Pendekar Rajawali Sakti eps 087 : Pusaka Goa Naga

SATU
MENTARI pagi bersinar cerah ketika burung-burung di ranting dan cabang pohon mulai riuh bernyanyi. Embun di padang rumput menguap ke angkasa. Dan angin bertiup sepoi-sepoi. Lengkap sudah keindahan alam semesta, yang dirasakan pemuda tampan berambut panjang terurai dan berbaju rompi putih itu. Dihirupnya udara pagi, hingga dadanya yang bidang semakin mengembang. Sambil melemaskan tubuh, pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, bergerak ke sana kemari seperti orang menari.

"Hup!" Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti ditekuk sebatas perut, dan kedua tangannya membentuk jurus

"Yeaaa...!"

Kakinya menendang ke depan dengan tubuh berputar, disusul tendangan kaki yang lain. Ketika tumitnya menjejak tanah, saat itu juga tubuhnya mengapung di udara membentuk lompatan-lompatan kecil. Bergulung-gulung bagai ombak samudera.

"Hiyaaa...!"

Kedua kakinya bergerak lincah silih berganti, diikuti kibasan dan sodokan kedua tangan secara beraturan. Dan tak lama kemudian, gerakannya dihentikan, setelah peluh bercucuran di tubuhnya.

Plok, plok, plok...!

"Hebat, Kisanak! Hebat sekali pertunjukanmu...!"

"Heh?!"

Di sana telah berdiri seorang pemuda berambut panjang, berbaju merah dengan pedang tersandang di punggung. Dari wajahnya, terlihat usia mereka tidak terpaut jauh. Tapi Rangga menaruh curiga. Sebab, wajah pemuda itu terlihat sadis, dengan sorot mata tajam menandakan kekerasan hati dan wataknya.

"Siapa kau, Kisanak?"

"Namaku Ayodea. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?"

"Hm!... Benar."

"Kata orang, kau pendekar tangguh yang tidak terkalahkan?"

"Aku tidak merasa sehebat itu."

"Ternyata kau pandai mengelak."

Rangga mulai tak menyukai pemuda itu. Sikapnya sangat angkuh, dan kata-katanya terdengar sinis.

"Kisanak, kita tidak saling mengenal dan tidak mempunyai urusan. Kalau tidak ada lagi yang ingin diketahui, aku akan melanjutkan perjalanan," ujar Rangga sambil membalikkan tubuh.

"Tunggu!"

"Ada apa lagi?" tanya Rangga, berbalik menghadap Ayodea.

"Susah payah aku mencarimu, dan tidak akan kubiarkan kau berlalu begitu saja setelah berhasil kutemui!"

Rangga mengerutkan dahi. "Kisanak, bicaramu semakin aneh saja. Ada urusan apa sampai kau bersusah payah mencariku?"

"Menantangmu berduel!" jawab Ayodea tegas.

Rangga menggeleng lemah. "Kau salah memilih orang, kalau keinginanmu mengajakku berkelahi. Aku tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk dipamerkan. Selamat tinggal, Sobat."

"Sombong! Yeaaat..!"

"Heh!"

Plak! Wuttt!

"Jangan memaksaku, Kisanak!"

"Tak peduli apa katamu! Kau harus melayaniku, sampai salah seorang di antara kita ada yang kalah!" sentak Ayodea.

Rangga terpaksa menangkis dan meladeni serangan pemuda itu. Tiba-tiba, Ayodea melompat dan menyerangnya dengan pukulan dan tendangan maut.

"Bersungguh-sungguhlah, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak main-main dengan seranganku!"

"Kisanak. Sekali lagi kuminta, jangan memaksaku."

"Hiyaaat..!"

Ayodea menjawab dengan ayunan kaki ke dada lawan. Rangga memiringkan tubuh. Tapi, kaki lawan yang lain sudah menyapu bagian bawah tubuhnya.

"Uts!"

Plak!

"Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti merasakan serangan pemuda itu semakin lama semakin berat saja. Melihat caranya bergerak, Ayodea pantas mendapat acungan jempol. Ilmu silatnya termasuk tinggi, serta tubuhnya mampu bergerak gesit dan cekatan. Pukulannya pun berat, menimbulkan desiran angin kencang. Suatu pertanda, Ayodea memiliki tenaga dalam yang kuat dan hebat.

"Tidak mengapa kau memandangku remeh. Aku tidak peduli bila kau sampai jatuh di tanganku!" bentak Ayodea semakin garang, melihat Rangga masih menangkis dan menghindar terus.

"Kisanak, kepandaianmu cukup tinggi dan hebat Lebih baik kau amalkan untuk membela kebenaran."

"Tutup mulutmu! Aku tidak perlu nasihatmu!"

"Apa alasanmu mengajakku bertanding?"

"Namamu terlalu terkenal, dan harus ada yang menghentikan!"

"Hm.... Kau ingin mencari ketenaran dengan mengalahkanku?"

"Begitulah...."

"Sayang, kau menempuh jalan yang salah...."

"Sekali lagi, aku tidak perlu nasihatmu! Ayo, seranglah aku! Apakah kebiasaanmu hanya menghindar seperti perempuan?"

"Menghindar demi kebaikan jauh lebih bagus, daripada menyerang untuk tujuan yang tidak berguna!"

"Setan!"

"Uts!"

"Terimalah jurus andalanku, 'Langit Kelam Membelah Awan'!" bentak Ayodea semakin kalap.

Gerakan Ayodea berubah cepat. Jurus andalannya menyerang Rangga dari segala arah. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang kuat serta kelincahan bergerak, Pendekar Rajawali Sakti dapat didesaknya.

"Hup!"

Rangga berjumpalitan ke belakang, membuat beberapa putaran.

"Yeaaa...!"

Plak!

Desss!

"Akh...!"

Rangga mengeluh pelan. Dengan tak terduga, pemuda berbaju merah itu berkelebat cepat. Dan, melancarkan serangan dengan mengayunkan kepalan tangan menyodok pinggang. Rangga menangkis dengan kibasan tangan kiri. Tapi, tubuh lawan berputar cepat dan kakinya diayunkan ke arah perut. Meski berusaha menghindar, tak urung satu tendangan keras menghantam sisi perutnya.

"Hiyaaa...!"

Rangga berteriak keras, dan tubuhnya berputaran membuat beberapa lompatan kecil. Menghindari serangan susulan Ayodea.

Merasa satu pukulannya mengenai sasaran, Ayodea semakin bernafsu menghajar lawan. Dan, Rangga semakin kesal dibuatnya. Sambil menggeram hebat, pemuda berbaju rompi putih itu memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', ketika kakinya baru saja menjejak tanah.

"Hiyaaat..!"

Plak!

"Uts!"

"Yeaaa...!"

Ayodea menyerang kedua kaki lawan dengan tendangan kaki kiri dan kanan. Tujuannya, mematahkan lutut bagian belakang. Rangga menyodok dengan sisi telapak tangan, dan menghantam tulang kering lawan. Lalu, tubuhnya bergerak ke kiri. Sementara, Ayodea menekuk lutut kanan dan berputar ke samping mengejar lawan.

"Hiyaaat...!"

Plak!

"Uts...!"

Plak!

Desss!

"Akh...!"

Pertarungan jarak dekat antara mereka berlangsung cepat, saling pukul dan tangkis. Dan ketika Rangga melompat ke atas melewati kepala lawan, tubuh Ayodea yang sejajar tanah mampu mengayunkan kedua kakinya. Namun dengan indahnya, Pendekar Rajawali Sakti memapaki serangan itu dengan kedua telapak kakinya. Tubuhnya langsung melejit ke atas, membuat beberapa putaran. Ayodea melenting sambil menyodokkan satu pukulan keras bertenaga kuat. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti telah berputar dan menyodokkan pukulan ke dada lawan.

Ayodea menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar dua tombak. Rangga sendiri jatuh ke tanah dengan kedua telapak tangan menjejak bumi. Dan, kembali melenting dengan satu kaki menghajar telak perut lawan. Kembali tubuh Ayodea terpental, dan memuntahkan darah segar dari mulut.

"Cukup sudah permainan kita kali ini, Kisanak!" ucap Rangga tegas sambil memandang tajam pemuda berbaju merah itu.

Sriiing!

Ayodea mencabut pedang dan bangkit dengan sorot mata tajam.

"Huh! Jangan merasa menang dulu. Layani permainan pedangku!"

"Kisanak, jangan keterlaluan...."

"Yeaaa...!"

Pedang Ayodea itu berkelebat cepat, menimbulkan desingan yang bercuitan. Rangga sangat terkejut melihatnya. Permainan pedang lawan sangat dahsyat. Tubuhnya seperti terkurung oleh kelebatan pedang lawan, yang membungkus ketat ke mana saja tubuhnya bergerak menghindar.

Wuttt!

"Uts... He?!"

Crasss!

"Akh!"

Rangga mengeluh. Ujung pedang Ayodea menggores bahu kirinya. Memang tidak menimbulkan luka yang berarti, tapi cukup untuk membuktikan ketangguhan ilmu pedang lawan.

"Cabut pedangmu! Aku sungguh-sungguh ingin membunuhmu!" sentak Ayodea kesal.

Rangga menggeram hebat. Paras wajahnya berubah garang, dan hawa kemarahan mulai merasuk hatinya. Pemuda berjubah merah ini agaknya tak bisa diberi hati. Kalau terus seperti ini, dirinya akan celaka sendiri. Padahal, di antara mereka tidak ada rasa dendam atau sakit hati.

"Baiklah kalau kau memaksa, Kisanak...."

Sring!

"Heh?!"

Wajah Ayodea yang tadi tampak girang karena lawan menyambut tantangannya berubah kaget, ketika melihat cahaya biru menerangi tempat itu. Cahaya itu berasal dari pedang lawan. Rangga berteriak nyaring. Ayodea tersentak dan bersiap dengan pedangnya.

"Hiyaaa...!"

Trasss!

"Heh?!"

Begkh!

Ayodea memapak ayunan pedang lawan dengan senjatanya. Tapi hatinya jadi kecewa melihat pedangnya putus seperti kayu lapuk. Pemuda itu terdiam beberapa saat, dan kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Kepalan tangan kirinya meluncur menyodok dada Ayodea. Pemuda berbaju merah itu menjerit. Pendekar Rajawali Sakti kembali melancarkan satu tendangan ke dada.

Tubuh Ayodea yang terpental ke belakang, kini terlempar lebih jauh lagi. Dari mulut dan hidungnya mengucur deras cairan merah. Pemuda itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya terasa lemah dan tulang sumsumnya serasa patah. Napasnya tersengal-sengal tidak beraturan. Rangga menyarungkan pedangnya, seraya memandang tajam Ayodea.

"Kisanak, mudah-mudahan peristiwa ini akan membuatmu jera. Mencari ketenaran, dengan jalan mencelakakan orang lain adalah perbuatan tercela. Kau merugikan dirimu sendiri," ucap Rangga sambil berlalu dari situ.

Ayodea tertunduk, tak mampu berkata apa-apa. Matanya sayu, memandangi langkah-langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti.

***

Lama Ayodea terdiam, setelah mengatur pernapasan. Rasa nyeri masih terasa, tapi dia sudah mampu berdiri. Pemuda itu tidak segera pergi. Pikirannya menerawang jauh seraya menghela napas panjang. Hatinya yang dirasuki dendam dan niat untuk mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti, semakin membara di dada. Tapi, dengan kepandaian seperti sekarang, tidak mungkin pendekar sakti itu dilawan untuk membalas dendamnya yang sedalam lautan.

"Hhh...!"

Ayodea mendengus. Tarikan wajahnya keras dan urat di pelipisnya menggembung. "Aku harus menambah kepandaian untuk bisa mengalahkannya!" gumam Ayodea pelan. Tapi, kemudian kembali kata-katanya direnungkan.

"Siapa kira-kira yang bisa menunjukkan pada ku tempat orang sakti berada? Tapi..., Pendekar Rajawali Sakti seperti tak terkalahkan. Puluhan tokoh-tokoh silat kelas satu jatuh di tangannya. Percuma saja jika aku berguru pada mereka. Seharusnya, ada warisan atau peninggalan dari tokoh-tokoh terdahulu yang tidak pernah terkalahkan!"

Saat itu, muncul tujuh orang laki-laki berbaju serba merah dan langsung menuju ke arahnya.

"Ki Ayodea...! Kenapa jadi begini, Ki?" tanya seseorang dengan wajah cemas.

Ayodea bangkit dan berusaha bersikap gagah, sambil mendengus sinis. "Aku tidak apa-apa!"

"Engkau sudah berjumpa Pendekar Rajawali Sakti?" tanya seorang berambut panjang dengan wajah penuh brewok.

"Itu bukan urusanmu, Sampurno!"

Orang yang dipanggil Sampurno terdiam seketika. Wajahnya tampak kesal, kemudian berjalan bersama seorang kawannya di barisan belakang. Diikutinya langkah Ayodea yang meninggalkan tempat itu.

"Kali ini, dia pasti kena batunya!" bisik Sampurno, sambil mendekatkan kepala di telinga kawannya.

"Kenapa kau menduga begitu?"

"Banyak darah tercecer, dan napasnya masih terdengar sesak, serta wajahnya yang pucat sesekali menahan rasa sakit. Dia pasti sedang terluka dalam," jelas Sampurno.

"Maksudmu, dia dikalahkan?"

Sampurno mengangguk.

"Oleh siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti! Dia begitu bernafsu untuk mengalahkan pendekar tersohor itu."

"Tapi, tetap saja kita tidak mampu berbuat apa-apa...," sahut kawannya sambil menghela napas panjang.

"Paling tidak, arwah Ki Tambak agak lega. Karena, keangkuhan pemuda itu sedikit berkurang dengan peristiwa ini. Dia yang merasa dirinya paling hebat, kali ini ketemu batunya setelah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti."

"Tapi orang sepertinya mana mau insyaf. Melihat raut wajahnya, dendamnya semakin berkarat. Segala cara akan dicarinya untuk mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti, yang kini dianggap sebagai penghalang utama untuk menjagoi dunia persilatan."

"Tidak mungkin dia mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti, meski belajar pada puluhan guru sekalipun!"

"He! Apa yang kalian bicarakan?!"

Kedua orang itu langsung terdiam, ketika mendengar Ayodea berbalik dan membentak garang. Matanya meng-awasi mereka dengan tajam, kemudian mendengus sinis.

"Kalian kira, aku tidak mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti? Huh! Kelak, dia akan mampus di tanganku!"

Sampurno dan kawannya semakin dalam menundukkan kepala. Ayodea kembali mendengus sinis, dan melanjutkan perjalanan. Selanjutnya, kedua orang itu tidak berani bicara sepatah kata pun, meski hanya berbisik.

Tiba di tempat kediamannya, terlihat beberapa orang berseragam merah memberi hormat. Tapi Ayodea hanya mendengus, dan terus melangkah lebar ke ruangan dalam. Beberapa orang di antara mereka, saling pandang dengan wajah bingung.

"Apa yang terjadi pada Ketua?" tanya salah seorang dari mereka, pada rombongan yang menyertai Ayodea.

Orang itu diam, tidak berani bicara.

"Sudah bertemu Pendekar Rajawali Sakti?" "Katanya sudah..."

"Bagaimana? Apakah dia berhasil mengalahkan pendekar tersohor itu?" tanya orang itu dengan wajah serius.

"Kalian tentu bisa menduganya sendiri."

"Dia pasti keok!" sahut salah seorang dengan suara nyaris berbisik.

"Melihat tampangnya yang kusut, itu sudah pasti!" timpal kawannya yang lain sambil tertawa kecil.

"Keparat! Apa yang sedang kalian bicarakan, heh?!"

Serentak, mereka terdiam sambil menundukkan kepala. Ayodea yang baru saja akan menaiki anak tangga menuju lantai rumah, tiba-tiba saja berbalik sambil membentak. Dan dengan langkah lebar, dihampirinya orang-orang yang berdiri di halaman depan itu. Dan, memandang mereka satu persatu.

"Kenapa diam? Ayo, katakan apa yang kalian bicarakan tadi?!"

"Ti..., tidak ada apa-apa, Ketua...," sahut salah seorang, tergagap.

Begkh!
Desss...!
"Aaakh...!"

Empat orang yang berada di dekat Ayodea terpekik kesakitan. Tanpa disadari, Ayodea berkelebat cepat dan menghajar mereka dengan geram. Keempat orang itu terjungkal, dari mulut mereka menetes darah segar. Ayodea berdiri tegak dengan sorot mata garang memandangi keempat anak buahnya, yang berusaha bangkit dengan tertatih-tatih.

"Jika sekali lagi berani merendahkanku, akan kupecahkan kepala kalian! Mengerti?!"

Empat orang itu mengangguk cepat Sementara, Ayodea meninggalkan mereka sambil berkali-kali mendengus garang. Kali ini tidak berpaling lagi, langsung masuk ke dalam rumah.

Beberapa orang yang berada di situ, langsung menolong keempat orang tadi. Tapi, sebagian dari mereka hanya berdiam diri saja. Dan yang lain, malah tak peduli sama sekali.

Ayodea adalah Ketua Perguruan Ular Merah. Perguruan itu dulu dipimpin oleh Ki Tambak, guru Ayodea ketika belajar ilmu silat pertama kali. Ayodea murid yang pintar dan berbakat, tapi juga memiliki sifat jahat. Itulah sebabnya, mengapa Ki Tambak tidak menurunkan seluruh kepandaiannya kepada pemuda itu. Ayodea mengetahui sikap gurunya. Pemuda itu pun kabur dan mengembara ke mana-mana, belajar pada banyak orang. Beberapa tahun kemudian, dia kembali ke Perguruan Ular Merah dan menantang Ki Tambak.

Dalam pertarungan itu, Ki Tambak menemui ajalnya. Dan, Ayodea mengambil alih kepemimpinan. Banyak di antara murid-murid perguruan yang tidak menyukainya. Tapi, Ayodea tak segan-segan menghajar, bahkan membunuh mereka yang berani menantang. Di antara murid-murid itu, ada juga yang memihak padanya. Sehingga, antara sesama murid Perguruan Ular Merah sering terjadi perselisihan.

***
DUA
Ayodea semakin resah. Sudah beberapa hari ini, marah-marah terus. Dan kalau sudah begitu, murid-muridnya yang menjadi sasaran. Tentu saja hal ini membuat mereka cemas. Kemarahan Ayodea membuatnya ringan tangan dengan memukul murid-muridnya. Beberapa orang murid yang ketakutan, mengundurkan diri atau keluar dari perguruan secara diam-diam. Tapi, bila Ayodea mengetahui, mereka pasti tak akan selamat

"Apa yang membuatnya belakangan ini sering marah-marah?" tanya seorang murid, berbisik-bisik pada kawannya.

"Mungkin kekalahannya dari Pendekar Rajawali Sakti."

"Dia tidak terima?"

Kawannya mengangguk.

"Orang sepertinya, seharusnya cepat mampus!"

"Hush! Hati-hati kau bicara."

"Aku sudah muak, dan bosan di sini! Sebagai ketua, kerjanya hanya marah-marah dan goyang-goyang kaki saja. Sama sekali, dia tidak menurunkan kepandaian yang dimilikinya. Kita hanya disuruh terus belajar dengan apa yang sudah kita pelajari dari Ki Tambak dahulu."

"Mana mungkin dia mau menurunkan kepandaiannya. Sifatnya serakah dan tinggi hati, serta menganggap diririya paling hebat Dan, tak mau disaingi siapa pun."

"Kebetulan, dia sedang tidak ada di tempat. Lebih baik, kita kabur saja dari sini!"

"Kau mau celaka? Sekarang, banyak murid-murid yang menjadi penjilat. Hingga kita tak tahu lagi, mana kawan dan mana lawan...."

Ucapan itu terhenti ketika di pintu gerbang terlihat Ayodea menunggang kuda. Wajahnya tampak kesal. Dan kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang berani macam-macam. Salah seorang murid mendekat, dan menggiring kudanya ke kandang. Ayodea memperhatikan murid-muridnya dengan tatapan tajam. Kemudian memberi isyarat, agar beberapa orang mendekat. Tujuh orang mendekat melangkah dengan takut-takut.

"Ke sini, cepat..!"
"I... iya, Ketua..."
"Yeaaa...!"
Plak!
Desss!
"Aaakh...!"

Tubuh Ayodea seperti terbang, berputar ke belakang. Kedua kakinya menyambar ketiga muridnya. Lalu dengan cepat melenting ke depan, menghajar empat orang murid dengan kepalan dan tendangannya. Ketujuh orang muridnya terhuyung-huyung sambil mengeluh kesakitan.

"Ayo! Kerahkan semua kemampuan yang kalian miliki! Lawan aku, seperti kalian menghadapi musuh besar!"

"Tapi, Ketua...," salah seorang murid ragu-ragu.

"Hiyaaat..!"

Ayodea tak mempedulikannya. Tubuhnya langsung bergerak, menyerang mereka. Terpaksa ketujuh muridnya itu melakukan perlawanan.

Plak!
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Bugkh!
Desss!
"Aaakh...!"

Kali ini, ketujuh muridnya menjerit keras. Tubuh Ayodea bergerak cepat sekali, sulit diikuti mata mereka. Walau telah berusaha menahan dan berkelit, tapi tetap saja serangan Ketua Perguruan Ular Merah itu sulit ditahan.

"Huh! Apakah kalian kira aku tak mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti?!" tanyanya gusar.

"Eh! Tentu saja Ketua mampu menghadapinya...," jawab salah seorang di antara mereka, ditimpali kawan-kawannya.

"Di mulut kalian berkata begitu, tapi di belakangku mengejek!"

"Ti... tidak, Ketua. Mana berani kami mengejekmu...," sahut orang yang pertama bicara tadi.

Ayodea hanya mendengus sinis. Kemudian, melangkah lebar ke dalam rumah. Dua orang muridnya mengikuti ke dalam, dan duduk di depannya saling bersila.

"Sudah kalian dapatkan orang-orang yang kumaksud?"

"Kami menemui Ki Gempar Persada...."

"Si Dedemit Langlang Buana?" Ayodea memotong pembicaraan seorang muridnya.

"Betul, Ketua."

Ayodea mengangguk sambil tersenyum. Ki Gempar Persada selama ini memang dikenal sebagai tokoh kosen. Nama orang tua itu amat disegani tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Kapan dia akan datang?"

"Beliau mengatakan akan ke sini, begitu kami tiba," jawab muridnya.

"Hm.... Bagus! Sudah kalian sebutkan syarat-syaratnya?"

"Sudah, Ki. Beliau begitu yakin bisa mengalahkanmu."

"Ha ha ha...! Sungguh gegabah orang itu, berani merendahkanku!"

"Ha ha ha...! Ki Ayodea, apakah kau merasa kecil hati kurendahkan?!"

"Heh?!"

Ayodea langsung melompat keluar, begitu mendengar tawa nyaring di luar. Dan sesampainya di luar, tampak berdiri seorang laki-laki tua berpakaian lusuh. Rambutnya putih dan panjang terurai. Bibirnya lebar, lebih-lebih saat tertawa. Tangannya menggenggam sebatang pedang, dengan warangka terbuat dari kayu yang kelihatan sudah lapuk.

"Selamat datang, Kisanak. Engkaukah Ki Gempar Persada?"

"Ha ha ha...! Tak salah. Kukira, Ki Ayodea yang bergelar Setan Ular Merah adalah orang tua keropos yang bau tanah. Tapi siapa sangka, ternyata masih semuda ini. Padahal, namamu sungguh menggelitik hasratku untuk membuktikannya."

"Kisanak, aku tak mau banyak berbasa-basi. Muridku telah memberitahukan hal ini padamu. Jadi, bersiapsiaplah!"

"Ha ha ha...! Anak muda memang selalu tak sabaran. Tapi, tak apalah. Kalau memang kau telah siap, silakan dimulai."

Ayodea membuka jurus dengan menggeser sebelah kakinya ke belakang. Ki Gempar Persada memperhatikan sorot mata pemuda itu, yang amat tajam menusuk seperti elang hendak menerkam mangsa. Sekilas terlihat, seluruh murid-murid Perguruan Ular Merah berdiri rapi di setiap sudut halaman, memperhatikan dengan seksama.

"Yeaaa...!"

Dengan satu bentakan nyaring, tubuh pemuda itu melompat dengan gerakan cepat. Hal itu tentu saja membuat Ki Gempar Persada tercekat.

"Hup!"
Plak!
Wuttt!
"Uts!"

Sungguh tidak disangka kalau Ayodea mampu bergerak cepat seperti bayangan melesat. Pukulannya kuat, menimbulkan desingan angin kencang yang menggetarkan dada. Menurut pengamatan Ki Gempar Persada, pemuda ini memiliki tenaga dalam yang kuat. Bahkan bisa jadi tenaga dalam lawan setingkat di atasnya.

Ketika salah seorang murid Perguruan Ular Merah datang ke tempat kediamannya, untuk menyampaikan maksud kalau Ayodea ingin berguru kepadanya, orang tua itu terkekeh. Dianggapnya Ketua Perguruan Ular Merah ingin bersaing dengan ketua-ketua perguruan silat lainnya.

Menurut dugaan Ki Gempar Persada, murid itu pasti orang yang sangat dipercaya. Sebab, menyampaikan berita demikian adalah sangat memalukan. Seorang ketua perguruan silat ingin berguru, adalah hal yang aneh. Tapi, ketika mereka menyampaikan amanat berikutnya, bahwa calon guru tersebut harus diuji langsung oleh Ayodea, orang tua itu mulai berubah pikiran. Dalam hatinya timbul pertanyaan, apa maksud Ketua Perguruan Ular Merah itu sebenarnya?

Sampai di sini, pertanyaan itu tidak terjawab juga. Yang diketahuinya sekarang, Ayodea yang tadi sempat diremeh-kannya temyata bukanlah orang sembarangan. Bahkan terlihat dari serangannya yang mematikan, seperti sedang berhadapan dengan musuh besar.

"Ki Gempar Persada, bersungguh-sungguhlah! Aku akan berguru dan mematuhi perkataanmu, bila kau bisa mengalahkanku. Tapi jika sebaliknya, nyawamulah yang akan menjadi taruhannya!"

"Ki Ayodea, apa-apaan ini?!"

"Yeaaa...!"

Ayodea tak mempedulikannya, dan segera mengeluarkan jurus andalannya untuk mendesak lawan.

Ki Gempar Persada mulai kewalahan, hanya dalam beberapa jurus. Bahkan, dalam satu kesempatan, Ayodea berhasil menghajarnya.

"Akh...!"

Orang tua itu mengeluh perlahan, sambil mendekap dadanya yang terkena pukulan lawan. Matanya terlihat garang, karena kemarahannya mulai bangkit. Sesaat kemudian, disiapkan jurus-jurus serangan andalannya.

"Baik! Kalau itu kemauanmu, akan kuladeni. Coba kau tahan jurus 'Angin Puyuh Menggempur Gunung' ini!"

"Keluarkan segala kepandaian yang kau miliki. Aku tak akan setengah-setengah dalam pertarungan ini!"

"Yeaaa...!"
"Hup!"

Ayodea bersiap, begitu melihat lawan akan mengeluarkan jurus andalan. Pemuda itu pun sudah mempersiapkan jurus andalannya, yaitu 'Badai Pasir Mengguyur Gelombang'. Jurus ini diperoleh dari salah seorang gurunya.

Serangan Ki Gempar Persada kini terasa berat dan cepat. Dan ketika kepalan kiri lawan menyodok ke ulu hati, Ayodea memiringkan tubuh untuk menghindar. Tapi, saat itu juga kepalan tangan kanan lawan menghantam kepala, diikuti gerak menendang ke dada.

"Hiyaaa...!"

Tubuh Ayodea melompat-lompat menghindar sambil berputar. Sementara, orang tua itu terus mengejar dengan gencar. Tapi dalam satu kesempatan, ketika kepalan lawan menghajar muka, Ayodea menundukkan kepala sambil menjatuhkan tubuh dan menghajar lutut belakang lawan. Ki Gempar Persada merasa kalau ini adalah peluang terbaik baginya untuk menghajar lawan dengan mengerahkan satu pukulan maut ke bawah.

"Yeaaa...!"
Plak!
Dukkk!
"Akh!"
"Hiyaaat..!"
Desss!
"Aaakh...!"

Dua kali orang tua itu mengeluh kesakitan. Dan yang kedua, adalah hajaran di punggungnya. Ayodea menangkis serangan lawan dengan kedua tangan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja kedua kakinya melewati bagian bawah, langsung menghajar pinggang belakang. Ki Gempar Persada terdorong ke depan, dan tubuh pemuda itu langsung bangkit dengan sebelah kaki menghajar punggungnya.

"Cabut pedangmu!" kata Ayodea sambil memandang sinis.

Sring!

Ki Gempar Persada mencabut pedangnya sambil mendengus geram. Dua kali dia terkena hajaran pemuda itu tanpa bisa membalas.

"Dengan tangan kosong, kau mungkin bisa berbangga diri. Tapi, hati-hati menghadapi ilmu pedangku!"

Sebagai jawabannya, Ayodea malah berkelebat cepat menghantam lawan. Pedangnya digerakkan laksana kitiran yang membabat ke segala arah.

"Hiyaaat..!"
Trang!

Kedua senjata mereka beradu, menimbulkan percikan bunga api. Ujung pedang Ki Gempar Persada menyambar ke perut lawan, sedang tubuh Ayodea melejit ke atas. Orang tua itu terus mengejar dan menyabet kedua kaki lawan. Ayodea menangkis dengan senjatanya. Tapi, kali ini tak sekadar mengadu senjata. Pedang Ayodea bergulung-gulung bagaikan pusaran air ketika tubuhnya melesat ke bawah. Ki Gempar Persada kelabakan, terus melompat ke belakang menghindari kejaran lawan.

Trang!
Breeet!
"Aaa...!"

Ki Gempar Persada menjerit kesakitan, ketika ujung pedang lawan merobek perutnya. Tapi pada kesempatan terakhir, pukulan jarak jauhnya masih mampu dilepaskan ke arah Ayodea. Sayang, pemuda itu dengan mudah menghindarinya. Dan balas menghantam dengan pukulan jarak jauh yang menimbulkan desir angin kencang, hingga membuat tubuh Ki Gempar Persada terjungkal.

Ki Gempar Persada berusaha bangkit dengan bertumpu pada senjatanya. Tapi niatnya tak tersampai, karena pada saat itu ujung kaki Ayodea menghantam telak mukanya. Kembali orang tua itu terpental. Kali ini, dibarengi keluhan terakhir yang nengakhiri kematiannya.

Ayodea memandang sinis sambil mendengus, menatap tubuh Ki Gempar Persada. Setelah menyarungkan pedang, pemuda itu melangkah pelan ke dalam. Tinggal muridmuridnya yang langsung bergerak mengurus mayat Ki Gempar Persada.

"Orang seperti itu yang kalian pilih menjadi calon guruku? Huh, memalukan!"

Dengan wajah gusar, Ayodea memaki kedua orang murid kepercayaannya. Ditatapnya satu persatu wajah mereka dengan mata mendelik.

"Kami, tak tahu lagi harus mencari siapa, Ketua. Sepertinya, orang-orang yang selama ini terdengar hebat dan handal, ternyata tak berdaya melawan Ketua...," jawab salah seorang muridnya.

"Kalian jangan putus asa. Carilah orang sakti lain, yang betul-betul pantas sebagai guruku!"

"Tapi, ke mana lagi kami mencari, Ketua...?"

"Goblok! Aku tak peduli kalian mencari ke mana. Ke ujung dunia pun, harus kalian dapatkan!"

"Baik, Ketua!"

Kemudian, kedua murid itu pun berlalu. Ayodea berdiri dan melangkah ke jendela. Dari situ, diperhatikan sekeliling halaman depan. Tapi sebenarnya pikirannya menerawang jauh. Kini, sudah beberapa orang tewas di tangannya. Mereka itu adalah calon-calon gurunya.

"Heh?!"

"Eh! Maaf, Ketua. Di luar ada seorang pengemis yang ingin bertemu...," ujar seorang muridnya yang baru masuk.

"Pengemis? Mau apa dia ke sini? Suruh keluar!"

"Tapi, Ketua. Dia membawa berita yang Ketua butuhkan..."

"Berita? Berita apa?"

"Dia tak mengatakannya. Katanya, hanya berita itu yang dibutuhkan Ketua. Dan bila berkenan, dia meminta imbalan..."

"Hm.... Suruh dia masuk. Tapi ingat! Bila aku tidak berkenan dengan berita yang dibawanya, maka kepalanya akan tinggal di sini! Katakan hal itu padanya!"

"Baik, Ketua....!"

Ayodea menunggu beberapa saat setelah muridnya keluar ruangan. Dan tak berapa lama kemudian, muridnya itu telah kembali bersama seorang pengemis kumal berusia sekitar tiga puluh tahun. Kulitnya hitam, tubuhnya penuh dengan koreng yang telah sembuh dan yang masih berdarah.

"Silakan masuk, dan berdiri saja di situ! Langsung katakan, berita apa yang kau bawa?!" tanya Ayodea setelah menyuruh muridnya keluar dari ruangan itu.

"Namaku Kempeng...."

"Langsung katakan, berita apa yang kau bawa!" bentak Ayodea kesal.

"Baiklah. Kudengar dari beberapa orang murid, Anda mencari seorang tokoh sakti untuk dijadikan sebagai guru. Yang akan kusampaikan, bukan tentang seorang tokoh, melainkan warisannya yang pasti akan kau suka...."

"Warisan apa?"

"Pernahkah Kisanak mendengar tentang Goa Naga?"

"Hei!"

Mata Ayodea berbinar-binar mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Menurut kabar yang pernah didengarnya, Goa Naga adalah suatu tempat yang dahulu dihuni oleh seorang tokoh sakti yang tak terkalahkan. Banyak orang yang mencari goa itu. Namun, sampai saat ini tak ada seorang pun yang tahu tempatnya.

"Tahukah kau, di mana goa itu berada?"

Pengemis itu menggeleng.

"Aku tidak tahu di mana letaknya. Tapi, tahu bagaimana caranya agar Kisanak bisa ke sana. Tokoh yang dulu tinggal di goa itu memiliki keturunan seorang gadis. Tapi gadis itu pun tidak tahu, di mana tempat itu berada. Yang diketahuinya, ada sebuah peta yang menunjukkan letak goa itu. Caranya, dengan melihat tato yang tergambar di seluruh tubuhnya. Tapi tidak sembarangan orang bisa melihatnya, kalau tidak mempunyai hubungan dekat dengannya. 

Gadis itu agaknya tak mampu menterjemahkannya. Akibatnya, letak goa itu belum ditemukan hingga sekarang. Jadi, kalau Kisanak bisa mendekatinya dan mampu menafsirkan peta di tubuhnya, Kisanak akan menjumpai gua itu, dan mendapatkan Pusaka Goa Naga yang dikejar banyak tokoh persilatan," jelas pengemis itu panjang lebar.

Bukan main girangnya hati Ayodea mendengar kata-kata si pengemis. Setelah pengemis itu memberitahukan di mana gadis itu berada, Ayodea memberikannya beberapa keping uang emas. Dan, sampai pengemis itu berlalu, bibirnya masih terus tersenyum.

***
TIGA
Pegunungan Kendeng berbaris rapi, bagai gelombang laut yang berkejar-kejaran. Dimulai dari puncak tertinggi, kemudian puncak kedua yang berada di bawahnya, lalu puncak ketiga yang lebih rendah, dan seterusnya yang lebih rendah lagi. Kembali pada puncak yang agak tinggi, kemudian lebih tinggi lagi. Di bagian lereng hingga terus ke kaki pegunungan, terdapat sebuah perkampungan yang agak sepi. Jarak rumah satu ke rumah yang lain cukup jauh.

Pagi ini cuaca terlihat cerah. Sang Surya bersinar lembut, menghangatkan suasana. Di sebuah telaga yang mendapat curahan air terjun di atasnya, terlihat seorang gadis tengah melakukan gerakan-gerakan silat yang teratur dan indah, seperti sedang menari. Rambutnya panjang terurai hingga ke pinggang. Wajahnya yang cantik dan berkulit putih, tampak kemerah-merahan diterpa sinar matahari. Dan peluh bercucuran dari kening hingga ke pipinya. Sementara pedang di tangannya, terus berkelebat ke sana kemari.

Setelah beberapa saat kemudian, gadis itu menghentikan latihannya. Dan, mulai mengatur pernapasan sambil beristirahat Setelah itu, menyegarkan diri dengan mandi di air telaga. Melihat wajahnya yang cantik, orang tak akan percaya kalau di seluruh tubuhnya dipenuhi gambar-gambar tato. Mulai dari bagian depan tubuh hingga ke bagian belakang.

Sesaat kemudian, gadis itu telah rapi berpakaian dan melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Tapi telinganya yang terlatih, tiba-tiba mendengar teriakan-teriakan pertempuran yang tak jauh dari situ. Cepat, didatanginya asal suara itu.

Sesampainya di sana, dilihatnya, seorang pemuda tengah dikeroyok beberapa orang laki-laki bersenjata tajam, dan berwajah seram. Pemuda itu tampak lemah sekali. Beberapa kali tubuhnya kena hajar, dan terdengar jerit kesakitan dari mulutnya.

"Berhenti...!" gadis itu membentak nyaring sambil melompat ke arah mereka. Serentak orang-orang itu menghentikan pertempuran.

"Eh, coba lihat! Siapa gerangan yang akan menjadi pahlawan hari ini!" tunjuk salah seorang dari kawanan itu.

"Gadis cantik yang bahenol! Bukan pahlawan, tapi makanan empuk untuk kita!" timpal kawannya, diikuti gelak tawa lainnya.

Mendengar olok-olok mereka, gadis itu tetap diam sambil menatap tajam. Diliriknya sejenak pemuda yang menjadi korban mereka. Tubuhnya tampak babak-belur, dan wajahnya meringis menahan sakit. Dia berusaha bangkit dengan tertatih-tatih.

"Siapa kalian, dan apa yang dikerjakan di sini?"

"Coba dengar! Gadis itu malah menanyakan kita. Apa tidak sebaliknya kita yang harus bertanya padanya?!" seorang yang wajahnya penuh ditumbuhi bulu-bulu lebat, menyahut dengan sikap merendahkan sambil berpaling pada kawan-kawannya.

"Sudahlah. Tinggalkan saja bocah itu di sini. Sekarang, kita sudah mendapat makanan baru yang lebih segar!" sahut kawannya yang bertubuh kurus.

"Ah, tidak bisa! Susah payah kita mengejar anak keparat ini, agar kelak di kemudian hari tak jadi biang penyakit. Mana mungkin kulepas begitu saja!" jawab si brewok cepat

"Kalau begitu, kita bunuh saja sekarang!" salah seorang kawannya yang bertubuh besar, langsung mendekati si pemuda sambil mengayunkan golok.

Tapi, sejengkal lagi mata golok akan memenggal kepala si pemuda, saat itu juga si gadis bertindak. Tubuhnya berkelebat cepat, menghantam pergelangan tangan orang bertubuh besar, hingga goloknya terpental jauh. Dan pemiliknya, meringis kesakitan.

"Huh! Kurang ajar! Kita harus meringkus perempuan liar ini dulu, baru membinasakan bocah itu!" sentak si brewok sambil mencabut golok dan bersiap menyerang gadis itu.

"Manusia-manusia bengis tak berguna! Ayo, majulah kalian semua. Ingin kulihat, sampai di mana kegarangan kalian. Jangan hanya berlagak di depan orang yang tak mampu melawan!"

"Heh, semakin sombong saja kau rupanya! Baik, jangan menyesal kalau kau kuringkus dan kutelanjangi!"

Si brewok berteriak nyaring, menyerang gadis itu dengan gerakan cepat. Dia berharap dalam waktu singkat akan dapat meringkus gadis itu. Tapi ternyata dugaannya keliru. Gadis itu memiliki gerakan yang lincah untuk menghindari serangan-serangannya. Tubuhnya bagai seekor walet yang terbang melayang ke sana kemari. Hingga, membuat si brewok semakin penasaran saja.

"Dolok, apa kau tak mampu meringkus gadis itu? Sehingga kami harus ikut turun tangan?!" teriak seorang kawannya.

"Tidak perlu! Sebentar lagi dia akan kutundukkan!"

"Yeaaa...!"
Plak!
Begkh!
"Aaakh...!"

Saat itu, si gadis telah melayangkan kepalan tangannya dengan cepat, menyambar rahang lawan. Si brewok yang dipanggil Dolok, mencoba mengelak sambil memiringkan tubuh. Tapi gadis itu telah berbalik, dan menghantamkan kepalan tangannya yang lain, menggedor dada Dolok. Lelaki itu menjerit kesakitan dan tubuhnya terjungkal mencium tanah.

"Kurang ajar! Agaknya perempuan liar ini betul-betul tak bisa diberi hati. Ayo serang beramai-ramai!" teriak Dolok kalap.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Uts...!"

Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung mengeroyok gadis itu. Tapi si gadis dengan tenang melayani mereka. Meski bertangan kosong, namun ujung golok lawan sedikit pun tak mampu menyentuh kulitnya. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin kalap. Gadis itu agaknya mulai kesal melihat kelakuan mereka. Maka sambil berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat cepat menghajar ke sana kemari tanpa bisa dihindari.

"Yeaaa...!"
Dukkk! Desss! Begkh!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"

Para pengeroyok itu jungkir balik satu persatu secara beruntun. Agaknya si gadis tak mau bertindak kepalang tanggung.

Cring!

"Aku hanya berkata sekali. Selanjutnya, kalian kupastikan mampus di tanganku. Pergilah dari sini!" sentak gadis itu sambil menudingkan pedang ke arah lawanlawannya.

Dengan wajah takut, mereka berlalu dari situ. Si gadis kembali menyarungkan pedang, lalu menghampiri pemuda yang tadi dikeroyok.

"Kisanak, kini kau telah terlepas dari mereka. Nah, pergilah sesuka hatimu," katanya sambil membalikkan tubuh, hendak berlalu dari situ.

"Nisanak, tunggu!"

"Ada apa lagi?" gadis itu berbalik dan menatap tajam.

"Eh! Aku..., aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."

"Tak usah. Nah, pergilah!"

"Tapi, Nisanak. Mereka pasti akan mencegatku begitu kau pergi. Dan.... Ah! Nasibku memang malang, telah ditakdirkan harus mati sia-sia...," keluh pemuda itu, sambil duduk pada sebatang pohon yang telah tumbang dan keropos.

Gadis itu memperhatikannya dengan seksama sambil berpikir. Apa sebenarnya yang terjadi dengan pemuda ini, dan mengapa sampai dikejar-kejar untuk dibunuh? Semula gadis itu tak peduli, tapi entah mengapa kemudian dia menghampiri dan berdiri di depan si pemuda.

"Siapa namamu?"

"Eh. Aku..., namaku Wakalu...."

"Hm, Wakalu.... Mengapa kau sampai berurusan dengan orang-orang itu?"

"Mereka membunuh kedua orangtuaku...."

"Mengapa mereka membunuh keluargamu?"

"Entahlah! Aku pun tidak tahu persoalannya. Subuh tadi, mereka datang dan langsung menyerang kami. Sebenarnya aku tak ingin melarikan diri, tapi kalau aku mati, siapa yang akan membalas sakit hati orangtuaku? Sayang, aku tak memiliki kepandaian untuk melawan mereka...."

Gadis itu terdiam.

"Nisanak, siapakah kau sebenarnya? Kulihat, kau memiliki kepandaian silat yang hebat. Sudikah kau mengajariku? Aku akan menuruti segala perintahmu," pinta si pemuda dengan suara memelas.

"Hm.... Namaku Sekartaji, dan biasa dipanggil Sekar saja. Ilmu silatku tak seberapa, tapi sekadar menghajar keroco-keroco seperti mereka, mungkin bisa diandalkan. Tapi, itu tidak akan cukup untukmu. Lagi pula, aku tak berkenan mengambil murid."

"Tolonglah aku, Sekar. Asalkan bisa membalas kematian kedua orangtuaku, aku sudah merasa bersyukur."

"Hm...," gadis itu bergumam sesaat.

"Ah, nasibku memang buruk. Lebih baik aku mati saja, daripada menjadi anak yang tak berguna," keluh pemuda yang mengaku bernama Wakalu itu. Kemudian, diambilnya sebuah batu yang cukup besar, siap dihantamkan ke kepalanya.

Plak!

"Hentikan!" bentak Sekartaji sambil menghantam pergelangan tangan Wakalu, sehingga membuat batu di tangannya terpental.

"Kenapa kau menghalangi niatku? Sudah jelas aku anak yang tak berguna. Biarkan aku mati!"

"Baiklah. Aku akan mengajarkanmu satu dua jurus ilmu silat"

"Oh, benarkah?"

Sekartaji mengangguk.

"Eh, jangan begitu! Ayo, berdiri!" lanjutnya ketika melihat Wakalu hendak bersujud di kakinya.

"Aku mesti memberi penghormatan pada guruku."

"Tidak usah. Sekarang mari ikut ke pondokku."

"Baiklah."

Keduanya segera berlalu dari tempat itu. Dari kejauhan, terlihat orang-orang yang tadi mengeroyok Wakalu, memperhatikan dengan seksama.

"Agaknya, gadis itu berkenan pada Ki Ayodea," gumam si brewok yang bernama Dolok.

"Berhasil juga siasat Ki Ayodea," sahut kawannya.

"Sudahlah. Untuk apa kita berlama-lama di sini. Tugas kita telah selesai. Sebaiknya, kita kembali ke perguruan," kata kawannya yang lain.

Setelah melihat kedua orang itu berlalu, mereka pun meninggalkan tempat itu.

***

Pemuda itu memang Ayodea. Untuk menjalankan siasatnya, namanya sengaja dirubah. Bisa jadi, belakangan ini nama Ayodea sangat dikenal. Setelah peristiwa pembunuhan gurunya oleh tangannya sendiri, Ayodea sempat menantang beberapa tokoh persilatan, dan semuanya tewas di tangannya.

Begitu juga setelah dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Ayodea mencari tokoh-tokoh berilmu tinggi untuk diangkat-nya menjadi guru, dengan syarat harus mengalahkannya dalam duel. Tapi, kebanyakan di antara mereka tewas di tangannya, dan yang lain tidak mau memenuhi undangannya.

Ayodea menganggap tokoh-tokoh yang tidak bersedia memenuhi undangannya, tidak memiliki kepandaian yang dikaguminya. Oleh sebab itu, namanya pasti dikenal sebagai tokoh muda berilmu tinggi yang sadis dan telengas. Untuk mencari simpati gadis itu, tindakannya sengaja dibuat bodoh dengan tidak menunjukkan kepandaiannya. Bahkan, merubah namanya.

Sekartaji ternyata memenuhi janjinya. Gadis itu memberi pelajaran ilmu silat dan ilmu olah kanuragan kepada Ayodea yang kini bernama Wakalu. Walaupun bukan itu yang ditujunya, tapi Ayodea belajar sungguh-sungguh. Pemuda itu sangat rajin dan selalu bersikap polos serta jujur pada Sekartaji. Hingga tak heran bila Sekartaji mulai menaruh simpati padanya.

Tak terasa, telah seminggu lebih Ayodea bersama gadis itu. Pagi ini, pemuda itu berlatih ilmu silat yang diajarkan Sekartaji. Setelah menaruh kayu bakar di dapur, perlahan-lahan kaki Sekartaji melangkah ke balai-balai bambu yang terletak di depan rumah. Diperhatikannya secara seksama gerakan-gerakan yang dilakukan Ayodea.

"Wakalu. Kuda-kudamu kurang kokoh!"

"Eh! Guru...!" Ayodea berpaling dan memberi hormat melihat gadis itu tersenyum padanya.

"Sudah berapa kali kuperingatkan. Jangan memanggilku guru. Cukup namaku saja!"

"Tapi...."

"Jangan membantah!"

"Baiklah."

"Nah, sekarang coba kau tangkis seranganku!"

Setelah berkata demikian, Sekartaji langsung melompat sambil mengayunkan satu pukulan ke arah Ayodea.

"Yeaaa...!"
Plak!
"Hup!"
Wuuut!

Ayodea bergerak tak kalah gesit. Ketika Sekartaji menendang, tubuhnya segera dimiringkan sambil menundukkan kepala. Kemudian, berguling ke belakang. Tapi serangan gadis itu tak hanya sampai di situ saja. Tanpa menunggu lawannya bangkit, tubuh Ayoda dikejar dengan serangan yang lebih gencar.

"Hiyaaat..!"
Plak! Desss!
"Akh!"
"Hati-hati...!"

Sekartaji memperingatkan ketika kakinya berbalik cepat menghantam punggung pemuda itu. Ayodea mengeluh kesakitan, dan tubuhnya terhuyung-huyung ke depan. Namun, kedudukannya cepat diperbaiki saat gadis itu kembali melesat menyerangnya.

Plak!
"Hiyaaat!"
Plak! Plak!
Tappp!

Ayodea mengelak gesit. Dan dengan cara yang tak terduga, pemuda itu menjatuhkan diri ke tanah dengan sebelah kaki menghajar lutut belakang Sekartaji. Gadis itu terkejut, dan kuda-kudanya langsung lemah sehingga tubuhnya jatuh terguling menimpa Ayodea. Dan dengan sigap, Ayodea menangkapnya, dan tubuh mereka bergulingan. Kemudian berhenti, ketika tubuh mereka membentur dinding pondok. Keduanya terdiam beberapa saat. Mendadak, gadis itu melepaskan diri dari pelukan Ayodea, dan melangkah ke dalam pondok dengan wajah jengah.

"Guru. Eh, Sekar...! Maaf, aku...!"

Tapi ucapan pemuda itu terputus karena Sekartaji telah mengunci pintu kamar. Ayodea berusaha mengetuk dan berkali-kali menyatakan penyesalannya. Namun, tak terdengar sahutan dari dalam. Wajah pemuda itu tampak gelisah, dan berjalan mondar-mandir. Namun, gadis itu nampaknya tak akan keluar kamar.

Ayodea merenung di balai-balai depan, memandang bulan yang telah muncul. Sejak tadi sampai malam begini, Sekartaji belum juga keluar dari kamarnya. Pikirannya jauh menerawang, tidak menentu. Saat itulah dari arah belakang terdengar sapaan lembut

"Wakalu. Kau belum tidur...?"

"Sekar..., kau?"

Gadis itu tersenyum dan duduk di sebelahnya. Ayodea jadi salah tingkah. Berkali-kali pemuda itu meminta maaf atas kejadian tadi pagi.

"Sudahlah... Aku sudah melupakannya."

"Tapi..."
"Kau tidak suka?"
"Eh. Aku..., aku..."

"Wakalu, ada yang ingin kubicarakan. Aku hanya terkejut dengan kejadian tadi pagi. Selama ini, aku hidup sendiri dan jarang bertemu dengan orang lain. Termasuk laki-laki. Peristiwa tadi pagi sungguh membuatku terkejut, tapi...."

"Tapi, kenapa?"

Gadis itu tersenyum, tidak langsung menjawab. Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat. Ayodea membalasnya sejenak, dan cepat-cepat menundukkan wajah.

"Kenapa...? Kau tak mau memandangku? Apakah aku terlalu buruk sebagai seorang perempuan?"

"Bukan itu. Tapi, kau adalah...."

"Wakalu, aku tak pernah menyebut diriku guru di hadapanmu, bukan? Jadi, jangan lagi diingat-ingat hal itu. Kita hanya dua orang anak manusia yang berlainan jenis. Apa kau tak merasakan hal itu?"

"Eh, ya..."

"Menurutku, apakah wajahku amat buruk?" tanya Sekartaji dengan suara lirih.

"Aku harus katakan apa? Yang kulihat, kau seorang gadis yang cantik."

"Betulkah itu?"

Ayodea mengangguk.

"Tapi, mengapa tak ada laki-laki yang suka padaku?"

"Eh! Ng...."

"Betul, bukan?"

"Siapa bilang? Setiap laki-laki yang melihatmu, pasti akan terpesona."

"Termasuk, kau?"

Ayodea diam, tak menjawab. Diliriknya gadis itu berkali-kali.

"Jawablah dengan jujur, Wakalu."

"Tak pantas rasanya kalau aku mengatakan bahwa aku..., aku suka padamu."

"Kau sungguh-sungguh suka padaku?"

Ayodea mengangguk.

"Maaf, mungkin kau marah. Tapi, aku ingin berkata jujur...."

Kata-kata Ayodea terhenti ketika jari gadis itu menempel di bibirnya. Keduanya saling pandang. Dan seperti magnit yang tak sejenis, perlahan-lahan keduanya melekat dalam pelukan erat. Entah siapa yang memulai, bulan yang mengintip di balik awan pun tidak tahu.

Lama mereka saling bercumbu. Dan, ketika suara gadis itu semakin lirih, Ayodea mengangkat tubuhnya dan menutup pintu depan. Mereka masuk ke dalam kamar. Malam yang dingin terasa hangat, ketika keduanya berpacu mengarungi samudera cinta.

***
EMPAT
Hubungan antara Wakalu atau Ayodea dengan Sekartaji semakin intim saja sejak malam itu. Bahkan, bukan lagi sekadar antara guru dan murid, tapi lebih mirip hubungan suami istri. Sekartaji semakin hari semakin percaya pada pemuda itu. Hingga ketika melihat segala kepandaiannya telah diturunkan pada pemuda itu, Sekartaji mulai membicarakan soal penting yang selama ini selalu dirahasiakan.

"Kakang Wakalu...," katanya pada suatu malam.

"Hm...."

"Kau mungkin heran melihat sekujur tubuhku penuh tato, bukan?"

"Ya.... Tapi aku tak peduli, meski tubuhmu bagaimanapun keadaannya."

"Gambar tato ini bukan sembarangan, Kakang...," lanjut Sekartaji.

"Bukan sembarangan? Lalu apa...?" tanya Ayodea dengan wajah heran.

"Ini adalah peta yang menunjukkan suatu tempat..."

"Suatu tempat? Aku semakin tak mengerti."

"Hm.... Kau memang tak mengerti, karena kau tadinya bukan orang persilatan. Kakang Wakalu, peta ini menunjukkan suatu tempat yang bernama Goa Naga. Leluhurku adalah pemilik tempat itu. Pada zamannya, ia merupakan salah seorang tokoh persilatan yang tiada tandingan. Tapi karena sulit melihat tato yang berada ditubuhku ini, sampai sekarang aku belum menemukan tempat itu...."

"Ada perlu apa kau ke sana?"

Sekartaji tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Apa kau belum mengerti juga, ke mana arah pembicaraanku?"

Ayodea menggeleng.

"Tidak inginkah kau menambah kepandaian ilmu olah kanuraganmu, Kakang?"

"Tentu saja mau."

"Nah, bisakah kau membantuku untuk menafsirkan peta yang berada di tubuhku ini?"

"Kalau itu membuatmu senang, tentu aku suka sekali membantunya. Nah, bukalah bajumu."

Sekartaji membuka seluruh bajunya, hingga terlihat jelas gambar tato di bagian depan dan belakang. Ayodea mengamatinya agak lama sambil berpikir keras. Bola mata pemuda itu berbinar-binar dan hatinya bersorak girang. Berkali-kali dia menghubung-hubungkan beberapa buah garis dan titik, serta gambar-gambar Iain yang merupakan lambang. Sesaat kemudian, pemuda itu tersenyum gembira.

"Bagaimana, Kakang? Tahukah kau, di mana kira-kira letak goa itu?"

"Sepertinya tak terlalu susah. Tapi aku masih heran, mengapa kau harus ke sana."

"Bukan aku yang akan ke sana, tapi kita."

"Kita?"

Sekartaji mengangguk.

"Kakang, ketahuilah. Leluhurku meninggalkan warisan berupa pelajaran ilmu silat tinggi di sana. Kalau kita bisa mempelajarinya, tentu akan hebat sekali. Nah, tak inginkah kau menjadi orang yang disegani?"

"Oh. Tentu saja aku suka sekali."

"Nah. Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali berangkat mencari tempat itu.

"Kau bersungguh-sungguh?!"

"Tentu saja! Kenapa tidak?"

"Aku tidak tahu, bagaimana caranya mengucapkan terima kasih. Kau telah banyak sekali membantuku."

"Kakang, perlukah seorang kekasih mengucapkan terima kasih, kalau itu dilakukannya karena perasaan sayang dan kasih yang tulus? Kau hanya perlu menyayangi dan selalu berada di sisiku setiap saat."

"Tentu saja, Sekar. Mana mungkin aku meninggalkan kekasih yang amat kucintai?"

"Oh, Kakang. Aku bahagia sekali mendengar kata-katamu!" Sekartaji memeluk erat tubuh pemuda itu.

"Aku pun bahagia dicintai gadis secantikmu...."

"Betulkah kata-katamu itu, Kakang?"

"Apa?"

"Kau mencintaiku sepenuh hati?"

"Kenapa tidak?!"

"Tidakkah kau merasa malu melihat tubuhku yang penuh tato?"

"Sekar, harus berapa kali kukatakan? Aku mencintaimu dan tak peduli dengan keadaan tubuhmu yang penuh tato. Bahkan, itu menambah keindahan tubuhmu."

"Kau hanya menghiburku, Kakang..."

"Aku bicara apa adanya, bukan sekadar menghibur."

"Sudahlah, Kakang. Lebih baik kita tidur agar besok pagi bisa bangun dengan tubuh segar. Mungkin perjalanan kita akan jauh dan makan waktu lama..."

Ayodea mengangguk. Setelah mencumbu gadis itu, mereka tidur saling berpelukan. Masing-masing dengan mimpinya. Sekartaji merasa bahagia dan aman menemukan pemuda yang mencintainya. Angannya melayang jauh, membayangkan kebahagiaan mereka kelak. Berumah tangga, mempunyai anak, bercanda ria, dan sebagainya. Tapi yang dipikirkan Ayodea lain lagi. Selangkah lagi impiannya akan tercapai, menjadi orang yang akan menjagoi rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang akan menandinginya.

***

Perjalanan ke tempat tujuan memakan waktu dua hari dua malam. Tapi, rasa lelah mereka terobati ketika melihat tanda-tanda yang ada di tempat itu sama dengan yang tergambar di tubuh Sekartaji.

"Tapi lembah ini luas sekali, Kakang. Bagaimana kita dapat menemukan letak goa itu?"

"Ingat, Sekar! Goa itu tidak akan ditemukan begitu saja. Ada tanda khusus yang akan membuat goa itu terbuka. Jadi, selama tak ada yang menemukan pembuka goa, maka goa itu akan terlihat seperti dinding saja," jelas Ayodea.

"Jadi, kita harus menemukan batu tebing yang menonjol seperti tanduk kerbau?"

"Betul!"

Keduanya terus menyusuri tebing terjal di lembah itu.

"Kakang, lihat!" seru Sekartaji.

Wakalu alias Ayodea menoleh ke arah yang ditunjuk Sekartaji. Di sana dilihatnya dua bongkah batu sepanjang setengah jengkal, saling bertolak belakang. Bentuk batu itu seperti ulekan sambal, disamarkan oleh tonjolan-tonjolan batu sebesar kepalan tangan.

"Mari kita lihat dan coba!" ajak Ayodea.

Kemudian, mereka melangkah mendekati batu yang berbentuk aneh itu. Setelah mengamat-amati secara seksama, Ayodea memutar kedua batu itu secara bersamaan ke arah kiri dan kanan. Sehingga ujung-ujung bagian atasnya hampir bersentuhan.

"Kakang, lihat! Tebing ini bergeser perlahan-lahan!" seru Sekartaji sambil menunjuk dinding tebing yang bergeser membentuk sebuah pintu.

Melihat itu Ayodea semakin bersemangat memutar kedua batu ke kiri dan kanan. Lubang itu semakin membesar, hingga berhenti ketika cukup untuk dimasuki dua orang.

"Inikah Goa Naga itu?" tanya Ayodea dengan wajah girang, sambil melangkah hati-hati.

"Kakang, awas!"
"Uts!"
Cras! Cras...!

Ayodea cepat melompat ketika empat ekor ular dengan ganas menyerangnya. Dengan segera pedangnya dicabut, dan membabat keempat ular itu hingga menjadi beberapa potong.

"Di dalam sangat gelap, Sekar. Aku tak tahu, berapa banyak ular lagi yang akan ditemui. Sebaiknya kita membuat api agar ular tidak berani menganggu," usul Ayodea. Kemudian, matanya beredar ke sekeliling tempat itu. Tampaknya ia tengah mencari-cari sesuatu.

"Di sebelah sana ada pohon damar. Getahnya bisa kita buat obor!" seru Sekartaji sambil menunjuk ke satu arah.

Keduanya langsung melompat dan mematahkan beberapa ranting kayu untuk dijadikan obor. Setelah mengolesi dengan getah damar secukupnya, Ayodea langsung membuat api dengan bantuan dua buah batu pemantik. Dengan dua buah obor yang menyala-nyala, mereka masuk ke dalam goa sambil bersiaga dengan pedang masing-masing.

Di mulut goa, banyak sekali ular-ular yang berserakan dan bergelantungan di dinding-dinding ruangan. Namun dengan bantuan obor, ular-ular tersebut dapat mereka halau ke tepi, hingga keduanya dapat masuk lebih ke dalam dengan aman.

Ruangan di dalam goa tidak kalah gelapnya. Ada beberapa lorong yang harus dipilih, ketika tiba di tengah-tengah goa. Mereka tidak melanjutkan ke lorong-lorong yang ada di situ, karena yang dicari temyata ada di ruangan ini.

"Kakang, lihat! Inilah kitab-kitab pusaka peninggalan leluhurku!" seru Sekartaji sambil memperlihatkan setumpuk kitab yang tersusun rapi dalam rak batu.

Ayodea melihat beberapa tumpukan kitab, dan membukanya satu persatu. Wajahnya semakin berbinar-binar, membaca pelajaran ilmu silat tingkat tinggi serta ilmu olah kanuragan lainnya.

"Zzzsss...!"
"Kakang, awas!"

Ayodea cepat melompat dan bersiap dengan pedang di tangan. Terlihat seekor ular sebesar paha, dengan panjang lebih dua tombak, mendekat ke arah mereka. Tapi sikap ular itu tidak menunjukkan akan menyerang. Ular itu terdiam, ketika jarak mereka tinggal empat langkah lagi. Matanya tajam menatap Sekartaji dengan lidah sesekali terjulur ke luar. Terlihat berkali-kali kepalanya direndahkan sedikit ke bawah, seperti memberi hormat pada gadis itu.

"Agaknya binatang ini mengenalimu sebagai pewaris pusaka-pusaka yang berada di goa ini," gumam Ayodea.

Sekartaji terdiam. Wajahnya masih terlihat pucat karena keterkejutannya tadi. Tapi hatinya mulai sedikit lega melihat sikap ular itu.

Ular tersebut memalingkan kepala dan menjauhi mereka, sambil sesekali berpaling seolah ingin menunjukkan sesuatu kepada mereka. Keduanya mengikuti dengan langkah hati-hati. Di sudut ruangan yang agak remang-remang, terdapat sebuah altar batu setinggi lima jengkal. Di atasnya terdapat sebuah guci yang permukaannya agak lebar. Ular itu melingkar mengelilingi altar. Dengan hati-hati, sambil sesekali melirik ke arah ular, mereka melihat isi guci itu.

"Cairan apa itu?" tanya Sekartaji heran.

Ayodea memperhatikan dengan seksama. Ketika bermaksud menciumnya, bau yang menyengat menerpa hidungnya. Dengan terkejut, kakinya melangkah ke belakang.

"Astaga! Cairan itu adalah bisa-bisa ular yang paling mematikan...!"

"Apa? Bisa ular yang mematikan? Apa maksud ular itu menunjukkan cairan ini pada kita? Apakah dia bermaksud menyuruh kita bunuh diri?"

"Jangan berburuk sangka dulu...."

Ayodea tidak meneruskan kata-katanya, karena ular besar yang melingkari altar bergerak kembali dan mendekati rak berisi kitab-kitab pelajaran ilmu silat. Dan, diam di situ beberapa saat lamanya, sambil memandang mereka bergantian.

"Apa lagi maksudnya?"

Ayodea berpikir. Kemudian, kakinya melangkah mendekati ular itu, dan memeriksa beberapa buah kitab yang ada di rak batu.

"Hm.... Aku mengerti...," katanya sambil tersenyum kecil.

"Apa maksudnya?"

"Cairan bisa ini merupakan unsur yang membentuk jurus 'Cakar Naga'. Kita harus menyerap cairan itu pada saat pemantapan ilmu telah mencapai puncaknya," jelas Ayodea, mengutip kalimat dari kitab yang sedang dibacanya.

"Oh! Apa tidak berbahaya?"

"Tentu saja tidak, kalau kita mengerti caranya."

"Kakang. Untuk apa lagi kita lama-lama di sini? Ayo kita buka kitab-kitab itu dan mempelajarinya."

"Ya, ya.... Kau benar."

Sementara mereka membaca dan mempelajari kitab-kitab yang berada dalam rak batu, ular besar tadi kembali bergerak ke dekat altar dan melingkarinya. Sepasang matanya yang merah, seperti mengawasi setiap gerak-gerik Sekartaji dan Ayodea.

***

Tak terasa, hari berganti minggu dan bulan berganti tahun. Kedua muda-mudi itu terus berlatih di dalam Goa Naga. Lebih dari setahun mereka berada di tempat itu, tanpa diketahui seorang manusia pun. Letak Goa Naga memang tersembunyi dan jarang dilalui manusia. Pintu goa pun dapat ditutup dari dalam, sehingga dari luar terlihat seperti tebing curam saja.

Menjelang subuh, Ayodea tampak mengendap-endap menuju pintu goa. Matanya sesekali melirik ke arah Sekartaji, yang masih tertidur pulas. Semalam mereka baru saja selesai menguasai jurus 'Cakar Naga'. Ternyata, tidak semudah dibayangkan. Untuk menyedot bisa ular dari dalam guci berbentuk ceper, diperlukan pengerahan tenaga dalam dan hawa murni penuh.

Akhirnya, mereka berhasil melalui semua ujian. Ayodea gembira karena mereka telah mengakhiri semua pelajaran yang ada dalam kitab-kitab di dalam goa ini. Dan sebentar lagi dia tentu akan menguasai rimba persilatan.

Sekartaji pun gembira karena mereka akan kembali hidup normal dan menikah. Ayodea memang telah berjanji padanya. Kini terlihat gadis itu sedang tertidur lelap setelah seharian penuh berlatih.

"Ohhh...!"

Gadis itu menggeliat, berusaha memeluk Ayodea yang tadi tidur di sampingnya.

"Kakang...?"

Kelopak mata Sekartaji terbuka perlahan-lahan. Dan ketika tidak melihat Ayodea di sisinya, bergegas dia bangkit. Sekartaji melayangkan pandangannya ke sekeliling goa yang diterangi beberapa obor.

"Kakang Wakalu...!"
"Hup!"
Trak!
"Kakang Wakalu!"

Sekartaji melompat ketika melihat sebuah bayangan mencelat keluar. Dan mematahkan palang pintu goa.

"Yeaaa...!"
"Akh!"

Sekartaji tidak salah lihat! Bayangan itu adalah Ayodea, kekasih yang akan menjadi calon suaminya. Tapi, apa yang terjadi? Dan kenapa tiba-tiba saja melancarkan pukulan jarak jauh bertenaga kuat ke arahnya? Tubuh Sekartaji terbanting ke dalam goa, dengan luka dalam yang cukup parah. Dari mulutnya, tak henti-hentinya meleleh darah segar.

Sambil menahan sakit yang luar biasa, gadis itu berusaha berdiri. Kemudian, melangkah tertatih-tatih menuju pintu goa, yang perlahan-lahan menutup kembali.

"Kakang Wakalu.... Apa yang kau lakukan padaku...?"

"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam, Gadis Tolol! Kini, aku tidak membutuhkanmu lagi!" teriak Wakalu sambil tertawa lebar dari luar pintu goa yang telah tertutup.

"Kakang Wakalu...!"

"Kakang Wakalu telah mampus. Yang ada hanya Ayodea alias Setan Ular Merah. Akulah yang akan menjagoi dunia persilatan. Ha ha ha...!"

"Ayodea...?" Sekartaji bergumam lemah.

Nama itu memang tidak terlalu mengejutkannya, tapi Sekartaji tahu betul, siapa orang itu. Berita mengenai dirinya telah tersebar luas. Sekartaji hanya dapat menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak mengenali orang.

"Jadi.... Jadi, kau yang bernama Ayodea, pembunuh guru sendiri dan menduduki jabatannya sebagai ketua perguruan?"

"Ha ha ha...! Kau benar. Tapi, sudah terlambat!"

"Ayodea. Jadi, tujuanmu ingin menguasai pusaka yang berada di Goa Naga ini, hanya untuk menambah kepandaian. Dan menjadi orang yang tidak terkalahkan?"

"Ha ha ha...! Setelah terkurung beberapa saat, ternyata otakmu mulai terpakai lagi."

"Jadi, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku...?" tanya gadis itu, terdengar lemah dan putus asa.

"Mencintaimu? Ha ha ha...! Jangan mimpi, Gadis Tolol. Untuk apa aku harus mencintaimu, apa lagi mengawini gadis sepertimu? Masih banyak gadis-gadis cantik lainnya yang memiliki tubuh bagus. Kenapa aku harus mencintai gadis tolol, dan memiliki cacat di tubuhnya?"

"Keparat kau, Ayodea! Ternyata kau memperalatku selama ini. Aku bersumpah akan membunuhmu nanti!"

"Bawalah sumpahmu ke akhirat sana. Kau tak akan mampu keluar dari goa ini. Saat ini, kau terluka parah. Mana mungkin, kau mampu menjebol dinding pintu yang tebalnya lima jengkal. Ha ha ha...! Kau boleh mampus bersama angan-anganmu!"

"Keparat kau, Ayodea!"

"Ha ha ha...! Kini tak seorang pun yang mampu menandingiku. Aku akan menjagoi dunia persilatan. Selamat tinggal, Gadis Tolol! Bersenang-senanglah menerima kematianmu! Ha ha ha...!" Ayodea tertawa keras, dan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.

"Kau tak akan lepas dariku, Keparat! Ke mana pun kau pergi, akan kukejar! Aku bersumpah akan mengambil jiwa iblismu!" teriak Sekartaji kalap, sambil memukul-mukul dinding goa.

Tapi akhirnya gadis itu terjatuh. Napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri. Sambil merayap-rayap, dia kembali ke dalam ruangan untuk mengatur pernapasan dan mengobati luka dalam yang dideritanya. Gadis itu kembali memuntahkan darah segar. Pikirannya tidak dapat terpusat. Hatinya geram memikirkan perbuatan Ayodea. Kepercayaannya telah dicampakkan begitu saja, setelah pemuda itu memperoleh manis dirinya. Hatinya yang semula berbunga-bunga, perlahan-lahan layu. Kemarau garang membakar, menimbulkan nyala api dendam kesumat kepada pemuda itu.

"Awas kau, Ayodea! Aku bersumpah akan membunuhmu!" geram Ayodea sambil mendengus garang.

***
LIMA
Sore yang cerah membawa seorang pemuda tampan berambut panjang terurai, ke sebuah desa yang cukup ramai. Siapa lagi pemuda berbaju rompi putih kalau bukan Rangga, atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga melihat beberapa penduduk desa melirik ke arahnya dengan perasaan takut dan cemas. Tapi pemuda itu tidak peduli, kakinya terus dilangkah menuju sebuah kedai. Di dalam kedai sepi, hanya ada tiga orang berada di mejanya masing-masing.

Rangga memesan makanan kepada pemilik kedai sambil melirik ke arah tiga orang itu. Sepintas saja dapat diketahui kalau ketiga orang itu bukan penduduk desa biasa. Dengan senjata terselip di pinggang, mereka lebih pantas disebut orang-orang persilatan.

"Ha ha ha...! Pelayan, tolong sediakan lima guci tuak yang paling enak, dan segala hidangan terlezat di kedaimu ini!" teriak seseorang yang baru masuk ke dalam kedai.

Orang itu bertubuh besar dengan kumis lebat. Baju di bagian dadanya terbuka lebar, menampakkan otot-otot tubuhnya yang kekar dan berkesan kuat. Di pergelangan tangan kanannya, terlihat akar bahar yang melingkar seperti lilitan ular. Di belakang orang itu terlihat empat orang yang tertawa tergelak-gelak seperti sedang mabuk. Wajah mereka rata-rata seram. Melihat kelakuan mereka yang sembarangan, agaknya kelima orang itu memang bukan orang baik-baik. Salah seorang malah menendang sebuah bangku, hingga terpental menghantam dinding.

"Cepaaat..!" teriak laki-laki berkumis lebat

"I... iya, Den...."

Hidangan yang sedianya akan diberikan kepada Rangga, oleh pelayan dialihkan kepada mereka. Tentu saja Rangga yang merasa perutnya sudah keroncongan, tidak suka melihat kelakuan pemilik kedai itu. Meskipun dia mengerti kalau pelayan itu melakukannya karena rasa takut yang amat sangat

"Kisanak, aku lebih dulu memesan hidangan itu. Mengapa kau berikan pada mereka? Itu sangat tidak adil! Berikan padaku, perutku sudah lapar sekali," kata Rangga tenang, dengan suara agak keras.

"Ta..., tapi...."

"Kenapa? Kau takut kalau aku tak mampu membayar?"

Rangga mengeluarkan beberapa keping uang perak dari saku, dan menunjukkannya pada pemilik kedai.

"Ta... tapi, Tuan...."

"Apakah uangku kurang untuk membayar makanan itu?"

"Orang tua keparat! Apa aku menyuruhmu berlama-lama mengantarkan hidangan kami? Sini, cepat..!" teriak laki-laki berkumis lebat, tanpa mempedulikan ucapan Rangga.

"Ba... baik, Den...."

"Nanti dulu! Hidangan itu dipersiapkan khusus untukku, maka ke sinilah seharusnya kau melangkah!" ujar Rangga tenang, sambil menjulurkan tangan.

"Keparat!"
Brakkk!

"Bocah sial! Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa saat ini?! Seharusnya kau bersyukur tidak kuusir dari tempat ini!" bentak salah satu dari kelima orang itu. Sambil menendang sebuah kursi, dihampirinya Rangga.

"Hm.... Peduli apa pada kalian? Lagi pula, apakah kau pemilik kedai ini, yang bisa seenaknya mengusirku?"

Brakkk!
Wuuut!
"Uts!"

Dengan cepat, kepalan tangan laki-laki kasar itu menghajar meja di hadapan Rangga, hingga hancur berantakan. Kemudian tangannya berbalik, menghantam batok kepala pemuda itu. Tapi Rangga cepat mengelak dengan menundukkan kepala. Dan, kaki kanannya terayun cepat ke arah perut lawan.

Bugkh!
"Aaakh...!"

Laki-laki berkumis lebat itu memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung menabrak meja di belakangnya hingga porak-poranda, dan jatuh ke lantai. Ia berusaha bangkit dengan wajah gusar. Sebelah tangannya memegang perut yang sakit bukan main.

"Heh...?!"

Keempat kawan laki-laki berkumis lebat itu tersentak kaget, dan langsung bangkit menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Diamlah kalian! Biar bocah keparat ini kuberi pelajaran!" kata laki-laki berkumis lebat. Agaknya dia masih penasaran akibat pukulan Rangga.

"Kisanak, mengapa kau tiba-tiba memukul dan mengamuk?"

"Bocah keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!"

"Uts! Galak sekali kau rupanya!"

Tubuh Rangga melejit, melewati kepala lawan. Dan cepat melesat ke luar kedai. Saat itu, salah seorang dari laki-laki kasar itu mengayunkan golok ke batok kepalanya.

"Kau pikir bisa lari dari Lima Begundal Maut?!" dengus laki-laki berkumis lebat, langsung melesat mengepung Rangga bersama empat orang kawannya.

"Hm.... Jadi, kalian Lima Begundal Maut yang terkenal itu? Pantas, kelakuan kalian mirip kerbau...," ejek Rangga sambil tersenyum kecil.

Diejek begitu, tentu saja kemarahan kelima orang itu semakin memuncak. Tanpa mempedulikan keadaan lagi, mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Modar!"

"Sabar.... Aku masih ingin hidup lebih lama," sahut Rangga sambil meliuk-liuk, menghindari sabetan golok lawan yang menderu-deru laksana sapuan angin.

"Bocah sial! Kau tidak akan sempat menyesal berurusan dengan kami. Karena sebentar lagi tubuhmu akan menjadi santapan anjing-anjing kurap!" bentak laki-laki berkepala botak.

"Kalian jangan suka mengada-ada. Mana mungkin anjing-anjing kurap itu suka dengan dagingku. Tubuh-tubuh kalian yang berbau busuklah yang sangat diincarnya!"

"Kurang ajar! Hiyaaa...!"
"Uts!"

Pertarungan antara mereka menjadi tontonan yang menarik bagi penduduk desa. Namun, di hati mereka terselip rasa cemas. Akan menjadi korban yang ke berapakah pemuda itu? Karena selama ini, Lima Begundal Maut tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Para penduduk desa selama ini memang dicekam rasa takut dan waswas. Sejak kehadiran Lima Begundal Maut yang selalu berbuat sesuka hati, tak ada lagi kedamaian di sini. Orang-orang banyak yang mati di pinggir jalan akibat perbuatan kelima orang itu. Ketakutan pun merajalela. Setiap ada pendatang asing yang memasuki desa, sudah pasti akan menjadi sasaran kelima orang itu.

Bukan hanya itu, mereka pun suka mencari gara-gara dan membunuh orang seenaknya hanya karena tidak suka. Beberapa orang penduduk desa berusaha mengungsi, tapi kebanyakan dari mereka kemudian ditemukan tewas terbunuh. Semua menduga, kalau itu adalah perbuatan Lima Begunda Maut. Akibatnya, tidak ada seorang pun yang berani mencoba mengungsi dari desa ini.

Dan kini, kejadian yang sudah biasa kembali terjadi. Seorang pendatang asing, dikeroyok beramai-ramai oleh Lima Begundal Maut. Tidak lama lagi, mungkin pemuda berbaju rompi putih itu akan terkapar jadi korban yang entah ke berapa kali. Pemandangan itu sudah biasa bagi penduduk desa. Mereka hanya dapat menonton. Sesudah itu, masuk ke rumah masing-masing dan mengunci pintu rapat-rapat. Biasanya, kalau sedang kesal dan marah, kelima orang itu suka mencari gara-gara, dan yang menjadi sasaran adalah penduduk desa.

Tapi kali ini mereka melihat keanehan. Lima Begundal Maut tampak kesulitan meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Walau dikeroyok, pemuda itu sama sekali tidak terdesak. Tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari.

"Hiyaaat..!"
Plak! Dukkk! Desss!
"Aaakh...!"

Terdengar pekik kesakitan yang disusul terlemparnya tiga dari Lima Begundal Maut. Senjata di tangan mereka terpental, dan dari sudut bibir meleleh darah segar.

"Keparat"

Dua orang dari Lima Begundal Maut memaki dan mengayunkan senjatanya secara bersamaan.

"Hiyaaa...!"

Rangga melompat ke atas sambil jungkir balik. Kedua kakinya menghantam pergelangan tangan mereka. Begitu menyentuh tanah di belakang mereka, kembali sebelah kakinya terayun, menghantam kedua punggung lawan dengan cepat.

Desss! Desss!
"Aaakh...!"

Kedua orang itu tersungkur ke depan dengan senjata terpental. Tapi, belum lagi mereka menguasai diri, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh yang langsung menghajar keduanya.

"Aaa...!"
"Aaakh...!"

Kedua orang itu terpekik sesaat, dan ambruk ke tanah dengan kepala pecah. Nyawa mereka melayang saat itu juga. Rangga yang tidak menyangka akan hal itu menjadi terkejut. Di depannya telah berdiri gagah seorang gadis cantik berambut panjang, dikepang dua dan diikat dengan pita merah. Gadis itu memandang sinis tiga orang dari Lima Begundal Maut.

"Begundal keparat! Hari ini, terimalah kematian kalian!"

"Gadis liar! Siapa kau?" bentak salah seorang dari mereka, tidak kalah garangnya.

"Ingatkah kau pada Ki Waskita dan istrinya, yang kau bunuh beberapa minggu yang lalu? Sayang, saat itu aku tak ada. Kalau tidak, kalianlah yang akan kubuat mampus!" dengus gadis itu, penuh dendam.

"Hm.... Orang tua busuk itu rupanya. Apa hubunganmu dengan mereka?"

"Mereka orangtuaku. Nah! Sekarang kau mengerti, untuk apa aku di sini, bukan? Bersiaplah menjemput ajal!"

Gadis itu agaknya tak mau berbasa-basi lebih lama. Saat itu juga tubuhnya melesat ke arah mereka, seraya mencabut pedang dari punggung masing-masing.

"Yeaaa...!"

Ketiga laki-laki kasar itu terkejut Cepat-cepat senjata mereka dihunus, siap menghadapi segala kemungkinan.

Trang! Brettt!
"Aaa...!"

Tubuh gadis itu bergerak amat cepat. Salah seorang berhasil menangkis pedangnya, tapi senjata gadis itu terus bergerak ke samping dan menyambar dada seorang lawan. Kemudian, tubuhnya cepat melejit ke atas sambil bersalto ketika seorang lawan lain membabatkan golok ke pinggangnya yang ramping. Ujung pedang si gadis terus bergerak, menyambar leher seorang lawan. Dua orang menjerit seketika dan ambruk seperti ayam disembelih.

"Kini tinggal kau seorang!" geram gadis itu sambil mengacungkan ujung pedang ke arah lawan yang tinggal seorang.

"Huh! Kau pikir aku takut padamu? Majulah, kalau kau ingin mampus!"

"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Trang! Desss!
"Aaa...!"

Orang itu menjerit kesakitan, ketika ujung pedang si gadis menyambar lehernya. Dengan cepat kepalanya ditundukkan, sambil goloknya dibabatkan. Tapi, gadis itu menangkis dengan pedangnya, dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah dada lawan dengan tenaga penuh. Tanpa ampun lagi, terdengar suara tulang rusuk patah dan menembus jantung. Nyawanya tak terselamatkan. Tubuh laki-laki kasar itu pun diam, setelah menggelepar-gelepar sesaat.

Trek!
"Hup!"
"Nisanak, tunggu!"

Selesai menghabisi lawan, gadis itu menyarungkan pedang dan terus berkelebat dari situ. Rangga tidak tahu, kenapa tiba-tiba berteriak memanggil gadis itu. Dengan cepat, disusulnya si gadis. Ada rasa penasaran di dalam hatinya, untuk mengenal gadis berilmu cukup tinggi itu. Terbukti, Lima Begundal Maut dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat dikalahkannya. Kehebatan gadis itulah yang mendorong Rangga mengikutinya.

Kejar-mengejar di antara mereka berlangsung terus. Ilmu lari cepat gadis itu lumayan hebat. Semula Rangga bermaksud menyusulnya, tapi kemudian niatnya itu diurungkan. Kalau mau, bisa saja Rangga menyamai lari gadis itu, bahkan mendahuluinya. Tapi, terpikir olehnya. Ada urusan apa dia menyusul gadis itu?

Sikapnya yang berkesan misterius dan tidak peduli pada orang lain, membuat Pendekar Rajawali Sakti sangat penasaran. Siapa dia sebenamya? Kenapa begitu kejam sekali pada lawan? Ah, tadi telinganya sempat mencuri dengar. Soal balas dendam, karena Lima Begundal Maut telah membunuh kedua orangtuanya.

"Berhenti!"
"Ehhh...?!"

Rangga tergagap. Pikirannya tidak terpusat pada arah gadis itu berlari, hingga tiba-tiba dari sebuah cabang pohon, gadis itu melayang turun dan mengacungkan ujung pedang tepat di lehernya.

"Untuk apa kau mengikutiku? Apakah kau kawan mereka?"

"Eh, singkirkan dulu pedang ini. Benda itu berbahaya. Salah-salah bisa menggorok leherku...."

"Jawab pertanyaanku!" bentak gadis itu sambil menyorongkan ujung pedang hingga menempel di leher Rangga.

"Baiklah.... Aku bukan kawan mereka."

"Lalu, kenapa kau mengikutiku?"

Rangga terdiam, agak ragu untuk menjawab.

"Jangan berlagak bodoh!" gadis itu menekan ujung pedangnya hingga lebih ke dalam.

"Baiklah. Karena... karena kau hebat.

Hiyaaat..!"
"Yeaaa...!"
"Uts!"

Setelah berkata begitu, Rangga langsung membuang diri ke belakang. Tapi gadis itu sudah memburu dengan kelebatan pedangnya mengarah ke dada Pendekar Rajawali sakti begitu cepatnya. Rangga bergulingan menghindari sabetan pedang lawan. Dan saat tubuhnya melejit ke atas, ujung pedang gadis itu terus memburu seperti melekat dengan tubuhnya.

Rangga melompat ke cabang pohon, tapi ujung pedang gadis itu berputar-putar. Cabang pohon tempatnya berpijak terpotong menjadi beberapa bagian. Tubuh Rangga sendiri sudah melesat di belakangnya sambil tersenyum kecil.

"Nisanak, ilmu pedangmu hebat sekali. Tapi, di antara kita tak ada permusuhan. Kenapa kau ingin membunuhku?"

"Aku akan membunuh siapa saja yang kusuka. Terutama pemuda usil sepertimu! Yeaaa...!"

"Nisanak, sabar! Aku bukan musuhmu... uts!"

Ucapan Rangga terputus ketika ujung pedang gadis itu menyambar tubuhnya dengan serangan yang mematikan. Kalau saja dia tak buru-buru menghindar, pasti tubuhnya telah terpotong-potong beberapa bagian.

"Nisanak, tak bisakah kau sedikit ramah pada orang yang tidak memusuhimu? Apakah kau ditakdirkan menjadi gadis kejam dengan sifat sadis?"

"Tutup mulutmu! Aku tidak butuh ceramah dari pemuda ceriwis sepertimu!"

Rangga menggeleng-gelengkan kepala. Dengan memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', serangan gadis itu tak satu pun yang berhasil mengenai kulit tubuhnya. Rangga mulai bosan. Sebab, gadis itu keras kepala dan tidak mau peduli omongannya. Mana mungkin dia akan terus meladeni keinginannya. Lagi pula, apa kepentingannya dengan gadis ini? Satu-satunya alasan, hanya karena Rangga penasaran ingin mengetahui, siapa gadis itu sebenarnya? Maka, tanpa membuang buang waktu lagi, Rangga membentak nyaring.

"Nisanak, baiklah. Kalau memang kau tak suka melihat kehadiranku, aku akan mohon diri. Maaf kalau aku telah mengganggumu!" ucap Rangga. Dan setelah itu, tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.

"Kau pikir bisa lari dariku seenaknya saja? Huh! Karena mengusikku, kau harus tinggalkan sebelah telingamu!"

Gadis itu melesat, mengejar Rangga yang berlari di antara cabang-cabang pohon.

"Yeaaa...!"
"Heh?!"
Trak! Trak!
Breeet!
"Auw!"

Gadis itu terpekik nyaring, karena tiba-tiba saja Rangga berbalik dengan dua ranting di tangannya. Sebuah ranting menyerang ke arahnya, namun dengan tangkas gadis itu menyambar dengan pedangnya, membuat ranting itu terpotong-potong menjadi beberapa bagian kecil. Tapi gadis itu terkejut ketika ujung ranting satu lagi menyambar dan merobek bajunya di bagian pundak. Mulutnya tak henti-henti memaki. Tapi bayangan Rangga telah lenyap dari pandangan. Hanya sayup-sayup terdengar suaranya dari kejauhan.

"Gadis cantik sepertimu seharusnya menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik, agar menjadi wanita sempurna. Kecurigaan dan sikap membabi buta, akan menyengsarakan diri sendiri. Lebih terpuji lagi jika menggunakan akal dan perasaan, serta naluri kewanitaan daripada menggunakan nafsu serta amarah...."

"Sial! Siapa dia sebenamya?" maki gadis itu sambil berpikir keras.

Sesaat dia berpikir, pemuda itu bukan orang sembarangan. llmunya tinggi dan kepandaiannya hebat. Ah, terlalu banyak sekali orang berkepandaian tinggi di dunia ini. Lalu, bagaimana mungkin aku bisa melakukan tugasku? Gadis itu bertanya dalam hati, sebelum melanjutkan langkahnya.

***
ENAM
Rangga menghentikan langkah. Jarak mereka telah terpaut jauh. Tak mungkin rasanya gadis itu mampu mengejarnya. Lagi pula, Rangga jadi tersenyum sendiri. Perbuatannya tadi sungguh tidak pantas. Tapi, kalau tidak dilakukannya mungkin gadis itu akan terus mengejar. Walaupun dalam ilmu lari cepat kemampuannya lebih tinggi, tapi dengan cara tadi tentu lebih cepat lagi. 

Gadis itu tidak akan dapat mengejarnya, karena kerepotan membenahi bajunya yang sempat dirobek ranting kayu. Rangga tersenyum kecil sambil melangkah pelan. Pikirannya masih tertuju pada gadis tadi. Siapa dia sebenarnya?

"Tolong...!"
"Heh?!"

Rangga cepat berpaling, dan melihat seorang laki-laki tua tengah sekarat di bawah sebatang pohon. Cepat-cepat dihampirinya orang tua itu.

"To..., tolonglah aku, Anak Muda...."

"Kisanak, apa yang terjadi padamu?"

Rangga terkejut menyaksikan keadaan orang tua itu. Seluruh tubuhnya hitam kebiru-biruan. Di dadanya terlihat guratan seperti terkena cakaran binatang buas. Darah yang meleleh dari sudut bibirnya pun berwama hitam kebiru-biruan. Orang tua itu berusaha menahan gerak racun yang ada di tubuhnya, agar tidak segera menyerang jantung.

"A..., Ayodea.... Se... Setan Ular Me... Merah...."

"Ayodea?" desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengingat nama itu. Peristiwa setahun lalu, tiba-tiba melintas dalam benaknya. Seorang pemuda ber-baju merah menantangnya, dan begitu bernafsu ingin membunuhnya. Meski samar-samar, Rangga ingat pemuda itu menyebutkan namanya.

"Hm.... Jadi, pemuda itu yang membunuh orang tua ini. Tapi, apa masalahnya? Apakah soal balas dendam?" gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri.

Setelah menguburkan orang tua itu, Rangga melanjutkan perjalanan. Tujuannya kini adalah Perguruan Ular Merah. Tapi tempat itu amat jauh dari sini. Memakan waktu satu atau dua hari perjalanan, bila ditempuh dengan seekor kuda yang sehat dan mampu berlari cepat.

Sepanjang perjalanan, banyak didengarnya cerita tentang Ayodea yang membuat teror di mana-mana. Yang menjadi korban kebanyakan tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi yang selama ini namanya amat disegani. Kenyataan ini semakin membuat Rangga bertekad menemui Ayodea.

Malam telah tiba, ketika Rangga sampai di sebuah desa. Tempat ini sepi sekali, seperti di kuburan. Di depan tiap-tiap rumah, hanya ada sebuah pelita kecil yang nyala apinya sangat redup. Pemuda itu agak ragu, apakah di tempat seperti ini ada penginapan. Satu-satunya bangunan besar yang terlihat, ditutup tembok tinggi. Di pintu gerbangnya terdapat tulisan PERGURUAN SILAT TOMBAK KILAT. Pendekar Rajawali Sakti melangkah ragu, dan mengetuk pintu sebuah rumah yang tidak jauh dari situ.

"Permisi. Selamat malam...!"

Tidak terdengar sahutan dari dalam. Namun, pen-dengarannya yang tajam mendengar derit panjang, disusul langkah halus ke arah belakang.

"Kisanak, aku seorang pengembara yang kemalaman di tempat ini. Sudikah kau menolongku, untuk numpang menginap semalam saja?"

Rangga melangkah lesu. Setelah menunggu beberapa saat, tidak terdengar tanda-tanda penguni rumah ini mau membukakan pintu baginya. Dengan mengerahkan ilmu 'Tatar Netra', dilihatnya seorang laki-laki tua berdiri di dekat pintu dengan sebilah golok di tangan. Orang itu tentu menyangkanya bermaksud tidak baik, sehingga bersiap-siap menyambutnya dengan tebasan golok kalau pemuda itu berani menerobos masuk. Baru saja Rangga berjalan lima langkah, tiba-tiba dua sosok tubuh berpakaian hitam berkelebat menyerang.

"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Mampus!"

Rangga terkejut. Mendadak saja, dua orang yang bersenjatakan tombak menyerang ganas. Melihat gerakan mereka yang gesit dan cepat serta bertenaga kuat, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau kedua penyerangnya itu bukan orang sembarangan.

"Kisanak, ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku?"

"Orang asing keparat! Jangan berpura-pura bodoh! Kau tentu kembali untuk menghabisi kami semua, bukan? Tapi jangan harap niatmu itu akan terlaksana. Kau tak akan bisa pergi sebelum meninggalkan jiwamu di sini!" bentak salah satu dari kedua orang itu.

"Kisanak, aku semakin tak mengerti apa yang kau bicarakan!"

"Huh! Tak perlu kau bertanya segala. Saat ini adalah hari kematianmu!"

Rangga mencoba menegaskan. Yang barusan berbicara adalah seorang pemuda bertubuh kekar. Rambutnya pendek, diikat oleh sehelai kain hitam. Sementara kawannya bertubuh lebih kecil dan kurus.

"Kisanak, barangkali ini adalah kesalahpahaman belaka. Di antara kita tidak ada urusan apa-apa," Rangga mencoba menjelaskan.

Tapi kedua orang itu tak menyahut. Mereka langsung mendesak Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan-serangan kilat. Kedua tombak mereka silih berganti menyerang bagai kitiran, menyambar ke mana saja tubuh Rangga bergerak menghindar.

"Hentikan...!"
"Heh?!"

Sesosok tubuh berdiri di antara mereka. Kedua penyerang itu menghentikan serangannya, dan memberi hormat pada orang tua bertubuh kecil yang baru tiba.

"Paman Guru! Syukur Paman segera datang. Kami telah menemukan orang yang telah membunuh Eyang Guru...," kata pemuda berikat kepala hitam.

"Sukri! Dan kau, Bagala. Kalian terlalu ceroboh, menyerang orang tanpa dasar yang kuat. Tahukah kalian, siapa orang yang sedang kalian hadapi ini?"

"Paman Guru. Dia..., dia...."

"Dia bukan Setan Ular Merah yang telah membunuh guru kalian. Pemuda ini adalah Pendekar Rajawali Sakti," jelas orang tua itu.

"Heh...?!"

Kedua pemuda itu terkejut mendengar nama yang disebutkan paman guru mereka.

"Pendekar Rajawali Sakti! Namaku Ki Sentanu. Dan atas nama murid-murid keponakanku, menghaturkan maaf atas kelancangan mereka padamu...."

"Ki Sentanu, kau terlalu melebih-lebihkan dengan menghormat begitu. Aku bukan apa-apa. Memang, sejak tadi aku berusaha menjelaskan bahwa ini hanya kesalah-pahaman belaka, namun mereka berkeras menyerangku. Tak apalah. Aku bisa mengerti hal ini. Tadi, kudengar mereka berurusan dengan Setan Ular Merah. Apa yang telah terjadi di sini?"

"Rasanya kurang hormat bila kami tidak mempersilakan tamu masuk. Padahal, pintu gerbang berada di depan mata. Silakan, Pendekar Rajawali Sakti. Perguruan Tombak Kilat mengundangmu bertamu ke tempat kami. Hari pun telah larut malam. Kami akan merasa dihormati, bila pendekar besar sepertimu berkenan meneduh selama semalam atau dua malam," ujar Ki Sentanu.

"Terima kasih, Ki."

Kemudian, mereka berempat segera melangkah menuju Perguruan Tombak Kilat yang terletak tidak jauh dari situ. Tampak murid-murid perguruan itu sedang berjaga-jaga dalam keadaan berkabung. Guru mereka tewas pagi tadi bersama beberapa murid perguruan. Yang menjadi biang malapetaka adalah Setan Ular Merah.

Sayang, ketika hal itu terjadi, murid tertua perguruan ini, yaitu Sukri dan Bagala tidak berada di tempat. Mereka baru saja pulang setelah mendapat tugas dari gurunya. Dan ketika mendengar ciri-ciri pembunuh guru mereka masih muda, keduanya langsung curiga dan menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang disangka sebagai Setan Ular Merah.

"Jadi begitulah ceritanya, Pendekar Rajawali Sakti. Kami harap, kau tidak sakit hati atas kelakuan murid-murid keponakanku tadi," ujar Ki Sentanu mengakhiri ceritanya. Saat itu mereka telah berada di ruang utama perguruan.

"Ah! Tidak mengapa, Ki. Aku bisa memaklumi hal itu. Aku pun turut berduka cita, atas kematian Ketua Perguruan Tombak Kilat ini. Sebenarnya, perjalananku ini untuk mencari pemuda itu..."

"Setan Ular Merah?" tanya Ki Sentanu.

Rangga menganggukkan kepala.

"Apakah kau pun mempunyai ganjalan dengannya?"

Pendekar Rajawali Sakti menggelengkan kepala.

"Barangkali dialah yang mempunyai ganjalan denganku...."

"Kenapa bisa begitu?"

Rangga lalu menceritakan peristiwa setahun lalu, saat pertemuannya dengan Ayodea yang bergelar Setan Ular Merah.

"Jadi, untuk urusan itukah kau hendak menemuinya?"

"Bukan. Perbuatan orang itu sungguh keterlaluan. Dalam waktu singkat, lebih dari sepuluh tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi tewas di tangannya. Sekadar membuktikan, bahwa dia seorang tokoh yang tak terkalahkan...."

"Kudengar pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dia mewarisi ilmu silat penguasa Goa Naga...," jelas Ki Sentanu sambil menggelengkan kepala.

"Goa Naga?! Nama itu pernah kudengar. Kabarnya, dahulu tempat bersemayam tokoh-tokoh persilatan dan berbagai kalangan. Sayang, jatuh ke tangan yang salah...."

"Harus ada orang yang menghentikan sepak terjang Setan Ular Merah. Kalau tidak, dia akan mengganggu ketenteraman semua orang. Ayodea haus akan ketenaran dan kekuasaan. Korban akan terus berjatuhan, begitu mendengar ada tokoh yang dianggapnya hebat. Kalau saja saat itu aku berada di tempat, dia pasti akan menempurku...," kata Ki Sentanu geram.

"Apakah Ayodea ke tempatmu juga, Ki?"

Ki Sentanu menganggukkan kepala. "Entahlah.... Aku juga tidak bisa menduga, sampai di mana ketinggian ilmu silatnya. Kalau saudara seperguanku tidak mampu dan tewas di tangannya, bagaimana mungkin aku bisa menahan jika tiba-tiba dia datang ke sini...?"

"Paman Guru,, rasanya mustahil kalau kita semua tidak mampu membinasakan orang itu!" sahut Sukri dengan nada gusar.

Ki Sentanu menggeleng lemah. "Kau tak tahu kepandaian orang, Sukri. Orang seperti kita ini, tidak ada artinya bagi Setan Ular Merah. Kalau dia telah mampu membinasakan tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi, maka dua puluh orang sepertimu bukan apa-apa baginya."

"Jadi kita harus bagaimana? Apakah mendiamkan saja kematian Eyang Guru, tanpa terbalas?" tanya Bagala.

Ki Sentanu terdiam beberapa saat lamanya, dan menghela napas panjang. Kemudian diliriknya Pendekar Rajawali Sakti.

"Barangkali kau lelah dan mengantuk, Pendekar Rajawali Sakti? Muridku akan mengantarkan ke kamarmu."

"Belum, Ki Sentanu. Tapi, kalau memang ada pembicaraan yang sifatnya pribadi, ada baiknya aku tak ikut mendengarkan."

"Tidak. Kami tidak sedang membicarakan persoalan pribadi," sahut Ki Sentanu sambil menggelengkan kepala.

"Ki Sentanu. Sebenarnya alasan bertemu dengan Setan Ular Merah bukan karena soal pribadi. Harus ada orang yang menghentikan sepak terjangnya yang berbau maut. Aku sama sekali tidak menganggap diriku sebagai malaikat penyelamat. Meskipun tak memiliki kepandaian tinggi, tapi kita harus berusaha. Karena, cepat atau lambat Ayodea akan mencariku untuk membalaskan sakit hatinya...," jelas Rangga.

"Jadi kau akan menempurnya?"

"Jika semua jalan untuk membujuknya tak berhasil, mungkin itulah satu-satunya jalan terakhir."

"Pendekar Rajawali Sakti, bila kau membutuhkan pertolongan, tenaga tuaku ini siap membantu. Begitu juga dengan semua murid-murid Perguruan Tombak Kilat!" ujar Ki Sentanu bersemangat.

Rangga tersenyum sambil menggeleng lemah. "Ki Sentanu, aku tidak meremehkanmu dan semua murid-murid yang berada di sini Tapi sudah menjadi kebiasaanku bekerja sendiri. Pasti jika aku memerlukan tenaga kalian, aku akan ke sini memberitahukannya," sahut Rangga.

Mendengar jawaban itu, Ki Sentanu terpaksa menerima sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dalam hati, orang tua itu percaya kalau Rangga berilmu tinggi. Sepak terjangnya belakangan ini telah membuktikan hal itu. Tapi, menghadapi Setan Ular Merah yang mewarisi kepandaian seorang tokoh sakti tak terkalahkan di zamannya, apakah dia sanggup?

Ki Sentanu tidak bisa menjamin. Yang pasti terbayang di benaknya, dua orang tokoh muda rimba persilatan akan bertemu. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana serunya jika mereka jadi bertarung. Saat ini, nama keduanya memang amat disegani, karena sama-sama memiliki ilmu silat serta ilmu olah kanuragan yang tinggi!

***

Kedua orang tua itu berlari cepat, menyusuri pinggiran hutan. Dari cara mereka bergerak, agaknya bisa diduga bahwa keduanya memiliki ilmu lari cepat yang tidak sembarangan. Tubuh mereka bergerak bagai sapuan angin saja. Yang seorang bertubuh bungkuk, membawa sebatang tongkat baja di tangannya. Sementara yang seorang lagi berkulit merah dengan mata tajam dan bulat hampir keluar. Di punggungnya terdapat sebatang golok besar, yang kedua matanya bergerigi.

"Adik Palang Gerigi. Apakah kau yakin kalau si keparat itu berada tidak jauh di depan kita?" tanya orang tua bungkuk itu.

"Aku yakin, Kakang Sembung Sedura."

"Kali ini, dia tidak akan lolos dari tanganku!" geram laki-laki bungkuk yang bernama Sembung Sedura.

"Tanganku pun sudah gatal ingin menggorok lehernya," sahut kawannya yang bernama Palang Gerigi.

"Coba dengar! Sepertinya ada suara pertarungan!" desis Sembung Sedura sambil menghentikan larinya.

Ki Palang Gerigi pun menghentikan larinya, dan menajamkan pendengaran.

"Betul! Agaknya tak jauh dari sini. Mudah-mudahan dia si jahanam itu!"

"Mari kita ke sana!"

Keduanya berlalu dari situ. Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat seorang pemuda berbaju merah berhadapan dengan seorang laki-laki tua berkepala botak yang didesak habis-habisan. Kedua tangan pemuda itu tampak hitam kebiru-biruan sampai sebatas siku. Persis ketika mereka tiba di tempat itu, si orang tua berkepala botak memekik kesakitan sambil berkelojotan. Dadanya telah tercakar pemuda berbaju merah itu.

"Aaa...!"

Seluruh tubuhnya cepat menghitam kebiru-biruan. Ketika sampai ke jantung, orang tua itu hanya sempat mengeluh sesaat. Napasnya putus saat itu juga.

"Ha ha ha...! Orang tua busuk, kau pikir kali ini berhadapan dengan siapa? Setan Ular Merah bukanlah orang sembarangan yang bisa kau jatuhkan begitu saja. Ha ha ha...! Tak ada seorang pun di dunia ini yang mampu mengalahkanku!"

"Setan Ular Merah keparat! Hentikan sesumbarmu! Hari ini kami yang akan mencabut kesombonganmu itu!" bentak Ki Palang Gerigi sambil melompat ke hadapan berbaju merah itu. Ki Sembung Sedura pun telah berada di sebelahnya.

"Siapa kalian?" tanya pemuda itu dengan tatapan mata tajam.

"Kau tak perlu tahu siapa kami. Tapi, bersiaplah menerima kematian!" dengus Ki Sembung Sedura sinis.

"Huh! Kalian pikir, punya derajat untuk bisa berhadapan denganku? Aku tak sudi berurusan dengan keroco-keroco busuk yang tidak punya nama seperti kalian! Pergilah, sebelum kesabaranku habis!"

"Setan Ular Merah! Beberapa hari yang lalu kau telah membinasakan Ki Sempalan Ungu alias Pendekar Lembah Duka. Kami adalah saudaranya yang akan membalas sakit hatinya!" sahut Ki Sembung Sedura.

"Hm, boleh juga. Orang tua itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Sebagai saudara seperguruan, kalian tentu memiliki kepandaian serta nama yang cukup lumayan. Cukup pantas untuk mampus di tanganku," sahut Setan Ular Merah tenang.

"Keparat! Anak muda sombong, hati-hati dengan bicaramu! Kau pikir kepandaianmu sudah hebat sekali?!" dengus Ki Palang Gerigi yang agaknya sudah tak sabar ingin menghajar pemuda itu.

"Kenapa kau, Orang Tua? Apa sudah tidak sabar ingin cepat-cepat mampus? Ke sinilah cepat"

"Keparat! Yeaaa...!"

Mendengar jawaban itu, Ki Palang Gerigi langsung melompat menyerang pemuda itu dengan kecepatan tinggi. Tanpa tanggung-tanggung lagi, senjata andalannya langsung dicabut. Ki Palang Gerigi memang mengaku kalau lawan berilmu tinggi. Itulah sebabnya, dia tak mau setengah hati menempurnya, dan langsung menggunakan senjata dengan jurus-jurus pamungkas untuk menyerang pemuda itu.

Apa yang diperkirakannya memang tidak salah. Setan Ular Merah dengan tenang menghindar dari setiap serangan dan sabetan senjatanya. Dan hal itu berlangsung terus sampai dua jurus terlampaui. Sepertinya, lawan sengaja berbuat begitu untuk mengetahui sampai di mana kehebatan ilmu silat yang dimilikinya. Dan pada jurus ketiga, pemuda itu mencabut pedangnya, siap membalas serangan lawan.

"Orang tua bersiap-siaplah menerima kematianmu! Yeaaa...!"

***
TUJUH
Tubuh Setan Ular Merah bergerak cepat. Ki Palang Gerigi terkejut, dan langsung memutar senjatanya. Desiran angin kencang pun mengiringi senjatanya yang membentuk kitiran. Dari tangan kirinya, melesat sebuah sinar berwarna kuning kemerahan-merahan yang langsung menerpa lawan.

"Yeaaa...!"
Glarrr! Crasss!
"Akh!"

"Heh! Keparat!" maki Ki Sembung Sedura.

Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Dari telapak tangan kiri pemuda itu melesat sinar maut dari pukulan jarak jauh 'Cakar Naga'. Pukulan itu mengeluarkan sinar hitam kebiru-biruan, yang langsung memapaki pukulan Ki Palang Gerigi. Terjadi ledakan kecil. Pukulan lawan seperti lenyap, ditelan sinar hitam kebiru-biruan yang terus menderu menghantam. Ki Palang Gerigi hanya sempat berteriak kecil. Tubuhnya hangus terbakar, dan berserakan seperti arang yang perlahan-lahan berubah menjadi debu. Dan, pedang pemuda itu mempercepat terjadinya hal itu, membabat tubuh lawan yang telah tak berdaya menjadi beberapa potong.

"He he he...! Itulah akibatnya jika berani menghadapi Setan Ular Merah!"

"Biadab! Setan Ular Merah, kau bukan manusia, tapi setan terkutuk berhati iblis!"

"He! Kenapa kau marah-marah begitu, Orang Tua? Kau sakit hati, dan ingin membalas dendam? Ayo, majulah! Biar sekalian tubuhmu kucincang untuk makanan hewan-hewan buas di hutan itu."

"Manusia terkutuk! Tak peduli kau mampu membunuhku. Orang sepertimu, sudah selayaknya disingkirkan dari muka bumi ini!" bentak Ki Sembung Sedura, langsung melompat sambil memutar tongkat menyerang ke arah lawan.

"Hup! Ha ha ha...!"

Sambil tertawa-tawa seperti mengejek orang tua itu, tubuh Setan Ular Merah menghindar dengan lincah

. "Mampus!" bentak Ki Sembung Sedura sambil memutar tongkatnya yang membentuk pusaran hebat, menghantam kepala dan dada pemuda itu.

"He he he...! Kau bermimpi bisa membunuhku, Orang Tua!"

"Bangsat!" maki Ki Sembung Sedura.

Dari tangan kirinya, melesat seberkas sinar kuning kehijauan menuju Setan Ular Merah. Itulah pukulan andalannya yang bernama 'Rumput Pelangi'. Pukulan itu mampu membunuh tiga ekor kerbau yang kuat sekaligus! Tapi, lawan hanya tertawa-tawa sambil menghindar ke sana kemari.

"Orang tua, tidak adakah pukulanmu yang lain? Kalau semua kepandaianmu telah dikeluarkan, maka bersiaplah menerima balasan dariku!"

Wajah Setan Ular Merah seketika berubah kelam. Hawa kesadisan terbias ketika dia mendengus sinis. Telapak tangan kirinya diangkat, dan terlihat perubahan cepat Tangannya sebatas siku, berwarna hitam kebiru-biruan.

"Yeaaa...!"

Ki Sembung Sedura terkejut mendengar bentakan Setan Ular Merah yang menggelegar hebat. Sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan, selain menghindar cepat ketika telapak kiri lawan menghantam ke arahnya, disusul kelebatan pedang di tangan kanan.

Wuttt!
Trak! Crasss!
"Akh!"
Glarrr!

Tubuh Ki Sembung Sedura terpental beberapa tombak. Pedang Setan Ular Merah lebih dulu berkelebat, menghantam secara tak terduga. Dengan sekenanya, orang tua itu menangkis, namun kelebatan pedang lawan sungguh cepat. Karena dengan tiba-tiba tongkat ditangannya patah jadi dua bagian dan menghajar dadanya. Ki Sembung Sedura memekik kesakitan. Saat itu juga, telapak kiri Ayodea menghantam dan orang tua itu tidak mampu menahannya. Tubuh Ki Sembung Sedura langsung menghitam kebiru-biruan seperti arang yang berpatahan. Nyawanya langsung melayang saat itu juga.

"Ha ha ha...! Orang tua malang, kau tidak akan mampu melawanku. Setan Ular Merah akan menjadi tokoh persilatan yang tak terkalahkan! Ha ha ha...!"

"Tertawalah sepuasmu, Setan Ular Merah! Karena sebentar lagi kematian akan menjemputmu!"

"Heh?!"

Setan Ular Merah langsung menghentikan tawanya. Di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh tinggi tegap. Di tangannya tergenggam sebatang pedang besar dan panjang. Sorot mata laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu terlihat tajam.

"Siapa kau? Apakah kau ingin mampus seperti mereka?" tanya Setan Ular Merah sambil tersenyum mengejek.

"Setan Ular Merah, bicaramu sombong sekali. Seolah-olah kau merasa dirimu malaikat maut yang tak mampu dihalangi. Tapi, hari ini Bianglala Mata Iblis akan membuat perhitungan denganmu!"

"Hm.... Jadi kau orang yang terkenal itu? Sungguh suatu kehormatan bagiku berhadapan denganmu. Tapi, persoalan apa yang membuat kau begitu gusar?"

"Bocah keparat! Aku tak peduli kau membantai banyak orang hanya untuk melambungkan namamu. Aku juga tak peduli, kau membantai golongan mana pun. Tapi, kau telah membunuh adikku, maka terpaksa aku harus turun tangan!"

"Adikmu! Siapa dia?"

"Serigala Bukit Kuda!"

"Hm.... Ya, kuingat dia. Pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat, sehingga menggelitik hatiku untuk mencoba kemampuannya. Tapi aku tak sangka kalau dia adikmu. Seandainya pun aku tahu, mungkin juga tak akan mampu menghalangi niatku untuk mencoba kemampuannya," sahut Setan Ular Merah ringan.

"Keparat! Kau sungguh tak melihat mukaku sedikit pun!"

"Kenapa aku mesti melihat mukamu yang buruk itu?"

Bukan main geramnya Bianglala Mata iblis mendengar jawaban pemuda itu. Bukan oleh ejekan itu, tapi kelancangan Setan Ular Merah yang seolah menganggapnya remeh. Selama ini, namanya selalu disegani dan ditakuti tokoh-tokoh rimba persilatan. Tak seorang pun yang mau mencari urusan dengannya. Tapi hari ini, seorang pemuda yang menamakan diri sebagai Setan Ular Merah, telah mengecilkan dan membuatnya sama sekali tak berarti. Tentu saja hal ini membuat Bianglala Mata Iblis tersinggung.

"Setan Ular Merah, bersiaplah. Aku ingin melihat, sampai di mana kesombonganmu!" dengus Bianglala Mata Iblis sambil membuka jurus dan menekuk pedangnya ke belakang.

"Kau yang memulai, maka jangan salahkan kalau kau akhirnya tak sempat menyesali!" balas Setan Ular Merah tak kalah sinis.

"Yeaaa ..!"
"Hiyaaat..!"
Trak!
"Uts..., eh?!"

Setan Ular Merah sedikit terkejut melihat serangan lawan. Nama Bianglala Mata Iblis memang bukan omong kosong belaka. Terutama sekali, tenaga dalamnya yang luar biasa. Tubuh pemuda itu nyaris terdorong ke belakang, saat lawan menyerangnya dari jarak dekat.

"Hebat sekali tenaga dalammu, Sobat. Ayo, keluarkan seluruh kemampuanmu!"

"Bocah sombong! Mengocehlah nanti kalau kau sudah di akhirat!"

"Ha ha ha...! Orang sepertiku tidak pantas berada di sana lebih dulu, akulah yang akan mengirimmu ke sana."

"Huh! Yeaaa...!"

Setan Ular Merah sengaja membiarkan dirinya diserang terus oleh lawan. Hal itu dilakukannya untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuan serangan lawan. Dan pemuda itu terkejut, sebab bukan saja tidak diberi kesempatan untuk menghindar, tapi juga serangan lawan begitu dekat mengancam jiwanya. Rasanya dia tidak akan mampu terus bertahan selama dua jurus tanpa membalas. Kecuali kalau ingin merelakan nyawanya dicabut lawan.

"Bersiaplah kau, Sobat!"
"Yeaaa...!"
"Heh?!"

Bianglala Mata Iblis terkesiap melihat gerakan lawan yang cepat luar biasa, dengan ujung pedang menyambar-nyambar bagai kelebatan kilat. Dengan sekenanya, pedangnya diputar membentuk pertahanan diri, sekaligus menimbulkan pusaran angin kencang. Tapi dengan pengerahan tenaga dalam penuh, Setan Ular Merah terus menghantam senjata lawan.

Prak!
"Uts!"

Pedang besar di tangan Bianglala Mata Iblis patah jadi dua bagian. Telapak tangannya terkelupas ketika kedua senjata mereka beradu. Tekanan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat babatan pedangnya, sungguh luar biasa dan sempat mendebarkan jantung. Tapi lebih gila lagi, kalau dia tidak cepat-cepat membuang tubuhnya dari sambaran pedang lawan selanjutnya, yang cepat bukan main.

"Hiyaaat..!"
Suttt..., trakkk!
"Yeaaa...!"

Dalam keadaan terdesak, Bianglala Mata Iblis melempar sisa pedang yang berada di tangannya, tepat di jantung lawan. Tapi, Setan Ular Merah dengan mudah menangkisnya. Senjatanya langsung mengejar lawan, bergulung-bergulung bagai pusaran air deras. Kesempatan sesaat itu, cukup bagi Bianglala Mata Iblis untuk melancarkan pukulan mautnya yang bernama 'Darah Iblis'.

"Uts!"

Dengan gesit Setan Ular Merah menghindari lesatan cahaya merah, yang dilontarkan dari telapak tangan lawan. Sambil menggeram hebat, Ayodea mengerahkan jurus 'Cakar Naga' yang dahsyat dan sangat beracun.

"Yeaaa...!"
"Hup!"
Glarrr!
"Aaakh...!"

Bianglala Mata Iblis hanya sempat mengeluh tertahan. Ketika lawan menghantam dengan pukulan maut, dicobanya menahan dengan pukulan 'Darah Iblis' miliknya, sambil mengempos tenaga dalam sepenuhnya. Terdengar ledakan keras sesaat, dibarengi pijaran bunga api yang menerangi tempat itu ketika kedua pukulan mereka beradu. Tapi dalam sekejap saja, terlihat sinar hitam kebiru-biruan dari jurus 'Cakar Naga' yang dikerahkan Setan Ular Merah, menjalar cepat menghantam tubuhnya. Pemuda itu hanya sempat memekik sesaat. Tubuhnya langsung terpental sejauh tiga tombak dalam keadaan menghitam seperti arang.

"Huh! Ternyata Bianglala Mata Iblis yang dibesar-besarkan itu, kemampuannya hanya sampai di sini saja!" dengus Setan Ular Merah sambil menghela napas pendek.

Setan Ular Merah merasa agak letih. Dalam waktu singkat menghadapi empat tokoh yang berilmu tinggi, tentu sangat menguras tenaga. Sesaat, pemuda itu bersila di bawah sebatang pohon untuk mengatur napas dan mengembalikan hawa mumi. Kedua matanya terpejam, namun pendengarannya dibuka lebar-lebar.

Agak lama juga Setan Ular Merah bersikap demikian. Dan setelah dirasa tenaganya kembali pulih, kelopak matanya pun dibuka. Saat itu didengamya suara halus yang menjalar mendekatinya. Seekor ular yang sangat besar, mendesis halus mendekat ke arahnya.

"Hup!"
Crasss!

Pedangnya tercabut cepat, dan memapas kepala ular itu sampai putus. Dan ketika berkelebat sekali lagi, tubuh ular itu terpotong menjadi beberapa bagian. Ayodea kemudian membuat api untuk memanggang daging ular itu. Dan setelah itu, dilahapnya sampai tandas tak bersisa. Namun, ketika baru saja bangkit dan bermaksud meneruskan perjalanan, sesosok tubuh ramping melesat cepat ke arahnya.

"Heh!"

Setan Ular Merah mulanya sedikit terkejut. Namun melihat wajah gadis cantik berbaju putih di hadapannya, dia tersenyum sendiri. Belum apa-apa, gadis itu telah mencabut pedang dan memandangnya dengan tajam. Meski wajahnya dibuat bengis, tapi gadis berambut panjang itu sama sekali tidak terlihat menyeramkan. Hanya terlihat sedikit kesan galak pada wajahnya.

"Nisanak. Mengapa kau tiba-tiba muncul dan mencabut pedang?"

"Kaukah yang berjuluk Setan Ular Merah?"

"Tak salah. Kau bertanya langsung pada orangnya...."

"Bagus! Terimalah kematianmu! Yeaaa...!"

"Eh! Ada apa ini? Uts...!"

Kata-kata Ayodea terputus ketika tiba-tiba gadis itu menyerangnya. Untung pemuda itu cepat menghindar ke samping. Kalau tidak, lehernya pasti putus disambar kelebatan pedang gadis itu.

"Kau pikir namamu sudah hebat, sehingga tidak ada yang mampu menandingi? Guruku, Ki Sempalan Ungu tewas di tanganmu. Kini, terimalah kematianmu!"

"O, kau muridnya? Sungguh sayang saat itu kau tidak ada di sana. Kalau tidak, tentu kita akan bersenang-senang lebih dulu. Tapi, tak apalah meski tertunda. Yang jelas, kesempatan ini tidak akan kulewatkan begitu saja. Kebetulan kita telah memulai tadi. Baru saja, kedua paman gurumu tewas di tanganku," sahut Setan Ular Merah mengejek.

"Apa?! Ki Sembung Sedura dan Ki Palang Gerigi tewas di tanganmu? Keparat! Kau berhutang tiga nyawa padaku! Hari ini, biarlah aku mengadu jiwa denganmu. Yeaaa...!"

"Kau boleh mampus, tapi tidak sekarang. Melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang mulus, kau akan bersenang-senang lebih dulu denganku," sahut pemuda itu tertawa kecil.

"Cuih! Aku lebih suka bunuh diri, daripada disentuh bajingan keparat sepertimu!"

"Ha ha ha...! Aku akan membuktikannya sekarang juga!"

Setan Ular Merah mencabut pedang. Dengan sekali gebrak, gadis itu dibuat kewalahan. Hal itu sebenarnya bisa diduga. Sedikit banyak telah diketahuinya bagaimana cara melumpuhkan gadis itu, sebab ilmu silatnya masih mentah, apalagi merupakan murid Ki Sempalan Ungu yang pemah dikalahkan. Tentu saja Setan Ular Merah mengerti benar, bagaimana cara mendesak pertahanan lawan dan mematahkannya.

"Yeaaa...!"
Trak!
"Heh!"
"Uts...!"
Tukkk!

Pedang di tangan Setan Ular Merah menderu cepat, sehingga gadis itu gelagapan. Dengan cepat dia menangkis, tapi alangkah terkejutnya gadis itu melihat pedangnya patah menjadi dua bagian. Tangannya terasa kesemutan dan telapaknya terkelupas. Namun dengan geram dan tak mempedulikan keadaan, kepalan tangannya langsung menghantam dada lawan.

Sebenarnya, bisa saja Ayodea memapak dengan pedangnya. Tapi dia memilih menghindar dengan melenting ke atas, lalu dengan cepat menotok urat gerak di punggung lawan. Gadis itu mengeluh pelan. Tubuhnya langsung ambruk, namun dengan cepat ditangkap dan dipeluk Setan Ular Merah.

"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskan..!"

"He he he...! Bisa apa kau sekarang? Nah, marilah kita mulai bersenang-senang," sahut Ayodea sambil mencium gadis itu dengan penuh nafsu. Tangannya dengan nakal menggerayangi bagian tubuh si gadis.

"Setan Ular Merah, tidak malukah kau berbuat begitu pada gadis yang tidak berdaya?"

"Heh?!"

***
DELAPAN
Setan Ular Merah terkejut dan cepat-cepat melepaskan gadis itu ketika seseorang menegurnya dari belakang. Terlihat seorang pemuda tampan berambut panjang terurai berbaju rompi putih. Dari balik punggungnya, tampak tersembul sebatang pedang bergagang kepala burung. Setan Ular Merah tersenyum lebar, ketika mengetahui siapa pemuda itu.

"Pendekar Rajawali Sakti! Pucuk dicinta ulam tiba!"

"Ayodea, apa yang kau lakukan dengan gadis itu? Apakah itu perbuatan orang hebat, yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan? Apakah kemampuanmu hanya menaklukkan gadis-gadis yang tak berdaya?"

"Pendekar Rajawali Sakti, jangan banyak bicara kau! Hari ini aku akan membalas kekalahanku setahun yang lalu!" dengus Ayodea.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tipis. Diliriknya sesaat gadis yang tadi dipeluk Setan Ular Merah. Rangga tersenyum kecil. Gadis itu sedikit terkejut. Pemuda yang baru datang ini adalah orang yang pernah dikenalnya beberapa hari lalu.

"Hm... Diakah Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal itu?" gumam gadis itu, tanpa disadari.

"Kisanak, kedatanganku ke sini bukan untuk urusan dendam atau apa pun yang kau katakan. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Apa yang kau lakukan selama ini sangat biadab, dan tidak berperikemanusiaan. Kau mem-bunuh orang tanpa sebab, dan hal itu tidak bisa dibenar-kan."

"Jangan berkhotbah di depanku! Kalau memang kau tak senang, majulah untuk menemui kematian!"

"Tidak bisakah kita bicara baik-baik? Apakah naluri manusiamu tidak dapat menilai, kalau kelakuanmu selama ini lebih buruk dari kelakuan binatang?"

"Diam kau! Cabutlah pedangmu, dan hadapi aku!"

Rangga tersenyum kecil. "Agaknya hatimu telah dipenuhi nafsu hewani yang menyesatkan, Ayodea. Kau bukan manusia yang beradab, tapi setan yang tak beradab!"

Bukan main kalapnya Ayodea mendengar kata-kata yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa memberi peringatan lagi, tubuhnya langsung berkelebat menyerang lawan. Rangga bersiap dan sedikit kaget karena lawan mampu bergerak cepat. Suatu peningkatan penuh dari Ayodea yang pernah dihadapinya setahun lalu. Ayodea memang mengalami kemajuan pesat dalam setahun ini, tak sia-sia kepandaian pemilik Goa Naga diwarisinya. Pendekar Rajawali Sakti menduga akan hal itu, sehingga tidak berlaku ceroboh menghadapinya. Pertarungan antara keduanya begitu seru dan berjalan cepat.

Pada saat mereka sedang bertarung, beberapa tokoh persilatan muncul di tempat itu. Bahkan, di antaranya langsung memberikan pertolongan pada gadis itu. Di antara mereka terlihat Ki Sentanu dan murid-murid Perguruan Tombak Kilat. Agaknya, secara diam-diam mereka mengikuti jejak Rangga. Seperti menyaksikan tontonan yang menarik, dalam sekejap saja tempat itu telah dipenuhi banyak orang. Hal itu memang tak mengherankan. Tempat pertarungan antara kedua tokoh itu memang tidak jauh dari sebuah desa yang cukup ramai.

Kedua tokoh itu belakangan namanya sama-sama menanjak. Pendekar Rajawali Sakti malang-melintang membasmi tokoh-tokoh beraliran sesat yang berilmu tinggi, tanpa terkalahkan. Sedang Setan Ular Merah namanya baru menanjak dan ditakuti semua golongan. Ilmunya tinggi dan sulit diduga. Lebih dari lima belas tokoh kosen kelas satu tewas di tangannya.

Tempat itu kini betul-betul menjadi arena tontonan yang ramai sekaligus mematikan. Mereka membentuk lingkaran, dalam jarak lebih kurang dua puluh tombak dari pertarungan kedua tokoh itu.

Sementara, pertarungan antara keduanya telah mencapai tingkat tertinggi. Setan Ular Merah mengerahkan jurus 'Cakar Naga' yang dahsyat dan sangat beracun. Kedua tangannya sebatas siku telah berwarna hitam kebiru-biruan. Wajahnya yang keras berubah kaku, memancarkan kesan pembunuh kejam. Mereka terdiam beberapa saat, lalu saling berpandangan.

"Hari ini adalah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Berdoalah agar setan-setan di neraka tidak menyeretmu untuk menemani mereka!" dengus Setan Ular Merah.

Rangga terdiam. Pedang pusakanya telah tercabut dan memancarkan cahaya kebiru-biruan, menerangi tempat itu. Pandangannya tajam menusuk. Wajahnya yang tampan berubah kelam dan kaku bagai patung. Terlihat kesan angker di wajahnya. Tangan kirinya mengusap-usap batang pedang yang didekatkan ke muka. Tak berapa lama, terlihat telapak tangan kirinya berwarna biru bercahaya. Pendekar Rajawali Sakti telah siap mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menghadapi lawan.

"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Trang...!
Blarrr!
"Hup!"
"Yeaaa...!"

Bumi tempat mereka berpijak rasanya berguncang, ketika dua tokoh sakti itu berteriak mengerahkan tenaga dalam yang kuat. Mereka yang mempunyai tenaga dalam rendah langsung ambruk dengan sekujur tubuh mengeluarkan darah. Kedua senjata mereka bertemu sehingga menimbulkan pijaran bunga api.

Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut. Sebab, pedang pusakanya yang selama ini tak tertandingi, dan mampu memutuskan baja terkuat sekalipun, kini menjadi sebatang pedang biasa saja. Bahkan, tangannya sedikit kesemutan. Pedang di tangan lawan, pastilah bukan senjata sembarangan. Batangnya berwarna hitam kebiru-biruan dan berkilat-kilat, ketika Setan Ular Merah mengerahkan tenaga dalamnya.

Tapi Rangga tak sempat memikirkan lebih lanjut, karena telapak tangan kiri lawan menghantam dengan menimbulkan suara menderu. Pendekar Rajawali Sakti membalas dengan mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Terdengar ledakan dahsyat, disusul pijaran bunga api membubung ke angkasa. Bumi bergetar dan angin berhembus kencang bagai badai topan. Dan, beberapa batang pohon terlihat tumbang dengan daun-daun berguguran.

Kedua telapak tangan mereka bertemu. Ayodea menghantamkan pedang untuk membabat leher lawan, tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat menangkis. Adu tenaga dalam pada jarak dekat ini, sangat menguras tenaga mereka. Terlihat dari sudut bibir keduanya meleleh darah kental.

Wajah Ayodea berkerut, begitu juga Rangga. Kedua kaki mereka melesak ke dalam tanah, sebatas mata kaki. Tapi perlahan-lahan kedua kaki Ayodea melesak lebih dalam dari Pendekar Rajawali Sakti. Juga, dari mulutnya mengalir darah kental yang terus berlelehan, bahkan sempat memerciki wajah Rangga.

"Yeaaa...!"
"Heh?!" Crasss! Brettt!
"Aaa...!"

Setan Ular Merah menjerit keras ketika sebuah bayangan melesat menyambar tubuhnya. Terdengar kulit tubuhnya yang robek karena cakaran. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk, dan berguling-guling menahan rasa sakit yang tidak tertahankan.

"Hari ini adalah saat kematianmu, Pemuda Keparat! Ini pembalasanku. Dan kini, terimalah hukuman leluhurku, atas apa yang kau perbuat dengan warisan ilmu silatnya!"

"Sekartaji?! Ja..., jangan...!"

"Yeaaa...." Crab! "Akh...!"

Ayodea hanya dapat mengeluh pelan. Kepalanya terkulai lemah, ketika kesepuluh cakar bayangan yang ternyata milik seorang gadis berwajah cantik, menancap di dada kirinya. Sekujur tubuh pemuda itu hitam kebiru-biruan. Namun, gadis itu seperti tak mau melepaskan cengkeramannya, sampai tubuh Setan Ular Merah hancur berantakan laksana tebing runtuh.

Gadis itu baru menghentikan perbuatannya, saat tubuh Ayodea sudah tidak karuan lagi bentuknya. Ditariknya napas panjang-panjang, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling tempat dengan sorot mata tajam.

"Kisanak semua! Perkenakanlah aku mengenalkan diri. Namaku Sekartaji, ahli waris pemilik Goa Naga. Tempat itu adalah milik leluhurku. Setan Ular Merah datang padaku secara baik-baik, dan kami telah berjanji untuk hidup bersama. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benakku untuk mencemarkan nama leluhur dengan berbuat keonaran, setelah kami mempelajari warisan leluhurku itu. Tapi, Setan Ular Merah mengkhianatiku, setelah mencelakakanku dengan mengurungku di dalam goa itu. Atas nama leluhur, aku memohon maaf pada semua tokoh persilatan, karena perbuatan Setan Ular Merah yang sadis dan biadab. Hari ini semuanya telah berakhir...."

Setelah berkata demikian, Sekartaji mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Sedangkan, tangan kiri diletakkan di depan dada. Tampak kedua tangannya itu telah menghitam sebatas siku.

Rangga terkejut. Apa yang hendak dilakukan oleh gadis yang kelihatan putus asa itu telah dimengertinya. Tubuhnya langsung melompat ingin mencegah.

"Nisanak, tahan!"
Prakkk!
Crab!
"Akh!"

Rangga dan semua orang yang berada di situ sangat terkejut. Kedua tangan gadis itu bergerak cepat. Satu tangan dihantamkan ke batok kepalanya hingga remuk, dan yang satu lagi menembus jantung. Sekartaji hanya sempat mengeluh sejenak, sebelum tubuhnya ambruk tak berdaya di pangkuan Rangga.

Nyawa gadis itu sudah tak tertolong lagi. Tubuhnya dengan cepat menghitam, terkena pukulannya sendiri. Tempat ini menjadi sepi beberapa saat lamanya. Semua orang yang tadi menonton pertarungan, mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah melenyapkan salah satu kezaliman di muka bumi ini...."

"Ki Sentanu...," ucap Rangga lirih ketika punggungnya ditepuk orang tua itu. "Bukan aku yang berjasa, tapi gadis ini. Aku sama sekali tidak mengenalnya...."

"Gadis itu hanya mempercepat saja...."

Rangga terdiam. Dan, meminta beberapa orang untuk mengubur mayat Sekartaji. Beberapa tokoh persilatan mendatanginya, dan menjabat tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan banyak di antara mereka yang mengundang berkunjung ke tempat kediamannya. Tapi, Rangga menolak dengan halus.

"Maaf, Kisanak semua. Aku sama sekali tak bermaksud menolak kebaikan kalian. Tapi, masih banyak persoalan yang harus kuselesaikan," jelas Rangga sebelum berlalu dari tempat itu.

Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan sepuluh langkah, tiba-tiba gadis yang tadi nyaris menjadi korban nafsu Ayodea menghampirinya dengan kepala tertunduk.

"Kisanak, aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tak cepat datang, entah apa yang terjadi padaku...," kata gadis itu dengan suara lirih. Rangga tersenyum lirih.

"Sudahlah. Semua telah berlalu."

"Aku..., aku mohon maaf karena pernah berlaku kasar padamu...."

"Soal maaf, rasanya aku pun pernah berbuat kesalahan. Setelah kupikir-pikir lagi, akulah yang lebih dulu berbuat salah padamu. Nah, maafkan aku."

"Kisanak..."

"Kau boleh memanggilku Rangga."

"Ng.... Namaku Mega...."

"Nah, Mega. Aku harus cepat-cepat pergi. Ada yang harus kukerjakan...."

"Ng.... Sudikah kau menerima undanganku? Aku ber-maksud mengundangmu ke tempat kediamanku."

"Mungkin di lain kesempatan aku tidak menolak. Tapi, kali ini urusanku amat mendesak. Sampai bertemu di lain waktu, Mega."

Selesai berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah pelan sambil melambaikan tangan. Gadis itu pun melambaikan tangan dengan hati kecewa. Begitu sombongkah pemuda itu? Atau, dirinya yang terlalu perasa?

Mega tidak tahu, Pendekar Rajawali Sakti lebih mementingkan keperluan orang banyak. Pendekar muda digdaya itu tidak sombong. Hanya masih banyak tugas-tugas kemanusiaan yang membutuhkan uluran tangannya.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar