Jago Pedang Tak Bernama Jilid 05

Dalam gerakan-gerakan pertama gadis itu menggunakan ilmu silat Kim-liong-pai sehingga ia semakin heran. Biar pun gerakannya gesit dan tenaganya besar, ternyata gadis itu juga membuat kesalahan-kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat Kim-liong-pai telah tercampur aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah lihainya.

Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, dengan mudah sekali Bu Beng dapat memunahkan setiap serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya. Kini dia menyerang dengan lebih cepat, maka tahulah Bu Beng bahwa sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie-jin-kun yang gerakan-gerakannya lemas namun mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Mungkin gadis ini baru sedikit mempelajari ilmu silat Kim-liong-pai dan kepandaian aslinya adalah Bie-jin-kun itu.

Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan dia mempelajari pula berbagai macam ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan ini pun dia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesit. Tak pernah ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu.

Diam-diam dia gembira karena dia pun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu. Kini dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga.

Gadis baju putih itu menyerang hingga berpuluh jurus, tetapi belum juga dapat menyentuh ujung baju Bu Beng. Terdengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar sekali menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakan-teriakan,

“Pukul, ci! Robohkan dia! Ahh…, meleset lagi!”

“Sayang, tidak kena lagi, ci! Hayo pukul roboh!”

Maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan menggunakan siang-kiam itu menyerang hebat!

“Tahan pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi,” Bu Beng berusaha mencegah.

“Hmm, kalau dengan kanak-kanak berani, ya? Kalau benar-benar laki-laki, hayo keluarkan senjatamu.”

Bu Beng bentangkan dua lengannya sambil mengangkat pundak. “Aku tak ingin berkelahi, nona.”

“Jangan banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki pengecut.”

Bu Beng tersenyum. “Kau terlalu memaksaku nona. Apa boleh buat, aku bukan pengecut. Majulah!”

Gadis itu segera membuka serangan dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan. Pedang kanannya menusuk ke arah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan. Tetapi Bu Beng ganda tertawa saja dan loncat berkelit.

Gadis itu merangsek maju lagi dengan hati panas, maka Bu Beng terpaksa menggunakan ilmu ginkang-nya yang amat hebat untuk melayaninya dengan tangan kosong. Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakan untuk meloloskan diri dari bayangan pedang.

Sesungguhnya permainan siang-kiam gadis itu hebat dan telengas sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong, biar bersenjata pun tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu. Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu Beng Kiam-hiap yang tingkatnya masih jauh di atasnya, maka dengan mudah saja ia dipermainkan.

Pada saat itu pula dari jauh datang berlarian seorang wanita tua yang membawa tongkat. Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali sehingga diam-diam Bu Beng terkejut. Ia melihat orang tua itu duduk di atas akar pohon di dekat mereka dan diam saja menonton perkelahian itu.

Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu agaknya tidak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan sekali. Namun kedua anak kecil itu segera berlari menghampiri dan memeluknya ketika melihat perempuan tua bertongkat tahu-tahu duduk di situ.

Hati Bu Beng bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu terjadi nanti.

Selagi dia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan Arak. Sepasang pedangnya dengan kecepatan kilat meluncur ke dada Bu Beng, yang sebatang ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan ke bawah!

Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat, tubuhnya berkelit ke samping. Dengan sekali menggerakkan tangan ke arah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang di tangan kanan gadis itu sudah berpindah tangan!.

“Bagus, bagus!” terdengar wanita tua itu memuji.

Namun gadis itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya tadi untuk menangkis dengan main mundur.

Mendadak sebuah sinar hitam menyela di antara mereka dengan membawa angin keras dibarengi bentakan orang.

“Cin Eng, mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!”

Mendengar bentakan ini, gadis itu meloncat mundur lalu berdiri dengan muka tunduk dan wajah merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di dalam hati Bu Beng, maka ia pun segera maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus, “Nona, maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali, nona.”

Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tetapi dia segera tertunduk kembali dengan muka merah dan mulut cemberut.

“Ha-ha!” wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh. “Cin Eng, orang sudah berlaku mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!”

Gadis itu kembali mentaati perintah itu dan menerima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa berani memandang pemuda itu.

“Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dan coba kau tahan tongkatku yang lapuk ini.”

Bu Beng menjura hormat. “Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan.”

“Hmm, tidak perlu sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku. Maka mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini selama beberapa jurus. Jangan takut, aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu,. Aku tak akan berlaku kejam padamu.”

Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan padanya, bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata, “Maaf,” ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya.

Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang ini disebut Hwe-hong-kiam, tajamnya luar biasa dan terbuat dari logam yang jarang terdapat dan kerasnya melebihi baja tulen. Kalau tidak terpaksa, jarang sekali Bu Beng mengeluarkan senjata ini. Namun sekali ini dia tahu bahwa wanita tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali.

“Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!” wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin.

Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua itu. Namun wanita itu pun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya.

Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw-lim-si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun-lun. Biar pun ia memiliki ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu membuat gerakannya mantap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia sudah merasa heran dan kaget karena ilmu pedang Bu Beng amat membingungkannya.

Bu Beng memainkan tipu-tipu Kim-liong-pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa-san-pai sehingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang amat lihai dan tak terduga datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat menangkis saja.

Pada suatu desakan, Bu Beng menggunakan pedang pendeknya menusuk dada lawan. Tusukan ini cepat bukan main, tapi meski pun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu. Tanpa tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan membabat lengan lawan! Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jalan satu-satunya yang masih mungkin ia lakukan, yakni melepaskan tongkat kemudian menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih.

Bu Beng rangkapkan kedua tangan. “Maaf, maaf.”

Nenek itu cepat berdiri dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa kaget. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia menjemput tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng.

“Anak muda, kau benar-benar gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua sehingga tak pandai lagi memainkan tongkat, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan tongkatku. Hi-hi-hi!”

Bu Beng tidak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tetapi karena orang berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga.

“Ini adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Lan dan Cin Hai. Dan kau sendiri siapakah anak muda?”

“Saya bernama Bu Beng.”

Dua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini sedangkan nenek itu sendiri memandang heran. Namun karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguh-sungguh dan sinar mata yang menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi.

“Sekarang kami persilakan Bu Beng Taihiap mampir di pondok kami,” katanya kemudian, “Perkenalan ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di jaman ini dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami hormati.”

Sebenarnya Bu Beng tidak suka untuk mampir, tetapi demi melihat ke arah Cin Eng yang menggunakan mata burung hong-nya menatap dengan tajam padanya, dia menyanggupi dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampung tak jauh dari situ.

Ketika mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tetapi yang keadaannya miskin, si nenek berkata ke dalam rumah.

“Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!”

Bu Beng memandang ke pintu tengah dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap menghadapi lawan lainnya. Namun ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, dia segera meloncat menghampiri kemudian memberi hormat.

“Suheng!” katanya heran dan gembira.

“Eh, kau sute? Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han, tak tahunya kaulah orangnya!”

“Bagaimana suheng dapat tahu?”

Kim Kong Tianglo tertawa lebar. “Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil membuat Hun-toanio melepaskan tongkatnya?”

Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo lalu bercerita bahwa tadi karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke hutan lantas bersembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu berkata,

“Ha-ha-ha-ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini sute-mu sendiri? Ahh, aku makin tidak penasaran sudah jatuh di dalam tangannya.”

Setelah memerintahkan Cin Eng agar mengeluarkan arak, nenek yang aneh itu kemudian meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu.

Setelah berada berdua saja. Bu Beng lantas melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suheng-nya. Memang dia menganggap suheng-nya ini sebagai kakaknya sendiri. Mereka berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah.

Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu. Kim Kong Tianglo menarik napas dalam-dalam, lalu menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh itu.

Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go dan dia berasal dari Kilam. Sebelum kawin dia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek sekali, tetapi ia amat cantik sehingga menarik banyak rasa cinta pemuda.

Di antara mereka yang tertarik pada Hun Gwat Go, terdapat seorang pendekar muda yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara menjadi pencuri budiman. Pemuda ini bernama Liu Pa San. Rumah hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram dicurinya untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia memiliki kepandaian tinggi dan juga cakap, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.

Pada waktu kawin dengan Gwat Go, sebenarnya Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang anak perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia akibat sakit. Anak perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng.

Sesudah puluhan tahun menikah dengan Gwat Go, barulah Liu Pa San mempunyai anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan. Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan walau pun adatnya buruk, namun Gwat Go bukanlah merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang kepada Cin Eng seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dan keras membuat gadis itu takut kepadanya. Bahkan ibu tiri ini pun mendidik Cin Eng supaya mempunyai kepandaian yang lihai juga.

Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang silam, ketika Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, pada suatu malam dia mendengar suara ribut-ribut di atas genteng tikoan di kota itu. Dia segera loncat ke atas dan melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapa orang jagoan yang sengaja diundang oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata di antara jagoan-jagoan terdapat Ngo-houw atau lima harimau dari Tiang san yang terkenal kosen.

Ketika Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San sudah terluka hebat tapi masih melakukan perlawanan dengan gigihnya. Kim Kong Tianglo berhasil menolong dan membawanya pergi, tetapi malam itu juga Liu Pa San si maling budiman menghembuskan napas terakhirnya di hadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa itu.

Sebelum mati Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat pada anak-anaknya. Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah akan memenuhi permintaan ini. Sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada di ambang pintu kematiannya.

Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah Liu Pa San. Sebenarnya dia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat yang amat baik.

Semenjak itu dia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya. Rencananya, setelah mendidik Cin Eng untuk beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakili dia mendidik kedua adiknya.

“Sute,” berkata Kim Kong Tianglo sesudah selesai bercerita, “Berapa umurmu sekarang?”

Pertanyaan ini dikeluarkan secara mendadak sehingga Bu Beng memandang suheng-nya dengan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tetapi dia menjawab juga.

“Dua puluh enam tahun, suheng. Ada apakah?”

Kim Kong Tianglo tertawa. “Tidakkah kau pikir bahwa usia sedemikian itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang suami?”

Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suheng-nya, kemudian ia tunduk dan mukanya menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat tingkah laku pemuda itu.

“Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah, aku adalah orang yang telah cukup pengalaman dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah seorang gadis yang amat baik, baik mengenai rupa dan tabiatnya mau pun mengenai ilmu silatnya. Sute, bagaimana pikiranmu kalau aku berlaku lancang dengan menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?”

Dengan masih menundukkan kepala dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata. “Suheng, beribu terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Setelah suhu meninggal dunia, bagiku memang di dunia ini hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku. Aku ini orag macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu? Tetapi yang menjadi persoalan adalah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan menantu? Kalau sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Sebaiknya jangan coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!”

Kim Kong Tianglo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sute-nya. “Jadi kau suka padanya? Baik, baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatakan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mendapatkan seorang yang memiliki kepandaian melebihi si gadis sendiri sekaligus melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun-toanio mengundang kau mampir di rumahnya? Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu saja. Tentu ada maksudnya. Ha-ha-ha!”

Bu Beng menyerahkan saja urusan itu kepada suheng-nya, dan ketika Kim Kong Tianglo pergi ke dalam untuk menjumpai Hun Gwat Go serta membicarakan urusan ini, ia hanya menanti di ruang tamu sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan hatinya yang bergoncang.

Ia segera bangkit dengan hati berdebar-debar ketika tak lama kemudian suheng-nya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang.

“Selamat, sute. Kionghi, kionghi,” kata hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri. Bu Beng mengangkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun Gwat Go duduk di atas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata,

“Ehh, sue, tunggu apa lagi? Hayo beri hormat kepada gakbo-mu.”

Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.

“Ahh, kini tercapailah cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, mendapat seorang mantu yang gagah melebihi ayahnya.” Sampai di sini tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-sedu. Air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena dia teringat akan suaminya yang telah mati.

“Kau… kau harus balaskan sakit hati ini…” katanya kepada Bu Beng yang hanya dapat mengangguk sambil menundukkan kepala.

Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu Beng segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik.

Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo yang tampak berseri-seri gembira. Ia mengerling ke arah Bu Beng dan keheranannya semakin bertambah melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga sehingga tanpa terasa lagi warna merah menjalar ke seluruh muka dan telinganya.

“Ada apa, ibu?” tanyanya.

“Eng, sediakan makanan lezat. Hari ini kita harus berpesta sepuasnya. Tambah lagi arak wangi kepada … gurumu .. eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu,” sambil berkata demikian dia menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak.

Cin Eng yang biasanya amat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang. Dia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri di hadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa tergelak-gelak sehingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka merah.

Tidak lama kemudian mereka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda cici-nya, karena dia pun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali dia melirik kerah cici-nya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding ke arah Bu Beng sehingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak.

“Ah, ahh, cici nakal sekali, awas nanti kuberi-tahukan kepada cihu!” semua orang tertawa dan Cin Eng makin malu hingga terasa sukar baginya untuk menelan makanan.

Bu Beng juga hampir tidak dapat makan karena malu. Sebenarnya pada saat itu di dalam hatinya terbit dua macam perasaan. Rasa bahagia dan rasa sedih. Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati dia cinta dan kagum kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tiada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar-benar sebatang kara di dunia ini.

Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti hingga berakhirnya masa perkabungan Cin Eng atas kematian ayahnya. Pesta kecil itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamarnya masing-masing.

Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa pesta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidur bersama suheng-nya, tidak langsung pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri sambil membawa sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu.

“Nona, kalau nanti suheng mencariku, tolong beri-tahu bahwa aku sedang pergi mencari hawa sejuk di hutan.” Cin Eng hanya mengangguk, tetapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang bersedih.

Setelah tiba di hutan, Bu Beng menjatuhkan diri di atas rumput hijau dengan hati sedih.

“Aku tidak dapat kawin, tak mungkin …” keluhnya. Tapi tidak ada seorang pun mendengar keluhan itu, hanya angin malam saja berbisik di antara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya itu.

“Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Bila Cin Eng menjadi isteriku, apakah dia juga harus hidup sengsara seperti aku? Ahh, tidak, kasihan kalau dia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. Lagi pula aku belum tahu siapa orang tuaku, di mana tempat makamnya, juga belum dapat membalas sakit hati mereka. Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini? Tidak… tidak!”

Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang ketika itu sedang tersenyum simpul di antara gulungan awan. Dia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang menjadi basah karena rumput. Sesudah duduk melamun beberapa lama, dia mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan sedih.

Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan batinnya minta perlindungan dan pembelaan Tuhan.

Tiba-tiba terdengar suara lemah di belakangnya, “Koko…”

Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan hatinya, tak mendengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya. Lambat laun suara sulingnya merendah kemudian perlahan-lahan berhenti. Kedua lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.

“Koko…“ suara ini terdengar halus dibarengi isak.

Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya. Dia berdiri dan menengok ke belakang. Kini di depannya berdiri Cin Eng yang dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama seakan dewi yang baru turun dari kahyangan. Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.

“Moi-moi…“ katanya berbisik dan Cin Eng menundukkan kepala.

Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut “adik” kepada gadis itu, tapi karena mendengar gadis itu sudah menyebutnya “kanda”, ia jadi berani merobah sebutan “nona” menjadi “dinda.”

“Adik Eng… mengapa kau pun berada di sini?” tanyanya halus.

“Aku… aku… mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?”

Bu Beng menghela napas. “Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?”

“Tidak, koko. Hanya saja tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa tak enak hati lalu menyusul ke sini...”

“Duduklah adik Eng,” kata Bu Beng dan mereka lantas duduk di atas rumput hijau yang merupakan permadani indah di malam terang bulan ini.

“Sebenarnya aku sedang terkenang kepada orang tuaku, adik Eng,” katanya dan dia lalu menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan.

Cin Eng mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri!

“Jadi itukah yang membuatmu sedih? Kukira…”

“Kau kira apa, adikku?”

“Kukira bahwa kau… tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini…”

Bu Beng menggerakkan tangan dan memegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi ia tak menarik tangannya, melainkan membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang merasa betapa tangan itu gemetar.

“Jangan menduga yang tidak-tidak, adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa, aku… aku... sudah suka sekali padamu….”

Cin Eng hanya menundukkan kepala.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar