Pendekar Rajawali Sakti eps 084 : Tujuh Mata Dewa

SATU
"Khraaagkh...!"

Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan tampak menukik turun. Kecepatannya sangat tinggi, menuju sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di tengah-tengah hutan cemara. Dua sosok manusia terlihat berlompatan turun dari punggung burung rajawali yang telah mendarat manis sekali di padang rumput ini.

"Kau boleh pergi, Rajawali," ujar pemuda tampan berbaju rompi putih yang tadi melompat turun dari punggung binatang raksasa ini.

"Khraaagkh...!"

Rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung melesat cepat bagai kilat, melambung tinggi ke angkasa. Suaranya yang keras dan serak, terdengar menggelegar bagai hendak meruntuhkan langit. Begitu cepat burung itu terbang. Sehingga, dalam waktu sekejap saja sudah tidak terlihat lagi, tertelan gumpalan awan yang cukup tebal menyelimuti langit.

Sebentar pemuda tampan berbaju rompi putih yang ternyata Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke atas. Kemudian, kepalanya bergerak perlahan berpaling ke arah gadis cantik berbaju biru muda di sebelah kanannya. Gadis cantik ini, dikenal berjuluk si Kipas Maut. Dan nama gadis itu sebenarnya adalah Pandan Wangi.

Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan beberapa saat, kemudian melangkah meninggalkan padang rumput itu tanpa bicara sedikit pun. Dan ayunan langkah kaki mereka kembali terhenti, setelah tiba di tepian padang rumput ini. Yang terlihat di sekeliling tempat ini hanya pohon-pohon cemara yang tumbuh menjulang tinggi, bagai hendak menggapai langit.

"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi, saat melihat wajah Rangga seperti kehilangan semangat.

Pendekar Rajawali Sakti hanya melirik sedikit saja pada gadis cantik yang terus memandanginya dari sebelah kanan. Sedikit napasnya dihembuskan. Kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Sementara, Pandan Wangi terus memandangi dengan kelopak mata agak menyipit.

Gadis itu mengayunkan kakinya menghampiri, kemudian duduk di samping Rangga. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti tertuju lurus tak berkedip ke arah utara. Entah apa yang sedang dipandanginya. Hanya pohon-pohon cemara saja yang terlihat di sekelilingnya. Sedangkan Pandan Wangi terus saja memandangi Pendekar Rajawali.

"Ada yang kau pikirkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi, jadi penasaran.

"Entahlah...," sahut Rangga agak mendesah. "Mendadak saja perasaanku tidak enak."

"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi lagi, semakin ingin tahu.

Rangga tidak langsung menjawab. Beberapa kali dihembuskannya napas panjang yang terasa teramat berat. Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja hatinya merasa jadi tidak enak. Sejak turun dari Rajawali Putih tadi, dirasakan ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Seperti ada sesuatu yang tengah menunggu, tapi entah apa.

Perlahan Rangga bangkit berdiri, kemudian melangkah pelan-pelan. Sementara, Pandan Wangi masih duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Pandangannya terus tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang terus saja melangkah perlahan-lahan dengan pandangan lurus ke depan. Gadis itu segera bangkit berdiri, setelah Rangga berjalan sejauh tiga batang tombak meninggalkannya. Dengan ayunan kaki agak cepat, si Kipas Maut itu sudah kembali mensejajarkan ayunan kakinya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Namun baru saja mereka berjalan sejauh beberapa batang tombak, mendadak saja....

"Awas, Kakang…!" seru Pandan Wangi.

Cepat sekali Rangga mengebutkan tangannya, begitu melihat sebatang anak panah berwarna hitam meluncur deras ke arahnya dari depan. Sementara, Pandan Wangi langsung saja mencabut kipas baja putih dari balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning keemasan.

"Hm...," gumam Rangga perlahan.

***

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti mengamati anak panah berwarna hitam pekat dalam genggaman tangannya. Kemudian dilemparkannya anak panah itu ke depan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Hiyaaa...!"
Wusss!

Anak panah hitam itu meluncur cepat bagai kilat, melebihi kecepatan datangnya tadi. Dan saat anak panah itu menembus semak belukar yang berada sekitar lima batang tombak di depan, saat itu juga terdengar jeritan sangat panjang dan melengking tinggi.

"Aaa...!"
Srak!

Belum juga hilang-jeritan itu, dari dalam semak belukar keluar sesosok tubuh berbaju hitam pekat. Sosok tubuh itu terhuyung-huyung, dan langsung ambruk ke tanah. Sebatang anak panah berwarna hitam pekat miliknya sendiri, tertancap sangat dalam, tepat di tengah-tengah dadanya. Hanya sebentar orang itu menggeliat sambil mengerang lirih, kemudian mengejang kaku dan tidak bergerak-gerak lagi. Sementara, dari dada yang tertembus anak panah hitam itu mengalir darah segar.

"Hup!"

Rangga bergegas melompat mengriampiri. Keningnya jadi berkerut, begitu melihat seluruh kepala orang ini terselubung kain hitam. Hanya bagian matanya saja yang terlihat. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya, lalu tangannya merenggut kain selubung kepala orang ini. Tampak di balik kain hitam, tersembunyi seraut wajah pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.

"Hm...," gumam Rangga perlahan.

Saat itu, Pandan Wangi sudah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu memandangi pemuda berusia dua puluh tahun yang tergeletak tak bernyawa lagi, tertancap anak panah berwarna hitam di dadanya. Di tangan kirinya tergenggam sebuah busur yang berukuran sangat besar. Di punggungnya terdapat kantung kulit, penuh berisi anak panah yang semuanya berwarna hitam pekat.

"Kau mengenalnya, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

Rangga hanya menggelengkan kepala saja, menjawab pertanyaan si Kipas Maut Kemudian pandangannya tertuju lurus ke arah sebuah gunung yang menjulang ringgi, seakan puncaknya ingin menembus langit. Itulah yang disebut Gunung Lanjaran, yang puncaknya selalu berselimut kabut. Dan tidak jauh di balik gunung itulah letak Kerajaan Karang Setra.

"Ayo, Pandan," ajak Rangga tiba-tiba.

"Eh...?!"

Pandan Wangi jadi tersentak. Tapi, dia tidak bisa berbuat sesuatu lagi, karena Rangga sudah cepat sekali mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu langsung dibawa berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Dan Pandan Wangi jadi kerepotan juga mengimbangi lari Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat bagai hembusan angin.

"Pelankan sedikit larimu, Kakang...!" seru Pandan Wangi.

Rangga melirik sedikit ke arah gadis cantik ini, kemudian mengurangi kecepatan larinya. Seakan baru disadari kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pandan Wangi memang tidak bisa menandingi ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Pendekar Rajawali Sakti juga melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan Pandan Wangi. Dan si Kipas Maut itu kini bisa leluasa berlari di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tetap saja seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya harus dikerahkan untuk mengimbangi kecepatan lari Pendekar Rajawali Sakti.

Entah sudah berapa jauh mereka berlari, tapi belum juga mereka berhenti. Sebuah sungai yang mengalir deras, dengan mudah sekali dilewati hanya sekali lompatan saja. Namun baru saja mereka menjejakkan kaki di seberang sungai, mendadak...

Sing...!
"Awas...!" seru Rangga. "Hup!"
"Hiyaaa...!"

Rangga cepat-cepat melenting ke udara, begitu telinganya mendengar desingan tajam. Sedangkan Pandan Wangi langsung melesat ke samping, lalu berputaran beberapa kali untuk menghindari sebatang tombak berwarna hitam yang meluruk deras sekali ke arahnya. Tombak itu lewat sedikit saja di dalam lingkaran tubuh Pandan Wangi yang berputaran, kemudian menancap dalam di sebatang pohon.

"Hap!"

Tepat di saat Pandan Wangi sudah bisa menjejakkan kaki di tanah, Rangga juga mendarat manis sekali di sampingnya. Mereka sama-sama saling melempar pandangan, kemudian secara bersamaan pula menatap tombak berwarna hitam pekat yang tertanam cukup dalam pada batang pohon.

Melihat dari dalamnya tancapan tombak itu, sudah bisa dipastikan kalau tadi dilemparkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Pandan Wangi sudah kembali menggenggam senjata kipas mautnya. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak. Sinar mata yang tajam, beredar menatap ke sekitarnya.

"Hati-hati, Pandan," bisik Rangga memperingatkan.

"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam saja.

Perlahan mereka bersama-sama mengayunkan kakinya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tahu-tahu tanah yang dipijak amblas ke dalam.

"Awas...! Hup!"

"Hiyaaa...!"

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu langsung melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, mereka sama-sama menjejakkan kakinya di tanah, tepat di pinggiran sebuah lubang yang menganga cukup lebar.

"Gila...!" desis Pandan Wangi. Bola matanya yang indah tampak terbeliak memandang ke dalam lubang.

Di dasar lubang akibat tanah yang amblas itu telah tertancap tonggak-tonggak bambu yang runcing ujungnya. Sebuah jebakan yang sangat rapi. Kalau saja bukan pendekar-pendekar digdaya yang melewatinya, pasti sudah ter-panggang di dalam lubang ini.

"Ada apa ini, Kakang?! Kenapa banyak sekali jebakan di sini?" tanya Pandan Wangi, jadi tidak mengerti.

Tentu saja Rangga tidak bisa menjawab. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa di kaki Gunung Lanjaran ini jadi banyak jebakan. Sepertinya, ada yang tidak menghendaki kedua pendekar muda digdaya ini melewati sekitar daerah Gunung Lanjaran. Buktinya, sudah beberapa kali mereka mendapat serangan dan jebakan, setelah sampai di kaki gunung ini.

"Ayo," ajak Rangga sambil mencekal pergelangan tangan Pandan Wangi.

Tanpa membantah lagi, Pandan Wangi mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti, memutari lubang yang menganga cukup lebar ini. Sedikit gadis itu masih melirik ke dalam lubang. Agak bergidik juga hatinya, begitu melihat ke dasar lubang yang penuh tonggak bambu berujung runcing. Sukar dibayangkan kalau saja tadi tubuhnya terjatuh ke dalamnya. Pasti sudah mati terpanggang tonggak-tonggak bambu yang sangat runcing itu. Rangga baru melepaskan cekalan tangannya setelah sampai di seberang lubang jebakan ini, namun terus melangkah perlahan-lahan. Mereka tidak ingin menemui jebakan lagi tanpa dapat diketahui.

"Berhenti...!"

Belum juga jauh kedua pendekar muda itu berjalan meninggalkan lubang jebakan, sudah terdengar bentakan keras menggema yang menggelegar dan mengejutkan. Seketika, ayunan langkah kedua pendekar muda itu jadi terhenti. Dan belum lagi rasa terkejut hilang, dari balik semak belukar dan pepohonan bermunculan orang-orang berbaju serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Hanya kedua bola matanya saja yang terlihat. Dan mereka semua menggenggam senjata pedang terhunus berkilatan yang tersilang di depan dada.

Sebentar saja, Rangga dan Pandan Wangi sudah terkepung tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan senjata pedang terhunus. Kedua pendekar muda itu langsung saja saling mengadu punggung. Sementara, Pandan Wangi sudah membuka kipas mautnya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam merayapi orang-orang berpakaian serba hitam itu.

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu terdengar suara lantang menggelegar yang memberi perintah, dua puluh orang berpakaian serba hitam itu langsung saja berlompatan menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Gerakan mereka sangat cepat dengan pedang-pedang berkelebat. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ter-paksa harus berjumpalitan, menghindari serangan yang datang dari segala penjuru secara cepat dan bersamaan.

"Hup! Hiyaaat..!"
Wuk!
Tring!

***

Beberapa kali Pandan Wangi berhasil menangkis tebasan pedang-pedang dari penyerangnya dengan kipas maut yang tergenggam di tangan kanan. Sementara, Rangga masih menghadapi pengeroyoknya hanya dengan tangan kosong saja. Tapi, tampaknya Pendekar Rajawali Sakti memang bukanlah tandingan orang-orang berpakaian hitam itu.

Buktinya baru saja pertarungan berjalan beberapa saat, sudah ada tiga orang yang menggeletak terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Pandan Wangi juga tampaknya terlalu tangguh. Dengan kipas mautnya yang sangat terkenal, dalam waktu tidak berapa lama saja empat orang lawan sudah berhasil dirobohkannya.

Teriakan-teriakan pertempuran kini berbaur dengan jeritan-jeritan melengking tinggi. Satu persatu orang-orang berbaju serba hitam itu berjatuhan sambil mengeluarkan jeritan panjang melengking tinggi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi di-tandingi. Namun, orang-orang berbaju serba hitam itu tampaknya tidak gentar sama sekali. Padahal, sebagian dari mereka sudah menggeletak tidak dapat bangkit.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Orang-orang berpakaian serba hitam itu kelihatan semakin ganas saja. Serangan-serangan mereka semakin cepat dan berbahaya. Dan hal ini membuat Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa bermain-main lagi. Dengan jurus-jurus tingkat tinggi, mereka bergerak cepat bagai angin, sehingga membuat orang-orang berpakaian serba hitam itu jadi kelabakan.

Jeritan-jeritan panjang melengking pun semakin sering terdengar, disusul ambruknya orang-orang berpakaian serba hitam itu. Dan setelah melewati beberapa jurus, kedua pendekar muda itu baru bisa menarik napas panjang. Mereka kini berdiri berdampingan, memandangi orang-orang berbaju serba hitam yang tidak ada satu pun lagi yang bergerak. Mereka semua menggeletak saling tumpang tindih.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.

Sementara, Pandan Wangi menyeka keringat yang membasahi lehernya dengan punggung tangan kiri. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu kembali menyimpan senjata kipas berwarna putih keperakan di dalam lipatan ikat pinggangnya. Sebentar kedua pendekar muda itu merayapi tubuh-tubuh berbaju serba hitam yang bergelimpangan di sekitarnya. Kemudian tanpa berbicara lagi, mereka sama-sama mengayunkan kaki melewati tubuh-tubuh yang bergeletakan tak tentu arah ini.

"Mereka itukah yang menyerang para prajurit dari Ringgading, Kakang?" tanya Pandan Wangi, setelah melewati tempat pertarungan tadi.

"Sepertinya," sahut Rangga singkat.

Pandan Wangi berpaling sedikit ke belakang. Memang, Pendekar Rajawali Sakti pernah bercerita tentang bantuannya pada para prajurit Kerajaan Ringgading yang dihadang orang-orang tak dikenal berbaju serba hitam, ketika hendak menuju ke Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga belum lama ini telah membebaskan Kerajaan Ringgading dari cengkeraman seseorang yang berjuluk Siluman Muka Kodok.

Tapi, bukan itu yang menjadi beban pikiran Pandan Wangi sekarang ini. Gadis itu jadi ingat sesuatu setelah mereka turun dari punggung Rajawali Putih di hutan cemara tadi. Saat itu, Rangga kelihatan gundah. Katanya, perasaannya tidak enak. Mungkinkah orang-orang berpakaian serba hitam ini yang menjadikan perasaan hati Pendekar Rajawali Sakti itu jadi gundah...?

Pandan Wangi tidak bisa menjawab per-tanyaan yang mengganjal hatinya saat ini. Sementara itu, Rangga terus saja mengayunkan kakinya tanpa berbicara sedikit pun. Dan Pandan Wangi terpaksa harus diam, walaupun kakinya terus terayun mengikuti langkah pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Kakang! Bukankah ini jalan menuju Karang Setra?" tanya Pandan Wangi, mengenali jalan yang tengah dilalui.

"Hm, ya...," sahut Rangga dengan suara menggumam.

"Kita kembali ke istana, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi, seraya menatap cukup dalam ke wajah tampan di sampingnya.

Rangga tidak langsung menjawab. Ayunan kakinya seketika dihentikan, dan tubuhnya diputar hingga menghadap Pandan Wangi. Sementara, gadis berjuluk si Kipas Maut itu masih terus memandanginya dengan sinar mata sukar sekali diartikan.

"Perasaan hatiku tidak enak sekali, Pandan. Aku khawatir telah terjadi sesuatu di istana," ungkap Rangga.

"Kalau begitu, kenapa tidak menggunakan Rajawali Putih saja agar lebih cepat sampai, Kakang...?" usul Pandan Wangi.

Rangga menghembuskan napas panjang dengan kepala bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Kemudian kembali tubuhnya diputar dan melangkah perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi langsung mengikuti tanpa berbicara lagi. Sesekali matanya melirik ke wajah tampan yang kelihatan bagai terselimut mendung ini.

Mungkin karena sudah sering bersama-sama, sehingga Pandan Wangi bisa merasakan kalau ada sesuatu yang memang tengah menyusahkan hati Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, dia tidak bisa menduga, apa sebenarnya yang tengah melanda hati kekasihnya. Sedangkan Rangga sendiri masih belum tahu, apa yang membuat hatinya jadi begitu gelisah.

"Kakang...," sebut Pandan Wangi tiba-tiba.

Gadis itu langsung saja menghentikan lang-kahnya. Sementara, Rangga juga berhenti sebentar. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat, memper-gunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Hup...!"

Pandan Wangi bergegas mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya melesat cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, sehingga kedua kakinya bagai tidak menjejak tanah.

***
DUA
Rangga jadi terpaku. Matanya terbeliak lebar, memandangi empat orang prajurit penjaga gerbang masuk wilayah Kerajaan Karang Setra tergeletak tak bernyawa lagi dengan leher tergorok hampir buntung. Darah yang sudah kelihatan mengering, tampak menggenang di tanah. Saat itu, Pandan Wangi baru saja sampai. Gadis itu jadi terpekik kecil saat melihat empat orang prajurit yang tadi dilihat Rangga. Sejenak, kedua pendekar yang merupakan orang-orang utama di Kerajaan Karang Setra itu terpaku.

"Biadab...! Siapa yang telah melakukan semua ini...?!" desis Pandan Wangi, bagai bertanya pada diri sendiri.

Sementara, Rangga hanya diam saja. Garis-garis pada wajahnya kelihatan meregang kaku dan memerah. Kedua bola matanya terbuka nyalang, memancarkan sinar yang sangat tajam. Terdengar suara menggerutuk dari rahangnya yang merapat Pandan Wangi sempat berpaling, menatap wajah yang memerah menegang kaku itu. Dia tahu, saat ini Rangga tengah menahan gejolak amarahnya yang membara, melihat empat prajurit penjaga gerbang masuk tewas dengan leher tergorok hampir buntung!

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga melompat begitu cepat, dan langsung berlari bagaikan kilat.

"Kakang, tunggu...!" teriak Pandan Wangi.

Tapi, tampaknya Rangga sudah tidak lagi mendengar teriakan si Kipas Maut itu. Pendekar Rajawali Sakti terus saja berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat dan sempurnanya, sehingga kedua kakinya yang bergerak sangat cepat seakan-akan tidak menjejak tanah. Sementara, Pandan Wangi masih berdiri terpaku memandangi kepergian Rangga yang begitu cepat Hingga dalam waktu sebentar saja, sudah lenyap dari pandangan.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung saja melesat. Segera dipergunakannya ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat tinggi sekali. Debu seketika membubung tinggi ke angkasa, mengikuti arah lari gadis berjuluk si Kipas Maut itu.

Sebentar saja, Rangga sudah memasuki bagian Kotaraja Kerajaan Karang Setra. Kecemasan semakin terlihat jelas di wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Keadaan di dalam kota tampak tidak seperti biasanya. Begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya. Pemuda itu baru menghentikan larinya, setelah tiba di depan pintu gerbang istana yang dikelilingi pagar tembok berbentuk benteng kokoh.

Dari kejauhan, terlihat Pandan Wangi masih terus berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Gadis itu baru sampai, setelah Rangga cukup lama mengamati keadaan sekitar bangunan istana yang megah ini. Tidak terlihat seorang pun prajurit menjaga pintu gerbang yang tertutup rapat. Saat itu, Pandan Wangi sudah di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu tampak masih kerepotan mengatur jalan napasnya yang tersengal, akibat terlalu jauh berlari mengerahkan seluruh kemampuannya.

"Ke mana para penjaga, Kakang...?" nada suara Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.

"Entahlah," sahut Rangga sedikit mendesah.

Melihat keadaan istana yang begitu sunyi, membuat kecemasan di wajah Rangga semakin terlihat jelas. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau gegabah. Dugaannya, telah terjadi sesuatu di dalam istana ini. Sebentar kepalanya mendongak, tapi sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Biasanya, paling tidak ada sekitar dua puluh orang prajurit di atas tembok benteng, siap dengan anak panah terpasang di busur. Tapi kini, tidak seorang prajurit pun terlihat di sana.

"Kau tunggu di sini sebentar, Pandan," ujar Rangga.

Belum juga Pandan Wangi menjawab, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat ke atas. Dan tahu-tahu Rangga sudah berada di atas tembok benteng yang sangat tinggi mengelilingi seluruh istana ini. Sementara, Pandan Wangi tetap menunggu dengan kepala terdongak ke atas, memandangi Rangga yang kini berdiri tegak di atas tembok benteng.

Namun belum lama Pendekar Rajawali Sakti berdiri di atas tembok, mendadak saja terlihat puluhan anak panah meluncur deras ke arahnya.

"Hup!"

Cepat-cepat Rangga melompat turun kembali. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya kembali menjejak tanah, tepat di samping Pandan Wangi. Saat itu, terlihat puluhan anak panah berhamburan di angkasa. Lalu satu persatu berjatuhan di luar pagar tembok benteng istana ini. Rangga memungut sebatang anak panah yang jatuh tepat di ujung jari kakinya.

"Edan...!" dengus Rangga.

"Kenapa mereka menyerangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang matanya jadi terbeliak melihat anak panah di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Tentu saja mereka mengenali anak panah itu. Tidak ada satu kerajaan pun yang memilikinya, kecuali para perajurit Kerajaan Karang Setra. Pada bagian tengah batang anak panah itu tertera ukiran lambang Kerajaan Karang Setra. Dan itu berarti, para prajurit Karang Setra sendiri yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti tadi. Atau....

Tentu saja hal ini membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri. Kenapa prajurit-prajurit Karang Setra menyerang rajanya sendiri...? Atau ada pihak-pihak tertentu yang menyamar sebagai prajurit? Dan bisa juga orang-orang berpakaian serba hitam yang menyerang!

Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa menemukan jawabannya, terlihat kepala-kepala prajurit Kerajaan Karang Setra bermunculan di atas tembok benteng. Dan saat itu juga, puluhan anak panah langsung berhamburan ke arah kedua pendekar muda ini.

"Cepat menyingkir, Pandan...!" seru Rangga "Hup...!"

"Hiyaaa...!"

Begitu Rangga melompat menghindari serangan anak panah, Pandan Wangi juga melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hanya beberapa kali saja berlompatan, mereka sudah cukup jauh dari bangunan benteng istana itu. Dan para prajurit yang berada di atas benteng tidak lagi melepaskan anak-anak panahnya, begitu melihat kedua pendekar ini sudah tidak lagi berada dalam jangkauan panah.

"Gila...! Ini benar-benar keterlaluan, Kakang! Kenapa mereka menyerang kita?! Apa mereka tidak mengenali kita lagi...?!" desis Pandan Wangi, agak gusar nada suaranya.

"Aku juga tidak mengerti, Pandan," sahut Rangga, juga kebingungan.

"Pasti ada yang tidak beres, Kakang," duga Pandan Wangi, masih terdengar mendesis gusar suaranya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti mengamati bagian atas benteng istana. Masih terlihat kepala-kepala prajurit sedikit menyembul, siap melepaskan anak panah yang terpasang di busur. Sedangkan Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan rumah-rumah yang ada di sekitar istana ini semuanya dalam keadaan tertutup rapat. Baik pintu, maupun jendelanya.

"Ayo, Pandan. Kita pergi dulu dari sini," ajak Rangga.

"Ke mana...?" tanya Pandan Wangi. Rangga tidak menjawab. Bahkan malah melangkah dengan ayunan kaki cepat, meninggalkan tempat itu. Sementara, Pandan Wangi memandangi beberapa saat, kemudian ikut melangkah cepat menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja gadis itu sudah berada di samping Rangga. Mereka berjalan tanpa berbicara sedikit pun.

***

Sementara itu, matahari sudah jauh tergelincir ke arah barat. Sinarnya yang semula terasa sangat terik menyengat, kini begitu lembut membelai kulit. Dari atas bukit yang tidak begitu tinggi, Rangga terus mengamati keadaan Kota-raja Karang Setra. Keadaannya masih tetap sunyi, tak terlihat seorang pun berada di luar. Sementara Pandan Wangi hanya bisa memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata sukar diartikan.

Siang tadi, mereka sudah mencoba masuk ke dalam istana melalui jalan rahasia. Tapi, pintu yang biasa digunakan Rangga dan Pandan Wangi keluar dari istana, sudah terkunci rapat dari dalam. Dan Rangga tidak ingin merusak pintu itu. Beberapa kali dicoba untuk masuk. Tapi setiap kali dicoba, selalu saja mendapat serangan panah dari prajurit-prajurit Karang Setra.

"Dari mana lagi kau akan masuk ke istana, Kakang?" tanya Pandan Wangi, memecah kesunyian.

Rangga hanya menghembuskan napas panjang-panjang. Kepalanya berpaling sedikit, dan pandangannya langsung bertemu sorot mata Pandan Wangi. Pandangannya kembali tertuju ke arah bangunan istana yang terlihat jelas dari atas bukit kecil ini.

"Kakang, lihat..!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.

Rangga langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk si Kipas Maut itu. Tampak seseorang keluar dari bagian belakang istana dengan menunggang kuda yang dipacu sangat cepat. Pendekar Rajawali Sakti tahu, pintu di bagian belakang istana itu merupakan pintu rahasia yang selalu dilalui kalau hendak masuk atau keluar istana. Dan pintu rahasia itu langsung tertutup setelah penunggang kuda itu melewatinya.

Namun belum juga penunggang kuda itu jauh meninggalkan istana, mendadak saja terlihat orang-orang berpakaian serba hitam bermunculan dari balik semak dan pepohonan. Seketika, penunggang kuda itu sudah dikepung oleh tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan senjata pedang terhunus.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga langsung melesat. Pendekar Rajawali Sakti berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sementara, penunggang kuda yang keluar dari dalam benteng istana sudah dikeroyok oleh tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam.

"Hiyaaat..!"

Pandan Wangi tidak mau ketinggalan. Gadis itu segera melompat dan berlari cepat, mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lebih dulu berlari menuruni bukti kecil ini.

Sementara, Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Begitu ringannya, sehingga kedua kakinya yang bergerak sangat cepat bagaikan tidak menjejak tanah.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sebongkah batu yang sangat besar dilewati hanya dengan sekali lompatan saja. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari, begitu kakinya menjejak tanah. Dan sebuah sungai yang menghadang hanya dilalui dengan satu kali lompatan saja. Setelah melewati beberapa rintangan, Rangga baru sampai di bagian belakang Istana Karang Setra. Namun pada saat itu....

"Oh...?!"

Pendekar Rajawali Sakti jadi tersedak. Seketika, larinya terhenti begitu melihat orang yang keluar dari dalam benteng istana sudah tergeletak. Tubuhnya tampak tertembus dua bilah pedang. Sedangkan kuda yang ditungganginya juga sudah tergeletak dengan leher terbabat hampir buntung. Ada tiga orang berpakaian serba hitam yang menggeletak tidak jauh dari bangkai kuda berkulit coklat muda itu.

Rangga bergegas menghampiri, dan langsung berlutut begitu mendengar rintihan lirih. Orang yang keluar dari dalam benteng istana ini mengenakan baju prajurit berpangkat punggawa. Rangga mengangkat kepala punggawa itu, dan menyangga dengan pahanya yang ditekuk. Rintihan lirih terdengar dari bibir yang berlumuran darah. Perlahan kelopak mata punggawa itu terbuka. Begitu redup sinar matanya. Mulutnya meringis menahan sakit pada tubuhnya yang tertembus dua bilah pedang. Sedangkan, tangan kirinya sudah buntung sampai ke siku. Darah terus bercucuran dari tangan yang buntung.

"Punggawa! Apa yang terjadi...? Kenapa bisa sampai begini?" tanya Rangga sambil merayapi wajah punggawa yang sudah kelihatan pucat membiru.

"Gusti...," lirih sekali suara punggawa itu. Hampir tidak terdengar di telinga.

Rangga mendekatkan telinganya ke bibir punggawa yang bergerak-gerak.

"Tujuh Mata Dewa..."

"Apa...?"

Tapi, punggawa itu sudah terkulai, menghembuskan napasnya yang terakhir. Sesaat Rangga memandangi wajah pucat membiru itu. Perlahan kemudian, diletakkannya tubuh prajurit berpangkat punggawa itu. Beberapa saat Rangga masih memandangi, kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan.

Saat itu, Pandan Wangi baru sampai. Langsung dihampirinya Rangga yang masih berdiri mematung memandangi mayat punggawa Kerajaan Karang Setra yang tewas dengan tangan kiri buntung dan dua bilah pedang tertanam di tubuhnya.

"Kita terlambat, Kakang," desah Pandan Wangi pelan.

"Ya...," hanya itu yang keluar dari bibir Rangga.

Mereka memang datang terlambat. Orang-orang berbaju serba hitam ternyata sudah lebih cepat menghabisi nyawa punggawa ini. Walaupun begitu, punggawa itu masih sempat mengucapkan sesuatu yang pasti sangat berarti bagi Pendekar Rajawali Sakti. Tapi apa maksudnya dengan menyebut nama Tujuh Mata Dewa...? Nama itu yang kini terus terngiang di telinga Rangga.

***

"Kau tahu, apa itu Tujuh Mata Dewa, Pandan?" tanya Rangga.

"Tujuh Mata Dewa...?" desis Pandan Wangi dengan kening berkerut.

Tampak sekali kalau Pandan Wangi tengah berpikir keras, berusaha mengetahui maksud Rangga yang menyebut Tujuh Mata Dewa. Cukup lama juga Pandan Wangi terdiam dengan kening berkerut begitu dalam. Kemudian kepalanya terlihat bergerak menggeleng sambil mendesah, menghembuskan napas panjang yang terdengar agak berat.

Sesaat kemudian, pandangan mata kedua pendekar muda itu bertemu. Dan kini secara bersamaan, mereka berpaling dan menatap ke arah Istana Karang Setra. Keadaan istana itu masih kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni sama sekali. Sedikit pun tak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan dari luar ini. Tapi baik Rangga maupun Pandan Wangi tahu kalau di dalam istana itu semua prajurit Karang Setra sedang berkumpul.

"Punggawa itu sempat mengatakan itu, sebelum meninggal," kata Rangga dengan suara agak mendesah.

"Apa lagi yang dikatakannya?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak ada," sahut Rangga, tetap pelan suaranya.

"Barangkali dia ingin memberi tahu sesuatu padamu, Kakang," duga Pandan Wangi.

"Mungkin...," desah Rangga, perlahan.

"Kakang, apakah punggawa itu mengenalimu?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Ya! Dia langsung mengenaliku," sahut Rangga.

"Tepat...!" sentak Pandan Wangi sambil menjentikkan ujung jari tangannya.

"Apa maksudmu, Pandan?" tanya Rangga, tidak mengerti.

"Pasti punggawa itu ingin menyampaikan sesuatu padamu, Kakang. Dan yang diucapkannya pasti mempunyai arti penting. Hm..., Tujuh Mata Dewa.... Pasti dia ingin mengatakan kalau yang membuat kekacauan di sini pasti mereka yang menamakan diri Tujuh Mata Dewa," kata Pandan Wangi, mencoba menduga maksud kata-kata terakhir punggawa itu.

"Kau yakin, Pandan?" Rangga ingin memastikan.

"Tentu! Aku yakin, itu pasti nama seseorang atau mungkin juga nama suatu kelompok yang ingin meruntuhkan Karang Setra," sahut Pandan Wangi, mantap.

"Maksudmu, orang-orang berpakaian serba hitam itu...?"

"Tidak salah lagi, Kakang. Pasti mereka yang disebut Tujuh Mata Dewa."

"Tapi, apa maksudnya...?"

Rangga seperti bertanya pada diri sendiri. Sementara Pandan Wangi jadi terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.

Memang mereka belum bisa mengetahui maksud orang-orang berpakaian serba hitam, hingga membuat Kotaraja Karang Setra bagaikan kota mati!

Cukup lama juga kedua pendekar muda itu terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara itu, matahari sudah demikian jauh condong ke Barat. Dan kini, hanya rona merah saja yang terlihat membias di kaki langit. Udara di sekitar bukit kecil ini pun sudah terasa mulai dingin, dan kabut sudah mulai terlihat turun. Sementara, Pandan Wangi mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak berserakan di sekitarnya.

Gadis itu menatap batu-batuan membentuk lingkaran, mengelilingi ranting-ranting yang dikumpulkan secara bertumpuk. Kemudian dinyalakannya api dari batu api yang diambil dari kantung sabuk ikat pinggangnya. Udara yang mulai terasa dingin sedikit terusir begitu api mulai berkobar, membakar ranting-ranting kering. Rangga menggeser duduknya lebih dekat dengan api yang dibuat Pandan Wangi. Lalu telapak tangannya digosok-gosokkan di atas api, mencoba mencari kehangatan. Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang, apakah ini ada hubungannya dengan kedatangan prajurit Ringgading...?" tanya Pandan Wangi menduga, setelah cukup lama berdiam diri.

"Entahlah...," sahut Rangga, mendesah.

"Tapi, orang-orang itu yang menyerang Patih Gandaraka dan prajurit-prajuritnya, kan...?"

Rangga hanya diam saja. Pandangannya tertuju begitu dalam ke bola mata yang dihiasi bulu lentik dan indah ini. Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat, beberapa waktu yang lalu pernah membantu para prajurit dari Kerajaan Ringgading yang hendak ke Karang Setra. Di tengah perjalanan, mereka dihadang orang-orang berpakaian serba hitam. Memang, pada saat itu Rangga tidak tahu apa maksud orang-orang berpakaian serba hitam menyerang para prajurit Kerajaan Ringgading.

Dan sekarang, orang-orang berpakaian serba hitam itu muncul di Karang Setra ini. Bahkan membuat kotaraja ini jadi begitu sunyi bagai ditinggalkan penduduknya. Tapi, Rangga tidak mau menduga sampai sejauh itu. Terlebih lagi, dia tidak ingin mengkaitkan peristiwa di tanah kelahirannya ini dengan peristiwa yang terjadi di Kerajaan Ringgading. Rasanya, memang terlalu dini. Lagi pula, Rangga tidak berharap semua yang terjadi di Kerajaan Ringgading terulang lagi di tanah kelahirannya. Walaupun disadarinya kalau Siluman Muka Kodok bisa melarikan diri.

"Kakang...."

"Ssst..!"

Pandan Wangi langsung diam begitu Rangga menutup bibirnya dengan jari telunjuk. Gadis itu memandangi wajah Rangga dengan kelopak mata agak menyipit. Tapi sesaat kemudian, kepalanya dimiringkan ke kanan.

"Phuuuh...!"

Hanya sekali tiup saja, api yang membakar ranting-ranting langsung padam. Dalam tiupan tadi, Rangga memang mengerahkan tenaga dalam. Sehingga api yang cukup besar itu seketika padam, hanya sekali tiup saja.

"Cepat ke sini, Pandan"

Pandan Wangi belum bisa membuka suara, begitu Rangga cepat bangkit berdiri, dan menarik tangannya. Terpaksa gadis itu ikut berdiri, mengikuti Rangga yang sudah melangkah perlahan-lahan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar kemudian, kedua pendekar muda itu sudah berada di balik sebongkah batu yang cukup besar. Saat itu, Pandan Wangi men-dengar suara langkah-langkah kaki yang sangat ringan, menuju ke arah tempat mereka duduk di dekat api tadi.

Tidak berapa lama kemudian, terlihat tujuh orang berpakaian serba hitam berjalan menyusuri lereng bukit ini menuju gerbang Kotaraja Karang Setra. Tapi mereka berhenti melangkah, tepat di tempat Rangga dan Pandan Wangi tadi berada. Dan terlihat jelas sekali kalau ketujuh orang berpakaian serba hitam itu mengarahkan pandangan ke Istana Karang Setra. Tapi tidak seorang pun dari mereka yang mengenakan selubung kepala kain hitam. Sehingga wajah mereka bisa jelas terlihat. Dan mereka semua ternyata laki-laki berusia setengah baya. Di pinggang masing-masing nampak bergantung sebilah pedang berukuran cukup panjang.

***
TIGA
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi yang bersembunyi di balik batu terus memperhatikan. Begitu dekat jarak mereka, sehingga apa yang dibicarakan ketujuh orang berpakaian serba hitam itu bisa terdengar jelas. Dan kedua pendekar muda itu terpaksa harus mengatur pemapasan, agar jangan sampai diketahui keberadaannya. Tapi, tampaknya ketujuh orang berpakaian serba hitam itu memang tidak tahu kalau ada dua orang tengah memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan mereka.

"Rasanya sulit menembus benteng istana itu, Kakang...," ujar salah seorang yang berada paling kiri.

"Tapi bagaimanapun juga, kita harus bisa menembus. Semua penduduk kota ini berada di dalam benteng itu. Dan mereka semua bisa dikuasai," sahut seorang di sebelahnya.

"Caranya...?"

Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka semua terdiam dengan pandangan tertuju lurus ke arah Istana Karang Setra. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi yang berada di balik batu tempat persembunyiannya tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga.

"Sebaiknya, malam ini kita coba serang saja istana itu," Usul salah sorang lagi.

"Tidak malam ini," sahut seorang lagi.

"Lalu, kapan...? Gusti Pangeran sudah tidak sabar lagi. Aku tidak ingin mencari tempat lain lagi, sementara yang ada disia-siakan. Aku tidak ingin gagal dua kali," dengus orang itu terdengar agak kesal nada suaranya.

"Sabarlah..., pasti ada waktu yang tepat untuk itu," bujuk orang berpakaian serba hitam yang berada paling kanan.

"Sebaiknya, susun rencana dulu. Kita semua sudah-tahu kekuatan prajurit-prajurit Karang Setra. Apalagi, para panglimanya yang berkepandaian tinggi. Kita tidak bisa sembarangan menyerang. Bisa merugikan," kata seorang lagi.

Tidak ada lagi yang bersuara. Beberapa saat, mereka masih terus memandangi Istana Karang Setra yang tampak terang-benderang pada bagian dalamnya. Saat ini, malam memang sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra.

Tujuh orang berpakaian serba hitam itu kemudian bergerak meninggalkan tempat ini, tanpa berbicara lagi. Rangga dan Pandan Wangi baru keluar dari tempat persembunyiannya setelah ketujuh orang itu tidak terlihat lagi. Bahkan langkah kaki mereka juga tidak terdengar lagi.

"Rupanya mereka biang keladinya, Kakang," desis Pandan Wangi bernada geram.

"Bukan," sahut Rangga datar.

"Bukan...?" Pandan Wangi jadi mendelik.

"Kau tidak memperhatikan pembicaraan mereka, Pandan...?"

Pandan Wangi terdiam.

"Masih ada orang lain di belakang mereka. Aku yakin, mereka hanya kaki tangan saja," jelas Rangga.

"Siapa perkiraanmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Ini perlu diselidiki dulu. Juga, tujuan mereka membuat kekacauan di sini," sahut Rangga.

Pandan Wangi kembali diam. Sedangkan Rangga juga tidak berbicara lagi. Tiupan angin kencang yang menyebarkan udara dingin menusuk tulang, membuat Pandan Wangi kembali menyalakan api. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri mematung, memandang ke arah kepergian tujuh orang berpakaian serba hitam tadi.

Dari arah perginya, jelas kalau tujuh orang itu menuju Gunung Lanjaran yang menjadi pembatas antara Kerajaan Karang Setra dengan wilayah kerajaan lain. Pandan Wangi kembali menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, setelah selesai membuat api unggun. Udara yang tadi terasa sangat dingin, mulai terusik oleh nyala api yang cukup besar.

"Kau punya rencana, Kakang?" tanya Pandan Wanggi mengusik lamunan Rangga.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.

Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak berpaling, walaupun tahu kalau Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Sedangkan gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu terus memandangi wajah tampan di sebelahnya. Sementara, yang dipandangi tetap diam mematung dengan pandangan lurus tertuju ke arah Gunung Lanjaran.

***

Rangga tersentak kaget dan langsung terlompat bangun dari tidurnya, ketika terdengar suara-suara ribut disertai getaran bumi bagai terjadi gempa. Pandan Wangi yang tidur di sebelahnya juga langsung terjaga.

"Gila...! Mereka sudah menyerang," desis Pandan Wangi.

Dari lereng bukit ini, bisa jelas terlihat kalau orang berpakaian serba hitam yang berjumlah sangat besar tengah mendatangi Istana Karang Setra. Sementara dari atas tembok benteng istana itu, menyembul kepala-kepala prajurit yang siap melepaskan anak panah yang terpasang di busur.

Sebentar saja, istana itu sudah terkepung rapat. Kilatan-kilatan cahaya pedang membersit di antara warna hitam yang berkerumun mengelilingi tembok benteng Istana Karang Setra. Tapi, kelihatannya mereka belum juga ingin menyerang, dan hanya berteriak-teriak sambil mengacungkan senjata di atas kepala. Sementara para prajurit Karang Setra yang berada di atas benteng, sudah siap melepaskan anak panah. Tampaknya, mereka juga tinggal menunggu perintah saja.

"Aku harus menghalau mereka dari istana," desis Rangga, jadi geram.

Belum juga hilang dari pendengaran kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja terdengar siulan panjang dan melengking tinggi. Begitu kerasnya siulan itu, sehingga membuat Pandan Wangi harus menutup telinga dengan kedua telapak tangannya.

Gadis itu mendelik melihat Rangga mendongakkan kepala dengan bibir monyong. Dari bibir Pendekar Rajawali Sakti itulah siulan yang sangat menyakitkan telinga tadi terdengar.

"Suiiit...!"

Baru saja Pandan Wangi melepaskan tangan dari telinga, kembali Rangga bersiul nyaring melengking tingggi. Maka gadis itu kembali buru-buru menutup telinganya, sambil mengerahkan tenaga dalam. Meskipun telinganya terasa sakit dan mendenging, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tahu, Rangga tengah memanggil Rajawali Putih, yang menjadi tunggangannya. Bahkan burung raksasa itu adalah guru pemuda ini.

"Khraaagkh...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang sangat keras menyakitkan telinga. Belum lagi menghilang teriakan keras itu, terlihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat di angkasa.

"Cepat ke sini, Rajawali...!" seru Rangga seraya melambaikan tangan ke atas.

"Khraaagkh...!"

Sebentar saja, Rajawali Putih sudah menukik deras dengan kecepatan luar biasa. Sementara, Pandan Wangi cepat menggeser kakinya ke belakang Rangga. Dan kini Rajawali Putih sudah mendarat tepat di depan pemuda yang selalu memakai baju rompi putih itu.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melompat ke punggung Rajawali Sakti. Begitu cepat dan ringan gerakannya. Sehingga dalam sekejap mata saja sudah berada di punggung burung rajawali raksasa ini. Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi yang masih berdiri mematung memandangi burung rajawali raksasa itu.

"Kau tunggu saja di sini, Pandan," ujar Rangga.

"Eh...."
Wusss!
"Khraaagkh...!"

Belum juga Pandan Wangi membuka suara, Rajawali Putih sudah melesat begitu cepat ke angkasa. Begitu cepat terbangnya, sehingga dalam waktu singkat sudah melambung begitu tinggi bagai hendak menembus langit. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri mematung memandangi dengan mulut ternganga.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih terus meluncur cepat menuju Istana Karang Setra. Dua kali burung itu memutari bagian atas istana yang besar dan dikelilingi tembok benteng yang sangat tinggi dan kokoh. Sementara, Rangga mengamati dari angkasa. Jelas sekali terlihat kalau pada bagian dalam tembok benteng sudah berbaris rapi para prajurit Karang Setra bersenjata lengkap di tangan. Sementara pada bagian sebelah lain, terlihat para prajurit dari Kerajaan Ringgading, juga sudah berbaris rapi, siap untuk berperang.

"Lebih mendekat, Rajawali!" pinta Rangga agak keras, agar bisa mengalahkan deru angin yang sangat kencang di angkasa ini.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih langsung melunak turun, lebih dekat lagi ke Istana Karang Setra. Suaranya yang begitu keras dan menggelegar memekakkan telinga, membuat para prajurit dari Karang Setra dan dari Kerajaan Ringgading jadi terkejut. Seketika itu juga, mereka mendongakkan kepala ke atas.

Bukan hanya para prajurit yang berada dalam benteng istana itu yang terkejut mendengar suara Rajawali Putih. Tapi, orang-orang berpakaian hitam yang mengepung istana itu juga terperanjat bukan main. Mereka juga mendongakkan kepala ke atas, dan melihat jelas seekor burung rajawali raksasa berbulu putih tengah melayang-layang memutari istana.

"Khraaagkh...!"

Saat itu, terlihat Danupaksi dan Cempaka keluar dari dalam istana, diikuti Patih Gandaraka dari Kerajaan Ringgading dan para pembesar Kerajaan Karang Setra. Dari angkasa, Rangga bisa melihat jelas kalau mereka kini berada di bagian depan beranda istana.

"Tahan prajuritmu, Danupaksi. Perintahkan mereka jangan menyerang...!" seru Rangga lantang, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.

Begitu kerasnya seruan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga semua orang yang ada di dalam dan di luar istana bisa mendengar jelas sekali. Tentu saja bagi mereka yang tidak mengenali, jadi kebingungan. Sedangkan Danupaksi, Cempaka, dan para pembesar Kerajaan Karang Setra langsung tersenyum lebar mendengar seruan Pendekar Rajawali Sakti dari angkasa.

"Baik, Kakang...!" balas Danupaksi, juga berseru lantang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

***

Sementara itu, dari punggung Rajawali Putih. Rangga sempat membalas lambaian tangan Cempaka. Kemudian diperintahkan Rajawali Putih untuk melesat ke bagian luar istana ini. Burung rajawali raksasa itu langsung saja melesat keluar sambil memperdengarkan suara yang sangat keras, membuat telinga jadi mendenging.

"Khraaagkh...!"

"Halau mereka menjauhi istana, Rajawali!" perintah Rangga.

"Khraaagkh...!"
Wusss...!

Rajawali Putih langsung menukik cepat bagai kilat, ke arah orang-orang berbaju serba hitam yang mengepung Istana Karang Setra. Dan begitu dekat, sayapnya langsung dikepakkan ke arah orang-orang berpakaian serba hitam. Akibatnya mereka jadi kelabakan setengah mati dan pontang-panting menyelamatkan diri dari kibasan kedua sayap Rajawali Putih yang sangat besar dan kokoh.

"Aaa…!"
"Aaakh…!"
"Khraaagkh...!"

Teriakan-teriakan kengerian, seketika terdengar memecah angkasa. Sementara, Rajawali Putih terus berputaran mengelilingi bagian luar benteng istana sambil mengepakkan sayapnya yang lebar. Sementara, orang-orang berbaju serba hitam semakin kalang-kabut menghindarinya. Bahkan tidak sedikit yang terkena sabetan sayap burung rawajali raksasa itu. Mereka langsung berpelantingan memperdengarkan jeritan panjang melengking tinggi.

"Halau mereka agar menjauhi istana, Rajawali!" perintah Rangga.

"Khraaagkh...!"
Wusss...!

Rajawali Putih langsung menukik cepat. Sayapnya dikepakkan ke arah orang-orang berpakaian serba hitam. Akibatnya, mereka pontang-panting menyelamatkan diri!

Sungguh dahsyat kibasan sayap burung rajawali raksasa ini. Mereka yang terkena, tulang-tulangnya langsung remuk dan tidak bisa bangkit lagi. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi orang-orang berseragam hitam yang bergelimpangan terkena sabetan sayap Rajawali Putih.

"Cepat menyingkir...!"

Tiba-tiba terdengar seruan yang keras sekali, mengalahkan jeritan-jeritan kematian dan teriakan-teriakan ketakutan dari orang-orang berpakaian serba hitam ini. Seketika itu juga, mereka langsung berlarian menjauhi istana. Sedangkan Rajawali Putih masih sempat menghempaskan beberapa orang yang terlambat menyingkir.

"Cukup, Rajawali...!" seru Rangga sambil menepuk leher burung-rajawali raksasa ini.

Rajawali Putih langsung melesat, melambung tinggi ke angkasa. Sementara, terlihat orang-orang berpakaian serba hitam masih berlarian lintang-pukang, berusaha menyelamatkan diri. Sedangkan dari angkasa, Rangga bisa melihat jelas kalau orang-orang berpakaian serba hitam itu berlarian menuju Gunung Lanjaran. Dan sebentar saja, Istana Karang Setra sudah tidak terkepung lagi.

"Ke tempat Pandan Wangi lagi, Rajawali!" seru Rangga meminta.

"Khraaagkh...!" Wusss...!

Rajawali Putih langsung melesat ke arah bukit kecil yang tidak jauh dari Istana Karang Setra. Saat itu, Pandan Wangi masih tetap berada di sana, memandangi sepak terjang Rajawali Putih dalam menghalau orang-orang berpakaian serba hitam yang mengepung istana.

"Khraaagkh...!"

Sebentar saja, Rajawali Putih sudah kembali mendarat tidak jauh dari Pandan Wangi berdiri. Dan Rangga segera melompat turun dari punggung burung rajawali tunggangannya. Dengan langkah tegap dan lebar-lebar, dihampirinya Pandan Wangi yang masih tetap berdiri diam memandangi. Sementara, Rajawali Putih sudah mendekam. Sayapnya dikembangkan lebar-lebar, hingga hampir menutupi seluruh puncak bukit.

"Ayo kita ke Istana, Pandan," ajak Rangga.

"Sekarang...?" tanya Pandan Wangi seperti orang bodoh.

"Kau lihat, Pandan. Pintu sudah terbuka," tunjuk Rangga.

Pandan Wangi berpaling, menatap ke arah istana. Dan memang, saat itu pintu gerbang benteng bangunan istana megah itu sudah terbuka. Terlihat para prajurit bersenjata lengkap sudah sejak tadi bersiap siaga di ambang pintu. Dan saat itu pula, terlihat Danupaksi keluar menunggang kuda. Di belakangnya, menyusul dua ekor kuda tanpa penunggang.

Danupaksi melepaskan tali kekang kedua ekor kuda yang dipegangi sejak tadi, kemudian menggebahnya. Maka seketika kedua kuda itu melesat cepat bagaikan angin. Pandan Wangi jadi tersenyum melihat kuda putihnya berlari begitu cepat bagai hendak mengimbangi kecepatan lari kuda hitam milik Pendekar Rajawali Sakti yang dikenal bernama Dewa Bayu.

Sementara itu, Rangga menghampiri Rajawali Putih yang masih mendekam di atas puncak bukit ini. Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher burung raksasa itu beberapa kali.

"Kau tunggu saja di sini, Rajawali. Aku pasti membutuhkanmu lagi," kata Rangga.

"Khrrr...!" Rajawali Putih menyahuti dengan kirikan pelan.

"Aku pergi dulu, Rajawali," pamit Rangga.

"Khrrrkh...!"

Pendekar Rajawali Sakti kembali menghampiri Pandan Wangi. Dan begitu berada di samping gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu, Dewa Bayu dan si Putih sudah muncul dari semak belukar. Kedua kuda itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.

Pandan Wangi bergegas menghampiri si Putih. Sedangkan Rangga menghampiri Dewa Bayu yang berkulit hitam berkilatan, tertimpa cahaya matahari. Kedua pendekar muda itu langsung berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing, kemudian cepat menggebahnya.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Debu langsung mengepul membubung tinggi ke angkasa, begitu kedua kuda itu berpacu cepat menuruni lereng bukit ini. Sementara, Rangga terus mengendalikan kudanya agar tetap berada di samping kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi. Dan dari atas puncak bukit, Rajawali Putih terus memandangi.

Memang bukit kecil itu letaknya tidak jauh dari bangunan Istana Karang Setra. Sehingga, sebentar saja Rangga dan Pandan Wangi sudah sampai di depan pintu gerbang benteng istana yang dijaga ketat puluhan prajurit.

Danupaksi yang memang sejak tadi menunggu, langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu Rangga dan Pandan Wangi menghentikan lari kudanya. Kedua pendekar muda itu segera berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, lalu melangkah menghampiri Danupaksi.

"Syukurlah kau cepat datang," ujar Danupaksi langsung menyambut, begitu Rangga dekat.

"Ayo kita masuk," ajak Rangga.

Danupaksi memerintahkan pengurus kuda yang sejak tadi berada di belakangnya untuk mengambil kuda Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Dan kudanya sendiri juga diserahkan pada pengurus kuda istana itu. Kemudian, bergegas didampinginya Rangga yang sudah lebih dulu melangkah masuk ke dalam benteng istana. Pemuda itu mensejajarkan langkah kakinya di kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Pandan Wangi berjalan di sebelah kiri.

***
EMPAT
Kegembiraan menghiasi wajah-wajah di dalam benteng Istana Karang Setra, begitu mengetahui Rangga dan Pandan Wangi sudah berada dalam Balai Sema Agung Istana Karang Setra. Seluruh pembesar dan panglima perang berkumpul dan bergembira di dalam ruangan ini. Bahkan Patih Gandaraka dari Kerajaan Ringgading yang memang masih menjadi tamu di istana ini juga tampak berseri-seri. Sementara, para prajuritnya sudah bergabung dengan prajurit-prajurit Karang Setra.

"Sebenarnya, apa yang telah terjadi di sini...?" tanya Rangga membuka pembicaraan lebih dahulu. "Kau tahu, aku telah diserang oleh prajuritku sendiri?"

"Penyerangan, Gusti Prabu," sahut Ki Lintuk yang duduk paling dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. "Dan para penyerang sebagian telah menguasai istana, lalu menyamar sebagai prajurit. Dan mungkin yang menyerang Gusti Prabu adalah orang-orang yang menyamar sebagai prajurit"

"Penyerang...? Coba jelaskan, Ki," pinta Rangga.

"Mereka sudah beberapa hari ini menguasai sebagian istana, dan mencoba menyerang. Tapi sampai saat ini, belum berhasil menjatuhkan kami semua," Ki Lintuk mencoba menjelaskan.

"Tapi, kenapa semua penduduk kota ada di sini?" tanya Rangga lagi.

Pendekar Rajawali Sakti memang melihat bagian belakang istana dipenuhi penduduk kota yang mengungsi ke dalam istana ini. Bahkan keadaan di dalam ini jadi begitu sesak, karena banyaknya orang yang mengungsi. Sepertinya, tak ada lagi tempat mencari udara segar.

"Itulah masalahnya, Kakang Prabu," selak Danupaksi.

"Maksudmu...?" Rangga menatap pada adik trinya.

"Mereka semua tidak aman lagi berada di luar. Orang-orang Tujuh Mata Dewa setiap hari menculik mereka. Dan tidak ada seorang pun yang kelihatan kembali lagi," jelas Danupaksi, singkat.

Saat itu juga, Rangga langsung menatap Pandan Wangi, yang saat itu juga tengah memandanginya. Seperti ada sesuatu yang berdesir dalam hati mereka, saat Danupaksi mengatakan orang-orang Tujuh Mata Dewa menculik para penduduk setiap hari tiga orang. Dan itu persis seperti yang terjadi di Kerajaan Ringgading, ketika Siluman Muka Kodok menguasai kerajaan itu. Sebentar kemudian, Rangga berpaling menatap Patih Kerajaan Ringgading yang memang masih berada di Istana Kerajaan Karang Setra.

"Terus terang, Gusti Prabu. Sejak semula hamba sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Maafkan atas kelancangan hamba datang meminta pertolongan ke sini," ucap Patih Gandaraka dengan sikap sangat hormat.

"Kau tidak bersalah, Paman Patih. Apa pun yang terjadi di jagat raya ini, pasti ada akibatnya," kata Rangga bijaksana. "Hm.... Aku tidak menyangka dia akan datang secepat ini."

"Gusti Prabu, sebenarnya orang-orang Tujuh Mata Dewa bukanlah anak buah Siluman Muka Kodok. Mereka memang satu kelompok besar yang menguasai seluruh daerah Gunung Lanjaran. Setahuku, waktu itu orang-orang berpakaian serba hitam mempunyai pimpinan orang yang berjuluk Malaikat Pedang Perak. Namun, ternyata si pemimpin itu masih punya atasan lagi yang bernama Ki Sadewa. Dan waktu si Malaikat Pedang Perak tertangkap, dia sempat mengatakan kalau punya pemimpin lagi. Mungkin pemimpin itulah yang disebut Tujuh Mata Dewa. Makanya, hamba sendiri tidak mengerti, kenapa Siluman Muka Kodok sampai bisa menguasai Tujuh Mata Dewa. Padahal, Tujuh Mata Dewa cukup tangguh kesaktiannya," jelas Patih Gandaraka lagi.

"Hal itu bisa saja terjadi, Paman Patih. Mungkin saja Siluman Muka Kodok memang lebih tangguh daripada Tujuh Mata Dewa. Dan karena Siluman Muka Kodok telah tahu kekuatan yang dimiliki Karang Setra, sehingga membutuhkan pengikut. Dan sekarang, dia telah menguasai Tujuh Mata Dewa," selak Pandan Wangi yang sudah mengerti arah pembicaraan ini.

"Kakang, siapa itu Siluman Muka Kodok?" selak Cempaka, bertanya.

Rangga berpaling pada adik tirinya yang cantik ini. Bibirnya bergerak menyunggingkan senyuman yang sangat manis. Kemudian, diceritakannya semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Ringgading belum lama ini. Semua diceritakan, tanpa ada yang dikurangi. Sementara semua orang yang ada di Balai Sema Agung ini mendengar penuh perhatian.

Pada saat semua orang terdiam mendengar-kan cerita Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja...

"Ghrooogkh...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Rangga langsung menghentikan ceritanya begitu tiba-tiba terdengar suara menggorok yang sangat keras. Semua orang di dalam ruangan Balai Sema Agung ini jadi kaget setengah mati. Dan saat itu pula terlihat wajah Patih Gandaraka jadi memucat, bagai tidak teralirkan darah lagi.

"Kalian tetap di sini!" seru Rangga langsung berdiri dari singgasananya.

"Hup!"

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakfi, sehingga hanya sekali lesatan saja sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya. Sementara Pandan Wangi yang juga sudah berdiri, bergegas melangkah keluar, diikuti Danupaksi, Cempaka, Ki Lintuk, dan semua, pembesar kerajaan lainnya. Tapi langkah mereka terhenti begitu tiba di dekat pintu keluar. Mereka ingat kalau tadi Rangga sudah berpesan agar tidak pergi ke mana-mana. Sedangkan Pandan Wangi terus saja melangkah keluar.

***

Sementara itu, Rangga sudah berada di atas atap bangunan istana yang tinggi dan megah ini. Sedikit hatinya terkesiap begitu melihat ke bagian depan istana. Tampak tidak jauh di depan pintu gerbang benteng, berdiri tegak seseorang berbaju hitam pekat, memegang tongkat pendek yang kedua ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dan yang lebih mengejutkan Pendekar Rajawali Sakti adalah, wajah orang itu yang mirip sekali dengan seekor kodok!

Seluruh kulit tangan, tubuh, dan kaki orang itu juga persis kulit kodok. Berwarna hijau kehitaman dan penuh benjolan yang mengeluarkan lendir berbau busuk. Kedua bola matanya merah, menatap tajam ke arah pintu gerbang dari besi baja. Tampaknya, dia tengah berpikir untuk menembus pintu benteng istana ini.

Sementara Rangga yang berada di atas atap istana sudah tahu, orang itu adalah Siluman Muka Kodok. Seorang tokoh siluman yang pernah menguasai Kerajaan Ringgading, dan hampir membantai habis seluruh rakyatnya.

"Hup!"

Begitu ringan Rangga melompat turun dari atas atap, lalu beberapa kali berputaran di udara. Kemudian begitu menjejak tanah, kembali tubuhnya melesat ke atas. Gerakannya sangat indah dan ringan. Dan kembali Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejak bagian atas tembok benteng. Sementara pada saat itu, Pandan Wangi sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan istana yang luas, dan masih dipenuhi para prajurit bersenjata yang sudah siap bertempur.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati Siluman Muka Kodok dari atas tembok benteng. Sementara, tampaknya Siluman Muka Kodok sudah mengetahui kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya segera mendongak ke atas, menatap pemuda berbaju rompi putih yang berdiri tegak berkacak pinggang di atas tembok benteng. Bibirnya yang tipis tampak menyeringai, memperlihatkan baris-baris gigi yang kecil dan runcing berkilatan tertimpa cahaya matahari.

"Ghrooogkh...!"

"Mau apa kau datang ke sini, Siluman Muka Kodok?!"

Terdengar lantang sekali suara Rangga, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Ghrogkh! Kau sudah berani mencampuri urusanku, Anak Muda! Sekarang, kau, harus menerima akibatnya," sahut Siluman Muka Kodok dengan suara berat.

"Jangan bermimpi untuk bisa menaklukkan Karang Setra, Siluman Muka Kodok. Langkahi dulu mayatku, baru bisa menguasai istana ini!" masih tetap terdengar lantang suara Rangga.

"Ghrokh! He he he...! Kau akan menyesal, Anak Muda! Grogkh...!"

Bet!
Slap...!

Tiba-tiba saja Siluman Muka Kodok mengebut-kan tongkatnya ke atas. Dan seketika itu juga dari bulatan sebesar kepalan tangan yang ada di ujung tongkatnya, membersit cahaya kuning kemerahan. Cahaya itu melesat begitu cepat, meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat Rangga mejenting ke atas, maka cahaya kuning kemerahan itu lewat sedikit di bawah telapak kakinya. Dua kali Rangga berputaran, lalu cepat sekali meluruk turun, keluar dari benteng istana ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah. Tepat sekitar dua batang tombak di depan Siluman Muka Kodok.

"Bagus! Rupanya kau punya nyali juga menghadapiku, Anak Muda," sambut Siluman Muka Kodok dingin. "Ghrogkh! Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka!"

"Aku Rangga, Raja Karang Setra," sahut Rangga tegas.

"Ghrogkh! He he he...! Kau pasti juga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti."

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Dan saat itu, Siluman Muka Kodok sudah menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sorot matanya yang merah, masih terlihat begitu tajam menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang juga menyorot tidak kalah tajamnya. Beberapa saat mereka terdiam dan saling menatap tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

Perlahan Siluman Muka Kodok membungkuk, sampai kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Kepalanya terangkat ke atas, dan terus menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Suara menggorok terus terdengar seirama tarikan napasnya. Bau busuk terus menyebar setiap kali Siluman Muka Kodok menghembuskan napas. Tapi, bau busuk itu sudah tidak lagi membuat Rangga merasa terganggu, karena jalan pernapasannya sudah dipindahkan ke perut.

"Ghroooagkh...!"

Sambil menggerung keras, tiba-tiba saja Siluman Muka Kodok melesat begitu cepat bagai kilat. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat, cepat sekali dikebutkan tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Hait..!"

Tapi, manis sekali Rangga berhasil menghindari serangan Siluman Muka Kodok hanya dengan menundukkan kepala sedikit. Namun pada saat yang bersamaan, Siluman Muka Kodok melepaskan satu tendangan keras menggeledek begitu cepat, tanpa dapat diduga. Dan ini membuat Rangga jadi terbeliak.

"Ups...!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali menghindari tendangan yang begitu cepat dan menggeledek. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri, setelah berhasil menghindari serangan laki-laki bermuka kodok itu.

"Hup!"

Manis sekali Rangga menjejakkan kaki kembali di tanah, dan siap menunggu serangan berikutnya dari Siluman Muka Kodok. Tapi, tampaknya orang yang memiliki wajah dan kulit mirip seekor kodok itu hanya berdiri dengan tubuh agak membungkuk. Suara menggorok terus terdengar bersamaan hembusaan napasnya.

Sementara, di atas tembok benteng yang mengelilingi istana, terlihat Pandan Wangi berdiri tegak memperhatikan jalannya pertarungan. Bahkan kepala-kepala prajurit juga tampak bersembulan, diikuti anak-anak panah yang sudah terpasang pada busur.

***

"Kenapa berhenti, Siluman Muka Kodok?! Kau takut menghadapiku...?" ejek Rangga sinis.

"Ghrrrk...!"

Siluman Muka Kodok mengkirik perlahan. Air liur mulai terlihat menetes dari sela-sela bibirnya yang merah dan tipis. Kembali tubuhnya di-rendahkan perlahan-lahan, sampai kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Sementara sorot matanya tetap menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar dua batang tombak jauhnya.

"Ghrokh...!"

Siluman Muka Kodok tidak mempedulikan ejekan Rangga. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti hanya ingin memanasi saja. Kalau sampai terpancing, maka akan sukar mengendalikan dirinya lagi. Hal itu tentu saja selalu dihindari orang-orang persilatan yang sudah sampai pada batas tingkat tinggi. Dan rupanya, Rangga juga menyadari kalau pancingannya tidak berhasil. Dalam hati, dipujinya ketangguhan hati orang bermuka seperti kodok ini

"Ghrogkh! Kau memang tangguh Pendekar Rajawali Sakti! Tidak heran kalau julukanmu begitu terkenal dan dikagumi. Tapi, seluruh rimba persilatan akan tahu. Hari ini, kau akan kubuat bertekuk lutut dan mohon pengampunanku," terasa dingin dan berat sekali nada suara Siluman Muka Kodok.

"Aku khawatir malah sebaliknya, Siluman Muka Kodok," sambut Rangga tidak kalah dinginnya.

"Ghrooogkh...!"
Bet!
"Hait..!"

Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu cepat sekali Siluman Muka Kodok mengebutkan tongkatnya. Dan dari ujung tongkat yang berbentuk bulat sebesar kepalan tangan, meluncur secercah cahaya kuning kemerahan. Sinar itu meluruk deras, lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Groaaagkh...!"

Sambil menggerung dahsyat, Siluman Muka Kodok melompat. Kecepatannya luar biasa, dan gerakannya sangat mirip seekor kodok yang tengah melompat menyambar nyamuk. Dan begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti, cepat sekali tongkatnya dikebutkan, terarah langsung ke kepala pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

Wuk!
"Ups...!"

Manis sekali Rangga menundukkan kepala. Dan begitu tongkat Siluman Muka Kodok lewat di atas kepala, cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang. Dan pada saat itu, Siluman Muka Kodok melepaskan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri ke arah dada.

"Hait!"

Kembali Rangga meliuk, menghindari pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi mendadak saja hatinya jadi tersentak kaget. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sambil berputaran dua kali di udara. Kemudian, manis sekali kakinya menjejak tanah lagi, setelah jaraknya dengan Siluman Muka Kodok sekitar satu batang tombak.

"Gila...!" desis Rangga dalam hati.

Sungguh Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut setengah mati. Tidak disangka kalau pukulan Siluman Muka Kodok begitu dahsyat. Bukan hanya mengandung hempasan hawa panas yang sangat menyengat, tapi juga angin pukulannya menyebarkan hawa racun sangat dahsyat dan mematikan. Untung saja, saat itu Rangga sudah memindahkan jalan pemapasannya melalui perut. Sehingga, racun yang tersebar dari angin pukulan Siluman Muka Kodok tidak sampai mempengaruhinya. Dan lagi, tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang kebal terhadap segala macam jenis racun yang sangat dahsyat sekalipun.

"Ghrooogkh...!"

Siluman Muka Kodok kembali melompat cepat. Beberapa kali tongkatnya dikebutkan. Seketika sinar-sinar kuning kemerahan meluruk deras di sekitar tubuh Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan sinar-sinar kuning kemerahan yang sangat berbahaya itu. Dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', membuat serangan-serangan gencar yang dilancarkan Siluman Muka Kodok tidak mendapatkan hasil.

Ledakan-ledakan keras menggelegar terdengar saling susul. Sinar-sinar kuning kemerahan yang tidak tepat mengenai sasaran, menghantam bangunan dan pepohonan yang ada di sekitar pertarungan. Apa saja yang terkena sinar kuning keemasan itu langsung hancur mengeluarkan ledakan keras menggelegar dan memekakkan telinga.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga melenting ke udara, tepat di saat Siluman Muka Kodok mengibaskan tongkatnya ke arah kaki. Dan begitu berada di udara, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti meluruk dengan kedua kaki bergerak cepat mengarah ke kepala. Saat itu, Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat serangan balasan Rangga, sehingga membuat Siluman Muka Kodok jadi terperangah dengan mata terbeliak lebar.

"Ghroaaagkh...!"

Sambil memperdengarkan raungan yang sangat keras, Siluman Muka Kodok mengebutkan tongkatnya ke atas untuk melindungi kepala dari sepakan kaki Rangga yang berputar cepat luar biasa.

Bet!
"Haaaits...!"

Tapi dengan gerakan berputar yang sangat manis, tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi terbalik. Dan begitu kepalanya berada di bawah, dengan kecepatan tinggi tangan kanannya segera dikibaskan disertai pengerahan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Aikh...!" Lagi-lagi Siluman Muka Kodok terpekik kaget, lalu cepat melompat ke belakang. Langsung dihindarinya serangan susulan Rangga yang sangat cepat luar biasa itu.

Sementara, Rangga kembali memutar tubuhnya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, langsung dilepaskannya satu pukulan keras mempergunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya, sehingga dari kepalan tangannya yang memerah, meluruk sinar merah bagai api yang meluncur deras mengancam dada Siluman Muka Kodok.

"Ghroaaagkh...!"

***
LIMA
Sambil memperdengarkan raungan keras, Siluman Muka Kodok cepat melompat ke atas untuk menghindari pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara. Dan pada saat itu, Rangga sudah melesat begitu cepat mengejar. Langsung kedua tangannya yang terkembang dikebutkan beberapa kali dengan kecepatan sangat tinggi. Tak salah lagi, Rangga kembali mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Ghrooogkh...!"

Siluman Muka Kodok jadi kalang-kabut meng-hindari serangan-serangan Rangga yang begitu gencar. Pendekar Rajawali Sakti memang mempergunakan rangkaian beberapa jurus dahsyat yang begitu cepat, sehingga sukar sekali bagi Siluman Muka Kodok untuk membedakan antara jurus yang satu dengan jurus lainnya. Cepat-cepat Siluman Muka Kodok melenting ke belakang, sambil melakukan putaran di udara beberapa kali. Hal ini dilakukan untuk menghindari pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar merah dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrrrk...!"

"Hm...." Rangga menghentikan serangan setelah Siluman Muka Kodok berhasil membuat jarak sekitar dua batang tombak darinya. Memang sangat dahsyat serangan-serangan dari rangkaian tiga jurus maut yang dilancarkan Rangga. Akibatnya, napas Siluman Muka Kodok jadi mendengus-dengus, memperdengarkan suara menggorok yang sangat keras dan menyebarkan bau busuk.

Menyerang secara terus-menerus dan beruntun, ternyata juga membuat Pendekar Rajawali Sakti harus mengatur jalan pernapasannya. Secara jujur, diakui kalau lawannya kali ini benar-benar tangguh. Rangga sudah mencoba menggabungkan tiga jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' sekaligus, tapi Siluman Muka Kodok masih bisa menandingi. Bahkan tidak satu pun serangannya mencapai sasaran.

Gerakan-gerakan yang dilakukan Siluman Muka Kodok memang cepat luar biasa. Apalagi, Rangga memang belum pernah bertemu lawan yang jurus-jurusnya sangat aneh seperti itu. Tapi, seluruh kemampuan yang dimilikinya memang belum dikeluarkan. Malah Pendekar Rajawali Sakti juga belum menggunakan pedang pusaka yang sudah terkenal keampuhannya.

Trek!
Cring...!

Rangga langsung melompat mundur tiga langkah ke belakang ketika Siluman Muka Kodok mematahkan tongkatnya jadi dua bagian. Dan dari ujung patahan tongkat itu keluar rantai hitam dengan bandulan bulat berduri, juga berwarna hitam pekat.

Wuk!
Bet!

Siluman Muka Kodok mengebutkan senjatanya yang kini menjadi dua bagian. Rantai dan bandulan berduri di ujungnya tampak mengeluarkan api berkobar-kobar, memancarkan hawa panas luar biasa. Begitu panasnya, sampai-sampai Rangga menarik kakinya ke belakang beberapa langkah lagi.

"Ghrogk...!"
Wuk!

Cepat sekali Siluman Muka Kodok mengebutkan senjatanya. Dan seketika itu juga, dari rantai berbandul bola besar berduri memancar api yang meluruk deras ke arah Rangga.

"Hup!"

Cepat Rangga melenting ke atas, sehingga pijaran api yang sangat panas membakar itu lewat di bawah telapak kakinya. Tapi pada saat yang bersamaan, Siluman Muka Kodok sudah mengebutkan ke atas satu senjatanya lagi yang berada di tangan kiri. Maka, api kembali meluruk sangat cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang berada di udara.

"Hat!" Sret! "Yeaaah...!"

Memang tidak ada pilihan lagi bagi Rangga, kecuali cepat-cepat mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Dan secepat itu pula, pedangnya dikebutkan ke depan untuk menyampok ujung lidah api yang meluruk begitu cepat ke arahnya.

Glarrr...!

Satu ledakan keras menggelegar seketika terjadi, begitu pedang di tangan Rangga yang memancarkan cahaya biru berkilau berbenturan dengan ujung lidah api yang keluar dari senjata Siluman Muka Kodok. Tampak Rangga terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Tapi, keseimbangan tubuhnya cepat bisa dikuasai dengan berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya kembali menjejak tanah.

Sementara, Siluman Muka Kodok juga terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan keseimbangan tubuhnya juga cepat bisa dikuasai. Dia lalu melakukan beberapa gerakan dengan kedua senjatanya yang tergenggam di tangan kiri dan kanan. Keras sekali Siluman Muka Kodok mendengus, sampai mengeluarkan suara menggorok yang dapat menggetarkan jantung siapa saja yang mendengarnya.

"Hap!"

Rangga cepat menyilangkan pedangnya di depan dada. Sedangkan telapak tangan kirinya sudah menempel pada mata pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan, tepat di bagian ujung dekat gagang. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak jadi menggosok untuk mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'nya. Hal itu terjadi begitu melihat Siluman Muka Kodok menyatukan lagi senjatanya, hingga kembali berbentuk sebatang tongkat dengan dua bandulan pada kedua ujungnya. Sedangkan kedua bulatan di ujung tongkat itu kembali berwarna merah bagai besi yang terbakar di dalam sebuah tungku.

"Aku akan kembali lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Ghrooogkh...!"

Setelah berkata demikian, Siluman Muka Kodok langsung memutar tubuhnya cepat sekali. Dan seketika itu juga, seluruh tubuhnya terselimut asap tebal. Sesaat Rangga tersentak. Dia tahu, Siluman Muka Kodok akan menghilang dengan cara yang sama, ketika berhadapan dengannya di depan.Istana Ringgading.

"Hei, tunggu...!"

Wusss!

Belum juga Rangga bisa bergerak mencegah, asap tebal itu sudah menghilang begitu cepat. Dan Siluman Muka Kodok seketika lenyap tak terlihat lagi, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Sementara, Rangga sudah melompat hendak mencegah, tapi benar-benar sudah terlambat. Kini Siluman Muka Kodok sudah lenyap tak berbekas lagi.

"Keparat..!" maki Rangga kesal.

Begitu geramnya, sampai-sampai Pendekar Rajawali Sakti menghentak tanah, tepat tempat Siluman Muka Kodok tadi menghilang. Saat itu, dari atas tembok benteng Pandan Wangi meluncur turun. Begitu indah dan ringan gerakannya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah dengan manis sekali. Tapi Rangga sempat mendengar dan berpaling sedikit.

Pandan Wangi melangkah menghampiri, lalu berhenti tepat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga masih bersungut-sungut kesal sambil menghentakkan kakinya beberapa kali. Dipandanginya tanah tempat Siluman Muka Kodok tadi menghilang. Bahkan sama sekali tidak bisa diketahui lagi, ke mana arah perginya. Inilah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi kesal dan terus menggerutu dalam hati.

"Kau gagal lagi, Kakang...," kata Pandan Wangi.

"Hhh! Aku tidak tahu, ilmu apa yang digunakan sampai bisa menghilang begitu...!" dengus Rangga, masih merasa kesal.

"Dia pasti akan datang lagi, Kakang. Dan pasti akan semakin bertambah kekuatannya," duga Pandan Wangi.

"Ya! Dia memang berkata seperti tadi sebelum menghilang," sahut Rangga, agak perlahan suaranya.

"Tampaknya dia sangat mendendam padamu, Kakang," kata Pandan Wangi lagi.

Rangga hanya tersenyum saja. Jelas sekali dari nada suara Pandan Wangi tadi, kalau begitu mencemaskan ancaman yang diberikan Siluman Muka Kodok. Walaupun tidak ikut bertarung, tapi Pandan Wangi sudah bisa mengetahui kalau orang itu tidak bisa dianggap main-main. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri sampai saat ini belum mampu menundukkannya.

Pandan Wangi juga tahu, Rangga tadi sudah hampir menguras habis seluruh kepandaiannya. Dan Siluman Muka Kodok sepertinya bisa cepat meraba kalau dirinya sudah terdesak, dan tidak mampu lagi menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Maka diambilnya langkah menghilang, sebelum Pendekar Rajawali Sakti berbuat lebih banyak lagi. Ilmu yang bisa menghilang itulah yang kini selalu mengganggu pikiran Rangga.

"Kalau bertemu lagi, apakah kau akan kembali membiarkannya pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak," tegas Rangga.

"Lalu, dengan apa kau akan menghadapi ilmu menghilangnya nanti?" tanya Pandan Wangi lagi, seakan-akan ingin tahu cara Pendekar Rajawali Sakti dalam menghadapi ilmu langka Siluman Muka Kodok.

Rangga hanya mendengus kesal saja. Sedikit kakinya dihentakkan ke tanah. Saat itu, pintu gerbang istana terbuka. Tak lama, muncul Danupaksi yang disusul Cempaka. Sekitar sepuluh orang prajurit berpangkat punggawa menjaga di kiri dan kanan pintu yang dibiarkan terbuka sedikit. Kedua adik tiri Rangga itu melangkah cepat menghampiri Rangga dan Pandan Wangi. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sudah memutar tubuhnya berbalik, menghadap ke arah Danupaksi dan Cempaka.

"Apa yang terjadi, Kakang?" Danupaksi langsung melontarkan pertanyaan begitu dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak ada apa-apa," sahut Rangga masih terdengar mendengus kesal.

Pendekar Rajawali Sakti langsung saja mengayunkan kakinya menuju ke pintu gerbang yang masih terbuka sedikit, dijaga sekitar sepuluh orang prajurit berpangkat punggawa. Sementara, Danupaksi dan Cempaka memandangi Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu tahu, kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti ini meminta penjelasan padanya. Karena, memang dia tadi melihat jelas semua yang terjadi di luar benteng istana ini.

"Kenapa Kakang Rangga kelihatan begitu kesal, Kak Pandan?" tanya Cempaka, tidak sabar ingin tahu.

"Nanti kuceritakan," sahut Pandan Wangi.

"Sebaiknya kita segera masuk."

Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja melangkah menuju pintu gerbang benteng istana yang masih terbuka sedikit. Sementara, Rangga sudah tidak terlihat lagi, setelah melewati pintu gerbang itu. Danupaksi dan Cempaka saling melempar pandang sebentar, lalu sama-sama mengangkat pundaknya sedikit. Kini, mereka melangkah mengikuti Pandan Wangi yang sudah berjalan lebih dulu mendekati pintu gerbang benteng Istana Karang Setra.

***

Tiga hari sudah berlalu. Tapi tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi. Para prajurit dan semua penduduk kota yang mengungsi ke dalam benteng istana pun sudah kelihatan jemu. Mereka sudah mulai gelisah, karena sudah beberapa hari hidup terkurung. Sedangkan, belum ada sedikit pun ada tanda-tanda orang-orang Tujuh Mata Dewa sudah dihalau pergi dari kerajaan tempat kelahiran Pendekar Rajawali Sakti.

Sedangkan Siluman Muka Kodok sendiri tidak lagi terdengar namanya. Seakan-akan, orang yang berwajah mirip kodok itu sudah pergi jauh entah ke mana. Dan Rangga yang masih tetap berada di istana, juga sudah mulai jemu. Tapi, istana tidak bisa ditinggalkan dalam keadaan seperti ini. Bagaimanapun juga, persoalan ini harus bisa diselesaikan secepat-cepatnya. Pendekar Rajawali Sakti tentu saja tidak ingin istananya jadi tempat pengungsian yang berlarut-larut.

Pagi ini, udara di atas bumi Karang Setra kelihatan cerah sekali. Langit tampak bening, tanpa awan sedikit pun menggantung di langit. Dan matahari bersinar penuh, memancarkan cahayanya yang hangat. Dan sepagi itu Rangga sudah berada di depan kandang kuda. Dielus-elusnya leher kuda hitam Dewa Bayu. Sedikit matanya melirik saat telinganya mendengar langkah kaki menghampiri. Tampak Pandan Wangi, Danupaksi, dan Cempaka datang menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau jadi pergi, Kakang?" tanya Danupaksi begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.

"Tentu! Aku harus bisa mengenyahkan mereka dari negeri ini," tegas Rangga, walaupun suaranya terdengar agak mendesah.

"Sebaiknya, bawalah sejumlah prajurit, Kakang," saran Cempaka bernada khawatir.

Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Dan bibirnya juga terlihat menyunggingkan senyuman. Sebentar ditatapnya Cempaka, lalu berpindah pada Danupaksi. Dan terakhir, dipandangnya Pandan Wangi yang berdiri di sebelah kiri Cempaka. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menarik napas, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Disadari kalau persoalan yang sedang dihadapi sekarang ini terasa sangat berat. Dan semua ini harus segera diselesaikan.

Sementara, penduduk yang mengungsi ke dalam benteng istana ini sudah mulai terserang kejemuan. Dan tentu saja itu bisa menimbulkan persoalan baru kalau orang-orang Tujuh Mata Dewa tidak segera dienyahkan. Tapi yang paling penting, adalah Siluman Muka Kodok itu. Mengingat orang berwajah mirip kodok itu, geraham Rangga jadi bergemeletuk. Kedua tangannya terkepal erat, hingga urat-uratnya yang membiru terlihat bersembulan keluar, bagai hendak merobek kulit yang berkeringat dan berkilat.

"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" tegur Pandan Wangi agak cemas nada suaranya, melihat raut wajah Pendekar Rajawali Sakti menegang.

"Tidak.... Aku tidak apa-apa," sahut Rangga sambil mencoba memberi senyum.

Tanpa bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Dewa Bayu. Sebentar diamatinya wajah Pandan Wangi dan kedua adik tirinya. Kemudian dihentakkannya tali kekang kudanya sedikit. Maka, kuda hitam bernama Dewa Bayu itu mulai melangkah perlahan-lahan, menuju pintu rahasia yang terletak di bagian belakang istana ini.

Sementara itu, dua orang prajurit bersenjata tombak dan pedang yang menjaga pintu rahasia bergegas membuka pintu, begitu melihat Rangga akan melewati bersama kuda hitamnya. Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepala sedikit saat kedua prajurit membungkuk, memberi hormat. Tali kekang kudanya terus saja dihentakkan, agar Dewa Bayu terus berjalan perlahan-lahan.

Pintu rahasia di bagian belakang istana itu kembali tertutup rapat, setelah Rangga melewatinya. Dan Pendekar Rajawali Sakti terus menjalankan kudanya perlahan-lahan. Sesekali kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan sekitarnya yang begitu sunyi tanpa terlihat seorang pun.

"Hiyaaa! Hiyaaa...!"

Dewa Bayu meringkik keras begitu Rangga menghentakkan tali kekangnya kuat-kuat, sambil berteriak keras beberapa kali. Kemudian, kuda hitam bertubuh tegap itu melesat cepat bagaikan kilat, membuat debu membumbung tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya kuda itu berpacu, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah tidak terlihat lagi bentuk tubuhnya. Hanya kepulan debu saja yang terlihat membubung tinggi ke angkasa.

Sementara itu, Pandan Wangi, Danupaksi, dan Cempaka masih tetap berdiri diam di depan kandang kuda istana yang terletak tidak jauh dari pintu rahasia. Mereka seperti tengah bermimpi, membiarkan Pendekar Rajawali Sakti pergi seorang diri menghadapi Siluman Muka Kodok dan Tujuh Mata Dewa yang begitu banyak pengikutnya.

"Aku khawatir akan terjadi sesuatu pada diri Kakang Rangga...," desah Cempaka. Jelas sekali, nada suaranya mengandung kecemasan yang tidak bisa ditutupi.

"Seharusnya, kita bisa mencegahnya. Paling tidak, harus ada yang mendampinginya," sahut Danupaksi, juga terdengar pelan suaranya.

"Sulit," sahut Pandan Wangi. "Kakang Rangga berwatak keras. Apa yang menjadi keputusannya, pasti sudah dipikirkan matang-matang. Aku yakin, Kakang Rangga bisa mengatasi mereka semua."

"Kelihatannya kau begitu yakin, Kak Pandan...," ujar Cempaka seraya menatap si Kipas Maut dalam-dalam.

"Aku sudah bersama-sama sebelum bertemu kalian. Dan aku tahu betul wataknya. Aku tidak pernah menyangsikan kemampuan Kakang Rangga sedikit pun juga. Dan yang pasti, mereka semua bisa diatasi," sahut Pandan Wangi kalem.

Memang di antara mereka bertiga, hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak tersirat kecemasan pada raut wajahnya. Seakan-akan dia begitu yakin kalau Rangga pasti bisa menghadapi Siluman Muka Kodok dan Tujuh Mata Dewa serta para pengikutnya yang berjumlah sangat besar. Meskipun sudah dua kali Rangga bertemu, dan sudah dua kali pula Siluman Muka Kodok itu berhasil lolos, tapi bukan berarti Rangga tidak bisa menandingi kepandaiannya. Dan Pandan Wangi begitu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah memiliki satu rencana untuk mengenyahkan mereka semua dari Kerajaan Karang Setra.

"Bagaimana, Kakang...?" tanya Cempaka menatap Danupaksi.

"Aku percaya, kalau Kak Pandan sudah berkata demikian," sahut Danupaksi.

Pandan Wangi tersenyum. Sedangkan Cempaka mengangkat bahunya sedikit. Mereka memang tidak pernah menyangsikan kemampuan Pendekar Rajawali Sakti dalam menghadapi lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Namun, tetap saja di hati mereka masih terselip rasa khawatir. Dan semua kecemasan itu bisa terusir oleh kepercayaan yang sangat besar dan men-dalam pada diri Pendekar Rajawali Sakti.

***
ENAM
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti yang menunggang Dewa Bayu sudah sampai di kaki Gunung Lanjaran. Dugaannya, di kaki gunung inilah pusat dari semua peristiwa yang terjadi di Karang Setra. Pertama kali gerombolan Tujuh Mata Dewa terlihat memang di kaki Gunung Lanjaran ini. Tapi waktu itu, Pendekar Rajawali Sakti memang belum tahu kalau mereka adalah para gerombolan Tujuh Mata Dewa.

"Hup!"

Begitu ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun ketika melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Namun, sedikit pun tak terlihat adanya tanda kehidupan. Bahkan sepertinya tidak terdengar suara binatang. Seakan-akan semua kehidupan yang ada di sekitar kaki Gunung Lanjaran ini sudah musnah. Begitu sunyi, hingga desir angin yang sangat halus terdengar jelas mengusik telinga.

"Hm...." Sambil menggumam perlahan, kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun pelan-pelan meninggalkan kudanya. Mata dan pendengarannya terus dipasang tajam-tajam. Tapi, belum juga didapatkan satu suara sedikit pun juga. Bahkan keadaan didalam hutan kaki Gunung Lanjaran ini begitu sunyi. Rangga terus berjalan perlahan-lahan, dan mulai mendaki lereng gunung yang sunyi ini.

Sementara, Dewa Bayu tetap menunggu di kaki gunung. Seperti tidak peduli pada keadaan sekitarnya, kuda hitam itu menikmati rerumputan segar yang banyak tumbuh di sekitarnya. Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti, setelah sampai di lereng gunung yang berbatu. Sebentar kepalanya mendongak ke atas. Seketika bibirnya terlihat menyunggingkan senyum saat melihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan melayang-layang berputar di atas kepalanya. Begitu tinggi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu terbang, sehingga bagaikan terlihat seperti seekor merpati biasa. Dan baru saja Rangga menurunkan kepalanya kembali, mendadak saja....

Srak!

"Hap...!" Cepat Rangga melompat ke belakang, begitu tiba-tiba muncul dua orang berpakaian serba hitam yang telah menghunus pedang. Tanpa bicara lagi, kedua orang berpakaian serba hitam yang seluruh wajah dan kepalanya terselubung kain hitam itu, langsung saja menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Hiyaaa...!"

Namun, cepat sekali Rangga melesat sambil mengibaskan kedua tangannya yang terentang lebar ke samping. Begitu cepat gerakannya sehingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Dan belum juga kedua orang berpakaian serba hitam itu bisa berbuat lebih banyak lagi, tahu-tahu sudah terdengar jeritan panjang yang sangat menyayat dan saling sambung.

Tepat di saat kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, kedua orang berpakaian serba hitam itu sudah ambruk menggelepar dengan dada robek mengucurkan darah. Sedikit pun tak ada gerakan lagi. Kedua orang berpakaian serba hitam itu langsung tewas seketika. Memang sangat dahsyat gerakan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Gerakannya pun terlalu sulit dilihat mata biasa. Dan bagi mereka yang memiliki kepandaian tanggung, rasanya tidak akan mampu bisa berbuat banyak.

Sementara, Rangga hanya melirik sedikit pada dua orang penyerangnya ini. Kemudian kembali kakinya terayun mendaki lereng Gunung Lanjaran ini. Rangga terus melangkah mantap dan sangat tenang. Pandangan matanya tertuju lurus tak berkedip ke depan. Sedangkan telinganya tetap dipasang tajam-tajam, mempergunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Hingga suara yang kecil sekalipun dapat ditangkap jelas.

"Hup!" Baru saja Rangga berjalan beberapa langkah, kembali sudah harus melesat ke atas. Karena tiba-tiba saja, dari arah depan meluncur sebatang tombak berwarna hitam pekat. Tombak itu meluncur deras, lewat di bawah telapak kaki pemuda yang selalu berbaju rompi putih ini. Beberapa kali Rangga berputaran di udara. Dan dengan gerakan manis sekali, kembali kakinya dijejakkan di tanah berumput tebal ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat mendarat di tanah.

"Hhh...!" Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang, dari arah depannya sudah berlompatan sekitar delapan orang berpakaian serba hitam. Dan mereka semua menggenggam senjata pedang, masing-masing di tangan kanan. Seketika itu juga pemuda tampan berbaju rompi putih ini sudah terkepung oleh delapan orang dengan pedang terhunus. Rupanya, orang-orang Tujuh Mata Dewa semuanya menggunakan senjata pedang. Namun, Pendekar Rajawali Sakti tidak menghiraukan sama sekali, kendati pedang-pedang mereka yang berkilatan tajam sudah tersilang di depan dada. Hanya dengan sorot mata tajam, diamatinya setiap gerakan kaki kedelapan orang pengepungnya.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Begitu kedelapan orang ini berlompatan menyerang, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Dan kedua tangannya langsung dikembangkan ke samping, mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Hiyaaat..!"
Bet!
Wuk!
"Akh!"
"Aaakh...!"

Dua kali Rangga mengebutkan tangannya. Maka seketika itu juga terdengar jeritan panjang, disusul ambruknya dua orang penyerang berbaju serba hitam itu dengan dada terbelah lebar mengeluarkan darah.

"Hap! Yeaaah...!"

Sedikit pun Rangga tidak berhenti. Tubuhnya langsung kembali melompat, begitu kakinya menjejak tanah. Dan seketika itu juga, dilepaskannya satu pukulan dahsyat menggeledek menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang terarah pada seorang penyerang terdepan. Begitu cepat serangannya, sehingga orang berbaju serba hitam itu tidak sempat berkelit lagi. Maka, pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat dan telak menghantam dadanya.

Desss!
"Aaakh...!"

Seketika, orang itu terpental jauh ke belakang sambil menjerit melengking. Sebatang pohon yang terlanda tubuhnya, seketika tumbang. Kemudian orang berbaju serba hitam itu ambruk di tanah. Hanya sedikit saja dia mampu menggeliat, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Dadanya tampak remuk melesak ke dalam.

"Hih!" Rangga cepat berbalik, membuat dua orang yang hendak membokongnya dari belakang langsung berhenti melangkah. Kini tinggal lima orang lagi yang mengepung. Dan tampaknya, mereka mulai diliputi kegentaran menghadapi Pendekar Rajawali Sakti yang gerakannya begitu cepat. Sehingga dalam dua kali gebrakan saja, tiga orang sudah menggeletak jadi mayat.

Dan Rangga kali ini memang sudah tidak tanggung-tanggung lagi. Kemarahannya sudah memuncak, melihat keadaan tanah kelahirannya jadi seperti neraka. Akibatnya, seluruh rakyatnya tidak ada lagi yang berani keluar dari dalam lingkungan benteng istana. Dan memang, baru kali ini Karang Setra mendapat serangan dari luar. Hal itu membuat kemarahan Pendekar Rajawali Sakti jadi memuncak.

"Ayo, maju kalian semua, Keparat..!" bentak Rangga geram.

Tapi, tak ada seorang pun dari mereka yang berani mendekat. Dan kelima orang itu hanya bisa mengepung sambil bergerak. Berputar, seperti tengah mencari kelemahan Pendekar Rajawali Sakti. Pedang mereka semua melintang di depan dada. Matahari yang bersinar penuh siang ini, membuat pedang-pedang kelima orang berpakaian serba hitam itu berkilatan menunjukkan ketajamannya. Namun, sedikit pun tidak membuat Rangga gentar.

"Mundur kalian semua...!"

Tiba-tiba terdengar bentakan yang sangat keras dan menggelegar. Dan begitu kelima orang berpakaian serba hitam itu berlompatan mundur, dari balik semak belukar bermunculan tujuh orang yang juga berbaju warna hitam pekat yang cukup ketat.

"Hm...," Rangga menggumam sedikit. Pendekar Rajawali Sakti pernah melihat tujuh orang laki-laki berpakaian serba hitam ini, ketika belum bisa masuk ke dalam Istana Karang Setra. Dan dari keterangan Danupaksi, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau ketujuh orang inilah yang dijuluki Tujuh Mata Dewa. Meskipun sama-sama mengenakan baju warna hitam, tapi ketujuh orang ini tidak mengenakan tutup kepala. Sehingga, wajah mereka bisa terlihat jelas. Mereka rata-rata sudah mencapai usia separuh baya. Dan di pinggang masing-masing, tergantung sebilah pedang berukuran cukup panjang, lebih panjang dari pedang biasa.

"Kaliankah yang dijuluki Tujuh Mata Dewa?" tanya Rangga dengan nada suara yang sangat dingin.

"Benar. Kami adalah Tujuh Mata Dewa," sahut salah seorang yang berdiri paling kanan.

"Dan aku adalah si Mata Dewa Kesatu."

"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa menebak, kalau keenam orang lainnya tentu disebut menurut urutannya. Dan mungkin saja urutan itu digunakan dari perbedaan usia, atau dari tingkatan kepandaian. Tapi yang jelas, mereka menggunakan nama Tujuh Mata Dewa.

"Kau siapa, Anak Muda?" tanya si Mata Dewa Keenam.

"Namaku Rangga," sahut Rangga tegas.

Tujuh Mata Dewa mengamati Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sedangkan yang diamati tetap berdiri tenang, namun tidak mengurangi kewaspadaannya. Dan pada saat pandangannya diedarkan ke sekeliling, hatinya jadi terkesiap. Sungguh tidak diketahuinya kalau di sekelilingnya sekarang sudah dikepung oleh puluhan orang berpakaian serba hitam yang seluruhnya mengenakan tutup kepala dan wajah dari kain hitam.

Hanya bagian mata dan mulut saja yang terlihat. Bahkan mereka semua sudah menghunus pedang di tangan kanan masing-masing. Rangga mendongakkan kepala sedikit ke atas. Di angkasa masih terlihat burung rajawali raksasa yang saat ini kelihatan kecil, seperti burung biasa. Memang, Rajawali Putih terbang begitu tinggi, hingga berada di atas awan. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti kembali tertuju pada tujuh orang berpakaian serba hitam yang dijuluki Tujuh Mata Dewa.

"Anak muda! Kaukah yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti?" tanya si Mata Dewa Kelima.

Rangga tidak menjawab, tapi malah tersenyum saja. Sementara sorot matanya tertuju langsung ke arah si Mata Dewa Kelima yang menatapnya dengan sinar mata tajam sekali.

"Kau pasti Raja Karang Setra," kata si Mata Dewa Kelima lagi. Kali ini nada suaranya terdengar sangat dingin. Dan jelas suara itu dikeluarkannya agak ditahan.

Sedangkan Rangga tetap tersenyum, seperti tidak menghiraukan kata-kata si Mata Dewa Kelima barusan.

Sret! Wuk!

Seketika itu juga, Tujuh Mata Dewa mencabut pedang masing-masing. Gerakan yang dilakukan begitu indah dan bersamaan waktunya. Seakan-akan, ada yang memberi perintah sebelumnya. Dan mereka juga secara bersamaan mengebutkan pedang hingga menyilang di depan dada.

Sementara, Rangga tetap berdiri tenang dengan senyum masih tersungging di bibir. Sebenarnya, dalam hati Rangga memuji keindahan gerakan Tujuh Mata Dewa dalam mencabut senjata tadi.

"Kau tulang punggung Kerajaan Karang Setra. Maka, kau harus mati sekarang juga, Pendekar Rajawali Sakti!" desis si Mata Dewa Kesatu.

"Kedatanganku ke sini memang ingin bertemu kalian semua. Dan perlu diketahui, tidak akan mudah kalian bisa menguasai Karang Setra," balas Rangga dengan suara tidak kalah dingin.

"Ha ha ha...!"

Tujuh orang berpakaian hitam yang dijuluki Tujuh Mata Dewa itu tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Rangga yang begitu tenang tadi. Sedangkan Rangga hanya diam saja dengan sikap sangat tenang. Sedikit kepalanya mendongak ke atas. Sedangkan bibirnya terus menyunggingkan senyum saat melihat Rajawali Putih masih melayang-layang berputaran di atas kepalanya. Burung rajawali itu memang tidak ingin meninggalkan Rangga dalam menghadapi Tujuh Mata Dewa dan para pengikutnya yang berjumlah sangat besar ini.

"Seraaang...!"
"Bunuh dia!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Cepat sekali Rangga melenting ke udara, begitu si Mata Dewa Ketujuh dan si Mata Dewa Keenam memberi perintah dengan suara lantang menggelegar. Saat itu juga, para pengikut ketujuh orang itu langsung berlompatan sambil berteriak-teriak dan mengangkat pedang tinggi-tinggi ke atas kepala. Mereka langsung meluruk, merangsek Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaat..!"

Menghadapi keroyokan yang begitu banyak, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau main-main lagi. Terlebih lagi, hatinya memang sudah begitu geram melihat mereka yang mengacau ketenangan Kotaraja Karang Setra. Begitu kakinya menjejak tanah, cepat sekali kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Dan sambil cepat memutar kaki, kedua tangannya dihentakkan hingga melebar ke samping sambil berseru lantang menggelegar.

"Aji Bayu Bajra. Yeaaah...!"

Wusss...!

Seketika itu juga, dan kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti keluar hembusan angin yang sangat keras. Begitu keras hembusannya, sehingga menimbulkan suara menderu bagai terjadi badai yang sangat dahsyat. Dan mereka yang sudah berlompatan menyerang, seketika berpentalan terhempas angin badai yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, seketika terdengar saling susul. Tubuh-tubuh beterbangan bagai daun-daun kering tertiup angin. Begitu dahsyatnya aji 'Bayu Bajra' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, sampai-sampai banyak pepohonan bertumbangan, dan batu-batu berhamburan bagai segumpal kapas tertiup angin.

Sementara, Tujuh Mata Dewa segera mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menahan gempuran aji 'Bayu Bajra' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, sedikit demi sedikit kaki mereka mulai terdorong ke belakang. Dan para pengikutnya yang hanya memiliki kepandaian rendah, tidak ada yang sanggup menghadapi gempuran angin badai topan ini.

"Hap!"

Begitu Rangga merapatkan kembali kedua telapak tangan di depan dada, seketika itu juga angin badai yang terjadi karena ciptaannya berhenti. Deru angin badai pun tidak terdengar lagi. Tapi, sudah tidak ada seorang pun pengikut Tujuh Mata Dewa yang terlihat berdiri.

"Hhh...!" Panjang sekali Rangga menghembuskan napasnya, begitu pandangannya beredar ke sekeliling. Hutan di lereng Gunung Lanjaran yang semula terlihat indah, Kini sudah porak-poranda bagai diamuk ribuan ekor gajah. Tidak terhitung lagi, berapa banyak pepohonan yang tumbang tercabut sampai ke akar-akarnya. Dan mayat-mayat terlihat bergelimpangan di mana-mana. Tidak sedikit mayat yang tertindih pohon maupun bebatuan. Juga, tidak sedikit pun yang tubuhnya tertancap kayu, atau kepalanya pecah terbentur batu.

Pandangan Pendekar Rajawali Sakti kemudian tertuju pada tujuh orang berpakaian serba hitam yang dikenal sebagai Tujuh Mata Dewa. Mereka juga seakan-akan masih terpana melihat kedahsyatan ilmu kesaktian yang diperlihatkan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu banyak jumlah pengikutnya tadi, tapi sekarang tak ada seorang pun yang terlihat lagi. Mereka semua musnah hanya dengan satu pengerahan ilmu saja.

Perlahan Rangga mengayunkan kakinya, menghampiri Tujuh Mata Dewa yang masih terpana. Dan ayunan kaki pemuda berbaju rompi putih ini berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi. Jelas terlihat pada sorot mata, kalau Pendekar Rajawali Sakti mengagumi ilmu tenaga dalam yang dimiliki tujuh orang yang dijuluki Tujuh Mata Dewa dalam menghadapi aji 'Bayu Bajra' tadi. Meskipun tempatnya berdiri tergeser sampai sejauh tiga batang tombak, namun itu sudah menjadi pegangan.

"Sebenarnya bukan kalian yang menjadi sasaranku, Kisanak. Tapi perbuatan kalian pada rakyat Karang Setra sudah memancing kemarahanku," kata Rangga dengan suara ter-dengar dingin sekali.

"Kau sudah menghancurkan seluruh pengikut kami, Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus membayar semua nyawa mereka!" dengus si Mata Dewa Kesatu, geram.

"Kalau kau tidak memerintahkan mereka menyerang, tidak bakalan aku bertindak, Kisanak," sahut Rangga membela diri.

"Setan! Kau harus membayar nyawa mereka! Hiyaaat..!"

Si Mata Dewa Kesatu rupanya tidak bisa lagi menahan kemarahan melihat orang-orangnya sudah musnah terkena aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dengan kecepatan bagai kilat, dia melompat menyerang. Langsung pedangnya dikebutkan, tepat terarah ke leher pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini.

Wuk!
"Hait..!"

Namun dengan hanya sedikit mengegoskan kepala saja, tebasan pedang si Mata Dewa Kesatu berhasil dielakkan Rangga dengan manis sekali. Tapi, si Mata Dewa Kesatu tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu pedangnya tidak mengenai sasaran, cepat sekali pedangnya di-putar berbalik, dan langsung dibabatkan ke arah perut.

"Ups...!" Cepat Rangga menarik perutnya ke belakang, hingga tubuhnya agak terbungkuk. Dan ujung pedang si Mata Dewa Kesatu lewat sedikit saja di depan perut Pendekar Rajawali Sakti. Cepat-cepat Rangga menarik kakinya ke belakang tiga langkah, dan langsung menarik tubuhnya agar tegak kembali.

Namun pada saat itu, si Mata Dewa Kesatu sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak sesaat.

"Hap!" Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindari tendangan itu. Maka terpaksa tangan kanannya diayunkan, menangkis tendangan yang sudah melayang mengarah cepat ke kepalanya. Hingga tak pelak lagi, bagian ujung kaki si Mata Dewa Kesatu berbenturan keras dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung pengerahan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Terdengar benturan keras ketika ujung kaki si Mata Dewa Kesatu berbenturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Plak!
"Akh...!"

Si Mata Dewa Kesatu cepat melompat ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. Namun tubuhnya jadi terhuyung begitu menjejakkan kakinya di tanah. Hampir saja dia jatuh menggelimpang, kalau saja si Mata Dewa Keempat tidak segera menangkapnya.

"Ukh...!" Si Mata Dewa Kesatu jadi mengeluh pendek. Dirasakan kalau tulang kakinya saat itu pasti remuk, akibat berbenturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga terlihat berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Saat itu, Mata Dewa Keenam dan Mata Dewa Kelima sudah melompat maju dengan pedang tersilang di depan dada. Sorot mata mereka begitu tajam, tertuju langsung ke wajah tampan Rangga.

"Kubunuh kau, Bocah! Hiyaaat...!" “Yeaaah...!"

***
TUJUH
Cepat sekali dua orang dari Tujuh Mata Dewa itu melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu pedang mereka berkelebat, tanpa dapat dilihat oleh mata biasa, tahu-tahu pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi putih itu sudah melesat tinggi ke angkasa. Dan hal ini membuat dua orang berpakaian serba hitam itu jadi kebingungan, karena Rangga tahu-tahu sudah berada di atas sebongkah batu sebesar kerbau.

"Keparat..!" geram si Mata Dewa Keenam sengit. "Hiyaaat..!"

Si Mata Dewa Kelima sudah langsung melompat lagi mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, pedangnya dibabatkan ke arah kaki. Tapi begitu mata pedang hampir saja membabat kaki, dengan kecepatan bagai kilat Rangga melompat ke atas. Dan pada saat itu juga, kaki kanannya dihentakkan. Langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat sekali tendangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat si Mata Dewa Kelima tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu tengah melakukan serangan. Hingga....

Plak!
"Akh...!"

Laki-laki berusia separuh baya berbaju warna hitam pekat agak ketat itu berteriak keras, begitu wajahnya terkena tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti. Begitu keras tendangan itu, sampai membuat si Mata Dewa Kelima terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak.

Bruk!

Keras sekali tubuh si Mata Dewa Kelima terbanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Tubuhnya menggeliat sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tampak darah merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Tapi, tidak berapa lama kemudian seluruh tubuh si Mata Dewa Kelima sudah mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi, begitu kedua tangannya terentang ke samping. Tampak seluruh wajahnya sudah hancur berlumur darah, akibat mendapat tendangan sangat keras dari Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara, Rangga sudah berdiri tegak di tanah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Kematian si Mata Dewa Kelima, tentu saja membuat enam orang lainnya jadi geram. Terlebih lagi, si Mata Dewa Kesatu yang tadi sempat merasakan tingginya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun kakinya masih terasa sakit, dia langsung saja melompat sambil membabatkan pedangnya beberapa kali, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"
Bet!
Wuk!
"Hup! Yeaaah...!"

Namun tebasan-tebasan pedang itu manis sekali dapat dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan meliuk-liukkan tubuh sambil berlompatan beberapa kali. Dan melihat si Mata Dewa Kesatu sudah kembali menyerang, lima orang lainnya yang semuanya mengenakan baju warna hitam pekat langsung saja ikut berlompatan mengeroyok pemuda berbaju rompi putih ini.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Bet!
Wuk!

Pedang-pedang yang berkilat tajam berkelebatan begitu cepat di sekeliling tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya serangan-serangan yang dilakukan Tujuh Mata Dewa yang kini jumlahnya tinggal enam orang, sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan. Serangan-serangan yang datang begitu cepat dan gencar ini, tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti untuk menyerang.

Bahkan untuk mencabut pedang saja sama sekali tidak ada kesempatan. Dan ini membuat pemuda itu terpaksa harus berjumpalitan menghindar. Beberapa kali tebasan pedang Tujuh Mata Dewa hampir menyambar tubuhnya, tapi masih bisa dihindari dengan gerakan tubuh manis sekali.

Di saat mendapat serangan yang begitu gencar, Rangga sempat melihat ke atas begitu merasakan adanya bayangan melewati tubuhnya. Tampak Rajawali Putih sudah lebih dekat lagi, hingga tubuhnya yang besar bagai bukit bisa terlihat jelas. Dan tanpa diminta lagi, burung raksasa itu langsung menukik begitu melihat Rangga mulai agak kewalahan menghadapi serangan lawan-lawannya.

"Khraaagkh...!"

Suara Rajawali Putih yang sangat keras memekakkan telinga itu membuat enam orang berpakaian serba hitam yang tengah mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut setengah mati. Begitu terkejutnya, sampai sampai mereka terlompat ke belakang beberapa langkah.

Sementara, Rangga langsung mendongakkan kepala ke atas. Dan bibirnya langsung tersenyum begitu melihat Rajawali Putih berada tidak jauh di atas kepalanya.

Sementara, Tujuh Mata Dewa yang kini tinggal enam orang lagi jadi terlongong. Mulut mereka ternganga dan mata tidak berkedip memandang burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan di atas kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

"Kau datang tepat pada waktunya, Rajawali," ujar Rangga senang.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih menjulurkan kepala ke arah enam orang berpakaian serba hitam. Sementara, Rangga melangkah menghampiri mereka. Kedua tangannya terlipat di depan dada, setelah berhenti dalam jarak sekitar empat langkah lagi di depan Tujuh Mata Dewa yang kini tinggal enam orang lagi.

"Aku akan mengampuni, kalau kalian bisa menunjukkan di mana Siluman Muka Kodok sekarang berada," desis Rangga dingin.

Enam orang yang dijuluki Tujuh Mata Dewa itu tidak langsung menjawab. Mereka saling berpandangan satu sama lain, kemudian sama-sama mengarahkan pandangan pada Rajawali Putih yang masih melayang tidak jauh dari tanah. Sayapnya yang lebar, terus bergerak mengepak. Sehingga, menimbulkan hempasan angin kencang menderu bagai badai. Seumur hidup, belum pernah mereka melihat seekor burung raksasa sebesar ini. Bahkan kelihatan sangat jinak pada Rangga, sehingga membuat hati mereka langsung bergetar. Saat ini, mereka seakan-akan berhadapan dengan dewa yang turun dari kahyangan dan menjelma menjadi manusia. Tidak akan mungkin mereka bisa melawan dewa, meski memakai julukan dewa sekalipun.

"Katakan, dimana Siluman Muka Kodok berada...?" desis Rangga bertanya lagi, dengan suara dibuat sangat dingin.

"Untuk apa kau tanyakan dia?" si Mata Dewa Kesatu malah balik bertanya. Suaranya terdengar agak bergetar. Dan matanya sedikit melirik pada Rajawali Putih yang kini sudah mendarat, mendekam tidak jauh di belakang Rangga. Agak bergetar juga hatinya saat pandangannya bertemu sorot mata burung rajawali raksasa itu. Maka cepat-cepat pandangannya dialihkan pada Rangga.

"Aku punya urusan dengannya," tegas Rangga.

Kembali Tujuh Mata Dewa yang kini tinggal enam orang itu saling berpandangan.

"Dengar! Kalian boleh meninggalkan tempat ini. Keselamatan kalian kujamin, jika mau menunjukkan tempat persembunyian Siluman Muka Kodok," kata Rangga lebih menekan.

"Kau tidak akan bisa menandingi kesaktiannya, Pendekar Rajawali Sakti," ujar si Mata Dewa Ketujuh.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar kata-kata itu. Matanya melirik sedikit ke belakang pada Rajawali Putih. Dan burung rajawali raksasa itu mengkirik perlahan, sambil menyorongkan kepalanya ke depan sampai melewati bahu kanan Rangga. Dan pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi putih itu segera memeluk kepala burung ini sambil memperhatikan enam orang di depannya. Mereka jadi terlongong bengong melihat burung rajawali raksasa yang kelihatan menyeramkan itu sangat manja pada pemuda ini.

"Mungkin saja aku tidak bisa menandingi kesaktiannya. Tapi rajawaliku ini tidak ada tandingannya. Dan kalau aku menghendaki, kalian bisa dibuat bubur olehnya," kata Rangga sedikit mengancam.

Jelas sekali, terlihat enam orang berbaju serba hitam itu jadi bergidik mendengar ancaman Pendekar Rajawali Sakti barusan. Melihat bentuk tubuhnya saja, burung rajawali raksasa itu sudah mengerikan sekali. Apalagi kalau sampai bertindak. Sulit dibayangkan, kalau sampai terkena sabetan sayapnya yang besar itu. Keenam orang yang berjuluk Tujuh Mata Dewa itu menarik kaki ke belakang beberapa langkah. Tapi, Rangga terus mendekatinya, diikuti Rajawali Putih. Hingga, jarak mereka tetap berada sekitar empat langkah saja.

"Apa yang akan kau lakukan pada Siluman Muka Kodok, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya si Mata Dewa Ketujuh ingin tahu.

"Itu urusanku," sahut Rangga tegas, seraya tersenyum.

"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Kami akan menunjukkan tempatnya. Tapi dengan satu syarat..." kata si Mata Dewa Ketujuh, terdengar terputus suaranya.

"Katakan," sahut Rangga kalem.

"Izinkan kami melihat pertarunganmu dengannya. Dan kami tidak akan ikut campur nanti," pinta si Mata Dewa Ketujuh, mengajukan syarat.

Tanpa berpikir lagi, Rangga menganggukkan kepalanya, menyetujui usul yang diajukan si Mata Dewa Ketujuh, "Aku mengizinkan kalian. Tapi jika ada yang main curang, Rajawali Putih akan mengambil tindakan. Dan aku tidak akan bertanggung jawab kalau tubuh kalian hancur olehnya," kata Rangga memberi ancaman lagi.

"Kami hanya ingin melihat pertarunganmu saja, Pendekar Rajawali Sakti," kata si Mata Dewa Ketujuh menegaskan.

"Baik. Dan setelah itu, kalian semua harus meninggalkan Gunung Lanjaran ini. Terserah akan pergi ke mana, asal aku tidak lagi mendengar nama kalian semua," tegas Rangga.

Tujuh Mata Dewa yang kini tinggal enam orang itu mengangguk berbarengan, menyetujui permintaan Pendekar Rajawali Sakti. Memang, tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka. Dan tentunya, ancaman itu disetujui karena di belakang pemuda itu ada seekor burung rajawali raksasa yang membuat hati langsung bergetar.

"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Perbuatan pemuda berbaju rompi putih itu tentu saja membuat keenam orang yang dikenal berjuluk Tujuh Mata Dewa itu jadi terbeliak.

"Cepat kalian jalan!" seru Rangga.

Begitu menepuk leher Rajawali Putih tiga kali, burung raksasa itu langsung melesat ke angkasa. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah melambung tinggi sekali. Bahkan sampai tidak terlihat lagi. Sementara enam orang berpakaian serba hitam itu bergegas meninggalkan tempat yang sudah porak-poranda. Mereka terus bergerak cepat mendaki lereng gunung ini. Sementara, Rangga terus memperhatikan dari angkasa.

***

Tujuh Mata Dewa yang tinggal enam orang itu baru berhenti setelah tiba di puncak Gunung Lanjaran yang ternyata merupakan sebuah padang rumput yang cukup luas dan berselimut kabut. Dan begitu mereka mendongakkan kepala ke atas, Rajawali Putih tampak meluncur turun dengan kecepatan bagai kilat. Sebentar saja, burung raksasa itu sudah mendarat tidak jauh dari enam orang yang mengenakan baju serba hitam ini.

"Hup!" Rangga segera melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah.

"Awasi aku dari atas, Rajawali," pinta Rangga sambil menepuk leher burung rajawali raksasa itu.

"Khraaagkh...!" Wusss...!

Hanya sekali saja Rajawali Putih mengepakkan sayap, maka sudah terbang melambung tinggi sampai menembus awan. Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri enam orang berpakaian serba hitam yang terus memandangi Rajawali Piitih di angkasa. Mereka baru memandang Rangga, setelah pemuda itu berada sekitar lima langkah lagi di depan.

"Di mana tempat tinggalnya?" tanya Rangga langsung.

"Di balik batu itu," sahut si Mata Dewa Kesatu sambil menunjuk dua buah batu besar yang bentuk dan ukurannya sama.

Rangga berpaling menatap batu yang ditunjukkan si Mata Dewa Kesatu, lalu perlahan tubuhnya berbalik. Keningnya agak berkerut melihat batu yang berdiri bagai sebuah pintu gerbang itu. Kemudian wajahnya berpaling lagi, dan menatap enam orang berbaju serba hitam yang masih berada di belakangnya.

"Tadinya, itu tempat tinggal kami. Tapi, sekarang telah dikuasai Siluman Muka Kodok," jelas si Mata Dewa Ketiga, tanpa diminta. “Terus terang, sebenarnya kami juga tidak suka padanya. Tapi dia terlalu sakti, dan sulit dilawan. Kami dibiarkan tetap hidup, asalkan selalu menyediakan makanannya," sambung si Mata Dewa Kedua.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja. Pendekar Rajawali Sakti tahu, makanan Siluman Muka Kodok adalah manusia. Dan kini juga baru diketahuinya kalau Tujuh Mata Dewa dan orang-orangnya berada dalam cengkeraman Siluman Muka Kodok.

Tapi, memang gerombolan Tujuh Mata Dewa sudah terkenal kebiadabannya. Seluruh daerah Gunung Lanjaran ini dikuasai. Dan siapa saja yang melewati, tidak akan pernah terdengar beritanya lagi. Meskipun Gunung Lanjaran letaknya tidak berapa jauh dari Karang Setra, tapi selama ini kerajaan itu belum pernah dijamah. Dan baru sekarang ini mereka membuat kekacauan di sana, karena desakan Siluman Muka Kodok yang memang menaruh dendam pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Kalian menyingkirlah," kata Rangga sambil berpaling lagi.

Tanpa diminta dua kali, enam orang yang dikenal berjuluk Tujuh Mata Dewa bergegas menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mencari tempat aman untuk bersembunyi, tapi juga cukup leluasa untuk melihat semua yang akan terjadi nanti di puncak Gunung Lanjaran ini. Perlahan Rangga mengayunkan kakinya menghampiri dua batu kembar itu. Sebentar kepalanya mendongak ke atas, melihat Rajawali Putih masih terbang berputaran di atas puncak gunung ini.

Kabut yang turun agak tebal di sekitar puncak gunung ini membuat pandangan Pendekar Rajawali Sakti agak terhalang. Tapi, kakinya terus saja melangkah perlahan-lahan mendekati dua batu kembar yang ditunjuk si Mata Dewa Kesatu sebagai tempat tinggal Siluman Muka Kodok. Rangga baru berhenti melangkah setelah dekat dengan dua batu kembar itu. Kini, jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi. Sebentar diamatinya kedua batu yang bentuk dan ukurannya persis itu. Seakan, memang sengaja dibuat seperti sebuah gerbang masuk. Tapi, sebenarnya kedua batu itu memang dibentuk oleh alam.

"Siluman Muka Kodok! Keluar kau...!" seru Rangga lantang menggelegar. Suara yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti dengan disertai pengerahan tenaga itu menggema bagai hendak meruntuhkan puncak gunung ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti ter-diam menunggu, namun tak terdengar sahutan sedikit pun. Dan hanya terdengar gema suaranya saja yang memantul.

"Hm..., Aku harus memancingnya keluar," gumam Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang tiga langkah, kemudian merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu kakinya ditarik hingga terpentang lebar ke samping, dan perlahan-lahan merendahkan tubuhnya. Kini, kedua lututnya sudah tertekuk.

Saat itu, Rangga telah menyiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Dan tampaknya, pukulan itu hendak dilancarkan dari jarak jauh. Tampak kedua tangannya yang sudah terkepal, mulai kelihatan merah bagai besi terbakar di dalam tungku. Sebentar kemudian....

"Hup...! Yeaaah...!"

Tepat ketika kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti terhentak ke depan dengan telapak terbuka, seketika itu juga meluncur sinar merah bagai api Sinar merah yang keluar dari telapak tangan itu meluruk deras ke arah dua batu kembar. Sinar merah itu meluncur cepat, melewati rongga di antara kedua batu yang berbentuk bagai gerbang perbatasan itu. Dan sesaat kemudian....

Glarrr...!

Seketika ledakan dahsyat terdengar menggelegar, membuat seluruh puncak gunung ini jadi bergetar bagai diguncang gempa. Tampak api menyemburat tinggi ke angkasa dari balik batu kembar itu, disusul kepulan asap hitam yang sangat tebal. Belum lagi hilang asap hitam itu dari angkasa, tiba-tiba terdengar raungan sangat keras. Hingga menggetarkan seluruh puncak Gunung Lanjaran ini.

"Ghraaaugkh...!"

"Hup!"

Rangga melompat ke belakang sejauh lima langkah. Dan begitu kakinya menjejak tanah, dari balik batu kembar itu terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Dan bayangan hitam itu langsung meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, sehingga bayangan hitam itu terus meluruk lewat di bawah kakinya. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menjejak tanah kembali, bayangan hitam itu sudah cepat berbalik, dan langsung meluruk secepat kilat ke arahnya.

"Hap!"

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga, kecuali menjejakkan kakinya di tanah dan menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Dan begitu kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah berwarna merah membara, bayangan hitam itu sudah menabrak dengan kecepatan luar biasa sekali. Seketika itu juga, terdengar ledakan yang sangat keras menggelegar.

"Hup!"

Begitu kerasnya benturan yang terjadi, sehingga membuat Rangga terpental ke belakang. Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan dengan ringan sekali kakinya berhasil menjejak tanah kembali.

Sementara, bayangan hitam itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Tampak beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah.

"Ghrogkh...!"

Bersamaan terdengarnya suara menggorok keras, tampak bayangan hitam itu melesat ke udara dan berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kakinya mendarat di tanah, tepat sekitar empat batang tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm...." Rangga menggumam sedikit saat melihat di depannya kini sudah berdiri Siluman Muka Kodok. Laki-laki berwajah mirip seekor kodok dan berbaju warna hitam pekat yang ketat. Bukan hanya wajahnya saja yang mirip kodok, tapi seluruh kulit tubuhnya juga tidak beda jauh dengan kodok. Begitu miripnya, sampai dengusan napasnya pun terdengar bagaikan kodok di malam hari.

"Akhirnya kau keluar juga, Siluman Muka Kodok," desis Rangga dingin.

"Ghrooogkh...!"

Siluman Muka Kodok kelihatan tidak senang melihat Rangga berada di puncak Gunung Lanjaran ini. Manusia aneh ini mendengus-dengus memperdengarkan suara menggorok yang menyakitkan telinga.

Sementara, Rangga sudah mengayunkan kakinya mendekati laki-laki bermuka kodok ini. Ayunan kakinya baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi.

"Hari ini aku menantangmu, Siluman Muka Kodok. Kita bertarung sampai salah satu di antara kita masuk lubang kubur," kata Rangga lagi, dengan suara terdengar sangat dingin.

"Ghrogkh...!"

***
DELAPAN
Tantangan yang dibuka Rangga, membuat Siluman Muka Kodok jadi berang setengah mati. Wajahnya yang memang sudah hitam, semakin kelihatan kelam dan mengerikan. Kedua bola matanya terlihat semakin nyalang dan merah, bagai sepasang bola api yang akan menghanguskan Pendekar Rajawali Sakti.

"Ghrooogkh...!"

Sambil memperdengarkan suara menggorok keras, Siluman Muka Kodok merendahkan tubuhnya sampai kedua tangannya menyentuh tanah. Wajahnya terangkat naik. Langsung ditatapnya Rangga dengan sinar mata memerah tajam. Mulutnya terus mendengus-dengus memperdengarkan suara menggorok menyakitkan telinga.

"Ghraaaugkh...!"

Tiba-tiba saja Siluman Muka Kodok melompat sambil meraung keras bagai guntur. Begitu cepat lompatannya, sehingga membuat Rangga jadi terkesiap sesaat. Sungguh tidak disangka kalau orang berwajah seperti kodok itu melakukan serangan begitu cepat bagai kilat.

"Hait..!" Cepat-cepat Rangga melompat ke samping, menghindari terjangan Siluman Muka Kodok. Dan pada saat yang bersamaan, kakinya dihentakkan. Langsung diberikannya satu tendangan tanpa disertai pengerahan tenaga dalam.

Namun tanpa diduga sama sekali, Siluman Muka Kodok tidak berusaha menghindar. Bahkan tangan kirinya dihentakkan untuk menyambut kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tentu saja tindakan Siluman Muka Kodok itu membuat Rangga jadi terseritak kaget.

"Hap...!" Cepat-cepat Rangga menarik pulang kakinya, tidak mau mengambil akibat menyakitkan. Hal ini karena tendangannya tadi tanpa disertai pengerahan tenaga dalam. Padahal, tadi maksudnya hanya untuk mengejutkan Siluman Muka Kodok. Tapi kenyataannya, orang berwajah mirip kodok itu malah menyambutnya. Seakan, dia tahu kalau serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti hanya tipuan belaka.

"Hap!" Beberapa kali Rangga berputar di udara, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat yang bersamaan, Siluman Muka Kodok sudah kembali bersiap hendak menyerang lagi. Kedua tangannya sudah menyentuh tanah, dengan tubuh terbungkuk. Tatapan matanya begitu tajam, terarah ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda itu ingin diukurnya.

"Ghrooogkh...!"

Dengan kecepatan lebih dahsyat dari pertama, Siluman Muka Kodok kembali menyerang Rangga. Dan saat itu juga, tongkatnya diambil dari balik ikat pinggang. Langsung tongkat yang kedua ujungnya bulat sebesar kepalan tangan itu dikebutkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Maka, dari kedua bulatan pada ujung tongkat itu langsung memancarkan cahaya kuning kemerahan.

"Hup! Hiyaaa...!"

Dengan kecepatan yang tidak kalah dahsyat, Rangga segera melenting ke udara. Sehingga, serangan Siluman Muka Kodok kembali tidak menemui sasaran. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, seraya mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat sekali tubuhnya meluruk dengan kedua kaki bergerak sangat ecpat, sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Ghrogkh...!" Siluman Muka Kodok segera menghentakkan tongkatnya ke atas kepala.

Namun, Rangga sudah lebih dulu memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di atas. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya dikibaskan disertai pengerahan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. "Yeaaah...!"

"Ghraaagkh...!" Bet!

Tapi tanpa diduga sama sekali, Siluman Muka Kodok bisa memutar tongkatnya. Kecepatannya sulit sekali diikuti mata biasa. Langsung ditangkisnya kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengarah ke dadanya.

"Hait..!" Cepat-cepat Rangga menarik tangannya pulang. Dan tubuhnya langsung melenting ke belakang, lalu mendarat manis sekali sekitar satu batang tombak jauhnya dari Siluman Muka Kodok.

"Ghrogkh...!" Baru saja Rangga menjejak tanah, Siluman Muka Kodok sudah melompat lagi menyerang. Tongkat yang memancarkan cahaya kuning kemerahan pada kedua ujungnya dikebutkan beberapa kali dengan cepat dan beruntun. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus berjumpalitan menghindari.

Dan kali ini, rupanya Siluman Muka Kodok tidak ingin memberi kesempatan lagi pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang. Lewat jurus-jurus yang cepat dan dahsyat, tokoh berwajah aneh itu terus menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya, hingga tubuh-tubuh mereka jadi lenyap. Dan yang terlihat kini hanya bayang-bayang berkelebatan di antara sinar-sinar kuning kemerahan. Puluhan jurus sudah berlalu, tapi pertarungan masih terus berlangsung sengit dan cepat.

Sementara, enam orang berjuluk Tujuh Mata Dewa yang memperhatikan pertarungan dari balik tempat persembunyian, jadi terlongong bengong. Mereka benar-benar kagum melihat pertarungan tingkat tinggi yang sangat dahsyat luar biasa itu. Kalau saja tidak mengerti ilmu-ilmu kedigdayaan, pasti mata mereka sudah berkunang-kunang. Dan tampaknya, pertarungan masih akan terus berlangsung sengit. Sedikit pun belum ada tanda-tanda kalau pertarungan bakal berakhir.

Sementara, baik Rangga maupun Siluman Muka Kodok sudah mengerahkan jurus-jurus dahsyatnya. Kendati demikian, Pendekar Rajawali Sakti belum juga mencabut pedang pusaka yang sudah terkenal kedahsyatannya. Bukan hanya jurus-jurus yang sudah dikeluarkan. Tapi ilmu-ilmu kesaktian juga sudah dikerahkan. Namun belum bisa dipastikan, kapan pertarungan ini bakal berakhir. Mereka masih sama-sama tanggguh.

Sementara, matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Dari angkasa, terlihat Rajawali Putih sudah mulai gelisah saat melihat pertarungan belum juga ada tanda-tanda akan berakhir. Beberapa kali Rajawali Putih, berkaokan dengan suara serak dan keras menggelegar. Seakan-akan, dia tengah memberikan petunjuk pada Rangga. Tapi, tampaknya pemuda itu seperti tidak mendengar.

Dan memang, suara Rajawali Putih tertelan teriakan-teriakan pertarungan yang sesekali diseling ledakan keras, setiap kali mereka beradu pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Rupanya, tingkat tenaga dalam yang dimiliki seimbang. Sehingga, beberapa kali mereka beradu tenaga dalam, masih tetap bisa melanjutkan pertarungan.

"Ghrogkh...!"
"Hup!"

Hingga pada satu saat, mereka sama-sama berlompatan ke belakang. Dan secara bersamaan pula, menjejakkan kaki di tanah. Sesaat mereka berdiri saling berhadapan berjarak sekitar satu batang tombak. Sorot mata masing-masing terlihat begitu tajam, menembus ke bola mata satu sama lain.

Sret!

Perlahan Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari dalam warangka di punggung. Seketika itu juga, sekeliling puncak Gunung Lanjaran ini jadi bermandikan cahaya biru berkilauan yang menyilaukan mata.

Siluman Muka Kodok menutup matanya dengan punggung tangan kiri, seakan tidak sanggup menentang cahaya yang memancar dari pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Wut!

Manis sekali gerakan Rangga saat mengebutkan pedangnya, hingga tersilang di depan dada. Lalu telapak tangan kirinya ditempelkan tepat pada pangkal mata pedang dekat tangkainya. Sedangkan kedua kakinya sudah dipentang lebar ke samping, dengan lutut sedikit tertekuk kedepan.

"Ghrogkh!" Siluman Muka Kodok perlahan-lahan menggeser kakinya ke samping, tepat disaat Rangga mulai menggosok mata pedang dengan telapak tangan kiri.

Dan begitu telapak tangan kirinya kembali bergerak sampai ke pangkal pedang, cahaya biru yang menyebar di seluruh mata pedang itu langsung membentuk bulatan tepat di ujungnya.

"Hap!"
Bet!

Cepat sekali Rangga mengebutkan pedangnya ke depan. Dan seketika itu juga, bulatan sinar biru di ujung pedangnya meluncur cepat bagai kilat ke arah Siluman Muka Kodok.

"Ghrogkh!"
Wuk!

Siluman Muka Kodok langsung mengebutkan tongkatnya, menyambut sinar biru yang meluncur deras ke arahnya. Hingga, ujung tongkatnya yang memancarkan cahaya merah bagai api itu membentur bulatan biru yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti.

Glarrr...!

Seketika satu ledakan dahsyat terjadi, begitu ujung tongkat Siluman Muka Kodok menghantam bulatan sinar biru yang memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti.

"Argkh...!" Siluman Muka Kodok tampak terkejut, karena bulatan sinar biru itu tidak menghilang sedikit pun juga. Bahkan malah menyelubungi seluruh tongkat yang tergenggam di tangan kanannya.

"Ghrrrk!" Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, tokoh berwajah aneh itu berusaha menghentakkan tangannya ke belakang.

Tapi pada saat yang sama, Rangga sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Maka sinar biru yang memancar dari pedangnya mengikuti arah tarikan tangan Siluman Muka Kodok. Dan tentu saja, ini membuat orang berwajah seperti kodok itu jadi terperanjat setengah mati. Sementara, sinar biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti itu semakin jauh menyelubungi tangan Siluman Muka Kodok. Bahkan sudah mulai merayap ke tubuhnya. Tampak Siluman Muka Kodok berusaha melepaskan diri dari belenggu cahaya biru terang yang tampaknya seperti hidup itu.

"Ghroaaagkh...!" Sambil meraung dahsyat, Siluman Muka Kodok melenting ke atas.

Dan bersamaan dengan itu, Rangga menghentakkan pedangnya ke atas. Sehingga, cahaya biru yang memancar dari ujung pedangnya tidak terputus, dan terus merayap menyelubungi tubuh Siluman Muka Kodok. Berkali-kali Siluman Muka Kodok berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru yang semakin banyak menyelimuti tubuhnya. Tapi setiap kali kekuatannya dikerahkan, setiap kali pula dirasakan adanya kekuatan yang sangat dahsyat menarik keluar tenaganya lebih banyak lagi.

"Ghraaagkh...!" Siluman Muka Kodok mulai menggerung-gerung sambil menggeliat di dalam selubung sinar biru yang semakin banyak memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti. Namun akhirnya, Siluman Muka Kodok diam tak bergerak sedikit pun juga, seperti sudah pasrah. Bahkan sedikit pun tidak mengerahkan tenaga.

"Gila! Apa yang dilakukannya...?" desis Rangga tersentak kaget. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyedot habis tenaga yang dimiliki Siluman Muka Kodok. Tapi karena Siluman Muka Kodok tidak mengadakan perlawanan, sangat sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk melumpuhkannya.

"Ugkh! Dia tahu kelemahan aji 'Cakra Buana Sukma'. Edan...! Aku tidak boleh mengikuti kemauannya," dengus Rangga dalam hati. Cepat Pendekar Rajawali Sakti mencabut kembali aji 'Cakra Buana Sukma'. Dan seketika itu juga, cahaya biru terlepas dari tubuh Siluman Muka Kodok.

Tampak Siluman Muka Kodok jadi limbung. Begitu Rangga mencabut aji 'Cakra Buana Sukma'. Tapi, keseimbangan tubuhnya cepat dikuasai. Tampak dari lubang hidung dan sudut bibirnya mengalirkan darah.

"Ghrogkh...!"

"Hei...?!" Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Siluman Muka Kodok cepat memutar tubuhnya. Dia tahu, orang berwajah seperti kodok itu hendak kabur dengan cara menghilang. Dan....

"Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras, Rangga melompat cepat bagai kilat. Dan secepat itu pula, pedangnya dibabatkan, tepat di saat seluruh tubuh Siluman Muka Kodok diselubungi asap hitam tebal.

Bet!
"Grrooogkh...!"
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati. Ternyata sama sekali tidak dirasakannya ada benturan pada mata pedangnya. Padahal tadi jelas sekali pedangnya membabat, hingga masuk dalam ke asap hitam yang menggumpal menyelimuti seluruh tubuh Siluman Muka Kodok. Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berbuat sesuatu, asap hitam itu sudah lenyap dengan cepat. Padahal, sedikit pun tidak terasa adanya tiupan angin. Dan, kening Rangga jadi berkerut, begitu melihat adanya tetesan darah di atas rerumputan, di tempat Siluman Muka Kodok tadi berada.

"Hm...." Jelas sekali kalau tebasan pedang Rangga tadi menyabet tubuh Siluman Muka Kodok. Tapi memang, Siluman Muka Kodok sudah cepat menghilang. Sehingga, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa memastikan, apakah laki-laki berwajah seperti seekor kodok itu sudah tewas atau masih hidup. Sedangkan untuk mengejar, sudah tidak mungkin lagi. Dia tidak tahu, ke mana arah perginya Siluman Muka Kodok tadi.

Cring!

Rangga memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung, kemudian mendongakkan kepalanya ke atas. Saat itu, Rajawali Putih menukik turun dari angkasa. Begitu cepat burung rajawali raksasa itu bergerak, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah mendarat di depan pemuda ini.

Sementara dari balik persembunyian, enam orang yang berjuluk Tujuh Mata Dewa sudah melarikan diri, sebelum Pendekar Rajawali Sakti menyadari.

"Kau lihat ke mana perginya Siluman Muka Kodok, Rajawali?" tanya Rangga.

"Khrrrk...!" Rajawali Putih menggelengkan kepala sambil mengkirik pelan. Meskipun terus memperhatikan dari angkasa, tapi burung rajawali raksasa itu sama sekali tidak melihat arah menghilangnya Siluman Muka Kodok, kecuali hanya bisa melihat gumpalan asap hitam saja.

"Pedang Rajawali Sakti sudah berhasil melukainya. Pasti membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkannya," gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

"Khrrrk...!"

"Ayo, rajawali. Kita kembali ke istana," ajak Rangga.

"Khragkh...!"

"Heh...?! Apa...?"

Rangga langsung memutar tubuhnya berbalik. Saat itu sempat terlihat enam tubuh berpakaian serba hitam berlarian cepat menuruni lereng Gunung Lanjaran ini. Dia tahu, itu adalah enam orang yang berjuluk Tujuh Mata Dewa.

"Biarkan saja mereka pergi, Rajawali," kata Rangga sambil tersenyum.

Entah apa arti senyuman Pendekar Rajawali Sakti kali ini. Mungkin merasa geli melihat Tujuh Mata Dewa yang tinggal enam orang itu melarikan diri menghindarinya. Kemudian dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Rajawali Putih.

"Ke istana, Rajawali," pinta Rangga.

Khraaagkh...!

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar