Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 20

Belasan hari kemudian…..

Suasana berkabung masih meliputi kota raja. Dalam masa perkabungan selama seratus hari itu tak ada penduduk yang berani mengadakan pesta dan bersenang-senang. Bahkan mereka yang hendak mengadakan perayaan pernikahan anak mereka pun terpaksa harus diundur sampai lewatnya masa perkabungan kematian kaisar itu.

Seperti juga Pangeran Cu Kiong, Pangeran Leng Kok Cun merasa penasaran dan marah sekali. Semua usahanya telah gagal sama sekali. Usahanya membunuh ayahnya sendiri yang dilakukan Thaikam Boan memang berhasil. Kaisar terbunuh dan Thaikam Boan bisa melarikan diri sehingga tidak tertawan dan tidak membongkar rahasianya, tetapi hasilnya sama saja. Sama sekali tidak menguntungkan baginya. Bahkan lebih payah lagi. Ternyata ayahnya sudah meninggalkan surat wasiat yang mengangkat Pangeran Kang Shi menjadi pengganti Kaisar!

Dan yang lebih celaka lagi, dia tidak dapat memaksa agar dirinya dijadikan pelindung dan pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi yang masih kecil itu. Yang menjadi halangan adalah Pangeran Bouw Hun Ki, dan tentu saja Ciu Thian Hwa!

Sialan, sebelum mati ayahnya memberi Tek-pai kepada Ciu Thian Hwa sehingga gadis itu dapat mempengaruhi semua orang yang takut kepada pemegang Tek-pai. Maka dia pun kembali tak berdaya! Kini harapan menjadi pengganti Kaisar telah lenyap, bahkan harapan untuk menjadi pendamping adiknya pun sia-sia! Dia marah sekali dan memutar otak untuk mencari jalan yang baik agar ambisinya tercapai.

Malam itu gelap sekali. Bulan tidak kelihatan, ditambah adanya awan mendung membuat malam itu gelap gulita karena tak ada bintang yang tampak. Langit merupakan kehitaman pekat dan hanya sekali-sekali saja berkelebat cahaya halilintar disusul suara guntur yang terdengar lapat-lapat saking jauhnya.

Pangeran Leng Kok Cun mengadakan rapat dengan para pembantunya di sebuah ruang tertutup dalam gedungnya. Yang hadir adalah Pat-chiu Lo-mo, kakek berusia enam puluh tiga tahun yang tubuhnya kurus bongkok dan mukanya buruk.

Pat-chiu Lo-mo ini bernama Cio Kiat, seorang tokoh sesat dunia kang-ouw bagian Utara. Senjatanya adalah sebatang tongkat, sebuah Yang-liu-san (Kipas Cemara) dan beberapa buah hui-to (pisau terbang) terselip di pinggangnya. Memang tokoh ini sejak dulu menjadi pembantu setia dari Pangeran Leng dan dialah yang mencarikan jagoan-jagoan yang mau mendukung Pangeran Leng dengan janji yang muluk-muluk bila mana usaha pangeran itu berhasil.

Orang kedua yang hadir adalah seorang pembantu baru. Tokoh ini seorang datuk besar yang amat lihai berjuluk Bu-lim Sai-kong (Kakek Singa Rimba Persilatan). Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar laksana raksasa, rambut kepalanya kemerahan, sebagian terurai menutupi wajahnya yang merah sehingga wajah itu mirip muka seekor singa. Di pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji besar.

Bu-lim Sai-kong ini selain memiliki tenaga besar dan ilmu goloknya berbahaya sekali, juga dia memiliki sinkang yang sangat kuat dan mahir pula menggunakan ilmu sihir. Dia sangat dihormati oleh Pat-chiu Lo-mo yang berhasil menariknya untuk membantu Pangeran Leng karena Pat-chiu Lo-mo yang lihai itu maklum bahwa tingkat kepandaian Si Muka Singa ini jauh lebih kuat dan lebih tangguh dari pada tingkat kepandaiannya sendiri!

Ada pun dua orang lagi yang hadir adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Golok Garuda Terbang) karena dia terkenal dengan ilmu goloknya Hui-eng-to-hoat yang cukup dahsyat. Tubuhnya gemuk pendek dengan wajah bundar kekanak-kanakan, namun gerak-geriknya sombong.

Dan seorang lainnya bertubuh tinggi kurus, usianya sebaya dengan Phang Houw, sekitar empat puluh empat tahun. Si Tinggi Kurus ini bernama Louw Cin dan dia adalah ketua perkumpulan Liong-bu-pang dari kota Tui-lok. Dia pun sudah lama bergabung dengan Pat-chiu Lo-mo, bahkan mengerahkan anak buahnya para anggota Liong-bu-pang sebanyak kurang lebih lima puluh orang yang selalu bersiap membantu Pangeran Leng. Louw Cin ini terkenal dengan senjata ruyung besinya yang berduri dan tampak menyeramkan.

Mereka berlima duduk mengelilingi sebuah meja besar, berunding sambil minum-minum. Pangeran Leng telah mengambil keputusan nekat. Malam itu juga dia akan mengerahkan para pembantunya untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa, karena dua orang inilah yang merupakan penghalang utama sehingga dia tidak dapat menguasai kerajaan dengan menjadi pendamping sekaligus penasihat adiknya yang diangkat menjadi kaisar, yaitu Pangeran Kang Shi yang masih kecil.

Kalau dia bisa menjadi pelindung atau pendamping calon kaisar yang masih kanak-kanak itu, sama saja dengan dia sendiri yang menjadi kaisar dan memimpin pemerintah. Kalau sudah begitu, segala hal dapat dia atur sesukanya, bahkan mudah saja untuk kemudian melenyapkan Kaisar Kang Shi yang masih kanak-kanak sehingga dia sebagai kakaknya tentu dapat menggantikannya menjadi kaisar, apa lagi jika dia sudah menjadi pendamping kaisar!

Perebutan kekuasaan selalu terjadi di mana-mana. Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk mendapat kekuasaan, baik hal itu terjadi di dalam keluarga, di dalam masyarakat, perkumpulan, perusahaan, di antara karyawan, sampai ke para pembesar dan pejabat.

Manusia bisa berbuat apa saja untuk memperebutkan kekuasaan. Tujuan menghalalkan segala cara! Untuk mencapai tujuan itu, orang melakukan segala cara licik dan kejam. Bahkan terjadi saling bunuh di antara saudara, di antara bangsa, sampai menjalar kepada perang antar bangsa. Semua demi memperoleh kekuasaan!

Siapa yang menang dialah yang berkuasa dan yang berkuasa itu pasti benar dan senang. Jadi memperebutkan kekuasaan itu pada hakekatnya adalah untuk mencari kesenangan dan kesenangan biasanya bisa diperoleh dengan uang. Dengan sendirinya permusuhan, perang, perebutan kekuasaan itu tiada lain hanyalah memperebutkan harta karena harta mendatangkan kesenangan!

Andai kata kekuasaan yang diperebutkan itu tidak mendatangkan uang, adakah kiranya orang yang hendak memperebutkannya? Kedudukan atau kekuasaan sebagai pengurus perkumpulan sosial yang biasanya tidak mendatangkan keuntungan uang, tidak pernah diperebutkan, malah dia yang ditunjuk mencari berbagai alasan untuk menolaknya. Akan tetapi sebuah kedudukan atau kekuasaan yang akan mendatangkan banyak uang, pasti menjadi rebutan!

Kekuasaan bisa membuat orang menjadi gila kekuasaan. Merasa dirinya paling atas dan biasanya hal ini mendatangkan ketinggian hati dan melahirkan tindakan yang sewenang-wenang. Terutama sekali, orang yang memegang kekuasaan biasanya dirubung penjilat-penjilat yang ingin mendapat bagian dari keuntungannya berupa harta. Kenyataan seperti ini terdapat di sepanjang jaman dan terjadi pada para penguasa, semenjak jaman dahulu sampai sekarang.

Pangeran Leng Kok Cun sering membayangkan betapa senangnya apa bila dia menjadi kaisar. Segala keinginannya pasti terkabul, segala perintahnya pasti akan ditaati orang. Kehormatan, kemuliaan, kemewahan, akan berlimpahan memenuhi kehidupannya setiap hari. Ingin memuaskan mata menikmati pemandangan indah, tinggal perintah dan para pembantunya akan menyediakannya. Ingin memuaskan telinga menikmati pendengaran merdu, ingin memuaskan penciuman menikmati harum-haruman, ingin memuaskan mulut menikmati makanan apa saja, semua tinggal perintah dan pasti akan terlaksana. Bahkan ingin wanita cantik yang mana pun, tinggal menggapai pasti akan dimilikinya.

Membayangkan segala kesenangan ini membuat Pangeran Leng semakin bernafsu untuk meraihnya, bila perlu dengan jalan apa pun juga. Membunuh atau menyuruh bunuh ayah kandung sendiri pun sudah dia lakukan!

Pangeran Leng lupa atau buta akan kenyataan, seperti semua orang yang sedang dilanda nafsu keinginan mendapatkan sesuatu, bahwa bayangan dan kenyataan itu berbeda jauh, seperti bumi dengan langit. Lupa bahwa segala macam bayangan kesenangan itu akan hilang tidak ada artinya kalau dia terserang penyakit yang paling sederhana sekali pun, seperti misalnya sakit gigi, kepala pening, sakit perut, sakit mata dan sebagainya. Semua kesenangan itu tidak akan dapat dinikmati lagi, kalah oleh kesengsaraan sebuah penyakit yang paling sederhana! Juga dia lupa bahwa segala macam bentuk kesenangan, baik itu yang dinikmati melalui mata, telinga, hidung, mulut dan indera lainnya, semuanya akan mendatangkan kebosanan.

Yang paling dapat menikmati sesuatu adalah orang yang belum mempunyai sesuatu itu, dinikmati benar melalui pikiran yang membayangkannya. Akan tetapi bila mana sesuatu itu sudah dimilikinya, maka yang datang adalah kebosanan.

Semua kesenangan duniawi, kesenangan badani pasti mendatangkan kebosanan karena nafsu keinginan itu akan menjangkau yang lain lagi, yang belum dimilikinya! Yang sudah terdapat menjadi bosan dan yang tampak nikmat dan indah adalah sesuatu yang belum didapat! Beginilah ulah nafsu keinginan!

Berbahagialah orang yang dapat menikmati APA ADANYA, menikmati saat demi saat, apa pun yang terjadi padanya, apa pun yang diperolehnya, yang selalu bersyukur dan memuji nama Yang Maha Kasih atas apa saja yang terjadi padanya dan menerimanya sebagai karunia yang dianugerahkan kepadanya, tanpa memperhitungkan untung rugi atau enak tidak enak!

Seperti yang telah disepakati, menjelang tengah malam, Pat-chiu Lo-mo, Bu-lim Sai-kong, Hui-eng-to Phang Houw, Louw Cin dan sekitar lima puluh orang anggota Liong-bu-pang berangkat menuju gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Tugas mereka adalah untuk membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!

Semula Pangeran Leng Kok Cun memang merasa ragu-ragu. Dia maklum betapa kuatnya mereka yang berada di gedung Pangeran Bouw Hun Ki itu. Akan tetapi Pat-chiu Lo-mo menghiburnya.

“Jangan khawatir, Pangeran. Dengan adanya Bu-lim Sai-kong, yakinlah bahwa malam nanti Pangeran Bouw Hun Ki pasti akan mampus! Ada pun tentang diri Huang-ho Sian-li, biar pun dia merupakan lawan yang cukup tangguh, namun saya yakin kami berdua pasti sanggup membunuhnya. Pula, siasat kita akan membuat mereka itu terpencar sehingga menjadi lemah.”

“Hoa-ha-ha! Pangeran, percayalah kepada saya! Sekali Bu-lim Sai-kong bergerak, pasti leher musuh akan terpenggal oleh golok saya ini, ha-ha-ha!”

Mereka berangkat dengan terpencar. Kegelapan malam itu melindungi mereka sehingga dengan mudah mereka dapat tiba di luar tembok pagar gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Hun Ki. Sesuai dengan siasat yang telah mereka atur dan rencanakan sebelumnya secara masak, Phang Houw dan Louw Cin memimpin kurang lebih lima puluh orang anak buah Liong-bu-pang. Sebagian, dipimpin oleh Phang Houw, melepas anak panah berapi ke arah belakang, kanan dan kiri gedung sehingga tidak lama kemudian terjadi kebakaran di tiga tempat itu.

Sesudah terjadi kebakaran dan terdengar kegemparan di sebelah dalam, Louw Cin segera memimpin anak-anak buahnya untuk menyerbu pintu gerbang. Diserang secara serentak dalam kegelapan itu, para prajurit yang melakukan penjagaan di gedung itu menjadi panik juga.

Jumlah para petugas yang bergilir hanya sekitar tiga puluh orang, ini pun dibagi. Ada yang bertugas di pintu gerbang, ada yang bertugas di sekeliling rumah dan ada yang meronda. Maka sekitar lima belas orang yang bertugas menjaga di pintu gerbang, tentu saja terkejut ketika diserbu puluhan orang yang semuanya bersenjata ruyung. Memang semua anggota Liong-bu-pang bersenjata ruyung seperti ketua mereka.

Seluruh isi gedung Pangeran Bouw Hun Ki menjadi sibuk. Sebagian prajurit memadamkan kebakaran di tiga bagian, dan sisanya menyambut serbuan musuh. Kini anak buah Liong-bu-pang yang dipimpin oleh Phang Houw sudah membantu kawan-kawan mereka pula, menyerbu di pintu gerbang sehingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Lima puluh orang mendesak lima belas orang prajurit!

Akan tetapi tiba-tiba muncul empat orang muda yang gerakannya amat dahsyat. Mereka adalah Bu Kong Liang yang mengamuk dengan siangkek-nya (sepasang tombak pendek bercagak), didampingi Bouw Kun Liong yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang), dan Bouw Hwi Siang yang bersenjata siang-kiam pula didampingi Gui Siang Lin yang juga bersenjata siang-kiam. Munculnya empat orang muda lihai ini membuat para penyerang menjadi kocar-kacir.

Dengan marah Phang Houw menerjang dengan goloknya. Dia segera disambut Bu Kong Liang yang sudah menggerakkan sepasang tombak pendeknya. Tombak kiri menangkis bacokan golok dan tombak kanan membalas dengan tusukan ke arah perut.

Phang Houw terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat oleh tangkisan itu. Cepat dia melangkah mundur dan memutar tubuh untuk menghindarkan diri dari tusukan tombak pendek. Goloknya lantas berkelebat menyambar lagi tetapi serangannya selalu dapat ditangkis oleh Bu Kong Liang. Segera mereka berdua bertanding dengan mati-matian.

Liong-bu-pangcu Louw Cin juga penasaran sekali. Bagaimana pun juga dia mengandalkan jumlah anak buahnya yang lebih banyak. Tadi dia mengamuk, akan tetapi melihat di pihak musuh muncul dua orang gadis dan dua orang pemuda yang gerakannya lihai, dia cepat maju untuk membantu Phang Houw. Tetapi ruyungnya bertemu dengan sebatang pedang di tangan kiri Bouw Kun Liong.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar dan Louw Cin terdorong mundur dua langkah. Dia terkejut sekali sebab dari tangkisan tadi dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang pemuda yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berdiam diri karena sepasang pedang di tangan Bouw Kun Liong kini menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mengamuk. Louw Cin melawan sekuat tenaga dan mereka berdua pun bertanding dengan seru dan mati-matian.

Sementara itu dua orang gadis cantik yang gagah perkasa itu, Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin, mengamuk bagaikan dua ekor harimau betina yang dikeroyok banyak anjing srigala. Mereka menubruk ke kanan kiri dan depan, terkadang memutar tubuh dan pedang mereka membentuk-sinar bergulung-gulung. Terkadang ada lawan yang terkena sambaran sinar itu dan dia roboh mandi darah.

Pertempuran itu terjadi di pekarangan yang hanya diterangi lampu gantung di depan gardu sehingga cuacanya remang-remang. Hal ini malah menyukarkan bagi para pengeroyok karena gerakan dua orang gadis itu lincah dan cepat sekali.

Saat itu di sebelah dalam gedung, di ruangan yang luas, terjadi pula perkelahian yang tak kalah hebatnya. Tadi, melihat anak buahnya sudah berhasil melakukan pembakaran dan menyerbu pintu gerbang, Pat-chiu Lo-mo dan Bu-lim Sai-kong segera melompati pagar tembok dan mereka berhasil memasuki gedung dari atas atap. Akan tetapi saat itu semua penghuni gedung sudah terbangun oleh keributan itu.

Pangeran Bouw Hun Ki yang maklum bahwa ada penjahat menyerbu dan mereka itu tentu berniat membunuh Pangeran Mahkota, langsung mengajak Pangeran Kang Shi memasuki sebuah ruang rahasia yang sengaja dibangun untuk menyembunyikan Pangeran Mahkota dari ancaman bahaya. Pangeran Bouw Hun Ki lalu tinggal di situ, bersembunyi bersama Pangeran Mahkota.

Akan tetapi Bouw Hujin dan Ciu Thian Hwa mengira bahwa yang diincar para penyerbu itu sudah pasti Pangeran Mahkota Kang Shi, maka keduanya cukup membiarkan Bu Kong Liang, Bouw Kun Liong, Gui Siang Lin, dan Bouw Hwi Siang berempat membantu para prajurit pengawal menghadapi serbuan para penjahat, sedangkan mereka berdua siap dan waspada menjaga ruangan tengah yang luas di mana terdapat pintu tembusan rahasia ke tempat persembunyian Pangeran Kang Shi.

Dua orang wanita perkasa ini sama sekali tidak menyangka bahwa dugaan mereka sekali ini keliru. Bukan Pangeran Kang Shi yang menjadi sasaran pembunuhan, tetapi Pangeran Bouw Hun Ki dan Ciu Thian Hwa yang dianggap sebagai penghalang tercapainya cita-cita Pangeran Leng untuk menjadi pendamping adiknya, Pangeran Kang Shi, bila nanti sudah dinobatkan sebagai kaisar!

Ketika ada dua sosok bayangan melayang turun dari atas atap lantas memasuki ruangan yang luas itu, Bouw Hujin dan Thian Hwa masih menyangka bahwa dua orang itu tentu hendak mencari Pangeran Kang Shi. Thian Hwa segera mengenali seorang dari mereka yang bukan lain adalah Pat-chiu Lo-mo, musuh lama yang pernah dia lawan ketika dahulu membantu Pangeran Cu Kiong yang pada waktu itu disangkanya seorang yang baik budi. Bahkan dalam pertandingan yang seru, dia berhasil mengalahkan Pat-chiu Lo-mo walau pun tidak sampai membunuhnya.

Ada pun orang ke dua yang muncul bersama Pat-chiu Lo-mo sama sekali tak dikenalnya. Lelaki berusia enam puluh tahun itu tampak menyeramkan dengan mukanya yang seperti muka singa, rambut merah riap-riapan, tubuh tinggi serta kekar. Bouw Hujin yang dahulu seorang pendekar wanita juga belum pernah melihatnya.

“Pat-chiu Lo-mo jahanam busuk! Engkau tentu utusan Pangeran Leng untuk melakukan kejahatan, akan tetapi sekarang aku tidak akan mengampuni dan membiarkanmu hidup!” Thian Hwa membentak marah sambil menudingkan pedangnya ke arah muka kakek kurus bongkok itu.

Pat-chiu Lo-mo merasa jeri terhadap Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa yang kelihaiannya sudah dia kenal. Dia lebih memandang rendah kepada Nyonya Bouw Hun Ki. Walau pun dia sudah mendengar bahwa isteri Pangeran Bouw ini juga seorang wanita yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi dia menganggap mustahil jika dia lebih lihai dari pada Huang-ho Sian-li. Maka dia memberi isyarat kepada Bu-lim Sai-kong agar kawannya itu menghadapi Huang-ho Sian-li dan dia yang akan melawan Bouw Hujin.

Akan tetapi Bu-lim Sai-kong yang berwatak sombong sekali dan menganggap bahwa di dunia ini hanya dialah yang paling hebat, memandang rendah dua orang wanita itu dan dia tertawa. Suara tawanya juga aneh sekali, mirip singa mengaum, kepalanya didongakkan, mulutnya dibuka lebar dan terdengar auman yang menggetarkan jantung.

Karena auman itu merupakan pengerahan kekuatan sihir atau ilmu hitam yang memakai tenaga berasal dari roh jahat, yang sengaja dikerahkan dan ditujukan kepada Bouw Hujin dan Thian Hwa, maka kedua orang wanita itu mendadak merasa betapa isi dada mereka terguncang, juga kepala mereka menjadi pening dan kacau! Hampir saja Thian Hwa kena terpengaruh dan terbawa ikut tertawa, dan kalau hal ini terjadi maka berarti ia akan tunduk di bawah pengaruh Sai-kong itu. Akan tetapi tiba-tiba Bouw Hujin berseru nyaring.

“Segala ilmu setan tidak akan dapat mengganggu batin yang bersih!”

Mendengar ini, Thian Hwa sadar bahwa dirinya diserang melalui suara tawa itu dengan ilmu sihir, maka cepat ia mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan perhatian menolak pengaruh itu dan seketika pengaruh itu pun menghilang.

Bu-lim Sai-kong merasa penasaran melihat dua orang wanita itu tidak bisa dia pengaruhi, maka dia cepat berkemak-kemik membaca mantera, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas seperti kedua kaki depan biruang hendak menerkam. Matanya mencorong seperti mengeluarkan api dan dia berkata dengan suara yang menggelegar.

“Kalian dua orang wanita lemah, hayo berlututlah di hadapan Bu-lim Sai-kong!” Dari kedua tangannya itu seolah keluar hawa yang bergetar kuat.

Kembali Huang-ho Sian-li merasa seolah-olah kedua lututnya gemetar dan hampir saja ia benar-benar menjatuhkan diri berlutut. Kekuatan sihir Bu-lim Sai-kong memang hebat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengaruh yang amat kuat itu. Untung baginya bahwa Bouw Hujin kini berada di situ. Nyonya Bouw ini jauh lebih berpengalaman dibandingkan Thian Hwa dalam menghadapi serangan sihir macam itu.

Ketika Bu-lim Sai-kong menyerang dengan sihir untuk kedua kalinya, Bouw Hujin menjadi tidak sabar lagi.

“Pergilah!” bentaknya, dan dari tangannya menyambar tiga sinar putih ke arah Sai-kong itu.

Ternyata jalan pikiran Nyonya Bouw sama dengan Thian Hwa karena Huang-ho Sian-li ini juga sudah menyambitkan Pek-hwa-ciam ke arah Pat-chiu Lo-mo. Hampir berbareng, tiga buah Gin-seng-piauw (Piauw Bintang Perak) dan tiga batang Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) meluncur ke arah Bu-lim Sai-kong dan Pat-chiu Lo-mo!

Akan tetapi dua orang kakek itu juga bukan orang sembarangan. Pat-chiu Lo-mo sudah berhasil menyampok atau mengebut tiga batang jarum yang dilepas Thian Hwa dengan Yang-liu-san (Kipas Cemara) yang berada di tangan kirinya. Sedangkan Sai-kong itu pun berhasil menangkis tiga buah Gin-seng-piauw dengan golok besar di tangan kanannya.

Melihat ilmu sihirnya tidak mampu menundukkan dua orang wanita itu, Bu-lim Sai-kong baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan dua orang wanita yang lihai, terutama Nyonya Bouw. Maka sesudah menangkis Gin-seng-piauw, dia langsung saja menyerang nyonya itu.

Bouw Hujin juga sengaja menghadapi kakek muka singa ini karena dia dapat menduga bahwa Si Muka Singa inilah yang merupakan lawan berbahaya. Mungkin kalau bertanding ilmu silat, belum tentu Thian Hwa akan dikalahkan karena tingkat kepandaian gadis Dewi Sungai Kuning itu tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi agaknya Thian Hwa belum begitu kuat menghadapi serangan ilmu sihir.

Maka melihat Sai-kong itu menggerakkan goloknya yang menyeramkan, golok yang amat besar dan berat dengan punggung golok berbentuk gergaji, Bouw Hujin cepat memainkan sepasang pedangnya dengan Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai) yang terkenal indah dan lembut namun sangat kuat. Menghadapi golok besar yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu, Bouw Hujin cepat memainkan kedua pedangnya dengan ilmu pedang Thai-kek-kiam dari Bu-tong-pai.

“Mampus kau!” Bu-lim Sai-kong membentak, bentakan yang tetap mengandung getaran hebat ilmu sihir yang sudah merupakan serangan pendamping, lalu goloknya menyambar dari kanan ke kiri mengarah ke leher Bouw Hujin.

Bouw Hujin bergerak cepat, menggunakan jurus Yancu-pok-cui (Burung Walet Menyambar Air). Ia merendahkan tubuh, agak membungkuk, pedang kanan melintang di depan kedua kakinya, pedang kiri diacungkan ke atas, lantas pedang kanan cepat menyambar ke atas membalas dengan tusukan dari bawah ke arah tenggorokan lawan sambil berdiri dengan kaki kanan, kaki kiri mengangkat lututnya. Gerakannya lembut tetapi mengandung tenaga sinkang dan tahu-tahu pedangnya sudah meluncur ke arah tenggorokan Bu-lim Sai-kong.

Kakek muka singa ini cepat-cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk membuat pedang itu terpental. Namun, seperti hidup pedang itu mengelak sehingga tidak sampai terpukul golok yang besar dan berat.

Perkelahian berlangsung seru dan menegangkan. Gerakan Bu-lim Sai-kong bagai seekor harimau yang kuat dan kasar, menubruk dan mencengkeram, tetapi Bouw Hujin bergerak perlahan, seakan tanpa tenaga, terkadang diam, bagaikan seekor ular yang menghadapi serangan harimau yang kasar. Meski pun gerakannya tampak perlahan, namun waspada dan semua serangan dapat dihindarkan dengan baik, bahkan serangan balasannya terjadi cepat dan tidak terduga-duga sehingga sering kali Bu-lim Sai-kong berseru kaget.

Sementara itu Thian Hwa yang marah sekali melihat musuh besarnya, sudah menerjang Pat-chiu Lo-mo dengan ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang khas. Ilmu pedang ini gubahan Thian Bong Sianjin, merupakan perkembangan dari Kwan-im Kiam-hoat (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im).

Pat-chiu Lo-mo yang memang telah merasa jeri menghadapi Thian Hwa, segera terdesak hebat walau pun dia sudah melawan mati-matian dengan tongkatnya dan kipasnya. Kakek kurus bongkok ini bahkan merasa kaget karena dibandingkan sekitar dua tahun yang lalu, gadis ini ternyata kini jauh lebih lihai lagi! Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis ini sudah memperdalam lagi ilmu silatnya di bawah gemblengan gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya!

Lebih panik lagi hatinya ketika dia sempat melirik ke arah temannya. Ternyata Bu-lim Sai-kong yang amat dia andalkan, yang sudah buka mulut besar meyakinkan hati Pangeran Leng bahwa mereka berdua pasti dapat membunuh Pangeran Bouw Hun Ki dan Huang-ho Sian-li, sekarang juga terdesak hebat oleh Bouw Hujin yang agaknya tidak kalah lihai dibandingkan Huang-ho Sian-li!

Sesudah bertanding selama tiga puluh jurus lebih dan mereka berdua semakin terdesak, Pat-chiu Lo-mo maklum bahwa tugasnya telah gagal dan kalau mereka tidak cepat pergi, akan berbahaya sekali bagi mereka.

“Sai-kong, mari kita pergi!” katanya dan dia membanting sebuah benda seperti bola yang meledak dan mengeluarkan asap hitam bergumpal-gumpal!

“Tahan napas dan kejar!” Bouw Hujin berseru.

Thian Hwa maklum. Dia pun cepat menerjang asap dan melakukan pengejaran bersama Nyonya Bouw. Melihat dua bayangan kakek itu berlari ke arah taman, mereka mengejar terus.

Tiba-tiba saja ada dua sinar menyambar ke arah Bouw Hujin dan Thian Hwa. Ternyata itu adalah hui-to (pisau terbang) beracun yang disambitkan Pat-chiu Lo-mo.

Namun dengan mudah dua orang wanita perkasa itu menangkis dengan pedang mereka, lalu seperti diingatkan oleh serangan hui-to tadi, mereka mengejar lagi sambil menyerang, menyambitkan senjata rahasia mereka dengan gencar. Pek-hwa-ciam yang disambitkan Thian Hwa menjadikan Pat-chiu Lo-mo sebagai sasaran, sedangkan Gin-seng-piauw dari Nyonya Bouw menyerang Bu-lim Sai-kong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar