Pendekar Rajawali Sakti eps 094 : Pendekar Aneh

SATU
Di tempat ini memang agak sepi dan teduh. Sinar matahari pagi tampak menerobos sela-sela ranting. Kicau burung yang saling bersahutan, sepertinya mengiringi ayunan langkah kaki seorang pemuda berambut panjang yang tenang dan santai. Pemuda berbaju rompi putih itu sesekali menengadah ke atas sambil tersenyum kecil menyaksikan burung-burung yang melintas dari cabang satu ke cabang pohon yang lain.

"Damai sekali kehidupan mereka.... Tanpa kemelut, yang setiap hari mewarnai perjalanan hidup manusia," gumam pemuda itu.

Pemuda yang di punggungnya bertengger sebuah gagang pedang bergagang kepala burung itu tidak lain Rangga. Dan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Di saat Rangga tengah asyik menikmati keindahan alam beserta isinya dalam hutan ini, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan melesat begitu cepat di depannya. Rangga terkesiap, dan seketika itu juga ayunan langkahnya berhenti.

"Hm..." gumam Rangga.

Dan tahu-tahu, di depan Rangga sudah berdiri seseorang bertubuh tinggi kurus. Dia mengenakan baju yang agak longgar. Sepasang matanya terlihat kecil, namun memancarkan sorotan tajam, menusuk penuh kebencian. Kumisnya tipis dengan kedua ujungnya menjuntai ke bawah.

"Anak muda! Kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanyanya dengan suara dingin.

Rangga tidak langsung menjawab.

"Hei...! Apakah telingamu tuli?!" bentak orang itu dengan sikap garang dan suara lantang. Kedua tangan laki-laki bermata kecil yang tadi terlipat di depan dada itu, kini dilepaskannya. Tangan kiri bertolak pinggang, dan tangan kanannya memegang sebilah pedang yang ditudingkan tepat mengarah ke dada Rangga. Tapi, sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak peduli. Bahkan kelihatan tenang sekali.

"Kisanak, apa maksudmu mencariku?" tanya Rangga dengan suara terdengar begitu tenang

"Hm.... Jadi, kau benar pendekar kondang itu? Orang-orang menjulukiku Pedang Ular Emas. Selama ini, tidak seorang pun yang boleh meremehkan diriku!" kata orang itu, agak sinis nada suaranya.

"Kisanak! Aku tidak mengerti, ke mana arah pembicaraanmu. Kita baru bertemu sekali ini. Bagaimana mungkin kalau tiba-tiba kau menuduhku telah meremehkan dirimu?" sahut Rangga heran. Kelopak matanya agak menyipit, dengan kening sedikit berkerut.

"Tidak perlu banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti! Namamu belakangan ini menjulang setinggi gunung. Dan selama ini, orang telah menganggap Pedang Ular Emas tidak ada apa-apa dibanding julukanmu. Jadi, secara tidak langsung kau meremehkanku. Maka sekarang akan kubuktikan, julukan Pendekar Rajawali Sakti hanya pepesan kosong belaka. Biar orang-orang persilatan terbuka matanya, bahwa Pedang Ular Emas tak boleh diremehkan!" terdengar lantang sekali suara laki-laki bermata kecil yang ternyata berjuluk Pedang Ular Emas.

Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala. Dia mengerti, apa yang dimaksud Pedang Ular Emas ini. Ternyata laki-laki bermata kecil ini satu dari orang-orang persilatan yang berpikiran picik. Orang yang selalu menganggap bahwa sebuah nama punya arti yang besar dalam menunjang ketenaran, agar dikagumi tokoh-tokoh lainnya.

Dan memang, tidak sedikit orang-orang dari kalangan rimba persilatan yang selalu mempermasalahkan julukan. Mereka selalu menginginkan yang paling tinggi, dan ditakuti semua orang. Baik dari kalangan rimba persilatan, maupun kalangan biasa. Bahkan tidak sedikit yang berani menyabung nyawa, hanya karena ingin membuktikan kalau tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari yang lain.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang. Terasa begitu berat hembusan napasnya. Sudah bisa ditebak, apa yang diinginkan orang yang mengaku berjuluk Pedang Ular Emas ini. Dan keadaan seperti inilah yang sama sekali tidak diinginkannya.

"Pedang Ular Emas! Aku memang pernah dengar namamu yang kesohor itu. Oleh sebab itu aku menaruh hormat padamu. Kau bukanlah tokoh golongan hitam yang telengas. Juga, bukan tokoh golongan putih yang selalu membela kebenaran tanpa pamrih. Kau memiliki jalan hidup sendiri, dan aku tidak bermaksud mengusikmu. Karena di antara kita tidak ada perselisihan, maka biarkanlah aku meneruskan perjalanan," ujar Rangga sambil tersenyum kecil.

"Huh! Beginikah sikap tokoh yang namanya banyak dipuja orang...?" dengus Pedang Ular Emas sinis.

"Hm.... Aku semakin tidak mengerti maksudmu, Kisanak. Kalau kau merasa namamu besar dan dikagumi orang, nah biarlah sekarang kukatakan kalau aku pun kagum kepadamu," kata Rangga lagi, seraya menjura.

"Phuih! Kau pikir aku bisa menerima begitu saja, heh...?!" dengus Pedang Ular Emas ketus.

Pendekar Rajawali Sakti menghela napas. Hatinya mulai kesal melihat tingkah orang ini. Tapi tetap saja bibirnya tersenyum. Dicobanya untuk lebih bersabar dan menahan diri, agar amarahnya tidak terpancing. Walaupun, di dalam hatinya mulai tidak menyukai sikap yang ditunjukkan Pedang Ular Emas.

"Jadi, bagaimana caranya agar kau percaya bahwa aku kagum pada nama besarmu?" tanya Rangga. Kali ini nada suaranya datar, tanpa sedikit pun tekanan.

"Melalui pertarungan hidup dan mati!" sahut Pedang Ular Emas tegas.

Hal itu memang telah diduga Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Namun tidak menyangka kalau Pedang Ular Emas menawarkan pilihan pertarungan hidup dan mati. Bukannya Pendekar Rajawali Sakti takut mendengar kata-kata yang menantang itu. Namun, batinnya memang tidak bisa menerima. Dan memang, di antara mereka tidak ada pertentangan yang mengharuskan bertarung hidup dan mati.

"Kau takut, Anak Muda...? Kalau begitu, cabut pedangmu dan gorok lehermu sendiri," ejek si Pedang Ular Emas, terdengar begitu sinis.

"Kisanak! Jangan terlalu memaksa. Bukankah akan lebih baik kalau masalah ini diselesaikan baik-baik?" bujuk Rangga, masih mencoba bersikap sabar dan tenang. Padahal dalam dadanya sudah bergolak mendidih menghadapi sikap yang terus-menerus menantang.

"Pendekar Rajawali Sakti! Kalau kau takut menghadapiku, katakan secepatnya. Biar pedangku ini yang akan menebas lehermu!" bentak Pedang Ular Emas, sambil mencabut batang pedang yang berkilat tajam dari warangka.

Rangga cepat menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dia terkejut sekali melihat Pedang Ular Emas tampak begitu bersungguh-sungguh hendak bertarung dengannya. Dan belum juga bisa berpikir lebih panjang lagi, cepat sekali laki-laki bermata kecil itu sudah melompat menyerang sambil berteriak nyaring.

"Pendekar Rajawali Sakti! Mari kita mulai saja! Hiyaaat..!"

"Ups!" Rangga cepat-cepat bergerak ke samping sambil menunduk, menghindari sabetan pedang lawan yang bergagang kepala ular berwarna emas itu. Tapi kaki kanan si Pedang Ular Emas rupanya telah mengikuti gerakan pedangnya, dan langsung terayun ke lambung Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak menghindar. Rangga tidak punya pilihan lain. Cepat kaki kirinya ditekuk. Kemudian dengan kecepatan bagai kilat, kakinya terayun menangkis tendangan lawan.

Plak!

"Huh! Yeaaah...!"

Si Pedang Ular Emas sedikit terkejut. Kakinya kontan terasa kesemutan akibat berbenturan dengan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebagai tokoh ternama, mana sudi menunjukkan kekagumannya atas kehebatan tenaga dalam lawan. Bahkan pedang di tangannya masih sempat menyabet kembali ke arah leher.

Wuk!

"Hap!"

Rangga cepat-cepat menarik kakinya selangkah ke belakang, dan terus melenting ke udara. Sementara itu ujung pedang lawan terus bergulung-gulung mengejar ke mana saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak menghindar. Bahkan tulang keringnya nyaris terputus pedang lawan, kalau saja tidak buru-buru ditekuknya. Kemudian ketika baru saja menjejakkan kaki, ujung pedang laki-laki bermata kecil itu menghunjam deras ke arah jantung.

"Hiyaaa...!"

"Uts!"

Pendekar Rajawali Sakti cepat menggeser tubuhnya, maka pedang itu lewat beberapa jengkal di depan dadanya. Namun bersamaan dengan itu, kaki kiri Rangga menghentak ke arah lambung lawan ketika tubuhnya melompat ke belakang. Begitu cepatnya hentakan kaki pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga....

Dukkk!

"Haiiit..!"

Pedang Ular Emas yang menangkis serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat tangan kirinya dihentakkan, begitu serangan susulan Pendekar Rajawali Sakti yang sangat cepat kembali tiba. Sedangkan pedangnya terus menyambar cepat sekali, mengarah ke pinggang. Tapi, tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah mencelat tujuh langkah di depannya.

Terpaksa Pedang Ular Emas tidak melanjutkan serangan. Pedangnya yang berkilatan diusapnya dengan telapak tangan kiri hingga ke ujungnya. Sementara, sepasang matanya semakin menunjukkan kegarangan dan sinar kebencian yang mendalam.

"Hm.... Tidak percuma namamu begitu digembar-gemborkan orang. Ternyata, ilmu silatmu memang hebat. Tapi jangan girang dulu, Anak Muda. Sekarang, coba hadapi ilmu 'Pedang Setan Mengejar Rajawali'," dengus Pedang Ular Emas.

"Kisanak. Kurasa cukup sampai di sini saja urusan kita. Aku tidak begitu bersemangat mengurusi soal sepele begini," sahut Rangga, enggan.

"Sepele katamu, heh...?! Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Untukku, persoalan ini sangat penting! Ini sudah menyangkut harga diri!" dengus Pedang Ular Emas ketus.

"Harga diri apa yang kau pertahankan, Kisanak? Ku ingatkan sekali lagi, di antara kita tidak pernah punya perselisihan. Dan kalau memang pertarungan yang kau kehendaki sekadar mencari nama belaka, biarlah aku mengalah dan mengatakan kalau kau lebih unggul dibandingkan denganku," kata Rangga masih mencoba bersikap lunak.

Tapi Pedang Ular Emas malah mendelik garang mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Rangga sudah bersikap mengalah, tapi justru membuatnya merasa semakin terhina dan direndahkan. Pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini dianggapnya sudah merendahkan dan menghina dirinya dengan bersikap mengalah seperti itu. Dan ini membuat darahnya semakin panas bergolak.

"Pendekar Rajawali Sakti! Sudahlah, jangan banyak mulut! Kalau memang kau tidak mengerti apa yang kuinginkan, aku tekankan sekali lagi. Aku tidak peduli kau mau mengalah atau tidak. Yang jelas, pedangku akan membuat di antara kita hanya ada dua pilihan. Kau, atau aku yang bakal mampus," lantang sekali su-ara Pedang Ular Emas.

Pendekar Rajawali Sakti mendesah kecil sambil menggelengkan kepala. Sungguh, dia tidak ingin persoalan seperti ini terus diperpanjang. Tapi, tampaknya Pedang Ular Emas tidak peduli lagi. Dan dia benar-benar menginginkan satu pertarungan hidup dan mati.

"Sungguh sayang.... Bukankah masih banyak yang bisa kau kerjakan dengan tingkat kepandaian ilmu dan kanuraganmu yang tinggi itu, Kisanak? Misalnya, membantu mereka yang lemah dan tertindas. Percayalah, Kisanak. Itu lebih penting. Bahkan bisa membuat namamu menjulang, kalau benar tujuanmu sekadar mencari ketenaran...," kata Rangga mencoba mendinginkan hati si Pedang Ular Emas.

"Phuih! Telan sendiri kata-kata itu untukmu, Pendekar Rajawali Sakti! Jangan harap pikiranku berubah," bentak Pedang Ular Emas sengit" Terimalah seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!"

Setelah selesai berkata-kata, si Pedang Ular Emas langsung saja melompat menyerang. Gerakannya sangat cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Ujung pedangnya meliuk-liuk menyambar tubuh Rangga seperti memiliki berpasang-pasang mata saja.

"Hiyaaat..!"

Dalam dua jurus pertama, Rangga terlihat hanya berusaha bertahan sambil jungkir balik menghindari serangan lawan yang semakin lama semakin gencar. Pendekar Rajawali Sakti masih belum mau meladeni atau membalas serangan lawan. Dia tahu, pertarungan ini didasari oleh alasan yang tak masuk akal. Tapi bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika menyadari kalau ilmu 'Pedang Setan Mengejar Rajawali' bukanlah suatu ilmu pedang biasa. Sedikit saja salah menghindar, bukan mustahil senjata lawan akan mengiris-iris tubuhnya.

Meski pada awalnya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dikerahkannya mampu meredamnya, tapi hal itu barangkali tidak bisa bertahan lama. Terlihat jelas kalau gaya ilmu pedang yang dimainkan Pedang Ular Emas semakin lama bukan semakin lemah. Bahkan seiring pergerakannya, maka akan terlihat pada tingkat selanjutnya kalau lawan mulai membendung setiap langkah Pendekar Rajawali Sakti. Jelas begitu sesuai dengan nama jurusnya. Ke mana pun Rangga menghindar, pedang bergagang kepala ular berwarna emas itu selalu bisa cepat mengejar.

"Ayo...! Keluarkan seluruh kemampuanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Kalau tidak, jangan salahkan bila aku berbuat curang. Tak peduli kau akan melawan atau terus menghindar, aku tidak segan-segan membunuhmu!" bentak Pedang Ular Emas di tengah pertarungan. "Hiyaaat...!"

"Hm.... Agaknya kau betul-betul menginginkan nyawaku, Kisanak. Baiklah kalau memang niatmu begitu. Aku tidak punya pilihan, selain menghadapimu," sahut Rangga menggumam pelan, seperti bicara untuk diri sendiri.

Wuk! "Yeaaah...!"

Dalam suatu kesempatan, tubuh Rangga mencelat tinggi. Namun demikian, pedang lawan terus mengikutinya dengan gerakan meliuk-liuk ganas. Begitu berada dua tombak di udara, Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa kali. Dan ketika kedua kakinya menjejak tanah, saat itu pula tubuhnya kembali melesat cepat, sambil membuka jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

"Hiyaaat..!"

"Hup!"

Siiing!

Melihat Rangga mulai membalas menyerang, si Pedang Ular Emas semakin bernafsu menyerangnya. Tapi kali ini, keadaannya tentu tidak semudah ketika Rangga tidak melakukan serangan apa-apa tadi. Terlihat sikapnya mulai hati-hati terhadap ujung tangan dan tendangan kaki Rangga yang mampu melesat cepat menyambar batok kepala atau dadanya. Ujung pedang si Pedang Ular Emas cepat menyambar, tapi Rangga lebih cepat lagi menarik pulang tangan dan kakinya. Kemudian tubuhnya berputar seraya mencari sasaran bagian tubuh yang lain.

Pertarungan pun kini berjalan semakin sengit Dan masing-masing sudah mulai melancarkan serangan dahsyat dan berbahaya. Sedikit saja lengah, bisa berakibat parah. Pedang Ular Emas memang bukan nama kosong belaka. Kalau saja bukan Pendekar Rajawali Sakti yang menghadapi, belum tentu para tokoh lain mampu menghadapi gempurannya yang dahsyat. Lebih-lebih keahliannya menggunakan senjata pedang.

Rangga sendiri menyadari, meski menggunakan jurus-jurus 'Rajawali Sakti' pada tingkat kelima, belum tentu bisa terus bertahan menghadapi permainan pedang lawan. Hatinya masih tidak tega dan tidak begitu bernafsu menyakiti lawannya. Keengganan Rangga, rupanya terbaca juga oleh Pedang Ular Emas. Maka dia cepat melompat mundur, dan langsung menghentikan pertarungan untuk sementara. Rangga sendiri hanya diam saja, walaupun saat itu pertahanan si Pedang Ular Emas sedang terbuka lebar.

"Bersungguh-sungguhlah, Pendekar Rajawali Sakti! Karena aku tidak akan bermain-main denganmu. Nyawamu menjadi taruhannya!" teriak Pedang Ular Emas yang agaknya merasakan kalau lawan belum sepenuhnya meladeni serangan-serangannya.

"Kisanak! Aku masih tidak tega menukar permainan ini dengan nyawa. Nyawa hanya sekali saja diberikan oleh Hyang Widhi. Oleh sebab itu, adalah suatu hal yang teramat mahal. Kalau saja hai ini disadari, tentu kau tidak akan bertindak bodoh. Kecuali, kalau memang isi kepalamu penuh kepicikan," sahut Rangga tenang.

"Tutup mulutmu! Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak butuh nasihatmu. Kalau kau terus begini, maka lebih baik gorok saja lehermu sendiri. Setelah itu, baru aku merasa puas!"

"Itu tidak mungkin lagi, Kisanak. Meskipun aku gila, rasanya lebih bagus menggorok leher orang lain daripada menggorok leher sendiri!" sahut Rangga, kalem.

"Bagus! Nah, sekarang apa lagi yang ditunggu? Keluarkan pedangmu! Dan, tunjukkan padaku kehebatanmu seperti yang sering digembar-gemborkan orang!"

"Sayang, Sobat Pedang ini hanya akan keluar dari sarangnya jika keadaan amat memaksa...."

"Kalau begitu, biarlah aku yang akan memaksanya keluar!" bentak Pedang Ular Emas geram.

"Hiyaaat..!"

"Hup! Yeaaah...!"

Pertarungan kembali berlangsung sengit. Kali ini Pedang Ular Emas betul-betul mengeluarkan segenap kelincahannya untuk memaksa Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang. Gerakannya sulit diikuti pandangan mata orang awam. Belum lagi, pedang di tangannya yang berdesing-desing menimbulkan suara bercuitan halus dan berkelebat bagaikan kilat Rangga terkejut bukan main. Untuk sesaat dia hanya bisa menghindar sambil jungkir balik menyelamatkan selembar nyawanya.

"Gila! Orang ini betul-betul sinting!" maki Rangga perlahan, begitu kakinya menginjak tanah setelah bersalto beberapa kali ke belakang. "Yeaaah...!"

Namun belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, pedang di tangan lawan kembali mencecarnya. Gerakannya demikian cepat sehingga Rangga agak terkesiap. Namun sebagai tokoh nomor satu dalam dunia persilatan, otaknya mampu bekerja cepat. Maka segera saja dia mencelat ke belakang. Tapi..., terlambat Dan...

Sret!

"Akh!"

Rangga terkejut. Ternyata ujung pedang lawan berhasil menggores bahu kirinya. Untung saja dia sempat melesat ke belakang. Kalau tidak, barangkali pinggangnya bakal terkena serangan susulan pedang lawan. Tapi Pedang Ular Emas tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya terus bergerak ketika Rangga mencelat tadi, melepaskan serangan maut disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Pedangnya berkelebat cepat, siap menyambar dada Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu, tak ada kesempatan bagi Rangga untuk menghindar. Maka pedang pusakanya langsung dicabut. Seketika sinar biru memancar dari batang pedang, sehingga keadaan di sekitarnya semakin terang benderang. Dan sambil berteriak nyaring, Rangga memapak pedang lawan.

"Hiyaaat..!"

Wuk!

Trang..!

Seketika terjadi ledakan keras begitu dua senjata beradu. Pedang Ular Emas terjajar beberapa langkah ke belakang disertai rasa terkejut yang amat sangat. Ternyata benturan itu harus dibayar mahal, ketika pedangnya terbabat kutung. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seberkas sinar biru menyambar ke arah lehernya.

Crasss! Pedang Ular Emas tidak sempat lagi berteriak ketika kepalanya terkulai layu dengan leher nyaris putus. Darah langsung ambruk ke tanah dengan nyawa melayang dari raga. Sementara, Rangga memandang sedih sambil menyarungkan kembali pedang pusakanya.

"Maaf, Sobat Aku sebenarnya tidak bermaksud melukaimu. Tapi kau terlalu memaksa, daripada nyawaku sendiri yang akan melayang di tanganmu...," gumam Rangga lirih, seraya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.

***
DUA
Seorang anak kecil tampak tengah asyik sekali bermain gerobak-gerobakan. Sepertinya, dia merasakan sedang menaiki gerobak sungguhan yang ditarik seekor kuda. Sesekali dari mulutnya terdengar suara gebahan bagai seorang kusir menyentak kudanya yang malas berlari kencang.

"Hush..., hush! Ayo, lari kencang! Lebih kencang lagi! Heaaa...!" teriaknya sambil berlari-lari menarik gerobak mainannya dengan seutas tali.

Tangan kiri bocah itu sesekali menyibakkan rambutnya yang panjang terurai menutupi wajah. Sementara itu, tidak jauh di depannya terlihat beberapa orang lelaki berpakaian serba hitam dan berwajah seram tengah menunggang kuda. Melihat dari tampang dan sorot mata, agaknya mereka bukanlah orang baik-baik. Lebih-lebih, di setiap pinggang mereka terselip golok berukuran besar. Bocah itu berhenti tepat di depan mereka. Diperhatikannya orang-orang itu dengan seksama, kemudian tertawa lucu seperti untuk dirinya sendiri.

"Hi hi hi...! Perutnya gendut seperti kerbau. Dan matanya juling seperti maling!" kata bocah itu sambil menunjuk salah seorang di antara mereka.

Merasa diledek begitu rupa, orang itu menggeram sambil mendelik. "Bocah sinting! Pergi jauh-jauh dari sini sebelum mulutmu kupecahkan!" bentak laki-laki berwajah seram itu dengan suara keras.

"Olalah.... Kalau sedang marah, berubah rupa seperti kambing mengembik," sahut si bocah seperti tidak menghiraukan bentakan orang itu.

"Kurang ajar! Bocah setan, kupecahkan mulutmu agar bisa lebih sopan pada orang tua!" bentak orang itu lagi sambil turun dari kudanya.

Namun, salah seorang temannya yang bertubuh kecil dan berambut putih segera mencegahnya. "Sudahlah, Kusnadi! Kita harus cepat-cepat sampai di kotaraja. Untuk apa meladeni anak kecil segala."

"Betul. Mari kita lanjutkan perjalanan," sahut salah seorang temannya yang lain.

"Betul, Kusnadi. Untuk apa meladeni anak kecil? Salah-salah, nanti kau malah malu sendiri," sahut si bocah menimpali dengan tenangnya.

"Hei?!" Laki-laki yang bernama Kusnadi yang sudah mulai surut amarahnya, kembali bangkit rasa geramnya. Padahal, dia tadi bermaksud menarik tali kekang kuda untuk mengikuti tiga orang temannya. "Kalau belum kutampar mulutnya, bocah ini tidak akan diam sampai kapan pun!" dengus Kusnadi sambil turun lagi dari kudanya. Langsung dihampirinya bocah itu.

"Uts! Galak betul kerbau ini?" ejek si bocah sambil memiringkan kepala, ketika Kusnadi mengayunkan tangan hendak menghajar mukanya.

"Sial! Bocah keparat! Pintar juga rupanya kau berkelit, ya? Nih, makan lagi!" dengus Kusnadi dengan tangan siap melayang ke arah bocah kecil itu.

Tapi kali ini Kusnadi tidak sudi diremehkan bocah itu lagi. Kaki kanannya cepat digerakkan menyapu ke bawah. Dugaannya, bila bocah itu berhasil menghindar dari tamparannya, maka akan terjerembab dihantam sapuan kakinya. Tapi yang terjadi sungguh membuat kesal orang berperut buncit dan bermata juling itu. Dengan ringan, tubuh kecil itu meloncat tinggi. Dan tiba-tiba....

Desss!
"Akh...!"

"Hi hi hi...! Kerbau goblok kalau terjatuh lucu sekali. Hus..., hus...! Ayo bangun..., bangun!"

Kusnadi terkejut setengah mati. Bagaimana mungkin bocah itu mampu berbuat seperti tadi. Matanya dikucek-kucek berkali-kali, kemudian keningnya terasa berdenyut bekas tendangan bocah itu. Tak salahkah penglihatannya? Bocah yang diperkirakan baru berusia sekitar delapan tahun, ternyata memiliki tubuh yang ringan. Bahkan tendangannya kuat sekali!

"Keparat! Siapa sebenarnya kau?!" bentak Kusnadi garang.

"Aku, ya aku. Masa kau tidak mengenali juraganmu sendiri? Akulah pemilik berhektar-hektar sawah di tempat ini. Dan aku pula pemilik dari seluruh istana ini. Nah, Tukang Kuda Goblok. Ayo kembali bekerja sebelum punggungmu kucambuk!" sahut si bocah sambil memelototkan matanya.

Kusnadi mulai berpikir. Kalau bukan gila, pasti bocah ini terlalu berkhayal jauh. Di tempat yang gersang dan hanya ditumbuhi ilalang ini, sejauh mata meman-dang tidak terdapat sepetak sawah pun. Dan lagi pula, mana ada bangunan istana selain rimba lebat yang jauh di belakang mereka? Tapi karena marahnya, dia tidak memikirkan lagi siapa di hadapannya.

"Bocah kurang ajar! Terimalah hukuman dariku!" bentak Kusnadi sambil mengayunkan kaki kanan.

Agaknya, lelaki berperut buncit itu bermaksud menghajar si bocah dengan kejam. Paling tidak, tubuh kecil itu akan tersungkur terkena hajaran kakinya. Bahkan terluka parah! Tapi yang terjadi sungguh membuatnya terkejut dan bertambah marah. Dengan ringan, bocah itu merunduk. Bahkan langsung mengirimkan kepalan tangan yang menghajar bagian terlarang di bawah pusar Kusnadi.

"Aaa...! Kontan saja laki-laki berperut buncit itu memekik kesakitan. Sepasang matanya mendelik menahan sakit. Bahkan tubuhnya sudah berguling-guling dengan kedua tangan memegang bagian bawah tubuhnya. Dari mulutnya terus terdengar erangan kesakitan yang panjang.

Tentu saja hal ini membuat ketiga orang teman Kusnadi terperanjat. Betapa tidak? Seharusnya pukulan seorang bocah berusia sekitar delapan tahun, tidak akan membuat Kusnadi mengerang kesakitan yang amat sangat. Apalagi, laki-laki bermata juling itu diketahui memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup lumayan. Tapi, ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

"Ki Gembyong! Bocah itu mungkin bukan bocah sembarangan!" gumam salah seorang yang bertubuh kurus, kepada temannya yang bertubuh kecil.

"Betul apa katamu, Kalino! Siapa dia sebenarnya, ya?" dahi laki-laki kurus yang bernama Ki Gembyong berkerut.

Bersama dua orang temannya dia turun dari kuda dan menghampiri si bocah yang masih terkekeh-kekeh geli memandangi Kusnadi yang masih berguling-gulingan di tanah menahan sakit.

"Bocah! Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Gembyong dengan suara lunak.

Bocah itu menghentikan tawanya, lalu memandang Ki Gembyong dengan dahi berkerut. Ki Gembyong bukanlah orang sembarangan. Dia dan temannya dalam rimba persilatan dikenal sebagai anggota Serikat Kawa-kawa Hitam. Seperti banyak diketahui orang, gerombolan itu adalah mereka yang selama ini sering memberontak terhadap pihak kerajaan. Mereka juga banyak menimbulkan kerusuhan di masyarakat berupa, perampokan, pemerkosaan, dan penganiayaan.

Ki Gembyong sendiri termasuk dalam jajaran tokoh utama dalam serikat itu. Maka sudah pasti kalau ilmu olah kanuragannya cukup diandalkan. Walau wajah bocah itu jelas terlihat kekanak-kanakan, namun sempat membuat Ki Gembyong heran. Sebab diyakini betul kalau bocah itu bukanlah bocah sembarangan.

Dia lebih mirip pemuda dewasa yang bertubuh dan berwajah bocah berusia delapan tahun. Lebih-lebih ketika pandangan mata mereka beradu beberapa saat. Terasa betul kalau bocah itu memiliki tenaga dalam kuat. Maka makin yakinlah dugaan Ki Gembyong!

"He he he...! Kakek, wajahmu jelek sekali. Hitam, dekil, dan rusak seperti pantat dandang di rumahku!" ledek si bocah sambil tertawa lucu dan menuding Ki Gembyong.

Pada dasarnya, Ki Gembyong bukan orang sabar. Dia lekas naik darah seperti Kusnadi. Tapi kali ini Ki Gembyong masih mampu menahan napas dan menekan hawa amarahnya mendengar ejekan itu. Urat di pelipisnya seperti menggembung dan rahangnya terkatup rapat.

"Bocah! Kau telah melukai seorang dari teman kami tanpa sebab. Mau tidak mau, orangtua mu harus bertanggung jawab atas kelakuanmu ini. Antarkan kami pada orangtua mu, biar mereka menerima hukuman karena tidak mampu mendidik anaknya menjadi anak sopan."

"Hi hi hi...! Kakek jelek, kau tahu apa tentang segala yang diajarkan orangtua ku? Merekalah orang paling baik di dunia. Ayahku orang paling tampan, dan ibuku orang paling cantik di dunia ini. Saat ini, memang aku sedang bersedih karena adikku belum juga mendapatkan jodoh. Walau mereka tak menyuruh, sebagai abang, tentu aku merasa bertanggung jawab untuk mencarikannya. Sayang, kalian tidak memenuhi syarat. Selain jelek dan buruk rupa, kalian pun termasuk orang tidak berguna," sahut bocah itu seenaknya.

"Bocah! Siapa yang peduli dengan urusanmu! Cepat antarkan kami pada orangtua mu!" bentak laki-laki yang bernama Kalino mulai tidak sabar, sambil mendelikkan sepasang matanya.

"He he he...! Apalagi rupamu! Lebih tidak memenuhi syarat. Sudah jelek, pemarah pula. Jangankan bertemu adikku. Menjadi pelayannya pun, kau tidak pantas."

"Apa katamu?!" Kalino langsung mencabut goloknya, bermaksud menggertak.

"Jelek, codet, dan lebih tampan kerbau goblok, dibandingkan monyet buduk sepertimu!"

"Kurang ajar!" Dalam kemarahannya itu, Kalino betul-betul tidak bisa berpikir lebih jauh lagi. Akal sehatnya seperti tidak terpakai. Dan dalam pandangannya, bocah itu adalah musuh besarnya yang harus dilenyapkan saat itu juga.

"Mampus!"

Kalino langsung melompat seraya menebaskan goloknya ke arah bocah itu.

"Uts! Apa yang mampus? Kau ingin buru-buru mampus?" ejek si bocah sambil berkelit dari tebasan golok Kalino.

Bukan main kaget dan terkejutnya laki-laki yang memiliki codet di bawah mata kirinya itu, melihat serangannya luput. Namun hal itu hanya sekejap. Dalam kemarahannya, kegagalannya tidak dipikirkannya lebih lanjut. Yang ada di benaknya hanya bagaimana caranya agar bocah di hadapannya itu mampus secepatnya. Maka tidak heran ketika serangan pertamanya luput. Kalino lebih bernafsu melancarkan serangannya. "Yeaaah...!"

"Walah..., walah! Galak sekali kau, Monyet Buduk? Rupanya kau betul-betul ingin mampus buru-buru. Baiklah kalau itu keinginanmu. Aku pasti akan senang hati mengabulkannya," ucap si bocah sambil tersenyum-senyum.

"Hiyaaa...!" Bocah itu cepat menundukkan kepala ketika golok Kalino menyambar. Sementara, kaki kanannya yang kecil dan pendek bergerak cepat menghantam pergelangan tangan Kalino sambil berteriak nyaring.

Duk!
Des!
"Aaakh...!"

Kalino kontan menjerit kesakitan seraya memijit-mijit tangannya. Golok di tangannya pun sudah terlepas dihantam kaki bocah itu yang keras bukan main. Dan belum lagi bersiaga, tiba-tiba muka laki-laki itu harus menerima hantaman pukulan yang begitu keras dari si bocah. Maka seketika terdengar derak tulang wajahnya yang retak. Kalino langsung ambruk dan menggelepar-gelepar, sambil mendekap wajahnya yang berlumuran darah.

"Ha ha ha...! Monyet buduk, kini wajahmu lebih persis monyet korengan!" cela si bocah sambil tertawa kegirangan melihat lawannya sekarang.

Ki Gembyong sendiri langsung bangkit amarahnya melihat kelakuan bocah yang dirasa sudah benar-benar kurang ajar. Sambil menggeram garang, ditudingnya bocah itu. "Jahanam licik! Aku tahu, kau bukan anak kecil biasa. Perbuatanmu tidak bisa dikasih hati. Mampuslah kau di tanganku!"

"Eee, siapa yang ingin mampus! Enak saja kau berkata begitu! Bukankah temanmu yang ingin mampus! Dan sekarang, kau pula yang ingin menyusul mampus. Jadi jangan salahkan kalau aku mengabulkannya," sahut si bocah lantang.

"Banyak mulut! Mampus!" "Yeaaah...!"

Dari telapak tangan Ki Gembyong menderu serangkum angin kencang menyambar tubuh kecil bocah itu. Namun dengan mudah serangan itu dapat dihindari dengan mencelat ringan ke atas. Buru-buru Ki Gembyong mengejar sambil mengayunkan kepalan tangan ke batok kepala, namun cekatan sekali bocah itu menangkisnya dengan tangan kiri.

Duk! "Uts, haaa...!"

Ki Gembyong meringis kecil ketika tangannya terasa ngilu akibat benturan tadi. Diam-diam, hatinya memuji tenaga dalam bocah ini yang telah mencapai tingkat sempurna. Siapa nyana bocah sekecil ini telah memiliki tenaga dalam yang demikian hebat? Maka, semakin bernafsu saja Ki Gembyong meladeninya. Bahkan tidak canggung-canggung menyerang si bocah habis-habisan. Walaupun kaget merasakan tenaga dalam lawan, tapi sebagai tokoh yang berpengalaman dalam dunia persilatan, mana mungkin Ki Gembyong menyerah begitu saja. Bahkan sudah langsung menghajar kembali bocah itu dengan tendangan kakinya.

"Yeaaah...!" Bocah itu jungkir balik ke kiri, tapi Ki Gembyong sudah langsung menyusulinya dengan tebasan golok. Bisa dipastikan, dengan sekali sambar saja maka tubuh bocah itu akan putus menjadi dua bagian. Tapi yang terjadi berikutnya malah semakin membuat orang tua itu geram saja. Sebab demikian lincahnya bocah itu menekuk tubuhnya sambil melenting ke atas. Maka tentu saja golok lawan lewat beberapa jengkal dari tubuhnya. Namun secara tidak disangka-sangka, sebelah kaki bocah itu melayang ke arah pergelangan tangan Ki Gembyong yang sedang memegang golok.

"Hiyaaa...!"
Plak!

Golok di tangan Ki Gembyong langsung terlempar entah ke mana. Yang jelas, tangannya kontan terasa linu dan nyeri. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi barusan, tiba-tiba bocah itu menyusuli serangannya dengan sebuah tendangan setengah lingkaran sambil memutar tubuhnya. Dan....

Des!
"Aaakh!"

Ki Gembyong menjerit kesakitan ketika dadanya terkena hantaman kaki lawan. Orang tua itu kontan terhuyung-huyung sambil menahan nyeri. Beberapa tulang iganya terasa patah. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh bocah itu tanpa di duganya sama sekali telah melesat sambil mengirim serangan susulan.

"Karsono, apa-apaan kau ini?!"

Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus yang membuat bocah itu menghentikan serangannya. Dan tahu-tahu, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh wanita berparas cantik. Bajunya warna-warni seperti yang dikenakan bocah itu. Rambutnya yang panjang dan agak kemerah-merahan dibiarkan lepas begitu saja. Sebagian malah menutupi wajahnya. Sebenarnya, kulit gadis itu terlihat putih. Namun, ada kesan kusam dan kotor. Begitu pula pakaiannya. Agaknya, wanita itu memang tidak pandai mengurus dirinya sendiri.

"Eee, Yatikah. Kenapa pula kau ada di sini? Ayo pulang, biar aku yang mencarikan calon suami untukmu!" sahut bocah itu sambil mengulurkan tangan.

"Aku tidak mau dicarikan olehmu. Biarlah kucari sendiri!"

"Hik hik hik...! Belum ada yang memenuhi syarat... Belum ada," sahut bocah itu berulang-ulang sambil menggelengkan kepala.

"Apakah monyet-monyet buduk ini hendak kau calonkan padaku?" tanya gadis yang dipanggil Yatikah, dengan mata melotot garang pada bocah yang ternyata bernama Karsono.

"Phuih! Siapa sudi?! Jangankan kau. Aku sendiri saja mau muntah melihatnya! Mereka hanya sekumpulan monyet yang tidak berguna!"

"Bocah! Jangan sembarangan bicara! Siapa yang sudi dicalonkan dengan perempuan dekil seperti dia!?" sahut salah seorang di antara kawanan itu, yang sejak tadi hatinya ciut melihat teman-temannya mudah dipecundangi.

"Apa katamu?!" sepasang mata Yatikah melotot marah.

"Gadis dekil dan bocah keparat!"

"Bangsat!" maki Yatikah. Langsung gadis itu mencelat ke arah orang itu, mengirimkan satu serangan kilat.

Orang itu tersentak kaget. Gerakan gadis ini ternyata gesit dan cepat. Maka dengan semampunya, tubuhnya berkelit. Maka serangan itu hanya lewat di sisinya. Kemudian goloknya langsung dicabut dan dikibaskan ke arah pinggang ramping lawan.

"Yeaaah...!" Plak!

Namun, Yatikah tidak kalah gesit. Tubuhnya langsung melesat ke atas. Dan tanpa diduga sama sekali, kakinya melepaskan tendangan. Dan....

"Aaakh...!"

Orang itu menjerit kesakitan ketika ujung kaki Yatikah menghantam dagunya. Bahkan langsung terhuyung-huyung dengan mulut meringis dan mengucurkan darah.

"Rasakan bila berani berkata sembarangan di depanku!" dengus Yatikah geram, begitu telah mendarat kembali di tanah.

"Ha ha ha...! Sudahlah, Yatikah. Kau semakin membuat wajahnya lebih buruk dari monyet buduk. Aku sampai tidak ingat makhluk apa yang lebih jelek dari ini!" sahut Karsono sambil tertawa-tawa.

"Biar dia tahu rasa berani menghina kita!" dengus Yatikah.

"Biarlah kita cari yang lain saja. Mari tinggalkan tempat ini!" ajak Karsono sambil berlalu dari tempat itu.

Yatikah melirik sesaat pada orang-orang itu, kemudian sambil mendengus garang mengikuti jejak Karsono dengan wajah masam. Sementara itu, dari jauh terdengar suara Karsono yang mendorong gerobak mainannya. Sedangkan saat itu, Ki Gembyong tampak menggelengkan kepala lesu sambil berusaha membimbing beberapa orang temannya. Mereka berlalu dari tempat itu dengan membawa segudang dendam.

"Suatu saat, kalian akan menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah pembalasan kami," geram Ki Gembyong hampir tidak terdengar, sambil mengepalkan tangan.

***
TIGA
Terik siang hari ini, membuat peluh di tubuh Rangga mengucur deras. Berkali-kali Pendekar Rajawali Sakti menyeka keringat di kening sambil mengipas-ngipaskan telapak tangannya ke wajah. Rasa haus dan lapar mulai menyerang tenggorokan dan perutnya. Saat matanya melihat sebuah desa di depan sana, tanpa membuang waktu lagi langsung dikerahkannya ilmu meringankan tubuh, berjalan cepat menuju desa yang ternyata bernama Desa Tegalan.

Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di mulut Desa Tegalan. Tapi desa itu tampak sepi sekali, seperti sudah ditinggalkan penduduknya. Namun tak lama kemudian, Pendekar Rajawali Sakti bisa bertemu beberapa orang. Maka kini dia bisa bernapas lega. Untuk itu, yang pertama dicarinya adalah sebuah kedai untuk mengisi perutnya yang mulai berbunyi minta diisi.

Rangga melangkah pelan memasuki sebuah kedai. Di dalamnya tampak tidak kurang dua puluh orang mengisi meja masing-masing. Melihat dari cara tatapan mereka yang tidak bersahabat dan menganggap rendah dirinya, Rangga berusaha setenang mungkin. Sementara, yang lainnya adalah penduduk desa biasa yang tidak peduli oleh kehadirannya. Seorang laki-laki pemilik kedai tampak menghampiri, begitu Rangga sudah mengambil tempat di kursi kosong.

"Tolong bawakan nasi dan lauk-pauknya. jangan lupa sebumbung tuak!" pesan Rangga pada pemilik kedai.

"Hanya itu saja, Den?" tanya pemilik kedai itu.

"Itu saja," sahut Rangga.

"Baik. Sebentar, Den"

Pemilik kedai itu segera berlalu. Sambil menunggu pesanannya datang, Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kedai yang cukup luas ini. Pandangan matanya kemudian tertumbuk pada wajah seram. Sebelah matanya tampak dibalut kain hitam. Dan begitu matanya melihat Rangga, dia mendengus sinis sambil membuang ludah ke tanah.

Rangga yang pada dasarnya tidak ingin mencari keributan di tempat itu, buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. Tapi, agaknya orang bermata satu itu sudah merasa tersinggung oleh tanggapannya tadi. Bahkan kini bangkit berdiri dari kursinya, lalu melangkah lebar mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa bicara lagi sedikit pun juga, langsung saja bahu Rangga dicengkeram kuat-kuat.

"Bocah! Aku menginginkan pedangmu!" kata laki-laki bermata satu itu sambil terus menggenggam pedang bergagang kepala burung di punggung Rangga.

Tapi belum juga pedang itu sempat dicabut dari warangkanya, dengan cepat Rangga mengayunkan satu tangannya ke bahu, kemudian sikut tangan yang lain menghajar lawan tanpa menoleh ke belakang. Tapi si mata satu agaknya bukan orang sembarangan. Maka tangan kirinya langsung menangkis, sementara kepalan tangan yang lain disorongkan ke batok kepala bagian belakang Pendekar Rajawali Sakti.

Plak! Plak!
"Yeaaah...!"
"Uts, shaaa...!"

Rangga menundukkan kepala sedikit Kemudian sambil memutar tubuhnya ke kiri, tahu-tahu sudah melesat satu tombak setelah terlebih dahulu mengirim satu serangan ke perut lawan. Tapi, si mata satu cepat menangkisnya dengan mantap.

Plak!

"Ha ha ha...! Bagus! Kalau seseorang memiliki senjata, paling tidak akan mampu menyelamatkan senjatanya sebelum dirinya sendiri termakan," keras sekali suara orang bermata satu ini.

"Maaf, Kisanak. Aku saat ini tidak ada niat untuk bermain-main denganmu," sahut Rangga, bernada sopan.

"Huh! Siapa yang akan bermain-main denganmu, Bocah! Kau kenal siapa aku, heh...?! Namaku Bangkor, Ketua Perampok Mata Satu. Kalau aku sudah punya keinginan, maka tidak seorang pun bisa menghalangi. Nah, serahkanlah pedangmu padaku"

"Kisanak! Pedangku bukan untuk kuberikan pada orang lain. Meski buruk dan tidak berguna, tapi benda ini adalah bagian dari diriku. Maaf, aku tidak bisa memberikannya padamu," sahut Rangga masih dengan sikap sabar.

"Bocah keras kepala! Jangan menyesal kalau aku menggunakan kekerasan padamu!" bentak Bangkor, seraya bersuit nyaring.

Belum lagi hilang siulannya, seketika melompat lima orang yang berada di kedai itu, dan langsung mengurung Rangga. Agaknya, orang-orang ini anak buah Bangkor yang sejak tadi telah siap-siap menjaga segala kemungkinan.

"Pecahkan batok kepala bocah ini!" seru Bangkor memberi perintah. Tanpa diperintah dua kali, kelima orang itu langsung menyerang Rangga sambil mencabut goloknya masing-masing.

"Kalian benar-benar menghilangkan selera makanku," gumam Rangga kalem.

"Persetan! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"

Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat tinggi, nyaris bersentuhan dengan atap kedai. Kemudian, tubuhnya dibuang ke arah samping, untuk menghindari serangan lawan-lawannya. Tapi kelima orang itu terus mengejar ke mana pun Rangga bergerak. Sementara Bangkor mengusap-usap jenggotnya yang pendek sambil mendengus sinis, menyaksikan lima orang anak buahnya.

"Kisanak! Jangan memaksaku untuk bertindak kelewat batas. Suruh mundur anak buahmu ini!" teriak Rangga memperingatkan.

Tapi sebagai jawabannya, kelima lawannya malah semakin garang menyerang. Dan ini membuat Rangga jadi mendengus kesal. Tapi, tetap saja dicobanya untuk menahan kesabaran. Walaupun terus mendapat serangan, tapi sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak balas menyerang. Dan tubuhnya hanya berkelit saja menghindari serangan-serangan dari lima jurusan, menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tentu saja lima orang anak buah Bangkor kesulitan untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga begitu cepat. Liukan tubuhnya pun sangat lentur, sehingga tidak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

"Yeaaah...!"
"Uts! Sial!"

Rangga memaki geram, ketika salah satu ujung golok lawan nyaris menyambar dadanya. Untung saja dia buru-buru berkelit menghindar. Dan tentu saja Pendekar Rajawali Sakti merasa tidak bisa terus-menerus bertahan di tempat sesempit ruangan kedai ini. Kalaupun bertahan tetap di sini, jelas mejanya dan bangku-bangku kedai pasti akan hancur berantakan. Dan yang paling merasa dirugikan tentu saja pemilik kedai yang sejak awal perkelahian tadi menunjukkan wajah was-was dan cemas. Sambil berteriak nyaring, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar kedai.

"Hiyaaa...!"
"Kejar...!"

Bangkor serta kelima anak buahnya langsung mengejar. Bahkan separuh dari pengunjung kedai yang agaknya anak buah Bangkor, juga ikut-ikutan keluar. Mereka langsung saja mengepung Rangga, membuat lingkaran tanpa sedikit pun memberi jalan keluar.

Sementara itu, para penduduk desa yang sejak kedatangan Perampok Mata Satu mengunci diri dalam rumah masing-masing, mulai keluar satu persatu menyaksikan pertarungan yang bakal terjadi. Dalam hati, mereka cemas memikirkan pemuda berbaju rompi putih yang berani menentang kehendak Perampok Mata Satu. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani membantah kehendak perampok itu. Apalagi, gerombolan itu tidak segan-segan mencabut nyawa siapa saja yang menentang kehendaknya.

"Kasihan pemuda itu. Dia pasti menjadi korban Bangkor. Padahal, apa salahnya jika harus disuruh menyerahkan pedangnya daripada nyawa melayang," ujar salah seorang penduduk yang ingin menyaksikan pertarungan.

"Hush! Jangan sembarangan bicara. Coba lihat. Agaknya, pemuda itu bukan sembarang orang. Kepandaiannya barangkali tidak kalah dibandingkan si Perampok Mata Satu sendiri," sahut seorang penduduk lain.

"Tapi selama ini, tidak seorang pun yang mampu mengalahkan Bangkor. Ilmu silatnya sangat tinggi. Belum lagi kesaktiannya. Rasanya, pemuda itu hanya mengantarkan nyawa saja bila berani menentangnya."

"Belum tentu. Siapa tahu pemuda itu justru pendekar hebat. Kalau tidak, mana mungkin berani menentang kehendak Bangkor...."

"Tapi, siapa tahu dia belum pernah mendengar kehebatan Bangkor, sehingga berani menentangnya?"

Tidak ada yang menyahut. Bisa jadi apa yang dikatakan orang itu benar. Bisa saja pemuda berbaju rompi putih itu belum pernah mendengar sepak tenang Bangkor. Dan kalaupun memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan, paling tidak dia baru pertama kali turun gunung dan sangat yakin akan kemampuan yang dimiliki.

Sementara, Rangga kelihatan semakin geram saja karena kelima orang anak buah si Perampok Mata Satu semakin bernafsu menghabisi nyawanya. Tidak ada pilihan lain baginya, selain membalas serangan. Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti mulai membalas serangan-serangan lima orang lawannya. Maka....

"Hiyaaa...!"

Memang sangat luar biasa kecepatan gerak Pendekar Rajawali Sakti, hingga membuat mereka yang menyaksikan pertarungan jadi tersentak kaget. Betapa tidak...? Tiba-tiba saja dua orang yang mengeroyok terpekik nyaring ketika tubuh pemuda itu terlihat bergerak cepat bagai kilat. Golok mereka tiba-tiba saja terpental, dengan tubuh terpental jauh. Begitu jatuh di tanah, dua orang itu langsung menggelepar sesaat untuk kemudian tidak bergerak lagi.

Sementara, ketiga temannya yang lain terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang terasa nyeri terkena pukulan yang begitu keras, dan cepat.

"Hah?! Keparat! Bakul-bakul nasi tidak berguna!" maki Bangkor, seraya memberi isyarat pada anak buahnya yang lain untuk maju menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaat..!" "Yeaaah...!"

Tiga orang anak buah Bangkor lainnya langsung melesat serentak sambil mengayunkan golok ke arah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mulai kesal melihat kelakuan mereka, tanpa membuang-buang waktu lagi langsung melesat. Dan dengan gerakan cepat bagai kilat tubuhnya berkelebat memapak serangan.

"Hiyaaa...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti tampak meliuk-liuk menghindari sambaran golok. Sementara kedua tangannya sibuk menangkis dan menghantam pergelangan tangan lawan. Dan....

Plak! "Aaa...!"

Seorang lawan terpekik nyaring ketika pangkal lengannya dihantam pukulan Rangga. golok di tangannya langsung terlepas. Tubuhnya langsung ambruk, tidak dapat melanjutkan pertarungan kembali. Dan dalam kegeramannya, Rangga langsung menangkap golok yang terpental itu. Kemudian, tubuhnya bergerak ke kiri dan kanan menerobos pertahanan lawan. Lalu...

Bugkh!
"Ugh!"
Crass!
"Aaa !"

Dua orang kembali terpekik terkena tendangan dan tebasan golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kontan ambruk tanpa bisa bangkit lagi. Kini hanya tinggal empat orang yang tersisa. Kelihatannya, mereka mulai gentar untuk menyerang Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali bergerak begitu cepat mendahului.

"Yeaaah...!" Rangga melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh seraya mengkelebatkan golok ke masing-masing lawan.

Trak! Tras! Des!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"

Kembali terdengar pekik kematian, ketika dua orang tertebas golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti, tepat pada leher masing-masing. Sementara, dua orang lagi terjengkang dan ambruk di tanah, terkena sodokan tangan kiri dan tendangan kaki kanan. Seketika itu mereka semua tewas, bersimbah darah.

"Bangsat..! Hadapilah aku, Keparat!" geram Bangkor penuh amarah melihat anak buahnya tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri. "Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Perampok Mata Satu melesat cepat bagai kilat ke arah Rangga. Beberapa pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi langsung dilepaskan beruntun, disertai tebasan-tebasan golok yang begitu cepat. Gerakannya benar-benar sulit diikuti pandangan mata biasa.

"Hup!"
Tring!

Bukan main kagetnya Bangkor ketika golok di tangannya dapat mudah ditangkis oleh golok yang berada di tangan Rangga. Padahal senjata di tangannya bukanlah golok sembarangan, melainkan golok sakti warisan gurunya. Bahkan ketajamannya melebihi senjata biasa pada umumnya Sedangkan golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti hanya golok biasa yang dipakai orang-orang kebanyakan. Tapi ketika terjadi benturan tadi, terlihat percikan bunga api yang menyebabkan telapak tangannya terasa perih.

Sebaliknya. Pendekar Rajawali Sakti pun merasakan sedikit terkejut melihat golok di tangannya jadi rompal pada bagian matanya. Padahal, pada saat benturan tadi tenaga dalamnya telah dikerahkan, walaupun tidak sepenuhnya. Hal itu terjadi karena senjata di tangan lawan memang bukanlah golok biasa.

"Huh! Ternyata kau berisi juga Bocah. Tapi jangan girang dulu. Bangkor bukanlah anak kemarin sore yang mudah puas. Sekarang, hadapilah jurus mautku!" dengus Perampok Mata Satu sambil merubah jurus serangannya.

"Aku sama sekali tidak bermaksud berkelahi denganmu. Tapi karena kau memaksa, apa boleh buat. Aku pun tidak sudi mampus begitu saja tanpa melawan," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

"Tutup mulutmu! Hiyaaat..!"

"Hap! Yeaaah...!" Rangga cepat melempar golok di tangannya disertai pengerahan tenaga dalam penuh, tepat mengincar jantung lawan. Dengan geram, Bangkor mengebutkan goloknya, menangkis lemparan golok Pendekar Rajawali Sakti.

Trang! Trak!

Golok itu langsung terpental dan patah dua, Tapi tangan Bangkor sendiri sempat bergetar ketika menangkis. Dan sungguh tidak dikira kalau hal itu hanya siasat Pendekar Rajawali Sakti belaka, agar lebih leluasa menyarangkan pukulan tangan kanannya. Tapi Bangkor bukanlah orang sembarangan yang mudah dipecundangi begitu saja. Tangan kiri Perampok Mata Satu cepat bergerak menangkis.

Dan belum juga dia bisa menarik napas lega, Pendekar Rajawali Sakti telah menghantamkan kaki kanannya menuju ke dada. Maka dengan kalang kabut, Bangkor melompat ke belakang. Namun justru pada saat itulah, Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat seraya mengirimkan kepalan kiri yang menghantam punggung lawan. Dan...

Buk! "Akh!"

Bangkor memekik agak tertahan. Tulang pinggangnya terasa patah ketika tubuhnya terjengkang dua tombak. Masih untung dia mampu bertumpu pada kedua kakinya, sehingga tidak sampai ambruk di tanah. Tapi, tubuhnya masih menggeliat-geliat kesakitan sambil memegangi tulang punggung bagian bawah yang laksana terkena pukulan godam yang begitu berat.

Pendekar Rajawali Sakti tidak meneruskan serangannya, dan malah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sikapnya seperti siap menanti serangan lawan berikutnya. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum. Sementara, Bangkor mendengus geram sambil menyemburkan ludahnya.

"Kisanak! Apakah kau masih bersikeras untuk meminta pedangku? Dan kalau bisa, aku akan menyudahi urusan hingga di sini," kata Rangga kalem.

Tapi Bangkor tidak menyahuti sedikit pun juga. Hanya sorot matanya saja yang terlihat begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Rangga. Seakan-akan ingin dikoreknya jantung pemuda itu dengan sorot matanya yang tajam. Dan tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun juga, mendadak saja....

"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"

"Hei!" Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba saja sisa anak buah Bangkor menerjang ke arahnya dengan kemarahan meluap. Bukan main geram hati Pendekar Rajawali Sakti melihatnya. Maka tanpa tanggung-tanggung lagi, langsung dihajarnya mereka dengan satu pukulan jarak jauh.

"Hiyaaat..!"
Des! "Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi di tempat itu. Lima orang sisa anak buah Perampok Mata Satu tampak terhuyung-huyung dihantam pukulan jarak jauh yang dilancarkan Rangga. Maka saat itu juga, tidak ada lagi yang bisa bergerak. Mereka semua tergeletak tewas bersimbah darah. Bukan main geramnya Bangkor melihat keadaan itu.

Tapi para penduduk yang melihatnya malah bersorak kegirangan sambil mengelu-elukan Pendekar Rajawali Sakti. Telah lama mereka muak melihat perbuatan Perampok Mata Satu beserta anak buahnya yang sewenang-wenang menindas sebagaimana layaknya raja tanpa mahkota.

"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Bangkor garang sambil menudingkan golok di tangannya ke arah Rangga.

"Ha ha ha...!"

Belum lagi Rangga menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa yang kecil nyaring bernada kering. Suara tawa itu terdengar menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Akibatnya, semua orang yang ada di halaman kedai itu jadi tersentak kaget.

Phuih!" Bangkor menyemburkan ludahnya, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia tahu, suara tawa bernada kering itu ditujukan untuk dirinya. Sementara, Rangga masih tetap kelihatan tenang sekali. Seakan dia tidak terpengaruh oleh suara tawa kering yang terus terdengar menggema, bagai terdengar dari segala arah.

Tapi tidak lama kemudian, suara tawa itu menghilang dari pendengaran. Dan di saat kesunyian menyelimuti sekitar halaman depan kedai, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat disertai terdengarnya kembali suara yang kering dan bernada tinggi.

"Dasar Perampok Mata Satu! Rupanya matamu yang sebelah itu betul-betul tidak berguna hingga, tidak melihat seorang pendekar hebat di depanmu!"

Di halaman depan kedai itu, tahu-tahu sudah berdiri sesosok tubuh kurus berwajah keriput Rambutnya yang panjang dan sudah berwarna putih semua, dibiarkan meriap dipermainkan angin. Pakaian yang dikenakannya kelihatan lusuh dan compang-camping penuh tambalan, seperti pakaian seorang pengemis. Sementara di sebelahnya, terlihat seorang gadis berparas jelita berbaju biru langit terbuat dari sutera halus. Di punggungnya terlihat sebatang pedang kecil berukuran agak panjang. Sedangkan di sebelahnya tampak laki-laki tua tengah memegang tongkat butut sebagai penyangga tubuhnya yang agak terbungkuk.

"Pengemis Tongkat Sakti!" desis Bangkor kaget begitu melihat kehadiran orang tua itu.

***
EMPAT
"He he he...! Ternyata matamu belum lamur mengenaliku, Bangkor. Nah, apa saja yang kau kerjakan hingga pihak kerajaan memintaku untuk menangkapmu?" kata kakek yang dipanggil Pengemis Tongkat Sakti itu sambil tertawa kecil.

"Hm... Jadi, rupanya sekarang kau telah bekerja untuk pihak kerajaan?"

"Kenapa tidak? Raja yang memerintah sekarang cukup baik dan memperhatikan rakyatnya. Selain mendapat uang, aku pun bisa menggebrak monyet busuk sepertimu!"

"Huh! Jangan harap bisa semudah itu. Meski namamu menjulang tinggi, tapi Perampok Mata Satu pantang dihina. Langkahi mayatku dulu, baru kau bisa menangkapku."

"Ha ha ha...! Apa sulitnya melangkahi mayatmu? Dalam keadaan terluka begitu, kau seperti kuda dungu yang jinak!"

"Bangsat!"

"He, memaki lagi?! Betul apa yang dikatakan orang. Kau memang tidak boleh dibiarkan hidup lama-lama!"

"Orang tua busuk, majulah! Tangkaplah aku kalau kau memang merasa mampu!" sahut Bangkor sambil memasang kuda-kuda.

"He he he...! Soal menangkapmu itu persoalan mudah. Tapi aku takut akan dianggap lancang, jika mendahului Pendekar Rajawali Sakti yang tengah berurusan denganmu. Biarlah kutunggu bangkaimu saja," balas Pengemis Tongkat Sakti sambil melirik Rangga.

"Apa maksudmu, Orang Tua? Siapa yang kau maksud Pendekar Rajawali Sakti?!" bentak Bangkor penuh tanya.

"Kenapa? Apakah nyalimu mulai ciut? Siapa lagi orangnya selain dari pemuda yang menjadi lawanmu tadi."

"Heh?!" Bangkor tercekat. Ditatapnya Rangga dengan dahi berkerut. Seolah, dia tidak yakin kalau pemuda yang tadi bertarung dengannya adalah pendekar yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan, karena sepak terjangnya yang telah banyak membinasakan tokoh golongan hitam berilmu tinggi.

"Nah, Pendekar Rajawali Sakti. Silakan diteruskan kembali permainan tadi yang sempat tertunda. Sementara, biarlah kami menontonnya saja," kata Pengemis Tongkat Sakti sambil tersenyum kecil.

"Paman Pengemis Tongkat Sakti, sebenarnya di antara kami tidak ada urusan apa-apa, tapi karena mereka memaksa, apa boleh buat. Aku terpaksa harus membela diri. Tapi kalau memang di antara kalian ada urusan, tentu saja dengan senang hati aku akan mengalah," sahut Rangga, mengelak.

Pemuda itu mengerti apa yang dikehendaki Pengemis Tongkat Sakti. Dari kata-katanya yang sepintas tadi, tentulah dia utusan kerajaan yang ditugaskan untuk menangkap Perampok Mata Satu. Dan dengan dalih bahwa dia mempunyai urusan dengan Perampok Mata Satu, tentu si Pengemis Tongkat Sakti akan cuci tangan dan mau untung sendiri. Bagi Rangga hal itu memang kebetulan sekali. Berarti dia tidak susah-susah lagi berurusan dengan Perampok Mata Satu.

"Huh! Dengan siapa pun aku tidak peduli. Majulah kalian semua. Tapi, jangan harap aku akan takut.'" dengus Bangkor sinis.

"He he he..."! Dasar perampok picisan. Biarlah aku yang tidak berguna ini akan memberi hajaran padamu!" sahut Pengemis Tongkat Sakti sambil mencelat mengayunkan tongkat bututnya.

"Yeaaa...!"

Bersamaan dengan itu pula Bangkor langsung bergerak menghadang. Bangkor memang terkenal orang yang tinggi hati. Selama ini, semua orang amat takut padanya. Hingga tingkahnya semakin sombong dan angkuh saja. Perbuatannya semakin sewenang-wenang, karena tidak ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Dan hal ini pun terdengar pihak kerajaan.

Maka beberapa hari yang lalu pihak kerajaan telah mengirim sepasukan prajurit untuk menangkapnya. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit yang kembali, karena Bangkor telah membasmi habis semuanya. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan pihak kerajaan. Maka mereka langsung mengirim Pengemis Tongkat Sakti, yang selama ini banyak membantu pihak kerajaan. Pengemis Tongkat Sakti memang seorang tokoh yang amat disegani dalam rimba persilatan.

Selain berilmu tinggi, juga tidak pernah kenal ampun terhadap lawan. Mereka yang pernah berurusan dengannya, tidak pernah ada yang selamat. Tak heran bila Bangkor sempat terkejut ketika mengetahui kehadirannya. Dan bila Pengemis Tongkat Sakti sudah mencampuri suatu urusan, bisa dipastikan akan menyelesaikan sampai tuntas.

Tapi Bangkor yang telah kepalang tanggung, dan kini berhadapan dengan dua orang tokoh kosen yang namanya disegani di kalangan dunia persilatan, tentu saja tidak sudi menunjukkan rasa takutnya. Maka dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, digempurnya si Pengemis Tongkat Sakti habis-habisan.

"He he he...! Bagus, Bangkor. Kerahkanlah seluruh kemampuan yang kau miliki, sebelum mampus di tanganku!" ejek Pengemis Tongkat Sakti sambil terkekeh.

"Orang tua keparat! Kaulah yang akan mampus di tanganku!"

"Eit! Mana ada kejadian begitu? Sudah ditakdirkan kalau kau memang akan mampus di tanganku, maka ikhlaskanlah kepergianmu," balas Pengemis Tongkat Sakti sambil mengejek terus.

Tentu saja hal itu membuat Bangkor yang pada dasarnya gampang naik darah, semakin berang saja. Tapi meski segenap kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan, lawan belum juga mampu didesaknya. Kenyataannya, permainan tongkat lawan sulit dibendung goloknya. Tongkat di tangan orang tua itu terlihat biasa saja. Namun, sebenarnya benda terbuat dari baja hitam yang sangat langka.

Dan manakala dimainkan sambil dibarengi tenaga dalam kuat, terdengar suara desir angin menggaung yang disusul kebutan angin serangan yang terasa perih. Bahkan beberapa kali senjata mereka telah beradu, sehingga menimbulkan percikan bunga api. Dan Bangkor berkali-kali menahan rasa nyeri. Bahkan telapak tangannya telah terkelupas akibat benturan kedua senjata tadi.

"Yeaaa...!"

Pengemis Tongkat Sakti menggeram buas. Lalu sambil mengatupkan rahang, tubuhnya melompat tinggi. Tongkat di tangannya diputar bagai baling-baling, hingga menimbulkan suara menderu. Dan sambil berteriak nyaring, tongkat itu dihantamkan disertai tenaga dalam tinggi. Bangkor benar-benar terkejut melihat cepatnya serangan lawan. Maka buru-buru ditangkis dengan golok pusaka miliknya.

Trak!

Tapi ternyata senjatanya terpental jauh dari tangannya. Bahkan tubuhnya terjajar dua langkah ke belakang. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, tiba-tiba ujung tongkat lawan telah lebih cepat menghantam dadanya bagian kiri.

Begkh!
"Aaakh...!"

Terdengar tulang iga yang patah, dan langsung menembus jantung. Ketua Perampok Mata Satu itu kontan menjerit keras. Tubuhnya langsung terlempar dua tombak dan ambruk di tanah sambil menggelepar-gelepar kesakitan. Sepasang matanya seperti hendak keluar dari sarangnya, sebelum nyawanya lepas dari raga.

"Huh! Dasar perampok picek tidak tahu diri! Kau pikir hanya dirimu saja yang jago di kolong langit?!" umpat Pengemis Tongkat Sakti.

Para penduduk yang tetap bertahan di situ, mengelu-elukan Pengemis Tongkat Sakti karena berhasil menewaskan Perampok Mata Satu yang selama ini menindas mereka. Bahkan karena geramnya, beberapa orang penduduk sempat meludahi sekujur tubuh Bangkor yang telah tidak bernyawa.

"Hidup Pengemis Tongkat Sakti!"
"Hiduuup...!"

Pengemis Tongkat Sakti sendiri seperti anak kecil mendapat mainan baru kesukaannya Dia terkekeh-kekeh senang mendengar teriakan-teriakan itu.

"Sudahlah, Guru. Mari kita lanjutkan perjalanan kembali," ajak gadis berbaju biru yang tadi bersamanya.

"Sebentar. Tidakkah kau merasa bangga melihat gurumu dielu-elukan orang banyak?"

"Guru memang merasa bangga. Tapi, aku merasa pusing di sini. Apa lagi perutku lapar, sudah waktunya diisi."

"Sekar Harum! Kau ini selalu saja begitu. Kapan lagi gurumu dipuji begitu banyak orang, kalau bukan sekarang? Tapi, ayolah. Kau juga benar. Perutku pun sudah mulai melilit minta diisi. Eh, ke mana bocah itu tadi?"

"Bocah siapa?" tanya gadis yang dipanggil Sekar Harum itu heran.

"Bocah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu?!"

"Maksud Guru, pemuda yang tadi sempat bertarung melawan Perampok Mata Satu? Dia bukan bocah lagi."

"Aaah! Bagiku sama saja. Di mataku, dia masih bocah. Hanya saja, beda dengan bocah lain. Dia memiliki banyak kelebihan. Dan..., sangat pantas kalau menjadi jodohmu, Sekar!" goda Pengemis Tongkat Sakti sambil mengikuti langkah Sekar Harum menuju kedai.

"Guru! Kau ini bicara apa?" rutuk Sekar Harum pura-pura acuh.

"He he he...! Tidak sukakah kau pada pemuda itu? Wajahnya tampan dan ilmu silatnya tinggi. Bahkan aku sendiri sangsi, apakah mampu mengalahkannya kalau suatu saat berurusan dengannya."

"Guru jangan bicara yang bukan-bukan!" rengek Sekar Harum, tersipu malu.

Pengemis Tongkat Sakti terkekeh-kekeh melihat murid satu-satunya yang mulai salah tingkah mendengar godaannya. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti telah jauh meninggalkan Desa Tegalan. Ketika saat-saat terakhir pertarungan antara Pengemis Tongkat Sakti melawan Perampok Mata Satu, Rangga bisa merasakan kalau Pengemis Tongkat Sakti akan mampu mengatasi lawannya.

Maka, di saat semua mata memusatkan perhatian pada pertarungan, diam-diam ditinggalkannya tempat itu tanpa seorang pun yang tahu. Dan kini, perut Pendekar Rajawali Sakti kembali terasa lapar, karena belum sempat menyentuh makanan di kedai tadi, karena harus meladeni Perampok Mata Satu.

Tiba di sebuah pinggiran hutan yang tidak terlalu lebat, matanya mulai mencari buah-buahan yang sekiranya dapat dimakan. Tapi belum sempat memetiknya, tiba-tiba melintas seekor kelinci gemuk di dekatnya. Kontan saja Rangga tersenyum senang.

"Pucuk dicinta ulam tiba. Susah payah aku mencari makanan, akhirnya datang sendiri," ujar Rangga sambil bergerak hendak menangkap kelinci itu. Tapi....

Siiing!

"Hei?!" Rangga tersentak kaget. Pendengarannya yang tajam langsung menangkap desir angin halus di belakangnya. Buru-buru dia membuang diri ke samping, sambil terus bersalto beberapa kali untuk menghindari kemungkinan adanya serangan gelap. Lalu....

Crasss!
"Nguikh!"

Tapi yang terdengar justru lenguh kematian hewan yang tadi diincarnya. Tubuh kelinci itu tertembus sebatang anak panah. Dan ketika Rangga menoleh, terlihat seorang gadis belia membawa-bawa busur anak panah di tangannya.

"Sial!" umpat Rangga kesal.

"Lho, kok marah?! Seharusnya kau berterima kasih, karena telah kubantu menangkap kelinci buruanmu itu," sahut gadis itu sambil mendekat ke arah Rangga.

Rangga diam saja tidak menyahut. Dan ketika gadis belia itu hendak mengambil kelinci buruannya, Rangga melangkah pelan meninggalkannya.

"Hei, tunggu! Apakah kau tidak ingin menyantap daging kelinci ini?" teriak gadis belia itu sambil berlari kecil dengan tangan kiri menenteng kelinci hasil panahannya. Rangga menoleh sekilas.

"Itu hasil buruanmu, maka kau berhak memperolehnya!"

"Tidak. Aku memanahnya untukmu!"

"Untukku?" Gadis itu mengangguk sambil mengangsurkan kelinci di tangannya ke arah Rangga.

"Nah, terimalah!"

"Adik kecil, kau baik sekali. Kebetulan, aku memang lapar...," sahut Rangga menerima kelinci itu.

Tapi, tiba-tiba gadis belia itu menarik kembali tangannya dengan wajah cemberut.

"Siapa bilang aku adik kecilmu?!" dengus gadis itu ketus.

Rangga mengerutkan dahi, melihat tingkah gadis belia ini Apakah kata-katanya tadi salah? Melihat dari wajahnya, gadis ini belum lagi lima belas tahun. Dan rasanya, pantaslah bila disebut begitu.

"Aku punya nama, dan kau boleh memanggilku Andini!"

"Hm, Andini. Nama yang bagus dan indah. Sangat sesuai dengan orangnya yang cantik dan rupawan," puji Rangga.

Mendengar pujian itu, gadis belia yang bernama Andini tampak tersipu malu. Tapi, kemudian wajahnya kembali ketus sambil mengangsurkan kelinci itu,

"Nih! Tapi jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi!"

"Andini...!"
"Heh!"

Namun pada saat itu, terdengar seseorang berteriak memanggil gadis itu. Keduanya menoleh. Tapi, Andini kemudian membuang muka sambil mendengus sinis ketika melihat sesosok pemuda berwajah tampan dan berbaju indah, tengah mendekat sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa lagi yang kau perbuat di sini? Apakah kau mengganggu orang itu?!" bentak pemuda itu.

"Siapa yang mengganggu? Aku hanya menolongnya...!" sahut Andini ketus.

Pemuda itu menggelengkan kepala sambil menghela napas. Kemudian wajahnya berpaling pada Rangga.

"Maaf, Kisanak. Adikku mungkin telah mengganggumu. Dia memang nakal sekali...."

"Ah, tidak mengapa. Dia tidak mengganggu, bahkan membantuku menangkap kelinci ini," sahut Rangga pelan sambil menunjukkan kelinci yang telah ada di tangannya.

"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku hanya takut dia mengganggu orang saja. Karena, hal itu sering sekali terjadi. Oh, ya. Namaku Kesuma Wardhana...."

"Rangga...!"

"Apakah kau seorang pengembara?" tanya Kesuma Wardhana.

"Begitulah. Kalian sendiri?"

"Kami..., eh...," Kesuma Wardhana agak ragu untuk menjelaskan siapa dirinya sesungguhnya.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama, ketika beberapa orang prajurit kerajaan muncul. Kemudian, mereka memberi hormat pada Kesuma Wardhana dan Andini. Bahkan salah seorang di antara prajurit itu memanggil pangeran, sehingga membuat Rangga yakin akan dugaannya.

"Pangeran Kesuma, kita telah jauh meninggalkan istana kerajaan. Apakah tidak sebaiknya pulang?"

"Sebentar, Paman...."

"Maaf, aku betul-betul tidak mengetahui bahwa kalian adalah putra-putri dari kerajaan...," sahut Rangga sambil memberi hormat sebagaimana mestinya.

Dan walaupun Rangga sendiri adalah Raja Karang Setra, tapi dalam petualangannya dia merasa sebagai pendekar biasa. Bahkan dia tak ingin orang lain mengetahui, siapa dirinya yang sebenarnya.

"Ah! Jangan banyak peradatan, Sobat. Kami memang sedang berburu. Tapi, sebentar lagi senja tiba. Sedangkan perjalanan ke kotaraja cukup jauh. Sebenarnya, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Ah, tak apalah. Mungkin lain kali kita bisa bertemu kembali," sahut Kesuma Wardhana.

"Hei! Jangan lupa. Kalau kau sedang berada di kotaraja, mampirlah ke tempatku" teriak Andini sebelum berbalik meninggalkan Rangga seorang diri.

"Mudah-mudahan...!" "Jangan mudah-mudahan, tapi harus! Kalau tidak, akan kusuruh prajurit-prajurit kerajaan untuk menghukummu. Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat, jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi. Aku bukan adik kecilmu, tahu?!"

Rangga tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala. Dan, barulah gadis itu tampak melemparkan senyum manis.

"Andini, kau keterlaluan! Kenapa kau berbuat begitu padanya? Itu tidak baik dan tidak sopan!" omel Kesuma Wardhana ketika mereka telah agak jauh dari Rangga.

"Apa yang tidak baik, dan apa yang tidak sopan? Kalau tidak baik, tentu dia akan marah. Dan kalau tidak sopan, tentu dia akan menegurnya. Tapi, tidak dilakukannya, bukan? Berarti aku berkata dengan semestinya!"

"Tapi mana mungkin dia berani selancang itu, setelah mengetahui siapa dirimu...."

"Sebelum kalian datang, dia toh tahu siapa aku! Tapi dia diam tidak menegurku."

"Mungkin dikira kau anak kecil yang bawel," sahut Kesuma Wardhana sambil menggerutu kesal.

Plak!
"Aduh!"

Tiba-tiba Andini menghajar punggung kakak nya, sampai Kesuma Wardhana berteriak kesakitan.

"Sekali lagi kau berkata begitu, akan kuhajar kepalamu sampai benjol!" gertak Andini garang.

"Andini! Semakin lama, tingkahmu semakin kasar saja. Akan kuadukan pada ayahanda agar kau mendapat hukuman!"

"Adukanlah sesuka hatimu. Aku tidak takut!"

"Kenapa kau marah dan memukulku?"

"Kenapa kau menyebutku anak kecil yang bawel?"

"Karena kau memang masih kecil dan bawel. Kenapa mesti marah kalau kenyataannya begitu?!" Setelah berkata demikian, Kesuma Wardhana langsung berlari menjauh dari adiknya.

"Kuhajar kau! Kuhajar kau!" teriak Andini marah berusaha mengejar kakaknya. Tapi, ternyata lari Kesuma Wardhana lebih cepat lagi. Dan, ketika tiba di tempat mereka menambatkan kuda-kudanya, Kesuma Wardhana langsung melompat ke punggung kuda. Kemudian kudanya cepat dihela dengan kencang.

"Hus.., hus! Heaaa...!"

"Sial!" maki Andini kesal. Tapi, Andini agaknya tidak berhenti sampai di situ. Gadis itu langsung melompat ke punggung salah seekor kuda, dan memacunya dengan kencang untuk menyusul Kesuma Wardhana. Tinggallah prajurit-prajurit kerajaan yang lari terbirit-birit, menyusul kedua junjungannya yang memang tidak pernah akur itu.

***
LIMA
Lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, tampak bergegas mendekati sebuah pinggiran hutan. Melihat dari cara berjalan yang tergesa-gesa, agaknya mereka memiliki urusan penting. Lebih-lebih, orang yang berjalan paling depan. Wajahnya terlihat semakin gusar, dan sepasang matanya jelalatan mencari-cari.

"Kusnadi! Jangan membuat amarahku memuncak. Mana bocah ajaib yang kau katakan itu? Cepat tunjukkan padaku, sebelum kau kuhajar!" bentak orang yang berjalan di belakang laki-laki bernama Kusnadi itu dengan suara keras. Dia adalah seorang pemuda berwajah cukup tampan berusia dua puluh delapan tahun.

"Betul! Kalau tidak salah, dia berada di sini kemarin...."

Mereka berhenti sejenak seperti yang ditunjukkan laki-laki berperut buncit itu, lalu memeriksa ke sekeliling. Sementara pemuda di belakang Kusnadi yang memegang pedang hanya memperhatikan seksama dengan tangan bersedakap. Tidak lama, mereka kembali berputar-putar di tempat itu.

Namun, tidak juga ditemukan jejak orang yang dicari. Kusnadi lalu berjalan menjauh, diikuti seorang temannya yang bertubuh kecil dan berambut putih.

"Kau sih begitu yakin kalau mereka berada di sini," ujar laki-laki bertubuh kecil, kepada Kusnadi.

"Tapi aku memang yakin sekali, mereka bertempat tinggal di sini, Ki Gembyong. Dasar Kerta Wangsa saja yang cepat naik darah," gerutu Kusnadi.

"Tapi dia tangan kanan ketua. Hati-hati kalau bicara. Meski usianya masih muda, tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi. Ketua sendiri segan terhadapnya!" sergah laki-laki bertubuh kecil yang memang Ki Gembyong.

"Huh! Kenapa mesti dia yang menemani kita? Kan masih ada Katili yang ilmu olah kanuragannya juga hebat. Lagi pula, dia lebih ramah."

"Barangkali ketua berpikiran lain. Dia tidak mau Serikat Kawa-kawa Hitam diremehkan orang," sahut Ki Gembyong.

"Tapi tingkahnya itu yang tidak kusuka. Sepertinya, kekuasaannya lebih dari ketua sendiri. Main bentak, main pukul, dan..., aaah! Pokoknya aku tidak suka dengan orang itu."

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tiba-tiba pemuda yang tengah dibicarakan sudah ada di dekat mereka.

"Hei!"

"Eh, tidak ada apa-apa, Den Kerta Wangsa...," sahut Ki Gembyong sambil tersenyum kecil.

Pemuda bernama Kerta Wangsa yang kepalanya diikat kain merah itu, menatap sinis dengan kedua tangan masih bersedakap. Wajahnya terlihat angker meski sebenarnya cukup tampan.

"Aku tahu, kau tidak menyukaiku, Kusnadi. Tapi apakah kau sadar kalau kehadiranku di sinis untuk menebus harga dirimu?"

"Aku tidak bermaksud begitu...."

"Sudahlah. Tidak usah banyak cakap! Sekarang, bagaimana cara pembuktianmu kalau orang itu berada di sini? Ingat! Waktu kita telah banyak terbuang hanya karena ketololan kalian sendiri. Dan kalau sampai kau tidak bisa menemukan mereka, jangan salahkan kalau aku akan menghukummu atas nama ketua!"

"Eh..., ng.... Kalau saja kemarin kita kembali ke sini, tentu akan bertemu mereka...."

"Tidakkah kau tahu, kemarin kita sibuk dengan pertemuan dari setiap cabang untuk membicarakan rencana yang lebih besar?!"

Kusnadi diam tidak berani lagi membuka suara. Sementara, Ki Gembyong pura-pura tidak mendengar sambil berlalu pelan dari tempat itu. Namun belum berapa jauh melangkah, tiba-tiba terlihat dua sosok tu-buh melewati tempat mereka.

"Coba lihat! Siapa yang sedang menuju ke sini!?" seru Ki Gembyong.

Seketika, semua mata memperhatikan dengan seksama ke arah yang ditunjuk Ki Gembyong. Kemudian terlihat paras pemuda bernama Kerta Wangsa itu berubah angker. Sambil mendengus sinis, kakinya melangkah lebar ke arah orang yang sedang berjalan itu.

"Kebetulan sekali! Anjing kerajaan itu berada di sini. Jadi, kita tidak susah-susah mengejarnya ke kota-raja."

Kusnadi menghela napas lega. Dengan hadirnya kedua sosok tubuh itu berarti perhatian pemuda ini akan beralih, dan dia selamat dari hukuman. Dua orang yang berjalan santai itu adalah seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping dengan membawa sebatang tongkat butut, dan di sebelahnya seorang gadis berparas jelita. Bajunya biru dengan sebilah pedang tersandang di punggungnya. Mereka tidak lain dari Pengemis Tongkat Sakti dengan muridnya, Sekar Harum. Pengemis Tongkat Sakti agak terkejut juga melihat cara mereka mencegatnya. Tapi parasnya cepat berubah ketika mengenali kawanan laki-laki berseragam hitam itu.

"He he he...! Kukira perampok kesasar dari mana. Tega-teganya mencegat pengemis buruk sepertiku. Rupanya, anjing pemberontak Serikat Kawa-kawa Hitam," kata Pengemis Tongkat Sakti sambil tertawa mengejek.

"Bangsat kau, Orang Tua! Apakah pihak kerajaan hanya mengirim kau seorang untuk memburu kami? Sungguh gegabah mereka!" dengus Kerta Wangsa.

"Hm.... Kalau kau mengira kedatanganku ke sini untuk menangkap kalian, itu kesalahan besar. Pihak kerajaan tentu tidak perlu bersusah payah mengirimku. Karena selain tenagaku tidak berguna, mereka juga tidak terlalu menganggap kalian sebagai ancaman," sahut Pengemis Tongkat Sakti memanas-manasi.

"Phuih! Sebentar lagi kotaraja akan hancur dan Serikat Kawa-kawa Hitam akan menguasai dunia persilatan. Dan, kaulah orang pertama yang menjadi tumbal atas kejayaan kami!"

"He he he...! Boleh saja kau berkata begitu. Tapi sebagai tumbal? Nanti dulu! Dan aku lebih suka melihatmu mampus sebagai anjing kurap yang selama ini mengotori kerajaan," sahut Pengemis Tongkat Sakti sambil tertawa kecil.

"Orang tua celaka! Banyak bacot kau! Mampuslah, hih...!"

Selesai berkata demikian, Kerta Wangsa langsung mencelat menyerang Pengemis Tongkat Sakti dengan gencar. Kerta Wangsa sebagai orang kedua dalam jajaran Serikat Kawa-kawa Hitam, memang sudah dikenal oleh pihak kerajaan sebagai salah satu pentolan yang harus diperhitungkan. Dan serikat yang dipimpinnya, tahun-tahun belakangan ini selalu merongrong kewibawaan pemerintah yang sah.

Mereka memang memiliki cita-cita untuk menggulingkan kerajaan, dan mendirikan kerajaan baru. Tentu saja mereka juga menginginkan seluruh anggotanya menjadi orang-orang penting yang menjalankan roda pemerintahan, berikut rencana-rencana gila yang akan dijalankan. Apalagi, orang nomor satu yang bernama Hadiwijaya atau lebih dikenal sebagai Panglima Samber Nyawa. Dialah Ketua Serikat Kawa-kawa Hitam yang amat cerdik, selain memiliki kepandaian yang tinggi.

Orang-orang berpengaruh dan memiliki ilmu dan kanuragan yang cukup handal di kumpulkan untuk dijadikan pengikutnya. Dan salah seorang adalah Kerta Wangsa, tokoh muda dalam dunia persilatan. Dia dikenal sebagai Siluman Liar Berdarah Dingin. Namanya banyak dikenal karena kehebatan ilmu olah kanuragan dan kekejamannya terhadap lawan.

Dan Pengemis Tongkat Sakti bukannya tidak mengetahui hal itu. Meski kagum pada nama besar lawan, tapi mana mau ditunjukkannya. Dan memang, apa yang diceritakan orang-orang tentang kehebatan pemuda ini bukan nama kosong be-aka. Buktinya gerakannya cepat dan kuat bukan main. Sehingga, mampu membuat pusaran angin kencang yang berdesir manakala tubuhnya bergerak menyerang lawan.

"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Hiyaaa...!"

Berkali-kali Pengemis Tongkat Sakti dibuat terkejut oleh serangan lawan yang datangnya tiba-tiba. Seperti apa yang terjadi barusan. Tongkatnya menderu mengincar pinggang, batok kepala, dan dada. Tapi mudah sekali Kerta Wangsa menghindar. Kemudian dengan kecepatan tinggi, kepalan tangan kanannya menyodok dada kiri Pengemis Tongkat Sakti. Kalau saja orang tua itu tidak buru-buru membuang tubuh ke kanan, niscaya dadanya akan jebol terhantam pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi.

"Kenapa kalian diam saja? Ayo ringkus gadis itu! Siapa pun dia, tidak peduli. Tangkap!" bentak Kerta Wangsa di tengah-tengah pertarungan, memperingatkan anak buahnya yang tadi sempat mematung menyaksikan pertarungan antara kedua tokoh itu.

"Ba... baik, Den Kerta...," sahut Kusnadi mewakili teman-temannya.

Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya lang-sung mengurung Sekar Harum sambil ter-senyum nakal dengan wajah menyeringai lebar.

"He he he...! Lumayan juga gadis ini. Cukup cantik untuk kita berempat," kata Kusnadi.

"Biarlah Kerta Wangsa dapat bagian pertama. Mendapat sisanya pun, sudah untung," sambung temannya.

"Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalian kena damprat Kerta Wangsa baru tahu rasa!" selak Ki Gembyong mengingatkan.

"Betul juga. Ayo cepat kita tangkap!"

"Orang-orang celaka! Kalian kira mudah menangkapku?! Ayo, majulah biar kupecahkan batok kepala kalian satu persatu!" sahut Sekar Harum tak kalah sengit sambil mencabut pedang dan bersiap menghadapi lawan-lawannya.

"Yeaaa...!" "Hiyaaat..!" Dengan lincah Sekar Harum memutar pedang dan memainkan sebuah jurus indah, namun memiliki daya serang kuat karena ditunjang tenaga dalam hebat.

Tapi, lawan-lawannya yang sedang dihadapi sekarang tidak bisa dianggap enteng. Mereka rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup lumayan. Apalagi, saat ini mereka maju bersamaan. Maka, sudah dapat dipastikan akan semakin berbahaya. Sementara, Sekar Harum sendiri bukanlah gadis tabah. Amarahnya, demikian cepat terpancing, dan mengamuk sejadi-jadinya kalau hatinya terusik. Begitu juga saat ini. Dengan hati panas dan kemarahan memuncak, semua lawannya diserang habis-habisan.

"Mampuslah kalian semua! Anjing-anjing keparat seperti kalian, tidak baik diberi hati!" bentak gadis itu garang.

"He he he...! Boleh saja. Tapi, sebelumnya kau harus membuat senang kami dulu, untuk menikmati indahnya tubuhmu," sahut salah seorang di antara mereka sambil menyeringai seperti serigala melihat domba gemuk.

"Cuihhh! Aku lebih suka mati daripada harus disentuh anjing-anjing kurap macam kalian!"

"He he he...! Percayalah. Justru anjing kurap inilah yang akan membuat kau ketagihan!"

Bukan main gemas dan marahnya Sekar Harum mendengar jawaban itu. Tubuhnya kontan menggigil menahan amarah. Bahkan seluruh kemampuannya telah dikerahkan untuk melumpuhkan lawan secepatnya. Pedang di tangannya berkelebat-kelebat menyambar leher-leher lawan. Tapi dengan lincahnya, keempat orang itu mampu menghindar sambil tertawa-tawa kecil.

"Kerahkan seluruh kemampuan yang kau miliki sebelum akhirnya menyerah dalam pangkuan kami," ujar Kusnadi.

"Ha ha ha...! Aku malah semakin gemas saja melihatnya dalam keadaan marah begini. Kecantikannya benar-benar menggugah untuk segera mendekapnya"

"Bajingan bermulut kotor! Mampuslah kalian!"

Sekar Harum langsung menyabetkan pedangnya cepat bagai kilat. Rupanya, gadis ini sudah demikian marahnya. Langsung saja dia mencecar salah seorang yang merendahkan martabatnya. Tapi...

Trak! Plak!

Ki Gembyong langsung memapak pedang Sekar Harum, sehingga menimbulkan suara keras. Tangan gadis itu kontan bergetar hebat. Dan pada saat bersamaan, Kusnadi menghajar pergelangan tangannya hingga pedang di tangan Sekar Harum terlepas. Kemudian, disusul salah seorang menotok tubuh Sekar Harum. Maka...

"Uh! Sekar Harum hanya mengeluh, kemudian jatuh lemas di tanah.

"Ha ah, betul kan kata-kataku? Kali ini, mana mungkin kau bisa melarikan diri. Kalau mau mati, nantilah setelah kami mendekapmu sepuas-puasnya," kata Kusnadi menyeringai penuh nafsu.

"Bangsat! Pengecut!" Sekar Harum menjerit memaki.

Pengemis Tongkat Sakti terkejut mendengar jeritan muridnya. Sekilas matanya sempat melirik dan menyaksikan Sekar Harum sedang dikelilingi empat orang anak buah Kerta Wangsa dalam keadaan tertotok. Maka batinnya langsung bergejolak, dan amarahnya kontan meluap. Tapi waktu yang sekilas tadi, ternyata dimanfaatkan betul-betul oleh Kerta Wangsa. Pedangnya cepat dicabut dari warangka, langsung dibabatkan ke arah leher orang tua itu

Crasss!
"Aaa...!"

Terdengar pekikan dari mulut Pengemis Tongkat Sakti ketika lehernya terbabat pedang Kerta Wangsa. Darah segar langsung muncrat dari leher yang tertebas. Orang tua itu limbung sesaat, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, laki diam. Mati!

"Huh! Mampuslah kau, Orang Tua Busuk!" geram Kerta Wangsa sambil menyarungkan pedang ke dalam warangkanya.

"Guru...!" pekik Sekar Harum begitu mengetahui gurunya telah tewas di tangan lawan. Sekar Harum berteriak-teriak menyayat sambil memaki-maki.

Sedangkan Kerta Wangsa menghampiri dan bertolak pinggang, lalu menatap dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Hm.... Jadi kau murid si keparat itu?"

"Kaulah yang keparat! Lepaskan aku. Ingin kupecahkan batok kepalamu sampai remuk!"

"Begitu?" Kerta Wangsa lalu memberi isyarat pada Ki Gembyong untuk melepaskan totokan pada diri Sekar Harum.

"Tapi...?"

"Kau takut dia akan mengalahkan kita? Jangan khawatir. Ingin kulihat, apakah kata-katanya bisa dibuktikan. Kalau tidak, tahu sendiri apa hukuman untuknya!"

"Baiklah...!" Ki Gembyong segera melepaskan totokan Sekar Harum. Tapi yang pertama dikejar gadis itu justru mayat Pengemis Tongkat Sakti, gurunya.

"Guru...! Hu hu hu.... Maafkan muridmu yang bodoh, karena tidak bisa menolongmu. Tapi aku bersumpah akan membalaskan sakit hati ini, meski nyawa sebagai taruhannya!" jerit Sekar Harum sambil menangis tersedu-sedu.

Sementara itu, Kerta Wangsa dan anak buahnya diam memperhatikan. Pemuda itu bersedakap dengan tangan kanan memegang pedang. Matanya seperti tidak lekang mengawasi Sekar Harum pada jarak dua tombak di belakangnya. Kemudian perlahan-lahan diperhatikannya gadis itu bangkit sambil memungut tongkat gurunya. Mata Sekar Harum kini lurus menatap ke arah Kerta Wangsa penuh rasa kebencian dan amarah meluap.

"Anjing keparat! Kau harus mampus di tanganku hari ini!" Sekar Harum menggeram.

***
ENAM
Matahari tak terlalu menyengat. Angin pun bertiup semilir, membuat suasana seperti ini semakin melenakan seorang pemuda berwajah tampan yang tidur sambil bersandar di bawah sebatang pohon rindang. Pemuda berbaju rompi putih itu seperti melayang-layang di alam bawah sadarnya sambil mengikuti irama mimpi indah yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri. Namun saat itulah sesuatu terasakan melindas kakinya. Seketika pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak kaget...

"Heh?!" Rangga langsung mengerjap-ngerjapkan matanya. Di dekatnya tahu-tahu telah berdiri seorang bocah laki-laki yang kalau dilihat dari wajahnya berusia sekitar delapan tahun.

Tangannya memegang mainan gerobak-gerobakan yang bisa didorong. Rambut bocah itu panjang teriap hingga menutupi sebagian wajahnya. Dengan mengenakan baju berwarna-warni, penampilannya memang kelihatan aneh. Agaknya, roda mainan bocah inilah yang tadi melindas kaki Pendekar Rajawali Sakti. Jika diperhatikan baik-baik, bocah itu tidak seperti bocah pada umumnya. Dia seakan merasa tak bersalah oleh apa yang tadi diperbuatnya pada orang lain.

Dia diam saja sambil memperhatikan, kemudian terkekeh-kekeh kecil dengan tangan menunjuk ke arah Rangga. Siapa lagi bocah itu kalau bukan Karsono, yang terkenal sebagai bocah ajaib.

"He he he...! Wajahmu lucu seperti keledai dungu!" kata bocah itu enteng, seperti tak menyadari kalau kata-katanya dapat menyinggung perasaan orang lain.

"Bocah, siapa kau? Kenapa berkata begitu? Apakah kedua orangtua mu tak pernah mengajarkan sopan santun?" tanya Rangga ramah.

Karsono mengerutkan dahi mendengar kata-kata Rangga. Tapi kemudian tak peduli lagi, dan kembali bermain dengan gerobaknya sambil berlari-lari kecil.

"Hei?!" Rangga bangkit dan mengejar, namun langsung terkejut.

Ternyata lari bocah itu tak seperti lari bocah seusia pada umumnya. Larinya begitu cepat dan berkelok-kelok, laksana orang dewasa yang sedang mengerahkan ilmu lari cepatnya. Dari mulutnya tak henti-hentinya keluar teriakan-teriakan.

"Hus..., hus...! Ayo lari yang kencang! Lebih kencang lagi, kalau tidak kau akan kucambuk! Hus..., hus..., hayo!"

Bukan main gemasnya Rangga melihat kelakuan bocah yang seperti sengaja hendak mempermainkannya. Nyatanya bocah itu memang hanya berlari-lari tak jauh dari situ dan berputar-putar saja. Seperti mengajak bermain kejar-kejaran. Sebenarnya, Rangga tak ingin mempedulikannya. Tapi batinnya terus tergelitik untuk ingin tahu. Mustahil, bocah seusia itu mampu berlari secepat orang dewasa yang memiliki ilmu lari cepat tingkat sempurna. Maka sambil mengerahkan ilmu lari cepatnya, bocah itu dikejar, dan berusaha untuk mendahuluinya.

"Hup! Mau lari ke mana kau?" kata Rangga sambil melompat tepat di depan gerobak bocah itu.

Mau tak mau, Karsono terpaksa menghentikan laju gerobaknya. Dahinya kembali berkerut ketika sepasang matanya menatap Rangga yang berdiri di hadapannya dengan wajah tenang.

"Minggirlah kau, kalau tidak akan kubuat benjol kepalamu!" ancam Karsono.

"He he he...! Boleh juga ancamanmu. Cobalah pukul kepalaku sampai benjol," tantang Rangga sambil tersenyum kecil.

"Hihhh...!" Tiba-tiba Karsono mendorong gerobak mainannya ke arah Rangga.

Untung, Pendekar Rajawali Sakti cepat menangkisnya. Namun, Rangga jadi tersentak kaget. Ternyata gerobak itu didorong dengan tenaga dalam. Meskipun bentuknya tak terlalu besar, tapi rasanya tak mungkin bila bocah seusia itu mampu mendorong sedemikian kuatnya. Bahkan Rangga sampai mengerahkan tenaga dalamnya. Namun, gerobak itu tetap saja bergerak seperti hendak menghimpit dan menggilasnya. Sadarlah Rangga kalau bocah itu bukan bocah sembarangan. Dorongan gerobak itu jelas menggunakan tenaga dalam.

"Houp!" Rangga cepat meningkatkan pengerahan tenaga dalamnya untuk menekan gerobak mainan itu ke arah Karsono. Sementara wajah bocah itu tampak berkerut tak senang. Dia terlihat menarik napas panjang bagai hendak menambah kekuatan dorongnya. Rangga kaget ketika bocah itu bermaksud berbuat curang. Dorongan pada gerobaknya cepat dilepaskan dengan harapan Rangga akan terjerembab.

Dan saat itu juga, tubuhnya akan melayang siap menghantam dengan kepalan tangan yang diberi tenaga dalam tinggi. Dan Rangga siap bergulir ke samping, bila gerobak mainan itu semakin menekannya. Tapi hal itu memang disengaja. Karena dengan begitu, kedua kakinya akan leluasa memapak serangan bocah aneh itu.

"Yeaaa...!"

Dugaan Rangga ternyata benar. Maka buru-buru dia bergulir ke samping. Dan tak lama, serangan berbahaya bocah itu yang menggunakan separuh tenaga dalam meluncur datang. Rangga cepat memapak serangan itu.

Plak!

Karsono langsung mengeluh kesakitan. Namun dia cepat membuang diri ke depan. Rangga sendiri langsung bergulingan, mengikuti irama gerak bocah itu.

"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" maki Karsono.

Rangga menggelengkan kepala, begitu bangkit berdiri. Seharusnya bocah itu terluka terkena hajarannya tadi. Dan kali ini keyakinannya semakin bertambah kalau bocah itu bukan bocah sembarangan. Maka mulai diamati-amatinya bentuk tubuh serta wajah bocah itu.

"Hm. Sudah kuduga, kau bukan bocah biasa. Kau adalah si cebol yang berlagak menjadi bocah kecil," gumam Rangga sinis, setelah merasa yakin kalau bocah itu bukanlah anak kecil berusia delapan tahun seperti dugaannya semula.

"Huh! Apa urusannya?!" dengus Karsono.

"Banyak. Pertama, kau telah mengganggu waktu tidurku. Kemudian kau tiba-tiba menyerangku. Padahal, aku sama sekali tak menaruh curiga kalau kau akan berbuat begitu padaku. Nah, untuk itu kau harus mendapat hukuman setimpal" gertak Rangga yang sebenarnya hanya main-main.

"Kau pikir mudah melakukan itu? Cobalah kalau mampu!"

"Kenapa tidak?" Bersamaan dengan itu, tubuh Rangga melesat sambil melayangkan kepalan tangan kanannya tanpa disertai tenaga dalam, menghantam batok kepala lawan.

Tapi Karsono ternyata cukup gesit. Sambil bergulingan menghindari serangan lawan, tubuhnya kemudian melenting ringan ke atas membalas serangan.

"Yeaaa...!" Bocah itu berusaha mengambil keuntungan dengan mengandalkan tubuhnya yang kecil. Dia menyusup di antara pertahanan Pendekar Rajawali Sakti sambil mengirim pukulan bertenaga kuat.

Tapi, Rangga telah memperhitungkannya. Maka kaki kanannya cepat bergerak menyapu ketika kepalan tangan bocah itu menghantam dada. Sambil berbalik, kaki kirinya menendang ke pantat.

Plak! Des!

"Akh...!" Karsono menjerit kesakitan ketika tubuhnya terpental ke atas. Namun dengan mantap, dia masih mampu berjungkir balik, kemudian terus kabur dari tempat itu.

"Hei, jangan lari! Awas kau!" teriak Rangga berusaha mengejar.

Seperti anak kecil, mereka saling berkejaran. Lari bocah itu lumayan cepat, tapi Rangga yakin sebentar lagi pasti bisa menyusul. Bahkan mendahuluinya. Tapi pada saat Rangga hampir menyusul, saat itu pula telinganya mendengar dentang senjata beradu yang tak jauh dari tempat itu. Sebenarnya Rangga tak ingin mempedulikan, dan meneruskan niatnya mengejar bocah itu.

Tapi, tak lama kemudian terdengar jeritan keras seseorang. Hal inilah yang menarik perhatiannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung memutar haluan dan mencari sumber teriakan tadi, yang tak begitu jauh dari tempatnya berada. Dan ketika sampai di tepi hutan, di antara rerumputan luas terlihat lima orang berwajah kasar tengah mengelilingi seorang gadis berbaju biru. Salah seorang di antara mereka tampak bertarung sengit dengan gadis yang tampak sudah kewalahan itu.

"Ayo, bangkitlah. Seranglah aku sepuasmu, sebelum akhirnya kau menyerah dan kuberi ganjaran yang tak akan kau lupakan seumur hidupmu!" sahut pemuda bertampang angker itu dingin.

"Hihhh...!" Gadis itu cepat melayangkan kepalan tangan kanannya. Namun karena tenaganya sudah melemah, maka dengan mantap pemuda itu menangkapnya.

Tap!

Kemudian tangan gadis itu dipelintir ke belakang tubuhnya. Sedangkan sebelah tangan gadis itu ditangkapnya pula. Dan tiba-tiba tangannya bergerak cepat, hendak merobek baju gadis malang itu.

Breeet!

"Ouw! Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!"

Hal itu tentu saja membuat gadis ini menjerit-jerit sambil memaki-maki dengan suara melengking. Namun pemuda angker itu tak juga mempedulikannya. Bahkan semakin erat mencekal lengan gadis itu sampai tak bisa melepaskan diri. Sementara tangan kanannya leluasa menyusup di antara robekan pakaian gadis yang menuju bukit kembarnya. Sedangkan bibirnya penuh nafsu merayap di antara leher nan jenjang itu.

"Hih!" Dalam keadaan putus asa begitu, gadis ini masih berusaha menendang ke belakang. Tapi yang terjadi justru membuat keadaannya lebih sulit lagi, karena lutut kanan pemuda itu menekan bagian bawah pinggangnya. Akibatnya gadis itu tidak bisa berontak lagi.

"Ouw!"

"Kisanak! Tidak bisakah kau bersikap sopan kepada seorang gadis yang tak berdaya?" Tiba-tiba, entah dari mana datangnya terdengar suara teguran.

"Hei!" Pemuda itu tersentak. Begitu juga keempat temannya yang menunggu tak jauh dari tempat itu. Dan secara tiba-tiba pula, di tempat itu muncul seorang pemuda berambut panjang serta berbaju rompi putih. Di punggungnya terlihat sebilah pedang berhulu kepala burung.

"Siapa kau?! Berani benar kau mengusik urusan Kerta Wangsa!" bentak pemuda itu sambil melepaskan gadis dalam rangkulannya tadi.

Begitu terbebas, gadis ini cepat-cepat membenahi diri sambil menjauh dari orang-orang itu. Matanya sekilas sempat melirik pada pemuda yang baru datang. "Pendekar Rajawali Sakti...!" seru gadis itu pelan, dan tanpa sadar. Walau suaranya halus dan nyaris tidak terdengar, tapi bagi Kerta Wangsa hal itu telah cukup meyakinkan dugaannya semula terhadap pemuda asing ini.

"Hm.... Jadi kau orang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti? Lama sudah kudengar nama besarmu, hingga membuat tanganku tergelitik untuk menjajal kemampuanmu!"

"Kisanak. Benar apa yang kau duga tentang diriku. Tapi kau salah jika beranggapan, kalau aku tempat untuk menjajal kemampuanmu, aku hanya seorang pengembara biasa yang tak punya keistimewaan apa-apa...," sahut pemuda yang memang Rangga, merendah.

"Pendekar Rajawali Sakti! Jangan coba menghindar! Suka atau tidak, kau kini punya urusan denganku!" bentak Kerta Wangsa sambil mengacungkan pedangnya.

"Urusan? Urusan apa, Kisanak?" Dahi Rangga berkerut mendengar hal itu. Seingatnya, dia baru bertemu sekali dengan orang ini, di sini. Jadi bagaimana mungkin bisa mengatakan kalau punya urusan?

"Masih ingatkah kau pada si Pedang Ular Emas? Dia tewas di tanganmu! Agar kau tahu, dia termasuk anggota Serikat Kawa-kawa Hitam!"

"Hm.... Jadi kalian anggota para pemberontak itu? Tapi kematian temanmu itu bukan salahku. Dia yang terlalu memaksa, sehingga aku terpaksa berbuat demikian...."

"Bangsat! Kau harus menerima akibat perbuatanmu! Hiyaaat..!"

"Tahan, Den!"

Kerta Wangsa baru saja bermaksud akan menyerang Rangga, namun pada saat itu Kusnadi beserta dua orang temannya langsung melompat menahan niatnya.

"Den Kerta Wangsa. Biarlah bocah ini menjadi bagianku. Kalau dibiarkan banyak bicara, dia akan semakin berkoar dan menganggap dirinya jago tak terkalahkan!"

"Hm...!" Kerta Wangsa berpikir lain. Pada dasarnya, dialah yang ingin menempur Pendekar Rajawali Sakti. Sudah lama sekali nama pemuda itu didengarnya, sehingga membuat iri hatinya. Seingatnya, selama ini belum pernah terdengar kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa dipecundangi lawan. Padahal, banyak cerita yang didengarnya kalau Pendekar Rajawali Sakti sering berhadapan dengan tokoh-tokoh kosen berilmu tinggi.

Sejak awal, Kerta Wangsa memang sudah kesal terhadap Kusnadi. Selain orang itu tak menyukainya, sejak tadi pun tangannya sudah gatal ingin menghajar laki-laki berperut gendut itu. Maka dengan menawarkan diri untuk menempur Pendekar Rajawali Sakti, di atas kertas Kusnadi pasti akan menjadi bulan-bulanan lawan. Dan justru hal itulah yang memang diharapkan Kerta Wangsa. Dalam hatinya, dia memang ingin meminjam tangan Pendekar Rajawali Sakti untuk menghukum Kusnadi.

"Baiklah kalau memang kau ingin menghajarnya. Tapi, ingat jangan setengah-setengah. Aku ingin melihat dia mampus di tanganmu!" sahut Kerta Wangsa sambil mendengus sinis.

"Beres!" sahut Kusnadi cepat. Bersama dua orang kawannya, Kusnadi langsung mencabut golok dan mengurung Pendekar Rajawali Sakti. "Bocah! Kau terlalu menganggap enteng lawan. Berhati-hatilah, karena nama besarmu hari ini akan tumbang!"

"Hm.... Sungguh lucu kalian, Kisanak. Siapa yang menghina dan siapa pula yang mempersoalkan nama besar? Kalianlah yang mencari gara-gara. Aku hanya sekadar memperingatkan, perbuatan yang dilakukan temanmu itu sangat tidak terpuji. Dan hanya binatanglah yang melakukan perbuatan terkutuk itu," sahut Rangga santai.

"Keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!" Sambil berteriak nyaring, ketiga orang itu melompat menyerang Rangga.

Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat tinggi, kemudian bersalto beberapa kali. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah di belakang lawan pada jarak satu tombak. Bukan main gusarnya Kusnadi dan dua orang temannya, melihat serangan pertamanya luput. Mereka langsung membagi tempat. Dan ketika dua orang temannya kembali menyerang, Kusnadi mencuri kesempatan saat Rangga melompat menghindar.

"Yeaaa...!" "Uts!" Plak!

Rangga cepat menunduk, ketika golok lawan mengancam kepalanya. Maka golok itu hanya lewat beberapa jari di atas kepalanya. Sementara kaki kanan Rangga juga langsung menghantam salah seorang yang berada di dekatnya. Sedangkan tangan kiri menghantam pergelangan tangan Kusnadi.

Plak! "Ugkh!"

Terdengar suara keluhan tertahan. Sementara lawan yang lain sempat jungkir balik, menghindari tendangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Sial!" maki Kusnadi, ketika kecurangannya terbaca Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaa...!" Kedua teman Kusnadi kembali menyerang ganas. Dan seperti semula, Kusnadi mencuri kesempatan di saat lawan lengah. Tapi kali ini Rangga tak mau lagi memberi hati. Tubuhnya langsung bergerak indah, mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

"Hiyaaa...!" Dan setelah bergerak ke samping menghindari tebasan golok Kusnadi, tubuh Rangga berputar cepat di udara dengan kedua kaki terpentang menghajar tengkuk dan dada kedua lawan. Begitu mendarat, kepalan tangannya langsung menyodok dada kiri Kusnadi.

Plak! Duk! Diegkh! "Aaa...!"

Ketiga orang itu memekik kesakitan. Tubuh mereka kontan terpental sambil menyemburkan darah segar dari mulut. Sesaat mereka menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya diam untuk selamanya. Mati!

Mereka yang menyaksikan itu terkejut. Memang kejadiannya begitu cepat sehingga tak ada seorang pun yang mampu menolong.

"Keparat! Pendekar Rajawali Sakti, akulah lawanmu!" bentak Ki Gembyong sambil melompat maju. Tapi sebelum Ki Gembyong menyerang Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba....

"Ki Gembyong, menepilah. Dia bukan lawanmu. Biar aku yang akan melayaninya!" bentak Kerta Wangsa.

"Tapi..."

"Minggir kataku!" bentak Kerta Wangsa lagi tanpa menoleh. Bahkan sorot matanya tampak tajam menatap ke arah Rangga. Tangannya yang semula bersedakap, direntangkan. "Pendekar Rajawali Sakti! Nama besarmu ternyata bukan kosong belaka. Tapi, Siluman Liar Berdarah Dingin tak bisa kau samakan dengan mereka. Berhati-hatilah....!"

Selesai berkata begitu, Kerta Wangsa yang berjuluk Siluman Liar Berdarah Dingin langsung berkelebat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

***
TUJUH
Sementara itu, di kejauhan sana, Kesuma Wardhana terus memacu kencang kudanya. Sementara di belakangnya, Andini juga mengejar dengan perasaan geram dan kesal. Kalau belum menghajar kakaknya, hatinya belum puas. Tinggallah prajurit-prajurit di belakang mereka yang terpaksa memacu kencang kudanya agar tak ketinggalan.

Kesuma Wardhana terkejut ketika tiba-tiba kudanya meringkik keras sambil menaikkan kedua kaki dengannya tinggi-tinggi. Ternyata di depannya telah berdiri dua sosok bertubuh ganjil. Yang seorang, laki-laki tua bertubuh cebol. Dan di sebelahnya, seorang perempuan tua bertubuh tinggi kurus. Keduanya memakai baju warna-warni.

"Hi hi hi...! Kau lihat, Kakang Warkala? Pemuda ini cukup tampan dan gagah. Dia pasti cocok menjadi calon suami Yatikah," kata perempuan tua itu sambil tertawa panjang dan memegangi tongkat kayunya dengan kedua tangan.

"Betul apa yang kau katakan, Yuningsih. Tapi, apakah dia bisa memenuhi syarat?" tanya laki-laki cebol itu sambil sesekali menggeser letak pedang pendek terbuat dari kayu yang berada di pinggangnya.

"Kenapa susah-susah? Uji saja!"

"He he he...! Betul juga katamu. Mana mungkin kita tahu kalau tidak mengujinya lebih dulu."

"Kisanak berdua! Siapakah kalian, dan kenapa tiba-tiba menghadang perjalanan kami?" tanya Kesuma Wardhana sopan.

"Kakang Kesuma! Kenapa kau masih bersopan-sopan segala pada mereka?! Sudah jelas keduanya ingin mencari gara-gara!" potong Andini, sebelum kedua orang tua itu menyahut.

"Andini, jaga mulutmu! Tidak baik kau berkata begitu!"

Andini menunjukkan wajah cemberut karena di bentak dengan nada kasar oleh kakaknya. Sementara itu prajurit-prajurit kerajaan yang baru tiba di tempat itu, langsung turun dari kuda dan menghampiri mereka.

"Paduka Pangeran, apa yang terjadi? Dan, siapakah kedua orang tua ini? Apakah mereka mengganggu Paduka?" tanya salah seorang prajurit dengan sikap hormat.

"Kau dengar, Yuningsih? Ternyata pemuda ini seorang putra raja. Sungguh kebetulan!" seru laki-laki cebol itu sambil terkekeh girang.

"Huh! Buat apa putra raja segala. Kalau ternyata dia tak becus, apa gunanya! Sudahlah, sebaiknya lekas kau uji dia. Atau, aku yang mesti maju lebih dulu?!"

"Eit..., eit! Cobalah bersikap lebih sabar...!"

Kesuma Wardhana baru akan kembali bertanya, ketika laki-laki cebol yang dipanggil Warkala bersuit nyaring. Bersamaan dengan itu melesat sesosok tubuh ramping di dekat mereka. Ternyata, dia seorang gadis berwajah cantik berbaju warna-warni seperti kedua orang tua itu. Walaupun begitu, gadis ini terlihat tak pandai mengurus diri. Kulitnya yang putih tampak kotor. Dan rambutnya yang panjang, terkesan suram dan menutupi sebagian wajahnya.

"Yatikah! Coba lihat pemuda ini? Apakah kau merasa cocok dengannya?" tanya Warkala tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya.

Gadis yang ternyata Yatikah itu memandang sekilas pada Kesuma Wardhana sambil tersipu-sipu malu.

"Yah, dia boleh juga. Tapi, aku tak akan melanggar sumpahku. Kalau dia tak becus apa-apa, lebih baik mampus saja!"

"Kisanak! Kalian sudah keterlaluan. Menepilah dan beri jalan pada junjungan kami!" bentak salah seorang prajurit sudah tak sabar melihat kelakuan orang-orang asing itu.

"He, apa katamu?!" Tiba-tiba saja tubuh Warkala melompat dan mengayunkan pedang pendek ke batok kepala prajurit itu. Dan....

Prak! "Aaa...!"
"Hei?!"
"Keparat!"

Gerakan Warkala cepat sekali, sehingga prajurit itu tak sempat mengelak. Kepalanya langsung retak dihantam pedang kayu Warkala. Terdengar jerit kematian ketika tubuhnya roboh ke tanah. Kesuma Wardhana dan yang lainnya langsung terkejut menyaksikan semua itu. Namun, dua orang prajurit telah langsung melompat hendak menerjang Warkala sambil memaki geram.

"He he he...! Ayo! Majulah kalian semua, kalau tak senang dengan kata-kataku. Biar sekalian kubuat mampus. Ayo, maju dan seranglah aku sepuas kalian!"

"Hi hi hi...! Enak saja kau ingin berpesta sendiri. Tanganku pun sudah gatal melihat tingkah mereka!" sahut Yuningsih seraya terus melompat. Langsung dihajarnya sisa-sisa prajurit lain yang telah mengurung mereka. "Yeaaa...!"

Prak! Des! "Aaa...!"

Terdengar pekik kematian ketika senjata aneh di tangan kedua orang tua itu berkelebat menghajar ke sana kemari. Dalam waktu singkat saja, tiga orang prajurit telah tewas.

"Paduka Pangeran dan Putri. Cepat tinggalkan tempat ini!" teriak salah seorang prajurit memperingatkan. Belum sempat Kesuma Wardhana dan Andini menjauh, tiba-tiba Yatikah telah mencegah.

"Mau ke mana kalian? Jangan coba-coba kabur sebelum berhadapan denganku!"

"Cuih! Perempuan jalang, mampuslah kalau berani menghalangi kami!" teriak Andini sambil melepaskan anak panahnya.

Siiing! Tap!

Namun dengan gerakan menakjubkan, Yatikah menangkap anak panah itu menggunakan dua jari tangan. Kemudian dengan gemas dilemparnya anak panah itu kembali ke arah Andini. Dan ternyata Andini agaknya memiliki kemampuan ilmu silat yang lumayan. Maka dengan sigap dia melompat dari kuda sambil menghindari lemparan anak panah, dan langsung mendarat di depan Yatikah.

"Perempuan jalang! Agaknya kau perlu diberi pelajaran agar mulutmu tak terlalu lancang berbicara, Yeaaa...!"

"Andini...!" Kesuma Wardhana mencoba mencegah perbuatan adiknya yang hendak menyerang Yatikah, tapi terlambat. Ternyata, Andini telah bergerak cepat melepaskan pukulan ke arah lawan.

"Uts!" Namun, dengan mudah Yatikah mengelakkan serangan dengan dorongan tubuh ke kiri. Dan begitu terbebas, tangan kanannya bergerak menampar dada Andini.

Duk! "Akh!" Andini yang tak sempat mengelak, langsung menjerit kecil. Seketika tubuhnya terpental ke belakang. Tapi dasar gadis itu memang keras kepala, dia masih tetap berusaha bangkit. Sambil tertatih-tatih dengan sebelah tangan mendekap dadanya yang terasa nyeri, Andini menghapus darah yang menetes di ujung bibirnya. Tapi baru beberapa langkah, pandangannya mulai kabur. Dan tiba-tiba Andini ambruk pada saat Kesuma Wardhana melompat dari punggung kuda dan menyambar tubuh adiknya.

"Andini...!" Diurut-urutnya dada adiknya perlahan-lahan sebelum menyandarkannya pada sebatang pohon. Ketika dilihatnya Andini mulai siuman, Kesuma Wardhana berbalik dan menatap tajam gadis yang melukai adiknya. Kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling. Ternyata prajurit-prajuritnya telah tewas tanpa sisa. Sementara kedua orang tua aneh itu terkekeh-kekeh kegirangan sambil bertolak pinggang.

"Biadab! Apa yang kalian kehendaki sebenarnya?!" geram Kesuma Wardhana.

"Heh, Anak Muda. Majulah, dan keluarkan seluruh kemampuanmu kalau tak ingin kubuat mampus!" bentak Yatikah sambil melangkah mendekati, dan berhenti tepat saat jarak mereka tinggal empat langkah lagi.

"Perempuan kejam! Apa urusan kalian hingga tega berbuat kasar pada kami?"

"Tak usah banyak tanya. Majulah. Atau, kupecahkan batok kepalamu!" Agaknya, Yatikah sudah tidak sabar menunggu tanggapan Kesuma Wardhana. Sehingga, dengan cepat diserangnya pemuda itu dengan melayangkan kepalan tangan ke wajah.

"Hiyaaa...!" Namun, Kesuma Wardhana tentu saja tidak sudi wajahnya jadi sasaran pukulan lawan. Maka dengan cepat tubuhnya dimiringkan, seraya memapak serangan gadis itu.

Plak!

"Bagus!" puji Yatikah.

Kesuma Wardhana terkejut dan mengeluh lirih ketika tangannya terasa sedikit nyeri saat berbenturan tadi. Sepertinya, yang ditangkisnya adalah sebatang besi yang amat kokoh. Memang pemuda itu pernah belajar ilmu olah kanuragan. Namun sayangnya, tak terlalu mendalam. Pikirnya, ilmu silat yang dipelajarinya selama ini sudah cukup bagus untuk membentuk tubuh. Sehingga dia tak bernafsu untuk mempelajarinya pada jenjang yang lebih tinggi. Maka tak heran ketika menangkis serangan Yatikah yang dialiri tenaga dalam, bibirnya sempat meringis kesakitan.

"Huh! Laki-laki banci tak berguna. Lebih baik kau mampus saja!" dengus Yatikah sambil mengayunkan tangan ke arah dada Kesuma Wardhana yang tak sempat berbuat apa-apa. Dan....

Des! "Akh...!" Kesuma Wardhana menjerit keras dan tubuhnya terlempar sejauh dua tombak. Dari mulutnya langsung menyembur darah segar. Kalau saja hantaman itu lebih keras lagi, tentu dia akan tewas seketika. Namun, agaknya Yatikah masih menaruh belas kasihan juga. Hingga, dia tak sepenuh hati saat menghantam tadi.

"Aaah! Buat apa dikasih hati segala? Biar kubereskan laki-laki tak berguna ini!" bentak perempuan tua yang sejak tadi menyaksikan tingkah mereka berdua. Dengan wajah gemas, tubuh perempuan tua itu melayang dengan satu serangan telak ke arah Kesuma Wardhana. Dan kali ini, tentu Kesuma Wardhana tak dapat menghindarinya.

Namun di saat-saat gawat, tiba-tiba muncul seorang bocah berusia kira-kira delapan tahun, sehingga mengalihkan perhatian Yuningsih, perempuan tua aneh itu.

"Ayah..., Ibu...! Telah kutemukan orang itu! Telah kutemukan!"

"Karsono! Apa-apaan kau berteriak-teriak begitu?!" bentak Warkala.

"Telah kutemukan orang itu!" sahut bocah yang bernama Karsono dengan wajah gembira.

"Apa yang kau temukan?"

"Calon suami Yatikah!"

"Apa?!" gadis bernama Yatikah itu berseru kaget sambil menghampiri Karsono dengan wajah ceria.

"Telah kutemukan calon suamimu. Orangnya tampan, berambut panjang, dan kepandaiannya luar biasa!"

"Di mana dia?!" sentak Yuningsih yang berada di dekat Warkala dengan wajah berseri-seri pula.

"Di sana!"

"Goblok! Kenapa tak diajak ke sini?!"

"Habis..., dia menghajarku sampai badanku terasa sakit-sakit," sahut Karsono sambil menundukkan kepala.

"Apa?! Dia berani menghajarmu? Kurang ajar! Ayo, tunjukkan! Di mana orangnya, biar kupecahkan batok kepalanya!" sahut Warkala dengan wajah berang.

"Tadi dia mengejarku ke sini. Entah kenapa, sekarang tak mengikuti lagi. Barangkali dia lebih tertarik mengurusi orang yang sedang berkelahi...."

"Di mana? Di mana ada orang berkelahi? Bagus! Lebih banyak orang, lebih baik. Ayo, tunjukkan tempat itu," ajak Yuningsih sambil menyeret lengan Karsono.

"Tapi, bagaimana dengan mereka?" tanya Yatikah ragu.

"Aaah, sudah! Tinggalkan saja mereka di sini!" bentak Yuningsih.

Maka keempat orang itu langsung menggenjot tubuh, meninggalkan tempat itu. Sementara Kesuma Wardhana menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha bangkit. Sedangkan Andini sudah mendekat, dan segera memapah tubuh Kesuma Wardhana.

"Siapa mereka sebenarnya. Dan, apa yang diinginkan mereka?" gumam Kesuma Wardhana heran.

"Tulikah telingamu? Apakah kau tidak mendengar ocehan mereka? Gadis liar itu sudah gatel ingin kawin. Tapi, agaknya mereka mencari syarat tertentu. Mungkin calon suaminya harus memiliki ilmu olah kanuragan yang mampu melebih dirinya," tebak Andini.

"Tapi caranya sangat keterlaluan..."

"Keterlaluan bagaimana? Bersyukurlah kau karena tak kawin dengan gadis itu. Kalau tidak, apa kata ayahanda nanti memiliki calon menantu orang gila seperti dia!"

"Kau ini kalau bicara seenak perutmu saja..."

"Sudahlah, Kakang Kesuma. Lebih baik, kau pulang. Dan katakan pada ayahanda semua kejadian ini. Mudah-mudahan prajurit-prajurit istana akan cepat menangkap mereka," sahut Andini sambil berjalan pelan ke arah orang-orang tadi berkelebat.

"Eee, mau ke mana kau?"

"Menyusul mereka!"

"Gila! Kau mau mencari mati? Andini, orang-orang itu gila. Dan bagi mereka, nyawa manusia seperti tak ada harganya. Ayo, mari kita pulang segera!"

"Kakang Kesuma! Tidakkah kau tadi mendengar ocehan bocah itu!"

"Ocehan? Ocehan yang mana? Mana aku peduli dengan segala ocehan orang gila seperti mereka!"

"Mereka mengatakan tentang seseorang, dan akan menemuinya."

"Seseorang? Siapa yang kau maksud?"

"Pemuda yang dulu kita temui! Bukankah dia berwajah tampan, berambut panjang, dan mengenakan rompi putih seperti yang dikatakan bocah tadi? Pasti dia Rangga, pemuda yang dimaksud itu. Hei! Tak disangka, dia memiliki kepandaian tinggi. Pasti dia akan suka membantu kita menghajar orang-orang gila itu!"

"Andini, tunggu...!"

"Tidak, Kakang. Aku akan ke sana sekarang juga!" sahut Andini sambil melompat ke atas punggung kuda, dan langsung menggebah kencang.

Kesuma Wardhana hanya menggerutu kesal. Dia lantas bangkit dan melompat ke punggung kudanya untuk mengejar Andini.

***
DELAPAN
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Siluman Liar Berdarah Dingin semakin sengit saja. Dan masing-masing telah menyadari bahwa lawan yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Maka tak heran kalau sama-sama telah mengerahkan ilmu silat tingkat tinggi. Rangga mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk memancing dan memperhatikan sifat serangan lawan, serta sesekali menyerang.

"Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu menganggap remeh kemampuanku! Jangan terus menghindar. Apakah kebisaanmu hanya sampai di sini?!" bentak Kerta. Wangsa, geram.

"Kisanak! Kenapa kau marah-marah? Bukankah kau yang lebih dulu memulai pertarungan? Aku hanya sekadar mempertahankan diri," jawab Rangga santai.

"Hm. Kalau begitu, tahanlah jurus 'Langit Memutar Bumi Berguncang' ini!" desis Kerta Wangsa. "Hiyaaat..!"

Rangga terkesiap. Ternyata lawan bergerak cepat bagai sapuan angin puyuh. Dan tiba-tiba, pedangnya telah berkelebat menyambar ke arah leher. Masih untung, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar dengan membuang tubuh ke kiri.

"Yeaaa...!" Mulai terlihat perubahan sifat serangan lawan kali ini. Selain cepat dan kuat, juga tertuju pada bagian yang mematikan. Ke mana saja Pendekar Rajawali Sakti berkelit maka ujung pedang lawan terus mengejar. Dan walau Rangga berhasil menendang pergelangan tangan lawan, tapi Kerta Wangsa cepat memapak dengan tangan kiri. Dan pada saat yang sama, pedang di tangannya melaju terus mengancam tubuh Pendekar Rajawali Sakti!

Cras! "Akh!"

Rangga mengeluh kecil begitu ujung pedang lawan berhasil menggores sedikit dadanya, sehingga menimbulkan luka berdarah. Masih untung Rangga tadi cepat bersalto atas. Kalau tidak, pasti sabetan pedang lawan yang menyilang akan membelah lehernya.

"Hm.... Cabutlah pedangmu, kalau tak ingin terluka!" dengus Kerta Wangsa garang, begitu Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah.

"Sungguh hebat permainan pedangmu, Kisanak. Tapi biarlah aku meladenimu dengan tangan kosong dulu...."

"Hm, sombong! Jangan salahkan bila kau harus mampus saat ini juga!" dengus Kerta Wangsa semakin bertambah geram saja mendengar jawaban Rangga.

Pemuda bergelar Siluman Liar Berdarah Dingin itu segera membuat gerakan dengan merapatkan tangan kanan yang memegang pedang, ke dada hingga bersentuhan dengan telapak tangan kiri. Kemudian, sambil berteriak nyaring dia mulai menyerang Rangga.

"Yeaaa...!" "Hiyaaat..!"

Rangga yakin kalau lawan kali ini bermaksud menghabisi nyawanya. Maka dia harus tetap berhati-hati menyambut setiap serangan sambil mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dan apa yang diperkirakan Pendekar Rajawali Sakti tak salah. Dari tangan kiri Kerta Wangsa tampak melesat selarik sinar berwarna abu-abu menghantam ke arahnya. Rangga terpaksa jungkir balik untuk menghindarinya. Tapi saat itu juga, tubuh Kerta Wangsa melesat ke arahnya sambil mengayunkan pedangnya yang bergerak bergulung-gulung seperti hendak melipat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" "Uts!" "Yeaaa...!"

Namun pada saat itu juga Rangga melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Maka seberkas sinar merah langsung keluar dari telapak tangannya, menghajar ke arah Siluman Liar Berdarah Dingin. Pemuda itu terkejut setengah mati. Dan dia berusaha menghindarinya dengan kalang kabut. Sementara itu desir angin pukulan Pendekar Rajawali Sakti menderu hebat. Dan saat tubuhnya melesat cepat melepaskan pukulan, Kerta Wangsa masih sempat menangkis.

Namun begitu sodokan kaki kanan Rangga menghantam telak dadanya, Kerta Wangsa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kontan terpental, namun masih untung mampu berpijak di tanah. Langsung dihapusnya darah yang menetes di sudut bibirnya.

Plok! Plok...!

"Hebat sungguh hebat! Dua pemuda gagah dan sama-sama berkepandaian tinggi. Sungguh pantas bagi anakku!"

Rangga dan Kerta Wangsa sama-sama menoleh ketika terdengar tepuk tangan meriah yang disusul munculnya empat orang bertubuh aneh dan berpakaian sama. Yang dua orang, laki-laki bertubuh cebol. Satu berusia tua, dan seorang lagi seperti bocah berusia delapan tahun. Di sebelah mereka terdapat dua orang wanita. Yang seorang, tinggi kurus memegang tongkat dan berusia lanjut. Sedang yang satu lagi, seorang gadis cantik dengan kulit kusam tak terawat.

"Den Kerta Wangsa! Merekalah orang yang kita cari-cari. Laki-laki cebol yang wajahnya seperti anak-anak itu! Jangan salah kira, dia bukan anak kecil, tapi pemuda dewasa yang bertubuh cebol," bisik Ki Gembyong, setelah menghampiri Kerta Wangsa.

"Hm.... Ternyata mereka...."

"Apakah kau mengenalnya?"

Kerta Wangsa mengangguk. "Orang-orang menyebut mereka sebagai Pendekar-pendekar Aneh. Dan memang, kelakuan mereka juga aneh-aneh."

"Pendekar Aneh? Baru kali ini nama itu kudengar," kata Ki Gembyong.

"Memang! Mereka jarang menunjukkan diri kalau tak ada sesuatu hal yang penting"

"Lalu dengan munculnya mereka di sini, pasti ada yang dianggap penting?" tebak Ki Gembyong.

Kerta Wangsa kembali mengangguk.

"Lho, Iho.... Kenapa diam? Ayo, lanjutkan pertarungan kalian. Biar aku akan menontonnya dari sini!" teriak laki-laki tua bertubuh cebol yang bernama Warkala.

"Sial! Kau pikir kami ayam aduan yang seenaknya diadu? Kalau kau memang suka sekali melihat orang bertarung, kesinilah. Biar kuperlihatkan, bagaimana enaknya!" bentak Kerta Wangsa garang.

"Hi hi hi...! Kau dengar, Warkala? Dia betul-betul bersemangat tinggi. Ah! Pasti pantas untuk mu, Yatikah," ucap Yuningsih, istri Warkala.

Sementara Yatikah yang berkulit putih namun kusam, tersipu malu mendengar perkataan ibunya. Namun dengan cepat parasnya berubah ketika mendengus sinis.

"Huh! Belum tentu dia pantas menjadi suamiku. Siapa tahu, hanya pepesan kosong belaka."

"Gadis celaka! Apa katamu?" mata Kerta Wangsa mendelik marah. Hampir saja Kerta Wangsa menyerang gadis itu kalau tak ingat urusannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. "Pendekar Rajawali Sakti! Sebaiknya kita tunda sesaat urusan kita. Aku bermaksud akan memberi pelajaran pada perempuan besar mulut ini!"

"Silakan, Kisanak. Kebetulan aku pun akan melanjutkan kembali perjalananku," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berlalu, hendak mendekati gadis berbaju biru yang sejak tadi diam memperhatikan pertarungan mereka. Dan baru berjalan lima langkah, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadang Pendekar Rajawali Sakti.

"Eee. Jangan seenaknya pergi dari sini. Kalian harus melanjutkan pertarungan tadi, agar aku dapat melihat orang yang paling hebat. Yang menang nanti, akan berhadapan dengan putriku. Dan kalau bisa mengalahkan Yatikah, maka dialah yang berhak menjadi menantuku!" seru Warkala, begitu mendarat di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak, menepilah. Jangan menghalangi langkahku!" ujar Rangga memperingatkan.

"Hei! Sungguh sombong! Apa kau pikir berhak berkata begitu padaku? Anak muda kurang ajar! Kau patut dihukum!"

Setelah berkata demikian, tubuh orang tua cebol itu bergerak cepat. Pedang kayu mainannya langsung dikeluarkan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. "Yeaaa...!"

Walaupun bertubuh cebol, tapi orang tua itu mampu bergerak cepat. Bukan hanya itu saja! Angin serangannya pun cukup kuat, karena dibarengi tenaga dalam hebat. Tampak Warkala tak tanggung-tanggung menggempur lawan. Bahkan seperti hendak menjatuhkan secepatnya. Tentu saja, hal ini membuat Rangga terkejut. Tentu saja serangan Warkala tak bisa dianggap enteng. Mau tak mau, serangan itu terpaksa diladeni secara bersungguh-sungguh pula.

Sementara itu, melihat mereka bertarung, bukan main kesalnya Kerta Wangsa. Dia merasa orang tua cebol itu telah merebut lawannya. Sebenarnya, bisa saja dia mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mungkin, akan membuat pemuda itu mudah dilumpuhkan. Tapi bukan itu yang diinginkannya, tapi kematian Pendekar Rajawali Sakti di tangannya sendiri dalam pertarungan adil satu lawan satu.

"Pendekar Rajawali Sakti! Kau bereskanlah dulu orang-orang aneh ini. Suatu saat, aku akan datang mencarimu!" teriak Kerta Wangsa bermaksud meninggalkan arena pertempuran.

"Keparat! Apa katamu?! Seenaknya bicara!" sentak Yuningsih sambil melompat dan menghalangi langkah Kerta Wangsa.

Bersama perempuan tua itu pula, mendekat dua orang putra-putrinya. Sikap mereka sama dalam menghadang jalan Kerta Wangsa. Tenang sambil menatap dengan sinar mata sinis.

"Perempuan tua, menepilah. Kalau tidak, aku tak akan segan-segan memenggal kepalamu!"

"Hi hi hi...! Baru kali ini kudengar ada orang yang berani bicara begitu di hadapanku. Kalau tidak gila, pasti dia ingin mampus di sini!" sahut Yuningsih sambil tertawa nyaring.

"Sial! Kau betul-betul tak bisa diajak bicara baik-baik!"

Sring! "Yeaaa...!" Sambil menyeringai buas, Kerta Wangsa segera mencabut pedangnya dari warangka. Maka langsung diserangnya perempuan tua di hadapannya.

Namun dengan sigap, Yuningsih menghindar. Bahkan kini tiba-tiba Karsono ikut membantu sambil berteriak keras menggelegar.

"Ibu! Biarlah monyet satu ini menjadi bagianku, sementara orang tua jelek itu menjadi bagian Yatikah!" seru Karsono sambil menunjuk Ki Gembyong.

"Hi hi hi...! Pintar juga kau mencari lawan, Karsono. Tapi tak apalah. Hitung-hitung melemaskan otot-ototku yang kaku bermain dengan orang tua yang tak berguna ini!" sahut Yatikah langsung melompat, menyerang Ki Gembyong.

Kedua orang tua aneh itu serta putra-putri mereka yang juga aneh, memang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Walau nama mereka tak banyak dikenal orang, tapi beberapa tokoh persilatan cukup mengenali mereka karena sepak terjangnya yang aneh.

Namun, bila seorang diri menghadapi Siluman Liar Berdarah Dingin yang terkenal berilmu tinggi dan kejam, sungguh tindakan yang konyol. Hal itu sama artinya mengantarkan nyawa. Seperti halnya salah seorang di antara mereka yang bernama Karsono. Kini mulai terlihat. Baru dua jurus berlangsung, Karsono mulai tersudut.

Kini tak ada lagi suara terkekeh-kekeh mengejek lawan. Apalagi, ujung pedang Kerta Wangsa begitu cepat menyambar-nyambar mengancam keselamatannya. Keringat dingin pun mulai mengucur di tubuh Karsono. Dan pada jurus-jurus selanjutnya, Karsono hanya bisa menghindar terus.

"Yeaaa...!" Tiba-tiba tubuh Kerta Wangsa berputaran cepat dengan kelebatan pedangnya. Sambil terus bergerak maju mendekati lawan yang mulai kebingungan, tangan kirinya menyodok cepat ke dada Karsono.

Dug!

Dan belum lagi Karsono menguasai diri, pedang Kerta Wangsa telah mengincar jantungnya. Maka....

Creb!

"Aaa...!" Karsono terpekik nyaring.

"Karsono...!" Yuningsih, perempuan tua itu terkejut setengah mati sambil memburu ke arah Karsono yang terpental dengan dada kiri mengucurkan darah segar. Saat di pangkuannya, Karsono telah menggelepar-gelepar sesaat, sebelum nyawanya lepas dari raga. Yuningsih langsung menangis sesenggukan.

Sementara pada saat yang bersamaan, Yatikah berhasil memecahkan batok kepala lawan. Namun bukan main kagetnya dia menyaksikan Karsono, kakak satu-satunya, tewas di tangan lawan. Maka buru-buru dia melompat memburu. Hal yang sama juga terjadi pada Warkala. Agaknya, ikatan batin di antara mereka kuat sekali. Walau masih gencarnya bertarung menempur lawan, namun melihat putranya roboh, lawan langsung ditinggalkan begitu saja. Dia lalu memburu ke arah putranya yang berada di pangkuan istrinya.

"Karsono...!" Ketiga orang aneh itu menangis sesenggukan seperti anak kecil. Tapi, Kerta Wangsa tak mempedulikan keharuan yang menyelimuti hati mereka. Kakinya terus melangkah mendekati Rangga dengan sorot mata tajam.

"Kini tak ada lagi yang akan menghalangi urusan kita!" kata Kerta Wangsa dengan suara menusuk, siap mengayunkan pedang.

"Kisanak..."
"Yeaaa...!"
"Uts, haaa...!"

Rangga tak sempat meneruskan kata-katanya ketika pedang lawan menyambar cepat ke arahnya yang disusul satu pukulan yang mengeluarkan sinar abu-abu dari telapak tangan Kerta Wangsa.

"Gelap Ngampar!"

"Hm.... Sungguh berbahaya pukulannya. Mengandung racun yang hebat," desis Rangga pelan sambil jungkir balik menghindarinya.

Pendekar Rajawali Sakti tak bisa terus bertahan. Dalam tiga jurus lagi, tentu dirinya akan bisa dilumpuhkan lawan. Dan tanpa pikir panjang lagi, pedang pusakanya cepat dicabut. Maka seberkas sinar biru keluar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti menyinari sekitar tempat itu.

Kerta Wangsa sempat bergidik bulu kuduknya menyaksikan kehebatan pamor pedang lawan. Sempat terlihat wajah Rangga yang semula berkesan ramah, kini berubah menjadi menggiriskan.

"Hiyaaat..!" Rangga berteriak nyaring sambil berkelebat ke arah lawan menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. "Yeaaa...!"

Begitu pedang lawan akan mengincar lehernya, Pendekar Rajawali Sakti cepat merendahkan tubuhnya sambil memapak pedang lawan.

Trak!

Seketika pedang Kerta Wangsa terpenggal menjadi dua bagian. Laki-laki itu kontan terkejut dengan tubuh terjajar dua langkah ke belakang. Dalam adu pedang tadi, jelas tenaga dalam Kerta Wangsa kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tubuhnya jadi bergetar hebat seperti tersengat kala berbisa. Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah kembali terayun ke arah perutnya. Sehingga....

Breeet!

"Aaa...!" Kerta Wangsa terpekik nyaring dengan tubuh sempoyongan. Tangan kirinya langsung mendekap perutnya yang robek ditebas pedang Rangga. Sementara, tangan kanannya masih menggenggam erat pedangnya yang buntung hampir separuh. Seluruh tubuhnya tampak biru. Dan dengan menahan rasa sakit, tubuhnya tampak menggigil berusaha bertahan.

"Pende... kar Rajawali Sakti.... Kau... kau menang... Aaah...!" Kerta Wangsa langsung roboh tak bernyawa lagi. Dari bibirnya tampak menyunggingkan senyum puas.

Rangga menyarungkan kembali pedang pusakanya, disertai helaan napas. Hal yang paling parah adalah kesombongan Kerta Wangsa sendiri. Meski mengetahui kehebatan pamor pedang lawan, namun harga dirinya begitu tinggi. Akibatnya sungguh hebat. Bukan hanya pedangnya yang terbabat buntung, tapi ujung pedang Rangga terus meluncur menyambar bagian perutnya. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah mendekati Sekar Harum.

"Nisanak, siapakah namamu? Kalau berkenan, kau boleh pergi...."

"Aku..., eh! Aku.., namaku Sekar Harum."

"Hm.... Sekar Harum, sekarang kau bebas untuk pergi...."

"Aku tak tahu harus pergi ke mana? Satu-satunya orang tempatku bernaung, adalah guruku. Tapi beliau kini tewas di tangan pemuda itu...," kata Sekar Harum seraya menunjuk tubuh Kerta Wangsa yang telah menjadi mayat.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala.

"Heh?!" Rangga berseru heran ketika Warkala beserta istri dan putrinya telah berdiri di dekatnya sambil menundukkan wajah sedih.

"Kisanak! Kau telah mengalahkan lawanmu yang tangguh. Jadi pastilah ilmu silatmu sangat hebat. Putriku pernah bersumpah akan kawin dengan laki-laki yang mampu mengalahkannya. Nah, Kisanak. Sudilah kau menjadi calon suami anakku," kata Warkala dengan suara pelan.

"Eh...! Ng.., apa-apaan ini? Aku tak mengerti maksud kalian?!" jawab Rangga heran.

"Karsono tewas di tangan pemuda itu. Sedang dia sendiri, tewas di tanganmu. Di samping itu kepandaian Yatikah berada di bawah Karsono. Maka secara tak langsung, kau telah mengalahkan putri kami," jelas Warkala.

"Lalu?"

"Putriku harus menepati janjinya. Dan dia hanya akan kawin dengan pemuda yang mampu mengalahkannya."

"Gila...!"

"Apa katamu, Kisanak?" tanya Warkala, gusar.

"Eh! Maksudku, hal ini tak masuk akal. Begini saja. Kisanak, bukan aku tak mau kawin dengan putrimu. Dia cantik. Dan rasanya, setiap pemuda pasti akan suka padanya. Tapi saat ini aku betul-betul belum berhasrat untuk berumah tangga..."

"Tidak bisa! Itu telah menjadi ketentuan dalam keluarga kami!" bantah Warkala, memaksa.

Rangga kehabisan akal untuk mengelak niat orang tua aneh itu. Maka dengan perasaan malu, diraihnya Sekar Harum. Lalu, digenggamnya tangan gadis itu.

"Kisanak, kau lihat? Aku telah memiliki kekasih. Dia sangat setia padaku. Mana mungkin aku tega mengkhianatinya?"

"Bohong! Aku tak peduli!"

"Tentu aku peduli. Bukankah begitu, Sayang?" tanya Rangga bersikap mesra pada Sekar Harum.

Sekar Harum tak berani menjawabnya, malu untuk mengeluarkan kata-kata. Tapi pada saat itu, tiba-tiba Warkala telah melompat sambil menerkam tubuh Sekar Harum.

"Tak peduli siapa dia, kau harus kawin dengan putriku. Dan kalau perlu, dia yang harus mampus."

"Hiyaaat...!"

Dan Rangga tak bisa membiarkan begitu saja keselamatan Sekar Harum, Maka, dia cepat bertindak dan menangkis serangan Warkala. Tangan kirinya dengan cepat menotok.

Plak! Tuk!

Seketika orang tua cebol itu ambruk ke tanah dengan tubuh lemas.

"Kurang ajar! Berani betul kau berbuat begitu terhadap suamiku!" bentak Yuningsih sambil melompat menerjang Rangga. Bersamaan dengan itu, Yatikah pun ikut menyerangnya.

Untuk sesaat, Rangga agak sibuk. Untung saja dia cepat menguasai diri. Dan saat tubuhnya bergulung-gulung sambil berkelebat cepat, mereka tersentak kaget. Dan saat itulah kedua tangannya dengan cepat menotok jalan gerak mereka.

"Cepat, Sekar Harum! Mari kita tinggalkan tempat ini!" seru Rangga. Langsung disambarnya tubuh Sekar harum, lalu pergi dari tempat itu.

"Tapi mereka...."

"Tak sampai malam hari, mereka akan terlepas dari totokan itu."

"Hm...." Tak lama berselang setelah sosok Rangga maupun Sekar Harum menghilang perlahan dari tempat itu, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara panggilan dari kejauhan.

"Rangga, tunggu..!"

Dua orang berkuda menuju ke arah Rangga dan Sekar Harum berlalu. Yang berada di depan seorang gadis belia berwajah cantik. Dan dibelakangnya, pemuda tampan berbaju mewah. Mengetahui Pendekar Rajawali Sakti tak mendengar panggilannya, gadis belia itu tertunduk lesu. Perlahan-lahan pemuda dibelakangnya mengajaknya untuk segera berlalu dari tempat itu.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar