bantu aku untuk memberi tahu semua tetangga. Suruh mereka keluar dan menolong kawan-kawan kita.”

Maka berdirilah kedua wanita itu dan sebentar saja mereka berdua pergi ke rumah-rumah para tetangga. Semua orang keluarlah berbondong-bondong dan tangis serta pekik saling menyusul ketika mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan. Masing-masing keluar lalu mengangkat korban-korban yang masih menggeletak di luar dan menggotong tubuh-tubuh itu ke rumah masing-masing.

Dengan bantuan beberapa orang Giok Ciu lalu mengurus kedua jenazah ibu Sin Wan dan Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong. Sedangkan Sin Wan sesudah siuman, hanya duduk bengong menghadapi kedua mayat orang-orang tercinta itu.

Selama hidupnya ia hanya kenal ibu dan kakeknya, dan kini tiba-tiba saja kedua orang tua itu meninggalkan dia dengan cara yang sedemikian menyedihkan! Sementara itu Giok Ciu mendengarkan keterangan yang diberikan oleh orang-orang kampung yang tidak menjadi korban keganasan gerombolan kaki tangan Kaisar.

Ternyata pada kira-kira tengah hari tadi, datang sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap menyerbu kampung itu, dipimpin oleh Suma-cianbu dan lima orang gagah, yakni Siauw-san Ngo-sin-to atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-san. Mereka hendak menangkap Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong, akan tetapi kakek yang gagah perkasa itu melawan dengan hebat. Pertempuran seru terjadi dan orang-orang kampung yang jujur dan setia kawan lalu maju membantu ketika melihat betapa kakek itu dikeroyok.

Tapi mereka bukanlah tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan orang roboh mandi darah. Kang-lam Ciu-hiap dengan senjata suling mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Seorang pemuda yang tadi berhasil menonton pertempuran itu sambil bersembunyi, menuturkan sebagai berikut.

Rombongan penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggota tentara di bawah pimpinan seorang pria tinggi besar yang brewokan dan mengaku bernama Suma-cianbu atau kapten Suma. Kapten Suma itu bersenjatakan sepasang pedang. Di antara mereka terdapat lima orang Tosu atau pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas. Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang-lam Ciu-hiap. Kakek yang gagah itu dengan tenang dan sedikit pun tidak jeri menyambut kedatangan mereka di luar rumahnya.

“Ha-ha-ha! Kang-lam Ciu-hiap! Sungguh aku beruntung sekali karena ternyata kau masih hidup sehingga memberi kesempatan kepadaku untuk membunuhmu!” kata Kapten Suma itu sambil meloncat turun dari kudanya.

“Memang benar kata-katamu bahwa aku masih hidup, Suma-cianbu, tapi soal membunuh itu masih merupakan teka-teki. Siapa tahu barang kali justru akulah yang akan berhasil membunuhmu.”

“Hmm, orang she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani membuka mulut besar!” tegur salah seorang di antara kelima Tosu itu. “Tahukah kau akan dosa-dosamu?”

Kang-lam Ciu-hiap menatap kepada Tosu itu dengan pandang mata menghina.

“Bukankah aku sedang berhadapan dengan Siauw-san Ngo-sin-to yang terkenal? Kenapa kalian orang-orang pertapa meninggalkan tempat pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat Kaisar ini? Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat?”

Marahlah Tosu tertua mendengar sindiran ini. “Bun Gwat Kong! Ajalmu sudah berada di depan mata, kau masih berani menghina orang! Kau telah memberontak dan membunuh banyak pembesar-pembesar negeri, mengikuti jejak anak menantumu yang juga menjadi pemberontak! Apakah dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa kami turun gunung untuk menghajarmu?”

“Sudahlah, sudahlah. Bila negeri sedang kacau memang selalu muncul tikus-tikus seperti kalian. Ternyata hanya nama Siauw-san Ngo-sin-to saja yang besar, tapi orang-orangnya tidak berjiwa bersih!”

Lima Tosu itu dengan marah segera mencabut golok masing-masing. Golok mereka kecil dan panjang tapi gemerlapan karena tajamnya. Kemudian mereka maju mengepung Kang-lam Ciu-hiap yang hanya bersenjatakan suling bambu di tangan!

Maka terjadilah pertempuran yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang-lam Ciu-hiap ternyata mampu bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya. Melihat betapa orang tua gagah itu dalam berpuluh jurus belum juga dapat dirobohkan, Suma-cianbu sendiri maju dengan sepasang pedang atau siang-kiamnya. Sekarang kakek itu mulai sibuk dan terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak di bawah seorang dari para Tosu-Tosu itu.

Akan tetapi Kang-lam Ciu-hiap benar-benar memperlihatkan bahwa nama besarnya bukan kosong belaka. Ia mengamuk laksana seekor naga yang terluka. Beberapa orang anggota tentara yang mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala telah roboh di bawah totokan sulingnya.

Tetapi musuh terlampau banyak dan Kang-lam Ciu-hiap telah mendapat beberapa luka di badannya. Mendadak terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan kakek itu yang mengenal jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring kemudian dia meloncat ke dalam rumah sambil dikejar oleh lawan-lawannya.

Alangkah kaget kakek itu ketika melihat betapa anaknya sudah roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri seorang anak buah rombongan itu sambil memegang golok yang sudah berlumuran darah. Dalam marahnya Kang-lam Ciu-hiap mengayun sulingnya dan robohlah pembunuh anaknya itu sambil berteriak ngeri. Tapi Kang-lam Ciu-hiap masih belum puas, ia kerjakan kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul dan menendang sehingga orang itu andai kata memiliki sepuluh nyawa tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang pergi meninggalkan raganya!

Akan tetapi pada saat itu Suma-cianbu dan kelima Tosu yang lihai telah masuk ke rumah pula. Dalam keadaan terdesak di tempat sempit itu akhirnya robohlah Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat kong, kakek yang gagah perkasa itu!

Sementara itu orang-orang kampung yang melihat betapa kakek Bun didatangi penyerbu-penyerbu lalu bersiap dan berusaha membantu. Akan tetapi mereka bukanlah lawan para anggota tentara pemerintah asing yang sudah terlatih, maka sebentar saja belasan orang dapat dirobohkan dan yang lainnya lari bersembunyi.

Maka sebentar saja penuhlah pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubuh luka dan mayat bergelimpangan. Pemandangan yang mengerikan sekali! Setelah menjatuhkan mala petaka di kampung itu, rombongan Suma-cianbu segera meninggalkan kampung itu sambil membawa beberapa orang yang sudah terbinasa oleh amukan Kang-lam Ciu-hiap tadi. Walau pun para penyerbu telah pergi lama, orang-orang kampung masih belum juga berani keluar dari tempat persembunyian mereka sampai Sin Wan dan Giok Cu datang!

Mendengar betapa lihainya musuh-musuh yang datang, maka Giok Ciu yang cerdik tahu mengapa kakek gagah itu sengaja menyuruh Sin Wan pergi, karena apa bila pemuda itu berada di situ, tentu tak akan terluput dari kematian juga.

Ketika orang-orang masih sibuk mengurus semua jenazah dan berkabung, malam hari itu datanglah Kwie Cu Ek ke kampung itu. Ia merasa terkejut sekali ketika Giok Ciu dan Sin Wan berlutut sambil menangis dengan sedih. Orang gagah itu menggertak gigi kemudian membangunkan kedua anak itu.

“Suma Kan Hu, binatang kejam! Dan kalian Siauw-san Ngo-sin-to pertapa-pertapa busuk, perbuatan kalian ini betul-betul keterlaluan. Aku Kwie Cu Ek bersumpah hendak mengadu nyawa dengan kalian!” Hui-houw Kwie Cu Ek berseru keras dengan muka merah karena marahnya, dan suaranya yang keras menyeramkan penuh hawa marah itu di selingi isak tangis Sin Wan dan Giok Ciu hingga semua orang yang berada di situ tak dapat menahan turunnya air mata mereka.

Untuk memudahkan pengurusannya, semua jenazah yang berjumlah tujuh belas orang itu dikumpulkan di satu rumah dan di sanalah semua orang berkumpul dan bersembahyang. Pada esok harinya, dengan iringan ratap tangis mereka yang ditinggalkan, semua jenazah dikebumikan.

“Ayah, marilah kita bertiga mencari pembunuh-pembunuh itu lalu menghajar mereka!” kata Giok Ciu kepada Ayahnya.

“Benar kata-kata Giok Ciu tadi, Kwie-pehpeh. Aku harus mencari mereka untuk membuat perhitungan!” kata Sin Wan penuh semangat.

Tapi Kwie Cu Ek menggeleng-gelengkan kepala.

“Kalian mudah saja bicara. Lawan-lawan ini bukan orang lemah. Kita bertiga belum tentu dapat menangkan mereka, apa lagi mereka berada di tengah pahlawan-pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi. Sekarang belum waktunya membalas dendam. Sin Wan, kau ikutlah dengan kami ke tempat tinggalku dan di sana kau harus berlatih silat lebih lanjut. Kalau kepandaianmu sudah mencukupi barulah kau boleh turun gunung membalas sakit hati, dan percayalah, aku dan Giok Ciu pasti akan menyertaimu. Aku pun telah gatal-gatal tangan untuk menghajar mereka, tapi segala hal lebih baik dilakukan dengan perhitungan masak-masak. Tahukah kau bahwa kakek dan ibumu sengaja menyuruh kau pergi hingga terbebas dari kematian? Dan tahukah kau mengapa mereka lakukan hal itu? Tak lain agar kelak kau dapat membalas dendam ini! Maka jika sekarang kau pergi membalas dendam kemudian tidak berhasil bahkan kau sendiri terbinasa, bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan pengharapan dan maksud ibu dan kakekmu?”

Sin Wan menundukkan kepala. Dia merasa betapa tepat dan benar sekali omongan orang tua itu. Maka ia mengalah dan hanya berkata,

“Terserah kepadamu, Kwie-pehpeh. Semenjak sekarang tidak ada orang lain yang pantas saya taati lagi selain kau orang tua!” Dengan ujung lengan bajunya Sin Wan menyusut air matanya.

“Nah, begitulah seharusnya, Sin Wan. Lekaslah bersiap dan sekarang juga kita pindah ke tempatku.”

Dengan hati terharu Sin Wan lalu minta diri dari semua orang kampung sambil bertangis-tangisan. Ia hanya membawa pakaian dan barang seperlunya saja, namun diam-diam dia mencari sepatu kecil yang dipesankan ibunya itu kemudian dia memasukkan itu ke dalam buntalannya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar