Postingan

SATU
“Keparat! Goblok...!”

Brak!

Sumpah serapah terdengar dari dalam sebuah pondok kecil di dalam hutan yang sunyi ini, diiringi oleh terdengarnya suara benda pecah, seperti terpukul oleh tangan yang sangat kuat. Dan tak berapa lama, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun tengah tergopoh-gopoh berlari keluar menerjang pintu yang setengah terbuka.

“Jangan pulang kalau belum bawa kepalanya! Gobloook...!”

Terdengar lagi teriakan memaki dari dalam pondok itu. Sementara, pemuda yang berlari keluar itu disambut beberapa orang laki-laki bertampang kasar, yang gagang goloknya menyembul di balik ikat pinggangnya. Sedangkan pemuda berbaju merah muda yang di pinggangnya bergantung sebilah pedang itu terengah-engah, seraya menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Pipinya yang tampak memerah dielus-elusnya. Dan dari sudut bibirnya tampak keluar darah. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengalir dari sudut bibirnya.

“Kelihatannya dia marah besar padamu, Gondang,” ujar seorang laki-laki bertubuh kekar dan berwajah penuh cambang, seraya menghampiri.

“Bukannya marah lagi. Bahkan malah ingin membunuhku!” dengus pemuda yang dipanggil Gondang itu kesal.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Gondang?” tanya seorang lagi yang sejak tadi menggigit-gigit batang rumput.

“Seperti semula,” sahut Gondang lesu.

“Maksudmu...?”

“Apalagi kalau bukan membawa kepala Prabu Gelangsaka!” selak seorang yang berdiri di belakang Gondang.

“Benar, Gondang...?”

Gondang hanya mengangguk lesu saja. Maka semuanya jadi terdiam. Mereka semua tahu, siapa Prabu Gelangsaka itu. Dia adalah seorang raja yang memerintah Kerajaan Jatigelang. Tentu saja tugas itu sangat sulit. Sedangkan mereka sudah pasti harus berhadapan dengan para prajurit dan panglima-panglima berkepandaian tinggi yang mengelilingi Raja Jatigelang itu. Maka mereka kini semua jadi menggerutu dalam hati.

“Gondaaang...!”

Terdengar teriakan keras dari dalam pondok. Seketika semua laki-laki yang ada di sekitar depan pondok itu jadi tersentak kaget. Terlebih lagi, pemuda yang bernama Gondang. Wajahnya seketika jadi memucat.

“Kau belum pergi juga, Gondang...?!”

“Aku akan segera pergi, Nyai!” seru Gondang menyahut.

“Ingat, Gondang. Jangan kembali tanpa kepala keparat itu!”

“Baik, Nyai....”

Gondang mendengus dan menggerutu kesal. Sedangkan yang lain hanya diam saja membisu, memandangi pemuda itu. Entah apa arti pandangan mata mereka. Sementara, Gondang sudah melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.

“Ayo, kalian semua ikut aku,” ajak Gondang, sambil melompat naik ke punggung kudanya.

Tidak ada seorang pun yang membantah. Walaupun sikap mereka jelas terlihat enggan, tapi semuanya menghampiri kuda masing-masing. Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka berlompatan naik. Tak berapa lama kemudian, sekitar tiga puluh orang berkuda itu sudah bergerak meninggalkan pondok kecil di tengah hutan lebat dan sunyi ini. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara, Gondang mengendalikan kudanya paling depan. Tampak jelas dari raut wajahnya, kalau Gondang merasa kesal mendapatkan tugas yang dianggap sangat mustahil dilakukan. Tapi, pemuda itu tidak bisa menolak lagi. Dia tahu, apa yang akan terjadi kalau menolak perintah ini.

“Huh! Edan...! Dasar perempuan sableng! Masak memerintah orang seenaknya saja!” dengus Gondang kesal.

“Tidak perlu mengomel begitu, Gondang. Kalau tidak suka, bukankah ada kesempatan untuk lari saja...? Semua pasti akan mengikuti jejakmu, Gondang,” usul laki-laki bertubuh kekar yang berkuda di sebelah kanan Gondang.

Kata-kata itu rupanya langsung disambut yang lain dengan penuh semangat. Sedangkan Gondang jadi menghentikan langkah kudanya. Dipandanginya mereka satu persatu.

“Kalian akan tetap mengikutiku?” tanya Gondang seperti ragu-ragu.

“Di antara kami semua, hanya kau yang paling tinggi tingkat kepandaiannya, Gondang. Maka sudah sepantasnya kau jadi pemimpin kami semua,” kata laki-laki kekar berbaju warna biru gelap itu tegas.

Gondang jadi terdiam dengan kening sedikit berkerut Kelihatannya keinginan teman-temannya ini sedang dipikirkannya. Sungguh tidak pernah terlintas sedikit pun dalam kepalanya, pikiran semacam itu. Tapi, ke mana mereka akan pergi.,.? Apakah perempuan yang ada di dalam pondok itu tidak akan mencarinya? Dan kalau dia tahu, apa jadinya nanti...? Segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepala Gondang.

Memang sulit menentukan keputusan saat ini. Tapi mengingat kekesalan hatinya, agaknya usul laki-laki bertubuh kekar itu bisa juga diterima. Mereka semua memang sudah tertekan, sejak perempuan yang dianggap edan itu membunuh pemimpin mereka yang dulu, dan menguasai mereka semua sampai sekarang. Dan perempuan itu dikenal sebagai Nyai Ramit, seorang tokoh yang kepandaiannya cukup diperhitungkan dalam rimba persilatan.

“Apa lagi yang kau pikirkan, Gondang? Kau tidak percaya pada kesetiaan kami semua...?” desak laki-laki bertubuh kekar itu.

“Aku percaya pada kalian semua. Tapi...,” Gondang tidak meneruskan kata-katanya.

“Tapi apa lagi, Gondang? Bukankah ini kesempatan baik untuk kita semua agar terbebas dari perempuan sinting itu...?” desaknya lagi.

“Kalau Nyai Ramit tahu dan mencari kita semua, bagaimana...?” Gondang malah memberikan pertanyaan.

Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka hanya saling melempar pandangan saja satu sama lain. Sementara Gondang merayapi wajah-wajah yang kelihatan angker itu satu persatu. Memang, mereka semua bertampang angker dan mengerikan. Hanya Gondang saja yang kelihatan lain. Pemuda ini cukup tampan. Dan pakaiannya juga kelihatan selalu bersih. Bahkan senjatanya juga lain sendiri.

“Kami akan menghadapinya, Gondang,” kata laki-laki bertubuh kekar itu.

Penegasan itu langsung disambut yang lain dengan suara gegap gempita.

“Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang, kita harus pergi jauh dari jangkauan perempuan itu!” ujar Gondang, akhirnya mengambil keputusan. Dan keputusan Gondang langsung disambut seruan gegap gempita, membuat seluruh isi hutan ini seakan jadi terbangun. Gondang kini nampak tersenyum.

“Ayo kita pergi!” ajak Gondang, agak lantang suaranya.

“Ke mana, Gondang?”

“Aku tahu ada pengiriman barang untuk kerajaan lewat Hutan Jatiwengker. Kita cegat dan rampas barang-barang itu,” jelas Gondang.

“Kapan, Gondang?”

“Sekarang.”

“Kalau begitu, jangan buang-buang waktu lagi.”

“Yeaaah...!”

Mereka semua langsung saja menggebah kudanya mengikuti anak muda itu, tanpa peduli dengan lebatnya hutan ini. Bahkan kuda-kuda itu terus dipacu cepat, sehingga membuat daun-daun kering beterbangan tersepak kaki-kaki kuda.

***

Hutan Jatiwengker memang kelihatan sangat angker. Tak ada orang yang mau melewatinya. Bahkan untuk melalui tepiannya saja, jarang yang mau. Kecuali, kalau memang dalam keadaan terpaksa. Dan itu pun hanya siang hari. Padahal tidak jauh dari tepian hutan, ada jalan yang cukup besar yang menghubungkan Kotaraja Jatigelang dengan Kadipaten Alas Gadung. Tapi jalan itu selalu saja kelihatan sunyi. Dalam satu pekan, paling hanya sekali saja dilewati orang.

Siang ini udara di sekitar Hutan Jatiwengker terasa begitu panas. Matahari bersinar sangat terik. Sedangkan langit kelihatan begitu bersih, tanpa awan sedikit pun berarak di sana. Rerumputan mulai terlihat meranggas, terpanggang teriknya matahari. Namun panasnya udara siang ini, bukanlah halangan bagi serombongan orang-orang berkuda yang membawa dua buah gerobak pedati yang ditarik sapi. Meskipun lambat, tapi rombongan itu terus bergerak melintasi jalan berbatu yang sunyi dan jarang sekali dilalui orang.

Rombongan itu tampaknya terdiri dari para prajurit Kerajaan Jatigelang. Ini bisa terlihat dari seragam yang dikenakan. Dan tampak berkuda paling depan adalah seorang laki-laki berusia setengah baya berpakaian panglima. Dengan pakaian seperti itu, dia tampak gagah sekali. Semua orang di Kerajaan Jatigelang mengenalnya sebagai Panglima Wanengpati. Seorang panglima yang gagah dan menjadi kepercayaan Raja Jatigelang.

“Panglimaaa...!” Seorang punggawa terlihat memacu cepat kudanya, menghampiri Panglima Wanengpati yang berkuda paling depan. Dilewatinya dua gerobak pedati. Lalu lari kudanya diperlambat, setelah berada di sebelah kanan Panglima Wanengpati.

“Ada apa, Punggawa Rakasa?” tanya Panglima Wanengpati seraya melirik sedikit.

“Maaf, Gusti Panglima. Sebaiknya kita berhenti dulu, menunggu Punggawa Adiyasa yang memeriksa jalan ini di depan,” ujar punggawa yang ternyata bernama Rakasa dengan sikap hormat sekali.

“Itu akan memperlambat waktu perjalanan, Punggawa.”

“Tapi, Gusti Panglima. Jalan ini sudah terkenal dengan....”

“Kau takut...?” selak Panglima Wanengpati, memutuskan ucapan punggawanya.

“Hamba sama sekali tidak takut, Gusti Panglima. Hamba hanya berpikir....”

Belum lagi Punggawa Rakasa menyelesaikan kata-katanya, mendadak saja sebatang pohon berukuran empat kali rentangan orang dewasa di depan mereka tumbang. Untung mereka segera menarik kudanya untuk berhenti, sehingga pohon itu tidak menghantam mereka.

“Berhenti semua...!” teriak Panglima Wanengpati, terdengar lantang menggelegar.

Rombongan prajurit Kerajaan Jatigelang itu seketika berhenti, begitu mendengar teriakan Panglima Wanengpati. Sementara Panglima Wanengpati dan Punggawa Rakasa sudah turun dari kudanya, dan segera melangkah mendekati pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan ini, sehingga tak mungkin dilewati lagi. Padahal, mereka membawa dua pedati yang sarat barang-barang berharga dari Kadipaten Alas Gadung. Sedangkan satu pedati lagi berisi wanita yang jumlahnya sekitar sepuluh orang.

“Perintahkan prajurit untuk bersiaga, Punggawa Rakasa,” perintah Panglima Wanengpati.

“Baik, Gusti,” sahut Punggawa Rakasa.

Punggawa Rakasa langsung berteriak memerintahkan seluruh prajurit untuk bersiaga. Maka, seketika semua prajurit segera meloloskan pedangnya, dan segera berjaga-jaga di sekitar pedati yang masing-masing ditarik dua ekor sapi. Sementara, Panglima Wanengpati terus mengamati pohon yang tumbang melintang di tengah jalan.

“Hm.... Pohon ini pasti sengaja ditumbangkan,” gumam Panglima Wanengpati.

Dan belum lagi panglima itu bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja puluhan anak panah meluncur deras dari atas pohon dan semak belukar, bagaikan hujan saja. Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dari para prajurit yang tertembus anak panah mendadak itu. Panglima Wanengpati jadi tersentak kaget.

“Cepat berlindung...!” seru Panglima Wanengpati.

Tapi seruannya memang sudah terlambat. Sebentar saja, sudah setengah prajuritnya menggeletak tertembus anak panah. Sementara, sisa prajurit lainnya sudah berlindung. Sedangkan Panglima Wanengpati berdiri tegak di depan salah satu pedati yang berisi penuh peti dari kayu jati. Dan baru saja pandangannya beredar ke sekeliling....

“Seraaang...!”

Bersamaan terdengarnya teriakan keras menggelegar, dari balik semak dan pepohonan bermunculan orang-orang bertampang kasar, bersenjatakan golok terhunus di tangan. Gerakan mereka begitu cepat, hingga membuat para prajurit jadi terperangah. Saat itu juga, Panglima Wanengpati berteriak lantang menggelegar.

“Sambut mereka! Seraaang...!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Pertempuran memang tidak bisa terelakkan lagi. Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar saling sambut, ditingkahi denting senjata beradu. Dan saat itu pula, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking yang saling susul. Tampak beberapa prajurit mulai berjatuhan berlumuran darah. Sementara orang-orang yang menyerang itu kelihatan ganas sekali, tanpa memberi kesempatan pada para prajurit. Sedangkan Panglima Wanengpati berlompatan menerjang, melindungi dua pedati dan para prajuritnya. Pedang yang tergenggam di tangan kanannya berkelebatan cepat, menghajar para penyerangnya.

“Kau lawanku, Panglima...!”
“Heh...?!”

Panglima Wanengpati agak terkejut juga, begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan, menggenggam pedang di tangan kanan. Entah kapan datangnya, tahu-tahu sudah berada di depan Panglima Wanengpati.

“Dengar, Panglima. Kau dan sisa prajuritmu boleh pergi, asalkan kedua pedati itu dan semua isinya ditinggalkan,” tegas pemuda itu.

“Phuih! Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh pedati itu!” dengus Panglima Wanengpati.

“Kalau begitu, terpaksa kepalamu harus kupenggal, Panglima.”

“Setan alas! Hiyaaa...!”

Panglima Wanengpati memang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyerah begitu saja. Terlebih lagi, kalau berhadapan dengan perampok seperti ini. Tanpa banyak bicara lagi, pedangnya segera diacungkan ke atas kepala. Lalu diterjangnya pemuda yang menantangnya ini dengan sebuah kelebatan mengiriskan.

“Haiiit...!”
Wut!

Namun, tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya tertebas pedang Panglima Wanengpati. Maka, cepat-cepat pedangnya digerakkan ke atas kepala dari bawah ke atas. Dan....

Trang!

Dentangan keras terdengar begitu pedang mereka beradu tepat di atas kepala pemuda ini. Begitu kerasnya, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Sementara, pemuda berwajah cukup tampan itu segera melompat ke belakang sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

“Hiyaaat...!”

Dan Panglima Wanengpati tidak mau lagi memberi hati. Maka langsung saja dia melompat menyerang sambil membabatkan pedangnya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun mendapat serangan gencar dan dahsyat seperti ini, pemuda itu hanya meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan.

Sementara pertarungan antara prajurit melawan para perampok terus berlangsung sengit. Teriakan-teriakan keras pertempuran terus terdengar, berbaur menjadi satu dengan jeritan melengking mengiringi kematian. Dan tubuh-tubuh bersimbah darah semakin sering berjatuhan. Sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih berlumur darah.

Dan di lain tempat, terlihat Panglima Wanengpati masih terus mencoba mendesak pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya ini. Jurus-jurus cepat dan sangat berbahaya terus dikeluarkan, tapi tampaknya kepandaian yang dimiliki pemuda ini mampu mengimbanginya. Beberapa kali pedang mereka berbenturan, dan menimbulkan percikan bunga api.

“Hiyaaat! Yeah!”
“Hup! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja, pemuda berwajah tampan itu melenting ke udara, tepat di saat Panglima Wanengpati membabatkan pedangnya ke arah kaki. Dan pada saat itu juga....

“Hiyaaa...!”
“Heh...?!”

Panglima Wanengpati jadi terperanjat setengah mati. Tanpa diduga sama sekali, pemuda itu melepaskan satu tendangan setengah berputar yang sangat cepat luar biasa. Akibatnya, Panglima Wanengpati tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Begitu keras tendangan pemuda itu, dan tepat menghantam kepala Panglima Wanengpati. Akibatnya, panglima itu terpental ke belakang dengan tubuh berputar beberapa kali, disertai jerit kesakitan.

Bruk!

Keras sekali Panglima Wanengpati jatuh menghantam tanah. Beberapa kali tubuhnya bergelimpangan di jalan yang berbatu ini. Namun, dia cepat melesat bangkit berdiri. Dan belum lagi bisa berdiri tegak....

“Hiyaaat...!”

Pemuda berbaju merah muda ini sudah melompat dengan kecepatan sangat tinggi, hingga membuat Panglima Wanengpati jadi terperangah.

“Haps!”

Cepat-cepat Panglima Wanengpati mengebutkan pedangnya ke depan, berusaha menghalau serangan anak muda ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda berwajah cukup tampan itu meliukkan tubuhnya ke bawah, dan secara tidak terduga pula, dilepaskannya satu tendangan menggeledek setengah berputar. Begitu cepat serangannya, sehingga Panglima Wanengpati tidak sempat lagi menghindarinya.

Diegkh!
“Akh...!”

Kembali Panglima Wanengpati memekik, begitu dadanya terkena tendangan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dari pemuda lawannya. Dan tubuhnya kembali terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dan pada saat itu, pemuda berbaju merah muda ini sudah melesat cepat luar biasa, hingga sulit diikuti mata biasa.

“Hiyaaat...!”
Bet!

Secepat kilat pula, pemuda itu membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke leher Panglima Wanengpati. Sedangkan saat itu, Panglima Wanengpati masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Maka....

Crang!
“Aaa...!”

Panglima Wanengpati jadi menjerit melengking, begitu pedang anak muda lawannya membabat tepat di bagian tenggorokannya. Tampak Panglima Wanengpati berdiri tegak dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar. Sementara sekitar enam langkah di depannya, pemuda berbaju merah muda ini berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah tergenggam di tangan kanan.

Bruk! Tanpa dapat bersuara lagi, Panglima Wanengpati ambruk menggelimpang di jalan tanah berbatu ini. Dan kepalanya langsung terpisah dari leher. Darah seketika menyembur dari leher yang sudah buntung itu.

“Ha ha ha...!”

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Sementara kematian Panglima Wanengpati begitu cepat diketahui. Dan ini membuat hati para prajurit yang masih hidup jadi gentar, hingga mudah sekali para perampok membantainya. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling sambut. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, tidak ada seorang prajurit pun yang kelihatan masih bisa berdiri.

Sementara pemuda berwajah cukup tampan berbaju merah muda itu menghampiri satu pedati yang berisi wanita-wanita muda berwajah cantik yang tampak ketakutan sekali. Terlebih lagi, pedatinya kini sudah dikelilingi orang-orang bertampang kasar menyeramkan, dengan seringai membelah bibir. Sorot mata mereka begitu liar, seakan-akan mata serigala yang melihat domba gemuk penuh daging.

“Bawa pedati barang itu, dan biarkan perempuan-perempuan ini pergi!” perintah pemuda berbaju merah muda ini.

“Heh...?! Kenapa kau lepaskan mereka...?” sentak seorang laki-laki bertubuh kekar, tidak mau menerima perintah itu.

“Mereka hanya akan membuat susah. Dan, bukan mereka yang kita butuhkan sekarang.”

“Tapi....!"

“Sudah! Ikuti saja perintahku!” Meskipun dengan hati mendongkol, tidak ada seorang pun yang berani membantah. Kini orang- orang bertampang kasar itu menggeret gerobak pedati yang berisi peti-peti barang berharga. Sementara satu pedati lainnya yang berisi wanita, dibiarkan begitu saja.

***
DUA
Siapa yang tahu kalau gerombolan perampok yang menjegal pasukan prajurit Kerajaan Jatigelang ternyata dipimpin oleh Gondang. Dia memang telah memutuskan untuk memimpin anak buahnya lari dari Nyai Ramit, pemimpin mereka yang sekarang. Mereka kini cepat meninggalkan jalan itu, setelah mendapatkan satu pedati penuh berisi barang emas yang sangat berharga.

Kekecewaan anak buah Gondang yang mengharapkan wanita-wanita yang ada di dalam pedati lainnya, bisa terobati setelah mengetahui pedati yang dibawa penuh berisi barang yang tidak ternilai harganya. Namun belum begitu jauh mereka pergi, mendadak saja sesosok tubuh ramping sudah menghadang di tengah jalan. Kemunculan yang begitu tiba-tiba, membuat mereka jadi terkejut.

Gondang yang sudah diangkat menjadi pemimpin, melangkah maju beberapa tindak dengan sikap dibuat garang. Cukup sulit mengenali orang yang menghadang ini, karena memakai tudung bambu yang cukup lebar. Hingga, sebagian besar wajahnya tertutupi. Hanya bagian bibir dan dagu saja yang terlihat. Namun dari bentuk tubuh dan bibirnya yang merah, sudah bisa dipastikan kalau orang itu wanita. Tubuhnya yang ramping, terbungkus baju cukup ketat berwarna hijau muda. Sementara sebilah pedang tergenggam di tangan kanannya.

“Nisanak, menyingkirlah. Biarkan kami lewat,” kata Gondang dibuat ramah suaranya.

“Kalian boleh lewat, asal tinggalkan pedati itu,” tegas sekali suara wanita bertudung ini.

“Jangan bermain-main, Nisanak. Kami tidak ingin menyakiti wanita. Menyingkirlah, sebelum anak buahku merajang tubuhmu,” kata Gondang, mulai bangkit amarahnya.

“Aku hanya berkata sekali. Tinggalkan pedati itu, atau kalian semua akan merasakan akibatnya!”

Gondang jadi menggereng geram mendengar kata-kata wanita bertudung ini. Wajahnya langsung saja memerah. Tapi belum juga pedangnya dicabut, dua orang anak buahnya sudah melangkah maju mendekati.

“Biarkan kami berdua yang menghajarnya, Gondang,” kata salah seorang yang berbaju hitam. Bagian dadanya tampak terbuka lebar, memperlihatkan bulu-bulunya yang cukup lebat.

“Hm...,” Gondang hanya menggumam perlahan saja. Dan Gondang lalu melangkah ke belakang beberapa tindak.

Sementara dua orang yang sudah berusia setengah baya itu melangkah maju beberapa tindak dan langsung menghunus golok. Sedangkan wanita bertudung ini hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Seakan tidak dipedulikannya dua orang yang sudah berada begitu dekat, di kanan dan kirinya.

“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, dua orang itu langsung saja melompat menyerang sambil membabatkan golok ke arah kaki dan kepala wanita bertudung ini. Tapi hanya sedikit saja menarik kakinya ke belakang sambil merunduk, serangan dua orang ini berhasil dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali, wanita bertudung bambu itu melakukan gerakan berputar yang begitu cepat. Dan pada saat itu juga, dilepaskannya dua kali pukulan.

“Hih! Yeaaah...!”

Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan wanita bertudung ini, sehingga dua orang anak buah Gondang tidak dapat lagi menghindarinya.

Plak!
Duk!
“Ugh...!”
“Aaakh...!”

Dan mereka kontan terpekik, begitu pukulan wanita bertudung ini mendarat telak di dada. Kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Tampak dari mulut mereka menyemburkan darah kental agak kehitaman. Hanya sebentar saja mereka masih bisa berdiri terhuyung, karena tak lama kemudian langsung jatuh menggelepar ke tanah. Sesaat mereka mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

Melihat dua orang anak buahnya ambruk hanya sekali gebrak saja, bola mata Gondang jadi mendelik. “Setan alas...!” geram Gondang berang.

Wajah pemuda itu kembali memerah menahan marah, melihat anak buahnya menggeletak tak bernyawa lagi.

Sret! Gondang langsung mencabut pedangnya. Maka seketika semua anak buahnya juga segera menghunus golok. Tanpa diperintah lagi, mereka langsung menyebar, mengepung wanita berbaju hijau muda yang kepalanya memakai tudung bambu lebar, sehingga menutupi wajahnya. Namun wanita bertudung itu kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak mempedulikan keadaannya yang sudah terkepung cukup rapat ini.

“Cincang dia...!” teriak Gondang lantang menggelegar.

“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Begitu mendapat perintah, mereka yang sudah mengepung langsung saja berlompatan menyerang. Tapi sungguh di luar dugaan, tepat di saat orang-orang ini berlompatan menyerang, wanita bertudung itu tiba-tiba melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di atas dahan pohon. Tentu saja hal ini membuat Gondang dan anak buahnya jadi terlongong bengong. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau gerakan wanita bertudung itu demikian cepat. Malah lesatannya saja sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Panah...!” seru Gondang memberi perintah. Sepuluh orang anak buah Gondang yang membawa panah, langsung memasang anak panahnya pada busur. Dan begitu anak-anak panah dilepaskan, seketika itu pula berhamburan ke arah wanita di atas pohon.

“Hup! Hiyaaat...!”

Tapi, begitu cepat wanita bertudung ini melesat, membuat anak-anak panah itu tidak sempat mengenai sasaran. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, wanita bertudung ini berkelebat begitu cepat sambil mencabut pedangnya. Lalu....

“Yeaaah...!”
Bet!
Wuk!

Bagaikan kilat, wanita bertudung itu membabatkan pedangnya beberapa kali. Begitu cepat sabetannya, sehingga lima orang anak buah Gondang tidak dapat lagi menghindar. Seketika, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking saling sambut, disusul ambruknya lima orang dengan tubuh terbelah mengucurkan darah segar.

“Keparat...!” desis Gondang geram. “Hiyaaat...!”

Gondang tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dengan kecepatan bagai kilat, dia melompat menerjang wanita bertudung ini. Pedangnya yang sudah tercabut sejak tadi, langsung dibabatkan ke arah kepala wanita itu.

“Hiyaaa...!”
Bet!
“Hap!”

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, wanita bertudung itu bisa menghindari sabetan pedang Gondang. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, tubuhnya berputar sambil melepaskan satu tendangan berputar disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yeaaah...!"
“Heh...?!”

Gondang jadi terbeliak kaget setengah mati. Cepat-cepat pemimpin begal ini melompat ke belakang, menghindari serangan balasan wanita bertudung itu. Dan pada saat itu, satu orang anak buah Gondang yang berada di belakang wanita bertudung ini sudah melompat sambil menebaskan golok ke arah punggung.

“Haiiit...!”

Tapi wanita bertudung itu rupanya sudah mengetahui bokongan lawan. Maka dengan gerakan berputar cepat, pedangnya dikebutkan dengan tangan terentang lurus.

Wuk!
Cras!
“Aaa...!”

Jeritan panjang kembali terdengar melengking. Maka seketika pembokong itu langsung ambruk menggelepar dengan dada terbelah mengucurkan darah.

“Setan...! Serang! Bunuh dia...!” seru Gondang menggeram berang.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Kembali anak buah Gondang yang masih mengepung berlompatan begitu mendengar perintah pemimpinnya.

“Hup! Hiyaaat...!”

Namun bagaikan kilat, wanita bertudung bambu itu memutar tubuhnya sambil mengebutkan pedangnya di tangan kanan. Kemudian tubuhnya melesat menghajar para pengeroyoknya. Maka dalam beberapa gebrakan saja, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi, disusul ambruknya anak buah Gondang dengan tubuh bersimbah darah. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah setengah lebih anak buah Gondang yang ambruk tidak bernyawa lagi.

Sementara, wanita bertudung itu terus berkelebatan dengan kecepatan luar biasa sekali. Begitu cepat gerakannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan hijau dan keperakan saja yang menyambar anak buah Gondang. Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun terus terdengar saling susul.

“Phuih! Kubunuh kau, Perempuan Keparat! Hiyaaat...!”

Gondang semakin bertambah geram saja, melihat anak buahnya terus berjatuhan berlumuran darah dan tidak bangkit-bangkit lagi. Sambil memaki dan berteriak lantang, Gondang melesat menerjang wanita bertudung itu.

“Hiyaaat...!”

Bet!

“Haiiit...!”

Tepat di saat Gondang menyabetkan pedangnya, wanita bertudung itu cepat menggerakkan pedangnya pula untuk menangkis serangan. Begitu cepat gerakan yang mereka lakukan, sehingga benturan keras tidak dapat terelakkan lagi.

Trang! Bunga api terlihat memercik, saat dua pedang itu beradu keras sekali. Dan pada saat itu, terlihat wanita bertudung ini melesat ke belakang sambil menyabetkan pedangnya dua kali. Maka dua orang yang berada paling dekat dengannya langsung menjerit dan bergerak limbung sambil mendekap dadanya yang terbelah.

“Hih! Yeaaah...!”
“Awaaas...!”

Gondang berteriak keras, begitu melihat wanita bertudung itu melepaskan senjata rahasianya yang berbentuk sekuntum bunga mawar dari perak. Namun, teriakan Gondang terlambat. Beberapa senjata rahasia wanita itu ternyata sudah menghantam dada anak buah Gondang.

Crab!
Jleb!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan saling sambut, ketika senjata rahasia itu menghantam sasarannya. Saat itu juga, terlihat anak buah Gondang berjatuhan. Maka dalam waktu tidak berapa lama saja, tidak ada seorang pun yang masih berdiri, kecuali Gondang saja. Dan dia juga tadi tidak luput dari serangan-serangan senjata rahasia wanita bertudung ini. Namun berkat kepandaiannya paling tinggi, keselamatannya masih menyertainya.

“Kau juga harus menyusul yang lain, Gondang...!” desis wanita bertudung ini, menggereng geram.

“Heh...?! Kau tahu namaku...?” Gondang jadi terkejut.

Wanita itu tidak menyahut. Tudungnya diangkat, hingga raut wajahnya terlihat jelas. Seketika, kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Dan saat itu juga, nafasnya terasa seperti jadi berhenti mendadak.

“Kau... kau...,” Gondang jadi tergagap.

“Aku tidak suka melihat caramu yang seperti ini, Gondang. Kau tahu, apa akibatnya kalau tidak menuruti perintahku. Kau harus mati, Gondang,” terdengar dingin sekali suara wanita berwajah cantik itu.

“Phuih! Apa yang aku takutkan darimu, Nyai Ramit?! Aku memang telah muak denganmu!” Gondang menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Perlahan, kakinya ditarik ke kanan. Memang tidak ada pilihan lain lagi, wanita ini harus dihadapinya. Sementara wanita bertudung bambu itu tetap berdiri tegak, mengikuti gerak langkah yang dilakukan pemuda di depannya.

“Mampus kau! Hiyaaat...!”

Sambil membentak keras menggelegar, Gondang langsung saja melompat menerjang. Pedangnya berputar begitu cepat, hingga bentuknya menghilang tak terlihat lagi. Hanya kilatan cahaya saja yang terlihat bergulung-gulung, mengurung wanita bertudung bambu ini. Namun sampai sejauh ini, sedikit pun tidak terlihat kalau wanita bertudung ini terdesak. Dan semua serangan yang dilakukan Gondang, mudah sekali dapat dihalau. Bahkan ketika pedang Gondang menyabet ke arah kaki, cepat sekali wanita bertudung itu melesat ke atas. Dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa, wanita bertudung itu melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yeaaah...!”

Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan wanita bertudung bambu ini, sehingga Gondang tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Plak!
“Akh...!”

Gondang jadi menjerit, begitu tendangan wanita bertudung ini tepat menghantam kepalanya. Pemuda itu jadi terpental ke belakang, dan terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Tampak darah mengucur keluar dari pelipisnya yang robek, akibat terkena tendangan bertenaga dalam tinggi itu.

“Saatmu sudah tiba, Gondang! Hiyaaat...!” Sambil berteriak keras menggelegar, wanita bertudung bambu itu melompat cepat bagai kilat. Lalu, seketika dilepaskannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sementara, Gondang sudah tidak mungkin lagi menghindarinya. Maka....

Diegkh!
“Hegkh...!”

Gondang hanya dapat mengeluh sedikit, begitu pukulan wanita ini menghantam tepat pada bagian tengah dadanya. Dari mulutnya kontan menyembur darah kental. Tampak pada bagian tengah dada pemuda itu tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap. Kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Darah terus mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Beberapa saat tubuhnya masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk ke tanah di antara mayat anak buahnya. Dan seketika itu juga, nyawanya melayang.

Sementara wanita bertudung itu berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Terdengar dengusan nafasnya yang begitu berat. Sedikit tudung bambu yang menutupi kepalanya diangkat dengan ujung jari telunjuk. Sehingga, terlihatlah seraut wajah cantik dengan pipi putih agak kemerahan. Bola matanya tampak bundar bercahaya, indah bagai bintang di langit. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam. Dan bibirnya yang merah, sedikit pun tidak mengembangkan senyum.

“Hhh! Sudah terlalu lama aku di sini. Sebaiknya aku kembali saja sebelum terjadi sesuatu lagi yang tidak aku inginkan,” gumam wanita itu. Cepat sekali tubuhnya melesat pergi, meninggalkan lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan jadi mayat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Dan belum begitu lama wanita bertudung itu lenyap, dari arah jalan terlihat dua orang penunggang kuda menuju tempat pertarungan tadi ini. Dan tampaknya, kedua penunggang kuda itu sudah melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, hampir memenuhi jalan tanah berbatu ini. Maka, segera mereka memacu kudanya lebih cepat lagi.

“Hooop...!”
“Hup!”

Kedua penunggang kuda itu langsung berlompatan turun, begitu sampai di tempat mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Mereka tampak begitu terkejut sekali. Salah seorang dari penunggang kuda itu memeriksa mayat Gondang. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan, dengan rambut panjang terikat pita putih. Sedangkan seorang lagi adalah gadis berwajah cantik, berbaju biru agak ketat. Dan dia hanya memandangi saja, apa yang diperbuat pemuda itu.

“Kelihatannya mereka baru saja meninggalnya, Kakang,” ujar gadis cantik berbaju biru ketat itu, agak menggumam.

“Hm....” Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung itu hanya menggumam saja sedikit. Perlahan pemuda itu bangkit berdiri, dan kembali mendekati gadis cantik yang juga membawa pedang bergagang kepala naga berwarna hitam pekat di punggungnya. Tampak pada lipatan sabuk yang membelit pinggangnya, terlihat sebuah kipas berwarna putih keperakan.

“Tidak ada yang terluka akibat senjata tajam. Mereka tewas, akibat terkena pukulan bertenaga dalam tinggi,” jelas pemuda itu pelan, seakan bicara pada diri sendiri.

Sedangkan gadis cantik berbaju biru di sebelahnya hanya diam saja. Pandangannya tertuju pada sebuah pedati yang ditarik dua ekor sapi putih, tidak jauh dari mayat-mayat ini. Gadis itu jadi tertarik, lalu melangkah menghampiri pedati itu. Dan pemuda berbaju rompi putih ini juga segera melangkah mengikuti.

“Penuh berisi peti kayu, Kakang,” kata gadis itu memberi tahu, tanpa berpaling sedikit pun. Beberapa saat mereka mengamati pedati ini.

“Kakang, kau kenali lambang ini...? Seperti lambang sebuah kerajaan,” kata gadis itu lagi, sambil menunjuk ke arah gambar yang tertera pada kain tebal penutup pedati.

“Lambang Kerajaan Jatigelang...,” gumam pemuda berbaju rompi putih, langsung bisa mengenali gambar itu. Sesaat mereka jadi terdiam.

“Ayo, Pandan. Kita tinggalkan saja tempat ini,” ajak pemuda itu.

“Eh...?!” Tapi belum juga gadis cantik yang dipanggil Pandan bisa berbicara, pemuda berbaju rompi putih ini sudah cepat menariknya, langsung kembali menghampiri kudanya.

Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan gadis cantik yang dipanggil Pandan itu masih tetap berdiri memegangi tali kekang kuda putihnya. Gadis cantik itu memang Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan julukannya adalah si Kipas Maut, karena kedahsyatan senjatanya yang berbentuk sebuah kipas putih keperakan. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang kini sudah berada di atas punggung kuda hitamnya, tidak lain adalah Rangga. Dan dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

“Ayo, Pandan,” ajak Rangga lagi tidak sabar.

“Kenapa harus pergi, Kakang...?”

“Nanti akan kujelaskan. Sebaiknya, cepat naik ke kudamu. Kita pergi dulu dari sini.”

Meskipun masih belum mengerti, Pandan Wangi naik juga ke punggung kudanya. Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar dari Karang Setra itu sudah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan tempat itu. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan.

Dan saat kedua pendekar itu sudah tidak terlihat lagi, dari arah jalan lain, terlihat sebuah pedati bergerak perlahan mendekati tempat ini. Pedati itulah yang berisi para wanita yang dikawal prajurit Kerajaan Jatigelang, yang dirampok kelompok Gondang tadi. Mereka kini terpaksa menjalankan pedatinya sendiri, setelah ditinggalkan oleh para perampok.

Wanita-wanita di dalam pedati itu jadi menjerit terpekik, begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan menghadang jalan. Kemudian, salah seorang wanita di dalam pedati itu bergegas turun, dan langsung menghampiri pedati yang berisi penuh peti-peti kayu berukir. Dan tidak lama kemudian, wanita itu kembali lagi ke pedati yang masih berisi wanita-wanita muda berwajah cantik ini.

“Kanjeng Putri..., semua barang di dalam pedati masih lengkap,” lapor wanita itu.

Dan dari dalam pedati, menyembul sebuah kepala dengan raut wajah cantik sekali. “Kau bisa bawa pedati itu, Dayang Sambi?” lembut sekali suara wanita yang disebut Kanjeng Putri itu.

“Bisa, Kanjeng Putri.”

“Bawalah. Ikuti pedati ini dari belakang. Lebih baik, kita kembali dulu ke kerajaan. Sebaiknya urusan pernikahan ini memang dibatalkan dulu.”

“Baik, Kanjeng Putri.” Wanita yang dipanggil Dayang Sambi itu bergegas menghampiri pedati berisi penuh peti kayu, yang di dalamnya terdapat barang-barang berharga. Sigap sekali dia naik ke atas pedati itu. Sementara, pedati yang sarat berpenumpang wanita-wanita ini, sudah bergerak lagi, tanpa mempedulikan mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi jalan.

***
TIGA
Kedatangan dua pedati yang masing-masing hanya berisi wanita serta peti-peti kayu berisi emas tanpa seorang pun prajurit pengawal, tentu saja membuat seluruh penghuni Istana Kerajaan Jatigelang jadi gempar. Terlebih lagi, di antara wanita itu terdapat Rara Ayu Endang Witarsih, putri tunggal Prabu Gelangsaka. Memang perjalanan Rara Ayu Endang Witarsih sebenarnya adalah menuju Kerajaan Soka, untuk menemui calon suaminya di sana. Dan anak Raja Soka memang telah dijodohkan dengan Rara Ayu Endang Witarsih.

Sudah menjadi kebiasaan bagi para raja, bila ingin berkunjung ke kerajaan lain akan selalu membawa oleh-oleh berupa emas dan barang-barang berharga lainnya. Maka tak heran kalau Rara Ayu Endang Witarsih harus dikawal sepasukan prajurit kerajaan. Dan begitu mereka berada di Balai Sema Agung, Rara Ayu Endang Witarsih menceritakan semua yang terjadi di perjalanan. Prabu Gelangsaka jadi menarik napas lega, karena akhirnya Rara Ayu Endang Witarsih selamat. Namun demikian masih tersirat pada raut wajahnya, kalau dia menyimpan kemurkaan atas tewasnya Panglima Wanengpati di tangan para perampok itu.

“Aku sendiri juga bingung, Ayah. Pemimpin perampok itu sama sekali tidak mengganggu kami. Malah meninggalkan begitu saja. Yang diambil hanya pedati yang berisi barang-barang emas saja,” jelas Rara Ayu Endang Witarsih lagi.

“Mereka tidak tahu kalau kau ada di antara dayang-dayangmu, Anakku?” tanya Prabu Gelangsaka.

“Tidak, Ayahanda Prabu. Aku berada di tengah-tengah. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang memeriksa ke dalam pedati,” sahut Rara Ayu Endang Witarsih.

“Lalu apakah kau tahu, siapa yang membasmi perampok-perampok itu?” tanya Prabu Gelangsaka lagi.

Rara Ayu Endang Witarsih hanya menggeleng saja, menjawab pertanyaan ayahnya ini. Sedangkan semua dayang yang duduk bersimpuh di belakang Rara Ayu Endang Witarsih juga menggelengkan kepala, saat Prabu Gelangsaka memandanginya satu persatu. Seakan-akan meminta jawaban dari pertanyaannya tadi.

“Tapi, Ayahanda Prabu...,” ujar Rara Ayu Endang Witarsih bernada terputus.

“Ada apa, Witarsih?”

“Aku melihat ada bekas tapak kaki kuda di antara mayat-mayat perampok itu.”

“Hm...,” Prabu Gelangsaka jadi menggumam pelan.

"Tapi tadi kau mengatakan, perampok- perampok itu semuanya menunggang kuda....”

“Benar, Ayah. Tapi jejak kaki kuda yang kulihat, justru arahnya menuju ke sini. Ke kotaraja ini...,” sahut Rara Ayu Endang Witarsih.

“Oh..., apa mungkin ada di antara mereka yang menyelusup ke sini...?” nada suara Prabu Gelangsaka seperti bertanya pada diri sendiri.

“Mungkin, Ayah,” ujar Rara Ayu Endang Witarsih.

“Kalau begitu, mereka harus segera ditangkap,” kata Prabu Gelangsaka, agak mendesis suaranya. “Berapa orang mereka, Witarsih?”

“Hanya dua orang.”

“Dua orang...,” gumam Prabu Gelangsaka perlahan.

Beberapa saat Raja Jatigelang yang berusia enam puluh tahun itu terdiam dengan kening berkerut. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih juga terdiam membisu.

“Beristirahatlah dulu, Anakku. Perjalananmu pasti sangat melelahkan,” ujar Prabu Gelangsaka.

“Baik, Ayahanda Prabu.” Setelah memberi sembah hormat, Rara Ayu Endang Witarsih meninggalkan Balai Sema Agung Istana Kera-jaan Jatigelang ini, diikuti dayang-dayangnya dengan sikap begitu hormat.

Mereka juga memberi sembah hormat pada Prabu Gelangsaka, sebelum meninggalkan ruangan yang megah ini. Sementara Prabu Gelangsaka masih terdiam sambil bertopang dagu memikirkan cerita anak gadisnya barusan.

“Aneh...! Siapa perampok-perampok itu...? Aneh sekali tindakan mereka. Tidak seperti perampok lainnya. Hm....,” gumam Prabu Gelangsaka, bicara pada diri sendiri.

Perlahan laki-laki tua ini mengangkat kepalanya. Dan tatapan matanya langsung tertuju pada seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, mengenakan seragam prajurit berpangkat panglima. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang yang cukup panjang. Panglima itu segera memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

“Panglima Sela Gading....”

“Hamba, Gusti Prabu.”

“Kerahkan prajurit-prajuritmu. Cari dua orang perampok itu, dan bawa ke sini dalam keadaan hidup. Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada mereka,” perintah Prabu Gelangsaka.

“Segala titah Gusti Prabu akan hamba laksanakan,” sahut Panglima Sela Gading.

“Kerjakan sekarang juga, Panglima Sela Gading.”

“Hamba, Gusti Prabu.”

***

Siang yang panas ini, semakin bertambah panas dengan menyebarnya para prajurit Kerajaan Pringgada ke seluruh pelosok kerajaan ini. Mereka memang dipe-rintahkan untuk mencari perampok-perampok yang dikatakan masih ada dua orang lagi. Dan diduga, kedua perampok itu berada di dalam kotaraja ini. Semua rumah digeledah, dan penghuninya ditanyai. Dan mereka yang dicurigai, langsung ditangkap tanpa mengenal ampun.

Bahkan tidak jarang prajurit-prajurit itu bertindak kasar. Siapa saja yang dicurigai, langsung dirantai, digiring ke istana. Tindakan yang dilakukan Panglima Sela Gading dan para prajuritnya, tentu saja membuat kekacauan di seluruh pelosok Kotaraja Jatigelang ini. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, penyebab dari semua tindakan kasar para prajurit itu.

Semua orang hanya saling bertanya saja, tanpa tahu sebabnya. Sementara itu tidak jauh dari gerbang perbatasan kota, di sebuah kedai kecil yang terbuka, Rangga dan Pandan Wangi juga menyaksikan semua tindakan para prajurit. Di dalam hati mereka, tentu saja timbul pertanyaan. Prajurit-prajurit itu memang bertindak kasar. Dan siapa saja yang mencoba melawan, langsung ditangkap tanpa ampun lagi. Bahkan ada beberapa prajurit yang secara kasar mengobrak-abrik beberapa rumah penduduk.

Jerit dan tangis mewarnai seluruh pelosok kerajaan ini. Dan semua tindakan prajurit itu tidak terlepas dari pengamatan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut dari dalam kedai. Bahkan bukan hanya mereka. Beberapa pengunjung kedai yang semuanya berasal dari kalangan persilatan juga menyaksikan.

“Tindakan mereka benar-benar liar! Sama sekali tidak menampakkan kalau mereka adalah prajurit!” dengus Pandan Wangi mulai muak.

“Jangan bicara sembarangan, Nisanak. Kalau mereka dengar, bisa ditangkap nanti,” tegur laki-laki setengah baya pemilik kedai ini memperingatkan.

Pandan Wangi hanya melirik sedikit saja pada pemilik kedai itu. Sedangkan pengunjung lain mulai melirik gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Di anta-ra mereka, ada seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya warna putih bersih. Wajahnya juga dihiasi kumis tipis. Dan matanya terus memandangi Pandan Wangi dengan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Pandan Wangi sendiri, sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi dipandangi terus-menerus.

“Apa yang mereka cari sebenarnya...? Kenapa sampai menyusahkan rakyat begitu...?” gumam Pandan Wangi, seperti bertanya sendiri.

“Mereka mencari dua orang perampok,” selak salah seorang pengunjung kedai ini.

Pandan Wangi segera memutar tubuhnya ke arah sahutan tadi hingga berhadapan dengan laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Memang dia sejak tadi sebenarnya duduk tepat di depannya. Walaupun usianya sudah hampir setengah baya, tapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dan senyumnya begitu menarik. Dari pedang yang tergeletak di atas meja panjang ini, bisa dipastikan kalau dia dari kalangan persilatan.

“Perampok...?” nada suara Pandan Wangi seperti bertanya.

“Kemarin rombongan Rara Ayu Endang Witarsih disergap perampok. Seluruh prajurit dan panglimanya mati terbunuh. Perampok itu mengambil pedati yang penuh berisi emas dan perak. Tapi Rara Ayu Endang Witarsih bersama dayang-dayangnya selamat. Mereka kini telah kembali ke istana dan melaporkan semuanya,” jelas orang tua itu gamblang.

“Tentu jumlah perampok itu sangat banyak,” ujar Pandan Wangi, agak menggumam suaranya.

“Memang. Tapi, mereka sudah mati semua.”

“Mati...?!” Pandan Wangi tampak terkejut

“Mereka mati terbunuh di tengah jalan. Tapi dengar-dengar ada dua orang yang berhasil melarikan diri, dan diduga sekarang ada di kota ini. Sedangkan pedati yang berisi perhiasan emas dan perak bisa diselamatkan.”

“Hm.... Bagaimana mungkin itu bisa terjadi...?” gumam Pandan Wangi lagi, seperti bertanya pada diri sendiri. Sedikit Pandan Wangi melirik Rangga yang sejak tadi diam saja, duduk di sebelah kirinya.

Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengarkan pembicaraan ini. Sementara, terlihat sepuluh orang prajurit menda-tangi kedai ini. Sedangkan semua orang yang berada di dalam kedai itu sudah memperhatikannya sejak tadi. Keenam orang berada di kedai memang dari kalangan persilatan, semuanya membawa senjata yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya.

“Kalian semua yang ada di dalam kedai, keluar...!” teriak salah seorang prajurit berpangkat punggawa, dengan suara lantang menggelegar.

Laki-laki setengah baya pemilik kedai, bergegas keluar dengan raut wajah dan sikap ketakutan sekali. Langsung tubuhnya berlutut di depan sepuluh orang prajurit itu.

“Hanya ada enam orang tamu di kedaiku. Gusti Prajurit. Dan aku tidak mengenal mereka sama sekali,” kata pemilik kedai itu, tanpa ditanya lagi.

“Suruh mereka keluar semua!” bentak punggawa itu, terdengar kasar sekali suaranya.

Tiba-tiba saja terdengar sahutan dari dalam kedai. “Kami semua tidak ada urusan denganmu, Prajurit. Pergilah, jangan merusak istirahat kami di sini...!”

“Heh! Kurang ajar...!” desis punggawa itu, jadi berang.

Wajah punggawa itu seketika memerah. Sedangkan kedua bola matanya menyorot bagai bola api, menatap tajam ke arah kedai. Sementara enam orang yang duduk mengelilingi meja panjang di dalam kedai itu kelihatan tenang sekali, seperti tidak menghiraukan prajurit-prajurit yang mulai berang.

“Minggir kau! Hih...!”
Duk!
“Akh...!”

Pemilik kedai itu terpekik dan jatuh terguling di tanah, begitu tubuhnya terkena tendangan punggawa yang cukup keras ini. Punggawa itu melangkah mendekati kedai, dan langsung saja meloloskan pedangnya. Sementara, sembilan prajurit yang bersamanya sudah siap dengan tombak tergenggam erat.

“Aku perintahkan sekali lagi, keluar kalian...!” bentak punggawa itu lantang menggelegar.

“Atau, kalian ingin kedai ini kuhancurkan...?!”

“Hati-hati dengan ucapanmu, Prajurit. Bisa- bisa, mulutmu yang hancur...!” Terdengar lagi sahutan kalem dari dalam kedai.

“Heh...?!” Punggawa itu jadi tersentak kaget mendengar kata-kata yang jelas sekali bernada tantangan itu. Padahal sejak tadi matanya merayapi keenam orang di dalam kedai ini, tapi tidak ada seorang pun yang membuka mulutnya. Tapi suara itu, jelas sekali terdengar dari arah kedai.

“Bangsat keparat...!” geram punggawa itu berang.

“Hancurkan semuanya...!"
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Sembilan orang prajurit itu langsung berlarian ke arah kedai. Tapi belum juga sampai ke pintu, mendadak saja dari arah kedai melesat deras potongan-potongan kayu bagai anak panah lepas dari busur. Dan seketika itu juga....

“Akh!”
“Aaa...!”

Prajurit-prajurit itu menjerit melengking, begitu tubuh mereka tertembus potongan kayu. Dan mereka langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir dari bagian tubuh yang menjadi sasaran potongan kayu.

“Heh...?! Keparat...!” geram punggawa itu terkejut.

Betapa tidak...? Sembilan orang prajuritnya seketika tewas, sebelum mencapai pintu kedai. Apalagi hanya potongan kayu saja yang membuat mereka menggeletak tidak bernyawa lagi. Wajah punggawa itu jadi memerah menahan amarah. Tapi melihat keadaan sembilan orang prajuritnya, hatinya jadi gentar juga. Maka cepat disadarinya kalau saat ini sedang menghadapi orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi. Beberapa saat punggawa itu memandangi satu persatu mereka yang ada di dalam kedai itu. Lalu sambil menggereng menahan geram, tubuhnya cepat berbalik dan melangkah cepat-cepat meninggalkan kedai itu.

Sementara, laki-laki setengah baya pemilik kedai itu bergegas masuk kembali ke dalam kedainya yang kecil ini.

“Sebaiknya kalian cepat pergi. Punggawa itu pasti kembali lagi bersama prajurit yang lebih banyak lagi,” ujar pemilik kedai itu dengan suara tersendat ketakutan.

“Kalau kami pergi, lalu dengan apa kau akan menghadapi mereka, Paman?” selak pemuda tampan yang tadi memandangi wajah Pandan Wangi terus-menerus. Suaranya terdengar begitu lembut, bagai seorang pangeran. Dan matanya kini memandangi yang lain, seakan meminta dukungan atas ucapannya barusan.

“Benar, Paman. Kami tidak akan beranjak dari sini. Kecuali, kalau kau memang mau menghadapi mereka sendiri,” kata laki-laki bertubuh kekar dan berkumis tebal melintang, hampir menutupi bibirnya yang tebal. Goloknya yang terselip di pinggang dikeluarkan dan diletakkan di atas meja. Dari ciri-ciri goloknya, orang pasti sudah bisa tahu kalau dia adalah si Golok Setan.

“Seribu prajurit pun, tidak akan sanggup menghadapi kami, Paman,” sambung seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang sejak tadi diam saja.

Walaupun usianya sudah berkepala empat, tapi raut wajahnya masih terlihat cantik. Bentuk tubuhnya pun masih ramping, padat dan berisi. Bahkan rasanya masih sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya. Kelihatannya, dia tidak membawa sebuah senjata. Tapi di pinggangnya, terlilit sehelai selendang berwarna kuning keemasan. Dan semua orang tahu, selendangnya adalah senjata andalannya. Di kalangan orang-orang persilatan, wanita ini dikenal sebagai Dewi Selendang Emas.

Sedangkan dua orang lagi bernama Jangrana. Dan dialah pemuda tampan yang sejak tadi terus-menerus memandangi Pandan Wangi. Sementara seorang lagi, yang duduk di samping Dewi Selendang Emas, adalah seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambut, kumis, dan jenggotnya juga sudah memutih semua. Hanya sebatang tongkat kecil saja yang berada di tangan kirinya. Sebenarnya, dia bernama Eyang Jamus. Tapi di kalangan rimba persilatan, julukannya adalah Malaikat Bayangan Putih. Sementara itu, dua orang lagi tentu saja Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Dan mereka juga seringkali disebut sebagai Sepasang Pendekar Karang Setra.

“Pergi sajalah kalian semua. Kalian malah akan menghancurkan kedaiku ini, kalau prajurit-prajurit itu datang lagi,” kata pemilik kedai itu dengan suara yang sangat memelas.

“Pergi atau tidak, keadaannya akan tetap sama, Paman. Biarlah kami sedikit memberi pelajaran pada mereka, agar bisa bertindak lebih halus lagi. Jangan seenaknya saja menyiksa rakyat lemah,” tegas Dewi Selendang Emas, agak mendengus suaranya.

“Tapi....”

“Sudahlah, Paman. Berapa harga kedaimu ini? Biar kubayar semuanya,” selak Jangrana sambil mengeluarkan sebuah pundi dari kulit.

Pemuda tampan itu langsung saja melemparkan pundi kulit itu ke depan pemilik kedai ini. Melihat pundi yang kelihatan penuh itu, kedua bola mata pemilik kedai ini jadi terbeliak juga. Dengan tangan agak bergetar, dibukanya tali pengikat pundi itu. Dan wajahnya seketika semakin bersinar, begitu melihat pundi itu berisi kepingingan emas yang tentu saja terlalu banyak bila untuk membayar kedainya.

“Den...,” tersendat suara pemilik kedai itu.

“Ambil semua, Paman. Dan pergilah dari sini, sebelum prajurit-prajurit itu datang,” kata Jangrana cepat, memutuskan ucapan pemilik kedai itu. Belum juga pemilik kedai itu bisa mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan yang disertai hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Maka seketika tanah di sekitar kedai ini jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan tak lama kemudian, terlihat kurang lebih seratus prajurit berkuda mendatangi kedai ini. Tampak di antara mereka, punggawa yang tadi datang bersama sembilan prajuritnya.

“Mereka datang...,” desis pemilik kedai bergetar.

“Pergilah, Paman. Dari belakang,” ujar Dewi Selendang Emas.

Tanpa bicara apa pun juga, pemilik kedai itu bergegas pergi melalui jalan belakang. Sebentar dia tertegun setelah berada di bagian belakang kedainya, namun kemudian sudah cepat-cepat melangkah lagi, mengambil jalan memutar. Setelah melewati beberapa rumah, pemilik kedai itu berhenti dan berlindung di balik sebatang pohon. Dipandanginya kedainya yang kini sudah terkepung tidak kurang dari seratus dua puluh orang prajurit. Tampak di antara prajurit-prajurit yang sudah mengepung rapat kedai itu, ada Panglima Sela Gading.

***
EMPAT
Dengan gerakan yang sangat ringan, Panglima Sela Gading melompat turun dari punggung kudanya. Begitu ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya sudah cukup tinggi. Tapi orang-orang yang, berada di dalam kedai, hanya tersenyum sinis saja melihat cara Panglima Sela Gading melompat turun dari kudanya. Dan hanya Rangga saja yang kelihatan seperti tidak peduli.

Panglima Sela Gading melangkah tegap mendekati kedai itu. Kemudian panglima bertubuh tegap ini berdiri sambil berkacak pinggang, sekitar delapan langkah lagi di depan pintu kedai. Sedangkan mereka yang berada di dalam kedai, hanya diam saja memperhatikan gerak-geriknya.

“Kalian semua yang ada di dalam kedai, cepat keluar...!” terdengar lantang sekali suara Panglima Sela Gading. Tidak ada sahutan sama sekali dari dalam kedai. Namun saat itu, terlihat Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya mereka yang berada di dalam kedai. Sedangkan Pandan Wangi memandangi Pendekar Rajawali Sakti.

“Kalian cari kesulitan saja. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi di sini,” agak mendengus nada suara Rangga.

Setelah berkata begitu, Rangga melangkah mantap dan ringan sekali menuju luar kedai. Sementara yang lainnya hanya memandangi. Dan mereka juga sudah bangkit berdiri. Sementara, Pandan Wangi sudah be-rada di ambang pintu, begitu Rangga berada di luar. Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah berhadapan dengan Panglima Sela Gading dalam jarak sekitar lima langkah lagi.

“Kisanak! Kau pasti bukan orang Jatigelang. Siapa kau?! Dan dari mana asalmu...?!” terdengar begitu dalam sekali nada suara Panglima Sela Gading.

“Namaku Rangga. Aku datang bersama adikku dari Karang Setra, dan hanya kebetulan saja singgah di kota ini, untuk melepas lelah di kedai itu. Maaf kalau tadi terjadi sedikit keributan. Prajurit-prajurit itu yang memulainya lebih dulu,” jelas Rangga tenang.

“Kami sedang menjalankan perintah Gusti Prabu Gelangsaka. Dan berdasarkan laporan punggawaku, sikap kalian sudah membuat kami curiga. Maka sebaiknya kalian jangan mempersulit diri lagi. Biarkan kami memeriksa, apakah kalian orang yang kami cari atau bukan,” tegas Panglima Sela Gading.

“Maaf, Panglima. Mungkin teman-temanku ini tidak suka melihat cara prajuritmu menjalankan tugasnya. Mereka terlalu menganggap kami seperti sampah. Jadi, maaf kalau ada di antara kami tadi terpaksa bertindak. Kami hanya sekadar membela diri,” kata Rangga lagi, masih dengan suara tenang sekali.

“Apa pun alasannya, kau dan teman-temanmu sudah membunuh sembilan orang prajurit. Dan itu sudah membuktikan kalau kalian bukan orang baik-baik. Maaf, aku harus menangkap kalian semua untuk diadili,” kata Panglima Sela Gading, tetap tegas.

“Aku yang membunuh prajuritmu, Panglima...!”

Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara keras menggelegar. Dan belum lagi hilang suara itu dari pendengaran, tiba-tiba saja dari dalam kedai melesat cepat sebuah bayangan. Dan tahu-tahu, di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan kumis tipis menghiasi bibirnya. Dialah Jangrana, yang di kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Cambuk Api, karena seutas cambuk di tangan kanannya memang bagai lidah api.

“Kau tidak bisa mengadili kami semua, Panglima. Akulah yang membunuh sembilan orang prajuritmu. Jadi, aku yang harus kau tangkap. Tapi itu kalau kau mampu, Panglima,” kata Jangrana, agak sinis nada suaranya.

“Hm.... Jadi kau biang keladinya...,” desis panglima Sela Gading, dingin.

“Maaf. Mereka terpaksa kubunuh, karena akan menghancurkan kedai ini. Sedangkan aku dan yang lain sedang beristirahat di sini. Bahkan sikap mereka terlalu kasar, dengan menganggap kami seperti orang-orang yang tidak ada harganya sama sekali,” tegas Jangrana.

“Kalian memang tidak ada harganya sama sekali!” sentak Panglima Sela Gading lantang.

Kata-kata Panglima Sela Gading, tentu saja membuat orang-orang di kedai itu jadi memerah telinganya. Terlebih lagi, Jangrana. Pendekar Cambuk Api itu langsung mengeretakkan gerahamnya. Bahkan wajahnya seketika jadi memerah.

“Sikapmu seperti bukan seorang panglima saja. Bagiku, kau tidak lebih dari kepala gerombolan liar...!” desis Jangrana tidak bisa lagi menahan amarah.

“Keparat! Berani kau menghina Panglima Sela Gading, hah...?! Kurobek mulutmu, Bangsaaat...!”

“Hhh! Aku khawatir, malah cambukku yang akan merobek isi perutmu!”

“Setan! Serang, bunuh mereka semuaaa...!” teriak Panglima Sela Gading tidak bisa lagi menahan amarahnya. “Hiyaaat...!”

“Yeaaah...!”
“Hup! Shaaa...!”

Rangga yang semula bermaksud hendak mencegah terjadinya pertarungan, tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Nyatanya, Panglima Sela Gading sudah memerintahkan prajuritnya untuk menyerang. Dan tentu saja perintah itu tidak bisa dicabut lagi. Maka seketika semua prajurit yang memang sudah mengepung tempat itu langsung saja berhamburan seperti kumpulan ayam melihat butiran beras.

Teriakan-teriakan pembangkit semangat bertarung seketika pecah menggelegar, bagai hendak merobek angkasa. Dan saat itu juga, beberapa buah tombak sudah berhamburan ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pendekar Cambuk Api yang berdiri berdampingan. Maka kedua pendekar itu langsung saja berlompatan, menghindari sambaran tombak-tombak yang mengancam, bersamaan dengan meluruknya para prajurit yang menyerang.

“Sial! Hih! Yeaaah...!”

Rangga jadi menggerutu sendiri dalam hati, karena tidak mungkin lagi bisa keluar dari pertarungan ini. Buktinya dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah dikeroyok puluhan orang prajurit. Sementara, Pendekar Cambuk Api juga sudah berlompatan ke sana kemari, mempertahankan selembar nyawanya. Bukan hanya mereka saja yang harus berjumpalitan menghadapi serangan para Prajurit Kerajaan Jatigelang ini.

Tapi para pendekar lain pun menjadi sasaran serangan pula. Sehingga, mereka terpaksa keluar kedai menyambut Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang ini. Sementara itu sambil bertarung, Rangga terus bergerak mendekati Pandan Wangi yang dikeroyok puluhan prajurit. Dari gerakan-gerakan yang dilakukan, jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya berkelit dan menghindar saja. Malah sedikit pun tidak memberi serangan balasan.

Sementara yang lain sudah mulai merobohkan lawan-lawannya. Bahkan Pandan Wangi sendiri sudah menjatuhkan lima orang prajurit yang menyerang. Hanya Rangga saja yang belum melukai seorang prajurit pun.

“Hup!” Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat mendekati Pandan Wangi. Maka hanya sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di samping si Kipas Maut.

“Pandan, ayo pergi dari sini...!” seru Rangga, agak ditekan suaranya.

“Tidak mungkin. Mereka terlalu banyak, Kakang!” sahut Pandan Wangi, sambil meliukkan tubuhnya menghindari hunjaman tombak. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja menghentakkan tangannya, mengirimkan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, ke arah kepala prajurit yang baru saja menghunjamkan tombaknya. Begitu cepat pukulannya, sehingga prajurit itu tidak dapat lagi menghindari.

Prak!
“Aaakh...!”
“Pandan...!”

Rangga jadi tersentak kaget, begitu melihat Pandan Wangi menghantam kepala prajurit itu sampai pecah. Maka, darah langsung menyembur deras dari kepala prajurit itu. Beberapa saat dia terhuyung-huyung, kemudian jatuh menggelepar tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras pukulan yang dilepaskan si Kipas maut tadi, sehingga kepala prajurit itu sampai pecah tidak berbentuk lagi.

“Kau keterlaluan, Pandan. Hih...!”

“Eh...?!” Pandan Wangi jadi tersentak begitu tiba-tiba saja Rangga sudah menotok tubuhnya. Seketika tubuh Pandan Wangi jadi lunglai tak berdaya. Dan sebelum si Kipas Maut jatuh ke tanah, Rangga sudah menyambar tubuhnya yang telah pingsan tertotok. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat sambil memperdengarkan siulan pendek. Saat itu juga, terdengar ringkikan kuda yang sangat keras, meningkahi suara gaduh pertarungan. Dan tidak lama kemudian, terlihat Rangga sudah berdiri di atas punggung kuda hitamnya sambil memanggul Pandan Wangi.

“Cepat pergi dari sini, Dewa Bayu...!” seru Rangga.

“Hieeegh...!”

Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sementara, Rangga mengimbangi dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh di punggung kuda hitam ini. Kuda hitam Dewa Bayu langsung melesat cepat bagai kilat, membawa Rangga yang berdiri di punggungnya sambil memanggul Pandan Wangi.

Beberapa prajurit yang mencoba menghadang kuda itu langsung diterjang tanpa ampun. Sambil mendengus-dengus dan sesekali meringkik, Dewa Bayu terus berlari cepat menerobos kepungan Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang. Dan begitu sudah berada di luar kepungan, Dewa Bayu langsung saja melesat dengan kecepatan bagai kilat meninggalkan pertarungan. Sementara, Pandan Wangi tetap pingsan di pundak Pendekar Rajawali Sakti. Sementara pertarungan masih terus berlangsung sengit.

Teriakan-teriakan pertarungan terus terdengar membahana, ditingkahi jeritan-jeritan kematian yang melengking. Tampak tubuh-tubuh bersimbah darah semakin banyak saja yang berjatuhan. Sedangkan dari empat orang yang dikeroyok, belum ada seorang pun yang kelihatan terdesak. Dan memang, tingkat kepandaian para prajurit masih terlalu rendah untuk menghadapi orang-orang dari kalangan persilatan seperti mereka ini.

“Edan...! Bisa habis prajuritku kalau begini terus!” dengus Panglima Sela Gading, begitu menyadari kalau prajuritnya semakin banyak saja yang bergelimpangan bersimbah darah. Maka seketika mulai gentar juga hati panglima itu melihat ketangguhan empat orang yang tidak dikenalnya ini. Hatinya mulai khawatir, kalau pertarungan ini diteruskan, jelas prajuritnya bakal habis terbantai. Apalagi, kemampuan yang dimiliki prajuritnya tidak ada artinya bila dibandingkan empat orang persilatan itu.

“Munduuur...!” teriak Panglima Sela Gading.

Begitu terdengar perintah, prajurit-prajurit yang sejak tadi sebenarnya juga sudah gentar, langsung berlompatan mundur. Dan sebentar saja, pertarungan berhenti. Namun keempat tokoh persilatan itu sudah dikepung kembali oleh puluhan prajurit yang masih tersisa. Mereka seperti tidak menyadari kalau Rangga dan Pandan Wangi sudah pergi sejak tadi.

“Kita tidak mungkin mengalahkan mereka semua. Jumlahnya terlalu banyak...,” bisik Dewi Selendang Emas, pelan.

“Coba kalian lihat di sebelah sana...,” selak Eyang Jamus.

Mereka semua langsung memandang ke arah yang ditunjuk Eyang Jamus. Tampak serombongan prajurit lain yang berjumlah besar, bergerak menuju ke tempat ini. Empat orang itu jadi saling berpandangan. Namun belum juga sempat berpikir, tiba-tiba saja Rangga muncul kembali ke tempat itu tanpa Pandan Wangi. Entah ditinggalkan di mana gadis itu.

“Kalian pergilah. Biar aku yang akan menghadang mereka,” kata Rangga.

“Jangan menganggap enteng mereka, Anak Muda,” dengus Eyang Jamus, merasa tersinggung.

“Aku hanya akan menghadang saja. Kalau kalian sudah jauh, aku juga akan pergi dari sini,” jelas Rangga. Sebentar mereka saling berpandangan.

“Cepatlah pergi. Prajurit-prajurit itu sudah semakin dekat,” desak Rangga.

“Bagaimana...?” tanya Jangrana meminta pendapat.

“Kita pergi saja. Tapi, jangan terlalu jauh,” sahut Eyang Jamus.

Tanpa menunggu waktu lagi, mereka langsung cepat berlompatan pergi dari tempat itu. Sementara, Rangga sudah mengepalkan kedua tangannya di samping pinggang. Dan begitu empat orang itu sudah jauh....

“Aji Bayu Bajra! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merentangkan kedua tangannya ke samping. Lalu begitu dihentakkan ke atas, tepat ketika kedua telapak tangannya menyatu rapat di atas kepala, seketika terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Panglima Sela Gading dan prajurit-prajuritnya jadi tersentak kaget. Tapi belum juga rasa terkejut itu hilang, mereka sudah berpelantingan terlanda hembusan angin badai yang tiba-tiba saja tercipta begitu Rangga mengerahkan aji Bayu Bajra.

“Hup! Yeaaah...!”

Di saat prajurit-prajurit itu sedang kalang-kabut, cepat sekali Rangga melesat pergi sambil mencabut ajiannya yang sangat dahsyat itu. Dan memang, Rangga sengaja hanya membuat mereka kalang-kabut saja. Dan di saat yang sangat tepat, tubuhnya langsung melesat pergi dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu cepatnya, hingga sebelum ada yang menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh pergi tanpa terlihat lagi bayangannya.

Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, keluar dari Kotaraja Kerajaan Jatigelang ini. Dan dia baru berhenti, setelah tiba di tempat Pandan Wangi ditinggalkan tadi. Gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu terlihat tergolek seperti tidur di bawah sebatang pohon. Tak jauh dari tempat Pandan Wangi tergolek, terlihat dua ekor kuda seperti menjaganya. Dan kuda-kuda itu menyingkir, saat melihat Rangga datang menghampiri.

Tuk! “Ohhh...!”

Rangga langsung saja membebaskan totokannya di tubuh Pandan Wangi. Gadis itu sebentar kemudian menggeliat sambil mengeluh lirih, seakan-akan baru saja terjaga dari tidur nyenyak. Namun begitu tersadar, Pandan Wangi cepat melompat bangkit berdiri. Dia jadi celingukan, kemudian menatap Rangga yang ber-diri dengan kedua telapak tangan terlipat di depan dada.

“Di mana ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi terlihat agak kebingungan.

“Di tempat yang aman,” sahut Rangga kalem. Pendekar Rajawali Sakti kemudian duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi tubuhnya dari sengatan sinar matahari yang sangat terik.

“Lalu, di mana mereka? Prajurit-prajurit itu...?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Mungkin mereka masih ada di sana,” sahut Rangga.

Saat itu, terlihat empat orang berjalan melenggang menghampiri kedua pendekar dari Karang Setra ini. Mereka adalah Eyang Jamus, Dewi Selendang Emas, si Golok Setan, dan Jangrana yang juga dikenal sebagai Pendekar Cambuk Api. Mereka langsung saja menggeletak di atas rerumputan, begitu sampai di tempat Rangga beristirahat. Tampak butir-butir keringat membasahi tubuh mereka semua, dengan tarikan napas terdengar memburu. Sementara Pandan Wangi sudah mengambil tempat, duduk di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau benar-benar hebat, Anak Muda. Belum pernah aku melihat aji kesaktian sedahsyat itu...,” ujar Eyang Jamus, langsung memuji Pendekar Rajawali Sakti.

“Bagaimana caranya kau menciptakan badai topan sedahsyat itu, Kisanak?” sambung Jangrana, ingin tahu.

“Ah, tidak ada yang kulakukan,” sahut Rangga merendah.

“Sejak pertama kali melihatmu, kau selalu diam dan tidak banyak bicara. Aku yakin, kau seorang pendekar berkepandaian tinggi. Siapa namamu, Anak Muda?” ujar Eyang Jamus lagi. Tampak sekali orang tua itu begitu kagum melihat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga. Dan ini adikku. Namanya Pandan Wangi,” sahut Rangga sambil memperkenalkan Pandan Wangi.

Mereka pun saling memperkenalkan diri masing-masing. Dan kini mereka yakin, kalau masing-masing mempunyai satu jalan dan sealiran. Hanya saja, tidak ada yang tahu, untuk apa berada di wilayah Kerajaan Jatigelang ini. Dan memang tidak ada seorang pun yang mau terus terang mengatakannya. Tapi mereka juga bisa memaklumi, hingga tidak ada yang mendesak.

“Rasanya sudah cukup beristirahat. Maaf. Aku mohon diri lebih dulu, karena harus melanjutkan perjalanan,” ucap si Golok Setan seraya bangkit berdiri.

“Mau ke mana kau, Paman Golok Setan?” tanya Jangrana.

“Aku harus sampai di Kadipaten Bukakambang secepatnya. Ada yang barus kuselesaikan di sana. Maaf, aku terpaksa meninggalkan kalian di sini,” sahut si Golok Setan sambil menjura memberi hormat.

“Hati-hati di jalan, Golok Setan. Hindari bentrokan dengan Prajurit Jatigelang,” pesan Dewi Selendang Emas.

“Terima kasih, Nyai Dewi,” sahut si Golok Setan.

Setelah menjura memberi hormat sekali lagi, si Golok Setan melangkah meninggalkan tempat ini. Baru setelah si Golok Setan tidak terlihat lagi, Jangrana bangkit berdiri. Pemuda itu juga segera berpamitan, hendak melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya yang masih sangat jauh. Memang hanya dia yang menceritakan tentang tujuannya, dan kenapa berada di Kerajaan Jatigelang ini.

Sebenarnya, Jangrana hanya sekadar singgah saja. Tapi memang tidak ada yang menyangka bisa bentrok dengan prajurit kerajaan. Dan kini, tinggal Rangga, Pandan Wangi, Dewi Selendang Emas, serta Eyang Jamus saja yang masih ada. Untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka suara lebih dulu. Entah apa yang ada dalam kepala masing-masing.

“Kau tidak pergi, Rangga?” tanya Dewi Selendang Emas.

“Aku masih ada urusan di Jatigelang ini,” sahut Rangga seraya tersenyum.

“Dengan para prajurit itu...?” goda Eyang Jamus.

Rangga jadi tertawa mendengar gurauan laki-laki tua itu. Dan yang lainnya juga tertawa. Memang, peristiwa yang baru saja dialami bersama, bisa membuat perut mereka serasa tergelitik. Tapi, terasa sekali kalau suara tawa Pendekar Rajawali Sakti terdengar sumbang. Kelihatannya seperti ada sesuatu yang sedang disimpan di lubuk hatinya.

“Lebih dari itu, Eyang. Dan sebenarnya juga, aku tidak ada urusan dengan mereka,” kata Rangga setelah berhenti tawanya.

“Sayang sekali, keadaannya sangat buruk untukmu, Rangga,” ujar Dewi Selendang Emas.

“Bukan hanya untuknya, Nyai. Tapi juga untuk kita semua,” selak Eyang Jamus, jadi agak jengkel suaranya.

“Ya! Semua ini gara-gara Jangrana,” dengus Dewi Selendang Emas lagi.

“Aku sendiri heran, untuk apa dia cari gara-gara dengan prajurit-prajurit itu...? Kini kita semua kena getahnya. Huh...!”

“Aku pernah mendengar sedikit tentangnya. Dia memang pemarah, dan cepat sekali naik darah. Tapi segala tindakannya selalu membela yang lemah. Hanya saja tindakannya pada lawan tidak pernah memberi ampun, walaupun hanya persoalan yang kecil sekali,” kata Eyang Jamus lagi.

“Huh! Menyesal aku bertemu dengannya. Semua jadi rusak gara-gara dia!” dengus Dewi Selendang Emas lagi.

Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan mereka saling mengumpat.

“Maaf, kami berdua mohon diri,” ujar Rangga seraya bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan Pandan Wangi, dan mengajaknya berdiri. Setelah menjura memberi hormat, kedua pendekar muda itu meninggalkan Eyang Jamus dan Dewi Selendang Emas. Setelah Rangga dan Pandan Wangi pergi, Eyang Jamus baru beranjak. Kemudian Dewi Selendang Emas pun ikut melangkah meninggalkan tempat itu.

***
LIMA
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Jatigelang. Suasana terasa begitu sunyi. Tidak ada seorang pun yang berkeliaran di luar rumah, setelah peristiwa siang tadi. Hanya para prajurit saja yang terlihat berjaga-jaga di setiap sudut kotaraja ini. Namun kesunyian malam ini sedikit terusik oleh terdengarnya suara tangisan terisak dari beberapa rumah, yang keluarganya terbunuh atau ditangkap prajurit siang tadi.

Memang tidak sedikit rakyat yang mati terbunuh, akibat tindakan kasar para prajurit dalam mencari orang yang dicurigai dari gerombolan perampok yang menyerang pasukan prajurit Panglima Wanengpati. Sementara dalam kegelapan malam, terlihat dua bayangan berkelebat menyelinap di antara rumah-rumah penduduk. Dua bayangan itu berhenti saat berada di samping sebuah rumah yang tidak begitu besar, dan berdinding papan kasar.

Dari dalam rumah itu terdengar tangisan terisak yang terasa begitu memilukan. Dua bayangan yang menyelinap masuk ke dalam kota ini tidak lain dari Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka juga seringkali disebut sebagai Sepasang Pendekar Karang Setra.

“Kau tunggu di sini, Pandan. Aku akan masuk ke dalam rumah ini,” bisik Rangga, perlahan.

“Apa itu tidak berbahaya, Kakang?” tanya Pandan Wangi, agak khawatir.

“Tenanglah. Aku hanya ingin mencari sedikit keterangan saja,” sahut Rangga kalem. Pandan Wangi hanya diam saja.

Sementara, Rangga sudah menyelinap ke bagian belakang rumah ini. Suara tangisan terisak memilukan masih terdengar dari dalam. Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di depan pintu belakang. Diamatinya keadaan sekitar, kemudian tangannya perlahan mengetuk pintu itu.

“Siapa...?” Terdengar suara agak parau dari dalam rumah. Dari suaranya, jelas kalau orang yang ada di dalam rumah ini wanita. Rangga terdiam sejenak, sambil terus mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Aku, Nyi. Tolong buka pintunya,” sahut Rangga agak berbisik.

“Kau dari istana...?” tanya wanita di dalam rumah itu lagi.

“Bukan, Nyi. Aku penduduk sini juga,” sahut Rangga sedikit berbohong.

Tidak lama terdengar langkah kaki terseret, kemudian terdengar suara pintu terbuka. Sedangkan Rangga masih menunggu dengan mata terus merayapi keadaan sekitarnya. Dan dari balik pintu yang terbuka sedikit, muncul seraut wajah wanita berusia sekitar lima puluh tahun yang sangat kurus. Begitu kurusnya, sampai tulang-tulang pipinya terlihat menonjol. Dan kedua bola matanya juga sangat cekung. Tampak butiran air bening masih mengambang di pelupuk matanya.

“Siapa kau...? Aku tidak mengenalmu,” tanya wanita tua itu seraya merayapi pemuda yang berada di depan pintu belakang rumahnya ini.

“Aku Rangga, Nyi. Aku pemuda dari padepokan yang tidak jauh letaknya dari kota ini. Boleh aku masuk, Nyi...?” lembut sekali suara Pendekar Rajawali Sakti.

Sebentar perempuan tua itu merayapi sekujur tubuh Pendekar Rajawali Sakti, kemudian membuka pintunya lebar-lebar. Dibiarkannya Rangga masuk ke dalam, kemudian ditutupnya pintu itu lagi, serta dikunci dengan sebuah papan tebal.

“Mari ke dalam...,” ajak wanita tua itu.

“Terima kasih, Nyi.”

Rangga mengikuti wanita tua itu melangkah ke bagian tengah rumah ini. Di sana terlihat dua orang gadis tengah menangis sesenggukan, duduk di atas balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun tampak tertidur di pangkuan salah seorang gadis itu. Rangga menganggukkan kepalanya sedikit sambil memberi senyum kecil. Sedangkan kedua gadis itu hanya diam saja memandangi. Dan perempuan tua itu duduk di sebuah kursi yang kelihatannya sudah lapuk. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja di ambang pintu penyekat ruangan tengah dengan bagian belakang.

“Silakan duduk, Anak Muda,” kata perempuan tua itu, menawarkan.

“Terima kasih, Nyi...,” sahut Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian duduk tidak jauh, di seberang meja dekat perempuan tua ini. Sebentar dirayapinya keadaan di dalam ruangan ini. Tidak ada yang bisa dikatakan. Sebuah rumah yang sangat sederhana dengan segala perabotan yang kelihatannya sudah tua.

“Maaf, Nyi. Malam-malam aku mengganggumu,” ucap Rangga tetap dengan suara dan sikap lembut.

“Kau kemalaman, Anak Muda?” tanya perempuan tua itu.

“Benar, Nyi,” sahut Rangga. “Tapi sebenarnya, kedatanganku ke kota ini memang sengaja.”

“Apa yang kau cari di kota ini, Anak Muda?”

“Maaf, Nyi....”

“Junta.... Orang-orang memanggilku Nyi Junta. Dan mereka anak-anakku. Dewi dan Ratna. Yang kecil itu cucuku. Namanya, Garda. Dia anaknya Dewi,” perempuan tua itu mengenalkan diri dan anak-anaknya.

Rangga mengangguk sambil tersenyum manis pada kedua wanita yang masih tetap duduk di atas balai-balai bambu, tidak jauh di depannya. Sedangkan kedua wanita anak Nyi Junta itu hanya memandangi saja, tanpa membalas anggukan ramah Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku dengar tadi di rumah ini ada yang menangis.

Ada apa, Nyi...?” tanya Rangga langsung.

“Kami baru saja terkena musibah, Anak Muda. Suamiku mati dibunuh prajurit. Sedangkan menantuku ditangkap. Aku sendiri, tidak tahu apa kesalahannya. Prajurit-prajurit itu seperti gerombolan liar saja. Bukan hanya keluarga ini saja yang kena, tapi banyak yang lainnya,” jelas Nyi Junta, agak tersendat.

“Itulah persoalannya, kenapa aku datang ke kota ini malam-malam, Nyi,” ujar Rangga.

“Oh.... Jadi kau sudah tahu apa yang terjadi siang tadi di sini, Anak Muda...?” Nyi Junta kelihatan agak terkejut.

“Benar, Nyi. Tapi aku belum tahu, apa persoalan yang sebenarnya. Maka kedatanganku untuk menyelidiki, kenapa prajurit-prajurit itu sampai bertindak kasar menyakiti rakyatnya sendiri. Aku ingin tahu, apa ini memang perintah rajanya, atau hanya perintah panglimanya saja,” jelas Rangga tentang kedatangannya ke kotaraja ini.

“Gusti Prabu sendiri yang memerintahkannya...!” selak salah seorang gadis yang bernama Ratna tiba-tiba.

“Ratna...!” sentak Nyi Junta kaget. “Jangan bicara sembarangan. Dari mana kau tahu kalau Gusti Prabu sendiri yang memerintahkannya...?”

“Kakang Rambika yang mengatakannya, Mak,” sahut Ratna dengan suara terdengar kesal.

“Siapa itu Rambika, Anak Manis...?” tanya Rangga lembut.

Namun belum juga Ratna bisa menjawab.... “Kakang....”

“Eh...?!” Nyi Junta dan kedua anaknya jadi terkejut, begitu tiba-tiba saja terdengar suara agak berbisik dari luar, tepat di balik jendela yang ada di ruangan ini. Suara yang berbisik perlahan, namun terdengar begitu jelas.

“Tenang, Nyi. Itu adikku,” kata Rangga langsung menenangkan.

Memang, wanita-wanita di dalam rumah ini terkejut sekali begitu tiba-tiba terdengar suara dari balik jendela. Dan setelah Rangga menjelaskannya, mereka baru bisa bernapas lega. Sementara, Rangga sudah bangkit berdiri dari kursi yang didudukinya. Tapi belum juga membuka jendela, mendadak telinganya yang tajam mendengar suara yang dirasakannya aneh.

Tring!

“Pandan...!” desis Rangga jadi tersentak.

Bergegas Pendekar Rajawali Sakti membuka jendela. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat Pandan Wangi tengah menghadapi keroyokan lima orang prajurit bersenjata tombak. Maka seketika itu pula tubuhnya melesat ke luar menerobos jendela. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada di luar. Namun begitu kakinya menjejak tanah, pertarungan sudah selesai. Tampak lima orang berseragam prajurit sudah bergelimpangan berlumuran darah. Sedangkan Pandan Wangi berdiri tegak di antara kelima orang prajurit itu dengan kipas terkembang di depan dada. Tubuhnya lalu berbalik begitu mendengar suara langkah kaki menghampiri.

“Kenapa kau bunuh mereka, Pandan...?” tegur Rangga langsung.

“Terpaksa, Kakang. Mereka begitu ganas,” sahut Pandan Wangi memberi alasan.

Rangga tidak bisa lagi berkata-kata. Bergegas dihampirinya lima orang prajurit yang sudah tidak bernyawa lagi. Lalu dipanggulnya dua orang prajurit di pundaknya. Dan seorang lagi dikepit dengan tangan kanan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menatap Pandan Wangi.

“Ayo bantu aku. Singkirkan mereka semua dari sini,” pinta Rangga.

Pandan Wangi hanya mengangkat pundak sedikit, kemudian mengepit dua orang prajurit di tangan kanan dan kirinya. Dengan mempergunakan tenaga dalam, dua tubuh yang pasti sangat berat itu bagaikan segumpal kapas saja di tangan gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini. Dan tanpa bicara lagi, mereka langsung melesat cepat bagai kilat membawa lima orang prajurit yang sudah tidak bernyawa lagi.

Sementara semua yang dilakukan kedua pendekar muda itu terus diperhatikan oleh Nyi Junta dari dalam rumah. Perempuan tua itu sampai terlongong bengong melihat kedua anak muda itu lincah sekali berlari secepat kilat, sambil membawa beban yang tidak akan mungkin bisa dilakukan orang biasa. Begitu terkagumnya, sampai perempuan tua itu tidak menyadari kalau terus berdiri di depan jendela yang terbuka cukup lebar.

“Mak....”

“Oh...?!” Nyi Junta baru tersadar saat anak gadisnya memanggil. Cepat tubuhnya berbalik. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Entah pergi ke mana kedua pendekar muda itu.

“Jendelanya, Mak...,” Ratna mengingatkan.

“Oh.... Eh, iya....” Nyi Junta jadi tergagap. Buru-buru tubuhnya diputar lagi, dan hendak menutup jendela. Tapi belum juga bisa menutup jendela itu, mendadak saja Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri di depan jendela itu. Akibatnya, Nyi Junta jadi terpekik kaget.

“Oh.... Maaf, Nyi,” ucap Rangga buru-buru, seperti tidak sadar kalau kemunculannya mengejutkan perempuan tua itu. Nyi Junta menarik napas panjang-panjang.

“Ayo cepat, masuk...,” kata Nyi Junta setelah bisa tenang. Kedua pendekar muda itu segera berlompatan masuk ke dalam rumah.

Nyi Junta bergegas menutup jendela kembali. Kemudian nyala api pelita di dalam ruangan ini dikecilkannya. Sementara Pandan Wangi mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian melangkah menghampiri dua orang wanita muda yang duduk di atas balai-balai bambu. Gadis itu langsung mengenalkan diri dengan senyum dibuat sangat ramah.

“Maaf, Anak Muda. Sebenarnya siapa kalian ini...?” tanya Nyi Junta, setelah cukup lama tidak ada yang membuka suara.

Pandan Wangi yang sudah membuka mulutnya hendak menjawab, langsung mengatupkannya kembali begitu melihat lirikan mata Rangga yang sangat tajam. Dan gadis itu lalu duduk di tepi balai-balai bambu beralas tikar lusuh, di sebelah kanan Ratna. Sedangkan Rangga kembali duduk di kursi yang tadi didudukinya.

“Kami berdua bukan siapa-siapa, Nyi. Kami....”

“Kau jangan berdusta, Anak Muda. Suamiku dulu juga orang persilatan. Dan sedikitnya, aku mengetahui dunia persilatan. Kau pasti datang dari sana,” potong Nyi Junta cepat, memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga hanya diam saja. Matanya lalu melirik sedikit pada Pandan Wangi yang juga hanya diam membisu, berpura-pura tidak mendengarkan pembicaraan itu. Memang kalau Rangga sudah melarang dengan lirikan saja, Pandan Wangi tidak akan membuka mulut.

“Anak muda! Aku sudah puluhan tahun tinggal di kotaraja ini. Dan aku tahu betul kalau tidak ada satu padepokan pun yang berdiri di sekitar kota ini,” kata Nyi Junta lagi. “Jadi, kau tidak perlu menyembunyikan diri dariku. Katakan saja yang sebenarnya. Kalau kau memang bertujuan baik, sudah tentu aku juga tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dan aku akan membantumu, semampuku.”

“Terima kasih, Nyi,” ucap Rangga pelan, sambil menghembuskan napas panjang.

Sejenak Pendekar Rajawali Sakti terdiam, lalu melirik Pandan Wangi lagi. Tapi begitu dilirik, Pandan Wangi langsung memandang ke arah lain, seakan tidak ingin membantu Rangga yang sedang kelabakan ditodong dengan kata-kata yang tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Rangga hanya dapat menghela napas panjang saja.

Sikap Pandan Wangi seperti itu, memang diperlukan. Tapi, terkadang juga sangat menjengkelkan. Dan Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pertanyaan Nyi Junta harus dijawab seorang diri. Sedangkan Pandan Wangi seakan sudah tidak mau peduli lagi.

Rangga memang tidak punya pilihan lain lagi. Semula, dia dan juga Pandan Wangi ingin merahasiakan diri. Demikian pula keberadaannya di Kotaraja Jatigelang ini. Dan setelah Nyi Junta mendesak dengan kata-kata dan pertanyaan memojokkan, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Maka mau tak mau dijelaskanlah dirinya yang sebenarnya, serta keberadaannya di kota ini.

Begitu tahu kalau pemuda itu adalah seorang pen-dekar pengembara, seketika raut wajah Nyi Junta yang tadi terselimut mendung, jadi bercahaya penuh harapan. Walaupun nyawa suaminya yang mati dibunuh para prajurit tidak bisa dikembalikan, tapi setidaknya ada harapan kalau menantunya bisa kembali berkumpul di rumah ini.

“Jadi, kau di sini tidak hanya berdua, Rangga?” ujar Nyi Junta setelah Rangga menyelesaikan bicaranya.

“Ya! Semula ada empat orang lagi. Tapi sekarang aku tidak tahu di mana mereka berada. Kami berpisah setelah terjadi keributan dengan para prajurit,” jawab Rangga.

“Kota ini memang sudah berubah jauh, tidak seperti dulu. Prajurit-prajurit dan panglimanya tidak lagi menjadi pelindung rakyat, tapi sudah seperti gerombolan liar saja. Kau sudah melihat perbuatan mereka, Rangga. Memang seperti inilah keadaannya sekarang. Kehidupan kami semua jadi semakin sulit Dan kalau terjadi sesuatu sedikit saja, tidak sedikit rakyat yang menjadi korban,” keluh Nyi Junta.

“Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung, Nyi?” tanya Pandan Wangi, yang sejak tadi diam saja membisu.

“Sejak Gusti Prabu Gelangsaka naik takhta,” sahut Nyi Junta pelan.

“Benar, Kak...,” selak Ratna. “Dulu tidak begini. Sejak Gusti Prabu Gelangsaka naik takhta, semua prajurit dan panglimanya jadi liar. Pajak-pajak juga dinaikkan. Dan yang tidak bisa bayar, harta benda yang dimiliki langsung dirampas. Kalau sudah tidak ada lagi barang berharga yang bisa dirampas, prajurit-prajurit itu menangkapnya. Kalau sudah begitu, kabarnya tidak akan pernah terdengar lagi.”

“Benar, Rangga. Aku jadi khawatir terhadap keselamatan menantuku. Padahal, kau lihat sendiri. Cucuku masih kecil. Dan aku tidak punya anak laki-laki. Lalu, dari mana kami bisa hidup kalau begini terus keadaannya...?” keluh Nyi Junta lagi.

“Dan yang lebih aneh lagi, sebenarnya bukan Prabu Gelangsaka yang naik takhta. Tapi, Gusti Putri Rara Ayu Diah Arimbi,” sambung Ratna.

“Siapa itu Rara Ayu Diah Arimbi?” tanya Pandan Wangi.

“Putri tunggal Gusti Prabu Anom Kusuma. Raja yang terdahulu, yang sekarang sudah mangkat,” jelas Ratna lagi.

“Lalu, Prabu Gelangsaka itu...?” tanya Pandan Wangi lagi, semakin ingin tahu.

“Prabu Gelangsaka tadinya seorang patih. Waktu Gusti Prabu Anom Kusuma mangkat, Putri Rara Ayu Diah Arimbi belum cukup usia untuk naik takhta. Dan yang menjadi kepercayaan Gusti Prabu, hanya Patih Gelangsaka yang sekarang menjadi raja. Tidak ada yang tahu, kenapa bisa begitu...,” jelas Ratna gamblang.

“Hm.... Dari mana kau tahu semua ini, Ratna?” tanya Rangga jadi tertarik juga.

“Aku tahu semua dari Bibi Layung.”

“Siapa itu Bibi Layung?” desak Pandan Wangi.

“Adik kandung suamiku,” sahut Nyi Junta. “Dia menjadi emban pengasuh Putri Rara Ayu Diah Arimbi. Sedangkan tadinya, suamiku seorang punggawa. Tapi dia sudah berhenti, setelah Prabu Anom Kusuma mangkat. Dan sampai sekarang, aku tidak pernah lagi mendengar kabar Layung. Juga, Putri Rara Ayu Diah Arimbi. Yaaah..., semua ini sudah berlangsung tiga tahun.”

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Dan mereka semua jadi terdiam membisu, membuat suasana di dalam ruangan ini jadi sunyi. Saat itu, terdengar suara langkah-langkah kaki di depan rumah ini. Seketika tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka jadi saling melemparkan pandangan, begitu suara langkah kaki yang terdengar dari luar itu berhenti, tepat di depan rumah ini. Rangga segera bangkit berdiri, lalu berjalan meninggalkan ruangan tengah ini menuju ruangan depan. Tapi tidak lama kemudian, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali lagi.

“Panglima Sela Gading dan prajurit-prajuritnya,” ujar Rangga memberi tahu dengan berbisik pelan.

“Mau apa mereka ke sini...?” tanya Nyi Junta seperti untuk diri sendiri.

Tapi belum ada yang menjawab pertanyaan perempuan tua itu, sudah terdengar ketukan di pintu beberapa kali. Dan mereka seketika jadi saling berpandangan lagi. Nyi Junta bergegas bangkit berdiri, dan melangkah ke ruangan depan setelah menatap Pendekar Rajawali Sakti sebentar. Sekilas saja, Nyi Junta sudah menghilang di ruangan depan. Dan tak lama, terdengar suara pintu dibuka.

“Malam-malam begini, kau belum juga tidur, Nyi?” Terdengar suara berat seorang laki-laki. Jelas sekali terdengar dari suaranya kalau orang itu Panglima Sela Gading.

“Belum,” sahut Nyi Junta terdengar malas suaranya.

“Anakmu Dewi, apa sudah tidur?” tanya Panglima Sela Gading lagi.

“Sudah,” sahut Nyi Junta pendek.

“Tidurlah, Nyi. Tutup semua pintu dan jendela. Ada pembunuh berkeliaran. Baru saja ada laporan, lima orang prajuritku ditemukan mati di pinggiran kota. Aku hanya memeriksa saja, Nyi. Yah.... Barangkali saja kau melihat ada orang tidak dikenal di sekitar rumahmu ini,” kata Panglima Sela Gading, terdengar berat sekali nada suaranya.

“Tidak ada apa-apa di sini, Gusti Panglima.”

“Baiklah, Nyi. Aku permisi saja. Maaf sudah mengganggumu malam-malam.”

Nyi Junta hanya mengangguk saja.

“Oh ya, Nyi. Salam untuk Dewi.”

Lagi-lagi Nyi Junta hanya menganggukkan kepala saja. Dan tidak lama kemudian, terdengar pintu ditutup, lalu terdengar suara langkah-langkah kaki menjauh disertai hentakan kaki kuda. Nyi Junta kembali lagi ke ruangan tengah, tapi tidak lagi menjumpai Rangga dan Pandan Wangi di ruangan ini.

“Di mana mereka?” tanya Nyi Junta sambil memandangi kedua anak perempuannya.

“Pergi, lewat pintu belakang,” sahut Dewi.

“Kenapa dibiarkan...?”

“Katanya, akan menghadang Panglima Sela Gading,” sahut Dewi lagi.

“Edan...! Panglima Sela Gading bukan orang sembarangan. Dia membawa banyak prajurit...!” desis Nyi Junta, terperanjat.

“Biar saja, Mak. Aku senang kalau Panglima Sela Gading mati malam ini. Aku benci melihatnya,” dengus Dewi.

Nyi Junta hanya diam saja. Dia tahu, sudah sejak lama Panglima Sela Gading ingin memperistri anak perempuannya ini. Walaupun Dewi sudah punya anak satu, tapi Panglima Sela Gading seperti tidak peduli. Bahkan terus saja mengejar, membuat Dewi jadi muak melihatnya. Apalagi, Panglima Sela Gading sudah lima orang istrinya. Maka semakin muak saja melihatnya. Memang, kegemarannya adalah berburu wanita-wanita, tidak peduli yang sudah punya anak dan suami.

“Mudah-mudahan saja anak-anak muda itu bisa mengatasinya...,” desah Nyi Junta perlahan.

***
ENAM
Malam terus merayap semakin larut. Saat itu, Panglima Sela Gading bersama sekitar lima puluh orang prajurit dan lima orang punggawa tengah mengelilingi kotaraja ini, mencari orang yang telah menewaskan lima orang prajuritnya. Semua rumah digeledah, dan semua penghuninya ditanyai. Sampai akhirnya, mereka tiba di pinggiran kota yang sudah begitu jarang sekali terlihat rumah berdiri. Keadaan sekitarnya begitu sunyi dan gelap.

Malam ini bulan memang tidak bersinar penuh. Langit tampak menghitam kelam, tanpa satu bintang pun menghias. Malam ini memang tidak seperti malam-malam sebelumnya. Angin berhembus begitu dingin menusuk tulang, membuat tubuh jadi menggigil. Dan kesunyian begitu terasa, sampai binatang malam pun seakan enggan memperdengarkan suaranya. Panglima Sela Gading memerintahkan prajuritnya untuk berhenti. Kemudian, dia sendiri melompat turun dari punggung kudanya. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba....

Wusss...!
“Heh?! Ups...!”

Cepat-cepat Panglima Sela Gading memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu terlihat sebuah benda berwarna kuning keemasan meluncur deras ke arahnya. Maka benda kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Panglima Sela Gading yang miring ke kanan, dan langsung menghantam dada seorang prajurit yang berdiri tepat di belakangnya.

Jleb!
“Aaa...!”

Jeritan panjang yang melengking tinggi, membuat semua prajurit yang berada di belakang Panglima Sela Gading jadi terperanjat kaget. Tanpa diperintah lagi, mereka langsung saja menghunus senjata.

“Setan keparat! Keluar kau...!” teriak Panglima Sela Gading lantang menggelegar.

Namun, jawaban yang datang justru adalah benda-benda berwarna kuning keemasan yang meluncur cepat bagai kilat, berhamburan menghujani prajurit-prajurit itu. Dan seketika itu juga, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul berjatuhannya Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang. Sedangkan Panglima Sela Gading terpaksa harus berlompatan sambil cepat membabatkan pedangnya, menghalau benda-benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan itu.

“Hap!”
Tap!
“Yeaaah...!”

Begitu berhasil menangkap sebuah benda yang menghujaninya, dengan kecepatan bagai kilat, Panglima Sela Gading melemparkannya ke arah datangnya.

Srak!
Slap!

Tepat di saat benda bulat kecil berwarna kuning keemasan itu menembus semak, terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat begitu cepat ke luar dari dalam semak. Dan bersamaan dengan itu, serangan benda-benda kecil berwarna kuning keemasan juga berhenti. Namun, sudah lebih dari setengah jumlah prajurit yang bergelimpangan saling tumpang tindih tak bernyawa lagi.

“Hiyaaat...!”

Panglima Sela Gading langsung melesat tinggi ke udara, mengejar bayangan hijau itu. Dan bagaikan kilat, pedangnya dibabatkan ke arah bayangan hijau yang masih berada di udara.

Wuk!

Namun sabetan pedang Panglima Sela Gading hanya mengenai udara kosong saja, karena bayangan hijau itu sudah demikian cepat meluruk ke bawah. Panglima Sela Gading bergegas turun. Dan begitu kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak di depannya sudah berdiri seorang wanita berbaju ketat warna hijau muda. Kepalanya mengenakan tudung bambu lebar, sehingga menutupi sebagian besar wa-jahnya.

“Siapa kau?!” bentak Panglima Sela Gading langsung bertanya.

“Aku pencabut nyawamu, Pengkhianat!” sahut wanita itu, dingin menggetarkan.

“Heh...?!” Panglima Sela Gading jadi terperanjat mendengar jawaban atas pertanyaannya tadi. Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat dua langkah ke belakang. Dicobanya untuk melihat wajah di balik tudung bambu itu. Malam yang gelap, dan wajah yang hanya bagian bibir serta dagunya saja terlihat, memang sulit sekali untuk bisa mengenali wanita ini.

“Siapa kau, heh...?!” bentak Panglima Sela Gading lagi.

“Sudah kukatakan, aku pencabut nyawamu, Panglima Sela Gading!” sahut wanita itu, terdengar bernada kesal.

“Setan...! Berani kau menghinaku, heh...!”

“Tidak ada yang ditakutkan pada pengkhianat sepertimu, Panglima Sela Gading. Yang pantas untukmu, hanya lubang kubur!”

“Keparat! Kurobek mulutmu, Perempuan Setan! Hiyaaat...!”

Panglima Sela Gading tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil menggeram dahsyat, langsung saja panglima itu menyerang dengan kecepatan tinggi sekali. Pedangnya seketika berkelebat berputar begitu cepat, langsung mengurung seluruh tubuh wanita bertudung bambu ini.

“Hup! Yeaaah...!”

Namun wanita bertudung bambu ini begitu gesit gerakannya. Sehingga, tebasan pedang Panglima Sela Gading tidak satu pun yang mengenai sasaran. Sementara prajurit-prajurit yang mengiringi panglima itu sudah bergerak rapat mengepung. Mereka memang tinggal menunggu perintah saja dari panglimanya.

“Hup...!”

Tiba-tiba saja Panglima Sela Gading melompat ke belakang, langsung menghentikan pertarungannya. Begitu ringan gerakannya. Sehingga ketika kedua kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara. Sementara, wanita bertudung bambu itu berdiri tegak dengan sikap menantang, siap bertarung.

“Seraaang...!” Panglima Sela Gading memberi perintah dengan suaranya yang lantang menggelegar, bagai guntur membelah angkasa.

“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”

Seketika itu juga, para prajurit yang memang sejak tadi tinggal menunggu perintah, langsung berlompatan menyerang wanita bertudung bambu ini.

“Hap! Hiyaaat...!”
Sret!
Cring!

Menghadapi keroyokan yang begitu banyak, tampaknya wanita ini tidak mau mengambil akibat yang lebih parah. Dengan cepat, pedangnya dicabut. Langsung saja tubuhnya berlompatan membabatkan pedangnya dengan cepat, menghajar para prajurit. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya tiga orang prajurit secara bersamaan.

“Hup! Hiyaaat...!”

Wanita bertudung bambu itu tidak berhenti sampai di situ saja, setelah merobohkan tiga orang prajurit secara bersamaan. Sambil berteriak nyaring, cepat dia melompat ke kanan sambil memiringkan tubuhnya sedikit. Dan pedangnya seketika berkelebat begitu cepat membabat dada seorang prajurit yang berada dekat dengannya. Begitu cepat sabetannya, sehingga prajurit itu tidak dapat lagi menghindar.

Cras!
“Aaa...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, diiringi ambruknya seorang prajurit dengan dada terbelah menyemburkan darah segar.

“Hup! Yeaaah...!”

Wanita bertudung bambu itu segera menarik kakinya ke belakang satu langkah sambil menarik tubuhnya hingga doyong ke belakang, begitu Panglima Sela Gading menyerang dengan membabatkan pedang ke arah dada. Dan sedikit saja ujung pedang Panglima Sela Gading lewat di depan dada wanita ini.

“Hup!”

Cepat-cepat wanita bertudung bambu itu melompat ke belakang. Tapi pada saat itu juga, salah seorang punggawa yang berada di belakangnya melepaskan satu pukulan keras ke punggung. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali serangan punggawa itu, sehingga wanita bertudung bambu ini tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, keseimbangan tubuhnya belum sempat dikuasai, akibat menghindari serangan Panglima Sela Gading. Dan pukulan punggawa itu telah menghantam punggungnya.

“Akh...!”

Wanita bertudung bambu itu jadi terpekik kecil, dan tubuhnya kontan terdorong ke belakang tiga langkah. Pada saat itu juga, Panglima Sela Gading sudah melompat menerjang sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hiyaaa...!”
“Ikh...?!”

Wanita bertudung itu tampak terkejut. Maka cepat-cepat tangan kirinya dikibaskan, untuk melindungi dadanya dari tendangan Panglima Sela Gading. Hingga....

Plak!
“Akh...!”
“Ukh!”

Mereka sama-sama terpental ke belakang, begitu telapak kaki Panglima Sela Gading menghantam lengan wanita bertudung yang menyilang di depan dada itu. Tampak panglima itu meringis menahan nyeri pada telapak tangan kanannya. Sedangkan wanita bertudung ini merasakan, seakan-akan tulang tangan kirinya remuk, akibat menangkis tendangan bertenaga dalam tinggi.

“Hiyaaat...!”
Bet!

Dan belum lagi wanita bertudung itu bisa menguasai keadaan, seorang prajurit yang berada di sebelah kiri sudah melompat, sambil menghunjamkan tombaknya yang panjang ke arah lambung.

“Hih!”
Wuk!
Trak!

Cepat sekali wanita bertudung bambu itu mengibaskan pedangnya, membabat tombak prajurit ini. Seketika, tombak itu patah jadi dua bagian. Dan dengan kecepatan bagai kilat, wanita itu mengibaskan pedangnya setengah berputar.

“Yeaaah...!”
Bret!
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Prajurit yang menyerang dengan tombak tadi, kini terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah mengeluarkan darah.

“Seraaang...!” teriak Panglima Sela Gading, memberi perintah.

“Hiyaaat...!” “Yeaaah...!”

Kembali wanita bertudung bambu itu dikeroyok puluhan prajurit. Sementara, Panglima Sela Gading sendiri terus menerjang, sambil berteriak-teriak memberi semangat. Serangan dari segala arah ini membuat wanita itu jadi kelabakan juga. Tubuhnya berlompatan sambil memutar cepat pedangnya, untuk melindungi diri dari sabetan pedang dan hunjaman tombak.

Namun di saat keadaannya tengah terdesak begitu hebat, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul dari bagian belakang para prajurit. Dan saat itu juga, terlihat beberapa prajurit yang mengeroyok wanita bertudung bambu ini berpelantingan, roboh tak bangun-bangun lagi.

“Heh...?! Apa itu...?!” desis Panglima Sela Gading terperanjat. Keterkejutan Panglima Sela Gading cepat terjawab oleh terlihatnya sepasang anak muda yang tengah mengamuk menghajar prajurit-prajurit. Amukan kedua anak muda itu membuat kepungan prajurit ini jadi berantakan. Dan kesempatan yang hanya sedikit ini, tidak disia-siakan wanita bertudung bambu itu. Dengan sisa-sisa tenaga dan kekuatannya, dia melompat sambil membabatkan pedangnya diiringi teriakan keras menggelegar.

“Hiyaaat...!”
Bet!
Cras!
“Aaa...!”

Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling susul. Dan tubuh-tubuh bersimbah darah semakin banyak bergelimpangan di sekitar pertarungan. Sementara, Panglima Sela Gading jadi terperangah melihatnya. Kini tinggal beberapa orang lagi prajuritnya yang masih bertahan.

“Setan! Bisa mati aku, kalau begini terus...,” dengus Panglima Sela Gading.

“Hup! Yeaaah...!”

Begitu merasa ada kesempatan, cepat sekali Panglima Sela Gading melompat keluar dari kancah pertarungan. Dia langsung naik ke punggung kudanya, dan cepat menggebahnya.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Kuda coklat berbelang putih milik Panglima Sela Gading segera melesat bagai anak panah lepas dari busurnya. Sementara, sisa prajurit yang ditinggalkan tidak dapat lagi menahan gempuran tiga orang lawannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka semua sudah bergelimpangan tak bangun-bangun lagi. Kini di tempat pertarungan, terlihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di samping kanan gadis cantik berbaju biru muda. Dan di depan mereka, berdiri wanita bertudung bambu yang mengenakan baju warna hijau muda ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang indah.

“Terima kasih, kalian sudah membantuku. Kalau tidak ada kalian, aku pasti sudah mati tercincang,” ucap wanita bertudung bambu itu.

“Kebetulan saja kami berdua memang sedang mengejar mereka semua,” kata Rangga.

“Oh...?! Apa persoalan kalian dengan Prajurit-prajurit Jatigelang?” tanya wanita bertudung itu tampak terkejut.

“Hanya mencoba menghentikan tindakan liar mereka saja. Terutama sekali panglimanya,” sahut Rangga kalem.

“Sayang, dia bisa lolos,” selak Pandan Wangi agak mendengus.

“Hm...,” wanita bertudung bambu itu menggumam kecil.

***

Brak!

“Goblok...!”

Sebuah meja dari kayu jati yang cukup tebal seketika hancur berkeping-keping, terhantam pukulan keras dari tangan yang kekar dan berotot. Tampak Prabu Gelangsaka berdiri tegak di samping meja yang hancur berantakan. Di depannya, terlihat Panglima Sela Gading duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk begitu dalam, seakan tidak sanggup memandang wajah Prabu Gelangsaka yang memerah menahan kemurkaannya.

“Berapa orang prajurit yang kau bawa, Panglima?” tanya Prabu Gelangsaka.

“Sekitar lima puluh orang, Gusti Prabu,” sahut Panglima Sela Gading.

“Lima puluh orang tidak sanggup menghadapi tiga orang...?!” tinggi sekali nada suara Prabu Gelangsaka. “Memalukan...! Kau tidak ada gunanya, Panglima.”

“Tapi, Gusti.... Mereka sangat tangguh dan berkepandaian tinggi. Mereka bukan tandingan para prajurit, Gusti.”

“Aku tidak sudi mendengar alasan apa pun darimu, Panglima! Sekarang juga, siapkan seribu prajurit. Bunuh mereka semua. Mengerti...?!”

“Hamba, Gusti Prabu.”

Setelah menyembah memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, Panglima Sela Gading beranjak pergi meninggalkan Balai Sema Agung Istana Jatigelang ini. Begitu berada diluar, langsung ditemuinya para panglima lain yang kedudukannya masih berada di bawahnya. Lalu, mereka diperintahkan untuk mengumpulkan seribu orang prajurit secepatnya.

Tanpa ada yang membantah, enam orang panglima itu segera meniup sangkala, untuk mengumpulkan seluruh prajurit di alun-alun istana. Sebentar saja, alun-alun yang luas itu sudah dipenuhi prajurit bersenjata lengkap. Tampak Panglima Sela Gading didampingi enam orang panglima bawahannya, berada di punggung kuda masing-masing. Mereka memeriksa kesiapan para prajurit yang berjumlah sangat besar ini.

Dari sekian banyak prajurit, dia memilih seribu prajurit yang kelihatan masih segar, kokoh, dan berhati baja. Dengan jumlah seribu orang, mereka harus menghadapi tiga orang saja. Dan sebenarnya pula, Panglima Sela Gading merasa malu melakukannya. Tapi perintah Prabu Gelangsaka tidak bisa ditolak lagi. Tiga orang itu harus ditangkap dengan mengerahkan prajurit dalam jumlah sangat besar.

“Perintahkan mereka bergerak ke selatan!” perintah Panglima Sela Gading.

Maka seketika iring-iringan para prajurit pun bergerak keluar dari lingkungan benteng istana. Bumi serasa berguncang oleh derap langkah prajurit-prajurit yang bagaikan sedang menuju medan perang. Mereka terus bergerak cepat, menuju selatan. Sementara, Panglima Sela Gading yang didampingi enam orang panglima bawahannya berkuda paling depan. Kepergian prajurit-prajurit itu tidak terlepas dari perhatian Prabu Gelangsaka dari balik jendela ruangan Balai Sema Agung. Tampak jelas dari raut wajahnya, terpancar kecemasan yang tidak dapat lagi disembunyikan. Hanya tiga orang saja yang harus dihadapi, tapi harus mengerahkan prajurit dalam jumlah sangat besar, seperti hendak berperang dengan kerajaan lain. Dan yang tersisa di istana ini, hanya sekitar seratus orang prajurit saja.

“Ayah....”
“Oh...?!”

Prabu Gelangsaka tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Cepat tubuhnya berputar berbalik. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri Rara Ayu Endang Witarsih.

“Ayah! Apakah tidak terlalu berlebihan dengan mengerahkan begitu banyak prajurit, hanya untuk menghadapi perampok-perampok itu...?” ujar Rara Ayu Endang Witarsih.

“Memang, jumlah mereka hanya tiga orang, Witarsih. Tapi mereka bukan orang-orang biasa. Aku yakin, mereka bukan perampok biasa. Tapi, ada maksud tertentu di balik semua ini,” kata Prabu Gelangsaka.

“Maksud, Ayah...?”

“Hm.... Aku menduga, gadis bertudung itu adalah Rara Ayu Diah Arimbi...,” gumam Prabu Gelangsaka perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

“Mustahil dia masih hidup, Ayah. Bukankah Paman Panglima Sela Gading sendiri yang membawa mereka ke dalam hutan, dan membunuhnya di sana bersama Bibi Layung...? Jadi, mustahil kalau mereka masih hidup, Ayah,” bantah Rara Ayu Endang Witarsih.

Prabu Gelangsaka hanya diam saja, seperti ada yang tengah dipikirkannya saat ini. Sesuatu yang membuat hatinya jadi gelisah penuh kecemasan. Kakinya lalu melangkah perlahan, dan menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang yang ada di dalam ruangan berukuran besar ini. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih masih tetap berdiri saja. Bahkan kini berdiri membelakangi jendela berukuran besar yang terbuka lebar, membuat cahaya matahari leluasa menerobos masuk menerangi seluruh ruangan ini.

“Aku ingin istirahat dulu. Jangan ganggu aku, Witarsih,” ujar Prabu Gelangsaka, seraya beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

Sementara Rara Ayu Endang Witarsih masih tetap berdiri diam membelakangi jendela. Keningnya terlihat agak berkerut, pertanda ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Perlahan kakinya melangkah sambil menghembuskan napas panjang. Namun, ayunan kakinya tiba-tiba saja terhenti. Dan....

Wusss...!

Gadis itu cepat berbalik sambil memiringkan tubuhnya, tepat di saat sebuah benda bulat kecil ber-warna kuning keemasan melesat cepat menerobos dari jendela.

“Hap...!”
Slap!

***
TUJUH
Begitu tubuh Rara Ayu Endang Witarsih tegak, dari luar seseorang berbaju ketat warna hijau muda melesat masuk melalui jendela. Orang itu mengenakan tudung bambu yang menutupi hampir seluruh kepala dan wajahnya. Tampak sebilah pedang yang masih berada di dalam warangka tergenggam di tangan kiri.

“Siapa kau...?!” bentak Rara Ayu Endang Witarsih agak terperanjat.

“Kau tentu masih mengenali suaraku, Witarsih....”

“Diah Arimbi...,” desis Rara Ayu Endang Witarsih, langsung bisa mengenali wanita bertudung bambu itu.

“Aku senang kau masih ingat padaku, Witarsih,” ujar wanita bertudung itu sambil membuka tudung bambunya. Dan di balik tudung bambu itu, tersingkap seraut wajah cantik. Bibirnya merah, dan kulit wajahnya putih agak kemerahan. Namun sorot matanya begitu tajam, seakan hendak menelan Rara Ayu Endang Witarsih bulat-bulat. Perlahan kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Rara Ayu Endang Witarsih. Tudung bambunya dilepaskan begitu saja, hingga menggeletak di lantai yang licin dan berkilat ini.

“Sulit sekali menemuimu, Witarsih. Kau bagai seorang putri raja yang selalu dikelilingi banyak pengawal,” ujar wanita bertudung bambu yang ternyata Diah Arimbi, putri Raja Kerajaan Jatigelang terdahulu.

“Seharusnya kau sudah mati, Arimbi. Paman Panglima Sela Gading yang mengatakannya padaku. Kau mati di ujung pedangnya,” agak bergetar terdengar suara Endang Witarsih.

“Hyang Widhi belum menghendaki nyawaku, Witarsih. Seseorang telah menyelamatkan nyawaku. Sayang orang sebaik itu juga harus cepat pergi. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi. Tapi aku yakin, keberadaannya tidak jauh dari istana ini. Dan aku tidak akan mungkin dibiarkan seorang diri datang ke sini untuk menghukummu. Juga ayahmu, Witarsih.”

“A.... Apa yang akan kau lakukan padaku...?” suara Endang Witarsih terdengar bergetar.

“Hutang nyawa harus dibayar nyawa, Witarsih. Kau sudah meracuni ibuku sampai mati. Kemudian, kau racuni juga ayahku. Dan sekarang, kau enak-enakan menjadi putri raja. Kau telah merampas hakku, Witarsih. Tidak ada hukuman yang lebih pantas lagi untukmu, selain mati...,” terdengar dingin sekali nada suara Diah Arimbi.

Seketika wajah Endang Witarsih jadi memucat. Gadis itu langsung ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Memang, dialah yang membubuhi racun ke dalam minuman Gusti Permaisuri. Dan selang beberapa tahun kemudian, Raja Jatigelang yang merupakan ayah dari Diah Arimbi juga diracunnya. Tapi, sebenarnya semua itu dilakukan atas perintah ayahnya yang sekarang menjadi raja di Kerajaan Jatigelang ini. Dan dulu, ayahnya hanya seorang patih.

Kemudian dengan cara yang sangat halus, mereka berhasil merebut takhta kerajaan ini. Bahkan tidak ada seorang pun yang mencurigainya. Tapi, dari mana Diah Arimbi bisa mengetahui rahasia yang selama ini tertutup rapat....? Pertanyaan yang bergayut di benak Endang Witarsih cepat terjawab oleh munculnya seorang laki-laki tua berjubah putih. Dia masuk ke dalam ruangan ini dari jendela, sama seperti ketika Diah Arimbi masuk tadi.

“Eyang Jamus...!” desis Endang Witarsih tercekat.

“Sejak semula sebenarnya aku sudah curiga waktu kau meminta bubuk racun padaku, Witarsih. Tapi sungguh tidak kusangka kalau racun itu kau gunakan untuk membunuh Gusti Prabu dan Gusti Permaisuri. Aku benar-benar menyesali tindakanmu, Witarsih. Rasanya memang tidak ada lagi hukuman yang pantas untukmu...,” terdengar agak berat suara Eyang Jamus.

Memang setelah Raja Jatigelang yang sebenarnya tewas diracun, patih yang bernama Gelangsaka merebut tahta dengan menyingkirkan Diah Arimbi. Gadis itu dibujuk untuk menuntut ilmu kedigdayaan, namun di tengah hutan berusaha dibunuh oleh Panglima Sela Gading. Dan ternyata pembunuhan itu gagal, karena pada kenyataannya Diah Arimbi masih hidup. Hanya Dayang Layung saja yang berhasil ditewaskan. Diah Arimbi yang memang berhasil ditikam Panglima Sela Gading, dan disangka telah mati, ternyata ditolong oleh seorang pertapa tua yang tinggal di Hutan Jatiwengker.

Dia berguru beberapa tahun, dan berhasil mencapai tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Selama petualangannya, Diah Arimbi berhasil menguasai sekelompok perampok setelah berhasil membunuh pemimpinnya. Agar tidak dikenali pihak kerajaan, Diah Arimbi lalu berganti nama menjadi Nyi Ramit. Namun, rupanya anak buahnya yang bernama Gondang mengkhianatinya. Padahal, Diah Arimbi telah menyusun rencana untuk menebus dendamnya pada Raja Jatigelang yang sekarang, Prabu Gelangsaka.

“Tidak...! Kalian semua sudah mati. Kalian tidak bisa membunuhku...!” jerit Endang Witarsih, jadi kalap.

“Pergi kalian. Pergiii...!”

Memang Eyang Jamus yang disangka telah mati, ternyata masih hidup. Waktu itu setelah berhasil membunuh Raja Jatigelang yang dulu, Prabu Gelangsaka memerintahkan untuk membunuh Eyang Jamus, karena takut rahasianya akan terbongkar. Namun, memang Eyang Jamus belum ditakdirkan mati. Ketika tubuhnya dilemparkan ke jurang di pinggir Hutan Jatiwengker, dia tersangkut di sebatang pohon perdu.

Akhirnya, Eyang Jamus berhasil keluar, dan segera mengobati luka-lukanya akibat dikeroyok para Panglima Kerajaan Jatigelang, yang termakan fitnah kalau seakan-akan Eyang Jamuslah yang memberi racun pada ayahanda Diah Arimbi. Setelah berhasil menyembuhkan luka-lukanya, Eyang Jamus kemudian pergi ke dalam Hutan Jatiwengker, dan bertemu Diah Arimbi atau Nyai Ramit. Di situlah dia menceritakan segala rahasia yang ada di Kerajaan Jatigelang kepada Diah Arimbi.

Jeritan Endang Witarsih rupanya terdengar beberapa prajurit yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dan tahu-tahu, sekitar sepuluh orang prajurit sudah berada di dalam ruangan besar dan megah ini. Tapi, mendadak saja wajah mereka jadi terlongong begitu melihat Diah Arimbi. Tentu saja gadis cantik berbaju hijau muda ini sudah tidak asing lagi bagi mereka. Walaupun mereka tidak kenal dengan laki-laki tua yang berada di sebelahnya.

“Bunuh mereka...!” teriak Endang Witarsih jadi kalap.

Tapi perintah gadis itu seperti tidak didengar oleh sepuluh orang prajurit yang masih terlongong bengong ini. Seakan-akan mereka tidak percaya oleh penglihatannya sendiri. Tak lama kemudian, muncul prajurit-prajurit lain ke dalam ruangan ini. Dan mereka juga jadi terperanjat seperti mimpi, ketika melihat Diah Arimbi.

“Kenapa kalian jadi bengong, heh...?! Bunuh mereka kataku!” bentak Endang Witarsih kalap.

Teriakan-teriakan Endang Witarsih, rupanya sampai juga ke telinga Prabu Gelangsaka. Maka laki-laki setengah baya yang masih kelihatan tegap itu segera keluar dari kamar peristirahatannya, dan langsung masuk ke dalam ruangan ini. Dan dia juga jadi terbeliak lebar, begitu melihat Diah Arimbi ada di dalam ruangan ini bersama Eyang Jamus.

“Arimbi...,” desis Prabu Gelangsaka hampir tidak terdengar suaranya.

Beberapa saat kesunyian melingkupi ruangan Balai Sema Agung Istana Jatigelang ini. Tiga puluh lebih prajurit sudah berada di dalam ruangan itu, tapi tidak ada seorang pun yang berani bergerak dari tempatnya. Sementara, Prabu Gelangsaka seperti terbius memandangi Diah Arimbi, tidak percaya oleh penglihatannya sendiri.

“Tidak.... Kau sudah mati, Arimbi. Kau sudah mati...,” desis Prabu Gelangsaka seraya menggelengkan kepala perlahan beberapa kali.

“Aku belum mati, Paman Gelangsaka. Dan sekarang, aku datang untuk meminta tanggung jawabmu,” ujar Diah Arimbi tegas.

“Tidak ada yang bisa kau tuntut dariku, Arimbi,” desis Prabu Gelangsaka.

Sret!

Prabu Gelangsaka langsung saja mencabut pedangnya. Sedangkan Endang Witarsih sudah sejak tadi menggenggam sebilah pedang pendek yang selalu terselip di pinggangnya.

“Kau sudah mati, Arimbi...,” desis Prabu Gelangsaka agak bergetar. Perlahan laki-laki setengah baya itu melangkah menghampiri gadis berbaju hijau muda itu. Pedangnya yang berkilatan terhunus lurus ke depan, ke dada Diah Arimbi.

“Mungkin waktu itu Panglima Sela Gading mendustaiku. Tapi sekarang, kau harus mati di tanganku, Arimbi.”

Semakin dekat saja jarak Prabu Gelangsaka dengan Diah Arimbi. Tapi kelihatannya, gadis cantik ini tetap tenang, tanpa bergeming sedikit pun juga. Padahal, ujung pedang Prabu Gelangsaka sudah begitu dekat dengan dadanya.

“Mampus kau, Arimbi! Hih...!”

“Haiiit...!”

Cepat sekali Diah Arimbi mengegoskan tubuhnya ke kanan, tepat di saat Prabu Gelangsaka menusukkan pedangnya. Dan mata pedang yang berkilatan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Arimbi.

“Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Diah Arimbi menghentakkan kakinya. Langsung dilepaskannya tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi, dengan tubuh masih tetap doyong ke kanan.

“Hih!”
Wut!

Namun Prabu Gelangsaka memang bukan tokoh kosong. Begitu kaki Diah Arimbi terhentak, cepat sekali pedangnya diputar ke arah kaki. Arimbi jadi terhentak kaget, tidak menyangka. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang, dan melompat ke belakang dua langkah.

“Serang! Bunuh mereka...!” teriak Prabu Gelangsaka keras menggelegar.

Tapi tidak ada seorang prajurit pun yang bergerak menyerang, mematuhi perintah itu. Dan ini membuat Prabu Gelangsaka jadi terhenyak. Cepat kakinya ditarik ke belakang tiga langkah. Dipandanginya prajurit-prajurit yang ada di sekitar ruangan ini yang hanya di-am saja seperti patung.

“Prajurit goblok! Sebaiknya kalian mampus saja semua! Hih...!”

Sambil mendesis geram, Prabu Gelangsaka cepat menghentakkan tangan kirinya. Dan seketika itu juga, melesat beberapa bilah pisau kecil ke arah para prajurit yang berada di sebelah kirinya. Begitu cepatnya pisau-pisau kecil itu melesat, sehingga para prajurit hanya bisa terbeliak, tanpa dapat menghindar lagi.

Crab!
“Aaa...!”

Jeritan-jeritan melengking seketika terdengar menyayat, disusul robohnya beberapa prajurit yang terkena sambaran pisau-pisau yang dilemparkan Prabu Gelangsaka.

“Witarsih! Bunuh mereka semua!” teriak Prabu Gelangsaka memerintah anak gadisnya.

“Hup! Hiyaaat...!”

Tanpa diperintah dua kali, Endang Witarsih langsung saja melompat menerjang para prajurit yang tidak lagi mematuhi perintah ayahnya. Gerakan gadis itu memang sangat luar biasa cepatnya. Sehingga dalam beberapa kibasan pedang saja, sudah tergeletak sekitar lima orang prajurit

“Hiyaaat..!”

Prabu Gelangsaka langsung melompat menyerang Diah Arimbi. Pedangnya berputaran begitu cepat, mengibas mengurung setiap gerak gadis ini. Sementara dari arah lain, jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah. Memang, Endang Witarsih mengamuk bagaikan singa betina yang terluka.

“Edan...! Benar-benar iblis mereka!” desis Eyang Jamus yang sejak tadi hanya diam saja tanpa bertindak apa-apa. Namun melihat keganasan Endang Witarsih, Eyang Jamus tidak dapat lagi menahan diri. Dan....

“Mundur kalian semua...! Hup! Yeaaah!”

Sambil berteriak lantang menggelegar, Eyang Jamus langsung saja melesat cepat bagai kilat menerjang Endang Witarsih. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, tepat mengarah ke kepala gadis ini.

“Haiiit...!”

Endang Witarsih memang bukan gadis lemah. Dengan sedikit mengegoskan kepala saja, pukulan yang dilepaskan Eyang Jamus berhasil dihindari. Namun belum juga kepalanya bisa ditarik tegak kembali, Eyang Jamus sudah menyerang lagi dengan kecepatan luar biasa.

Wusss!

Namun pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Prabu Gelangsaka menghentakkan tangan kirinya ke arah Eyang Jamus. Padahal, saat itu dia sedang menghadapi Diah Arimbi. Maka seketika sebilah pisau kecil melesat begitu cepat bagai anak panah terlepas dari busur. Dan Eyang Jamus benar-benar tidak tahu akan mendapat serangan dari belakang seperti itu. Karena pada saat yang sama, dia tengah melancarkan serangan terhadap Endang Witarsih. Sehingga....

Jleb!
“Aaa...!”
“Eyang...!”

Diah Arimbi jadi terpekik, begitu melihat Eyang Jamus terhuyung-huyung setelah punggungnya tertembus pisau kecil yang dilemparkan Prabu Gelangsaka dari belakang. Dan tentu saja pekikan itu membuat Diah Arimbi jadi lengah, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan Prabu Gelangsaka. Maka dengan kecepatan kilat, dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga Diah Arimbi tidak dapat lagi berkelit.

Des!
“Akh...!”

Diah Arimbi terpental deras sekali ke belakang, begitu pukulan Prabu Gelangsaka mendarat telak di dadanya. Hampir saja punggung gadis itu menghantam dinding. Untung saja sebuah bayangan putih tiba-tiba saja berkelebat begitu cepat, dan langsung menyambarnya. Tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah memeluk Diah Arimbi dari belakang. Dan tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang gadis berbaju biru muda, dengan paras wajah cantik, muncul dari jendela.

Gadis berbaju biru yang tidak lain Pandan Wangi itu langsung menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang masih menyangga tubuh Diah Arimbi. Pemuda tampan yang memang Rangga, dan dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu segera menyerahkan Diah Arimbi kepada Pandan Wangi. Dan tampaknya, Diah Arimbi tidak sadar diri setelah mendapat pukulan yang sangat keras dari Prabu Gelangsaka.

“Bawa keluar, Pandan,” pinta Rangga.

Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi segera memapah tubuh Diah Arimbi yang pingsan akibat terkena pukulan keras di dadanya tadi. Langsung gadis itu melompat keluar melalui jendela, setelah memanggul tubuh Diah Arimbi di pundaknya. Sementara itu, terlihat Endang Witarsih sudah melompat sambil mengarahkan pedangnya pada dada Eyang Jamus yang masih terhuyung limbung.

“Hup! Yeaaah...!"
Slap!

Melihat hal itu, cepat sekali Rangga melesat. Maka langsung disambarnya tubuh Eyang Jamus. Dan secepat kilat pula dilepaskannya satu pukulan yang tidak begitu keras ke arah dada Endang Witarsih. Begitu cepat dan tiba-tiba sekali datangnya, sehingga membuat Endang Witarsih jadi terpekik kaget.

“Ikh?! Hup...!”

Cepat-cepat Endang Witarsih melompat ke belakang, membatalkan serangannya. Dan pada kesempatan yang sangat sedikit ini, Rangga segera melesat pergi sambil membawa Eyang Jamus di pundaknya. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga belum juga ada yang bisa menyadari, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat lagi.

“Prajurit goblok! Cepat kejar...!” bentak Prabu Gelangsaka jadi berang pada prajuritnya yang masih tersisa.

Tapi prajurit-prajurit itu hanya diam saja, seperti tidak mendengar teriakan Prabu Gelangsaka. Dan ini tentu saja membuat amarah Prabu Gelangsaka jadi memuncak.

“Keparat! Kalian sudah berani membangkang, heh...?!” bentak Prabu Gelangsaka berang.

Prajurit-prajurit yang sebagian sudah bergelimpangan berlumuran darah akibat amukan Endang Witarsih, malah bergerak maju mendekati Prabu Gelangsaka dan anak gadisnya. Tampak berada paling depan adalah seorang punggawa berusia muda. Pedang yang tergenggam di tangan kanannya terangkat naik perlahan, dan ditujukan lurus ke wajah Prabu Gelangsaka. Akibatnya, laki-laki setengah baya itu jadi terkesiap.

“Terbongkar sudah kelicikanmu, Gelangsaka. Sekarang juga kau harus turun takhta...!” dingin sekali suara punggawa itu. Kemunculan Diah Arimbi memang membuat prajurit-prajurit itu sudah mengerti, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di kerajaan ini. Dan mereka kini tahu, kalau raja mereka yang terdahulu tewas akibat diracuni. Kata-kata yang diucapkan Diah Arimbi tadi, seakan-akan membuat mata mereka terbuka.

“Setan keparat..! Mampus kalian semua. Hiyaaat..!”

Prabu Gelangsaka tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil memaki dan berteriak keras menggelegar, kedua tangannya cepat dikibaskan, setelah memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Dan seketika itu juga, pisau-pisau kecil berhamburan dari kedua telapak tangan Raja Jatigelang ini.

“Hiyaaat...!”

Pada saat yang bersamaan, Endang Witarsih melompat sambil cepat membabatkan pedangnya bagai kilat. Maka jeritan-jeritan mengiringi kematian pun terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah tak bernyawa lagi. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka semua sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Lantai yang semula licin berkilat, kini tersiram darah menggenang.

“Huh...!”

Prabu Gelangsaka menghembuskan napas berat sambil memandangi prajurit-prajuritnya yang bergelimpangan saling tumpang tindih tak bernyawa lagi. Sementara, Endang Witarsih menghampiri ayahnya dan berdiri di sebelah kanannya.

“Kumpulkan orang-orang kita, Witarsih. Kita harus siap menghadapi keparat-keparat itu. Akan kupenggal leher mereka satu persatu!” perintah Prabu Gelangsaka dengan suara mendengus berat.

“Baik, Ayah,” sahut Endang Witarsih.

***
DELAPAN
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi yang membawa Eyang Jamus dan Diah Arimbi tiba di rumah Nyi Junta, yang masih setia pada keluarga kerajaan. Nyi Junta dan kedua anak perempuannya jadi sibuk, membenahi tempat untuk pewaris tunggal Kerajaan Jatigelang ini. Mereka memang gembira melihat junjungannya masih hidup, tapi juga cemas melihat keadaannya yang terluka dalam akibat terkena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi dari Prabu Gelangsaka.

Dengan penyaluran hawa murni yang sudah sempurna, Rangga mencoba menyembuhkan luka dalam yang diderita Diah Arimbi. Sementara, Pandan Wangi yang dibantu Ratna dan Dewi, merawat luka di punggung Eyang Jamus.

“Hhh...!”

Rangga menghembuskan napas panjang, setelah selesai menyalurkan hawa murni ke tubuh gadis pewaris takhta Kerajaan Jatigelang ini. Sementara, Diah Arimbi sendiri langsung bersemadi begitu tersadar dari pingsannya. Dan Rangga kemudian segera menghampiri Eyang Jamus. Tidak lama Diah Arimbi bersemadi, kemudian sudah membuka matanya. Wajah cantik yang tadi terlihat pucat, kini sudah kembali segar dan memerah. Gadis itu lalu bangkit dari balai-balai bambu itu, dan melangkah menghampiri Eyang Jamus.

“Bagaimana lukamu, Eyang?” tanya Diah Arimbi.

“Tidak parah. Untung hanya pisau biasa. Tidak beracun,” sahut Eyang Jamus seraya tersenyum.

Diah Arimbi mengalihkan perhatiannya, menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri menghadap ke jendela. Pemuda berbaju rompi putih itu hanya melirik sekilas, dan kembali mengamati keadaan di luar dari jendela yang terbuka sedikit. Saat itu terdengar suara derap kaki kuda yang berjumlah sangat banyak dari arah luar kota. Dan tidak lama kemudian, terlihat serombongan prajurit yang dipimpin Panglima Sela Gading.

“Arimbi! Sebaiknya kita cegat mereka sebelum masuk ke dalam istana,” kata Rangga.

“Jumlah mereka sangat banyak, Kakang Rangga,” ujar Diah Arimbi, yang sudah membiasakan memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan kakang.

“Yang kita hadapi hanya Panglima Sela Gading. Aku yakin, prajurit-prajurit itu tidak akan berbuat apa-apa setelah melihatmu, Arimbi. Kau bisa lihat sendiri, bagaimana sikap prajurit di istana. Sikap mereka sudah menunjukkan begitu merindukanmu, Arimbi,” tegas Rangga lagi.

Diah Arimbi memandang sebentar pada Eyang Jamus. Dan laki-laki tua itu hanya tersenyum saja, sambil menganggukkan kepala sedikit.

“Baiklah, Kakang. Ayo kita berangkat sekarang, sebelum mereka mendekati istana,” kata Diah Arimbi menyetujui.

“Kau ikut, Pandan,” ajak Rangga.

“Tapi, bagaimana dengan Eyang Jamus?” tanya Pandan Wangi.

“Aku tidak apa-apa, Nini Pandan. Hanya luka kecil saja. Pergilah bersama mereka,” kata Eyang Jamus lembut.

“Biar aku yang merawatnya, Kak Pandan,” selak Ratna, menawarkan.

Pandan Wangi tersenyum memandangi anak gadis Nyi Junta itu, kemudian bergegas melangkah keluar, menyusul Rangga dan Diah Arimbi yang sudah jalan lebih dulu. Sementara Nyi Junta menutup kembali pintunya rapat-rapat.

“Mudah-mudahan saja perkiraan Pendekar Rajawali Sakti benar...,” desah Eyang Jamus perlahan, seakan untuk diri sendiri.

Sementara itu Rangga, Pandan Wangi, dan Diah Arimbi sudah berdiri tegak menghadang rombongan prajurit Panglima Sela Gading di tengah jalan, jauh da-ri Istana Kerajaan Jatigelang. Diah Arimbi sudah mengenakan lagi tudung bambunya yang lebar, sehingga menutupi sebagian wajahnya. Malam yang sudah sejak tadi menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Jatigelang ini, membuat suasana terasa begitu sunyi. Hanya hentakan kaki-kaki kuda saja yang terdengar, bersamaan dengan ayunan langkah para prajurit yang berjalan kaki.

“Berhentiii...!” teriak Panglima Sela Gading sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas kepala, begitu melihat tiga orang berdiri tegak di tengah jalan dengan sikap menantang.

Dengan gerakan ringan sekali, Panglima Sela Gading melompat turun dari punggung kudanya, diikuti panglima-panglima lain yang menjadi bawahannya. Mereka melangkah tegap mendekati tiga orang yang berdiri menghadang di tengah jalan itu. Sementara, seluruh prajurit sudah siap siaga tanpa diperintah lagi.

“Bagus.... Rupanya kalian memang mencari mati di sini. Hhh...! Hanya tiga orang...,” dengus Panglima Sela Gading bernada mengejek.

“Walaupun bertiga, kami sanggup mengobrak-abrik seluruh pasukanmu, Panglima. Tapi bukan mereka yang kuinginkan. Hanya kau, Panglima Sela Gading...!” terdengar sangat dingin nada suara Diah Arimbi.

“Ha ha ha...!” Panglima Sela Gading jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata gadis yang selalu mengenakan tudung bambu itu. Seakan-akan, ucapan Diah Arimbi sangat menggelitik tenggorokannya, hingga jadi tertawa terbahak-bahak seperti itu.

“Nisanak! Kata-katamu seakan-akan aku punya hutang padamu,” ujar Panglima Sela Gading, setelah tawanya terhenti.

“Kau memang berhutang nyawa padaku, Panglima Sela Gading,” sahut Diah Arimbi dingin.

“Heh...?! Apa katamu..,.?!”

“Kau berhutang nyawa padaku, Panglima. Dan sekarang, aku akan menagih nyawamu.”

“Keparat...! Berani kau berkata begitu padaku, heh...! Kurobek mulutmu, Bocah!” geram Panglima Sela Gading jadi berang seketika.

“Aku khawatir, justru mulutmu yang terobek nanti.”

“Setan! Hiyaaa...!”
Sret!
Cring!

Sambil menggeram dahsyat, Panglima Sela Gading langsung melesat cepat seraya mencabut pedangnya. Langsung dihantamkannya pedang itu ke kepala gadis bertudung bambu ini. Namun hanya menarik kakinya ke belakang dua langkah, tebasan pedang panglima itu tidak sampai mengenai sasaran. Dan gadis bertudung bambu itu lalu meliukkan tubuhnya sambil membabatkan pedangnya ke atas.

Wut!
“Aikh...!”

Panglima Sela Gading jadi terperanjat. Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke belakang menghindari serangan balasan gadis bertudung bambu ini. Dan pada saat itu, Rangga melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.

“Hentikan...!”

“Anak muda, minggir kau...!” bentak Panglima Sela Gading lantang.

“Panglima Sela Gading, kau tahu siapa yang kau hadapi ini?!” lantang suara Rangga.

“Phuih! Aku tidak peduli siapa dia!” sahut Panglima Sela Gading seraya menyemburkan ludahnya. Panglima itu sudah menyilangkan pedangnya di depan dada, seraya melirik sedikit pada enam orang panglima yang berada di sebelah kanan agak ke belakang. Enam orang panglima itu bergerak maju tanpa diminta lagi dengan kata-kata.

“Tunggu...! Kalian jangan gegabah. Lihat, siapa yang ada di depan kalian...!” seru Rangga cepat-cepat, begitu melihat gelagat yang tidak menguntungkan.

Saat itu, Diah Arimbi yang selama ini selalu mengenakan tudung bambu berukuran lebar, membuka tudungnya. Dan cahaya rembulan yang bersinar penuh malam ini, langsung menerangi wajahnya yang cantik.

“Ohhh...?!”

Semua panglima, punggawa, dan prajurit jadi terlongong bengong begitu melihat wanita itu membuka tudungnya, sehingga seluruh wajahnya yang cantik terlihat jelas. Bahkan Panglima Sela Gading sendiri sampai terbeliak, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Arimbi.... Tidak! Mustahil kau masih hidup...,” desis Panglima Sela Gading masih belum percaya dengan penglihatannya sendiri.

“Aku memang Diah Arimbi, Paman Sela Gading. Akulah yang kau tikam dengan pedangmu di hutan. Tapi, Hyang Widhi belum menghendaki kematianku,” terasa dingin sekali nada suara Diah Arimbi.

“Tidak.... Kau sudah mati, Arimbi. Kau sudah mati....”

Diah Arimbi melangkah perlahan-lahan, hingga berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Panglima Sela Gading menarik kakinya ke belakang beberapa langkah, dengan kepala bergerak menggeleng beberapa kali.

“Heh...?! Kenapa kalian diam saja? Cepat serang, bunuh mereka...!” teriak Panglima Sela Gading tiba-tiba.

Tapi tidak ada seorang pun prajurit yang bergerak mendengar perintah itu. Dan ini membuat Panglima Sela Gading jadi kebingungan sendiri. Dia berteriak-teriak memerintah, tapi tetap saja tidak ada seorang pun yang bergerak. Mereka hanya memandangi Diah Arimbi dan panglima itu bergantian.

“Goblok...! Dia bukan Putri Arimbi. Ayo, bunuh perempuan setan itu...!” teriak Panglima Sela Gading lagi.

“Kau yang setan, Sela Gading...!” Tiba-tiba saja salah seorang panglima menyelak dengan ketus, dan langsung bergerak menghampiri Panglima Sela Gading. Lima orang panglima lainnya juga bergerak mengikuti, membuat wajah Panglima Sela Gading jadi memucat pasi berkeringat dingin. Sementara para prajurit dan punggawa juga sudah mulai bergerak mengurung panglima ini.

“Tunggu...!” sentak Rangga tiba-tiba.

Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke depan Panglima Sela Gading, karena tidak ingin terjadi pembunuhan kejam. Dia tahu, para panglima, punggawa, dan prajurit ingin menghukum Panglima Sela Gading. Dan itu yang tidak diinginkannya.

“Kalian tidak bisa menjatuhkan hukuman begitu saja. Biarkan dia mendapatkan keadilan dari segala perbuatannya. Biar Putri Arimbi yang menentukan hukumannya!” lantang sekali suara Rangga. Saat itu, Panglima Sela Gading memang sudah tidak lagi bisa berbuat sesuatu. Seluruh tubuhnya bergetar, sudah bersimbah keringat dingin. Dan wajahnya kelihatan begitu pucat, seperti tidak pernah teraliri darah.

“Tangkap pengkhianat itu...!” seru Diah Arimbi sambil menunjuk Panglima Sela Gading.

Dua orang panglima segera bergerak maju meringkus Panglima Sela Gading yang tampaknya sudah pasrah, tidak ingin cari penyakit. Salah seorang mengambil pedangnya, dan yang seorang lagi mengikat tubuhnya dengan rantai.

“Bagaimana sekarang, Kakang?” tanya Diah Arimbi yang sudah berada di samping Rangga lagi.

“Langsung saja ke istana. Kita juga harus menangkap Prabu Gelangsaka dan putrinya,” sahut Rangga.

“Baiklah, Kakang.”

Diah Arimbi kemudian memerintahkan pada salah seorang panglima untuk bergerak ke istana secepatnya. Dan tanpa menunggu waktu lagi, para panglima, punggawa, dan prajurit langsung saja bergerak ke Istana Jatigelang. Mereka bergerak cepat sambil bersorak-sorak mengelu-elukan gadis ini. Teriakan-teriakan dan seruan-seruan keras, membuat seluruh rakyat di Kotaraja Jatigelang ini jadi terbangun. Mereka terkejut mendengar nama pewaris sah kerajaan disebut-sebut. Dan begitu mengetahui para prajurit itu kini dipimpin Diah Arimbi, semua rakyat keluar dari dalam rumah dan langsung ikut bergabung.

Tidak berapa lama, mereka sudah sampai di depan istana. Mereka langsung menerobos masuk istana tanpa mendapat halangan apa-apa. Tampak Diah Arimbi yang masih didampingi Rangga dan Pandan Wangi, menerobos masuk paling depan. Mereka langsung menuju bangunan istana yang sangat megah ini dan terus masuk sampai ke dalam. Namun begitu mereka sampai di ruangan tengah istana, mendadak saja Endang Witarsih sudah melompat dari atas langit-langit ruangan ini. Langsung pedangnya disabetkan ke kepala Diah Arimbi.

“Hiyaaat...!”

“Arimbi, awas...!” seru Rangga memperingatkan.

“Hup! Yeaaah...!”

Diah Arimbi memang tidak punya lagi kesempatan berkelit. Dan pada saat mata pedang Endang Witarsih hampir membelah kepalanya, Rangga cepat melompat menerjang Diah Arimbi. Akibatnya, mereka jatuh bergulingan di lantai. Pada saat yang bersamaan pula, Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat menyerang Endang Witarsih.

“Hiyaaat...!”
Bet!
“Haiiit..!”
Trang!

Pandan Wangi langsung mengebutkan kipas baja putihnya, tapi Endang Witarsih manis sekali bisa menangkis dengan pedangnya. Namun tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi cepat memutar tubuhnya sambil melepaskan tendangan berputar yang dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, sehingga Endang Witarsih tidak sempat lagi berkelit Dan....

Des!
“Akh...!”

Endang Witarsih jadi terpekik, begitu telapak kaki Pandan Wangi menghantam telak dadanya. Dan gadis itu seketika terpental ke belakang, lalu keras sekali punggungnya menghantam dinding hingga bergetar dan retak. Tapi Endang Witarsih hanya mengeluh sedikit saja. Disekanya darah yang mengalir keluar dari sudut bibirnya, lalu kembali melangkah terhuyung menghampiri Pandan Wangi. Sementara itu, Rangga dan Diah Arimbi sudah berdiri lagi. Diah Arimbi ingin langsung menyerang Endang Witarsih, tapi Rangga sudah lebih cepat mencegah dengan mencekal tangan gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi dan Endang Witarsih sudah kembali bertarung sengit.

“Biarkan mereka bertarung. Sebaiknya, kita cari Prabu Gelangsaka,” kata Rangga.

“Kau tidak perlu mencari aku, Pendekar Rajawali Sakti!”

Sama sekali Rangga tidak terkejut, begitu tiba-tiba Prabu Gelangsaka sudah muncul di dalam ruangan ini. Hanya Diah Arimbi yang kelihatan tersentak kaget. Namun baru saja Rangga memutar tubuhnya, Prabu Gelangsaka sudah melesat cepat bagai kilat. Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!”

“Menyingkir, Arimbi. Hup...!”

Cepat Rangga melesat menyambut setelah meminta Diah Arimbi menyingkir menjauh. Dan secara bersamaan, mereka melepaskan pukulan keras menggeledek sambil melayang di udara. Hingga....

Glarrr!

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar menggelegar, membuat seluruh dinding dan atap bangunan istana ini jadi bergetar, begitu dua tangan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi beradu tepat di udara. Tampak Prabu Gelangsaka terpental deras ke belakang sambil memekik tertahan. Sementara, Rangga berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di lantai ruangan ini.

“Keparat...!” geram Prabu Gelangsaka sambil menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya. “Kubunuh kau, Bocah Setan! Hiyaaat...!”

Prabu Gelangsaka kembali melompat menerjang sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang sangat cepat dan bertenaga dalam tinggi. Namun dengan menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Rangga bisa mudah menghindari semua serangan. Dan tampaknya, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau berlarut-larut. Begitu memiliki kesempatan, cepat sekali dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Begitu cepat pukulannya, sehingga Prabu Gelangsaka tidak dapat lagi menghindar.

Des!
“Aaakh...!”

Kembali Prabu Gelangsaka terdorong ke belakang, begitu dadanya terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Dan tanpa disadari, justru Prabu Gelangsaka mendekati Diah Arimbi. Dan kesempatan ini memang tidak bisa disia-siakan begitu saja. Cepat sekali Diah Arimbi menghunjamkan pedangnya ke punggung laki-laki setengah baya ini.

“Arimbi, jangan...!” Tapi, seruan Rangga sudah terlambat. Maka....

Bres!
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak tubuh Prabu Gelangsaka terhuyung-huyung begitu Diah Arimbi mencabut pedangnya kembali dari tubuh laki-laki setengah baya ini. Darah kontan mengucur deras dari punggung, dada, dan mulutnya. Dan sebentar kemudian, Prabu Gelangsaka ambruk menggelepar ke lantai. Hanya sebentar saja tubuhnya masih bergerak mengejang, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

Jeritan kematian Prabu Gelangsaka, rupanya membuat perhatian Endang Witarsih jadi terpecah. Dan gadis itu tampak begitu terkejut melihat ayahnya sudah tergeletak bermandikan darah di depan Diah Arimbi.

“Ayah...!” jerit Endang Witarsih, kalap.

Gadis itu segera menghambur meninggalkan Pandan Wangi yang menjadi lawannya, dan segera menubruk Prabu Gelangsaka yang tergeletak tak bernyawa sambil menangis sesenggukan. Sementara itu dari luar, muncul enam panglima yang diikuti beberapa punggawa serta patih Kerajaan Jatigelang ini. Mereka jadi terdiam melihat Endang Witarsih menangis, memeluk tubuh ayahnya yang berlumur darah sudah tak bernyawa lagi.

“Panglima...,” ujar Diah Arimbi seraya melangkah pergi setelah memutar tubuhnya.

Enam orang panglima itu segera mendekati Endang Witarsih. Dua orang memegangi lengan gadis itu. Sedangkan empat orang lagi menggotong tubuh Prabu Gelangsaka, dan membawanya keluar ruangan ini. Dua orang panglima yang memegangi tangan Endang Witarsih, membawanya juga keluar dari ruangan ini. Sementara Diah Arimbi berdiri tegak mematung di depan jendela, memandang ke luar. Dirayapinya kerumunan prajurit dan rakyat yang memadati alun-alun istana ini.

“Paman Patih...,” ujar Diah Arimbi.

“Hamba, Gusti Putri,” sahut salah seorang laki-laki tua seraya melangkah mendekati.

“Tenangkan semua rakyat. Sebentar lagi, aku keluar,” kata Diah Arimbi.

“Hamba, Gusti Putri."

Laki-laki tua itu segera bergerak ke luar. Sementara, Diah Arimbi masih berdiri tegak menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya berputar berbalik. Namun...

“Heh...?!”

Kedua bola mata gadis itu jadi terbeliak lebar. Ternyata di dalam ruangan ini tidak lagi terlihat Rangga dan Pandan Wangi. Diah Arimbi jadi celingukan sendiri. Tapi memang, kedua pendekar muda itu sudah tidak ada lagi dan entah ke mana perginya.

“Hhh.... Kalian memang pendekar-pendekar sejati. Terima kasih, Kakang Rangga.... Pandan Wangi...” desah Diah Arimbi cepat menyadari.

Kemudian gadis itu melangkah perlahan meninggalkan ruangan ini. Memang, tidak ada seorang pun yang menyadari kalau kedua pendekar muda itu bergabung dengan rakyat, mendengarkan suara Diah Arimbi yang kini sudah mengambil alih takhta yang memang menjadi haknya. Malam yang semula terasa dingin, kini jadi hangat penuh teriakan-teriakan gegap gempita menyanjung Putri Diah Arimbi.

Sementara, para prajurit mulai menjalankan tugasnya. Mereka berjaga-jaga agar rakyat tidak menyerbu untuk mengelu-elukan junjungannya. Dan dari tempat yang agak jauh, dekat pintu gerbang istana ini, Rangga dan Pandan Wangi terus memandangi dengan bibir menyunggingkan senyum.

“Ayo, Pandan. Kita lanjutkan perjalanan,” ajak Rangga.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Dan mereka kemudian melangkah meninggalkan alun-alun Istana Jatigelang. Sementara, suara-suara gaduh penuh kegembiraan terus terdengar bagai hendak membelah langit kelam di atas wilayah Kerajaan Jatigelang. Sedangkan dua pendekar muda dari Karang Setra itu semakin jauh meninggalkan istana ini.

TAMAT

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar