Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 24

Ketika melihat betapa pemuda itu memang sudah mewarisi ilmu pedang dan ilmu kipas yang lihai dari Bu-beng Kiam-sian melalui gurunya, yaitu Im-yang Sian-kouw, maklumlah Kui-beng Kui-ong bahwa tidaklah mudah untuk merobohkan pemuda ini tanpa melukainya dan jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tenaga sakti dibantu kekuatan sihirnya.

Maka, setelah berkemak-kemik membaca mantera, dia pun mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Bu sambil berseru,

“Robohlah engkau!”

Hawa dorongan itu dahsyat bukan kepalang. Angin yang menyambar bagaikan badai dan di dalamnya terkandung pula wibawa yang mempengaruhi diri Han Bu. Ada sesuatu yang seolah memaksa dirinya untuk kehilangan daya tahannya dan biar pun dia mencoba untuk bertahan, tetap saja pemuda ini terpelanting. Sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, kakek itu sudah melompat dan menotoknya sehingga pemuda itu tidak mampu bergerak lagi.

Para prajurit kini berlompatan mendekat dan mereka sudah menggerakkan pedang serta golok masing-masing untuk membunuh Han Bu. Akan tetapi Han Bu cepat berseru,

“Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau tidak berani membunuh aku dengan tanganmu sendiri sehingga harus menyuruh anjing-anjingmu ini mengeroyok aku yang sudah tidak mampu bergerak? Pengecut besar!”

Mendengar ini, Ngo-beng Kui-ong menggerakkan tangannya dan angin menyambar amat kuatnya membuat beberapa orang prajurit yang menghampiri Han Bu berpelantingan!

“Tidak ada yang boleh membunuh pemuda ini! Mundur kalian semua!”

Para prajurit ketakutan dan mundur, mengepung dari jarak jauh.

“Ngo-beng Kui-ong, sekarang engkau hendak membunuh aku yang kau buat tidak berdaya dengan ilmu iblismu? Huh, tak tahu malu. Jika kau memang gagah, hayo jangan gunakan ilmu setan tetapi tewaskan aku dalam perkelahian adu ilmu silat yang jujur dan adil. Kalau kau berani!”

“Ho-ho-ho, tak usah berlagak, bocah sombong! Engkau ketakutan maka engkau berlagak pemberani.”

“Ha-ha-ha-ha, kakek tua bangka! Siapa yang takut mati? Aku adalah murid Subo Im-yang Sian-kouw dan cucu murid Sukong Bu Beng Kiam-sian, mana mungkin takut mati? Berarti engkau bohong dan belum mengenal kegagahan mereka!”

“Huh, bagaimana pun juga aku pasti membunuhmu, tapi mengingat akan persahabatanku dengan janda Im-yang Sian-kouw yang menjadi gurumu, biarlah aku memberi kelunakan padamu. Engkau boleh memilih sendiri cara kematianmu. Kalau pilihanmu benar, engkau akan mendapat kehormatan mati di tanganku. Kau tahu, mati di tangan Ngo-beng Kui-ong merupakan kehormatan besar bagi seorang kang-ouw! Akan tetapi kalau pilihanmu tidak benar, engkau akan kuserahkan kepada para anjing ini biar mereka yang mengeroyokmu sampai engkau mampus dengan cara rendah dan hina! Nah, engkau boleh pilih!”

Han Bu adalah seorang pemuda lincah jenaka yang berwatak pemberani dan banyak akal. Mendengar ucapan itu, dia lalu memutar otaknya, mencari akal. Kemudian, dengan wajah cerah, dalam keadaan rebah telentang dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, dia bertanya,

“Ngo-beng Kui-ong, apakah engkau ini benar-benar seorang datuk ilmu silat yang terkenal dan dapat dipercaya janjinya? Ataukah hanya seorang Siauw-jin (Manusia Rendah) yang suka menjilat ludah sendiri, mengingkari janjinya?”

“Bocah setan! Tentu saja aku selalu memegang teguh ucapan dan janjiku!”

“Tadi kau bilang bahwa aku boleh memilih dan kalau pilihanku tepat maka aku akan mati terhormat di tanganmu, sebaliknya apa bila pilihanku keliru maka aku akan mati dikeroyok anjing-anjing ini. Benarkah demikian janjimu?”

“Benar sekali dan aku tidak akan mengingkarinya!”

“Berani engkau bersumpah bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu sendiri? Ingatlah bahwa janjimu disaksikan Bumi dan Langit, juga didengarkan oleh belasan anak buahmu ini. Sebagai seorang datuk besar, tentu engkau tidak akan menjilat ludahmu sendiri!”

Ngo-beng Kui-ong marah sekali. Ia merasa dipermainkan anak muda yang pantas menjadi cucunya, bahkan cucu buyutnya!

“Bocah setan! Siapa hendak mengingkari janji? Aku tak sudi bersumpah, akan tetapi biar semua orang ini menjadi saksi bahwa jika engkau memilih benar maka engkau akan mati terhormat di tanganku, sebaliknya kalau engkau memilih keliru maka engkau akan mati dikeroyok anak buah ini!”

Han Bu mengerutkan alisnya. Wah, tidak enak semua! Akan tetapi seratus kali lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang mati-matian membela diri dari pada sebagai seekor babi yang hanya menguik-nguik dan berkaok-kaok ketakutan menghadapi kematian tanpa melawan!

“Ngo-beng Kui-ong, satu hal lagi. Jika aku memilih benar sehingga aku mati di tanganmu, aku minta agar engkau membebaskan aku dari totokan sehingga aku dapat melawanmu dan mati karena kalah dalam perkelahian. Bagaimana?”

“Tentu saja! Jika pilihanmu benar maka engkau akan melawanku sampai mati, akan tetapi kalau pilihanmu keliru, dalam keadaan tertotok engkau akan dihabisi mereka. Nah, jangan banyak cerewet lagi seperti seorang nenek bawel, cepat lakukan pilihanmu!”

Setelah memutar otaknya dan menahan napas, dengan nekat Han Bu lalu berkata lantang sehingga terdengar oleh semua prajurit yang berada di situ.

“Aku, memilih mati di tangan prajurit ini!”

Mendengar ini para prajurit tertawa riuh, Ngo-beng Kui-ong juga turut tertawa. “Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau hanya seorang pengecut dan takut melawan aku, maka memilih mati seperti seekor tikus! Baiklah. Kalau itu pilihanmu, maka engkau akan mampus dicincang para prajurit ini dan arwahmu tidak boleh menyalahkan siapa pun karena ini merupakan pilihanmu sendiri!” Dia tertawa lagi terbahak. “Tidak kusangka murid Im-yang Sian-kouw setolol ini!”

Para prajurit sudah gatal tangan dan siap untuk mencincang tubuh pemuda pengacau itu dengan golok dan pedang mereka.

“Tahan!” Han Bu berseru. “Ngo-beng Kui-ong, bukan aku yang tolol, akan tetapi engkau yang hendak menjilat ludahmu sendiri. Engkau ini datuk macam apa hendak mengingkari janjimu, hah?”

Kakek itu terkejut dan marah. “Bocah setan, siapa mengingkari janji?”

“Coba pergunakan otakmu yang tumpul karena sudah terlalu tua itu. Apa pilihanku tadi?”

“Engkau memilih mati di tangan para prajurit!”

“Benar, dan kini engkau hendak melaksanakan itu, menyuruh para prajurit membunuhku? Kalau begitu berarti pilihanku benar! Padahal jika pilihanku benar, para prajurit tidak boleh membunuh aku, melainkan aku akan melawan sampai mati. Engkau masih ingat, bukan? Ataukah engkau sudah pikun dan pura-pura lupa?”

Ngo-beng Kui-ong tertegun dan bengong seperti orang bodoh, sementara itu para prajurit saling pandang kemudian mengangguk-angguk. Mereka bisa melihat kebenaran omongan pemuda itu. Pemuda itu memilih mati di tangan mereka. Kalau hal ini dilaksanakan, berarti pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, seperti dijanjikan kakek itu, dia tidak boleh mati di tangan para prajurit!

Agaknya Ngo-beng Kui-ong akhirnya bisa menyadari kebenaran ini. Tidak, anak muda itu tidak boleh mati dikeroyok prajurit karena kalau hal itu terjadi, maka pilihannya benar dan kalau pilihannya benar, sesuai janjinya dia akan mendapat kehormatan melawannya dan mati di tangannya.

“Ahh, benar juga, aku keliru, Si Han Bu. Baiklah, sekarang aku akan membebaskan dan memberi kesempatan kepadamu untuk bertanding melawan aku sampai mati!” Kakek itu hendak melawan Han Bu, maka sekali tangannya berkelebat, dia sudah membebaskan pemuda itu dari totokan yang ampuh. Han Bu melompat berdiri dan segera berseru.

“Tahan dulu, Ngo-beng Kui-ong! Engkau tidak jadi menjilat ludah yang ini, akan tetapi siap untuk menjilat ludahmu yang lain. Benar-benar tidak tahu malu. Aku tidak sudi bertanding melawanmu karena itu menyalahi apa yang telah kau janjikan!”

“Lho! Apa lagi ini? Aku melanggar janji yang mana?”

“Dasar sudah pikun dan bodoh! Apa janjimu tadi? Kalau salah pilih maka aku akan mati di tangan para prajurit, bukan? Nah, apa yang kupilih tadi? Aku memilih mati di tangan para prajurit. Kalau sekarang aku harus mati di tanganmu, berarti pilihanku tadi salah dan kalau salah, tidak semestinya aku mati di tanganmu! Seharusnya mati di tangan para prajurit!”

Kakek itu melongo sambil menghitung-hitung. Kalau pemuda yang memilih mati di tangan para prajurit itu dibiarkan mati dikeroyok, berarti pilihannya benar dan dia tidak boleh mati dikeroyok. Sebaliknya kalau mati di tangannya, berarti pilihannya keliru dan seharusnya mati dikeroyok.

“Lho, bagaimana ini...?” Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan hati bingung. “Menyuruh para prajurit membunuhmu salah, aku sendiri yang membunuhmu juga salah! Lalu bagaimana?”

Para prajurit juga geleng-geleng kepala karena bingung. Mereka semua baru menyadari bahwa mereka telah diakali oleh pemuda itu! Akan tetapi Ngo-beng Kui-ong tidak berdaya karena tentu saja dia tidak mau melanggar janjinya sendiri yang disaksikan oleh demikian banyaknya prajurit.

“Memang tidak semestinya engkau membunuhku, Ngo-beng Kui-ong. Kalau betul engkau dahulu sahabat kakek guruku mendiang Bu Beng Kiam-sian dan juga sahabat ibu guruku Im-yang Sian-kouw, bagaimana engkau dapat bertemu mereka kalau engkau membunuh aku?”

Selagi kakek itu kebingungan dan tidak mampu menjawab, terdengar suara berisik di luar bangunan itu. Ngo-beng Kui-ong cepat menotok Han Bu yang tidak siap sehingga pemuda itu terkulai lumpuh kembali. Kakek itu lalu mengangkat tubuh Han Bu dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tadi dipergunakan untuk menawan Huang-ho Sian-li. Sesudah melemparkan pemuda itu ke dalam kamar tahanan, pintunya lantas ditutup dan digembok dari luar.

Han Bu girang sekali. Setidaknya dia merasa lega karena pertama, dia dapat meloloskan Huang-ho Sian-li, dan ke dua, dia dapat mengakali Ngo-beng Kui-ong sehingga kakek itu menjadi serba salah dan tidak dapat membunuhnya.

Akan tetapi, dalam keadaan telentang dan tertotok, rebah di atas pembaringan kayu, dia melihat munculnya beberapa orang yang membuat dia dapat merasakan bahwa keadaan dirinya tetap saja gawat.

Yang muncul adalah Pangeran Cu Kiong sendiri bersama Lam-hai Cin-jin, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Ang-mo Niocu yang cantik genit.

“Locianpwe Ngo-beng Kui-ong, benarkah yang kami dengar dari laporan para pengawal itu? Bagaimana Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dapat lolos dari tahanan?” Pangeran Cu Kiong bertanya dengan nada marah.

Dia masih marah karena persidangan itu gagal dan harus ditunda. Kini mendengar bahwa Huang-ho Sian-li, musuh yang paling berbahaya baginya itu telah lolos dari ruang tahanan, tentu saja dia menjadi marah sekali. Matanya terbelalak merah dan kalau saja bukan Ngo-beng Kui-ong yang melakukan penjagaan dan bertanggung jawab atas lolosnya tawanan, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya!

“Ahh, aku sedang tertidur ketika Huang-ho Sian-li ditolong dan dikeluarkan oleh bocah itu. Sekarang dia yang meloloskan Huang-ho Sian-li sudah kutangkap!” kata kakek itu, sama sekali tidak merasa menyesal.

Dia yang sudah tua tidak begitu mementingkan tentang rencana Pangeran Cu Kiong. Dia datang ke kota raja hanya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu murid keponakannya, yaitu Lam-hai Cin-jin.

Mendengar bahwa ada orang telah meloloskan Huang-ho Sian-li dari tawanan, dan orang itu kini sudah tertangkap, Pangeran Cu Kiong bertanya dengan marah sekali.

“Mana Si Jahanam yang telah membikin lolosnya Huang-ho Sian-li?”

Sambil menyeringai Ngo-beng Kui-ong menuding ke arah dalam kamar tahanan. “Itu dia orangnya!”

“Keparat, biar kubunuh dia!” Pangeran Cu Kiong sudah mencabut pedangnya, dia hendak menyuruh buka pintu kamar penjara karena ingin melampiaskan kemarahannya kepada orang yang telah mengeluarkan Huang-ho Sian-li dari tahanan.

“Eittt, nanti dulu, Pangeran. Jangan bunuh dia!” Ngo-beng Kui-ong mencegah dan berdiri menghadang di depan pintu kamar penjara.

Pangeran Cu Kiong menjadi marah sekali, sedangkan Lam-hai Cin-jin juga khawatir akan sikap susiok-nya (paman gurunya) yang sudah tua renta dan suka bersikap ugal-ugalan tanpa pandang bulu itu.

“Susiok, mengapa Susiok melarang Pangeran Cu membunuh orang muda itu? Bukankah dia telah bersalah besar membebaskan Huang-ho Sian-li yang menjadi tawanan penting?” Lam-hai Cin-jin menegur paman gurunya.

“Ho-ho-ho, engkau tidak tahu, Cin-jin. Kau tahu siapa pemuda ini? Dia ini murid Im-yang Sian-kouw, cucu murid mendiang Bu Beng Kiam-sian. Kau ingat mereka itu dahulu adalah sahabat-sahabatku. Sekarang aku dapat menangkap murid Im-yang Sian-kouw, ini adalah senjata yang baik sekali untuk memaksa dia suka membantu Raja Wu Sam Kwi! Sangat menguntungkan, bukan? Kalau dibunuh begitu saja, apa untungnya bagi kita? Pangeran Cu Kiong, hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin sehingga dapat berpikir dengan baik. Kita pertimbangkan dulu untung ruginya! Aku tetap mempertahankan hidup pemuda ini karena aku mengharapkan gurunya akan mau mendukung Raja Wu Sam Kwi yang membutuhkan banyak bantuan tenaga orang sakti.”

Lam-hai Cin-jin tersenyum masam. Tentu saja dia tahu bahwa alasan yang dikemukakan paman gurunya itu walau pun ada benarnya tetapi sesungguhnya bukan itulah tujuannya. Dia tahu bahwa dahulu paman gurunya itu pernah tergila-gila kepada Im-yang Sian-kouw, juga pernah merayu dan berkali-kali meminang janda muda cantik itu agar suka menjadi isterinya.

Namun Im-yang Sian-kouw telah mengambil keputusan untuk menjanda selama hidupnya, maka bujuk rayu dan pinangan itu ditolaknya. Kini agaknya Ngo-beng Kui-ong yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih, semakin tua semakin bergairah, dan agaknya hendak menggunakan murid Im-yang Sian-kouw yang ditawannya untuk memaksa janda itu mau menjadi isterinya!

Pangeran Cu Kiong menjadi marah dan kecewa bukan main. Huang-ho Sian-li bebas dari tahanan dan tentu akan menimbulkan banyak kesulitan baginya. Walau pun dia merasa marah dan benci sekali kepada pemuda yang telah membebaskan Huang-ho Sian-li, tapi melihat Ngo-beng Kui-ong berkeras tidak membiarkan pemuda itu dibunuh, dia pun tidak berani mendesak.

Akan rugi sekali bila dia bentrok dengan kakek tua renta yang sakti itu. Lagi pula baginya tidak begitu penting artinya kalau pemuda itu mau dibunuh ataukah tidak. Yang terpenting sekarang dia harus membuat rencana secepatnya untuk menguasai keadaan, sebelum Huang-ho Sian-li membuat kesulitan baginya.

Maka dengan muka masih merah karena marah serta mulut bersungut-sungut, Pangeran Cu Kiong memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia. Sekali ini dia membuat pertemuan terakhir, maka dia mengundang semua pendukungnya.

Selain para pembantu tetapnya, yaitu Thio Kwan dan Yu Kok Lun, serta para pendukung tetap, yaitu para utusan Jenderal Wu Sam Kwi seperti Lam-hai Cin-jin, Ang-mo Niocu Yi Hong, Mong Lai orang Mongol yang membantu Wu Sam Kwi, dan Ngo-beng Kui-ong, juga hadir pula para panglima serta pejabat tinggi yang sudah dapat dipengaruhi Pangeran Cu Kiong yang kini menggunakan Tek-pai yang dirampasnya dari Huang-ho Sian-li! Dengan Tek-pai itu, banyak panglima dan pejabat tinggi yang tertarik dan terbujuk olehnya.

Di dalam ruangan rahasia yang tertutup itu sekarang dipenuhi mereka yang mengadakan perundingan dengan serius, dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong yang penuh semangat dan berapi-api.

“Kita harus bertindak sekarang juga atau akan terlambat dan tidak akan ada kesempatan lagi! Tek-pai berada di tanganku, maka dengan Tek-pai ini aku dapat bertindak atas nama Kaisar, Ayahku, sedangkan kaisar baru belum diangkat, berarti aku memiliki kekuasaan mutlak. Para pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada pemegang Tek-pai. Sekarang aku hendak bertanya, bagaimana ketiga Ciangkun, apakah kalian bertiga sudah menyiapkan pasukan kalian dan setiap saat sudah siap untuk mengepung istana dan menguasainya?” Berkata demikian, Pangeran Cu Kiong memandang kepada tiga orang panglima perang yang terbujuk olehnya dan menjadi pendukungnya, tentu saja dengan janji akan mendapat kedudukan yang jauh lebih tinggi kalau Pangeran Cu Kiong kelak menjadi kaisar.

“Kami sudah siap, Pangeran!” serentak mereka menjawab.

“Bagus! Gui-ciangkun, bagaimana hasil penyelidikanmu tadi? Apa yang sedang dilakukan Pangeran Bouw Hun Ki dan di mana adanya Pangeran Kang Shi?” tanya Pangeran Cu Kiong kepada panglima yang ditugaskan sebagai kepala para penyelidik.

“Menurut hasil penyelidikan para anak buah yang kami sebar di mana-mana, tidak tampak banyak gerakan oleh Pangeran Bouw Hun Ki. Pangeran Mahkota Kang Shi masih berada di rumahnya dan semua kegiatan juga dilakukan di sana. Istana masih sepi dan kabarnya, sebelum pelantikan kaisar baru dilaksanakan maka Pangeran Kang Shi akan tetap tinggal bersama Pangeran Bouw Hun Ki. Para panglima yang setia terhadap Kaisar juga belum tampak mengadakan persiapan apa pun. Jadi menurut hamba, saat ini memang tepat dan baik sekali apa bila Paduka membuat gerakan yang pasti akan berhasil baik selagi pihak musuh sedang lengah.”

“Bagus! Dan sekarang aku ingin mendengar pendapat Lam-hai Cin-jin, bagaimana langkah yang sebaiknya harus kita ambil.”

“Hemm, Pangeran, pada saat ini kerajaan sedang kosong, belum ada kaisar baru, maka memang inilah saat paling tepat untuk bergerak. Satu-satunya yang menjadi penghalang bagi Pangeran untuk dapat naik tahta hanyalah Pangeran Kang Shi. Akan tetapi Pangeran itu masih kecil, jadi bukan dia yang menjadi penghalang terbesar, melainkan pelindungnya dan pendampingnya, yang bukan lain adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Sebab itu sebaiknya Pangeran mengerahkan semua kekuatan untuk menyerbu ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan membinasakan semua keluarga dan pengikutnya, termasuk Huang-ho Sian-li.”

“Saya setuju sekali dengan pendapat Lam-hai Cin-jin ini,” kata Thio Kwan si tinggi kurus muka pucat. “Terutama sekali Huang-ho Sian-li, sekali ini kita harus dapat membunuhnya. Tidak ada gunanya menawannya hidup-hidup, lebih cepat dia tewas lebih baik.”

“Memang tepat sekali,” kata Yu Kok Lun yang pendek gemuk. “Gadis itu berbahaya sekali dan setelah dia pernah kita tawan, kiranya tidak akan mudah lagi menawannya karena dia tentu akan berhati-hati. Maka sebaiknya digunakan siasat yang cerdik. Bagaimana kalau kita tangkap ayahnya? Pangeran Ciu Wan Kong adalah seorang lemah, kalau kita dapat menangkapnya, saya kira Huang-ho Sian-li dapat kita tundukkan.”

“Bagus, bagus! Semua usul itu baik sekali dan harus segera dilaksanakan! Dan sekarang, apakah ketiga Ciangkun sudah membuat rencana mengenai apa yang akan dilakukan dan sudah membagi tugas kepada pasukan masing-masing?”

“Pangeran, kami bertiga telah membagi tugas. Tiga pasukan kami telah kami rencanakan untuk bergerak sebagai berikut. Pasukan pertama akan menghadang di pintu gerbang dan mencegah masuknya pasukan dari luar kota raja yang ingin membela Pangeran Mahkota. Pasukan kedua kami perbantukan untuk penyerbuan ke gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan menghancurkan semua kekuatannya, kemudian pasukan ke dua membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana dan kemudian menyerbu setelah saatnya tiba, yaitu kami menunggu komando dari Pangeran.”

Pangeran Cu Kiong menggosok-gosok kedua tangannya dengan wajah girang. Dia seolah sudah yakin bahwa usahanya pasti berhasil!

“Bagus, sekarang kita tentukan rencana gerakan besok pagi-pagi sekali seperti berikut ini. Malam ini harap Gui Ciangkun suka bekerja keras untuk memata-matai semua gerakan di gedung Pangeran Bouw Hun Ki dan di istana sehingga kalau terjadi perubahan kita dapat mengetahui gerakan mereka. Juga malam ini ketiga pasukan harus sudah bisa menyusup dan siap di tempat masing-masing, yaitu di pintu gerbang, dekat gedung Pangeran Bouw, dan di dekat istana. Jangan membuat gerakan mengepung lebih dahulu karena gerakan itu dapat menarik perhatian orang. Kemudian, begitu ada tanda ayam berkokok, pasukan kedua akan membantu kedua Locianpwe Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong, Sahabat Mong Lai, dan para perwira menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki, membasmi semua yang melawan termasuk Pangeran Bouw Hun Ki dan Pangeran Kang Shi.

Sementara itu, Thio Kwan dan Yu Kok Lun lebih dulu membawa dua losin prajurit pergi menangkap Pangeran Ciu Wan Kong sehingga kalau Huang-ho Sian-li mengamuk dalam pertempuran di istana Pangeran Bouw Hun Ki itu, kalian dapat memaksa dia menyerah dengan memperlihatkan ayahnya yang disandera. Kemudian, apa bila pasukan pertama ternyata tidak menemui pasukan kerajaan yang akan masuk, mereka harus cepat-cepat pergi ke istana dan membantu pasukan ke tiga yang mengepung istana. Nah, kalau ada pertanyaan, silakan ajukan sekarang karena ini merupakan perundingan terakhir.”

Setelah merundingkan rencana pemberontakan mereka secara terperinci, perundingan itu ditutup karena semua orang harus membuat persiapan malam itu juga. Sesudah semua meninggalkan ruangan rahasia itu, sebagian para panglima dan pejabat tinggi, pulang ke tempat tinggal masing-masing, ada pun para pembantu atau pengawal kembali ke kamar masing-masing yang disediakan untuk mereka di dalam istana itu.

Pangeran Cu Kiong berjalan menuju kamarnya bersama Ang-mo Niocu Yi Hong. Ketika Yi Hong hendak menuju ke kamarnya sendiri, tangannya dipegang Pangeran Cu Kiong.

“Niocu, malam ini engkau harus menemani aku. Besok adalah hari penentuan, jadi malam ini aku ingin menikmatinya, siapa tahu merupakan malam terakhir pula bagiku.”

“Ihh, mengapa bicara begitu, Pangeran? Aku ingin tidur, harus bersiap dan mengaso agar besok pagi dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya.”

“Marilah, Niocu, engkau tidur di kamarku saja.”

“Pangeran, biarkan aku sendiri saja....” Ang-mo Niocu Yi Hong menarik tangannya yang dipegang, akan tetapi pangeran itu tidak mau melepaskannya.

“Niocu, apakah engkau tidak cinta lagi padaku? Bukankah kita saling mencinta? Ingat, jika aku berhasil maka engkau pun akan mendapat kedudukan tinggi di istanaku....”

Di dalam hatinya Yi Hong tersenyum mengejek. Cinta? Tidak pernah ada rasa cinta yang menyelinap dalam hatinya. Sejak kecil hatinya sudah dijejali dan dipenuhi bibit kebencian terhadap pria sehingga kini yang ada hanyalah perasaan benci. Kalau ia mau berdekatan dengan pria yang muda dan tampan, ini sama sekali bukan cinta, melainkan hanya nafsu berahi belaka. Akan tetapi biar pun setelah beberapa lamanya menjadi kekasih Pangeran Cu Kiong dan ia mulai merasa bosan, ia menahan diri dan tidak mau memperlihatkannya.

Kini pun ia terpaksa mengalah, bukan karena ada rasa sayang terhadap pangeran yang ia tahu bukannya cinta kepadanya melainkan hendak memanfaatkannya, melainkan karena demi memenuhi tugasnya sebagai utusan Jenderal Wu Sam Kwi. Tiada seorang pria pun di dunia ini yang pernah dicintanya dengan kasih yang murni, bahkan Yi Hong tak pernah merasakan kasih sayang antara dirinya dan ayah kandungnya yang telah tewas terbunuh oleh ibu kandungnya sendiri ketika ia berusia satu tahun! Gurunya sendiri, Lam-hai Cin-jin, yang telah mendidiknya sejak ia berusia sepuluh tahun, juga hanya ia taati dan ia hormati sebagai guru tanpa ada rasa sayang seorang murid terhadap gurunya, dan hal ini terjadi hanya karena gurunya itu seorang laki-laki!

Jika ada laki-laki yang benar-benar ia bela, tidak lain adalah Jenderal Wu Sam Kwi. Sejak kecil sudah tertanam di dalam lubuk hatinya bahwa Jenderal Wu Sam Kwi adalah seorang pahlawan besar yang gagah perkasa, yang setia kepada tanah air dan bangsa, dan yang ia junjung tinggi.

Untuk tokoh yang sudah tua itu, Ang-mo Niocu siap untuk berkorban nyawa sekali pun! Justru karena rasa bakti dan sayangnya kepada Jenderal Wu Sam Kwi, maka Yi Hong membantu Pangeran Cu Kiong dengan sungguh hati, bukan demi keberhasilan pangeran itu, melainkan demi kemenangan dan keberhasilan Jenderal Wu Sam Kwi.

Setelah melayani Pangeran Cu Kiong dengan hati muak karena dia memang sudah bosan dan dilakukan dengan terpaksa, Yi Hong dapat membujuk pangeran itu untuk menitipkan Tek-pai (Tanda Kekuasaan) dari mendiang Kaisar Shun Chi yang dirampas dari Huang-ho Sian-li itu kepadanya.

“Tek-pai itu merupakan bukti yang terpenting bagi Paduka,” demikian Yi Hong membujuk. “Dengan Tek-pai di tangan, setidaknya Paduka mempunyai kekuasaan yang disegani oleh sebagian besar para pejabat kerajaan, apa lagi sebelum ada kaisar baru. Maka berbahaya sekali kalau Paduka pegang sendiri. Juga kalau Paduka sembunyikan, bisa saja diambil atau dicuri orang. Maka, kalau Paduka percaya kepada saya, bagaimana kalau diam-diam Tek-pai itu Paduka titipkan kepada saya? Tidak akan ada yang menyangka sehingga saya dapat menyelamatkan Tek-pai itu dan tidak sampai dirampas atau dicuri orang.”

Pangeran Cu Kiong menganggap usul itu baik sekali. Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah mereka mandi dan berganti pakaian, Tek-pai itu sudah berada di balik ikat pinggang Ang-mo Niocu Yi Hong.

Tentu saja tujuan Yi Hong menyimpan Tek-pai itu sama sekali bukan untuk kepentingan Cu Kiong, melainkan untuk kepentingan Jenderal Wu Sam Kwi. Ia mengharapkan barang kali tanda kekuasaan dari kaisar itu akan dapat berarti penting sekali bagi junjungannya di Se-cuan, terutama sekali jika rencana pemberontakan Pangeran Cu Kiong ternyata kelak sampai menemui kegagalan…..

********************

Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merasa menyesal sekali bahwa ia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tahanan di istana Pangeran Cu Kiong, harus meninggalkan pemuda tampan gagah yang telah membebaskannya dari tahanan tanpa dapat menolongnya.

Di tempat tinggal Pangeran Cu Kiong terdapat banyak prajurit pengawal. Walau pun hal ini bukan merupakan bahaya bagi seorang yang mempunyai kelihaian seperti pemuda yang membebaskannya itu, namun di situ ada pula Ngo-beng Kui-ong yang sakti. Mungkinkah pemuda itu mampu menyelamatkan diri dari mereka? Tetapi ada dua hal yang memaksa Huang-ho Sian-li pergi meninggalkan pemuda itu, biar pun tindakannya ini mendatangkan penyesalan yang mendalam kepadanya.

Pertama, pemuda itu yang mendorong dia agar pergi melarikan diri dengan mengatakan bahwa dia harus cepat menemui ayahnya dan yang terpenting menyelamatkan Pangeran Mahkota. Ke dua, jika dia nekat mengamuk untuk membantu pemuda itu meloloskan diri, kemudian dia tertangkap pula karena lihainya kakek yang seperti mayat hidup itu, lantas bagaimana dengan tugasnya melindungi Pangeran Mahkota?

Demikianlah, dengan hati merasa amat menyesal, terpaksa gadis ini meninggalkan istana Pangeran Cu Kiong dan cepat dia kembali ke gedung ayahnya Pangeran Ciu Wan Kong.

“Ayah...!” Dia melompat ke ruangan dalam di mana ayahnya sedang duduk termenung.

Pangeran Ciu Wan Kong baru saja kembali dari menghadiri persidangan dalam istana di mana Pangeran Bouw Hun Ki memutuskan untuk menunda persidangan karena Huang-ho Sian-li yang menjadi terdakwa pembunuh Pangeran Leng tidak dihadirkan di situ.

Pangeran Ciu termenung dan diam-diam dia merasa khawatir sekali akan nasib puterinya yang menjadi tawanan Pangeran Cu Kiong yang jahat dan kejam. Ketika dia mendengar panggilan itu dan melihat berkelebatnya bayangan Huang-ho Sian-li yang tiba-tiba sudah berada di ruangan itu, dia segera melompat berdiri.

“Thian Hwa...!” Saking girangnya, Pangeran Ciu Wan Kong merangkul puterinya.

Thian Hwa juga merasa terharu karena ia bisa merasakan rangkulan ayahnya yang penuh kasih sayang itu.

“Ayah...!” Ia pun merangkul dengan hati terharu.

Pangeran Ciu Wan Kong melepaskan rangkulannya dan menyuruh puterinya duduk.

“Terima kasih kepada Tuhan, engkau dapat pulang dengan selamat, Anakku. Sekarang ceritakan, bagaimana engkau dapat meloloskan diri dari cengkeraman Pangeran Cu Kiong yang jahat itu dan apa yang telah terjadi?”

“Ayah, aku telah difitnah oleh Pangeran Cu. Dia yang membunuh Pangeran Leng, dengan menggunakan Pek-hwa-ciam milikku yang dirampasnya setelah mereka merobohkan dan menangkapku.”

“Hal itu sudah kami duga, Thian Hwa. Akan tetapi bagaimana terjadinya? Coba ceritakan selengkapnya, aku ingin sekali mendengar apa yang terjadi.”

Thian Hwa lalu menceritakan apa yang ia alami ketika ia mengunjungi Pangeran Leng Kok Cun di mana telah terdapat Pangeran Cu Kiong dan para jagoannya yang lihai sehingga ia dapat ditawan oleh mereka dan difitnah sebagai pembunuh Pangeran Leng, padahal yang membunuhnya adalah Pangeran Cu Kiong sendiri.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar