Postingan

SATU
LOLONGAN anjing menggema memecah kesunyian dan keheningan malam. Angin bertiup kencang menaburkan hawa dingin menggigilkan tulang. Suasana malam ini begitu mencekam. Apalagi saat itu hujan jatuhnya rintik-rintik menyirami seluruh permukaan Gunung Palang Sewu. Hanya ada satu perkampungan di lereng gunung itu. Keadaannya sunyi, bagai sebuah perkampungan mati.

Tapi dari kerlipnya pelita di tiap-tiap rumah, menandakan kalau desa itu masih berpenghuni. Suara kentongan peronda malam menghalau kesunyian yang menyelimuti seluruh perkampungan itu. Terlihat dua orang laki-laki berjalan menyusuri jalan tanah Desa Palang Sewu itu.

"Huh! Sial tuh si Saprin. Pura-pura encoknya kambuh!" salah seorang yang memukul kentongan dari bambu menggerutu.

"Ah..., paling-paling juga lagi tandang ke rumah janda di ujung jalan sana," seorang lagi menimpali.

"Ha ha ha...!"

"Kenapa, tertawa?"

"Lucu."

"Apanya yang lucu?"

"Saprin itu kan orangnya gendut, tua, jelek lagi. Mana mungkin Katila mau sama orang macam si Saprin itu? Mendingan juga sama aku! Masih bujangan, wajah..., tidak begitu jelek. Punya mainan lagi!"

"Lalu, kenapa kau kaitkan dengan masalah ini?" tanya Wandara. "Lagakmu, Rin.... Baru lihat kerbau ngamuk saja sudah lari paling dulu."

"Eee ... ! Kamu mau coba, Dut!" Birin jadi gusar.

Endut hanya cengar-cengir saja. Bukannya tidak berani, tapi dia tidak suka ribut dengan teman sendiri. Apalagi dalam tugas ronda yang hanya berdua saja malam ini. Kalau ribut, bisa-bisa harus meronda sendiri. Endut tidak bisa membayangkan, jika harus berada di luar rumah malam-malam sendirian. Lebih baik mengalah, daripada meronda sendirian keliling desa.

Tidak terasa mereka berkeliling sudah hampir ke ujung jalan desa. Secara bersamaan, mereka berhenti melangkah tepat di depan sebuah rumah yang kecil, namun terlihat indah. Halaman rumah itu dipenuhi berbagai macam tanaman kembang. Sesaat kedua peronda itu saling berpandangan. Rumah itu kelihatan terang oleh pelita yang berada di setiap sudut.

"Katila belum tidur, Dut," kata Birin setengah berbisik.

"Biar sajalah! Yuk, jalan lagi," sahut Endut.

"Eh, tunggu dulu. Siapa tahu ada laki-laki di dalam sana. Kan bisa buat hiburan macam ini, Dut," Birin menarik tangan temannya.

"Jangan cari gara-gara, ah!" Endut menolak.

Birin tidak peduli, lalu melangkah mendekati rumah itu. Sedangkan Endut jadi serba salah. Ingin melarang, tapi temannya sudah demikian dekat dengan rumah itu. Endut mengayunkan kakinya mengikuti Birin yang telah sampai di bawah sebuah jendela kayu.

"Ssst...!" Birin menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri.

Endut merundukkan kepalanya di belakang Birin. Entah kenapa, Endut merasakan jantungnya jadi berdetak lebih kencang dari biasanya. Sementara Birin mulai menjulurkan kepalanya, mengintip dari celah-celah daun jendela kayu itu.

"Rin...," suara Endut terdengar berbisik.

"Ssst, diam. Aku belum lihat apa-apa," kata Birin.

"Rin...," suara Endut agak keras.

"Ada apa sih?!" Birin jadi kesal.

Dan begitu Birin menolehkan kepalanya, matanya langsung membeliak lebar dan mulutnya ternganga. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Keringat sebesar butiran jagung langsung menitik membasahi wajah dan lehernya.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, tiba-tiba saja kedua peronda itu mengejang kaku, lalu tubuhnya melorot turun. Dan begitu tubuhnya menyentuh tanah, darah mengucur dari leher. Mereka langsung tewas tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Saat itu sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambar kedua tubuh peronda itu, dan segera lenyap bagaikan hilang saja.

Tak ada yang menyaksikan. Semua berlangsung cepat tanpa terdengar suara sedikit pun. Suasana malam itu tetap sunyi. Desir angin terdengar kencang membawa rintik air hujan, membuat udara semakin menggigilkan. Lolongan anjing tidak lagi terdengar, sementara hujan pun tumpah dengan deras, bagaikan bendungan jebol terlanda badai.

***

Seluruh penduduk Desa Palang Sewu gempar. Mereka menemukan dua, mayat peronda malam tergeletak di tengah jalan dengan leher hampir putus. Darah bersimbah, bercampur genangan air hujan dan tanah berlumpur. Ki Ageng Sela, orang tertua sekaligus sesepuh desa memerintahkan penduduk untuk mengurus kedua mayat peronda itu.

Pagi itu juga, seluruh penduduk menguburkan mayat kedua peronda malang itu. Sementara Ki Ageng Sela, dan beberapa sesepuh Desa Palang Sewu berkumpul di rumah kepala desa. Tentu saja pembicaraan mereka terpusat pada dua orang peronda yang ditemukan sudah menjadi mayat dengan leher terkoyak hampir putus.

"Ini kejadian pertama setelah sepuluh tahun desa ini tenteram dan damai," kata Ki Ageng Sela.

"Apakah hanya mereka berdua, saja yang meronda semalam?" tanya seorang laki-laki tua berbaju hijau yang duduk di samping Ki Petel, Kepala Desa Palang Sewu.

"Sebenarnya tiga orang, Paman Waku," sahut Ki Petel. "Tapi yang seorang memang sudah meminta ijin. Penyakit encoknya kambuh! Istrinya yang datang padaku."

"Aku merasakan ini awal dari malapetaka... gumam Ki Ageng Sela, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.

Ki Petel, Paman Waku, dan tiga orang sesepuh desa lainnya memandang dalam-dalam pada orang yang tertua di Desa Palang Sewu ini. Sedangkan Ki Ageng Sela mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih. Dia seperti tidak peduli dengan pandangan lima orang itu.

"Rasanya tidak mungkin kalau hanya seorang pencuri yang kepergok, lalu membunuh mereka. Aku tahu kalau Endut dan Birin mempunyai ilmu olah kanuragan, meskipun tidak begitu tinggi tingkatannya. Tapi mereka masih mampu menghadapi pencuri kecil," kata Ki Ageng Sela lagi, masih dengan suara bergumam.

"Maksud Ki Ageng?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun yang duduk di samping Ki Petel. Dia adalah Pranata, ketua padepokan yang hanya satu-satunya ada di Desa Palang Sewu ini.

"Pranata! Apa kau tidak melihat luka di leher mereka?" Ki Ageng Sela batik bertanya dengan menatap Pranata.

"Lihat, Ki," sahut Pranata.

"Bagaimana menurutmu?"

Pranata tidak segera menjawab. Dia memang melihat luka yang hampir memutuskan leher kedua peronda malang itu. Luka tebasan senjata tajam yang cukup rapi. Dan lagi, tampaknya hanya sekali tebas yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Dia seorang ketua padepokan, jadi tentunya bisa mengenali jenis-jenis luka akibat senjata tajam.

"Seorang yang berilmu rendah, tidak mungkin dapat membuat tebasan begitu rapi dan sempurna. Aku yakin, pelakunya seorang yang berilmu tinggi dan punya maksud tertentu," sambung Ki Ageng Sela.

"Aku juga sudah menduga begitu, Ki. Tapi... apa maksudnya membunuh dua orang peronda? Sedangkan tidak ada seorang pun penduduk yang melaporkan adanya kecurian. Tidak ada perampokan atau pencurian semalam," sambut Pranata.

"Itu berarti desa kita kemasukan seorang tokoh hitam rimba persilatan," selak Paman Waku.

"Terlalu dini kalau menyimpulkan sampai ke situ, Waku," bantah Ki Ageng Sela.

"Sudah jelas, Ki. Dan orang itu pasti punya maksud tertentu di sini!" Paman Waku tetap pada pendiriannya...

"Sebentar ... !" seru Ki Petel tiba-tiba.

Semua orang yang ada di ruangan rumah kepala desa itu. memandang Ki Petel. Sedangkan kepala desa itu malah bangkit berdiri dan melangkah mendekati jendela. Tampaknya sedang berpikir, atau mengingat ingat sesuatu. Agak lama juga laki-laki setengah baya itu diam memandang keluar dari jendela besar yang terbuka lebar. Perlahan-lahan dibalikkan tubuhnya, dan dipandangi lima orang tetua desa itu satu persatu.

"Aku baru menjabat kepala desa tiga tahun yang lalu. Tapi aku tahu persis keadaan Desa Palang Sewu, karena sejak lahir aku sudah berada di sini. Selama sepuluh tahun terakhir ini, Desa Palang Sewu memang terlihat aman dan damai. Tidak ada satu pun kejahatan yang terjadi. Tapi sekarang kita dihadapkan pada satu persoalan dengan terbunuhnya dua orang peronda malam secara misterius...," Ki Petel terdiam beberapa saat.

Sementara lima orang tetua desa, menunggu kelanjutannya dengan sabar. Mereka menyimak setiap kata yang diucapkan kepala desa itu. Mereka menduga-duga, ke mana arah tujuan pembicaraan Ki Petel sebenarnya.

"Sepuluh tahun yang lalu, pernah terjadi peristiwa yang tidak akan dapat kulupakan. Tentunya saudara-saudara semua tidak akan melupakannya," sambung Ki Petel.

"Rasanya tidak ada hubungannya, Ki Petel, " selak Paman Waku, mulai mengerti arah pembicaraan kepala desa itu.

"Paman Waku! Tidak sedikit saudara-saudara kita yang tewas saat itu. Bahkan ayahku, kakakku, dan teman-teman baikku ikut tewas. Masih untung aku bisa selamat, seperti kalian juga yang masih bisa bernapas sampai saat ini," kata Ki Petel lagi.

"Apa maksud pembicaraanmu sebenarnya?" tanya Ki Ageng Sela kurang tanggap.

"Waktu itu, kita semua terlalu yakin kalau perempuan iblis itu sudah mati di dasar jurang. Begitu yakinnya, sehingga tidak ada yang memeriksa ke dasar jurang," kata Ki Petel.

"Adik Petel! Semua orang tahu kalau Nyai Dadap sudah tewas sebelum masuk ke dalam jurang. Tidak mungkin dia bisa bertahan hidup setelah terkena aji 'Walang Sungsang'ku, ditambah tusukan Tombak Sangkal Putung milik Pranata," bantah Ki Ageng Sela.

"Nyai Dadap masuk ke jurang juga akibat dari pukulan 'Tapak Sakti択u," sambung Wandara yang sejak tadi diam saja.

"Aku tahu. Bahkan juga kutambahkan dengan aji 'Belah Raga'," selak Ki Petel. "Sedangkan Nyi Senah sendiri menambahkannya dengan pukulan 'Racun Merah' yang terkenal ganasnya."

Ki Petel melirik satu-satunya wanita tua sesepuh di desa ini. Nyi Senah hanya tersenyum saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Bisa saja Nyai Dadap tidak tewas, dan sekarang datang untuk membalas dendam!" Ki Petel mengemukakan alasan praduganya.

"Mustahil...!"

Memang tidak ada yang sepakat dengan jalan pikiran Ki Petel. Bagaimanapun tangguhnya seseorang, tidak mungkin akan bertahan hidup setelah menerima berbagai macam ilmu kesaktian dan pukulan maut di tubuhnya. Kemudian ditambah dengan terjatuhnya orang itu ke jurang yang amat dalam.

Lima orang tetua Desa Palang Sewu menganggap Ki Petel dipengaruhi perasaan khawatir yang amat sangat, sehingga mempunyai dugaan yang tidak masuk akal itu. Atau mungkin ada alasan-alasan tertentu yang tidak diketahui mereka, sehingga Kepala Desa Palang Sewu itu mempunyai pemikiran yang dirasakan sangat mustahil.

Ki Petel masih berdiri membelakangi jendela, meskipun lima orang sesepuh Desa Palang Sewu sudah meninggalkan rumahnya. Meskipun tidak ada yang menanggapi jalan pemikirannya, tapi Ki Petel masih juga memikirkan kemungkinan Nyai Dadap masih hidup. Dan semalam muncul lagi dengan menewaskan due peronda.

"Kau terlalu bodoh mengungkapkan dugaan itu, Kakang!"

"Eh!" Ki Petel tersentak dari lamunannya. Langsung diangkat kepalanya.

Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun tahu-tahu sudah berdiri di depan Ki Petel. Kepala desa itu menarik napas panjang, kemudian duduk di kursi yang tidak jauh di samping kanannya. Wanita yang ternyata adalah istri Ki Petel itu mengambil tempat di sampingnya.

"Kudengar semua pembicaraan tadi, Kakang. Terus terang, aku juga tidak mengerti, mengapa kau punya pikiran semacam itu? Mustahil Nyai Dadap masih bisa, hidup," kata Nyai Petel.

"Justru keyakinan itu yang membuat keraguan di hatiku, Nyai. Keyakinan yang tebal dapat membuat kelengahan, dan akibatnya sangat fatal. Kita semua sudah lengah karena terlalu yakin, sampai-sampai tidak melihat lagi, apakah Nyai Dadap sudah mati atau masih hidup," kata Ki Petel mengemukakan pendapatnya.

"Kalau Kakang ragu-ragu, kenapa waktu itu tidak memeriksa sendiri?"

"Aku juga terlalu yakin waktu itu, Nyai. Tapi dengan kejadian semalam, keyakinanku luntur."

"Jangan terlalu terpusat pada Nyai Dadap Kakang."

"Sejak kematian Nyai Dadap, tidak ada lagi kejadian menggemparkan di desa ini. Bahkan kejahatan kecil saja tidak pernah kujumpai. Rasanya mustahil kalau ada orang lain yang mencari keributan di sini tanpa punya alasan yang pasti. Desa Palang Sewu ini terlalu kuat untuk dijamah gerombolan perampok kejam sekalipun. Hanya orang seperti Nyai Dadaplah yang mampu mengusik lelapnya desa ini. Terlalu banyak orang tangguh berilmu tinggi di sini. Seorang tokoh hitam rimba persilatan saja harus berpikir seribu kali untuk menjarah di sini."

"Tapi kenyataannya dua orang peronda tewas semalam."

"Itulah yang menjadi masalahnya. Luka yang menewaskan mereka terlalu rapi, dan mustahil yang melakukannya hanya seorang pencuri kecil. Birin dan Endut bukan orang kosong. Mereka memiliki ilmu olah kanuragan yang lumayan. Mustahil kalau mereka tidak mengadakan perlawanan sama sekali, sehingga dengan mudah ditewaskan"

Nyai Petel diam. Dia bangkit berdiri, tidak ingin lagi memperpanjang pembicaraan ini. Dia tahu watak suaminya yang terlalu kuat kalau punya pendirian. Sulit untuk dirubah kembali. Seribu macam bantahan tidak akan bisa menggoyahkan pendiriannya.

"Mau kopi?" Nyai Petel menawarkan.

"Boleh..."

"Aku yang buat, atau anakmu?"

"Kau sajalah! Sudah lama aku tidak menikmati kopi buatanmu."

Nyai Petel tersenyum mencibir, kemudian melangkah masuk ke ruangan belakang. Sementara Ki Petel masih duduk di kursinya. Pandangannya tidak berkedip menatap keluar melalui pintu depan rumahnya.

Beberapa orang terlihat lalu-lalang di depan rumahnya. Namun pikiran kepala desa itu masih tetap terpusat pada kejadian yang menggemparkan semalam.

***
DUA
Siang itu udara di sekitar Desa Palang Sewu terasa hangat. Matahari bersinar cerah dengan sedikit awan tipis menggantung di langit. Keadaan desa Lereng Gunung Palang Sewu itu kelihatan tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Orang-orang tua bekerja di ladang seperti biasanya, sedangkan anak-anak bermain ceria.

Di sebuah kedai yang cukup besar, tampak ramai dikunjungi orang. Meskipun mereka semua kelihatan cerah, namun pembicaraan yang terdengar tidak jauh berkisar dari tewasnya dua peronda malang semalam. Tapi di wajah mereka tidak tercermin perasaan takut atau segala macam kecemasan. Mereka bicara seperti tidak mempunyai beban sama sekali.

Namun pembicaraan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki berusia hampir mencapai tujuh puluh tahun masuk ke kedai itu. Dilihat dari cara berpakaian dan caranya memandang, tidak disangkal lagi kalau kedua laki-laki itu tokoh rimba persilatan.

Kedua laki-laki tua yang Baru masuk itu duduk di kursi dekat jendela. Mereka membuka caping besar yang menutupi kepalanya. Tampak dengan jelas kalau wajah mereka begitu mirip. Pengunjung kedai lainnya. Yang memperhatikan, segera mengalihkan pandangannya. Mereka semua tahu kalau dua orang kembar itu dari kalangan rimba persilatan golongan hitam, yang dikenal dengan nama Kera Kembar dari Karang Setan.

"Pelayan!" seru salah seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah merah.

Seorang laki-laki muda datang menghampiri terbungkuk-bungkuk. Dibungkukkan tubuhnya beberapa kali setelah sampai di depan kedua laki-laki yang berjuluk Kera Kembar dari Karang Setan itu.

"Kenapa baru datang?" bentak laki-laki tua yang memakai jubah merah itu. Dia dikenal dengan nama Kera Merah. Sedangkan yang seorang lagi memakai jubah warna biru. Namanya. Kera Biru. Dan yang pasti, itu bukan nama asli mereka berdua. Tidak ada yang tahu siapa nama asli mereka berdua.

"Maaf, Tuan. Hari ini banyak pengunjung, jadi harus sabar menunggu," sahut laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.

"Aku tidak peduli dengan cacing-cacing! Cepat sediakan makanan dan minuman terbaikmu!" bentak Kera Merah keras.

"Baik..., baik, Tuan."

"Cepat!"

"Trak!

Si Kera Merah menggebrak meja di depannya. Akibatnya cawan dan kendi di atas meja itu terpental ke atas, lalu terbanting pecah di lantai. Semua orang yang berada di dalam kedai itu terkejut, langsung menatap tidak senang ke arah dua laki-laki tua itu. Namun. si Kera Kembar dari Karang Setan tidak memperdulikannya. Sedangkan pelayan tadi bergegas meninggalkannya dengan sikap ketakutan.

"Tamu adalah raja. Tapi raja yang tidak sopan, tidak patut mendapat layanan istimewa," terdengar suara bergumam.

Semua orang di dalam kedai itu tersentak kaget. Suara gumaman itu demikian jelas terdengar seolah-olah datang dari segala sudut ruangan kedai ini. Lebih-lebih lagi si Kera Kembar dari Karang Setan. Mereka begitu tersentak kaget, karena suara gumaman bertenaga dalam itu jelas ditujukan kepadanya.

"Kakang Kera Merah! Rupanya di kedai ini ada juga tikus busuk yang mengganggu selera makan kita," kata si Kera Biru setengah bergumam. Namun suaranya terdengar menggema, karena disalurkan melalui pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

Menyadari suasana yang semakin tidak menguntungkan, beberapa orang pengunjung kedai mulai meninggalkan meja mereka. Sedangkan para pelayan kedai itu, menyembunyikan diri di balik dinding yang memisahkan ruangan makan itu dengan bagian belakang. Satu persatu pengunjung kedai meninggalkan tempatnya.

Kini di dalam kedai itu tinggal si Kera Kembar dari Karang Setan, lalu seorang perempuan lanjut usia berbaju kuning gading yang longgar, dan seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih dengan pedang di punggung.

Tidak jauh dari pemuda tampan itu, ada tiga, orang lagi yang kelihatannya juga dari kalangan rimba persilatan, terlihat seorang pemuda perlente yang mengenakan baju dari bahan sutra halus dengan sulaman benang emas. Di sampingnya duduk seorang wanita cantik mengenakan baju warna biru ketat, dengan rambut panjang terikat menyampir di pundak.

"Hhh ... ! Aku tidak suka suasana seperti ini. Sebaiknya kita pergi saja, Kakang," terdengar suara mengeluh.

Seorang dari tiga orang yang duduk satu meja, bangkit berdiri, kemudian dua orang lainnya ikut berdiri. Sejenak mereka menatap orang-orang yang masih duduk di tempatnya masing-masing. Tanga banyak bicara lagi, ketiga orang itu melangkah keluar setelah meninggalkan beberapa, keping uang logam di atas meja. Tidak lama berselang, pasangan muda-mudi pun bangkit dan meninggalkan kedai ini.

"Tinggal dua orang lagi, Kakang Kera Merah," gumam Kera Biru.

"Ya. Dan sepertinya suara perempuan," sahut Kera Merah.

Setelah berkata demikian, si Kera Merah langsung mengibaskan tangan kirinya ke arah perempuan tua yang memakai baju kuning gading. Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu sebuah gelas dari batang bambu telah melayang cepat ke arah perempuan tua itu.

Sat!
Tap!

Hanya dengan mengangkat tangannya sedikit saja, gelas itu berhasil ditangkap perempuan tua itu. Dia tersenyum dan melirik pada si Kera Kembar dari Karang Setan, kemudian menenggak arak di dalam gelas itu.

"Terima kasih," ucapnya pelan. "Kalau boleh, aku minta lagi. Hih!"

Gelas di tangannya langsung melesat begitu tangannya berkibas ringan. Gelas itu meluncur deras ke arah si Kera Merah. Tentu saja si Kera Kembar dari Karang Setan itu terkejut. Kera Merah buru-buru mengangkat tangannya, dan menangkap gelas itu. Namun tanpa diduga sama sekali, tubuhnya terdorong keras ke belakang hingga jatuh terguling dari kursi yang didudukinya.

"Setan...!" umpat Kera Merah seraya melompat bangkit.

Suasana di dalam kedai itu semakin terasa panas. Si Kera Kembar dari Karang Setan segera berdiri tegak berdampingan. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke arah perempuan tua berbaju kuning gading itu. Sementara pemuda berbaju rompi putih, masih tetap duduk sambil menikmati araknya, seolah-olah tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya.

"Perempuan busuk! Siapa kau?" bentak Kera Merah keras.

"Kau bertanya padaku, Kisanak?" perempuan tua itu balik bertanya. Nada suaranya kalem.

"Keparat! Kau tahu, sedang berhadapan dengan siapa, he?!" si Kera Merah semakin berang.

"Aku tahu, kalian adalah monyet-monyet tua yang hampir mampus," sahut perempuan tua berbaju kuning gading itu, suaranya tetap tenang.

"Bangsat...! Hiyaaa...!"

Si Kera Merah tidak dapat lagi membendung amarahnya. Dengan cepat dia melompat sambil mengirimkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah perempuan tua itu. Namun dengan manis sekali, perempuan tua berbaju kuning gading menggerakkan tubuhnya menghindari dua pukulan beruntun itu. Dia tetap duduk di kursinya. Dan tanpa diduga, sama sekali, tangan kanannya menyodok cepat ke perut si Kera Merah.

"Hugh!" Kera Merah melenguh pendek.

Dan selagi tubuhnya sedikit membungkuk, tangan kiri perempuan tua itu melayang menghantam wajah si Kera Merah. Seketika itu juga si Kera Merah terdongak, lalu terpental ke belakang beberapa tombak jauhnya. Sebuah meja langsung hancur berantakan tertimpa tubuhnya.

"Perempuan keparat! Sebutkan namamu, sebelum kukirim ke neraka!" bentak si Kera Biru.

"Hi hi hi...! Kalian tahu ini?" perempuan tua itu mengeluarkan sekuntum bunga melati dari balik lipatan bajunya.

"Dewi Melati...!" si Kera Kembar dari Karang Setan itu terkejut melihat sekuntum bunga di tangan perempuan tua itu.

"Sebaiknya enyah dari sini, sebelum aku bertindak lebih jauh!" kata Dewi Melati ketus.

Kedua laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi, mereka bergegas melangkah keluar dari kedai ini. Sedangkan Dewi Melati segera mengalihkan pandangannya pada pemuda tampan yang duduk tidak jauh darinya.

"Kau tidak pergi, Anak Muda?" tanya Dewi Melati berubah lembut suaranya.

"Makanku belum selesai," jawab pemuda itu tanpa mengangkat wajahnya.

"Aku sedang menunggu seseorang di sini. Jika tidak keberatan, aku tidak ingin ada seorang pun di kedai ini," kata Dewi Melati.

Suara perempuan tua itu terdengar lembut, namun nadanya jelas tidak menghendaki kehadiran pemuda itu di kedai ini. Namun pemuda berbaju rompi putih itu tetap saja duduk menikmati hidangannya, sama sekali tidak mempedulikan pengusiran secara halus itu.

"Anak Muda, kau bisa mendengar kata-kataku, bukan?" nada suara Dewi Melati terdengar ketus tidak sabaran.

"Dengar," sahut pemuda itu singkat dan tenang. "Mengapa tidak segera angkat kaki dari sini?"

"Maaf, aku juga sedang menunggu seseorang di sini."

"Anak Muda! Jangan menunggu kesabaranku habis!" bentak Dewi Melati mulai berang.

"Semua orang bisa sabar, juga bisa berang. Maaf, aku tidak ingin selera makanku terganggu," kata pemuda itu tetap tenang suaranya.

"Keparat! Kau tidak memandangku, heh?!" Dewi Melati semakin berang.

"Kita sama-sama membutuhkan kedai ini. Kau menikmati makanmu sambil menunggu seseorang, dan aku pun begitu. Kenapa mesti mengusik satu sama lainnya? Aku tidak merasa terganggu meskipun kau ada di sini," kata pemuda itu sambil mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung tertuju pada Dewi Melati.

"Kau hanya beralasan saja, Anak Muda!" dengus Dewi Melati.

"Sama sekali tidak, kalau benar desa ini bernama Desa Palang Sewu," sahut pemuda itu tetap tenang.

Dewi Melati mengernyitkan alisnya. Kata-kata pemuda tampan berbaju rompi putih itu demikian tenang, dan nada suaranya juga tidak main-main. Perempuan tua itu memperhatikan dalam-dalam wajah pemuda itu. Pandangannya terpaku pada gagang pedang yang menonjol keluar dari balik punggung pemuda di, depannya.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Dewi Melati tanpa berkedip memandang pedang di punggung pemuda itu.

"Untuk apa kau tahu namaku?" pemuda itu balik bertanya.

"Kau angkuh juga rupanya, Anak Muda. Baiklah, Mungkin dengan cara lain aku bisa mengetahui siapa dirimu, dan sekaligus mengusirmu dari sini," kata Dewi Melati dingin.

Setelah berkata demikian, Dewi Melati menjentikkan ujung jarinya yang menjepit sekuntum bunga melati. Bunga itu meluncur deras ke arah pemuda berbaju rompi putih itu. Hanya sedikit saja memiringkan tubuh, dan mengangkat tangan kirinya, bunga melati itu berhasil dijepit dengan dua jari tangan pemuda itu.

Namun belum juga pemuda itu sempat menarik kembali tubuhnya, Dewi Melati sudah melontarkan pukulan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Mau tidak mau pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara, lalu berputar dua kali sebelum kakinya dengan manis hinggap di atas meja. Dan seketika itu juga, tangan kirinya mengibas melontarkan bunga melati yang berhasil ditangkapnya dengan dua jari tadi.

"Hup!

Dewi Melati melompat ke samping, seraya tangannya menjulur menangkap bunganya sendiri. Secepat kilat dia melesat menerjang pemuda itu. Dewi Melati langsung menyerang dengan jurus-jurus sangat dahsyat dan berbahaya. Pemuda itu menghadapinya de-ngan jurus-jurus dahsyatnya pula. Seluruh isi kedai itu seketika porak-poranda terlanda dua tokoh rimba persilatan yang bertarung dahsyat.

"Cukup ... !" seru Dewi Melati sambil melesat ke belakang.

"Kenapa berhenti?" dengus pemuda itu.

"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Kutunggu kau di Puncak Gunung Palang Sewu."

Dewi Melati segera melesat cepat meninggalkan kedai itu. Sedangkan pemuda itu hanya bengong tidak mengerti. Sementara bayangan tubuh Dewi Melati sudah lenyap, tidak terlihat lagi. Lesatannya bagaikan kilat, pertanda memiliki kepandaian yang tidak rendah tingkatannya.

Pemuda tampan berbaju rompi putih itu melemparkan sekantung uang, kemudian segera melesat pergi. Para pelayan dan pemilik kedai bergegas keluar dari persembunyiannya. Mereka hanya bisa bengong melihat keadaan kedai yang berantakan, seperti baru saja diamuk gajah liar.

***

Puncak Gunung Palang Sewu tampak indah pada senja hari ini. Matahari yang hampir tenggelam, memantulkan cahayanya yang merah jingga. Namun di balik semua keindahan itu, tersimpan sejuta misteri yang tak pernah terungkapkan.

Suasana yang tersaput tirai misteri itu terasa sekali bagi seorang pemuda berbaju rompi putih yang baru tiba di Puncak Gunung Palang Sewu itu. Dia berdiri tegak memandang ke arah matahari terbenam. Kesunyian begitu mencekam, bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Hanya desiran angin senja saja yang terasa dingin menyapu kulit.

"Kau datang juga, Pendekar Rajawali Sakti...!"

"Heh!" pemuda berbaju rompi putih itu terkejut, langsung dibalikkan tubuhnya.

Seorang perempuan tua berbaju kuning gading tahu-tahu sudah berdiri di bawah pohon rindang, tidak jauh darinya. Pemuda itu tahu, kalau perempuan tua itu adalah Dewi Melati yang dijumpainya di kedai siang tadi.

"Dari mana kau tahu namaku?" tanya pemuda berbaju rompi putih itu agak heran.

"Mudah sekali mengenalimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dari pedangmu yang sudah kuduga sebelumnya. Dan aku bertambah yakin setelah kau mengeluarkan dua dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'," sahut Dewi Melati.

"Hm..., kau sudah tahu siapa diriku. Lalu, apa maksudmu mengundangku ke sini?" tanya pemuda tampan itu yang memang tidak lain dari Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau bisa paham kata-kataku di kedai tadi?" Dewi Melati malah balik bertanya.

"Aku tidak percaya kau yang mengundangku ke Desa Palang Sewu," sahut Rangga.

"Kau terima undanganku?"

"Ya. Tapi sayang sekali, orang yang kau kirim tewas."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu, apa sebabnya. Tapi yang jelas dia bertarung dengan seorang wanita. Dia terluka parah, tapi sempat memberikan undangan yang kau titipkan untukku. Maaf. Aku terlambat menolongnya, sehingga nyawanya tidak bisa tertolong lagi," jelas Rangga.

"Ah, sudahlah. Yang penting kau sudah memenuhi undanganku, Pendekar...

"Rangga. Panggil saja aku Rangga," selak Rangga cepat.

"Baiklah. Namamu sangat bagus, Rangga."

"Terima kasih," ucap Rangga tersenyum. "Tapi jelaskanlah maksud undanganmu itu, Nini Dewi," kata Rangga mengingatkan pada pokok persoalannya.

"Rupanya kau termasuk orang yang tidak bisa menahan sabar juga, Rangga," kata Dewi Melati seraya duduk bersila di bawah pohon itu.

"Tergantung," sahut Rangga sambil ikut duduk di depan perempuan tua itu.

"Masih ada satu orang lagi yang akan datang ke sini," kata Dewi Melati kalem.

"Siapa?" tanya Rangga.

"Ki Petel, Kepala Desa Palang Sewu. Dia bukan orang lain bagiku. Dia adik seperguruanku. Kau tidak perlu menaruh curiga padanya, karena Ki Petel punya tujuan yang sama denganku," sahut Dewi Melati menjelaskan.

"Aku selalu curiga pada setiap orang. Maaf, juga padamu," sahut Rangga.

"Seorang pendekar besar dan ternama memang selalu mempunyai sikap seperti itu. Tidak heran lagi kalau kau mencurigaiku. Tapi itu tidak jadi masalah bagiku," balas Dewi Melati memaklumi.

Rangga tidak bicara lagi. Dari kata-kata yang diucapkan Dewi Melati, Rangga sudah bisa menilai kalau perempuan tua ini orang yang arif dan bijaksana. Tentunya dia sudah berpengalaman dalam dunia persilatan, sehingga bisa memaklumi segala tindak dan sikap orang-orang rimba persilatan.

Pada saat mereka tengah terdiam, terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka. Begitu kepala mereka menoleh, tampak seorang laki-laki berusia di atas lima puluh tahun melangkah keluar dari semak. Langkahnya bergegas, dan segera menghampiri dua orang yang tengah duduk di bawah pohon. Dia segera duduk di samping Dewi Melati. Keringat masih terlihat menitik di wajah dan lehernya.

"Kau datang terlambat, Ki Petel," kata Dewi Melati.

"Maaf, Nini Dewi. Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan. Kedai Paman Japur diobrak-abrik orang," sahut Ki Petel beralasan.

Dewi Melati hanya tersenyum saja, dan matanya sempat melirik pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Nini Dewi. Apakah dia yang kau undang?" tanya Ki Petel seraya menatap pada Rangga.

"Benar," sahut Dewi Melati.

"Sungguh tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda. Maaf, Tuan. Aku tidak sempat memberi penghormatan padamu," kata Ki Petel.

"Ah, sudahlah. Tidak perlu sungkan begitu", sambut Rangga merendah.

"Bagaimana? Apakah sudah kau ceritakan pada Tuan Pendekar ini, Nini Dewi?" tanya Ki Petel. "Belum," sahut Dewi Melati.

"Katakanlah, kalau tidak menunggu orang lain lagi," kata Rangga cepat-cepat.

"Tidak, hanya kita bertiga," sahut Dewi Melati.

"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas.

***
TIGA
"Sepuluh tahun yang lalu Desa Palang Sewu kedatangan seorang tokoh rimba persilatan yang sangat kejam dan telengas. Dia bernama Nyai Dadap... kata Dewi Melati memulai pada pokok persoalannya.

"Hm...," Rangga bergumam pelan dan tidak jelas. Pandangannya tidak berkedip menatap lurus pada wanita tua di depannya.

"Tidak sedikit para pendekar dan tokoh-tokoh ternama Desa Palang Sewu yang tewas di tangannya. Tapi kami semua tidak menyerah begitu saja. Kami bersatu dan menghadapi Nyai Dadap hingga ia tewas. di dasar jurang," sambung Dewi Melati.

"Lalu, apa hubungannya dengan undanganmu?" tanya Rangga.

"Belum lama ini dua orang peronda malam ditemukan tewas dengan leher koyak hampir putus. Padahal kejadian seperti itu tidak pernah ada setelah kematian Nyai Dadap. Aku dan Ki Petel mengambil kesimpulan yang sama, tapi seluruh tetua desa tidak ada yang mendukung," jelas Dewi Melati.

"Kesalahan kecil yang berakibat fatal... gumam Ki Petel yang sejak tadi diam saja.

"Maksudmu, Ki?" Rangga tidak mengerti.

"Kami semua terlalu yakin kalau Nyai Dadap tewas di dasar jurang, sehingga tidak lagi memeriksa mayatnya, ada atau tidak di sana," sahut Ki Petel.

"Hm..., jadi kalian menduga kalau Nyai Dadap masih hidup dan kini membalas kekalahannya, begitu?" tebak Rangga.

"Benar!" sahut Dewi Melati cepat.

"Tidakkah itu terlalu dini?"

"Aku dan Ki Petel tidak mungkin menyimpulkan begitu kalau tidak melihat luka di leher dua orang peronda yang malang itu. Lehernya koyak hampir putus, terbabat rapi dan sempurna. Juga pada tepian lukanya terdapat noda hitam kehijauan yang mirip tebasan senjata milik Nyai Dadap," jelas Dewi Melati.

"Maksudmu, senjata itu beracun?" Rangga ingin menegaskan.

"Benar," sahut Ki Petel.

"Hm..., terlalu banyak senjata beracun digunakan tokoh rimba persilatan. Bahkan rata-rata mempunyai ciri yang hampir sama pada setiap korbannya, meskipun racun yang digunakan berbeda. Tapi dalam hal ini, semua racun sebenarnya sama, meskipun berbeda jenis. Aku sendiri belum yakin benar dengan kesimpulan itu," kata Rangga membeberkan pengetahuannya tanpa maksud menggurui.

"Aku percaya, kau memang ahli dan kebal dari segala jenis racun, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku bisa membedakan akibat pedang beracun milik Nyai Dadap dengan orang lain," bantah Ki Petel.

"Bukannya aku sangsi, tapi hanya tidak ingin mengambil kesimpulan atau memutuskan cepat-cepat sebelum mendapatkan bukti yang cukup," kata Rangga tegas.

Ki Petel ingin membantah lagi, tapi keburu dicegah oleh Dewi Melati. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sudah bangkit berdiri. Dia menjura memberi hormat, kemudian melangkah mundur dua tindak.

"Aku senang dengan pertemuan ini. Tapi maaf, aku tidak bisa lama-lama," kata Rangga sopan.

Dewi Melati membiarkan saja Pendekar Rajawali Sakti itu pergi. Sedangkan Ki Petel ingin mencegah, tapi Dewi Melati mencekal tangannya. Mereka juga berdiri dan memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Angkuh...!" dengus Ki Petel.

"Jangan salah duga, Ki Petel. Aku tahu, maksudnya baik, dan tidak ingin menyinggung perasaan kita," Dewi Melati menyabarkan.

"Aku sudah bilang, percuma saja mengundang dia! Tidak ada gunanya...!" dengus Ki Petel masih bersungut-sungut.

"Jangan berkata begitu, aku yakin Pendekar Rajawali Sakti punya cara sendiri."

"Terserah kau sajalah."

***

Malam itu Desa Palang Sewu kelihatan tidak seperti biasanya. Di tempat-tempat yang cukup gelap dan di jalan-jalan terlihat beberapa orang bersenjata membentuk kelompok dengan sikap berjaga-jaga. Mereka adalah murid-murid Padepokan Soka Palang Sewu yang diketuai oleh Pranata, dan rata-rata masih berusia muda.

Malam itu Pranata juga terlihat bersama beberapa orang di depan rumah Kepala Desa Palang Sewu. Mereka adalah Ki Ageng Sela, Wandara, dan Ki Petel. Tidak jauh dari mereka terlihat Paman Waku dan Nyi Senah bersama beberapa orang murid Pranata. Pembicaraan yang terdengar tidak jauh berkisar kejadian mengerikan malam itu.

"Aku lihat saudara seperguruanmu ada di sini siang tadi," kata Ki Ageng Sela menatap pada Ki Petel.

"Benar," sahut Ki Petel.

"Ke mana dia sekarang?" tanya Ki Ageng Sela.

"Ada, di rumah anaknya," sahut Ki Petel pelan. Nada suaranya terdengar kurang bergairah.

"Kau sudah menemuinya Ki Petel?" tanya Ki Ageng Sela lagi.

"Sudah.

"Dia tahu keadaan di sini?"

"Jangan menaruh kecurigaan, Ki Ageng!" dengus Ki Petel. Tatapan matanya tajam, langsung ke bola mata Ki Ageng Sela. Bisa dirasakan adanya nada tidak suka pada suara laki-laki tua yang sangat disegani itu.

"Aku hanya bertanya saja," kata Ki Ageng Sela semakin jelas kesinisannya.

"Nyai Dewi tidak ada urusan dengan keadaan di sini!" ketus nada suara Ki Petel.

"Bagus, memang itu yang kuharapkan."

"Ki Ageng. Kau boleh tidak suka pada Nyai Dewi Melati. Tapi kuminta kau tidak membuat keruh suasana yang memang sudah kelam ini. Kehadiran saudara seperguruanku tidak ada hubungannya dengan kejadian itu. Dia hanya mengunjungi anaknya, lain, tidak!" kata Ki Petel tegas dan tajam suaranya.

"Ah, sudahlah. Jangan diperpanjang lagi, " Pranata menengahi.

Ki Petel mendengus keras, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Ki Ageng Sela memandanginya tidak berkedip. Sampai tubuh Ki Petel lenyap di dalam rumahnya, laki-laki tua itu masih memandanginya tidak berkedip. Sedangkan Paman Waku dan Pranata yang berada tidak begitu jauh dari tempat itu, hanya memandangi tidak mengerti.

"Ada apa?" tanya Nyi Senah begitu menghampiri.

"Tidak ada apa-apa," sahut Pranata.

"Kudengar nama Dewi Melati disebut-sebut," sambung Paman Waku.

Pranata hanya mengangkat bahunya, kemudian melangkah pergi. Sedangkan Wandara mengajak Ki Ageng Sela untuk pergi dari tempat itu. Tinggal Paman Waku dan Nyi Senah saling berpandangan tidak mengerti.

Sementara itu Ki Ageng Sela dan Wandara berjalan menyusuri jalan utama Desa Palang Sewu. Sepanjang jalan yang dilalui hanya kesunyian yang didapatkan. Tak ada seorang penduduk pun yang berada di luar rumah. Beberapa orang bersenjata masih terlihat bejaga-jaga di tempat-tempat yang telah ditentukan.

"Keadaan makin bertambah buruk...!" gumam Ki Ageng Sela seperti bicara untuk dirinya sendiri.

"Apa maksudmu, Ki?" tanya Wandara.

"Aku yakin, kedatangan Dewi Melati punya maksud tertentu. Aku tahu betul siapa wanita itu," sahut Ki Ageng Sela.

"Kau mencurigai kalau Dewi Melati yang melakukan semua itu?" tebak Wandara.

"Mungkin," sahut Ki Ageng Sela.

"Itu berarti kau juga mencurigai Ki Petel."

Ki Ageng Sela tidak menyahut, tapi terus saja melangkah pelahan-lahan. Sedangkan Wandara menghentikan langkahnya. Dia tidak mengerti, kenapa Ki Ageng Sela punya pikiran seperti itu. Tidak sedikit pun terlintas di benaknya untuk mencurigai orang-orang yang dikenalnya baik. Tapi Wandara tahu siapa Ki Ageng Sela. Sekali orang tua itu menaruh kecurigaan pada seseorang, sudah pasti punya alasan tersendiri yang sangat kuat.

Wandara kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah, mendadak matanya melihat sebuah bayangan berkelebat ke arah Ki Ageng Sela.

"Ki Ageng, awas...!"
"Uts!"

Ki Ageng Sela melompat ke samping begitu menoleh. Bayangan itu berkelebat cepat hampir menyambarnya. Dan belum lagi Ki Ageng sempat menyadari apa, yang baru terjadi, bayangan itu sudah berbalik cepat menyerangnya kembali. Laki-laki tua itu sempat membanting dirinya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.

Secepat kilat Ki Ageng Sela bangkit berdiri, dan langsung bersiap-siap. Namun dia jadi terkejut. Bayangan itu mendadak saja berubah haluan, langsung menyerang Wandara yang masih diliputi keterkejutan.

"Hup!

Wandara melompat mundur sambil mengangkat tangannya ke depan. Dan bayangan itu langsung menerjangnya dengan kecepatan bagai kilat.

"Akh!" Wandara memekik tertahan.

Seketika itu juga tubuhnya terlempar beberapa batang tombak ke belakang, lalu dengan keras, punggungnya menghajar sebuah pohon besar hingga tumbang. Bayangan itu kembali berkelebat cepat ke arah Wandara yang tengah berusaha bangkit berdiri. Pada saat yang sama, Ki Ageng Sela melentingkan tubuhnya. Segera dia melesat cepat memotong arah sambil mengirimkan satu pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah bayangan itu.

"Hyaaat..."
Bug!

Bayangan itu terlontar jauh begitu pukulan Ki Ageng Sela menghajarnya. Namun dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh mata, bayangan itu cepat melesat pergi. Ki Ageng Sela mengurungkan niatnya untuk mengejar, begitu mendengar suara rintihan lirih. Bergegas dihampiri Wandara yang tengah duduk bersila dekat pohon yang tumbang terhantam benturan tubuhnya. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental berwarna agak kehitaman.

"Wandara...," Ki Ageng Sela berlutut di depan Wandara.

"Ugh, dadaku...." keluh Wandara sambil mendekap dadanya.

"Kau terluka dalam, Wandara," kata Ki Ageng Sela setelah memeriksa dada Wandara.

"Uhk..."

Wandara memuntahkan darah kental kehitaman. Ki Ageng Sela terperanjat, dan langsung melompat bangkit begitu melihat ada warn kehijauan dalam muntahan darah itu. Matanya menatap tidak berkedip pada gumpalan darah yang dimuntahkan dari mulut Wandara. Kemudian pandangannya beralih ke wajah Wandara. Terlihat wajah itu berubah pucat bagai mayat. Keringat mengucur deras di wajah dan lehernya.

"Pukulan Racun Hijau...!" desis Ki Ageng Sela sedikit tercekat suaranya.

Ki Ageng Sela benar-benar terkejut melihat muntahan darah dari mulut Wandara yang berwarna kehitaman dengan bintik-bintik hijau. Dia tahu betul kalau itu akibat 'Pukulan Racun Hijau'. Sebuah ilmu pukulan yang hanya dimiliki oleh Nyai Dadap. Tidak ada seorang pun yang mampu bertahan hidup terkena pukulan dahsyat itu.

"Akh ... !" Wandara memekik tertahan.

Seketika itu juga tubuh Wandara ambruk dan menggelepar di tanah. Dari mulutnya mengeluarkan busa berwarna kehijauan. Kedua bola matanya membeliak lebar. Sementara Ki Ageng Sela hanya memperhatikan, tidak mampu berbuat apa-apa. Di saat itu beberapa orang berdatangan. Tampak Pranata, Nyi Senah, Ki Petel, dan Paman Waku bersama sekitar sepuluh orang lainnya tergopoh-gopoh.

Mereka semua terkejut melihat Wandara menggelepar dengan mulut mengeluarkan busa kehijauan. Tangannya mendekap dada erat-erat. Sesaat kemudian, tubuhnya mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Semua orang yang berada di tempat itu terpaku.

"Ki Ageng, apa, yang terjadi?" tanya Pranata memecah kekakuan.

"Aku tidak tahu, kejadiannya begitu cepat," sahut Ki Ageng Sela pelan.

Sementara itu Ki Petel dan Paman Waku memeriksa Wandara yang sudah menghembuskan napas terakhir. Kedua orang itu saling melempar pandang, kemudian bangkit berdiri hampir bersamaan. Mereka sama-sama memandang Ki Ageng Sela yang tampak pucat wajahnya.

"Wandara terkena 'Pukulan Racun Hijau'," kata Paman Waku pelan.

"Apa ... ?!" Pranata dan Nyi Senah terperanjat kaget.

Untuk sesaat lamanya tidak ada yang bicara. Mereka dicekam perasaan kaget dan ketidakpercayaan yang amat sangat. Hanya Ki Petel yang kelihatan begitu, tenang. Memang sudah diduga sejak semula kalau Wandara terkena 'Pukulan Racun Hijau'. Dan semua orang yang berada di sini tahu, siapa pemilik jenis pukulan yang amat berbahaya dan dahsyat itu.

Pranata memerintahkan murid-muridnya untuk membawa mayat Wandara, kemudian menghampiri Ki Petel. Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu mengajak Ki Petel menjauh dari tempat itu. Sementara Nyi Senah dan Paman Waku masih berbicara dengan Ki Ageng Sela.

"Rasanya sukar dipercaya kalau Nyai Dadap masih hidup," kata Pranata pelan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.

"Kau percaya dengan dugaanku, Pranata?" nada suara Ki Petel terdengar sinis.

"Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanya Pranata.

"Luka pada mayat kedua peronda yang membuatku begitu yakin," sahut Ki Petel mantap.

"Aku tidak tahu lagi harus berkata apa, kalau memang benar Nyai Dadap masih hidup. Bahkan sekarang muncul untuk membalas dendam," lenguh Pranata.

"Hal ini tidak akan terjadi kalau kita tidak lengah," sahut Ki Petel.

"Ya. Kita terlalu yakin dengan kemampuan diri sendiri waktu itu," desah Pranata mulai goyah pendiriannya.

Mereka terdiam saat Nyi Senah, Paman Waku, dan Ki Ageng Sela menghampiri. Terlihat jelas kalau wajah mereka dirundung kegelisahan dan kecemasan. Agak lama juga mereka saling berdiam diri, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Sementara malam terus merayap semakin tinggi. Keheningan semakin mencekam menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Palang Sewu. Di kejauhan sana, terlihat Gunung Palang Sewu yang gelap terselimut kabut. Kematian Wandara membuat seluruh tetua desa dirundung kecemasan dan kekhawatiran yang amat sangat.

Pagi-pagi sekali Ki Petel sudah memacu kudanya mendaki Lereng Gunung Palang Sewu. Debu mengepul tersepak kaki kuda yang dipacu cepat, berbaur jadi satu dengan kabut yang masih menyelimuti permukaan lereng gunung itu.

"Hooop...!"

Ki Petel menarik tali kekang kudanya, maka kuda putih berbelang coklat tua itu meringkik keras sambil berhenti berpacu. Dengan satu gerakan manis, kepala desa itu melompat turun dari punggung kudanya. Tidak jauh di depan, seorang wanita berparas cantik berdiri mengepit sebuah keranjang dari anyaman bambu.

Ki Petel melangkah menghampiri wanita itu. Dibiarkan saja kudanya yang kini merumput. Kepala desa itu berhenti tidak jauh di depan wanita cantik yang mengenakan baju hijau agak ketat itu. Sebagian wajahnya hampir tertutup kain kerudung berwarna hijau pula. Namun tetap saja tidak sanggup menyembunyikan parasnya yang cantik menawan.

"Dari sendang, Nyai Katila?" tegur Ki Petel. "Iya," sahut wanita itu yang dipanggil Nyai Katila. Suaranya terdengar pelan dan lembut.

"Pagi-pagi begini kau sudah ke sendang. Apa tidak takut berjalan sendirian?"

"Aku selalu sendiri, Ki. Lagi pula tidak ada orang yang bermaksud buruk padaku di sini."

"Aku yakin, kau mengetahui keadaan Desa Palang Sewu"

"Betul, Ki..."

"Untuk keselamatanmu sendiri, sebaiknya jangan bepergian seorang diri," Ki Petel memperingatkan.

"Terima kasih."

"Hm..., cepatlah pulang. Atau kuantar saja, bagaimana?"

"Tidak usah, Ki. Terima kasih."

Katila buru-buru melangkah pergi. Sementara Ki Petel memandanginya. Kepala desa itu masih tetap berdiri memandang kepergian wanita cantik itu, meskipun telah jauh, kemudian baru melangkah menghampiri kudanya. Namun tiba-tiba dia tidak jadi naik ke punggung kudanya. Matanya menatap lurus ke arah datangnya Nyai Katila tadi, seperti teringat sesuatu.

"Hm..., bukankah itu arah ke Karang Setan?" gumam Ki Petel seperti baru menyadari. "Heh! Kenapa aku jadi seperti bermimpi...?!"

Ki Petel buru-buru melompat naik ke punggung kudanya. Diputarkan arah kudanya dan dipacunya cepat mengejar Nyai Katila. Ki Petel mengurungkan niatnya menemui Dewi Melati di Puncak Gunung Palang Sewu. Dia baru sadar kalau wanita cantik itu tadi datang dari arah Karang Setan yang berada di sebelah Timur Lereng Gunung Palang Sewu. Daerah yang sa-ngat angker dan tidak seorang pun berani mendatanginya, dan kini dikuasai dua orang kembar yang sangat kejam dengan julukan Kera Kembar dari Karang Setan.

Kening laki-laki tua itu jadi berkerut, karena tidak lagi menjumpai Nyai Katila. Padahal dia hampir memasuki perbatasan desanya dengan hutan Lereng Gunung Palang Sewu! Dan belum lama Katila berlalu, sedangkan Ki Petel memacu kudanya begitu cepat menyusulnya.

"Huh! Tidak mungkin kalau aku terlewat!" dengus Ki Petel sambil menghentikan lari kudanya.

Ki Petel mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun terlihat di daerah perbatasan ini. Hanya kesunyian yang mengelilinginya. Tampak rumah-rumah penduduk masih terlihat sunyi, belum ada seorang pun yang keluar dari rumahnya. Ini memang masih terlalu, pagi benar, matahari belum lagi menampakkan dirinya dengan penuh. Hanya cahaya merah jingga saja yang memancar dari balik gunung.

Perlahan-lahan Ki Petel kembali menjalankan kudanya. Bola matanya terus berputar memandangi sekitarnya. Tapi sebentar kemudian, dihentikan kembali langkah kaki kudanya. Pandangan matanya lurus ke depan, menatap sebuah pondok kecil yang berdiri agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Pondok itu kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni.

"Ada yang bisa aku bantu?" tiba-tiba terdengar teguran halus dari arah belakang.

Tapi belum juga Ki Petel bisa melihat orang yang menegurnya dengan halus, tiba-tiba saja sebuah bayangan hijau berkelebat cepat menyambarnya. Kepala desa itu tidak mungkin lagi berkelit. Sambaran bayangan hijau itu demikian cepat, dan tahu-tahu tubuh Ki Petel sudah terlempar keras dari punggung kudanya.

Brak!

Tubuh Ki Petel menghantam sebuah pohon yang cukup besar, sehingga pohon itu hancur berkeping-keping. Dan belum lagi Ki Petel dapat bangkit berdiri bayangan hijau itu telah menyerang kembali dengan kecepatan luar biasa. Buru-buru Ki Petel menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan beberapa kali di tanah. Tanpa menghiraukan rasa sakit pada seluruh tubuhnya, laki-laki tua itu bergegas melompat bangkit.

"Siapa kau?" bentak Ki Petel keras.

Tidak ada sahutan sama sekali. Namun Ki Petel jadi bergidik ketika orang yang seluruh tubuhnya mengenakan pakaian hijau dengan kepala dan wajahnya terselubung kain hijau itu mengeluarkan sebuah pedang yang amat dikenalnya. Pedang itu seluruhnya berwarna hijau, berbentuk menyerupai seekor ular yang meliuk-liuk membuat kelukan lima buah.

"Kau pasti bukan Nyai Dadap! Katakan, siapa, dirimu sebenarnya?!" dengus Ki Petel tidak lepas menatap orang itu tajam-tajam.

"Aku senang kau masih mengenaliku, Ki Petel," kata orang itu dengan suara halus, namun bernada ancaman.

"Tidak mungkin...! Mustahil...!" Ki Petel jadi bergetar hatinya.

Memang sudah diduga kalau Nyai Dadap masih hidup, dan sekarang muncul lagi untuk balas dendam atas kekalahannya. Semula keyakinannya itu belum sepenuhnya mendasar di dalam hati. Dan kini, setelah berhadapan dengan orang yang telah menggemparkan desanya selama ini, keraguan dan kebimbangan yang bercampur dengan perasaan kecemasan Mulai menggerogoti hatinya. Suara itu mirip sekali dengan suara Nyai Dadap. Sedangkan pedang yang tergenggam di tangannya, adalah pedang beracun milik Nyai Dadap yang terkenal dahsyat dan bernama Pedang Beracun Ular Hijau.

Hanya yang menjadi keraguannya, Nyai Dadap tidak pernah muncul dalam pakaian berwarna hijau. Terlebih lagi menggunakan selubung penutup kepala hingga wajahnya tidak terlihat.

"Terimalah kematianmu, keparat! Hiyaaa...!"

Ki Petel tidak sempat lagi berpikir lebih jauh. Orang berbaju hijau itu sudah menyerang kembali dengan gerakan yang sangat cepat. Pedang berbentuk ular berwarna hijau itu berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Ki Petel melayani, namun pikirannya masih diliputi berbagai macam pertanyaan.

"Hiya! Hiyaaa...!"
"Uts!"

Ki Petel merundukkan kepalanya ketika pedang hijau itu mengibas ke arah kepalanya. Namun tanpa diduga sama sekali, sebuah tendangan keras melayang dan mendarat telak di perutnya. Ki Petel mengeluh pendek. Tubuhnya terbungkuk menahan rasa mual pada perutnya. Dan belum lagi sempat mengontrol dirinya, satu pukulan telak menghajar wajahnya hingga terdongak ke atas.

"Hiya...!"
Buk!

Satu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi mendarat telak di dada Ki Petel. Tak pelak lagi, tubuh Kepala Desa Palang Sewu itu terjengkang ke belakang beberapa tombak jauhnya. Kesempatan itu digunakan orang yang berbaju serba hijau untuk melompat menyerang sambil berteriak keras melengking tinggi.

"'Yaaa...!"

"Mati aku...!" lenguh Ki Petel tanpa daya.

Pedang terhunus berbentuk ular dan berwarna, hijau itu meluruk deras ke arah dada Ki Petel. Dan pada saat ujung pedang itu hampir menembus dada, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat memapak serangan itu.

Trak!

"Akh!" satu pekikan tertahan terdengar.

Ki Petel yang sudah pasrah dengan mata terpejam, jadi terbengong. Ternyata ajal yang sudah dinantinya tidak kunjung datang. Ki Petel semakin bertambah bengong, karena, begitu matanya terbuka, terlihat seorang laki-laki gagah mengenakan baju rompi putih sudah berdiri di depannya. Sedangkan orang berpakaian serba hijau, berdiri tegak di depannya dengan senjata melintang di depan dada.

"Setan! Berani kau mencampuri urusanku!" bentak orang berbaju serba hijau itu geram.

"Seorang ksatria tidak akan membunuh lawan yang sudah tidak berdaya," sambut pemuda itu kalem.

"Phuih! Kau juga harus mampus, keparat"

"Hm...."

"Hyaaat..."

***
EMPAT
Ki Petel beringsut menjauh, tepat pada saat orang berbaju hijau yang hampir membunuhnya menyerang pemuda berbaju rompi putih yang menolong menyelamatkan nyawanya. Sebentar diatur jalan napasnya, Ialu disalurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Kini dia berdiri tegak di bawah pohon yang cukup rindang. Saat itu matahari mulai menampakkan dirinya, namun keadaan di Desa Palang Sewu masih terlihat sunyi.

Sementara pertarungan terus berjalan semakin sengit. Tanpa disadari, pertarungan berlangsung dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Sekarang yang terlihat hanya dua bayangan berkelebatan saling menyambar dan berkelit menghindar. Namun Ki Petel masih dapat melihat jelas jalannya pertarungan itu. Kepala Desa Palang Sewu itu semakin tercekat hatinya, karena orang berbaju serba hijau itu menggunakan jurus-jurus yang amat dikenalnya, yang hanya dimiliki Nyai Dadap! Du-lu Nyai Dadap hampir menghancurkan desa-desa di Kaki Lereng Gunung Palang Sewu ini, terutama Desa Palang Sewu yang hampir rata dengan tanah.

"Hup!"

Orang berbaju serba hijau itu melompat mundur, keluar dari arena pertarungan. Sedangkan pemuda gagah berbaju rompi putih, berdiri tegak dengan mata tajam menatap ke depan.

"Kau cukup tangguh, Anak Muda. Tapi itu bukan berarti kau menang," kata orang berbaju hijau itu. dingin.

" Hm.... pemuda gagah berbaju rompi putih itu hanya bergumam tidak jelas.

"Sayang, waktuku tidak banyak."

Setelah berkata demikian, orang berbaju hijau itu memasukkan pedang ke dalam sarungnya di punggung. Dengan kecepatan bagai kilat, dia melesat pergi.

"Kita akan bertemu lagi, Anak Muda!"

"Aku tunggu!" balas pemuda berbaju rompi putih itu mantap.

Ki Petel bergegas menghampiri setelah bayangan hijau lenyap dari pandangan. Sedangkan pemuda gagah itu tetap berdiri tegap tanpa menoleh. Dia baru menarik napas panjang setelah Ki Petel berada di depannya.

"Kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti," puji Ki Petel tulus. Tentu saja ia kenal, karena pernah bertemu dan sempat berbicara dengan orang yang berada di depannya ini.

"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti seraya tersenyum.

"Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Ki Petel.

"Siapa orang itu?" tanya Rangga.

"Dia yang kita bicarakan kemarin."

"Nyai Dadap?"

"Entahlah, aku sendiri pun sangsi. Nyai Dadap tidak pernah memakai baju warna hijau dan menyelubungi wajahnya. Tapi jurus-jurus dan senjata yang digunakan memang kepunyaan Nyai Dadap," sahut Ki Petel ragu-ragu.

Rangga diam, tapi sedikit heran juga dengan sikap, Ki Petel yang begitu cepat berubah. Semula laki-laki tua itu begitu yakin dengan pendiriannya, tapi kini malah ragu-ragu. Tapi Rangga tidak menanyakannya. Dia bisa mengambil kesimpulan sendiri akan sikap Ki Petel. Seseorang memang bisa cepat berubah, jika sudah mengalaminya sendiri. Dan itu dialami oleh Ki Petel.

"Tuan Pendekar..."

"Rangga. Panggil saja aku. Rangga," potong Rangga cepat.

"Hhh..., aku mau minta maaf atas sikapku tempo hari," kata Ki Petel yang pernah menyangsikan dan menganggap lain pada Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Lupakan," sahut Rangga tersenyum maklum.

"Ternyata pilihan Dewi Melati tidak meleset. Aku yakin, kau adalah orang yang tepat untuk menghadapi orang misterius itu," ajar Ki Petel lagi.

Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Sudah terlalu Sering didengar pujian seperti ini. Tapi, pujian itu tidak membuatnya jadi besar kepala atau berbangga hati. Meskipun dia seorang tokoh yang amat disegani kawan maupun lawan, tapi sikapnya tetap merendah dan tidak melambung karena pujian.

"Ki Petel! Boleh aku tahu siapa Nyai Dadap itu?" tanya Rangga membelokkan kembali pada pokok persoalannya.

"Nyai Dadap seorang tokoh hitam yang sangat kejam," sahut Ki Petel.

"Kenapa ingin menguasai Desa Palang Sewu?" tanya Rangga lagi.

"Sebenarnya dia tidak bermaksud menguasai Desa Palang Sewu. Bukannya di sini saja dia bersikap begitu, tapi desa-desa lain pun terbabat habis oleh polahnya yang tidak punya belas kasihan."

"Aneh! Seseorang bisa berbuat begitu pasti ada sebabnya," gumam Rangga pelan.

"Memang," sahut Ki Petel seraya melangkah menghampiri kudanya.

"Bisa kau jelaskan?" pinta Rangga.

"Tentu saja! Kau memang harus tahu, Rangga."

Rangga melangkah di samping Ki Petel yang sudah berjalan sambil menuntun kudanya. Laki-laki tua itu berjalan menyusuri jalan utama desa yang mulai ramai oleh orang-orang yang baru keluar dari rumahnya. Para penduduk desa itu membungkuk memberikan hormat pada Ki Petel.

"Akan kujelaskan di rumahku, nanti," kata Ki Petel.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Sementara Desa Palang Sewu mulai terlihat hidup kembali. Para penduduk sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Kehidupan kembali berjalan seperti biasa, meskipun di wajah mereka masih tersirat perasaan cemas dan ketakutan. Bahkan mereka mulai berbisik-bisik tentang kejadian semalam yang mengambil korban Wandara, seorang tetua desa yang disegani. Berita itu cepat tersebar dari mulut ke mulut. Berita itu datang dari para murid Padepokan Soka Palang Sewu yang berasal dari desa itu. juga. Tidak heran kalau setiap ada peristiwa selalu dapat tersebar luas di desa yang kecil ini.

Rangga mengangkat kepalanya ketika seorang gadis keluar dari dalam rumah membawa sebuah baki berisi dua gelas minuman yang masih mengepulkan uap panas. Gadis itu, tersenyum dan mengangguk sedikit. Diletakkan gelas-gelas minuman itu di depan Rangga dan Ki Petel. Tanpa berkata-kata lagi, gadis itu berbalik, lalu masuk kembali ke dalam rumahnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melayangkan pandangannya ke depan, memandangi orang yang lalu-lalang di depan rumah kepala desa ini. Sedangkan Ki Petel asyik dengan lintingan rokoknya. Cukup lama juga mereka hanya diam duduk di beranda depan tanpa berkata-kata.

"Silakan diminum," Ki Petel mempersilakan sambil mengambil gelas minumannya.

"Terima kasih," ucap Rangga, lalu mengambil gelas minumannya pula. Dihirup sedikit minuman berwarna kecoklatan yang mengepulkan asap itu.

"Minuman kopi khas Desa Palang Sewu," ujar Ki Petel memberi tahu.

"Nikmat," sambut Rangga meletakkan kembali gelasnya.

"Kopi Desa Palang Sewu memang terkenal nikmatnya. Tapi sayang sekali penduduknya enggan menanamnya."

"Kenapa?"

"Biayanya mahal. Sedangkan menunggu panen terlalu lama. Padahal, harganya cukup lumayan juga."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memang tidak tahu-menahu seluk beluk pertanian. Tapi selama berada di Desa Palang Sewu ini, dia memang tidak melihat adanya tanaman kopi. Hanya ada beberapa saja yang terlihat. Itu pun sudah berada di daerah perbatasan yang agak tinggi datarannya, dan dimiliki oleh orang yang mampu.

"Ah, jadi melantur," desah Ki Petel, "Oh, ya. Sampai di mana pembicaraan kita tadi?"

"Persoalan Nyai Dadap," Rangga mengingatkan.

"Hm... ya. Tentang Nyai Dadap datang ke Desa Palang Sewu ini," gumam Ki Petel kembali teringat pada pokok permasalahannya.

Rangga kembali mengangkat kepalanya. Pada saat itu di depan melintas seorang wanita cantik mengenakan baju hijau sambil membawa keranjang dari anyaman bambu. Kepala yang tertutup kerudung hijau itu, sempat menoleh seraya memberikan senyuman manis pada Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga merasakan sesuatu di dalam dadanya. Namun belum sempat dia berpikir jauh, Ki Petel sudah membuka suara lagi.

Hanya sebentar Rangga memalingkan mukanya pada Ki Petel. Dan begitu menatap ke depan kembali, wanita cantik berbaju hijau itu sudah tidak terlihat lagi. Lenyap di antara banyak orang yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

"Nyai Dadap sebenarnya berasal dari Desa Palang Sewu ini...," kata Ki Petel memulai.

"Hm...," Rangga hanya menggumam tidak jelas. Matanya terus menatap ke depan, memandangi orang-orang yang lalu-lalang.

"Entah berapa puluh tahun dia menghilang. Tapi sepuluh tahun lalu kembali dengan membawa petaka, menjadikan Desa Palang Sewu bagai terpanggang api neraka," lanjut Ki Petel.

"Ke mana dia pergi?" tanya Rangga tanpa menoleh.

"Tidak ada yang tahu pasti. Tapi yang kudengar dari kabar burung, dia pergi menuntut ilmu. Entah di mana dan siapa gurunya.,Yang jelas Nyai Dadap datang dengan membawa segudang ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang sukar dicari tandingannya."

"Lantas, apa yang diinginkannya di sini?"

"Balas dendam."

Rangga memalingkan mukanya menatap pada kepala desa di sampingnya. Keningnya agak berkerut mendengar jawaban Ki Petel barusan. Jawaban yang tidak diduga sama sekali sebelumnya.

"Orang tua Nyai Dadap seorang tokoh sakti rimba persilatan beraliran hitam. Dia datang ke Desa Palang Sewu dan menikah dengan gadis desa ini. Saat Nyai Dadap lahir, orang tuanya tewas terbunuh.

"Oh...!" Rangga tersentak agak terkejut.

"Meskipun telah berkeluarga, orang tua Nyai Dadap tidak meninggalkan kebiasaan buruknya. Banyak gadis menjadi korban nafsu setannya. Bahkan banyak pendekar yang tewas terbunuh di tangannya. Hal ini membuat cemar nama Desa Palang Sewu," lanjut Ki Petel.

"Hm.... Siapa yang berhasil membunuhnya?" tanya Rangga.

"Ki Ageng Sela, Pranata, Wandara, Paman Waku, Nyi Senah, dan aku sendiri," sahut Ki Petel.

"Dan kalian juga yang menghadapi Nyai Dadap sepuluh tahun lalu?"

"Ya, dan kami berhasil menewaskannya. Tapi..., yah, saat itu kami semua terlalu yakin dan tidak memeriksa lagi ke dasar jurang. Sama sekali tidak kusangka kalau Nyai Dadap masih hidup dan sekarang membalas dendam yang belum tertuntaskan. Tapi aku sendiri juga ragu-ragu setelah bentrok dengannya tadi," nada suara Ki Petel memang terdengar sumbang.

"Apa ada kejanggalan pada orang itu, Ki?" tanya Rangga, namun matanya tidak lepas memandang ke arah sebuah pohon ara yang cukup besar di samping sebuah kedai.

Di bawah pohon itu terlihat seorang wanita berparas cantik tengah menatap ke arahnya. Bajunya hijau, agak ketat dengan kerudung hijau pula. Wanita itulah yang tadi sempat dilihat Rangga melintas di depan rumah ini. Hati Pendekar Rajawali Sakti itu pun jadi bertanya-tanya.

"Aku memang melihat adanya kejanggalan, meskipun jurus dan senjata yang digunakan sama persis dengan Nyai Dadap," sahut Ki Petel tidak menyadari kalau Rangga tengah terpusat perhatiannya pada seorang wanita yang berdiri di bawah pohon ara.

"Hm...," lagi-lagi Rangga bergumam tidak jelas.

Namun mendadak, Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak. Tiba-tiba saja wanita yang tengah menjadi perhatiannya lenyap pada saat sebuah pedati melintas di depannya. Rangga kontan bangkit berdiri dan melangkah ke depan, keluar dari beranda rumah kepala desa ini. Matanya beredar tajam memandang ke sekeliling. Ki Petel jadi terheran-heran, lalu bergegas bangkit dan menghampiri.

"Ada apa?" tanya Ki Petel setelah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak," sahut Rangga pelan.

Ki Petel melayangkan pandangannya ke arah pandangan Pendular Rajawali Sakti itu. Dia jadi heran karena pendekar muda itu menatap lurus ke arah pohon ara, dan sesekali pandangannya beredar ke sepanjang jalan.

Pelahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya, sedangkan Ki Petel tetap diam dengan kening berkerut dalam. Tatapan matanya tidak lepas ke punggung Rangga yang melangkah pelahan-lahan semakin jauh menyusuri jalan utama Desa Palang Sewu ini. Sikap Rangga yang terasa aneh, membuat Kepala Desa Palang Sewu itu bertanya-tanya.

***

Waktu terus berputar sejalan dengan beredarnya bumi. Siang perlahan-lahan merayap berganti malam. Cahaya matahari meredup, dan akhirnya menghilang. Kini kedudukannya digantikan oleh bulan dengan cahayanya yang redup lembut menambah keindahan suasana malam. Namun semua keindahan itu tidak dapat dinikmati lagi oleh seluruh penduduk Desa Palang Sewu. Mereka kini tengah dilanda suatu kegelisahan yang menyelimuti setiap hati.

Saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebatan cepat menyelinap dari satu rumah ke rumah lainnya. Bayangan itu bergerak cepat menuju sebuah pondok kecil yang berada agak menyendiri di antara rumah penduduk lainnya. Sosok bayangan itu berhenti bergerak tepat di depan pondok kecil itu. Sebagian besar tubuhnya terlindung bayangan sebuah pohon besar sehingga hampir tidak memperlihatkan bentuk tubuhnya yang hitam pekat.

"Hup!"

Sosok bayangan itu melesat cepat ke atas, dan tahu-tahu sudah di atas dahan pohon yang cukup rimbun daunnya. Tampak kedua bola mata yang tajam, bersinar terang merayapi sekitar pondok kecil itu. Tatapan matanya semakin tajam ketika melihat dua bayangan berkelebat menyelinap ke bagian belakang rumah.

Namun belum sempat mengamati lebih jauh, mendadak dari bagian belakang rumah kecil itu melesat dua bayangan merah dan biru ke arah sosok hitam di atas pohon itu.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sosok tubuh hitam itu melentingkan tubuhnya, langsung meluruk ke bawah. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, dua bayangan merah dan biru itu kembali meluruk menerjang dengan kecepatan bagai kilat. Sosok hitam itu kembali melentingkan tubuhnya dan bersalto dua kali di udara, lalu manis sekali mendarat agak jauh dari dua bayangan merah dan biru yang sudah berbalik hendak menyerangnya.

"Kera Kembar dari Karang Setan...!" desis orang itu saat mengenali dua orang yang menyerangnya tanpa banyak berbicara lagi itu.

"He he he...! Ternyata penglihatanmu cukup tajam juga, Ki Petel," celetuk Kera Merah terkekeh.

Sosok bayangan hitam yang ternyata memang Ki Petel itu, hanya mendengus seraya mempersiapkan diri untuk menerima serangan berikutnya. Dia tahu kalau dua orang yang dihadapinya ini adalah tokoh-tokoh rimba persilatan yang tidak bisa dianggap remeh. Hanya saja Ki Petel belum bisa mengetahui maksud kemunculan dua orang yang berjuluk Kera Kembar dari Karang Setan itu., Julukan yang sangat cocok, karena wajah mereka memang lebih mirip kera daripada manusia.

"Kalian Kera Kembar dari Karang Setan, apa maksudnya datang ke Desa Palang Sewu ini?" tanya Ki Petel dengan nada suara dingin.

"Karang Setan tidak seberapa jauh dari sini. Sudah selayaknya kami berdua berkunjung hanya untuk melihat-lihat," sahut Kera Biru dengan suara dibuat sopan.

"Tidak biasanya kalian keluar dari sarang tanpa tujuan yang pasti," terdengar sinis nada suara Ki Petel.

"Rupanya orang tua ini tidak bisa diajak bersahabat, Kera Biru," dengus Kera Merah.

"Hm...," Kera Biru hanya menggumam pelan tidak jelas.

"Bukan hanya aku, tapi seluruh penduduk Desa Palang Sewu tidak akan sudi menerima kalian!" makin ketus nada suara Ki Petel.

"Keparat! Kau harus jaga mulutmu, Ki Petel!" geram Kera Biru tidak bisa lagi menahan amarahnya.

Kalau saja Kera Merah tidak segera mencegah, mungkin Kera Biru sudah menerjang kepala desa itu. Kera Biru hanya bisa menggerutu menahan amarahnya. Sementara Ki Petel sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Ki Petel! Apa maksudnya kau mengintai pondok itu?" tanya Kera Merah masih bisa bersabar.

"Seharusnya aku yang bertanya pada kalian!" dengus Ki Petel.

"Aku masih bisa bersabar, Ki Petel. Tapi saudaraku ini tidak bisa lagi," ancam Kera Merah.

"Jangan harap aku mundur sebelum kalian enyah dari desa ini!" tantang Ki Petel.

"Sombong! Orang tua tidak tahu diuntung!" geram Kera Biru yang telah meluap kesabarannya. "Kau harus mampus, keparat! Hiyaaa...!"

Kera Merah tidak bisa lagi menahan amukan saudara kembarnya. Bagaikan kilat, Kera Biru melompat menerjang Ki Petel. Serangan yang cepat dan bertenaga dalam cukup tinggi itu, dengan mudah dapat dielakkan oleh Ki Petel. Bahkan dengan satu gerakan yang manis, sodokan tangan kepala desa itu membuat Kera Biru harus melenguh pendek.

"Phuih!" Kera Biru menyemburkan ludahnya, menahan rasa mual pada perutnya yang terkena sodokan tangan kiri Ki Petel.

Namun dengan cepat, Kera Biru kembali menghambur menyerang kepala desa itu. Hanya dengan merundukkan kepalanya sedikit, Ki Petel berhasil mengelakkan pukulan bertenaga dalam penuh dari Kera Biru. Balikan satu dupakan kaki kanannya berhasil membuat Kera Biru harus melompat mundur menghindarinya.

Meskipun dua kali Ki Petel berhasil menghindari serangan lawannya, namun belum bisa berbangga diri. Dia tahu kalau lawannya tidak akan berarti jika hanya bertarung seorang diri saja. Kekuatan Kera Kembar dari Karang Setan itu terletak pada kerja sama penyerangan yang terpadu rapi. Mereka tidak akan mampu menghadapi lawan hanya seorang diri saja, meskipun serangan-serangannya sangat berbahaya.

"Sepasang Kera Gila...!"

Tiba-tiba saja Kera Merah berteriak lantang sambil melompat ke arah samping kanan Ki Petel. Dan pada saat yang sama, Kera Biru pun melesat ke arah samping kiri kepala desa itu. Ki Petel sudah bisa meraba kalau serangan yang akan dilakukan manusia kembar berwajah mirip kera itu sangat berbahaya.

Sambil memperdengarkan suara-suara aneh bagai kera kelaparan, kedua manusia itu membuat gerakan-gerakan aneh dan sukar diterima akal sehat. Mereka berjingkrakan, berlompatan seperti dua orang badut tengah melucu. Suara-suara yang terdengar begitu mirip dengan dua ekor kera yang tengah bercanda memperebutkan pisang. Ki Petel jadi sedikit kebingungan juga melihat dua orang lawannya yang seperti gila itu.

"Hhh! Apa yang akan mereka lakukan?" Ki Petel bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Dan belum lagi pertanyaan itu bisa terjawab, tiba-tiba saja tangan-tangan si Kera Kembar dari Karang Setan itu tumbuh bulu yang sangat lebat dan berwarna hitam pekat. Kemudian hampir bersamaan, mereka Mengebutkan tangan-tangannya ke arah Ki Petel. Dari tangan-tangan itu meluncur deras bulu-bulu berwarna hitam. Ki Petel sempat terperangah sesaat, namun dengan cepat bisa menyadari apa yang terjadi.

"Hup!"

Laki-laki tua kepala desa itu cepat melesat lalu berputaran di udara, menghindari terjangan bulu-bulu hitam yang halus itu. Sungguh di luar dugaan sama sekali, bulu-bulu yang kelihatannya lemas itu mampu menembus pohon dan bebatuan hingga berlubang-lubang dalam. Bulu-bulu itu beterbangan cepat bagaikan hujan saja, meluruk mengurung ruang gerak Ki Petel.

"Huh! Kalau begini terus, bisa kehabisan napas aku!" dengus Ki Petel sengit.

Memang tidak ada cara lain yang bisa dilakukan, kecuali berlompatan dan berputaran di udara menghindari hujan bulu yang merupakan senjata ampuh si Kera Kembar dari Karang Setan itu. Meskipun Ki Petel sudah mencabut senjatanya, namun dia masih kelihatan kewalahan juga menghadapi serbuan yang aneh dari lawannya. Lebih-lebih lagi sekarang ini kedua orang berwajah mirip kera itu bergerak berputar mengelilinginya.

Dalam beberapa gebrakan saja, telah terlihat kalau Ki Petel semakin terdesak. Sudah dapat dipastikan, kalau dalam waktu yang tak lama lagi, kepala desa itu tidak akan mampu menahan gempuran hujan bulu yang amat berbahaya dari si Kera Kembar dari Karang Setan itu. Tapi di saat keadaan Ki Petel semakin mengkhawatirkan, mendadak bertiup angin kencang bagai topan. Angin itu menghamburkan bulu-bulu yang beterbangan deras mengarah kepada Ki Petel.

"Hup! Hiyaaa...!"

Ki Petel mengambil kesempatan ini untuk melompat keluar dari kurungan lawannya. Tiga kali tubuhnya berputar di udara, kemudian mendarat manis di luar kurungan manusia-kembar berwajah mirip kera itu. Sedangkan si Kera Kembar dari Karang Setan kelihatan kebingungan begitu menyadari serangannya pecah berhamburan terterjang angin topan yang datang secara tiba-tiba itu.

"Setan keparat!" maki Kera Biru segera menghentikan serangannya.

"Hait!" Kera Merah melompat ke samping saudaranya.

"Setan Belang! Siapa berani mencampuri urusanku, heh!" bentak Kera Biru keras menggelegar.

Seketika itu juga, badai topan berhenti dihempas oleh suara bentakan yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu. Si Kera Kembar dari Karang Setan itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sementara Ki Petel juga mencari-cari orang yang baru saja membantunya keluar dari bahaya.

"Siapa pun kau, keluar!" bentak Kera Biru lagi.

"Aku di sini..."

***
LIMA
Bukan main terkejutnya si Kera Kembar dari Karang Setan begitu mendengar jawaban yang berada di belakangnya. Mereka kontan berbalik dan melompat mundur begitu melihat seorang pemuda gagah berwajah tampan dengan baju rompi putih sudah berdiri tidak jauh darinya.

Sementara Ki Petel yang mengetahui kehadiran pemuda itu, jadi berseri-seri wajahnya. Dia tahu dan kenal betul dengan pemuda gagah berbaju rompi putih itu. Ki Petel segera melompat melewati kepala si Kera Kembar dari Karang Setan, lalu mendarat di samping pemuda itu dengan manisnya.

"Kau datang tepat pada waktunya, Rangga," kata Ki Petel.

"Hm...! Kenapa mereka menyerangmu, Ki?" tanya Rangga tanpa mengalihkan perhatiannya pada dua orang berwajah kembar seperti kera di depannya.

"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja mereka datang menyerang, bahkan hampir membunuhku, " sahut Ki Petel.

"Hm...," Rangga hanya bergumam pelan.

"Anak Muda, siapa kau?" tanya Kera Merah memotong pembicaraan Rangga dan Ki Petel.

"Namaku Rangga, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah pernah melihat kalian sebelumnya, jadi tidak perlu mengenalkan diri lagi padaku," sahut Rangga lugas.

"Bagus! Dan sebaiknya kau segera enyah dari hadapanku!" dengus Kera Biru.

"Mengapa tidak kalian saja yang angkat kaki dari sini? Kurasa Kepala Desa Palang Sewu sudah berkata tegas tadi," kata, Rangga tenang.

"Setan keparat!" geram Kera Biru terasa panas telinganya mendengar kata-kata yang tenang namun menyakitkan itu.

"Anak Muda, aku peringatkan sekali lagi. Cepat tinggalkan tempat ini!" bentak Kera Merah masih bisa menahan kesabarannya.

"Rasanya kata-kataku sudah cukup jelas," sambut Rangga kalem.

"Jangan salahkan kami, jika kau harus mampus hari ini!" Kera Merah jadi geram mendapat tantangan seperti itu.

"Hup! Hup!

"Hait...!"

Kera Kembar dan Karang Setan itu serentak berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Sakti dari dua jurusan di kanan dan kiri. Sedangkan Ki Petel beringsut mundur menjauh. Sementara Rangga memperhatikan kedua orang itu dari sudut matanya. Setiap gerak yang dilakukan dua orang kembar itu menjadi perhatiannya. Sudah disaksikan pertarungan kedua orang itu dengan Ki Petel, sehingga hal ini membuatnya jadi berhati-hati. Rangga sudah dapat mengukur kalau tingkat kepandaian manusia kembar berwajah seperti kera itu tidak bisa dianggap remeh. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak pernah menganggap enteng setiap lawannya.

"Hiyaaa..."

"Haaa...!"

Si Kera Kembar dari Karang Setan itu melompat secara bersamaan menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pukulan-pukulan beruntun bertenaga dalam cukup tinggi, dilepaskan secara bersamaan. Rangga menarik mundur kakinya ke belakang setindak, kemudian dengan cepat merentangkan tangannya. Sungguh luar biasa kecepatan gerak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Bagaikan sepasang sayap seekor rajawali, tangan itu mengepak cepat memapak setiap pukulan yang datang.

Plak! Plak...!

Dua orang kembar itu berlompatan mundur sejauh satu batang tombak begitu tangan-tangan mereka beradu dengan tangan Rangga. Wajah mereka tampak memerah, seperti tengah merasakan sakit yang amat sangat pada tangannya. Jelas dalam adu kekuatan tenaga dalam, mereka kalah.

"Pasukan Kera Menggempur Gunung!" seru Kera Merah tiba-tiba. Seketika itu juga si Kera Kembar dari Karang Setar, berlompatan kembali sambil membuat gerakan mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti. Pukulan dan tendangan keras datang beruntun secara teratur. Namun Rangga dengan manis berhasil mengelakkannya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Gerakan kakinya begitu lincah dan cepat, diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuk bagai seekor ular menghindari penggebuk.

Merasa serangannya tidak ada hasilnya, si Kera Kembar dari Karang Setan mengganti dengan serangan berikutnya. Namun tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa jurus telah terlewati. Dan setiap berganti jurus, serangan manusia kembar itu semakin bertambah dahsyat dan berbahaya. Dan setelah lima belas jurus terlewati cepat, dapat dipastikan kalau manusia kembar dari Karang Setan itu memang masih bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti.

Sret!
Cring!

Si Kera Kembar dari Karang Setan mencabut senjatanya, berupa tongkat melengkung dan berujung runcing. Dengan senjata di tangan, serangan si Kera Kembar dari Karang Setan bertambah dahsyat. Bahkan kini diimbangi dengan gerakan tubuh yang lincah dan cepat. Namun Rangga masih melayaninya dengan tangan kosong.

"Uts, hap!"

Rangga menarik setengah tubuhnya ke belakang ketika dari kanan dan kirinya menyambar dua senjata tongkat melengkung. Dengan satu gerakan yang cepat luar biasa, tangan Rangga terangkat ke atas, dan langsung menangkap dua senjata itu sekaligus di depan dadanya.

Tap!
"Hih!"
"Uh!"

Si Kera Kembar dari Karang Setan berusaha menarik pulang senjatanya disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Namun cekalan tangan Rangga demikian kuat, sehingga terjadi adu kekuatan tenaga dalam. Sesaat kemudian, terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut.

"Racun...!" desis Rangga dalam hati.

Rangga dapat merasakan adanya aliran hawa beracun yang sangat dahsyat, keluar dari tongkat yang dipegangnya kuat. Seketika itu juga dikerahkan hawa murni dan langsung dipusatkan pada kedua tangannya yang menggenggam dua senjata lawannya dari kanan dan kiri.

Hawa murni yang disalurkan Rangga sungguh luar biasa kuatnya, sehingga hawa panas beracun yang tersebar dari dua senjata itu, perlahan-lahan bergerak membalik. Dan ini sangat dirasakan si Kera Kembar dari Karang Setan. Mereka sungguh terkejut, lalu berusaha mendorong racun itu dengan kekuatan tenaga dalamnya. Namun semakin berusaha keras, semakin kuat racun itu terdorong balik.

"Aaakh...!" tiba-tiba saja Kera Biru memekik keras

Seketika itu juga tubuhnya terlontar sejauh tiga batang tombak, dan pegangan pada senjatanya terlepas. Belum lagi Kera Biru mampu bangkit, Kera Merah menjerit melengking dan tubuhnya bergetar hebat.

Kera Biru buru-buru melompat dan menendang tepat di tengah-tengah tongkat melengkung yang berada di tangan Kera Merah dan Pendekar Rajawali Sakti.

Trak!
"Akh!"

Kera Biru memekik tertahan, dan tubuhnya terpental keras. Bersamaan dengan itu, Kera Merah pun terpental sejauh dua batang tombak. Pohon-pohon yang terlanda tubuh mereka langsung hancur berkeping-keping. Rangga melemparkan senjata yang patah kena tendangan Kera Biru. Sementara itu kedua manusia kembar mirip kera itu bergegas bangkit. Dari mulut dan hidung mengucurkan darah kental agak kehitaman.

"Hoek!"

Hampir bersamaan si Kera Kembar dari Karang Setan memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Saat itu juga, tubuh mereka ambruk ke tanah. Rupanya racun yang dikeluarkan dari senjata mereka telah berbalik menyerang mereka berdua. Tubuh mereka menggelepar kejang kaku, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.

Dan pada saat yang tepat, sebuah bayangan hijau berkelebat cepat bagai kilat menyambar tubuh dua orang itu. Begitu cepatnya, sehingga tidak sempat disadari. Tahu-tahu sudah lenyap dengan membawa dua manusia kembar itu.

"Heh!" Rangga tersentak kaget.

Namun di saat kesadarannya bekerja, saat itu pula bayangan itu sudah lenyap dari pandangan matanya. Rangga hanya bisa memandang ke arah kepergian bayangan hijau yang membawa tubuh si Kera Kembar dari Karang Setan itu. Sedangkan Ki Petel yang menyaksikan sejak tadi, juga tidak kalah terkejutnya.

"Hm..., siapa dia...?" gumam Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

***

Saat itu matahari sudah menampakkan dirinya. Cahayanya hangat menerangi mayapada ini. Sebuah bayangan hijau berkelebatan cepat di antara pepohonan menuju ke sebuah lereng berbatu karang yang terjal dan kelihatan rapuh. Sosok bayangan hijau itu berlompatan ringan mendaki lereng sebelah Timur Gunung Palang Sewu yang berbatu karang rapuh itu.

Sosok bayangan hijau itu melesat masuk ke dalam sebuah goa di antara celah-celah batu yang agak menonjol keluar dari lereng gunung itu. Sebuah goa yang tidak begitu besar, dan terhalang oleh batu-batu karang yang menonjol keluar. Tidak ada yang dapat melihat mulut goa itu dari kaki Gunung Palang Sewu sebelah Timur sekalipun.

Sosok bayangan hijau itu terus bergerak masuk semakin jauh menelusuri lorong goa yang nampak panjang dan berliku. Dia baru berhenti setelah sampai pada suatu rongga yang cukup luas dan terang. Cahaya matahari menerobos melalui lubang-lubang di atas rongga goa itu.

Dua sosok tubuh mengenakan baju berwarna merah dan biru bergulir jatuh dari pundaknya yang terlihat kecil. Sesaat orang berbaju hijau itu memandangi dua sosok tubuh kembar berwajah seperti kera itu. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat. Kemudian dia berlutut memeriksa dua tubuh yang ternyata adalah si Kera Kembar dari Karang Setan itu.

"Hhh...!" kembali dia menarik napas panjang setelah memeriksa kedua orang kembar itu.

Dengan gerak perlahan, kepalanya menoleh saat mendengar langkah kaki ringan menghampiri. Tampak seraut wajah cantik mengenakan kerudung berwarna hijau tengah memandang ke arah langkah kaki tadi. Orang itu berdiri begitu matanya melihat seorang laki-laki tua berpakaian longgar dan kumal melangkah ringan menghampirinya. Sebatang tongkat berkeluk tergenggam erat menyangga tubuhnya yang hampir bungkuk. Seluruh rambut, janggut, dan kumisnya yang panjang berwarna putih.

"Ada apa dengan pamanmu, Katila?" tanya laki-laki tua itu setelah duduk bersila di atas batu ceper Wanita cantik berbaju serba hijau dengan kerudung hijau pula itu segera duduk bersila di depan laki-laki tua itu. Sebentar dia menoleh ke arah dua sosok tubuh kembar yang tergeletak tidak bergerak-gerak lagi. Seluruh tubuhnya sudah mulai membiru. Tak ada sedikit pun gerakan yang menandakan kehidupan.

"Tewas," sahut wanita cantik yang dipanggil Katila itu. Suaranya pelan, hampir tidak terdengar.

"Apa...?!" laki-laki tua itu tersentak kaget, dan langsung melompat bangun dan menghampiri si Kera Kembar yang menggeletak dengan tubuh membiru.

Laki-laki tua itu memeriksa manusia kembar berwajah mirip kera itu. Kepalanya bergoyang menggeleng-geleng beberapa kali. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat, kemudian berbalik dan kembali duduk di atas batu ceper.

"Maafkan aku, Ki Dadap. Aku terlambat menolongnya," kata Katila pelan dengan kepala tertunduk.

Laki-laki tua berbaju kumal itu memandangi Katila dengan tatapan mata kosong. Dua kali dia menarik napas panjang, seakan-akan ingin melonggarkan rongga dadanya yang mendadak jadi sesak mendapati dua manusia kembar itu tewas terkena racunnya sendiri.

"Siapa yang membunuhnya?" tanya Ki Dadap datar nada suaranya.

"Aku tidak tahu namanya. Dia seorang pemuda berbaju rompi putih. Tapi di sana aku lihat ada Ki Petel, Ki," sahut Katila.

"Apa orang itu juga yang menyelamatkan Ki Petel darimu?"

"Benar, Ki."

"Kedua pamanmu bukan orang sembarangan. Ilmu olah kanuragannya cukup tinggi, dan jarang ada yang menandinginya. Hm... aku tidak bisa meramalkan tingkat kepandaian orang itu," ujar Ki Dadap bergumam pelan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.

"Tapi bagaimanapun juga, kematian Nyai Dadap harus dibalas, Ki. Aku rela menyabung nyawa demi Nyai Guru," kata Katila mantap.

"Sebagai seorang murid yang baik, kau memang harus membalaskan sakit hati gurumu. Aku juga tidak akan tinggal diam saja melihat istriku tewas dibantai manusia-manusia pengecut itu. Rasanya dosa seumur hidup jika tidak membalas sakit hati istriku. Padahal dia hanya menuntut kematian orang tuanya sampai dia sendiri tewas dikeroyok secara licik!" ada tekanan haru pada nada suara Ki Dadap.

"Aku juga dendam pada Pranata, Ki. Dialah yang menyebabkan suamiku tewas. Kalau bukan karena perintahnya untuk mengusir babi-babi hutan, suamiku tidak bakal tewas oleh binatang keparat itu. Hatiku tidak tenteram jika belum mengunyah jantung si Pranata itu, Ki!" sambut Katila geram.

"Hm..., mungkin sudah saatnya aku harus turun tangan sendiri," gumam Ki Dadap pelan.

"Beri aku kesempatan sekali lagi, Ki. Rasanya aku masih mampu menghadapi mereka," sergah Katila cepat.

Ki Dadap menatap tajam pada wanita cantik di depannya. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja. Sesaat kebisuan menyelimuti mereka berdua.

"Kau memang mampu menghadapi mereka, Katila. Tapi rasanya kau tidak mampu menghadapi orang yang membunuh kedua pamanmu, pelan suara Ki Dadap.

"Ki," Katila ingin membantah.

"Dengar, Katila. Kau memang sudah menguasai sepenuhnya seluruh ilmu istriku. Bahkan kau memiliki senjatanya dan menguasainya dengan baik. Bukannya aku menyangsikan kemampuanmu, tapi orang yang satu ini... nada suara Ki Dadap terdengar ragu-ragu.

"Ki Dadap kenal dengan orang itu?"

"Coba kau sebutkan sekali lagi ciri-cirinya yang jelas," pinta Ki Dadap.

"Dia masih muda, Ki. Gagah dan tampan seperti seorang pangeran. Ilmunya, sangat tinggi sekali. Dia memakai baju rompi putih..."

"Pedang bergagang kepala burung di punggung!" serobot Ki Dadap cepat.

"Benar, Ki!" sentak Katila terkejut.

"Pendekar Rajawali Sakti...!" gumam Ki Dadap pelan.

"Kau kenal dia, Ki?" tanya Katila keheranan.

"Aku hanya menduga saja. Tapi ciri-ciri yang kau sebutkan sangat mirip dengan Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., aku memang belum pernah bertemu langsung dengannya. Tapi sering kudengar nama dan sepak terjangnya. Saat ini memang tidak ada orang yang mampu menandingi kepandaiannya," kata Ki Dadap setengah bergumam.

"Aku akan mencari keterangan tentang itu," kata Katila mantap.

"Kalau memang benar dugaanku, rasanya sulit bagi kita untuk membalaskan dendam Nyai Dadap dan suamimu, Katila. Aku tidak menyangsikan kalau paman-pamanmu tewas olehnya. Pendekar Rajawali Sakti memang sukar dicari tandingannya," masih dengan nada bergumam Ki Dadap berkata.

Katila jadi terdiam. Dia heran juga melihat suami gurunya diliputi keraguan. Sebelumnya belum pernah dilihat Ki Dadap yang begitu ragu-ragu dan tidak yakin akan dirinya sendiri. Dan Katila sendiri juga diliputi keraguan. Mungkinkah dendamnya akan terlaksana?

Katila berjalan cepat, menggunakan ilmu meringankan tubuh menuruni lereng Gunung Palang Sewu yang berbatu karang terjal dan rapuh. Wanita cantik yang selalu mengenakan baju hijau itu baru berhenti mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, setelah sampai di kaki lereng gunung itu. Kaki lereng yang banyak ditumbuhi pohon besar.

"Hm Hm"... bibirnya menyunggingkan senyum melihat seekor ular yang cukup besar merayap di rerumputan.

Perlahan-lahan Katila mendekati ular itu. Sikapnya begitu hati-hati, karena tahu kalau ular itu sangat berbahaya. Bahkan bisanya sangat mematikan.

"Hup, hop!

Dengan satu gerakan cepat, wanita itu menangkap tepat leher ular itu. Sedangkan sebelah tangannya memegang ekornya. Ular itu tidak berdaya meskipun berusaha menggeliat-geliat melepaskan diri dari cengkeraman tangan yang halus lentik itu. Katila tersenyum memandangi ular yang besarnya sama besarnya dengan tangannya sendiri.

"Hup!"

Hanya dengan satu lompatan mengandung ilmu meringankan tubuh, wanita itu melesat cepat ke arah Desa Palang Sewu. Begitu cepatnya bergerak, sehingga yang terlihat hanya bayangan hijau berkelebatan dari balik pepohonan.

Hanya dalam waktu sebentar saja, Katila sudah sampai di samping sebuah pondok kecil yang agak terpencil dari rumah-rumah penduduk Desa Palang Sewu Wanita itu langsung masuk ke dalam pondok itu. Dilemparkan ular hasil tangkapannya ke atas pembaringan. Ular itu menggeliat-geliat dan mendesis-desis mengangkat kepalanya. Katila tersenyum memandangi ular yang nampak marah itu.

"Aku perlu bantuanmu, sobat," kata Katila lembut.

Tanpa menghiraukan ular yang mulai merayap turun dari pembaringan, Katila membuka baju dan menyimpannya dalam lemari. Kini dia hanya mengenakan selembar kain agak lusuh dan pudar warnanya. Rambutnya dibiarkan meriap tak teratur, kemudian mundur mendekati jendela. Katila membuka jendela itu lebar-lebar. Sementara ular yang sudah merayap perlahan-lahan di lantai pondok, mendekatinya.

"Tolooong...!" tiba-tiba saja Katila menjerit sekuat-kuatnya.

Mendengar jeritan wanita itu, ular yang ditangkapnya mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Katila terus menjerit-jerit seperti orang ketakutan melihat ular. Jeritannya keras dan melengking tinggi. Sementara ular itu semakin mendekat saja.

Brak!

Mendadak saja pintu pondok itu hancur berantakan. Katila memekik tertahan. Tampak di ambang pintu berdiri seorang pemuda gagah berwajah tampan memakai baju rompi putih. Pemuda itu agak terkesiap, melihat Katila hanya mengenakan kain lusuh tengah ketakutan melihat ular yang merayap, menghampirinya.

"Oh, tolong.... Ular itu ingin menggigitku," rintih Katila memelas.

"Hap!"

Pemuda itu segera melompat, dan mencekal leher ular itu. Hanya dengan satu lompatan lagi, tubuhnya melesat keluar sambil membawa ular itu. Dia berhenti di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Dipandanginya sejenak ular itu.

"Rangga, hati-hati....!"

"Heh...!" Pemuda itu terkejut "Kau..., kau bisa berbicara?"

"Jangan kaget! Kau bisa berbicara dengan bangsa ular di mana pun, karena kau telah menjadi keluarga Satria Naga Emas." (Untuk jelasnya baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Asmara Maut).

Rangga tertegun sesaat, kemudian, diletakkan ular itu dengan hati-hati di atas rerumputan. Ular itu menjulurkan kepalanya ke atas. Matanya yang bulat merah menatap langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

"Gunakan pendekatan batinmu. Hanya kau dan aku yang bisa berbicara," kata ular itu lagi.

Rangga mengerahkan kekuatan batinnya. Dia memang pernah lama tinggal dalam Istana Satria Naga Emas, yang menjadi raja segala jenis ular di atas bumi ini. Dan memang tidak mengherankan kalau Rangga bisa berbicara dengan bangsa ular melalui kekuatan batin, karena Satria Naga Emas adalah sahabat karib Pendekar Rajawali, guru tunggal Rangga. Dan itu berarti Rangga adalah murid keponakan 'Satria Naga Emas.

"Dengarkan kata-kataku, Rangga. Jangan mempercayai wanita, itu! Dia sengaja menangkapku, lalu, berpura-pura takut untuk memancingmu. Ini dilakukan hanya untuk menjebakmu," kata ular itu.

"Hm... siapa dia?" tanya Rangga di dalam batinnya.

"Namanya Katila! Dia seorang janda dan murid tunggal Nyai Dadap. Tidak ada seorang pun yang tahu hubungannya dengan Nyai Dadap dan suaminya yang tinggal di Karang Setan bersama dua orang manusia kembar berjuluk si Kera Kembar dari Karang Setan. Dia punya tujuan tertentu, dan aku bisa merasakan hawa dendam pada hatinya," kata ular itu.

"Hm..., aku mengerti sekarang," gumam Rangga.

"Aku pergi dulu, dia sudah keluar."

Ular itu bergegas merayap masuk ke semak belukar. Rangga membalikkan tubuhnya. Tampak Katila berdiri di ambang pintu masih mengenakan kain yang menutupi tubuhnya. Bagian atas dadanya terlihat lebar, menampakkan kulitnya yang putih halus. Dua buah bukit kembar nampak sedikit menonjol seakan hendak menyembul keluar.

Rangga melangkah menghampiri, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Katila. Wanita itu memberikan senyum manis, tapi Rangga hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Di dalam hatinya, sulit untuk bisa mempercayai kalau wanita secantik ini punya maksud buruk terhadapnya. Tapi peringatan ular tadi tidak bisa dianggap main-main.

"Terima kasih kau telah menyelamatkan aku," ucap Katila lembut.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.

"Kau hebat sekali. Kau pasti seorang pendekar," kata Katila dengan bola mata berbinar.

Rangga hanya tersenyum tipis, kemudian membalikkan tubuhnya hendak berlalu. Tapi Katila dengan cepat menghampiri dan menghadangnya di depan. Jarak antara mereka begitu dekat, sehingga bau harum tubuh wanita itu menyebar menyeruak hidung.

"Aku akan berterima kasih sekali jika kau bersedia singgah sebentar," Katila mulai merajuk.

"Terima kasih," ucap Rangga bernada menolak.

Rangga menggeser kakinya ke samping, kemudian melangkah tanpa berkata-kata lagi. Katila ingin menghalangi, tapi cepat diurungkan niatnya. Wanita itu hanya memandangi punggung Rangga saja yang terus berjalan semakin jauh meninggalkannya.

"Hhh, tampan sekali. Sayang dia, jadi penghalangku yang utama. Hhh...! Katila mendesah pelan.

Wanita itu mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna, keperakan dari batik lipatan kainnya. Dia sudah mengangkat tangannya hendak melemparkan pisau itu, tapi niatnya diurungkan. Perlahan-lahan tangannya turun kembali. Bola matanya yang bulat bening bagai mata bocah tak berdosa itu memandangi Rangga yang semakin jauh meninggalkannya.

"Aku harus bisa menaklukkannya. Harus...!" gumam Katila dalam hati.

Katila benar-benar terpaut hatinya melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar Rajawali Sakti. Niatnya untuk membunuh pendekar muda itu pupus seketika. Naluri kewanitaannya bergolak. Dan dia memang sudah lama tak terjamah tangan laki-laki sejak suaminya tewas diterjang babi hutan yang merusak ladang penduduk Desa Palang Sewu. Dan kematian suaminya itu menjadikan Katila, dendam terhadap Pranata yang telah menyuruh suaminya mengusir babi hutan itu.

"Kau harus takluk, Pendekar Rajawali Sakti. Harus...." desis Katila.

***
ENAM
Sebuah bayangan hijau berkelebat cepat keluar dari pondok kecil yang terpencil di antara rumah penduduk Desa Palang Sewu. Dari balik rerimbunan semak, sepasang mata memperhatikan bayangan hijau Yang melesat cepat bagai kilat tadi. Sesaat kemudian, dari dalam semak itu melesat satu bayangan putih menuju ke arah bayangan hijau tadi berkelebat.

Bayangan hijau itu terus bergerak cepat menuju ke sebuah bangunan besar dikelilingi pagar tembok benteng yang kokoh. Bangunan itu adalah padepokan yang dipimpin Pranata. Bayangan hijau itu berhenti setelah tiba di samping pagar tembok yang tinggi dan terlindung bayang-bayang pohon. Keadaan di sekitar Padepokan Soka Palang Sewu itu tampak sepi, hanya beberapa orang murid saja yang berjaga-jaga di depan pintu gerbang.

"Sepi..., kesempatanku untuk membuat perhitungan dengan Pranata."

Sosok bayangan hijau itu ternyata adalah Katila. Meski seluruh kepala dan wajahnya terlindung selubung kain hijau, namun bentuk matanya yang indah masih dapat menggambarkan jati dirinya. Katila tidak menyadari kalau ada sepasang mata bening bersinar bagai bintang, tengah mengawasinya sejak keluar dari dalam pondoknya.

Slap!

Katila melesat naik ke atas pagar tembok benteng padepokan itu. Tubuhnya agak membungkuk dengan lutut tertekuk hampir menyentuh dinding atas tembok. Sebentar diamati keadaan di dalam benteng padepokan itu. Kemudian dengan satu gerakan ringan tanpa menimbulkan suara, tubuh ramping itu meluruk turun.

"Siapa itu?" terdengar bentakan keras begitu kaki Katila menjejak tanah.

"Sial!" dengus Katila.

Dengan gerakan cepat, Katila mengebutkan tangannya ketika seorang laki-laki muda bersenjata golok datang berlari-lari. Seberkas cahaya hijau melesat cepat ke arah orang itu, dan langsung menerjangnya tanpa ampun.

"Akh!" laki-laki muda itu memekik keras.

Seketika itu juga tubuhnya terjungkal ambruk. Hanya sebentar mampu bergerak, sesaat kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Sebilah pisau berwarna hijau tertancap dalam tepat di jantungnya.

"Hup!" Katila melompat cepat ke arah laki-laki muda yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Tangannya menjulur mencabut pisau yang tertanam di dada. Pisau berwarna hijau itu diselipkan di balik ikat pinggangnya. Katila mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara-suara langkah kaki menuju ke arahnya.

"Huh! Mereka sudah tahu kedatanganku!" dengus Katila memberengut.

Katila membalikkan tubuhnya, dan langsung. terkejut Di belakangnya kini telah berdiri sekitar sepuluh orang bersenjata golok terhunus. Dan ketika menoleh ke belakang, sudah ada sekitar sepuluh orang lagi. Mereka adalah murid dari Padepokan Soka Palang Sewu. Semuanya sudah menghunus golok telanjang di tangan. Tanpa menunggu komando lagi, mereka serentak bergerak mengepung.

"Ternyata dugaanku benar, kaulah yang selama ini membuat kerusuhan."

"Pranata... !" desis Katila ketika menoleh.

Pranata melangkah mendekat dengan bibir tersungging senyuman. Sedangkan Katila memandangnya penuh kebencian. Tidak kurang dari tiga puluh orang bersenjata golok mengepung di sekitar tempat itu.

"Kau menaruh dendam padaku, mengapa orang lain kau ikut sertakan, Katila?" agak bergetar suara Pranata.

"Bukan hanya kau, tapi seluruh penduduk desa ini harus mati!" sahut Katila dingin

"Hm.... kau membawa senjata Nyai Dadap. Ada hubungan apa kau dengan iblis betina itu?" mata Pranata tidak berkedip memandang senjata yang tersandang di tubuh Katila.

"Nyai Dadap guruku! Sekarang suaminya, dan aku muridnya akan menuntut balas!" jawab Katila tegas.

Pranata mengerutkan keningnya. Jawaban tegas wanita cantik itu membuatnya terkejut. Sungguh tidak pernah terpikirkan kalau Nyai Dadap mempunyai suami dan seorang murid wanita yang cantik. Wanita yang selama ini dikenal baik oleh penduduk Desa Palang Sewu, ternyata adalah murid Nyai Dadap! Dia itu dulu seorang tokoh hitam rimba persilatan yang menjadi momok menakutkan bagi seluruh penduduk desa.

"Demi arwah guruku, terimalah kematianmu, Pranata!"

Setelah berkata lantang, Katila langsung melompat menerjang Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu. Terjangannya begitu cepat, sehingga membuat Pranata sempat terperangah. Namun dengan cepat dia melompat mundur menghindari terjangan wanita berbaju serba hijau itu.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Katila berteriak keras melengking, dan tangannya mengibas cepat beberapa kali. Beberapa cahaya hijau meluncur bagai hujan ke arah orang yang mengepungnya. Begitu cepatnya cahaya hijau itu melesat, sehingga tidak ada yang sempat menghindarinya. Jeritan melengking terdengar beberapa kali Baling susul begitu cahaya hijau yang berasal dari beberapa jarum kecil itu menembus orang yang mengepung dengan senjata terhunus.

Tidak kurang dari sepuluh orang, ambruk bergulingan di tanah. Kejadian yang cepat dan tidak terduga itu, membuat yang lainnya jadi terperangah. Terlebih lagi Pranata. Dia terkejut sekali mendapati sepuluh orang muridnya tewas hanya dalam satu gebrakan saja.

"Iblis! Perempuan keparat...!" geram Pranata gusar.

"Yat..! Haaa..."

Katila kembali mengebutkan tangannya. Dan jeritan melengking kembali terdengar menyayat memecah kesunyian malam ini. Kembali delapan orang terjungkal roboh tertembus jarum-jarum beracun yang dilepaskan wanita cantik berbaju hijau itu.

"Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaa... !"

Pranata tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Langsung dicabut goloknya seraya melompat menerjang ganas. Katila mengegoskan tubuhnya sedikit ke kiri, maka tusukan golok Pranata lewat sedikit di pinggangnya.

Secepat Pranata menarik goloknya kembali, secepat itu pula dikibaskannya ke arah pinggang. Katila menarik kakinya ke belakang satu langkah, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya sambil menarik perutnya ke belakang. Kembali serangan Pranata luput dari sasaran. Ujung goloknya hanya lewat sedikit di depan perut Katila.

"Hap!"

Cepat sekali katila memutar tubuhnya sambil mengangkat kaki kanannya. Satu serangan balasan yang cepat, membuat Pranata sulit menghindarinya. Tapi dengan cepat Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu mengibaskan goloknya menyilang di depan dada.

"Uts!"

Katila langsung menekuk kakinya. Dan begitu golok Pranata berada di bawah perut, dengan cepat tangan kiri wanita itu melayang ke depan, mengarah ke dada lawan yang kosong.

Dug!

"Akh!" Pranata memekik tertahan.

Kepalan tangan Katila telak masuk ke dada Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu. Tubuh Pranata terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tangan kirinya mendekap dada yang terkena pukulan bertenaga dalam cukup tinggi itu.. Dan belum lagi Pranata dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, Katila cepat melompat sambil mencabut senjatanya berupa sebilah pedang berbentuk ular berwarna hijau.

Sret!

"Mampus kau, Pranata! Yaaat...! Katila menjerit keras melengking.

Sementara Pranata yang masih dalam keadaan limbung, hanya bisa terkesiap melihat serangan selanjutnya yang datang begitu. cepat. Tidak ada waktu lagi untuk berkelit. Pranata kontan mengangkat goloknya, cepat membentengi tubuhnya.

Trang!

Dua senjata beradu keras.

"lkh!" Pranata terperanjat. Tangannya bergetar hebat, dan golok kebanggaannya terpotong jadi dua bagian.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya, secercah cahaya hijau berkelebat cepat ke arahnya. Buru-buru Pranata melompat mundur. Namun ujung senjata Katila masih sempat menggores dadanya. Kembali Pranata memekik tertahan. Darah pun mengucur dari luka yang cukup panjang di dada Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu.

"Hi hi hi...!" Katila tertawa terkikih melihat darah mengucur dari dada lawannya.

"Serang...!" seru Pranata keras sambil menahan rasa nyeri.

Dua belas orang muridnya serentak berlompatan menyerang dengan ganas begitu mendapat perintah dari gurunya. Namun Katila bukanlah orang sembarangan. Gerakan jurus-jurusnya demikian cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa. Apalagi kini memegang senjata yang sangat ampuh dan dahsyat. Murid-murid Padepokan Soka Palang Sewu sungguh dibuat tidak berdaya. Mereka tumbang satu persatu dalam waktu cepat.

Hanya dalam waktu setegukan air teh saja, tinggal enam orang yang masih hidup. Katila benar-benar tidak memberi ampuh lagi pada lawan-lawannya. Dibabatnya habis siapa saja yang berani menghalanginya.

"Hiya! Yeaaah..."

Sambil berteriak keras, Katila melompat berputar mengibaskan pedangnya yang berbentuk seekor ular hijau itu. jerit dan pekik kematian mewarnai suasana malam ini. Jeritan terakhir dari murid-murid Padepokan Soka Palang Sewu. Katila berdiri tegak di, antara bergelimpangannya mayat-mayat. Pedangnya menyilang di depan dada. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Pranata. Saat itu Pranata sudah bisa menghentikan darah yang mengucur keluar dari luka di dadanya. Napasnya pun sudah teratur kembali.

Cring!

Katila memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggang. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dirinya seorang ksatria yang berani menghadapi lawan tanpa menggunakan senjata, di saat lawannya juga tidak memegang senjata. Perlahan-lahan Katila menggeser kakinya ke samping, dan pandangan matanya tetap tajam menusuk tidak berkedip.

Sementara Pranata juga telah bersiap-siap menghadapi wanita berbaju hijau yang penuh dendam di hatinya itu. Kini Pranata tidak dapat bermain-main lagi. Dia sudah merasakan, bagaimana pahitnya menganggap remeh lawan yang hanya seorang wanita. Dia juga tidak berkedip mengamati setiap gerak wanita di depannya.

"Hup!"
"Hya...!"

Hampir bersamaan, Katila dan Pranata melompat saling menerjang. Kedua tangan mereka terpentang ke depan, disertai pengerahan ilmu andalan masing-masing. Tepat pada satu titik di tengah, kedua tangan mereka bertemu. Satu ledakan keras terdengar menggelegar disertai memijarnya bunga api, di saat kedua pasang telapak tangan bertemu di udara.

Kedua tangan yang mengadu ilmu itu tampak terpental ke belakang dengan keras. Masing-masing jatuh bergulingan di tanah. Namun Katila cepat dapat bangkit kembali. Tampak darah mengalir keluar dari mulutnya. Sedangkan Pranata tetap menggeletak dengan tubuh menghitam bagai terbakar. Ketua Padepokan Soka Palang Sewu itu tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

"Hhh...!" Katila menarik napas panjang dan berat.

Namun wajahnya langsung memerah begitu menarik napas. Tangan kirinya menekan dadanya kuat-kuat Sesaat kemudian dimuntahkan darah kental agak kehitaman. Raut wajahnya berubah memucat, dan tubuhnya bergetar. Buru-buru dia duduk bersila, lalu menyilangkan tangannya di depan dada dengan jari telunjuk merapat menunjuk ke atas. Matanya terpejam rapat, kemudian diatur napasnya.

"Hsss..., " dari mulutnya keluar suara mendesis bagai seekor ular.

Katila menyadari kalau dirinya terkena pengaruh ilmu yang dikeluarkan Pranata tadi. Dipusatkan seluruh jiwanya lalu disalurkan hawa murni untuk memulihkan bagian dalam tubuhnya. Sedikit demi sedikit hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Dua kali dia memuntahkan darah kental kehitaman. Dan pada muntahan yang ketiga kalinya, darahnya kembali berwarna merah.. Perlahan-lahan kelopak, matanya kembali terbuka.

"Uh! Sungguh hebat ilmunya," lenguh Katila seraya bangkit berdiri. "Hampir saja aku tidak kuat menahannya."

Sejenak dipandangi keadaan sekitarnya yang dipenuhi mayat bergelimpangan bersimbah darah. Tatapan matanya langsung tertumbuk pada mayat Pranata yang terbujur kaku dengan seluruh tubuh menghitam hangus.

"Hhh...! Kalau saja tidak kugunakan aji 'Pati Geni', entah apa yang terjadi pada diriku... gumam Katila pelan.

Katila berbalik dan langsung melompat melewati pagar tembok benteng yang tinggi dan tebal. Tubuhnya melesat ringan, dan cepat meluruk ke bawah begitu melewati bagian atas tembok benteng itu. Dan begitu kakinya berhasil menjejak tanah, matanya membeliak lebar.

Katila memandangi laki-laki muda berwajah tampan di depannya seperti hampir tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Pemuda tampan berbaju rompi putih pun membalas tatapan itu dengan tajam pula.

"Mau apa kau ke sini?" tanya Katila agak ketus nada suaranya.

"Seharusnya kau sudah bisa menjawab sendiri, Katila," sahut pemuda itu dingin.

"Kau orang asing di sini. Jangan mencampuri urusanku!"

"Aku memang tidak akan mencampuri urusanmu, jika kau tidak berlaku kejam dengan membantai orang-orang tidak bersalah. Sayang sekali, tidak bisa kubiarkan kekejaman berlangsung di depan mataku."

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Katila sengit.

"Namaku Rangga, dan biasa dipanggil Pendekar Rajawali Sakti," pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri.

"Heh! Ternyata memang benar dugaan guruku. Kau memang akan menjadi batu sandungan besar bagiku," dengus Katila. Dia memang sudah pernah bertemu pemuda itu, namun belum mengenal namanya. Katila jadi teringat kata-kata Ki Dadap, suami gurunya yang telah memperingatkannya agar tidak mengambil urusan dengan orang yang bernama Pendekar Rajawali Sakti.

"Bukan hanya penghalang, tapi akan menghentikan tindakanmu," tegas Rangga.

"Cobalah, kalau kau mampu," tantang Katila.

Belum pernah Rangga ditantang seorang wanita seperti ini, meskipun wanita itu memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang cukup tinggi. Dan tantangan Katila membuat darahnya mendidih. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu masih dapat menahan diri. Dia yakin, di belakang wanita ini masih ada orang lain yang pasti sangat dihormatinya.

Rangga sendiri menginginkan orang yang berada di belakang semua kejadian ini. Baginya tidak ada gunanya jika hanya menghadapi orang yang tidak berkepentingan secara mutlak. Pendekar Rajawali Sakti tidak akan merasa puas jika belum bertemu dengan biang keladi yang sebenarnya.

"Katila. Siapa yang menyuruhmu melakukan semua pekerjaan ini?" tanya Rangga diperlunak nada suaranya.

"Diriku sendiri!" sahut Katila tegas.

"Kau memiliki ilmu-ilmu Nyai Dadap, dan kau juga menyandang senjatanya. Apakah dia gurumu? Diakah yang menyuruhmu membalaskan sakit hatinya?" desak Rangga.

"Jangan bawa-bawa nama guruku!" bentak Katila berang.

"Aku tahu, kau menyimpan dendam terhadap Pranata. Dan malam ini telah kau lampiaskan dendammu. Tapi aku yakin, tidak hanya sampai di sini tindakanmu, Katila. Dan itu bukan dari hati nuranimu sendiri. Kau Jangan berdusta di depanku, Katila," desak Rangga.

"Kau orang asing di sini. Apa untungnya mencampuri urusan orang lain, heh?!" bentak Katila.

Aku memang selalu mencampuri urusan orang lain, terutama orang yang berhati iblis dan bermaksud buruk pada orang yang tidak berdosa!" tegas nada suara Rangga.

"Huh! Tidak ada gunanya kau bicara padaku! Hih..."

Tiba-tiba saja Katila mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan saat itu juga, jarum-jarum beracun dahsyat bertebaran, melesat cepat. Yang terlihat kini hanya pancaran cahaya hijau yang meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hey! Hup...!"

Rangga tersentak kaget, dan cepat melompat ke atas menghindari sergapan jarum-jarum beracun itu. Dan pada saat itu juga, Katila melesat pergi sambil menebarkan puluhan jarum beracunnya kembali. Hal ini membuat Rangga harus berputar di udara menghindari terjangan senjata rahasia itu.

"Hap" Rangga jadi celingukan begitu kakinya mendarat di tanah. Katila sudah tidak terlihat di tempat ini. Sedangkan jarum-jarum beracun itu menancap di tanah dan pepohonan. Rangga mengumpat dalam hati. Dia tidak sempat memperhatikan ke arah mana wanita itu pergi.

"Cerdik sekali dia...!" dengus Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu melayangkan pandangannya berkeliling. Tidak ada sebuah bayangan pun yang terlihat. Yang ada hanya kegelapan malam dan udara dingin menusuk kulit.

"Dia pasti ada di pondoknya," gumam Rangga dalam hati.

Mendapat pikiran demikian, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya meninggalkan tempat itu. Sungguh cepat luar biasa! Dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam. Dan keadaan di sekitar Padepokan Soka Palang Sewu jadi lengang, tidak terdengar lagi suara sedikit pun.

***
TUJUH
Pendekar Rajawali Sakti terus berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepatnya sehingga yang terlihat hanya bayangan putih berkelebat menembus kegelapan malam. Tidak berapa lama, dia sudah sampai di pondok Katila yang kelihatan sepi. Hanya sebuah pelita saja yang menerangi bagian dalam pondok itu. Nyala apinya kecil, dan hampir padam tertiup angin yang berhembus agak kencang.

Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya mendekati pondok itu. Telinganya dipasang tajam-tajam, dan matanya tidak berkedip menatap ke arah pondok itu. Rangga mengerutkan keningnya begitu telah berjarak tiga langkah lagi di depan pintu pondok. Meskipun ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' sudah dikerahkan namun tidak terdengar satu pun suara yang mencurigakan. Hanya desiran angin saja yang terdengar.

"Tidak ada orang yang datang ke pondok itu."

"Eh...!" Rangga terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Tampaklah seorang laki-laki setengah baya tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Di samping laki-laki itu udah berdiri seorang wanita tua mengenakan baju longgar serba hitam. Rangga kenal, siapa mereka. Ki Petel dan Dewi Melati.

"Sejak tadi kami berada di sini, tapi tidak ada seorang pun yang kelihatan keluar atau masuk ke pondok itu," kata Dewi Melati seraya menghampiri.

"Jadi kalian juga mencurigai Katila?" tanya Rangga.

"Sudah lama aku mencurigainya, hanya belum mendapatkan bukti yang kuat," sahut Ki Petel.

"Bukti sudah ada."

Ki Petel dan Dewi Melati saling berpandangan tidak mengerti.

"Pranata dan murid-muridnya tewas terbantai di padepokannya malam ini," sambung Rangga.

"Apa...?!" bukan main terkejutnya. Ki Petel mendengar Pranata dan murid-muridnya tewas.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Dewi Melati juga terkejut.

"Katila," sahut Rangga. "Sayang, aku terlambat menolongnya. Aku dapati Katila sudah keluar dari padepokan itu. Aku yakin kalau Pranata dan murid-muridnya tewas," kata Rangga lagi

"Keparat! Benar-benar iblis perempuan itu!" geram Ki Petel.

"Bukan dia, tapi orang yang berada di belakangnya," ralat Rangga.

"Apa maksudmu?" tanya Dewi Melati minta penjelasan.

"Aku yakin ada orang lain di belakang Katila. Wanita itu mempunyai jurus dan senjata yang pernah dimiliki Nyai Dadap. Memang diakuinya kalau Nyai Dadap itu gurunya. Tapi selain itu masih ada orang lain lagi yang aku tidak tahu," jelas Rangga.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga," kata Ki Petel.

"Seberapa jauh kalian mengenal Nyai Dadap?" Rangga malah balik bertanya.

Kembali Ki Petel dan Dewi Melati saling berpandangan. Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh di luar dugaan sama sekali. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu.

"Maaf, kalau aku terlalu banyak bertanya. Tapi aku hanya tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Semua yang kulakukan selalu kupikirkan masak-masak. Bagiku, seorang yang dianggap melakukan kejahatan, belum tentu dilakukan oleh hati yang diliputi nafsu kejahatan. Bahkan pembunuhan bisa terjadi bukan karena kejahatan," kata Rangga kalem tanpa bermaksud menggurui.

"Aku bisa memahami maksudmu, Rangga. Tapi... apa mungkin Nyai Dadap masih hidup?" ujar Dewi Melati ragu-ragu.

"Nyai Dadap sudah meninggal, tapi masih ada suaminya. Katila sendiri memang sudah lama menjadi murid Nyai Dadap sebelum kalian berhasil membunuhnya. Dendamnya bertambah setelah Pranata memerintahkan suaminya mengusir babi hutan yang menjarah desa ini. Aku tidak tahu siapa suami Katila."

"Suami Katila adalah murid Pranata. Murid utama Padepokan Soka Palang Sewu. Kematiannya memang masih diragukan. Tidak mungkin dia tewas oleh babi-babi hutan itu," sambung Ki Petel.

Sesaat mereka terdiam.

"Sebentar...!" sergah Ki Petel cepat. "Aku menangkap nada lain pada pembicaraanmu, Rangga. Apa kau mencurigai salah seorang dari...."

"Tidak sejauh itu, Ki Petel," sergah Rangga cepat. "Tapi kemungkinan untuk hal itu bisa saja terjadi."

"Sungguh tidak pernah terpikirkan olehku..." gumam Ki Petel mulai menangkap maksud pembicaraan ini.

"Itu baru dugaan, Ki Petel. Dan kebenarannya harus dicari sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," ujar Rangga.

"Dan kebenaran itu bisa didapat di Karang Setan!" sergah Ki Petel menyambung.

"Karang Setan...?!" Rangga mengerutkan dahinya.

"Benar. Aku pernah melihat Katila datang dari arah Karang Setan. Daerah itu selalu dijauhi penduduk. Tempat itu dekat dengan jurang di mana kami berhasil mengalahkan Nyai Dadap sepuluh tahun lalu. Aku yakin kalau selama ini Karang Setan menjadi tempat persembunyian mereka," lanjut Ki Petel.

"Aku akan melihat ke sana," kata Rangga.

"Rangga...."

"Dan sebaiknya kalian menyelidiki siapa pengkhianat itu, " Rangga berkata cepat sebelum Dewi Melati melanjutkan ucapannya.

Sebelum kedua orang itu mencegah, Rangga telah melesat. cepat meninggalkan tempat itu. Sementara Ki Petel dan Dewi Melati hanya berpandangan, dan sama-sama mengangkat bahunya. Kemudian mereka berbalik, meninggalkan halaman pondok Katila. Tapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, Dewi Melati berhenti.

"Ada apa?" tanya Ki Petel.

"Kau teruskan saja mencari pengkhianat itu. Aku akan menyusul Pendekar Rajawali Sakti," sahut Dewi Melati.

"Dewi..."

Tapi Dewi Melati sudah cepat melesat meninggalkan Ki Petel seorang diri. Laki-laki setengah baya Kepala Desa Palang Sewu itu hanya bisa bengong, kemudian bergegas kembali berjalan menuju ke desanya yang tidak berapa jauh dari tempat ini. Pondok Katila memang masih termasuk wilayah Desa Palang Sewu, tapi letaknya menyendiri dari lingkungan perumahan penduduk lainnya. Ki Petel berjalan cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam waktu sebentar saja pondok kecil itu sudah jauh ditinggalkan.

Sementara itu Rangga sudah tiba di Kaki Lereng Gunung Palang Sewu yang berbatu. Daerah inilah yang dinamakan Karang Setan. Suasananya memang sangat menyeramkan. Sunyi lengang. Bahkan angin pun seakan-akan enggan berhembus. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan di kejauhan. Rangga memandangi lereng gunung yang berbatu tanpa satu pohon pun terlihat.

Sungguh aneh daerah ini. Hanya pada bagian tengah lereng saja yang berbatu karang dan kelihatan rapuh. Sedangkan pada bagian lain tampak subur dipenuhi pepohonan besar dan kecil. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati setiap jengkal bagian lereng yang berbatu. Keningnya agak berkerut melihat asap tipis mengepul dari salah satu bagian batu yang menjorok keluar.

"Hm..., asap apa itu?" tanya Rangga dalam hati. "Mungkin di sana ada sebuah tempat tersembunyi."

Mendapat pikiran demikian, Pendekar Rajawali Sakti itu segera melentingkan tubuhnya, mendaki lereng gunung berbatu karang yang rapuh itu. Gerakannya ringan, bagai seekor burung. Namun ketika kakinya menginjak sebuah batu, mendadak batu itu longsor.

"Hup!

Rangga buru-buru melentingkan tubuhnya, dan meluruk turun ke atas sebuah batu besar. Batu yang kelihatan kuat itu, kontan ambrol berantakan begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti hinggap di atasnya. Kembali Rangga melentingkan tubuhnya, agar tidak ikut jatuh bersama batu-batu yang longsor. Suara gemuruh terdengar bersama longsoran batu-batu dari lereng gunung itu.

Beberapa kali Rangga harus berputaran di udara, sebelum hinggap di atas tanah berumput di kaki lereng. Kepalanya menggeleng beberapa kali menyaksikan batu-batu yang berguguran ke bawah menimbulkan suara menggemuruh hebat. Beberapa batu hampir menghantam tubuhnya, namun dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menghindarinya.

Agak lama juga batu-batu, itu berguguran. Bumi yang dipijak bergetar hebat bagai terjadi gempa. Rangga memandangi dengan mata tidak berkedip. Asap tipis yang mengepul di tengah lereng itu hilang, bersamaan dengan berhentinya longsoran batu. Rangga mengerutkan keningnya. Dia yakin kalau di tengah-tengah lereng gunung ini ada satu tempat yang dijadikan persembunyian. Hanya saja, rasanya tidak mungkin mendaki lereng itu, meskipun mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia yakin kalau batu-batu itu dapat longsor karena disengaja oleh orang yang berada di lereng gunung itu.

"Terpaksa, aku harus meminta bantuan sahabatku," gumam Rangga dalam hati.

Sebentar dia memandang sekitarnya. Sepi! Tak ada seorang pun yang terlihat. Kemudian pandangannya kembali terarah ke lereng gunung yang berbatu rapuh itu.

"Suiiit...!"

Satu siulan panjang melengking tinggi dan bernada datar terdengar memecahkan kesunyian Kaki Lereng Gunung Palang Sewu ini. Rangga menatap lurus ke arah Timur. Cukup lama juga menunggu. Dari kejauhan sana, terlihat satu titik hitam keperakan melayang di angkasa. Semakin lama titik itu semakin membesar dan semakin jelas terlihat.

"Khraghk...!"

"Rajawali sahabatku! Kemarilah!" seru Rangga keras disertai pengerahan tenaga dalam cukup sempurna.

"Khraghk!"

Burung Rajawali Raksasa itu menukik turun, lalu hinggap tepat di depan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum dan merangkul kepala burung sahabatnya itu, sepertinya rindu sekali. Ditepuk-tepuknya leher burung itu penuh kasih sayang.

"Apa kabarmu, Sahabat?" tanya Rangga lembut.

Rajawali Raksasa menatap lurus ke bola mata Rangga. Sepertinya ingin bertanya sesuatu.

"Tidak sulit, Sahabat. Kita akan menyelidiki lereng gunung itu," kata Rangga seperti mengetahui apa yang ada di dalam benak Rajawali Raksasa sahabatnya ini.

"Grhhhk...!"

"Ya, aku juga sudah berpikir begitu. Ayolah! Kita tidak banyak punya waktu!"

Rangga bergegas melompat naik ke punggung Burung Rajawali Raksasa itu. Sebentar kemudian, burung raksasa itu telah melayang ke angkasa dengan Pendekar Rajawali Sakti berada di punggungnya. Rangga menunjuk ke arah tengah lereng berbatu karang. Burung Rajawali Raksasa itu melayang-layang memutari bagian tengah lereng berbatu karang.

"Ada goa di depan sana, Rajawali!" seru Rangga mengalahkan kebisingan angin yang menderu di telinga.

"Khraghk!"

Rajawali Raksasa menukik menghampiri titik hitam di tengah-tengah batu karang yang menjorok keluar dari Lereng Gunung Palang Sewu itu. Semakin dekat, semakin jelas terlihat kalau titik hitam itu merupakan mulut goa yang letaknya sangat tersembunyi. Sejenak Rangga mengamati keadaan mulut goa yang terlihat jelas itu. Tidak begitu besar, namun tampaknya cukup dalam dan panjang. Tidak terlihat cahaya sedikit pun. Itu tandanya kalau goa itu sangat panjang dan dalam.

"Aka akan melihat ke dalam, Rajawali!" kata Rangga keras.

"Khraghk!" Burung Rajawali Raksasa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa?" tanya Rangga mengetahui isyarat itu. Dan belum lagi pertanyaannya terjawab, mendadak seberkas cahaya hijau melesat ke arahnya. Burung Rajawali Raksasa memiringkan posisi tubuh sambil mengepakkan kuat-kuat sayapnya yang lebar. Dan sinar hijau itu melesat lewat di bawah sayap burung raksasa itu.

"Gila!" Rupanya mereka sudah mengetahui kedatangan kita, Rajawali," rungut Rangga.

"Grrrhk...!" Rajawali Raksasa memekik geram.

Saat itu, kembali sinar hijau melesat. Kali ini jumlahnya tiga buah, dan mengarah pada tiga jurusan yang hampir bersamaan. Rajawali Raksasa meraung keras, lalu dengan cepat melesat ke udara. Dan cahaya hijau itu pun lewat di bawah kakinya. Namun pada saat yang bersamaan, kembali melesat dua cahaya hijau ke arah burung raksasa itu.

Kali ini Rangga tidak bisa tinggal diam saja. Segera dicabut pedang pusakanya. Dan seketika itu juga sekelilingnya menjadi terang oleh cahaya biru berkilau yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti.

"Hyaaa...!"

Sambil berteriak keras, Rangga mengayunkan pedangnya ke depan. Dan saat itu juga, kepala burung rajawali raksasa merunduk ke bawah. Dua cahaya hijau yang meluruk deras ke arah kepala burung raksasa itu, langsung dihadang oleh Pedang Rajawali Raksasa yang mengibas cepat bagai kilat!

Trang! Tring!
"Heh!"

Rangga tersentak kaget setengah mati. Jari-jari tangannya bergetar kaku ketika pedangnya menghantam dua cahaya hijau itu. Kedua bola matanya membeliak lebar, saat melihat di mata pedangnya menempel dua buah pisau kecil berwarna hijau.

Sulit dipercaya kalau pisau itu menempel karena terbabat mata Pedang Rajawali Sakti. Pisau itu tidak buntung, melainkan hanya terpotong sedikit bagian tengahnya, sehingga menjepit pedang pusaka itu. Rangga mencabut kedua pisau berwarna hijau itu dan memperhatikannya dengan seksama.

"Racun..." desisnya terkejut.
"Khraghk...!"

Rangga kembali memasukan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Dia berpegangan keras pada leher burung raksasa sahabatnya ini. Seketika itu juga Rajawali Sakti meluruk turun dengan cepat. Sekejap mata saja, burung raksasa itu telah hinggap di atas tanah berumput, jauh dari lereng gunung yang berbatu karang rapuh itu. Rangga bergegas melompat turun dari punggung Rajawali Raksasa. Dalam genggaman tangannya masih tersimpan dua bilah pisau yang membuatnya belum bisa berpikir tenang.

"Kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Rangga, seraya memandang burung raksasa sahabatnya itu.

"Grrrrhk....!"

"Apa...?!

Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Baru disadari kalau tempat ini adalah Puncak Gunung Palang Sewu. Pandangan matanya langsung terpaku ketika menatap ke arah lereng gunung yang berbatu. Rasanya sukar dipercaya kalau di lereng berbatu itu ada seseorang tengah berlompatan ringan. Arahnya mendaki. Begitu ringan berlompatan, seakan-akan hanya seonggok kapas tertiup angin.

"Nyi Senah..." Rangga mendesis pelan begitu mengenali orang yang berlompatan mendaki lereng gunung yang berbatu itu.

Kening Pendekar Rajawali Sakti itu berkerut, begitu melihat Nyi Senah tiba-tiba menghilang tepat di tengah-tengah lereng yang berbatu itu. Dan Rangga tahu kalau tempat itu adalah mulut goa yang panjang dan gelap. Di mulut goa itulah dia mendapat serangan yang cukup membuatnya kerepotan tadi. Bahkan Burung Rajawali Raksasa hampir tidak sanggup menghadapinya.

"Hm... apa tujuan Nyi Senah ke sana? Apakah dia yang mengkhianati seluruh penduduk Desa Palang Sewu?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

Tentu saja pertanyaan itu tidak bisa terjawab kalau Burung Rajawali Raksasa tidak mematuki Punggungnya. Rangga menoleh dan langsung menatap ke bola mata burung raksasa itu. Kembali keningnya berkerut dalam melihat Burung Rajawali itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

"Ada apa?" tanya Rangga.
"Khrrrk...!"

"Kenapa kau pergi?" tanya Rangga seperti mengerti setiap gerakan dan suara yang dikeluarkan burung raksasa itu.

Rajawali Raksasa itu mengepakkan sayapnya, lalu perlahan-lahan membumbung tinggi. Kini kepalanya menyorong lurus ke arah belakang Rangga, sehingga Pendekar Rajawali Sakti itu pun membalikkan tubuhnya. Meskipun dia dapat berkomunikasi dengan burung raksasa itu, tapi masih juga sulit untuk mengartikan secara keseluruhan.

Dan ketika Rangga menoleh lagi ke arah sahabatnya itu. Burung Rajawali Raksasa itu telah melambung jauh. Kini hanya titik hitam keperakan yang tampak. Entah kenapa, Rangga menyunggingkan senyum ketika Rajawali Raksasa tidak meninggalkannya, tapi malah mengawasi dari jarak yang cukup jauh dan tidak terlihat. Rangga menduga, pasti ada sesuatu sehingga Rajawali Raksasa sahabatnya itu menjauhkan diri.

Dan jawaban itu didapat ketika telinganya mendengar suara langkah kaki yang sangat ringan. Bahkan hampir tidak terdengar sama sekah. Kalau saja bukan Rangga, pasti langkah kaki itu tidak akan terdengar. Langkah kaki itu disertai pengerahan ilmu meringan-kan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya.

"Hm... siapa dia...?" tanya Rangga dalam hati.

Dan pada saat langkah kaki itu terdengar dekat, Rangga segera melentingkan tubuhnya ke udara. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bagaikan segumpal kapas, begitu ringan dan cepat bagai terhembus angin. Tahu-tahu dia sudah hinggap di atas dahan pohon yang cukup tinggi dan rimbun daunnya.

Tidak lama berselang, dari kelebatan hutan di Puncak Gunung Palang Sewu ini muncul seorang wanita tua yang usianya sekitar tujuh puluh tahun. Rangga yang berada di atas dahan, langsung mengenali wanita tua itu yang tidak lain adalah Dewi Melati.

"Hup!" Rangga segera meluruk turun dari dahan pohon.

"Uts!" Dewi Melati kontan melompat sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

Namun begitu melihat siapa yang berada di depannya, wanita tua itu tersenyum, dan melangkah menghampiri. Rangga juga memberikan senyuman.

Maaf, aku telah mengagetkanmu," ucap Rangga lembut.

"Tidak. Aku hanya terlalu waspada," sahut Dewi Melati.

"Kau pasti mengikutiku ke sini," tebak Rangga langsung. "Kenapa melalui jalan memutar?"

"Tidak ada seorang pun yang bisa melintasi Karang Setan, kecuali seijin penghuninya," sahut Dewi Melati lagi. "Kau sendiri, kenapa berada di sini? Bukankah tadi melewati kaki gunung ini.

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Tidak mungkin dijawab pertanyaan itu terus terang. Selama ini belum ada seorang pun yang mengetahui tentang Rajawali Raksasa, kecuali orang yang berarti khusus. Atau juga dalam keadaan terpaksa.

"Aku tadi sempat melihat Nyi Senah," kata Dewi Melati langsung melupakan pertanyaannya tadi.

"Oh...! Rangga agak terkejut juga.

"Terus terang, sejak munculnya Nyi Dadap, sepuluh tahun lalu, dia kucurigai bersekutu dengannya. Kini kecurigaanku terbukti. Tapi aku tidak tahu, ada hubungan apa Nyi Senah dengan Nyai Dadap," sambung Dewi Melati.

"Hm... gumam Rangga tidak jelas.

"Pernah kukatakan hal ini pada Ki Petel dan yang lainnya, tapi mereka tidak mendengarkannya. Mereka memang tidak bisa disalahkan, karena masa laluku memang suram. Dulu, aku seorang tokoh beraliran sesat, tapi suka juga membantu yang lemah. Kau tahu, mengapa kulakukan itu?"

Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kepandaian yang kuperoleh memang dari orang beraliran sesat. Tapi hatiku tidak! Hal ini menjadikan diriku berada dalam dunia yang berlawanan. Seperti juga saudara seperguruanku, Ki Petel. Dia pun tidak menggunakan ilmunya untuk jalan sesat, meskipun semua yang dimilikinya tidak jauh berbeda denganku.

"Aku bisa mengerti," ucap Rangga setengah mendesah.

"Aku ingin meninggalkan semua kehidupanku yang suram di masa lalu. Tapi rupanya semua orang masih menilaiku buruk."

"Mungkin dengan kejadian ini, mata hati mereka terbuka, " Rangga membesarkan hati wanita tua itu.

"Kau hanya menghiburku saja, Rangga."

"Tidak! Bagiku semua orang bisa berubah. Aku sendiri tidak melihat kalau dirimu beraliran sesat. Bahkan kalau memang benar apa yang kau katakan tadi, aku malah kagum.

"Terima kasih."

"Hm..., bagaimana sekarang?" tanya Rangga membelokkan kembali ke pokok persoalan yang. tengah dihadapi.

"Kita tidak mungkin bisa ke Karang Setan. Tapi satu-satunya cara ke tempat itu hanya dengan memancing mereka keluar dari sana," sahut Dewi Melati.

"Caranya?"

Dewi Melati mengangkat bahunya setelah berpikir sejenak. Kemudian Rangga membalikkan tubuhnya. Dia mendongak ke atas, memandang titik hitam keperakan yang masih melayang di angkasa. Memang, satu-satunya jalan hanya minta bantuan Rajawali Raksasa.

"Suiiit...!"

***
DELAPAN
Dewi Melati terpaku hampir tidak percaya begitu melihat seekor Burung Rajawali Raksasa meluruk turun setelah mendengar siulan panjang melengking bernada aneh. Perempuan tua itu terheran-heran menyaksikan Rangga begitu akrab dengan burung raksasa itu.

"Nyai Dewi..!"

"Oh! Eh..., ya," Dewi Melati tergagap.

"Ini Rajawali Sakti, sahabatku," Rangga memperkenalkan sahabatnya itu.

Hati Dewi Melati masih diliputi perasaan heran bercampur tidak percaya. Dia hanya bisa mengangguk dengan mata tidak berkedip memandangi burung yang begitu besar dan terlihat sangat menakutkan. Sedangkan Rajawali Raksasa menyorongkan kepalanya kepada wanita tua itu. Hal ini membuat Dewi Melati terkejut setengah mati, sehingga tanpa sadar melompat ke belakang.

"Ha ha ha...!" Rangga tidak dapat menahan rasa gelinya melihat Dewi Melati ketakutan.

"Khrrrrk...!" Rajawali Raksasa mengkirik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan takut, Nyai Dewi. Sahabatku ini akan membantu kita memancing mereka keluar," kata Rangga setelah reda tawanya.

Dewi Melati masih belum bisa berkata-kata. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat seekor burung begitu besar, melebihi besarnya seekor gajah dewasa. Berpuluh-puluh tahun malang melintang dalam rimba persilatan, tapi baru kali ini menyaksikan sesuatu yang sukar untuk dipercaya. Sering didengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, dia tidak tahu sama sekali kalau pendekar muda itu mempunyai sahabat seekor burung raksasa. Rasanya saat ini tengah bermimpi saja!

"Ayo, Rajawali Sakti. Kita pancing mereka keluar!" seru Rangga tidak ingin membuat Dewi Melati semakin bengong keheranan.

"Khraghk!"

"Hap!" Rangga melompat naik ke punggung Rajawali Sakti.

Begitu Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di punggungnya, burung raksasa itu langsung melesat terbang ke angkasa. Tapi Rangga menepuk leher sahabatnya.

"Pindahkan dulu Nyai Dewi ke Kaki Lereng Gunung Palang Sewu," kata Rangga agak keras.

Rajawali Sakti melesat naik lebih tinggi, kemudian meluruk turun dengan cepat ke Puncak Gunung Palang Sewu. Tepat pada saat itu, sebongkah batu besar berguling dari semak belukar. Kalau saja Rajawali Sakti tidak cepat-cepat melesat naik, batu itu mungkin akan menghimpitnya.

"Khraghk...!"

"Kau tetap di sini! Aku akan turun! " seru Rangga.

"Grrrhk...!"

"Hup!"

Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Sakti. Namun belum juga kakinya mendarat di tanah, sebuah cahaya hijau meluruk cepat bagai kilat menerjangnya. Pendekar Rajawali Sakti itu cepat memutar tubuhnya di udara seraya mengibaskan pedangnya, menyampok pisau yang berwarna hijau itu.

Tring!

Dari balik batu besar yang terguling tadi, melesat sesosok tubuh berbaju hijau ketat yang menampakkan gambaran tubuhnya yang ramping. Rangga menjejak tanah dengan ringan. Pedangnya disilangkan di depan dada

"Kau hebat, Pendekar Rajawali Sakti. Mampu memaksaku keluar," kata wanita yang ternyata adalah Katila.

"Bukan hanya kau, tapi dua orang yang berada di belakangmu!" sahut Rangga dingin.

"Ha ha ha...!"

Rangga melompat mundur beberapa tindak begitu terdengar suara tawa menggelegar. Sebentar kemudian, dua sosok tubuh melesat keluar dari semak belukar tempat batu besar tadi terdapat. Rupanya semak belukar itu merupakan pintu penutup gua Karang Setan.

Ki Dadap dan Nyi Senah berdiri mengapit Katila.

Saat yang sama dari arah lain muncul Dewi Melati yang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

Dan dari arah lain. Pula, muncul Ki Petel bersama baberapa orang penduduk dan tetua Desa Palang Sewu. Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru langsung lenyap seketika.

"Nyi Senah! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Petel keheranan melihat Nyi Senah berdiri di samping Katila.

"Kau sudah dapat menjawabnya sendiri, Ki Petel. Atau kau tanyakan pada Ki Ageng Sela," jawab Nyi Senah kalem, seraya sudut matanya melirik Ki Ageng Sela yang, berdiri di samping Wandara.

Ki Petel memalingkan muka ke arah Ki Ageng Sela. Bahkan semua orang yang ada di tempat itu menatap pada salah seorang tetua Desa Palang Sewu itu. Hal ini membuat laki-laki tua itu sedikit kelabakan. Wajahnya berubah-ubah tidak menentu. Dan tiba-tiba saja, dikibaskan tangannya cepat. Wandara yang berada di sampingnya terperangah sesaat. Belum sempat disadari apa yang bakal terjadi, tahu-tahu lambungnya sudah sobek mengucurkan darah.

"Ki Ag...."

Wandara tidak bisa melanjutkan ucapannya. Tubuhnya kontan ambruk, berkelojotan di tanah. Sebentar kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Darah yang keluar dari lambungnya berubah berwarna hijau kehitaman. Sedangkan dari mulutnya merembes busa berwarna hijau.

"Ki Ageng... kau...!" Ki Petel terpana menyaksikan kejadian yang begitu cepat dan tidak diduga sama sekali.

"Hup!"

Ki Ageng Sela melompat menghampiri Nyi Senah, lalu, mendarat manis di samping wanita tua itu. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis, menatap orang-orang yang masih terpana tidak mengerti.

"Seharusnya aku tidak terlalu percaya padamu, Ki Ageng," kata Ki Petel datar.

"Terlambat," dengus Ki Ageng sinis.

"Sejak aku jadi kepala desa, kau selalu menentang setiap keputusanku. Semula kusangka kau hanya mendebatku saja. Ternyata ada, maksud-maksud tertentu di balik hatimu, Ki Ageng," dingin dan datar nada suara Ki Petel.

"Kalian semua memang manusia bodoh! Memiliki ilmu yang tinggi, tapi tidak dapat menjabarkan setiap ilmu. Kau mendaratkan pukulan aji 'Belah Raga' pada Nyai Dadap, tapi kau tidak menyadari kalau ajianmu itu akan luntur oleh 'Pukulan Racun Merah' milik Nyi Senah, Ki Petel. Juga, Tombak Sangkal Putung milik Pranata tidak ada artinya dengan aji 'Pukulan Tapak Saketi' milik Wandara. Ditambah lagi dengan aji Walang Sungsang' milikku. Nyai Dadap tidak akan tewas, meskipun dihujani dengan berbagai macam ajian yang dahsyat, karena semua ajian itu bertentangan dan saling menghancurkan," kata Ki Ageng Sela.

"Jagat Dewa Batara..." desis Ki Petel Baru menyadari kalau kata-kata yang diuraikan Ki Ageng Sela, memang benar.

"Tapi kau boleh bangga, Ki Petel. Saudara seperguruanmu telah menewaskan Nyai Dadap sebelum sampai terjerembab ke dasar jurang," lanjut Ki Ageng Sela.

"Ki Ageng Sela! Apa sebenarnya yang kau, inginkan?" tanya Dewi Melati menyelak.

"Aku...? Ha ha ha...!" Ki Ageng Sela malah tertawa "Tanyakan saja pada Nyi Senah."

"Kami semua bersaudara. Nyai Dadap adalah adik tiriku. Dan Ki Ageng Sela adalah saudara seperguruan dengan Nyai Dadap. Kami berpisah sejak kecil. Aku dan Ki Ageng Sela sengaja membantu kalian mengeroyok Nyai Dadap, karena kami tahu kalau ilmu yang kalian miliki bertentangan dan saling melumpuhkan dengan kami," jelas Nyi Senah.

"Dan suami Nyai Dadap menginginkan kematian istrinya terbalaskan. Sekaranglah saatnya pembalasan itu!" sambung Ki Ageng Sela.

"Keparat! iblis kalian semua!" geram Ki Petel.

"Terimalah pembalasan dari arwah Nyai Dadap!" seru Ki Ageng Sela.

Seketika itu juga Ki Ageng Sela melompat menerjang Ki Petel. Sedangkan Nyi Senah menerjang Dewi Melati. Ki Dadap yang sejak tadi diam saja, hanya jadi penonton bersama Katila. Juga begitu pula dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dia belum berbuat apa-apa. Semua yang terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali.

Pertarungan antara Ki Petel dan Ki Ageng Sela langsung mencapai tingkat yang tinggi. Begitu pula dengan Nyi Senah dengan Dewi Melati. Di saat mereka tengah bertarung, Katila melesat ke arah beberapa penduduk yang berada di sekitar tempat itu. Katila mengamuk bagai singa betina kehilangan anaknya. Para penduduk yang rata-rata hanya memiliki ilmu silat rendahan itu tidak mungkin mampu menghadapi amukan Katila.

"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Ki Dadap berteriak keras.

Dan pada saat Ki Petel baru saja menerima satu pukulan telak dari lawannya, Ki Dadap siap menghunjamkan sebilah keris hitam ke arah dada kepala desa itu. Melihat ini, Rangga tidak tinggal diam, dan langsung melesat sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Plak!

"Ahk!" Ki Dadap memekik tertahan ketika merasakan pergelangan tangannya nyeri.

Buru-buru dia melompat, mundur, membatalkan terjangannya pada Ki Petel. Laki-laki tua itu menggereng, membatalkan terjangannya pada Ki Petel. Laki-laki itu menggereng marah melihat Rangga sudah berdiri tegak di depan Ki Petel.

"Keparat! Kau cari mampus, Anak Muda!" geram Ki Dadap.

"Aku tidak bisa diam melihat kekejian dan kecurangan berlangsung di depan mataku!"

"Phuih! Aku sering mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Majulah, biar kupatahkan batang lehermu!" geram Ki Dadap.

Setelah berkata demikian, Ki Dadap segera saja melesat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Ageng Sela kembali bertarung melawan Ki Petel. Rangga melayani serangan laki-laki tua itu dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Gerakan kakinya demikian lincah, sehingga, setiap serangan yang dilancarkan Ki Dadap berhasil dielakkannya dengan manis.

Hal ini tentu saja membuat Ki Dadap semakin geram, dan semakin memperhebat serangannya dengan menggunakan jurus-jurus andalan. Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah melayani Ki Dadap, Katila telah menyelesaikan pertarungannya. Dia langsung menghambur membantu Ki Dadap mengeroyok Rangga. Menghadapi Ki Dadap saja, Rangga sudah harus jatuh bangun. Apalagi kini ditambah lagi dengan Katila yang telah membantai habis penduduk Desa Palang Sewu yang ikut bersama kepala desanya.

"Huh! Mereka benar-benar iblis!" dengus Rangga mengetahui sekitar tiga puluh penduduk tewas terbantai.

"Suiiit..."

Tiba-tiba saja Rangga bersuit nyaring melengking. Nada siulannya panjang dan terdengar aneh di telinga. Tidak berapa lama kemudian dari angkasa meluncur seekor Burung Rajawali Raksasa. Semua orang yang sedang bertarung seketika berlompatan mundur menghentikan pertarungannya. Di saat itu, Rangga melesat tinggi dan hinggap di punggung Rajawali Raksasa itu.

Sret!

Begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya, terpancar cahaya biru berkilau menerangi sekitar Puncak Gunung Palang Sewu ini. Rangga benar-benar marah melihat kekejaman yang terjadi di depan matanya. Dengan menunggang Burung Rajawali Raksasa, diterjangnya empat orang berhati iblis itu.

Dewi Melati dan Ki Petel segera melompat menjauhi tempat itu. Tinggal empat orang yang memiliki dendam dan hati penuh kekejaman yang kini berjumpalitan menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti dan Burung Rajawali Sakti tunggangannya. Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma', sehingga tempat di sekitar pertarungan porak-poranda, bagai terlanda topan yang amat dahsyat.

"Aaakh...!" satu jeritan melengking tinggi terdengar.

Tampak Ki Ageng Sela terjungkal keras menghantam sebongkah batu hitam yang keras. Paruh Rajawali Raksasa yang besar dan keras telah mengoyak dadanya hingga hancur berantakan. Di saat yang bersamaan, pedang Pendekar Rajawali Sakti mengibas cepat ke arah leher Nyi Senah.

"Aaa...!" Nyi Senah menjerit melengking.

Melihat tumbangnya dua orang dalam waktu yang bersamaan, Katila jadi kecut juga hatinya. Dia segera melompat jauh ke belakang dan segera berbalik hendak melarikan diri. Namun Dewi Melati dan Ki Petel lebih gesit lagi, dan langsung melesat menghadang. Tanpa berkata-kata lagi mereka segera menyerang Katila dengan gencar.

"Mampus kau, iblis keparat! Hiyaaa... seru Ki Petel nyaring.

Ki Petel melontarkan tangan kanannya ke depan disertai pengerahan aji 'Belah Raga'. Pada saat itu Katila tengah sibuk menghindari serangan Dewi Melati, sehingga dia tidak mempunyai kesempatan lagi menghindari serangan Ki Petel. Telapak tangan Kepala Desa Palang Sewu itu telak menghantam dada Katila.

"Ugh"

Hanya sedikit Katila mengeluh pendek, lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Di saat itu, Dewi Melati melompat cepat ke belakang Katila dan langsung menghajar punggung wanita cantik itu disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tubuh Katila kontan terpental keras, menghantam pohon besar hingga tumbang. Hanya sebentar mampu bergerak, kemudian diam tidak bernyawa lagi.

Sementara itu Rangga telah turun dari punggung, Rajawali Sakti. Dan kini dia bertarung sengit melawan Ki Dadap. Dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti di tangan, Rangga bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Setiap tebasan pedangnya menimbulkan udara panas menyengat disertai desiran angin menggemuruh bagai topan.

"Awas kepala ... !" tiba-tiba Rangga berseru keras.

Secepat itu pula, pedangnya berkelebat cepat ke arah kepala Ki Dadap. Laki-laki tua itu cepat-cepat merundukkan kepalanya. Dan begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti lewat di atas kepala Ki Dadap, tanpa diduga sama sekali Rangga menghantamkan tangan kirinya ke arah dada. Namun Ki Dadap mampu menghindarinya cepat. Tubuhnya dimiringkan ke kanan, dan tangan kanannya menepak tangan kiri Rangga.

"Hup!"
"Hiya...!"

Kedua tokoh sakti itu berlompatan mundur. Mereka berdiri saling berhadapan. Ki Dadap mengepalkan kedua tangannya di depan mukanya, kemudian perlahan-lahan turun sampai di depan dada. Melihat lawannya mengerahkan ajian, Rangga segera menyilangkan pedangnya di depan dada. Segera dimasukkan pedang ke dalam warangkanya, karena akan menggunakan ajian.

Cring!

Pedang Pusaka Rajawali Sakti masuk dengan cepat ke dalam warangkanya. Dan Rangga langsung mempersiapkan diri dengan pengerahan aji' Cakra Buana. Sukma'.

"Hiyaaa..."

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"

Dua tokoh sakti itu berlompatan saling menerjang. Dan pada satu titik tengah, kedua telapak tangan mereka bertemu dengan keras. Akibatnya terjadi satu ledakan dahysat, disertai berpijarnya bunga api. Rangga mencengkeram kuat jari-jari tangan Ki Dadap. Mereka berdiri berhadapan saling berpegangan tangan. Terlihat jelas kalau mereka sama-sama mengerahkan ajian yang diandalkan.

"Uhk!" Ki Dadap mulai mengeluh.

Dirasakan adanya satu aliran yang sangat kuat menyedot tenaganya. Gumpalan cahaya biru yang terpancar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti mulai menyelimuti kedua tangan laki-laki tua itu. Dan kini perlahan-lahan cahaya biru itu merayap ke pangkal lengan, dan terus menjalar menyelimuti tubuh Ki Dadap.

"Uh! Ahk...!"

Tubuh Ki Dadap mulai bergetar. Tenaga dalam dan seluruh kekuatannya tersedot tanpa mampu dicegah lagi. Seluruh tubuhnya terselubung cahaya biru yang semakin pekat mengaburkan. Getaran pada tubuh Ki Dadap semakin bertambah hebat. Dia berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun semakin kuat dikerahkan kekuatannya, semakin kuat pula tenaganya tersedot.

"Hiyaaat...!" tiba-tiba Rangga berteriak keras.

Seketika itu juga dihentakkan tangannya. Akibatnya tubuh Ki Dadap terpental keras ke belakang. Bersamaan dengan itu terdengar satu jeritan panjang disertai suara ledakan dahsyat. Tubuh Ki Dadap hancur berkeping-keping jadi tepung. Rangga berdiri tegak memandangi onggokan daging yang berhamburan hangus bagai terbakar.

Pendekar Rajawali Sakti itu telah memantapkan dan menyempurnakan aji 'Cakra Buana Sukma', sehingga hasilnya sungguh dahsyat luar biasa. Sebentar dia menarik napas panjang, kemudian melesat naik ke atas punggung Rajawali Sakti yang bertengger tidak jauh darinya. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang Ki Petel dan Nyai Dewi Melati sesaat, kemudian memerintahkan rajawali tunggangannya untuk pergi. Masih ada tugas yang menunggu bantuan Pendekar Rajawali Sakti.

"Khraghk!"

Rangga melambaikan tangan pada Ki Petel dan Nyai Dewi Melati.

TAMAT

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar