Pendekar Rajawali Sakti eps 046 : Misteri Peramal Tua

SATU
DUA ekor kuda bergerak perlahan-lahan menyusuri padang rumput yang tidak begitu luas. Terlihat sebuah jurang yang cukup panjang, membelah sepanjang kiri padang rumput itu. Penunggang dua ekor kuda itu dua orang gadis. Yang seorang mengenakan baju biru muda. Pedangnya bergagang kepala seekor ular naga hitam, dengan ikat pinggang berwarna kuning keemasan. Di balik sabuknya, terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan.

Sedangkan gadis di sebelahnya mengenakan baju warna merah muda dengan sebilah pedang tersampir di pinggang. Sesekali mereka menoleh ke arah jurang, atau ke arah bukit panjang yang berada di sebelah kanan. Dan kini hutan di depan sana sudah terlihat

“Berapa lama lagi kita sampai di Desa Weru, Kak Pandan?” tanya gadis berbaju merah muda memecah kebisuan yang sejak tadi melingkupi mereka.

“Sebelum senja nanti,” sahut gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan Wangi. Dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.

Sedangkan gadis di sebelahnya lagi mengenakan baju warna merah muda, tidak lain adalah Cempaka. Dia adik tiri Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka sudah seharian berjalan menunggang kuda, namun belum juga menemukan sebuah desa pun. Sedangkan kini mereka tengah menuju Desa Weru yang tidak berapa jauh lagi dari padang rumput ini.

“Kita istirahat dulu di sini, Kak,” ajak Cempaka yang sudah pegal seluruh tubuhnya.

Sejak pagi tadi, mereka berada di atas punggung kuda. Tanpa istirahat sedikit pun. Sedangkan saat ini, matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang terik tak begitu terasa, karena diusir oleh hembusan angin yang agak kencang, mempermainkan rambut kedua gadis itu.

“Nanti, di tepi hutan sana,” sahut Pandan Wangi seraya menunjuk hutan yang terlihat di depan sana.

“Sudah pegal rasanya pinggangku, Kak,” keluh Cempaka.

“Masih lumayan ini naik kuda, Cempaka. Biasanya aku jalan kaki,” jelas Pandan Wangi tersenyum dikulum.

Cempaka memang belum pernah mengembara, menjelajahi rimba persilatan. Maka baru kali inilah ikut mengembara bersama Pandan Wangi. Katanya ingin mencari pengalaman, di samping menguji ilmu-ilmu olah kanuragan yang dimiliki. Dan sebenarnya, Pandan Wangi tidak ingin Cempaka ikut dalam pengembaraannya mencari Pendekar Rajawali Sakti yang kini entah di mana. Tapi adik tiri Rangga itu memaksa untuk ikut. Padahal, Pandan Wangi telah menjelaskan kalau rintangannya tidak kecil.

"Pokoknya aku harus ikut...!” sentak Cempaka ketika Itu.

Waktu itu Pandan Wangi tengah mengutarakan keinginannya pada Danupaksi untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti. Dan rupanya Cempaka mendengar semua percakapan itu dari balik pintu. Maka langsung dia menerobos masuk begitu namanya disebut. Padahal, Danupaksi telah melarang Pandan Wangi untuk berpamitan pada Cempaka. Karena mereka tahu, Cempaka pasti akan ikut pula. Dan ini sebenarnya memang sudah menjadi keinginan yang mendalam di hati Cempaka untuk mengembara.

Kemunculan Cempaka yang tiba-tiba saat itu, membuat Danupaksi dan Pandan Wangi terkejut. Terlebih lagi, gadis itu tegas-tegas mengatakan kalau akan ikut mengembara. Mereka benar-benar merasa kecolongan, karena berbicara di dalam ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat. Dan sudah pasti, pembicaraan itu terdengar jelas dari luar ruangan yang cukup besar ini.

“Kalau aku tidak boleh ikut, aku akan mengembara sendiri,” rengek Cempaka.

Danupaksi sulit menahannya lagi. Dipandangnya Pandan Wangi sambil mengangkat kedua bahunya sedikit. Sedangkan Pandan Wangi sendiri juga tidak mencegah, meskipun hatinya terasa berat untuk membolehkan Cempaka ikut dalam pengembaraan nya. Karena dia tahu, betapa besar rintangan dalam mengarungi luasnya rimba persilatan yang kejam dan penuh daya tipu licik. Terlebih lagi bagi gadis-gadis yang baru mencobanya.

Dan memang selama seharian perjalanan Ini, belum ada kejadian yang berarti bagi gadis itu. Tapi Cempaka beberapa kali sudah mengeluh. Sedangkan Pandan Wangi selalu menanggapinya dengan senyuman saja. Bisa dimaklumi, karena baru kali inilah Cempaka melakukan perjalanan yang sesungguhnya. Selama ini dia ikut bersama Rangga hanya perjalanan kecil yang tidak mengandung bahaya terlalu besar. Lagi pula, Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah menyerahkan seluruh persoalan pada Cempaka.

“Kita istirahat di sini dulu, Kak,” ajak Cempaka.

“Oh...! lya,” Pandan Wangi terbangun dari lamunannya.

Mereka memang sudah sampai di tepi hutan. Dan Pandan Wangi tahu kalau tempat ini bernama Hutan Tengkorak, tapi lebih dikenal dengan nama Rimba Tengkorak. Buat Pandan Wangi, hutan ini memiliki kenangan tersendiri. Di sinilah pertama kali Rangga mengungkapkan rasa cinta padanya. Satu kenangan yang manis dan tak akan pernah terlupakan seumur hidup.

Kedua gadis itu beristirahat di tepi sungai kecil yang membatasi padang rumput dengan Rimba Tengkorak. Mereka berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan Wangi menepuk pinggul kuda putihnya yang tinggi dan tegap. Binatang ini hadiah Pendekar Rajawali Sakti. Kuda putih itu melenggang ringan mendekati sungai. Diteguknya air sungai yang sejuk banyak-banyak.

Sedangkan kuda coklat yang ditunggangi Cempaka, langsung merumput. Kedua gadis itu duduk di tepi sungai menikmati sejuknya udara siang ini. Angin yang berhembus lembut, membuat kelopak mata Cempaka terpejam. Kepenatan selama seharian menunggang kuda, seakan-akan hendak dilebur di tepi hutan ini.

Namun belum juga benar-benar menikmati istirahatnya, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara seperti orang bertarung yang tidak seberapa jauh dari tepi hutan ini. Suara-suara itu datang dari seberang sungai, dan jelas sekali terdengar. Pandan Wangi langsung melompat bangkit berdiri.

“Kau tunggu di sini, Cempaka,” kata Pandan Wangi

“Heh...! Aku ikut..!” sentak Cempaka.

Tapi Pandan Wangi sudah lebih cepat melesat, melompati sungai yang tidak seberapa lebar itu. Cempaka bergegas berdiri, dan langsung melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sementara Pandan Wangi sudah sampai di seberang sungai, dan langsung melesat masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Cempaka juga langsung saja melesat ke dalam hutan begitu kakinya menjejak tanah di seberang sungai.

Pandan Wangi tertegun begitu sampai di satu tempat yang tidak begitu lebat di dalam hutan ini. Tampak sesosok tubuh telah tergeletak berlumuran darah. Di sampingnya, tampak seorang gadis berusia sekitar lima belasan tahun tengah menangis sesenggukan sambil menutupi wajahnya. Pandan Wangi perlahan mendekati. Ditepuknya pundak gadis itu dengan lembut. Namun gadis itu malah tersentak dan memekik kaget

“Tidak apa-apa, Gadis Manis. Aku tidak akan menyakitimu,” bujuk Pandan Wangi.

Gadis berpakaian kumal dan lusuh itu memandangi Pandan Wangi dengan mata dipenuhi air bening. Bahunya masih terguncang menahan isaknya yang tertahan. Saat itu, Cempaka baru saja tiba. Dia terkejut melihat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah di depan Pandan Wangi. Sedangkan tidak jauh di seberang sosok tubuh berlumur darah itu terlihat seorang gadis belasan tahun tengah menangis sambil memandangi Pandan Wangi.

“Kak Pandan, ada apa...?” tanya Cempaka yang sudah berada di samping Pandan Wangi.

“Aku tidak tahu. Kudapati orang tua ini sudah tewas, dan anak ini menangis di sampingnya,” sahut Pandan Wangi.

Sebentar Cempaka memandangi laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu. Dada dan lehernya tersayat lebar, seperti terkena sabetan senjata tajam. Darah masih mengucur deras dari lukanya. Kemudian Cempaka memandang gadis belasan tahun yang masih menangis terisak agak tertahan. Cempaka menghampiri gadis itu, dan lembut sekali menyentuh pundaknya. Mungkin karena kelembutan Cempaka, gadis itu jadi percaya kepadanya. Bahkan malah menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu.

Maka seketika air matanya ditumpahkan di dada Cempaka. Dibiarkan saja gadis itu membasahi bajunya, dan malah dibelainya rambut yang hitam panjang dan ber-gelombang itu dengan lembut sekali. Seakan-akan dia ikut merasakan apa yang tengah dirasakan gadis ini.

“Hsss..., sudah..., sudah,” bujuk Cempaka mencoba meredakan tangis gadis itu.

Sementara Pandan Wangi memeriksa tubuh laki-laki tua yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dia sedikit tertegun melihat luka yang menganga lebar di dada dan leher. Luka yang begitu rapi, seperti tebasan senjata tajam yang dilakukan seorang berilmu tinggi.

Pandan Wangi meletakkan tangan laki-laki tua itu ke dada, kemudian mengusap wajah yang sudah pucat itu. Maka mata yang mendelik jadi tertutup. Dan mulut yang terbuka, juga mengatup kembali. Si Kipas Maut itu kemudian menghampiri Cempaka yang sudah duduk berdampingan dengan gadis belasan tahun itu. Dan tampaknya tangis gadis itu berhasil diredakannya, meskipun sesekali masih terisak sesenggukan.

“Apa yang terjadi, Dik?” tanya Pandan Wangi dengan suara lembut.

“Namanya Padmi,” celetuk Cempaka memberi tahu nama gadis itu.

Pandan Wangi menatap Cempaka sebentar. Ternyata Cempaka sudah bisa bicara dengan gadis ini. Bahkan sudah bisa mengetahui namanya segala. Kagum juga Pandan Wangi dengan cara pendekatan Cempaka yang begitu cepat membawa hasil.

“Ceritakan, Padmi. Apa sebenarnya yang terjadi...? Barangkali kami berdua bisa membantumu,” bujuk Cempaka dengan suara lembut.

“Ayah tidak punya musuh. Kami orang baik-baik.... Tapi kenapa ada orang yang membunuhnya...?” agak tersendat suara Padmi menceritakan apa yang terjadi.

Tapi apa yang dikatakan Padmi belum begitu jelas bagi Pandan Wangi maupun Cempaka. Karena Padmi tidak mengatakan, siapa pembunuh ayahnya, dan kenapa begitu tega membunuh pencari kayu bakar itu. Namun mereka memang harus bersabar. Tidak mungkin Padmi bisa begitu cepat menenangkan diri Sedangkan baru beberapa saat saja dia mendapat musibah yang mengenaskan sekali.

“Siapa yang membunuhnya, Padmi?” tanya Pandan Wangi.

Padmi tidak langsung menjawab, dan hanya menggelengkan kepalanya saja sambil menatap Pandan Wangi yang berdiri di depannya. Gelengan kepala gadis itu sudah jelas bisa diartikan. Padmi tidak mengetahui orang yang membunuh ayahnya tadi.

“Mukanya tidak jelas. Seluruh kepalanya ditutupi kain hitam,” jelas Padmi.

Pandan Wangi dan Cempaka saling berpandangan. Bagi Pandan Wangi yang sudah kenyang makan asam garam dalam rimba persilatan, sudah tidak asing lagi dengan pembunuh seperti ini. Pembunuh itu sengaja menyembunyikan wajahnya agar tidak diketahui orang lain. Dan sudah bisa ditebak kalau pembunuh itu mengenal korbannya. Dan yang pasti, si korban pun mengenal pembunuh itu, sehingga mukanya perlu diselubungi agar tidak dikenali

“Di mana rumahmu, Adik Manis?” tanya Pandan Wangi lembut.

Pandan Wangi merasa tidak ada gunanya mendesak Padmi agar menceritakan apa yang terjadi pada ayahnya. Dan dia ingin mengantarkan pulang gadis ini ke rumahnya, lalu melupakan semua yang ada di hutan ini. Memang hanya itu yang bisa dilakukan Pandan Wangi saat ini. Dan setelah itu Pandan Wangi ingin secepatnya bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti, yang katanya sekarang ada di Desa Weru. Entah apa yang dilakukan Rangga di desa kecil yang terpencil itu.

***

“Aku kasihan melihat keadaannya, Kak,” kata Cempaka sambil mengendalikan jalan kudanya agar tetap berada di samping kuda yang ditunggangi Pandan Wangi

“Padmi maksudmu?” tanya Pandan Wangi tanpa berpaling sedikit pun.

“lya. Dia sekarang hidup sendiri di tempat sunyi yang terpencil begitu,” kata Cempaka.

“Bukan hanya Padmi yang hidup seperti itu, Cempaka. Nanti kau juga akan melihat kehidupan yang jauh lebih mengenaskan daripada dia,” sahut Pandan Wangi dengan bibir mengulas senyum tipis.

Cempaka diam saja. Diresapinya kata-kata yang terucap dari bibir si Kipas Maut tadi. Gadis itu memang belum berpengalaman dalam menjelajah mayapada yang luas dan selalu menyimpan banyak misteri ini. Tapi hatinya seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Pandan Wangi. Apakah di alam ini banyak orang yang hidupnya begitu kekurangan seperti Padmi...? Pertanyaan ini selalu mengganggu benak Cempaka. Dan gadis itu merasakan adanya ketidakadilan dalam hidup ini. Sementara dirinya selama ini selalu hidup lebih.

“Kak...,” pelan sekali suara Cempaka.

“Ada apa lagi...?”

“Bagaimana nanti Padmi bisa hidup ya...?” Cempaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Kau ini, Cempaka.... Kenapa masih memikirkan Padmi, sih...?”

“Aku kasihan, Kak. Kenapa tadi tidak dibawa saja sekalian? Aku bisa mengangkatnya jadi adik,” Cempaka mengemukakan isi hatinya.

“Cempaka.... Kalau ada sepuluh orang seperti Padmi, atau mungkin ratusan, bahkan ribuan orang, apa kau juga akan mengangkat mereka jadi adik...?”

Cempaka tidak langsung menjawab.

“Apa ada banyak orang sepertinya, Kak?” Cempaka malah bertanya setelah terdiam beberapa saat lamanya.

“Bukan hanya ada, tapi banyak. Ah..., sudahlah. Aku yakin, nanti rasa ibamu juga akan hilang sendiri,” Pandan Wangi tidak ingin membicarakan masalah Padmi lagi.

“Tapi, Kak.... Tidak ada salahnya kan, kalau aku mengangkatnya sebagai adik?”

“Tidak. Dan jika kau mau, jemput saja,” sahut Pandan Wangi.

“Sungguh...?” sinar mata Cempaka langsung berbinar.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis.

“Aku akan kembali, Kak. Tunggu di sini dulu...!” seru Cempaka.

“Heh...?!” Pandan Wangi terkejut.

Tapi Cempaka sudah cepat memutar kudanya dan langsung menggebahnya. Maka kuda coklat itu melesat cepat meninggalkan Pandan Wangi yang hanya bisa terbengong. Si Kipas Maut itu bukan saja terkejut, tapi juga keheranan akan sikap Cempaka. Padahal tadi keinginan Cempaka ditanggapi dengan asal bicara saja. Sama sekali tidak bersungguh-sungguh menganjurkan begitu. Namun rupanya Cempaka benar-benar menanggapinya.

Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit sambil mendesah, kemudian melompat turun dari punggung kudanya. Gadis itu membiarkan saja kuda putih itu melenggang menjauh mencari rumput segar untuk mengisi perutnya. Sedangkan tubuhnya sendiri dihenyakkan di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Pandan Wangi duduk di atas akar yang menyembul dari dalam tanah. Sementara Cempaka sudah tidak lagi terlihat

“Hhh..., ada-ada saja...,” desah Pandan Wangi perlahan diiringi hembusan napas panjang.

***
DUA
“Hup...!”

Cempaka langsung melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas gadis itu berlari menerobos pondok kecil yang sudah reyot dan hampir roboh. Namun begitu berada di dalam, kedua bola matanya membeliak lebar.

“Biadab...!” desis Cempaka.

Seluruh darah yang mengalir di tubuh gadis itu seketika mendidih. Di hadapan matanya tampak seorang laki-laki bertubuh besar dan kasar sedang memaksa Padmi untuk melayani nafsu setannya. Padmi mencoba memberontak, namun tubuhnya yang kecil seakan-akan tenggelam dalam pelukan laki-laki itu.

“Hiyaaat..!”

Seketika itu juga Cempaka melesat cepat bagai kilat. Langsung dilontarkannya satu pukulan keras ke tubuh laki-laki itu. Teriakan Cempaka membuat laki-laki tinggi tegap tanpa baju itu terkejut. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, pukulan Cempaka sudah mendarat telak di tubuhnya.

Des!

“Akh...!” laki-laki tinggi besar itu terpekik keras. Tubuh yang besar dan kasar itu terpental, lalu menabrak dinding pondok yang rapuh hingga jebol berantakan. Akibatnya laki-laki itu langsung tersuruk dan bergelimpangan di luar. Cempaka tidak membiarkan begitu saja. Secepat kilat tubuhnya melesat ke luar menerobos dinding yang hancur berantakan.

Kembali gadis itu melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun orang yang wajahnya penuh brewok itu, bergelimpangan ke samping beberapa kali. Maka pukulan Cempaka hanya menghantam tanah kosong berumput.

Begitu kerasnya pukulan Cempaka, sehingga tanah itu terbongkar, dan berpentalan ke udara. Namun Cempaka tidak juga membiarkan laki-laki yang hendak memperkosa Padmi tadi. Kembali tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat menerjang orang yang baru saja bisa bangkit berdiri.

“Hiyaaat..!”

Deghk!

“Uhk...!” orang itu mengeluh pendek begitu perutnya tersodok tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.

Laki-laki bertubuh kasar yang hanya mengenakan celana sebatas lutut berwarna hitam itu terbungkuk. Pada saat itu Cempaka kembali melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah. Pukulan cepat menggeledek itu tak mampu dihindari lagi, telak menghantam muka laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

Deghk!

“Aaakh...!” laki-laki itu memekik keras.

Hantaman Cempaka membuat tulang hidung laki-laki itu hancur. Bunyinya begitu keras terdengar. Seketika itu juga darah mengucur deras dari hidung yang hancur tulang-tulangnya. Laki-laki tinggi besar itu meraung-raung keras sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tapi hanya beberapa saat saja dia meraung kesakitan. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggeram dahsyat. Sepasang bola matanya memerah menyorot tajam, langsung menusuk mata indah milik Cempaka.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu berteriak keras sambil melompat menerjang. Tangannya yang besar dan bagai palu godam itu melontarkan pukulan keras beberapa kali secara beruntun.

“Hup! Yeaaah...!”

Namun Cempaka lebih gesit lagi menghindari serangan itu. Tubuhnya berjumpalitan sambil mengegos ke kiri dan ke kanan menghindari serangan gencar dan beruntun. Tepat pada suatu saat, orang itu mengarahkan pukulan ke dada, dengan cepat sekali. Cempaka melenting ke belakang. Pada saat kaki gadis itu kembali mendarat di tanah, lalu cepat sekali melesat kembali ke udara sambil mencabut pedangnya.

Sret!

Cempaka langsung membabatkan pedangnya kearah tubuh orang itu yang tidak sempat lagi menghindar. Maka tebasan pedang Cempaka langsung menyabet dada lelaki tinggi besar itu.

Cras!

“Aaa...!” laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah kasar itu memekik keras melengking tinggi.

Darah langsung muncrat begitu pedang Cempaka membelah dadanya. Lebar dan dalam sekali! Dan begitu Cempaka melayangkan satu tendangan keras, tubuh tinggi besar itu langsung terpental ambruk ke tanah. Tak ada lagi gerakan, karena orang itu tewas seketika begitu menghantam tanah dengan keras sekali.

Cempaka langsung memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang. Sebentar dipandanginya orang yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi itu. Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat masuk ke dalam pondok. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap di dalam pondok itu. Tanpa diketahui Cempaka, ada sepasang mata yang menyaksikan pertarungan tak seimbang tadi. Orang itu segera melesat, meninggalkan tempat itu.

“Padmi....”

Bergegas Cempaka menghampiri Padmi yang masih menangis sesenggukan. Bajunya sudah koyak, sehingga beberapa bagian tubuhnya terlihat menyembul ke luar. Mendengar suara Cempaka, Padmi langsung menghambur dan memeluknya. Tangisnya langsung pecah seketika, di dalam pelukan Cempaka. Air matanya berlinangan membasahi seluruh baju di dada gadis itu

Agak lama juga Cempaka membiarkan Padmi menangis di dadanya. Setelah tanglsan Padmi mereda, Cempaka baru melepaskan pelukan gadis itu. Diraihnya selembar kain yang teronggok di atas balai-balai bambu, kemudian ditutupinya tubuh Padmi yang terbuka. Sesekali gadis kecil itu masih terisak sesenggukan. Beberapa kali air matanya diseka, karena masih juga mengalir.

“Sudahlah, Padmi. Tak ada lagi yang meng-ganggumu...,” bujuk Cempaka menghibur.

Padmi masih sukar membuka suara. Peristiwa yang terjadi barusan, membuatnya begitu terpukul. Hampir saja kehormatannya dirampas oleh seorang laki-laki kasar. Untung saja Cempaka segera datang menolong.

“Sudah. Sekarang, bereskan pakaianmu, lalu pergi,” kata Cempaka tidak tahan mendengar tangisan terus-menerus.

Padmi masih diam saja. Terpaksa Cempaka yang membereskan pakaian gadis itu, lalu membungkusnya dengan selembar kain lusuh yang sudah pudar warnanya. Sementara Padmi masih saja duduk di balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar pandan. Cempaka menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Padmi seperti orang linglung saja. Dihampirinya gadis itu, lalu duduk di sampingnya.

“Yuk..,” ajak Cempaka lembut

Sebentar Padmi memandangi Cempaka, kemudian merapikan dirinya. Pakaiannya yang koyak segera digantinya. Sementara Cempaka sudah melangkah ke luar pondok itu. Masih sempat terlihat olehnya mayat laki-laki kasar yang tergolek berlumuran darah. Tak berapa lama kemudian, Padmi keluar. Gadis itu agak bergidik melihat mayat yang tergeletak tidak jauh dari pondoknya.

“Ayo...!” ajak Cempaka seraya menggamit tangan gads itu.

Mereka kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan pondok itu. Cempaka menuntun kudanya, karena tidak mungkin menunggang kuda sama-sama. Padmi menolehkan kepalanya memandang mayat yang tergeletak tidak jauh dari pondoknya.

“Kau yang membunuhnya, Kak Cempaka?” tanya Padmi dengan suara yang agak tertahan.

Cempaka menganggukkan kepalanya.

“Tapi...,” suara Padmi terputus.

“Sudahlah, jangan kau pikirkan,” potong Cempaka.

“Dia banyak temannya, Kak Aku takut...” keluh Padmi.

Cempaka menatap Padmi dalam-dalam. Memang sudah diduga kalau orang itu pasti ada temannya. Dan ini memang yang diinginkan. itu berarti dalam pengembaraannya akan didapatkan tantangan yang memang sedang diharapkannya.

“Kau naik kuda ini, Padmi,” ujar Cempaka.

“Aku..?!” Padmi terkejut

Seumur hidup dia belum pernah naik kuda. Dipandanginya Cempaka dan kuda coklat itu bergantian. Sedangkan Cempaka tidak ingin berlarut-larut. Langsung direngkuhnya pinggang gadis itu, lalu dinaikkan ke atas punggung kudanya. Padmi terpekik tertahan, namun tahu-tahu sudah berada di punggung kuda coklat itu. Sebelum Padmi menyadari apa yang terjadi, Cempaka sudah berlari kencang sambil memegangi tali kekang kudanya. Kuda coklat itu langsung saja melesat kencang mengikuti lari Cempaka yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

“Ah...!” Padmi terpekik keras.

Dia terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya direbahkan ke punggung kuda itu, dan dipeluknya leher kuda kuat-kuat Sungguh dia tidak ingin mati terlempar dari punggung kuda yang berlari kencang. Padmi tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia tidak tahu kalau Cempaka berlari cepat sekali di depan kudanya. Padmi hanya bisa merasakan tubuhnya berguncang-guncang terombang-ambing di atas punggung kuda yang berlari kencang bagai dikejar setan.

“Kak...! Kak Pandan..!” Cempaka mengguncang-guncang tubuh Pandan Wangi yang tertidur di bawah pohon.

Pandan Wangi hanya mengeluh sedikit, dan membuka matanya perlahan. Tubuhnya digeliatkan sebentar, lalu beranjak bangkit duduk bersandar di pohon. Pandangannya langsung mengarah pada Padmi yang berada di punggung kuda Cempaka.

“Ayo, Kak. Cepat tinggalkan tempat ini,” ajak Cempaka.

“Sudah hampir malam. Sebaiknya, bermalam saja di sini,” kata Pandan Wangi malas.

“Jangan, Kak. Kita berkuda cepat saja, pasti sampai di Desa Weru sebelum gelap,” sergah Cempaka.

“Untuk apa cepat-cepat..?”

“Kak...!” sentak Cempaka sambil menarik tangan Pandan Wangi.

Mau tidak mau Pandan Wangi berdiri juga. Tapi keningnya berkerenyut melihat raut wajah Cempaka yang agak menegang. Tidak biasanya adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu begitu tegang. Macam-macam pikiran langsung berkecamuk dalam benak si Kipas Maut itu.

“Ayo, Kak. Cepat..!” desak Cempaka memaksa.

“Ada apa, sih...? Kok tidak biasanya....”

“Sudahlah, Kak. Nanti akan kujelaskan,” potong Cempaka cepat

Pandan Wangi memandangi Cempaka dalam-dalam, kemudian beralih memandang Padmi yang masih saja duduk di punggung kuda coklat. Sementara itu Cempaka sudah melompat naik ke punggung kudanya di depan Padmi. Dan disuruh Padmi memegang pinggangnya kuat-kuat Sedangkan Pandan Wangi masih memandangi saja. Dia yakin kalau ada sesuatu yang telah terjadi, sehingga membuat Cempaka begitu tegang.

“Cepat sedikit, Kak..!” sentak Cempaka tidak sabar.

Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit, kemudian melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Pada saat itu, Cempaka sudah cepat menggebah kudanya. Maka Pandan Wangi bergegas menggebah kudanya, menyusul Cempaka yang sudah jauh bersama Padmi. Pandan Wangi mensejajarkan lari kudanya di samping kuda Cempaka.

“Ada apa, Cempaka? Kenapa begitu tergesa-gesa?” tanya Pandan Wangi masih penasaran dengan sikap Cempaka yang tidak biasanya begini.

“Aku habis membunuh orang,” sahut Cempaka.

“Apa...?!” Pandan Wangi tersentak kaget

Hampir tidak dipercaya, apa yang baru saja didengamya. Dia juga merasa heran, dan jadi geli mendengamya. Hanya karena baru saja membunuh orang, Cempaka jadi tegang begini! Padahal bukan sekali ini Cempaka melakukannya. Entah sudah berapa nyawa melayang di tangan gadis itu. Dan..., sungguh Pandan Wangi tidak bisa memahami sikap Cempaka yang seperti baru saja melakukan perjalanan dan menewaskan orang.

“Dia hampir saja memperkosa Padmi. Aku tidak bisa mengendalikan diri, Kak. Orang itu tewas oleh pedangku,” kata Cempaka mencoba menjelaskan persoalannya.

“Ada berapa orang?” tanya Pandan Wangi sambil menahan rasa geli yang menggelitik hatinya.

“Satu,” sahut Cempaka.

“Hanya satu...?!” kembali Pandan Wangi tercengang.

Ini merupakan hal yang sungguh luar biasa pada diri Cempaka. Hanya satu orang saja yang tewas, dia sudah begitu tegang. Si Kipas Maut itu tidak percaya kalau Cempaka yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi belum pernah bertarung dan menewaskan lawannya. Sudah pernah didengarnya semua tentang diri Cempaka. Baik gadis itu sendiri yang menceritakannya, maupun Rangga.

Dan Pandan Wangi bisa menilai kalau Cempaka termasuk gadis yang agak liar juga. Persis dengan dirinya dulu, yang tidak pernah bisa mengendalikan diri jika sudah bertarung.

“Cempaka, kenapa kau jadi ketakutan begitu...?” tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan keheranannya.

“Siapa bilang aku takut..?!” sentak Cempaka.

“Itu....”

“Aku hanya ingin menghindar dari teman-temannya. Mereka pasti berjumlah banyak, dan tentunya aku tidak ingin mati di sini sebelum bertemu Kakang Rangga,” Cempaka beralasan.

“Berapa orang temannya?” tanya Pandan Wangi tersenyum.

Pandan Wangi tahu kalau Cempaka hanya beralasan saja untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Tapi dia juga tidak percaya kalau Cempaka merasa takut hanya karena baru menewaskan satu orang, lalu teman-teman orang itu akan membalas kematiannya.

“Tidak tahu,” sahut Cempaka pendek

“Ah! Sudahlah, Cempaka. Perlambat sedikit lari kudamu. Tuh, Desa Weru sudah kelihatan,” kata Pandan Wangi masih menganggap persoalan yang dihadapi Cempaka bukan persoalan gawat

Tapi rupanya Cempaka memperlambat juga lari kudanya. Dan memang, Desa Weru sudah terlihat tidak berapa jauh lagi di depan. Sedangkan saat ini, matahari sudah begitu condong ke Barat. Cempaka memperkirakan sebelum matahari tenggelam pasti sudah sampai di desa itu. Dan tinggal mencari penginapan untuk melepaskan urat syaraf yang menegang.

Namun begitu mereka memperlambat laju kuda, mendadak saja dari arah belakang terdengar teriakan-teriakan keras, disertai derap kaki kuda yang dipacu cepat. Cempaka dan Pandan Wangi langsung berpaling ke belakang. Dan mereka terkejut bukan main begitu di belakang mereka terlihat sekitar dua puluh orang berbaju hitam berpacu cepat menuju ke arah mereka. Tampaknya semua mengacungkan golok ke atas kepala sambil berteriak-teriak keras menggetarkan hati siapa saja yang mendengamya.

“Mereka datang...,” desis Padmi bergetar dengan wajah langsung pucat pasi.

“Siapa mereka?” tanya Pandan Wangi.

“Orang yang hendak membalas kematian temannya padaku,” sahut Cempaka, agak dingin nada suaranya.

Pandan Wangi memandangi Cempaka beberapa saat, kemudian cepat melompat turun dari kudanya. Cempaka bergegas mengikuti. Sedangkan Padmi masih tetap berada di punggung kuda coklat milik Cempaka. Sementara orang-orang berkuda itu sudah semakin dekat saja. Bumi yang dipijak, seakan-akan bergetar oleh hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, menciptakan debu yang mengepul tinggi ke angkasa.

“Kita hadapi mereka, Cempaka,” kata Pandan Wangi.

“Yaaah...,” Cempaka hanya mendesah panjang saja.

Sebenarnya ini yang diharapkan. Tapi begitu melihat jumlah mereka yang begitu banyak, hatinya agak ciut juga. Sungguh tidak disangka kalau akan menghadapi orang begini banyak. Meskipun sudah pernah menghadapi keroyokan dan berbagai macam pertarungan, tapi selama itu dia bersama Rangga. Sedangkan sekarang ini sama sekali tidak ada Pendekar Rajawali Sakti. Dan Cempaka memang agak gentar juga jika bertarung tanpa ada Pendekar Rajawafi Sakti di sampingnya, meskipun sekarang ini ada si Kipas Maut yang berkepandaian tinggi.

Namun Cempaka tidak akan merasa tenang, karena memang sudah demikian bergantung pada Pendekar Rajawali Sakti. Satu sikap yang sebenarnya tidak perlu terjadi, tapi Cempaka tidak bisa menghilangkannya. Hatinya sudah begitu terpatri, sehingga tidak ada yang bisa dikagumi. Tidak ada yang bisa dijadikan panutan dan kepercayaan diri selain Pendekar Rajawali Sakti. Kini semua ketergantungan itu sangat dirasakan sekali di saat harus berhadapan dengan orang-orang yang akan membalas kematian temannya.

***

“Itu dia orangnya...!” terdengar teriakan keras dari orang-orang berbaju hitam itu.

Tampak salah seorang yang berkuda paling depan, menunjuk ke arah Cempaka dan Pandan Wangi yang sudah siap menghadapi mereka. Orang itulah yang menyaksikan pertarungan Cempaka tadi melawan orang yang hendak memperkosa Padmi. Gerombolan orang berbaju hitam itu langsung berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, langsung menge-pung Cempaka dan Pandan Wangi. Mereka seakan- akan tidak mempedulikan keberadaan Padmi yang berada di punggung kuda coklat milik Cempaka.

Salah seorang dari dua puluh laki-laki yang semuanya menghunus golok, melangkah ke depan beberapa tindak. Pandan Wangi mengamati laki-laki bertubuh tinggi tegap yang wajahnya penuh cambang dan kumis melintang, sehingga menutupi bibirnya yang tebal. Dadanya seperti sengaja dibuka, seakan-akan hendak memamerkan dada yang berbulu tebal itu.

“Siapa di antara kalian yang membunuh anak buahku?” besar dan berat sekali suara orang itu.

“Aku,” sahut Pandan Wangi mendahului.

Cempaka agak terkejut, dan sempat menatap Pandan Wangi dalam-dalam. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena laki-laki tinggi besar itu sudah mempercayai jawaban Pandan Wangi.

“Kau berhutang nyawa padaku, Nisanak,” desis orang itu dingin.

“Anak buahmu terlalu kurang ajar, dan terpaksa kuberi pelajaran!” sahut Pandan Wangi ketus.

“Bagus...! Dan sekarang kau yang akan kuberi pelajaran, Bocah Sombong!”

Setelah berkata demikian, ujung jarinya dijentikkan. Dan seketika itu juga, orang-orang yang sudah berkeliling mengepung itu langsung berlompatan. Sambil berteriak keras, mereka mengibaskan goloknya yang berkilatan tertimpa cahaya matahari senja. Pandan Wangi bergegas melompat sambil meliukkan tubuhnya menghindari sambaran golok yang begitu cepat mengarah ke pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, Cempaka langsung mencabut pedangnya.

Trang!

Pedang Cempaka langsung beradu dengan sebilah golok yang hampir membelah dadanya. Namun gadis itu cepat memutar pedangnya. Seketika dibabatnya leher salah seorang berbaju hitam yang berada di samping kanannya.

Cras!

“Aaa...!” satu jeritan melengking tinggi terdengar, disusul ambruknya satu orang dengan leher sobek terbabat pedang Cempaka.

Tak ada yang sempat memperhatikan, karena Cempaka sudah kembali bergerak cepat sekali. Pedangnya dikibaskan, membabat orang-orang yang mengeroyok dengan senjata golok. Teriakan-teriakan keras pertempuran, bercampur denting senjata yang terdengar membahana. Dan itu pun masih ditingkahi pekikan melengking tinggi dari orang-orang yang terkena sambaran pedang Cempaka. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tiga orang yang tergeletak tak bernyawa.

Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengeluarkan senjata mautnya berupa kipas baja putih yang ujung-ujungnya berbentuk runcing. Senjata itu siap mengancam nyawa siapa saja yang berada dekat dengannya. Pandan Wangi sendiri sudah merobohkan lima orang yang mengeroyoknya. Kipas baja putih yang menjadi senjata andalannya berkelebat cepat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.

Memang, kedua gadis itu bukanlah tandingan gerombolan kecil yang hanya memiliki kepandaian rendah seperti ini. Sehingga tidak heran jika dalam waktu sebentar saja, sudah separuhnya yang tergeletak tak bernyawa lagi. Udara senja yang temaram ini jadi sesak oleh bau anyir darah yang menggenang dari tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.

“Lariii..!” tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.

Seketika itu juga, orang-orang berbaju hitam yang kini jumlahnya tinggal sekitar tujuh orang lagi berlompatan kabur. Mereka bergegas melompat ke punggung kuda masing-masing dan cepat menggebahnya. Pandan Wangi dan Cempaka berdiri tegak memandangi mereka yang kabur dengan cepat

“Hhh...i Benar-benar suatu pengalaman baru...!” desis Cempaka.

Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya. Langsung saja dia melompat naik ke punggung kudanya. Cempaka sendiri malah mengambil kuda yang ditinggalkan orang-orang itu. Tak berapa lama kemudian, tiga kuda sudah bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Cempaka menuntun tali kekang kudanya yang ditunggangi Padmi, karena gadis itu tidak bisa menunggang kuda.

***
TIGA
Desa Weru memang bukan sebuah desa yang indah dan ramai. Letaknya pun sangat terpencil, dan terlalu dekat dengan Rimba Tengkorak. Jarang orang datang ke desa ini, kecuali mereka yang sedang menempuh perjalanan jauh. Untung saja Pandan Wangi dan Cempaka masih bisa memperoleh penginapan yang cukup lumayan. Biasanya, mereka yang datang sudah kemalaman, sukar sekali mendapatkannya.

Pandan Wangi yang sudah beberapa kali singgah di desa ini, cukup dikenali oleh pemilik rumah penginapan. Sehingga, tidak ada kesulitan baginya mendapatkan tempat bermalam yang layak. Ki Jantar, pemilik rumah penginapan ini memberi Pandan Wangi kamar yang biasa ditempatinya jika menginap di sini. Seperti biasanya, si Kipas Maut itu selalu melewatkan malam di kedai Ki Jantar yang letaknya di depan penginapan.

“Lama sekali Den Ayu tidak datang ke sini,” kata Ki Jantar seraya meletakkan minuman yang dipesan Pandan Wangi.

“Banyak kesibukan, Ki,” sahut Pandan Wangi seraya melirik Cempaka yang duduk di seberang meja ini.

“Tapi, kenapa tidak bersama-sama Den Rangga?” tanya Ki Jantar.

“Ki Jantar juga kenal Kakang Rangga...?” Cempaka agak heran juga, karena pemilik kedai dan penginapan ini juga mengenal Pendekar Rajawali Sakti.

“Siapa yang tidak kenal Den Rangga, Den Ayu. Semua orang di desa ini mengenalnya dengan baik,” sahut Ki Jantar. Nada suaranya terdengar agak bangga.

“Ki...!” terdengar suara panggilan yang keras.

“Oh, sebentar....”

Bergegas Ki Jantar meninggalkan meja yang ditempati Pandan Wangi dan Cempaka. Saat itu Pandan Wangi sempat melirik orang yang memanggil Ki Jantar dengan suara keras sekali. Seorang laki-laki tua yang mungkin sebaya Ki Jantar, atau mungkin juga lebih tua. Pada saat yang sama, laki-laki tua berbaju warna putih yang tongkatnya bersandar di sampingnya itu juga melirik ke arah Pandan Wangi.

Agak terkesiap juga si Kipas Maut itu saat pandangannya tertumbuk pada lirikan laki-laki tua itu. Buru-buru Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Kedai ini memang tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung saja yang datang ke sini. Dan rata-rata, mereka adalah pendatang yang kebetulan saja singgah di Desa Weru ini.

“Padmi sudah tidur, Cempaka?” tanya Pandan Wangi setelah melirik kembali pada laki-laki tua berbaju putih itu

“Sudah. Katanya lelah sekali,” sahut Cempaka seraya menikmati minumannya.

Pandan Wangi kembali melirik laki-laki tua berbaju putih yang rambutnya sudah memutih semua itu. Agak heran juga dia, karena laki-laki tua itu sejak tadi tidak lepas memandanginya terus. Pandan Wangi mencoba mengingat-ingat, kalau-kalau pernah bertemu dengannya. Tapi dia begitu yakin kalau tidak pernah bertemu sebelumnya. Namun sepertinya ada sesuatu pada dirinya sehingga laki-laki tua itu terus memperhatikan.

“Kak...”

Pandan Wangi menatap Cempaka.

“Ada apa?”

“Sepertinya Kakang Rangga tidak ada di sini,” kata Cempaka dengan suara agak berbisik.

“Mungkin...,” sahut Pandan Wangi.

“Kata Ki Jantar, semua orang di sini mengenal dengan baik. Pasti mereka tahu kalau Kakang Rangga ada di sini,” kata Cempaka lagi. “Apa mungkin dia akan datang ke sini, Kak?”

Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah tersenyum saja. Memang jarang sekali bagi seorang pendekar kelana menginjakkan kakinya pada satu tempat untuk kedua kalinya. Kalau toh itu dilakukan, pasti karena kebetulan saja. Apalagi Pandan Wangi tahu betul, kalau Rangga tidak pernah merencanakan suatu perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti akan berada di mana saja sekehendak hatinya.

“Kak Pandan tahu dari mana kalau Kakang Rangga akan ke sini?” tanya Cempaka lagi.

“Hanya perasaan saja,” sahut Pandan Wangi.

“Kalau tidak ada di sini?”

“Ya, cari terus,” sahut Pandan Wangi setengah bergurau.

“Hhh.... Bisa makan waktu, Kak...,” keluh Cempaka.

“Kenapa mengeluh? Bukankah kau sendiri yang ingin ikut, Cempaka...?” gurau Pandan Wangi lagi.

“Aku tidak mengeluh. Hanya saja...,” Cempaka tidak meneruskan kalimatnya.

“Hanya apa?”

Tapi Cempaka tidak menjawab. Dicoleknya punggung tangan Pandan Wangi dan dikerdipkan sebelah matanya. Pandan Wangi berpaling sedikit, dan agak tersentak kaget begitu tiba-tiba di sampingnya sudah berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih. Tampak tongkat kayu berwarna coklat kemerahan tergenggam di tangannya.

Yang membuat Pandan Wangi terkejut adalah laki-laki tua inilah yang tadi sempat menjadi perhatiannya. Orang tua itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Pandan Wangi dan Cempaka membalas dengan anggukan kepala sedikit juga. Kedua gadis itu agak keheranan atas kedatangan orang tua yang tidak dikenal sama sekali.

“Apakah Nisanak yang bernama Pandan Wangi?” tanya orang tua itu dengan suara yang dibuat lembut dan sopan.

“Benar...,” sahut Pandan Wangi keheranan.

“Boleh aku duduk di sini sebentar?” pinta orang tua itu.

Pandan Wangi memandang Cempaka sebentar sebelum mempersilakan laki-laki tua ini duduk di bangku kosong yang ada di sampingnya. Dengan sikap sopan, orang tua itu duduk di kursi kosong itu. Tongkatnya disandarkan di tepi meja. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka saling berpandangan saja. Mereka tidak mengerti dan terus bertanya-tanya dalam hati atas kemunculan orang tua ini.

“Maaf, siapa sebenarnya Kisanak ini?” tanya Pandan Wangi.

“Aku hanya orang tua yang kebetulan bisa melihat kehidupan dan kematian seseorang,” sahut orang tua itu dengan bibir terus menyunggingkan senyum.

Pandan Wangi dan Cempaka kembali saling berpandangan dengan kening berkerut agak dalam. Kemudian mereka sama-sama memandangi laki-laki tua berbaju putih yang tidak dikenal sama sekali ini. Sedangkan orang tua itu hanya tersenyum-senyum saja.

“Siapa namamu, Kisanak?” tanya Cempaka dengan nada suara curiga.

“Orang-orang memanggilku, Ki Ramal, karena aku seorang tukang ramal ulung. Batinku bisa melihat jalan hidup seseorang tanpa diketahui orang lain,” laki-laki tua itu memperkenalkan sambil memuji dirinya sendiri.

“Lalu, apa maksudmu mendatangi kami?” tanya Pandan Wangi yang memang sama sekali tidak pernah bertemu laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Ramal ini sebelumnya.

“Aku melihat ada sesuatu pada dirimu, Nisanak,” sahut Ki Ramal dengan mata tajam menatap Pandan Wangi.

“Jangan coba-coba meramalku, Kisanak!” sentak Pandan Wangi kurang senang.

“Tidak. Sama sekali aku tidak meramalmu. Tapi...,” Ki Ramal tidak meneruskan. Sedangkan matanya semakin dalam memandangi Pandan Wangi

Mendapat pandangan begitu dalam, Pandan Wangi jadi jengah juga. namun di balik itu, hatinya jadi penasaran dan ingin tahu, apa yang dilihat peramal tua ini dalam dirinya.

“Apa yang kau lihat di dalam diri Kak Pandan, Ki?” tanya Cempaka yang tidak bisa menahan penasaran di hatinya.

“Sesuatu yang gelap.... Ya..., kegelapan yang sukar untuk ditembus. Aku..., aku...,” suara Ki Ramal agak tersendat

Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan matanya agak menyipit. Sedangkan Pandan Wangi semakin tidak senang saja, tapi juga ingin tahu kelanjutannya. Sementara Cempaka sendiri semakin terlihat penasaran. Dipandangjnya Ki Ramal dengan wajah penasaran sekali.

“Sudah, Ki. Jangan bikin ulah macam-macam!” sentak Pandan Wangi seraya menyembunyikan perasaan sebenarnya.

Namun Ki Ramal masih tetap memandangi Pandan Wangi dalam-dalam. Dan ini membuatnya jengah. Si Kipas Maut merasa tidak senang, tapi juga penasaran. Hanya saja keingintahuannya tidak ingin ditunjukkan. Dan sebenarnya, Pandan Wangi paling tidak suka dirinya diramal-ramal seperti itu. Menurutnya, ramalan hanya akan mengganggu ketenangan pikiran saja, dan belum tentu kebenarannya.

“Oh..., sayang sekali...,” desah Ki Ramal tiba-tiba.

Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya disertai hembusan napas panjang. Sementara Cempaka semakin tertarik ingin tahu, apa yang dilihat peramal tua itu. Sampai-sampai tubuhnya disorongkan ke depan dengan sikut menekan, bertumpu pada tepi meja.

“Ada apa, Ki?” tanya Cempaka semakin ingjn tahu saja.

“Ah.... Tampaknya nasibmu malang sekali, Nisanak. Dalam beberapa hari lagi kau akan menemui ajal..,” tebak Ki Ramal dengan suara yang parau dan agak tersendat

“Kurang ajar...!” desis Pandan Wangi langsung memerah wajahnya.

“Maaf, Nisanak. Seharusnya aku tidak berkata demikian. Tapi semua yang kulihat mengatakan demikian. Maaf.... Maafkan aku, Nisanak...,” buru-buru Ki Ramal bangkit berdiri.

“Eh! Tunggu dulu, Ki...!” sentak Cempaka mencoba mencegah.

Ki Ramal melangkah mundur beberapa tindak. Dipandanginya Cempaka beberapa saat. Sementara Pandan Wangi semakin tidak suka dengan laki-laki tua peramal itu.

“Sebaiknya jangan terlalu dekat dengannya, jika kau tidak ingin terlibat dalam bencana,” ujar Ki Ramal pada Cempaka.

“He...!” Cempaka tersentak kaget

Tapi sebelum bisa mengatakan sesuatu, laki-laki tua berbaju putih itu sudah cepat membalikkan tubuhnya. Dia tampaknya berjalan tergesa-gesa meninggalkan kedai ini. Sedangkan Pandan Wangi menggerutu, memaki-maki peramal itu. Gadis itu benar-benar tidak suka diramal akan mati dalam beberapa hari ini. Sementara pada saat itu, Ki Jantar menghampiri. Pemilik kedai ini langsung duduk di kursi, tempat peramal tua tadi duduk.

“Apa yang dikatakan peramal tua itu tadi, Den Ayu?” tanya Ki Jantar ingjn tahu.

“Peramal edan..!” dengus Pandan Wangi kesal

Si Kipas Maut itu langsung saja beranjak bangkit. Minumannya diteguk hingga tandas, kemudian berjalan menuju belakang. Sedangkan Ki Jantar dan Cempaka hanya memandanginya saja.

“Ada apa dengan Den Ayu Pandan Wangi...?” tanya Ki Jantar jadi semakin ingjn tahu.

“Tidak tahu,” sahut Cempaka seraya mengangkat bahunya.

“Apakah peramal itu mengatakan kalau Den Ayu Pandan Wangi akan mati...?” tebak Ki Jantar langsung.

Cempaka terkejut bukan main, sampai-sampai memandangi pemilik kedai itu dalam-dalam. Dugaan Ki Jantar memang tidak meleset sama sekali, dan ini yang membuat Cempaka terkejut bukan main

“Maaf, Den Ayu. Biasanya peramal itu selalu meramalkan kematian orang. Itu sebabnya dia dijuluki si Peramal Maut,” jelas Ki Jantar buru-buru.

Cempaka tidak berkata apa-apa, lalu bergegas bangkit berdiri dan meninggalkan kedai itu setelah membayar makanan dan minumannya lebih dulu. Sementara Ki Jantar memandanginya sampai Cempaka lenyap di balik pintu. Laki-laki tua pemilik kedai itu menggelengkan kepala beberapa kali. Terdengar tarikan napas yang dalam disusul hembusan napas kencang.

“Hhh..., kenapa harus Den Ayu Pandan Wangi yang kena ramalan peramal tua itu...?” desah Ki Jantar terasa berat.

***

Semalaman Pandan Wangi tidak bisa memicing kan mata barang sekejap saja. Kata-kata si Peramal Maut itu selalu tergiang di telinganya. Semalaman dia dirundung kegelisahan. Sukar baginya melupakan kata-kata peramal tua itu. Sementara Pandan Wangi diliputi kegelisahan, Cempaka sudah terlelap dalam tidur bersama Padmi di kamar lain. Dan mereka memang menyewa dua kamar yang terpisah.

“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan napas kuat-kuat sambil melompat bangkit berdiri dari pembaringan.

Udara di kamar ini terasa begitu panas dan pengap sekali. Gadis itu mengayunkan kakinya mendekati jendela kamar yang tertutup rapat. Perlahan jendela kamar itu dibuka. Angin malam yang dingin, langsung menerobos masuk menerpa wajahnya yang cantik. Namun belum juga Pandan Wangi menikmati segarnya udara malam ini, mendadak saja....

Slap!

“Heh...?!” Pandan Wangi tersentak kaget Cepat sekali tubuhnya dimiringkan ke kanan ketika tiba-tiba sekali terlihat sebuah benda meluncur deras ke arahnya. Maka benda itu lewat sedikit di depan matanya, langsung menghantam dinding. Sedikit Pandan Wangi melirik ke arah benda yang ternyata sebatang anak panah itu, kemudian langsung melesat melalui jendela, ke luar penginapan.

Begitu cepat dan ringan sekali lesatan si Kipas Maut, hingga tahu tahu sudah hinggap di atas atap rumah penginapan ini. Sekejap tampak sebuah bayangan berkelebat di dalam kegelapan malam ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuh sambil memperguna kan ilmu meringankan tubuh yang tinggi.

Begitu ringan dan cepat sekali, sehingga si Kipas Maut itu lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanya bayangan biru saja yang berkelebat cepat mengejar bayangan hitam yang bergerak cepat menyelinap dari rumah-rumah penduduk. Dan bayangan hitam itu lenyap setelah sampai di sebuah kebun yang dipenuhi pohon kelapa. Pandan Wangi menghentikan kejarannya begitu sampai di tempat bayangan hitam tad menghilang.

Slap!

“Hup...!”

Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke atas ketika telinganya mendengar desiran halus dari samping kanannya. Ternyata sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Anak panah itu menancap di batang pohon kelapa setelah lewat di bawah kaki si Kipas Maut itu. Pada saat yang sedikit itu, Pandan Wangi kembali melihat sebuah bayangan hitam berkelebatan cepat.

“Hiyaaa...!”

Seketika itu juga Pandan Wangi melesat cepat mengejar bayangan hitam itu. Dan setelah berputaran beberapa kali di udara, si Kipas Maut itu berhasil melewati kepala bayangan hitam itu. Langsung kakinya mendarat tepat menghadang di depannya. Bayangan hitam itu menghentikan larinya seketika, namun tangan kanannya berkelebat cepat ke depan.

Bet!

“Hap...!”

Pandan Wangi memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu mengibaskan tangan kanannya sambil mencabut kipas baja putih yang terselip di pinggang. Seketika itu juga kipas baja putih mengembang terbuka, bersamaan dengan kebutan tangan yang memegangnya. Seketika Pandan Wangi merasakan adanya benturan keras pada senjata mautnya itu. Namun dengan cepat sekali kipas baja putihnya yang sempat terhentak dikuasai.

Pada saat yang bersamaan, sosok manusia berpakaian serba hitam itu melompat menerjang sambil mencabut sebilah golok yang terselip di pinggang. Golok yang berkilatan tertimpa sinar bulan itu, ber-kelebatan mengarah ke beberapa bagian tubuh Pandan Wangi yang mematikan.

“Hap! Yeaaah...!”

Dengan gerakan manis sekali, Pandan Wangi menghindari serangan golok ini. Serangan-serangan orang berbaju hitam itu memang cepat sekali, sehingga tidak memberi kesempatan sama sekali pada Pandan Wangi untuk bisa menarik napas sebentar saja. Bahkan tidak ada kesempatan untuk balas menyerang. Si Kipas Maut hanya bisa berlompatan dan berkelit menghindari serangan-serangan gencar itu. Bahkan sepertinya orang berbaju hitam itu sengaja mau mengadu senjatanya dengan kipas yang berada di tangan Pandan Wangi.

“Uts! Yeaaah...!”

Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke udara ketika golok orang itu menyambar ke arah kakinya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan. Sambil memutar tubuhnya di udara, si Kipas Maut mengebutkan kipas baja putihnya ke arah kepala orang itu. Tak ada kesempatan bagi orang berbaju hitam itu untuk berkelit. Terpaksa kepalanya dilindungi dengan kibasan goloknya untuk menyampok serangan kipas baja putih itu

Trang!

Trak...!

“Heh...?!” orang berbaju serba hitam itu terkejut bukan main, begitu goloknya patah jadi dua bagian setelah berbenturan dengan kipas baja putih di tangan Pandan Wangi.

Dan sebelum rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja Pandan Wangi sudah melontarkan satu tendangan keras menggeledek ke arah orang berbaju hitam itu. Tendangan yang cepat dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, tak dapat terbendung lagi.

“Hiyaaa...!”

Deghk!

“Heghk..!” orang berbaju hitam itu mengeluh pendek

Tendangan Pandan Wangi tepat mendarat di dadanya, sehingga membuat orang berbaju serba hitam itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak, Sedangkan Pandan Wangi yang sudah tidak memberi kesempatan lagi, dengan cepat melompat memburu. Namun sebelum satu pukulan dilontarkan, mendadak saja melesat sebuah benda bersinar kemerahan ke arah orang berbaju hitam itu. Maka....

Crab!

“Aaa...!” orang itu menjerit keras melengking.

“Heh...?!” Pandan Wangi terkejut

Tapi orang berbaju hitam itu sudah tergeletak di tanah dengan dada tertembus sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna merah. Pandan Wangi berdiri tegak. Sebentar ditatapnya orang berbaju hitam yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Kemudian pandangannya diedarkan ke sekeliling. Tapi sejauh mata memandang tak ada yang bisa terlihat, kecuali kegelapan malam disertai hembusan angjn dingin menusuk kulit

“Huh...!” Pandan Wangi menghembuskan napas panjang.

***

Kaki Pandan Wangi terayun perlahan-lahan menyusuri jalan Desa Weru yang berdebu. Saat ini pagi baru saja datang menjelang. Dan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Hanya sinar kemerahannya saja yang menyemburat, membias di balik bukit sebelah Timur. Semalaman Pandan Wangi benar-benar tidak tidur. Dia masih belum mengerti dengan penyerangan yang dilakukan orang berbaju serba hitam semalam.

Sama sekali orang berbaju serba hitam itu tidak dikenalnya. Dan yang pasti, ada orang lain lagi yang menginginkan kematiannya pula. Orang yang tidak diketahui sama sekali itu seperti sengaja melenyapkan lawan bertarung Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu menyesal, karena tidak sempat lagi mengorek keterangan dari penyerangnya yang tewas dengan dada tertembus mata tombak di dadanya.

Pagi-pagi begini penduduk Desa Weru sudah keluar dari rumahnya. Mereka yang mengenal Pandan Wangi, langsung menyapa dengan anggukan kepala sedikit Dan Pandan Wangi membalasnya dengan ramah. Gadis itu memang sudah beberapa kali datang ke desa ini, sehingga banyak orang yang mengenalnya dengan baik. Saat itu terlihat seorang laki-laki setengah baya menunggang kuda datang dari arah depan. Pandan Wangi tahu kalau dia adalah Ki Sarumpat, Kepala Desa Weru.

“Hooop...!” Ki Sarumpat menghentikan kudanya tepat di depan Pandan Wangi yang menghentikan ayunan kakinya.

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, kepala desa itu melompat turun dari punggung kuda belang hitam putih yang tegap dan bagus sekali. Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju putih itu menghampiri Pandan Wangi. Kepalanya terangguk sedikit, yang langsung dibalas Pandan Wangi dengan anggukan kepala juga.

“Maaf, Den Ayu. Aku baru mendengar kedatangan Den Ayu pagi ini,” kata Ki Sarumpat dengan sikap sopan dan penuh rasa hormat.

“Ah, Ki Sarumpat ini hanya merepotkan diri saja,” kata Pandan Wangi merasa tidak enak

“Ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan jasa Den Ayu pada desa ini,” kilah Ki Sarumpat.

Pandan Wangi hanya tersenyum saja, lalu mengayunkan kakinya kembali. Ki Sarumpat mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping si Kipas Maut itu sambil menuntun kudanya yang mendengus-dengus mengikuti dari belakang.

Pandan Wangi teringat akan kedatangannya yang terakhir di desa ini. Di sini gerombolan begal yang menguasai desa sempat diobrak-abriknya. Itu sebabnya, kenapa seluruh penduduk desa ini mengenal dirinya dengan baik. Bahkan ketika datang bersama Rangga, desa ini diselamatkan dari kehancuran yang parah sekali.

Desa Weru memang juga bisa dikatakan sebuah desa yang sangat rawan, karena letaknya yang terpencil dan jauh dari desa-desa lainnya. Jadi tak heran bila sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri untuk dijadikan markas mereka. Atau sering juga dijadikan tempat persembunyian bagi tokoh hitam persilatan yang sedang dikejar-kejar pendekar.

Dan memang, setiap kali Pandan Wangi berada di desa ini, pasti ada masalah yang selalu melibatkan dirinya. Baru semalaman saja berada di desa ini, sudah ada orang yang hendak membunuhnya. Pandan Wangi tidak percaya kalau kehadirannya di Desa Weru ini memang sudah dinantikan.

“Kabarnya Den Ayu datang tidak bersama Den Rangga,” kata Ki Sarumpat mengisi kebisuan yang terjadi.

“Benar, Ki. Justru aku sedang mencari Kakang Rangga ke sini,” sahut Pandan Wangi membenarkan.

“Ah..., sayang sekali. Den Ayu terlambat,” desah Ki Sarumpat

“Terlambat..?” Pandan Wangi tercenung.

Gadis itu sampai menghentikan langkahnya sebentar dan memandangi kepala desa itu dalam-dalam. Kemudian kakinya terayun kembali perlahan-lahan.

“Apakah Kakang Rangga baru dari sini, Ki?” Tanya Pandan Wangi.

“Dua hari yang lalu,” sahut Ki Sarumpat

“Dan sekarang ke mana?” tanya Pandan Wangi lagi

“Ke Bukit Tanggul. Katanya, Den Rangga akan menemui seseorang di sana. Aku sendiri tidak tahu, siapa yang akan ditemuinya di bukit gersang itu.”

Pandan Wangi kembali tercenung. Dia tahu, Bukit Tanggul adalah sebuah bukit gersang, dan tidak ada satu tumbuhan pun hidup di sana. Bukit yang hanya terdiri dari batu-batu cadas keras, namun mudah sekali longsor. Bukit itu juga sering dijadikan arena pertarungan bagi tokoh-tokoh rimba persilatan yang ingin menguji ilmu.

Pandan Wangi berharap kalau kedatangan Rangga ke bukit itu tidak karena ingin bertarung. Tapi mengingat bukit itu memang sering dijadikan arena pertarungan, kecemasan tak bisa lagi dibendung. Terlebih lagi, dia tahu kalau tokoh persilatan yang bertarung di sana pasti merupakan tokoh berilmu tinggi. Bukit Tanggul memang terkenal untuk pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi!

“Ki Sarumpat tahu tujuan Kakang Rangga ke sana?” tanya Pandan Wangi.

“Semua orang pasti sudah bisa mengetahui, Den Ayu,” sahut Ki Sarumpat.

Pandan Wangi tidak perlu penjelasan lagi dari jawaban Ki Sarumpat tadi. Sudah jelas, kedatangan Rangga ke sana pasti untuk bertarung. Tapi siapa lawannya...? Dan yang pasti, Pandan Wangi sudah menduga kalau Pendekar Rajawali Sakti pasti hanya memenuhi undangan. Tidak mungkin Rangga membuat tantangan, karena memang tidak pernah membuat tantangan pada siapa pun juga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga tidak pernah mengecewakan orang lain yang memberikan tantangan padanya. Rangga akan melayani walau merasa berat sekali pun.

***
EMPAT
Pandan Wangi memacu cepat kudanya mendaki Bukit Tanggul yang berbatu dan berkerikil tajam, siap menggelincirkan siapa saja yang mencoba melewati nya. Sedangkan agak jauh di belakangnya, tampak Cempaka dan Padmi yang kini masing-masing sudah menunggang kuda. Tapi Cempaka belum berani melepas Padmi berkuda sendiri, meskipun kelihatannya gadis itu sudah bisa mengendalikan kuda. Padmi memang cerdas, dan bisa cepat menangkap apa saja. Hanya setengah hari saja Cempaka mengajarinya menunggang kuda, gadis itu sudah bisa seperti penunggang kuda kawakan saja.

“Hup...!”

Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda yang dihentikan dengan mendadak sekali. Sebentar dipandanginya puncak bukit ini, kemudian pandangannya beralih pada Cempaka yang menuntun Padmi di atas punggung kudanya. Cempaka juga bergegas melompat turun dari punggung kudanya begitu sampai di depan Pandan Wangi, lalu membantu Padmi turun dari kudanya. Pandan Wangi jadi agak terharu juga terhadap Cempaka yang mau bersusah payah mengurusi Padmi yang baru beberapa hari dikenalnya.

“Terpaksa kita tinggalkan kuda di sini,” kata Pandan Wangi.

“Jalan kaki...?!” Cempaka mengerutkan keningnya.

Gadis itu memandangi puncak bukit yang masih kelihatan tinggi, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang saat itu juga tengah memandangi Puncak Bukit Tanggul ini.

“Sebaiknya kau tunggu saja di sini, Cempaka. Aku akan melihat ke atas sana. Mudah-mudahan saja Ki Sarumpat salah,” ujar Pandan Wangi.

“Berapa lama kau akan ke sana?” tanya Cempaka.

“Entahlah,” sahut Pandan Wangi mendesah.

Cempaka diam saja, lalu sedikit melirik Padmi. Memang tidak mungkin membawa gadis yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan mendaki bukit yang gersang ini. Dan kelihatannya bukit ini berbahaya sekali.

“Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Kak,” kata Cempaka mengalah.

Pandan Wangi tersenyum dan menepuk pundak Cempaka, kemudian menepuk pundak Padmi. Tanpa mengucapkan sesuatu, si Kipas Maut itu langsung melesat cepat berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Gerakannya sangat cepat dan ringan sekali. Maka dalam waktu sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan Cempaka dan Padmi. Sementara itu Padmi terus memandangi Pandan Wangi yang semakin jauh menuju Puncak Bukit Tanggul ini. Dia kagum dengan kepandaian yang dimiliki Pandan Wangi.

“Enak sekali ya, kalau bisa seperti itu,” gumam Padmi tanpa sadar.

“Kau juga bisa, Padmi,” sahut Cempaka dengan bibir menyunggingkan senyum.

Padmi tersipu malu. Ternyata gumamannya yang tidak disadari tadi didengar Cempaka.

“Kalau kau mau berlatih, pasti bisa,” kata Cempaka lagi.

“Berlatih...?” Padmi memandangi Cempaka dalam-dalam.

“lya! Untuk bisa menguasai ilmu olah kanuragan, harus berlatih lebih dahulu. Dan harus ada seseorang yang bisa memberikan latihan. Kau harus mencari seorang guru, Padmi,” jelas Cempaka.

“Bagaimana kalau Kak Cempaka sendiri yang melatihku,” kata Padmi meminta dengan polos.

Cempaka jadi tertawa geli mendengarnya. Tapi dihargainya juga keinginan Padmi yang begitu menggebu ingin bisa ilmu olah kanuragan. Mungkin karena beberapa peristiwa yang dialaminya, sehingga dia begitu berminat terhadap ilmu olah kanuragan. Terlebih lagi setelah melihat pertarungan yang dilakukan Cempaka dan Pandan Wangi. Dan sekarang, ketika melihat Pandan Wangi bisa bergerak begitu cepatnya mendaki bukit batu yang gersang ini, Padmi semakin tertarik untuk bisa seperti itu. Disesali kalau dirinya begitu lemah.

“Bukannya aku tidak mau, Padmi. Aku sendiri masih harus banyak belajar. Apa yang kumiliki sekarang ini, masih banyak kekurangannya,” kata Cempaka merendah.

“Aku bersedia mengabdikan diri sepenuhnya, Kak. Aku akan melakukan apa saja yang Kak Cempaka perintahkan,” tegas Padmi mantap.

“Jangan, Padmi. Sebaiknya carilah seorang guru yang pantas dan berilmu tinggi. Aku belum pantas menjadi guru,” Cempaka masih merendah.

Padmi seperti kecewa dengan penolakan Cempaka yang halus itu. Dan ini membuat adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu semakin iba saja. Keinginan Padmi yang mau mempelajari ilmu olah kanuragan padanya kini dipertimbangkannya.

“Nanti akan kutanyakan dulu pada Kakang Rangga, Padmi. Kalau Kakang Rangga mengizinkan, aku akan memberimu jurus-jurus yang kumiliki,” kata Cempaka berjanji.

“Siapa itu Kakang Rangga?” tanya Padmi ingin tahu.

“Dia kakakku, tunangannya Kak Pandan,” jelas Cempaka.

“Apakah Kakang Rangga juga berilmu tinggi?” tanya Padmi lagi.

“Wah...! Sukar dikatakan, Padmi. Aku sendiri belum ada seujung kukunya bila dibandingkan Kakang Rangga,” Cempaka membanggakan kakak tirinya itu.

“Tapi sungguh ya, Kak...?” Padmi ingin penegasan

Cempaka mengangguk dan tersenyum.

“Terima kasih, Kak,” ucap Padmi gembira.

Lagj-lagi Cempaka hanya tersenyum saja. Dia memang juga merasa senang jika bisa membantu kaumnya sendiri. Bahkan sebenarnya dia ingin agar wanita-wanita di mayapada ini tidak lemah dan mampu bertindak pada laki-laki. Terutama pada laki-laki yang biasanya suka menganggap kaum wanita yang hanya penghias saja yang harus dinikmati sepuas-puasnya. Setelah itu, dicampakkan bagai sampah busuk

Padmi kembali diam. Namun dari sorot matanya, dia ingin sekali bertemu orang yang bernama Rangga itu. Bahkan banyak penduduk Desa Weru yang mengenal Rangga dengan nama Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya sekadar mengenal, tapi juga mengagumi dan menghormatinya. Padmi sendiri pun baru tahu kalau Pandan Wangi juga memiliki julukan, yaitu si Kipas Maut. Dia tidak mengerti dengan nama-nama yang terdengar aneh itu.

***

Sementara itu Pandan Wangi sudah sampai di Puncak Bukit Tanggul yang sangat gersang ini. Sepanjang mata memandang, hanya batu-batu saja yang tampak. Tak ada satu tumbuhan pun yang hidup. Hal ini membuat udara di puncak bukit ini menjadi begitu panas menyengat bila matahari bersinar terik, Meskipun angin berhembus kencang, tapi tidak mampu meredam panasnya sinar matahari yang menyorot langsung tanpa penghalang sedikit pun juga.

Pandan Wangi mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada yang bisa dilihat kecuali batu-batu yang memenuhi puncak bukit ini. Bahkan tidak terdengar apa pun, selain hembusan angin kencang di sekitarnya yang menebarkan debu dari batu-batu yang meranggas terpanggang. Namun pandangan si Kipas Maut itu tertumbuk pada seberkas cahaya yang membias dari balik sebuah batu besar di sebelah Selatan.

“Hup...!”

Cepat sekali Pandan Wangi melesat ke arah cahaya yang membias terang di antara teriknya sinar matahari yang memancar langsung tanpa penghalang sedikit pun juga.

“Oh...!” Pandan Wangi mendesah begitu sampai ke balik batu itu.

Tampak sekali kalau di sana sedang terjadi pertarungan adu kesaktian dari dua orang laki-laki. Yang seorang sangat dikenali, sedangkan yang seorang lagi tidak dikenalnya. Tentu saja Pandan Wangi mengenali pemuda yang mengenakan baju rompi putih. Dia memang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti yang nama sebenarnya adalah Rangga.

Pandan Wangi tak berani mendekat, karena tahu kalau saat ini Rangga tengah mengerahkan ajiannya yang sangat dahsyat Aji 'Cakra Buana Sukma'. Satu ajian yang belum ada tandingannya pada saat ini. Dan Pandan Wangi mengetahui kedahsyatan dari ajian itu.

“Hiyaaa...!”

"Yeaaah...!”

Mendadak saja dua orang yang sedang bertarung itu sama-sama berteriak nyaring melengking tinggi. Dan terlihat, mereka sama-sama berpentalan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti terpental sejauh dua batang tombak, namun manis sekali sepasang kakinya menjejak mantap di atas bebatuan. Sedangkan lawannya sempat bergulingan beberapa kali di atas bebatuan sebelum melompat bangkit berdiri. Tubuhnya agak limbung sedikit, namun mampu menguasainya dengan cepat sekali.

Pandan Wangi memandang laki-laki berusia lanjut itu tanpa berkedip. Laki-laki tua berusia mungkin sudah mencapai delapan atau sembilan puluh tahun. Dia mengenakan baju panjang berwarna biru tua.

“Aku mengakui ketangguhanmu, Pendekar Rajawali Sakti,” puji laki-laki tua itu sambil menyeka darah yang menetes keluar dari sudut bibirnya.

“Kau juga patut dibanggakan, Eyang Raksa,” sahut Rangga diiringi senyuman.

“Terus terang, itu tadi ilmu pamungkasku yang terakhir. Dan jika kau masih memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi, saat ini juga aku mengaku kalah,” kata laki-laki tua yang dipanggil Eyang Raksa itu, jujur.

Rangga tidak langsung menjawab. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti masih memiliki ilmu-ilmu simpanan yang didapatkan dari Satria Naga Emas. Dan aji 'Cakra Buana Sukma' tadi merupakan ilmu pamungkasnya dari Pendekar Rajawali yang menjadi gurunya meskipun sudah meninggal seratus tahun yang lalu.

“Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti,..? Apakah kau masih memiliki ilmu lain?” tanya Eyang Raksa ingin tahu.

“Tidak,” sahut Rangga yang tidak ingin mengecewakan laki-laki tua ini.

“Hm.... Kau tidak mengatakan yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Eyang Raksa agak bergumam. Dan nada suaranya seperti kecewa.

“Aji 'Cakra Buana Sukma' merupakan ilmu terakhir dari ilmu-ilmu Rajawali Sakti. Dan aku tidak memiliki yang lainnya,” jelas Rangga terus terang.

“Aku tahu kalau mendiang gurumu punya sahabat karib di masa hidupnya. Apakah Satria Naga Emas tidak menurunkan sedikit ilmunya padamu...?”

Rangga agak terkejut juga. Tidak disangka kalau laki-laki tua ini mengetahui banyak tentang Pendekar Rajawali dan Satria Naga Emas yang hidup lebih dari seratus tahun lalu. Namun sedapat mungkin Rangga tidak ingin menonjolkan diri kalau juga memiliki beberapa ilmu yang diturunkan Satria Naga Emas padanya. Karena jarang sekali ilmu-ilmu dari Satria Naga Emas dalam setiap pertarungan digunakannya. Pendekar Rajawali Sakti lebih senang menggunakan ilmu-ilmu Rajawali Sakti yang sangat sesuai dengan gelar yang disandangnya.

“Aku tahu, kau tentu punya alasan sendiri sehingga tidak mau mengeluarkan ilmu milik Satria Naga Emas, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kemenanganmu tetap kuakui. Dan aku menyatakan kalah padamu sekarang juga,” kata Eyang Raksa jujur.

Orang tua itu memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih yang telah membuatnya takluk hari ini di Puncak Bukit Tanggul. Selama puluhan tahun bergelut di dalam ganasnya rimba persilatan, baru kali ini dia menyatakan takluk, meskipun pada seorang pemuda.

“Jangan terlalu merendah begitu, Eyang. Aku lebih senang jika kita bersahabat,” kata Rangga.

“Kau memang benar-benar seorang pendekar sejati, Pendekar Rajawali Sakti,” puji Eyang Raksa kagum dengan kerendahan hati Rangga.

"Panggil saja aku Rangga, Eyang,” pinta Rangga.

“Rangga...,” gumam Eyang Raksa dengan kepala terangguk-angguk. “Nama yang gagah....”

Rangga tersenyum saja, kemudian membalikkan tubuhnya. Tapi hatinya jadi terkesiap begitu matanya tertumbuk pada sesosok tubuh ramping terbungkus baju ketat warna biru muda. Memang sulit dipercaya dengan apa yang dilihatnya.

“Pandan..,” desis Rangga.

Pandan Wangi menghampiri Rangga dengan langkah setengah berlari. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya menunggu saja di samping Eyang Raksa. Gadis itu berhenti setelah jaraknya sekitar tiga langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih. Sesaat mereka saling berpandangan dengan kerinduan terpancar pada sinar mata satu sama lain. Kalau saja tidak ada orang lain di sini, pasti Pandan Wangi sudah menghambur memeluknya untuk melepaskan kerinduan yang terpendam di dalam dada.

“Kakang...,” hanya itu yang bisa terucapkan Pandan Wangi.

“Dari mana kau tahu aku ada di sini, Pandan?” tanya Rangga.

“Ki Sarumpat yang memberi tahu,” sahut Pandan Wangi.

Rangga tidak bertanya lagi. Pendekar Rajawali Sakti memang pernah mengatakan akan ke bukit ini pada Ki Sarumpat, Dan dia memang sempat singgah di Desa Weru sebelum datang ke sini. Tapi maksudnya ke bukit ini memang tidak diberitahukannya.

Rangga kemudian memperkenalkan Pandan Wangi pada Eyang Raksa. Seorang tokoh tua yang hanya ingin menguji ilmu dengannya.

"Kau beruntung bisa dekat dengan pendekar tangguh berhati emas, Nisanak,” puji Eyang Raksa.

“Sudahlah, Eyang. Jangan terlalu banyak memuji. Bisa besar kepala nanti aku...,” seloroh Rangga.

Mereka tertawa lepas mendengar seloroh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan suasana kaku cepat terusir dari diri masing-masing. Hanya saja Rangga tidak mengerti akan kedatangan Pandan Wangi yang begitu tiba-tiba ini. Rasanya tidak mungkin kalau Pandan Wangi tidak membawa sesuatu, hingga jauh-jauh datang dari Karang Setra ke Bukit Tanggul ini.

Mereka kemudian berjalan perlahan tanpa ada yang bisa dijadikan alasan untuk bergegas meninggalkan Puncak Bukit Tanggul ini. Namun begitu sampai di lereng bukit, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun melihat dua orang gadis yang kelihatannya sedang menunggu dirinya. Rangga mengenali gadis yang satunya lagi, dan ini membuatnya jadi memandang Pandan Wangi seperti minta penjelasan. Dan semakin diyakini kalau ada sesuatu, sehingga Pandan Wangi dan Cempaka jauh-jauh datang mencarinya.

“Nanti aku jelaskan,” kata Pandan Wangi bisa mengerti pandangan Rangga.

“Rangga, sebaiknya aku pergi saja. Barangkali ada persoalan pribadi yang hendak kau sampaikan,” kata Eyang Raksa tahu diri.

Rangga tidak sempat lagi mencegah, karena Eyang Raksa sudah cepat melesat meninggalkannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan laki-laki tua itu sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga kembali melangkah agak cepat menghampiri Cempaka yang menunggu ber-sama Padmi. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari belakang.

“Kakang....”

Cempaka langsung menghambur memeluk Rangga. Sikap Cempaka ini membuat Rangga agak gelagapan juga. Gadis itu selalu saja bersikap begitu bila bertemu dengannya. Tidak dipedulikan lagi kalau di sekitarnya ada orang lain. Perlahan Rangga melepaskan pelukan adik tirinya ini. Dan kalau didiamkan saja, Cempaka tidak akan melepaskan pelukannya. Rangga tahu betul hal ini.

“Oh, iya.... Ini Padmi, Kakang. Aku membawanya karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” Cempaka langsung mengenalkan Padmi pada Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti pun memegang tangan Padmi dan menepuk-nepuk bahunya. Kemudian ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri di samping sebelah kanannya.

“Jangan salahkan Kak Pandan, Kakang. Aku sendiri yang mau ikut Kak Pandan dan Kakang Danupaksi sudah melarangku,” jelas Cempaka cepat, seakan-akan sudah merasakan kalau Rangga akan menyalahkan Pandan Wangi karena membawanya.

“Ada apa sampai menyusulku ke sini?” tanya Rangga langsung.

“Hanya kangen saja, kok,” celetuk Cempaka menyahuti dengan cepat

Rangga menatap Cempaka sebentar, kemudian beralih pada Padmi. Pandangannya kemudian berhenti pada Pandan Wangi. Dia tahu kalau tidak akan mungkin bisa mendapatkan jawaban berarti dari Cempaka. Dan hanya Pandan Wangi yang benar-benar bisa diajak bicara. Itu pun kalau Pandan Wangi tidak kumat dengan sikapnya yang dulu lagi.

“Ada apa, Pandan?” tanya Rangga.

“Hanya sedikit persoalan saja, Kakang,” sahut Pandan Wangi

“Persoalan apa?” desak Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau ada sesuatu yang sangat berat sehingga kedua gadis ini mencarinya jauh-jauh. Dan yang pasti, persoalan itu harus diselesaikan oleh dirinya sendiri. Rangga sudah merasa yakin sekali.

“Jelaskan, Pandan. Aku tidak ingin bertele-tele,” desak Rangga.

“Nanti saja, Kakang. Masih banyak waktu...,” ujar Cempaka seraya menggamit lengan Pendekar Rajawali Sakti dan memeluknya dengan sikap manja.

Dan Rangga tidak bisa lagi melakukan sesuatu saat Cempaka sudah menariknya berjalan menuruni lereng bukit ini. Sementara Pandan Wangi hanya menarik napas panjang saja. Diambilnya tali kekang, lalu berjalan sambil menuntun kuda putih itu. Sementara Padmi terpaksa menuntun dua ekor kuda tanpa mengeluh sedikit pun juga.

Pandan Wangi memandangi Cempaka yang berjalan di depan sambil memeluk lengan Rangga. Sikap gadis itu manja sekali. dan Pandan Wangi sebenarnya iri melihatnya. Dia ingin sekali bermanja-manja begitu pada Rangga, tapi tidak mungkin bisa dilakukan di depan orang lain. Sedangkan kesempatan untuk mereka berdua terbatas sekali. Sepertinya tidak ada waktu bagi Pandan Wangi untuk menunjukkan rasa cintanya pada Pendekar Rajawali Sakti.

Memang ada sedikit kecemburuan di hatinya. Tapi harus disadari kalau Cempaka adalah adik tiri Rangga. Dan tidak mungkin ada hubungan lain di antara mereka selain hubungan kakak dan adik. Memang diakui oleh Pandan Wangi kalau sikap Cempaka terasa terlalu berlebihan.

“Ahhh...,” Pandan Wangi mendesah panjang.

***
LIMA
Pandan Wangi memandangi laki-laki tua berbaju putih yang bernama Ki Ramal atau berjuluk si Peramal Maut. Peramal tua itu tengah asyik berbicara dengan seorang laki-laki bertubuh gemuk dan berpakaian indah. Melihat dari pakaiannya, Pandan Wangi menduga kalau laki-laki gemuk itu seorang saudagar yang kebetulan singgah di desa ini.

“Kasihan saudagar itu....”

Pandan Wangi berpaling ketika mendengar suara yang begitu dekat di sampingnya. Entah dari mana, tahu-tahu Ki Jantar sudah berada di sampingnya. Laki-laki tua pemilik kedai ini seperti tidak tahu kalau Pandan Wangi tengah memandanginya.

“Kenapa kau berkata seperti itu, Ki?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Pasti bakal ada yang mati lagi,” sahut Ki Jantar setengah bergumam.

“Maksudmu...?” Pandan Wangi tidak mengerti.

“Si Peramal Maut itu pasti sedang meramal kematian Saudagar Kanta. Hhh..., bakalan kehilangan satu pelanggan lagi,” keluh Ki Jantar.

“Jangan percaya dengan ramalannya, Ki,” kata Pandan Wangi. Karena dirinya sendiri juga diramal bakal mati oleh Peramal Maut, tapi sampai sekarang masih bisa bernapas.

Ki Jantar berpaling menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya. Pandan Wangi menggeser duduknya memberi tempat pada pemilik kedai dan rumah penginapan ini. Ki Jantar menempatkan diri di samping si Kipas Maut itu.

“Apa dia juga meramalmu, Den Ayu?” tanya Ki Jantar.

“Iya, malam itu,” sahut Pandan Wangi.

“Oh...!” Ki Jantar terkejut

Malam itu Ki Jantar memang melihat peramal tua itu bicara dengan Pandan Wangi. Dan pada saat ditanyakan, tampaknya Pandan Wangi tidak ingin membicarakannya. Tapi setelah beberapa hari tidak juga ada kebenaran dari ramalan peramal tua itu, tampaknya Pandan Wangi tidak lagi mempercayainya. Bahkan seperti melupakan semua yang dikatakan laki-laki tua peramal kematian itu.

“Kalau begitu, Den Ayu harus hati-hati,” tegas Ki Jantar memperingatkan.

“Kenapa aku harus hati-hati, Ki?” tanya Pandan Wangi memancing keingintahuannya.

“Ramalan peramal tua itu tidak pernah meleset Kalau dikatakan dua hari lagi mati, pasti orang yang diramalkannya akan menemui ajal pada hari yang ditentukan,” jelas Ki Jantar.

“Sudah banyak korbannya, Ki.”

“Bukan banyak lagi, Den Ayu.”

“Apakah mereka mati dibunuh?” Pandan Wangi jadi teringat peristiwa malam itu.

Peristiwa serangan gelap itu terjadi setelah si Peramal Maut itu meramalkan kematiannya. Tapi dia tidak yakin kalau serangan gelap itu ada hubungannya dengan ramalan. Dugaannya, orang yang menyerangnya pasti punya dendam padanya. Dan tentu saja dendam itu ingin dilampiaskannya malam itu. Hanya saja Pandan Wangi menduga kalau bukan hanya satu orang. Terbukti, penyerang itu tewas bukan karenanya, tapi ada orang Iain yang sengaja membunuhnya secara licik. Entah apa maksudnya, Pandan Wangi sendiri tidak tahu.

“Tidak semuanya, Den Ayu,” sahut Ki Jantar.

“Maksudmu, Ki?”

“Macam-macam saja kematiannya, Den Ayu. Bahkan ada juga yang mati mendadak tanpa diketahui penyebabnya. Atau kecelakaan, dan ada juga dibunuh perampok. Pokoknya mereka yang pernah diramal, pasti mati pada saat hari yang telah ditentukan. Entah mati karena apa,” jelas Ki Jantar.

“Tapi dia tidak menentukan kapan waktunya aku mati, Ki,” kata Pandan Wangi.

“Apa yang dikatakannya padamu, Den Ayu? tanya Ki Jantar.

“Katanya aku akan mati dalam waktu beberapa hari ini saja,” sahut Pandan Wangi.

“Dua hari lagi....”

Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara orang menyeletuk. Gadis itu langsung ber-paling. Begitu juga Ki Jantar. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri laki-laki tua yang telah memperkenalkan diri dengan nama Ki Ramal. Sedangkan semua orang di desa ini menjulukinya si Peramal Maut. Karena peramal tua ini selalu meramal kematian orang dalam waktu yang tepat seperti apa yang telah dikatakannya.

“Aku melihat adanya bayangan gelap dan hawa kematian pada dirimu, Nisanak. Dua hari lagi ajalmu akan datang. Kuharap kau berhati-hati, dan sebaiknya pergi jauh dari sini melewati tiga gunung dan tiga sungai agar bisa terlepas dari kematianmu,” ujar si Peramal Maut itu.

Namun sebelum Pandan Wangi bisa mengatakan sesuatu, laki-laki tua berbaju putih itu sudah berjalan meninggalkannya. Jalannya ringan sambil mengayun-ayunkan tongkatnya. Pada saat itu, terlihat sebuah kereta kuda yang cukup indah tengah bergerak cepat meninggalkan halaman depan kedai ini. Di dalamnya terlihat Saudagar Kanta dengan wajah murung terselimut mendung. Mungkin dugaan Ki Jantar tadi memang benar kalau saudagar kaya itu mendapat ramalan kematiannya dari si Peramal Maut.

“Peramal edan...! Seenaknya saja menentukan kematian orang!” dengus Pandan Wangi geram.

“Sebaiknya Den Ayu cepat pergj dari sini, seperti yang dikatakannya,” kata Ki Jantar.

“Tidak! Aku ingin tahu, apa memang dia bisa mengetahui kematianku,” sahut Pandan Wangi mantap.

Ki Jantar tidak bisa lagi memaksa. Dia tahu kalau Pandan Wangi sudah berkata demikian, tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya. Terlebih lagi, gadis ini memang sudah sering menghadapi tantangan. Jadi, tidak mungkin merasa takut meskipun kematiannya sudah diramal akan datang dua hari lagi.

***

Meskipun Pandan Wangi tidak ingin mempercayai ramalan yang dianggapnya gila itu, tapi dalam dua hari ini hatinya selalu gelisah. Terlebih lagi setelah mendengar kematian Saudagar Kanta yang keretanya terbalik ke dalam jurang. Saudagar itu memang diramalkan akan mati dalam dua hari ini, dan itu menjadi kenyataan. Inilah yang membuat Pandan Wangi semakin gelisah saja.

Pandan Wangi sudah berusaha untuk tidak menunjukkannya di depan siapa saja. Namun Rangga masih juga mengetahui kegelisahan di dalam diri gadis itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau Pandan Wangi telah diramal kematiannya dari seorang peramal tua yang dijuluki si Peramal Maut. Rangga bisa mengetahui dari cerita Ki Jantar. Bahkan Cempaka juga sudah member!tahukan padanya.

Saat itu Pandan Wangi tidak keluar dari kamamya. Sejak pagi tadi, dia seialu mengurung diri di dalam kamar. Dan terpaksa Cempaka meminta agar Padmi mengantarkan makanan ke kamar Pandan Wangi. Tapi Padmi mengatakan kalau Pandan Wangi tidak menyentuh makanannya sama sekali. Dan yang lebih membuat cemas lagj, Pandan Wangi tidak ingjn ditemui siapa pun. Katanya, masa dua hari ramalan itu ingin dilewatkannya. Kalau sampai besok pagi masih hidup, itu berarti ramalan peramal tua itu tidak bisa dipercaya.

“Bagaimana kalau ramalan itu benar, Kakang?” tanya Cempaka yang jadi ikut gelisah di dalam kamarnya.

Saat itu malam sudah demikian larut. Sementara Rangga memang sengaja berada di kamar Cempaka, karena kamar ini bersebelahan dengan kamar Pandan Wangi. Jadi kalau terjadi sesuatu, bisa dketahui dengan pasti dan cepat. Sementara malam terus bertambah semakin larut. Dan ketegangan semakin terasa menyelimuti seluruh hati mereka. Bahkan Padmi sendiri yang biasanya sudah tidur, masih juga terjaga. Ketegangan ini ikut dirasakannya pula.

Brak!

Tiba-tiba saja terdengar suara seperti benda berat yang jatuh ke lantai dari kamar Pandan Wangi. Seketika itu juga Rangga melompat ke jendela. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat keluar dari jendela kamar Pandan Wangi. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat dengan pasti, kembali berkelebat sebuah bayangan biru dari dalam kamar itu juga.

“Hup...!”

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar. Cempaka bergegas melompat ke jendela, tapi tidak jadi mengikuti kakak tirinya itu. Dia ingat dengan Padmi yang saat ini juga harus dijaga keselamatannya. Sementara Rangga sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Cempaka bergegas berlari ke pintu dan cepat membukanya. Dia bergegas berlari ke luar. Padmi yang sejak tadi duduk saja di tepi pembaringan, mengikutinya. Dia merasa takut berada sendirian di dalam kamar itu.

Sementara Cempaka sudah berada di depan pintu kamar Pandan Wangi. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, gadis itu mencoba membuka pintu kamar itu. Namun sepertinya terkunci dari dalam. Cempaka tak punya pilihan lain lagi. Segera dikerahkannya kekuatan tenaga dalamnya. Dan....

Brak!

Pintu kamar yang hanya terbuat dari kayu biasa itu hancur seketika. Cempaka langsung menerobos masuk. Hatinya terkejut ketika melihat keadaan kamar yang berantakan. Suara pintu yang hancur, membuat kegaduhan di malam yang sunyi ini. Tak lama setelah Cempaka berada di dalam, Ki Jantar muncul. Laki-laki tua pemilik rumah penginapan ini juga terkejut melihat keadaan kamar Pandan Wangi yang berantakan bagai kapal pecah tersapu badai di lautan.

“Apa yang terjadi, Den Ayu...?” tanya Ki Jantar.

“Ramalan itu, Ki...,” sahut Cempaka terputus suaranya.

“Jadi...?!” Ki Jantar juga tersedak suaranya di tenggorokan.

“Aku tidak tahu, apa yang terjadi pada Kak Pandan. Kamar ini sudah kosong,” jelas Cempaka dengan nada suara setengah mengeluh.

Sementara di ambang pintu, Padmi hanya berdiri saja memandangi keadaan kamar yang berantakan seperti baru saja terjadi pertarungan di sini. Sedangkan Cempaka melangkah mendekati jendela. Daun jendela itu sudah hancur berantakan tak berbentuk lagi. Gadis itu melayangkan pandangannya ke luar, menembus kegelapan malam yang begitu pekat.

“Den Rangga di mana?” tanya Ki Jantar.

“Tidak tahu,” sahut Cempaka tanpa berpaling.

“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada Den Ayu Pandan Wangi...,” desah Ki Jantar perlahan. Walaupun dia sebenarnya sibuk juga memikirkan keadaan kamar penginapannya yang berantakan.

Cempaka tidak menyahuti. Harapannya juga begitu. Hatinya iba juga melihat Pandan Wangi begitu tersiksa selama dua hari belakangan ini. Cempaka hanya bisa berharap saja, tanpa dapat melakukan sesuatu yang berarti.

***

Sementara itu, Rangga yang mengejar bayangan hitam dan biru yang keluar dari dalam kamar Pandan Wangi, menjadi kehilangan jejak di perbatasan sebelah Selatan Desa Weru ini. Tadi memang masih sempat terlihat dua bayangan itu melewati perbatasan desa yang langsung berhubungan dengan Rimba Tengkorak ini. Tapi begitu tiba, bayangan itu lenyap seperti ditelan bumi saja.

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya. Matanya memandang tajam ke sekitarnya. Rangga tidak yakin kalau bayangan tadi masuk ke dalam hutan itu. Dia tahu kalau hutan itu sangat berbahaya jika malam hari. Tapi Pendekar Rajawali Sakti ingat betul kalau Pandan Wangi pernah merajai hutan ini. 

Maka Rangga merasa yakin kalau bayangan biru yang diyakininya memang Pandan Wangi telah masuk ke dalam hutan Rimba Tengkorak ini (Pandan Wangi memang pernah mendiami Rimba Tengkorak ini cukup lama. Bagi para pembaca yang ingjn tahu lebih jelas, silakan baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Perawan Rimba Tengkorak).

Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menerobos masuk ke dalam hutan, mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat cepat keluar dari balik semak yang tidak seberapa jauh di samping kanannya. Bayangan hitam itu langsung menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts...!”

Bergegas Rangga berkelit menghindar, namun terlambat sedikit Dan mendadak bahunya terasa nyeri terkena benturan keras. Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa kali. Dengan cepat keseimbangan tubuhnya dikuasai meskipun agak limbung. Pada saat itu, bayangan hitam tadi kembali melesat cepat ke arahnya. Tapi kali ini Rangga sudah siap menghadapinya. Tubuhnya dimiringkan sedikit ke kiri, lalu secepat kilat tangan kanannya dikibaskan menyambar bayangan hitam itu.

Deghk..!

“Hughkkk..!”

Terdengar keluhan panjang agak tertahan ketika kibasan tangan Rangga menyentuh sesuatu dengan keras. Tampak bayangan hitam itu terpental balik ke belakang, dan bergulingan di tanah beberapa kali.

“Hiyaaa...!”

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat menerjang bayangan hitam itu sebelum bisa berhenti bergulingan. Dan seketika itu juga Rangga memberi satu tendangan keras menggeledek. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras itu tak bisa terbendung lagi, tepat menghajar tubuh berbaju hitam itu dengan keras.

“Akh...!”

Terdengar pekikan keras tertahan. Maka tubuh berbaju hitam itu kembali bergulingan di tanah. Sebatang pohon yang terlanda, seketika hancur berkeping-keping memperdengarkan suara menggemuruh yang keras. Akibatnya, tanah yang dipijak seakan-akan bergetar bagai terjadi gempa. Cepat sekali Rangga melompat, dan langsung mendarat di samping tubuh berbaju hitam yang tergeletak di tanah, di atas pecahan pohon yang terlanda tubuhnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan sebelah kakinya tepat di atas dada orang itu.

Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat melakukan sesuatu, mendadak saja melesat sebuah benda merah ke arahnya. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti terperangah, lalu cepat sekali melentingkan tubuhnya ke udara. Tapi dia jadi terkejut bukan main, karena mendadak saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi

“Aaa...!”

“Heh...?!”

Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika mengetahui kalau orang berbaju hitam itu telah menggelepar sebentar, lalu diam tak bernyawa lagi. Tampak dadanya tertembus benda berwarna merah berbentuk seperti mata tombak. Darah mengucur deras dari dada yang berlubang cukup besar itu.

“Gila...! Permainan apa lagi ini...?!” desis Rangga tidak mengerti.

Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi tidak melihat ada seorang pun di sekitarnya. Suasana malam ini begitu sunyi. Bahkan binatang malam pun seakan-akan enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desiran angin yang terdengar mengusik telinga menebarkan udara dingin malam ini.

“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang.

Dihampirinya sosok berbaju hitam yang tergeletak tak bernyawa lagi. Darah masih mengucur dari dada berlubang cukup dalam itu. Mata tombak yang menghunjam dada orang itu sampai tembus ke punggung. Rangga melepaskan kain hitam yang menyelubungi orang itu. Matanya agak menyipit mengamati wajah seorang anak muda di balik selubung kain hitam ini.

“Aaa...!”

“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar jeritan melengking tinggi.

Suara itu jelas datangnya dari dalam hutan ini Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya masuk ke dalam hutan itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Tak heran kalau dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan lebatnya Rimba Tengkorak ini.

Rangga terbeliak melihat Pandan Wangi tergeletak di tanah. Sedangkan disampingnya berdiri seseorang berbaju serba hitam dengan kepala terselubung kain hitam pula. Tangannya menggenggam sebilah golok besar yang diangkat tinggi-tinggi, siap dihujamkan ke dada si Kipas Maut itu. Tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menyelamatkan gadis itu

“Hup!”

Tap...!

Dengan ujung jari kakinya, Rangga menjentikkan sebuah batu kerikil. Dan ketika kerikil itu berada di tangannya, cepat sekali dijentikkan dengan ujung jari. Batu kerikil sebesar ibu jari itu meluncur deras, langsung menghantam pergelangan tangan orang yang memegang golok itu.

Tak!

“Akh...!” orang berbaju hitam itu memekik keras agak tertahan.

Golok yang sudah terangkat tinggi itu terlepas dari genggaman tangannya. Seketika itu juga, Rangga melesat cepat bagaikan kilat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

“Hiyaaat..!”

Wus!

Orang berbaju serba hitam itu cepat berkelit sehingga tendangan geledek Pendekar Rajawali Sakti yang dialiri tenaga tinggi itu tidak mengenai sasaran sama sekali. Rangga harus puas kalau hantaman kakinya melanggar sebatang pohon yang langsung hancur berkeping-keping disertai ledakan keras menggelegar.

Sementara orang berbaju hitam itu tampak sudah bersiap mengirimkan satu serangan jarak jauhnya. Dan tiba-tiba saja tangan kanannya dihentakkan ke depan tepat saat Rangga baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Dari telapak tangan orang itu meluncur seberkas sinar merah berbentuk bulat bagaikan bola api, yang langsung meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!”

Bergegas Rangga melompat ke samping, lalu menjatuhkan dirinya hingga bergulingan beberapa kali di tanah berumput basah oleh embun. Bola bercahaya merah sebesar kepala bayi itu menghantam pohon besar di belakang Rangga tadi. Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, membuat pohon itu hancur berkeping-keping.

“Hap...!”

Rangga cepat bangkit berdiri, dan langsung bersiap menerima serangan berikut Dan memang, bola merah itu kembali meluncur ke arahnya dengan keras sekali. Tepat ketika bola api itu hampir menyambar tubuhnya, Rangga cepat sekali menarik tubuhnya ke samping. Maka bola merah itu melesat lewat di samping tubuhnya, membuat pancaran hawa panas yang menyengat kulit. Sebelum terdengar ledakan untuk kedua kalinya dari bola merah itu, Rangga sudah melesat cepat ke arah tubuh berbaju hitam itu.

“Hiyaaat..!”

Bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras ke arah orang berbaju hitam yang mengenakan sehibung kain pada kepalanya. Hanya bagian matanya saja yang terlihat dari dua lubang kecil penutup seluruh kepala itu. Serangan Rangga yang tiba-tiba dan tidak terduga itu membuat orang berbaju hitam itu terkejut Dan selagi orang itu melompat menghindar ke atas, pukulan Rangga sudah membentur tumitnya dengan telak.

Deghk!

Seketika keseimbangan orang berselubung hitam itu goyah. Dan sebelum dia sempat berdiri tegak, Rangga sudah kembali menyerangnya. Kali ini orang itu mampu menghindari dua pukulan beruntun yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Rupanya Rangga tidak mau lagi memberi kesempatan pada orang itu untuk berbuat sesuatu, sehingga terus mencecarnya dengan pukulan pukulan keras beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti rupanya membuat orang berbaju hitam ini kewalahan juga. Beberapa kali tubuhnya terkena pukulan dan tendangan bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya dia benar-benar tidak mampu lagi memberi perlawanan.

"Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Rangga memberi satu pukulan keras ke arah dada. Padahal, orang berbaju hitam itu baru saja menerima tendangan keras pada perutnya, sehingga tubuhnya sedikit membungkuk. Namun sebelum pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti itu sampai,orang berbaju hitam itu cepat sekali mengibaskan tangannya. Seketika itu juga melesat sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna merah dari tangan kanannya.

“Uts...!”

Cepat Rangga menarik kembali serangannya, dan secepat itu pula tubuhnya berputar di udara sehingga serangan orang berbaju hitam itu tidak mengenai sasaran. Namun begitu menjejakkan kakinya di tanah, Rangga jadi terkejut sekali. Ternyata orang berbaju hitam itu sudah lenyap, entah ke mana perginya.

“Setan...!” desis Rangga menggeram.

Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun orang berbaju hitam dengan seluruh kepala berselubung kain hitam itu, tidak nampak lagi bayangannya. Bergegas dihampirinya Pandan Wangi yang tergeletak tak bergerak di tanah.

Rangga memeriksa tubuh gadis itu. Segera dihembuskan napas panjang seraya menghempaskan diri, duduk di samping Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti merasa lega setelah mengetahui kalau Pandan Wangi masih bernapas, meskipun lemah sekali.

***
ENAM
Pandan Wangi merintih lirih sambil menggerakkan kepalanya lemah sekali. Dia menggerinjang hendak bangkit berdiri, namun sebuah tangan halus berjari lentik, telah menahannya. Pandan Wangi membuka matanya, dan langsung tertumbuk pada seraut wajah cantik yang sudah amat dikenalnya.

“Oh..., apakah aku sudah mati...?” lirih sekali suara Pandan Wangi.

“Belum. Kak Pandan selamat,” terdengar sahutan halus dan lembut

Pandan Wangi memandangi wajah cantik yang menyunggingkan senyuman manis padanya, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Memang..., dia belum mati. Dikenalinya betul wajah-wajah yang berada di sekitamya. Juga dikenali betul ruangan yang kini ditempatinya. Kembali Pandan Wangi menatap Cempaka yang duduk di sampingnya. Di sebelah Cempaka, duduk Padmi. Sedangkan di dekat jendela, berdiri Rangga bersama Ki Jantar serta Ki Sarumpat

Mereka adalah orang-orang yang sangat dikenalnya. Pandan Wangi yakin kalau dia belum sempat dijemput ajal. Gadis itu mencoba mengingat-ingat, apa yang terjadi hingga sampai tidak sadarkan diri. Tapi terlalu sukar untuk bisa mengingatnya dengan jelas.

“Jelas sudah kalau peramal tua itu punya maksud tidak baik,” tebak Ki Sarumpat, agak bergumam nada suaranya.

“Apakah sudah banyak korbannya?” tanya Rangga yang masih belum mengerti tentang peramal tua itu.

“Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Mereka yang diramal kematiannya, selalu menjadi kenyataan. Terakhir, Saudagar Kanta yang mati karena kereta kuda yang ditumpanginya terjerumus masuk ke dalam jurang. Tak ada yang hidup, semua pengawal dan kusirnya mati,” sahut Ki Sarumpat menjelaskan. “Sudah lama aku selalu mencurigainya, tapi belum ada bukti yang jelas kalau dia yang melakukan semua pembunuhan itu.”

“Aku rasa dia hanya peramal saja yang kebetulan memang tepat ramalannya,” sanggah Ki Jantar.

“Tapi perbuatannya mencurigakan sekali, Ki. Aku sering bertemu peramal-peramal terkenal. Tapi tidak selamanya bisa tepat. Apalagi meramalkan kematian seseorang. Tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan kematian begitu tepat,” bantah Ki Sarumpat gigih.

Sementara Rangga hanya diam saja mendengarkan. Saat itu Pandan Wangi sudah bisa bangkit duduk. Dihabiskan minuman yang diberikan Padmi padanya. Rangga bergegas menghampiri Pandan Wangi saat gadis itu memintanya mendekat Cempaka menggeser duduknya memberi tempat pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Ada apa, Pandan?” tanya Rangga setelah duduk di tepi pembaringan itu.

“Aku rasa bukan dia pelakunya, Kakang. Mungkin memang dia melihat dan memperingatkan aku,” tegas Pandan Wangi.

“Siapa pun orangnya, aku akan menyelidiki. Aku merasa ada sekelompok orang yang sengaja menginginkan kematianmu. Dan orang itu tidak ingin diketahui,” tutur Rangga.

“Yaaah..., sayang sekali aku tidak bisa mengenalinya,” desah Pandan Wangi agak bergumam.

“Aku pasti akan menemukan orangnya, Pandan,” janji Rangga.

Pandan Wangi tersenyum. Dia percaya kalau Rangga pasti akan mengetahui rahasia di balik semua peristiwa ini. Ingin rasanya Pandan Wangi berdua saja dengan Pendekar Rajawali Sakti, pada saat sedang membutuhkan sekali perhatian dari seseorang yang sangat dicintainya. Tapi keinginannya harus bisa dikekang, karena tidak mungkin meminta yang lain untuk meninggalkan kamar ini.

“Istirahatlah dulu, Pandan. Pulihkan dulu kesehatanmu,” kata Rangga lembut.

Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya punggung tangan si Kipas Maut itu dengan lembut, kemudian kakinya melangkah keluar diikuti Ki Jantar dan Ki Sarumpat. Ingin sekali Pandan Wangi mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum bibirnya mengucapkan sesuatu, Rangga sudah menghilang di balik pintu.

Pandan Wangi hanya bisa mendesah dalam hati. Memang sukar baginya punya kesempatan berdua dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tidak seperti dulu, di saat mereka masih sama-sama mengembara mengarungi ganasnya rimba persilatan. Sekarang ini, setiap kali ada kesempatan bertemu, selalu saja ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk berdua saja walaupun hanya sejenak

“Ini makannya, Kak...,” Padmi menyodorkan makanan pada Pandan Wangi.

Si Kipas Maut itu tersenyum seraya menerima piring berisi makanan. Tapi saat ini selera makannya memang sedang tidak ada, meskipun makanan yang diberikan Padmi sungguh mengundang selera.

“Aku yang membuatnya sendiri, Kak. Mungkin tidak enak,” kata Padmi merendah.

“Bohong, Kak. Aku saja sampai nambah kok,” selak Cempaka.

Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum saja, dan mulai menikmati makanan itu sedikit. Memang rasanya enak juga. Mendadak saja Pandan Wangi jadi lapar, sehingga akhimya makanan itu dilahapnya. Bahkan sebentar saja piring makannya sudah licin tak bersisa. Bukan hanya Padmi yang bengong, tapi juga Cempaka terlongong melihat nafsu makan Pandan Wangi begitu besar.

“Masih ada lagi, Padmi?”

“Yaaah.... Sudah habis, Kak,” sahut Padmi menyesal.

“Ya, sudah.”

“Aku buatkan lagi ya, Kak?” Padmi jadi bergairah.

“Nanti sore saja.”

“Ini sudah sore kok, Kak,” selak Cempaka.

Pandan Wangi terlongong. Sungguh tidak disangka kalau saat ini sudah sore. Itu berarti dia tidak sadarkan diri selama hampir seharian. Pantas saja perutnya begitu lapar. Apalagi selama dua hari ini memang belum terisi makanan sama sekali. Dan, entah kenapa..., tahu-tahu gadis itu tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena geli menyadari kebodohannya yang begitu percaya pada ramalan edan itu, sampai-sampai menyiksa diri begini. Melihat Pandan Wangi tertawa, Cempaka dan Padmi jadi ikut tertawa juga. Padahal mereka tidak tahu, apa yang ditertawakannya.

***

Rangga memandangi seorang laki-laki tua berjubah putih yang membawa tongkat tak beraturan bentuknya. Usianya mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahun. Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan kumis dan jenggot yang menyatu, sudah putih semua warnanya. Dari Ki Jantar, diketahuinya kalau orang tua itulah yang dijuluki si Peramal Maut.

Kini si Peramal Maut itu kelihatannya akan mendapat korban lagi. Dia seorang pendatang yang kebetulan singgah di desa ini. Tampaknya pendatang itu seorang putra bangsawan. Ini tampak jelas dari pakaiannya yang mewah, dengan beberapa orang bertampang kasar mengelilingi. Pemuda itu tampak tidak senang, dan langsung beranjak bangkit berdiri. Bergegas ditinggalkan kedai Ki Jantar.

“Hati-hati, Raden. Aku melihat ada kabut hitam menyelimuti perjalananmu,” kata si Peramal Maut itu dengan suara keras memperingati.

Sedangkan pemuda berbaju indah yang diiringi sekitar delapan orang pengawalnya itu tidak mempedulikan, dan terus keluar dari kedai ini. Mereka semua menunggang kuda yang tinggi dan tegap. Saat itu Rangga bergegas bangkit hendak mengikuti pemuda seperti putra bangsawan itu. Tapi sebelum beranjak pergj, Ki Jantar sudah terlebih dahulu menghadangnya.

“Ada apa, Ki?” tanya Rangga.

“Yang tadi itu putra pembesar Kerajaan Karang Setra yang baru pulang dari belajar di Padepokan Gantalaraja,” sahut Ki Jantar memberi tahu.

Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya rombongan yang terdiri dari sembilan orang itu. Sudah cukup jauh mereka meninggalkan kedai ini. Dan memang tujuan mereka ke arah Kerajaan Karang Setra, dan yang pasti akan melewati Rimba Tengkorak lebih dahulu sebelum sampai di kotaraja.

“Putra siapa itu, Ki?” tanya Rangga yang tidak tahu kalau ada putra seorang pembesar kerajaannya menuntut ilmu di sebuah padepokan yang jauh dari Karang Setra.

“Putra Gusti Patih Lintuk, Den,” sahut Ki Jantar.

Rangga bergumam pelan. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu kalau Ki Lintuk yang sekarang menjadi patih di Karang Setra memiliki seorang putra yang mungkin sebaya dengannya. Tapi mengapa Ki Lintuk tidak pernah cerita mengenai keluarganya? Dan Rangga sendiri tidak pernah menanyakan.

“Selamatkan dia, Den. Kalau sampai tewas, bisa kacau desa ini. Pasti jago-jago Karang Setra bisa mengamuk di sini,” kata Ki Jantar dengan nada penuh kecemasan.

Rangga tersenyum di dalam hati. Memang jago-jago Karang Setra sudah terkenal ketangguhannya. Tapi rasanya Rangga tidak akan membiarkan mereka mengobrak-abrik sebuah desa hanya karena kematian seorang putra pembesar. Pendekar Rajawali Sakti selalu menganjurkan agar menyelesaikan persoalan, tidak menyengsarakan rakyat kecil. Karena rakyat kecil bisa membantu dengan baik jika dimintai bantuan secara layak. Semua persoalan akan bisa diselesaikan dengan baik dan cepat tanpa melalui kekerasan yang brutal.

“Aku pergi dulu, Ki,” ujar Rangga bergegas melangkah.

Pendekar Rajawali Sakti sempat melirik si Peramal Maut yang memang setiap hari berada di kedai ini Namun, pendekar digdaya itu tidak punya waktu lama-lama lagi. Dia langsung melompat ke punggung kudanya begitu berada di luar. Seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap, bernama Dewa Bayu.

Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya, lalu melesat cepat meninggatkan debu yang mengepul tinggi ke udara. Sungguh cepat sekali larinya, bagai anak panah lepas dari busur. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kedai itu.

Sementara itu Ki Jantar hanya memandangi saja dari ambang pintu kedainya. Berdirinya bergeser sedikit saat si Peramal Maut itu melangkah ke luar. Ki Jantar hanya menganggukkan kepalanya sedikit saja saat si Peramal Maut itu melewatinya.

“Ada awan hitam menyelimuti tubuhmu, Ki,” bisik peramal tua itu.

“Hah...?!” Ki Jantar terbengong mendengar bisikan yang membuat jantungnya terasa berhenti berdetak seketika itu juga.

Tapi peramal tua itu sudah jauh meninggalkannya dengan ayunan kaki ringan. Laki-laki tua itu seperti berjalan biasa saja. Namun kedua telapak kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah, dan sebentar saja sudah jauh pergi ke arah Selatan. Sementara Ki Jantar masih terbengong di ambang pintu. Kata-kata si Peramal Maut yang hanya satu kalimat itu merupakan peringatan baginya.

“Oh, Jagat Dewa Batara.... Apakah ajalku sudah dekat..?” keluh Ki Jantar lirih.

Sementara itu Rangga sudah dekat dengan rombongan putra Ki Lintuk yang baru diketahuinya tadi dari Ki Jantar. Pendekar Rajawali Sakti itu melompat turun dari kudanya. Dibiarkannya Dewa Bayu menyingkir ke tepi hutan yang kelihatan angker. Sedangkan dirinya sendiri langsung melentingkan tubuhnya ke atas pohon. Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga tubuhnya bagai kapas tertiup angin. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia berlompatan dari satu pohon ke pohon lain.

Rangga sengaja menjaga jarak agar tidak diketahui kalau tengah membuntuti rombongan itu. Sementara rombongan kecil yang berjumlah sembilan orang dan semuanya berkuda itu sudah mulai memasuki Rimba Tengkorak Dan belum juga jauh memasuki hutan, mendadak saja....

Slap!

Swing...!

Puluhan anak panah mendadak bertebaran ke arah rombongan kecil itu. Seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya lima orang yang mengiringi pemuda itu. Sedangkan yang lain sudah kerepotan berjumpalitan menghindari hujan anak panah yang datang dari segala penjuru.

Dan begitu hujan anak panah itu berhenti, bermunculan sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya berselimut kain hitam pula. Hanya dua lubang kecil pada mata yang terlihat. Mereka langsung berlompatan sambil mengacung-acungkan golok, menyerang rombongan yang sudah berkurang lima orang itu.

Sementara Rangga yang berada di atas pohon, masih berusaha menahan diri. Namun begitu melihat orang-orang berpakaian hitam itu semakin mendesak, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi membiarkan. Terlebih lagi dua orang yang mengawal pemuda putra pembesar Kerajaan Karang Setra itu terlihat roboh bersimbah darah.

“Hiyaaat..!”

Bagaikan seekor burung rajawali, Rangga meluruk deras ke arah pertarungan itu. Beberapa kali tangannya yang terkembang lebar dikibaskan. Saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Salah satu jurus dari Rangkaian Lima Jurus Rajawali Sakti yang sangat dahsyat dan sukar dicari tandingannya saat ini.

Sebentar saja, beberapa orang sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar menyayat. Bukan saja pemuda putra pembesar Karang Setara itu yang terkejut. Bahkan orang-orang berpakaian serba hitam itu juga tersentak kaget dengan munculnya Pendekar Rajawali Sakti. Dalam beberapa gebrak saja, sudah lebih dari delapan orang yang tewas terkena sabetan tangan Rangga yang bagaikan mata pedang saja tajamnya.

“Mundur...!” tiba-tiba terdengar teriakan keras.

Sisa-sisa orang berbaju hitam yang tinggal beberapa orang lagi, dengan cepat berlompatan kabur. Gerakan mereka cukup ringan dan cepat juga. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, semuanya sudah menghilang di dalam hutan.

“Biarkan! Jangan dikejar!” sentak Rangga mencegah pemuda yang wajahnya cukup tampan itu mengejar.

Pemuda berpakaian mewah itu mengurungkan niatnya. Namun dia jadi mendesis geram tatkala melihat tujuh orang pengawalnya sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Tidak sedikit pula dari orang-orang berbaju hitam yang tergeletak berlumuran darah. Tak ada lagi yang bernyawa di antara mereka. Pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak di antara mayat-mayat bergelimpangan.

“Siapakah kau, Kisanak?” tanya pemuda itu seraya menatap Rangga dalam-dalam Dia memang tidak tahu kalau yang ada di hadapannya kini adalah orang yang harus dijunjungnya. Memang, pemuda itu sejak kecil berada di padepokan.

“Rangga,” sahut Rangga singkat.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak,” ucap pemuda itu.

Rangga tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pergi. Pemuda berbaju mewah itu bergegas mengikuti sambil menyambar tali kekang kudanya, dan menuntun kuda berwarna coklat belang putih itu. Disejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti yang menuju keluar dari Rimba Tengkorak ini.

“Namaku Landara. Siapa tadi namamu, Kisanak...?” pemuda itu memperkenalkan diri.

“Rangga,” sahut Rangga tanpa berpaling. Dia tetap saja melangkah keluar dari hutan ini.

“Apakah kau tahu, siapa orang-orang itu?” tanya Landara lagi.

"Tidak,” sahut Rangga singkat

“Tapi, kenapa kau menolongku?”

“Karena kau perlu pertolongan. Maaf, aku harus pergi. Dan kalau hendak ke Karang Setra, ambil saja jalan memutar melewati Gunung Rangkas. Dari sana kau harus melewati Desa Palung. Dari desa itu kau tinggal meneruskan perjalanan ke Selatan sedikit, sudah sampai di Karang Setra,” Rangga memberi tahu jalan yang teraman dan cepat

Landara tertegun mendengar penjelasan yang lengkap itu. Sepertinya pemuda ini tahu jelas jalan-jalan yang bisa menuju ke Karang Setra. Dia sampai berhenti melangkah dan memandangi Rangga yang terus saja berjalan dengan ayunan kaki yang tetap. Dia tidak tahu kalau pemuda itu adalah rajanya. Raja Karang Setra yang berkelana.

“Kisanak, terima kasih...!” ucap Landara, agak keras suaranya.

Rangga hanya mengangkat tangannya saja tanpa sedikit pun menoleh. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat Rangga baru menghentikan ayunan kakinya, dan memutar tubuh-nya. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum ketika melihat Landara mengikuti petunjuknya. Tidak lagi harus menerobos Rimba Tengkorak lagi, tapi memutarinya menuju Gunung Rangkas. Dan sebenarnya agak jauh sedikit apabila melewati Gunung Rangkas, tapi jalan itulah yang teraman dari incaran orang-orang berbaju hitam yang masih belum jelas ini

Rangga kembali memutar tubuhnya dan berjalan perlahan lahan menuju kembali ke Desa Weru. Ayunan kakinya begitu ringan dan tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan, meskipun berjalan melalui tumpukan daun-daun kering dan rerumputan yang meranggas tersengat sinar matahari.

“Hm..., aku harus mengawasi peramal tua itu. Tampaknya ada hubungan antara peramal itu dengan orang-orang berbaju hitam ini,” tebak Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke punggung kudanya. Seketika itu juga kuda hitam itu digebah cepat. Bagai anak panah lepas dari busurnya, Dewa Bayu berpacu cepat meninggalkan tepian hutan ini. Sebentar saja kuda itu sudah jauh menuju Desa Weru yang tampaknya tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

***
TUJUH
Rangga mendadak menghentikan lari kudanya. Kelopak matanya agak menyipit memandangi orang-orang berbaju hitam pekat telah berdiri berjajar di mulut Desa Weru. Jumlah mereka begitu banyak, dan lebih besar daripada satu pasukan prajurit. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya. Jelas sekali kalau orang-orang berbaju hitam itu sengaja menunggunya di tempat ini.

Rangga melangkah ke depan beberapa tindak, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di depan mereka. Sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa membuka suara, mendadak berkelebat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya ketat, berwarna merah menyala. Sebilah pedang panjang tergantung di pinggangnya. Dia juga menggenggam sebatang tombak berbatangkan seperti keris berkeluk tujuh.

Meskipun sudah berusia lebih dari setengah abad tapi wajahnya masih mencerminkan kegagahan. Hanya sorot matanya saja yang tajam memancarkan sinar kekejaman. Rangga memperhatikan orang berbaju merah itu lekat-lekat. Diyakini kalau orang ini adalah pemimpin dari orang-orang berbaju serba hitam. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling.

“Hm...,” terdengar gumaman kecil dari bibir Rangga yang terkatup rapat

Pendekar Rajawali Sakti mencari si Peramal Maut Tapi laki-laki tua yang selalu meramalkan kematian orang itu, tidak nampak di sekitar tempat ini. Meskipun begitu, Rangga yakin kalau antara peramal itu dengan orang-orang ini memiliki hubungan erat

“Anak muda! Kau hanya kuberi peringatan sekali ini saja! Jika kau tetap keras kepala, aku tidak segan-segan mengirimmu ke neraka sekarang juga!” agak berat dan besar suara laki-laki berbaju merah ketat itu.

“Rasanya aku tidak kenal denganmu. Lalu, kenapa kau memberi peringatan?” tanya Rangga.

“Jangan banyak omong, Bocah! Kau berhadapan dengan Setan Merah Lembah Neraka!” bentak orang berbaju merah yang menyebut dirinya Setan Merah Lembah Neraka.

“Lembah Neraka terlalu jauh dari sini. Lantas, apa urusannya sampai kesasar ke wilayah kulon ini, Kisanak?” agak bergumam suara Rangga.

“Itu urusanku, Bocah!” bentak Setan Merah Lembah Neraka kasar.

“Kalau begitu, kau tidak punya hak untuk memperingatkan padaku, Kisanak,” tenang sekali kata kata Rangga.

“Sudah kuduga, kau pasti akan membandel...!” desis Setan Merah Lembah Neraka gusar.

“Aku memang tidak akan menuruti kalau persoalannya tidak dijelaskan,” kata Rangga lagi. Kali ini kata-katanya bernada memancing.

“Rupanya kau bukan hanya keras kepala, tapi banyak omong juga...,” kata Setan Merah Lembah Neraka sinis.

“Mulutku memang digunakan untuk bicara, Kisanak. Dan aku perlu tahu, untuk apa kau memberi peringatan padaku. Lagi pula, aku tidak tahu, apa yang kau peringatkan...,” kata Rangga lagi dengan suara masih terdengar tenang.

Tapi mata Pendekar Rajawali Sakti tajam sekali merayapi orang-orang berbaju hitam yang berdiri berjajar di depannya, dalam jumlah yang cukup besar. Kekuatan seperti ini sudah cukup untuk menggempur sebuah kadipaten. Dan Rangga ingin sekali mengetahui keberadaan mereka di sekitar Desa Weru dan Rimba Tengkorak ini. Karena mustahil jauh-jauh datang dari wilayah wetan ke kulon ini kalau tidak mempunyai tujuan pasti.

“Anak muda, untuk terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Sebaiknya cepat tinggalkan Desa Weru ini, atau kau akan mati tergantung menjadi santapan serigala liar,” dingin sekali suara si Setan Merah Lembah Neraka itu.

“Untuk apa aku harus pergi?” tanya Rangga.

“Kau tidak ada urusannya di sini!” bentak Setan Merah Lembah Neraka berang.

“Aku masih banyak urusan di desa ini. Terutama mengusir kalian yang telah membunuh banyak orang!” tegas sekali kata-kata Rangga.

“Setan keparat..! Rupanya kau lebih memilih mati. Bocah!” geram Setan Merah Lembah Neraka semakin gusar.

“Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kisanak. Aku khawatir malah kau sendiri yang justru benar-benar ke neraka,” sambut Rangga dingin.

“Keparat..!” Setan Merah Lembah Neraka tidak bisa lagi menahan kegusarannya.

Kata-kata Rangga yang kalem itu menusuk sekali. Tak perlu dijelaskan lagi kalau Rangga tidak ingin menyerah begitu saja. Setan Merah Lembah Neraka langsung menghentakkan tombaknya ke tanah sambil menggeram. Seluruh wajahnya memerah bagai terbakar. Dan begitu tombaknya terhentak untuk ketiga kalinya, seketika itu juga dari belakangnya berlarian orang-orang berbaju hitam.

Mereka langsung saja mencabut senjatanya, lalu berteriak-teriak sambil berlarian mengacung-acungkan goloknya. Sementara Rangga sempat melompat mundur beberapa tindak. Disadari kalau tidak akan mungkin menghadapi begini banyak orang, maka....

“Suiiit..!”

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti bersiul nyaring melengking tinggi sambil mendongakkan kepalanya sedikit. Pada saat itu, sebuah golok berkelebat cepat di depan dadanya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok itu hanya lewat di depan dadanya.

Pendekar Rajawali Sakti sengaja tidak mengerahkan aji 'Bayu Bajra' yang bisa mendatangkan angin topan. Ini karena dia tidak ingin para penyerangnya mati semua. Dan kalau hal ini terjadi, akan sulit mencari keterangan tentang si Peramal Maut dan si Setan Merah Lembah Neraka.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras, Rangga menghentakkan kakinya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Des!

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tak bisa dibendung lagi dan tepat menghantam dada salah seorang penyerangnya yang berada tepat di depan.

“Aaakh...!” orang berbaju hitam itu memekik keras melengking tinggi.

Pada saat yang hampir bersamaan, sebuah golok berkelebat memperdengarkan suara mendesing ke arah kepala Rangga. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti merundukkan kepalanya, sehingga golok itu lewat sedikit di atas kepalanya. Seketika itu juga dilontarkan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam sempurna.

Deghk!

“Aaa...!”

Kembali satu orang terpental terkena pukulan keras yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum Rangga sempat memperbaiki posisi tubuhnya, datang lagi serangan cepat dari arah lain. Meskipun beberapa kali Rangga bisa menghindari serangan-serangan itu, namun dirinya merasa tidak mampu menghadapi begini banyak pengeroyok yang rata-rata memiliki kemampuan cukup tinggi Ini bisa dilihat dari serangan-serangan mereka yang cepat dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi.

Setinggi apa pun kemampuannya, tetap saja Pendekar Rajawali Sakti manusia biasa yang masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan. Menghadapi keroyokan begini banyak, Rangga benar-benar kewalahan juga. Mau tidak mau dia terus mengeluarkan tenaga lebih bila dibanding bertarung satu lawan satu.

“Bedebah...!” geram Rangga ketika satu tendangan dari pengeroyoknya hampir membedol perutnya. Untung saja Pendekar RajawaB Sakti masih mampu berkelit menghindar. Kembali datang serangan yang lebih cepat, sebelum Pendekar Rajawali Sakti menguasai keseimbangan tubuhnya yang agak goyah.

Beghk!

“Setan...!” umpat Rangga begitu punggungnya terkena hantaman keras bertenaga dalam cukup tinggi. Beberapa bilah golok berdatangan dengan cepat hendak merajamnya. Pada saat itu, Rangga benar-benar dalam keadaan yang sulit sekali. Ruang geraknya benar-benar telah terpatahkan.

***

“Khraghk..!”

Tepat di saat Rangga hampir sedang terdesak, mendadak saja terdengar suara serak menggelegar memecahkan udara. Dan tiba-tiba saja dari angkasa meluruk sesuatu yang besar berwarna hitam pekat berkilat. Orang-orang berbaju hitam itu terpekik kaget Dan sebelum disadari apa yang terjadi, mendadak saja tubuh-tubuh mereka berpentalan. Jerit dan pekikan melengking tinggi terdengar menyayat saling sambut.

Belum ada yang bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja makhluk hitam besar itu menyambar tubuh Rangga yang baru saja bisa bangkit berdiri. Kemudian bagaikan kilat, bayangan hitam besar berkilatan itu melesat cepat ke angkasa sambil memperdengarkan suara keras memekakkan telinga.

“Khraaaghk..!”

“Hieeeghk..!”

Pada saat yang sama, kuda hitam Dewa Bayu yang tertinggal, meringkik keras sambil mengangkat kedua kakinya. Seketika itu juga Dewa Bayu melesat bagai kilat ke arah yang sama dengan makhluk hitam besar yang membawa Pendekar Rajawali Sakti. Sebelum para pengeroyok itu menyadari apa yang terjadi, mendadak tubuh mereka telah berpentalan!

Tampak orang-orang berbaju serba hitam, hanya bisa terbengong tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Dalam waktu yang singkat saja Rangga sudah lenyap entah ke mana dibawa bayangan hitam besar bersuara nyaring memekakkan telinga.

“Keparat..!” geram Setan Merah Lembah Neraka melihat penghalang terbesarnya lolos dari kematian yang hampir menjemput

Setan Merah Lembah Neraka bergegas memerintahkan anak buahnya meninggalkan tempat ini. Mereka langsung bergerak cepat, dan menghilang di dalam kelebatan Rimba Tengkorak. Suasana di dekat perbatasan sebelah Selatan Desa Weru seketika jadi hening, seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Hanya mayat-mayat bergelimpangan saja yang menandakan kalau di sini baru saja terjadi pertarungan.

“Hm...,” tiba-tiba saja terdengar suara menggumam.

Gumaman itu datang dari sebuah semak belukar yang tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan tadi. Terlihat sebuah kepala menyembul menengadah ke atas. Matanya tidak berkedip memandang ke arah Rangga yang melayang dibawa sesuatu yang hitam dan besar tadi. Tak berapa lama kemudian, orang itu melesat, langsung menghilang bagai ditelan bumi

Bruk!

“Akh...!” Rangga memekik tertahan ketika tubuhnya terbanting di tanah.

Pendekar Rajawali Sakti menggeliat bangkit berdiri. Seketika matanya terbeliak melihat seekor burung rajawali raksasa berbutu hitam pekat dan berkilat. Di depan burung raksasa itu berdiri seorang gadis berparas cantik mengenakan pakaian serba hitam yang pekat. Selembar pita berwarna hitam, mengikat kepalanya.

“Intan...,” desis Rangga mengenali gadis itu.

Gadis berbaju serba hitam itu tersenyum manis. Kemudian kakinya melangkah menghampiri Rangga yang seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Gadis itu memang Intan Kemuning, putri Patih Giling Wesi dari Kerajaan Galuh. Dia juga berjuluk Putri Rajawali Hitam (Untuk mengetahui tentang Putri Rajawali Hitam, baca kisah Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Sepasang Rajawali dan Sabuk Penawar Racun).

“Bagaimana kau bisa cepat datang pada saat yang tepat, Intan?” tanya Rangga setelah bisa menguasai diri.

“Kau yang memanggilku,” sahut intan Kemuning kalem.

“Aku memanggil Rajawali Putih,” sergah Rangga karena tidak merasa memanggil gadis ini yang selalu muncul bersama Rajawali Hitam.

“Yaaah..., kebetulan saja Rajawali Hitam mendengar panggilanmu,” sahut Intan Kemuning lagi dengan ringan sekali.

Sebenarnya Rajawali Putih mendengar siulan Pendekar Rajawali Sakti. Dan ketika burung itu berangkat Rajawali Hitam telah memberi isyarat untuk tidak pergi menolong Pendekar Rajawali Sakti. Karena, Rajawali Hitam kebetulan berada di dekat pertarungan, dan bisa lebih cepat menolong Rangga.

Rangga sudah membuka mulutnya kembali, tapi tidak jadi bersuara karena mendengar langkah kaki kuda menuju tempat ini. Bersamaan dengan berpalingnya kepala Pendekar Rajawali Sakti, muncul seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap. Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi

Rangga melambaikan tangannya, memanggil kuda itu. Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu melangkah menghampiri sambil mendengus-dengus. Kepalanya terangguk-angguk dengan kaki menghentak ke tanah beberapa kali.

“Dewa Bayu, ini temanku. Namanya Intan Kemuning. Dan itu juga sahabat kita. Namanya Rajawali Hitam,” Rangga memperkenalkan Dewa Bayu pada Intan Kemuning dan Rajawali Hitam.

“Khraghk..!

Rajawali Hitam menyambut baik perkenalan ini. Dan Intan Kemuning menepuk-nepuk leher kuda itu diiringi senyuman manis. Dewa Bayu juga merasa senang dengan perkenalan ini. Kepalanya diangguk-anggukkan sambil mengangkat sebelah kaki depannya sedikit

“Kakang, sebenarnya aku sudah datang ke Karang Setra. Tapi aku tidak sabar menunggumu di sana. Jadi aku cari sendiri saja. Kebetulan, kudengar kau ada di Desa Weru,” kata Intan Kemuning, agak pelan suaranya.

“Oh, ya...??” kening Rangga agak berkerut

“Adik dan tunanganmu yang mencari. Aku tidak tahu, apakah mereka sudah bertemu denganmu atau belum,” Intan Kemuning memberi tahu.

“Sudah,” sahut Rangga.

“Mereka sudah mengatakan tentang diriku?” tanya Intan Kemuning ingin tahu.

“Belum,” sahut Rangga terus terang.

“Belum...?”

“Tidak ada waktu, Intan. Dan mungkin juga Pandan Wangi maupun Cempaka menunggu waktu yang tepat”

“Hhh.... Kalau aku terus menunggu di Karang Setra, pasti sudah terlambat” keluh Intan Kemuning.

“Ada persoalan apa, Intan?”

“Sedikit,” sahut Intan Kemuning agak mendesah.

“Katakan saja, barangkali aku bisa membantumu.”

“Sebenarnya aku bisa mengatasi sendiri, Kakang. Tapi ini termasuk wilayah kekuasanmu. Dan aku tidak bisa bertindak begitu saja tanpa sepengetahuanmu. Makanya aku mencarimu, Kakang,” jelas Intan Kemuning.

“Kau mengejar seseorang?” tebak Rangga.

“Benar.”

“Siapa?”

“Si Peramal Maut dan adiknya si Setan Merah Lembah Neraka,” sahut Intan Kemuning.

“Siapa...?!” Rangga tersentak kaget mendengar dua nama disebutkan Intan Kemuning barusan.

Betapa tidak terkejut? Karena, kedua nama itulah yang kini menjadi permasalahan baginya. Bahkan bukan saja dirinya, tapi juga bagi Pandan Wangi dan seluruh penduduk di Desa Weru. Kedua nama itu memang masih diliputi kabut misteri yang cukup tebal dan sukar disingkapkan.

Kedatangan Intan Kemuning dengan menyebutkan dua nama itu, seakan-akan membawa sinar terang untuk menyingkap tabir dari si Peramal Maut dan Setan Merah Lembah Neraka. Keterkejutan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat Intan Kemuning jadi mengerutkan keningnya juga. Tidak diduga kalau kedua nama itu membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut setengah mati.

“Kau kenal dengan mereka, Kakang?” tanya Intan Kemuning.

“Bukan hanya kenal, tapi aku memang sedang ada persoalan dengan mereka,” sahut Rangga mencoba memberi senyum, tapi sebenarnya hendak menenangkan dirinya sendiri.

“Kebetulan sekali. Sudah lama aku memburu keparat-keparat itu, Kakang,” Intan Kemuning jadi gembira.

“Boleh aku tahu, mengapa kau memburu mereka, Intan?” tanya Rangga ingjn tahu.

“Mereka sudah membuat kekacauan di Kerajaan Galuh. Tidak sedikit pembesar dan anggota keluarga istana jadi korban ramalan mautnya. Tidak ada yang sanggup menandingi mereka. Maka aku punya tanggung jawab untuk memberantas mereka, Kakang,” tegas kata kata Intan Kemuning.

“Lalu, kenapa mereka bisa sampai lari ke sini?” tanya Rangga.

“Ke mana pun mereka ada, aku selalu mengejarnya. Dan pengejaranku sampai ke sini.”

“Oh... Jadi kau ingin bertemu denganku hanya untuk minta izin. Begitu...?”

“Jika Kakang tidak berkeberatan, aku ingin meminta bantuan juga. Ilmu mereka tinggi sekali. Terus terang, aku sendiri tidak akan sanggup menghadapi mereka berdua. Apa lagi anak buah si Setan Merah Lembah Neraka begitu banyak, seperti satu pasukan prajurit saja.”

“Aku tahu, tadi juga aku hampir mati oleh mereka.”

“Tadi...?!” Intan Kemuning tampak terkejut

“Iya! Tadi itu orang-orangnya si Setan Merah Lembah Neraka.”

“Benar-benar gila manusia keparat itu!” desis Intan Kemuning menggeram. “Setiap tempat selalu mengganti seragam anak buahnya! Huh...! Ingin rasanya aku cepat-cepat menghabisinya...!”

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar geraman kemarahan gadis ini. Tapi bisa dimaklumi kalau kemarahan yang melanda diri Intan Kemuning begitu hebat. Karena Putri Rajawali Hitam ini sudah lama juga memburu si Peramal Maut dan Setan Merah Lembah Neraka. Tampaknya gadis ini kewalahan juga. Karena pada setiap tempat yang didatangj, mereka seialu mengubah ciri dan penampilan. Terutama pakaian para pengikutnya, sehingga sukar bagi orang lain untuk bisa cepat mengenalinya.

“Lantas, apa yang akan kau lakukan, Intan?” tanya Rangga ingin tahu tindakan gadis itu.

“Apa lagi...? Selagi mereka ada di sini, aku tidak akan membiarkannya lolos lagi!” tegas Intan Kemuning.

“Apa kau akan membawa mereka ke Kerajaan Galuh, Intan?”

“Tidak! Gusti Prabu sudah menyerahkan pelaksanaan hukumannya padaku. Jadi mereka harus mati di tempat,” sahut Intan Kemuning tetap tegas.

Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa melarang Intan Kemuning untuk menghukum mati mereka. Terlebih lagi putri Patih Kerajaan Galuh ini sudah mendapatkan perintah dari rajanya untuk menghukum kedua orang itu di tempat. Dan memang, mereka sudah sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.

“Intan. Kau tahu, kenapa mereka berbuat begitu?” tanya Rangga yang merasa kalau mereka melakukan semua itu tentu ada alasan yang tepat

“Di samping ingin dikenal, mereka juga mempunyai dendam pada Gusti Prabu,” sahut Intan Kemuning.

“Hanya ingin dikenal...?” Rangga seperti tidak percaya dengan jawaban Putri Rajawali Hitam itu.

“Benar. Si Peramal Maut itu ingin namanya terkenal sebagai peramal sakti yang tidak pernah meleset ramalannya. Dan bodohnya lagi, adiknya malah membantu kegilaan itu. Dasar saja si Setan Merah Lembah Neraka haus darah. Dia memang sudah terkenal kekejamannya di daerah wetan.”

“Lalu, dendamnya pada Prabu Galuh?” tanya Rangga lagi.

“Anak si Peramal Maut pernah dihukum mati oleh Gusti Prabu, karena telah memperkosa dan membunuh istri pembesar istana. Kemudian dengan berpura-pura menjadi ahli nujum, peramal itu melakukan aksinya, membunuhi para pembesar istana. Dan pada suatu saat, rahasianya terbongkar lalu dia kabur ke daerah ini,” jelas putri Patih Kerajaan Galuh ini.

“Kalau memang begitu, tidak ada alasan lagi untuk menunda menghentikan mereka,” tegas Rangga.

“Tunggu apa lagi, Kakang? Selagi mereka belum kabur dari sini.”

***
DELAPAN
Seharian Rangga menjelajahi Rimba Tengkorak, mencari Setan Merah Lembah Neraka dan orang-orangnya, serta si Peramal Maut yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini. Tapi sampai senja datang mengunjungi mayapada ini, belum juga bisa menemukan orang-orang itu. Bahkan Intan Kemuning yang mencari lewat udara pun, tidak melihat adanya tanda-tanda tempat persembunyian mereka di dalam hutan yang cukup ganas dan angker ini.

Bahkan Rangga sendiri meminta bantuan ular-ular penghuni hutan ini. Tapi usahanya tetap tidak membawa hasil yang menggembirakan. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa kembali ke Desa Weru. Dia tidak ingin bermalam di hutan yang cukup ganas ini. Sedangkan Intan Kemuning masih terus mencari tanpa mengenal lelah. Mereka akan saling memberi tahu jika menemukan tempat persembunyian orang-orang itu.

Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempas kan tubuhnya di bangku begitu berada di dalam kedai Ki Jantar. Laki-laki tua pemilik kedai ini bergegas menghampiri sambil membawa seguci arak manis. Rangga langsung meneguknya, membasahi tenggorok an yang terasa kering. Sedangkan Ki Jantar duduk di depannya. Hanya sebuah meja yang menghalangi mereka.

“Lihat peramal tua itu, Ki?” tanya Rangga seraya meletakkan guci arak ke meja di depannya.

“Tadi dia ada di sini, lalu pergi lagi,” sahut Ki Jantar.

“Ke mana perginya?” tanya Rangga.

“Tidak tahu, Den. Tidak ada yang tahu tempat tinggalnya. Dia seperti hidup di atas pohon saja,” sahut Ki Jantar.

Rangga mendesah panjang. Memang tidak mudah untuk mencari seseorang yang begitu tertutup. Apalagi semua orang di desa ini tidak tahu pasti asal-usulnya. Bahkan tidak ada yang tahu, di mana tempat tinggalnya. Pendekar Rajawali Sakti memandangi Ki Jantar yang kelihatannya murung. Tidak seperti biasanya laki-laki tua pemilik kedai ini begitu murung.

“Ada persoalan, Ki?” tanya Rangga memperhatikan kemurungan pemilik kedai itu.

“Dia meramalkan kematianku,” sahut Ki Jantar lesu.

“Jangan percaya, Ki,” tegas Ranggga.

“Bagaimana tidak percaya, Den. Sudah banyak buktinya kalau ramalannya selalu menjadi kenyataan,” ada nada keluhan pada suara Ki Jantar.

“Hal itu tidak akan terjadi, Ki. Percayalah padaku. Dia itu hanya penipu. Tidak ada orang yang bisa mengetahui datangnya kematian,” Rangga meyakinkan Ki Jantar.

“Malam nanti katanya aku akan mati, Den,” kata Ki Jantar lirih.

“Percayalah, Ki. Aku akan menjagamu sepanjang malam. Tidak ada yang bisa meramalkan kematianmu. Itu hanya kebohongan saja, Ki,” Rangga terus meyakinkan Ki Jantar yang sudah kehilangan semangat hidupnya lagi.

“Den Rangga bisa menjamin kalau aku masih bisa tetap hidup?”

“Tidak, Ki. Aku tidak bisa mengatakan itu. Hidup dan mati seseorang bukan manusia yang menentukan. Tapi Hyang Widi-lah yang menciptakan seluruh mayapada ini. Tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan datangnya ajal. Ki Jantar harus yakin itu. Jangan percaya pada ramalan kosong. Percayalah, Ki. Si Peramal Maut itu hanya omong kosong saja,” Rangga terus memompa semangat Ki Jantar yang sudah rapuh.

Pada saat itu Pandan Wangi, Cempaka, dan Padmi masuk ke dalam kedai ini. Mereka tampak heran, karena kedai ini sepi sekali. Tak ada satu pun pengunjung yang datang. Bahkan pintu dan jendela nya tertutup rapat. Mereka menghampiri Rangga yang duduk satu meja dengan Ki Jantar, lalu menarik kursi masing-masing dan duduk melingkari meja.

“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi seraya memandangi Rangga dan Ki Jantar bergantian.

“Ini..., Ki Jantar dapat ramalan,” sahut Rangga.

“Kurang ajar...!” desis Pandan Wangi, geram.

“Ini tidak bisa didiamkan terus, Kakang. Jelas kalau peramal tua itu punya maksud tertentu,” sambung Cempaka.

“Coba Ki Jantar melihat kejadian yang dialami Pandan Wangi. Bukan secara kebetulan Pandan Wangi diserang malam itu. Semua itu sudah diatur si Peramal Maut,” jelas Rangga, memberi contoh pada peristiwa yang menimpa si Kipas Maut setelah mendapat ramalan kematiannya.

“Iya, Ki. Jangan percaya pada ramalan kosong itu. Buktinya Kak Pandan masih tetap hidup,” selak Cempaka.

“Apakah aku bisa selamat nanti?” tanya Ki Jantar tidak yakin

“Pasti, Ki,” sahut Cempaka cepat

“Kalian akan membantuku melawan ramalan itu?” ujar Ki Jantar berharap.

“Tanpa diminta pun, kami akan melawan, Ki,” sahut Cempaka lagi.

"Terima kasih. Tapi kalaupun aku tetap mati, kuharap kematianku bukan karena ramalan maut itu.”

“Jangan khawatir, Ki,” Cempaka memberi keyakinan.

“Kapan ramalan itu datangnya, Ki?” tanya Pandan Wangi menyelak.

“Tadi,” sahut Ki Jantar mulai agak tenang.

“Waktunya?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Nanti malam.”

“Kalau begitu, kita tunggu mereka di sini,” tegas Cempaka penuh semangat.

“Benar, Kakang. Malam nanti sebaiknya kita tidak tidur,” sambung Pandan Wangi.

Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja menyetujui usul kedua gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti beranjak bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu kedai yang setengah tertutup.

“Mau ke mana, Kakang?” tanya Cempaka, agak keras suaranya.

“Keluar sebentar. Kalian jangan ke mana-mana, dan tetap saja di kedai ini,” sahut Rangga seraya berpesan.

Pendekar Rajawali Sakti langsung menghilang di balik pintu kedai yang kembali tertutup. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka tetap duduk menemani Ki Jantar. Laki-laki tua pemilik kedai itu masih kelihatan murung, meskipun sudah agak tenang. Sementara Padmi sudah sibuk mempersiapkan makanan. Memang tidak ada orang lain di kedai ini. Ki Jantar sudah menutup kedainya begitu mendapat ramalan maut. Bahkan dia juga memberhentikan para pembantunya.

***

Malam sudah larut. Di dalam kedai yang sepi, hanya ada satu pelita yang menerangi seluruh ruangan. Cahaya api pelita itu demikian redup, sehingga tidak mungkin bisa menerangi seluruh sudut ruangan kedai ini. Tampak Ki Jantar duduk saja di kursinya sejak siang tadi. Pandan Wangi dan Cempaka masih menemaninya. Sedangkan Rangga duduk di sudut dengan tenangnya. Padmi masih terlihat duduk memeluk lutut di atas balai-balai bambu tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.

Ketegangan menyelimuti seluruh ruangan kedai ini. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Masing-masing sibuk mengusir ketegangan yang melanda hari. Betapa tidak..? Mereka seperti sedang menanti datangnya maut yang akan menjemput Ki Jantar. Beberapa kali laki-laki tua pemilik kedai itu menyeka keringat yang mengucur deras membasahi wajah dan lehernya. Seluruh baju yang dikenakan sudah dibasahi keringat yang membanjir tak terbendung lagi.

Namun suasana sunyi berselimut ketegangan itu, mendadak dipecahkan suara Pendekar Rajawali Sakti yang keras dan tiba-tiba sekali.

“Awas...!”

Bersamaan dengan terlihatnya sebuah benda merah yang melesat cepat ke arah Ki Jantar, seketika itu juga Rangga menjentikkan jari tangannya. Tampak sebilah bambu kecil melesat cepat memapak benda berwarna merah itu.

Trak!

Benda merah itu langsung rontok, jatuh di lantai kedai sebelum sempat menyentuh kulit Ki Jantar. Saat itu juga, Pandan Wangi melompat cepat menerjang melalui jendela yang sebelumnya sengaja dibuka lebar. Lesatan si Kipas Maut itu sungguh cepat luar biasa. Sehingga dalam sekejap mata saja, sudah lenyap dari pandangan.

Trang!

“Aaa...!”

Tak berapa lama kemudian, terdengar bunyi senjata beradu yang keras sekali. Itu pun masih disusul jeritan panjang melengking tinggi. Sementara itu Cempaka yang masih mendampingi Ki Jantar, sempat melirik ke tempat Rangga tadi duduk. Tapi Pendekar Rajawali Sakti ternyata sudah lenyap tanpa diketahui kapan perginya.

“Ayo, Ki. Kita keluar,” ajak Cempaka.

Ki Jantar dan Padmi bergegas melangkah ke luar mengikuti Cempaka yang sudah lebih dahulu berjalan. Setibanya di luar kedai, mata mereka langsung terbeliak melihat pertarungan sengit bagaikan sebuah peperangan kecil yang berlangsung di halaman depan kedai ini.

Tampak Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat berkelebat menyambar orang-orang berbaju serba hitam pekat. Sedangkan Pandan Wangi mempergunakan kipas mautnya menyambar siapa saja yang dekat dengannya. Jerit dan pekikan melengking terus terdengar saling susul tanpa mengenal kata berhenti. Entah, sudah berapa jumlahnya mayat-mayat berbaju hitam bergelimpangan di tanah berumput cukup tebal ini.

“Khraaaghk...!”

Semua orang yang berada di halaman kedai itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara keras menggelegar agak serak. Dan sebelum keterkejutan mereka lenyap, tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sesuatu yang besar berwarna hitam pekat. Hanya Rangga yang tidak terkejut, tapi malah tersenyum mendengar suara itu.

Sebelum ada yang menyadari apa yang datang itu, mendadak saja tubuh-tubuh berbaju hitam berpelantingan di udara. Jeritan dan pekikan melengking tinggi terdengar saling susul tanpa ada henti-hentinya. Saat itu Rangga mengangkat tangannya ke atas kepala. Dan dari punggung makhluk hitam besar yang ternyata Rajawali Hitam itu, melesat Putri Rajawali Hitam. Gadis yang sebenarnya bernama Intan Kemuning itu langsung menyerang orang-orang berbaju hitam yang jadi kalang kabut.

“Intan, lawanmu di sebelah kiri...!” teriak Rangga memberi tahu.

Intan Kemuning langsung menoleh. Seketika itu juga tubuhnya melesat ke kiri begitu melihat si Peramal Maut berada tidak jauh dari sebelah kirinya.

“Peramal keparat! Sudah terbuka kedokmu sekarang!” geram Intan Kemuning. “Kau bukanlah peramal ulung yang patut dipercayai. Kau hanya meramalkan kematian setiap orang yang akhirnya kau bunuh sendiri melalui kaki tanganmu!”

“He he he...,” peramal tua itu hanya terkekehkekeh. “Kalau sudah tahu, ya jangan marah-marah begitu, Putri Rajawali Hitam.”

“Bersiaplah untuk meramalkan kematianmu sendiri, Peramal Keparat!”

Intan Kemuning langsung saja memberi serangan gencar, membuat laki-laki tua peramal itu jadi mau tidak mau menghindari serangan Putri Rajawali Hitam. Sementara Rangga sudah bertarung dengan si Setan Merah Lembah Neraka. Sedangkan Pandan Wangi tetap menghadapi orang-orang berbaju hitam yang semuanya bersenjatakan golok.

Pada saat itu, Cempaka sudah melompat terjun ke dalam kancah pertempuran. Dia tidak mau ketinggalan dengan yang lain. Gadis itu mengeluarkan pedangnya, langsung mengibaskan cepat pedangnya. Kedua gadis itu baru menyadari kalau lawan mereka ini adalah orang-orang yang pernah mengeroyoknya di hutan menuju Desa Weru.

Orang-orang berbaju hitam itu pernah menyerang mereka, ketika Cempaka baru saja mengajak Padmi pergi dari rumahnya. Gerombolan ini memang selalu membuat onar di mana-mana. Orang tua Padmi juga dibunuh oleh mereka!

Jeritan-jeritan melengking tinggi terus terdengar ditingkahi suara denting senjata beradu. Sementara Rangga terus menggiring Setan Merah Lembah Neraka menjauhi anak buahnya. Laki-laki setengah baya berbaju merah itu benar-benar kewalahan menghadapi gempuran Pendekar Rajawali Sakti yang cepat dan dahsyat bukan main.

“Keparat..!” geram Setan Merah Lembah Neraka ketika satu pukulan menggeledek yang dilepaskan Rangga hampir saja menghancurkan dadanya.

Sret!

Setan Merah Lembah Neraka seketika mengeluarkan pedangnya setelah berhasil mengelakkan pukulan Pendekar Rajawafi Sakti. Langsung pedangnya dikebutkan ke leher Pendekar Rajawali Sakti, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Tap!

“Heh...?!”

Setan Merah Lembah Neraka terkejut bukan main ketika ujung pedangnya terjepit kedua telapak tangan Rangga yang merapat seperti penjepit baja. Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, Setan Merah Lembah Neraka mencoba menarik pedangnya. Namun sedikit pun pedang itu tidak bergeming. Bahkan mendadak saja....

“Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga cepat menghentakkan kakinya disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat dan tiba-tiba itu tak bisa lagi terelakkan. Terlebih, jarak mereka begitu rapat. Tendangan Rangga langsung mendarat di perut Setan Merah Lembah Neraka.

Des!

“Heghk..!”

Tubuh Setan Merah Lembah Neraka itu terdorong ke belakang sekitar lima langkah. Pegangan pedangnya pun terlepas. Saat itu, dengan kecepatan yang mengagumkan, Rangga memutar pedang lawan. Langsung dibabatkannya ke tubuh Setan Merah Lembah Neraka sambil melompat secepat kilat.

“Yeaaah...!”

Cras!

“Aaa...!” Setan Merah Lembah Neraka menjerit melengking tinggi. Sebentar dia masih mampu berdiri. Dan ketika Rangga memberi satu tendangan keras ke dada, seketika itu juga laki-laki berbaju merah itu ambruk ke tanah. Darah mengalir keluar dengan deras sekali. Rangga membuang pedang Setan Merah Lembah Neraka yang berlumuran darah, yang telah menewaskan pemiliknya sendiri.

Kematian Setan Merah Lembah Neraka, membuat si Peramal Maut jadi kelabakan. Perlawanannya pada Putri Rajawali Hitam jadi kacau. Jurus-jurusnya tidak lagi beraturan. Jelas kalau si Peramal Maut jadi kehilangan kepercayaan dirinya. Hal ini benar-benar dimanfaatkan Putri Rajawali Hitam sebaik-baiknya.

Gadis berbaju hitam ketat itu langsung meningkat-kan serangannya, membuat peramal tua itu semakin kewalahan tidak menentu. Beberapa kali sudah, pukulan, dan tendangan yang bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya. Dan peramal tua itu semakin tidak bisa lagi menguasai dirinya. Hingga pada suatu saat...

“Mampus kau...! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras, Putri Rajawali Hitam melontarkan satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Pukulan cepat itu tak bisa lagi terbendung, dan tepat mendarat di dada si Peramal Maut

Deghk!

“Akh...!” si Peramal Maut menjerit keras.

Selagi tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, Putri Rajawali Hitam melompat cepat ke sambil berteriak keras melengking tinggi. Sementara, kedua tangannya diarahkan ke kepala si Peramal Maut

“Hiyaat..!”
Prak!
“Aaa...!”

Satu jeritan panjang melengking, mengakhiri kehidupan si Peramal Maut. Beberapa saat laki-laki tua peramal itu masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk menggelepar di tanah dengan kepala pecah berantakan. Darah langsung menggenang mem-basahi tanah berumput.

Putri Rajawali Hitam berdiri tegak memandangi lawannya yang sudah tewas seketika begitu menyentuh tanah. Segera ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Satu tugas yang dirasakan paling berat, sudah terselesaikan. Gadis itu mengangkat kepalanya ketika merasakan ada seseorang berdiri di depannya. Bibirnya langsung tersenyum melihat Rangga sudah berdiri di depannya sambil tersenyum juga.

“Aku harus pergi sekarang, Kakang,” kata Putri Rajawali Hitam.

“Tidak ingin kenal lebih dekat dengan adikku, Intan?” ujar Rangga mencoba mencegah dengan halus.

“Lain kali saja,” sahut Intan Kemuning yang juga berjuluk Putri Rajawali Hitam.

Secepat kilat Intan Kemuning melesat ke atas, langsung hinggap di punggung rajawali hitam raksasa. Rangga memandangi burung raksasa yang melesat cepat membelah angkasa. Saat itu juga pertarungan berhenti. Orang-orang berbaju hitam yang sudah kehilangan pemimpin, langsung menyerah, menjatuhkan senjatanya. Mereka menyatakan penyesalan atas kelakuannya selama ini. Dan bersedia dihukum atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.

Sama sekali Rangga tidak menyadari kalau penduduk Desa Weru ini sudah berdatangan. Sementara itu Ki Sarumpat memerintahkan para pembantunya meringkus para pengacau. Sedangkan Pandan Wangi, Cempaka, dan Padmi serta Ki Jantar sudah berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti.

“Kakang, ada yang ingin aku katakan padamu,” kata Cempaka setengah berbisik dekat telinga Pendekar Rajawafi Sakti.

Rangga menoleh menatap adik tirinya ini.

“Boleh aku mengangkat Padmi menjadi muridku, Kakang?” Cempaka meminta izin dengan ragu-ragu.

“Kalau kau sudah mampu, silakan. Aku tidak akan melarang,” Rangga mengizinkan.

“Terima kasih, Kakang,” ucap Cempaka gembira.

Rangga hanya tersenyum saja. Dan Pendekar Rajawali Sakti meminta agar Cempaka besok kembali ke Karang Setra, tapi gadis itu minta izin untuk tinggal beberapa hari di desa ini. Kembali Rangga tidak bisa menolak keinginan gadis itu. Hari ini Cempaka benar-benar gembira, karena Rangga tidak menolak sedikit pun semua permintaannya.

Sementara para penduduk desa membenahi mayat-mayat yang bergelimpangan, Rangga sudah menarik tangan Pandan Wangi ke dalam kedai. Tentu saja Pandan Wangi tidak menolak sedikit pun. 

“Kita akan bersama-sama lagi, Pandan,” bisik Rangga lembut di telinga Pandan Wangi.

“Oh, sungguhkah...?”

“Ya! Kita akan mengembara bersama-sama lagi. Seperti dulu.”

Pandan Wangi tidak bisa lagi menyembunyikan kegembiraannya. Langsung dipeluknya Pendekar Rajawali Sakti erat-erat. Sesaat kemudian, mereka sudah kembali menyatu rapat dalam gelora cinta dan kerinduan yang mendalam. Tidak dipedulikan lagi suara-suara di luar yang mencari-cari mereka. Pandan Wangi seakan-akan ingin menumpahkan seluruh cintanya yang selama ini terpendam di dalam dada.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar