SATU
SIANG itu terasa begitu indah. Langit begitu bening, dihiasi awan tipis yang berarak perlahan mengikuti hembusan angin sejuk. Hangatnya sang mentari tak begitu terasakan menyengat. Seakan-akan bola api raksasa itu pun ingin menikmati pula indahnya siang ini. Keadaan alam seperti itu, dinikmati oleh hampir seluruh penduduk Desa Ragasari yang terletak di sepanjang sungai. Mereka seakan-akan tidak ingin melewatkan begitu saja hari nan indah ini. Seolah-olah tak ada hari-hari yang indah lagi yang akan dijumpai.
Di sebuah dangau kecil yang tidak jauh dari sungai, terlihat seorang laki-laki setengah baya ditemani dua anak muda berusia sekitar dua puluh tahun. Mereka memandangi orang-orang yang bergembira bermain-main di sungai, atau berjemur diri di tepinya. Dari pakaian yang dikenakan, bisa dipastikan kalau mereka termasuk orang berada. Terlebih lagi, di sekitar dangau kecil itu tampak beberapa orang bersenjata golok di pinggang, seperti sedang berjaga-jaga.
"Lihatlah, mereka begitu gembira. Seakan-akan tiada hari lain untuk bergembira...," ujar laki-laki setengah baya itu, agak bergumam.
"Seharusnya mereka tidak perlu terlalu cepat bergembira, Ayah," selak pemuda yang mengenakan baju warna merah ketat.
Di pinggangnya tergantung sebilah pedang yang dihiasi sebuah batu merah delima pada bagian ujung gagangnya. Wajahnya cukup tampan, dengan senyum yang memikat. Kulitnya kuning langsat, bagai kulit seorang wanita. Laki-laki setengah baya yang berada di sampingnya, menatap pemuda itu lekat-lekat. Kemudian, ditepuk-tepuknya bahu pemuda itu sambil melepaskan senyum lebar.
"Kenapa kau masih juga beranggapan kalau peristiwa itu belum tuntas, Candraka?" lembut sekali suara laki-laki setengah baya itu.
"Kita belum menangkap si Anggrek Hitam, Ayah. Sedangkan dia sendiri belum jelas, siapa orangnya. Aku yakin, cepat atau lambat, peristiwa itu akan terulang kembali. Dan yang pasti, akan lebih dahsyat daripada kemarin," tegas pemuda berbaju merah ketat yang dipanggil Candraka.
"Kakang Candraka terlalu khawatir. Anggrek Hitam pasti akan berpikir seribu kali untuk datang lagi ke desa kita," selak seorang pemuda lainnya yang mengenakan baju warna kuning.
Pemuda itu berkulit lebih putih daripada Candraka. Bahkan wajahnya tidak bisa dikatakan tampan, tapi lebih tepat dikatakan cantik. Tubuhnya juga ramping seperti perempuan. Apalagi, sikap serta tutur katanya begitu lembut. Jika dilihat sepintas lalu saja, orang pasti akan menduga wanita. Hanya pakaiannya saja yang menandakan kalau dirinya laki-laki.
"Kekhawatiran selalu ada, Salaya. Dan itu sangat perlu. Apalagi bila mengingat kedudukan ayah sebagai kepala desa, dan sangat terpandang di Desa Ragasari ini," sergah Candraka.
"Tapi aku tetap yakin kalau Anggrek Hitam tidak akan berani lagi datang ke sini," tukas Salaya mantap, namun tetap terdengar lembut suaranya.
"Sudah..., sudah. Persoalan itu tidak perlu dibicarakan lagi. Sebaiknya kalian ikut bersenang-senang bersama mereka," laki-laki setengah baya yang ternyata Kepala Desa Ragasari menengahi. Dia juga dikenal dengan nama Ki Anggarasana.
Kedua pemuda itu tidak lagi bertentangan pendapat. Mereka langsung terdiam begitu ditengahi. Sementara di tepian sungai, penduduk Desa Ragasari masih terus menikmati hari yang cerah ini. Mereka benar-benar melupakan peristiwa berdarah yang baru saja berakhir didesa ini. Peristiwa yang membuat mereka selalu dicekam rasa takut. Kini, mereka bisa bebas keluar. Bahkan bisa bersenang-senang seperti hari-hari sebelum munculnya seorang yang dijuluki si Anggrek Hitam bersama enam pengikutnya.
"Coba kalian lihat, banyak gadis cantik disana. Kenapa kalian tidak bergabung, dan memilih salah seorang dari mereka...?" pancing Ki Anggarasana.
"Ayah selalu saja berkata seperti itu. Sekarang, kenapa Ayah sendiri tidak mencari pengganti ibu...?" selak Candraka.
"Benar! Sudah lama Ayah hidup sendiri. Kami ingin Ayah juga bersenang-senang. Dan kalau bisa, memilih calon pendamping pengganti ibu," sambung Salaya.
"Ah! Kalian selalu saja mendesak. Padahal sudah berulang kali kukatakan, aku tidak ingin mencari pengganti kedudukan ibu kalian. Aku sudah cukup bahagia bisa mendidik dan membesarkan kalian, sehingga berguna bagi desa ini," sergah Ki Anggarasana agak terharu.
Memang, sudah lama laki-laki setengah baya ini ditinggal mati istrinya. Sejak kedua anaknya masih kecil-kecil dan membutuhkan perhatian serta belaian kasih sayang seorang ibu. Tapi, hal itu tidak membuatnya jadi patah semangat. Bahkan berhasil mendidik kedua putranya dengan baik. Sudah seringkali kedua anaknya ini mendesak agar dirinya mencari seorang istri lagi. Tapi, Ki Anggarasana tidak pernah punya niatan ke situ.
Sebenarnya hati laki-laki setengah baya itu terharu akan kasih sayang dan perhatian anak-anaknya ini. Dia selalu saja teringat istrinya, setiap kali hal itu dibicarakan. Tapi Ki Anggarasana selalu bisa menutupi walau hanya dengan senyuman. Meskipun, senyuman itu terasa hambar. Kalau pembicaraan sudah mengarah ke situ, dia selalu cepat mengalihkannya, seakan-akan hal seperti itu tidak ingin dibicarakannya lagi.
"Kalian di sini saja," ujar Ki Anggarasana seraya bangkit berdiri.
"Ayah akan ke mana?" tanya Salaya.
"Pulang," sahut Ki Anggarasana.
"Pulang...? Kenapa...?"
"Aku lupa, ada sesuatu yang harus kukerjakan," Ki Anggarasana beralasan. Candraka dan adiknya hanya saling berpandangan saja. Sedangkan Ki Anggarasana sudah melangkah meninggalkan dangau kecil itu. Tampak empat orang yang berjaga-jaga di sekitar dangau itu segera mengikuti Ki Anggarasana. Kini tinggal Candraka dan adiknya yang masih berada di dangau ini. Namun, masih ada empat orang lagi yang tetap berjaga-jaga.
"Kalian boleh pergi," ujar Candraka pada empat orang itu, setelah Ki Anggarasana jauh.
"Tapi, Den...," salah seorang merasa keberatan.
"Aku bukan anak kecil lagi yang masih perlu dijaga. Pergilah kalian, ke mana saja," sentak Candraka agak keras.
Empat orang laki-laki bersenjata golok terselip di dipinggang itu saling berpandangan. Kemudian mereka membungkuk sedikit dan melangkah pergi.
"Tidak seharusnya berkata kasar begitu pada mereka, Kakang," tegur Salaya.
"Sesekali kita harus bersikap tegas, Salaya," sahut Candraka.
"Bersikap tegas, bukan berarti membentak, Kakang."
"Sudahlah.... Sebaiknya kau pergi saja, bergabung bersama mereka. Aku ingin tidur," dengus Candraka.
"Tidur di sini...?"
"Kenapa? Di sini, atau di mana saja sama."
Salaya tidak dapat lagi berkata apa-apa, melihat kakaknya sudah membujur sambil menekuk kedua tangannya di belakang kepala. Pemuda berbaju kuning yang. lembut bagai wanita itu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia kemudian beranjak bangkit berdiri. Dipandanginya Candraka yang sudah terpejam. Entah sudah tidur, atau belum.
"Hhh...!" Salaya hanya bisa menghembuskan napas saja.
Pemuda itu kemudian melangkah pergi. Disadari kalau antara dirinya dengan Candraka memang terdapat perbedaan menyolok. Meskipun mereka bersaudara kandung, tapi watak, sifat, jalan pikiran, serta tindak-tanduk mereka berdua sangat berbeda jauh. Bahkan begitu bertolak belakang. Sering mereka berbeda pendapat, walaupun hanya sebatas perang mulut saja. Tapi, mereka juga sangat menyayangi dan saling melindungi.
Sepeninggal adiknya, Candraka membuka matanya kembali. Sedikit kepalanya diangkat, lalu bibirnya tersenyum melihat Salaya berjalan perlahan-lahan semakin jauh menyusuri tepian sungai. Beberapa orang yang berada di sepanjang tepian sungai tampak menyapanya. Salaya menyambut sapaan itu dengan sikap lembut dan ramah.
"Uh! Bosan di sini terus...!" dengus Candraka mengeluh.
Ringan sekali pemuda itu melompat bangkit, langsung turun keluar dari dangau ini. Gerakannya begitu indah dan ringan. Jelas, kepandaiannya cukup tinggi juga. Sebentar pandangannya beredar ke sepanjang sungai, lalu kakinya terayun mantap meninggalkan tempat itu. Candraka tidak menuju ke sungai, melainkan menyusuri jalan setapak yang menanjak dan agak berliku. Ayunan kakinya begitu mantap, namun terasa ringan sekali. Dia terus berjalan agak tergesa-gesa, seakan-akan ada yang hendak dikejarnya.
"Hhh...! Mudah-mudahan saja dia masih sabar menungguku. Gara-gara si Salaya, rencanaku hampir gagal! Huh...!" Candraka menggerutu sendiri.
Sampai di tikungan jalan yang menuju tiga arah, Candraka berbelok ke kiri. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat berlari menggunakan ilmu meringankan tubuh. Jalan yang diambil, tampaknya menuju sebuah lembah kecil di tengah hutan. Candraka terus berlari cepat, sehingga sebentar saja sudah mencapai hutan yang tidak begitu lebat lagi. Memang, penduduk Desa Ragasari selalu mengambil kayu di hutan ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Candraka melompat tinggi ketika di depannya menghadang sebatang pohon tua tumbang. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, dia cepat berlari lagi. Ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya memang cukup tinggi. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, pemuda itu sudah mencapai lembah kecil yang memiliki pemandangan indah, bagai di sebuah taman Swargaloka. Candraka menghentikan larinya, kemudian berjalan ringan melintasi lembah itu. Dia terus berjalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri lagi.
Tatapan matanya lurus ke depan, memandang sebuah pondok kecil yang letaknya cukup tersembunyi di antara rapatnya pepohonan. Pemuda itu baru berhenti berjalan, setelah berada di depan pondok. Sunyi sekali keadaannya, seperti tidak ada seorang pun yang menempati pondok ini. Namun sebelum Candraka mengayunkan kakinya kembali, pintu pondok bergerak terbuka. Seketika dari dalam pondok muncul seorang wanita berbaju ketat berwarna hijau muda. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan padat nampak terpetakan di balik bajunya.
Candraka memberi senyuman. Bergegas dihampirinya wanita cantik berkulit putih halus bagai kapas itu. Tangannya langsung merentang, mencengkeram lembut bahu wanita itu. Senyum di bibirnya semakin lebar mengembang, manakala wanita itu juga menyunggingkan senyum manis.
"Lama kau menungguku Andira...?" lembut sekali suara Candraka.
"Baru saja aku akan pergi," sahut wanita yang dipanggil Andira itu, manja.
"Maaf, aku harus menemani ayah dan Salaya," ucap Candraka beralasan.
Mereka kemudian masuk ke dalam pondok itu Dengan ujung kakinya, Candraka menutup pintu pondok kembali. Dibimbingnya Andira dengan tangan melingkar di bahu. Dan wanita itu semakin bertambah manja, sehingga tubuhnya langsung dirapatkan dan kepalanya diletakkan didada Candraka. Bau harum yang menyebar dari rambut Andira, menyeruak mengusik cuping hidung pemuda itu.
"Ah! Rupanya kau sudah mempersiapkan biduk kita, Andira," desak Candraka.
Senyum pemuda itu semakin lebar terkembang ketika melihat pembaringan yang sudah rapi, beralaskan kain sutra halus berwarna jingga. Andira hanya tersenyum saja. Dilepaskannya rangkulan pemuda itu, lalu duduk di tepi pembaringan. Candraka memandangi wajah cantik di depannya Sikap Andira begitu manja. Seketika tangannya direntangkan ke depan. Maka, Candraka menyambut uluran tangan itu, kemudian duduk di sampingnya.
"Ahhh...," Andira mendesah seraya menggeliat dan menengadahkan kepalanya ketika Candraka memeluk pinggangnya. Melihat leher yang putih jenjang, Candraka tak dapat lagi bertahan. Bagai seekor serigala buas yang kelaparan, dipagutnya leher putih jenjang itu. Lagi-lagi Andira mendesah lirih, begitu merasakan pagutan hangat di lehernya. Andira semakin merapatkan tubuhnya, saat Candraka mulai melumat bibirnya disertai gairah menggelegak.
"Ahhh..., Kakang," desah Andira lirih. Perlahan tubuh mereka rebah ke atas pembaringan. Jari-jari tangan Candraka mulai nakal, menjelajahi tubuh wanita itu. Mau tak mau, Andira menggelinjang sambil merintih lirih. Hati-hati sekali Candraka mulai melepaskan pakaian yang dikenakan wanita ini. Matanya jadi liar begitu menangkap sebentuk bukit indah yang putih menegang kaku. Candraka tak mampu lagi menguasai diri. Diremasnya bukit yang indah itu penuh gairah.
"Auh...!" Andira terpekik manja.
"Kau menggairahkan sekali, Andira," desah Candraka di sela-sela dengus napasnya yang memburu.
Hanya itu saja yang diucapkan Candraka. Sedangkan napasnya semakin memburu, bagai kuda pacu yang didera terus mendaki bukit yang tertinggi. Suara erangan lirih dan dengus napas memburu berbaur menjadi satu. Sementara keadaan di luar pondok ini tetap sunyi. Desir angin yang mempermainkan dedaunan, seakan-akan tak mampu mengusik dua insan di dalam pondok itu. Sementara desah napas semakin keras terdengar memburu. Hingga akhirnya....
"Kakang, akh...!"
"Ohhh...."
Candraka mengejang sesaat, kemudian menggelimpang dengan tubuh bersimbah peluh. Sebentar matanya terpejam, seakan akan ingin membayangkan kembali kenikmatan yang baru saja dirasakan. Matanya baru terbuka saat merasakan ada satu kecupan lembut di bibirnya, Bibirnya tersenyum menatap wajah cantik yang begitu dekat dengan wajahnya. Candraka kemudian melingkarkan tangannya ke tubuh ramping wanita itu.
"Kakang...," desah Andira lembut.
"Hm...," gumam Candraka perlahan.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" pinta Andira, tetap lembut seraya melepaskan pelukan muda itu.
Andira meraih pakaiannya yang teronggok di ujung kakinya, kemudian mengenakannya kembali. Candraka juga ikut duduk, dan juga mengenakan pakaiannya. Namun pandangan pemuda itu tidak beralih dari wajah cantik didepannya.
"Apa yang ingin kau tanyakan, Andira? Tentang hubungan kita ini?" kata Candraka, tetap lembut nada suaranya.
"Bukan," sahut Andira.
Candraka mengerutkan keningnya.
"Aku tidak pernah mempersoalkan hubungan kita ini, Kakang. Aku tahu, kita tidak mungkin bisa melanjutkan ke jenjang perkawinan. Hatiku sudah cukup puas dengan cara begini," jelas Andira, seperti ingin meyakinkan pendiriannya pada pemuda itu.
"Lalu, apa yang ingin ditanyakan?" tanya Candraka tidak mengerti.
Pemuda itu memang tahu kalau Andira tidak menuntut banyak dari hubungan mereka selama ini. Sementara Candraka sendiri sebenarnya tidak menginginkan hal ini berlangsung terus-menerus. Tapi, keadaan lah yang memaksa demikian. Maka kini mereka sama-sama sepakat untuk saling merahasiakan hubungan ini. Dan selama ini, memang belum ada yang tahu kalau mereka sering bertemu di lembah ini. Ada satu jurang perbedaan yang sangat besar di antara mereka berdua, sehingga tidak mungkin dapat bersatu dalam membina rumah tangga. Dan itu sama-sama disadari satu sama lain.
"Tentang Anggrek Hitam," kata Andira pelan.
Candraka terkejut bukan main mendengar kata-kata Andira barusan. Sungguh tidak pernah disangka kalau Andira akan menanyakan tentang Anggrek Hitam. Sebuah nama yang dalam beberapa hari lalu sangat ditakuti seluruh penduduk Desa Ragasari. Dan sekarang, mereka semua hendak melupakan nama mengerikan itu. Tapi sekarang, Andira justru ingin mengetahui, di saat mereka baru saja mengarungi samudera cinta dengan biduk asmara. Candraka memandangi wanita itu dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya kalau Andira melontarkan kata-kata yang tidak pernah diduga sebelumnya.
"Kenapa kau ingin tahu tentang Anggrek Hitam, Andira?" tanya Candraka ingin tahu.
"Hanya ingin tahu saja, Kakang. Tapi kalau kau tidak bersedia mengatakannya, aku tidak memaksa," sahut Andira seraya beranjak turun dari pembaringan.
Wanita itu menghampiri meja kecil yang terletak di sudut ruangan ini. Diambilnya dua cawan dari perunggu dan diisinya dengan arak. Andira menghampiri pemuda itu lagi, lalu menyerahkan secawan arak. Satu lagi untuknya sendiri. Dia kembali duduk di tepi pembaringan ini.
"Apa yang ingin kau ketahui dari Anggrek Hitam, Andira?" tanya Candraka setelah meneguk araknya.
"Aku hanya ingin tahu, apa kau sudah mengetahui siapa Anggrek Hitam sebenarnya," sahut Andira kalem.
Candraka menggeleng.
"Lalu, kenapa dia mengacau Desa Ragasari? Bahkan membunuhi penduduk yang keluar dari rumahnya."
"Aku tidak tahu, Andira," sahut Candraka.
"Kau tidak menyelidikinya?"
"Sudah, tapi sulit, Segala tindakannya begitu cepat dan tidak diduga. Dia seperti iblis, sehingga bisa ada di mana-mana tanpa dapat diketahui kapan kemunculannya."
"Kakang, apa kau punya dugaan kalau Anggrek Hitam akan muncul lagi?" tanya Andira lagi.
"Ya, aku selalu berpikir demikian. Tapi, ayah dan adikku begitu yakin kalau Anggrek Hitam tidak mungkin berani menampakkan diri lagi di Desa Ragasari," sahut Candraka.
"Aku juga begitu, Kakang," Andira mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu...?" Candraka tidak mengerti.
"Sama sepertimu. Aku yakin, Anggrek Hitam bakal muncul lagi. Dia pasti belum memperoleh keinginannya, sehingga akan datang lagi mengacau desa ini. Atau mungkin juga, dengan cara lain," jelas Andira, kini mengemukakan pendapatnya.
"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Andira?" tanya Candraka agak heran juga.
"Aku dilahirkan dari kalangan persilatan, Kakang. Kedua orang tuaku adalah tokoh persilatan yang disegani pada masanya. Sedikit banyak, aku tahu seluk beluk dan cara-cara orang persilatan. Mereka tidak akan pergi begitu saja, tanpa membawa hasil yang diinginkan. Aku yakin, Anggrek Hitam menginginkan sesuatu dari Desa Ragasari. Hanya saja, sesuatu itu belum didapatkan. Jadi, berarti dia pasti akan datang lagi," Andira mengutarakan pengetahuannya mengenai orang-orang persilatan.
"Kau yakin hal itu, Andira?" tanya Candraka, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya sendiri.
"Entahlah. Itu hanya dugaanku saja, Kakang," sahut Andira seraya mengangkat bahunya.
"Aku juga menduga seperti itu. Tapi setiap kali ku utarakan, tidak ada yang peduli. Bahkan aku dianggap hanya mengada-ada saja," jelas Candraka.
"Juga ayah dan adikmu...?"
"Mereka selalu berpendapat kalau Anggrek Hitam tidak bakal muncul lagi. Padahal, aku begitu yakin kalau dia akan muncul lagi untuk menghancurkan seluruh Desa Ragasari."
Mereka jadi terdiam cukup lama.
"Sudah hampir malam. Aku harus segera pulang," pinta Andira seraya beranjak bangkit berdiri.
"Kau kuantar pulang, Andira," kata Candraka ikut turun dari pembaringan.
"Jangan! Nanti ada yang melihat kita," tolak Andira.
Sebenarnya Candraka tidak mau peduli. Tapi, dia teringat dengan janjinya sendiri. Terpaksa Andira dibiarkannya pulang sendiri. Candraka baru meninggalkan pondok setelah wanita itu sudah tidak terlihat. Kali ini pemuda itu berjalan tidak tergesa-gesa seperti berangkat tadi.
"Kapan semua ini akan berakhir...? Apakah Andira tidak pantas jadi istriku?" keluh Candraka dalam hati.
Candraka sebenarnya sudah bosan dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi untuk berhubungan secara terang-terangan, rasanya memang tidak mungkin. Semua orang di Desa Ragasari sudah tahu, siapa Andira itu. Dan ini yang menjadi ganjalan berat di hati Candraka. Semula semua itu tidak ingin dipedulikan Candraka. Tapi mengingat ayahnya adalah kepala desa yang teramat disegani, pemuda itu tidak mampu menolak keadaan. Candraka tidak bisa membayangkan, bagaimana rupa ayahnya jika sampai tahu hubungan ini. Candraka tidak tahu, apa yang harus dilakukannya lagi. Keadaannya memang sulit. Dan dia harus menerima, meskipun menyakitkan sekali.
***
DUA
Keadaan di Desa Ragasari sudah benar-benar kembali seperti biasa. Mereka yang bertani, sudah mulai menggarap sawah ladangnya. Pedagang pun sudah kembali memenuhi pasar. Kesibukan kembali terasa di desa yang cukup besar ini. Tak seorang pun yang menyebut-nyebut Anggrek Hitam lagi. Mereka sudah melupakan julukan yang sempat menjadikan desa ini bagai neraka.
Malam sudah mulai menyelimuti seluruh Desa Ragasari yang terletak di tepi Sungai Ajir. Beberapa orang masih terlihat berada di luar rumahnya. Semakin larut, satu persatu mereka masuk ke dalam rumah masing-masing. Sementara suasana di Desa Ragasari jadi sunyi. Tak terdengar lagi suara-suara percakapan, kecuali gerit serangga malam.
Namun tiba-tiba saja, di dalam kesunyian malam itu terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat. Dia kemudian menyelinap kebalik sebatang pohon beringin yang sangat besar, di pinggir jalan yang membelah Desa Ragasari ini. Sebentar bayangan hitam itu tidak terlihat, kemudian kembali berkelebat cepat menuju sebuah rumah yang hanya diterangi sebuah pelita di beranda.
Sosok hitam itu merapatkan tubuhnya kedinding dekat pintu. Sukar dikenali wajahnya, karena seluruh kepalanya terselubung kain hitam pekat. Sedangkan wajahnya mengenakan topeng dari kayu berbentuk tengkorak. Sebentar diamatinya keadaan sekelilingnya. Kemudian, tubuhnya melesat ringan ke atas atap rumah itu. Tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya mendarat di atap.
"Hm..., sepi. Kesempatan baik bagiku," gumam sosok tubuh hitam itu perlahan.
Hati-hati sekali, dibukanya atap rumah itu. Setelah cukup mendapat lubang untuk masuk ke dalam, cepat tubuhnya meluruk turun melalui atap yang sudah terbuka. Gerakannya ringan sekali, sehingga sedikit pun tidak ada suara yang ditimbulkannya. Kakinya seketika mendarat lunak di dalam sebuah ruangan di rumah ini. Keadaan ruangan itu cukup remang-remang, karena hanya sebuah pelita kecil yang ada di sini. Mata sosok bayangan itu menatap tajam empat orang yang tertidur pulas di atas balai-balai bambu. Perlahan-lahan didekatinya empat orang yang tengah terbuai dalam mimpi itu. Diamatinya sebentar wajah-wajah itu.
"Saatmu sudah tiba, Sarta. Cukup mahal akibat perbuatanmu yang harus kau tanggung," desis sosok tubuh hitam bertopeng tengkorak itu.
Setelah mendesiskan kata-kata, tiba-tiba saja tangannya dikibaskan cepat sekali. Dan seketika itu juga meluncur deras empat buah benda berwarna hitam, dan langsung menghantam empat orang yang tengah tertidur lelap.
Crab! Crab...!
Tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Orang-orang yang tertidur itu hanya mampu tersentak, dan menggeliat sebentar. Kemudian mereka diam tak bergerak-gerak lagi. Sedikit pun tak ada gerakan di dada mereka. Tampak dari dada, mengalir cairan merah kental.
"Selamat tinggal, Sarta," ucap sosok tubuh hitam itu perlahan.
Kemudian sosok itu kembali melesat ke atas dengan cepat sekali. Sebentar kemudian, tubuhnya sudah berada di atas atap kembali. Sejenak diamati keadaan sekitarnya yang masih sepi, lalu tubuhnya meluruk turun. Gerakannya indah dan ringan sekali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat menyambarnya.
"Heh...?! Hfs...!"
Cepat-cepat sosok bayangan hitam itu memiringkan tubuh ke kiri, sehingga terjangan bayangan merah itu sudah kembali berbalik. Langsung menarik kembali sikap tubuhnya, bayangan merah itu sudah kembali berbalik. langsung diterjangnya sosok tubuh hitam itu dengan kecepatan tinggi bagai kilat.
"Hup...!"
Sosok tubuh hitam itu cepat melentingkan tubuhnya ke atas, berputaran dua kali melewati bayangan merah. Secepat kilat tangannya dihentakkan, untuk memberikan satu pukulan dari arah belakang.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Ugkh...!"
Bayangan merah itu terhuyung-huyung begitu punggungnya terkena pukulan keras dari belakang. Namun keseimbangan tubuhnya cepat bisa dikuasai. Tubuhnya kemudian segera berputar, tepat di saat sosok tubuh hitam bertopeng tengkorak itu menjejakan kakinya ditanah. Mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar dua batang tombak.
"Anggrek Hitam...," desis pemuda berbaju merah yang juga membawa sebilah pedang tergantung di pinggang.
"Kau belum cukup mampu melawanku, Candraka," terdengar dingin nada suara orang berbaju hitam itu.
Pemuda berbaju merah yang ternyata Candraka, menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Sedangkan sosok tubuh hitam bertopeng tengkorak yang dikenal sebagai si Anggrek Hitam, tetap berdiri tegak dengan tangan terlipat didepan dada.
"Sudah kuduga, kau pasti akan kembali lagi, Anggrek Hitam," kata Candraka, agak mendesis suaranya. "Tapi kali ini, kau harus berhadapan langsung denganku."
Setelah berkata demikian, Candraka langsung melompat cepat bagaikan kilat menyerang orang berbaju serba hitam yang dikenal berjuluk si Anggrek Hitam. Serangan putra Kepala Desa Ragasari itu demikian cepat. Bahkan satu pukulan yang dilepaskannya juga sungguh dahsyat, sehingga menimbulkan suara angin menderu.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
Manis sekali Anggrek Hitam memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga pukulan geledek yang dilepaskan Candraka tidak sampai mengenai sasaran. Dalam keadaan tubuh miring ke kanan, Anggrek Hitam melepaskan satu sodokan dengan tangan kanan ke arah lambung
"Uts!"
Candraka cepat menarik tubuh ke belakang, lalu bergegas menggeser kakinya ke kanan. Bagaikan kilat, pemuda itu melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Anggrek Hitam tidak berusaha menghindari tendangan itu, tapi malah menangkis dengan tangan kirinya. Candraka jadi terkejut. Pemuda itu tidak sempat lagi menarik kakinya yang sudah melayang cepat.
Des! Tak pelak lagi, satu benturan keras terjadi. Candraka cepat melentingkan tubuh ke belakang. Namun pemuda itu agak terhuyung begitu mendarat. Bibirnya meringis menahan sakit pada tulang kaki. Akibat benturan keras dengan tangan kiri manusia berpakaian hitam bertopeng tengkorak itu.
"Aku bisa mudah mematahkan kakimu, Candraka," dengus Anggrek Hitam dingin.
"Phuih! Jangan bangga dulu, Iblis!" geram Candraka sengit.
Sret!
Candraka cepat mencabut pedangnya. Secepat itu pula dia melompat, kembali menyerang sambil mengebutkan pedang beberapa kali. Anggrek Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan pemuda tampan itu. Beberapa kali mata pedang Candraka hampir menebasnya. Namun, Anggrek Hitam masih mampu mengelak dengan manis sekali.
Candraka yang memang sudah menunggu lama kesempatan untuk bertemu manusia bertopeng tengkorak ini, seperti tidak memberi kesempatan lawan untuk balas menyerang. Dengan pedang kebanggaan di tangan, serangan-serangan putra kepala desa itu semakin dahsyat dan berbahaya. Hal ini membuat Anggrek Hitam jadi agak kewalahan juga menghadapinya.
"Setan! Dia benar-benar ingin membunuhku...!" maki Anggrek Hitam, sengit. Memang sulit bagi Anggrek Hitam untuk keluar dari serangan-serangan Candraka. Setiap kali berusaha, pemuda itu langsung mengejar dan menutup ruang geraknya. Pedang di tangan pemuda itu seperti memiliki mata saja. Ke mana si Anggrek Hitam bergerak, pedang itu selalu mengikuti dan mengancam nyawanya.
Anggrek Hitam semakin berang, karena benar-benar kerepotan menghadapi serangan-serangan Candraka yang begitu gencar. Menyadari kesungguhan serangan-serangan Candraka yang begitu dahsyat dan berbahaya, Anggrek Hitam jadi berang juga. Semula, dia memang hanya ingin menghindar dengan sesekali balas menyerang yang tak berarti. Seakan-akan dia tidak ingin mencelakakan pemuda ini. Tapi menghadapi serangan-serangan berbahaya, Anggrek Hitam tidak bisa terus-menerus begini.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Anggrek Hitam melesat tinggi ke udara sambil berteriak nyaring melengking tinggi Candraka tertegun sejenak, lalu cepat-cepat mengikuti. Tubuhnya melesat ke udara mengejar manusia bertopeng tengkorak itu.
"Yeaaah...!"
Namun begitu Candraka melesat ke udara, mendadak saja Anggrek Hitam memutar tubuhnya dan meluruk deras ke arah pemuda itu. Gerakan yang begitu cepat dan tidak terduga itu membuat Candraka jadi terperangah. Pemuda itu tak mampu lagi berbuat sesuatu manakala Anggrek Hitam melepaskan satu pukulan keras secepat kilat.
"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Akh...!" Candraka memekik keras agak tertahan. Tubuh pemuda berbaju merah itu terpental keras sekali. Candraka benar-benar tidak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, sehingga harus jatuh terbanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun, pemuda itu cepat bisa bangkit berdiri. Pada saat itu, Anggrek Hitam sudah meluruk deras ke arahnya. Kemudian, satu tendangan keras cepat dilepaskannya.
Dess!
"Aaakh...!" lagi-lagi Candraka memekik keras. Pemuda itu kembali terbanting di tanah. Tendangan Anggrek Hitam tepat menghantam bagian tengah dadanya. Candraka seketika memuntahkan darah kental dua kali. Dia masih mencoba bangkit berdiri. Namun belum juga mampu berdiri tegak, tubuhnya sudah ambruk kembali. Pandangannya jadi nanar dan berkunang-kunang. Napasnya begitu sesak, tersengal di dada. Sementara Anggrek Hitam berdiri tegak sekitar satu batang tombak didepannya.
"Seharusnya kau tidak perlu keras kepala begitu, Candraka. Aku bisa saja membunuhmu, semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, kau begitu tampan dan perkasa untuk cepat mati. Itu hanya peringatan saja, Candraka. Jika tetap keras kepala, aku terpaksa menjatuhkan tangan kejam padamu," ancam Anggrek Hitam.
"Iblis kau...."
Bruk!
Candraka langsung ambruk ke tanah tak bergerak-gerak lagi. Pingsan! Seluruh rongga mulutnya dipenuhi darah kental. Sementara Anggrek Hitam yang masih memandangi pemuda itu, langsung tersentak ketika ada cahaya terang menyorot dari sebuah rumah. Bergegas tubuhnya melesat pergi. Hanya sekali lesatan saja, manusia berbaju hitam yang mengenakan topeng tengkorak itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Suara-suara pertarungan tadi, rupanya membangunkan penduduk yang berada di sekitar tempat itu. Satu persatu lampu rumah-rumah di sekitar tempat itu menyala. Dan sebentar kemudian, terlihat beberapa orang keluar dari rumahnya. Mereka bergegas menghampiri tubuh berbaju merah yang tergeletak di tanah. Begitu mengetahui siapa yang tergeletak, mereka kontan terkejut. Apalagi ketika melihat mulut Candraka yang penuh tersumpal darah kental.
"Den Candraka...?!"
***
Peristiwa semalam benar-benar menggemparkan seluruh Desa Ragasari. Baru beberapa hari mereka menikmati ketenangan, kini kembali dicekam rasa takut. Hal ini akibat peristiwa semalam yang menimbulkan korban satu keluarga terbunuh. Dan hingga matahari naik tinggi, Candraka belum juga sadarkan diri. Sementara Ki Anggarasana merenung sambil bertopang dagu di ruangan tengah. Sesekali matanya melirik ke pintu kamar Candraka yang sedikit terbuka.
Ki Anggarasana berpaling saat mendengar suara-suara langkah kaki dari arah depan rumahnya yang besar dan megah ini. Dari pintu depan muncul Salaya dengan ayunan langkah halus dan gemulai, bagai langkah seorang putri bangsawan. Pemuda berkulit halus dan wajahnya pantas dikatakan cantik itu langsung duduk didepan ayahnya.
"Bagaimana keadaan Kakang Candraka, Ayah?" tanya Salaya.
"Belum sadar, masih ditunggui Nyai Koret," sahut KI Anggarasana.
Salaya melirik ke arah pintu kamar kakaknya. Dia tahu kalau di dalam sana terbaring Candraka, ditunggui seorang perempuan tua yang ahli dalam pengobatan. Nyai Koret sudah terkenal di Desa Ragasari ini. Bahkan desa-desa lain di sekitar Sungai Ajir mengenal tabib wanita itu. Sementara, Salaya kembali berpaling menatap ayahnya.
"Sudah kau urus pemakaman keluarga Sarta, Salaya?" tanya Ki Anggarasana.
"Sudah selesai semua," sahut Salaya. "Tapi...."
"Ada yang tidak beres?" tanya Ki Anggarasana, melihat Salaya menghentikan ucapannya.
"Semua beres dan lancar, Ayah."
"Tapi, kenapa...?"
"Tidak ada seorang penduduk pun yang mau mengantar. Bahkan tak seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Keadaan sepertinya semakin lebih buruk lagi," jelas Salaya
"Akan bertambah buruk lagi kalau tidak segera ditanggulangi, Salaya," desah Ki Anggarasana.
"Itulah sulitnya, Ayah. Yang kita hadapi si Anggrek Hitam. Dan desa ini tidak memiliki jago-jago yang mampu menandingi kesaktiannya. Aku merasa dia akan semakin merajalela...," kata Salaya, seakan-akan mengeluh melihat keadaan yang tidak menyenangkan Ini.
"Salaya! Apa sebaiknya kita minta bantuan orang-orang persilatan untuk menghadapi si Anggrek Hitam...?" Ki Anggarasana meminta pendapat anaknya.
"Apakah itu tidak akan memperburuk keadaan, Ayah?"
"Mengundang orang-orang persilatan memang mengandung akibat besar. Tapi, rasanya tidak ada pilihan lain, Salaya. Meskipun dia sekarang sendiri, namun terlalu kuat untuk dihadapi," tukas Ki Anggarasana.
Salaya belum bisa menyamakan pendapatnya dengan pemikiran ayahnya barusan. Saat itu, dari kamar Candraka keluar seorang perempuan tua mengenakan baju panjang berwarna hitam. Meskipun usianya mungkin sudah lebih delapan puluh tahun, tapi masih kelihatan segar. Ki Anggarasana dan Salaya bergegas berdiri. Wanita tua yang dikenal bernama Nyai Koret itu menghampiri, lalu duduk di kursi.
"Dia ingin bicara denganmu, Ki Anggarasana," kata Nyai Koret.
"Dia sudah bisa bicara...?" tanya Ki Anggarasana.
"Dia cukup kuat untuk luka seperti itu."
Ki Anggarasana bergegas melangkah masuk ke dalam kamar anaknya. Sedangkan Salaya kembali duduk menemani perempuan tua berjubah hitam ini. Sebentar matanya melirik ke arah kamar Candraka. Sementara Ki Anggarasana sudah tenggelam dalam kamar itu.
"Bagaimana keadaannya, Nyai?" tanya Salaya.
"Tidak mencemaskan. Tapi harus beristirahat, sedikitnya tiga hari," sahut Nyai Koret.
"Tidak ada luka dalam?"
"Tidak terlalu parah. Dia hanya mendapat luka dalam ringan. Untung saja lawannya hanya mengeluarkan sedikit tenaga dalam. Jadi, tidak perlu dicemaskan. Kakakmu pasti akan pulih seperti semula lagi."
"Syukurlah kalau begitu," desah Salaya. Nyai Koret memandangi pemuda itu dalam-dalam, sehingga membuat Salaya agak jengah. Pandangannya langsung dialihkan ke arah lain.
Sementara Nyai Koret terus memandangi pemuda itu dengan sinar mata yang sukar dipahami.
"Kenapa kau memandangiku seperti itu, Nyai?" tegur Salaya risih.
"Kau habis bertarung, Salaya?" Nyai Koret malah balik bertanya.
Salaya langsung menatap tajam perempuan tua ini, seraya menekap pelipis kanannya. Untuk sesaat tak ada yang bicara. Sementara mereka saling pandang dengan sinar mata memancarkan suatu gambaran yang sukar dilukiskan.
"Kenapa pelipismu?" tanya Nyai Koret lagi.
"Terbentur," sahut Salaya.
"Bukan karena pukulan?"
"Aku tidak sepandai Kakang Candraka dalam ilmu olah kanuragan, Nyai. Bagaimana mungkin bisa bertarung...? Aku tadi hanya terbentur waktu mengetahui Kakang Candraka terluka," Salaya memberikan alasan. "Dan lagi, aku tidak pernah punya musuh. Dan kalaupun ada, aku selalu menghindari pertarungan."
"Kuharap kau tidak berdusta, Salaya," ujar Nyi Koret agak menggumam.
"Maaf, Nyai. Aku harus menemui seseorang." Salaya bergegas bangkit berdiri, lalu melangkah ke luar. Sementara Nyai Koret memandangi pemuda itu. Wajahnya masih tetap tak berpaling, meskipun Salaya sudah tidak terlihat lagi. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan terasa berat.
"Anak itu seperti menyembunyikan sesuatu.... Aku yakin luka memar di pelipisnya bukan dari benturan biasa," desah Nyai Koret setengah menggumam.
Baru saja Nyai Koret bangkit berdiri, Ki Anggarasana keluar dari kamar anaknya. Laki-laki separuh baya itu bergegas menghampiri tabib wanita tua ini.
"Ke mana Salaya, Nyai?" tanya Ki Anggarasana.
"Katanya hendak menemui seseorang," sahut Nyai Koret "Ada masalah dengan anakmu?"
"Tidak"
"Bagaimana Candraka?"
"Sudah bisa duduk, dan sedang bersemadi."
"Bagus. Itu akan mempercepat penyembuhan lukanya."
"Silakan duduk, Nyai. Aku ingin sedikit bicara denganmu," pinta Ki Anggarasana.
Nyai Koret duduk kembali. Sedangkan Ki Anggarasana mengambil tempat di depan perempuan tua itu. Tak berapa lama, mereka sudah terlibat dalam suatu pembicaraan penting.
***
TIGA
Suasana Desa Ragasari begitu sunyi, seperti sebuah desa mati yang tidak berpenghuni. Meskipun matahari siang ini bersinar penuh dan langit begitu cerah, namun tak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Jalan-jalan di seluruh desa begitu lengang. Hanya debu saja yang beterbangan tertiup angin. Peristiwa malam itu benar-benar membuat semua orang tidak ada lagi yang berani ke luar rumah. Tapi, tidak demikian halnya seorang wanita muda dan cantik berbaju hijau muda. Dia seperti tidak mempedulikan keadaan di desa ini.
Wanita itu malah berjalan-jalan di sekitar rumahnya yang agak menyendiri dari rumah-rumah lain. Dia ditemani seorang laki-laki tua yang sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Mereka berjalan-jalan ringan sambil menikmati cerahnya sinar matahari siang ini.
"Kau sudah dapat kabar tentang keadaan Kakang Candraka, Ki Rasut?" tanya wanita berbaju hijau itu.
"Kabarnya, Den Candraka tidak mengalami luka yang berarti, Nyai Andira," sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Rasut itu.
Sikapnya begitu hormat, bahkan terkadang membungkuk seperti menghadapi seorang putri raja. Wanita cantik berbaju hijau ketat itu tersenyum manis. Kakinya terus terayun sambil menikmati keindahan alam di sekitar rumahnya. Tapi sebentar kemudian, langkahnya berhenti ketika terdengar derap langkah kaki kuda. Andira menatap Ki Rasut sebentar, kemudian berpaling ke arah datangnya hentakan kaki kuda yang dipacu cepat.
Laki-laki yang bernama Ki Rasut itu memang pelayan setia Andira. Dia memang tak jelas asal-usulnya, karena ditemui Andira tengah sekarat di pinggiran Sungai Ajir beberapa purnama yang lalu. Wanita itu kemudian menolongnya. Setelah laki-laki tua itu sembuh, ternyata dia memiliki kepandaian juga. Maka, Andira pun memintanya untuk menjadi pelayan setia, sekaligus pengawal pribadinya.
Sementara itu tampak debu mengepul dari arah jalan di depan mereka. Tak lama kemudian, terlihat seekor kuda putih yang dipacu cepat oleh seorang pemuda berbaju kuning. Andira tetap berdiri didampingi Ki Rasut. Pemuda berbaju kuning itu menarik tali kekang kudanya setelah berada dua batang tombak di depan wanita cantik itu.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan pemuda itu saat melompat turun dari punggung kuda putih tunggangannya. Kakinya melangkah beberapa tindak menghampiri. Andira tersenyum menyambut kedatangan pemuda berwajah halus bagai wanita ini. Wajah pemuda itu memang seperti wanita, begitu halus dan cantik. Siapa lagi kalau bukan Salaya, putra kedua dari Ki Angarasana.
"Senang sekali melihatmu, Salaya," ucap Andira menyambut hangat.
Salaya hanya tersenyum saja. Diliriknya sedikit laki-laki tua yang berdiri di samping Andira. Ki Rasut membungkukkan tubuhnya sedikit. Sementara Salaya sudah kembali mengalihkan pandangan pada wanita cantik bertubuh sintal, dan padat berisi ini. Dan Andira seperti tidak menghiraukan Ki Rasut. Dihampirinya pemuda itu, lalu tangannya dilingkarkan ke leher. Lembut sekali dia memberi satu kecupan di bibir pemuda itu.
"Ayo kita ke dalam, Salaya," ajak Andira manja. Salaya tidak membantah.
Pemuda itu menurut saja dibimbing wanita cantik yang selalu berpenampilan menggairahkan ini. Sedangkan Ki Rasut mengambil tali kekang kuda putih itu, lalu membawanya ke samping rumah. Sementara Salaya dan Andira sudah tenggelam di dalam rumah yang tidak begitu besar, namun kelihatan cantik dan terawat rapi.
"Tubuhmu kotor sekali, Salaya. Ingin mandi dulu...?" Andira menawarkan, setelah berada didalam sebuah kamar yang berukuran cukup besar.
Salaya tidak menjawab, tapi malah menghempaskan diri di atas pembaringan yang beralaskan kain sutra halus berwarna jingga. Andira tersenyum dan menghampiri. Wanita itu duduk di tepi pembaringan. Seperti disengaja, bagian bawah baju yang dikenakannya dibiarkan tersingkap. Hal itu membuat sepasang paha yang putih gempal mencuat keluar. Sepasang mata Salaya jadi nakal, menjilati bentuk paha yang begitu indah tanpa cacat. Tangannya segera diangkat dan ditaruh di atas daging gempal terbungkus kulit putih halus itu.
"Kau tahu, Andira. Setiap kali berada di sini, hatiku selalu terasa damai dan tenteram. Tidak seperti di rumahku sendiri," jelas Salaya lembut.
"Tapi seharusnya kau berada di rumah, Salaya. Kakakmu sedang terluka, dan pasti membutuhkanmu."
"Sudah ada Nyai Koret. Lagi pula, Kakang Candraka tidak pernah membutuhkan aku. Dia lebih segala-galanya dari padaku. Makanya ayah lebih sayang padanya,".Salaya seakan-akan mengeluh, mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Kau hanya iri saja, Salaya."
"Aku memang iri. Terutama terhadap sikap ayah yang selalu memperhatikan Kakang Candraka. Sedangkan aku...? Apa karena aku seperti wanita? Tapi kau kan tahu, Andira. Aku laki-laki perkasa, dan mampu memuaskan wanita. Kau sering berkata begitu padaku, kan...?"
"Kau memang laki-laki perkasa, Salaya. Bahkan aku belum pernah bertemu laki-laki seperkasa dirimu," Andira membesarkan hati pemuda ini.
"Seharusnya hal ini kau katakan pada mereka, Andira. Biar mereka tahu, aku tidak lemah. Aku adalah laki-laki tulen yang mampu melakukan lebih dari Kakang Candraka."
Andira malah tertawa terbahak-bahak. Terdengar merdu dan renyah sekali tawa wanita cantik itu. Salaya jadi meneguk ludahnya melihat baris-baris gigi yang putih rapi. Seketika tangannya dilingkarkan ke pinggang wanita itu, lalu ditariknya. Akibatnya Andira jatuh menindih dada pemuda itu.
"Auwh...!" jerit Andira manja. "Kau nakal, Salaya...."
"Kau menggairahkan. Selalu membuatku bergairah," desah Salaya berbisik di telinga wanita itu.
Andira jadi terkikik, ketika merasakan sesuatu yang hangat menggelitik telinganya. Tubuhnya kemudian menggelinjang, namun Salaya malah membalikkannya. Dan kini pemuda itu menghimpit tubuh yang ramping menggiurkan ini. Seperti angsa melihat cacing, Salaya mereguk bibir yang selalu memerah itu. Pemuda itu melumat, mengecup dengan gairah yang semakin menggelegak membara di dalam dada. Mau tak mau, Andira menggelinjang dan merintih lirih penuh kenikmatan.
"Oh, ahhh...," Andira mendesis panjang. Lagi-lagi tubuh wanita itu menggelinjang saat merasakan jari-jari tangan Salaya jadi liar, menjelajahi tubuhnya. Satu persatu, pakaian yang melekat di tubuh Andira berhamburan ke lantai. Hingga, tak ada selembar benang pun yang melekat lagi. Dengus napas dan rintihan lirih tertahan berbaur menjadi satu. Keringat mulai bercucuran membasahi tubuh.
Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Semua berganti gerakan-gerakan liar yang membangkitkan gairah. Hanya desah napas memburu dan rintihan tertahan yang terdengar. Salaya pun sudah tidak sabar lagi untuk melepaskan pakaiannya. Lagi-lagi, tubuh Andira menggelinjang saat merasakan jari-jari tangan Salaya jadi liar. Terdengar rintihan lirih keluar dari mulut wanita itu. Tak ada lagi kata-kata yang terucap. Semua berganti gerakan-gerakan liar yang membangkitkan gairah.
Kedua manusia itu semakin tenggelam dalam kenikmatan alunan gelombang asmara yang semakin dahsyat menggelora. Sampai-sampai, mereka tidak mengetahui kalau ada sepasang mata yang memperhatikan sejak tadi dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Tapi sepasang mata itu cepat-cepat menghilang ketika tubuh Salaya terlihat menggelimpang disertai tarikan napas panjang. Andira menarik selembar kain dari ujung kakinya, lalu menutupi tubuh mereka berdua. Tubuhnya dirapatkan dengan manja, lalu meletakkan kepalanya di dada pemuda itu.
"Kau benar-benar perkasa, Salaya," puji Andira.
"Kau yang membuatku selalu perkasa," sambut Salaya seraya memberi kecupan di bibir wanita itu.
"Kau lelah?" tanya Andira lembut.
"Sedikit," sahut Salaya.
"Istirahatlah dulu. Aku akan pergi, menyiapkan air mandi untukmu." Salaya sempat memberi satu kecupan lembut di bibir wanita itu, sebelum beranjak bangkit dari pembaringan. Andira meraih pakaiannya yang teronggok di lantai, lalu mengenakannya kembali. Dilemparkannya senyuman manis pada pemuda itu, lalu melangkah ke luar.
"Ah...! Seandainya aku bisa mengenalkannya pada ayah dan Kakang Candraka...?" desah Salaya menggumam perlahan. "Tapi apakah mungkin...? Ayah pasti tidak menyukai Andira. Yaaah..., kenapa tidak dari dulu saja aku mengenalnya, sebelum...."Salaya tidak melanjutkan kata-katanya.
Pemuda itu membuka matanya kembali, lalu menggeleng beberapa kali. Saat itu Ki Rasut masuk ke kamar sambil membawa baki berisi sebuah guci arak dan sebuah cawan panjang dari perak. Dengan sikap hormat, laki-laki tua itu meletakkan baki perak bakar ke atas meja kecil disamping pembaringan.
"Terima kasih," ucap Salaya.
Ki Rasut hanya mengangguk sedikit, kemudian melangkah ke luar. Hati-hati sekali pintu kamar itu ditutup kembali. Salaya bangkit dan menuang arak ke dalam cawan perak. Sekali teguk saja, arak manis itu sudah amblas ke dalam perutnya. Kemudian bergegas pakaiannya dipungut dan dikenakannya kembali. Lalu, melangkah ke luar dari kamar setelah merapikan diri.
***
Sampai matahari hampir tenggelam di ufuk Barat, Salaya baru meninggalkan rumah Andira. Kudanya dipacu cepat seakan-akan tidak ingin ada seorang pun yang mengetahui kalau dirinya habis dari rumah wanita itu. Salaya baru memperlambat lari kudanya setelah berbelok, dan sudah cukup jauh meninggalkan rumah Andira. Sementara suasana semakin meremang. Sebentar lagi gelap akan menyelimuti Desa Ragasari.
Salaya tidak langsung pulang ke rumahnya, tapi menuju ke sungai yang memberi nilai kehidupan bagi seluruh penduduk Desa Ragasari. Kudanya dihentikan setelah sampai di tepi sungai itu. Sebentar matanya memandang jauh ke tengah sungai yang nampak keperakan berkilau bagi bertaburkan sejuta permata. Ringan sekali dia melompat turun dari punggung kuda, dan melangkah menghampiri sebongkah batu yang cukup besar dan menjorok ke dalam air. Salaya naik ke atas batu itu, lalu duduk mencangkung di sana.
"Ehm-ehm...!"
"Ohhh...?!"
Salaya terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara mendehem dari belakang. Cepat dia berpaling ke belakang. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakangnya sudah berdiri seorang wanita muda berwajah cukup cantik. Bajunya ketat berwarna hitam dan agak tipis. Kelihatannya memang dari bahan sutra halus. Salaya bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Dia melompat turun dari batu dengan gerakan ringan dan indah sekali.
"Surti.... Aku kira siapa," Salaya langsung mengenal wanita itu.
"Kenapa menyendiri di sini?" wanita yang dikenal Salaya bernama Surti itu malah balik bertanya.
"Melamun," sahut Salaya seenaknya.
"Apa kau tidak tahu, kalau di sini banyak setannya. Orang yang senang melamun bisa kesambet," gurau Surti.
Salaya tertawa geli mendengar gurauan gadis ini. Mereka kemudian melangkah menuju dangau kecil yang tidak jauh dari tepi sungai itu. Kedua anak muda itu duduk di sana memandang ke tengah sungai. Sementara matahari sudah benar-benar tenggelam. Dan kini tugasnya digantikan sang dewi malam. Suasana malam di tepian sungai ini terasa begitu indah dan damai. Namun di balik semua itu terdapat satu ancaman besar, sehingga membuat keadaan di desa sekitar Sungai Ajir ini bagai berada dalam neraka.
"Kau tidak takut keluar malam sendirian, Surti?" tanya Salaya.
"Apa yang harus ditakutkan...?" Surti seperti bertanya pada diri sendiri.
"Aku rasa, kau sudah tahu kalau Anggrek Hitam sudah muncul lagi. Dan semalam membantai keluarga Sarta," Salaya seperti memperingatkan gadis itu.
"Seharusnya, kau berada di rumah, Surti. Terlalu berbahaya malam-malam di luar."
"Di luar, atau di dalam rumah sama saja. Toh, Anggrek Hitam bisa muncul kapan saja. Tidak peduli di dalam rumah atau di luar rumah. Bukankah keluarga Sarta dibunuh di dalam rumahnya sendiri...?" Surti berdalih.
Salaya tidak bisa berkata lagi, dan hanya mengangkat bahu saja. Kata-kata Surti yang meluncur bagai air sungai itu memang tidak dibantah lagi. Bagi Anggrek Hitam memang tidak ada persoalan dalam melancarkan kegiatannya. Dalam keadaan seperti ini, memang tidak ada tempat aman. Dan lagi, tidak ada seorang pun yang dapat menduga korban berikutnya. Salaya memandangi gadis itu dalam-dalam. Semua orang tahu, Surti adalah seorang gadis yang tinggal sendiri tanpa sanak keluarga dan orang tua lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu asal usulnya. Surti menempati sebuah rumah kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya.
Satu purnama setelah kedatangan Surti ke desa ini, musibah itu terjadi. Dan itu bertepatan dengan munculnya seseorang yang mengaku bernama Anggrek Hitam. Tapi, bukan hanya Surti yang datang ke desa ini dan terus menetap sebelum munculnya Anggrek Hitam. Andira malah datang lebih awal dari gadis ini. Juga, masih ada dua keluarga lagi yang baru menetap di Desa Ragasari.
"Kenapa memandangku begitu, Salaya?" tegur Surti jengah.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya kagum dengan kecantikanmu," kata Salaya seraya tersenyum manis.
"Kau merayu ku, Salaya."
"Kalau kau senang...?"
Surti malah tertawa terbahak-bahak. Salaya jadi terdiam. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba gadis ini jadi tertawa. Seakan-akan kata-katanya begitu menggelitik, membuat Surti jadi tertawa begitu lepas.
"Tidak ada yang lucu, Surti," dengus Salaya.
"Maaf, aku bukan mentertawakanmu. Tapi...," Surti tidak melanjutkan.
"Tapi kenapa?" desak Salaya.
"Belum begitu Lama aku mengenalmu, Salaya Tapi aku sudah sering mendengar cerita-cerita orang tentang dirimu. Rasanya, semua yang kudengar jadi hambar. Sungguh, tidak kusangka kau bisa merayu. Semua orang bilang kau...," Lagi-lagi Surti tidak melanjutkan kata-katanya.
"Banci...?! serobot Salaya langsung bisa menebak kelanjutannya.
"Aku tidak pernah mengatakan itu, Salaya," ujar Surti cepat-cepat
"Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa, kok," kata Salaya. Namun nada suaranya jadi lain.
Setelah berkata demikian, Salaya bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil itu. Surti bergegas keluar dan mengejar pemuda itu. Di hatinya terselip perasaan tidak enak, karena telah menyinggung perasaan pemuda ini. Dia memang belum lama tinggal di Desa Ragasari ini. Tapi, dia sering mendengar orang-orang menggunjingkan Salaya, yang dikatakan sebagai laki-laki yang memiliki kelainan.
"Maaf, Salaya. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu," ucap Surti merasa bersalah.
"Lupakan saja," ujar Salaya sambil tetap melangkah. Sedikit pun dia tidak berpaling pada gadis yang berjalan di sebelahnya.
"Kau marah padaku, Salaya?"
"Tidak," singkat saja jawaban Salaya.
Pemuda itu melompat naik ke punggung kudanya. Sebentar matanya menatap Surti dalam-dalam. Kemudian kudanya cepat digebah untuk meninggalkan tepian sungai ini. Surti berdiri mematung memandangi kepergian pemuda dengan bentuk tubuh dan raut wajah seperti wanita itu. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Dia baru melangkah pergi setelah Salaya tidak terlihat lagi.
Sementara malam terus merambat semakin larut. Sudah sejak tadi binatang malam menggerit, mengalunkan tembang malam yang merdu. Surti terus melangkah dengan wajah tertunduk, mengamati gerakan ujung kakinya. Dia seperti menyesali kata-katanya yang telah membuat Salaya jadi tersinggung, dan pergi begitu saja. Namun begitu melewati tikungan jalan yang menuju rumahnya, mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat cepat memotong didepannya. Gadis itu tersentak kaget, lalu cepat melompat beberapa tindak ke belakang.
"Hei..! Siapa itu...?!" sentak Surti berseru nyaring.
"Aku...."
"Kau...?!"
Mata Surti terbeliak begitu tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri seseorang berbaju ketat berwarna hitam pekat. Bentuk tubuhnya begitu ramping, bagai bentuk tubuh seorang wanita. Seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Sedangkan wajahnya mengenakan topeng dari kayu berbentuk tengkorak manusia. Surti bergegas melangkah mundur beberapa tindak.
Surti benar-benar terkejut melihat kemunculan orang berbaju serba hitam yang mengenakan topeng tengkorak itu. Orang inilah yang selama ini ditakuti, hingga membuat Desa Ragasari seperti berada dalam neraka. Semua penduduk Desa Ragasari menyebutnya si Anggrek Hitam. Karena, semua korbannya tewas dengan tubuh tertembus senjata rahasia berbentuk bunga anggrek berwarna hitam yang terbuat dari logam hitam.
"Kau terkejut, Surti...?" terasa dingin sekali nada suara Anggrek Hitam.
"Mau apa kau ke sini?" agak bergetar suara Surti.
"Kau cantik sekali, Surti. Tapi sayang, kau tidak bisa lagi menikmati hangatnya matahari esok pagi," kata Anggrek Hitam, mengandung ancaman.
"Aku tidak pernah berurusan denganmu. Kenapa kau ingin membunuhku...?" Surti langsung dapat mencerna maksud kata-kata si Anggrek Hitam.
"Ha ha ha...! Kau sudah berurusan denganku, Surti. Dan urusanmu menyakitkan sekali."
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja si Anggrek Hitam cepat mengebutkan tangan kanannya. Sejenak Surti terhenyak kaku. Namun begitu sebuah benda hitam melesat cepat dari telapak tangan orang bertopeng tengkorak itu, secepat kilat Surti memiringkan tubuhnya ke kiri. Maka benda hitam itu lewat sedikit di samping tubuhnya.
"Ternyata kau punya kepandaian juga, Surti. Bagus...! Sekarang terimalah seranganku! Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Surti cepat melompat ke atas sambil menghentakkan kedua tangan ke depan untuk menyambut serangan yang dilancarkan si Anggrek Hitam. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan berbenturan keras di udara. Akibatnya, timbullah ledakan dahsyat bagai letusan gunung berapi. Tampak Surti terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Beberapa kali gadis itu melakukan putaran indah di udara, kemudian manis sekali mendarat di tanah. Tepat pada saat itu si Anggrek Hitam Juga mendarat manis sekali. Mereka berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar tiga batang tombak.
"Tidak semudah itu membunuhku, Anggrek Hitam!" dengus Surti dingin.
Bet!
Surti cepat mengebutkan tangan ke depan, dan perlahan Anggrek Hitam juga sudah bersiap hendak menyerang kembali. Tampak jelas kalau dia seperti tidak percaya, karena Surti mampu menerima serangannya tadi. Gadis yang tampak lemah itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
"Sia-sia saja kau bertahan, Surti. Kau akan mampus malam ini juga! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Anggrek Hitam melompat menyerang gadis berbaju hitam ketat itu. Dua kali pukulan keras bertenaga dalam tinggi dilepaskan. Namun Surti dapat menghindar dengan meliukkan tubuhnya. Bahkan tanpa diduga sama sekali, gadis itu mampu memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Di bawah siraman cahaya bulan, dua tubuh hitam bertarung saling bertahan dan menyerang. Jurus-jurus yang digunakan sudah mencapai taraf tinggi, sehingga sungguh dahsyat Dan mereka bergerak begitu cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Jurus demi jurus pun cepat berlalu. Tanpa terasa, mereka sama-sama sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus. Namun sampai saat ini belum seorang pun yang kelihatan terdesak.
"Phuih! Ternyata dia tangguh juga...!" dengus Anggrek Hitam.
Memang si Anggrek Hitam tidak menyangka kalau gadis lemah ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Tidak heran sampai lebih sepuluh jurus Surti masih mampu bertahan.
"Pecah kepalamu! Hiyat..!" teriak Surti tiba-tiba. Bagaikan kilat, gadis itu melompat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun dengan merundukkan kepala saja, si Anggrek Hitam berhasil mengelakkan pukulan itu. Kemudian tubuhnya cepat diputar ketika Surti sudah melewati atas kepalanya. Namun begitu tubuhnya berbalik, mendadak saja Surti melepaskan satu tendangan keras yang cepat luar biasa ke arah dada.
Dieghk!
"Akh...!" si Anggrek Hitam memekik tertahan. Sungguh tidak disangka kalau Surti mampu melepaskan tendangan. Padahal, sedikit pun kakinya belum menjejak tanah Si Anggrek Hitam terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak, sambil mendekap dada. Bergegas dia melakukan beberapa gerakan untuk mengusir rasa sesak yang tiba-tiba saja mengganjal dadanya. Sementara itu Surti sudah bersiap kembali hendak menyerang.
"Hiyaaat..!"
Surti benar-benar tidak ingin memberi kesempatan kepada manusia bertopeng tengkorak itu untuk memulihkan keadaan tubuhnya. Cepat-cepat dia menyerang dahsyat dan cepat luar biasa, sebelum si Anggrek Hitam selesai menguasai pernapasannya. Terpaksa Anggrek Hitam menjatuhkan diri ke tanah, Lalu bergulingan beberapa kali menghindari serangan gadis itu.
"Hup!" Cepat dia melompat bangkit, dan secepat itu pula tangan kanannya bergerak mengibas ke depan sambil menekuk lutut hingga hampir menyentuh tanah. Dua buah benda berwarna hitam, meluncur deras dari telapak tangan kanannya. Surti yang baru berbalik, jadi terperangah.
"Hait..!"
Bergegas gadis itu memiringkan tubuh ke kanan, dan langsung menarik kembali ke kiri. Namun gerakannya terlambat sedikit. Maka....
Crab!
"Akh...!" Surti memekik tertahan. Sebuah benda hitam berbentuk bunga anggrek menancap cukup dalam di bahu kanannya. Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang. Seketika itu juga pandangannya jadi berkunang-kunang, dan kepalanya terasa berat bagai diganduli batu besar. Sukar bagi Surti untuk bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan sebelum gadis itu benar-benar bisa menguasai diri, si Anggrek Hitam sudah melompat sambil melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam penuh.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!" Surti menjerit melengking tinggi. Gadis itu terpental sejauh tiga batang tombak, lalu keras sekali jatuh ke tanah. Dari mulutnya tampak menyemburkan darah kental agak kehitaman. Hanya sebentar gadis itu mampu bergerak menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi. Sementara Anggrek Hitam memandangi beberapa saat.
"Sebenarnya kau sangat cantik dan cukup tangguh. Sayang, harus mati dengan cara seperti ini," desah Anggrek Hitam, seperti menyesali kematian gadis itu.
Dihampirinya Surti yang tergeletak tak bernyawa lagi. Anggrek Hitam berlutut di samping tubuh gadis itu. Jari tangannya ditekan ke bagian leher yang terlihat putih bernoda darah. Perlahan-lahan manusia bertopeng tengkorak itu bangkit berdiri. Kemudian dia mendesah panjang dan terasa begitu berat.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Surti...," desah si Anggrek Hitam perlahan. Sejenak dipandanginya wajah Surti yang memucat kaku agak membiru. Kemudian, dia melesat pergi dengan gerakan ringan bagaikan kapas tertiup angin. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Sementara Surti tetap tergeletak tak bernyawa.
***
EMPAT
Siang ini udara terasa panas sekali. Matahari bersinar terik, seakan-akan hendak membakar seluruh isi Desa Ragasari yang tampak sunyi senyap bagai tak berpenduduk lagi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat berada di luar rumah. Itu pun tidak jauh-jauh dari rumahnya. Tak terlihat anak-anak bermain, dan tak terlihat gadis-gadis bercanda ria di tepi sungai. Suasana di desa itu begitu senyap, tanpa ada nafas kehidupan.
Di jalan yang sunyi dan berdebu, terlihat dua ekor kuda berjalan perlahan. Di punggung binatang itu, duduk seorang pemuda tampan bertubuh tegap. Bajunya rompi putih, dan gagang pedangnya yang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Dia menunggang kuda hitam pekat dan gagah. Di sebelahnya, tampak seorang gadis cantik berbaju biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping. Di balik sabuk pinggangnya yang berwarna kuning keemasan, terselip sebuah kipas yang masih kuncup. Dari balik punggungnya menyembul gagang pedang berbentuk kepala naga berwarna hitam.
Mereka mengendalikan kuda agar berjalan perlahan, sambil mengamati keadaan Desa Ragasari yang begitu sunyi. Sesekali mereka saling berpandangan, seakan-akan ingin melontarkan pertanyaan melihat suasana yang begitu sunyi dan terasa ganjil. Beberapa laki-laki tua yang berada di depan rumah, bergegas masuk ke dalam begitu melihat kedua penunggang kuda itu. Sikap mereka membuat kedua penunggang kuda itu jadi terheran-heran.
"Mereka seperti ketakutan melihat kita, Kakang," kata gadis berbaju biru itu, perlahan.
"Aku merasa ada sesuatu yang ganjil di sini," balas pemuda berbaju rompi putih itu agak bergumam, seakan bicara pada diri sendiri.
"Tidak ada satu rumah pun yang terbuka pintunya."
"Kau tahu nama desa ini, Pandan?" tanya pemuda berbaju rompi putih itu. Yang ditanya tidak segera menjawab. Gadis itu memang Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu jelas Rangga. Di kalangan rimba persilatan, dia dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu Pandan Wangi mengedarkan pandangan berkeliling. Dia melihat kilauan cahaya keperakan yang memantulkan cahaya matahari dari sebuah sungai tidak jauh dari desa ini.
"Kalau tidak salah, di depan sana Sungai Ajir. Dan desa ini bernama Desa Ragasari, Kakang," jelas Pandan Wangi, baru menjawab pertanyaan Rangga tadi.
"Kau pernah ke sini sebelumnya, Pandan?" tanya Rangga lagi.
"Sekali. Tapi, itu dulu ketika masih kecil," sahut Pandan Wangi.
"Apa keadaannya selalu sepi begini?"
"Dulu tidak. Desa ini terkenal selalu ramai. Biasanya, banyak pendatang yang melancong kesini. Gadisnya cantik-cantik, Kakang," ujar Pandan Wangi berseloroh.
"Oh, ya...? Cantik mana denganmu?" Rangga menimpali.
"Cantik aku, dong...."
"Masa...?"
"Tentu, dong. Kalau aku jelek, mana kau mau...?" cibir Pandan Wangi.
Rangga tersenyum saja.
"Tapi jangan coba-coba bermain mata dengan gadis-gadis di sini, bisa kupenggal batang lehermu!" ancam Pandan Wangi bergurau.
"Ha ha ha...!" Rangga jadi tertawa terbahak-bahak.
"Tapi kalau aku yang dapat pemuda tampan, kau tidak boleh marah, ya...?" sambung Pandan Wangi.
"Mau enaknya sendiri!" dengus Rangga.
Sekarang malah Pandan Wangi yang tertawa terkikik.
"Cari kedai dulu, Pandan. Perutku sudah bunyi terus sejak tadi," ujar Rangga sambil meringis.
"Di mana ada kedai yang buka...?"
"Iya, ya. Dari tadi tidak ada satu kedai pun yang buka," Rangga jadi garuk-garuk kepala.
Mereka terus mengendarai kuda perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Ragasari ini. Memang tak ada satu kedai pun yang buka. Bahkan tak satu rumah pun yang pintunya terbuka. Mereka kemudian menghentikan langkah kaki kuda ketika sampai di jalan yang bercabang. Sebentar mereka saling pandang, seakan-akan hendak menentukan arah mana yang harus dituju.
"Kelihatannya di sana ada pondok kecil, Kakang," kata Pandan Wangi sambil menunjuk jalan ke kanan.
"Mudah-mudahan saja itu kedai," ujar Rangga.
Mereka segera mengarahkan kuda menuju pondok kecil yang berada di ujung jalan ke kanan ini, tidak seberapa jauh dan tikungan jalan tadi. Kedua pendekar dari Karang Setra ini kemudian menghentikan kuda tepat di depan pondok kecil itu. Harapan Rangga memang terkabul. Pondok itu ternyata sebuah kedai kecil yang ditunggui seorang laki-laki tua berusia lanjut. Laki-laki tua itu bergegas menghampiri, begitu Rangga dan Pandan Wangi turun dari kudanya. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk seraya memberi salam dengan sikap ramah.
"Silakan, mampir sebentar di kedaiku ini," ajak laki-laki tua itu ramah.
Rangga menggamit tangan Pandan Wangi, lalu mengajaknya masuk ke dalam kedai. Sementara laki-laki tua berusia lanjut pemilik kedai ini sudah lebih dulu berada di dalam. Tak seorang pengunjung pun berada di kedai ini. Keadaannya begitu sunyi, seperti tidak pernah didatangi seorang pun. Rangga memilih tempat yang berada tidak jauh dari pintu masuk kedai ini. Laki-laki tua itu berdiri saja di dekatnya.
"Ingin makan, atau minum saja?" laki-laki tua itu menawarkan.
"Kalau ada makanan, keluarkan saja, Pak Tua," sahut Rangga.
"Suka arak...? Arak buatan Desa Ragasari terkenal kelezatannya, Den," lagi-lagi pemilik kedai tua itu menawarkan.
"Terima kasih, air biasa saja," tolak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti memang tidak biasa minum arak. Tapi Pandan Wangi malah memesan seguci arak yang terbaik di kedai ini. Laki-laki tua pemilik kedai itu tersenyum, dan bergegas ke belakang. setelah tidak ada lagi yang dipesan. Tidak berapa lama, dia sudah muncul lagi sambil membawa baki penuh berisi pesanan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Banyak sekali...? Bisa kau habiskan semua, Kakang?" Pandan Wangi mendelik melihat hidangan yang disediakan begitu banyak, Rangga hanya tersenyum saja. Ditatapnya laki-laki tua pemilik kedai ini.
"Kau ikut makan bersama kami, Pak Tua," ajak Rangga.
"Ah! Biar saja, Den. Kalau tidak habis, paling-paling juga dikasih ayam," jelas laki-laki. tua itu menolak halus.
"Ayo, Pak Tua. Jangan malu-malu. Kau ikut makan bersama kami. Toh, tidak ada pengunjung lain lagi, bukan..?" desak Pandan Wangi.
Karena didesak terus, akhirnya laki-laki tua pemilik kedai itu bersedia juga menemani makan kedua pendekar muda ini. Mereka menikmati hidangan sambil berbincang-bincang ringan. Laki-laki tua pemilik kedai itu mengaku bernama Ki Muhijar. Dia sempat mengeluh, karena dalam hari-hari belakangan ini kedainya tidak pernah lagi dikunjungi orang. Setiap hari, dia harus membuang makanan yang tidak tersentuh sedikit pun.
Pandan Wangi jadi kasihan juga. Dan memang, kedai ini begitu sunyi. Padahal, hanya satu-satunya yang buka. Dia dan Rangga sudah hampir mengelilingi seluruh pelosok desa ini. Namun tak satu pun kedai yang buka. Hanya disinilah mereka baru menemukannya. Memang aneh kalau tidak ada seorang pengunjung pun yang datang.
"Apa ada sesuatu yang terjadi di desa ini, Ki Muhijar?" tanya Pandan Wangi seraya melirik Rangga.
"Sukar dikatakan, Den. Desa ini benar-benar akan musnah. Sudah jadi neraka...," sahut Ki Muhijar mengeluh lirih.
"Lho...?! Kenapa begitu?" tanya Rangga keheranan.
"Semua orang tidak ada yang berani ke luar rumah. Mereka takut..," Ki Muhijar tidak melanjutkan.
"Apa yang ditakutkan, Ki?" tanya Pandan Wangi agak mendesak.
"Mereka takut kalau-kalau bertemu Anggrek Hitam," pelan sekali suara Ki Muhijar, sehingga hampir tidak terdengar.
"Anggrek Hitam...?!" Pandan Wangi berkerut keningnya.
Gadis itu melemparkan pandangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti, yang pada saat itu juga tengah memandang kepadanya. Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian kembali menatap Ki Muhijar. Untuk beberapa saat lamanya, tidak ada yang bicara. Entah apa yang ada dalam benak masing-masing.
"Kakang, apa tidak mungkin...?" pertanyaan Pandan Wangi terputus, karena tiba-tiba saja kuda-kuda yang ditinggalkan di luar meringkik keras seperti ketakutan.
"Hup...!"
Cepat sekali Rangga melesat ke luar. Kemudian Pandan Wangi bergegas menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Ki Muhijar jadi memucat wajahnya. Laki-laki tua itu juga ikut berlari keluar dari kedainya. Saat itu tidak lagi terdengar ringkikan kuda. Dan Rangga kini sudah berada di samping dua ekor kuda yang tertambat di batang pohon kenanga. Sementara Pandan Wangi tetap berdiri tidak jauh dari ambang pintu kedai.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Pendekar Rajawali Sakti menepuk-nepuk kuda Dewa Bayu tunggangannya, kemudian melangkah menghampiri gadis berbaju biru itu. Sedangkan dibelakang Pandan Wangi, terlihat Ki Muhijar sedikit menggigil tubuhnya. Wajah laki-laki tua itu semakin terlihat memucat.
"Aku hanya melihat bayangan hitam berkelebat cepat, kemudian hilang di dalam kebun itu," jelas Rangga, menunjuk ke arah kebun yang cukup lebat pepohonannya.
"Celaka.... Mati aku...," desah Ki Muhijar.
"Kenapa, Ki...?" tanya Pandan Wangi seraya memutar tubuhnya.
"Dia pasti si Anggrek Hitam. Oh...! Habis sudah nyawaku malam nanti," keluh Ki Muhijar.
Pandan Wangi dan Rangga jadi saling berpandangan. Sementara Ki Muhijar melangkah gontai, kembali masuk ke dalam kedainya. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu bergegas mengikuti. Ki Muhijar menghempaskan tubuhnya di kursi sambil mendesah lirih. Lemas seluruh tubuhnya, seperti tidak memiliki semangat hidup lagi. Pandan Wangi menghampiri laki-laki tua itu, sedangkan Rangga duduk tidak jauh dari pintu.
"Ada apa, Ki? Ceritakanlah padaku. Mungkin aku bisa membantu," desak Pandan Wangi lembut.
Perlahan Ki Muhijar mengangkat kepalanya. Ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri didepannya. Sinar mata tua itu begitu redup, seakan-akan tidak ada lagi cahaya kehidupan disana. Raut wajahnya pun terlihat begitu pucat, bagai tak pernah teraliri darah. Pandan Wangi semakin heran melihat wajah yang memucat tanpa ada semangat hidup lagi itu.
"Kalau karena kedatangan kami sampai nyawamu terancam, kami akan melindungimu, Ki. Percayalah," tegas Pandan Wangi, namun tetap lembut meyakinkan.
"Percuma saja, Nini. Tidak ada gunanya melawan si Anggrek Hitam. Sebaiknya kalian berdua cepat tinggalkan tempat ini, sebelum dia datang membunuh kalian berdua di sini," ujar Ki Muhijar lirih.
"Siapa Anggrek Hitam itu, Ki?" tanya Rangga agak dikeraskan suaranya. Seakan-akan dia sengaja agar orang yang ditakuti laki-laki tua pemilik kedai ini mendengar perkataannya.
"Aduh...! Jangan keras-keras, Den. Kalau dia dengar, bisa celaka kita semua," ratap Ki Muhijar ketakutan.
"Biar dia dengar Ki. Kalau perlu, datang saja sekarang. Aku paling tidak suka pada orang-orang yang suka membuat resah penduduk!" desis Pandan Wangi, suaranya juga dikeraskan.
Ki Muhijar terlongong, seakan-akan tidak percaya dengan kata-kata Pandan Wangi barusan. Suara Pandan Wangi yang cukup keras tadi sudah pasti terdengar sampai ke luar kedai ini. Dan itu membuat Ki Muhijar jadi bertambah gemetar ketakutan. Dia yakin, saat ini si Anggrek Hitam pasti mendengar semua kata-kata Pandan Wangi barusan.
"Siapa Anggrek Hitam itu, Ki?" desak Pandan Wangi, mengulangi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Muhijar tidak segera menjawab. Beberapa kali napasnya ditarik dalam-dalam dan dihembuskan kuat-kuat. Benar-benar sulit keadaannya saat ini. Berkata terus terang atau tidak, saat ini baginya sama saja. Dia yakin, malam nanti si Anggrek Hitam pasti muncul. Dan ini berarti hari terakhir baginya untuk bisa menikmati sinar matahari. Ki Muhijar mengeluh dalam hati, karena tidak mempunyai pilihan lain lagi. Dia benar-benar terjepit, dan jadi serba salah.
"Tidak ada yang tahu, siapa Anggrek Hitam itu sebenarnya. Dia datang dan pergi begitu saja seperti hantu. Kemunculannya selalu membawa korban penduduk. Bahkan belakangan ini, dia tidak memilih-milih korbannya. Satu keluarga dibantai habis hampir setiap malam," pelan sekali suara Ki Muhijar.
"Bagaimana rupanya, Ki?" tanya Rangga.
"Selalu mengenakan baju hitam, dan topeng tengkorak. Tidak seorang pun yang tahu wajah aslinya di balik topeng itu. Semua korbannya mati terkena senjata berbentuk bunga anggrek hitam yang beracun. Sedikit saja terkena, langsung mati," jelas Ki Muhijar.
Pandan Wangi dan Rangga saling berpandangan. Gadis itu menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, lalu duduk di depannya. Untuk beberapa saat tak ada lagi yang bicara. Sementara Ki Muhijar hanya tertunduk saja. Seluruh tubuhnya kini terasa lemas, sekan-akan saat ini sudah kehilangan nyawanya.
"Sepertinya bukan dia, Kakang," duga Pandan Wangi perlahan agak bergumam.
Rangga tidak menanggapi dugaan Pandan Wangi. Pandangannya dialihkan pada Ki Muhijar. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan melangkah menghampiri laki-laki tua pemilik kedai ini. Ditariknya kursi kayu, Lalu didekatkan ke depan Ki Muhijar. Pemuda berbaju rompi putih itu duduk di kursi itu.
"Sebenarnya, kedatangan kami ke sini sedang mengejar seseorang, Ki. Barangkali saja orang yang dikenal berjuluk si Anggrek Hitam itu buruan kami," kata Rangga perlahan.
"Keberadaannya di sini sudah lebih dari satu purnama," jelas Ki Muhijar.
"Sudah dua purnama kami mencari buronan itu, Ki," selak Pandan Wangi seraya menghampiri.
"Oh, benarkah...?" Ki Muhijar mengangkat kepalanya.
"Benar, Ki. Kalau ternyata si Anggrek Hitam itu memang buronan kami, maka kau tidak perlu takut. Kalaupun dia datang, pasti akan berhadapan dengan kami berdua," tegas Rangga.
"Sebenarnya kalian datang dari mana? Dan kenapa memburu seseorang?" tanya Ki Muhijar.
Rangga dan Pandan Wangi tidak segera menjawab, tapi hanya saling melemparkan pandangan. Sementara Ki Muhijar seperti berharap kalau si Anggrek Hitam itu benar-benar buronan yang dicari kedua pendekar muda ini. Kalau ternyata benar, itu berarti ada harapan Desa Ragasari ini akan terbebas dari neraka yang membelenggu selama ini.
"Kami utusan dari Karang Setra, Ki. Buronan itu telah mengacau Istana Karang Setra, dan mencuri beberapa benda berharga dari istana. Kami harus mendapatkannya, dan mengembalikannya pada tempat semula," jelas Rangga singkat.
"Kalau begitu, sebaiknya kalian menemui kepala desa. Di sana, kalian bisa mendapatkan keterangan darinya," kata Ki Muhijar.
"Kau bersedia mengantarkan kami, Ki?" pinta Rangga.
"Dengan senang hati. Lagi pula, aku tidak sudi sendirian lagi di sini."
Rangga dan Pandan Wangi tersenyum. Terbetik kilatan harapan dalam mata laki-laki tua pemilik kedai itu. Harapan untuk bisa terlepas dari belenggu ketakutan, dan harapan untuk bisa melihat matahari esok pagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera berangkat meninggalkan kedai kecil yang letaknya agak terpencil itu. Ki Muhijar sudah berada di atas punggung kuda yang diambilnya dari belakang kedai. Ternyata laki-laki tua itu tangkas juga menunggang kuda. Meskipun sudah terbilang lanjut, namun masih juga tangkas mengendalikan kudanya. Bahkan bisa mengimbangi ketangkasan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Jangan terlalu cepat, Ki. Nanti bisa menarik perhatian penduduk," tegur Rangga.
"Aku ingin cepat-cepat sampai, biar si Anggrek Hitam itu lenyap!" sahut Ki Muhijar.
"Kau begitu yakin, Ki," ujar Pandan Wangi seraya tersenyum.
"Aku yakin, kalian pasti memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mungkin menjadi utusan sebuah kerajaan. Kalian pasti bisa mengalahkan si Anggrek Hitam," tegas Ki Muhijar begitu yakin.
Rangga dan Pandan Wangi jadi berpandangan. Mereka benar-benar heran melihat perubahan yang begitu cepat terjadi pada diri laki-laki tua ini. Semula semangat hidupnya sudah lenyap. Dan sekarang, dia begitu bersemangat setelah Rangga mengatakan sebagai utusan Karang Setra yang mengejar seorang buronan pencuri harta kerajaan.
"Cepat sekali dia berubah, Kakang. Apa saja yang kau katakan padanya?" tanya Pandan Wangi.
"Kau dengar sendiri, Pandan," sahut Rangga.
"Mudah-mudahan saja si Anggrek Hitam itu buronan kita," gumam Pandan Wangi berharap.
"Kalaupun bukan, apa salahnya membebaskan penduduk desa ini dari ketakutan, Pandan."
"Aku juga benci pada manusia pengecut yang bisanya bersembunyi di balik topeng. Pekerjaan mereka hanya menakut-nakuti penduduk saja," dengus Pandan Wangi.
"Tapi kau harus waspada dengan senjatanya, Pandan," Rangga memperingatkan.
"Kenapa harus takut? Kan ada kau, Kakang."
"Dasar...!"
Pandan Wangi tertawa mengikik geli, sehingga membuat Ki Muhijar jadi bengong keheranan tidak mengerti. Melihat raut wajah Ki Muhijar yang terlongong begitu, Rangga jadi ikut tertawa juga.
"Kenapa kalian tertawa...?" tanya Ki Muhijar.
"Tidak apa-apa, Ki. Jalan terus saja," sahut Pandan Wangi.
Mereka terus mengendalikan kudanya agar berjalan perlahan-lahan saja, karena tidak ingin menimbulkan perhatian penduduk yang tengah dicekam rasa takut. Keadaan Desa Ragasari tetap saja sunyi, tanpa seorang pun terlihat berada diluar rumah. Melihat keadaan itu, Pandan Wangi jadi tidak sabaran lagi ingin bertemu manusia bertopeng tengkorak yang berjuluk si Anggrek Hitam.
"Seperti apa sih rupanya...?" pertanyaan itu yang terbetik di benak Pandan Wangi saat ini.
***
LIMA
Ki Anggarasana begitu gembira atas kedatangan Rangga dan Pandan Wangi di Desa Ragasari ini. Terlebih lagi setelah mengetahui tujuan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Saat ini, dia memang membutuhkan seorang pendekar digdaya untuk menghadapi si Anggrek Hitam. Dan kedatangan Pendekar Rajawali Sakti terasa bagai setetes air sejuk di tengah-tengah luasnya padang pasir.
Ki Anggarasana memperkenalkan kedua pendekar muda itu pada Candraka yang sempat terluka akibat bertarung melawan si Anggrek Hitam. Sebenarnya Rangga berharap putra kepala desa itu tahu banyak tentang si Anggrek Hitam. Tapi, ternyata Candraka juga tidak tahu, siapa sebenarnya si Anggrek Hitam itu. Meskipun sempat bertarung, tapi dia tidak sempat mengenali wajah lawan yang tertutup topeng kayu berbentuk tengkorak manusia.
"Aku sering mendengar kehebatan jago-jago dari Karang Setra. Maka kuharap kalian berdua mampu menghadapi si Anggrek Hitam," pinta Ki Anggarasana, penuh harap.
"Kami juga berharap si Anggrek Hitam adalah orang yang kami cari," sambut Pandan Wangi.
Saat itu muncul Salaya dari pintu depan. Ki Anggarasana segera memperkenalkan putra bungsunya itu kepada Rangga dan Pandan Wangi. Salaya hanya menganggukkan kepala saja, yang kemudian dibalas dengan anggukan kepala juga oleh kedua pendekar muda itu.
"Dari mana saja kau, Salaya?" tanya Ki Anggarasana sedikit menegur.
"Jalan-jalan," sahut Salaya, seenaknya saja.
"Jalan-jalan dimalam hari begini...? Apa kau tidak sadar kalau keadaan sedang tidak memungkinkan untuk jalan-jalan dimalam hari, Salaya...?"
Salaya hanya diam saja. Sebentar matanya melirik Ki Muhijar. Sinar matanya seperti memancarkan kekuatan aneh. Pemuda berparas cantik seperti wanita itu kemudian meringis sedikit kepada ayahnya. Ki Anggarasana yang sedang memperhatikan, jadi berkerut keningnya. Sedangkan Salaya seperti tidak peduli. Pemuda itu hendak meninggalkan ruangan depan ini, tapi Ki Anggarasana sudah cepat mencegahnya.
"Aku akan istirahat, Ayah. Lelah...," kilah Salaya.
Ki Anggarasana tidak mencegah lagi. Salaya segera melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Semua orang yang berada di ruangan depan rumah Kepala Desa Ragasari itu hanya memandangi kepergian Salaya ke dalam kamarnya. Sambil menghembuskan napas panjang, Ki Anggarasana menghempaskan diri dikursi.
"Maaf, anakku yang satu itu memang lain," ucap Ki Anggarasana pada Rangga.
"Maaf, Ki. Dia laki-laki atau perempuan?" tanya Pandan Wangi yang sejak kemunculan Salaya tadi, selalu memperhatikannya terus.
"Laki-laki," sahut Ki Anggarasana tanpa ada rasa tersinggung.
"Tapi, kok...," Pandan Wangi tidak meneruskan.
"Dia memang sudah seperti itu sejak kecil. Sulit untuk bisa merubahnya. Aku hanya bisa pasrah menerima keadaannya. Aku juga tidak menuntut banyak darinya, sehingga tidak seperti kakaknya. Yaaah.... Memang berat untuk menerima, tapi apa boleh buat...," ada sedikit nada keluhan di dalam suara Ki Anggarasana.
"Maaf, Ki. Bukan maksudku untuk...."
"Tidak mengapa," potong Ki Anggarasana, bisa mengerti.
Pandan Wangi merasa tidak enak juga. Diliriknya Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya terdiam saja. Suasana yang semula terasa riang, kini berubah jadi kaku. Bahkan Ki Muhijar yang belum bersuara, hanya bisa mengkeret di kursinya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Keadaan di Desa Ragasari begitu sunyi, seakan-akan berada di tengah-tengah hutan. Hanya suara binatang malam saja yang terdengar mengisi kesunyian malam ini.
"Sudah terlalu malam. Sebaiknya kalian semua tidur saja di sini. Rumah ini terlalu besar, dan banyak kamar kosong," ujar Ki Anggarasana.
Ki Anggarasana meminta Candraka mengantarkan ketiga tamunya, ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Sedangkan dirinya sendiri masih tetap duduk di kursi, di ruangan depan rumah yang cukup besar ini. Pandangannya begitu kosong, tertuju lurus keluar. Tak berapa lama berselang. Candraka kembali masuk ke ruangan itu. Pemuda itu telah menunjukkan kamar-kamar untuk tamu mereka yang menginap malam ini.
"Seharusnya Ayah tidak terlalu banyak cerita tentang Salaya pada mereka," tegur Candraka seraya menghenyakkan diri dikursi depan laki-laki setengah baya itu.
"Aku tidak ingin menutupi kenyataan yang ada, Candraka," tegas Ki Anggarasana.
"Aku mengerti, Ayah. Tapi hal itu bisa menyinggung perasaan Salaya. Apa Ayah tidak ingat peristiwa itu lagi. Sejak peristiwa dua tahun yang lalu, Salaya membunuh pemilik kerbau, hanya karena penggembala itu menertawakannya," sergah Candraka.
"Peristiwa itu sudah lama berlalu, Candraka. Tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kulihat, Salaya tidak lagi mudah tersinggung. Bahkan bisa menerima keadaan dirinya, dan sudah bisa bergaul seperti yang lain."
Candraka terdiam. Juga, Ki Anggarasana tidak bicara lagi. Sejak peristiwa dua tahun yang lalu, Salaya memang banyak berubah. Dia tidak lagi cepat marah, meskipun ada orang yang menyinggung perasaannya. Bahkan seringkali hanya dihadapi dengan senyum. Memang hampir semua orang didesa ini selalu mencemooh pemuda itu. Bahkan tidak ada seorang pemuda pun di desa ini yang suka bergaul dengannya. Salaya memang lain. Perawakan dan sikapnya lebih mirip wanita daripada laki-laki.
"Aku akan meronda dulu, Ayah," pamit Candraka.
"Apa tidak ada masalah dengan lukamu, Candraka?"
Candraka hanya tersenyum saja, kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Ki Anggarasana mengantarkan pemuda itu sampai ke depan pintu. Seekor kuda tinggi dan tegap, telah menanti Candraka di halaman depan rumah ini
"Sebaiknya kau bawa teman, Candraka," ujar Ki Anggarasana menyarankan.
"Tidak perlu. Nanti akan menimbulkan banyak korban saja," sahut Candraka.
Pemuda itu melompat naik ke punggung kuda, dan langsung menggebahnya dengan cepat. Sebentar Ki Anggarasana memperhatikan anaknya sampai hilang ditelan kegelapan malam, kemudian dia melangkah masuk. Namun belum juga melewati ambang pintu, mendadak saja dari arah belakangnya berdesir angin dingin.
Wusss!
"Heh...?! Uts!"
Jleb!
Sebuah benda berwarna hitam berbentuk bunga anggrek, melesat lewat di atas bahu Ki Anggarasana dan langsung menancap di tiang pintu. Ki Anggarasana cepat memutar tubuhnya, dan melompat sambil berputaran dua kali diudara. Ringan sekali kakinya menjejak tanah, ditengah-tengah halaman rumahnya.
"Hahhh...?!" Ki Anggarasana terkejut setengah mati begitu kepalanya menengadah, menatap ke atas atap rumahnya. Di atas atap, tampak berdiri berkacak pinggang seseorang mengenakan baju hitam pekat. Wajahnya tertutup sebuah topeng kayu berbentuk tengkorak. Bentuk tubuhnya begitu ramping, karena baju yang dikenakannya sangat ketat. Ki Anggarasana menelan ludahnya yang terasa pahit. Dia tahu manusia berbaju hitam itu adalah si Anggrek Hitam.
"Anggrek Hitam...," desis Ki Anggarasana.
Slap...!
Ringan sekali manusia berbaju hitam bertopeng tengkorak yang berjuluk Anggrek Hitam itu melompat turun dari atas atap. Tiga kali dia berputaran di udara. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah di depan Ki Anggarasana.
"Kau terlalu berani menerima kedua pendekar itu ke sini, Ki Anggarasana. Padahal, aku tidak pernah mengusik keluargamu. Tapi kau selalu saja mengusik kehidupanku," terasa dingin sekali suara Anggrek Hitam.
"Itu urusanku! Kedua pendekar itu memang sengaja datang hendak mencarimu!" dengus Ki Anggarasana, ketus.
"Orang yang mereka cari bukan diriku. Sebaiknya, usir mereka malam ini juga! Aku tidak mau melihat mereka masih ada di sini besok pagi. Dan kalau tidak kau turuti, maka Desa Ragasari ini akan kuratakan dengan tanah!" ancam Anggrek Hitam bersungguh-sungguh.
"Rupanya kau hanya berani pada penduduk kampung!" desis Ki Anggarasana mengejek. "Kalau merasa digdaya, hadapi kedua pendekar itu!"
"Aku tidak main-main, Ki. Lihat saja besok...!"
Setelah berkata demikian, Anggrek Hitam melesat pergi dengan kecepatan kilat. Dia melompat ke atas atap, dan langsung menghilang seperti lenyap begitu saja. Ki Anggarasana hanya bisa memandangi. Dia tidak mungkin mengejar manusia bertopeng tengkorak itu. Pada saat itu, dari dalam rumah keluar Pendekar Rajawali Sakti. yang disusul Pandan Wangi dan Ki Muhijar. Mereka bergegas menghampiri Ki Anggarasana.
"Siapa yang bicara denganmu tadi, Ki?" tanya Rangga.
Ki Anggarasana tidak segera menjawab, namun malah memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dan yang dipandangi malah membalasnya tidak kalah tajam. Tanpa berkata apa-apa, Ki Anggarasana melangkah menuju ke beranda depan rumahnya. Rangga, Pandan Wangi dan Ki Muhijar mengikuti dari belakang. Pandan Wangi mencolek pergelangan tangan Rangga. Si Kipas Maut itu menunjuk tiang pintu dengan bibirnya.
Rangga menatap ke arah tiang pintu yang ditunjuk gadis itu. Dihampiri dan dicabutnya benda hitam berbentuk bunga anggrek yang tertanam cukup dalam di tiang pintu. Diamatinya benda yang merupakan senjata ampuh itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti segera dapat merasakan kalau benda itu mengandung racun yang sangat mematikan, dan bekerja sangat cepat. Orang yang terkena senjata berbentuk bunga anggrek berwarna hitam ini, pasti akan tewas seketika tanpa mampu memberi perlawanan lagi.
"Orang itu si Anggrek Hitam, Ki?" tanya Rangga sambil terus mengamati benda hitam berbentuk bunga anggrek di telapak tangannya.
Ki Anggarasana hanya mendesah saja sambil menganggukkan kepala. Dihempaskan dirinya dikursi Rangga dan Pandan Wangi memandangi kepala desa yang tampaknya begitu lemas seperti tidak punya semangat hidup lagi.
"Mau apa dia menemuimu, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Mengancamku," sahut Ki Anggarasana perlahan.
"Mengancam...?" Pandan Wangi jadi berkerut keningnya.
"Ya! Dia akan menghanguskan desa ini kalau kalian tidak segera pergi," jelas Ki Anggarasana, tetap lesu suaranya.
"Hhh...! Dasar...!" dengus Pandan Wangi jadi jengkel. "Kau tahu, Ki. Orang seperti si Anggrek Hitam itu sebenarnya orang pengecut dan tidak ada apa-apanya. Bisanya hanya main gertak, menakut-nakuti penduduk lemah."
"Tapi kalau kalian tidak pergi sampai esok pagi, dia akan melaksanakan ancamannya," tegas Ki Anggarasana.
"Dia tidak akan punya kesempatan, Ki. Percayalah! Kami berdua akan menjaga desa ini siang dan malam. Kami akan menangkap orang itu, dan menyerahkannya pada penduduk desa ini," janji Pandan Wangi
"Memang itu yang kuharapkan. Juga, seluruh penduduk desa ini berharap bisa menghentikan si Anggrek Hitam. Tapi mereka hanya petani yang tidak memiliki kepandaian apa pun juga," ada nada keluhan di dalam suara Ki Anggarasana.
"Aku mengerti, Ki," Kata Pandan Wangi, setengah bergumam. Gadis itu berpaling menatap Rangga yang sejak tadi hanya diam saja. Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti dan berdiri di depannya.
Sementara Ki Anggarasana masih tetap terduduk lemas. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan desa ini dari kehancuran.
"Bagaimana, Kakang?" Pandan Wangi meminta pendapat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tetap di sini saja, Pandan. Aku akan melihat-lihat keadaan sekitar desa ini," ujar Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga bergegas melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon. Sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di punggung kuda hitam Dewa Bayu. Binatang itu meringkik keras, lalu cepat melesat pergi begitu tali kekangnya dihentakkan dengan kuat.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sepeninggal Rangga, Pandan mengelilingi rumah kepala desa itu, setelah terlebih dulu menyuruh Ki Muhijar untuk masuk ke kamarnya kembali. Sementara Ki Anggarasana sudah kembali masuk ke dalam rumah itu. Keadaan tetap sunyi, tak terlihat seorang pun berada diluar. Sementara malam terus merayap semakin larut. Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan menuju bagian belakang rumah besar ini. Agak heran juga hatinya karena rumah sebesar ini tidak ada penjaga seorang pun yang ditemui. Tapi mengingat suasananya seperti ini, Pandan Wangi bisa memaklumi.
Sampai di bagian belakang, tetap saja tidak ditemui seorang pun. Pandan Wangi.berhenti melangkah. Pandangannya beredar berkeliling. Pada saat itu, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan didepannya.
"Hei...?!" Pandan Wangi tersentak kaget. Bergegas gadis itu melesat mengejar bayangan hitam yang berkelebat cepat di depannya tadi. Dia masih sempat melihat, bayangan hitam itu menuju bagian samping kanan rumah besar ini. Pandan Wangi langsung menuju bagian samping rumah, bayangan hitam itu menghilang di balik tembok. Pandan Wangi celingukan ke sana kemari, mencari-cari bayangan hitam tadi. Jelas kalau bayangan hitam itu menghilang di depan jendela kamar Salaya. Gadis itu kemudian segera membalikkan tubuh, hendak kembali dari tempat datangnya tadi. Namun sebelum kakinya melangkah, dari arah belakangnya terasa ada desir angin menyambar. Pandan Wangi langsung berbalik. Sejenak gadis itu terhenyak, lalu cepat melentingkan tubuhnya ke udara.
"Hup! Yeaaah...!"
Wusss!
Ternyata beberapa benda hitam berbentuk bunga anggrek melesat lewat di bawah tubuh Pandan Wangi. Dua kali si Kipas Maut itu berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat lunak di tanah. Namun belum juga menarik napas lega, mendadak berkelebat sebuah bayangan hitam, meluruk deras ke arahnya.
"Uts!"
Pandan Wangi segera menarik tubuhnya ke kiri, menghindari tenangan bayangan hitam itu. Cepat-cepat tubuhnya diputar begitu bayangan hitam itu lewat. Lalu bagaikan kilat, gadis berbaju biru itu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiyaaa...!"
Pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi tidak mengenai sasaran, karena bayangan hitam itu dapat berkelit manis sekali. Dan sebelum Pandan Wangi bisa menarik kembali tangannya, bayangan hitam itu sudah melenting ke atas. Pada saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah kepala. Cepat-cepat Pandan Wangi merunduk, menghindari tendangan keras menggeledek itu.
Begitu kaki orang berbaju hitam itu lewat, bergegas Pandan Wangi menjatuhkan tubuh ketanah, lalu bergulingan beberapa kali. Langsung tubuhnya melesat bangkit, seraya melepaskan satu pukulan keras menggeledek. Serangan Pandan Wangi yang begitu cepat dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi, tepat menghantam bagian punggung orang berbaju serba hitam itu.
Des! Orang berbaju ketat serba hitam itu, jatuh bergulingan di tanah. Namun, dia bisa cepat bangkit lagi. Seketika tubuhnya diputar menghadap Pandan Wangi. Kini, ada jarak sekitar dua batang tombak di antara mereka. Saat itu, Pandan Wangi terbeliak. Karena, wajah orang itu bukan wajah manusia, melainkan wajah tengkorak.
Pandan Wangi melangkah mundur dua tindak. Dia sempat menelan ludahnya, begitu tahu kalau wajah tengkorak itu terbuat dari kayu. Dia juga cepat menyadari kalau sekarang berhadapan dengan manusia yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi seluruh penduduk Desa Ragasari.
"Kau pasti si Anggrek Hitam...," desis Pandan Wangi menebak.
"Dugaanmu tepat. Aku memang si Anggrek Hitam," sahut orang berbaju serba hitam yang mengenakan topeng tengkorak itu.
"Oh..., jadi kau orangnya. Kebetulan, aku idak perlu repot-repot mencarimu lagi," terasa dingin suara Pandan Wangi.
"Aku memang tidak ingin merepotkanmu, Pandan Wangi..."
"Heh...?! Kau tahu namaku...?" Pandan Wangi agak terkejut juga, karena si Anggrek Hitam sudah mengenalnya.
Padahal, mereka baru kali ini bertemu. Tapi Anggrek Hitam sudah tahu, kalau yang berdiri di depannya adalah Pandan Wangi. Gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Pandan Wangi jadi menatap wajah bertopeng itu dalam-dalam. Sayang sekali, keadaan begitu gelap. Apalagi seluruh wajah orang itu tertutup topeng kayu berbentuk tengkorak. Jadi, tidak mudah untuk bisa dikenali. Sedangkan dari nada suaranya, Pandan Wangi tahu kalau suara manusia bertopeng tengkorak ini dibuat-buat.
"Siapa kau sebenarnya...?!" tanya Pandan Wangi keras.
"Tidak ada gunanya kau tahu tentang diriku, Pandan Wangi. Karena, sebentar lagi kau akan mati!" terasa dingin nada suara Anggrek Hitam.
Setelah berkata demikian, Anggrek Hitam mengibaskan tangan kanannya dengan cepat kedepan. Seketika itu juga melesat sebuah benda hitam berbentuk bunga anggrek. Sejenak Pandan Wangi terbeliak, namun cepat menarik tubuhnya ke kanan. Maka senjata maut si Anggrek Hitam itu berhasil dihindarinya.
Namun belum juga Pandan Wangi bisa menarik kembali tubuhnya, si Anggrek Hitam sudah melompat cepat bagai kilat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hiyaaat...!"
"Ufs...!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Pandan Wangi untuk menghindar. Cepat-cepat tangannya digerakkan untuk menangkis tendangan manusia bertopeng tengkorak itu. Tak pelaklagi, satu benturan keras pun terjadi. Pandan Wangi sempat terkejut. Memang begitu membentur kaki si Anggrek Hitam, tangannya terasa bagai tersengat ribuan lebah berbisa. Bergegas si Kipas Maut itu melompat mundur beberapa tindak. Sedangkan si Anggrek Hitam berputar dua kali, lalu mendarat kembali di tanah dengan manis sekali.
"Gila...! Tenaga dalamnya luar biasa!" dengus Pandan Wangi dalam hati.
Pandan Wangi tidak sempat lagi berpikir lebih jauh, karena si Anggrek Hitam sudah menyerang kembali. Gadis itu terpaksa berjumpalitan menghindari serangan serangan yang begitu gencar dan dahsyat luar biasa. Bisa dirasakan kalau angin pukulan si Anggrek Hitam itu mengandung hawa panas yang menyengat kulit tubuhnya. Beberapa kali pukulan si Anggrek Hitam berhasil dihindari Pandan Wangi. Namun ketika gadis itu baru saja mengelak dari satu tendangan keras, mendadak saja si Anggrek Hitam melontarkan satu pukulan menggeledek ke dada. Pandan Wangi jadi terhenyak, dan tidak sempat lagi menghindarinya.
Diegkh!
"Akh...!" Pandan Wangi terpekik agak tertahan. Si Kipas Maut itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tubuhnya terhuyung-huyung mencoba menguasai keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga dadanya terasa begitu sesak. Bahkan hawa panas pun menjalar keseluruh tubuhnya. Tampak setetes darah menggulir ke luar dari sudut bibirnya.
"Kau tidak akan bisa menghentikan ku, Pandan Wangi. Juga temanmu itu...!" desis Anggrek Hitam dingin. "Sekarang terimalah kematianmu. Hiyaaat...!"
Cepat sekali Anggrek Hitam mengibaskan tangannya ke depan, dengan tubuh agak membungkuk ke kiri. Seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur bunga-bunga Anggrek Hitam yang mengandung racun sangat mematikan.
Sret!
"Hiyaaat...!"
Meskipun masih merasakan sesak pada dadanya, Pandan Wangi cepat mencabut kipas maut yang berwarna keperakan. Cepat-cepat senjata mautnya itu dikibaskan untuk menangkis bunga-bunga anggrek hitam yang meluncur deras mengincar tubuhnya.
Tring! Trang...!
Bunga-bunga anggrek hitam itu jatuh berguguran tersambar senjata kipas baja putih. Begitu cepat gerakan Pandan Wangi, sehingga membuat si Anggrek Hitam terperangah. Sungguh tidak diduga kalau gadis ini masih mampu bertahan, meskipun sudah terkena pukulan dahsyat di dadanya. Bahkan bunga-bunga anggrek hitam yang dilepaskannya, tak satu pun yang berhasil menyentuh tubuh si Kipas Maut.
Pandan Wangi membuka kipasnya di depan dada. Namun mulutnya masih meringis merasakan nyeri pada tulang-tulang dadanya. Gadis itu menyadari kalau dirinya mendapat luka dalam yang cukup parah. Tapi, dia tidak sudi mati begitu saja. Sementara si Anggrek Hitam sudah kembali bersiap hendak melakukan serangan kembali. Hatinya jadi penasaran, karena tak satu pun dari senjatanya yang mengenai sasaran.
"Kau cukup tangguh, Pandan Wangi. Tapi cobalah jurus 'Anggrek Seribu' ini...!" desis si Anggrek Hitam. "Hiyaaat...!"
Cepat sekali tangan kanan si Anggrek Hitam bergerak, melontarkan senjata-senjata mematikan itu. Pandan Wangi terpaksa berjumpalitan diudara untuk menghindari serangan manusia bertopeng tengkorak itu. Kipas baja putih yang menjadi andalannya, berkelebat menyambar bunga-bunga anggrek hitam beracun yang meluncur deras menghujani tubuhnya.
***
ENAM
Anggrek Hitam berlompatan mengelilingi Pandan Wangi sambil melontarkan senjatanya yang berbentuk bunga anggrek hitam. Akibatnya, Pandan Wangi benar-benar kerepotan menghindarinya. Senjata-senjata beracun itu berhamburan disekitar tubuh gadis itu, bagai hujan yang dijatuhkan dan langit. Sedikit pun tidak ada kesempatan bagi si Kipas Maut untuk menarik napas. Apalagi membalas serangan-serangan manusia bertopeng tengkorak itu.
Pada saat Pandan Wangi kerepotan menghindari hujan bunga anggrek hitam itu, mendadak saja si Anggrek Hitam meluruk deras ke arahnya. Langsung dilontarkannya pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan itu demikian cepat, sehingga tak sempat lagi bagi Pandan Wangi untuk menghindar.
"Yeaaah...!"
"Uts...!" Pandan Wangi masih berusaha berkelit. Gadis itu terpental sejauh dua batang tombak. Pukulan yang dilepaskan si Anggrek Hitam tadi, hanya menghantam bagian samping bahunya.
"Uhk...!" Pandan Wangi meringis, merasakan nyeri dibahu kanannya Dia mencoba berdiri tegak. Namun belum juga berhasil, satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak lagi, si Kipas Maut bergulingan di tanah sambil menjerit melengking. Tubuhnya baru berhenti ketika menghantam keras sebatang pohon yang cukup besar. Lagi-lagi Pandan Wangi menjerit. Pohon itu sampai bergetar, dan menggugurkan daun-daunnya.
"Sudah saatnya kau pergi ke neraka, Pandan Wangi..!" desis si Anggrek Hitam dingin.
Manusia bertopeng tengkorak itu memiringkan tubuhnya agak membungkuk kekiri. Tangan kanannya siap melontarkan senjata andalannya yang terkenal sangat dahsyat itu. Namun sebelum bunga anggrek hitamnya terlontar, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat di depannya. Dan tahu-tahu seorang wanita cantik berbaju hijau sudah berdiri melindungi Pandan Wangi yang terkapar sambil merintih lirih.
"Kau.... Mau apa ke sini...?!" Anggrek Hitam terkejut melihat kedatangan wanita cantik berbaju hijau ketat itu.
"Kau sudah keterlaluan! Ayo ikut..!" bentak wanita berbaju hijau itu dingin.
Kelihatannya wanita cantik berbaju hijau itu begitu berpengaruh di depan si Anggrek Hitam. Ini terbukti dari sikap orang berbaju hitam itu yang kelihatan gugup menghadapi wanita berbaju hijau di depannya.
Sementara, wanita berbaju hijau itu memang tidak ingin si Anggrek Hitam bertindak terlalu jauh. Karena, hal itu akan menyulitkan mereka juga. Belum juga si Anggrek Hitam bisa mengucapkan sesuatu, mendadak saja wanita berbaju hijau itu melompat cepat menyambarnya. Anggrek Hitam tersentak kaget. Tapi sebelum bisa berbuat sesuatu, tangan kanannya sudah dicekal. Dan...
Slap!
Bagaikan sekarung kapas ringan, Anggrek Hitam melesat dibawa wanita berbaju hijau itu. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan saja mereka sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Sementara dalam keadaan yang parah, Pandan Wangi masih sempat memperhatikan kejadian yang begitu cepat tadi. Sambil meringis menahan sakit disekujur tubuhnya, terutama rasa sesak di dadanya, si Kipas Maut mencoba bangkit berdiri. Meskipun berhasil berdiri, namun tubuhnya masih limbung.
"Ugkh...!" Sekali lagi Pandan Wangi memuntahkan darah kental agak kehitaman. Disekanya darah yang mengotori bibirnya dengan punggung tangan. Sambil tertatih-tatih, gadis itu melangkah menuju rumah Ki Anggarasana. Sesekali dia terbatuk disertai darah dari mulutnya. Gadis itu langsung jatuh tersungkur begitu mencapai pintu depan, tepat saat Ki Anggarasana membuka pintu. Dia terkejut melihat keadaan Pandan Wangi yang tampak kepayahan.
"Pandan...?! Apa yang terjadi..?" sentak Ki Anggarasana terkejut. Bergegas laki-laki setengah baya itu memapah tubuh Pandan Wangi, dan membawanya masuk ke dalam. Dia berteriak-teriak memanggil siapa saja yang masih berada didalam rumah ini. Beberapa orang laki-laki bertubuh tegap berdatangan. Mereka terkejut melihat Ki Anggarasana memondong seorang gadis dalam keadaan terluka.
"Kalian jaga di sekitar rumah ini. Si Anggrek Hitam ada di sini...!" perintah Ki Anggarasana.
Laki-laki setengah baya itu langsung menuju kamar tempat istirahat Pandan Wangi. Sementara orang-orang yang diperintah, segera menjalankan tugasnya menjaga rumah besar itu. Meskipun dihati mereka terbetik kegentaran, tapi dilaksanakan juga. Dan mereka hanya bisa berharap agar tidak bertemu Anggrek Hitam.
"Kurang ajar...! Ini sudah keterlaluan. Iblis keparat itu tidak lagi memandang kita, Ayah!" geram Candraka berang.
Pagi ini kegemparan memang terjadi dirumah Ki Anggarasana. Bukan hanya Candraka yang berang, tapi juga Rangga. Bahkan Ki Anggarasana berang setengah mati. Terlebih kepala desa itu merasa malu karena tidak dapat melindungi tamunya, hingga Pandan Wangi mengalami luka dalam begitu parah. Dan sekarang, gadis itu dalam perawatan Nyai Koret, tabib tua yang terkena! di Desa Ragasari ini.
"Bagaimana mungkin semua orang di sini tidak ada yang mendengar pertarungan itu...? Apa semua sudah tidur? Apa mereka tidak diperintahkan menjaga rumah ini...?" agak keras suara Candraka.
"Jangan salahkan ayahmu, Candraka. Aku bertarung agak jauh di samping rumah," jelas Pandan Wangi lemah.
"Mana Salaya, Ayah?" tanya Candraka teringat adiknya.
"Ada di kamar. Sejak semalam tidak keluar dari kamarnya," sahut Ki Anggarasana.
"Anak pemalas itu makin manja saja!" dengus Candraka menggerutu. "Sudah tahu ada tamu, malah enak-enakan tidur!" Candraka bergegas melangkah keluar dari kamar Pandan Wangi.
"Mau ke mana kau, Candraka?" tanya Ki Anggarasana.
"Sekali-sekali dia harus dikerasi, Ayah!" sahut Candraka.
"Kau jangan terlalu keras padanya, Candraka! Dia terlalu lemah."
Candraka tidak lagi mendengar kata-kata ayahnya. Dia sudah keluar dari kamar ini. Ki Anggarasana hendak menyusul, tapi Rangga sudah keburu mencegahnya. Pendekar Rajawali Sakti mencekal tangan Ki Anggarasana.
"Aku tidak ingin mencampuri urusan keluargamu, Ki. Tapi biarkanlah Candraka," kata Rangga lembut.
"Salaya orangnya lemah. Dia beda dari pemuda-pemuda lainnya. Aku tidak ingin dia sakit, karena dikasari kakaknya," jelas Ki Anggarasana.
"Apa Candraka sering mengasari adiknya?" Tanya Rangga.
"Dulu sering. Tapi setelah peristiwa dua tahun lalu, tidak pernah lagi. Bahkan Candraka selalu melindunginya.
"Boleh aku tahu peristiwa apa itu, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Salaya pernah membunuh seorang penggembala, karena ditertawakan dan dikatakan banci," agak pelan suara Ki Anggarasana.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Salaya seringkali mendapatkan perlakuan seperti itu. Bahkan semua orang di desa ini selalu mencemoohkannya."
"Apa dia selalu marah bila dicemoohkan?" tanya Rangga lagi.
"Tidak begitu sering, kecuali dua tahun lalu itu. Dia mendorong penggembala itu, maka terjadilah perkelahian. Salaya merebut parang dari teman si penggembala, dan menusuknya hingga tewas. Sejak itu, dia lebih senang menyendiri, dan menjauh dari pergaulan. Dia juga tidak pernah lagi marah kalau diejek dan dicemoohkan orang. Salaya lebih memilih diam, dan menatap tajam orang yang mengejeknya. Tapi kalau dia berjalan bersamaku, tidak ada seorang pun yang berani mengejeknya. Yaaah..., mungkin mereka memandang kedudukanku sebagai kepala desa di sini."
Saat itu Candraka kembali masuk ke dalam kamar dengan sikap tergopoh-gopoh. Ki Anggarasana dan Rangga langsung memandang pemuda itu.
"Dia tidak ada di kamarnya, Ayah. Pintunya terkunci, tapi jendelanya terbuka. Aku terpaksa mendobrak pintunya," jelas Candraka.
"Mustahil...! Tidak biasanya dia pergi melalui jendela!" desis Ki Anggarasana tidak percaya.
Laki-laki setengah baya itu bergegas keluar dari kamar ini. Rangga dan Candraka juga bergegas mengikuti. Tinggal Pandan Wangi yang masih terbaring di ranjang, ditunggui Nyai Koret. Mereka hanya bisa saling berpandangan. Sebenarnya Pandan Wangi ingin bangkit dari pembaringan. Tapi baru sedikit saja tubuhnya digerakkan, dadanya sudah terasa sesak sekali.
"Bantu aku duduk, Nyai. Aku akan bersemadi," pinta Pandan Wangi.
Nyai Koret membantu gadis itu duduk di pembaringan, kemudian keluar dari kamar itu. Perlahan ditutupnya pintu, dan membiarkan Pandan Wangi melakukan semadi untuk memulihkan kekuatan tubuhnya.
"Tidak pernah Salaya keluar diam-diam begini...," gumam Ki Anggarasana hampir tidak percaya. Laki-laki setengah baya itu memandangi kamar Salaya yang kosong.
Pintunya memang rusak dibongkar Candraka. Tapi, jendelanya tidak mengalami kerusakan sedikit pun, dan dalam keadaan terbuka lebar. Sementara Rangga memeriksa setiap sudut kamar yang berukuran cukup besar ini. Kamar yang rapi dan berbau harum, seperti kamar seorang gadis. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada sebuah guci besar yang terletak di bagian sudut dekat jendela. Dihampirinya guci itu. Keningnya jadi berkerut begitu melihat ke dalam guci. Tangannya segera merogoh masuk ke dalam guci, dan keluar lagi dengan membawa beberapa buah benda hitam berbentuk bunga anggrek. Digenggamnya bunga anggrek hitam itu beberapa saat, lalu telapak tangannya dibuka kembali.
"Dia selalu mengumpulkan benda-benda itu, setiap kali si Anggrek Hitam muncul," jelas Ki Anggarasana memberi tahu, tanpa diminta lagi.
"Untuk apa mengumpulkan benda ini?" tanya Rangga agak heran.
"Dia memang aneh, Rangga. Kemauan dan tingkah lakunya sukar ditebak," selak Candraka yang masih tetap berdiri diambang pintu.
"Benda ini tidak beracun...," ujar Rangga setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati jendela. Sebentar diamatinya jendela itu. Ternyata jendela ini menghadap langsung kebagian samping kanan rumah. Dari kamar ini, bisa langsung terlihat tempat pertarungan Pandan Wangi dengan si Anggrek Hitam semalam.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompat keluar dari kamar ini, melalui jendela yang terbuka. Begitu kakinya menjejak tanah, langsung berlari cepat ke tempat Pandan Wangi bertarung semalam. Sementara Ki Anggarasana hanya memperhatikan saja, sedangkan Candraka ikut melompat ke luar dan menghampiri Rangga yang berjongkok memungut sebuah bunga anggrek hitam dari tanah.
Rangga berpaling memandang Candraka yang sudah berada di sampingnya. Di sekitar mereka, terdapat belasan, bahkan mungkin puluhan bunga anggrek hitam yang bertebaran ditanah. Bahkan tidak sedikit yang menancap dipepohonan. Melihat banyaknya benda yang mengandung racun mematikan itu, sudah dapat dipastikan kalau Pandan Wangi pasti telah digempur habis-habisan. Masih untung gadis itu tidak terkena satu pun dari benda-benda mematikan ini.
"Benda-benda ini mengandung racun. Sebaiknya segera disingkirkan. Sangat berbahaya kalau sampai mengenai orang," jelas Rangga.
"Akan kuperintahkan pekerja di sini untuk menguburkan benda-benda ini," sambut Candraka.
Rangga memandang jendela kamar Salaya yang masih terbuka lebar. Di sana, Ki Anggarasana masih berdiri memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti kemudian kembali menatap Candraka.
"Adikmu bisa ilmu kedigdayaan?" tanya Rangga hati-hati, takut menyinggung perasaan pemuda ini.
"Dia tidak pernah bersungguh-sungguh mempelajarinya. Aku sendiri hanya belajar dari ayah," sahut Candraka.
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau mencurigai Salaya...?"
"Tidak," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah kembali menuju kamar Salaya. Candraka mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping kiri pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara itu Rangga teringat cerita Pandan Wangi. Saat itu mereka mempunyai kesempatan berdua di dalam kamar, pagi-pagi sekali tadi. Pandan Wangi menyatakan kalau si Anggrek Hitam bertubuh ramping seperti wanita, tapi suaranya besar dan seperti dibuat-buat.
"Aku akan pergi sebentar," pamit Rangga setelah dekat dengan jendela kamar Salaya.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti bergegas melangkah ke depan rumah besar ini. Sementara Ki Anggarasana dan Candraka hanya memandangi kepergian pemuda berbaju rompi putih itu, sampai lenyap di balik dinding bagian depan. Tak berapa lama kemudian, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat.
"Dia meminta benda-benda itu disingkirkan dari sana," jelas Candraka. "Aku juga akan pergi dulu, Ayah."
Candraka juga tidak menunggu jawaban dari ayahnya, dan bergegas melangkah pergi. Ki Anggarasana memandangi punggung anaknya itu sebentar, kemudian menuju jendela kamar.
Candraka memacu cepat kudanya melintasi jalan tanah berdebu. Pandangannya lurus ke depan, menatap langsung ke sebuah rumah kecil yang agak menyendiri dari rumah-rumah lain. Tampak seorang laki-laki tua tengah berdiri memandangi di depan rumah itu. Dia kemudian bergegas menghampiri, begitu Candraka dekat. Pemuda tampan itu cepat melompat turun dari punggung kudanya, begitu dekat di depan rumah kecil yang tampak cantik ini.
"Andira ada, Ki Rasut?" tanya Candraka.
"Oh...! A..., ada! Di dalam," sahut Ki Rasut tergagap.
Candraka memandangi laki-laki tua itu dengan kening berkerut, "Kenapa kau gugup, Ki Rasut?" tegur Candraka.
"Tidak.... Tidak apa-apa, Den. Sebentar Nyai Andira ku kasih tahu dulu," sahut Ki Rasut sambil berpegas melangkah masuk ke dalam rumah itu.
Kening Candraka semakin dalam berkerut. Tidak biasanya Ki Rasut tergagap begitu. Sebentar dipandanginya laki-laki tua itu yang sudah lenyap ke dalam rumah. Sedangkan kudanya sudah ditambatkan di sebatang pohon yang ada di depan rumah itu. Dia kemudian melangkah menuju pintu yang masih sedikit terbuka. Belum juga Candraka mendorong, pintu itu sudah terbuka lebar. Seketika muncul wanita cantik yang mengenakan baju hijau ketat. Dia tersenyum manis menyambut kedatangan Candraka.
"Aku tidak mengira kau akan datang hari ini, Candraka," ujar wanita itu lembut "Yuk, masuk...."
Candraka melangkah masuk mengikuti wanita cantik berbaju hijau itu. Sebentar pandangannya beredar mengitari ruangan depan rumah ini. Dia berdiri saja tidak jauh dari pintu. Sementara wanita cantik bernama Andira itu memandanginya.
"Ada apa, Candraka? Kau seperti baru sekali ini datang ke sini," tegur Andira.
"Ada orang lain di sini?" tanya Candraka, bernada curiga.
"Pertanyaanmu aneh, Candraka. Tidak ada siapa-siapa di sini selain aku dan Ki Rasut," sahut Andira seraya memberi senyum manisnya.
Baru saja Candraka hendak membuka mulutnya, tiba-tiba saja terdengar derap kaki kuda yang dipacu cepat menjauh. Bagaikan kilat, pemuda itu melesat ke luar menerobos pintu. Manis sekali kakinya menjejak tanah di depan beranda rumah ini. Candraka masih sempat melihat seekor kuda yang dipacu cepat, berbelok dari jalan yang menuju ke arah sungai. Candraka membalikkan tubuh, lalu bergegas masuk kembali. Mukanya memerah, menatap tajam wanita cantik yang masih menunggunya dengan bibir menyungging senyuman manis menggoda. Perlahan Candraka menghampiri, lalu dengan kasar didorongnya tubuh wanita itu.
"Auh...!" Andira terpekik kaget. Wanita itu jatuh tersuruk ke lantai. Bibirnya meringis begitu punggungnya menghantam lantai papan yang keras. Candraka menghampiri sambil menggertakkan rahangnya. Perlahan-lahan Andira bangkit berdiri. Senyumnya langsung menghilang dari bibirnya yang selalu merah, indah, dan menggiurkan itu.
"Keluar kau dari rumahku!" bentak Andira jadi kalap, diperlakukan kasar begitu.
"Dasar pelacur! Perempuan rendah...! Berani benar menyembunyikan laki-laki lain dirumah ini!" geram Candraka memaki.
Plak!
"Akh...!" lagi-lagi Andira memekik begitu satu tamparan keras mendarat di wajahnya. Wanita cantik berbaju hijau itu melintir beberapa kali. Dia terjatuh menabrak kursi, hingga hancur berantakan. Mulutnya mendesis geram bagaikan ular. Wajahnya memerah bagai besi terbakar. Cepat dia bangkit berdiri. Saat itu juga, kecantikan wajahnya hilang. Bola matanya kini berapi-api, menyimpan amarah membara. Kata-kata Candraka dan perlakuan kasar pemuda itu, membuat hatinya bagai tertusuk sebilah pedang!
"Aku memang pelacur! Tidak ada seorang pun yang bisa melarangku menerima laki-laki kesini! Pergi kau! Pergi...!" jerit Andira kalap.
Candraka sempat terhenyak melihat Andira jadi kalap begitu. Tubuhnya cepat dimiringkan ketika sebuah jambangan bunga tiba-tiba dilemparkan wanita itu ke arahnya. Jambangan itu hancur menghantam dinding. Andira kini mengamuk sejadi-jadinya. Diraihnya apa saja yang bisa terjangkau, dan dilemparkannya kearah Candraka. Akibatnya pemuda itu jadi sibuk menghindarinya.
"Pergi kau, Jahanam! Pergi...!" jerit Andira semakin kalap.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Candraka bergegas memutar tubuhnya dan melompat keluar dari dalam rumah ini. Andira langsung berhenti mengamuk. Dipandanginya. pemuda yang cepat lenyap dari balik pintu itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara derap kaki kuda dipacu cepat.
"Huh! Dasar laki-laki...! Mau menangnya sendiri!" dengus Andira.
Saat itu Ki Rasut datang tergopoh-gopoh, dan langsung tertegun melihat keadaan ruangan depan yang berantakan seperti baru saja terjadi perang. Andira melirik sedikit pada laki-laki tua itu, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi. Napasnya tersengal dan memburu, seperti baru saja mendaki bukit yang tinggi sekali.
"Ada apa, Nyai? Kenapa berantakan begini?" tanya Ki Rasut
"Anak itu telah menghinaku, Ki," sahut Andira masih tersengal.
"Dia menyakitimu?"
Ki Rasut menghampiri dan mengamati pipi kanan Andira yang memerah, bergambar lima jari tangan. Tangannya terulur, membelai lembut pipi yang memerah itu. Andira diam saja. Dia masih sibuk mengatur pernapasannya yang jadi sesak, akibat kemarahan meluap setelah mendapat hinaan begitu menyakitkan.
"Sudah kukatakan, tidak ada gunanya semua ini, Nyai. Hal ini hanya akan membuat hatimu sakit," hibur Ki Rasut lembut.
Andira diam saja. Pernapasannya sudah bisa dikendalikan. Namun warna merah di pipi kanannya belum juga hilang. Sakit yang dirasakan akibat tamparan tidak sebanding dengan sakit yang diderita hatinya.
"Aku kasihan padamu, Nyai. Seumur hidup kau hanya jadi bahan permainan laki-laki. Seharusnya, kau bisa melawan anak itu. Aku yakin, dengan mudah kau dapat membunuhnya, semudah membalikkan telapak tangan. Tapi terus terang, sebenarnya aku tidak setuju dengan rencanamu. Buat apa kau mengacukan Desa Ragasari, sedangkan kau tidak mempunyai masalah di sini? Tapi kau tetap nekat. Bahkan mengorbankan perasaanmu sendiri. Sebaiknya, hentikan saja, Nyai Tidak ada gunanya rencanamu ini diteruskan," bujuk Ki Rasut lagi.
"Aku tidak akan berhenti, sebelum yang kuinginkan tercapai," dengus Andira.
"Bukankah yang kau inginkan sudah tercapai, Nyai?"
"Belum!"
"Semua orang yang...."
"Ki...," potong Andira cepat "Lima tahun aku merencanakan semua ini. Lima tahun aku bekerja keras. Aku tidak ingin semuanya berantakan gara-gara Candraka. Toh, dia hanya cemburu buta saja. Aku yakin, dia tidak tahu apa-apa. Dan ini masih bisa diteruskan. Percayalah! Kalau semua sudah berhasil, aku akan meninggalkan desa ini. Aku tidak akan kembali lagi ke sini."
"Aku hanya khawatir, Nyai..."
"Apa yang kau khawatirkan, Ki?"
"Cerita Salaya semalam," sahut Ki Rasut.
Andira jadi terdiam, dan langsung teringat cerita Salaya semalam. Jika mengingat hal itu, ada sedikit kekhawatiran di hatinya. Tapi dia yakin, utusan dari Karang Setra yang dikatakan Salaya semalam, pasti belum tahu keberadaannya di desa ini. Hanya saja kalau diingat tentang ciri-ciri utusan itu, rasa kekhawatiran langsung datang menyelinap di hatinya.
Dia yakin kalau utusan itu pastilah Rangga, yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan juga Raja Karang Setra. Dan gadis itu, pastilah Pandan Wangi si Kipas Maut. Andira mendesah panjang, mencoba menghilangkan kekhawatiran yang menyelinap di hatinya.
"Kita akan segera pergi setelah tujuan utama kita di sini tercapai, Ki. Yang penting, Candraka dan Salaya harus diadu domba dahulu. Kemudian..., Ki Anggarasana harus dibunuh. Lalu, kita tempatkan Salaya menjadi kepala desa. Dengan demikian, desa ini bisa berada dalam kekuasaanku. Dan kita kendalikan dari jauh. Sebab, kita juga harus melumpuhkan desa-desa lain yang berada di bawah Kerajaan Karang Setra," tegas Andira setelah terdiam beberapa saat lamanya.
"Terserahlah, Nyai. Tapi kau harus hati-hati. Aku yakin, mereka adalah Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mungkin kau bisa menandingi si Kipas Maut. Tapi rasanya kau tidak akan dapat menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menghindar dan jangan sampai bentrok dengannya," ujar Ki Rasut memperingatkan.
"Itu tidak akan terjadi, Ki. Percayalah," Andira meyakinkan laki-laki tua itu.
"Aku percaya padamu, Nyai."
"Sebaiknya kau bersiap-siap, Ki. Dua hari lagi semuanya akan selesai. Jangan lupa, harta pusaka itu jangan sampai tertinggal. Kita sangat membutuhkannya," tegas Andira lagi.
"Aku selalu menjaganya baik-baik, Nyai" Ki Rasut beranjak meninggalkan ruangan itu. Tapi sebelum menghilang, Andira sudah memanggil lagi. Laki-laki tua itu berhenti melangkah, dan memutar tubuhnya.
"Apa Salaya yang pergi tadi, Ki?" tanya Andira.
"Hanya kudanya saja. Anak itu masih ada dikamar belakang," sahut Ki Rasut.
"Aku akan ke sana."
Andira bergegas beranjak bangkit berdiri. Ki Rasut hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Cepat sekali Andira melupakan kemarahan dan sakit hatinya atas hinaan Candraka tadi. Sementara Ki Rasut masih berada di ruangan itu, Andira sudah lenyap tidak terlihat lagi.
***
TUJUH
Sementara itu, Candraka terus memacu kudanya menuju sungai. Pemuda itu ingin tahu, siapa yang tadi pergi dari rumah Andira. Kecemburuan telah menghimpit dadanya. Meskipun dia tahu kalau Andira bukan wanita baik-baik, tapi sudah begitu disukainya. Tidak heran kalau kecemburuannya sering timbul jika melihat ada laki-laki lain yang datang atau keluar dari rumah itu. Tapi tadi, dia tidak dapat menahan diri. Dan semuanya terjadi begitu saja, bagai tak disadari. Candraka menghentikan lari kudanya begitu sampai di tepi sungai. Hatinya tertegun melihat Rangga sudah ada di sana bersama kudanya. Dan lebih terkejut lagi, karena di situ juga ada seekor kuda yang dikenalinya.
"Rangga...," panggil Candraka seraya melompat turun dari punggung kudanya.
Rangga berpaling menatap putra kepala desa itu. Candraka bergegas menghampiri. Sebentar dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti, kemudian diamatinya kuda putih dengan kaki belang coklat di belakang pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau kenal kuda ini, Candraka?" tanya Rangga.
"Milik adikku," sahut Candraka.
"Kuda ini tiba-tiba datang dari arah kedatanganmu tadi, Candraka," jelas Rangga.
"Tidak bersama Salaya?" tanya Candraka.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Sedangkan Candraka mengamati kuda yang sangat dikenalinya ini. Dihampirinya kuda itu. Sejenak terlintas di kepalanya, saat melihat selintas seekor kuda berbelok dan terus menghilang dari rumah Andira. Kuda itu memang berwarna putih. Tapi tidak pernah sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau.... Candraka tidak meneruskan. Dia tidak yakin kalau kuda ini yang tadi dilihatnya.
Dia tahu betul, siapa Salaya. Adiknya tidak pernah main perempuan. Salaya selalu merasa takut bila berdekatan dengan wanita. Demikian pula bila bergaul dengan laki-laki. Kebenciannya seketika timbul. Karena, setiap pemuda seusianya di desa ini selalu mengejek dan mencemoohkannya. Bahkan tidak sedikit orang-orang tua yang melarang anaknya bergaul dengan Salaya. Katanya, takut ketularan. Entah ketularan apa! Mungkin mereka takut anak laki-lakinya mengikuti jejak Salaya yang bersikap seperti wanita.
"Candraka, apa Salaya sering meninggalkan kudanya begitu saja?" tanya Rangga.
"Salaya begitu menyukai kuda itu. Dia tidak pernah meninggalkannya begitu saja. Apalagi membiarkannya pergi sendiri," sahut Candraka.
"Sebaiknya kita cari adikmu. Barangkali dia mengalami sesuatu, dan menyuruh kuda itu pulang untuk memberi tahu," Rangga menduga-duga.
"Kuda ini sudah terlatih. Dia bisa menunjukkan, di mana Salaya berada," jelas Candraka.
"Itu lebih bagus," sambut Rangga.
Candraka mengambil tali kekang kuda adiknya ini, kemudian menuntun mendekati kudanya sendiri. Pemuda itu melompat naik kepunggung kudanya. Rangga juga bergegas naik kepunggung kudanya. Kemudian mereka bergerak meninggalkan tepian sungai itu. Candraka membiarkan kuda putih berkaki belang coklat itu berjalan didepan. Dia hanya memegangi ujung tali kekangnya saja, dan mengikuti dari belakang. Sementara Rangga mensejajarkan langkah kudanya di samping kanan putra kepala desa itu.
"Ada apa, Candraka?" tanya Rangga melihat kening pemuda itu berkerut.
"Ah! Tidak apa-apa," sahut Candraka buru-buru.
Candraka tadi sempat tertegun, karena jalan yang dilaluinya kini menuju rumah Andira. Hanya satu jalan ini yang menuju ke sana dari sungai. Tikungan jalan yang menuju ke perkampungan padat, sudah terlewati. Dan Candraka yakin sekali, kalau tidak ada tujuan lain jika melalui jalan ini. Dia jadi bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah Salaya sekarang ada di rumah Andira...? Namun Candraka tidak ingin menduga terlalu jauh. Hatinya tidak yakin kalau adiknya bermain-main dengan perempuan pelacur itu.
Candraka cepat menghentikan kuda itu saat berbelok menuju rumah Andira. Dari tikungan jalan ini, rumah itu sudah terlihat jelas sekali. Rangga ikut menghentikan ayunan kaki kudanya. Sebentar matanya memandang ke arah rumah yang menyendiri dan jauh dari pemukiman penduduk itu. Sebentar kemudian ditatapnya Candraka yang berada di sampingnya.
"Ada apa, Candraka?" tanya Rangga.
"Sebaiknya kau saja yang ke sana sendiri, Rangga. Aku akan mengawasi dari sini," ujar Candraka tanpa menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa? Siapa pemilik rumah itu?" tanya Rangga jadi heran.
"Aku tidak bisa menjelaskannya. Aku tidak mau ke sana. Kau saja yang ke sana, Rangga," Candraka tidak mau mengatakan alasannya.
"Baiklah. Mudah-mudahan saja adikmu ada di sana," Rangga menyerah.
Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya perlahan, mendekati rumah itu. Sementara Candraka menyembunyikan kuda miliknya sendiri dan kuda adiknya ke dalam semak di belokan jalan. Dia sendiri menyembunyikan diri, sambil terus memperhatikan Rangga yang semakin dekat dengan rumah Andira.
Rangga tidak jadi mengetuk, karena pintu itu sudah terbuka. Dari dalam, muncul seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Dia tersenyum ramah, seraya menganggukkan kepala dalam-dalam ketika menyambut kedatangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga melangkah masuk begitu dipersilakan. Dipandanginya keadaan ruangan yang agak berantakan.
"Ada yang bisa kubantu, Den?" tanya laki-laki tua yang ternyata adalah Ki Rasut.
"Kau pemilik rumah ini?" Rangga malah balik bertanya.
"Bukan, Aku hanya pelayan di sini," sahut Ki Rasut.
"Aku ingin bertemu pemiliknya," kata Rangga.
"Oh, tentu.... Semua yang datang ke sini pasti ingin menemui pemilik rumah ini. Jangan khawatir, Den. Pelayanan majikanku sangat luar biasa. Raden pasti betah dan selalu teringat akan kecantikan dan kemolekan tubuhnya," jelas Ki Rasut seraya tersenyum menyeringai.
Rangga jadi tertegun mendengar ucapan laki-laki tua ini. Tapi belum sempat mulutnya terbuka, Ki Rasut sudah meninggalkan ruangan itu. Sementara Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan ruangan yang agak berantakan ini.
Sementara Ki Rasut sudah berada di dalam sebuah kamar belakang yang berukuran tidak begitu besar. Bergegas ditutupnya pintu kamar itu. Dia sedikit meringis melihat di atas pembaringan, Andira tergolek hanya ditutupi selembar kain tipis. Di sampingnya terbaring seorang pemuda yang tidak bisa dikatakan tampan, tapi lebih tepat kalau disebut cantik. Karena, wajah, bentuk tubuh, serta kulitnya, lebih mirip wanita daripada laki-laki.
"Maaf, Nyai Andira. Ada sesuatu yang penting," ujar Ki Rasut.
"Katakan saja," pinta Andira.
Ki Rasut melirik pemuda yang tak lain Salaya. Sedangkan pemuda itu seakan-akan tidak peduli, tapi malah melingkarkan tangannya ke pinggang Andira yang ramping dan indah. Andira melepaskan pelukan itu. Pakaiannya kemudian diraih, dan cepat dikenakannya. Lalu wanita itu beranjak turun dan pembaringan.
"Jangan ke mana-mana, Salaya. Aku segera kembali," ujar Andira berpesan seraya memberi satu kecupan lembut di bibir pemuda itu.
Salaya hanya mengangguk saja. Andira bergegas menghampiri Ki Rasut Mereka kemudian melangkah keluar dari kamar itu. Ki Rasut menutup pintu kembali. Digamitnya tangan Andira dan dibawanya mendekati pintu Iain. Sedikit dibukanya pintu itu, lalu meminta Andira untuk mengintip dari celah pintu. Andira langsung tersentak. Kedua matanya terbeliak setelah mengintip dari celah pintu yang langsung berhubungan dengan ruangan depan rumah ini. Di ruangan yang agak berantakan itu, tampak Rangga sedang mengamati keadaan sekelilingnya. Hati-hati sekali Andira menutup pintu itu kembali, lalu melangkah menjauhinya.
Ki Rasut mengikuti. Mereka masuk ke dalam kamar lain.
"Apa maksudnya dia ke sini...?" tanya Andira setengah berbisik, setelah berada didalam kamar lain. Hanya ada sebuah pembaringan dan dua buah kursi di dalam kamar yang berukuran tidak terlalu besar ini. Tapi, keadaannya cukup rapi dan bersih.
"Aku tidak tahu. Dia ingin bertemu pemilik rumah ini," sahut Ki Rasut.
"Kau katakan ada pemiliknya?" tanya Andira lagi. Ki Rasut mengangguk.
"Kau sebutkan namaku?"
"Tidak."
"Ahhh...," Andira mendesah panjang.
"Untung dia tidak mengenal rupamu, Ki. Tapi dia mengenalku. Dan itu jangan sampai terjadi."
"Lantas, apa yang harus kulakukan?" tanya Ki Rasut jadi bingung.
"Katakan kalau aku sedang keluar," sahut Andira.
"Kalau dia menunggu?"
"Terserah kau, bagaimana caranya agar dia cepat-cepat pergi."
Ki Rasut bergegas keluar dari kamar itu. Sementara Andira menghembuskan napas panjang seraya menyandarkan punggungnya kedinding. Di luar sana, Ki Rasut kemudian menggunakan caranya agar Pendekar Rajawali Sakti pergi dari situ. Dan memang, tak lama kemudian Rangga berlalu.
"Dari mana dia tahu rumah ini...?" Andira bertanya-tanya sendiri. Bergegas wanita itu keluar dari kamar ini, dan kembali ke kamar. Di situ, Salaya seperti tak sabar menunggu. Wanita itu memberi senyuman manis begitu berada di kamar. Salaya membalasnya dengan senyuman manis pula. Pemuda itu sudah berpakaian kembali.
"Ada apa Ki Rasut memanggilmu?" tanya Salaya.
"Ada persoalan sedikit," sahut Andira.
"Persoalan apa?"
"Tamu ayahmu datang ke sini."
Salaya tersentak kaget. Dipandanginya Andira dalam-dalam.
"Jangan khawatir, Salaya. Dia tidak tahu kalau kau ada di sini," hibur Andira lembut.
"Bukan itu yang kucemaskan. Tapi untuk apa dia datang ke sini...?"
"Mencariku," tenang sekali suara Andira.
"Mencarimu? Untuk apa, Andira...?"
"Kau tahu bukan, maksud kedatangannya ke desa ini?" Andira malah balik bertanya.
"Ya! Tapi apa hubungannya denganmu, Andira?"
"Akulah yang dicarinya."
"Kau...?" Salaya memandangi wanita itu tidak percaya.
"Sekarang kau sudah tahu, siapa aku sebenarnya, Salaya. Aku adalah buronan Karang Setra. Dan tamu ayahmu itu sebenarnya Raja Karang Setra. Dia juga bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis yang semalam bertarung denganmu adalah Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut," tenang sekali suara Andira menjelaskan siapa dirinya pada pemuda itu.
"Tidak mungkin.... Kau pasti bergurau, Andira,'' Salaya masih belum percaya kalau wanita secantik Andira adalah seorang buronan.
"Aku tidak bergurau. Memang itulah kenyataannya."
"Tapi..., untuk apa kau lakukan itu?"
"Sama sepertimu. Semua ini kulakukan karena dendam dan sakit hati yang berkepanjangan. Ibuku seorang selir di Karang Setra. Dan begitu jabatan Adipati Karang Setra jatuh ke tangan Rangga, semuanya berubah. Ibuku sengsara, Lalu aku jadi permainan laki-laki. Tak sedikit pun kekayaan Karang Setra yang bisa ku nikmati. Aku hanya mengambil sedikit hakku, hak ibuku yang mati merana karena kemiskinan yang berkepanjangan. Dua purnama yang lalu, aku pergi keKarang Setra. Aku hanya mengambil barang-barang berharga dari Istana Karang Setra. Memang semua itu terbuat dari emas murni yang tentu mahal sekali harganya. Aku bisa jadi kaya dengan benda-benda itu, Salaya. bahkan bisa memperkuat diri untuk membalas dendam pada keluarga Adipati Arya Permadi, ayah kandung Rangga," jelas Andira, panjang lebar.
"Andira, aku tidak ingin mempercayai ceritamu. Tapi kenapa semua dendammu kau lampiaskan di desa ini?"
"Desa Ragasari termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Ini sebagian dari rencanaku, Salaya. Sedikit demi sedikit, aku akan melemahkan dan mengacaukan desa-desa diseluruh Karang Setra. Maaf, aku harus melibatkan dan menjadikanmu seorang yang ditakuti di desa ini. Tapi perlu kau ketahui, semua itu kulakukan untuk membalas dendam. Juga, membantu membalaskan sakit hatimu pada mereka yang menghina dan mengejekmu selama ini"
"Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan. Hanya kau yang menganggapku Laki-laki. Bahkan ayahku, dan kakakku sendiri tidak pernah memandangku sebagai laki-laki. Sudah terlalu banyak yang kau lakukan untukku, Andira. Selama lima tahun ini, kau dan Ki Rasut menggemblengku dengan ilmu-ilmu kedigdayaan, tanpa seorang pun tahu. Hingga, aku dapat membalas sakit hatiku pada mereka. Andira..., izinkan aku terus bersamamu. Ke mana kau pergi, dan apa yang kau lakukan, aku harus selalu disisimu. Hanya kau yang bisa mengerti tentang diriku," kata Salaya berharap.
"Aku seorang buronan, Salaya," kata Andira.
"Aku tidak peduli."
"Aku ini pelacur, seperti yang dituduhkan kakakmu padaku."
"Siapa pun dirimu, aku tidak peduli," tegas Salaya.
"Kau bersungguh-sungguh, Salaya?"
"Apa yang harus kulakukan untuk membuktikan kesungguhanku, Andira?"
Andira menjatuhkan diri ke dalam pelukan pemuda itu. Dengan lembut, dikecupnya bibir Salaya, dan dikulumnya dalam-dalam. Perlahan bibirnya dilepaskan dari bibir pemuda itu. Kemudian, dipandangnya wajah itu lekat-lekat.
"Malam nanti, kita bumi hanguskan Desa Ragasari. Lalu, kita pergi dari sini sejauh-jauhnya, sampai tak seorang pun yang bisa menemukan kita, Salaya," tegas Andira, lembut.
"Apakah setelah itu si Anggrek Hitam tidak ada lagi?"
"Rupanya kau sudah begitu lekat dengan Anggrek Hitam, Salaya."
"Rasanya aku tidak bisa lagi dipisahkan dengan Anggrek Hitam."
"Kau akan menjadi pendampingku, sekaligus pelindungku yang paling perkasa, Salaya."
"Ya! Dan kau adalah permaisuriku yang paling cantik." Salaya mengangkat tubuh ramping wanita itu, dan berputaran beberapa kali.
Andira tertawa terkikik manja. Tangannya dilingkarkan di leher pemuda itu. Mereka sama-sama terpekik begitu jatuh ke pembaringan. Salaya langsung melumat bibir wanita itu dalam-dalam, dan mengulumnya penuh gairah yang menggelora.
"Ah! Kau nakal, Salaya," desah Andira seraya menggeliat dari himpitan pemuda itu.
"Kau cantik."
"Auwh...!"
"Ha ha ha...!"
***
DELAPAN
Waktu memang terus berputar. Siang pun berganti malam. Dan tugas sang mentari kini sudah digantikan sang dewi malam, dengan sinarnya yang lembut dan anggun. Namun suasana di Desa Ragasari tidak juga berubah. Tetap sunyi lengang bagaikan tak berpenghuni. Diantara kesunyian itu, terlihat tiga sosok tubuh hitam berkelebatan cepat melintasi jalan tanah berdebu.
Dari gerakan mereka yang cepat dan ringan, sudah dapat dipastikan kalau rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Ketiga sosok itu berhenti tepat di tengah-tengah jalan, di antara rumah-rumah penduduk. Mereka terdiri dari seorang laki-laki tua, seorang wanita cantik, dan seorang lagi yang mengenakan topeng tengkorak
"Ingat, jangan terpisah. Begitu api berkobar, cepat tinggalkan desa ini," jelas wanita cantik yang tak lain adalah Andira.
Wanita yang kini mengenakan baju hitam ketat itu, menatap manusia bertopeng tengkorak. Seluruh penduduk Desa Ragasari mengenalnya dengan julukan si Anggrek Hitam. Karena, senjata mautnya berupa anggrek berwarna hitam.
"Kau sudah siap, Salaya?" tanya Andira.
"Jangan ragukan lagi diriku, Andira," sahut si Anggrek Hitam itu.
"Ini desa kelahiranmu, Salaya."
"Aku tidak peduli, sekali pun harus membakar rumah ayahku sendiri. Laksanakan saja, akan kuhadang siapa saja yang berani menghalangi," mantap sekali nada suara si Anggrek Hitam yang dipanggil Salaya oleh Andira.
"Ki Rasut..," Andira menatap Laki-laki tua disampingnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Rasut menyalakan obor. Langsung dilemparkannya keatas atap salah satu rumah di dekatnya. Si Anggrek Hitam yang sebenarnya adalah Salaya juga segera menyalakan obor, lalu melemparkannya keatap rumah lain. Begitu juga Andira, melakukan hal yang sama. Sebentar saja api sudah berkobar cepat, melahap rumah-rumah di Desa Ragasari itu. Namun ada sesuatu kejanggalan yang terjadi. Dan ini cepat diperhatikan Andira.
"Tunggu...!" seru Andira tiba-tiba.
Ki Rasut dan Anggrek Hitam tidak jadi melemparkan obor yang sudah menyala ditangannya. Mereka berbarengan berpaling, menatap wanita cantik itu.
"Apa kalian tidak melihat ada keanehan disini...?" tanya Andira.
Anggrek Hitam dan Ki Rasut saling berpandangan. Mereka tidak mengerti pertanyaan Andira barusan. Kedua orang itu tidak merasakan adanya sesuatu, tapi Andira justru merasakan adanya kejanggalan disekitar desa ini.
"Ada apa, Andira? Kenapa kau hentikan?" tanya Anggrek Hitam.
"Kalian perhatikan. Hampir semua rumah sudah terbakar, tapi tak seorang pun terlihat keluar dari rumahnya. Apa kalian tidak melihat kejanggalan ini?"
"Celaka...!" sentak Anggrek Hitam mendesis.
"Cepat kita pergi dari sini!" seru Andira memberi perintah.
Belum juga mereka bergerak meninggalkan desa yang terbakar itu, mendadak saja beberapa tubuh berkelebatan, seakan-akan keluar dari api yang berkobar besar membakar rumah-rumah itu. Tampak, Rangga, Pandan Wangi, Candraka, dan Ki Anggarasana, serta empat orang pengawal khusus kepala desa itu sudah berdiri menghadang.
Sebenarnya, Candraka terkejut sekali melihat keterlibatan Andira dengan Anggrek Hitam dalam masalah ini. Tapi mengingat kecintaannya pada desa kelahiran, ditambah rasa cemburu yang mendera dadanya, membuat pemuda itu harus menyingkirkan jauh-jauh rasa cintanya terhadap Andira. Apalagi setelah melihat kenyataan ini. Ternyata Andira bersekongkol dengan Anggrek Hitam.
"Kalian tidak bisa pergi begitu saja. Kalian harus bertanggung jawab!" desis Ki Anggarasana dingin, meskipun udara di sekitarnya terasa panas oleh api yang semakin besar berkobar.
"Bunuh mereka semua, Anggrek Hitam!" perintah Andira lantang.
Tanpa diperintah dua kali, Anggrek Hitam mengibaskan tangan kanannya ke depan, sambil memiringkan tubuh ke kiri. Seketika itu juga, bunga-bunga anggrek hitam berhamburan dari telapak tangan kanannya.
"Awas...!" seru Rangga memperingatkan.
"Hiyaaat..!" Pandan Wangi cepat mencabut kipas baja putihnya, dan mengebutkannya begitu terbuka mengembang. Si Kipas Maut cepat berlompatan menyampok bunga-bunga anggrek hitam itu. Candraka dan Ki Anggarasana juga cepat mencabut pedangnya. Mereka berlompatan sambil memutar pedangnya dengan cepat.
Candraka sengaja tidak mau berhadapan dengan Andira, karena biar bagaimanapun, perasaan cinta masih terselip di hatinya. Maka dia lebih memilih mengeroyok Anggrek Hitam. Apalagi sosok berbaju hitam dan bertopeng tengkorak itu adalah biang kerusuhan di desanya. Pada saat itu terdengar beberapa jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul.
Terlihat empat orang yang berada dibelakang Ki Anggarasana bergelimpangan tersambar bunga-bunga anggrek hitam yang dilontarkan si Anggrek Hitam itu.
"Kau sudah cukup merepotkan aku, Andira," desis Rangga begitu mendarat sekitar lima langkah di depan Andira dan Ki Rasut.
"Serang dia, Ki Rasut!" perintah Andira.
"Hiyaaat..!" Tanpa menunggu perintah dua kali, Ki Rasut cepat melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Sret! Bet!
Laki-laki tua itu langsung mencabut goloknya, dan secepat kilat mengibaskannya kearah leher pemuda berbaju rompi putih itu. Namun hanya dengan menarik sedikit kepala kebelakang, Rangga berhasil mengelakkan tebasan golok itu. Hanya sedikit saja ujung golok yang cukup besar itu lewat di depan lehernya.
Beberapa kali Ki Rasut menebaskan goloknya ke tubuh Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti selalu berhasil mengelak dengan manis sekali. Tak satu pun serangan Ki Rasut yang berhasil mengenai sasaran. Bahkan sudah beberapa kali laki-laki tua itu terpaksa menerima pukulan dan tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara di tempat lain, Anggrek Hitam terus melancarkan serangannya. Bunga-bunga anggrek hitamnya dilontarkan, menghujani Pandan Wangi, Ki Anggarasana, dan Candraka. Sementara semua pengawal Ki Anggarasana sudah tidak ada lagi yang hidup. Mereka sudah tergeletak tak bernyawa, tertembus senjata beracun itu.
Sedangkan di lain tempat, tampak Andira memperhatikan jalannya pertarungan antara Ki Rasut melawan Pendekar Rajawali Sakti. Wanita berwajah cantik itu tampak cemas melihat Ki Rasut terus terdesak, tak mampu lagi mengimbangi pendekar muda berbaju rompi putih itu.
"Kesempatan.... Aku harus pergi dari sini. Masa bodoh dengan mereka!" dengus Andira menggumam perlahan.
Saat itu, memang banyak sekali kesempatan bagi Andira untuk meninggalkan desa ini. Dan rupanya kesempatan baik ini tidak ingin disia-siakan. Tanpa mempedulikan Ki Rasut dan Anggrek Hitam, wanita itu cepat melesat pergi. Namun, kepergiannya diketahui Pandan Wangi.
"Setan! Jangan lari kau...! Hiyaaat..!" teriak Pandan Wangi lantang.
Bagaikan kilat, si Kipas Maut melentingkan tubuh ke udara, sambil mengibaskan kipas baja putihnya beberapa kali untuk menangkis bunga-bunga anggrek hitam yang dilontarkan manusia bertopeng tengkorak itu. Cepat sekali gerakan gadis itu. Dia langsung meluruk deras mengejar Andira yang terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali melesat cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
"Hiyaaat..!"
Beberapa kali Pandan Wangi berputaran diudara, dan kini berhasil melewati kepala Andira. Setelah melakukan putaran dua kali lagi, gadis itu mendarat. Langsung dihadangnya Andira, sehingga membuat wanita cantik berbaju hitam itu terkejut. Sungguh tidak disangka kalau Pandan Wangi berhasil mengejarnya. Bahkan kini berdiri menghadang. Andira cepat menghentikan larinya. Dan seketika itu juga, tangan kanannya dikibaskan cepat kedepan.
"Yeaaah...!"
"Huh!"
Pandan Wangi kembali cepat melentingkan tubuh ke udara, begitu beberapa buah benda berwarna hitam terlihat meluncur deras dari tangan wanita itu. Benda-benda hitam itu melesat, lewat di bawah tubuh si Kipas Maut. Dan dengan manis sekali Pandan Wangi kembali mendarat di tanah, tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Andira.
Bet! Pandan Wangi langsung mengebutkan kipasnya ke arah dada Andira. Namun wanita berbaju hitam itu berhasil menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit kebelakang. Dan sebelum Pandan Wangi bisa menarik tangan kembali, Andira sudah melepaskan satu sodokan keras dengan tangan kirinya.
"Hih!"
"Uts...!"
Cepat sekali Pandan Wangi memiringkan tubuh ke kanan, dan secepat itu pula kipasnya ditebaskan ke tangan Andira. Namun wanita berbaju hitam itu sudah menarik pulang tangannya. Dan tanpa diduga sama sekali, dia melompat ke atas sambil memutar tubuh. Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan Andira dengan cepat.
"Yeaaah...!"
Pandan Wangi terhenyak kaget, karena tidak menyangka kalau Andira mampu melakukan gerakan begitu cepat luar biasa. Buru-buru si Kipas Maut itu merundukkan kepala, menghindari tendangan Andira. Desir angin keras terasa, begitu kaki Andira melewati ujung kepala Pandan Wangi. Bergegas gadis berbaju biru itu menarik kakinya kebelakang. Saat itu dirasakannya ada aliran hawa panas disekitarnya.
"Huh! Jurus-jurusnya sama persis dengan si Anggrek Hitam. Tapi ini lebih dahsyat" dengus Pandan Wangi di dalam hati.
Pandan Wangi jadi berpikir, apakah si Anggrek Hitam itu adalah Andira? Tapi yang sedang dihadapi Ki Anggarasana dan Candraka sekarang juga si Anggrek Hitam. Pandan Wangi tidak sempat lagi berpikir jauh, karena Andira sudah menyerang kembali. Dan kali ini serangan-serangan yang dilancarkan wanita berbaju hitam itu lebih dahsyat dari yang sebelumnya.
"Modar! Yeaaah...!" teriak Andira tiba-tiba.
Seketika itu juga, Andira melentingkan tubuhnya ke udara. Tangan kanannya langsung dikebutkan cepat beberapa kali. Beberapa buah benda berwarna hitam, seketika berhamburan menghujani Pandan Wangi. Dan selagi si Kipas Maut itu sibuk menghindari serangan benda-benda hitam, mendadak saja Andira meluruk deras. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
"Akh...!" Pandan Wangi memekik agak tertahan. Pukulan yang dilepaskan Andira, tepat menghantam dada gadis itu. Seketika Pandan Wangi terjengkang ke belakang, sejauh lima langkah. Dan begitu tubuh Pandan Wangi menghantam tanah, cepat sekali Andira mengebutkan tangan kanannya kembali. Maka dua buah benda berwarna hitam berbentuk bulat sebesar mata kucing seketika terlontar. Pandan Wangi hanya mampu terbeliak. Memang tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Namun tinggal sejengkal lagi benda-benda itu menghantam dadanya, mendadak saja....
Trang!
Secercah cahaya biru berkilau, berkelebat cepat di depan dada Pandan Wangi. Seketika dua buah benda bulat berwarna hitam itu terpental jauh ke angkasa. Entah bagaimana mulanya, tahu-tahu di depan Pandan Wangi sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang bersinar biru menyilaukan tersilang di depan dada.
Cring!
Pendekar Rajawali Sake memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka dipunggung. Seketika cahaya biru terang menyilaukan Lenyap, bersamaan dengan masuknya pedang itu ke dalam warangka. Kedatangan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat Andira terkejut setengah mati. Wajahnya sempat berpaling, memandang ketempat Rangga bertarung dengan Ki Rasut tadi. Tampak laki-laki tua itu sudah tergeletak tak bernyawa lagi, dengan darah mengucur dari dadanya.
"Sebaiknya menyerah saja, Andira. Tidak ada gunanya tetap bertahan," bujuk Rangga.
"Kau boleh bangga bisa membunuh Ki Rasut! Tapi jangan harap dapat menyentuhku, Rangga!" dengus Andira membentak.
"Baiklah! aku akan memberi keringanan padamu, Andira. Kau boleh pergi ke mana saja kau suka. Tapi, kau harus mengembalikan benda-benda yang kau curi dari istana," kata Rangga kembali membujuk.
"Kembalikan...? Heh! Itu milikku, tahu! Aku hanya mengambil hakku. Dan itu tidak ada artinya dibandingkan kekayaan yang kau kuasai sekarang ini, Rangga. Malah, seharusnya aku berhak sepertiga atas kekayaan Karang Setra!" agak keras nada suara Andira.
"Ibumu sudah memperoleh haknya, Andira. Kalau sampai habis, dan kau tidak memperoleh sedikit pun, itu kesalahan ibumu sendiri yang menghambur-hamburkannya di meja judi," jelas Rangga, membeberkan yang sebenarnya.
"Ibu kecewa karena kau membagi secara tidak adil! Kau pilih kasih. Bahkan mengusir aku dan ibuku dari istana, sementara yang lain kau izinkan tinggal di istana!"
"Itu tidak benar, Andira. Ibumu sendiri yang menginginkan keluar dari istana. Aku sudah memberinya tempat tinggal yang layak, harta yang cukup. Bahkan sebenarnya kau masih mempunyai hak untuk tinggal di istana. Kau masih memiliki tunjangan seperti putra-putra selir lainnya. Tapi, kau tidak pernah sudi datang ke istana. Bahkan beberapa kali aku mengutus orang untuk memintamu dan ibumu datang, tapi ibumu malah menolak dan mengusir setiap utusan yang datang."
"Kau dusta! Bohong...! Kau harus mati ditanganku, Rangga! Hiyaaat..!" Andira jadi kalap.
"Andira, tunggu...!" sentak Rangga. "Dimana harta benda yang kau curi itu?"
"Ha ha ha...! Jangan mimpi dulu, Rangga! Kau tidak akan pernah sampai ke rumahku yang kau datangi tadi siang. Karena kau akan mati ditanganku! Hiyaaat..!"
Tapi Andira tidak peduli lagi. Dia sudah melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua pukulan bertenaga dalam tinggi dilepaskan Andira secara beruntun. Tubuh Rangga cepat meliuk menghindari serangan itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat mundur beberapa langkah. Namun Andira segera melakukan serangan kembali. Beberapa pukulan dilontarkan tanpa henti, membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit kerepotan juga menghindarinya.
Terpaksa Rangga menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga membuat serangan-serangan yang dilancarkan Andira jadi mentah. Tak satu pun yang berhasil bersarang ditubuh Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat wanita cantik itu semakin berang, karena Rangga seperti enggan bertarung. Gerakan-gerakannya bagaikan seorang peminum yang kebanyakan arak. Tidak beraturan sama sekali. Namun sukar bagi Andira untuk menyarangkan pukulannya.
"Jangan membabi buta, Andira. Hentikan...!" sentak Rangga keras.
"Kau harus mampus, Rangga! Hiyaaat..!"
"Uts...!"
Hampir saja satu pukulan keras menghantam dada, kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak segera menarik tubuh ke kanan. Dan begitu tangan Andira lewat di depan dada, cepat Rangga memberi satu sodokan ke bagian lambung wanita itu. Gerakan Rangga begitu cepat, diimbangi liukan tubuh yang indah. Akibatnya Andira tak sempat lagi menghindar.
"Begkh!
"Ugkh...!" Andira mengeluh pelan.
Tubuh wanita itu terhuyung-huyung ke belakang, agak membungkuk. Seketika Adira merasakan perutnya jadi mual, terkena sodokan tangan Rangga yang begitu keras. Namun, wanita itu cepat mengibaskan tangan kanannya, sambil melentingkan tubuh berputar ke belakang. Sebuah benda bulat berwarna hitam pekat melesat cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Rangga bergegas miring ke kiri, maka benda hitam itu lewat di samping tubuhnya. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat menerjang Andira yang masih menguasai keseimbangan tubuhnya. Satu pukulan keras dilontarkannya ke arah dada.
"Hiyaaat..!"
"Ufs!"
Andira cepat membanting tubuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun begitu melompat bangkit berdiri, mendadak saja Rangga sudah melepaskan satu tendangan keras tanpa disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga. Gerakan kakinya memang begitu cepat, sehingga Andira tak sempat lagi menghindar. Akibatnya, tendangan Rangga berhasil menghantam dada wanita berbaju hitam itu.
Des! "Akh...!" Andira terpekik agak tertahan. Meskipun tendangan Rangga tidak disertai pengerahan tenaga dalam, namun keras sekali. Akibatnya Andira terpental kebelakang beberapa langkah. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melesat mendahului Rangga.
"Biar kubereskan, Kakang! Hiyaaat..!" seru Pandan Wangi lantang.
"Pandan, jangan...!" sentak Rangga terkejut.
Namun Pandan Wangi sudah cepat mengibaskan kipasnya. Dalam keadaan tubuh tidak seimbang, Andira tidak mampu bergerak menghindari serangan Pandan Wangi yang begitu cepat dan mendadak.
Bret!
"Akh...!" lagi-lagi Andira terpekik keras agak tertahan. Ujung kipas Pandan Wangi berhasil merobek perut Andira. Seketika, darah mengucur deras dari luka di bagian perut wanita itu. Andira bergegas melompat kebelakang, namun sedikit terhuyung begitu kakinya menjejak tanah. Darah terus bercucuran dari luka di perutnya.
"Manusia tidak tahu diuntung! Mampus kau, hiyaaat..!" geram Pandan Wangi seraya berteriak nyaring. Si Kipas Maut itu kembali melancarkan serangan cepat dan dahsyat Gadis itu memang sudah muak atas kelakuan Andira. Semenjak diKarang Setra, Pandan Wangi memang sudah tidak menyukai tingkah laku gadis ini, yang begitu bebas dan tak terkendali.
Bet!
Cepat sekali Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke arah leher Andira. Namun sebelum kipas maut itu merobek leher yang putih jenjang itu, mendadak saja....
Takkk!
"Heh...?!" Pandan Wangi tersentak kaget. Tiba-tiba saja kipasnya terpental balik. Dan lebih terkejut lagi, setelah mengetahui kalau yang menghalangi serangannya ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri diantara kedua wanita ini.
"Kau tidak perlu membunuhnya, Pandan," desis Rangga mengingatkan.
"Perempuan iblis ini tidak pantas lagi hidup, Kakang!" dengus Pandan Wangi.
"Kendalikan dirimu, Pandan."
"Huh...!" Pandan Wangi mendengus kesal.
Rangga tahu, kemarahan Pandan Wangi diakibatkan api cemburu. Gadis itu memang sempat marah, ketika untuk pertama kalinya Andira datang memenuhi undangan Rangga. Sikapnya sangat memuakkan, dan selalu mencari perhatian Pendekar Rajawali Sakti dengan kata-kata rayuan yang tidak pantas diucapkan seorang wanita baik-baik. Tapi, semua itu akhirnya dapat diatasi oleh Rangga.
"Awas, Kakang...!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.
"Uts...!" Rangga segera merunduk ketika tiba-tiba saja merasakan desiran angin yang kuat menyambar ke arahnya. Saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat bagaikan kilat. Langsung dilewatinya kepala Pendekar Rajawali Sakti. Kipas mautnya segera dikebutkan ke arah dada Andira yang pada saat itu baru saja melontarkan sebuah senjata berbentuk bulatan hitam sebesar mata kucing kearah Rangga.
Serangan Pandan Wangi yang begitu cepat dan tidak terduga, tak dapat dihindari lagi. Terlebih-lebih keadaan Andira memang sudah melemah, akibat terlalu banyak kehilangan darah. Meskipun sudah berusaha menghindar, namun tebasan kipas Pandan Wangi masih juga merobek lehernya.
Crasss!
"Aaa...!" Andira memekik melengking tinggi. Sebentar wanita itu masih mampu berdiri, kemudian terhuyung-huyung dan ambruk menggelepar di tanah. Darah muncrat dengan deras dari lehernya yang koyak tersabet senjata maut Pandan Wangi. Rangga bergegas menghampiri wanita itu. Dan begitu tubuhnya disentak, Andira langsung mengejang. Kemudian, tergolek tak bernyawa lagi.
Rangga menghembuskan napasnya kuat-kuat. Wajahnya berpaling menatap Pandan Wangi. Sedangkan yang ditatap jadi tertunduk. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri, dan menghampiri Pandan Wangi yang terus tertunduk.
"Maaf, Kakang. Aku tidak bisa mengendalikan diri," ucap Pandan Wangi.
"Sudahlah.... Semua sudah terjadi," ujar Rangga agak mendesah.
Pada saat itu, Ki Anggarasana dan Candraka datang menghampiri. Rangga dan Pandan Wangi berpaling hampir bersamaan. Seluruh tubuh Ki Anggarasana dan putranya telah dibasahi keringat. Napas mereka juga tersengal begitu dekat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra.
"Dia kabur...," kata Candraka dengan napas yang masih terengah-engah. Mata pemuda itu agak melirik ke sosok mayat wanita yang memang Andira. Hatinya terus terang agak tercekat. Namun, hal itu harus disembunyikan, mengingat di sini ada ayahnya yang jelas-jelas memusuhi Andira.
"Siapa?" tanya Pandan Wangi.
"Anggrek Hitam," Ki Anggarasana yang menyahuti.
"Sebaiknya dibiarkan saja, Ki. Aku yakin, dia tidak akan kembali lagi ke desa ini," ujar Rangga.
"Sebab, biang keladi semua ini sebenarnya adalah Andira."
"Aku hanya berharap agar dia tidak kembali lagi, Rangga," sahut Ki Anggarasana masih agak terengah-engah.
"Ini yang kedua kali, Ayah. Dia pasti kembali lagi," selak Candraka.
"Kalau kembali lagi, kau bisa meminta menghubungi kami di Istana Karang Setra, Candraka."
"Terima kasih," ucap Ki Anggarasana yang masih belum tahu kalau yang dihadapinya adalah Raja Karang Setra. Padahal, desa yang dipimpinnya masih di bawah kekuasaan Kerajaan Karang Setra.
"Sebaiknya cepat beri tahu penduduk untuk memadamkan api. Jangan terlalu lama dibiarkan, bisa habis semua rumah di desa ini," kata Rangga mengingatkan.
"Oh, iya.... Cepat beri tahu mereka, Candraka," perintah Ki Anggarasana.
Tanpa membantah sedikit pun, Candraka bergegas berlari untuk memberi tahu penduduk yang sudah diungsikan ke rumah kepala desa yang besar dan luas itu. Ki Anggarasana juga bergegas melangkah pergi. Tinggallah Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap berada ditempatnya.
"Apakah kau sudah tahu kalau si Anggrek Hitam itu adalah Salaya, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Sebenarnya, aku memang menduga demikian. Tapi, dari mana kau tahu kalau Salaya adalah si Anggrek Hitam?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Lho? Apa kau tidak ingat ketika sehabis pertarunganku dengan si Anggrek Hitam, Salaya tidak ada di kamarnya? Dan sebelum pertarungan itu, si Anggrek Hitam menghilang, tepat didepan jendela Salaya. Bukti satu lagi, di kamarnya kau menemukan banyak anggrek hitam yang merupakan senjata rahasianya."
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati, diakui kecerdikan Pandan Wangi.
"Sekarang, apa tidak sebaiknya kita katakan pada Ki Anggarasana kalau si Anggrek Hitam adalah Salaya, anaknya sendiri, Kakang?" usul Pandan Wangi.
"Lihat keadaannya dulu, Pandan," sahut Rangga.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi tidak mengerti.
"Aku tahu, kemana Salaya pergi. Akan kucoba menyadarkannya. Kalau dia menyadari kesalahannya, rasanya tidak perlu Ki Anggarasana mengetahui. Sudah terlalu banyak beban yang ditanggungnya."
"Kalau tidak sadar juga?"
"Ya, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."
"Kau akan menghukumnya?"
"Pengadilan desa ini"
"Oh ya..., kapan kau akan mengambil harta di rumah Andira dan mengembalikannya ke Istana Karang Setra?" tanya Pandan Wangi tiba-tiba teringat pada harta yang cukup berharga itu.
"Setelah kobaran api ini padam, Pandan," jawab Rangga sambil memandangi jilatan api yang masih cukup besar.
Pada saat semua penduduk yang diungsikan mulai berdatangan. Mereka langsung bekerja memadamkan kobaran api. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak segan-segan turun tangan membantu. Sementara malam terus beranjak semakin larut. Malam yang seharusnya dingin dan tenang, kini jadi panas oleh kobaran api dan hiruk pikuk orang-orang yang mencoba memadamkannya.
Sementara Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dari kejauhan. Diam-diam Candraka datang kembali ketempat pertarungan tadi berlangsung tanpa sepengetahuan Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan Ki Anggarasana. Kemudian, dipondongnya mayat Andira. Tubuh pemuda itu melesat cepat sambil membawa mayat bekas kekasihnya, lalu hilang di kegelapan.
TAMAT