Postingan

SATU
SEKITAR tiga puluh orang yang memadati sebuah ruangan cukup besar, bergerak berlutut ketika seorang laki-laki tua berjubah putih memasuki ruangan itu. Dua orang wanita tampak mengiringi dari belakang. Yang mengenakan baju kuning memegang sebatang tombak pendek berwarna kuning keemasan. Dan yang mengenakan baju merah muda membawa pedang yang tersampir di pinggang. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu berjalan tegap. Tongkat putihnya nampak lurus terayun mantap, mengikuti irama langkah kakinya.

Dia langsung menuju ke tengah-tengah ruangan yang telah dikosongkan. Tampak di sana sesosok tubuh tengah terbaring tertutup sehelai tikar pandan yang sudah lusuh dan ternoda darah. Laki-laki tua itu berhenti melangkah di dekat sosok tubuh yang terbaring. Dengan ujung tongkatnya, dibukanya tikar yang menutupi tubuh itu.

Sebentar dirayapi wajah yang sudah membiru. Darah menggumpal kental di leher yang koyak hampir buntung. Kemudian ditutupnya kembali tubuh tak bernyawa itu. Sekarang pandangannya beredar berkeliling. Sekitar tiga puluh orang laki-laki yang berada di ruangan itu tak ada yang berani mengangkat kepalanya. Mereka berlutut dengan kepala tertunduk menekuri lantai.

“Jarwa...!” panggil laki-laki tua itu.

Suaranya terdengar besar dan berat sekali. Seorang pemuda berwajah cukup tampan dan berbaju warna biru gelap, bergegas bangkit dan menghampiri laki-laki tua itu. Tubuhnya membungkuk setelah berada di depannya. Sebatang pedang tampak tergantung di pinggangnya.

“Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?” pinta laki-laki tua itu, masih tetap dengan suara berat dan agak tertahan.

“Tidak tahu, Eyang. Dua orang murid menemukannya sudah tergeletak di depan pintu pagar,” sahut pemuda yang dipanggil Jarwa.

“Siapa yang menemukannya?” tanya laki-laki tua itu.

“Jalil dan Mudor, Eyang,” sahut Jarwa.

Laki-laki tua yang sebenarnya bernama Eyang Jaraksa itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia juga dikenal dengan julukan Dewa Tongkat Putih. Tatapan matanya langsung tertuju pada dua orang pemuda yang duduk agak menyendiri berdampingan. Mereka berlutut dengan kepala tertunduk dalam.

“Benar kalian yang pertama kali melihatnya...?” tanya Eyang Jaraksa tajam. Tatapan matanya tetap tertuju pada dua orang pemuda itu.

“Benar, Eyang. Kami berdua yang pertama kali menemukannya,” sahut pemuda berbaju putih yang bernama Jalil.

“Kalian tahu, kenapa Santika sampai tewas...?” kali ini pandangan Eyang Jaraksa beredar berkeliling.

Tak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua tetap berlutut sambil menundukkan kepala, menekuri lantai. Jarwa yang berada dekat di depan laki-laki tua itu juga tidak bisa menjawab pertanyaan tadi.

Memang tak ada seorang pun murid Padepokan Tongkat Putih itu yang mengetahui peristiwanya.

Mereka hanya tahu setelah pagi hari tadi, Jalil dan Mudor menemukan Santika sudah tergeletak tak bernyawa di depan pintu pagar padepokan ini. Dari lehernya yang terkoyak hampir buntung, sudah dapat dipastikan kalau Santika terbunuh. Tapi siapa yang membunuhnya...? Pertanyaan ini tidak mungkin bisa cepat terjawab. Karena, tak seorang pun yang tahu peristiwanya.

“Jarwa, urus mayat Santika. Lalu, secepatnya temui aku di kamar semadi,” parintah Eyang Jaraksa.

“Segera, Eyang,” sahut Jarwa cepat

Setelah memberi perintah, laki-laki tua berjubah putih itu bergegas melangkah meninggalkan ruangan yang cukup besar ini. Dua orang wanita betubuh sintal yang mendampinginya, ikut melangkah meninggalkan ruangan itu. Salah seorang yang mengenakan baju merah muda sempat melirik dan mengerling pada Jarwa. Sedangkan pemuda itu hanya membalas dengan senyum kecil di bibir.

“Masuk...!”

Jarwa tertegun sesaat begitu terdengar suara berat dari balik pintu. Balum juga pintu diketuk, sudah terdengar suara yang menyuruhnya masuk. Perlahan pemuda itu mendorong daun pintu di depannya, lalu melangkah masuk. Di dalam ruangan yang tidak begitu besar ini sudah menunggu Eyang Jaraksa. Laki-laki tua itu duduk bersila di atas sebuah batu putih berbentuk bulat ceper.

“Tutup pintunya, Jarwa,” perintah Eyang Jaraksa.

Jarwa bergegas menutup pintu ruangan semadi itu. Pemuda itu kemudian mendekati Eyang Jaraksa, dan duduk bersila di depannya. Selembar tikar pandan menjadi alas duduk pemuda itu. Gagang pedangnya digeser sedikit, agar tidak mengganggu kenyamanan duduknya.

“Aku menghadap, Eyang. Siap menerima perintah,” ucap Jarwa dengan sikap hormat

“Jarwa, kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?” tanya Eyang Jaraksa tanpa menghiraukan sikap hormat muridnya.

Jarwa hanya menggelengkan kepala saja. Sama sekali tidak diketahuinya, apa maksud gurunya ini meminta untuk menemui di ruang semadi. Jarwa hanya bisa menduga-duga dalam hati. Tapi, pemuda itu sudah yakin kalau panggilan ini ada kaitan dengan tewasnya Santika. Hanya saja sulit diduga, perintah apa yang akan diberikan gurunya nanti.

“Sudah berapa orang murid Padepokan Tongkat Putih yang tewas dengan cara seperti ini...?”

“Lima,” sahut Jarwa perlahan.

“Dalam berapa hari?” tanya Eyang Jaraksa lagi.

“Lima hari.”

“Berarti dalam satu hari, ada yang tewas satu orang. Dan semuanya tewas dengan leher tergorok hampir putus. Kau tahu, siapa orang gila yang berani main-main dengan Padepokan Tongkat Putih, Jarwa...?” berat sekali nada suara Eyang Jaraksa.

Jarwa hanya diam saja. Perlahan-lahan kepalanya bergerak menggeleng. Memang dalam lima hari ini, sudah ada lima orang murid Padepokan Tongkat Putih yang tewas tanpa diketahui sebab musababnya. Dan mereka semua tewas dengan leher terkoyak hampir buntung. Keadaan seperti ini memang tidak menguntungkan. Semua murid Padepokan Tongkat Putih kini diliputi kegelisahan.

Selama lima hari ini, tak seorang pun yang berani keluar rumah sendirian, meskipun di siang hari. Terlebih lagi sekarang ini, setelah Santika ditemukan tewas dengan cara yang sama. Santika adalah murid kesayangan Eyang Jaraksa, selain Jarwa. Malah, tingkat kepandaiannya tidak bisa dibilang enteng, meskipun masih satu tingkat di bawah Jarwa. Tapi tewasnya Santika membuat semua murid padepokan ini jadi gentar dan cemas.

“Kejadian ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Jadi, kita tidak bisa tinggal diam begitu saja. Secepatnya orang gila itu harus ditemukan,” tegas Eyang Jaraksa, agak ditekan nada suaranya.

Jarwa tetap diam. Dia tahu, gurunya ini tengah memendam kemarahan. Lima orang muridnya tewas secara gelap. Dan itu menyakitkan sekali. Hal ini merupakan sebuah tamparan keras bagi laki-laki tua ini Jarwa bisa merasakan, bagaimana marahnya laki-laki tua ini.

“Tinggal kau satu-satunya murid utama di padepokan ini. Maka aku hanya bisa menaruh harapan padamu untuk menyelesaikan persoalan ini, Jarwa,” sambung Eyang Jaraksa.

Jarwa tersentak kaget, sampai-sampai mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki tua itu. Pemuda itu seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sungguh tidak disangka kalau Eyang Jaraksa menaruh harapan yang begitu besar padanya untuk menyelesaikan kemelut ini.

“Kau bisa mengerti maksudku, Jarwa?” tanya Eyang Jaraksa seraya menatap tajam muridnya ini

“Mengerti, Eyang,” sahut Jarwa seraya menundukkan kepala.

“Aku memberikan kebebasan kepadamu. Hanya satu yang kuinginkan. Secepatnya, bekuk manusia gila itu sebelum jatuh korban lebih banyak lagi,” tegas Eyang Jaraksa lagi.

Jarwa hanya menganggukkan kepala saja, dan tidak tahu lagi harus berkata apa. Perintah sudah dijatuhkan, dan tidak mungkin bisa ditolak. Apa pun yang terjadi, perintah itu harus dijalankan. Meskipun, hatinya menjerit ingin menolak.

“Pergilah sebelum gelap, dan bawa ini untuk peganganmu.”

Eyang Jaraksa menyodorkan sebatang tongkat putih yang lurus sepanjang lengan. Dengan sikap ragu-ragu, Jarwa menerima benda itu, kemudian bangkit berdiri. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, memberi hormat pada laki-laki tua itu.

“Tinggalkan pedang itu, Jarwa. Kau tidak memerlukannya lagi,” kata Eyang Jaraksa.

Tanpa membantah sedikit pun, Jarwa melepaskan pedangnya. Kemudian diserahkan pada gurunya. Eyang Jaraksa menerima pedang itu. Setelah memberi hormat sekali lagi, Jarwa bergegas keluar dari ruangan semadi ini. Tongkat putih yang menjadi lambang dari padepokan ini kini berada di tangannya.

***

Jarwa menghentikan lari kudanya setelah cukup jauh meninggalkan Padepokan Tongkat Putih. Kuda-nya diputar, lalu matanya memandang ke arah bangunan yang dikelilingi pagar kayu cukup tinggi itu. Mendadak saja keningnya berkerut ketika melihat seekor kuda yang dipacu cepat keluar dari Padepokan Tongkat Putih. Hampir saja dia tidak percaya begitu mengenali penunggang kuda itu.

“Arini...,” desis Jarwa.

Penunggang kuda itu seorang gadis berwajah cantik. Bajunya cukup ketat berwarna merah muda, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Pedang yang tergantung di pinggangnya terombang-ambing mengikuti irama lari kuda. Gadis itu baru menghentikan lari kudanya setelah berada di depan Jarwa.

“Kenapa kau keluar dari padepokan, Arini...?” tegur Jarwa langsung.

“Aku ingin ikut denganmu, Kakang,” sahut Arini, masih dengan napas agak tersengal.

“Heh...?!” Jarwa terperanjat mendengar jawaban gadis itu.

“Aku tidak ingin tinggal diam, sementara kau harus menghadapi bahaya di luar,” lanjut Arini.

“Ayahmu tahu kau ke sini?” tanya Jarwa.

“Tidak. Kalau aku minta izin, tidak mungkin diperbolehkan,” sahut Arini agak memberengut

“Sebaiknya kau kembali saja, Arini. Tugas ini sangat berat dan berbahaya. Dan lagi, apa kata ayahmu kalau sampai tahu kau ikut bersamaku...? Kumohon, kembali saja ke padepokan, Arini,” bujuk Jarwa.

Tidak mungkin bagi Jarwa membawa putri gurunya ini dalam mengemban tugas yang begitu berat dan berbahaya. Pemuda itu harus mencari pembunuh gelap yang telah meminta korban lima orang. Sedangkan sampai saat ini sama sekali tidak diketahuinya, siapa orang yang telah membuat resah seluruh penghuni Padepokan Tongkat Putih. Jarwa sendiri masih belum tahu, ke mana harus mencari pembunuh gelap itu.

“Aku ingin ikut..!” sentak Arini, agak keras suaranya.

“Aku mohon, Arini. Kembalilah kepadepokan,” bujuk Jarwa lagi.

“Tidak!” sentak Arini tegas.

Jarwa menghembuskan napasnya kuat-kuat. Dia kenal betul watak gadis ini yang begitu keras. Kalau sudah keinginannya begitu, sulit dicegah lagi. Meskipun ayahnya sendiri yang melarang, tidak bakalan dia mau mundur setapak pun. Jarwa jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu lagi, dengan cara apa men-cegah Arini ikut dengannya.

“Baik.... Kalau Kakang tidak mau mengajak, aku akan pergi sendiri. Kita bertaruh, siapa yang lebih dulu menemukan pembunuh gila itu!” tegas Arini, agak ketus suaranya.

“Jangan nekat, Arini...!” desis Jarwa jadi kesal juga atas kenekatan gadis ini.

Arini mendengus sinis, kemudian menggebah cepat kudanya melewati pemuda itu.

“Arini, kembali…!” teriak Jarwa terkejut melihat kenekatan gadis itu.

Tapi, Arini malah semakin cepat menggebah kudanya. Jarwa bergegas menghentakkan tali kekang kuda untuk mengejar gadis itu. Tidak mungkin Arini dilepaskan sendirian saja di alam bebas yang terkenal ganas ini. Kudanya terus digebah agar berlari lebih kencang lagi.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Tangkas sekali pemuda itu mengendalikan kudanya, sehingga dapat menyusul Arini. Kudanya disejajarkan di samping kuda gadis itu. Dengan cepat diraihnya tali kekang kuda itu dan ditariknya agar berhenti. Bersamaan dengan berhentinya kuda Jarwa, kuda Arini juga berhenti berlari. Gadis itu memberengut, sambil menggerutu kesal.

***

Jarwa melompat turun dari punggung kudanya, diikuti Arini. Mereka berjalan kaki sambil menuntun kuda masing-masing, tanpa tujuan pasti. Mereka terus berjalan menyusuri jalan tanah berdebu dan agak berbatu. Jalan ini menuju desa terdekat dari kaki Bukit Tengkorak. Sementara lembah tempat Padepokan Tongkat Putih berdiri sudah tidak terlihat lagi.

“Kita bermalam di Desa Jati,” usul Jarwa.

“Berapa hari kita di sana?” tanya Arini.

“Sampai ada yang datang menjemputmu kembali ke padepokan,” sahut Jarwa seenaknya.

“Aku tidak sudi kembali...!” sentak Arini langsung menghentikan langkahnya.

Jarwa ikut berhenti. Dipandanginya gadis itu dalam-dalam. Semula Arini sudah senang, karena mengira Jarwa akan membawanya pergi mencari pembunuh gelap itu. Tapi begitu mendengar kata-kata pemuda itu tadi, dia jadi kembali memberengut kesal.

“Dengar, Arini....”

“Tidak!” sentak Arini cepat memutuskan ucapan pemuda itu. “Pokoknya aku tidak akan pulang!”

Arini kembali melangkah sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Sebentar Jarwa memperhatikan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dihembuskannya napas panjang, kemudian bergegas melangkah menyusul gadis itu.

“Arini! Dengar dulu kata-kataku...,” desah Jarwa setelah bisa mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu.

“Sekali kukatakan tidak, tetap tidak...!” sentak Arini tegas.

“Kau akan menghadapi banyak bahaya, Arini,” Jarwa mencoba memperingatkan gadis ini.

“Aku tidak peduli,” dengus Arini.

“Bagaimanapun juga, kau tetap harus pulang.”

“Pulang saja sendiri. Katakan pada ayah kalau tugasmu kugantikan!”

“Jangan nekat Arini.”

“Biar...!”

Jarwa sudah kehilangan kata-kata untuk membujuk gadis ini. Memang tidak mudah melunakkan hati Arini. Jika dia sudah bilang hitam, maka seterusnya tetap hitam. Sulit untuk merubahnya lagi. Dan Jarwa tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan agar gadis ini bersedia kembali pulang ke padepokan.

Sementara senja tenis merayap turun. Desa Jati sudah terlihat di depan. Keadaan sekitarnya tampak remang-remang. Sebentar lagi, sekitar Bukit Tengkorak ini akan terselimut kegelapan. Sementara Jarwa benar-benar tidak berhasil membujuk gadis itu untuk kembali ke padepokan.

“Baiklah, kau boleh ikut bersamaku,” akhirnya Jarwa menyerah juga.

“Dari tadi saja begitu. Kenapa susah-susah membujukku...?” dengus Arini.

Meskipun di wajahnya masih terlihat memberengut, namun di hati gadis itu bersorak kesenangan. Rasanya dia ingin mengucapkan terima kasih, tapi keangkuhan hatinya tidak mengizinkan lidahnya untuk mengucapkan itu. Matanya hanya melirik sedikit saja pada pemuda di sampingnya. Wajah Jarwa kelihatan kusut. Dia terpaksa mengizinkan Arini ikut, karena tidak ada cara lain lagi untuk menolak. Dan Arini tidak peduli, meskipun tahu kalau Jarwa terpaksa mengizinkannya.

“Apa kira-kira pembunuh itu ada di Desa Jati, Kakang?” tanya Arini langsung melupakan pertengkarannya dengan pemuda itu tadi.

“Aku tidak tahu. Kita telusuri saja desa-desa yang ada di sekitar kaki Bukit Tengkorak ini,” sahut Jarwa.

“Kalau kita tidak juga menemukannya, kau akan kembali ke padepokan?” tanya Arini lagi.

“Ayahmu tidak mengizinkan aku pulang tanpa hasil,” sahut Jarwa.

“Aku akan membantumu sampai berhasil, Kakang,” tegas Arini

Jarwa hanya tersenyum tipis saja. Hatinya tidak yakin kalau Arini dapat membantu. Bahkan mungkin malah akan merepotkan saja. Dia tidak tahu, sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Yang diketahuinya, Arini hanyalah seorang gadis manja yang keras kepala. Gadis ini tidak pernah terlihat berlatih dengan tekun seperti kakaknya. Dan Jarwa memang mengakui kalau Arini lebih cantik daripada Purmita, kakaknya.

Yang lebih mengherankan lagi, semua murid laki-laki di Padepokan Tongkat Putih menyukai gadis ini. Selain wataknya yang keras dan tidak suka mengalah, Arini juga ramah dan mudah bergaul pada siapa saja. Lain dengan kakaknya yang pendiam dan sukar diajak bicara. Tapi Jarwa lebih menyukai Purmita daripada Arini. Kelihatannya Purmita lebih dewasa, dan selalu berpikir panjang sebelum melakukan tindakan. Kalau saja Purmita yang memintanya ikut, dengan senang hati akan diterimanya.

“Kok melamun, Kakang...? Ada yang dipikirkan, ya?” tegur Arini.

Jarwa hanya tersenyum tipis saja.

“Di penginapan mana nanti, Kakang?” tanya Arini.

“Di penginapan Ki Sawung,” sahut Jarwa.

Arini tidak bertanya lagi. Dia tahu kalau penginapan milik Ki Sawung adalah yang terbaik di Desa Jati. Dan hampir semua murid Padepokan Tongkat Putih pernah menginap di sana jika sedang melakukan perjalanan. Itu bila memang terpaksa harus bermalam di desa itu. Arini sendiri sering menginap di sana. Ki Sawung juga kenal baik dengan gadis ini. Dan pasti, mereka akan mendapat kamar yang terbaik.

***
DUA
Dugaan Arini memang tepat. Begitu muncul, Ki Sawung langsung menyambutnya dengan hangat. Disediakannya dua kamar berdampingan yang terbaik di penginapannya. Laki-laki berusia lanjut itu tidak banyak bertanya atas kedatangan mereka di saat malam sudah datang menyelimuti Desa Jati ini. Sudah sering Arini datang ke penginapan ini. Juga murid ayahnya.

Setelah mengisi perutnya, Arini keluar dari kamarnya. Matanya melirik ke kamar yang ditempati Jarwa. Keningnya agak berkerut, melihat pintu kamar itu sedikit terbuka. Perlahan gadis itu menghampiri. Diintipnya sedikit dari celah pintu. Kosong.... Tak ada seorang pun di dalam sana.

“Kakang...,” panggil Arini seraya mendorong pintu kamar itu.

Perlahan-lahan pintu kamar itu terbuka. Benar-benar kosong, tak ada seorang pun di dalam. Bahkan tempat tidurnya saja masih rapi, seperti belum tersentuh. Gadis itu mengedarkan pandangan berkeliling. Matanya tertuju pada baki perak yang terletak di meja dekat pembaringan. Arini melangkah masuk dan menghampiri meja kecil itu.

Dibukanya penutup baki. Keningnya jadi berkerut. Hidangan di dalam baki ini masih utuh, tak tersentuh sedikit pun juga. Mendadak saja wajah gadis itu jadi memerah. Mulutnya mendesis geram, lalu membanting tutup baki itu.

“Kurang ajar...! Awas kau, berani pergi tanpa pamit..!” geram Arini merasa dibohongi.

Bergegas gadis itu melangkah ke luar. Namun belum juga kakinya melintasi pintu, mendadak saja Jarwa muncul. Hampir-hampir mereka bertabrakan kalau tidak sama-sama melompat mundur.

“Arini..?! Sedang apa kau di sini?” tanya Jarwa terkejut begitu mengenali gadis di dalam kamarnya.

“Dari mana kau?!” dengus Arini malah balik bertanya.

Jarwa melangkah masuk dan membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar. Diliriknya tutup baki yang tergeletak di lantai, lalu dipungut dan diletakkan pada tempatnya. Sedangkan Arini hanya memandangi dengan mata mendelik lebar.

“Mau coba-coba meninggalkan aku, ya...?!” lagilagi Arini mendengus ketus.

“Untuk apa...? Aku hanya keluar sebentar membeli tembakau,” sergah Jarwa jadi ikut sewot. “Kalau tidak percaya, nih lihat..!”

Jarwa menunjukkan bungkusan daun pisang berbentuk kerucut. Arini tahu, bungkusan itu berisi tembakau, seperti yang dibeli ayahnya setiap kali datang ke desa ini. Sementara Jarwa menghampiri jendela, dan membukanya lebar-lebar. Angin malam yang dingin langsung menerobos masuk ke dalam kamar ini, membuat suasana yang agak tegang tadi perlahan mendingin. Sedingin hembusan angin malam ini.

Pemuda itu menghempaskan tubuhnya, duduk di kursi dekat jendela. Sedikit pun tidak dipedulikannya Arini yang masih saja berdiri memperhatikan. Jarwa malah asyik melinting tembakau dan membakarnya. Begitu nikmatnya asap tembakau itu dihisap, dan dipermainkannya menjadi bulatan-bulatan kecil. Bau harum daun tembakau menyeruak ke dalam hidung Arini.

“Sudah makan?” tanya Jarwa seraya berpaling sedikit menatap gadis itu.

“Sudah,” sahut Arini singkat

“Kalau masih kurang, makan saja punyaku. Aku masih kenyang,” ujar Jarwa lagi.

Arini tidak menyahuti, tapi malah melangkah menghampiri pembaringan dan duduk di sana. Direntangkan kakinya, dan disandarkan punggungnya ke dinding yang terbuat dari belahan papan. Bola matanya terus memperhatikan Jarwa yang tetap asyik mempermainkan asap tembakau.

Jarwa melirik sedikit pada gadis itu, namun cepat mengalihkan ke arah lain. Seperti disengaja, Arini menggeliatkan tubuhnya. Mau tak mau, belahan dadanya agak tersingkap. Lagi-lagi Jarwa melirik ke arah gadis itu. Dadanya jadi berdebar kencang melihat lekukan dada yang agak terbuka. Pemuda itu cepat bangkit berdiri dan membuang puntung tembakaunya ke luar jendela.

“Aku ingin keluar sebentar. Kau jangan ke mana-mana,” pamit Jarwa.

“Ingin ke mana lagi...?” tanya Arini.

“Mencari keterangan, kalau-kalau ada yang tahu si gila itu,” sahut Jarwa.

Bergegas pemuda itu melangkah ke luar. Arini cepat bangkit dan mengejar pemuda itu. Namun Jarwa terus saja melangkah tidak peduli. Dan Arini menghentikan langkah saat berada di depan pintu kamarnya sendiri. Matanya hanya memandangi saja punggung pemuda itu, sampai lenyap di tikungan.

“Huuuh...!” Arini mendengus panjang. Dia membuka pintu kamarnya dan cepat masuk. Seperti sedang kesal, dibantingnya pintu kamar itu hingga tertutup dan menimbulkan suara keras bagai hendak meruntuhkan seluruh dinding penginapan ini.

Sementara Jarwa sudah berada di luar rumah penginapan Ki Sawung. Langkahnya berhenti sebentar, lalu matanya menatap ke arah jendela kamar Arini. Napasnya sedikit dihembuskan. Dia cepat keluar, sebenarnya bukan untuk apa-apa. Tapi, hanya ingin menghindar saja dari gadis itu. Dia tidak ingin tergoda oleh sikap Arini yang begitu bebas, seakan-akan mengundang. Jarwa terus mengayunkan kakinya meninggalkan penginapan itu. Sementara di dalam kamar, Arini memperhatikan dari balik jendela yang sedikit dibuka.

***

Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi menampakkan diri, Jarwa dan Arini sudah meninggalkan penginapan itu. Mereka memacu kudanya menuju ke Selatan, memutari kaki Bukit Tengkorak. Kuda-kuda itu dipacu tidak terlalu cepat, karena hari masih begitu gelap. Sukar untuk memandang jauh. Sekitar kaki Bukit Tengkorak ini masih berselimut kabut tebal. Dan udara pun terasa begitu dingin menggigilkan.

“Ke mana lagi tujuan kita, Kakang?” tanya Arini sambil menggeletar menahan dingin.

“Desa Talang,” sahut Jarwa singkat

“Apa tidak terlalu jauh ke sana, Kakang?” tanya Arini lagi.

Dia tahu kalau Desa Talang cukup jauh letaknya. Bisa satu hari perjalanan berkuda. Gadis itu merasa tidak yakin kalau orang yang mereka cari ada di sana. Sedangkan murid-murid Padepokan Tongkat Putih selalu ditemukan tewas tidak jauh dari padepokan.

Tapi Arini tidak ingin mengemukakan pikirannya. Gadis itu diam saja, mengikuti ke mana tujuan pemuda ini. Dan mereka kini semakin jauh meninggalkan Desa Jati. Bahkan sudah memasuki kawasan hutan yang jarang dilalui orang. Mereka terpaksa harus menerobos pepohonan yang cukup lebat, hingga sampai di sebuah danau kecil yang cukup indah pemandangannya. Kedua orang itu terus saja menggebah kudanya, menyusuri tepian danau. Tapi mendadak....

“Berhenti...!”'

Terdengar bentakan keras mengejutkan. Jarwa dan Arini segera menghentikan langkah kaki kudanya, langsung berpandangan sejenak. Belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas kepala mereka. Dan tahu-tahu, di depan sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah panjang berwarna hitam.

Sebuah tongkat berkeluk tak beraturan, tergenggam di tangan kanannya. Tubuhnya sudah bungkuk, namun berdirinya masih kokoh. Tatapan matanya begitu tajam dan agak memerah. Seluruh rambutnya sudah memutih.

“Kalian dari Padepokan Tongkat Putih...?” terdengar kering suara wanita tua itu.

“Benar! Dan kau siapa?! Dan mengapa menghadang jalan kami?” sahut Arini ketus, dan langsung balik bertanya.

“Kalian tidak perlu tahu, siapa diriku. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, dan kembali ke padepokan kalian!” semakin kering nada suara wanita tua berjubah hitam itu.

“Heh...?! Apa urusanmu memerintah...?!” bentak Arini sengit

“Kau pasti Arini,” wanita tua ini menatap tajam pada gadis itu.

“Dari mana kau tahu namaku...?!” Arini jadi terkejut

Perempuan tua itu tidak mempedulikan Arini yang sudah memerah mukanya. Matanya malah menatap Jarwa yang sejak tadi hanya diam saja. Pemuda itu balas menatap dengan sinar mata penuh selidik, mencoba mencari tahu tentang perempuan tua berjubah hitam ini. Di hatinya juga timbul keheranan, karena perempuan tua ini seperti tahu banyak tentang Padepokan Tongkat Putih.

“Anak muda, kembalilah ke padepokan. Kau hanya membuang-buang waktu saja dengan perjalananmu itu. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali penyesalan pada akhirnya,” tegas wanita tua berjubah hitam itu. Nada suaranya terdengar berubah sedikit lunak.

“Maaf! Boleh aku tahu, siapa dirimu dan mengapa kau meminta kami kembali ke padepokan?” tanya Jarwa sopan.

“Turuti saja kata-kataku, Anak Muda. Jangan sampai kau menyesal di belakang hari nanti,” perempuan tua itu tidak menjawab pertanyaan Jarwa.

“Sudah, Kakang. Jangan layani perempuan gendeng ini!” selak Arini.

Gadis itu langsung menghentakkan tali kekang kudanya, sehingga membuat perempuan tua berjubah hitam itu jadi mendengus kesal. Dia melompat ke belakang, langsung menghadang langkah kuda Arini. Dicekalnya tali kekang kuda gadis itu kuat-kuat, sehingga berhenti melangkah.

“Bocah bandel...!” dengus perempuan tua itu agak menggeram.

“Minggir!” bentak Arini kesal.

Perempuan tua itu tidak juga menyingkir, dan malah menatap tajam Arini. Tentu saja hal ini membuat gadis itu semakin berang. Tiba-tiba saja Arini menghentakkan kakinya, menendang ke arah dada perempuan tua berjubah hitam itu. Namun tanpa diduga sama sekali, perempuan tua itu mengegoskan tubuhnya, sehingga tendangan Arini meleset tidak menemui sasaran.

“Minggir kataku, Setan...!” bentak Arini semakin berang.

Bet!

Cepat sekali gadis itu mengibaskan tangan ke arah perempuan tua berjubah hitam. Dan sekali lagi, perempuan tua itu mengegoskan kepala sedikit Arini jadi bertambah berang, lalu cepat melompat turun dari punggung kudanya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, langsung dilontarkannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

“Hiyaaat..!”

Perempuan tua berjubah hitam itu tidak mencoba berkelit, bahkan menanti serangan Arini. Seketika dengan cepat tangan kirinya diangkat.

Tap!

“Ikh...!” Arini tersentak, karena kepalan tangannya dicengkeram erat oleh tangan kiri perempuan berjubah hitam itu.

Arini mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman perempuan tua itu demikian kuat. Tanpa mau menyadari kalau yang dihadapinya memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya, Arini cepat menghentakkan kakinya ke depan, sambil cepat memutar tubuhnya.

“Hiyaaa...!”

“Hait!”

Manis sekali perempuan tua berjubah hitam itu berkelit menghindar. Seketika tangannya yang mencengkeram kepalan tangan Arini dihentakkan. Tak pelak lagi, gadis itu terdorong cukup keras hingga terhuyung-huyung. Kalau saja Jarwa tidak cepat bertindak menangkapnya, pasti Arini sudah jatuh tersuruk mencium tanah.

Sambil mendengus kesal, Arini mendorong dada pemuda itu. Lalu, cepat-cepat tubuhnya diputar berbalik. Gerahamnya menggeretak menahan marah. Sementara Jarwa terdorong ke belakang, cepat melompat saat Arini sudah memegang gagang pedangnya.

Tap!

Jarwa cepat menahan tangan gadis itu untuk mencabut pedang. Arini mendelik. Dengan kasar di-dorongnya tubuh pemuda itu, sehingga membuatnya kembali terjajar ke belakang.

Sret!

Arini cepat mencabut pedangnya. Sementara Jarwa berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan sebelum Jarwa bisa mencegah, gadis itu sudah melompat cepat sambil berteriak keras menenang perempuan tua berjubah hitam itu. Pedangnya ber-kelebat cepat mengincar anggota tubuh lawan.

“Hiyaaat..!”

Bet! Wuk!

“Hait!”

Perempuan tua berjubah hitam itu manis sekali meliuk-liukkan tubuhnya, sehingga tak satu pun serangan Arini yang berhasil mengenai sasaran. Namun Arini tidak berhenti sampai di situ. Jurusnya cepat diubah, dan terus menyerang kembali. Pedang di tangannya berkelebat cepat mengurung lawan.

***

Jurus demi jurus cepat berlalu. Meskipun terus menyerang, tapi Arini belum juga mampu mendesak perempuan tua berjubah hitam itu. Bahkan sudah dua kali Arini harus menerima pukulan keras di tubuhnya. Meskipun tidak mengandung pengerahan tenaga dalam, tapi cukup membuat gadis itu meringis kesakitan.

Sementara itu Jarwa hanya menyaksikan saja. Pemuda ini sudah bisa melihat kalau Arini tidak mungkin bisa menandingi perempuan tua itu. Sudah lebih dari lima jurus dikeluarkan, tapi gadis itu belum mampu menyentuh sedikit pun ujung rambut lawan. Sedangkan wanita tua itu hanya berkelit saja tanpa mengeluarkan satu jurus pun.

“Cukup, Arini! Jangan memaksaku untuk bertindak kejam...!” sentak wanita berjubah hitam itu seraya melompat ke belakang.

“Mau lari ke mana kau...?! Hiyaaat..!”

Arini benar-benar sudah tidak mungkin lagi dikendalikan. Gadis itu langsung melompat sambil mengebutkan pedangnya ke arah dada lawan. Namun hanya sedikit saja menarik tubuh ke belakang, perempuan tua itu mampu mengelakkan tebasan pedang Arini yang berkelebat cepat hampir membelah dada.

“Keras kepala! Hih...!” dengus wanita tua itu menggeram.

Cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah dada Arini, begitu pedang gadis itu lewat di depan dadanya. Begitu cepatnya sodokan tangan wanita berjubah hitam itu, sehingga Arini tidak sempat menghindar lagi.

Des!

“Akh...!” Arini menjerit agak tertahan.

Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya sempat terkuasai, mendadak saja perempuan tua berjubah hitam itu sudah bergerak cepat. Dia melompat sambil memberi satu totokan keras ke dada Arini.

Lagi-lagi Arini terpekik, dan seketika ambruk menggeletak di tanah. Jarwa bergegas menghampiri gadis itu. Matanya menatap tajam perempuan tua berjubah hitam yang berdiri dengan tongkat menyangga tubuhnya.

“Dia tidak apa-apa. Sebentar juga pulih,” jelas wanita tua itu.

Jarwa memeriksa tubuh Arini. Dia tahu kalau Arini hanya terkena totokan yang tidak membahayakan pusat jalan darahnya. Namun paling tidak, gadis itu jadi lemas tak berdaya. Perlahan pemuda itu bangkit berdiri setelah yakin kalau Arini tidak mengalami sesuatu yang parah. Ditatapnya perempuan tua berjubah hitam yang berdiri di depannya.

“Apa keinginanmu sebenarnya, Nisanak?” tanya Jarwa, agak dalam nada suaranya.

“Sebaiknya, cepat bawa pulang gadis liar itu,” ujar perempuan tua berjubah hitam tanpa menjawab pertanyaan Jarwa.

Selesai berkata demikian, cepat perempuan tua itu melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga Jarwa tidak sempat lagi mencegah. Dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Jarwa masih berdiri mematung sebentar. Wajahnya kemudian berpaling saat mendengar rintihan lirih dari belakangnya.

Arini mulai menggerakkan kepala perlahan sambil merintih lirih. Bergegas Jarwa menghampiri gadis itu, dan membantunya bangun. Arini menggeleng-geleng-kan kepala, mencoba mengusir rasa pening yang menyerang seluruh kepala. Sebentar pandangannya beredar berkeliling, lalu menatap Jarwa yang berdiri di depannya.

“Mana nenek keparat itu...?!” dengus Arini.

“Dia sudah pergi,” sahut Jarwa.

“Kau membiarkannya pergi begitu saja...?” mata Arini mendelik, seakan-akan tidak percaya kalau Jarwa membiarkan perempuan tua berjubah hitam itu pergi tanpa berusaha mencegah sedikit pun.

Jarwa tidak menjawab, tapi malah melangkah menghampiri kudanya. Sebentar ditepuk-tepuknya leher kuda itu, kemudian melompat naik ke punggungnya. Arini masih berdiri memandangi. Perlahan kemudian, kakinya terayun menghampiri kudanya. Dengan gerakan ringan, gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Namun mereka belum juga bergerak meninggalkan tempat itu. Tampak Jarwa seperti ragu-ragu untuk meneruskan perjalanannya ini.

“Ada apa, Kakang...?” tegur Arini.

“Ah, tidak ada apa-apa,” sahut Jarwa seraya menggelengkan kepala.

“Kau kelihatan memikirkan sesuatu. Apa yang dipikirkan, Kakang?” Arini sedikit mendesak.

Jarwa tidak menjawab. Lalu, tali kekang kudanya disentakkan. Seketika kuda itu bergerak melangkah perlahan-lahan. Arini mengikuti pemuda itu, lalu mensejajarkan langkah kaki kudanya di samping kuda pemuda itu. Sesekali diperhatikannya raut wajah Jarwa. Dia yakin kalau pemuda itu sedang memikirkan sesuatu, tapi tidak ingin mengutarakannya.

“Kau kenal nenek itu, Kakang?” tanya Arini dengan benak terus menduga-duga.

“Tidak,” sahut Jarwa.

“Lalu, kenapa meminta kita kembali pulang...?” nada suara Arini seperti menyelidik.

“Aku tidak tahu, Arini. Mungkin maksudnya memang baik. Hanya saja, tidak diutarakannya pada kita,” duga Jarwa sambil berpaling menatap gadis di sebelahnya.

“Baik...?! Huh! Tampangnya saja sudah mencurigakan,” dengus Arini mencibir.

“Jangan melihat seseorang dari luarnya saja, Arini.”

“Aku tahu sekarang... Kau pasti memikirkan kata-kata nenek itu, bukan...?” tebak Arini langsung.

Jarwa hanya diam saja. Diakui, kalau tebakan Arini memang tepat Sejak tadi ucapan-ucapan perempuan tua berjubah hitam yang tidak dikenalnya sama sekali tenis dipikirkannya. Dia yakin kalau ada sesuatu tersembunyi di balik ucapan itu tadi. Tapi untuk kembali ke padepokan..., rasanya memang tidak mungkin. Jarwa ingat kata-kata gunanya yang tidak mengizinkannya kembali sebelum menyelesaikan tugas, meringkus si pembunuh gelap yang telah meminta korban lima orang murid Padepokan Tongkat Putih.

Jarwa menghentikan langkah kaki kudanya. Sejenak ditatapnya Arini yang juga balas menatapnya dengan kelopak mata agak menyipit Untuk beberapa saat, mereka saling pandang tanpa berkata apa-apa.

“Sebaiknya kita kembali saja, Arini. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi di padepokan,” duga Jarwa perlahan.

“Kembali...?!” Arini terkejut tidak percaya.

Dan sebelum gadis itu bisa mengeluarkan suara lagi, Jarwa sudah memacu cepat kudanya. Arini berteriak memanggil, tapi pemuda itu tidak lagi peduli. Dia terus menggebah kudanya bagai dikejar setan.

“Kunyuk...!” dengus Arini kesal.

Sebentar gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian cepat memutar kudanya dan menggebah agar berlari kencang. Tubuh gadis itu terguncang-guncang di atas punggung kuda. Dia berteriak-teriak sambil menggebah kudanya agar berlari lebih cepat untuk menyusul Jarwa yang sudah begitu jauh di depannya.

“Kakang, tunggu...!” teriak Arini sekuat-kuatnya.

Tapi Jarwa seperti tidak mendengar, sehingga terus saja memacu kudanya dengan cepat. Arini menggerutu dan memaki sejadi-jadinya. Tali kekang kudanya semakin cepat disentakkan agar berpacu lebih cepat lagi. Sementara keadaan di sekitarnya sudah terang. Matahari sudah sejak tadi menampakkan diri dengan cahayanya yang hangat menyirami seluruh permukaan Bukit Tengkorak ini.

“Kakang, tunggu...!” teriak Arini begitu bisa memperpendek jarak dengan pemuda itu.

Jarwa berpaling sedikit, lalu memperlambat lari kudanya. Dan kini Arini bisa cepat mengejarnya. Gadis itu terengah-engah begitu berada di samping Jarwa. Mereka kemudian mengendarai kuda tidak terlalu kencang, sehingga bisa terus berdampingan.

“Setan! Kau akan meninggalkan aku, ya...?!” dengus Arini memberengut kesal.

Jarwa hanya diam saja. Dia tahu, kalau dilayani bisa bertambah panjang. Dan yang pasti, Arini tidak sudi mengalah barang sedikit saja. Jadi Jarwa lebih memilih diam, meskipun telinganya panas mendengar gerutuan yang tidak hentinya dari bibir mungil yang selalu merah basah itu.

***
TIGA
Sementara itu suasana di Padepokan Tongkat Putih semakin menegang. Sejak Jarwa meninggalkan padepokan itu, sudah tiga orang lagi murid Eyang Jaraksa yang ditemukan tewas tidak jauh dari bangunan besar di tengah-tengah lembah di lereng Bukit Tengkorak ini.

Dan yang terakhir, satu orang sempat lolos. Dia kembali ke padepokan meskipun dengan tubuh berlumuran darah. Langsung ditemuinya Eyang Jaraksa yang saat itu tengah berbincang-bincang bersama putri sulungnya. Laki-laki tua itu terkejut melihat muridnya datang dengan tubuh berlumuran darah.

“Gandik.... Apa yang terjadi?! Kenapa kau berlumuran darah begini...?” tanya Eyang Jaraksa terkejut

“Dia.... Dia datang lagi, Eyang,” sahut Gandik seraya meringis menahan sakit.

“Dia siapa...?”

“Penjagal Bukit Tengkorak.... Akh!”

“Gandik...!”

Eyang Jaraksa bergegas menghampiri, tapi Gandik sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Saat itu, seluruh murid Padepokan Tongkat Putih ini sudah berkumpul. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mreka begitu ngeri melihat keadaan rubuh Gandik yang penuh luka dan berlumuran darah. Bahkan tangan kiri anak muda itu buntung dari pangkalnya.

“Penjagal Bukit Tengkorak...,” desis Eyang Jaraksa agak menggumam.

Laki-laki tua berjubah putih itu bergegas melangkah menuju samping rumah. Purmita, putri sulungnya segera mengikuti. Sedangkan semua murid-murid di padepokan ini hanya bisa memandangi tanpa melakukan sesuatu.

“Ayah....,” panggil Purmita seraya mempercepat langkahnya, dan mensejajarkan diri di samping lakilaki tua itu.

Eyang Jaraksa berhenti melangkah. Ditatapnya anak gadisnya ini lekat-lekat. Perlahan tangannya terulur dan memegang pundak Purmita.

“Kau lekas pergi, Purmita. Cari adikmu. Aku yakin, dia menyusul Jarwa,” ujar Eyang Jaraksa sebelum putri sulungnya ini berbicara.

“Ayah sendiri akan ke mana?” tanya Purmita.

“Aku harus menemui si Penjagal Bukit Tengkorak. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya ini,” tegas Eyang Jaraksa.

Purmita tidak mencegah lagi ketika ayahnya melompat naik ke punggung kuda yang tertambat di sebatang pohon. Eyang Jaraksa memandangi murid-muridnya yang berdiri saja di belakang Purmita.

“Kalian ambil kuda masing-masing, dan ikut aku!” perintah Eyang Jaraksa.

Tanpa menunggu perintah dua kali, sekitar tiga puluh orang murid laki-laki tua berjubah putih itu bergegas mengambil kuda. Tak berapa lama kemudian, mereka bergerak cepat meninggalkan padepokan. Tinggal Purmita sendiri yang memandangi kepergian mereka.

“Ke mana aku harus mencari Arini...?” keluh Purmita bertanya pada dirinya sendiri.

Arini pergi sejak kemarin, bersamaan dengan kepergian Jarwa yang mendapat tugas dari Eyang Jaraksa. Perlahan gadis itu menghampiri seekor kuda yang tidak jauh darinya. Lalu, dia naik ke punggung kuda itu. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Kemudian tali kekang kudanya disentakkan hingga bergerak perlahan meninggalkan padepokan ini.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Purmita segera menggebah kudanya begitu melewati pintu gerbang Padepokan Tongkat Putih, menuju ke arah yang berlawanan dengan yang dituju rombongan ayahnya. Arah yang dituju gadis itu jelas ke Desa Jati. Desa yang terdekat dari Padepokan Tongkat Putih.

***

Sementara itu Eyang Jaraksa dan murid-muridnya terus bergerak mendaki Bukit Tengkorak. Mereka menuju puncak bukit yang jarang didatangi orang. Meskipun ada jalan yang cukup lebar untuk menuju ke sana.

Rombongan itu bani berhenti setelah sampai di puncak Bukit Tengkorak. Eyang Jaraksa melompat turun dari punggung kudanya. Tatapan matanya begitu tajam tak berkedip, lurus ke arah sebuah gubuk kecil yang dikelilingi kebun sayuran. Seorang laki-laki berusia setengah baya dengan tubuh coklat dan kekar, tengah sibuk merawat tanamannya.

“Suryadana...!” teriak Eyang Jaraksa lantang menggelegar.

Laki-laki bertubuh tegap berotot itu mengangkat kepalanya. Dia seperti tertegun ketika melihat banyak orang di seberang kebunnya ini. Bergegas dia berdiri, lalu melangkah menghampiri. Keningnya semakin berkerut begitu mengenali orang yang memanggilnya. Laki-laki berperawakan kekar yang dipanggil Suryadana ini menghentikan langkahnya.

“Eyang Jaraksa.... Tidak biasanya kau ke sini? Ada perlu apa, Eyang?” tanya Suryadana seraya mengamati pemuda-pemuda yang berada di belakang laki-laki tua berjubah putih itu.

“Jangan banyak tanya! Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, Suryadana!” bentak Eyang Jaraksa.

“Bertanggung jawab...?” Suryadana jadi kebingungan. “Aku tidak mengerti maksudmu, Eyang Jaraksa?”

“Jangan pura-pura, Setan! Berapa orang lagi muridku yang akan kau penggal kepalanya, heh...?”

“Tunggu dulu. Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Kau tiba-tiba datang dan marah-marah begini. Bahkan menuntutku harus bertanggung jawab. Apa sebenarnya yang terjadi, sehingga kau marah-marah begini...?” Suryadana meminta penjelasan.

“Masih juga ingin berkelit kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!”

Eyang Jaraksa tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Bagaikan kilat, tongkatnya dikibaskan ke arah kepala Suryadana. Sejenak laki-laki bertubuh kekar yang tidak mengenakan baju itu terperangah, namun cepat merundukkan kepalanya. Maka tebasan tongkat Eyang Jaraksa tidak sampai mengenai sasaran.

“Bagus! Bela dirimu sebelum kukirim ke neraka!” desis Eyang Jaraksa dingin.

Suryadana menggeser kakinya ke belakang dua langkah. Dia masih belum mengerti maksud kedatangan laki-laki tua berjubah putih yang dikenal sebagai Ketua Padepokan Tongkat Putih itu. Namun melihat sinar mata dan raut wajah yang memerah, Suryadana bisa memastikan kalau Eyang Jaraksa tengah memendam amarah yang sukar dikendalikan lagi.

“Kendalikan amarahmu, Eyang Jaraksa. Jelaskan dulu persoalannya. Kenapa tiba-tiba kau datang lalu meminta pertanggungjawabanku?” Suryadana masih meminta penjelasan dari ketidakmengertiannya.

“Sudah cukup kau membantai murid-muridku, Penjagal Bulat Tengkorak! Sekarang giliran aku menagih hutang nyawa murid-muridku!” desis Eyang Jaraksa dingin.

“Hutang nyawa...? Heh...! Apa yang telah kulakukan pada murid-muridmu?” Suryadana yang juga dijuluki si Penjagal Bukit Tengkorak oleh Eyang Jaraksa semakin tidak mengerti.

“Jangan banyak omong! Terimalah kematianmu, Setan Jagal! Hiyaaat..!”

“Hait!”

Cepat Suryadana melompat ke belakang begitu Eyang Jaraksa kembali mengebutkan tongkat putihnya yang terkenal dahsyat. Hampir saja ujung tongkat itu merobek dada si Penjagal Bukit Tengkorak. Untung saja dia segera melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Eyang Jaraksa sudah mengebutkan tongkatnya kembali ke arah kaki.

“Hup!”

Suryadana segera melentingkan tubuh ke udara. Dan pada saat itu, Eyang Jaraksa juga melesat ke atas. Laki-laki tua berjubah putih itu menghentakkan tangan kirinya ke arah dada. Pada saat yang bersamaan, Suryadana mendorong tangan kanannya ke depan. Tak pelak lagi, dua telapak tangan beradu keras di udara.

Blarrr...!

Begitu kerasnya benturan itu, sehingga terjadi satu ledakan keras menggelegar yang memekakkan telinga. Semua murid Padepokan Tongkat Putih bergegas berlompatan mundur sambil menarik tali kekang kudanya masing-masing. Sementara terlihat Eyang Jaraksa dan Suryadana sama-sama terpental ke belakang. Mereka melakukan putaran beberapa kali, lalu mantap sekali mendarat kembali di tanah.

“Hiyaaat..!”

“Hap!”

Eyang Jaraksa langsung melompat kembali menyerang si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Tapi, Suryadana juga cepat melakukan tindakan menghindar dengan membungkukkan tubuhnya ketika tongkat laki-laki tua itu berkelebat cepat menyambar ke arah kepala.

Suryadana langsung menegakkan tubuhnya kembali, dan cepat melenting ke belakang saat Eyang Jaraksa mengebutkan tongkatnya kembali ke arah dada. Dua kali Suryadana berputaran ke belakang. Dan tangan kanannya menyambar cangkul yang ter-geletak di tanah. Manis sekali kakinya dijejakkan di tanah kebun yang baru saja dipaculi.

“Rupanya kau bersungguh-sungguh hendak membunuhku, Tongkat Putih!” desis Suryadana, agak dingin nada suaranya.

“Tahan jurus 'Tongkat Seribu' ku, Setan Jagal Keparat! Hiyaaat…!” teriak Eyang Jaraksa lantang menggelegar.

Laki-laki tua berjubah putih itu cepat memutar tongkatnya bagaikan baling-baling. Lalu, tubuhnya meluncur deras ke arah Suryadana. Cepat sekali tongkatnya dikebutkan beberapa kali, membuat Suryadana jadi kelabakan menghindarinya. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari serangan Eyang Jaraksa yang begitu dahsyat luar biasa.

Tongkat putih itu berkelebatan cepat mengurung tubuh Suryadana, seakan-akan ada di sekitar tubuhnya. Tongkat itu seperti menjelma jadi seribu banyaknya. Beberapa kali tongkat itu hampir mengenai tubuh Suryadana. Dan untungnya si Penjagal Bukit Tengkorak itu masih mampu berkelit menghindar. Namun lewat suatu gerakan yang tidak terduga, mendadak saja....

Bet!

Eyang Jaraksa membalikkan tongkatnya. Dan secepat itu pula ditusukkan ke arah dada Suryadana. Gerakan berbalik yang begitu cepat, sama sekali tidak diduga si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Akibatnya, dia terlambat menghindar.

Des!

“Akh...!” Suryadana terpekik keras begitu ujung tongkat menghantam dadanya yang bidang berotot

Laki-laki bertubuh tinggi tegap penuh otot itu terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya didekap karena terasa nyeri dan sesak. Untung saja bukan ujungnya yang runcing, sehingga tidak sampai menembus dada si Penjagal Bukit Tengkorak.

“Ha ha ha...! Bersiaplah ke neraka, Jagal Keparat! Hiyaaat..!”

Bagaikan kilat, Eyang Jaraksa melompat sambil membalikkan tongkatnya. Dan kali ini ujung tongkat yang runcing mengarah lurus ke dada Suryadana. Pada saat itu, si Penjagal Bukit Tengkorak masih berusaha menguasai pernapasannya yang mendadak sesak.

“Hait..!”

Meskipun pernapasannya belum lagi sempurna, Suryadana bergegas membanting tubuhnya ke tanah. Dan cangkul yang berada di tangan kanan langsung dikebutkan ke arah tongkat putih itu.

Trak!

Cangkul itu seketika terbelah jadi dua begitu membentur tongkat putih di tangan Eyang Jaraksa. Mata Suryadana jadi terbeliak. Ternyata ujung tongkat itu terus meluruk deras ke arahnya, tidak terpengaruh oleh benturan tadi. Maka cepat-cepat tubuhnya bergelimpangan, sehingga hunjaman ujung tongkat yang runcing itu hanya mengenai tanah.

“Hup!”

Suryadana cepat melompat bangkit berdiri. Sementara Eyang Jaraksa sudah kembali bersiap hendak menyerang kembali. Cepat sekali tubuhnya melesat menyerang dengan tongkat berkelebat cepat ke kepala si Penjagal Bukit Tengkorak

“Hiyaaat…!”

Bet!

“Uts!”

Suryadana merundukkan kepala sedikit, tapi hatinya jadi terkejut. Ternyata tiba-tiba saja Eyang Jaraksa sudah memutar tongkatnya, yang melayang deras ke arah kaki. Si Penjagal Bukit Tengkorak tak sempat lagi menghindar.

Wuk!

Crasss...!

“Akh...!” Suryadana memekik tertahan begitu ujung tongkat putih yang runcing merobek paha kanannya. Seketika, darah mengucur deras dari luka yang cukup panjang dan dalam di paha kanannya. Suryadana terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi paha kanannya yang mengucurkan darah segar. Pada saat itu, Eyang Jaraksa sudah kembali bersiap hendak menghunjamkan tongkatnya untuk mengakhiri hidup si Penjagal Bukit Tengkorak ini.

“Mampus kau, Keparat! Hiyaaat...!”

Tinggal sejengkal lagi ujung tongkat putih yang runcing itu menembus dada Suryadana, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih menyambar si Penjagal Bukit Tengkorak sambil menyentakkan tongkat Eyang Jaraksa.

Tak!

“Heh...?!” Eyang Jaraksa terperanjat.

Cepat Eyang Jaraksa melompat mundur sambil menarik tongkatnya kembali. Laki-laki tua berjubah putih itu jadi terlongong, karena si Penjagal Bukit Tengkorak tiba-tiba saja lenyap dari hadapannya. Pandangannya beredar ke sekeliling, tapi tak terlihat satu bayangan pun berkelebat.

“Setan keparat..!” geram Eyang Jaraksa.

Matanya memandangi semua muridnya yang juga bengong menyaksikan kejadian itu. Si Penjagal Bukit Tengkorak benar-benar lenyap, di saat maut hampir saja merenggutnya.

“Kalian semua...! Periksa seluruh tempat ini, dan bakar rumah itu!” perintah Eyang Jaraksa mengumbar amarahnya.

Tak ada seorang pun yang berani membantah. Murid-murid Padepokan Tongkat Putih itu bergegas berhamburan. Sementara dua orang berlarian menuju ke gubuk kecil yang terbuat dari bilik bambu. Tak berapa lama kemudian, terlihat api berkobar membakar gubuk itu. Eyang Jaraksa mendengus sambil mengumpat kesal. Dia melompat naik ke punggung kuda, dan langsung menggebahnya. Kuda itu meringkik keras, lalu berlari cepat.

***

Eyang Jaraksa melompat turun dari punggung kuda begitu sampai di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya, sekaligus tempat pendidikan ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan bagi para pemuda. Dengan ayunan kaki yang lebar, diterobosnya pintu itu untuk masuk ke dalam. Langsung dirinya dihempaskan di atas balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar anyaman daun pandan.

“Satira...!” panggil Eyang Jaraksa.

Belum juga gema teriakan itu menghilang dari pendengaran, dari salah satu pintu muncul seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Langkahnya tampak tergopoh-gopoh menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu. Senyumnya langsung terkembang, lalu duduk di samping Eyang Jaraksa. Diambilnya sehelai saputangan, kemudian disekanya keringat yang membanjiri leher laki-laki tua itu dengan sikap lembut sekali.

“Dari mana, Kakang? Sampai berkeringat begini,” lembut sekali suara wanita yang dipanggil Satira ini.

“Kau tahu...? Aku hampir saja melenyapkan pembunuh edan itu!” dengus Eyang Jaraksa, memberi tahu.

“Pembunuh edan...? Maksud Kakang, pembunuh yang telah...,” Satira tidak meneruskan ucapannya.

“Iya.... Pembunuh edan itu ternyata si Penjagal Bukit Tengkorak!”

Satira tertegun. Seketika tangannya ditarik dari leher laki-laki tua itu. Dipandanginya wajah yang penuh debu dan berkeringat itu dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kebenaran dari ucapan yang didengarnya barusan.

“Kenapa...? Kau terkejut...?” agak sinis nada suara Eyang Jaraksa.

“Rasanya tidak mungkin kalau Kakang Suryadana melakukan itu,” ujar Satira, agak ragu-ragu nada suaranya.

“Kenapa tidak...? Kau ingat ancamannya ketika aku mengawinimu?”

Satira tidak menjawab, namun tentu saja tidak akan melupakannya. Di hari perkawinan dengan laki-laki tua yang pantas menjadi ayahnya ini, Suryadana melontarkan ancaman akan memusnahkan Padepokan Tongkat Putih sampai ke akar-akarnya. Memang, sebelum memilih laki-laki tua ini, Satira sempat menjalin hubungan dengan Suryadana. Satira tidak mungkin bisa menikah dengannya, karena waktu itu Suryadana masih menjadi pelaksana hukuman penggal kepada penjahat-penjahat besar. Wanita itu tidak ingin kehidupannya selalu diwarnai darah dan jeritan menjelang ajal dari orang-orang yang terpenggal kepalanya oleh pedang Suryadana. Makanya, dia lebih memilih Eyang Jaraksa yang lebih pantas menjadi ayahnya daripada suami.

“Seharusnya tadi aku bisa membunuhnya, kalau saja tidak muncul setan edan yang membawanya kabur!” dengus Eyang Jaraksa.

Satira menatap laki-laki tua itu. Entah kenapa, hatinya merasa bersyukur mendengar Suryadana belum tewas dan sempat tertolong oleh seseorang yang tidak dikenal. Hatinya memang tidak yakin kalau semua pembunuhan gelap yang terjadi dalam beberapa hari ini di Padepokan Tongkat Putih, adalah perbuatan Suryadana. Tapi, dia juga tidak mungkin membelanya di depan Eyang Jaraksa.

“Siapa yang menolongnya, Kakang?” tanya Satira ingin tahu.

“Aku tidak tahu! Gerakannya begitu cepat. Tahu-tahu dia hilang begitu menyambar Suryadana,” sahut Eyang Jaraksa.

“Kau tidak mengejarnya?”

“Kalau aku bisa, sudah kulakukan!” dengus Eyang Jaraksa.

Satira jadi terdiam. Dia tahu, laki-laki tua ini sedang diliputi kekesalan. Tepat pada saat itu terdengar derap langkah beberapa ekor kuda di depan. Dari pintu yang terbuka lebar, terlihat murid-murid Padepokan Tongkat Putih yang tadi ikut bersama gurunya mulai berdatangan memasuki halaman yang cukup luas. Mereka langsung menuju bagian samping untuk menaruh kuda. Seorang menghampiri kuda Eyang Jaraksa yang masih berada di depan pintu, dan membawanya ke samping kanan bangunan besar ini.

“Istirahat di dalam saja, Kakang. Nanti kupijiti badanmu,” kata Satira lembut.

Sebentar Eyang Jaraksa menatap wanita itu, kemudian bangkit berdiri. Satira membimbingnya melangkah masuk ke dalam kamar. Pintu kamar itu tertutup rapat begitu mereka berada di dalam.

***
EMPAT
Di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir di lereng Bukit Tengkorak sebelah Timur, Suryadana duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang. Sehingga, tubuhnya ternaungi dari sengatan sinar matahari. Paha kanannya sudah terbalut kain putih yang bernoda darah, tapi sekarang tak ada lagi setetes darah pun yang keluar.

Laki-laki bertubuh tegap dan agak kecoklatan itu menggerakkan tubuhnya ketika dari sungai seorang gadis cantik berbaju biru muda menghampiri. Di tangannya membawa air yang ditampung oleh tempurung kelapa. Sambil menyunggingkan senyum, gadis itu menghampiri Suryadana dan menyerahkan tempurung kelapa berisi air jemih itu. Suryadana menerimanya sambil melemparkan senyum, lalu meneguk air hingga habis.

“Terima kasih,” ucap Suryadana.

“Bagaimana lukamu, Paman?” tanya gadis itu lembut

“Masih terasa nyeri,” sahut Suryadana. “Di mana Rangga, Pandan?”

“Cari makanan,” sahut gadis cantik berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi atau si Kipas Maut.

“Hhh.... Untung saja dia cepat datang. Kalau tidak..., kalian pasti hanya akan menemukan pusaraku,” desah Suryadana perlahan.

“Sudahlah, Paman. Yang penting Paman harus beristirahat dulu. Nanti kalau Kakang Rangga datang, kita bicarakan lagi,” kata Pandan Wangi mengalihkan kegalauan hati Suryadana..

Suryadana tersenyum dan menyerahkan tempurung kelapa yang sudah kosong pada gadis itu. Pandan Wangi menerimanya seraya bangkit berdiri.

“Mau lagi?” tanya Pandan Wangi.

“Sudah cukup,” tolak Suryadana.

Pandan Wangi kembali duduk di depan laki-laki setengah baya yang bertubuh masih kekar itu, meskipun rambutnya sudah ada yang memutih. Sebentar Suryadana memejamkan matanya, kemudian membukanya kembali. Pandangannya langsung tertuju pada seraut wajah cantik di depannya.

“Sudah berapa lama kau kenal Rangga, Pandan?” tanya Suryadana.

“Lama juga,” sahut Pandan Wangi. “Dan Paman sendiri, sudah berapa lama kenal Kakang Rangga?” Pandan Wangi balik bertanya.

“Sejak dia lahir. Aku kenal betul ayah dan ibunya. Tapi, lama juga aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Dan tahu-tahu, aku menerima undangan saat penobatan Rangga sebagai raja di Karang Setra. Aku sendiri tidak pernah membayangkan kalau Karang Setra bisa menjadi sebuah kerajaan yang begitu makmur,” Suryadana jadi terkenang masa-masa lalunya.

“Aku dengar, Paman seorang pejabat penting di Kadipaten Karang Setra dulu,” pancing Pandan Wangi, ingin mengenal lebih jauh lagi laki-laki setengah baya ini.

“Bukan pejabat penting. Aku hanya pesuruh yang harus menjalankan tugas menghukum mati penjahat-penjahat di Karang Setra,” ujar Suryadana merendah.

“Jadi itu sebabnya, kenapa Paman dijuluki si Penjagal Bukit Tengkorak...?”

“Benar! Apalagi, aku memang tinggal di puncak Bukit Tengkorak. Dan di sana juga aku menjalankan tugas. Semua terhukum yang akan menjalankan hukuman mati dibawa ke Bukit Tengkorak. Hanya sekali-sekali saja aku turun dan datang ke Karang Setra.”

“Lalu, kenapa Paman berhenti?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Ha ha ha...! Aku rasa kau sudah bisa menjawabnya, Pandan. Tidak ada seorang pun yang bercita-cita ingin menjadi penjagal kepala,” sahut Suryadana seraya tertawa bergelak.

Pandan Wangi jadi meringis, merasa pertanyaannya tadi begitu bodoh. Memang tidak ada seorang pun yang ingin jadi pemenggal kepala, meskipun yang dilakukan adalah tugas. Gadis itu bangkit berdiri ketika terdengar langkah kaki kuda, disusul ringkikan yang panjang dan keras.

Dari dalam semak, muncul seekor kuda hitam gagah yang ditunggangi seorang pemuda tampan. Dia berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari punggungnya. Pemuda tampan itu melompat turun dari punggung kudanya, lalu memberikan sebuah bungkusan pada Pandan Wangi. Kemudian dihampirinya Suryadana yang menyambutnya dengan senyuman lebar terkembang di bibir.

“Bagaimana keadaanmu, Paman?” tanya pemuda itu.

“Tidak ada masalah. Pandan Wangi merawatku dengan baik,” sahut Suryadana.

Sementara itu, Pandan Wangi sudah membuka bungkusan yang dibawa pemuda berbaju rompi putih itu, yang tak lain Rangga atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Bungkusan itu ternyata berisi macam-macam makanan yang masih mengepulkan uap harum.

“Dari mana kau dapatkan makanan ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Dari desa. Tidak jauh dari sini, kok,” sahut Rangga.

“Yuk makan dulu, Paman. Biar cepat sembuh lukanya,” ajak Pandan Wangi.

“Ah! Aku tidak pernah membayangkan akan bisa makan sama-sama Penguasa Karang Setra,” desah Suryadana.

“Tidak ada penguasa di sini, Paman,” kata Rangga merendah.

“Bagaimanapun juga, kau tetap seorang raja, Rangga,” tegas Suryadana seraya menerima makanan dari Pandan Wangi.

“Tapi, kenapa Paman tidak menyebutnya Gusti Prabu...?” timpal Pandan Wangi.

“Gusti Prabu...? Ha ha ha...!” Suryadana jadi tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa tertawa, Paman?” tanya Pandan Wangi.

“Tanyakan saja pada Rangga. Kapan aku pernah menyebut gusti pada seseorang,” sahut Suryadana sambil melirik Rangga.

“Tidak pernah,” tegas Rangga.

“Nah, dengar itu. Meskipun seorang penguasa mayapada, tidak bakal aku akan panggil gusti, atau apa pun namanya.”

“Kenapa?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Karena aku si Penjagal Bukit Tengkorak,” sahut Suryadana. “Ha ha ha...!”

Rangga juga ikut tertawa. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Suryadana memang mudah sekali tertawa. Mungkin karena pekerjaannya dulu, sehingga harus selalu tertawa agak tidak jadi gila. Karena, hampir setiap hari dia harus melihat darah mengalir dari kepala yang dipenggalnya. Mereka terus menikmati makanan yang dibawa Rangga sambil berbicara ringan. Sesekali tawa mereka meledak jika ada yang membuat lelucon menggelitik.

Rangga merebahkan tubuhnya dengan kedua tangan mengganjal kepala. Api unggun yang menyala di sampingnya, membuat sekitar tepi sungai itu jadi terasa sedikit hangat. Tidak jauh darinya, tampak Pandan Wangi sudah melingkar, dan mendengkur kecil. Rangga melirik Suryadana yang juga belum memejamkan mata. Padahal, ini sudah lewat tengah malam.

“Paman! Bisa dijelaskan sekarang, kenapa orang tua siang tadi menyerangmu?” tanya Rangga sambil memiringkan tubuhnya, menghadap pada Suryadana.

“Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja dia datang bersama murid-muridnya, lalu menyerangku,” sahut Suryadana pelan.

“Murid-muridnya...?” kening Rangga agak berkerut.

“Dia Ketua Padepokan Tongkat Putih. Namanya, Eyang Jaraksa. Padepokannya ada di lereng bukit sebelah Selatan, di sebuah lembah,” jelas Suryadana.

“Ooo...,” Rangga mengangguk-anggukkan kepala. “Lalu, kenapa dia menyerangmu?”

“Aku sendiri tidak tahu.”

“Mustahil bila seorang ketua padepokan menyerang tanpa alasan,” Rangga tidak percaya.

“Tuduhannya yang tanpa alasan.”

“Tuduhan apa, paman?”

“Aku dituduh telah membunuh murid-muridnya.”

“Kau lakukan itu?”

“Untuk apa...?! Sudah lebih dua puluh tahun aku tidak pemah melihat darah lagi, kecuali darah ayam atau kelinci. Memangnya aku sudah gila, main bunuh orang tanpa alasan...?!” agak tinggi nada suara Suryadana.

“Aku percaya padamu, Paman,” ujar Rangga.

“Kepercayaan tidak ada gunanya tanpa bukti yang jelas.”

“Maksudmu...?”

“Akan kubuktikan kalau tuduhan Eyang Jaraksa tidak benar. Aku yakin, ada orang yang menggunakan namaku untuk menghancurkan Padepokan Tongkat Putih,” tegas Suryadana.

“Kau tahu, siapa orang ketiga itu?” tanya Rangga.

“Terlalu banyak musuh Eyang Jaraksa. Juga, tidak sedikit musuhku. Sukar ditentukan, siapa dalang semua fitnah keji ini. Bisa kau bayangkan, Rangga. Pekerjaanku sebagai penjagal kepala, tentu tidak sedikit kepala yang sudah jadi korban pedangku. Entah, berapa banyak keluarga atau sahabat-sahabat mereka yang menaruh dendam padaku. Hhh...! Aku merasa akan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.”

“Barangkali kehadiranku bisa sedikit membantu, Paman,” kata Rangga menawarkan jasa.

“Persoalanmu sendiri sudah terlalu banyak, Rangga. Jangan melibatkan dirimu dalam persoalan ini,” dengan halus Suryadana menolak bantuan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga hanya mengangkat bahunya sedikit.

Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau sifat Suryadana begitu keras, dan tidak pernah mau melibatkan orang lain dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Dia akan menyelesaikan sendiri, walau apa pun yang harus dihadapi. Tapi Rangga tidak mungkin tinggal diam begitu saja, melihat orang yang pernah mengabdi pada ayahnya terlibat dalam kesulitan besar. Bahkan dapat mengancam jiwanya.

“Sudah terlalu malam. Sebaiknya kau tidur saja, Rangga. Besok kau harus ke Desa Jati, bukan...?” ujar Suryadana mengingatkan.

“Ya, ada urusan sedikit di sana,” sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kembali menelentangkan tubuhnya. Perlahan kemudian, matanya terpejam. Namun, Rangga sama sekali tidak bisa tidur. Benaknya terus berputar, memikirkan persoalan yang sedang dihadapi Suryadana. Dia percaya kalau laki-laki tegap itu tidak melakukan pembunuhan keji, seperti yang dituduhkan Eyang Jaraksa.

Sementara, Suryadana tengah membuka balutan pada pahanya. Dia tersenyum melihat luka di pahanya sudah mengering. Ramuan obat yang dibuat Pandan Wangi memang cukup manjur juga. Dalam waktu kurang dari satu hari, luka yang besar itu sudah mengering. Suryadana menggerak-gerakkan kakinya perlahan.

“Hm.... Aku rasa besok sudah bisa berlari cepat,” gumam Suryadana dalam hati.

Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang melingkar di samping Pendekar Rajawali Sakti. Dalam hati, diucapkannya terima kasih pada gadis itu, yang telah merawat dan memberikan obat pada lukanya. Untung saja hanya luka luar, sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

***

Rangga menggeliat bangun dari tidur saat kehangatan sinar matahari menyorot tubuhnya. Bergegas dia bangkit, begitu menyadari tidak ada lagi seorang pun di dekatnya. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling. Dia bergegas melangkah begitu matanya menangkap gerak-gerak halus di dalam semak.

“Auwh...!”

Terdengar pekikan tertahan ketika Rangga menyibakkan semak itu. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur sambil memalingkan muka. Dari dalam semak, muncul Pandan Wangi sambil merapikan pakaiannya. Rangga cepat memutar tubuh, karena bagian dada gadis itu masih agak terbuka.

“Sudah mulai berani ngintip, ya...?!” rungut Pandan Wangi.

“Maaf, aku tidak sengaja,” ucap Rangga.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik. Pandan Wangi sudah rapi, bahkan sudah mengenakan pedangnya di punggung. Perlahan Rangga menghampiri gadis itu.

“Ke mana Paman Suryadana?” tanya Rangga yang sejak bangun tadi tidak melihat si Penjagal Bukit Tengkorak.

“Aku tidak tahu,” sahut Pandan Wangi.

“Tidak tahu...? Kau kan bangun lebih dulu...?”

“Aku bangun, Paman Suryadana sudah tidak ada.”

Rangga jadi teringat pembicaraannya semalam dengan si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Bergegas dihampiri kudanya, lalu melompat naik. Pendekar Rajawali Sakti menatap Pandan Wangi yang masih saja berdiri memandangnya.

“Cepat naik...!” perintah Rangga.

“Mau ke mana?” tanya Pandan Wangi seraya melangkah menghampiri kudanya.

Gadis itu melompat naik ke punggung kuda putih yang tinggi dan tegap. Gerakannya ringan dan indah sekali. Sementara itu Rangga sudah menyentakkan tali kekang kudanya. Pandan Wangi bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkah kaki kudanya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengendalikan kudanya agar tetap berjalan perlahan-lahan.

“Tidak menunggu Paman Suryadana kembali dulu?” ujar Pandan Wangi.

Rangga tidak menyahuti. Benaknya tengah sibuk mengira-ngira, ke mana perginya si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Dia menelaah setiap cerita yang dikemukakan si Penjagal Bukit Tengkorak semalam. Rangga teringat, Suryadana mengatakan sebuah nama yang tinggalnya di Padepokan Tongkat Putih, di sebuah lembah di lereng Bukit Tengkorak ini.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi ragu-ragu. Rasanya terlalu berani kalau si Penjagal Bukit Tengkorak mendatangi Eyang Jaraksa di padepokannya. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di samping Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Gadis itu tidak tahu kalau pikiran pemuda berbaju rompi putih ini sedang berputar keras, mencari jawaban dari kepergian Suryadana yang tanpa pamit tadi.

“Berhenti dulu, Pandan...,” desis Rangga tiba-tiba.

Pandan Wangi menghentikan langkah kaki kudanya, begitu Rangga juga menghentikan kudanya. Gadis itu menatap wajah Rangga, saat telinganya mendengar denting senjata beradu, disertai teriakanteriakan keras saling sambut

“Kau dengar suara itu, Pandan?” tanya Rangga.

“Ya! Seperti suara pertarungan,” sahut Pandan Wangi.

Seketika Rangga cepat melesat dari punggung kudanya. Begitu kakinya menjejak tanah, dia langsung berlari cepat meninggalkan kudanya dan Pandan Wangi. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran bila dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Pandan Wangi mengambil tali kekang kuda Pendekar Rajawali Sakti, lalu menuntunnya menuju ke arah suara pertempuran itu.

Sementara Rangga terus berlari cepat, dan baru berhenti setelah sampai di daerah yang berbatu. Pendekar Rajawali Sakti itu melompat naik ke atas sebongkah batu yang tinggi. Tampaklah, di bawah sana dua orang tengah bertarung sengit. Tidak jauh dari pertarungan itu, terlihat dua orang gadis cantik tengah memperhatikan.

“Paman Suryadana...,” desis Rangga begitu mengenali salah seorang yang bertarung.

Sedangkan lawannya adalah seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bentuk tubuhnya tegap dan berotot. Senjatanya adalah sebatang tongkat berwarna putih sepanjang lengan. Melihat tongkat yang dipergunakan itu, Rangga menduga kalau pemuda yang bertarung dengan Suryadana adalah salah seorang dari Padepokan Tongkat Putih.

“Berhenti...!” seru Rangga keras menggelegar.

Teriakan Rangga yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu mengejutkan sekali. Akibatnya pertarungan itu seketika berhenti. Dan dua gadis yang sedang memperhatikan jalannya pertarungan tadi, langsung berpaling ke arah datangnya bentakan tadi.

“Hup...!”

Bagaikan kilat. Rangga melompat dari atas batu yang dipijaknya. Sungguh cepat dan ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Tiga kali dia berputaran di udara, lalu mendarat manis sekali di tengah-tengah antara Suryadana dan pemuda bertongkat putih.

“Rangga...!” desis Suryadana begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah berada di depannya.

“Kisanak! Siapa kau...?!” tanya pemuda bertongkat putih yang tak lain adalah Jarwa, keras.

“Aku Rangga,” sahut Rangga memperkenalkan diri. “Dan siapa Kisanak ini, serta dua gadis itu?” Rangga balik bertanya.

“Aku Jarwa. Mereka adalah Purmita dan Arini,” Jarwa juga memperkenalkan dirinya serta dua gadis yang berada tidak jauh darinya.

“Rangga, mereka dari Padepokan Tongkat Putih. Kedua gadis itu adalah putri-putri Eyang Jaraksa,” selak Suryadana memberi tahu.

“Hm...,” Rangga menggumam perlahan. Dugaannya benar, mereka memang dari Padepokan Tongkat Putih.

“Kisanak, apakah kau teman si Penjagal Bukit Tengkorak itu?” tanya Jarwa seraya menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.

“Benar,” sahut Rangga.

“Sebaiknya kau menyingkir, agar tidak tersangkut dalam persoalan ini,” tegas Jarwa.

“Kalau boleh tahu, ada perselisihan apa antara Padepokan Tongkat Putih dengan Penjagal Bukit Tengkorak?” Rangga bertanya, meminta penjelasan.

“Ini menyangkut persoalan nyawa, Kisanak.

Penjagal Bukit Tengkorak telah membunuh murid-murid Padepokan Tongkat Putih secara kejam dan pengecut!” Jarwa menuding Suryadana.

“Kau punya bukti atas tuduhanmu itu?” agak ditekan nada suara Rangga.

“Purmita! Apa yang kau dengar dari Gandik sebelum tewas?” seru Jarwa seraya berpaling menatap Purmita yang berdiri di sebelah kanan adiknya.

“Dia menyebut pembunuh itu berjuluk Penjagal Bukit Tengkorak,” sahut Purmita.

“Kau dengar itu, Kisanak...? Sebaiknya cepat menyingkir, agar aku bisa lebih cepat melenyapkan iblis itu!” dengus Jarwa.

Setelah berkata demikian, Jarwa langsung menyilangkan tongkat di depan dada, bersiap hendak melakukan penyerangan kembali. Kakinya bergerak menggeser beberapa tindak ke samping. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju lurus pada si Penjagal Bukit Tengkorak.

“Tunggu...!” sentak Rangga cepat-cepat

“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Kisanak!” dengus Jarwa.

“Kau salah besar jika menyangka si Penjagal Bukit Tengkorak adalah yang membunuh teman-temanmu. Aku berani memastikan kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu,” tegas Rangga

“Jangan dengarkan, Kakang! Biar aku yang menghadapinya kalau mau terus ikut campur!” selak Arini lantang.

Rangga melirik gadis cantik berbaju merah muda itu. Sedangkan Arini sudah melompat mendekati Jarwa. Gadis itu langsung mencabut pedangnya. Meskipun tatapan matanya tajam, tapi bibir gadis itu terukir senyuman tipis, dan hampir tidak terlihat

“Kau begitu gigih membela dia. Jangan-jangan, kau sendiri pembunuhnya,” ujar Arini, sinis.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar tuduhan yang sembarangan itu. Matanya sedikit melirik Purmita yang masih berada di tempatnya. Rangga menyadari, memang tidak mudah membelokkan keyakinan seseorang. Terlebih lagi, hal ini menyangkut banyak nyawa yang sudah melayang.

“Rangga, menyingkirlah. Mereka sudah buta. Percuma saja kau bicara banyak dengan cacing-cacing ini,” ujar Suryadana.

“Apa kau bilang...?!” Arini mendelik berang dikatakan cacing. “Kau ulat busuk yang harus mampus!”

“Ini hanya kesalahpahaman saja, Paman. Harus diselesaikan sebelum terjadi penyesalan di belakang hari,” tegas Rangga, tetap tenang dan lembut suaranya.

“Hik hik hik...!”

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa kering terkikik yang menggema. Semua yang tengah bersitegang itu terkejut. Dan sebelum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam. Tahu-tahu di antara mereka sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah hitam. Tubuhnya agak membungkuk, dan berdirinya disangga oleh sebatang tongkat.

“Kau lagi...,” desis Arini langsung mengenali perempuan tua berjubah hitam itu.

“Dewi Jubah Hitam...,” desis Suryadana juga mengenali perempuan tua itu.

“Hik hik hik.... Suryadana, mengapa kau berurusan dengan bocah-bocah nakal ini?” terdengar kering suara perempuan tua yang dikenal Suryadana berjuluk Dewi Jubah Hitam.

“Apa keperluanmu, hingga datang ke Bukit Tengkorak ini?” Suryadana malah balik bertanya. Nada suaranya agak ketus, seakan-akan tidak menyukai kehadiran perempuan tua berjubah hitam itu.

“Aku datang justru ingin bertemu denganmu, Penjagal Bukit Tengkorak. Tapi, rupanya kau juga punya urusan dengan bocah-bocah nakal dari Padepokan Tongkat Putih. Apa kau pernah memenggal kepala teman-teman mereka, Suryadana?” agak sinis nada suara perempuan tua berjubah hitam itu.

“Itu bukan urusanmu!” bentak Suryadana tidak senang.

“Memang bukan urusanku, karena kita punya urusan sendiri, Suryadana.”

Suryadana mendesis dingin. Sementara Rangga hanya memperhatikan saja dengan kening berkerut. Dia menduga kalau persoalan ini akan semakin rumit. Satu masalah belum juga selesai, muncul lagi masalah lain. Kedatangan perempuan tua yang dikenal berjuluk Dewi Jubah Hitam ini tentu membawa persoalan lain untuk si Penjagal Bukit Tengkorak.

“Persoalan apa lagi yang dibawa perempuan tua ini...?” keluh Rangga dalam hati.

***
LIMA
Rangga menggeser kakinya mendekati si Penjagal Bukit Tengkorak. Ada rasa iba di hatinya melihat keadaan laki-laki bertubuh tegap itu. Kelihatannya, dia terjepit sekali. Tiga anak muda dari Padepokan Tongkat Putih telah menuduhnya membunuh beberapa orang teman mereka. Dan persoalan itu belum juga selesai, muncul seorang perempuan tua berjubah hitam yang membawa persoalan bani lagi.

Meskipun tidak tahu persoalan apa yang dibawa si Dewi Jubah Hitam itu, tapi Rangga sudah bisa menebak kalau urusannya tentu menyangkut nyawa juga. Pendekar Rajawali Sakti teringat pembicaraannya dengan Suryadana semalam. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu mengakui kalau dalam hidupnya selalu dikelilingi orang-orang yang hendak membalas dendam. Pekerjaannya sebagai penjaga kepala orang-orang hukuman, sudah barang tentu akan me-nimbulkan kebencian dan dendam bagi keluarga, maupun sahabat terhukum. Dan Rangga sudah menduga kalau urusan yang dibawa si Dewi Jubah Hitam tentu ada hubungannya dengan pekerjaan Suryadana di masa lalu itu.

“Tampaknya, tidak menguntungkan, Paman,” bisik Rangga. “Sebaiknya, kau cepat pergi. Biar mereka yang akan mengejarmu kuhadang.”

“Aku bukan pengecut, Rangga,” tolak Suryadana tegas.

“Kau memang harus membuktikan kalau tidak bersalah. Tapi, bukan dengan cara seperti ini, Paman,” kata Rangga lagi.

“Mereka sudah menjual, Rangga. Dan aku tidak bisa menolak untuk membelinya. Lagi pula, si Dewi Jubah Hitam punya urusan lain. Maaf, aku tidak bisa pergi dan dianggap pengecut.”

“Ada urusan apa antara kau dengan perempuan tua itu?” tanya Rangga.

“Adiknya seorang perampok, pembunuh dan pemerkosa yang dijatuhi hukuman mati. Dan akulah pelaksana hukuman itu. Sudah dua kali dia mencoba membalas kematian adiknya padaku. Dan aku tahu, dia tidak akan puas sebelum melihat darahku mengalir,” dengan singkat Suryadana menjelaskan.

Sementara Suryadana sudah bergerak ke samping menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan si Penjagal Bukit Tengkorak itu diikuti Dewi Jubah Hitam. Mereka lalu berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar dua batang tombak.

“Mau apa mereka?” tanya Arini berbisik pada Jarwa.

“Aku tidak tahu,” sahut Jarwa seraya mengangkat pundaknya.

Sementara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam sudah bersiap bertarung, Rangga memperhatikan sikap tiga orang dari Padepokan Tongkat Putih. Pendekar Rajawali Sakti berjaga-jaga agar ketiga orang itu tidak ikut campur. Pada saat itu, Pandan Wangi datang. Langsung dihampirinya Rangga begitu turun dari punggung kudanya.

“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Nanti akan kujelaskan,” sahut Rangga.

Sebentar Pandan Wangi memperhatikan Suryadana dan Dewi Jubah Hitam yang sudah membuka kembangan jurus, kemudian melirik Jarwa, Arini, dan Purmita yang juga tengah memperhatikan dua orang itu. Sementara Rangga terus mengawasi tiga orang dari Padepokan Tongkat Putih ini.

“Hiyaaat!”

“Yeaaah...!”

Pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam tidak dapat dihindari lagi. Mereka langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat Jarwa yang tadi sempat bertarung dengan si Penjagal Bukit Tengkorak, sempat terhenyak menyaksikan pertarungan tingkat tinggi yang begitu dahsyat dan mengagumkan.

Jarwa cepat menyadari kalau dalam pertarungan dengannya tadi, si Penjagal Bukit Tengkorak itu tidak bersungguh-sungguh mengerahkan semua kemampuannya. Walaupun demikian, sangat sukar bagi Jarwa untuk memasukkan serangannya. Bahkan sedikit pun tidak dapat mendesak. Kini seakan-akan mata murid Padepokan Tongkat Putih itu baru terbuka, kalau lawan yang tadi dihadapi bukanlah tandingannya.

Sementara pertarungan itu terus berlangsung, diam-diam Jarwa mendekati Rangga yang sejak tadi memang memperhatikannya. Jarwa berdiri sekitar dua langkah lagi di samping Rangga. Sedangkan Arini dan Purmita hanya melirik sedikit. Kedua gadis itu kembali memusatkan perhatian ke arah pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam.

“Sudah lama kau kenal si Penjagal Bukit Tengkorak?” tanya Jarwa, agak berbisik suaranya.

“Lama juga,” sahut Rangga seraya melirik sedikit pemuda di sampingnya ini.

“Aku rasa, mungkin kau benar. Kami telah salah menuduh,” kata Jarwa tanpa malu-malu lagi.

Rangga jadi berkerut keningnya. Wajahnya berpaling, menatap pemuda murid Padepokan Tongkat Putih itu dalam-dalam. Seakan-akan dia ingin mencari kepastian dari ucapan Jarwa barusan. Sedangkan Jarwa mengarahkan pandangan pada pertarungan. Pemuda itu seakan-akan tidak mempedulikan pandangan Rangga yang bernada menyelidik kebenaran dari ucapannya tadi.

“Menurutmu, siapa pelaku pembunuhan di Padepokan Tongkat Putih yang sebenarnya, Kisanak?” tanya Jarwa tanpa berpaling sedikit pun.

“Rangga! Panggil saja aku Rangga,” Rangga menyebutkan namanya tanpa menjawab pertanyaan tadi.

“Hm.... Kau tahu, siapa pelaku pembunuhan itu, Rangga?” Jarwa mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.

“Sulit dipastikan,” sahut Rangga.

“Sewaktu aku meninggalkan padepokan, sudah lima orang yang tewas secara gelap. Dan baru tadi kudengar kabar, ada tiga lagi yang tewas. Satu orang sempat memberi tahu padaku kalau pelakunya si Penjagal Bukit Tengkorak. Purmita-lah yang memberi tahu. Dia sengaja meninggalkan padepokan untuk memberi tahu hal itu padaku,” jelas Jarwa tanpa diminta. “Dan kebetulan, waktu kami akan kembali ke padepokan, bertemu si Penjagal Bukit Tengkorak. Dia juga akan ke sana, makanya aku mencoba mencegah dan terjadilah pertarungan tadi.”

“Kau percaya kalau si Penjagal Bukit Tengkorak yang melakukan?” tanya Rangga agak menyelidik.

Jarwa tidak menjawab. Kelihatannya pemuda itu ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Kembali matanya beralih ke arah pertarungan yang berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus, tapi tampaknya masih akan terus berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda akan berakhir. Masing-masing kelihatan masih tetap tangguh, dan belum ada yang mampu mendesak.

Rangga mencolek sedikit lengan Pandan Wangi. Dan gadis itu berpaling menatapnya. Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan Pandan Wangi agar lebih mendekat dengannya. Gadis itu menuruti saja tanpa membantah.

“Kau tetap di sini. Kalau terjadi sesuatu pada Paman Suryadana, cepat bantu,” kata Rangga berbisik.

“Kau akan ke mana?” tanya Pandan Wangi langsung tanggap.

“Aku akan pergi bersama pemuda ini,” sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Jarwa lagi, sebelum Pandan Wangi bisa bersuara lagi. Jarwa sedikit melirik pada pemuda berbaju rompi putih itu.

“Antarkan aku ke padepokanmu,” pinta Rangga.

“Untuk apa ke sana?” tanya Jarwa heran.

“Katakan saja pada kedua gadis itu. Kalau bisa, jaga jangan sampai si Penjagal Bukit Tengkorak mendapat celaka,” ujar Rangga bersungguh-sungguh.

Sebentar Jarwa memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bergegas menghampiri Arini dan Purmita. Murid Padepokan Tongkat Putih itu bicara sebentar dengan kedua gadis cantik itu, kemudian kembali menghampiri Rangga sambil menuntun kudanya. Sedangkan Rangga kembali mendekati Pandan Wangi.

“Berhati-hatilah, Pandan. Jangan bertindak ceroboh,” pesan Rangga.

“Jangan khawatir. Kalau perlu, aku bisa mengatasi perempuan tua itu,” sahut Pandan Wangi.

Rangga cepat melompat ke punggung kudanya. Sedangkan Jarwa sudah sejak tadi berada di punggung kudanya sendiri. Tak berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah memacu cepat kudanya menuju Padepokan Tongkat Putih.

Cepat sekali mereka memacu kudanya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka sudah begitu jauh dan lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Sementara pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam masih berlangsung sengit Meskipun hanya dengan bertangan kosong saja, Suryadana kelihatan mampu mengimbangi permainan tongkat perempuan tua berjubah hitam itu.

“Hup! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Dewi Jubah Hitam melompat ke udara sambil berputaran dua kali. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras, dan tongkatnya berkelebat cepat mengincar kepala si Penjagal Bukit Tengkorak itu.

“Hap!”

Cepat sekali si Penjagal Bukit Tengkorak mengegoskan kepalanya, menghindari tebasan ujung tongkat yang runcing itu. Dan secepat kilat, dia melesat ke udara. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, tepat ke arah dada Dewi Jubah Hitam.

“Hiyaaa...!”

Pada saat yang sama, Dewi Jubah Hitam juga menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya pukulan tangan kanan Suryadana. Tak dapat dihindari lagi, dua pukulan bertenaga dalam tinggi beradu keras sekali di udara, sehingga menimbulkan ledakan menggelegar memekakkan telinga.

Dua orang yang bertarung itu berpentalan satu sama lain ke belakang. Mereka berputaran di udara beberapa kali, lalu sama-sama mendarat kokoh di tanah. Tapi Dewi Jubah Hitam kelihatan agak terhuyung sedikit. Dari sudut bibirnya mengalir darah kental. Tongkatnya kontan dihentakkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya.

“Kau memperoleh kemajuan yang sangat pesat Dewi Jubah Hitam,” puji Suryadana tulus.

“Phuih!” Dewi Jubah Hitam menyemburkan ludahnya yang telah bercampur darah.

Perempuan tua berjubah hitam itu menyadari kalau sudah menderita luka dalam akibat benturan kekuatan tenaga dalam tadi. Dan dia melihat si Penjagal Bukit Tengkorak itu sama sekali tidak mengalami pengaruh apa-apa.

Bet!

Dewi Jubah Hitam kembali mengebutkan tongkatnya. Dan sambil berteriak nyaring melengking tinggi, dia melompat cepat sambil menghunjamkan ujung runcing tongkatnya ke dada Suryadana.

“Hait!”

Sedikit saja Suryadana mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tongkat itu lewat di depan dada. Lalu tangan kirinya cepat dikibaskan, menyodok ke arah lambung. Begitu cepatnya kibasan itu, sehingga Dewi Jubah Hitam tidak sempat lagi menghindar.

Des!

“Hugkh...!” Dewi Jubah Hitam mengeluh pendek Perempuan tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh agak membungkuk. Pada saat itu, Suryadana melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu keras dan cepatnya pukulan itu, hingga tepat mendarat di wajah Dewi Jubah Hitam.

“Hiyaaa...!”

Prak!

“Aaakh...!” Dewi Jubah Hitam menjerit melengking panjang. Kepalanya terdongak ke atas, dan tubuhnya berputar beberapa kali. Kemudian, dia ambruk menggelepar di tanah sambil meraung menutupi muka dengan kedua tangannya. Dari sela-sela jari tangannya, mengalir darah segar yang cukup deras. Agak lama juga Dewi Jubah Hitam menggelepar di tanah, lalu kembali melesat bangkit berdiri. Darah terus mengucur dari wajahnya yang retak akibat pukulan bertenaga dalam tinggi dari si Penjagal Bukit Tengkorak.

Sukar dikenali lagi wajah perempuan tua itu, karena terlalu banyak darah yang mengucur di wajahnya. Dengan ujung jari kakinya, wanita tua itu menjentikkan tongkatnya yang tergeletak di tanah, lalu dengan cepat menangkap tongkat itu. Secepat tongkatnya ditangkap, secepat itu pula meluruk deras menyerang Suryadana lagi.

“Hiyaaat..!”

“Hih! Yeaaah...!”

Kembali Suryadana memiringkan tubuhnya, dan cepat sekali menghentakkan tangan kanannya. Kontan dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak sampai di situ saja serangan Suryadana. Seketika, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah dada perempuan tua berjubah hitam itu.

“Aaa...!” Dewi Jubah Hitam menjerit keras melengking tinggi.

Satu pukulan dan tendangan yang dilepaskan Suryadana, tepat menghantam dada wanita tua itu. Akibatnya Dewi Jubah Hitam terpental deras sejauh tiga batang tombak. Sebongkah batu yang cukup besar, menghentikan luncuran tubuhnya. Sebentar dia menggeliat, lalu mengejang kaku dan tak bergerak-gerak lagi. Suryadana menarik napas panjang seraya memandangi tubuh Dewi Jubah Hitam yang sudah tidak bernyawa lagi.

Penjagal Bukit Tengkorak itu memutar tubuhnya, langsung menatap Arini dan Purmita. Kedua gadis itu tampak gentar melihat kedigdayaan Suryadana. Terlebih lagi Arini, yang sudah pernah bertarung melawan Dewi Jubah Hitam. Saat itu Pandan Wangi bergegas menghampiri Suryadana.

“Kau tidak apa-apa, Paman?” tanya Pandan Wangi.

“Tidak,” sahut Suryadana. “Mana Rangga...?”

“Pergi, bersama teman kedua gadis itu,” sahut Pandan Wangi.

“Ayo kita susul, Pandan,” ajak Suryadana. Baru saja si Penjagal Bukit Tengkorak itu hendak melompat ke punggung kudanya, mendadak saja Arini berteriak lantang mencegah.

“Tunggu...!”

Suryadana tidak jadi melompat naik ke punggung kudanya. Langsung ditatapnya gadis cantik berbaju merah muda itu. Sementara Arini sudah melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya menggenggam erat gagang pedang yang masih tergantung di dalam warangkanya di pinggang. Tatapan mata gadis itu demikian tajam, meskipun di hatinya terselip rasa gentar.

“Apa yang kau inginkan lagi? Kau tahu kalau bukan aku yang membunuh murid-murid ayahmu!” agak bernada kesal suara Suryadana.

“Apa jaminan dan buktinya kau tidak bersalah?” tanya Arini tegas.

Suryadana melirik Pandan Wangi sedikit. Dan gadis itu bisa mengerti arti lirikan si Penjagal Bukit Tengkorak ini.

“Aku jaminannya, dan kau akan memperoleh bukti,” tegas Pandan Wangi mantap.

Arini menatap penuh selidik pada si Kipas Maut itu. Bibirnya langsung dicibirkan sedikit.

“Apa hubunganmu dengannya?” tanya Arini.

“Hanya teman,” sahut Pandan Wangi mulai tidak menyukai sikap gadis ini yang kelihatannya begitu angkuh.

“Hanya teman...?” terasa sinis nada suara Arini.

“Apa maksudmu, Nisanak...?” sentak Pandan Wangi.

Arini hanya mencibir saja. Meskipun sudah berusia setengah baya, tapi Suryadana masih kelihatan gagah. Ketampanan wajahnya masih tersisa. Tubuhnya juga tegap, meskipun agak kecoklatan, karena sering berpanas-panas di bawah teriknya sinar matahari. Tanpa dijelaskan pun, Pandan Wangi sudah bisa mengerti sikap dan tatapan mata Arini. Dan ini semakin membuatnya muak. Tapi Pandan Wangi mencoba untuk tetap bersabar. Dia ingat pesan Rangga untuk tidak bertindak apa-apa pada kedua gadis ini.

“Sudah! Jangan dilayani, Pandan. Ayo, kita cepat menyusul Rangga,” ujar Suryadana yang sudah memahami watak Arini.

Suryadana cepat melompat naik ke punggung kudanya. Pandan Wangi bergegas mengikuti. Mereka cepat menggebah kudanya meninggalkan tempat itu. Arini berteriak-teriak kesal, karena tidak dipedulikan sama sekali. Maka, gadis itu segera memungut sebuah batu. Hampir saja batu itu dilemparkan ke arah Pandan Wangi. Untung saja Purmita cepat menangkap tangan Arini yang sudah terangkat naik.

“Jangan bodoh, Arini! Biarkan mereka pergi,” sentak Purmita.

“Huh!” Arini mendengus kesal.

Gadis itu menurunkan tangannya, dan melemparkan batu itu disertai rasa kesal sambil mendengus. Dipandanginya Pandan Wangi dan Suryadana yang sudah jauh meninggalkan tempat ini. Kemudian tubuhnya berputar, dan melangkah menghampiri kudanya. Sementara Purmita hanya memandangi adiknya. Dia cepat melesat begitu Arini naik ke atas punggung kudanya. Purmita kini sudah duduk di punggung kudanya sendiri.

“Hiya!”

“Hiyaaa...!”

Kedua gadis putri Eyang Jaraksa itu menggebah cepat kudanya. Mereka langsung menuju ke Padepokan Tongkat Putih. Cepat sekali mereka memacu kudanya, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan daerah berbatu itu. Tak ada sorang pun yang menyadari kalau di suatu tempat tersembunyi, sepasang mata selalu memperhatikan sejak tadi. Bersamaan dengan menghilangnya kedua gadis dari Padepokan Tongkat Putih itu ke dalam hutan, berkelebat sebuah bayangan biru gelap dari sebongkah batu yang cukup besar.

Tahu-tahu di dekat mayat Dewi Jubah Hitam, sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju biru gelap panjang. Seluruh kepalanya terselubung kain biru, dengan dua lubang kecil pada bagian matanya. Dipandanginya mayat Dewi Jubah Hitam sebentar, lalu berpaling ke arah Padepokan Tongkat Putih yang berada di balik hutan di depannya.

“Rangga.... Hhh! Kau tidak akan bisa merubah keyakinan tua bangka itu dalam menuduh si Penjagal Bukit Tengkorak. Aku tahu siapa kau, Rangga...,” desis orang berbaju biru gelap itu dingin.

Mendadak saja sosok tubuh itu melesat cepat. Dan sekejapan mata saja sudah lenyap bagai tertelan bumi. Daerah berbatu itu jadi sunyi. Yang tinggal kini hanya mayat Dewi Jubah Hitam yang terbujur kaku.

***
ENAM
Saat itu Rangga dan Jarwa sudah sampai di Padepokan Tongkat Putih. Rangga sendiri tidak menyangka kalau laki-laki tua berjubah putih yang dikenal dengan nama Eyang Jaraksa, mengenali dirinya sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Ketua Padepokan Tongkat Putih itu menyambutnya dengan hangat. Padahal Jarwa telah membisikinya, kalau kedatangan pemuda berbaju rompi putih itu saat dirinya tengah bertarung melawan si Penjagal Bukit Tengkorak.

Eyang Jaraksa meminta ditinggalkan berdua saja bersama Rangga di ruangan depan bangunan besar padepokan ini. Tak ada seorang pun di sana, kecuali Eyang Jaraksa dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri. Bahkan Jarwa juga sudah lenyap entah ke mana.

“Maaf, mungkin kedatanganku ke sini tidak tepat pada waktunya,” ucap Rangga sopan.

“Ah, tidak.... Aku senang padepokan kecil ini dikunjungi seorang pendekar besar dan digdaya sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti,” sambut Eyang Jaraksa.

“Aku sudah sering mendengar tentang Padepokan Tongkat Putih yang dipimpin orang bijaksana dan patut menjadi teladan bagi semua orang,” puji Rangga.

Eyang Jaraksa hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya seperti tersentil atas ucapan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Bisa dibaca arah pembicaraan pemuda berbaju rompi putih itu. Memang diakui, tindakannya menyerbu si Penjagal Bukit Tengkorak kurang bijaksana. Saat itu dia terlalu menuruti kata hati dan amarah. Mungkin karena tidak tahan lagi melihat murid-muridnya tewas setiap hari, tanpa diketahui siapa pelakunya.

“Rasanya tidak pantas aku menerima pujianmu, Pendekar Rajawali Sakti,” sergah Eyang Jaraksa agak tersipu.

“Ini bukan pujian kosong, Eyang Jaraksa. Sudah banyak padepokan yang kau pimpin melahirkan pemuda tangguh. Bahkan tidak sedikit yang mengabdikan diri untuk memperkuat barisan pertahanan di Karang Setra. Maaf, kedatanganku ini bukan karena aku raja si Karang Karang Setra. Tapi atas nama dunia kependekaran dan diriku pribadi,” ujar Rangga.

“Maaf, cara penyambutanku kurang baik,” ucap Eyang Jaraksa.

Laki-laki tua ini memang sudah tahu kalau pemuda yang duduk di depannya ini adalah Raja Karang Setra. Dan Bukit Tengkorak ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Hanya saja, Rangga belum mengenal betul tentang padepokan ini, juga pemimpinnya yang sudah berusia lanjut. Rangga memang sengaja mengelilingi seluruh wilayah Karang Setra, untuk mengenal lebih dekat tentang wilayah kerajaannya.

Padepokan Tongkat Putih ini bukan padepokan pertama yang disinggahi Pendekar Rajawali Sakti. Sudah banyak padepokan yang dikunjunginya, baik yang terkenal maupun yang belum dikenal. Tapi pada umumnya, pemimpin padepokan di seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra, sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti. Entah tahu dari mana, dan Rangga tidak pernah mempersoalkannya. Seperti halnya Padepokan Tongkat Putih ini, yang tidak diketahui sebelumnya. Eyang Jaraksa sudah mengenal dirinya.

“Aku senang atas penyambutanmu ini, Eyang Jaraksa. Meskipun kau telah tahu siapa diriku, tapi tidak kau tunjukkan di depan murid-muridmu. Sungguh kuhargai sikapmu. Dan aku menaruh hormat atas kebijaksanaanmu yang juga telah menghormatiku sebagai sesama kaum pendekar,” kata Rangga, lagi-lagi memuji laki-laki tua ini.

Dan itu membuat Eyang Jaraksa semakin tersipu. Laki-laki tua itu tahu arah pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti ini. Jelas, itu ditujukan atas tindakannya yang menyerang si Penjagal Bukit Tengkorak. Tindakan yang sebenarnya sangat ceroboh, karena tidak diselidiki terlebih dahulu kebenarannya. Ada rasa malu menyelinap dalam hatinya. Karena dia yang sudah berumur dan jauh lebih tua daripada Pendekar Rajawali Sakti, masih juga tidak dapat mengendalikan diri. Bahkan tak mampu bertindak bijaksana. Itu bisa menimbulkan citra buruk di depan murid-muridnya sendiri. Bahkan tidak mungkin, dunia luar akan mencemoohnya kalau hal ini sampai tersebar luas.

“Aku memang ceroboh, Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan meminta maaf pada si Penjagal Bukit Tengkorak, tapi itu kalau terbukti tidak bersalah,” tegas Eyang Jaraksa langsung pada pokok persoalannya.

Laki-laki tua itu tidak ingin berlarut-larut, sehingga dapat membuat dirinya semakin merasa rendah di depan pemuda berbaju rompi putih ini Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja. Dalam hatinya, dia semakin memuji laki-laki tua berjubah putih ini, karena bisa menangkap cepat arah pembicaraannya.

“Aku yang menyelamatkannya dari ujung tongkatmu, Eyang Jaraksa,” jelas Rangga, jujur.

“Oh...,” Eyang Jaraksa terkejut tidak menyangka.

Pantas saja si Penjagal Bukit Tengkorak bisa lenyap begitu cepat, di saat maut tengah berada di depan matanya. Kalau Pendekar Rajawali Sakti ini yang menyelamatkannya, laki-laki tua itu tidak bisa menyangsikan lagi. Memang sudah sering didengarnya kehebatan dan kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, yang sukar diukur tingkat kepandaiannya.

“Waktu itu, aku tidak tahu apa persoalannya. Dan aku juga tidak mengenalmu. Paman Suryadana yang memberitahuku. Itu sebabnya, mengapa aku segera datang kemari. Dan muridmu, aku lihat sempat bertarung dengannya,” jelas Rangga lagi, tanpa diminta.

“Maafkan atas kelancangan muridku,” ucap Eyang Jaraksa.

“Sudahlah, kita lupakan saja hal itu. Kedatanganku hanya ingin tahu, apa benar di sini terjadi pembunuhan gelap, sehingga kau dan murid-muridmu mengira Paman Suryadana yang melakukannya,” kata Rangga. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau lagi membicarakan tindakan laki-laki tua ini dengan murid-muridnya pada si Penjagal Bukit Tengkorak.

“Benar. Dalam beberapa hari ini, sudah hampir sepuluh orang murid-muridku tewas tanpa diketahui pembunuhnya. Aku sendiri tidak tahu, mengapa murid-muridku dibantai dengan cara seperti itu,” Eyang Jaraksa membenarkan pertanyaan Rangga.

“Kau tidak berusaha menyelidikinya?” tanya Rangga lagi.

“Sudah! Bahkan aku mengutus Jarwa untuk menyelidiki dari luar. Tapi sampai sekarang ini, belum jelas hasilnya. Dan semalam jatuh satu korban lagi. Lehernya hampir putus terpenggal,” sahut Eyang Jaraksa.

Saat itu muncul seorang wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik. Bajunya biru agak ketat. Rangga mengangkat kepala, dan menatap wanita itu. Yang ditatap langsung menganggukkan kepala sedikit sambil memberi senyum. Rangga membalasnya dengan anggukan kepala juga. Eyang Jaraksa buru-buru memperkenalkan wanita itu pada Pendekar Rajawali Sakti.

Hampir Rangga tidak percaya kalau wanita setengah baya dan masih kelihatan cantik ini adalah istri Eyang Jaraksa. Mereka bukan seperti suami istri, tapi lebih pantas anak dengan ayahnya. Wanita setengah baya yang dikenalkan Eyang Jaraksa bernama Satira itu, duduk si samping laki-laki tua berjubah putih ini.

Sementara Rangga seakan-akan masih belum percaya, kalau wanita secantik ini lebih suka menikah dengan laki-laki tua yang pantas menjadi ayahnya ini. Dan usianya juga pasti tidak lebih dari empat puluh tahun.

“Cukup lama kami menikah. Sekitar dua puluh tahun,” kata Eyang Jaraksa memberi tahu tanpa diminta.

Rangga hanya tersenyum saja. Sukar baginya untuk bisa memberi tanggapan tentang pasangan yang dipandangnya sangat aneh dan tidak masuk akal ini. Tapi, dia hanya diam dan tidak mau memikirkannya. Sedangkan Satira tanpa ada yang menyadari selalu merayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan dia begitu terpikat pada ketampanan dan kegagahan pemuda yang duduk di depannya ini.

“Eyang, boleh aku melihat-lihat sekitar padepokanmu ini?” pinta Rangga seraya bangkit berdiri.

“Oh, silakan. Apa perlu diantar...?” Eyang Jaraksa juga bergegas berdiri.

“Tidak perlu. Aku bisa meminta Jarwa menemaniku,” tolak Rangga halus.

Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala sedikit pada Satira, kemudian melangkah keluar dari ruangan ini. Eyang Jaraksa memandangi sampai pemuda itu menghilang di balik pintu, kemudian beralih pada Satira yang kini sudah berdiri di sampingnya.

“Dari mana saja kau, Satira? Kenapa baru datang...?” tegur Eyang Jaraksa.

“Habis dari pancuran. Aku tidak tahu kalau akan ada tamu,” sahut Satira beralasan.

“Kau tidak bertemu Basrin?”

“Tidak. Memangnya kenapa...?”

“Aku menyuruhnya menyusulmu ke pancuran.”

“Mungkin berselisihan jalan, Kakang. Aku tidak lewat jalan biasa.”

“Hhh..., sudahlah. Sebaiknya, siapkan kamar untuknya. Ingat! Kau harus melayani segala keperluannya dengan baik. Dia tamu terhormat kita,” pesan Eyang Jaraksa.

“Memangnya dia siapa, Kakang?”

“Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Eyang Jaraksa. “Aku ingin menemaninya melihat-lihat padepokan ini.”

Eyang Jaraksa bergegas melangkah keluar dari ruangan ini. Sedangkan Satira hanya memandangi saja kepergian laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut. Dan dia masih berdiri di sana meskipun Eyang Jaraksa sudah menghilang di balik pintu.

“Pendekar Rajawali Sakti...,” desis Satira setengah bergumam. “Hm.... Jadi itu yang bernama Pendekar Rajawali Sakti...? Hm....”

Satira mengangguk-anggukkan kepala, kemudian bergegas meninggalkan ruangan ini dari pintu yang lain. Sebentar saja wanita itu sudah lenyap di balik pintu yang berwarna hijau. Dan ruangan itu kembali sunyi tak seorang pun terlihat di sana.

***

Waktu terus berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya. Siang pun berganti malam tanpa terasa. Suasana di Padepokan Tongkat Putih kelihatan lebih tenang. Karena semua murid padepokan itu sudah mengetahui, kalau tamu yang siang tadi datang bersama Jarwa adalah Pendekar Rajawali Sakti. Mereka semua sudah sering mendengar tentang pendekar muda berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya itu.

Tapi ada sedikit kecemasan di hati mereka, meskipun tidak diungkapkan. Siang tadi, si Penjagal Bukit Tengkorak datang bersama Pandan Wangi, yang juga berjuluk si Kipas Maut. Kemudian disusul kembalinya Purmita bersama adiknya, Arini. Kedua gadis itu tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih yang sempat dicurigai dan dimusuhi, ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang namanya sudah sering terdengar. Tapi baru kali ini bertemu langsung.

Walaupun malam sudah teramat larut, tapi Rangga belum juga dapat memicingkan mata dalam kamarnya. Malam yang begitu dingin, dirasakan sangat panas. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah keluar dari kamarnya. Dilewatinya ruangan depan, dan terus keluar dari pintu depan. Dua orang murid Padepokan Tongkat Putih yang bertugas jaga malam di depan pintu, menganggukkan kepala seraya menyapa hormat Rangga membalas dengan anggukan kepala juga, dan memberikan senyum.

Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah menuju bagian samping kiri bangunan besar ini. Ayunan langkahnya begitu perlahan, dan matanya tidak berkedip merayapi setiap sudut yang dilaluinya. Siang tadi, dia sudah melihat-lihat keadaan sekitar bangunan Padepokan Tongkat Putih ini. Namun begitu sampai di bagian belakang, mendadak saja....

“Akh...!”

“Heh...?!”

Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar erangan tertahan yang begitu pelan dari arah samping kanannya. Cepat-cepat tubuhnya melesat ke atas, dan hinggap di atap bangunan besar ini. Pada saat itu, matanya langsung menangkap sesosok bayangan berkelebat cepat di balik pagar bagian belakang. Dan Rangga jadi terkejut, karena di sana juga terlihat sesosok tubuh tergeletak di tanah.

“Hup...!”

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam satu kali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di luar pagar Padepokan Tongkat Putih ini. Begitu kakinya menjejak tanah, kembali tubuhnya melesat cepat mengejar bayangan yang berkelebat tadi.

Namun sesampainya Rangga di sebuah tikungan jalan, bayangan yang dikejarnya lenyap begitu saja bagai tertelan bumi. Rangga menghentikan pengejarannya. Pandangannya beredar berkeliling. Pendengarannya dipasang tajam. Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar desiran halus dari arah samping kanan.

Wusss!

Cepat Rangga memutar tubuhnya, dan langsung melenting ke belakang, seraya berputar satu kali. Hanya sekejap saja, dia mampu melihat bayangan biru pekat berkelebat cepat hampir menyambar tubuhnya. Dan begitu bayangan biru itu lewat, mendadak saja melesat seberkas sinar keemasan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts!”

Manis sekali Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, maka sinar keemasan itu lewat sedikit di samping tubuhnya. Seketika terdengar ledakan keras menggelegar, begitu sinar keemasan itu menghantam sebatang pohon di belakang Rangga. Pohon itu seketika tumbang, dan hampir saja mengenai Rangga. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat menghindar.

“Heh...?! Ke mana dia...?” Rangga terperanjat, karena bayangan biru pekat tadi sudah lenyap tak terlihat lagi.

Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi hanya pepohonan dan kegelapan saja yang ada di sekitarnya. Bayangan itu benar-benar lenyap, di saat Rangga tengah sibuk menghindari sinar keemasan dan pohon yang tumbang ke arahnya tadi.

“Hm.... Siapa dia?” gumam Rangga bertanya-tanya sendiri.

Setelah yakin tidak mungkin lagi bisa menemukan bayangan gelap itu, Rangga cepat bertari menuju Padepokan Tongkat Putih. Tak disadari, kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah diamati sepasang mata yang tersembunyi dari atas pohon.

“Benar-benar tangguh dia...,” terdengar gumaman pelan.

***

Manis sekali Rangga melompati pagar belakang Padepokan Tongkat Putih ini. Suasananya masih tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun di bagian belakang ini. Dia berjalan perlahan mendekati sebuah pintu kamar yang tampak terbuka. Dia tahu, kamar itu memang ditempati Suryadana. Dan di sebelahnya kamar yang ditempati Pandan Wangi. Sedangkan Rangga sendiri mendapatkan kamar yang berada jauh dari kedua kamar itu. Tepatnya, di bagian depan bangunan besar ini.

“Hm...,” Rangga agak tertegun begitu dekat dengan kamar Suryadana.

Pintu kamar itu terbuka agak lebar, dengan nyala pelita yang menerangi seluruh kamar itu. Tak ada seorang pun terlihat di dalam. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati. Dan begitu kepalanya dijulurkan, karena hendak memastikan keadaan kamar itu, mendadak saja sebuah tangan menepuk pundaknya.

“Oh...!” Rangga agak terkejut karena perhatiannya saat itu tengah tertuju pada keadaan sekeliling kamar.

Cepat tubuhnya berbalik. Keningnya jadi berkerut melihat Suryadana kini sudah berada di depannya. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu tersenyum, dan terus menghempaskan tubuhnya ke kursi panjang yang ada di samping pintu kamar ini.

“Dari mana malam-malam begini, Paman?” tanya Rangga sedikit menegur.

“Jalan-jalan, cari udara segar,” sahut Suryadana. “Kau sendiri, kenapa masih berada di luar?”

“Di kamar udaranya terlalu panas. Tapi sekarang sudah mendingan,” sahut Rangga lagi, tanpa menceritakan kalau baru saja memergoki seseorang yang telah membunuh seorang murid Padepokan Tongkat Putih.

Suryadana mengangguk-anggukkan kepala. Diambilnya tempat tembakau dari kulit yang terselip di balik sabuknya. Kemudian dilintingnya tembakau itu dengan daun jagung kering berwarna kuning muda. Sebentar kemudian, dia sudah asyik dengan asap tembakaunya.

“Aku kembali dulu ke kamar, Paman,” pamit Rangga yang tidak menyukai asap tembakau itu.

“Oh, ya...,” sahut Suryadana seraya mengangkat kepala sedikit

Rangga melangkah meninggalkan laki-laki berusia separuh baya itu, untuk kembali menuju ke bagian depan. Dia melalui pintu penghubung di bagian belakang bangunan besar dan memanjang ini. Sedikit matanya melirik Suryadana sebelum lenyap di balik pintu. Sedangkan Suryadana masih terus asyik dengan lintingan tembakaunya.

Rangga terus mengayunkan kakinya menyusuri lorong yang tak seberapa panjang. Di kiri kanan lorong ini terdapat pintu-pintu kamar yang semuanya tertutup rapat. Setelah melewati lorong ini, dia sampai di bagian ruangan tengah yang cukup besar dan terang. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah melewati ruangan tengah ini, kemudian sampai di ruangan depan. Di sini juga terdapat beberapa pintu kamar. Dia tahu kalau kamar-kamar itu ditempati oleh keluarga Eyang Jaraksa.

“Hm....”

Kembali Pendekar Rajawali Sakti tertegun saat melihat salah satu pintu kamar. Semua kamar dalam keadaan gelap, tapi satu pintu terlihat terang. Tampak sedikit cahaya membias dari lubang di bawah pintu itu. Rangga tahu kalau itu kamar Purmita. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati kamar yang masih terlihat terang itu.

Sebentar Rangga berhenti di depan pintu, dan memasang telinganya tajam-tajam. Tak terdengar suara sedikit pun dari dalam kamar ini Rangga tercenung sebentar, kemudian bergegas melangkah kembali keluar, dan memutari bangunan besar ini. Ayunan langkahnya kembali terhenti setelah sampai di dekat jendela kamar yang tampak sedikit terbuka. Cahaya terang tampak membias dari balik jendela ini. Rangga tahu kalau itu jendela kamar yang ditempati Purmita.

Pelan-pelan Rangga mencoba membuka jendela itu. Tapi belum juga daun jendela kamar itu bergerak terbuka, mendadak saja terdengar bentakan keras dari belakangnya.

“Hei...!”

“Uts...!” Rangga terlonjak kaget dan cepat memutar tubuhnya.

Bukan hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang terkejut tapi orang yang membentak tadi. Di depan Rangga, berdiri seorang gadis cantik bertubuh ramping dan padat berisi. Dia mengenakan baju agak ketat, sehingga hampir memetakan bentuk tubuhnya yang indah untuk dipandang mata.

“Oh, maaf. Aku kira siapa...,” ucap gadis itu seraya mendekat “Maaf, aku telah membuatmu terkejut Gusti.”

“Tidak... Aku tidak terkejut. Hm.... Sebaiknya jangan panggil aku gusti. Panggil saja Rangga.”

Gadis itu hanya tersenyum kecil dan menganggukkan kepala sedikit. Rangga memperhatikan gadis yang dikenalnya bernama Purmita ini. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat bayangan yang tadi dipergokinya telah membunuh seorang murid padepokan ini. Orang itu juga mengenakan baju warna gelap. Dan kalau tidak salah menilai, bentuk tubuhnya ramping dan bagus seperti bentuk tubuh wanita muda.

Tapi Rangga tidak ingin terlalu cepat menduga, meskipun berbagai macam dugaan telah mampir di kepalanya barusan. Hal itu cepat-cepat dibuangnya jauh-jauh. Sementara Purmita menghampiri jendela kamarnya, lalu membuka lebar-lebar. Cahaya dari pelita di dalam kamar itu menerobos keluar, seakan-akan hendak mengalahkan sinar rembulan malam ini.

“Dari mana malam-malam begini?” tanya Rangga ingin tahu.

“Meronda,” sahut Purmita seraya duduk di kursi, di bawah jendela kamar ini.

“Meronda...?!” Rangga seolah-olah tidak mempercayai jawaban gadis ini.

“Memangnya kenapa? Meronda itu bukan hanya pekerjaan laki-laki saja, bukan...? Wanita juga bisa melakukannya. Dan hampir setiap malam aku selalu melakukannya,” kata Purmita lugas.

“Kau juga meronda di bagian belakang?” tanya Rangga, jadi teringat kalau di bagian belakang, di luar pagar tadi terjadi pembunuhan.

“Benar!” sahut Purmita kalem.

“Kalau begitu...?” Rangga tidak meneruskan kata-katanya.

Pendekar Rajawali Sakti memandangi gadis itu dalam-dalam. Timbul lagi kecurigaan di hatinya, yang tadi telah dibuang jauh-jauh. Namun Rangga tetap tidak ingin menduga kalau gadis ini yang melakukan semua pembunuhan gelap di Padepokan Tongkat Putih, dalam beberapa hari ini. Sedangkan Purmita kelihatan tidak peduli, dan malah mengarahkan pandangannya jauh ke depan.

“Purmita, bisa kita bicara...?” pinta Rangga dengan suara terdengar agak ragu-ragu.

Purmita menatap Pendekar Rajawali Sakti.

“Boleh aku duduk?”

Purmita menggeser duduknya, dan Rangga menempatkan diri di samping gadis itu. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja. Dua kali Rangga mendehem, seakan tengah mengumpulkan kata-kata dalam kepalanya.

“Aku rasa kau sudah tahu, untuk apa aku datang ke sini,” kata Rangga memulai.

“Ya! Kau ingin membersihkan nama Penjagal Bukit Tengkorak,” sahut Purmita kalem.

“Bukan itu saja. Kedatanganku ke sini juga untuk mencari kebenaran,” Rangga menambahkan.

Purmita hanya mengangkat bahunya saja. Dia sudah tahu dari ayahnya kalau Pendekar Rajawali Sakti juga seorang raja di Karang Setra. Dan Suryadana yang selalu dipanggil Penjagal Bukit Tengkorak, pernah bekerja untuk ayah pendekar muda ini. Jadi, tidak heran kalau Rangga akan membelanya. Namun mengingat nama besar Pendekar Rajawali Sakti, langsung Purmita percaya. Dia yakin, seandainya terbukti memang Suryadana yang melakukan semua pembunuhan itu, akan tetap menerima hukuman.

“Tadi, secara tidak sengaja, aku melihat sesuatu terjadi di balik pagar belakang...,” ujar Rangga, agak terputus suaranya.

“Oh...?! Apakah terjadi pembunuhan lagi?” sentak Purmita kelihatan terkejut

“Ya,” sahut Rangga seraya mengangguk.

“Ayah harus segera tahu,” ujar Purmita seraya bangkit berdiri.

“Tunggu dulu, Purmita,” cegah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti cepat menangkap pergelangan tangan Purmita. Dan gadis itu kembali duduk. Wajahnya agak memerah. Cepat-cepat Rangga melepaskan cekatannya pada tangan gadis itu.

“Maaf,” ucap Rangga.

“Tidak apa-apa,” sahut Purmita sedikit gugup.

“Ayahmu memang perlu tahu. Tapi, aku ingin bicara sedikit denganmu dulu,” tegas Rangga.

Purmita hanya diam saja. Ditatapnya wajah pemuda itu sebentar, lalu pandangannya dialihkan ke arah lain. Hatinya langsung bergetar saat pandangannya bertemu sinar mata pemuda itu, meskipun hanya sebentar.

“Kau tadi ke bagian belakang, bukan?” tanya Rangga langsung.

“Ya,” sahut Purmita.

“Tidak melihat ada orang lain di sana?”

“Aku hanya bertemu si Penjagal Bukit Tengkorak. Hanya bertegur sapa sedikit saja,” sahut Purmita.

“Juga tidak melihat ada mayat di sana?”

“Aku tidak keluar dari pagar. Aku baru tahu setelah kau mengatakannya.”

“Baiklah. Cepatlah beri tahu ayahmu. Aku akan menunggu di sana,” kata Rangga seraya bangkit berdiri.

Purmita bergegas bangkit dan melangkah setengah berlari menuju ke dalam bangunan besar ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan, lalu cepat melesat pergi. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik pagar yang mengelilingi bangunan besar dan memanjang ini.

***
TUJUH
Rangga memandangi pohon besar yang tumbang melintang di depannya. Pohon ini semalam hampir membuat tubuhnya gepeng. Pendekar Rajawali Sakti melompat melewati batang pohon ini. Di depan sanalah bayangan semalam menghilang. Rangga mengangkat kepalanya ketika mendengar langkah kaki menuju ke arahnya. Terlihat Pandan Wangi berjalan cepat lalu melompati pohon yang tumbang melintang dengan gerakan indah. Pandan Wangi mendarat tepat di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku cari-cari, tidak tahunya ada di sini,” kata Pandan Wangi.

“Tahu dari mana aku di sini?” tanya Rangga.

“Nyai Satira yang bilang. Katanya, dia melihatmu menuju ke sini,” sahut Pandan Wangi.

“Nyai Satira...?” Rangga mengerutkan keningnya.

“Iya, kenapa...?”

Rangga diam saja. Dia jadi tercenung sendiri. Setahunya, tidak seorang pun dijumpai ketika pergi ke tempat ini. Bahkan tidak seorang pun yang melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat, kalau semalam hampir luput memperhatikan kamar yang ditempati Satira. Pintu kamar itu agak terbuka, meskipun lampunya mati.

Dan ketika hampir pagi, pintu kamar itu tetap terlihat sedikit terbuka dalam keadaan masih gelap. Juga, saat semua orang terbangun, setelah Purmita memberitahukan ada pembunuhan lagi. Semua penghuni Padepokan Tongkat Putih berhamburan ke belakang bagian luar pagar, tapi sama sekali wanita muda istri ketua padepokan itu tidak terlihat.

“Ada apa, Kakang? Kenapa termenung mendengar nama Nyai Satira?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

“Tidak..., tidak apa-apa. Aku tiba-tiba saja teringat sesuatu,” sahut Rangga.

“Boleh aku tahu?” pinta Pandan Wangi.

Rangga menghampiri pohon yang tumbang, langsung meneliti bagian bawah yang hancur. Tubuhnya membungkuk, dan mengambil sesuatu dari serpihan kayu pohon itu. Tampaknya sebuah benda yang terbuat dari emas. Pandan Wangi ikut memperhatikan benda di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

“Amel...,” desis Pandan Wangi.

“Benar! Tusuk rambut ini milik pembunuh murid-murid Padepokan Tongkat Putih,” kata Rangga begitu pasti.

“Kau tahu, siapa kira-kira pemiliknya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Aku belum tahu pasti. Tapi yang jelas, pelakunya adalah pemilik benda ini,” sahut Rangga.

“Kalau begitu, Paman Suryadana terbebas dari tuduhan...?” Pandan Wangi jadi senang.

“Belum,” sahut Rangga.

“Belum...?” Pandan Wangi jadi tidak mengerti. “Apa maksudmu, Kakang? Bukankah tadi kau mengatakan pelakunya wanita...?”

“Aku tidak mengatakan wanita. Tapi pemilik benda inilah mungkin pelaku pembunuhan itu,” Rangga menegaskan. “Bisa siapa saja. Juga termasuk kau, Pandan.”

“Jangan bercanda, ah! Benda seperti itu memang dimiliki setiap wanita, Kakang. Banyak corak dan ragamnya. Bahkan yang sama juga banyak. Aku juga memakai dengan bentuk dan warna seperti itu,” kata Pandan Wangi.

Gadis itu meraba rambutnya. Tapi mendadak saja Pandan Wangi terkejut, karena di rambutnya tidak terpasang amel. Rangga memperhatikan dengan kening berkerut. Diserahkannya tusuk rambut itu pada Pandan Wangi, lalu diperlihatkan bagian tangkainya yang terukir nama gadis itu. Sejenak Pandan Wangi menatap benda di tangan Rangga, lalu menatap pemuda itu dengan sinar mata sukar diartikan.

“Jangan katakan kalau kau kehilangan tusuk rambutmu, Pandan,” kata Rangga, agak dalam nada suaranya.

“Tapi...,” suara Pandan Wangi terputus.

“Baru kemarin kita berkumpul lagi. Dan selama sepuluh hari, kau kutinggalkan di Desa Jati, bertepatan dengan peristiwa pembunuhan di sini,” kata Rangga, tetap dalam nada suaranya.

“Tega benar kau menuduhku, Kakang...!” desis Pandan Wangi bisa menangkap kata-kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti barusan.

“Aku tidak menuduhmu, Pandan.”

“Kata-katamu barusan...!”

“Maaf, kalau kata-kataku tadi menyinggungmu. Tapi, kau harus tahu. Aku hanya mencari kebenaran saja. Tolong jelaskan, apa saja yang kau lakukan selama sepuluh hari belakangan ini. Juga, mengenai amelmu yang ada di sini. Aku percaya, bukan kau yang melakukannya, Pandan. Orang itu hanya menggunakan amelmu, agar perhatianku beralih padamu,” Rangga buru-buru menjelaskan.

“Aku tidak ke mana-mana selama kau tinggalkan di Desa Jati, Kakang. Setiap hari aku hanya ke rumah Nyai Karti, belajar membuat pakaian dari kulit. Kalau tidak percaya, tanya saja pada Nyai Karti sendiri. Juga pada Ki Sawung, pemilik penginapan di sana. Dan mengenai amelku.... Sama sekali aku tidak tahu, Kakang. Aku tidak pernah menyadari kalau amel itu lepas dari rambutku,” jelas Pandan Wangi dengan dada sedikit bergemuruh.

“Itu yang ingin aku dengar darimu, Pandan,” ujar Rangga seraya tersenyum.

“Sekarang, terserah padamu. Kau ingin percaya atau tidak alasanku tadi,” kata Pandan Wangi.

“Aku percaya, Pandan.”

“Tapi, kenapa kau kelihatannya mencurigaiku?”

“Jangan salah mengerti, Pandan. Dalam keadaan seperti ini, aku perlu penjelasan yang lengkap dari semua yang kutemukan. Kau bisa bayangkan, bagaimana kalau orang lain yang menemukan amelmu ada di sini. Aku yakin, akan sama seperti yang dialami Paman Suryadana. Untung saja mereka masih memandangku, sehingga tidak berbuat sesuatu lagi padanya. Meskipun aku tahu, mereka pasti tetap menaruh kecurigaan pada Paman Suryadana.”

“Maaf, Kakang. Aku tadi...”

“Sudahlah. Sekarang sebaiknya kembali saja ke padepokan. Aku tidak ingin Paman Suryadana berada sendirian di sana,” potong Rangga cepat

“Tapi, Kakang…”

“Ada apa lagi?”

“Aku ke sini justru ingin mengatakan kalau Paman Suryadana tidak ada lagi di padepokan.”

“Apa...?!”

Rangga yang begitu terkejut mendengar kalau Suryadana sudah meninggalkan Padepokan Tongkat Putih secara diam-diam, segera kembali ke padepokan itu. Langsung ditemuinya Eyang Jaraksa yang saat itu tengah berkumpul di ruangan depan bersama istri dan dua orang anak gadisnya. Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi disambut hangat Eyang Jaraksa.

“Kebetulan kau datang, Rangga. Tadinya, aku ingin menyuruh murid-muridku untuk mencarimu,” kata Eyang Jaraksa.

“Ada sesuatu yang penting?” tanya Rangga.

“Benar. Aku rasa Pandan Wangi telah mengatakannya padamu,” sahut Eyang Jaraksa.

Rangga sedikit melirik Pandan Wangi yang berada di sampingnya.

“Belum seluruhnya, Eyang,” ujar Pandan Wangi.

“Begini, Rangga. Suryadana meninggalkan kamarnya di saat semua orang tengah sibuk menguburkan mayat muridku pagi tadi. Tidak ada yang melihat kepergiannya,” jelas Eyang Jaraksa, singkat

“Sudah dicari?” tanya Rangga.

“Sudah. Bahkan beberapa muridku telah mencari ke bekas tempat tinggalnya, tapi dia tidak ada di sana,” sahut Eyang Jaraksa.

“Kalau begitu, aku akan mencarinya,” kata Rangga.

“Aku ikut, Kakang,” kata Pandan Wangi. Rangga mengangguk.

“Aku pamit dulu, Eyang,” ujar Rangga berpamitan.

“Baik. Kuharap kau bisa menemukannya, Rangga.”

Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ber-gegas meninggalkan ruangan itu. Eyang Jaraksa mengantarkan sampai di depan pintu. Dia baru kembali setelah kedua pendekar muda itu melewati pintu gerbang dengan kudanya. Arini bangkit berdiri, saat melihat ayahnya kembali ke ruangan ini. Gadis itu bergegas menghampiri.

“Ayah, boleh aku mencari si Penjagal Bukit Tengkorak itu...?” pinta Arini.

“Untuk apa? Aku sudah menyerahkan persoalan ini pada Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak ingin kau membuat kacau, Arini,” dengan halus Eyang Jaraksa menolak permintaan anak gadisnya ini.

“Aku tidak membuat kacau, aku hanya ingin membantu,” rungut Arini manja.

“Kau tetap di sini, karena sewaktu-waktu aku membutuhkanmu,” tegas Eyang Jaraksa.

Arini ingin memaksa, tapi laki-laki tua itu sudah cepat berlalu meninggalkannya. Gadis itu mem-berengut kesal, menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Purmita bangkit berdiri dan menghampiri adiknya ini. Sedangkan Eyang Jaraksa dan Satira sudah meninggalkan ruangan depan yang cukup besar ini.

“Aku ingin bicara denganmu, Arini,” pinta Purmita.

“Jangan membujukku, Kak. Pokoknya aku harus pergi mencari si Penjagal Bukit Tengkorak itu!” sentak Arini.

“Dengar dulu, Arini. Ada sesuatu yang penting, dan kau harus mengetahuinya. Aku tidak bisa mempercayai orang lain, selain dirimu,” nada suara Purmita terdengar sungguh-sungguh.

“Katakan saja,” Arini masih memberengut.

“Aku tahu, di mana si Penjagal Bukit Tengkorak itu berada,” kata Purmita berbisik pelan.

“Apa...?! Kau tahu di....”

“Ssst.., jangan keras-keras,” potong Purmita, langsung membekap mulut adiknya.

“Kau tahu di mana dia...?” kali ini suara Arini jadi berbisik pelan.

“Ayo....”

Arini yang masih keheranan, mengikuti saja ketika kakaknya mengajak pergi meninggalkan ruangan itu. Mereka keluar melalui pintu depan. Sebenarnya Arini ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi Purmita selalu saja memotong dan mencegahnya. Terpaksa gadis itu diam dan terus mengikuti langkah kakaknya ini.

Arini semakin keheranan ketika Purmita mengajaknya ke jurang yang berada di sebelah Selatan Padepokan Tongkat Putih. Letaknya cukup jauh, dan harus melewati hutan kecil yang cukup lebat untuk bisa mencapai ke sana. Belum lagi jalannya yang harus menurun, agak curam dan sedikit berbatu. Salah melangkah sedikit saja, bisa tergelincir dan masuk jurang yang cukup dalam.

Mereka baru berhenti setelah benar-benar berada di bibir jurang. Arini agak bergidik juga melihat kedalaman jurang ini. Belum pernah dia ke tempat seperti ini, karena memang ayahnya tidak pernah mengizinkannya. Selain daerahnya yang memang sangat berbahaya, juga sukar dilalui jika tidak menguasai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

“Kau bisa menyeberangi jurang ini, Arini?” tanya Purmita seperti menguji.

“Menyeberang...?” Arini tertegun menatap kakaknya.

“Iya. Si Penjagal Bukit Tengkorak ada di seberang sana,” kata Purmita lagi.

“Tapi...,” Arini jadi menelan ludahnya yang mendadak saja terasa begitu pahit.

Dipandanginya jurang di depannya. Cukup lebar. Dan yang pasti tidak mungkin bisa diseberanginya, walaupun mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk melompati jurang ini. Dan kalau gagal.... Arini tidak sanggup membayangkan. Jurang ini sungguh dalam. Sehingga dari tempatnya berdiri, tidak bisa terlihat dasarnya karena tertutup kabut tebal yang menghitam.

“Kau lihat di sebelah sana, Arini,” Purmita menunjuk ke sebelah kiri dari adiknya.

Arini menoleh, menatap arah yang ditunjuk kakaknya. Kembali hatinya tertegun, karena tidak jauh di sebelah kirinya ada seutas tambang yang merentang di atas jurang. Tambang itu terikat pada batang pohon di sebelahnya, dan di batang pohon di seberang sana. Kelihatannya memang cukup kuat.

“Kau lihat ini,” kata Purmita. “Hup...!”

Purmita langsung melompat ringan. Dilewatinya kepala Arini, lalu berputaran dua kali. Dan dengan manis sekali kakinya hinggap di atas tambang itu.

Sedikit pun tambang itu tak bergerak. Purmita berdiri tegak, seperti berada di atas permukaan tanah saja. Bibirnya tersenyum menatap Arini yang terlongong bengong.

“Tidak terlalu sulit, Arini. Ayo...,” ajak Purmita.

Seperti berjalan di tanah saja, Purmita melangkah ringan melintasi rentangan tambang itu. Gerakannya sangat ringan dan cepat. Dan sebentar saja dia sudah berada di tengah-tengah tambang itu. Arini masih tetap berdiri memandangi.

“Ayo, Arini...! Kau pasti bisa melakukannya!” teriak Purmita mengajak.

“Bagaimana kalau jatuh, Kak?” teriak Arini bertanya.

“Aku akan membantumu. Percayalah...! Hanya sedikit saja mengerahkan ilmu meringankan tubuh, kau pasti bisa berjalan di atas tambang ini. Ayo, Arini...!”

Arini melangkah juga mendekati tambang itu. Sedangkan Purmita sudah bergerak lagi. Bahkan tidak berjalan, tapi berlompatan ringan lincah sekali. Seakan-akan dia ingin memamerkan kepandaiannya dalam ilmu meringankan tubuh.

“Hup!”

Begitu Purmita sampai di seberang, Arini langsung melompat naik ke atas tambang itu. Ada sedikit getaran di tambang saat kaki Arini menjejaknya. Gadis itu menenangkan diri sebentar, lalu mulai melangkah meniti tambang yang hanya seutas ini.

“Jangan melihat ke bawah. Kau akan pusing nanti...!” teriak Purmita dari seberang.

“Iya...!” sahut Arini.

Arini tenis berjalan hati-hati di atas tambang yang melintang menyeberangi jurang ini. Seluruh kemam-puan ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Dia tidak ingin terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam ini. Dan begitu tinggal satu tombak lagi sampai di seberang, cepat-cepat tubuhnya melenting, melompat dari tambang itu. Dua kali Arini berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya di depan Purmita.

“Huh...!” Arini menghembuskan napasnya kuat-kuat

“Aku sudah yakin, kau pasti bisa melakukannya,” puji Purmita.

“Iya, tapi jantungku seperti akan copot,” dengus Arini.

“Yuk...?” ajak Purmita.

Sebentar Arini memandang ke seberang, kemudian bergegas menyusul Purmita yang sudah berjalan lebih dahulu. Langkahnya disejajarkan di samping kakaknya ini. Kedua gadis itu terus berjalan, dan kini harus mendaki sambil menerobos lebarnya hutan.

“Masih jauh, Kak?” tanya Arini.

“Tidak. Sebentar lagi juga sampai. Tuh... sudah kelihatan.”

Arini menatap ke arah yang ditunjuk kakaknya, tapi tidak melihat sesuatu yang khusus. Hanya pepohonan dan batu-batuan saja yang ada di depan matanya. Kakinya terus terayun mengikuti Purmita yang melangkah ringan di sampingnya.

Mereka baru berhenti setelah sampai di depan sebongkah batu yang cukup besar, bagaikan sebuah tugu peringatan. Batu itu berwarna hitam dan berlumut tebal. Arini tadi memang melihat batu ini, tapi tidak menyangka kalau ke sini tujuannya. Purmita mencolek tangan adiknya, dan mengajak kembali melangkah. Mereka memutari batu itu.

“Oooh…” desah Arini.

Gadis itu tidak menyangka kalau di belakang batu besar ini ada sebuah pondok kecil dikelilingi taman indah, penuh bunga yang bermekaran. Kedua gadis itu terus melangkah melintasi jalan berbatu kerikil. Arini masih terkagum-kagum melihat keindahan di sekitarnya. Ternyata di tengah-tengah hutan yang lebat dan tampak ganas ini, terdapat sebuah tempat yang begitu indah, harum oleh semerbaknya bunga-bunga yang bermekaran.

“Punya siapa semua ini...?” tanya Arini ingin tahu.

“Punyaku,” sahut Purmita.

“Sungguh...?” Arini seperti tidak percaya.

Purmita hanya tersenyum saja. Mereka kemudian sampai di depan pondok yang terbuat dari kayu. Arini semakin kagum, karena kayu pondok ini begitu halus buatannya. Bentuknya juga sangat manis, bagaikan tempat peristirahatan putri-putri bangsawan.

“Mereka ada di dalam,” kata Purmita.

“Mereka, si...?”

Diegkh!

“Hegkh...!”

Belum juga Arini sempat meneruskan ucapannya, mendadak saja Purmita melayangkan tangannya ke tengkuk gadis itu. Seketika Arini ambruk ke lantai beranda yang terbuat dari kayu halus berwarna kecoklatan. Gadis itu langsung tidak sadarkan diri, begitu tubuhnya menyentuh lantai kayu.

“Kau cukup bandel dan liar. Tapi bodoh...!” dengus Purmita mendesis dingin.

Purmita menyeret tubuh Arini masuk ke dalam pondok kecil itu. Sedangkan Arini benar-benar tidak sadarkan diri, tak tahu lagi apa yang terjadi. Pukulan Purmita pada tengkuknya demikian keras, karena langsung menghantam urat syaraf. Tak heran kalau dia jatuh pingsan seketika.

***
DELAPAN
“Ohhh...,” Arini merintih lirih. Gadis itu menggerak-gerakkan kepalanya perlahan, lalu kelopak matanya mulai bergerak terbuka. Dia hendak bangkit, tapi langsung terkejut. Ternyata dia mendapati seluruh tubuhnya dalam keadaan terikat. Arini terbeliak begitu mengetahui dirinya terikat di lantai kayu.

“Arini.... Kau sudah sadar...?”

“Oh...!” Arini terkejut ketika mendengar suara tidak jauh dari sampingnya.

Gadis itu semakin terkejut, karena di sampingnya ada orang lain yang seluruh tubuhnya juga terikat tambang. Bahkan sampai ke kaki. Dan orang itu adalah si Penjagal Bukit Tengkorak. Di samping laki-laki itu, tampak tergolek seorang gadis lain. Juga dengan seluruh tubuh terikat tambang.

“Kau...?” Arini tidak dapat meneruskan kata-katanya.

“Rupanya nasib kita sama, Arini. Dia begitu manis dan pandai bermain kata-kata. Dia menyuguhkan secangkir teh padaku. Setelah kuminum..., entah apa yang terjadi. Aku tidak sadarkan diri, dan tahu-tahu sudah berada di sini,” Suryadana yang juga dikenal sebagai Penjagal Bukit Tengkorak mengisahkan kejadiannya, sampai berada di tempat ini.

“Bagaimana denganmu, Arini?”

“Aku...,” Arini tidak bisa menjawab. Masih sulit baginya untuk bisa mengerti.

Arini menatap wanita yang tergolek di samping tubuh Suryadana. Seluruh tubuh wanita itu juga terikat, seperti dirinya dan juga Suryadana. Sulit dikenali, karena wajahnya tertutup tubuh laki-laki kekar ini.

“Siapa dia?” tanya Arini.

“Kakakmu,” sahut Suryadana.

“Purmita...? Dia juga...,” lagi-lagi Arini tidak melanjutkan.

“Dia kakakmu yang asli,” jelas Suryadana.

“Maksudmu?” Arini tidak mengerti.

“Dia kakakmu yang asli, Arini. Sedangkan yang selama ini ada di padepokan adalah Purmita palsu,” Suryadana mencoba menjelaskan lebih lanjut

“Aku..., aku tidak mengerti maksudmu,” Arini meminta penjelasan lagi.

“Cukup sulit menjelaskannya, Arini. Sayang, Purmita tidak sadarkan diri lagi. Kesehatan tubuhnya sangat lemah. Entah sudah berapa hari dia berada di sini. Yang jelas, sewaktu terjadi pembunuhan-pembunuhan di padepokan ayahmu. Orang yang melakukan pembunuhan itu adalah si Purmita palsu. Dia sebenarnya bernama Wiranti, putri tunggal Nyai Kalamurti,” Suryadana menghentikan ceritanya.

“Teruskan. Aku ingin tahu seluruhnya,” pinta Arini yang mulai bisa memahami sedikit demi sedikit

“Nyai Kalamurti dulu adalah istri pertama ayahmu. Sebelum mendiang ibumu, Arini. Dia telah kepergok melakukan hubungan gelap dengan sahabat ayahmu sendiri. Akibat perbuatannya, ayahmu mengusir dan membuat cacat wajahnya. Sedangkan laki-laki itu tewas di tangan ayahmu. Sejak saat itu Nyai Kalamurti tidak terdengar lagi kabarnya. Tapi ternyata dia menyepi di tempat ini hingga melahirkan seorang putri hasil hubungan gelapnya. Anaknya itu dinamakan Wiranti. Kemudian Nyai Kalamurti mengajarkan segala cara pada anaknya. Dan Wiranti diminta agar membalaskan dendam dan sakit hatinya setelah dia meninggal...,” sampai di situ Suryadana berhenti lagi.

“Aku mengerti sekarang,” ujar Arini yang memang pernah mendengar sedikit tentang istri pertama ayahnya itu. “Tapi...”

“Tapi kenapa, Arini?”

“Wajahnya.... Kenapa begitu mirip kakakku?”

“Sebelum meninggalkan Padepokan Tongkat Putih, Nyai Kalamurti sempat mencuri beberapa kitab dari sana. Dan salah satunya adalah kitab yang berisi ilmu-ilmu pengobatan dan ramuan yang langka, selain kitab-kitab berisi ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Dari kitab-kitab itu, Wiranti berhasil menemukan satu ramuan untuk membuat topeng yang sangat halus dan tipis dari campuran kulit binatang. Topeng itu bisa membentuk wajah siapa saja. Begitu halusnya, sehingga tidak bisa membedakan antara yang asli dan yang palsu,” jelas Suryadana kembali.

“Bagaimana kau bisa tahu tentang itu semua?” tanya Arini.

“Bukan hanya aku, tapi ayahmu juga tahu.”

“Ayahku...?”

“Ya, hanya saja dia tidak berpikir sejauh itu. Bahkan tidak menyadari kalau di dekatnya ada seseorang yang siap menikam dari belakang. Mungkin dia sudah melupakan kitab-kitab yang hilang itu. Dan menganggap persoalannya dengan Nyai Kalamurti sudah berakhir. Sedangkan aku tahu betul sejarah ayahmu, dan istri pertama ayahmu itu.”

“Boleh aku bertanya lagi...?” pinta Arini.

“Silakan.”

“Kenapa dia melibatkanmu, Paman?” tanya Arini yang kini memanggil si Penjagal Bukit Tengkorak itu dengan sebutan paman.

“Dia tahu dari ibunya, kalau antara aku dan ayahmu tidak pernah cocok, sehingga selalu saja terjadi perselisihan paham. Padahal, antara aku dan ayahmu masih terikat tali persaudaraan. Aku adalah adik sepupunya. Dan memang sudah sepantasnya kau memanggilku paman.”

“Oh...,” desah Arini.

Sungguh tidak disangka kalau si Penjagal Bukit Tengkorak ini adalah pamannya. Sama sekali dia tidak tahu. Dan lagi, ayahnya memang tidak pernah menceritakan tentang si Penjagal Bukit Tengkorak ini. Tapi, kenapa di antara mereka terjadi permusuhan, sampai-sampai bisa tega untuk membunuh. Dan itu langsung ditanyakan Arini.

“Ayahmu memang ingin sekali membunuhku, Arini,” kata Suryadana seraya tersenyum pahit.

“Kenapa...?” tanya Arini ingin tahu.

“Dia pernah meminta agar tidak menghukum mati adik iparnya. Tapi, tidak kupedulikan. Perbuatan yang dilakukan adik iparnya sudah terlalu berat. Membunuh, merampok, dan memperkosa wanita-wanita. Bahkan berani memperkosa dan membunuh putri seorang bangsawan. Ayahmu meminta agar aku melepaskan adik iparnya itu, yang juga adik kandung ibumu. Tapi, aku tidak pernah menuruti dan tetap menjalankan tugasku. Sejak saat itu, kebencian semakin berkobar di dada ayahmu. Kami seperti dua orang musuh, dan bukannya dua orang saudara yang seharusnya saling melindungi.”

“Oh...,” Arini mendesah perlahan. Kini segalanya bani jelas bagi gadis itu. Bukan hanya persoalan pembunuh gelap itu yang terungkap. Bahkan persoalan keluarganya yang tersimpan puluhan tahun pun jadi terungkap ke permukaan. Gadis itu jadi senang dan tidak menduga kalau masih mempunyai paman, yang sebenarnya begitu dekat dan sudah dikenalnya. Tapi dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin seluruh perasaannya ditumpahkan.

“Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Arini.

“Berdoa,” sahut Suryadana.

“Berdoa...?”

“Benar. Berdoa agar penolong yang membebaskan kita dari sini segera datang.”

“Huuuh...! Kita harus melakukan sesuatu, Paman!” rungut Arini.

“Apa yang bisa kita lakukan?”

“Putuskan tambang ini!” sahut Arini.

“Tambang ini terbuat dari campuran otot binatang dan urat-urat kayu yang sangat kuat. Meskipun kau mengerahkan seluruh tenaga dalam, tidak akan mampu memutuskannya. Coba saja kalau tidak percaya,” jelas Suryadana.

“Huuuh...!” Arini jadi kesal.

“Tenang saja, Arini. Pendekar Rajawali Sakti pasti bisa menemukan kita di sini,” ujar Suryadana menenangkan gadis itu.

“Jangan terlalu berharap, Paman. Siap tahu dia sudah jauh meninggalkan Bukit Tengkorak ini.”

“Arini! Bagaimana kau bisa sampai di sini?” tanya Suryadana.

“Aku diajak Purmita..., eh! Siapa tadi namanya?”

“Wiranti.”

“Iya! Aku diajak Wiranti ke sini. Tiba-tiba saja dia memukul tengkukku hingga pingsan,” singkat saja Arini menceritakan tentang dirinya.

“Kau datang dalam keadaan sadar?”

“Tentu saja.”

Suryadana tersenyum-senyum.

“Kenapa tersenyum, Paman?”

“Aku yakin, sebentar lagi Pendekar Rajawali Sakti pasti datang membebaskan kita,” ujar Suryadana.

“Harapan kosong!” dengus Arini.

“Mau taruhan...?”

“Tidak! Aku tidak pernah menang taruhan!” sentak Arini.

“Itu berarti kau juga berharap Pendekar Rajawali Sakti datang ke sini.”

“Huuuh...!” Arini mencibir.

Brak!

Suryadana dan Arini terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja pintu kamar tempat mereka disekap, hancur berkeping-keping. Tiba-tiba saja muncul seorang pemuda berbaju rompi putih ke dalam kamar itu.

“Rangga...,” desis Suryadana gembira melihat kedatangan pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.

Tanpa berkata apa-apa, Rangga bergegas melepaskan ikatan tambang di tubuh Suryadana dan Arini. Dan begitu terbebas, Suryadana segera melepaskan ikatan pada Purmita yang masih juga belum sadarkan diri.

“Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini Rangga?” tanya Suryadana.

“Sejak semula, aku sudah curiga pada Purmita. Aku mengikuti dia dan Arini sampai ke sini,” sahut Rangga.

“Tapi.... Bukankah kau tadi sudah pamitan hendak pergi?” selak Arini.

“Itu hanya siasatku saja untuk memberi kesempatan padanya membawamu.”

“Tuh.... Percaya, tidak? Sudah kukatakan kalau Rangga pasti datang,” kata Suryadana seraya memencet hidung Arini.

“Huuu...,” Arini hanya mencibirkan bibirnya saja.

“Ayo! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, selagi Purmita pergi,” kata Rangga menengahi gurauan itu.

“Ah! Masa. kau lupa! Dia bukan Purmita, tapi Wiranti,” Suryadana membetulkan ucapan Rangga.

Suryadana memang telah menceritakan segalanya pada Pendekar Rajawali Sakti. Termasuk, latar belakang Eyang Jaraksa yang masih ada hubungan saudara dengan dirinya. Juga tentang perkawinan Eyang Jaraksa terdahulu, di mana istri pertamanya telah berbuat serong sehingga menghasilkan seorang anak perempuan. Siapa lagi kalau bukan Wiranti, si Purmita palsu.

“Siapa pun dia, yang penting kalian harus secepatnya meninggalkan tempat ini,” tegas Rangga.

Suryadana memondong tubuh Purmita asli. Mereka bergegas keluar dari kamar berdinding papan halus yang tidak begitu besar ukurannya ini. Di luar pondok. Pandan Wangi sudah menunggu. Gadis itu bergegas menghampiri Rangga yang melangkah paling depan.

“Dia sudah kembali?” tanya Rangga.

“Kulihat dia menyeberang jurang tadi,” Pandan Wangi memberi tahu.

“Hm.... Dia pasti ke padepokan,” gumam Rangga.

“Aku pergi duluan. Kalian langsung saja ke padepokan.”

Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

“Ayo, Paman, Arini. Aku sudah buat jembatan bambu di sebelah sana. Biar lebih mudah melewatinya,” ajak Pandan Wangi seraya memberi tahu.

“Ayolah.... Lebih cepat sampai, lebih baik,” sahut Suryadana, tetap memondong Purmita asli.

Tanpa bicara lagi, mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi berada di depan, menunjukkan jalan tempat jembatan bambu yang telah dibuatnya untuk menyeberangi jurang.

Sementara itu di Padepokan Tongkat Putih, kekacauan sedang terjadi. Eyang Jaraksa mendapati mayat-mayat muridnya bergelimpangan di mana-mana. Dan begitu keluar, tampak lima orang muridnya tengah bertarung sengit melawan seseorang yang berkelebatan cepat menghajar mereka. Jeritan-jeritan panjang terdengar melengking saling susul.

Dan begitu kaki Eyang Jaraksa menjejak halaman, kelima muridnya sudah bergelimpangan dengan tubuh bersimbah darah. Kedua bola mata laki-laki tua itu jadi terbeliak, begitu mengenali orang yang telah membantai habis murid-muridnya. Eyang Jaraksa hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri!

“Purmita..., apa yang kau lakukan ini...?” agak bergetar suara Eyang Jaraksa.

“Membalas perlakuanmu terhadap ibuku!” desis Purmita dingin

“Purmita..., kau sadar apa yang kau ucapkan?”

“Kau pikir aku sudah gila, Tua Bangka! Kau rusak wajah ibuku, lalu kau campakkan seperti sampah busuk tak berguna!”

“Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?” Eyang Jaraksa tersentak kaget

Laki-laki tua itu langsung teringat istri pertamanya. Seketika dipandanginya gadis yang berdiri di depannya dengan pedang tergenggam berlumuran darah. Sedangkan perlahan-lahan gadis itu mengangkat tangan kirinya ke muka, lalu....

Rrrt..!

Bola mata Eyang Jaraksa semakin terbeliak, begitu menyaksikan Purmita merobek kulit wajahnya sendiri. Dan kini, timbul wajah lain yang sama sekali beda dengan wajah Purmita. Wajah seorang gadis yang mengingatkan Eyang Jaraksa pada istrinya dulu. Wajah Nyai Kalamurti.

“Kau...?” suara Eyang Jaraksa terputus.

“Aku Wiranti, putri tunggal Nyai Kalamurti. Sudah saatnya kau harus membayar hutang-hutangmu pada ibuku, Eyang Jaraksa,” ujar Wiranti yang kini sudah berubah pada wajah aslinya.

Eyang Jaraksa tidak sempat lagi mengucapkan sesuatu, karena Wiranti sudah melompat cepat menerjangnya sambil mengebutkan pedang.

“Hiyaaat..!”
Bet!
Bet!
“Hait..!”

Eyang Jaraksa cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran beberapa kali. Manis sekali kakinya kembali mendarat begitu berhasil mengelakkan serangan gadis itu. Namun Wiranti rupanya tidak akan memberi kesempatan pada laki-laki tua berjubah putih ini untuk mengatur serangan. Dengan cepat kembali diberikannya serangan dahsyat dan berbahaya sekali.

Terpaksa Eyang Jaraksa bertimpangan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu. Pedang yang berlumuran darah itu berkelebatan di sekitar tubuhnya. Akibatnya, Eyang Jaraksa jadi kelabakan menghindarinya. Dan begitu memiliki kesempatan, dia cepat melompat mundur untuk keluar dari lingkaran serangan Wiranti.

“Gila...! Jurus-jurus dari kitabku yang hilang telah dikuasainya dengan sempurna,” dengus Eyang Jaraksa dalam hati, langsung mengenali jurus-jurus yang digunakan Wiranti. “Betapa bodohnya aku, karena telah menyepelekan kitab-kitab yang hilang itu!”

“Kau tidak akan lolos dari tanganku, Eyang Jaraksa! Semua anakmu sudah ada di tanganku!” dengus Wiranti.

“Keparat..! Apa yang kau lakukan pada anakku?” geram Eyang Jaraksa jadi memuncak amarahnya.

“Membantu mereka ke neraka.”

“Setan...! Kubunuh kau, hiyaaat..!”

Eyang Jaraksa tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya mendengar kata-kata Wiranti barusan. Bagaikan kilat tubuhnya melesat cepat dan melontarkan dua pukulan keras bertenaga dalam tinggi secara beruntun. Namun manis sekali Wiranti meliukkan tubuhnya, menghindari serangan laki-laki tua berjubah putih ini. Bahkan tanpa diduga sama sekali, mampu membalas dengan mengebutkan pedangnya.

Wuk!

“Hih!”

Tongkat putih Eyang Jaraksa cepat menangkis tebasan pedang itu.

Trang!

“Heh...?! “

Wiranti terkejut, karena tangannya terasa bergetar saat pedangnya beradu dengan tongkat kakek itu. Dan belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja Eyang Jaraksa sudah kembali menebaskan tongkatnya ke arah dada gadis itu.

Bet!

“Uts!”

Wiranti sudah berusaha cepat menghindar, namun sama sekali tidak menduga kalau Eyang Jaraksa dapat menghentikan arus tebasan tongkatnya. Bahkan cepat sekali berputar menusuk ke arah dadanya. Wiranti tersentak kaget, lalu buru-buru menarik tubuhnya ke samping.

Wus!

Tongkat Eyang Jaraksa lewat di depan dadanya. Dan sebelum Wiranti bisa menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja tongkat putih di tangan kiri laki-laki tua itu sudah dikebutkan dengan cepat

Tak!

“Hih...!” Wiranti tersentak kaget

Pedang gadis itu terpental ke udara, namun cepat dikejarnya. Dan pada saat Wiranti berhasil meraih gagang pedangnya di udara, Eyang Jaraksa sudah melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras ke dada gadis itu.

Begkh!

“Akh...!” Wiranti terpekik keras.

Gadis itu terpental deras ke belakang, namun berhasil menguasai diri sebelum mendarat di tanah. Bersamaan dengan itu, di depannya juga mendarat Eyang Jaraksa.

“Setan...,” desis Wiranti.

“Semuanya sudah berakhir, Wiranti. Semua jurus-jurus yang kau miliki sudah kuketahui,” tegas Eyang Jaraksa, agak dalam nada suaranya.

“Phuih!” dengus Wiranti sambil menyemburkan ludahnya. Belum sempat Wiranti melakukan sesuatu, Eyang Jaraksa sudah kembali menyerang. Tongkat putihnya berkelebatan cepat mengurung tubuh gadis itu. Membuat Wiranti harus jumpalitan menghindar.

“Hiyaaa...!”

Satu sabetan tongkat yang cepat membuat Wiranti jadi terperangah. Cepat pedangnya dikebutkan, menangkis tongkat Eyang Jaraksa. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, satu tendangan menggeledek dilepaskan laki-laki tua itu.

Des!

“Akh...!” Wiranti terpekik keras. Di saat gadis itu terpental ke belakang, Eyang Jaraksa sudah menusukkan ujung tongkatnya yang runcing. Begitu cepatnya tusukan itu, sehingga Wiranti tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Crab!

“Aaa ...!”

Wiranti langsung ambruk menggelepar. Darah mengalir keluar dari dada yang tertembus ujung tongkat yang runcing hingga ke punggung. Sebentar gadis itu mengerang. Kemudian mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Eyang Jaraksa menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

Pada saat itu Rangga tiba di tempat halaman padepokan. Dan tak lama kemudian, Suryadana, Pandan Wangi, Arini, dan Purmita yang sudah sadar dari pingsannya tiba pula di tempat itu.

“Ayah...!” teriak Arini dan Purmita bersamaan.

“Oh, Anakku...,” desah Eyang Jaraksa seraya memeluk hangat kedua putrinya.

“Oh, semua murid-muridmu telah tewas, Ayah!” teriak Arini kaget, ketika melihat banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitar halaman padepokan.

“Mereka telah menunjukkan pengabdian yang tulus. Aku benar-benar bahagia. Terlebih lagi, melihat kalian selamat, tak kurang satu apa pun juga,” ujar Eyang Jaraksa.

“Tapi aku lapar, Ayah...,” rengek Purmita manja.

“Eh...?!” Eyang Jaraksa memandangi putri sulungnya ini.

Sebentar kemudian, laki-laki tua itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sungguh anak sulungnya ini hampir terlupakan. Memang, Purmita kelihatan pucat dan kurus. Mungkin selama menjadi tawanan Wiranti tidak pernah mendapat makan. Atau barangkali makanan yang disediakan tidak enak dan tidak mengundang selera. Sedangkan Rangga, Pandan Wangi, Arini, dan Suryadana hanya tersenyum saja.

TAMAT

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar