Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 09

“Susiok... ahh, ampunkan saya, Susiok! Sayalah yang menyebabkan semua ini...!” Kong Liang meratap penuh penyesalan.

“Orang muda, menyerahlah engkau!” terdengar bentakan di belakangnya.

Sambil memutar tubuhnya Kong Liang melompat ke depan. Dia melihat seorang wanita bertubuh ramping, tapi wajahnya yang cantik menunjukkan bahwa wanita itu tentu sudah setengah tua, berusia sekitar lima puluh tahun, pakaiannya indah seperti pakaian wanita bangsawan. Di punggung wanita itu tampak sepasang pedang dan pada pinggang depan tergantung sebuah kantung merah yang biasanya dipergunakan untuk menyimpan senjata rahasia. Maklumlah Kong Liang bahwa tentu wanita ini yang telah membunuh susiok-nya.

“Engkau sudah membunuh Susiok!” bentaknya dan Kong Liang cepat menyerang dengan sepasang siang-kek di tangannya.

Akan tetapi wanita itu bergerak cepat bukan main sehingga serangannya yang bertubi-tubi itu mengenai tempat kosong! Karena penasaran, Kong Liang menyerang lebih gencar lagi, mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.

Namun lawannya berkelebatan dan semua serangannya gagal.

“Heii! Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?” bentak wanita itu.

Kong Liang tidak peduli dan menyerang terus dengan hati semakin penasaran, namun kini wanita itu sudah mencabut sepasang pedangnya dan begitu dia menggerakkan sepasang pedang itu dengan gerakan yang indah dan cepat, Kong Liang terkejut dan terdesak!

“Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)?” katanya kaget dan mendengar ini, wanita itu mempercepat gerakannya.

“Trang-tranggg...!”

Bunga api berpijar dan Kong Liang terhuyung ke belakang. Dia melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat seorang pemuda dan seorang gadis yang berdiri menonton perkelahian itu. Mereka tidak membantu kawannya, dan memang kawannya tak perlu dibantu karena dialah yang terdesak hebat.

Tiba-tiba saja wanita itu mengeluarkan bentakan dan Kong Liang lantas terhuyung ketika wanita itu dapat menotok pundaknya dengan gagang pedang. Sebelum Kong Liang dapat memulihkan kuda-kudanya, pundaknya sudah tertotok lagi dan dia pun lemas, sepasang siang-kek itu terlepas dari pegangan tangannya.

“Kun Liong, jangan bunuh dia!” bentak wanita yang telah merobohkan Kong Liang ketika pemuda yang tadi hanya menonton kini melompat dan menodongkan sebatang pedang ke dada Kong Liang yang roboh telentang dalam keadaan lemas. Pemuda itu tidak berani menusukkan pedangnya.

“Kun Liong, bawa dia ke bawah! Hwi Siang, cepat perintahkan pengawal agar menurunkan mayat-mayat itu!” Setelah berkata demikian, wanita yang sangat lihai itu melayang turun dari atas wuwungan.

Wanita itu bukan lain adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau Souw Lan Hui yang dahulu ketika masih gadis terkenal di dunia kang-ouw sebagai Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti).

Ketika bayangan tujuh orang itu tadi berlompatan ke atas wuwungan, ia telah mengetahui. Cepat ia memberi isyarat kepada para penjaga agar menjaga kamar suaminya dan kamar Putera Mahkota dengan ketat, sedangkan ia sendiri lalu mengajak puteranya, Bouw Kun Liong, dan puterinya, Bouw Hwi Siang, untuk naik ke atas wuwungan.

Dalam keadaan remang-remang itu Nyonya Bouw tidak dapat mengenal orang, tidak tahu mengapa ada yang bertanding di atas wuwungan gedungnya. Baginya, orang-orang yang berada di atas wuwungan gedungnya pastilah bukan orang baik. Maka dia pun tidak ragu lagi untuk menyerang mereka dengan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang merobohkan Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya.

Melihat bahwa mereka yang berada di wuwungan sudah roboh semua dan hanya tinggal seorang pemuda, maka Nyonya Bouw melarang anak-anaknya untuk menyerangnya, lalu dengan cepat ia sendiri menghampiri Kong Liang dan membentaknya agar menyerah.

Kini Kong Liang yang sudah diikat kaki tangannya dibawa meloncat turun oleh Bouw Kun Liong. Nyonya Bouw dan Bouw Hwi Siang juga sudah berada di ruangan tamu yang luas dan terang benderang. Enam buah mayat juga telah diturunkan dibawa ke dalam ruangan itu pula oleh para prajurit pengawal, direbahkan berjajar di atas lantai.

“Ah, bukankah dia ini... Gui Kauwsu, guru di Pek-ho Bukoan itu...?” kata Bouw Kun Liong ketika melihat mayat Gui Tiong.

“Benarkah?” kata Nyonya Bouw dengan suara heran, lalu dia memandang kepada Kong Liang yang dibiarkan duduk di atas lantai dengan kaki tangan terbelenggu. “Akan tetapi, mengapa murid-murid Siauw-lim-pai memusuhi kita?”

Kini Kong Liang sudah pulih dari totokan tadi. Tubuhnya terlalu kuat sehingga totokan tadi tidak dapat lama mempengaruhinya. Meski dia sudah mampu bergerak, akan tetapi tentu saja tidak dapat menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dan dia pun tidak ingin memaksa diri mematahkan belenggu karena dia tahu bahwa menghadapi wanita setengah tua itu saja dia tidak menang, apa lagi di situ terdapat pemuda dan gadis itu ditambah lagi beberapa orang prajurit pengawal.

Kini Kong Liang memandang kepada tiga orang yang berada di depannya, duduk di atas kursi dengan penuh perhatian. Nyonya setengah tua ternyata seorang wanita bangsawan, tampak dari pakaian dan gaya gelung rambutnya, berusia sekitar lima puluh tahun.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh empat tahun, gagah dan tampan, sedangkan gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik seperti wanita setengah tua hingga mudah diduga bahwa dia tentu puterinya. Mendengar seruan pemuda itu yang mengenal susiok-nya, Kong Liang lalu berkata dengan suara tenang dan tegas.

“Gui Kauwsu adalah Susiok saya dan kami berdua sama sekali tidak memusuhi penghuni gedung ini, bahkan kami berdua sudah berusaha untuk mencegah niat buruk lima orang itu terhadap Thai-cu yang berada di gedung ini.”

Nyonya Bouw terkejut bukan main. “Hemm, mereka hendak berbuat apa terhadap Thai-cu?” tanyanya lantang.

“Mereka ditugaskan untuk membunuh Pangeran Kang Shi!”

“Siapa yang hendak membunuh Thai-cu?”

Semua orang menengok ke arah pintu. Kong Liang melihat seorang pria berusia sekitar lima puluh tiga tahun, wajahnya tampan dan gagah, sinar matanya begitu lembut namun tajam sekali.

“Ayah, mereka datang dengan rencana membunuh Pangeran Kang Shi. Enam orang telah dapat ditewaskan dan yang seorang ini ditangkap,” kata Bouw Kun Liong.

Pangeran Bouw Hun Ki mengerutkan kedua alisnya. “Siapakah kalian? Orang muda, tidak sadarkah engkau bahwa perbuatan kalian ini merupakan dosa yang amat besar dan dapat membuat engkau dihukum mati?” tanyanya kepada Bu Kong Liang. Lalu ketika ia melihat mayat Gui Tiong, dia berseru kaget. “Ahh, bukankah ini adalah Guru Silat Gui Tiong yang membuka Pek-ho Bu-koan? Bagaimana mungkin dia melakukan ini? Bukankah dia adalah orang Siauw-lim-pai?”

“Orang muda, hayo ceritakan semua dengan jelas! Tak ada gunanya engkau menyangkal atau berbohong!” bentak Nyonya Bouw.

Pandang matanya membuat Kong Liang menundukkan mukanya. Begitu tajam pandang mata itu, laksana menembus jantungnya. Akan tetapi dia segera teringat bahwa dia dan Gui Tiong tidak bersalah, maka dia mengangkat lagi mukanya dan berkata dengan suara tenang dan tegas.

“Seperti yang saya akui tadi, saya bernama Bu Kong Liang dan ini adalah jenazah Susiok (Paman Guru) Gui Tiong. Kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai dan tidak mungkin kami memusuhi pemerintah, apa lagi berniat membunuh Pangeran Mahkota!”

“Ceritakan saja dengan jelas, orang muda, apa yang sebetulnya terjadi?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.


Melihat sikap halus pangeran itu, Bu Kong Liang maklum bahwa dia berhadapan dengan orang bijaksana yang dapat diajak bicara, maka dia pun menceritakan dengan sejujurnya.

“Saya mau menceritakan yang sejujurnya, akan tetapi saya juga ingin mengetahui kepada siapa saya akan bercerita.”

Bouw Kun Liong yang biasanya dipanggil Bouw Kongcu (Tuan Muda Bong) menghardik. “Kamu ini penjahat yang tertawan dan menjadi pesakitan, tetapi masih lancang bertanya lagi! Hayo ceritakan dengan sebenarnya!”

Pangeran Bouw Hun Ki mengangkat tangan kanan ke atas sambil memandang puteranya, lalu berkata kepadanya. “Biarlah, Kun Liong, supaya dia mengetahui siapa kita. Bu Kong Liang, aku adalah Pangeran Bouw Hun Ki, adik Sribaginda Kaisar dan ini adalah isteriku. Pemuda ini puteraku Bouw Kun Liong dan gadis ini puteriku Bouw Hwi Siang.”

Mendengar ini, Kong Liang yang duduk di atas lantai cepat membungkukkan badan untuk memberi hormat.

“Pangeran, saya datang dari Kuil Siauw-lim di kaki Gunung Sung-san dan menuju ke kota raja untuk meluaskan pengalaman sambil mengunjungi susiok Gui Tiong dan keluarganya. Tetapi di tengah perjalanan saya dihadang dan diserang oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang membawa sepasukan prajurit. Saya berhasil selamat dan dua orang itu melarikan diri. Agaknya itulah sumber mala petaka. Ketika saya datang dan mengunjungi Perguruan Pek-ho Bu-koan yang dipimpin oleh Susiok Gui Tiong, datang utusan Jaksa Ji memanggil Susiok Gui Tiong dan saya untuk menghadap. Sesudah kami menghadap, kami langsung ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan memberontak. Kemudian, malamnya datang para pembantu Pangeran Leng Kok Cun yang mengambil kami dari rumah tahanan dan kami dihadapkan kepada Pangeran Leng Kok Cun. Ternyata yang mengatur penangkapan saya dan Susiok Gui Tiong adalah Pangeran Leng itu.”

Pangeran Bouw Hun Ki saling pandang dengan isterinya, lalu mengangguk-angguk.

“Saya tidak pernah memberontak, begitu pula dengan Susiok Gui Tiong, maka di hadapan Pangeran Leng kami juga menolak tuduhan memberontak itu. Kemudian Pangeran Leng memaksa kami berdua untuk menyerah dan menaati semua perintahnya, kalau tidak dia akan menyeret kami ke pengadilan dengan tuduhan memberontak supaya kami dijatuhi hukuman mati. Pangeran Leng lalu memperlihatkan puteri Susiok Gui Tiong, yaitu Sumoi Gui Siang Lin yang ternyata juga sudah ditawannya kepada kami. Melihat ini, kami berdua merasa tidak berdaya. Kalau kami melawan dan melarikan diri, tentu Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuhnya. Dengan gadis itu menjadi sandera, maka untuk sementara waktu kami terpaksa tunduk kepada Pangeran Leng.”

“Lalu apa hubungannya semua itu dengan kedatangan kalian bertujuh ke atas wuwungan rumah kami?” tanya Bouw Hujin (Nyonya Bouw) sambil menatap tajam.

“Malam itu Susiok Gui Tiong dan saya ditugaskan Pangeran Leng Kok Cun untuk datang ke sini dan membunuh Putera Mahkota yang katanya berada di sini.”

“Huh! Dan engkau menaati perintah itu, ya? Hendak membunuh Thai-cu?” bentak Bouw Kun Liong tidak sabar. Agaknya tangan pemuda ini sudah terasa gatal untuk membunuh Kong Liang, saking marahnya setelah mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu hendak membunuh Pangeran Kang Shi!

“Tidak, kami menaati hanya untuk mencegah dia membunuh Sumoi Siang Lin saja. Kami berdua diikuti Twa-to Ngo-liong, lima orang jagoan pembantu Pangeran Leng. Diam-diam kami berdua bersepakat untuk turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong sesudah tiba di sini, lalu kami akan berusaha membebaskan Sumoi. Maka begitu tiba di atas wuwungan, kami langsung bertindak. Saya berhasil membunuh tiga dari lima orang Twa-to Ngo-liong, sedangkan pada saat itu Susiok Gui Tiong sedang dikeroyok dua orang. Tiba-tiba saya melihat Susiok Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya roboh.”

“Akan tetapi mengapa engkau menyerangku ketika aku minta engkau menyerahkan diri?” tanya Nyonya Bouw sambil mengerutkan alis. Jika cerita pemuda itu benar, dan agaknya tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, berarti ia telah salah tangan membunuh Kauwsu Gui Tiong yang tidak berdosa!

“Begini soalnya, Hujin. Karena saya melihat Paduka menyerang Susiok Gui Tiong dengan Gin-seng-piauw, maka saya menyangka bahwa Paduka tentu seorang dari musuh-musuh kami, sebab itu saya menyerang Paduka ketika Paduka menyuruh saya menyerah,” ucap Bu Kong Liang dengan suara yang tenang dan tegas sehingga kebenarannya tidak dapat diragukan.

“Hemmm, kalau benar begitu, sungguh aku merasa menyesal sekali. Aku menyerang tiga orang yang sedang berkelahi di atas wuwungan, tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan, maka sangat menyesal aku sudah kesalahan tangan membunuh Gui Kauwsu yang tidak berdosa. Sekarang ada sebuah pertanyaan lagi, Bu Kong Liang! Kenapa engkau dan Gui Kauwsu tidak menaati perintah Pangeran Leng untuk membunuh Putera Mahkota, bahkan berbalik menyerang dan membunuh lima orang anak buahnya?”

“Hujin yang mulia, Susiok Gui Tiong sudah bertahun-tahun tinggal di kota raja. Pernahkah dia melakukan pemberontakan? Saya sendiri baru keluar dari kuil Siauw-lim, ada pun para suhu di sana melarang saya ikut mencampuri urusan mereka yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng. Bagaimana bisa kami berdua mau melakukan tugas membunuh Putera Mahkota yang sama sekali tidak saya kenal dan sama sekali tak ada urusan dengan kami berdua? Kalau kami berpura-pura menaati perintah Pangeran Leng, hal itu hanya karena kami ingin menyelamatkan Sumoi Gui Siang Lin yang disandera.”

Tiba-tiba saja Pangeran Bouw Hun Ki berkata kepada puteranya. “Kun Liong, buka ikatan tangan dan kakinya!”

Sesudah mendengar cerita Kong Liang, Bouw Kun Liong juga menyadari bahwa pemuda Siauw-lim-pai ini tidak bersalah, maka mendengar perintah ayahnya, dia lalu melepaskan ikatan kaki dan tangan Kong Liang.

“Duduklah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.

Kong Liang mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas sebuah kursi.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu menyuruh para penjaga untuk mengurus keenam mayat itu. Lima buah mayat Ngo-liong itu dimasukkan ke dalam peti, akan tetapi jenazah Gui Tiong dirawat baik-baik, dimasukkan peti mati yang tebal dan diatur meja sembahyang di depan peti.

Dengan sedih Kong Liang bersembahyang di depan peti mati susiok-nya. Tidak hanya dia sendiri yang melakukan sembahyang, malah Nyonya Bouw juga ikut bersembahyang dan mengucapkan permintaan maaf karena ia telah salah mengerti dan membunuh Gui Tiong yang tidak berdosa. Tadinya, dengan marah Pangeran Bouw Hun Ki ingin mengirim lima jenazah Twa-to Ngo-liong kepada Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi Kong Liang sudah cepat mencegah dengan ucapan penuh hormat.

“Saya mohon Paduka suka mempertimbangkan kembali pengiriman lima jenazah Twa-to Ngo-liong itu kepada Pangeran Leng, karena kalau hal itu dilakukan, sudah pasti Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuh.”

“Hemm, memang pengiriman itu sebaiknya ditunda lebih dulu, biar aku dan Bu Kong Liang malam ini juga membebaskan gadis itu!” kata Nyonya Bouw.

Malam itu juga, dengan pakaian ringkas berwarna hitam, Bouw Hujin bersama Kong Liang menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng. Dalam perjalanan ini Bouw Hujin telah berunding dengan Kong Liang, mengatur siasat bagaimana caranya untuk membebaskan Gui Siang Lin.

Sesudah sampai di belakang gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang megah seperti istana, sesuai dengan rencana siasat mereka, Bouw Hujin menanti dalam kebun belakang dan Kong Liang langsung saja memasuki gedung lewat pintu depan. Beberapa orang petugas yang menjaga di situ segera menyambut dan mengenalnya.

Maka Kong Liang diantar masuk menuju ruangan dalam di mana telah menanti Pangeran Leng Kok Cun yang didampingi oleh Pat-chiu Lo-mo, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pangcu Louw Cin dan lima orang lainnya yang berpakaian sebagai perwira tinggi. Agaknya mereka itu adalah perwira-perwira yang mendukung Pangeran Leng.

Begitu Kong Liang memasuki ruangan itu dan prajurit yang mengawalnya meninggalkan ruangan, Pangeran Leng Kok Cun segera menyambut Kong Liang dengan pertanyaan penuh harapan.

“Bagaimana hasilnya tugasmu, Bu Kong Liang? Mana Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong?”

“Pangeran, saya harap Gui Siang Lin segera dibebaskan karena saya telah melaksanakan perintah Paduka,” kata Kong Liang.

“Nanti dulu, jangan tergesa-gesa. Ceritakan dulu kepada kami bagaimana hasil tugasmu itu!” kata Pat-chiu Lo-mo dan Pangeran Leng Kok Cun yang mendengar ini.

“Saya telah berhasil membunuh Pangeran Mahkota.”

“Akan tetapi di mana enam orang lainnya?” tanya pula Pangeran Leng.

“Mereka semua tewas. Kami mendapat perlawanan yang kuat. Saya berhasil masuk dan membunuh pangeran itu seperti yang Paduka perintahkan. Akan tetapi Susiok Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong tewas.” Pemuda itu lalu menoleh ke arah dalam di mana Siang Lin ditahan. “Saya harap sekarang juga Paduka membebaskan Nona Gui Siang Lin. Ayahnya telah melaksanakan perintah Paduka sampai mengorbankan nyawanya.”

“Bagus!” Pangeran Leng Kok Cun tersenyum gembira sekali mendengar bahwa Pangeran Kang Shi yang masih kanak-kanak itu telah berhasil dibunuh. Dia sama sekali tidak peduli mendengar betapa Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong yang membantunya itu tewas.

“Bebaskan gadis itu!” perintahnya kepada Phang Houw dan Louw Cin. “Bawa dia ke sini!”

“Nanti dulu!” Pat-chiu Lo-mo berseru menahan dua orang itu yang hendak melaksanakan perintah Pangeran Leng sehingga mereka berhenti melangkah. “Pangeran, sungguh tidak bijaksana jika membebaskan gadis itu sekarang. Sebaiknya Paduka tunggu sampai berita mengenai kematian Pangeran Mahkota Kang Shi disiarkan besok sehingga keterangan Bu Kong Liang ini benar!”

“Ahh, engkau benar, Lo-mo! Kita tunggu sampai besok pagi!” kata Pangeran Leng sambil memberi isyarat kepada dua orang pembantunya agar membatalkan perintahnya. Mereka pun duduk kembali.

Tahulah Kong Liang bahwa siasatnya yang pertama untuk membebaskan Gui Siang Lin sudah gagal dan dia harus menggunakan siasatnya yang ke dua. Dia mencabut sepasang tombak bercabang kemudian berseru kepada Pat-chiu Lo-mo. “Kakek busuk! Engkau tak percaya kepadaku berarti engkau menghinaku!” Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan siang-kek di kedua tangannya.

Pat-chiu Lo-mo cepat melompat ke belakang sambil menggerakkan tongkatnya.

“Kalau engkau laki-laki, mari keluar! Kita bertanding di luar gedung!” Kong Liang berseru lagi sambil melompat ke luar.

“Kejar dia!” Pat-chiu Lo-mo berseru sambil mengejar. “Pangeran, dia menipu kita!”

Mendengar ini, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pang Louw Cin dan lima orang perwira tinggi itu mencabut senjata masing-masing kemudian mengejar keluar.

Pangeran Leng Kok Cun yang mulai curiga terhadap Kong Liang segera memberi tanda kepada para penjaga di istananya untuk membantu Pat-chiu Lo-mo, bahkan dia sendiri juga keluar karena pangeran ini pun bukan orang lemah.

Kong Liang sudah bertanding melawan Pat-chiu Lo-mo dan tak lama kemudian dia sudah dikeroyok banyak orang. Akan tetapi pemuda itu membela diri dengan sangat gagahnya. Sepasang tombak pendek itu digerakkan sedemikian rupa hingga membentuk dua gulung sinar yang mengurung tubuhnya dan semua serangan pengeroyok itu dapat tertangkis.

Pengeroyok yang tidak begitu kuat, begitu senjatanya tertangkis, terhuyung atau bahkan ada yang senjatanya terpental dan terlepas dari pegangannya, karena jago muda Siauw-lim-pai ini mengerahkan tenaga saktinya.

Sementara itu, Bouw Hujin yang berada di atas atap, mendapat kesempatan baik. Selagi semua penjaga lari keluar untuk turut mengeroyok Kong Liang, maka penjaga Gui Siang Lin hanya enam orang pemanah yang berada di atas genteng dan yang siap membunuh gadis itu dengan anak panah mereka kalau ada isyarat Pangeran Leng Kok Cun seperti yang diperintahkannya.

Bouw Hujin yang ketika mudanya menjadi pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) yang mengintai dari atas, begitu melihat Kong Liang dikeroyok banyak orang di luar gedung, segera turun tangan. Beberapa kali kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar perak menyambar ke arah enam orang yang memegang busur dan anak panah itu.

Mereka segera roboh dan tubuh mereka terguling dari atap ke bawah. Bouw Hujin cepat membobol atap yang sudah dilubangi bagi para pemanah itu lalu dengan ringan tubuhnya melayang ke dalam kamar.

“Engkau Gui Siang Lin?” tanyanya kepada gadis yang duduk bersila di atas pembaringan. Siang Lin mengangguk.

“Hayo cepat, kita bantu Bu Kong Liang!” Bouw Hujin berkata dan dia segera memegang tangan Siang Lin lalu keduanya melompat ke atas melalui lubang di atas.

Cepat mereka berloncatan ke atas genteng istana itu dan begitu tiba di depan, Bouw Hujin kembali menyambitkan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak). Hanya dalam waktu singkat saja delapan orang pengeroyok telah tergeletak roboh. Hanya mereka yang berilmu cukup tangguh seperti Phang Houw, Louw Cin dan Pat-chiu Lo-mo yang mampu menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia itu, yaitu dengan menangkis sinar perak dengan senjata mereka.

Tetapi melihat betapa para perwira dan penjaga roboh, juga dalam waktu singkat delapan orang sudah roboh, mereka juga terkejut dan cepat berlompatan mundur. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Kong Liang untuk melompat dan menghilang dalam kegelapan malam.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar