Pendekar Rajawali Sakti eps 088 : Topeng Setan

SATU
SIANG ini udara terlihat cerah. Matahari terhalang awan putih yang bergerumbul membentuk hamparan permadani lebar. Gelombang laut pun terlihat tenang ketika angin semilir berhembus. Sebuah kapal berukuran cukup besar terlihat di kejauhan. Pada tiang yang paling tinggi, berkibar sebuah bendera berwarna hijau dengan lambang pedang melintang dan di atasnya bergambar bangau putih yang sedang mengepakkan kedua sayapnya.

Sepintas, lambang itu mengingatkan orang pada sebuah perguruan silat dari negeri seberang yang amat terkenal. Bukan saja karena murid-muridnya yang berilmu tinggi, tapi juga mereka terkenal sebagai pembela kebenaran yang suka membantu orang-orang lemah dan tertindas. Perguruan itu bernama Bangau Sakti, dan diketuai oleh orang tua sakti bernama Ki Sanjung Lugai.

Saat itu, seorang pemuda berwajah keras tampak berdiri gagah di buritan kapal. Rambutnya yang sepanjang bahu tergerai ditiup angin. Pemuda itu memakai baju lengan pendek yang terbuat dari bahan tebal dan dipenuhi sisik seperti ular. Dipunggungnya tersandang sebatang pedang berukuran besar. Sementara sepasang matanya menatap tajam ke depan dengan kedua tangan bersedakap di dada. Di belakangnya terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun.

“Berapa lama lagi kita akan sampai di negeri itu, Paman?”

“Hm.... Kalau tak ada badai, barangkali besok subuh kapal sudah bisa mendarat,” jawab laki-laki tua berusia lima puluh tahun.

“Rasanya perjalanan kita akan lancar...,” gumam pemuda itu. Perlahan kepalanya mendongak, mengamati langit di ujung pandangan nun jauh di sana.

“Ya! Paman kira juga begitu. Pada bulan-bulan seperti ini badai tak akan datang.”

“Apakah perjalanan kita ke negeri itu ada gunanya? Kalau saja ayah tak terlalu memaksa, sebenarnya aku enggan. Memamerkan kemampuan bukanlah perbuatan baik, Paman.”

“Ada hal yang belum kau ketahui, Sisik Naga. Perguruan Batu Kumala saat ini sedang mengadakan pesta ulang tahun ketuanya, yaitu Ki Satya Dharma. Mereka bermaksud mengadakan adu kepandaian, bukan untuk gagahan atau pamer, tapi sekadar menambah erat persahabatan antar perguruan. Hal itu soal biasa dalam dunia persilatan, kita harus maklum."

Pemuda yang dipanggil Sisik Naga hanya terdiam tanpa memalingkan wajah.

“Kau adalah wakil ayahmu, orang terkenal di negeri kita dan pendekar yang dihormati di negeri yang akan kita tuju. Tunjukkan jiwa ksatriamu saat pertandingan diadakan. Jangan memalukan nama perguruan dan ayahmu...,” lanjut si orang tua sambil menepuk pundak Sisik Naga.

“Kehormatan yang bagaimana menurut mereka di sini? Apakah kematian bagi lawan?”

Si orang tua tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sisik Naga memang baru berusia sekitar tujuh atau delapan belas tahun. Dan jarang sekali terjun dalam dunia persilatan, sehingga tidak mengerti tata cara tentang bagaimana sebaiknya bersikap.

“Tidak begitu. Dalam pertandingan yang sifatnya persahabatan, dilarang saling mencelakai. Bila kita berhasil mengalahkan lawan dengan cara yang baik, itu akan lebih terhormat dan terpuji.”

“Bagaimana caranya, Paman?”

“Seumpamanya dia memakai ikat kepala, maka kau cukup menanggalkan ikat kepalanya tanpa dia mampu menahan. Atau mencabut senjatanya tanpa dia sadari. Nah, hal-hal semacam itu sudah membuktikan bahwa kepandaian kita lebih unggul darinya. Mereka yang menyaksikan pertandingan akan mengerti,” jelas orang tua itu.

Sisik Naga mengangguk kecil. “Apakah Paman tahu, sampai di mana kemampuan orang-orang negeri ini?”

“Hm.... Siapa yang tahu kepandaian setiap orang? Seperti yang terjadi di negeri kita, di sini pun sama. Kepandaian orang atau seorang tokoh sulit diduga. Bahkan tak menutup kemungkinan banyak terdapat tokoh-tokoh persilatan yang berwatak aneh,” jelas si orang tua.

“Berwatak aneh seperti apa, Paman?”

“Suka mencampuri urusan orang lain tanpa sebab, mencari gara-gara sekadar untuk memenuhi nafsu pribadi, atau bertingkah yang tak sewajarnya serta berbuat sesuka hatinya,” jawab si orang tua.

Sisik Naga mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. “Kalau di negeri kita seperti si Gila dari Muara Tembong ya, Paman? Ayah pernah membicarakan tokoh itu padaku. Dia seorang tokoh sakti yang tiada terkalahkan sampai saat ini. Bahkan, ayah sendiri segan berurusan dengannya.”

“Tapi ayahmu bukan orang sembarangan. Si Gila dari Muara Tembong sendiri sungkan mengganggunya.”

“Ki Simbul Lumut, beberapa perahu kecil mendekat ke kapal kita!” teriak seseorang yang berdiri pada tiang paling tinggi di kapal.

“Semua bersiap...!” Laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Simbul Lumut langsung memberi aba-aba dengan suara keras.

Sepasang matanya memandang nyalang. Begitu juga dengan Sisik Naga. Lebih dari lima buah perahu kecil semakin jelas terlihat, bergerak ke arah mereka.

“Siapa mereka dan apa maunya?” tanya Sisik Naga.

“Hm.... Siapa yang tahu? Tapi kita harus waspada. Kau jaga di bagian belakang kapal, biar Paman menjaga di sini. Dan perintahkan Sopeng Langit serta Watan Kijang untuk berjaga di tiap sisi yang berlawanan di tengah kapal!”

“Baik, Paman!” Sisik Naga segera memanggil dua orang yang dikatakan pamannya, dan memberi perintah pada yang lain untuk bersiaga penuh.

Dalam sekejap saja suasana kapal menjadi tegang. Wajah-wajah mereka kaku dengan sepasang mata tajam, mengawasi perahu-perahu kecil yang terus mendekat dari berbagai arah.

“Orang-orang yang berada di kapal, turunlah kalian ke laut dengan sukarela, atau kami harus memaksa dengan kekerasan...?!” Salah seorang yang berada dalam perahu kecil berteriak lantang, dengan kedua tangan bertolak pinggang.

Ki Simbul Lumut tersenyum kecil sambil menyipitkan mata. Tapi Sisik Naga langsung bangkit amarahnya, mendengar kata-kata yang dianggapnya suatu penghinaan. Inikah salah satu tokoh aneh yang barusan diceritakan pamannya?

“Kisanak, siapakah kalian dan mengapa menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Simbul Lumut dengan tenang.

Perahu-perahu kecil itu berhenti ketika jarak mereka telah begitu dekat. Orang tua itu dapat melihat jelas, siapa yang tadi berteriak keras. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan memakai baju dari kulit binatang. Di dadanya bergelantungan tengkorak dan tulang-belulang yang diuntai menjadi sebuah kalung. Begitu juga dengan ikat pinggangnya. Wajahnya tampan, namun sorot matanya tajam menusuk dan sangat angker. Rambutnya yang panjang digelung ke belakang.

Laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu membawa sebilah parang besar di pinggangnya. Dan yang lainnya terlihat sama, meski mereka bertelanjang dada dan mengenakan cawat dari kulit binatang. Seluruh tubuhnya dipenuhi hiasan tulang-belulang serta tengkorak-tengkorak manusia. Wajah mereka angker dan tampak bermusuhan, dengan sorot mata liar seperti manusia yang tak beradab. Parang-parang besar telah siap tergenggam di tangan. Ada juga yang memegang sumpritan yang mengeluarkan bau busuk menyengat Bisa dipastikan kalau sumpritan itu mengandung racun yang hebat.

“Aku Tato Begananda, raja di lautan dan daratan. Kuperintahkan kalian meninggalkan seluruh harta benda dan barang berharga di kapal ini, dalam tiga hitungan. Kalau tidak, jangan harap aku akan memberi ampun!” perintah laki-laki berbaju kulit binatang itu sombong.

“Kisanak, kami tak peduli kau raja lautan dan daratan. Tapi jika kau perintahkan kami meninggalkan seluruh harta dan barang-barang bawaan, maka kau harus melangkahi mayat kami dulu!” sahut Ki Simbul Lumut garang.

Orang tua itu sudah menduga, siapa gerombolan ini sebenarnya. Mereka tak lain bajak laut yang biasa terdapat di perairan selat ini. Meski nama Tato Begananda tak dikenalnya, tapi bisa diduga dari sorot matanya kalau orang itu memiliki ilmu olah kanuragan yang tak rendah. Begitu juga anak buahnya. Mereka bukan orang-orang liar sembarangan.

“Huh! Begitukah keputusanmu, Orang Tua? Baik, jangan sesalkan nanti di neraka!” dengus Tato Begananda.

“Huh, apa yang perlu kutakutkan dari kalian?”

“Bangsat!” Tato Begananda memaki. Dan bersamaan dengan itu, memberi isyarat pada anak buahnya.

Slup! Slup!

“Aaakh...!”

“Yeaaa...!”

Beberapa anak buah Tato Begananda langsung meniup sumpritan yang berada di tangan mereka. Seketika, jarum-jarum beracun yang dihiasi bulu-bulu halus, berhamburan ke arah orang-orang Ki Simbul Lumut. Terdengar pekik kesakitan ketika dahi, leher, dan dada mereka tertembus senjata maut itu. Lima orang langsung ambruk tak berdaya, dua di antaranya jatuh ke laut.

“Awas! Lindungi diri kalian dari sumpritan beracun!” teriak seseorang memperingatkan kawan-kawannya.

Tapi ketika mereka akan mencari alat yang mampu melindungi diri dari serangan sumpit beracun, saat itu juga anak buah Tato Begananda melompat dengan ringan ke atas kapal sambil mengayunkan pedang dengan dahsyat. Dua orang kepercayaan Ki Simbul Lumut, yaitu Sopeng Langit dan Watan Kijang langsung menyambut. Begitu juga Sisik Naga. Putra Ki Sanjung Lugai itu mengamuk habis-habisan dengan hati penuh kegeraman.

“Keparat-keparat laknat! Mampuslah kalian semua...!”

Seluruh anak buah Perguruan Bangau Sakti yang berada di kapal, berjuang sekuat tenaga menghadapi serbuan para bajak laut itu. Kepandaian mereka rata-rata cukup bisa diandalkan, tapi orang-orang liar itu pun bukan orang sembarangan. Gerakan mereka amat cepat dan lincah menghindari serangan bagaikan kera yang melompat-lompat dari satu cabang ke cabang lain. Mereka dengan mudah menghindari kelebatan senjata lawan. Tak heran bila dalam sekejap korban terlihat bergeletakan di sana sini. Orang-orang liar itu semakin riuh bersuara, seperti binatang buas terluka.

“Keparat! Orang-orang liar jahanam, mampuslah kalian!” teriak Ki Simbul Lumut seraya mengayunkan pedang dan berhasil menyambar seorang lawan, hingga terjungkal.

Namun saat ujung pedang berkelebat hendak menyambar seorang korban, saat itu pula Tato Begananda memapaki dengan parang di tangan kanannya.

Trang!

“Orang tua busuk! Kau pikir aku akan mendiamkan kelakuanmu? Kau bagianku!”

“Huh! Kenapa tak maju sejak tadi?!”

Tato Begananda berkelebat cepat sambil mengayunkan parang di tangannya ke arah Ki Simbul Lumut. Orang tua itu bukanlah tokoh sembarangan. Di negerinya termasuk orang yang dihormati, selain Ketua Perguruan Bangau Sakti. Beliau adalah salah seorang adik seperguruan tokoh sakti itu. Maka tak heran kalau ilmu silat dan ilmu olah kanuragannya cukup tinggi. Meski Tato Begananda telah mendesak dengan sekuat daya dan kemampuan, tapi orang tua itu tidak terdesak. Kenyataan itu membuat kemarahan Tato Begananda semakin meluap. Apalagi ketika melihat seorang pemuda berbaju kulit ular mengamuk dan membinasakan banyak anak buahnya.

“Hm.... Kau lihat? Sebentar lagi anak buahmu akan habis satu persatu. Kini tiba saatnya bagimu untuk menyerah. Kami bukanlah orang-orang kejam. Kalian boleh pergi sekarang juga!” ujar Ki Simbul Lumut memberi peringatan.

“Ha ha ha...! Kau pikir siapa dirimu, berani berkata begitu padaku?” Tato Begananda tertawa terbahak-bahak.

Lelaki itu mengeluarkan sebuah topeng berwajah seram yang terbuat dari kayu dari balik bajunya. Lalu dikenakannya. Wajah tampan Tato Begananda seketika berubah menjadi wajah setan yang menakutkan. Sepasang matanya bulat lebar dengan alis tebal dan tajam. Coreng-moreng di topeng kayu itu melukiskan gambar yang tak jelas. Namun dari gigi bagian bawah, menyembul sebuah taring yang mencuat ke atas melewati bibir, hidung, hingga ke dahi.

Ki Simbul Lumut pada mulanya menduga kalau lawan adalah orang yang tidak waras. Apalagi, kemudian menari-nari beberapa saat lamanya. Namun ketika tiba-tiba saja menyerang, terkesiap juga orang tua itu. Dari bola mata di balik topeng kayu, menyebar suatu pengaruh yang membuat pikirannya mengawang tak menentu. Tenaganya perlahan melemah, dan gerakannya seperti orang mabuk. Ki Simbul Lumut berusaha memukul-mukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Tapi, tenaganya terus menyusut dengan cepat seperti diserang kelumpuhan total.

“Mampus! Hihhh...!”

Cras!

“Akh...!”

Orang tua itu hanya bisa menjerit lemah ketika parang Tato Begananda membabat lehernya hingga terpisah dari tubuh. Setelah menewaskan orang tua itu tanpa perlawa-nan yang berarti, tubuh Tato Begananda melesat dan menghajar anak buah kapal besar satu persatu. Banyak di antara mereka yang tak berdaya melawan pengaruh gaib yang dipancarkan topeng kayu yang dikenakannya. Sehingga, Tato Begananda tak ubahnya seperti membasmi orang-orang yang tak memiliki kepandaian silat.

“Bedebah laknat! Dia pikir siapa kami!” Sisik Naga menggeram dan langsung melompat sambil mengayunkan pedang ke leher lawan.

“Yeaaa...!”

Wuttt!

Tato Begananda dengan mudah mengelak, kemudian mengayunkan parangnya untuk menangkis.

Trang!

Sisik Naga terkejut merasakan telapak tangannya nyeri bukan main akibat benturan itu. Tapi mana sudi dia menunjukkan kesakitan di wajahnya. Sebaliknya pemuda itu menggeram dan menyerang lawan semakin hebat, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi aneh, pikirannya mengawang dan tenaganya terus melemah dengan cepat ketika beradu pandang dengan topeng kayu yang dipakai lawan.

“Ha ha ha...! Siapa pun tak akan mampu melawan pengaruh Topeng Setan yang kukenakan ini!” teriak Tato Begananda sambil tertawa lebar.

“Keparat...!” maki Sisik Naga. Pemuda itu mengayunkan pedang, tapi dirasakan pedang itu terlalu berat Sedangkan tenaganya lemah sekali, dan langkah kakinya tak mampu mengangkat tubuh. Pemuda itu terjungkal, tepat ketika Tato Begananda mengayunkan pedang dan menebas lehernya tanpa belas kasihan.

Cras!

“Akh...!” Sisik Naga mengeluh pelan. Darah membanjiri lantai kapal ketika kepalanya menggelinding. Dua orang terkuat di kapal itu tewas dalam waktu singkat. Akibatnya, anak buah Tato Begananda semakin merajalela. Apalagi ketika dia turun tangan sendiri. Dalam waktu singkat penumpang kapal itu binasa di tangan mereka.

“Habisi mereka, tak seorang pun boleh tertinggal!” perintah Tato Begananda.

“Semua tewas tak ada yang tersisa!” lapor salah seorang anak buahnya.

“Buang ke laut dan angkut semua barang berharga di kapal ini!” Anak buah Tato Begananda langsung menyampaikan perintah pimpinannya. Tanpa banyak tanya lagi mereka membagi dua rombongan. Sebagian membuang mayat-mayat ke laut, dan yang lain mengangkuti barang-barang berharga yang berada dalam kapal. Barang-barang itu dipindahkan ke dalam perahu-perahu kecil yang tadi mereka gunakan. Suara hiruk-pikuk terdengar beberapa saat. Air laut di sekitar kapal terlihat merah, dan dari kejauhan terlihat sirip ikan hiu berbondong-bondong mendekati mereka.

“Cepat! Tinggalkan tempat ini, sebelum hiu-hiu itu menyerang kalian!” perintah Tato Begananda. Secepat kilat mereka melesat ke perahu kecil dan membiarkan kapal besar itu terapung-apung.

“Ha ha ha...! Siapa pun yang mencoba menghalangiku, maka kematianlah yang akan didapat!” teriak Tato Begananda jumawa, sambil bertolak pinggang di perahunya. Sepasang matanya menyipit dan menatap tajam perahu besar yang semakin jauh terlihat. Topeng Setan yang tadi dikenakannya, telah diselipkan kembali ke dalam baju. Bibirnya tak lekang menampakkan senyum sinis yang selalu menghias.

***
DUA
Pantai itu terletak tak begitu jauh dari Desa Selira. Itu sebabnya, mata pencaharian utama penduduk desa dari hasil laut, yaitu sebagai nelayan. Seperti kebanyakan penduduk yang berada di pantai, sudah menjadi tradisi mengadakan upacara kurban bagi penghuni laut, agar hasil tangkapan ikan mereka lebih banyak dan penguasa laut bermurah hati.

Pada tahun ini, upacara jatuh pada minggu pertama bulan kelima. Penduduk kelihatan sudah ramai berkumpul di tepi pantai. Beberapa perahu nelayan dihiasi dengan rumbai-rumbai berwarna-warni. Sebuah perahu besar berada paling depan dari barisan perahu lain. Di dalamnya terdapat banyak orang yang masing-masing membawa bunga, kepala kerbau, dan segala macam penganan. Seorang laki-laki berbaju indah dan berikat kepala lebar, berdiri di ujung perahu dan berteriak keras.

“Upacara sesaat lagi dilaksanakan! Dimulai dari perahu ini, lalu yang lain mengikuti dengan tertib. Tabuh-tabuhan dibunyikan dengan suara yang pelan serta khidmat!”

Lalu, beberapa perahu bergerak perlahan. Dari salah satu perahu terdengar irama gending, perlahan dan bergaung bagai pengiring tembang yang semakin lama semakin mengiris hati. Orang-orang di pantai tampak berdoa sambil menundukkan kepala.

“Berhenti...!” teriak lelaki berikat kepala tadi. Kemudian, laki-laki itu memberi perintah agar setiap orang yang berada di perahu mengikuti bacaan doa yang dikumandangkannya sambil menurunkan sesajian mereka. Suara doanya bagai gerendengan ratusan tawon yang menggema. Ditingkahi irama gending yang tak putus berbunyi. Dan seseorang mengiringi bacaan doa dengan nyanyian yang melengking tinggi.

“Sang Hyang Jagad Dewa Batara, berkahilah sesajian kami. Berikanlah hasil ikan yang berlimpah pada kami. Berikanlah keselamatan pada seluruh penduduk desa kami yang melaut....”

Ketika semua sesaji telah diceburkan ke laut, mereka bersiap mengakhiri upacara. Tapi saat itu pula, salah seorang dari mereka menunjuk sebuah kapal berukuran sedang yang mendekat perlahan ke arah mereka.

“Perintahkan kapal itu untuk memutar haluan!” kata laki-laki berikat kepala lebar. Agaknya dialah pemimpin upacara ini. Salah seorang langsung berteriak memperingatkan. Tapi kapal itu terus bergerak perlahan ke arah mereka. Tentu saja membuat sebagian penduduk desa itu kesal bukan main. Upacara ini harus dilakukan khidmat, tak boleh ada yang mengganggu. Namun orang-orang yang berada di kapal itu seperti tak peduli dengan peringatan mereka.

“Perintahkan sekali lagi, dan bila mereka tak mau menurut, kalian boleh mengambil tindakan!” kata si pemimpin upacara.

Sebuah perahu berisi lima orang pemuda penduduk Desa Selira, mendekat dan berteriak keras memberi peringatan pada penghuni kapal. Namun hasilnya tetap nihil. Kapal itu terus bergerak pelan. Dengan gemas, dua orang di antara mereka melempar tambang dan naik ke atas kapal.

“Kosong! Tak ada penghuninya!” teriak seseorang dari atas kapal.

“Ada bercak darah berceceran di sini!” desis kawannya. Tak terasa bulu kuduk kedua pemuda itu bangun. Sepasang mata mereka melotot garang, memandang tak berkedip ke dek kapal yang penuh bercak-bercak darah.

“Hm.... Agaknya penghuni kapal ini telah dibantai habis-habisan. Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?” gumam pemuda yang mengenakan ikat kepala merah.

“Siapa pun yang melakukannya, pastilah mereka gerombolan orang-orang yang tak berperikemanusiaan...,” sahut kawannya yang bermata juling.

“Lihat! Di atas tiang paling tinggi terdapat bendera!”

Kedua pemuda itu memperhatikan bendera hijau bertambang sebilah pedang dan di atasnya tergambar seekor burung bangau putih tengah mengepakkan sayap.

“Apa pikiranmu? Bukankah ini kapal sebuah perguruan silat?” tanya pemuda berikat kepala merah.

“Hm.... Aku jadi teringat. Perguruan Batu Kumala sedang mengadakan perayaan. Banyak perguruan silat yang mereka undang. Mungkin penghuni kapal ini salah satu perguruan silat yang mereka undang.”

“Tak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Kita harus memutar kapal ini agar tak mengganggu upacara. Nanti, setelah upacara selesai kita beri tahu orang-orang Perguruan Batu Kumala,” kata pemuda yang berikat kepala merah.

Kedua pemuda itu mengendalikan kapal setelah terdengar teriakan peringatan pada mereka. Sementara tiga orang kawannya yang menunggu di perahu, kembali bergabung dengan para pengikut upacara lainnya.

***

Halaman depan Perguruan Batu Kumala ramai oleh umbul-umbul berwarna-warni. Bangku-bangku panjang berjejer di setiap sudut halaman. Pada bagian depan bangunan terdapat beberapa buah kursi mewah yang berjajar. Dan pada jarak tiga tombak di depannya, terdapat sebuah panggung seluas dua kali tiga tombak dengan tinggi kira-kira sepuluh jengkal dari permukaan tanah. Tampak lebih dari dua puluh orang murid-murid Perguruan Batu Kumala mondar-mondir di setiap sudut menyiapkan segala sesuatunya.

Besok adalah hari ulang tahun Ki Satya Dharma, Ketua Perguruan Batu Kumala. Orang tua yang disegani semua kalangan persilatan itu genap berusia tujuh puluh tahun. Mulanya beliau tak setuju dengan perayaan itu. Namun beberapa orang murid berhasil meyakinkannya, bahwa tujuan terpenting dari perayaan itu untuk meningkatkan hubungan persahabatan di antara sesama perguruan.

Sore ini segalanya telah siap. Beberapa perguruan silat yang diundang, telah berdatangan. Umumnya mereka berasal dari tempat yang jauh. Tapi Perguruan Batu Kumala memiliki bangunan yang cukup besar dan menyediakan beberapa ruangan bagi para undangan, sehingga semua tamu dapat bermalam di tempat itu.

Sementara itu di sebuah ruangan di bagian utama bangunan Perguruan Batu Kumala, Ki Satya Dharma tengah menerima dua orang tamu. Wajah orang tua itu tampak terkejut setelah mendengar cerita dua orang pemuda Desa Selira yang berkunjung ke tempatnya. Demikian pula para murid utama yang hadir di ruangan itu.

“Apakah Eyang menduga kalau kapal itu milik Perguruan Bangau Sakti dari negeri seberang?” tanya salah seorang muridnya dengan suara pelan. Ki Satya Dharma tidak menjawab. Bahkan kepalanya menoleh pada salah seorang murid yang duduk di sampingnya.

“Jagakarsa, bersediakah kau menolongku memeriksa isi kapal?”

“Bersedia, Eyang. Aku akan berangkat sekarang juga bersama beberapa orang kawan,” jawab seorang laki-laki berbadan tegap dan berkumis tipis seraya memberi hormat pada orang tua itu.

“Kisanak, beribu terima kasih kuucapkan kepada kalian yang telah memberitahukan berita ini kepada kami. Sudilah kalian mengantarkan murid-muridku ke kapal itu, untuk memeriksa isinya dan mencari tahu siapa pelaku semua ini,” ujar Ki Satya Dharma dengan suara lunak.

“Ah! Kami hanya sekadar menjalan kewajiban, Eyang. Kau dan murid-muridmu telah berbuat banyak bagi desa kami. Kalau tak ada kalian, entah apa jadinya kami saat diserang kawanan bajak laut beberapa bulan lalu,” sahut salah seorang pemuda Desa Selira itu.

“Sudahlah. Jangan terlalu membebani pikiran kalian atas pertolongan kami yang tak seberapa.”

“Kalau begitu kami mohon pamit, Eyang.”

Ki Satya Dharma mengangguk sambil tersenyum ramah. Setelah memohon diri, Jagakarsa beserta lima orang kawannya mengikuti kedua pemuda Desa Selira.

“Eyang, siapa kira-kira pelaku kebiadaban itu?” tanya seorang muridnya dengan nada geram setelah orang-orang tadi berlalu dari ruangan.

“Hm.... Aku sendiri tak bisa memastikan. Mungkinkah dari kawanan bajak laut yang pernah kita tumpas dahulu? Tapi tak mungkin. Berdasarkan cerita kedua pemuda itu, aku percaya kalau kapal itu membawa rombongan Perguruan Bangau Sakti. Mereka orang hebat dan ketuanya sendiri adalah tokoh yang sulit dikalahkan oleh orang-orang sembarangan.”

“Apakah itu perbuatan suatu kelompok yang tak ingin persahabatan antara kita dan negeri seberang terjalin akrab?” tanya murid yang lain.

“Bila ada orang yang berbuat demikian dengan alasan yang tak kita ketahui untungnya, rasanya hal itu tak masuk akal. Apa perlunya kelompok itu menghalangi persahabatan yang kita jalin?” timpal seorang murid yang lain.

“Apa yang kalian duga tidak salah. Tapi kita tidak tahu, apa yang mereka mau dengan perbuatan biadab itu. Yang jelas, mereka tak bekerja sendiri. Mustahil rombongan itu dapat dihabisi oleh seorang tokoh, mengingat mereka bukan orang- orang sembarangan,” ujar Ki Satya Dharma, menengahi perdebatan kedua muridnya.

“Apa yang akan kita lakukan, Eyang? Apakah tak mungkin kalau kelompok itu mulai mengintai kita?” tanya seorang muridnya menduga-duga.

Ki Satya Dharma mulai berpikir setelah mendengar prasangka muridnya. Tapi apa urusannya bila ada suatu kelompok hendak mengacaukan mereka? Dan apa untungnya bagi mereka mengganggu pesta perayaannya? Orang tua itu baru saja ingin memerintahkan beberapa muridnya untuk lebih berjaga-jaga, ketika terdengar keributan di halaman depan.

Bersamaan dengan murid-muridnya yang berada di ruangan itu, dia langsung bangkit menuju halaman depan. Beberapa murid Perguruan Batu Kumala tampak sedang bertempur dengan orang-orang liar yang mengenakan cawat terbuat dari kulit binatang. Wajah mereka penuh coreng-moreng, dan di tangan masing-masing tergenggam sebilah parang panjang dan tajam.

Beberapa orang menggunakan senjata sumpritan. Di antara yang bertempur tampak juga murid-murid Perguruan Merak Emas dan Perguruan Gunung Tidar yang membantu menghalau orang-orang liar itu. Kedua perguruan itu memang telah tiba pagi tadi untuk menghadiri perayaan ulang tahun Ki Satya Dharma.

“Apa yang terjadi di sini?! Hentikan pertarungan!” bentak Ki Satya Dharma dengan suara keras.

Mendengar suara yang keras itu, murid-murid Perguruan Batu Kumala dan dua perguruan lain serentak menghentikan serangan. Tapi lawan-lawan mereka tak peduli. Kalau saja tak ada seseorang dari mereka yang memberi isyarat, niscaya mereka akan terus menggempur lawan-lawannya.

“Kaukah ketua perguruan ini?”

Ki Satya Dharma menyipitkan mata. Yang bertanya adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dengan rambut digelung ke belakang. Berbeda dengan yang lainnya, orang ini mengenakan baju yang cukup rapi, terbuat dari kulit binatang. Wajahnya tampan namun sorot matanya tajam penuh sinar kebencian. Tak ada senyum sedikit pun menghiasi bibirnya. Di tangannya tergenggam sebilah parang panjang seperti yang dipakai kawan-kawannya. Sekilas saja, Ki Satya Dharma dapat menduga kalau laki-laki ini ketua gerombolan itu.

“Betul. Siapa kau, Kisanak? Barangkali aku lupa mengundang kawan sendiri dalam pestaku ini. Maafkanlah atas kealpaanku. Tapi, bukankah soal itu dapat dibicarakan baik-baik dengan cara yang lebih terhormat?” suara Ki Satya Dharma terdengar lunak dengan sedikit senyum dan sikap hormat pada tamunya.

“Aku Tato Begananda, penguasa daratan dan lautan. Kuperintahkan kalian semua berlutut!” kata orang itu dengan sikap angkuh dan menuding telunjuknya ke bawah.

“Kurang ajar!” salah seorang murid tertua Perguruan Batu Kumala langsung memaki.

“Huh! Anak muda besar kepala!” dengus Ki Patih Meluwa, Ketua Perguruan Merak Emas yang berdiri di sebelah kiri Ki Satya Dharma.

“Ki Satya Dharma, biarlah anak tak tahu adat ini ku urus!” geram Ki Danur Brata, Ketua Perguruan Gunung Tidar, yang langsung melangkah lebar.

Tapi Ki Satya Dharma memberi isyarat pada orang tua berusia sekitar lima puluh tahun lebih itu agar bersabar. Dia sendiri kemudian memandang Tato Begananda dengan bibir tersenyum.

“Kisanak, aku Satya Dharma. Selamanya selalu menghormati setiap tamu yang hadir di tempat ini. Begitu juga dengan kalian. Tapi penghormatan itu bukan berarti kami harus berlutut kepadamu. Harap kalian maklum kalau kami tak bisa melakukannya, dan menjadi tersinggung karenanya,” katanya lunak.

“Hm, begitukah! Baiklah, kalau demikian kami harus memaksa kalian untuk melakukannya!”

“Bocah keparat! Kau pikir dirimu siap, mau besar kepala di hadapan kami?!” Ki Danur Brata yang agaknya sudah tak sabar lagi, langsung berkelebat dan menyerang Tato Begananda dengan hati penuh rasa geram.

“Yeaaa...!”
Wukkk!
“Uts...!”

Tapi sebelum gerakan orang tua itu mendekat ke arah lawan, belasan orang-orang liar yang mukanya penuh coreng-moreng langsung mengayunkan parang mereka, menghadang Ki Danur Brata. Tentu saja orang tua itu terkejut dan jungkir balik menghindari serangan lawan-lawannya.

“Keparat! Manusia-manusia terkutuk, mampuslah kalian kalau berani menghalangiku!” dengus Ki Danur Brata sambil mencabut kerisnya.

Trak! Wuuut!

Orang tua itu mengamuk hebat. Hatinya geram bukan main. Dalam keadaan begitu, ingin rasanya menghabisi lawan secepatnya. Tak heran kalau seluruh kemampuannya langsung dikeluarkan. Tapi alangkah terkejutnya Ki Danur Brata ketika melihat kenyataan kalau lawan-lawannya bukanlah orang sembarangan. Bahkan perlahan-lahan orang tua itu terlihat mulai terdesak. Ki Danur Brata bersungut-sungut sambil mendengus geram.

Sementara, Ki Satya Dharma dan yang lain bukan tidak tahu gelagat itu. Dia yang tadi mendiamkan perbuatan tamunya, kini mulai merasa khawatir dan memberi isyarat pada murid-muridnya untuk membantu orang tua itu.

“Diamlah di tempat kalian! Jangan mempermalukan diriku dengan bantuan konyol itu!” bentak Ki Danur Brata.

Murid-murid Perguruan Batu Kumala jadi serba salah. Orang tua itu berkeras tak mau dibantu. Tapi kalau mereka tak membantu, bisa dipastikan kurang dari lima jurus lagi orang tua itu akan dapat dirobohkan lawan-lawannya.

“Eyang Danur Brata adatnya keras, tak suka dibantu bila sedang bertarung,” bisik seorang murid Perguruan Gunung Tidar dengan suara lirih.

Mendengar penjelasan itu, tak heran ketika melihat ketuanya mulai terdesak, tak seorang pun di antara mereka yang bergerak membantu. Padahal kalau melihat wajah-wajah mereka, terbias kegeraman yang amat sangat melihat gurunya dikeroyok begitu rupa. Dan salah seorang dengan berani berteriak pada gurunya.

“Eyang, biarkan kami membantumu. Mereka bukan orang-orang sembarangan!”

“Sial kau! Apa kau pikir aku tak mampu menghadapi mereka?! Kau hanya mengecilkan gurumu saja!”

Murid itu mendengus kesal. Sementara gurunya makin terdesak. Beberapa goresan luka senjata lawan mulai menghajar dirinya. Bahkan dalam suatu kesempatan Ki Danur Brata terpekik, saat parang lawan menghajar perutnya sampai robek. Dan orang tua yang keras hati itu melompat ke belakang dengan telapak kiri mendekap perut. Tangan kanannya terkepal di pinggang. Dengan muka geram, kepalan tangan kanannya disorongkan ke depan. Maka, saat itu pula menderu selarik sinar kuning menyilaukan mata ke arah lawan-lawannya. Itulah pukulan andalannya yang bernama 'Lahar Gunung Tidar'. Siapa pun yang terkena pukulan itu, tubuhnya akan lumer seperti daging terbakar!

“Hiyaaat...!”

Tato Begananda yang sejak tadi memperhatikan sepak terjang anak buahnya, tiba-tiba melompat dengan satu teriakan nyaring. Telapak kirinya didorong, dan seketika melesatlah secercah sinar ungu yang menghadang pukulan lawan.

Glarrr...!

Terdengar ledakan keras, disusul asap hitam mengepul ke udara akibat benturan dua pukulan dahsyat tadi.

“Aaa...!” Ki Danur Brata terpekik. Tubuhnya terlempar persis di kaki Ki Satya Dharma dalam keadaan tak bernyawa lagi. Muka dan tubuhnya rusak berat, lehernya nyaris putus tersabet senjata lawan. Tak jauh dari situ, Tato Begananda dengan wajah keras dan garang mendengus sinis, berdiri tegak memandang mereka.

“Eyang...!”

Murid-murid Perguruan Gunung Tidar menjerit keras dan mengerumuni mayat Ki Danur Brata. Salah seorang malah langsung bergerak cepat menyerang Tato Begananda.

“Jahanam keparat! Kau harus membayar kematian guruku dengan pembalasan yang setimpal!”

“Huh! Kecoa busuk! Kau hanya mengantar nyawa kepadaku!” dengus Tato Begananda.

Wuuut!
“Yeaaat...!"
Trak.... Breeet!
“Aaa...!”

***
TIGA
Ki Satya Dharma dan yang lainnya tersentak ketika melihat seorang murid Perguruan Gunung Tidar kembali tewas dalam keadaan yang nyaris mirip gurunya. Melihat keadaan semakin panas dan tamu-tamu tak diundang itu makin liar, darah orang tua itu mulai bergolak.

“Kisanak, sudikah kau membantuku menghalau orang-orang liar itu, sementara aku akan menggebuk ketuanya?” ucap Ki Satya Dharma kepada Ki Patih Meluwa.

“Jangan khawatir, Ki!”

“Syukurlah.... Hati-hati, mereka bukan orang sembarangan. Jangan terlalu keras kepala. Kalau memang tak mampu menghadapinya seorang diri, biarkan murid-murid membantumu.”

“Baiklah, Ki.”

Setelah itu, Ki Satya Dharma melangkah mendekati lawan dan berhenti setelah jarak mereka terpaut kurang lebih sepuluh jengkal. Matanya tajam memandang Tato Begananda.

“Kisanak, sikapmu sungguh keterlaluan. Datang tanpa diundang, kemudian mengacau dan membunuh tamu-tamuku. Sebagai tuan rumah, aku tak bisa membiarkan kau berbuat sesuka hatimu. Suka atau tidak, kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” kata Ki Satya Dharma dengan suara tegas.

“Ha ha ha...!

Orang tua busuk, bisa berbuat apa kau padaku? Berlututlah, atau sebentar lagi kau tak akan melihat dunia ini!”

“Anak muda sombong! Perlihatkan padaku bahwa kau memang pantas bersikap seperti malaikat maut!” dengus Ki Satya Dharma seraya membuka jurus.

Hal seperti itu jarang dilakukannya, memulai lebih dulu suatu pertarungan. Tapi sikap Tato Begananda dianggapnya sudah keterlaluan sekali, dan tak mungkin baginya menghindar dari lawan, cepat atau lambat. Anak buah Tato Begananda bersiap hendak menyerang orang tua itu, namun saat itu juga Ki Patih Meluwa bergerak cepat menghadang. Wajah-wajah lawan tampak beringas dan siap menyerang.

“Hm ... Bagus. Rupanya kau telah menyiapkan segalanya. Tapi jangan harap akan mampu mengalahkan kami! Majulah kau, Tua Bangka!” dengus Tato Begananda sambil mengayunkan parangnya.

Ki Satya Dharma memandang tajam. Ujung pedangnya digerakkan lurus dengan siku, menghadap ke belakang. Tubuhnya sedikit miring ke kanan. Meskipun tadi Tato Begananda memerintahkan orang tua itu untuk bergerak lebih dulu, tapi ternyata dialah yang lebih dulu menyerang.

“Yeaaat...!”
Trak! Trang!

Kedua senjata mereka beradu cepat dengan pengerahan tenaga dalam kuat, hingga menimbulkan percikan bunga api. Beberapa kali keduanya berusaha menyambar bagian tubuh lawan yang kelihatan terbuka, tapi saat itu pula senjata lawan menangkis dan kembali berbalik menyerang. Pertarungan itu berlangsung cepat, sulit diikuti pandangan mata orang yang ilmunya rendah.

Sementara itu, anak buah Tato Begananda telah bergerak mengurung Ki Patih Meluwa. Dengan mengeluarkan teriakan dahsyat, mereka menyerbu orang tua itu seperti kawanan serigala mengeroyok mangsa. Ki Patih Meluwa sejak tadi telah bersiap dengan senjata ruyung mautnya yang terbuat dari baja pilihan.

“Yeaaa...!”
“Hiyaaat...!”
Trak! Trak!

Meskipun orang tua itu berusaha mendesak ingin menghabisi lawan-lawannya, namun hal itu tak mudah dilakukan. Ki Patih Meluwa sendiri terkejut dan baru menyadari kalau lawan-lawan yang sedang dihadapinya bukan orang-orang sembarangan. Walau telah mengerahkan segenap kemampuannya, tapi orang-orang itu sedikit pun tak mengalami kesulitan mem-bendung serangannya. Bahkan kalau tak hati-hati menghindar, senjata lawan akan menyambar dan melukai dirinya.

Trak! Cras!
“Akh...!”

Ki Patih Meluwa mengeluh kesakitan, ketika bahu kirinya disambar ujung senjata salah seorang lawan. Beruntung dia cepat melompat dan menghindar dari serangan berikutnya. Kalau tidak, pasti kepalanya akan terpisah dari tubuh. Orang tua itu menggeram dan wajahnya terlihat kaku. Dan sambil berteriak keras, dia melompat dengan ruyung berputar-putar menyambar ke sana kemari. Pada saat yang bersamaan, salah seorang muridnya berteriak.

“Eyang, biarkan kami membantumu...!”

Ki Patih Meluwa hanya diam saja. Agaknya, muridnya itu tak ingin peristiwa yang menimpa Ki Danur Brata terulang kembali. Tanpa mempedulikan persetujuan gurunya, dia langsung ikut menyerang lawan-lawan Ki Patih Meluwa. Melihat orang tua itu tak berusaha mencegah, murid-muridnya yang lain satu persatu menyerbu orang-orang liar yang hanya mengenakan cawat itu. Kini, keadaan pertarungan menjadi terbalik. Bukan saja mereka berhasil menyamakan kedudukan, tapi perlahan-lahan dapat mendesak lawan- lawannya.

“Hiyaaat...!”
“Mampus!”
“Yeaaat..!”
Cras! Bret!
“Aaa...!”

Terdengar pekik kesakitan dari orang-orang liar dengan muka penuh coreng-moreng itu. Beberapa orang di antaranya terjungkal bermandikan darah. Sementara gabungan murid ketiga perguruan itu mengamuk seperti kerasukan setan, dan korban di pihak lawan terus berjatuhan. Kedudukan memang tak seimbang. Meski lawan memiliki kemampuan ilmu silat yang cukup tinggi, namun jumlah ketiga perguruan silat itu sangat banyak, sehingga satu orang paling sedikit menghadapi tiga orang lawan. Maka tak heran bila Tato Begananda tak berteriak nyaring untuk menghentikan pertarungan, anak buahnya pasti akan tersapu bersih.

“Keparat laknat! Hadapilah aku...!”

Ki Satya Dharma tercekat. Tiba-tiba saja lawan berjumpalitan beberapa kali di udara dan bergerak menghindarinya. Ketika dia bermaksud mengejar, lawan berbalik dengan cepat. Wajah Tato Begananda kini telah ditutupi sebuah topeng yang amat aneh. Sepasang mata lebar memancarkan pengaruh kuat dengan coreng-moreng warna-warni. Dari gigi tengah bagian bawah, mencuat sebuah taring yang kuat dan panjang hingga ke dahi.

“Yeaaa...!”

Ki Satya Dharma merasa tenaganya seperti tersedot ke arah lawan dan tubuhnya lemas bukan, main. Lelaki itu membuang diri ke tanah ketika Tato Begananda mengayunkan parang ke arah lehernya.

Crak! Crak!

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, orang tua itu terus berguling-guling di tanah menghindari bacokan lawan. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Dengan satu sapuan cepat, Ki Satya Dharma menjerit kesakitan ketika tulang keringnya dihantam kaki lawan. Orang tua itu heran. Dalam keadaan, biasa, tendangan itu tak akan berakibat apa-apa. Tapi kali ini terdengar bunyi berderak, menandakan tulang kakinya patah!

Belum lagi sempat menguasai diri, saat itu juga terlihat sekilas cahaya berkilat menimpa matanya. Ki Satya Dharma tercekat, dan hanya sempat mengeluh pendek. Kepalanya menggelinding jauh, dan dari pangkal leher mengucur darah segar seperti tiada henti.

“Eyang...!”

Murid-murid Perguruan Batu Kumala seperti tersihir. Mereka hanya dapat berteriak lemah. Begitu juga dengan yang lain. Tenaga mereka seperti terkuras habis ketika menatap Tato Begananda yang mengenakan topeng kayu. Tapi meskipun begitu, beberapa orang bergerak dengan sisa tenaga yang ada untuk menyerang laki-laki itu. Termasuk di antara orang-orang itu adalah Ki Patih Meluwa.

“Yeaaa...!”
Cras! Breeet!

“Akh...!”

Sekali Tato Begananda bergerak, terdengar keluh kesakitan. Mereka ambruk dengan nyawa melayang dan tubuh penuh luka. Bersamaan dengan itu, anak buahnya kembali menyerang sisa- sisa murid ketiga perguruan. Dengan sadis dan tak berperikemanusiaan mereka membasminya satu persatu. Sungguh aneh! Mereka merasakan tenaganya menurun cepat, sehingga seperti berhadapan dengan belasan tokoh berilmu tingkat tinggi tiada bandingan.

“Ayo, habiskan mereka! Tak seorang pun boleh menghinaku!” teriak Tato Begananda memberi semangat.

Namun sebelum semua murid ketiga perguruan itu mereka tumpas habis, tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang langsung mengamuk dan menghajar orang-orang liar tersebut

“Yeaaat..!”
Desss! Dukkk!
“Aaakh...!”

“Setan...!” dengus Tato Begananda geram. Beberapa orang anak buahnya terpental saling menjerit kesakitan, terkena hajaran orang yang baru datang. Dengan satu lompatan ringan, orang itu langsung dihadangnya.

“Setan keparat! Hadapilah aku! Yeaaat..!”

“Hup!"
Plak! Plak!
“Hih!”

Tato Begananda tak perlu menunggu lama, sebab orang itu langsung menyerangnya dengan kekuatan penuh. Tato Begananda cepat menyambut dan memapaki serangan lawan, kemudian terlihat tubuhnya berputar dua kali sambil mengayunkan tendangan. Namun lawannya bukanlah orang sembarangan. Tubuhnya dengan cepat berkelit dan melompat beberapa kali sebelum tegak berdiri di depan lawan.

Kini orang itu dapat terlihat jelas. Dia adalah seorang laki-laki tua berjenggot seperti kambing dengan pancaran mata tajam menusuk. Bajunya berwarna merah kembang-kembang dengan dasar putih, terlihat kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang sedikit kurus. Rambutnya yang telah memutih dan panjang dibiarkan tergerai ke belakang.

“Manusia laknat bertopeng kayu, siapa kau sebenarnya dan ada urusan apa membuat kekacauan di sini?!” bentak orang itu garang.

“Aku Tato Begananda, penguasa seluruh jagat. Siapa kau, berani berkata lancang kepadaku?!”

“Huh! Manusia busuk sepertimu memang tak bisa diberi hati. Biarlah aku si tua Sembiring, yang akan mengajarimu bersikap sopan pada orang lain!”

Dengan geram orang tua bernama Ki Sembiring itu kembali melompat cepat, dengan kedua tangan siap menghantam lawan. Nama tokoh itu sangat dikenal dalam rimba persilatan. Dia adalah seorang tokoh kosen yang ilmu silat tangan kosongnya sangat hebat. Tak heran bila kalangan persilatan menjulukinya, Tangan Kilat Penguasa Jagat. Tapi ketika berhadapan pada jarak dekat, orang tua itu merasakan keanehan melanda tubuhnya. Tenaganya seperti tersedot dan pikirannya menerawang tak menentu. Itu terlihat dari serangan-serangannya yang mulai kacau dan tak bertenaga.

“Ha ha ha...! Apakah kau pikir mengandalkan nama besarmu mampu mengalahkanku? Orang tua busuk, ajalmu sebentar lagi tiba!”

Tato Begananda memang tak main-main dengan kata-katanya. Parangnya berkelebat cepat menyambar lawan. Ki Sembiring terperangah. Dan berusaha sekuat tenaga menghindar. Sementara keringat dingin mulai mengucur deras dari pori-pori tubuhnya. Orang tua itu semakin heran merasakan perubahan hebat dalam tubuhnya. Dia seperti tak berdaya sedikit pun menghadapi lawan yang semakin bernafsu menghabisi nyawanya.

“Yeaaah...!”
Plak! Crasss!
“Akh...!”

Ki Sembiring hanya bisa mengeluh pelan. Perutnya kena disodok dengan keras, ketika sebelah tangannya menangkis pukulan lawan. Isi perutnya seperti diaduk-aduk tak karuan. Belum lagi menyadari apa yang terjadi, senjata lawan dengan cepat menyambar dadanya. Terdengar suara bergemeretak ketika tulang dadanya patah. Ki Sembiring terkulai dengan tubuh bermandikan darah. Napasnya putus seketika. Bersamaan dengan itu, anak buah Tato Begananda pun telah selesai menghabisi lawan-lawannya. Tokoh sesat ini tertawa nyaring sebelum meninggalkan tempat itu.

“Ha ha ha...! Siapa pun yang berani menghalangi niatku menjadi penguasa jagat, maka mampuslah akibatnya!”

***

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tengah duduk mematung memandangi dua orang gadis yang tengah bertarung sengit. Kedua gadis itu sama-sama tangguh, dan sama-sama bernafsu menjatuhkan lawan. Mulanya pemuda berompi putih itu tak begitu memperhatikan pertarungan itu. Tapi ketika seorang pemuda berusia sebaya dengannya hadir di tempat itu dan berusaha melerai perkelahian, dia mulai mengerti bahwa ketiga muda-mudi itu tak lain saudara-saudara seperguruan.

“Sudahlah Ganatri! Dewi! Apa yang kalian perebutkan sampai berkelahi seperti ini?!”

“Diam kau, Kakang Wangsa! Jangan campuri urusan kami!” sahut gadis berbaju putih.

“Tapi Dewi, tak baik kalian berbuat begini. Apalagi kalau guru sampai mengetahuinya. Beliau pasti akan menghukum kalian!”

“Huh! Anak centil ini harus diberi pelajaran dulu, baru aku mau menyudahinya!” dengus gadis berbaju putih yang dipanggil Dewi.

“Siapa yang centil? Kaulah yang mulai mencari gara-gara!” sahut gadis berbaju hijau sengit.

“Ganatri, sudahlah! Untuk apa kalian teruskan perkelahian ini?!”

“Bukan aku yang memulai, Kakang Wangsa! Tapi Kak Dewi yang mulai menyerangku tanpa sebab.”

“Diam kau! Semua ini gara-garamu. Kalau bukan kau yang memulai lebih dulu, mana mungkin aku memulainya!”

“Sudah..., sudah! Hentikan pertarungan ini atau aku akan bertindak keras?!”

Tapi ancaman Wangsa sama sekali tidak digubris. Pemuda berbaju kuning yang bernama Wangsa itu uring-uringan sendiri. Agaknya kedua gadis itu mengerti betul, kalau pemuda itu tak akan berani bertindak keras kepada mereka. Kedua gadis itu kembali bertempur dengan sengit seperti hendak saling berbunuhan. Apalagi ketika keduanya sudah saling menggunakan pedang. Wangsa hanya bisa berteriak-teriak melerai, namun tak sedikit pun kedua gadis itu mau mengurungkan niatnya untuk terus bertarung.

“Murid-murid goblok! Apa yang kalian perebutkan sampai bertarung mati-matian?!”

Trang! Trang!
“Heh?!”
“Eyang Guru...!”

Ketiga muda-mudi itu cepat berlutut ketika seorang perempuan tua dengan rambut panjang memutih, tiba-tiba melesat dan menghantam pedang di tangan kedua gadis itu hingga terpental. Sepasang matanya memandang tajam. Sementara di tangan kanannya terdapat sebilah pedang tajam berkilat Meskipun tubuhnya kurus, namun saat berdiri terlihat gagah dan kokoh.

“Tak malukah kalian, bertarung memperebutkan pepesan kosong? Apa kata orang jika mengetahui murid-murid Nyai Nipah berkelahi dengan saudara sendiri. Bukannya membantu mereka yang lemah dan lebih membutuhkan pertolongan atau membasmi penjahat-penjahat yang sering mengacau!”

“Ampunkan kami, Eyang Guru....”

“Huh! Kau Wangsa, sebagai murid tertua, apa yang bisa kau lakukan untuk membimbing adik-adik seperguruanmu?!”

“Ampun, Eyang Guru. Aku memang salah dan tak berguna....”

Perempuan tua yang bernama Nyai Nipah itu menyarungkan pedang dan memandang murid-muridnya satu persatu. “Coba katakan padaku, persoalan apa yang membuat kalian sampai berkelahi?”

Kedua gadis yang bernama Ganatri dan Dewi diam membisu, tak mampu menjawab.

“Ayo katakan!” bentak Nyai Nipah dengan suara keras.

“Eh! Ng..., tidak ada persoalan yang penting, Eyang...,” Dewi menyahut dengan pelan sekali.

“Goblok! Kalau tak ada persoalan penting, kenapa kalian sampai berkelahi?! Ganatri, katakan yang sebenarnya!”

Ganatri hanya menundukkan wajah dalam-dalam.

“Sial! Kalau kalian tak mengatakannya, maka jangan harap bisa lepas dari hukumanku. Ayo katakan! Sampai pada hitungan ketiga kalian tak mengatakan, maka bersiaplah menerima hukuman! Satu...!” Nyai Nipah mulai menghitung. Ketiga muda-mudi itu mulai gelisah. Mereka saling berpandangan dengan wajah ragu. “Dua...!”

Wajah Ganatri pucat, Dewi gelisah, sedang Wangsa jadi salah tingkah. Mereka tahu betul, kalau gurunya berkata begitu maka itu pasti akan dilakukannya. Dulu saja ketika Wangsa berbuat kesalahan, Nyai Nipah menghajarnya habis-habisan sampai babak-belur. Tapi, apakah mereka harus mengatakan persoalan yang sebenarnya? Apa nanti Nyai Nipah tidak tambah murka?

“Ti....”

“Ha ha ha...! Nyai Nipah, kenapa matamu buta dan telingamu tuli, sampai tak tahu persoalan murid-muridmu sendiri?”

“Heh...?!” Hitungan terakhir perempuan tua itu terhenti ketika sesosok tubuh berkelebat dan berdiri tegak di depan mereka.

Seorang laki-laki tua berambut panjang tergerai dan bertubuh pendek. Dia memakai baju kembang-kembang yang agak kebesaran. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu yang cukup panjang. Wajah orang tua itu bulat dan selalu berminyak.

“Selapati, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nyai Nipah yang agaknya mengenali laki-laki tua itu.

“Hm.... Sudah lama sekali aku tak mengunjungi kekasihku. Begitukah caramu menyambut kekasih yang datang dari jauh?” sahut orang tua yang bernama Selapati itu.

***
EMPAT
“Selapati, aku sedang tak ingin bercanda. Ada keperluan apa kau datang ke sini?” tanya Nyai Nipah tegas.

“Ha ha ha...! Sifatmu masih seperti dulu, tegas dan garang. Baiklah.... Tapi, tak sopan rasanya bicara di sini. Apa kau tak mempersilakan aku mampir ke tempatmu? Atau barangkali kau hendak menyelesaikan persoalan murid-muridmu lebih dulu? Siapa tahu aku bisa sedikit membantu.”

“Hm.... Apa yang kau ketahui tentang murid- muridku?”

“Aku memang tak tahu banyak. Tapi kalau mengenai mereka berkelahi, aku sempat mencuri dengar. Kalau tak salah, mereka memperebutkan murid laki-lakimu itu....”

“Apa...?!” Nyai Nipah melotot garang pada kedua murid perempuannya.

“Nyai Nipah, itulah kau. Sejak muda tak mau tanggap soal-soal begini, jadi sampai muridmu bertikai karena soal sederhana pun kau tak mengerti.”

“Dewi! Ganatri! Benarkah apa yang dikatakan Ki Selapati, kalau kalian berkelahi karena memperebutkan Wangsa?!” bentak Nyai Nipah garang.

Ganatri dan Dewi hanya diam membisu.

“Katakan atau kedua telinga kalian ku potong saat ini juga!”

Tetap tak ada jawaban dari kedua gadis itu. Bahkan mereka tampak menggigil ketakutan.

“Sudahlah, Nyai. Kenapa susah-susah segala. Bukankah kau memiliki dua murid laki-laki dan dua wanita. Jodohkan saja mereka buru-buru,” kata Ki Selapati.

Nyai Nipah mendelik garang. “Bicara apa kau? Murid laki-lakiku hanya seorang!”

“Hm.... Jadi, siapa pemuda berbaju rompi putih itu?” tunjuk Ki Selapati ke satu arah.

Nyai Nipah mengikuti arah telunjuk Ki Selapati dan melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih, tengah bermalas-malasan di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Nyai Nipah melangkah lebar mendekati pemuda yang tak lain Rangga, atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, berdiri tepat di mukanya. Sepasang matanya menatap tajam dengan wajah menunjukkan ketidaksenangan.

“Siapa kau?! Dan apa yang dikerjakan di sini?”

“Eh! Ng..., maaf! Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini...,” sahut Rangga seraya bangkit dan memberi penghormatan kepada perempuan tua itu.

Nyai Nipah diam tak memberikan tanggapan. Diamatinya pemuda itu dari ujung rambut sampai ke kaki. “Kulihat kau membawa pedang di punggungmu, paling tidak kau bukan orang biasa. Mustahil kalau hanya kesasar ke sini, tanpa maksud-maksud lain yang licik,” ujar Nyai Nipah curiga.

“Nisanak, maksud licik apakah yang kau maksudkan? Apakah kau ingin mengatakan bahwa aku ke sini karena mengetahui kau memiliki harta karun yang berlimpah? Atau barangkali kau memiliki benda pusaka yang langka? Kalau kau menuduhku begitu, kau salah alamat. Jangankan namamu dan daerah ini, bahkan aku sendiri tadinya tak tahu bahwa di tempat ini ada penghuninya. Sampai kedua muridmu itu datang dan tiba-tiba saja berkelahi. Kalau memang kau tak suka dan curiga dengan kehadiranku, baiklah. Aku tak ingin memperpanjang persoalan. Biarlah aku pergi saja,” ujar Rangga sambil melangkah pelan.

“Tunggu!”

“Ada apa lagi, Nisanak?”

“Huh! Tak akan kubiarkan kau seenaknya berlalu dari tempatku ini, sebelum aku yakin betul bahwa kau tak mempunyai maksud-maksud buruk di sini!”

“Nisanak, aku tak ingin memperpanjang urusan. Dengan cara apa aku bisa meyakinkanmu, bahwa kedatanganku ke tempat ini hanya kebetulan dan tak membawa maksud buruk seperti dugaanmu.”

“Bagus! Buktikanlah dengan caraku!”

Sring...!

Rangga menggeleng lemah ketika melihat perempuan tua itu mencabut pedang dan memasang jurus, siap untuk menyerang. “Nisanak, tak bisakah kita bicara baik-baik tanpa menggunakan kekerasan?”

“Justru aku telah bicara baik-baik, tapi kau malah menyulitkanku dengan berpura-pura bodoh!”

“Apakah aku harus mengakui apa yang sebenarnya tak kulakukan?”

“Tutup mulutmu! Buktikanlah sekarang juga bahwa kata-katamu benar!” bentak Nyai Nipah sambil menyambar leher Rangga dengan ayunan pedangnya.

“Uts! Nisanak, sabarlah sedikit....”

“Yeaaa...!” Tanpa mempedulikan kata-kata Rangga, Nyai Nipah kembali menyerang dengan sengit ketika serangan per-tamanya dapat dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah.

“Nisanak, aku tak ingin memperpanjang urusan. Tidakkah kau bisa mengerti?”

Tapi ucapan Pendekar Rajawali Sakti hanya ditanggapi dengan serangan-serangan yang semakin ganas. Rangga jadi kesal dibuatnya. Serangan perempuan tua itu tampak hebat dan mematikan, seperti menghadapi musuh besar saja layaknya. Rangga percaya, kalau terus-terusan mengelak pasti ujung pedang lawan akan melukainya. Dengan menggeram hebat, pemuda itu melompat ke belakang. Tapi Nyai Nipah terus menyusul dengan ringan. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar tubuh lawan, menimbulkan desir angin kencang. Saat itu Rangga memainkan jurus pertahanannya yang hebat, 'Sembilan Lang-kah Ajaib'. Kedua kakinya bergerak lincah, dan tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari saat menghindari sambaran pedang lawan.

“Bagus! Agaknya dugaanku tak meleset. Kau ternyata bukan orang sembarangan. Dugaanku semakin kuat bahwa kehadiranmu di sini pasti bermaksud buruk!” dengus Nyai Nipah.

“Kau terlalu memaksa dan menginginkan nyawaku, Nisanak. Maka, sudah sepatutnya aku mempertahankan diri.”

“Bagus! Jagalah jiwamu baik-baik, sebab kali ini aku tak akan memberi hati lagi padamu. Tahanlah jurus pedang yang kuberi nama ‘Kincir Setan Meranggas Lalang’.”

Rangga sudah menduga, perempuan tua itu pasti akan memainkan jurus pedang andalannya. Maka segera disambutnya dengan mengeluarkan rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’. Ternyata dugaannya tidak keliru. Kelebatan pedang Nyai Nipah sungguh dahsyat. Sulit diikuti pandangan mata biasa. Bukan itu saja! Pengerahan tenaga dalam yang hebat, membuat kulit tubuhnya seperti dihantam deru angin kencang.

“Yeaaa...!” “Hiyaaat...!”

“Heh! Rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’?!” Ki Selapati terperangah melihat jurus silat yang dimainkan pemuda berbaju rompi putih itu. Kejadian itu begitu cepat terjadi. Seketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang dan sinar biru yang menyilaukan mata langsung menerangi tempat itu.

Trasss! Plak! Tuk!

“Akh...!” Nyai Nipah mengeluh pelan. Tubuhnya ambruk ke tanah dalam keadaan tertotok. Pedang di tangannya terpotong menjadi dua bagian. Sementara Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di depannya dengan pedang telah kembali tersarung dalam warangka.

“Eyang Guru...!” teriak ketiga murid Nyai Nipah sambil menyerbu ke arah perempuan tua itu.

“Pemuda keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!” bentak Ganatri sambil mencabut pedang dan menyerang pemuda yang telah mencelakakan gurunya.

“Bocah, tahan pedangmu!” Ki Selapati membentak sambil berkelebat dan menyambar pedang di tangan Ganatri dengan tongkatnya, hingga terlepas dari tangan.

“Orang tua busuk! Apakah kau bersekongkol dengan pemuda keparat ini?”

“Tenanglah, Cah Ayu. Gurumu tak apa-apa. Dia hanya salah tangan ingin mencelakai orang. Kalau saja pemuda itu berhati kejam, tentu saat ini gurumu tak bernyawa lagi,” jelas Ki Selapati.

Ganatri diam mematung dan memandang gurunya seperti ingin minta penjelasan. Tapi Nyai Nipah menundukkan kepala dengan wajah sedih. Baru kali ini dia menelan pil pahit, dikalahkan seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Padahal namanya di dunia persilatan termasuk dalam jajaran tokoh yang disegani, karena kehebatan ilmu silatnya.

“Maaf, Nisanak. Aku tak bermaksud berbuat lancang padamu. Tapi kau begitu telengas dan ingin mencabut nyawaku tanpa sebab. Sudah sepatutnya aku mempertahankan diri,” ujar Rangga, sopan.

“Sudahlah, Nyai Nipah. Kau tak perlu berkecil hati dengan kekalahanmu, sebab orang yang mengalahkanmu bukan tokoh sembarangan. Hm.... Siapa yang mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti? Aku sendiri pun mungkin tak mampu menghadapinya lebih dari sepuluh jurus,” hibur Ki Selapati.

“Pendekar Rajawali Sakti? Apakah yang kau maksudkan pemuda ini?” tanya Nyai Nipah seperti tak percaya.

“Siapa lagi kalau bukan dia?” jawab Ki Selapati, sambil tersenyum kecil. Nyai Nipah memperhatikan Rangga dengan seksama. Kemudian, kepalanya menggeleng lemah.

“Hm.... Rupanya aku terlalu lama bersembunyi di tempat ini, sampai tak tahu kalau pendekar tersohor sepertinya berdiri di depanku....”

“Sudahlah, Nisanak. Tak perlu dipersoalkan. Aku sama sekali tak sehebat apa yang kalian kira. Maaf....”

Tuk!

Tangan Rangga cepat bergerak membebaskan totokan Nyai Nipah. Kemudian kembali memberi salam penghormatan pada kedua orang tua itu.

“Maafkan atas sikap kasar ku tadi. Rasanya persoalan di antara kita tak perlu diperpanjang lagi. Aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan....”

“Tunggu dulu, Pendekar Rajawali Sakti!”

“Hm.... Ada apa? Apakah aku berbuat salah lagi?” Ki Selapati tertawa kecil, kemudian berjalan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu.

“Kebetulan sekali kau berada di sini, Pendekar Rajawali Sakti! Nyai Nipah pasti tak keberatan mengundangmu ke tempatnya untuk membicarakan persoalan penting yang akan kusampaikan.”

“Dari tadi kau membicarakan persoalan terus. Apa sebenarnya yang akan kau bicarakan, Selapati?” tanya Nyai Nipah.

“Tak inginkah kau mengundang kami ke tempatmu?” Nyai Nipah bangkit dan mengajak mereka ke tempatnya.

Sementara ketiga muridnya mengikuti dari belakang. Mereka tiba di suatu tempat yang agak rendah, dikelilingi pohon-pohon lebat Di dekat kolam yang cukup luas, terdapat sebuah pondok yang cukup besar. Nyai Nipah mengajak kedua tamunya ke dalam, dan bersama ketiga muridnya, mereka duduk bersila di ruang tengah.

“Maaf! Di antara kami guru dan murid tidak ada yang disembunyikan. Aku selalu mengajari mereka akan hal itu. Jadi kalau ada suatu rahasia yang ingin dibicarakan, bicaralah di depan kami berempat,” jelas Nyai Nipah.

“Tak apa. Cerita ini perlu juga mereka ketahui,” sahut Ki Selapati.

“Nah, katakanlah! Berita apa yang kau bawa?”

“Begini. Tahukah kau, beberapa hari lalu Perguruan Batu Kumala tertimpa malapetaka? Banyak murid-muridnya yang binasa. Bahkan ketuanya sendiri, Ki Satya Dharma, didapati tewas. Dan dua orang tamunya yaitu Ki Patih Meluwa dan Ki Danur Brata pun tewas di tempat itu....”

“Apa...?!” Nyai Nipah tampak terkejut mendengar berita itu.

“Bukan hanya mereka, tapi serombongan murid-murid dari Perguruan Bangau Sakti yang berasal dari seberang, binasa semua tanpa ketahuan siapa yang melakukan. Tapi berat dugaan, pembantaian itu ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi di Perguruan Batu Kumala.”

“Siapa yang melakukan semua kebiadaban itu?”

“Katanya seseorang yang bernama Tato Begananda.”

“Tato Begananda? Siapa orang berhati iblis itu?” Nyai Nipah mengerutkan dahi.

“Entahlah! Aku pun belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Hanya menurut beberapa orang yang pernah menyaksikan sepak terjangnya, dia banyak memiliki anak buah yang cukup tangguh. Selain itu, dia pun memiliki kepandaian tinggi dan sulit dikalahkan. Orang itu tidak waras, karena ingin menguasai rimba persilatan dengan cara paksa. Harus ada yang menghentikan kegilaannya, kalau tak ingin kembali timbul korban,” ujar Ki Selapati.

“Paman, apakah tokoh-tokoh persilatan tak ada yang memikirkan hal ini, dan bersatu mencegah per-buatannya lebih lanjut?” tanya Rangga.

Ki Selapati tersenyum getir. “Orang bernama Tato Begananda itu cepat atau lambat akan mendatangi semua tokoh persilatan, dan memerintahkan mereka untuk mengakuinya sebagai penguasa seluruh jagat. Siapa yang berani menolak, maka kematianlah yang akan diderita tokoh itu,” jawab Ki Selapati.

“Hm.... Sungguh sadis orang itu!” dengus Rangga geram.

“Guru, orang seperti itu tak perlu diberi hati. Izinkanlah aku menemuinya dan memberi pelajaran,” kata Wangsa menimpali.

Nyai Nipah mengeluarkan suara tawa di hidung. “Wangsa, tahukah kau bagaimana kehebatan Ki Satya Dharma, Ki Patih Meluwa dan Ki Danur Brata? Mereka bukan tokoh sembarangan. Bahkan aku sendiri tak yakin bisa menang, seandainya timbul pertarungan antara kami. Dengan cara apa kau memberi pelajaran pada orang bernama Tato Begananda?”

“Eyang Guru, aku memang tak memiliki kepandaian yang hebat, tapi harus ada orang yang menghentikan sepak terjangnya yang biadab. Kalau tidak, akan semakin banyak korban yang jatuh. Dan orang itu pun semakin besar kepala.”

“Apa yang kau katakan memang benar, tapi bertindak tanpa memikirkan kemampuan sendiri, sama artinya dengan perbuatan yang bodoh!”

“Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?” tanya Dewi seraya memandang gurunya.

“Ki Selapati, apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan lagi?” tanya Nyai Nipah kepada Ki Selapati, tanpa mempedulikan pertanyaan muridnya.

“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi sebagai tokoh golongan lurus, kita berkewajiban membereskan persoalan ini. Kalau tidak, orang itu akan terus merajalela. Aku sendiri tak yakin mampu mengalahkannya. Menurut cerita terakhir yang kudengar, Tato Begananda telah mengobrak-abrik Padepokan Suryalaga dan membunuh Ki Suratman beserta seluruh murid-muridnya.”

“Apa? Dia pun membunuh tokoh yang jarang mencampuri urusan orang lain itu?!”

Ki Selapati mengangguk.

“Keterlaluan! Orang itu betul-betul tak bisa dibiarkan!” geram Nyai Nipah.

“Tato Begananda tak ingin ada orang lain yang menyainginya. Begitu mendengar Ki Suratman termasuk salah satu tokoh persilatan yang disegani, dia langsung mendatanginya.”

“Hm.... Orang itu benar-benar berhati iblis. Aku jadi ingin melihat, bagaimana tampangnya!” geram Rangga.

“Apakah kau bermaksud turun tangan...?” tanya Ki Selapati.

“Kemampuan yang kumiliki memang tak seberapa, Ki. Tapi, biarlah ku coba menghadapinya!”

“Syukurlah bila kau bermaksud demikian. Hm.... Bila Pendekar Rajawali Sakti yang akan menghadapinya, dia bisa berbuat apa?!”

“Jangan memujiku begitu rupa, Ki Selapati. Aku sama dengan kalian, yang masih memiliki banyak kekurangan.”

“Tapi selama ini, siapa yang meragukan kemampuan yang kau miliki? Banyak sudah tokoh-tokoh sesat berilmu tinggi jatuh di tanganmu. Dan sekarang banyak tokoh persilatan yang menyandarkan harapan di tanganmu untuk membereskan Tato Begananda.”

“Ah, aku hanya berusaha. Kalaupun nanti orang itu sadar, itu karena kesadarannya sendiri dan bukan paksaan dari siapa pun,” sahut Rangga merendah.

“Jangan berharap terlalu banyak, Pendekar Rajawali Sakti. Orang gila seperti Tato Begananda tak akan pernah berpikir soal itu. Yang ada dalam benaknya, setiap orang harus menghormati dan mengakuinya sebagai penguasa jagat yang tak terkalahkan!”

Nyai Nipah baru saja akan menimpali ketika terdengar suara menggelegar dari luar.

“Orang-orang yang berada di dalam pondok, keluarlah kalian!”

“Heh...?!” Ketiga murid Nyai Nipah cepat bangkit, disusul perempuan tua itu, Ki Selapati, lalu Pendekar Rajawali Sakti.

Pada jarak sepuluh tombak di muka rumah, terlihat lebih dari dua puluh orang mengepung tempat ini. Orang-orang itu hanya mengenakan cawat yang terbuat dari kulit binatang. Seluruh muka dan tubuh mereka penuh coreng-moreng berwarna-warni dengan rambut acak-acakan. Sorot mata mereka tajam dan liar. Mulai dari ikat kepala dan seluruh tubuh mereka digantungi kalung yang terbuat dari tulang-belulang manusia. Dan pada setiap tangan mereka tergenggam sebilah parang panjang yang tajam berkilat.

Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia berbeda dengan yang lain. Wajahnya tampan, namun sorot matanya amat menakutkan. Rambutnya panjang digelung ke belakang, dan memakai baju yang terbuat dari kulit binatang. Di pinggang dan lehernya terdapat banyak tulang-belulang manusia yang diuntai menjadi kalung. Orang itu pun memiliki sebilah parang panjang yang terselip di pinggangnya. Melihat gerak-geriknya, agaknya orang ini adalah pemimpin gerombolan itu.

“Siapa di antara kalian yang bernama Nyai Nipah? Aku, Tato Begananda, memerintahkanmu untuk tunduk dan berlutut di hadapanku. Dan mengakuiku sebagai penguasa jagat dan rimba persilatan!” ujar orang itu tegas sambil menatap tajam ke arah mereka.

***
LIMA
Mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya, bergetar juga hati Nyai Nipah dan Ki Selapati. Tak disangka, orang yang baru saja dibicarakan tiba-tiba telah berada di depan mata. Tak sedikit pun terbias sikap bersahabat dari mereka, dan tak terdengar sedikit pun basa-basi dari ucapannya.

“Manusia keparat! Jaga mulutmu dan jangan sembarangan bicara di tempat ini!” bentak Dewi jengkel sambil berkacak pinggang.

“Siapa kau, Anak Ingusan?! Menepilah, aku tak punya urusan denganmu!”

“Huh! Dasar manusia sombong! Kau pikir dirimu siapa, berani bicara seperti itu pada kami?!” timpal Wangsa tak kalah garang. Tato Begananda tampak menyipitkan mata dan memandang sinis pada keduanya. Kemudian tangannya menuding ke arah mereka sambil berkata garang.

“Kalian berdua, majulah!” Wangsa dan Dewi saling pandang sesaat, lalu menatap Nyai Nipah seperti meminta persetujuan.

“Huh! Apakah kau pikir aku takut dengan gertakanmu itu?!” Wangsa lebih dulu melesat, sebelum Nyai Nipah memberikan jawaban.

“Wangsa, jangan gegabah!” bentak Nyai Nipah terkejut melihat sikap muridnya. Begitu Wangsa menjejakkan kaki di dekat Tato Begananda, saat itu juga lima orang anak buahnya langsung menyerang ganas.

“Yeaaa...!”

“Dasar bajingan keparat! Apakah kebisaan kalian hanya main keroyokan?!” geram Dewi sambil mencelat dan mencabut pedangnya untuk membantu Wangsa. Tapi saat itu juga melesat lima orang anak buah Tato Begananda. Mereka langsung menghadang dan menyerang gadis itu dengan garang. Parang di tangan mereka menderu-deru, seperti hendak mencincang tubuh ramping itu menjadi potongan-potongan kecil.

“Aku anggap ini jawaban kalian! Hm..., bagus! Kalau begitu, bersiaplah menerima kematian!” dengus Tato Begananda garang sambil mencabut parang yang terselip di pinggang.

Tapi sebelum Tato Begananda mencelat menghajar mereka, Rangga telah lebih dulu berkelebat ke hadapannya dan berdiri tegak pada jarak satu tombak. Sepasang matanya tajam mengawasi lawan.

“Siapa kau? Apakah kau pantas menghadapi-ku? Hm..., rupanya kedua tua bangka itu keburu ciut nyalinya. Hingga menghadapkan anak ingusan sepertimu!” kata Tato Begananda dengan suara sinis dan menganggap remeh.

“Apakah yang sebenarnya kau kehendaki, Kisanak? Kalau ingin pengakuan, maka kami dengan senang hati mengakui bahwa kau penguasa jagat dan rimba persilatan. Tapi berlutut menyembahmu, itu sudah keterlaluan!” sahut Rangga tanpa mempedulikan kata-kata tokoh sesat itu.

“Huh! Jangan berkhotbah di hadapanku, Bocah! Kau kira dirimu siapa, berani bicara begitu!” Sambil mendengus sinis, tiba-tiba saja senjata Tato Begananda berkelebat ke arah pinggang Rangga.

“Uts...!” “Hm..., bagus! Agaknya kau memiliki kepandaian juga. Pantas berani berlagak di hadapanku. Tapi jangan harap kau bisa bertingkah lebih dari ini. Hih...!”

“Hup!” Tato Begananda agaknya sangat bernafsu untuk membereskan lawan secepatnya. Tak heran bila senjatanya berkelebat cepat dan kuat, menyambar-nyambar ke mana saja tubuh Rangga bergerak menghindar. Namun dengan mantap, Pendekar Rajawali Sakti memainkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari serangan lawan.

Sementara itu, Nyai Nipah yang melihat kedua muridnya terdesak hebat, segera bergerak memberi pertolongan. Tapi, pada saat itu juga lima orang lawan menghadangnya. Begitu juga ketika Ki Selapati mencoba membantu. Lelaki itu dihadang lima orang lawan. Ganatri yang merasa tak bisa berpangku tangan, turut membantu mereka. Tapi sisa anak buah Tato Begananda telah lebih dulu menghadangnya. Akibatnya, pertarungan itu berjalan tidak seimbang. Masing-masing dari mereka menghadapi lima anak buah Tato Begananda yang memiliki kemampuan luar biasa.

“Yeaaa...!”
Cras!

“Aaa...!”

“Kakang Wangsa...!” pekik Dewi, tatkala mendengar jeritan pemuda itu.

Saat itu dilihatnya Wangsa tengah memegangi perutnya yang terobek senjata lawan. Suara Dewi terdengar cemas. Tak diragukan lagi, gadis itu memang mencintai Wangsa dan tak ingin pujaan hatinya terluka. Maka tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang terdesak hebat, gadis itu berusaha keluar dari kepungan lawan untuk membantu Wangsa. Tapi hal itu justru menjadikan pertahanannya terbuka! Para pengeroyok langsung mengayunkan senjata ke arah tubuhnya.

“Yeaaat..!”
Bret! Cras!
“Akh...!”

Dewi hanya sempat mengeluh pelan. Tubuhnya penuh dengan luka-luka bacokan yang dalam dan lebar. Ketika ambruk ke tanah, nyawanya pun putus dengan sekujur tubuh bermandikan darah. Bukan main geram hati Nyai Nipah melihat keadaan itu. Dengan garang, pedangnya diayunkan dan mengamuk hebat.

“Keparat laknat! Mampuslah kalian semua! Hiyaaat...!”

Trak! Trang!
Desss!
“Aaakh...!”

Salah seorang anak buah Tato Begananda menjerit keras. Tubuhnya ambruk dengan leher patah, ketika pedang Nyai Nipah menyambarnya dengan cepat Kenyataan itu membuat kemarahan teman-temannya. Akibatnya, Nyai Nipah dikeroyok lebih dari lima belas orang lawan yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Sehingga dalam waktu singkat, perempuan tua itu mulai terdesak hebat.

Meskipun Nyai Nipah telah mengerahkan segenap kemampuannya, tetap saja tak mampu bertahan lebih lama. Dalam suatu kesempatan, tiga buah senjata lawan sekaligus menangkis ayunan pedangnya. Orang tua itu mengeluh kesakitan. Pedangnya terlepas dan telapak tangannya terkelupas. Tubuhnya membungkuk untuk menghindari sambaran senjata lawan. Namun dari arah belakang, seorang lawan menghunjamkan parangnya tepat di punggung sebelah kiri.

“Hiyaaa...!”
Blesss!
“Aaa...!”
Cras!

Nyai Nipah memekik nyaring. Tubuhnya menggeletar hebat. Dengan sisa-sisa tenaga, dia berusaha berbalik untuk menghantam lawan yang membokongnya. Namun satu ayunan senjata lawan menyambar lehernya, membuat kepala orang tua itu terkulai. Senjata lawan yang lain menghajar tubuhnya tanpa rasa kemanusiaan sedikit pun, sampai orang tua itu ambruk dalam keadaan tubuh tak karuan.

“Eyang Guru...!” pekik Ganatri nyaring. Ki Selapati yang mengetahui bahaya akan menimpa gadis itu, cepat melompat sambil mengayunkan tongkatnya ke arah seorang penyerang dari arah belakang gadis itu.

Trak! Wuuut!

"Cepat kau pergi dari sini! Selamatkan dirimu!” bentak Ki Selapati keras.

“Tidak! Aku tak akan pergi sebelum keparat- keparat ini mendapat balasan setimpal dari tanganku!” bantah Ganatri.

“Jangan membantah! Cepat, tinggalkan tempat ini....” Ucapan Ki Selapati terputus ketika lawan-lawan Nyai Nipah mengalihkan perhatian kepadanya. Orang tua itu sibuk memutar tongkat untuk menyelamatkan selembar nyawanya.

Sementara Ganatri sendiri sedang dikeroyok dua orang lawan. Rangga bukan tidak tahu kalau di pihak mereka telah tewas tiga orang. Hatinya geram bukan main, dan wajahnya tampak keras membiaskan amarah. Sambil membentak nyaring dicabutnya Pedang Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Seketika sinar biru menerangi tempat itu dan menyambar cepat ke arah lawan.

“Heh...?!” Tato Begananda terkejut melihat kehebatan pedang lawan. Belum lagi habis rasa terkejutnya, tiba-tiba saja sinar biru itu menyambar ke arahnya. Buru-buru tubuhnya dilindungi dan mencoba memapaki dengan senjatanya.

Tras!
“Yeaaa...!”
“Keparat!”

Bukan main terkejutnya Tato Begananda ketika melihat parangnya terpotong menjadi dua bagian. Kalau saja tadi tidak melompat ke belakang, pasti tubuhnya yang akan menjadi korban keganasan pedang lawan.

“Huh! Rasakan pembalasanku!” Tato Begananda mendengus geram. Ketika kakinya telah menjejak tanah, saat itu juga diambilnya topeng kayu dari balik baju, dan dengan cepat mengenakannya.

Rangga mengerutkan dahi melihat cara berkelahi lawan yang memakai topeng kayu berwajah seram itu. Laki-laki berhati iblis itu kini lebih mirip makhluk liar daripada manusia. Tanpa mempedulikan perbuatan lawan, Rangga terus mendesak dengan serangan-serangan gencar. Pada mulanya dia tidak merasakan suatu perubahan apa pun. Tapi, lama kelamaan hal itu mulai dirasakan. Serangan-serangannya kacau dan tak terarah. Tenaganya cepat terkuras, serta pikirannya menerawang jauh entah ke mana.

“Yeaaat..!” Rangga membentak keras sambil menggelengkan kepala dengan cepat.

Plak!
Wuuut!
“Heh...?!”

Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir. Bagaimana mungkin permainan pedangnya bisa kacau balau begini? Bahkan dengan mudahnya lawan menghindar. Dan barusan tadi, mengirimkan serangan balasan kepadanya. Masih untung tubuhnya dijatuhkan ke tanah.

Desss!
“Akh...!”

Rangga menjerit keras. Satu tendangan balik yang dilakukan lawan seperti mengaduk-aduk perutnya. Rasa sakitnya bukan main hebatnya. Tubuhnya terjerembab dengan darah kental meleleh dari sudut bibirnya. Pendekar Rajawali Sakti berusaha bangkit dan berdiri tegak. Tapi pada saat itu sebuah kepalan tangan lawan menderu ke dada, diikuti tendangan kaki kanan ke pelipisnya.

Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”

Rangga menjerit keras. Tulang dadanya terasa remuk menerima hantaman bagai geledek itu. Belum lagi sempat menguasai diri, kepalanya terasa sakit bukan main dan pandangannya berkunang-kunang. Samar-samar terdengar suara keras memanggil namanya. Tapi kemudian kembali terdengar pekik kesakitan. Rangga bertopang pada pedangnya yang ditancapkan di tanah dan berusaha bangkit.

“Hiyaaa...!”
Desss!
“Aaakh...!”

Kembali Rangga menjerit keras. Tubuhnya terlempar dua tombak sambil memuntahkan darah segar. Pikirannya yang kosong semakin tak mengerti apa yang telah terjadi, selain rasa sakit yang dideritanya.

“Hm.... Hebat juga daya tahan tubuhmu, Bocah! Tak heran bila kau disegani semua tokoh persilatan. Tapi hari ini nama Pendekar Rajawali Sakti akan terhapus selamanya dari muka bumi!” dengus Tato Begananda sambil menyorongkan telapak tangannya. Bukan main girangnya Tato Begananda ketika mengetahui kalau lawannya kali ini Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja pemuda itu binasa di tangannya, maka jalan ke depan untuk menguasai dunia persilatan akan semakin mudah baginya. Itulah sebabnya, Tato Begananda tak segan-segan menghabisi pemuda itu secepatnya dengan pukulan saktinya yang bernama Kelabang Ungu.

“Hiyaaa...!” “Khraaagkh...!” Wusss! “Heh?!”

***

Tato Begananda terkejut bukan main. Tiba-tiba saja menderu angin kencang, diikuti suatu bayangan hitam yang meluncur cepat ke arah mereka. Debu-debu serta seluruh daun-daun kering di seputar tempat itu beterbangan tak karuan, seperti dilanda angin topan dahsyat. Cabang-cabang serta ranting pohon bergoyang-goyang, dan beberapa orang anak buah Tato Begananda terlempar keras, sementara yang lain langsung mengerahkan tenaga dalam dan berpijak erat-erat.

“Sial! Makhluk apa ini?!” maki Tato Begananda geram. Lelaki itu berusaha melawan sambil mengerahkan tenaga dalam. Namun deru angin kencang seperti tiada henti menghantam ke segala arah. Mau tak mau dia lebih memusatkan pertahanan pada dirinya sendiri, kalau tak ingin terlempar menghantam batang pohon atau batu-batu yang banyak terdapat di tempat itu. Beberapa saat kemudian, angin kencang itu berkurang seiring melesatnya sesosok bayangan yang membubung tinggi dengan cepat bagai kilat ke angkasa.

“Burung keparat! Awas kau! Lain kali nyawamu tak akan kuampuni!” maki Tato Begananda geram bukan main. Dengan kesal, dihantamnya burung yang terus membubung ke angkasa itu dengan pukulan 'Kelabang Ungu' sekuat tenaganya.

“Hiyaaa...!”
“Grhhhk...!”
Wusss...!

“Burung keparat! Awas kau, sekali lagi bertemu denganku!”

Bukan main geram Tato Begananda ketika dengan mudah burung raksasa itu mengelak. Bahkan ketika kedua sayapnya terkepak, saat itu juga pukulan mautnya yang mengeluarkan cahaya ungu terhenti dan buyar. Tak tahu harus ke mana melampiaskan kekesalannya, dihantamnya pondok Nyai Nipah sampai hancur berantakan.

“Ketua, kedua orang itu hilang...!” salah seorang anak buahnya melapor kepada Tato Begananda.

“Hilang? Apa maksudmu?!” Tato Begananda yang telah menanggalkan topeng kayunya, tampak melotot garang pada anak buahnya.

“Pemuda yang kau katakan sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan gadis berbaju hijau itu.”

“Keparat! Kenapa kalian diam saja?!” Seluruh anak buahnya diam membisu. Mereka tak tahu harus menjawab apa karena tak seorang pun tahu ke mana kedua orang itu lenyap. Gadis berbaju hijau mengalami luka yang cukup parah. Begitu juga Pendekar Rajawali Sakti. Mustahil mereka bisa kabur dengan begitu mudah. Tapi kenyataannya, kedua orang itu tak terlihat.

“Cari sampai ketemu, dan bunuh mereka!” perintah Tato Begananda dengan suara menggelegar.

Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya langsung berpencar di seputar tempat itu. Lelaki itu uring-uringan dan berjalan mondar-mandir sambil sesekali menghantam apa saja yang berada di dekatnya. Selang beberapa saat kemudian, anak buahnya berkumpul. Semua menundukkan kepala dalam-dalam begitu Tato Begananda memandang mereka dengan tajam.

“Mana kedua orang itu?!”

“Kami telah mencarinya sampai bagian-bagian yang terpelosok sekalipun. Tapi jejak mereka tak ditemukan. Rasanya mereka tak mungkin melarikan diri tanpa meninggalkan jejak,” sahut salah seorang anak buahnya.

“Keparat! Jadi, kemana mereka?!”

“Mungkin burung raksasa itu yang membawa mereka, Ketua?” selak salah seorang anak buahnya.

“Hm.... Benar juga katamu! Burung itu pasti peliharaannya. Menurut kabar yang kudengar, burung itu sangat penurut serta melindungi keselamatan tuannya. Pasti tuannya telah dibawa kabur dari cengkeramanku. Huh! Awas kalau sampai bertemu lagi!”

“Pendekar Rajawali Sakti telah jatuh di tangan Ki Tato Begananda. Dia tentu tak akan berani berhadapan untuk yang kedua kalinya. Sebentar lagi, seluruh rimba persilatan akan mengakui kehebatanmu,” kata salah seorang anak buahnya, menghibur.

“Ya, benar katamu. Kini tak seorang pun bisa menghalangiku. Sekali lagi Pendekar Rajawali Sakti menunjukkan muka, dia tak akan selamat!” dengus Tato Begananda garang.

Tak lama kemudian, mereka meninggalkan tempat itu. Satu kegembiraan menyusup di dada Tato Begananda, membuat kesombongannya semakin memuncak. Dadanya dibusungkan kedepan, seolah ingin menunjukkan kepada siapa saja kalau dialah penguasa seluruh rimba persilatan!

***
ENAM
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu diam, sambil duduk bersila di atas sebuah batu datar yang basah. Di depannya pada jarak tiga jengkal, mengucur deras air terjun yang menghempas telaga di bawahnya. Pandangannya tajam menusuk dan wajahnya membiaskan kegeraman yang tiada tara. Sudah hampir seharian pemuda itu duduk bersila di situ dan tak sedikit pun mau beranjak.

Di belakangnya terdapat sebuah gua yang ruangannya cukup luas. Tempat itu lebih mirip celah di dalam sebuah bukit yang curam, dengan air terjun melintas dari atas ke bawah. Lubang gua tidak terlihat dari luar karena terhalang curahan air terjun.

Seorang gadis berbaju hijau yang tergolek di atas sebuah dipan, tampak bergerak-gerak lemah sambil merintih lirih. “Ohhh...!”

Namun, pemuda berbaju rompi putih itu tak beranjak dari tempat duduknya, meskipun telinganya mendengar rintihan. Gadis itu sendiri berusaha bangkit dan duduk di pinggir dipan, sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Pada kedua lengan dan bagian punggungnya terlihat balutan luka yang masih terasa nyeri. Gadis itu menatap ke sekeliling dan melihat pemuda berbaju rompi putih yang tetap tak menoleh.

“Kisanak, siapa kau dan berada di mana kita?” tanyanya lirih.

Pemuda itu tetap diam membisu. Gadis itu pun beranjak pelan dan mendekati. Melihat dari samping, tahulah dia siapa pemuda itu sebenarnya.

“Kau?! Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti? Apa yang kau lakukan di sini? Dan..., oh! Apa yang telah kau lakukan terhadapku?!” seru si gadis mulai curiga.

Kalau bagian punggungnya yang terluka telah terbalut rapi, pasti pemuda itu telah membuka pakaiannya untuk membalutnya. Dan berarti dia.... “Oh! Ti..., tidak...!”

Gadis itu melangkah ke belakang dan mulai mencurigai Rangga. Lalu memeriksa keadaan dirinya, namun tak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan, selain balutan luka yang ditoreh ramuan obat. Gadis itu pun mulai berpikir lain. Dan perlahan-lahan menghilangkan prasangka buruk terhadap Rangga.

“Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa kau membawaku ke sini, dan tempat apakah ini?” tanyanya mencoba ramah.

Tapi Rangga tetap diam membisu. Si gadis yang menyangka suaranya kurang jelas terdengar karena derasnya air terjun, kembali melangkah mendekati dan berdiri di belakang Pendekar Rajawali Sakti.

“Kenapa kau membawaku ke tempat ini, Kisanak?”

Rangga diam membisu. Gadis itu mulai jengkel, tapi tak tahu harus berbuat apa. Beberapa kali dicobanya untuk menyapa Pendekar Rajawali Sakti, tapi hasilnya tetap nihil. Rangga diam membisu dan seperti tak ingin berpaling. Gadis itu kembali ke dalam ruangan gua dan meneliti tempat itu untuk mencari jalan keluar. Namun tak sedikit pun terdapat celah pintu. Ruangan itu memiliki dinding-dinding yang rapat. Satu-satunya jalan keluar adalah melompati curahan air terjun yang ada di depan Rangga. Gadis itu melihat seperiuk nasi dingin dan sedikit ikan asin serta beberapa potong dendeng. Perutnya yang lapar kini mulai terasa.

“Kisanak, perutku lapar. Bolehkah aku memakan makanan yang ada di tempat ini?” tanyanya dengan suara agak keras.

Tapi Rangga tetap membisu. Gadis itu kembali bertanya, namun tetap tak ada reaksi. Akhirnya setelah lama menunggu, dan pemuda itu tetap membisu sedangkan perutnya semakin melilit, diambilnya piring dan mulai makan. Sampai si gadis selesai makan, Pendekar Rajawali Sakti tetap tak beranjak. Gadis itu mulai gelisah. Dicobanya berbaring di dipan. Karena keletihan, gadis itu akhirnya tertidur. Agak lama juga dia terlelap. Dan ketika terbangun, di luar terlihat suram.

Senja baru saja berlalu. Matanya dikucek- kucek dan melihat Rangga masih duduk di tempatnya semula, tak beranjak sedikit pun. Gadis itu tak tahu, apa yang harus dilakukannya. Kemudian, kakinya melangkah pelan dan mencoba duduk di dekat pemuda itu. Terasa hawa dingin menampar tubuhnya, membuat gadis itu menggigil. Cepat-cepat dia masuk ke dalam.

“Kisanak, apakah kau tidak kedinginan? Aku tak ada kawan bicara di sini. Tak bisakah kau masuk dan menghentikan sikapmu yang seperti itu?”

Tapi Rangga tetap diam membisu. Pandangannya tajam ke depan seperti menatap kekosongan hatinya saat ini. Gadis itu tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, agar pemuda itu mau menanggapinya. Di dalam gua mulai pengap dan terasa dingin. Matanya melihat tumpukan kayu kering dan dua buah batu api. Segera dibuatnya perapian dan duduk dengan melipat kedua lutut di depan dada.

Sampai jauh malam dia duduk di situ, tak sedikit pun terlihat pemuda itu mau beranjak dari tempatnya semula. Pikirannya mulai bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan pemuda itu. Apakah tak tersimpan niat jahat di hati pemuda itu terhadap dirinya? Gadis itu mulai gelisah. Matanya tak mau terpejam memikirkan hal itu. Tapi tubuhnya masih terasa lemah dan daya tahannya berkurang banyak akibat luka yang diderita. Tanpa sadar, gadis itu tertidur dalam keadaan bersandar di dinding gua.

***

“Heh?!” Gadis itu tersentak kaget ketika hidungnya mencium bau harum daging bakar. Seketika pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan gua. Dan tampaklah Rangga yang sedang duduk sambil membolak-balik beberapa potong ikan segar yang telah matang, dalam potongan kayu kecil.

“Enak tidurmu semalam...? Cucilah mukamu, dan hangatkan tubuh dengan air hangat yang telah kumasak tadi,” kata Rangga seraya menatap wajah gadis itu.

Gadis itu tidak segera mengerjakan apa yang diperintah Rangga. Dipandanginya Rangga dengan seksama. Tapi pemuda itu seperti tak peduli. Matanya tajam menatap nyala api yang mulai sirna dalam arang kayu, yang semakin habis menjadi arang dan debu.

“Kalau kau lapar, aku telah membakar beberapa ekor ikan untuk kita...,” kata Rangga lagi.

“Kita berada di mana...?” tanya gadis itu, pelan.

“Dalam gua....”

“Ini tempat tinggalmu?” Rangga menggeleng. “Tempat ini milik kawanku. Dialah yang membawa kita ke sini.”

“Kawanmu...?”

“Kawanku yang telah menyelamatkan kita berdua,” lanjut Rangga seraya tersenyum getir.

Gadis itu terdiam, teringat kembali peristiwa kemarin atau entah kapan. Dia sendiri tak tahu, berapa hari sudah berada di dalam gua ini. Matanya menangkap cahaya matahari di antara curahan air terjun di mulut gua. Berarti malam telah berganti pagi.

“Mereka tewas semua...,” desah gadis itu dengan suara lirih, seperti berkata pada diri sendiri.

“Maafkan, aku tak mampu menyelamatkan mereka,” ujar Rangga dengan suara yang semakin getir.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian beranjak keluar dan berdiri di dekat curahan air terjun. Agak lama juga pemuda berbaju rompi putih itu mematung di situ. Melihat kelakuannya, si gadis beranjak dan mendekati. Wajahnya dibasuh, kemudian kembali mendekati pemuda itu sambil membawa dua buah cangkir, dan mengangsurkan secangkir teh hangat.

“Semalaman kau berada di sini, tubuhmu tentu dingin. Minumlah, mungkin bisa menghangatkan sedikit”

“Terima kasih....”

Gadis itu duduk di atas sebuah batu di dekat Rangga, sambil memandang curahan air terjun dan sesekali meneguk teh hangat.

“Aku tak menyalahkanmu atas peristiwa itu....”

“Aku memang orang tak berguna,” desah Rangga.

Gadis itu terpaku. Diusahakannya untuk mencerna ucapan yang terlontar dari bibir pemuda itu. Melihat wajahnya yang murung, gadis itu mulai menduga-duga sambil menghubungkan dengan cerita yang pernah didengarnya tentang pemuda ini. Sepanjang apa yang didengarnya, Pendekar Rajawali Sakti adalah tokoh kosen yang tak pernah terkalahkan.

Banyak sudah tokoh-tokoh berilmu tinggi yang tewas di tangannya. Tapi kali ini, dia harus menelan pil pahit. Kalau saja saat itu tak ada yang menyelamatkan mereka, pasti pemuda ini hanya tinggal namanya saja. Apakah Rangga merasa tertekan dengan kekalahannya itu?

“Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi ada kalanya jalan hidup manusia tak selamanya lurus dan mulus. Kadangkala harus menemui halangan dan rintangan, yang tak mungkin kita hadapi...,” ujar gadis itu lirih.

Rangga tersenyum pahit sambil berpaling pada gadis itu. Diteguknya teh hangat dalam cangkir. “Apakah kau pikir, aku sakit hati dikalahkan orang itu?” Gadis itu terdiam. “Yang kupikirkan saat ini, siapakah orang yang akan menghalangi Tato Begananda? Orang itu memiliki Ilmu Iblis, yang membuat lawannya tak berdaya tanpa mengetahui apa sebabnya. Aku sendiri tak tahu kenapa. Tapi dengan ilmu iblisnya itu, dia akan bebas membuat malapetaka yang akan menimbulkan korban mengerikan di muka bumi ini....”

“Dunia ini luas dan di dalamnya penuh kejadian yang tak terduga. Siapa berani mengatakan kalau orang itu akan terus membuat kekacauan tanpa ada yang menghentikan? Suatu saat, dia pasti akan terbentur juga,” sahut gadis itu.

“Kau benar, dan itu pasti akan terjadi. Tapi, setelah bumi ini banjir oleh darah orang-orang yang belum tentu bersalah dan merugikan orang lain,” kata Rangga.

“Setidaknya kau telah berusaha....” Rangga tersenyum pahit. “Kelihatannya kau penasaran sekali karena dikalahkan orang itu, dan tidak menerima kenyataan yang telah terjadi.”

“Hm.... Aku yakin betul kalau kepandaian orang itu tak seberapa. Tapi apa yang menyebabkannya hingga dia mampu membuatku tak berdaya?” gumam Rangga, seperti bertanya pada diri sendiri.

“Barangkali dia tahu kelemahanmu?” Rangga menggeleng lemah. Tapi tiba-tiba bola matanya membias cerah, seperti ada yang terlintas dalam benaknya.

“Ya, ya...! Kau benar. Pasti ada kelemahannya! Tapi apa?”

Rangga kembali lesu memikirkan hal itu. Sedang si gadis mulai bingung melihat perubahan mendadak di wajah pemuda itu.

“Yeaaa...!”

Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring ketika tubuhnya berkelebat cepat, menerobos curahan air terjun di mulut gua. Gadis itu terkesiap dan memburu. Tapi tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap ditelan air terjun. Gadis itu mematung sesaat sebelum menyusuri tepi gua dengan langkah pelan. Curahan air terjun lebarnya kurang dari dua tombak. Sementara gua itu sendiri tak begitu tinggi letaknya dari permukaan telaga di bawahnya.

Menyusuri tepi gua yang lebarnya hanya kurang dari tiga jengkal, gadis itu dapat melihat ke bawah. Rangga tengah mengamuk sendirian sambil mengeluarkan teriakan-teriakan penuh kemarahan. Dihajarnya curahan air terjun itu berkali-kali sambil mengerahkan tenaga dalam penuh. Gadis itu tercekat. Jelas dilihatnya air terjun itu berhenti sesaat sampai mencapai ketinggian lebih dari lima jengkal dari permukaan air telaga.

“Hiyaaa...!”
Plarrr!

Rangga melompat ke sana kemari dengan lincah, dan tiba-tiba menukik tajam sambil menghantam batu besar hingga hancur berkeping-keping!

“Hup!”

Rangga berdiri di atas sebuah batu sambil men-gangkat sebelah kaki, kemudian cepat melompat dan menjejakkan kaki ke tanah.

“Hei, kau! Turunlah ke sini!” teriak Rangga pada gadis itu. Gadis berpakaian hijau itu pun langsung melenting ringan ke dekat Rangga dengan wajah masam.

“Kenapa kau panggil aku hei? Memangnya aku tak punya nama?!”

“Maaf! Namamu Ganatri, bukan?” Gadis itu masih menunjukkan wajah kesal. Sedangkan Rangga hanya tersenyum kecil.

“Ganatri, yakinkah kau kalau aku mampu mengalahkan Tato Begananda?”

“Kenapa pertanyaan itu kau ajukan kepadaku?”

“Karena aku perlu bantuanmu?”

Ganatri memandang tajam ke arah Rangga.

“Coba dengarkan baik-baik. Aku berhasil mendesaknya dalam pertarungan itu sebelum dia memakai topeng kayu. Setelah topeng itu dikenakan, aku merasakan tenagaku lemah dan tak berdaya. Pikiranku kosong dan tak bisa memusatkan perhatian pada lawan. Jadi, kelebihan dan sekaligus kelemahan orang itu berada di topengnya,” jelas Rangga.

“Berarti kalau berhasil merebut topeng kayunya itu, kau mampu mengalahkannya?”

“Tepat! Tapi itu tidak mudah. Bukan saja dia akan melindungi topeng itu dengan ketat, juga bila topeng itu dikenakannya, maka kekuatan gaib yang terpancar dari topeng itu akan mempengaruhi lawan. Aku pernah mendengar cerita ilmu sihir seperti itu.”

“Lalu, bagaimana cara merebut topeng itu dari tangannya?”

“Dengan cara menutup mata dan hanya mengandalkan pendengaran belaka.”

“Gila! Itu sama artinya mengorbankan diri dengan percuma!”

Rangga tersenyum kecil. “Ilmu sihir menyerang pandangan mata, dan topeng itu mengandung sihir. Kalau kita melawan dengan mata terbuka, maka kita akan terkena pengaruhnya. Tapi pendengaran yang tajam tak akan tertipu.”

“Bagaimana caramu melakukan itu?”

“Kau yang akan membantuku,” kata Rangga mantap. Pemuda itu membuka ikat kepala dan menutup kedua matanya erat-erat sampai tak terlihat lagi pandangan di depan.

“Seranglah aku, setelah aku memberi isyarat dengan tangan!” katanya.

Walaupun Ganatri masih belum mengerti betul, tapi melakukan juga apa yang diperintahkan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memusatkan pikiran sambil mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dan ketika dia memberi isyarat, saat itu juga Ganatri mulai menyerangnya.

“Yeaaa...!”
“Hup!”
Plak!

“Lebih keras dan lebih cepat lagi, Ganatri!” teriak Rangga sambil memasang jurus.

Selama ini, ilmu itu memang amat jarang digunakan untuk melakukan pertarungan dengan lawan. Tapi kali ini, Rangga akan menggabungkan keduanya dan melatih pendengaran untuk mengetahui kedudukan lawan dan mengetahui serangan, untuk kemudian menghindar sambil balas menyerang. Mula-mula memang sulit, tapi semangat pemuda itu keras bukan main.

Dengan bantuan Ganatri, Pendekar Rajawali Sakti terus berlatih seperti orang kesetanan, sehingga perkembangannya cukup meyakinkan. Kalau pada hari pertama dia masih kena pukulan gadis itu, namun sore harinya dan pada hari kedua, gadis itu mulai kewalahan menghadapinya.

“Sekarang, ambil sekitar dua puluh kerikil dan lemparkan ke arahku!” kata Rangga.

“Baiklah. Nah, seperti katamu, aku tak akan memberi aba-aba, tapi langsung melemparkan ke arahmu secara tak terduga!”

Ganatri mulai menyerang kembali, dan pada pertengahan serangan dilemparkannya semua kerikil yang ada di tangannya ke arah Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menghindar, dan beberapa kerikil tertangkap sehingga tak sebutir pun mengenai tubuhnya.

“Ganatri, lihat ranting di atas kepalamu! Yeaaa...!”

Tras!
Tras!

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat ke atas sambil mencabut pedang pusakanya. Saat itu juga terpancar sinar biru menerangi tempat itu, berkelebat menyambar ranting pohon dan dedaunan yang berada di atas kepala gadis itu.

“Ck, ck, ck...! Hebat bukan main, Kakang Rangga!” puji Ganatri yang telah memanggil kakang pada Rangga.

Apa yang dilakukan pemuda itu memang sangat mengagumkan. Ranting pohon di atas kepala Ganatri terpotong menjadi beberapa bagian, dan beberapa helai daun tampak jatuh terpotong dua. Rangga berdiri tegak di hadapannya dengan pedang tersimpan kembali ke warangka di punggung. Kemudian membuka kain yang menutup matanya.

“Hebat, Kakang! Maukah kau mengajariku?”

“Ilmu itu tidak mudah, Ganatri. Kau harus menghabiskan sisa umurmu, agar mampu membedakan suara dan gerak.”

“Aku rela menghabiskan sisa umurku, asal bisa membinasakan si keparat itu!”

“Dan membuang serta menyia-nyiakan masa mudamu?”

“Setelah guruku tewas, hidupku kini sudah tak berarti lagi,” suara Ganatri terdengar getir, lalu membuang pandangan ke air terjun.

“Kenapa kau berkata begitu?” Ganatri tidak langsung menjawab. Kakinya melangkah pelan ke dekat sebatang pohon dan menyandarkan diri di situ. Pandangannya kosong menatap curahan air terjun. Rangga mengikuti dan memandang Ganatri dengan heran. Pemuda itu menggeleng lemah, merasakan dirinya terlalu memikirkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan keadaan gadis itu.

“Apakah kau tidak memiliki keluarga?”

“Ada. Tapi mereka tak mempedulikan aku lagi.”

“Kenapa?”

“Orangtua ku bercerai ketika aku masih kecil. Ayahku tak mau peduli karena telah kawin lagi, sibuk dengan istri mudanya. Sedangkan ibuku sibuk dengan.... Ah...!” Ganatri tak melanjutkan ceritanya.

“Ibumu kenapa?”

“Kau tentu akan jijik kalau aku mengatakannya....”

“Bagaimanapun buruknya, dia tetap ibumu yang menyebabkan kehadiranmu di dunia ini.”

“Ibuku..., ibuku seorang..., perempuan nakal,” lirih dan tersendat-sendat saat gadis itu mengucapkan kata-katanya. Rangga terdiam beberapa lama.

“Kau tentu jijik melihatku sekarang, bukan?”

“Kenapa kau berkata begitu?”

“Karena aku melihat Kakang Wangsa memandangku begitu, dan menganggapku perempuan murahan....”

“Hm.... Aku sempat mendengar ketika kalian berkelahi beberapa hari lalu. Bukankah dia menyukaimu, dan.... Tidakkah kau menyukainya juga?”

“Huh! Siapa yang suka dengan pemuda sepertinya? Dia merayuku hanya menginginkan sesuatu. Kak Dewi amat mencintainya dan rela menyerahkan kehormatannya. Dan Kakang Wangsa akan melakukan hal itu padaku. Tapi jangan harap aku akan mudah dirayunya begitu rupa. Setiap hari dia terus mendekati dan merayuku sampai Kak Dewi cemburu, puncaknya pada hari itu. Dia menuduhku merebut Kakang Wangsa dari sisinya. Tentu saja tuduhan itu tak bisa kuterima, dan berusaha menjelaskannya. Tapi Kak Dewi tetap menyalahkanku dengan mengungkit-ungkit apa yang dilakukan ibuku...,” jelas Ganatri. Sampai di situ Ganatri tak dapat lagi menahan haru. Gadis itu menangis sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.

“Sudahlah, Ganatri. Tak semua orang menganggapmu begitu. Harga diri seseorang tergantung dari sikapnya sendiri, bukan dari apa yang dilakukan orangtuanya...,” hibur Rangga sambil menepuk-nepuk punggung gadis itu.

Ganatri masih menangis terisak, dan Rangga terus berusaha menghiburnya sampai isak tangis gadis itu berhenti. Namun wajahnya masih tetap ditundukkan dalam-dalam. Rangga mengangkat dagunya hingga wajah mereka bertemu. Dipandanginya gadis itu sambil tersenyum kecil.

“Kau tak boleh larut dalam kesedihan. Masih banyak yang bisa dikerjakan untuk hari-hari selanjutnya. Ingatlah! Kehormatanmu ada di tanganmu, bukan dari sikap orangtua mu!”

“Kau tak menganggapku rendah, Kakang Rangga...?”

Rangga menggelengkan kepala.

“Sungguh?”
“Ya!”

“Oh, terima kasih, Kakang...!” Ganatri mendekap tangan pemuda itu erat-erat dengan kedua telapak tangannya. Senyumnya pun kembali mekar.

“Nah, hapuslah air matamu. Hari ini kita akan berangkat untuk menemui Tato Begananda.”

“Sekarang, Kakang? Apakah kau yakin bisa mengalahkannya?”

“Kita lihat saja nanti.”

“Tapi kau akan mengajariku ilmu itu, bukan?”

“Ya, tapi tidak sekarang.”

“Kapan pun akan kutunggu saat itu, Kakang.”

Rangga tersenyum dan berjalan pelan meninggalkan tempat itu, dan Ganatri mengiringi di sebelahnya. Gadis itu agaknya tak menyadari atau memang sengaja, sebab dia sendiri tak ingin melepaskan genggaman tangannya pada pemuda itu. Ada kegembiraan di hatinya yang belum pernah dirasakan sebelum saat ini. Ganatri sendiri tak yakin, perasaan apa itu sebenarnya?

***
TUJUH
Orang tua itu berdiri tegak sambil memegang sebatang pedang yang masih berada dalam warangka. Tubuhnya tinggi besar dengan kedua tangan kekar. Bajunya kuning dengan ikat kepala agak tinggi. Melihat caranya berpakaian, terlihat jelas kalau dia berasal dari seberang. Orang tua itu usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, namun tak sedikit pun terlihat lemah atau tak berdaya.

Bahkan dari sorot matanya yang tajam orang akan segera tahu, kalau dia bukan orang sembarangan. Tapi orang-orang yang mengelilinginya saat ini seperti tak melihat hal itu. Mereka hanya mengincar buntalan kecil yang tergenggam di tangan kirinya.

“Sekali lagi kuperingatkan, Orang Tua. Serahkan buntalan itu, atau nyawamu melayang sekarang juga!” dengus seseorang yang sebelah matanya picak sambil menunjukkan goloknya yang tajam berkilat.

“Kisanak, buntalan ini hanya berisi pakaian yang tak berguna bagi kalian.”

“Phuih! Banyak omong! Anak-anak, ayo rencah tua bangka busuk itu!”

“Yeaaa...!” Tujuh orang berwajah seram dan bertubuh besar langsung melompat sambil mengayunkan golok ke arah orang tua itu.

“Hup!”

“Jangan memaksaku berbuat kasar, Kisanak. Kalian tak mempunyai urusan denganku!” ujar orang tua itu sambil bergerak lincah menghindari serangan-serangan lawan.

“Jangan banyak bicara, Tua Bangka! Hari ini kau telah berurusan dengan Begal Rimba Palung!” sahut orang yang bermata picak, langsung ikut menyerang.

“Hup!”

“Mampus...!”

“Baiklah. Kalau memang kalian tetap berkeras juga, terpaksa Sanjung Lugai akan memberi pelajaran!”

Setelah berkata demikian, terlihat gerakan orang tua itu berubah cepat. Kali ini tidak sekadar menghindar, tapi balas menyerang.

Trak! Dukkk!
“Ugkh!”
“Yeaaa...!” br/>
Ketujuh pengeroyoknya tersentak. Dua orang mengeluh kesakitan terkena sodokan ujung warangka pedang, tepat di lambung. Dan ketika orang tua bernama Ki Sanjung Lugai itu bergerak, dua orang lawannya kembali terjengkang terkena hantaman kaki dan sodokan kepalan tangan, masing- masing di perut dan dada.

“Kurang ajar! Kau pikir bisa berbuat seenaknya kepada kami?! Phuih! Terimalah pembalasanku. Hiyaaat..!”

Laki-laki bermata picak melompat dan mengayunkan golok ke arah Ki Sanjung Lugai. Gerakannya hebat dan cepat. Agaknya dia betul-betul geram hingga langsung mengerahkan jurus terhebatnya.

“Yeaaat...!"
“Heh?!”
Trang! Wuuut!

“Keparat! Siapa kau?!”

Pada saat itu juga berkelebat sesosok bayangan memapaki serangan itu. Bukan main geramnya laki-laki bermata picak itu. Dia melompat menjauh untuk melihat siapa penyerang gelap itu. Ternyata tempat itu sudah terkepung rapat oleh sepuluh orang lebih, bersenjatakan payung perak. Penyerangnya tadi rupanya seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi dan masih memperlihatkan sisa kecantikan di masa mudanya. Di tangannya tergenggam sebuah payung perak. Sorot matanya tajam menusuk.

“Huh! Nyi Sri Asih, Ketua Perguruan Payung Perak! Ada urusan apa kalian menggangguku?!” dengus laki-laki bermata picak ketika mengenali penyerangnya.

“Parto Legowo, kau dan Begal Rimba Palungmu sungguh keterlaluan, aku tak bisa berpangku tangan melihat kecurangan kalian. Nah, pergilah dari hadapanku sebelum kesabaranku habis!” sahut perempuan yang dipanggil Nyi Sri Asih itu.

Laki-laki bermata picak yang bernama Parto Legowo bersungut-sungut kesal. Melihat jumlah lawan lebih banyak dari anak buahnya, ciut juga nyali Ketua Begal Rimba Palung. Perlahan-lahan mereka berkumpul dan bersiap meninggalkan tempat itu.

“Nyi Sri Asih, ingatlah peristiwa ini. Aku tak bisa mendiamkan saja. Suatu saat, rasakan pembalasanku!” ancam Parto Legowo.

“Huh! Menghadapi manusia rendah sepertimu, kapan saja aku siap! Enyahlah dari mukaku, cepaaat..!” bentak Nyi Sri Asih. Masih dengan wajah bersungut-sungut.

Parto Legowo meninggalkan tempat itu diikuti anak buahnya.

“Nisanak, aku Sanjung Lugai mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian,” ujar orang tua berbaju kuning seraya memberi salam penghormatan.

“Sudahlah. Ini hanya persoalan biasa. Mereka memang orang-orang yang tak bisa diberi hati. Ki Sanjung Lugai, kalau boleh ku tahu, akan ke manakah kau sekarang? Melihat caramu berpakaian, agaknya kau berasal dari negeri seberang.”

“Benar, Nyi....”

“Ah, maaf! Aku lupa menyebutkan nama. Namaku Sri Asih, dan mereka murid-muridku. Kami berasal dari Perguruan Payung Perak,” kata perempuan itu memperkenalkan diri.

“Oh, senang sekali bisa berkenalan dengan kalian. Perguruan Payung Perak pernah kudengar dari seberang sana. Kalian termasuk orang-orang yang berkepandaian tinggi. Kedatanganku ke sini karena ada urusan yang harus diselesaikan, sehubungan dengan beberapa muridku yang tewas dibantai orang-orang biadab.”

“Muridmu-muridmu tewas?” Nyi Sri Asih terkejut Perempuan berusia hampir setengah baya itu teringat peristiwa seminggu yang lalu. Dan mulai menduga-duga hubungannya dengan orang tua ini. “Ki Sanjung Lugai, apakah kau Ketua Perguruan Bangau Sakti?”

“Ah, ternyata pandanganmu cukup jeli, Nyi Sri Asih. Benar, aku Ketua Perguruan Bangau Sakti.”

“Ah! Sayang sekali, Ki. Aku turut berduka cita atas kejadian yang menimpa murid-muridmu....”

“Apakah kau juga mengetahui peristiwa itu?”

Nyi Sri Asih mengangguk. “Saat itu perguruan kami pun diundang Ki Satya Dharma. Tapi sesampainya di sana, perguruan itu telah porak-poranda. Beberapa orang muridnya yang selamat sempat memberi tahu kami, siapa yang melakukan perbuatan biadab itu....”

“Hm, ya.... Kematian Ki Satya Dharma pun telah kudengar. Untuk itulah aku datang ke sini. Orang yang telah menewaskan murid-muridku sama dengan orang yang membunuh Ki Satya Dharma.

“Orang itu bernama Tato Begananda. Dia memiliki kepandaian tinggi, dan kelakuannya belakangan ini semakin meresahkan....”

“Meresahkan bagaimana?”

“Orang itu banyak menewaskan tokoh-tokoh persilatan, semata-mata ingin mendapat pengakuan bahwa dirinya penguasa jagat dan rimba persilatan. Dan belakangan ini menggembar-gemborkan diri telah mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti,” jelas Nyi Sri Asih.

“Pendekar Rajawali Sakti? Siapa dia?”

“Seorang tokoh yang disegani di negeri ini. Dia adalah seorang pendekar pembasmi kejahatan yang memiliki ilmu tinggi dan sulit diukur....”

“Hm...,” gumam Ki Sanjung Lugai seraya mengerutkan dahi.

“Kini tokoh-tokoh persilatan akan bergabung untuk menghajar Tato Begananda.”

“Termasuk kalian juga?”

Nyi Sri Asih mengangguk cepat. “Kalau tak keberatan, kau boleh bergabung dengan kami. Karena kebetulan kita mempunyai urusan yang sama, yaitu menghadapi Tato Begananda. Saat ini banyak tokoh persilatan yang sudah menggabungkan diri....”

“Di mana?”

“Di tempat kediaman Ki Atmojo. Orang tua itu seorang tokoh yang disegani, setelah tewasnya Ki Satya Dharma.”

“Hm.... Baiklah kalau demikian.”

Kemudian, mereka bersama-sama menuju ke tempat kediaman Ki Atmojo. Orang tua itu memang memiliki pengaruh yang besar, setelah tewasnya Ki Satya Dharma. Selain memiliki ilmu silat serta ilmu olah kanuragan tinggi, dia juga terkenal arif dan bijaksana. Saat mereka tiba, di sana telah banyak berkumpul tokoh-tokoh persilatan dari berbagai golongan. Ki Atmojo menyambut gembira kehadiran Ki Sanjung Lugai.

“Ah, tak kusangka hari ini aku bertemu pendekar besar dari negeri seberang,” kata Ki Atmojo yang bertubuh agak pendek dan berkulit hitam.

Ki Sanjung Lugai tersenyum ramah. Apa yang diceritakan Nyi Sri Asih di sepanjang perjalanan tentang orang tua ini tak salah. Sorot matanya lembut dan tutur katanya sopan, dan sangat menghargai lawan bicaranya.

“Ah! Kisanak pandai sekali memuji. Aku hanya orang biasa seperti juga para sahabat yang berada di ruangan ini,” sahut Ki Sanjung Lugai.

Ki Atmojo terkekeh kecil mendengar jawaban itu. Kemudian memandang tokoh-tokoh persilatan yang ada di ruangan itu, dan berkata dengan suara pelan namun cukup jelas terdengar.

“Kisanak semua. Tujuan kita berkumpul di tempat ini adalah untuk bersatu, guna menumpas keangkaramurkaan yang dilakukan Tato Begananda beserta anak buahnya. Kita semua mengetahui, orang itu banyak menewaskan tokoh-tokoh persilatan tanpa alasan yang jelas selain menurutkan hawa nafsunya. Perbuatan itu sangat tidak terpuji, sadis, dan tak berperikemanusiaan. Sudah sepatutnya kita bersatu untuk menumpasnya!”

“Ki Atmojo, apakah kau yakin kita akan mampu mengalahkan orang itu? Kudengar dia berilmu tinggi dan memiliki sihir yang hebat. Bahkan terakhir kudengar, berhasil mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Ki Jumanta, seorang tokoh persilatan yang berkepandaian cukup tinggi.

“Ki Jumanta, orang itu memang berilmu tinggi, dan sampai saat ini tak seorang pun mampu menghalangi tindakannya. Kita semua juga mendengar Pendekar Rajawali Sakti dapat dikalahkannya. Tapi bukan berarti kalau kita harus takut menghadapinya. Bagaimanapun orang itu harus dihentikan, sebab perbuatan dan tindakannya selama ini sangat terkutuk dan biadab!” sahut Ki Atmojo tegas.

“Aku setuju dengan sikap Ki Atmojo. Apa pun yang terjadi, kita harus siap menanggung akibatnya. Kalau tidak ada yang berusaha menghentikan sepak terjangnya, apa jadinya dunia persilatan? Lagi pula, tak mungkin kita berpangku tangan saja. Sebab, cepat atau lambat orang itu akan mendatangi kita satu persatu,” timpal seorang tokoh persilatan bernama Ki Sapto Longko dengan bersemangat.

“Benar apa yang dikatakan Ki Sapto Longko. Kalau kita sudah sepakat menumpas keangkaramurkaan, maka kita harus sudah mengetahui apa akibatnya dan menerimanya dengan lapang dada. Jika memang kita harus tewas, maka kematian bukan tidak berharga. Mereka yang tewas memerangi kejahatan sangat terhormat dibanding mereka yang tewas karena berbuat kejahatan, atau tewas karena kepengecutan,” sambung Ki Sanjung Lugai.

Ruangan itu sepi seperti di pekuburan. Ki Atmojo menatap wajah mereka satu persatu. Sesaat kemudian, tak juga terdengar sahutan apa-apa. Orang tua itu kembali berbicara.

“Kisanak semua, kurasa keputusan pertemuan ini telah dicapai. Kita sepakat memerangi orang bernama Tato Begananda, dan menerima akibat yang akan kita derita. Bukankah demikian?!”

Semua yang hadir di tempat itu menyetujui keputusan yang diambil Ki Atmojo.

“Nah, kalau demikian. Mari kita berangkat sekarang menemui orang itu,” lanjut Ki Atmojo, langsung bangkit dari tempat duduknya.

Dengan semangat membara, orang-orang itu bangkit dan berjalan mengikuti Ki Atmojo.

***

Tempat itu sepi dan jauh dari keramaian manusia. Letaknya persis di dekat sebuah mulut gua, di tepi hutan yang cukup lebat. Pohon-pohonnya besar hingga batangnya tak mampu dipeluk orang dewasa. Di mulut gua terhampar halaman yang cukup luas, ditumbuhi rerumputan pendek. Di sekelilingnya ramai oleh obor-obor yang menerangi. Hari belum malam, tapi suasananya mencekam dalam kesepian dan gelapnya tempat itu.

Lebih dari dua puluh lima orang tanpa baju, berkumpul di tempat itu. Wajah mereka penuh coreng-moreng dan rambut tak terurus. Di dada, leher, dan pinggang penuh dengan tulang-belulang tengkorak manusia. Orang-orang itu hanya mengenakan cawat yang terbuat dari kulit binatang. Di tangan mereka tergenggam sebilah parang. Semua memandang ke tengah tanpa berkedip.

Di situ berdiri sebuah tonggak, terpancang dengan obor di atasnya. Di dekatnya terdapat sebuah altar batu yang cukup lebar, tingginya sekitar empat jengkal dari permukaan tanah. Di atasnya tergeletak seorang bayi yang terus menangis sejak tadi.

Sementara di dekatnya berdiri tegak seorang laki-laki berwajah tampan dengan sorot mata angker. Baju yang dikenakannya terbuat dari kulit binatang, dan berhiaskan tulang-belulang tengkorak manusia. Dialah Tato Begananda.

“Hari ini kita kembali mempersembahkan korban, seorang bayi montok yang sehat dan gemuk,” kata Tato Begananda.

“Hidup, Ketua...!”

“Hidup, Penguasa Rimba Persilatan!”

Semua anak buahnya mengelu-elukan. Tato Begananda tersenyum bangga. Dan ketika beberapa di antara mereka memainkan bunyi-bunyian, maka dengan serentak mereka menari-nari mengikuti irama, diiringi suara riuh dari mulut mereka. Setelah selesai menari, mereka membentuk barisan menghadap Tato Begananda. Orang itu telah mengeluarkan topeng kayu dari balik baju, dan langsung mengenakannya. Dicabutnya parang yang terselip di pinggang dan diangkatnya tinggi-tinggi.

“Demi Sang Hyang Kegelapan! Dan demi iblis-iblis penguasa alam semesta! Berikanlah kekuatanmu kepada kami untuk memerintah jagat ini, dan memusnahkan orang-orang yang tak mau tunduk kepadamu. Kami persembahkan seorang bayi dan darah segar kepadamu!” teriak Tato Begananda, yang diikuti anak buahnya. Setelah semua mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba....

“Yeaaa...!”

Cras!

Darah membanjir di altar, ketika Tato Begananda menghunjamkan parangnya yang tajam berkilat ke tubuh bayi yang tak berdosa itu. Tangisnya langsung terhenti. Suasana di tempat itu semakin mencekam ketika kilat membelah angkasa dan petir menyambar ke segala arah. Angin kencang bertiup menerbangkan daun-daun serta ranting kering. Anak buahnya langsung bersujud. Tato Begananda berdiri tegak sambil merasakan tubuhnya yang bergetar hebat.

Perlahan-lahan terlihat keajaiban. Darah bayi itu menguap dan membentuk asap merah yang bergerak cepat menyambar topeng kayu yang dikenakannya. Kejadian itu terus berlangsung sampai darah bayi itu habis, dan hanya terlihat tubuh kecil keriput menampakkan tulang-belulangnya.

“Hari ini Sang Hyang Kegelapan telah memberi restu pada kita. Kalian boleh menggunakan tulang-belulang bayi ini sebagai tanda kekuasaannya!” kata Tato Begananda.

Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya langsung menyerbu bagai hewan kelaparan, lalu mempereteli tubuh bayi itu! Mereka memperebutkan tulang-belulangnya untuk dijadikan perhiasan tubuh. Namun saat itu terdengar bentakan keras dan nyaring. Disusul gemuruh petir menyambar tempat itu. Sebatang pohon besar tumbang dan hangus terbakar.m

“Iblis-iblis keparat! Perbuatan kalian sungguh biadab. Hari ini tibalah saat kematian kalian!”

“Heh...?!”

Serentak mereka berpaling, dan melihat tempat itu telah terkepung rapat oleh orang-orang bersenjata lengkap. Tato Begananda terkejut sesaat, tapi akhirnya tertawa terbahak-bahak.

“Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa harus bersusah-payah, kalian telah menyerahkan diri padaku!”

“Tato Begananda, menyerahlah! Kau harus menerima hukuman atas dosa-dosamu yang telah melebihi batas!” bentak seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek dan berkulit hitam.

Tato Begananda menatap tajam sambil menyeringai buas. “Orang tua busuk! Siapa kau! Apa kau ingin mampus lebih dulu! Kemarilah kalau itu maumu!”

“Dasar manusia iblis! Agaknya orang sepertimu memang tak bisa diberi hati. Baiklah, kalau memang itu keinginanmu. Aku, Ki Atmojo yang akan memberi pelajaran!” geram orang tua itu sambil mencelat cepat dan mencabut keris yang terselip di pinggangnya.

“Hup!” “Yeaaa...!”

***
DELAPAN
Bersamaan dengan berkelebatnya Ki Atmojo menyerang Tato Begananda, tokoh-tokoh persilatan golongan putih lain pun menyerang anak buahnya. Pertarungan besar-besaran tak bisa dielakkan lagi. Tapi jumlah mereka tak seimbang. Orang-orang yang datang bersama Ki Atmojo lebih dari tiga puluh orang, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Termasuk di antaranya Ki Sanjung Lugai, Nyi Sri Asih, Ki Jumanta, dan Ki Sapto Longko.

Saat itu, gerimis mulai turun meramaikan suasana di antara suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan yang menggelegar. Ki Atmojo mulai merasakan pengaruh lawan yang mengenakan topeng kayu di wajahnya. Tenaganya seperti berkurang dan pikirannya terasa kosong. Berkali-kali lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala, tapi pikirannya tak kunjung sadar. Serangan-serangannya mulai kacau.

“Yeaaa...!”
Cras!
“Akh!”

“Ha ha ha...! Kau pikir semudah itu mengalahkanku? Kini, terimalah kematianmu!” ejek Tato Begananda sambil mengayunkan parang ke arah lawan.

Ki Atmojo mendengus garang dengan wajah berkerut sambil memegangi punggungnya yang terasa perih terkena ujung senjata lawan, hingga menimbulkan luka yang cukup lebar.

“Hiyaaat..!”
“Ki Atmojoo, awas...!”
“Keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!”
Trak! Trang! Cras!
“Akh...!”

Tato Begananda menggeram. Dadanya terluka terkena ujung pedang Ki Sanjung Lugai yang mendadak berkelebat menyerang, melindungi Ki Atmojo dari serangan lawan. Kalau hanya orang tua itu yang menyerang, mungkin Tato Begananda masih bisa mengelak dan balas menyerang. Tapi yang datang membantu Ki Atmojo empat orang! Mereka adalah Nyi Sri Asih, Ki Jumanta, dan Ki Sapto Longko, dan Ki Sanjung Lugai sendiri.

Tentu saja hal itu membuat Tato Begananda bingung dan terkejut setengah mati. Beruntung bisa menyelamatkan diri sehingga hanya sedikit terluka.

Ki Sanjung Lugai baru akan membuka mulut ketika melihat keanehan yang terjadi di depan matanya. Seiring dengan geraman lawan, saat itu juga darah dari luka di dadanya menetes ke tanah dan menjelma menjadi sesosok tubuh kembaran Tato Begananda! Hal itu terus berlangsung, hingga kembarannya berjumlah sepuluh orang!

“Keparat! Ilmu iblis apa lagi yang dikeluarkannya?!” maki Ki Atmojo, bersungut-sungut.

“Ha ha ha...! Kalian kira mudah membinasakanku? Ha ha ha...! Kali ini, rasakan pembalasanku. Yeaaat...!”

Tato Begananda beserta kembarannya melesat cepat menyerang lawan-lawannya. Mereka tersentak kaget dan langsung bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Trang!
Cras!
“Aaakh...!”

“Manusia iblis! Tampakkan dirimu yang sebenarnya, kalau memang kau penguasa rimba persilatan yang tak terkalahkan!” geram Ki Jumanta sambil mendekap perutnya yang robek terkena senjata lawan.

Hal yang membingungkan mereka adalah sulit menghadapi lawan yang sesungguhnya. Bila senjata mereka terayun memapas tubuh lawan, maka akan mengenai tempat kosong menghantam angin saja. Dan dengan cepat Tato Begananda yang asli mengayunkan parang. Ki Jumanta terkecoh dan menjadi korban yang pertama. Untuk menghadapi kemungkinan, terpaksa mereka menghadapi dan menangkis setiap serangan yang datang dari orang-orang yang menyerupai Tato Begananda. Dan hal itu cukup menguras tenaga, sebab serangan yang datang sangat bertubi-tubi. Belum lagi pengaruh ilmu iblis yang dikerahkan lawan yang membuat pikiran menjadi kosong, sehingga serangan-serangan mereka lemah tak bertenaga dan tak beraturan.

“Hiyaaa...!”
Trak! Breeet!
“Aaa...!”

Ki Jumanta menjerit kesakitan ketika tubuhnya terlempar bermandikan darah disambar senjata lawan. Ki Jumanta yang telah terluka semakin berkurang kegesitannya, hingga tak mampu bergerak cepat menghindari setiap serangan yang datang ke arahnya. Lelaki gagah itu tewas dalam keadaan yang mengerikan.

“Keparat! Manusia iblis!” maki Ki Sapto Longko.

“Hiyaaat..!”
Breeet! Cras!
“Aaakh...!”

Orang tua itu memekik kesakitan. Dan menjadi korban kedua setelah Ki Jumanta. Kepalanya menggelinding, terpisah dari tubuhnya. Sementara Ki Atmojo, Ki Sanjung Lugai, dan Nyi Sri Asih masing-masing mendapat luka parah pada bagian dada mereka. Dalam keadaan lemah tak berdaya dan tenaga terkuras habis, mereka betul-betul menjadi sasaran empuk lawan. Tak heran kalau Tato Begananda semakin girang dibuatnya.

“Kali ini terimalah kematian kalian, Orang- orang Dungu! Yeaaa...!”

Trang!
“Heh...?!”

Ketiga orang tua itu sudah pasrah dan memejamkan mata menerima kematian mereka. Karena untuk menghindar pun rasanya percuma. Tato Begananda bersama kembarannya yang berjumlah sepuluh orang, mengepung dari segala arah. Siapa yang asli di antara mereka, tidak diketahui ketiga orang itu.

Saat itulah berkelebat sesosok bayangan yang langsung menangkis senjata Tato Begananda asli, hingga bergetar. Tokoh sesat itu terkejut dan menghentikan serangan. Dilihatnya sesosok tubuh berbaju rompi putih tengah membelakanginya. Tato Begananda langsung mengenali sosok itu. Apalagi saat melihat seorang gadis berbaju hijau di sebelahnya.

“Pendekar Rajawali Sakti? Hm, bagus! Kali ini kau tak akan selamat dari kematian!”

Orang yang baru datang itu memang Rangga bersama Ganatri. Pendekar Rajawali Sakti menyahut dingin tanpa menoleh ke arah lawan.

“Tato Begananda! Kalau kematianku mampu melenyapkan iblis yang bersarang di hatimu, aku tak akan menyesal sedikit pun. Hari ini biarlah kita tentukan, kau atau aku yang harus binasa!” sahut Rangga garang.

Melihat kehadiran Pendekar Rajawali Sakti, ketiga tokoh persilatan golongan putih itu menghela napas lega.

“Pendekar Rajawali Sakti! Oh, syukurlah kau cepat datang. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kami,” ujar Nyi Sri Asih.

“Kisanak, hati-hati menghadapi manusia iblis ini. Dia memiliki ilmu sihir yang ganas!” seru Ki Atmojo.

“Ha ha ha...! Diamlah kalian, Manusia-manusia Dungu! Apa kalian kira bocah ingusan ini mampu menghentikanku! Huh! Aku bersumpah akan membuatnya jadi potongan-potongan kecil, untuk makanan anjing-anjing hutan kelaparan!” kata Tato Begananda, geram.

“Ganatri, bantulah mereka menempur anak buahnya. Biar orang ini bagianku...,” kata Rangga lirih.

“Baiklah. Hati-hati, Kakang....”

Setelah berkata demikian, Ganatri langsung melompat dan mengamuk bagai singa betina kehilangan anak. Sementara Rangga membuka ikat kepala untuk menutupi kedua matanya, lalu memusatkan pikiran guna mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Kemudian, tubuhnya diputar hingga berhadapan dengan lawan.

“Manusia iblis, silakan mulai...!” kata Rangga, mantap.

“Huh! Kau kira dengan cara itu mampu mengalahkanku?! Mari kita buktikan! Yeaaat...!”

Dua orang kembaran Tato Begananda menyerang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi ketiga tokoh tua yang menyaksikan kejadian itu jadi tercekat hatinya. Saat itu mereka melihat Pendekar Rajawali Sakti tak bergerak sama sekali. Begitu juga ketika kembaran Tato Begananda menyerang. Barulah ketika lima orang lawan bergerak serentak menyerang dengan senjata terhunus, Rangga bergerak cepat dan menghantamkan pedang yang masih berada dalam warangka.

Trak! Wuuut!

Tato Begananda terkejut setengah mati. Senjatanya dapat ditangkis dengan mudah. Kalau saja saat itu tak cepat menghindar, tenggorokannya pasti tertembus sarung pedang lawan.

“Yeaaa...!” Rangga berteriak keras. Agaknya pemuda berbaju rompi putih ini tak mau memberi hati pada lawan untuk bernapas barang sesaat. Tubuhnya bergerak cepat sambil melakukan serangan-serangan gencar.

Sementara, Tato Begananda terlihat mulai kewalahan menghadapi serangan lawan. Perlahan-lahan tokoh sesat ini mulai tersudut dan tak mampu balas menyerang. Hatinya geram bukan main karena lawan tak terpengaruh topeng kayu yang dikenakannya. Pendekar Rajawali Sakti kini seperti memiliki mata yang dapat mengetahui dirinya yang asli.

“Setan! Mampuslah kau, hihhh...!”

Dalam keadaan terjepit, telapak tangan kiri Tato Begananda disorongkan ke muka. Dari situ terpancar sinar ungu yang langsung menderu menghantam Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi pemuda digdaya dari Karang Setra itu dapat merasakan dan bergerak menghindar. Dengan gemas, dibalasnya serangan itu dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. “Hiyaaat...!” Dari telapak tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti terpancar sinar merah, membalas serangan 'Kelabang Ungu' yang tadi dilancarkan lawan.

“Uts...! Sial!”
Brakkk!

Tato Begananda yang asli cepat bergerak menghindar, hingga pukulan Pendekar Rajawali Sakti menderu menghantam mulut gua. Seketika, gua itu pun hancur berantakan membentuk lubang yang lebih besar.

“Bagus! Tak percuma kau disegani setiap tokoh persilatan, ternyata kepandaianmu boleh juga diandalkan!”

“Bicaralah sepuasmu, tapi jangan harap kau akan lepas dari tanganku!” dengus Rangga.

“Huh! Kalau saja saat itu burung sialan itu tak menyelamatkanmu, kau pasti tinggal nama saja. Tapi kali ini, jangan harap hal itu akan terjadi lagi. Kaulah yang bersiap-siap menjemput ajalmu!” balas Tato Begananda garang.

Agaknya Tato Begananda benar-benar ingin membuktikan ucapannya. Tokoh sesat itu kini merubah jurusnya, dan terlihat gerakannya mulai lincah dengan pengerahan tenaga dalam kuat Pendekar Rajawali Sakti bukan tidak mengetahuinya.

Kalau saja saat itu matanya terbuka, tentu akan lebih leluasa menyerang lawan. Tapi kalau hal itu dilakukan, dirinya akan celaka terkena pengaruh ilmu sihir lawan. Pendekar Rajawali Sakti jadi serba salah. Kali ini semua gerakannya tergantung pada pendengaran yang tajam. Dan lawan agaknya tahu hal itu, sehingga menyerangnya dengan suara ribut dan berteriak-teriak mengganggu pendengarannya.

“Yeaaa...! Hiyaaat...!”
Wuuut! Dukkk!

“Ugkh...!” Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan ketika sebuah tendangan lawan menghantam perutnya. Cepat-cepat tubuhnya jungkir balik ke belakang. Samar-samar telinganya merasakan angin serangan lawan menyambar kepalanya, dengan cepat tubuhnya ditekuk sambil berputar cepat.

“Yeaaa...!”
Crasss!

Pendekar Rajawali Sakti kembali berteriak kesakitan ketika dadanya terkena ujung senjata lawan. Untung hanya tergores sedikit, tapi dirasakan kalau lawan terus mengejarnya seperti tiada henti. Terpaksa Rangga jungkir balik menghindarkan diri sambil berteriak keras.

“Hiyaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut pedang pusakanya. Saat itu juga, terpancar sinar biru menerangi tempat itu.

Tato Begananda terperangah sesaat. Tokoh sesat berhati iblis ini sudah menyaksikan kedahsyatan pedang lawan, maka tak heran kini mulai berhati-hati.

Waktu yang sekejap itu sudah cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mengetahui kedudukan lawan. Tubuhnya berkelebat cepat bagai sapuan angin kencang menyambar ke arah lawan.

“Yeaaa...!”
“Hup!”
Tras! Tras! Breeet!

“Aaakh!”
“Heh...!?”

Terdengar pekik kesakitan Tato Begananda ketika pedang lawan menggores dadanya dua kali, menimbulkan luka yang amat dalam. Parang di tangannya yang digunakan untuk menangkis, terbabat menjadi empat bagian!

Kalau lawan merasa terkejut dan kesakitan, sebaliknya Pendekar Rajawali Sakti keheranan. Pedangnya bukanlah senjata sembarangan. Tak ada seorang pun yang mampu menahan sambarannya. Sekali melukai lawan, maka jangan harap akan mampu bangkit dan kembali menyerangnya. Tapi Tato Begananda dirasakan masih tetap berdiri sambil menggeram hebat, siap balas menyerang.

“Keparat! Kekuatannya pasti bersumber pada topeng kayu yang dikenakannya. Aku harus lebih dulu menghancurkan topeng itu, baru kekuatannya akan melemah!” gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menggeram pelan.

“Bocah keparat, terimalah kematianmu!” ancam Tato Begananda menggeram hebat seraya langsung menyerang. Kedua tangannya berubah ungu dan angin kencang menderu ketika tubuhnya berkelebat. Kali ini seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga bisa merasakan kalau lawan ingin mati bersama. Dengan tenang diusapnya batang pedang dengan telapak kiri, kemudian cepat melompat memapaki serangan lawan. “Aji 'Cakra Buana Sukma'...!”

Trasss!
Glarrr!
“Hugkh...!”

Setelah ledakan keras, suasana kembali tenang. Kejadian itu begitu cepat. Bahkan ketiga tokoh tua yang memperhatikannya, tak tahu apa yang telah terjadi. Gerimis yang sudah berubah menjadi hujan lebat, mengguyur tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak membelakangi lawan yang terkapar di tanah!

Pendekar Rajawali Sakti menyambar topeng kayu lawan dengan ujung pedangnya, dan memotongnya menjadi empat bagian yang sempat melukai wajah lawan. Tentu saja Tato Begananda kelabakan dan menjerit kesakitan. Tapi suaranya tercekat ketika pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti membungkam dirinya. Meskipun telah melepaskan pukulan 'Kelabang Ungu', tapi pukulannya tertindih oleh pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang terus menderu menghantam tubuhnya. Akibatnya sungguh hebat!

Tubuh tokoh sesat yang menggiriskan itu terbungkus sinar biru beberapa saat sebelum akhirnya gosong laksana arang! Melihat pimpinannya tewas, sisa anak buah Tato Begananda langsung melarikan diri. Namun beberapa orang tak lepas dari serangan tokoh golongan putih yang ada di situ. Sehingga yang berhasil kabur menyelamatkan diri hanya lima orang saja.

Mereka berkumpul mendapati Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan, Ganatri sudah lebih dulu mendekat dan memandang Rangga dengan wajah cemas.

“Kakang Rangga, kau tak apa-apa...?”

Rangga membuka penutup matanya perlahan-lahan. Lalu sekilas memandang mayat lawan dan orang-orang di sekelilingnya, kemudian menggeleng lemah sambil menatap Ganatri.

“Oh, syukurlah. Aku sangat mengkhawatirkan dirimu...!” Tanpa disadari, Ganatri melepaskan kegelisahan hatinya dengan memeluk Pendekar Rajawali Sakti erat-erat.

“Eh, Ganatri. Apa kau tak malu dilihat begitu banyak orang?” ujar Rangga, jengah dipeluk sedemikian rupa oleh seorang gadis.

Ganatri baru tersadar ketika mendengar kata-kata Rangga. Cepat-cepat pelukannya dilepaskan, dan kepalanya ditundukkan sambil sesekali memandang wajah Pendekar Rajawali Sakti dengan tersenyum malu.

“Kisanak, kami semua mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, entah apa yang terjadi pada kami,” kata Ki Atmojo mewakili yang lain.

“Ah! Jangan berkata begitu, Kisanak. Aku hanya melakukan tugas. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong. Apalagi membantu memerangi kejahatan,” sahut Rangga.

“Ya, ya.... Kau benar. Tapi saat ini kau telah menolong kami. Untuk itu kami akan mendapat kehormatan besar jika kau sudi mampir ke gubukku, sekadar menghirup teh hangat pelepas dahaga.”

“Terima kasih, Kisanak. Sebenarnya aku ingin sekali, tapi saat ini masih banyak tugas yang menanti ku. Mohon kalian sudi memaafkan aku karena tak sempat mampir. Mudah-mudahan, lain waktu aku dapat bertamu ke rumah kalian,” tolak Rangga, halus.

Beberapa tokoh lain mencoba menahan pemuda digdaya dari Karang Setra itu. Tapi Rangga tetap pada pendiriannya. Akhirnya mereka tak mampu menahan Pendekar Rajawali Sakti untuk berlalu. Diiringi curah hujan dan pandangan kagum, mereka mematung sesaat menatap kepergian Pendekar Rajawali Sakti yang didampingi seorang gadis cantik berbaju hijau.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar