Jago Pedang Tak Bernama Jilid 10

“Kita harus hati-hati ketika naik bukit, tentu banyak pengganggu yang harus kita hadapi,” kata Bu Beng yang bersiap-siap hendak mulai mencari obat untuk tunangannya. Mereka bertiga mulai naik bukit dengan senjata siap di tangan. Hek Houw membawa sebilah golok besar dan menggunakannya untuk membabat pohon-pohon kecil yang merintangi jalan.

Dua kali mereka diganggu binatang buas. Pertama kali seekor harimau besar menyerang Hek Houw tapi harimau itu dengan mudah dapat dibunuh mati oleh Bu Beng. Yang kedua kalinya seekor orang hutan hitam sebesar manusia mencoba menyerang mereka. Namun kembali binatang ini dapat ditewaskan.

Hampir saja mereka melawan mati-matian ketika kawan-kawan orang hutan itu sebanyak seratus ekor lebih datang menyerbu membela kematian kawannya. Tapi tiba-tiba saja Hek Houw mendapat akal. Ia cepat membuat api dan dengan obor kayu-kayu kering di tangan ia berteriak-teriak keras sehingga orang-orang hutan itu lari cerai berai ketakutan.

Sesudah melewati tiga buah hutan yang berbahaya dengan selamat, akhirnya mereka pun tiba juga di tempat yang dituju. Mereka mendengar suara air bergemuruh. Ketika dicari, ternyata bunyi itu adalah sebuah air terjun yang curam dengan airnya yang putih bersih. Dan di kanan air terjun itu, di kaki puncak bukit, tampaklah goa yang mereka cari-cari.

Hek Houw yang biasanya berhati tabah, menjadi ngeri dan seram juga ketika ia berdiri di depan goa itu. Bu Beng memandang dengan penuh perhatian.

Goa itu lebarnya tiga kaki lebih, lubangnya bundar dan gelap. Dinding luar goa merupakan kepala ular besar dan lubang goa menjadi lubang mulutnya. Batu cadas yang berbentuk kepala ular besar itu mungkin terjadi karena alam, namun bentuknya demikian sempurna seakan-akan ukiran seorang pemahat pandai atau seakan-akan tadinya memang adalah seekor ular tulen yang telah berubah menjadi batu karena lamanya.

Ketika Bu Beng hendak masuk, dengan obor kayu kering di tangan, tiba-tiba ia mencium bau amis dan terdengar suara berkeresekan di dalam goa. Ia cepat mundur kembali dan memungut beberapa butir batu lalu melemparkannya kuat-kuat ke dalam. Terdengar batu-batu itu menghantam cadas tapi tidak terdengar suara lain.

Bu Beng kemudian menyuruh Hek Houw mengumpulkan kayu kering dan membakarnya di mulut goa. Dia kipas-kipas asap yang bergulung-gulung sehingga masuk ke dalam goa. Dan usahanya ini ternyata berhasil baik!

Karena terserang asap yang memedihkan mata dan menyesakkan napas itu, penghuni goa terpaksa keluar untuk mencari hawa baru yang segar. Ketika penghuninya itu keluar dari lubang, terdengar suara mendesir-desir keras dan bau amis semakin tajam menusuk hidung. Bu Beng cepat menyuruh Cin Eng dan Hek Houw menyingkir jauh, sedangkan ia sendiri dengan pedang di tangan menanti di luar goa.

Mendadak terdengar desis keras sekali dan asap kayu yang tadinya menyerang ke dalam goa, tiba-tiba berbalik dan buyar bagaikan tertiup angin dan kini bergulung-gulung ke atas di luar goa. Maka tampaklah oleh Bu Beng makhluk yang dinanti-nantikannya itu. Seekor ular sebesar batang pohon liu bergerak perlahan keluar goa!

Kulit ular itu sangat indah, berwarna merah dan membentuk gambar kembang-kembang dengan bintik-bintik biru dan hitam. Panjangnya tak kurang dari dua puluh kaki. Kepalanya agak kecil tetapi di tengah-tengah kepala itu tersembul sebuah tanduk daging yang dapat bergerak-gerak.

Melihat Bu Beng berdiri di situ dengan sikap menantang, ular yang sedang marah mencari pengganggunya itu memandangnya dengan mata tajam, sedangkan lidahnya yang hitam sebentar-sebentar menjilat bibir atas. Tiba-tiba tubuh ular itu mengkerut menjadi pendek, lalu dengan loncatan kilat bagaikan anak panah besar meluncur dari busurnya, tahu-tahu ia menyerang Bu Beng!

Serangan ini amat berbahaya karena sambil menerjang mulutnya terbuka memperlihatkan taring-taring tajam dan dari dalam mulut keluar uap hitam yang berbau amis menimbulkan rasa muak. Maka Bu Beng cepat berkelit dan meloncat ke samping. Heran sekali, tubuh ular yang begitu besar ketika turun ke atas tanah dapat diatur sedemikian rupa sehingga seakan-akan tubuhnya itu ringan sekali.

Bu Beng tak mau menyia-nyiakan waktu. Sebelum ular itu dapat membalik, ia telah maju sambil menyabetkan pedangnya. Tapi tanpa berpaling ular aneh itu mengangkat ekornya dan menangkis pedang itu. Tenaganya besar sekali hingga hampir saja pedang Bu Beng terlepas dari pegangannya!

Bu Beng terkejut sekali. Pantas saja ayah ibu Cin Eng tak dapat melawan ular ini, karena ternyata ia demikian hebat. Bu Beng diam-diam mengakui bahwa tenaganya yang terlatih masih kalah jauh oleh ular merah ini! Maka ia berlaku hati-hati sekali.

Manusia dan binatang itu saling serang secara mati-matian. Tubuh Bu Beng berkelit ke sana kemari dan pedangnya berputar-putar secepat kilat menyambar. Tapi ular merah tak kalah cepat. Ia menggunakan ekornya yang kuat untuk menangkis pedang dan serangan-serangannya selalu mematikan, ditambah dengan taring beracun dan uap berbahaya yang selalu mengancam tubuh dan pernapasan Bu Beng!

Cin Eng yang merasa khawatir melihat tunangannya belum juga berhasil membinasakan ular itu, tidak peduli akan segala bahaya segera memburu dan ikut mengeroyok. Bu Beng berkali-kali menyuruh dia menjauhkan diri, tapi Cin Eng tak mau menurut. Ia tak mungkin dapat berdiri berpeluk tangan dengan hati aman melihat Bu Beng berkelahi mati-matian. Bu Beng menjadi bingung melihat gadis itu tidak mau menurut. Kini dia harus memecah tenaganya untuk melindungi gadis itu pula!

Dengan gemas Cin Eng menggunakan pedangnya menusuk leher ular itu dengan gerakan Tiang-khing-king-thian atau pelangi panjang melengkung di langit. Agaknya ular itu tidak melihat serangan ini karena sedang sibuk menghindari bacokan Bu Beng. Tetapi ketika pedang Cin Eng sudah dekat dengan kulit lehernya, tiba-tiba ekornya menyambar ke arah tangan Cin Eng yang memegang pedang!

Merasa betapa sambaran ekor itu membawa angin dingin ke arah tangannya, gadis itu terkejut dan cepat menarik tangannya, tetapi pedangnya tetap terpukul oleh ekor ular dan ia merasa telapak tanganya menjadi perih dan sakit. Terpaksa ia melepaskan pedangnya sambil meloncat mundur jauh-jauh!

Ia merasa belum puas. Sepasang pedangnya yang biasanya dapat menghadapi beberapa belas orang jahat bersenjata dengan tak terkalahkan, kini kedua pedang itu telah dipaksa lawan terlepas dari tangannya. Pedang yang pertama lenyap menancap di leher ular laut, ada pun pedang yang kedua terlempar ke jurang oleh sabetan ekor ular itu. Hampir saja dia menangis karena marah dan jengkel, juga karena khawatir melihat Bu Beng agaknya terdesak oleh ular itu.

Hek Houw juga merasa penasaran karena tidak dapat membantu. Ia menjadi marah sekali dan mendadak ia memungut kayu yang dibakarnya untuk mengasapi goa itu, lalu dengan keras ia melontarkan kayu yang masih terbakar dan menyala itu ke arah tubuh ular.

Tubuh ular bagian perut itu seakan-akan bermata karena tiba-tiba dia dapat menghindari lontaran itu, biar pun api yang bernyala di kayu masih sempat menjilat kulit perutnya. Ular itu tiba-tiba bergerak bagaikan gila. Tubuhnya berkelojotan ke sana kemari dan ia menjadi garang sekali, mulutnya berdesis-desis hebat dan ia menubruk Bu Beng dengan membabi buta. Melihat perubahan gerak lawannya, pemuda ini segera berteriak.

“Hek Houw! Cin Eng! Lekas membuat api sebanyak-banyaknya! Serang ia dengan api!”

Hek Houw girang sekali karena perbuatannya yang tidak disengaja itu membuka rahasia kelemahan ular merah, maka cepat ia membuat api kemudian mengumpulkan kayu yang dibakar ujungnya dan dilontarkan ke arah ular. Benar saja, tiap kali kulitnya terjilat api ular itu meloncat-loncat bagaikan gila dan gerakan-gerakannya tak karuan lagi.

Tiba-tiba ia memutar tubuh dan menyerang ke arah Cin Eng dan Hek Houw dengan satu lompatan jauh! Pada saat itu Cin Eng dan Hek Houw tidak bersenjata apa-apa selain dua batang kayu yang menyala ujungnya. Melihat serangan hebat ini, mereka menggunakan kayu itu untuk melawan.

Melihat api yang bernyala di ujung kayu, ular itu tidak jadi menyambar dan turun ke arah tanah, kemudian dengan merayap perlahan ia menghampiri Cin Eng dan Hek Houw yang berdiri menghadapinya dengan takut-takut. Ular itu tampak marah sekali, tapi agaknya ia bukan marah kepada kedua orang itu, tapi marah kepada empat api merah yang menyala di ujung empat batang kayu itu.

Mendadak ia maju dengan mulut ternganga lebar. Ia serang ujung kayu di tangan kanan Hek Houw. Mulutnya bertemu dengan api dan ular itu bagaikan disambar petir. Ia segera mundur, lalu bibirnya digores-goreskan di atas tanah untuk menghilangkan rasa sakit pada bibirnya. Sementara itu api di ujung kayu itu menjadi padam.

Kini ular itu menyerang kembali, meluncur ke arah api pada ujung kayu di tangan kiri Hek Houw. Karena serangannya keras, maka sekali ini ia tidak hanya terjilat api, bahkan ujung kayu yang merah terbakar itu tepat bertemu dengan matanya. Akibatnya sungguh hebat! Ular itu menggunakan ekornya menyabet-nyabet ke sekelilingnya. Ia membanting-banting kepalanya ke atas tanah dan menggunakan ujung ekor menyabet-nyabet kepalanya yang terasa panas dan sakit.

Sementara itu Hek Houw berdiri pucat bagai mayat. Ia begitu takut dan bingung hingga ia hanya bisa berdiri diam sambil memandang dua batang kayu yang telah padam di kedua tangannya. Bu Beng girang sekali melihat hasil ini. Dia meloncat dan menarik lengan Hek Houw dari situ.

Tepat sekali apa yang dia lakukan ini karena tiba-tiba ular itu menyerang kalang kabut ke arah tempat Hek Houw tadi. Kalau si hitam itu masih berada disitu, pasti ia takkan dapat melepaskan diri dari bencana hebat ini.

Bu Beng segera minta dua batang kayu yang masih menyala dan dipegang oleh Cin Eng. Dia sendiri lantas maju menghadapi ular itu dengan senjata istimewa ini. Karena dia dapat bertindak cepat dan gesit sekali, maka berkali-kali ujung kayu yang menyala itu bertemu dengan mata, muka, leher dan ekor ular itu sehingga sang ular semakin lama semakin tak berdaya. Hanya ekornya saja yang masih bergerak perlahan dan lemah. Bu Beng segera mencabut pedangnya dan dengan sepenuh tenaga membacok leher ular itu.

“Sraatt!” Dan putuslah leher ular merah yang dahsyat itu.

Setelah berhasil membunuh mati ular itu, Bu Beng menjatuhkan diri bersila di atas rumput sambil mengumpulkan semangatnya untuk memulihkan tenaganya yang telah dikerahkan habis-habisan itu. Sementara itu Cin Eng memandang tubuh ular yang kini tidak bergerak lagi itu.

Sesudah merasa tenaganya pulih kembali, Bu Beng dan Cin Eng lantas mendekati kepala ular. Ternyata ular itu memang luar biasa. Sisik di kepalanya berwarna merah kekuning-kuningan bagaikan emas.

“Biarlah kita berdoa mudah-mudahan di kepala inilah adanya mustika penyembuh sakitmu itu,” kata Bu Beng yang lalu menggunakan pedangnya membelah kepala ular itu. Ternyata di dalam kepala itu terdapat benda bulat yang lembek tapi yang putih berkilauan bagaikan air perak.

“Inilah dia!” Cin Eng berbisik suaranya gemetar. “Dulu ayah pernah menceritakan padaku bagaimana macamnya mustika ular itu. Inilah dia! Bila mana sudah kering benda ini akan mengeras bagaikan mutiara. Lekas ambil jantungnya, koko!”

Bu Beng segera membelah perut ular dan mengambil jantungnya yang merah dan kecil. Dengan bantuan Hek Houw mereka menyalakan api dan mencari air, kemudian memasak jantung itu dengan campuran obat yang telah disediakan oleh Bu Beng menurut resep dari Lo Sam. Kemudian tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia memberikan obat itu kepada Cin Eng yang terus meminumnya sambil memejamkan matanya.

Sebenarnya gadis ini merasa muak bukan main, tapi karena terpaksa dan ingin sembuh, ia paksa menelan juga obat berbau amis itu.

Tetapi alangkah kaget Bu Beng dan Hek Houw melihat keadaan Cin Eng setelah obat itu memasuki perutnya. Gadis itu memegang-megang kepalanya seolah-olah merasa pening sekali dan kedua matanya terus dipejamkan. Lalu gadis itu berdiri dan sambil memegang kepala terhuyung-huyung hendak jatuh.

Bu Beng cepat memburu lantas memeluk tunangannya. Ia semakin terkejut dan khawatir sekali ketika tangannya merasa betapa tubuh Cin Eng menjadi panas sekali seakan-akan terbakar.

“Engmoi... moi-moi... kau kenapa?”

Tapi Cin Eng tidak dapat menjawab, bahkan tubuhnya menjadi lemas dan ia jatuh pingsan di pelukan Bu Beng.

“Eng moi... Engmoi... ah, Hek Houw, bagaimana ini?” Bu Beng kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa.

Hek Houw juga bingung, tetapi ia tidak kehilangan akal. Ia lihat bahwa selain goa ular itu, masih ada lagi dua buah goa kecil di dekat situ. Maka ia lalu menasehati Bu Beng supaya membawa Cin Eng yang masih pingsan ke dalam sebuah goa kecil.

Bu Beng sudah kehilangan akal, maka ia mendukung tubuh Cin Eng ke dalam goa itu dan meletakkan tubuh gadis itu di atas rumput kering yang disusun Hek Houw di dalam goa. Bu Beng memegang nadi tangan Cin Eng dan hatinya agak lega ketika merasa bahwa denyut nadi gadis itu masih tetap dan biasa. Tapi hawa panas yang memancar dari tubuh gadis itu membuat ia khawatir sekali. Tetapi apa daya? Ia hanya dapat menjaga dengan cemas di dekat tunangannya yang telentang seperti sedang tidur nyenyak itu. Hek Houw lalu meninggalkan Bu Beng dan duduk mengaso di dalam goa kecil di sebelahnya.

Sampai semalam suntuk Cin Eng belum juga siuman. Bu Beng menjaga di sampingnya dengan tak bergerak-gerak. Mereka berdua merupakan dua buah patung hidup, seorang telentang dan yang seorang lagi duduk bersila. Hek Houw menyalakan api di luar kedua goa kecil untuk menolak gangguan binatang hutan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika Bu Beng mulai merasa sedih dan putus harapan, tiba-tiba Cin Eng bergerak dan mengeluh. “Aduh... perutku sakit sekali....” gadis itu mengaduh-aduh sambil memegangi perutnya.

Bu Beng menjadi girang melihat tunangannya siuman, tapi serentak juga merasa bingung melihat betapa gadis itu merintih-rintih.

Tiba-tiba Cin Eng muntah-muntah dan dari perutnya keluar gumpalan-gumpalan hitam.

“Koko, keluarlah, pergilah dari sini!” Cin Eng berteriak kemalu-maluan mengusir Bu Beng. Tapi Bu Beng menggeleng-gelengkan kepala, malah menggunakan ujung baju mengusap mulut Cin Eng yang telah berhenti muntah.

“Koko, keluarlah!” Cin Eng berkata marah karena ia merasa malu sekali. “Dan tinggalkan baju luarmu!”

Terpaksa Bu Beng keluar mendengar ucapan yang mengandung paksaan ini. Namun dia girang sekali melihat wajah Cin Eng yang kemerah-merahan dan meski pun berpura-pura marah tapi gadis itu masih tak dapat menyembunyikan senyum di bibirnya. Dia menunggu di luar goa dan segera memberi-tahu kepada Hek Houw yang masih tidur mendengkur di goa sebelah.

“Hek Houw, Cin Eng sudah siuman dan sembuh.”

Hek Houw tersenyum girang. “Syukurlah. Ah, obat itu kerjanya benar-benar terlalu manjur dan keras hingga mengagetkan orang saja.”

Pada saat itu pula, dengan memakai pakaian luar Bu Beng, Cin Eng lari keluar menuju ke sebuah anak sungai. Bu Beng mengejar, tapi ia tersenyum dan kembali lagi ketika melihat bahwa gadis itu pergi ke sungai hanya untuk mencuci pakaiannya yang kotor.

Setelah yakin benar bahwa Cin Eng sudah sembuh, Bu Beng membuat obor dan sambil memegang obor menyala dia memasuki goa ular itu. Cin Eng mencegah, tetapi Bu Beng mengatakan ia hanya ingin melihat apakah isi goa itu. Maka akhirnya Cin Eng menyetujui juga. Sedangkan Hek Houw yang hendak ikut segera ditolaknya.

Dengan tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang Hwe-hong-kiam, Bu Beng memasuki goa itu dengan membongkok. Ternyata bahwa goa itu membelok ke kiri dan dalam sekali. Bu Beng terus maju dan setelah membelok tiga kali ke kiri dan tiga kali ke kanan, tiba-tiba ada angin meniup hingga obornya padam!

Bu Beng kaget sekali. Ia siap menjaga dengan pedangnya, tapi tidak ada apa-apa, hanya terdengar suara angin bertiup dari depan tiada hentinya. Dengan heran Bu Beng bertindak maju, ia dapat berjalan sambil berdiri lempang karena tempat itu semakin melebar.

Kemudian, sesudah membelok sekali lagi ke kiri, ia lihat di depannya ada cahaya terang bersinar dari atas memasuki goa, diiringi dengan masuknya angin yang bertiup keras dan membuat obornya padam tadi. Sekarang mengertilah ia bahwa goa itu merupakan sebuah sumur. Dan tepat di mana sinar itu masuk, ia melihat sebuah pintu.

Ketika daun pintu ditolaknya, ternyata tidak terkunci. Dengan hati-hati Bu Beng memasuki kamar itu. Pandangan pertama-tama yang menyambutnya membuat ia kaget dan hampir saja berteriak.

Sebuah kerangka ular yang sangat besar melingkar di situ dengan kepala menghadap ke pintu dan mulut terbuka lebar-lebar seakan-akan hendak menggigitnya! Di dekat kerangka ular besar itu rebah sebuah kerangka manusia. Dan sebuah pedang yang aneh bentuknya tersangkut di antara tulang-tulang di leher ular itu. Agaknya manusia yang sekarang telah tinggal kerangkanya saja itu dulu telah membunuh ular ini dengan menggunakan pedang yang kini tersangkut di tulang leher ular.

Bu Beng mengambil pedang itu lalu membolak-baliknya. Gagang dan pedangnya menjadi satu, gagang merupakan kepala ular dan ujungnya yang runcing merupakan ekornya. Di bagian leher, pedang itu agak berlekuk-lekuk tetapi dari batas perut sampai ke ekor lurus dan tajam kanan kirinya. Yang paling aneh, pedang itu berwarna merah. Di bagian kepala, yaitu gagangnya, ada ukiran kecil tiga huruf yang berbunyi ‘Ang-coa-kiam’ atau pedang ular merah.

Ketika ia memandang ke arah kerangka manusia itu, ia dapatkan sebuah sarung pedang tergantung dengan tali pada tulang pinggangnya. Ia mengambil sarung itu yang ternyata adalah sarung pedang istimewa untuk Ang-coa-kiam.

Girang sekali hati Bu Beng mendapat pedang pusaka ini, lalu digantungkannya pedang itu di pinggang dan ia terus memeriksa keadaan kamar itu. Di sudut kamar terdapat dua peti kecil. Hatinya berdebar. Barang pusaka apa lagi yang berada di situ?

Dia maju menghampiri dan membuka peti pertama. Isinya hanya sebuah buku. Ketika dia membolak balik lembaran kitab tua itu, ternyata yang dipegangnya adalah Ang-coa-kiam-sut Pit kip yakni Kitab Rahasia Ilmu Pedang Ang-coa-kiam! Buku itu berisi pelajaran ilmu pedang yang sangat aneh berikut lukisan tentang gerakan-gerakan yang harus dibuat.

Ketika peti kedua dibuka, mata Bu Beng lantas menjadi silau. Di dalamnya penuh dengan permata dan batu-batu giok yang indah dan tak ternilai harganya. Sesudah ia memeriksa, ternyata barang-barang itu merupakan perhiasan-perhiasan kuno yang pantasnya hanya dimiliki oleh seorang permaisuri atau keluarga raja.

Bu Beng membawa dua peti itu dan hendak keluar goa. Tetapi ketika ia memandang ke arah kerangka manusia itu, timbul rasa iba dalam hatinya. Bukankah manusia yang kini tinggal kerangkanya itu mungkin adalah pemilik semua barang berharga yang terjatuh ke dalam tangannya? Sudah sepatutnya ia membalas budi demikian besar itu!

Maka dua peti itu ditaruhnya kembali, lalu dia mengumpulkan tulang-tulang rangka, diikat dengan sapu tangan. Sesudah semua tulang terkumpul lengkap, barulah dia bawa semua barang itu keluar dari goa. Untuk jalan keluar, meski pun ia tidak menggunakan obor dan keadaan sangat gelap sehingga tangan sendiri pun tak dapat terlihat, namun karena tidak ada keragu-raguan dan kekhawatiran lagi, dia dapat merayap dan meraba-raba menuju keluar.

Cin Eng girang sekali melihat Bu Beng keluar dengan selamat. Tadinya dia sudah sangat khawatir dan jika bukan Hek Houw yang menghiburnya dan melarangnya dengan alasan-alasan kuat, pasti ia tadi telah menyusul masuk! Alangkah senangnya mendengar tentang pusaka yang didapatkan Bu Beng. Dengan khidmat dan hati-hati mereka lalu mengubur rangka manusia itu di luar goa.

Ketika Bu Beng memeriksa lagi kitab ilmu pedang itu, di bagian belakang terdapat tulisan dengan gaya yang indah kuat. ‘Ilmu pedang ini hanya boleh dipelajari di atas pulau Ang-coa-tho. Sesudah dipelajari harus segera dijadikan abu’.

Bu Beng yang sangat tertarik akan isi kitab dan telah yakin bahwa ilmu pedang itu betul-betul hebat dan luar biasa sekali, segera mengajak Cin Eng turun bukit. Namun ketika dia menengok, ternyata Hek Houw telah lenyap dari situ! Berkali-kali Bu Beng memanggilnya, tetapi Hek Houw tidak menampakkan diri.

Bu Beng menjadi jengkel karena terpaksa harus menunda niatnya turun bukit. Tadinya ia bermaksud tinggal di pondok dekat pantai itu dan mempelajari kita ilmu pedang itu di atas pulau, tapi tak sampai hati untuk meninggalkan Hek Houw turun gunung. Maka bersama Cin Eng mereka lalu masuk ke dalam goa kecil sebelah kiri.

Bu Beng mulai membaca dan mempelajari Ang-coa-kiam-sut, sedangkan Cin Eng pergi mencari buah-buahan sambil menikmati pemandangan indah pulau itu, sekalian mencari Hek Houw.

Setelah menunggu setengah hari lebih dan hari sudah menjadi sore, ternyata Hek Houw belum juga kembali. Bu Beng mulai khawatir kalau-kalau si dogol itu mendapat bencana. Ia berkata kepada Cin Eng bahwa mereka terpaksa harus menanti sampai besok. Cin Eng yang juga sayang kepada Hek Houw yang jujur dan setia, menyatakan persetujuannya.

Tapi pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan mereka merasakan tanah bergoyang hebat! Setelah tanah seakan-akan berayun-ayun beberapa lama sehingga Cin Eng menjadi takut dan memegangi lengan Bu Beng dengan tubuh menggigil, goncangan itu akhirnya menjadi reda dan tanah kini hanya bergetar saja. Tapi suara gemuruh masih saja terdengar.

“Mungkin gunung ini hendak meletus,” kata Bu Beng. Dia membawa dua peti kecil itu dan menarik lengan Cin Eng. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Berbahaya!” dan sambil berlari-lari di atas tanah yang bergetar-getar mereka berdua lalu turun bukit., dikejar oleh suara gemuruh di belakang mereka.

Biar pun melalui tempat yang telah mulai gelap, tapi karena dikejar rasa takut, mereka tak mempedulikannya hingga akhirnya mereka dapat juga keluar dari hutan dan sampai juga di tepi laut dengan napas terengah-engah.

Mereka merasa ngeri. Suara bergemuruh itu masih saja terdengar dari situ, tetapi getaran tanah hanya terasa sedikit. Mereka menuju pondok buatan ayah Cin Eng, lalu naik dan beristirahat.

Demikianlah, hampir tiga bulan lamanya Bu Beng mempelajari ilmu pedang Ular Merah itu dengan tekun dan rajin. Selama itu Cin Eng tak mau mengganggunya sebab gadis ini pun maklum betapa calon suaminya sedang mempelajari sebuah ilmu pedang yang ampuh. Ia sendiri pun ingin sekali mempelajarinya, tapi ia pikir bahwa kalau ia pun ikut belajar, maka tentu akan memakan waktu lebih lama lagi. Mengapa terburu-buru? Masih banyak waktu baginya kelak untuk belajar dari Bu Beng! Maka dengan pikiran itu, Cin Eng hanya melatih kepandaian sendiri dan tiap hari mencari buah-buahan untuk makan mereka.

Yang mengganggu pikiran mereka adalah Hek Houw. Pemuda hitam itu sampai sekarang belum kembali! Mereka merasa pasti bahwa Hek Houw tentu sudah tewas. Diam-diam Bu Beng merasa sedih mengingat nasib muridnya itu.

Sungguh kasihan pemuda itu yang telah mengangkat guru padanya dan sudah membela serta mengantarnya sampai ke pulau Ular Merah sehingga berhasil yang diusahakannya. Sedangkan sebagai balas budi, belum pernah ia mengajar silat kepada muridnya itu.

Setelah hafal betul semua pelajaran ilmu pedang di dalam kitab itu dan dapat menangkap dasar-dasarnya dengan sempurna, Bu Beng lalu membakar kitab itu. Kemudian ia berkata kepada Cin Eng.

“Eng moi, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pulang.”

Cin Eng mengangguk, akan tetapi wajahnya kelihatan sedih. Bu Beng maklum apa yang mengganggu pikiran tunangannya.

“Apa boleh buat, Eng-moi. Agaknya Hek Houw memang telah ditakdirkan harus meninggal dunia di pulau ini. Sudah cukup lama kita menanti di sini.”

Cin Eng menghela napas. “Yang kuherankan, koko, setelah kita menguburkan rangka di depan goa itu, tiba-tiba saja Hek Houw lenyap. Ke manakah gerangan ia pergi?”

Bu Beng mengangkat pundak. “Bagaimana kalau aku pergi ke atas untuk mencarinya?”

“Kurasa tiada gunanya dicari. Kalau dia masih hidup tentu sudah lama dia datang ke sini. Tapi kurasa tiada salahnya kalau sebelum meninggalkan pulau ini, kita naik sekali lagi dan mencoba mencari jejaknya,” kata Cin Eng.

Tapi pada saat itu tiba-tiba Bu Beng memegang lengan Cin Eng dan berkata kaget, “Eng-moi, lihat!”

Cin Eng menengok dan ia memegang lengan Bu Beng dengan hati bedebar-debar.

Dari atas bukit tampak seorang tinggi besar berlari secepat kilat. Gerakan orang itu ringan dan cepat sekali sehingga sebentar saja dia sudah berada di depan mereka dengan muka tertawa senang.

“Hek Houw, kau?!” teriak Bu Beng girang sekali sambil memegang pundak orang itu. Tapi lagi-lagi ia terkejut ketika terasa olehnya betapa pundak Hek Houw terasa keras bagaikan besi dan mengandung tenaga tersembunyi yang kuat! “Ehh, kau ke mana saja selama ini, Hek Houw?”

“Suhu, aku… ehh... aku... hemm...?” Hek Houw berkata gugup dan tak karuan.

“Hek-twako, tenangkanlah dirimu. Kami menanti sampai berbulan-bulan tapi mengapa kau tidak datang? Ke mana sajakah kau, twako?” tanya Cin Eng yang juga merasa gembira sekali dengan kembalinya Hek Houw.

“Kouwnio, aku gembira sekali kalian selamat. Aku... telah...” kembali dia berhenti dengan bingung.

“Sudahlah, Hek Houw, jika kau tidak suka menceritakan, kami pun takkan memaksamu,” kata Bu Beng dengan suara menghibur.

Mendengar kata-kata gurunya ini, wajah Hek Houw makin merah dan bingung. Kemudian ia mengangkat dada dan berkata dengan suara tetap. “Suhu, sebetulnya teecu selama ini berada di dalam sebuah goa siluman.”

“Goa siluman?”

Hek Houw mengangguk, “Letak goa itu tidak jauh dari goa ular. Ketika teecu melihat suhu mendapatkan pusaka dari dalam goa, saya lalu nekat memasuki goa yang seram itu. Dan di dalamnya, selain setan-setan yang berkeliaran tanpa wujud, teecu dapatkan sejilid kitab pelajaran silat yang telah teecu pelajari sampai habis!”

“Ilmu silat apakah Hek Houw?” tanya Bu Beng dengan girang dan ingin tahu.

Kembali Hek Houw ragu-ragu tapi sekali lagi pemuda hitam itu mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Ilmu silat Ang-coa-koat-kun-hwat yang terdiri dari tiga belas kali tiga belas gerakan!” sehabis berkata demikian Hek Houw segera menggerakkan tubuh dan dengan cepat sekali ia bersilat.

Gerakan-gerakannya aneh membingungkan, tapi setiap pukulannya mendatangkan angin dahsyat. Sungguh ilmu silat yang jarang ada di dunia ini.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar