Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 22

“Hai, Paman Lu, sepagi ini engkau sudah bekerja di ladang sambil bersenandung! Paman Lu, jawablah, apakah Paman merasa bahagia?” tanya seorang pemuda berpakaian serba putih, berwajah tampan gagah, menggendong buntalan pakaian yang memanjang, kepada seorang petani setengah tua yang sedang mencangkul di ladang.

“Bahagia? Apa sih bahagia itu?” jawab Si Petani, menunda pekerjaannya dan memandang pemuda itu dengan heran.

“Semua orang mencari bahagia. Mengapa Paman malah tidak mengerti apa bahagia itu?” pemuda itu bertanya heran.

“Lho, aku memang tidak mengenal dan bahkan tidak butuh bahagia! Untuk apa sih? Apa kau maksudkan bahagia itu senang? Rasa hati senang, tidak susah? Yang penting bukan mencari rasa senang, akan tetapi menyelidiki kenapa hati tidak senang. Jika hati merasa tidak senang kita lalu mencari bahagia supaya perasaan jadi senang. Dalam keadaan hati tidak senang mana mungkin mengubahnya menjadi rasa senang?”

“Hemm, kalau begitu, bagaimana agar hati bisa senang, Paman?”

“Kukira tidak ada caranya mencari rasa senang itu, karena perasaan itu muncul dengan sendirinya. Yang terpenting adalah menghilangkan perasaan tidak senang atau susah itu. Seperti orang sakit mencari sehat, mana mungkin? Yang penting mencari tahu apa yang menyebabkan sakit itu lantas menghilangkannya. Orang sakit memang ingin sekali sehat. Akan tetapi kalau orang tidak sakit, apakah dia membutuhkan sehat? Kalau ada kelilip di mata, jangan mencari mata agar nyaman, tapi cari dan buang kelilip itu.”

“Kalau begitu, engkau orang bahagia, Paman.” Pemuda itu tertawa lalu pergi.

Dia adalah Si Han Bu. Seperti yang kita ketahui, pemuda ini oleh gurunya, Im Yang Sian-kouw, disuruh turun gunung memanfaatkan semua ilmunya untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar silat. Selain itu, juga Han Bu dipesan oleh gurunya yang dia hormati dan sayangi seperti kepada ibunya sendiri, untuk mencari ayah gurunya yang bernama Cui Sam, dan mencari puteri subo-nya yang belum sempat diberi nama karena pada saat masih bayi lenyap terbawa arus air Sungai Huang-ho yang sedang banjir. Dia pun telah mendengar semua riwayat gurunya dan tahu bahwa gurunya dahulu menikah dengan seorang pangeran, yaitu Pangeran Ciu Wan Kong di kota raja.

Karena dia tidak tahu di mana adanya Kakek Cui Sam yang menurut gurunya berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan Thian-cin, juga sama sekali tidak tahu di mana adanya puteri gurunya yang tanpa nama itu, dia mengambil keputusan untuk pergi saja ke kota raja. Mencari Pangeran Ciu Wan Kong tentu jauh lebih mudah!

Apa lagi Pangeran Ciu Wan Kong dalam keadaan sehat ketika ditinggalkan oleh gurunya secara paksa. Sedangkan saat terpisah dari gurunya, Kakek Cui Sam dan bayi itu dalam keadaan terseret arus air sehingga sedikit sekali kemungkinan masih hidup.

Maka berangkatlah Si Han Bu ke kota raja. Bukan mustahil jika Pangeran Ciu Wan Kong mengetahui di mana adanya ayah mertua dan puterinya itu.

Demikianlah, dengan menunggang kuda yang dibelinya di jalan, yang selalu diganti dan ditukar-tambahkan dengan kuda baru kalau kudanya yang lama sudah terlalu letih, Si Han Bu dapat tiba di kota raja dengan cepat.

Karena sejak kecil tinggal di puncak Bukit Kera dan paling jauh dia pergi ke dusun-dusun di kaki pegunungan, maka selama dalam perjalanan, setiap melewati kota besar, Han Bu tiada hentinya mengagumi rumah-rumah tembok besar dan toko-toko yang penuh dengan barang beraneka macam. Apa lagi begitu memasuki kota raja, dia sering dibuat bengong melihat keindahan gedung-gedung istana para pangeran, bangsawan tinggi dan pejabat tinggi.

Dia seperti seorang pemuda dusun masuk kota raja, berjalan perlahan-lahan menengok ke kanan kiri dengan bengong dan bingung. Kudanya telah dia jual ketika memasuki pintu gerbang kota raja. Di samping kuda itu sudah terlampau letih, juga dia tidak merasa perlu menunggang kuda di dalam kota raja.

Orang-orang yang berpapasan dengannya tidak menaruh perhatian. Dia adalah seorang pemuda tinggi besar gagah dan tampan. Pakaiannya serba putih dengan sedikit garis dan kembang biru, akan tetapi potongan baju itu biasa saja sehingga tidak mencolok.

Dia menggendong buntalan pakaian yang agak memanjang karena dia menyembunyikan pedangnya di dalam buntalan pakaian pula. Gurunya memberi-tahu bahwa kini pemerintah melarang orang membawa senjata, karena itu dia harus menyembunyikan pedangnya di dalam buntalan pakaian.

Ketika matanya melihat papan nama dengan tulisan besar SIN AN LIKOAN (Penginapan Sin An), dia berhenti melangkah. Sebuah rumah penginapan yang tampaknya tidak begitu besar namun cukup teratur rapi dan bersih. Tentu tidak terlalu mahal, pikirnya.

Hari sudah sore dan lebih baik kalau lebih dulu mendapatkan sebuah kamar, pikirnya. Dia lalu memasuki rumah penginapan itu dan seorang pelayan berusia sekitar tiga puluh tahun menyambutnya.

“Kongcu (Tuan Muda) hendak menyewa kamar?” tegurnya dengan sikap kurang acuh.

“Benar, aku ingin menyewa sebuah kamar.”

“Untuk Kongcu sendiri atau...?”

“Sendiri, tentu saja.”

“Kongcu, malam ini dingin sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau saya carikan teman?”

Han Bu memandang heran. “Teman? Apa maksudmu? Aku tidak ingin satu kamar dengan tamu laki-laki yang tidak kukenal.”

“Aihh, Kongcu. Tentu saja bukan laki-laki. Ada gadis-gadis manis, Kongcu boleh pilih...”

Han Bu mengerutkan alis. Dia tidak mengerti akan tetapi merasa tak senang. Bagaimana mungkin ada orang menawarkan gadis untuk menemaninya di dalam kamar?

“Ehh, sobat, apakah engkau mabok? Atau agak begini, barang kali?” Han Bu menaruh jari telunjuknya melintang di depan dahi, yang biasanya digunakan orang untuk menandakan bahwa orang itu otaknya miring alias gila.

Pelayan itu melototkan matanya. Akan tetapi pada saat itu pula muncul seorang laki-laki berpakaian mewah seperti pakaian seorang hartawan. Usianya sekitar empat puluh tahun, mukanya hitam akan tetapi agaknya ia mencoba untuk mengurangi kehitamannya dengan bedak!

“Aihh, selamat sore, Loya!” pelayan itu menyambut sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat dan Han Bu hampir tertawa karena melihat sikap pelayan itu seperti seekor anjing yang menyambut tuannya dengan mengibas-ngibaskan ekornya.

Tamu itu mengerling kepada Han Bu dengan sikap congkak, lalu berkata kepada pelayan itu dengan nada memerintah. “He, Lo Kaw, siapkan kamar besar untukku, juga sediakan santapan malam yang paling mewah lalu panggil A Bwe dan A Mei untuk melayaniku satu malam. Setelah itu jangan ada yang mengganggu aku, malam ini aku hendak bersenang-senang!”

“Ah, baik... baik, Loya. Silakan, kamar besar telah siap untuk Loya pakai sewaktu-waktu.” Sambil berbongkok-bongkok pelayan itu mengikuti tamu itu masuk. Sesudah tiba di pintu dia agaknya teringat kepada Han Bu lalu menoleh dan berkata perlahan.

“Orang muda, kau tunggu sebentar di sini, aku melayani Loya ini dulu.”

Han Bu merasa dongkol sekali. Dia melihat hal-hal aneh yang membuatnya merasa heran akan tetapi juga penasaran dan dongkol. Sejak memasuki kota raja, dia menyaksikan hal-hal yang amat menyakitkan hati. Rumah-rumah gedung bertingkat mewah, tetapi di gang-gang sempit dia melihat rumah-rumah seperti gubuk kumuh di belakang gedung-gedung itu.

Juga gubuk-gubuk kumuh di tepi sungai dan di bawah setiap jembatan, jelas merupakan tempat tinggal mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara di depan gubuk-gubuk itu menjulang tinggi dan besar gedung-gedung mewah laksana istana yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang hidupnya berada di atas garis kaya, bahkan berlebihan. Gedung-gedung seperti itu adalah milik para bangsawan dan hartawan.

Juga dia melihat orang-orang yang berkereta indah, berkuda besar, berpakaian mewah sekali, di samping orang-orang berpakaian lusuh dan bahkan terdapat pula para pengemis dengan pakaian butut penuh tambalan. Dia merasa heran sekali.

Di dusun-dusun di daerah pegunungan tempat tinggal gurunya, orang-orang mengenakan pakaian sederhana, akan tetapi tidaklah butut penuh tambal-tambalan. Juga rumah-rumah di dusun, tidak ada yang demikian mewah, namun juga tidak ada yang begitu kumuh dan kotor. Perbedaan antara si kaya dan si miskin di kota raja ini demikian jauh seperti langit dengan bumi!

Dan sekarang dia melihat keanehan lain lagi. Pelayan yang menjilat-jilat tamu kaya tetapi sebaliknya memandang rendah tamu miskin, bahkan gadis-gadis yang ditawarkan untuk melayani tamu laki-laki! Ah, agaknya di tempat ini segala sesuatu bisa didapatkan dengan uang! Dia bergidik, lalu cepat meninggalkan rumah penginapan itu.

Akhirnya dia menemukan rumah penginapan merangkap rumah makan yang sederhana. Pelayannya juga bersikap sopan, seorang lelaki setengah tua berusia lima puluhan yang mengantarnya ke sebuah kamar yang sederhana namun cukup bersih.

“Tuan Muda, engkau tentu datang dari tempat jauh. Engkau membawa buntalan pakaian, kelihatan letih dan pakaianmu penuh debu,” kata pelayan itu sesudah membawa Han Bu memasuki sebuah kamar.

“Benar, Paman. Aku ingin mandi kemudian makan, tetapi bisakah aku memesan makan di kamar ini? Aku letih dan lapar sekali.”

Pelayan itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Tentu saja bisa, Kongcu. Makanan apa yang harus saya sediakan dan antarkan ke sini?”

“Nasi dengan masakan sayur dua macam saja untuk dua orang, Paman.”

Pelayan itu mengerutkan alisnya. “Untuk dua orang? Kongcu membawa teman?”

“Ahh, tidak, Paman. Aku hanya seorang diri.”

“Akan tetapi mengapa makanannya untuk dua orang? Ahh, saya mengerti! Maafkan saya, Kongcu, tentu Kongcu letih dan lapar sekali sehingga perlu makan lebih banyak dari pada biasanya.”

Han Bu tertawa. Suara tawanya demikian riang gembira sehingga pelayan itu tidak dapat menahan diri lantas turut pula tertawa. Mereka berdua tertawa, akan tetapi dengan sebab yang berlainan. Kakek pelayan itu tertawa karena merasa lucu akan keadaan pemuda itu yang gembul dan karena dugaannya tepat. Akan tetapi Han Bu tertawa karena merasa lucu mendengar dugaan pelayan itu yang ngawur.

“Bukan begitu, Paman. Aku makan biasa saja, pesananku itu memang untuk dimakan dua orang.”

“Tapi Kongcu tadi bilang tidak membawa teman?”

“Temannya adalah engkau, Paman. Aku mengundang Paman makan bersamaku karena aku ingin makan sambil bercakap-cakap. Maukah, engkau, Paman?”

Selama belasan tahun menjadi pelayan di situ, belum pernah ia mengalami hal seperti ini. Diajak makan oleh tamunya! Maka pelayan itu kembali mengangguk-angguk seperti ayam makan beras.

“Tentu saya merasa terhormat dan senang sekali, Kongcu. Masakannya tadi dua macam sayuran? Apakah Kongcu sedang melaksanakan Ciak-jai (vegetarian)?”

“Tidak juga, Paman. Hanya saja aku sudah terbiasa makan sayur-sayuran, jarang makan daging sehingga aku tidak begitu suka. Kalau sedikit saja bolehlah.”

“Bagus, bagus sekali! Pantas Kongcu bersikap demikian lembut namun gembira, kiranya seorang yang hidupnya bersih. Tentu tidak minum arak pula, bukan?”

“Minum juga, akan tetapi tidak sampai mabok, Paman.”

“Baik, Kongcu. Sekarang mandilah, saya akan menyiapkan pesananmu.” Setelah berkata demikian, dengan wajah berseri pelayan itu pergi meninggalkan kamar.

Baru sekarang inilah ia merasa senang berhadapan dengan seorang tamu yang sikapnya demikian akrab dan baik. Biasanya para tamu bersikap angkuh dan memandang rendah terhadap para pelayan.

Setelah mandi dan bertukar pakaian, tidak lama kemudian pelayan tadi datang lagi sambil membawakan makanan yang dipesan Han Bu. Keduanya segera makan minum dengan gembira karena Han Bu bicara dengan jenaka dan lucu. Dia mau pula minum arak yang dituangkan pelayan itu ke dalam cawannya, meski hanya mau minum dua cawan saja.

Setelah makan minum, Han Bu mengajak pelayan itu bercakap-cakap, karena sebetulnya itulah yang dikehendaki pemuda ini. Dari kakek pelayan ini dia ingin mencari keterangan tentang Pangeran Ciu Wan Kong.

“Paman, tadi Paman mengatakan bahwa semenjak kecil tinggal di kota raja. Tentu Paman mengetahui segala yang terjadi di kota raja dan tahu pula mengenai para pangeran yang berada di sini. Nah, aku ingin tahu, apakah Paman mengetahui adanya seorang pangeran bernama Pangeran Ciu Wan Kong?”

“Wah, tentu saja, Kongcu. Dia itu orangnya begini!” Dia mengacungkan jempolnya. “Tidak seperti bangsawan lainnya, Pangeran Ciu itu sikapnya halus, tak pernah menghina kaum kecil yang melarat, juga suka menolong mereka yang memerlukan pertolongan dan berani minta kepadanya. Eh, Kongcu, mengapa Kongcu bertanya tentang beliau? Apa hubungan Kongcu dengan beliau?” Pelayan itu memandang dengan alis berkerut.

“Hei, Paman! Mengapa tiba-tiba Paman memandangku seperti itu? Aku tidak mempunyai niat jahat!”

“Maaf, Kongcu. Sekarang ini sedang jaman gila, apa lagi para pembesar dan bangsawan itu agaknya sedang dilanda wabah penyakit gila.”

“Kenapa Paman berkata begitu?”

“Habis, banyak kejadian-kejadian aneh dan gila. Maka saya menjadi curiga ketika Kongcu menanyakan Pangeran Ciu Wan Kong, takut kalau-kalau Kongcu juga memusuhinya.”

Han Bu cukup cerdik. Melihat betapa pelayan ini memuji-muji kebaikan hati Pangeran Ciu Wan Kong, tentu saja dia pun harus memperlihatkan sikap baik terhadap pangeran itu.

“Jangan curiga, Paman. Aku memiliki seorang guru yang menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong. Sebelum menghadapnya untuk menyampaikan salam dari guruku, terlebih dulu aku ingin mengetahui keadaannya.”

“Hemm, bagus kalau begitu. Seperti saya katakan tadi, para bangsawan tinggi itu sedang dilanda penyakit gila. Terjadi saling permusuhan di antara para pangeran. Apa lagi setelah Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat, keadaannya menjadi bertambah kacau dan sungguh kasihan sekali nasib Pangeran Ciu Wan Kong yang baik hati....”

Diam-diam Han Bu terkejut. Kaisar dibunuh orang?

“Aihh, aku baru datang di kota raja ini, Paman, dan tidak tahu sama sekali tentang semua itu. Maukah Paman menceritakan kepadaku?”

“Sribaginda Kaisar tewas dibunuh orang jahat. Beliau meninggalkan wasiat, mengangkat Putera Mahkota menjadi penggantinya. Lalu terjadilah kekacauan itu. Mula-mula gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki, paman yang melindungi Putera Mahkota, diserbu penjahat akan tetapi semua penjahat berhasil ditumpas. Pangeran Bouw Hun Ki memang mempunyai isteri dan putera-puteri yang amat lihai, apa lagi mereka dibantu oleh Huang-ho Sian-li yang sakti!”

“Huang-ho Sian-li? Siapakah itu, Paman?”

“Aihh, Kongcu belum mendengar namanya yang terkenal sebagai seorang pendekar yang amat hebat? Pendekar wanita itu berjasa kepada Sribaginda Kaisar, bahkan ia diberi Tek-pai dan ikut pula melindungi Pangeran Mahkota. Dia adalah seorang gadis pendekar yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa, dan dia masih keponakan Sribaginda Kaisar sendiri karena dia adalah puteri tunggal dari Pangeran Ciu Wan Kong.”

Kalau saja pelayan itu memperhatikan, tentu dia akan melihat perubahan muka pemuda itu. Han Bu merasa betapa jantungnya berdebar dengan tegang.

Dia mulai mendengar berita mengenai Pangeran Ciu Wan Kong, suami gurunya, dan kini malah berita tentang puteri tunggal Pangeran Ciu Wan Kong, berarti puteri gurunya! Ingin sekali dia bertanya lebih dan mendesak keterangan pelayan yang ramah itu, akan tetapi ia takut kalau-kalau desakan itu akan menimbulkan kecurigaan sehingga akibatnya malah pelayan itu tidak mau bercerita sama sekali. Maka dia bertanya dengan suara sambil lalu.

“Apa yang terjadi kemudian, Paman? Sebagai seorang yang baru datang, ceritamu benar-benar menarik sekali.”

“Aihh, sungguh menyedihkan dan membingungkan, Kongcu. Sudah terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangka dan sangat membingungkan. Baru-baru ini terdengar berita bahwa Huang-ho Sian-li telah ditangkap dan hendak diajukan ke dalam sidang pengadilan kerajaan.”

“Ah, kenapa, Paman? Bukankah dia telah dianugerahi Tek-pai dan berjasa besar terhadap kerajaan seperti yang kau ceritakan tadi?” Han Bu benar-benar merasa heran dan terkejut. “Mengapa dia ditangkap? Apa kesalahannya?”

“Kabarnya Huang-ho Sian-li telah membunuh Pangeran Leng, yaitu seorang putera kaisar yang paling tua.”

“Hemm, aneh sekali. Mengapa dia malah membunuh seorang pangeran?”

Pelayan itu lebih dahulu menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik lirih. “Kami tidak heran kalau Pangeran Leng Kok Cun dibunuh karena dia memang terkenal sebagai seorang pangeran yang jahat dan suka bergaul dengan orang-orang sesat. Jika benar-benar Huang-ho Sian-li membunuhnya, saya yakin tentu pendekar wanita itu mempunyai alasan yang kuat!”

“Apakah dia benar-benar membunuhnya?”

Pelayan itu menghela napas panjang. “Agaknya tidak bisa disangkal lagi karena sesudah membunuh Pangeran Leng, Huang-ho Sian-li lantas ditangkap oleh Pangeran Cu Kiong di tempat itu juga, dengan mengerahkan banyak anak buahnya yang terdiri dari orang-orang sesat yang kabarnya menjadi saksi. Tetapi rakyat juga takkan merasa heran seandainya Huang-ho Sian-li benar-benar membunuh Pangeran Leng Kok Cun, karena semua orang mengetahui bahwa yang menjadi sumber keributan adalah Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong. Kabar angin mengatakan bahwa dua orang pangeran itu diam-diam bersaing untuk menjadi kaisar menggantikan ayah mereka.”

“Paman, lalu bagaimana dengan Pangeran Ciu Wan Kong? Guruku berpesan supaya aku menyampaikan salam kepadanya, tapi kini ada urusan menyangkut puterinya. Siapa saja yang berada di istananya sekarang? Isterinya atau keluarga lain?” Han Bu memancing.

Pelayan itu menggelengkan kepala. “Saya hanya seorang kecil, Kongcu, tidak tahu akan keadaan para bangsawan besar seperti para pangeran itu. Tapi menurut kabar, Pangeran Ciu Wan Kong tidak pernah menikah, tidak mempunyai isteri. Kemudian tahu-tahu orang mengabarkan bahwa dia mempunyai seorang puteri yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li.”

“Paman, menurut keterangan guruku, katanya dulu Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai seorang pelayan bernama Cui Sam, benarkah itu?”

“Saya tidak tahu, Kongcu.”

Keterangan itu sudah cukup bagi Han Bu. Malam itu dia pergi berjalan-jalan dan sengaja melewati jalan di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, juga ia melewati gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang kelihatan sepi, lalu melewati gedung tempat tinggal Pangeran Cu Kiong yang terjaga ketat dan nampak menyeramkan…..

********************

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Han Bu pergi berkunjung ke gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong. Empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu gerbang menanyakan siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu.

Han Bu merasa senang melihat sikap empat orang prajurit itu yang sopan dan tegas akan tetapi tidak sombong. Sikap anak buah dengan sendirinya mencerminkan sifat atasannya. Pangeran Ciu Wan Kong sudah pasti seorang yang bijaksana maka para prajuritnya yang menjaga di luar gedungnya bersikap demikian sopan.

“Harap dilaporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa saya, Si Han Bu, mohon untuk menghadap beliau agar dapat menyampaikan salam dan pesan dari guru saya yang dulu menjadi sahabat baik Pangeran Ciu Wan Kong,” katanya.

Kepala jaga itu, seorang prajurit yang usianya sekitar empat puluh tahun, lalu mengamati keadaan pemuda itu penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar, gagah dan tampan, pakaiannya serba putih dan sikapnya sopan, wajahnya juga membayangkan kejujuran, kelembutan namun gagah.

“Orang muda, terlebih dahulu engkau harus memperkenalkan siapa gurumu yang menjadi sahabat Pangeran dan di mana tempat tinggalnya.”

“Guruku adalah kenalan lama Pangeran Ciu, namanya Im Yang Sian-kouw yang bertapa di Beng-san.”

“Baiklah, harap tunggu sebentar, kami akan melapor ke dalam,” kata kepala jaga yang lalu masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudian dia sudah kembali lagi dan berkata dengan suara dan sikap sungguh-sungguh.

“Pangeran Ciu mengatakan bahwa beliau belum pernah mendengar namamu serta nama gurumu, akan tetapi beliau ingin mendengar apa yang hendak engkau sampaikan. Engkau diperkenankan masuk, akan tetapi, orang muda, kami harap engkau suka meninggalkan pedangmu di sini. Ini sudah merupakan peraturan bagi tamu yang belum dikenal.”

Karena permintaan itu sopan dan masuk akal, Han Bu segera melepaskan ikatan sarung pedangnya Im-yang-kiam kemudian menyerahkan pedang berikut sarungnya kepada para prajurit. Ia lalu mengikuti kepala jaga memasuki gedung, di mana dia diterima menghadap Pangeran Ciu Wan Kong di ruangan tamu.

Pada saat itu Pangeran Ciu Wan Kong sedang berada dalam keadaan risau dan bingung karena puterinya, Ciu Thian Hwa, sedang ditawan Pangeran Cu Kiong, dituduh membunuh Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong bersikeras hendak menghadapkan Ciu Thian Hwa ke depan pengadilan agung di istana.

Memang dia tidak merasa putus asa karena masih banyak bangsawan-bangsawan tinggi dan berpengaruh yang berpihak kepada Thian Hwa dan siap menolong, seperti Pangeran Bouw Hun Ki dan lain-lain. Namun tetap saja dia merasa khawatir karena dia tahu benar bahwa Pangeran Cu Kiong amat mendendam dan membenci Thian Hwa yang sering kali menentangnya. Tentu pangeran itu akan berusaha untuk mencelakai Thian Hwa.

Dalam keadaan seperti itu, ketika penjaga melaporkan bahwa ada seorang tamu, murid Im Yang Sian-kouw yang katanya merupakan sahabat baiknya, hendak menghadap, dia segera mengabulkannya. Kunjungan teman mana pun, walau dia merasa tidak mengenal nama itu, merupakan hiburan baginya.

Sesudah Han Bu memasuki ruangan dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan membungkuk di depan Pangeran Ciu Wan Kong, pangeran itu lantas memberi isyarat kepada pengawal untuk keluar dari ruangan itu.

Para pengawal itu menanti dan menjaga di luar ruangan. Sekarang gedung Pangeran Ciu Wan Kong mempunyai sepasukan pengawal yang tidak berapa banyak, dan hal ini adalah kehendak Thian Hwa yang ingin menjaga keamanan gedung ayahnya mengingat bahwa di luar terdapat banyak orang jahat yang diam-diam memusuhi ayahnya.

“Orang muda, silakan duduk,” kata Pangeran Ciu Wan Kong.

Han Bu duduk di atas sebuah bangku di depan pangeran itu dan mereka saling pandang. Han Bu melihat bahwa pangeran itu adalah seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi sedang, wajahnya masih tampak tampan sungguh pun pada saat itu sinar matanya redup dan wajahnya tampak muram. Pakaiannya tak terlalu mewah seperti para pangeran lainnya, akan tetapi rapi dan bersih. Sebaliknya, Pangeran Ciu Wan Kong merasa suka melihat pemuda yang berwajah lembut dan cerah ini.

“Orang muda, siapakah engkau dan siapa pula gurumu yang bernama Im Yang Sian-kouw yang mengaku mengenalku itu? Aku sungguh tidak ingat pernah mengenal nama itu.”

Han Bu merasa terharu. Jadi inikah suami gurunya yang sesungguhnya sangat mencinta gurunya namun yang terlampau lemah sehingga tak mampu menolak kehendak orang tua agar dia berpisah dari Cui Eng yang telah menjadi isterinya dan melahirkan seorang anak perempuan?

Akan tetapi dia masih merasa penasaran karena hati pemuda ini merasa sakit apa bila dia memikirkan betapa gurunya yang baru saja melahirkan diusir dari rumah ini. Biar pun hal itu dilakukan oleh orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, tapi pangeran ini sama sekali tidak membela isterinya yang katanya amat dicintanya, juga tidak membela puteri kandungnya sendiri.

“Begini, Pangeran. Sesungguhnya saya adalah murid Im Yang Sian-kouw dan Subo yang mengutus saya untuk menghadap Pangeran. Subo mengetahui akan seorang wanita she Cui yang pernah bekerja di gedung ini bersama ayahnya yang bernama Cui Sam.”

Pangeran Ciu Wan Kong langsung melompat dan bangkit berdiri dengan mata terbelalak. “Kau maksudkan... Cui... Cui Eng...? Benarkah? Dia masih hidup? Ahh... di mana dia... di mana...?”

Melihat ini Han Bu semakin terharu. Tidak dapat disangsikan lagi, pangeran ini mencinta subo-nya, masih mencinta isterinya yang diusir orang tuanya itu.

“Nanti dulu, Pangeran. Subo berpesan pada saya bahwa saya harus yakin dulu sebelum menceritakan tentang wanita she Cui yang dikenal Subo itu.”

Ciu Wan Kong lalu bertepuk tangan tiga kali. Dua orang pengawal muncul dari pintu dan pangeran itu berseru, “Cepat undang Cui Loya (Tuan Tua Cui) ke sini, cepat!”

Dua orang pengawal itu berlarian keluar dan tidak lama kemudian seorang kakek berusia sekitar enam puluh tujuh tahun memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa.

“Engkau memanggilku, Pangeran? Ada urusan apakah? Bagaimana dengan Thian Hwa?”

“Duduklah, Gak-hu (Ayah Mertua). Perkenalkan, pemuda ini adalah... adalah... ahh, siapa namamu, orang muda?”

“Nama saya Si Han Bu.”

“Si Han Bu ini mengaku murid seorang bernama Im Yang Sian-kouw dan katanya gurunya itu mengenal dan mengetahui di mana adanya Cui Eng....”

“Ahh...! Benarkah, orang muda? Di manakah adanya anakku Cui Eng...?” tanya Cui Sam dengan suara menggetar penuh harapan dan keharuan.

“Ya, katakanlah, Si Han Bu. Di manakah adanya Cui Eng sekarang?” tanya Pangeran Ciu Wan Kong.

“Nanti dulu, Pangeran. Subo memesan kepada saya agar lebih dahulu yakin apakah saya berada di alamat yang benar. Subo sudah mendengar apa yang diceritakan oleh wanita she Cui itu apa yang terjadi dengan dirinya di sini. Sebab itu harap Paduka menceritakan lebih dahulu apa hubungan wanita she Cui itu dengan Paduka dan apakah benar bahwa Kakek ini adalah ayahnya.”

Pangeran Ciu Wan Kong menghela napas panjang. Kemudian dia menceritakan tentang Cui Eng dan ayahnya, Cui Sam yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga orang tuanya. Betapa kemudian terjalin hubungan cinta antara dia dengan Cui Eng hingga Cui Eng mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Akan tetapi orang tuanya tidak setuju bahkan mengusir Cui Eng tanpa dia dapat berbuat sesuatu.

Cui Sam dan Cui Eng lalu pergi meninggalkan gedung itu, membawa bayinya yang belum diberi nama itu. Kemudian muncullah Ciu Thian Hwa yang berjuluk Huang-ho Sian-li, yang ternyata adalah anaknya, bayi yang dulu dibawa pergi oleh Cui Eng. Ketika menceritakan ini semua, kedua mata Pangeran Ciu Wan Kong menjadi basah air mata.

“Aku sudah dapat berkumpul kembali dengan ayah mertuaku, juga puteriku, akan tetapi... selama ini kukira bahwa Cui Eng, isteriku tercinta itu... telah tewas terhanyut di air Sungai Huang-ho. Akan tetapi kini engkau muncul, Si Han Bu, dan menceritakan bahwa gurumu mengetahui di mana Cui Eng berada. Aihh…, kalau saja hal ini ternyata benar... alangkah bahagia hatiku....” Pangeran itu menangis.

“Semua yang diceritakan Pangeran Ciu Wan Kong tadi memang benar, orang muda. Aku sebagai ayah kandung Cui Eng menjadi saksinya. Kasihan mantuku ini. Biar pun engkau membawa berita dan harapan yang sangat membahagiakan, tetap saja dia berada dalam kedukaan dan kekhawatiran besar karena puterinya, cucuku Ciu Thian Hwa, Huang-ho Sian-li, kini menjadi tahanan Pangeran Cu Kiong yang jahat....”

Pangeran Ciu Wan aKong dapat mengatasi kesedihannya dan dia pun menceritakan apa yang terjadi dengan diri Thian Hwa yang difitnah membunuh Pangeran Leng Kok Cun.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar