Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 07

Tadi mereka datang menghadap Jaksa Ji tanpa membawa senjata. Gui Tiong yang sudah melarang murid keponakannya membawa senjata. Guru silat ini mengetahui bahwa pada masa itu, sudah dikeluarkan pengumuman bahwa rakyat yang bukan petugas pemerintah, dilarang membawa senjata. Setelah mereka berdua dimasukkan dalam sel, mereka duduk bersila di atas lantai batu yang keras dan dingin.

“Susiok, ini sangat tidak adil!” Kong Liang berkata lirih penuh penyesalan. “Jika saya yang dituduh sebagai pemberontak, kenapa Susiok juga ikut ditahan? Maka dalam persidangan pengadilan, harap Susiok jangan membela saya. Katakan saja terus terang bahwa saya datang berkunjung sebagai sesama murid Siauw-lim-pai, dan Susiok tidak tahu menahu tentang semua perbuatan saya. Kalau hanya saya yang dihukum maka saya akan mudah berusaha untuk meloloskan diri. Sebaliknya Susiok tidak mungkin melakukan perlawanan karena itu akan membahayakan diri Sumoi Siang Lin.”

Gui Tiong tersenyum, sikapnya tenang sekali. “Jangan khawatir, Kong Liang. Aku percaya bahwa Jaksa Ji tak bermaksud buruk. Seperti katanya tadi, dia hanya memenuhi perintah Pangeran Lu. Bagaimana kita akan bersikap dan bertindak, kita tunggu saja sampai nanti di pengadilan. Jangan risau. Dalam keadaan begini kita harus tetap tenang dan kita harus mengumpulkan tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan.”

Sore harinya, seorang penjaga mengantar makan dan minum untuk mereka, dimasukkan lewat sela-sela terali. Prajurit itu yang mengenal Gui Tiong berkata ramah. “Gui Kauwsu, kalau membutuhkan sesuatu, beri-tahu saja kepada kami.”

“Terima kasih,” kata Gui Tiong.

Mereka lalu makan minum dan makanan yang diberikan ternyata cukup baik. Gui Tiong memberi-tahu Kong Liang bahwa jika melihat makanan yang mereka terima itu saja sudah membedakan mereka dengan tahanan biasa. Agaknya mereka diperlakukan dengan baik dan kenyataan ini menunjukkan bahwa pembesar yang menyuruh menangkap mereka itu tentu mempunyai maksud lain.

Malam itu para penjaga penjara tampak sibuk sekali. Bahkan di depan sel yang ditempati Gui Tiong dan Bu Kong Liang kini dijaga belasan orang prajurit yang sudah siap dengan senjata di tangan. Namun mereka hanya berdiri tegap dengan sikap hormat, sama sekali tidak mengeluarkan suara.

Gui Tiong dan Kong Liang memandang kesibukan itu dari balik terali. Tak lama kemudian tampak seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tiga tahun, bertubuh bongkok dan mukanya buruk.

Orang tua ini tampak ringkih (lemah), akan tetapi dia berpakaian mewah sekali. Di tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat hitam, tangan kanannya memegang sebuah kipas dan di ikat pinggangnya terselip tujuh buah belati. Kalau melihat dandanannya, orang ini sama sekali tidak kelihatan garang menakutkan, melainkan tampak aneh dan lucu sekali. Tetapi jika orang mendengar namanya, dia tentu akan terkejut dan juga takut.

Kakek aneh ini adalah Pat-chiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan Delapan) yang namanya di dunia kangouw terkenal sebagai seorang yang sakti. Di samping ilmu tongkatnya yang hebat, ia pandai memainkan kipas yang kini dia pakai mengebuti badannya, sebagai senjata yang ampuh. Kipasnya itu disebut Yangliu-san (Kipas Cemara) karena bentuknya seperti pohon cemara. Selain itu, ilmunya menyambit dengan hui-to (belati terbang) juga amat dahsyat. Dia selalu membekali dirinya dengan tujuh batang belati yang dapat dia terbangkan untuk menyerang lawan. Pada saat itu Pat-chiu Lo-mo adalah seorang di antara para pembantu utama Pangeran Leng Kok Cun!

Di belakang kakek itu berjalan lima orang pria yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun. Kelima orang ini bertubuh tinggi besar dan tegap, tampak gagah. Mereka adalah saudara seperguruan yang terkenal dengan julukan Twa-to Ngo-liong (Lima Naga Bergolok Besar). Sungguh aneh kalau melihat betapa kakek bongkok yang tampak berpenyakitan itu malah menjadi pimpinan lima orang yang tampak kokoh kuat itu!

Setelah tiba di luar sel mereka berhenti dan kakek itu memandang ke arah Gui Tiong dan Bu Kong Liang.

“Kalian yang bernama Gui Tiong dan Bu Kong Liang?”

“Betul,” jawab Gui Tiong yang belum pernah bertemu dengan kakek itu karena memang Pat-chiu Lo-mo tidak pernah keluar dari istana Pangeran Leng Kok Cun.

“Hemm, ketahuilah kalian berdua, bahwa kami datang sebagai utusan Pangeran Leng Kok Cun untuk bertanya kepada kalian. Kalian dipersilakan memilih satu di antara dua pilihan. Pertama, kalian akan diadili sebagai pemberontak-pemberontak dan pasti akan dihukum mati. Ada pun yang ke dua, kalian akan bebas dari tuduhan kalau kalian mau membantu Pangeran Leng dan melaksanakan segala perintahnya, malah kalian juga akan menerima imbalan yang amat berharga. Nah, kalian memilih yang mana? Menolak, berarti diadili dan dihukum mati, kalau menerima, mari menghadap Pangeran Leng malam ini juga!”

Melihat sikap kakek bongkok ini, Kong Liang sudah merasa tak senang. Dia pun bertanya dengan suara tegas. “Kalau kami mau, lalu disuruh melakukan apa?”

“Hal itu akan ditentukan oleh Pangeran Leng sendiri! Bagaimana jawabanmu, Gui Tiong? Engkau menerima atau menolak tawaran Pangeran Leng?” tanya Pat-chiu Lo-mo.

“Kalau benar Pangeran Leng Kok Cun yang ingin agar kami membantunya, kenapa beliau tidak langsung saja menemui kami? Mengapa harus lebih dulu menangkap kami dengan tuduhan yang bohong? Lagi pula bagaimana kami tahu bahwa engkau benar-benar diutus oleh Pangeran Leng? Kami tidak mengenalmu, sobat,” kata Gui Tiong yang bersikap hati-hati.

“Hemm, bagaimana mungkin Pangeran Leng merendahkan diri berkunjung ke rumahmu, Gui Kauwsu? Tuduhan itu bukan fitnah. Engkau sudah menyembunyikan pemuda ini yang memberontak dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Agaknya engkau belum mengenal aku, bukan? Aku dikenal sebagai Pat-chiu Lo-mo dan bekerja membantu Pangeran Leng. Nah, cukuplah, cepat beri keputusan. Engkau menolak atau bersedia kubawa menghadap Pangeran Leng sekarang juga?”

Kini Gui Tiong dapat menduga bahwa penangkapan ini tentu atas perintah Pangeran Leng yang memiliki kekuasaan besar. Dia teringat akan cerita Bu Kong Liang betapa pemuda itu pernah bentrok dengan dua orang jagoan kaki tangan Pangeran Leng, yaitu Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin. Tentu karena itulah Kong Liang dianggap sebagai pemberontak.

Akan tetapi sebetulnya pemuda itu bukan seorang pemberontak, melainkan tanpa alasan dihadang dan diserang pasukan yang dipimpin dua orang jagoan itu. Dia mengerti bahwa kalau menolak, nyawa mereka pasti tak akan tertolong lagi. Akan tetapi kalau menyerah, apakah dia bersama murid keponakannya harus membantu Pangeran Leng yang bersaing dengan para pangeran lain untuk menjadi pengganti Kaisar?

Melihat paman gurunya bimbang dan ragu, Kong Liang menyentuh pinggangnya sebagai isyarat dan berkata, “Susiok, kita terima sajalah dan menghadap Pangeran Leng!”

Gui Tiong maklum bahwa penyerahan diri Kong Liang ini mungkin hanya siasat pemuda itu. Akan tetapi kakek itu adalah seorang yang sangat cerdik. Dia pun maklum dan dapat menduga bahwa mungkin sesudah keluar dari situ dan dibawa ke istana Pangeran Leng, dua orang ini akan melawan dan melarikan diri. Dia sudah mendengar akan kelihaian para murid Siauw-lim-pai ini, maka jika benar seperti yang dia duga, berarti dia membahayakan diri sendiri. Kalau mereka sampai lolos, tentu dia mendapat marah besar dari majikannya!

Walau pun dia sudah mengajak Twa-to Ngo-liong dan di luar masih ada dua losin prajurit yang akan mengawal dua orang tawanan ini menuju istana Pangeran Leng, namun kalau dua orang ini mengamuk, tetap saja ada bahaya mereka atau seorang dari mereka dapat lolos! Akan tetapi kakek bongkok ini tidak merasa khawatir, bahkan dia tertawa terkekeh-kekeh.

“He-he-heh-heh, jangan kalian berniat yang bukan-bukan. Cepatlah karena puterimu juga sudah menanti di sana, Gui Kauwsu!”

Seketika wajah Gui Tiong berubah pucat. “Apa? Anakku Siang Lin juga kalian tawan? Apa salahnya? Awas kalau ada yang berani mengganggu anakku!” teriaknya marah.

Kong Liang juga terkejut mendengar ini dan dia mengepal tinju. Memang tadi dia memberi isyarat kepada paman gurunya dengan maksud untuk mengajak paman gurunya melawan dan memberontak di tengah perjalanan menuju istana Pangeran Leng lalu melarikan diri. Akan tetapi mendengar bahwa Siang Lin sudah berada di tangan mereka, maka tentu saja dia pun merasa tidak berdaya!

“Heh-heh-heh, jangan marah dan jangan khawatir, Gui Kauwsu. Puterimu hanya diundang ke sana untuk meyakinkan kalian bahwa Pangeran Leng memang berniat baik. Jika kalian bersedia menjadi pembantunya dan menaati semua perintahnya, pasti semuanya berjalan dengan baik. Mari kita berangkat karena beliau sudah menunggumu! Bagaimana, engkau bersedia, Gui Kauwsu?”

Gui Tiong merasa tidak berdaya sama sekali. Kini puterinya disandera, maka tidak ada pilihan lain kecuali menyerah.

“Baiklah, Lo-mo, aku siap menghadap Pangeran Leng. Tetapi dia ini tidak ada urusannya denganku, maka harap segera dibebaskan. Aku yang siap membantu Pangeran Leng!”

“Tidak!” Bu Kong Liang berseru. “Aku yang menyebabkan semua ini maka aku harus ikut bertanggung jawab!”

“Bagus!” kata Pat-chiu Lo-mo. “Memang Pangeran Leng menghendaki kalian berdua yang ikut menghadap beliau!”

Kakek bongkok itu lalu memberi tanda kepada kepala penjara yang cepat membuka pintu sel tahanan itu. Gui Tiong dan Bu Kong Liang diperintah dan dibawa keluar. Di luar sudah menunggu dua losin prajurit dan kedua orang murid Siauw-lim-pai itu lalu dikawal menuju istana Pangeran Leng.

Kalau saja Siang Lin tidak berada di tangan Pangeran Leng, sudah pasti dua orang murid Siauw-lim-pai itu akan memberontak dan melarikan diri. Mereka tidak gentar menghadapi enam orang jagoan dan dua losin prajurit itu. Akan tetapi ditawannya Siang Lin membuat mereka tidak berdaya, tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah dan menurut.

Setelah tiba di gedung berupa istana megah itu, Gui Tiong dan Kong Liang dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan luas yang diterangi banyak lampu besar dan berisikan perabot rumah yang serba indah. Di situ telah duduk Pangeran Leng Kok Cun. Di luar ruangan itu berjaga banyak prajurit pengawal dan di belakang Sang Pangeran terdapat pula belasan orang yang duduk berjajar. Mereka tampak gagah dan menyeramkan.

Gui Tiong sudah pernah melihat Pangeran Leng Kok Cun, akan tetapi Bu Kong Liang baru sekarang melihatnya/ Dia memandang penuh perhatian.

Pangeran itu mengenakan pakaian yang indah gemerlapan. Usianya sekitar empat puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, akan tetapi matanya yang lincah dan tajam itu membayangkan kecerdikan, wibawa, serta kekuatan. Tidak mungkin orang yang memiliki pandang mata seperti itu adalah seorang yang lemah, pikir Kong Liang.

“Kalian berdua duduklah!” kata Sang Pangeran mempersilakan kedua orang itu duduk di atas kursi-kursi yang terdapat di situ.

“Terima kasih, Pangeran.” Mereka berkata dan keduanya lalu duduk berhadapan dengan Sang Pangeran.

Melihat betapa pangeran itu mempersilakan mereka duduk di atas kursi dan berhadapan dengannya, tidak harus berlutut di atas lantai, diam-diam Gui Tiong memuji pangeran ini sebagai orang yang pandai mengambil hati orang. Dia menjadi semakin hati-hati karena sikap ini saja sudah membayangkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang cerdik sekali.

“Apakah kalian berdua sudah mendengar keterangan Locianpwe Pat-chiu Lo-mo tentang mengapa kalian kini dihadapkan kepadaku di sini?” tanya pangeran itu, suaranya lembut dan manis.

“Saya sudah mendengar dan mengerti, Pangeran. Akan tetapi sebelum kita bicara lebih lanjut, saya mohon dapat diperbolehkan melihat apakah benar anak perempuan saya kini berada di sini.”

“Hemm, ternyata engkau seorang yang cerdik dan tidak mudah dibohongi, Gui Kauwsu. Hal ini semakin memperkuat harga dirimu sebagai pembantu kami yang dapat dipercaya. Ketahuilah bahwa kami bukan tukang bohong. Tentu saja engkau boleh melihat puterimu agar yakin bahwa puterimu berada di tangan kami yang menanggung keselamatannya.”

Pangeran Leng memberi isyarat kepada seorang pengawal yang duduk di belakangnya. Orang itu, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar, memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Tidak lama kemudian daun pintu yang menembus ruangan itu terbuka dan di ambang pintu muncul Gui Siang Lin dengan kedua kakinya memakai gelang rantai baja yang panjang dan di belakang gadis itu terdapat lima orang menodongkan pedang mereka ke arah gadis itu!

“Siang Lin...!” Gui Tiong berseru khawatir.

“Tenanglah, Ayah!” kata gadis itu dengan suara lantang dan berani. “Dan jangan sampai Ayah menurut saja bila disuruh melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati Ayah. Lebih baik aku mati dari pada Ayah harus melakukan perbuatan jahat. Aku tak takut mati, Ayah!”

Mendengar ini, Pangeran Leng cepat memberi isyarat dan daun pintu itu ditutup kembali. Gui Tiong hanya mendengar suara rantai yang tergantung pada kaki puterinya itu diseret ketika gadis itu meninggalkan ruangan itu.

“Ha-ha-ha, ayahnya naga, puterinya tentu naga pula! Sungguh mengagumkan sekali! Akan tetapi jika engkau tidak mau membantu kami, maka dengan hati berat terpaksa aku akan menyerahkan puterimu kepada puluhan orang prajurit yang boleh berbuat apa saja pada dirinya, bahkan sampai mati! Dia akan tersiksa lahir batin sampai mati, dan kalian berdua juga tidak akan terbebas dari hukuman mati!”

Ancaman ini sungguh hebat. Meski pun tidak takut mati, Kong Liang sendiri menjadi ragu apakah dia akan melawan dengan kekerasan kalau keselamatan Gui Tiong dan Gui Siang Lin terancam. Terutama sekali ancaman terhadap Siang Lin membuat dia bergidik ngeri dan juga membuat mukanya menjadi merah saking marahnya.

“Baik, demi keselamatan anak saya, saya menyerah dan bersedia membantu Pangeran. Akan tetapi, pekerjaan apakah yang harus saya lakukan?” tanya Gui Tiong.

“Nanti dulu, yang kami inginkan adalah agar kalian berdua yang menyerah dan membantu kami, mentaati semua perintah kami. Sekarang engkau belum menyatakan kesediaanmu membantu kami, Bu Kong Liang. Ingat, engkau pernah membunuh prajurit kerajaan. Jika engkau menolak untuk membantu kami, berarti engkau memang seorang pemberontak yang menentang kerajaan kami. Kalau engkau bukan pemberontak, tentu dengan senang hati engkau akan membantu kami!”

Bu Kong Liang mengerutkan alisnya dan merasa tidak berdaya. Sekarang dia tahu bahwa dua orang anak buah pangeran ini, Phang Houw dan Louw Cin yang pernah mengerahkan prajurit mengeroyoknya, tentu sudah melaporkan kepada Pangeran Leng.

Boleh saja dia menyangkal bahwa yang membunuh prajurit bukan dia melainkan Ang-mo Niocu, akan tetapi apa gunanya? Tetap saja dia harus menyerah dan menurut, jika tidak, tentu Gui Tiong dan Gui Siang Lin akan celaka. Maka ia pun diam saja dan menyerahkan percakapan itu kepada susiok-nya.

Sesudah menghela napas panjang akhirnya Gui Tiong berkata, “Baiklah, Pangeran, untuk membuktikan bahwa kami berdua sama sekali bukan pemberontak, kami menyerah dan akan menaati perintah Paduka dan bersedia untuk membantu.”

“Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, akulah yang akan melindungi kalian dan takkan ada yang berani menuduh kalian pemberontak. Kalian adalah pembantu-pembantuku, tidak mungkin memberontak!”

“Terima kasih, Pangeran. Harap Paduka jelaskan, perintah apa yang harus kami lakukan?” tanya Gui Tiong dengan perasaan amat tidak enak.

“Jangan tergesa-gesa. Malam ini kalian beristirahatlah dahulu. Besok baru akan kami beri-tahukan, apa yang harus kalian lakukan untuk kami.” Pangeran Leng lalu berkata kepada Pat-chiu Lo-mo untuk membawa dua orang murid Siauw-lim-pai itu ke kamar mereka.

Gui Tiong dan Bu Kong Liang lalu dikawal Pat-chiu Lo-mo, Twa-to Ngo-liong dan ditambah empat orang pengawal lain dari mereka yang duduk di belakang Pangeran Leng, masuk ke dalam dan ternyata mereka mendapatkan kamar yang terpisah. Mereka terkejut dan kecewa, akan tetapi tidak dapat menolak.

Begitu memasuki kamar masing-masing, kamar yang tak berapa besar tapi cukup bersih dan perabotnya serba mewah, mereka berdua lantas duduk bersila di atas pembaringan untuk mengendalikan perasaan sambil mengumpulkan tenaga. Dalam keadaan seperti itu mereka harus selalu tenang dan sehat agar jika sewaktu-waktu harus bertanding, mereka sudah siap.

Agak sukar bagi kedua orang itu untuk dapat tidur pulas. Gui Tiong lalu membayangkan puterinya dan hatinya langsung merasa khawatir bukan main. Sedangkan Bu Kong Liang memikirkan nasib ayah dan anak itu.

Mereka tertimpa mala petaka akibat kunjungannya ke rumah mereka. Andai kata dia tidak datang berkunjung, tentu Gui Tiong dan puterinya masih berada di rumah mereka dalam keadaan selamat. Dia merasa menyesal bukan kepalang dan di dalam hatinya mengambil keputusan untuk membela ayah dan anak itu sekuat tenaga.

Pada keesokan harinya mereka belum juga ditemui Pangeran Leng. Mereka diperlakukan dengan baik, bahkan diberi kesempatan bertemu dengan Gui Siang Lin. Gadis itu berada dalam sebuah kamar lain yang pintunya berterali kokoh dan kuat. Dari luar pintu, mereka dapat melihat keadaan dalam kamar itu yang indah dan bersih.

Gui Tiong dapat bicara dengan puterinya melalui daun pintu itu dan diberi waktu beberapa lamanya oleh para prajurit yang mengawal mereka. Lega hatinya ketika Gui Tiong melihat betapa puterinya berada dalam keadaan sehat.

“Engkau baik-baik saja, Siang Lin?” tanya Gui Tiong.

Gadis itu mengangguk. “Mereka menganggap aku sebagai seorang tamu, dan sejauh ini mereka memperlakukan aku dengan baik dan sopan, Ayah. Bagaimana dengan Ayah dan Bu Suheng?”

“Kami pun baik-baik saja,” kata Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk kepada gadis itu ketika mereka saling berpandangan.

“Ayah, apa arti penangkapan ini? Apakah rencana Pangeran Leng terhadap kita bertiga?”

Gui Tiong menghela napas panjang. “Kami diminta untuk menyerah dan bersedia menjadi pembantu Pangeran Leng dan menaati semua perintahnya.”

“Perintah apa yang diberikan kepada Ayah dan Suheng yang harus kalian lakukan?”

“Kami belum tahu, belum menerima perintah melakukan sesuatu untuk Pangeran Leng.”

Pada saat itu Gui Tiong merasa betapa lengannya disentuh Kong Liang. Dia menengok dan melihat pemuda itu menujukan pandang matanya ke arah kaki Siang Lin. Cepat Gui Tiong menoleh dan melihat betapa kedua kaki puterinya tidak dibelenggu lagi, dia maklum isyarat apa yang diberikan pemuda itu. Setelah Siang Lin bebas tidak terbelenggu, tentu Kong Liang berpikir bahwa kini mereka bertiga dapat melawan dan melarikan diri dari situ.

Akan tetapi semenjak tadi Gui Tiong sudah melihat sesuatu dan kini dia memberi isyarat kepada Kong Liang dengan matanya mengerling ke atas. Pemuda itu memandang ke atas dan dia pun terkejut karena di atap kamar itu terdapat lubang-lubang dan tidak kurang dari enam batang anak panah tampak sudah siap diluncurkan ke bawah! Ini berarti bahwa di atas atap itu terdapat enam orang pemanah yang selalu siap menyerang Siang Lin.

Agaknya, bagaimana pun lihainya gadis itu, bila berada dalam kamar dan diserang enam batang anak panah dan tentu saja dapat disusul anak panah berikutnya, sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri. Apa lagi Kong Liang melihat betapa mata anak panah itu hijau kehitaman, tanda bahwa mata anak panah itu beracun.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar