Dewi Sungai Kuning Jilid 07

Ketika mereka tiba di tempat terang dan saling memandang maka kedua-duanya terkejut dan kagum. Thian Hwa melihat bahwa Si Baju Putih itu, yang sesungguhnya Pangeran Cu Kiong sendiri, ternyata adalah seorang pria muda yang berwajah sangat tampan.

Mukanya bulat putih dengan sepasang mata yang lebar dan terang, dihias sepasang alis mata yang panjang hitam berbentuk golok sehingga paras yang cakap itu tampak gagah sekali. Pakaiannya yang putih itu pinggirnya disulam dengan benang emas indah sekali dan sikap serta gerak gayanya lemah lembut menandakan bahwa dia seorang terpelajar.

Thian Hwa kagum sekali karena meski pun tampaknya demikian sopan santun dan lemah lembut lagi masih muda, namun dari gerakannya ketika mengelit serangannya tadi ia tahu bahwa pangeran itu pun memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Sebaliknya, ketika melihat wajah Thian Hwa di bawah sinar penerangan lampu, Pangeran Cu Kiong menjadi kagum sekali dan menatap wajah yang cantik itu dengan hati tertarik. Tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis pendekar yang gagah perkasa itu ternyata masih sangat muda dan memiliki kecantikan yang luar biasa pula.

Karena kedua-duanya saling pandang, maka akhirnya mereka sama-sama menundukkan muka dan wajah Thian Hwa menjadi merah karena segan dan malu. Heran sekali! Belum pernah dia merasa malu di bawah pandang mata laki-laki dan dia merasa betapa dadanya berdebar aneh!

“Lihiap, silakan duduk.” kata Cu Kiong dengan ramah dan cepat dia perintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan.

“Jangan berlaku sungkan, Kongcu,” kata Thian Hwa dengan sikap hormat, lalu ia duduk di atas sebuah bangku yang terukir indah, menghadapi meja, sementara Cu Kiong duduk di hadapannya.

“Kongcu, bagaimana bisa tahu bahwa aku telah bertempur dengan iblis tua itu?” tiba-tiba Thian Hwa bertanya, karena ia tadi memang heran ketika mendengar kata-kata pangeran itu yang seakan-akan telah mengetahui akan kejadian-kejadian yang dialaminya di gedung Pangeran Leng.

“Tentu saja aku tahu, Nona. Bahkan aku tahu pula bahwa kau diperintah oleh Pangeran Leng untuk membunuhku!” katanya dengan senyum.

“Aku... aku tidak menyanggupinya!” Thian Hwa cepat memotong.

Cu Kiong perlihatkan senyumnya yang menarik. “Tentu saja. Aku pun tidak akan percaya bahwa seorang seperti kau ini dapat berwatak sekejam itu, membunuh aku yang tidak kau kenal sama sekali!”

Mendengar pujian ini, kembali Thian Hwa merasa dadanya berdebar.

“Tapi bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Kongcu?”

“Kau ingin tahu? Nah, mari kuperkenalkan kau dengan para pembantuku!” Pangeran Cu Kiong lalu bertepuk tangan tiga kali.

Mendadak dari segenap penjuru, melalui pintu, jendela dan juga melayang turun dari atas genteng, muncullah tujuh orang setengah tua yang mempunyai gerakan gesit dan ringan sekali. Thian Hwa terkejut sekali karena maklum bahwa kepandaian tujuh orang ini sangat tinggi!

“Perkenalkan, inilah Kam-keng-chit-sian, Tujuh Dewa dari Kamkeng!” kata Pangeran Cu Kiong dan ketujuh orang itu dengan tersenyum menjura di depan Thian Hwa yang segera berdiri membalas hormat mereka. Dia belum pernah mendengar nama ini, tetapi dia dapat menduga bahwa mereka ini tentu tokoh-tokoh ternama di daerah utara.

“Lihiap, ilmu pedangmu sungguh membuat kami takluk dan tidak kosonglah nama Huang-ho Sui-mo, Suhu-mu yang tersohor itu!” kata seorang di antara mereka.

Pangeran Cu Kiong lantas mempersilakan mereka semua duduk dan malam itu diadakan perjamuan makan minum untuk menghormat Thian Hwa. Mereka bercakap-cakap dengan gembira sekali dan Thian Hwa mendapat kesan baik dari mereka. Ia menganggap bahwa ketujuh orang itu bersikap baik dan sopan, sedangkan pangeran muda yang tampan itu betul-betul telah memikat hatinya dan membuat ia tertarik sekali.

Pada kesempatan ini gadis itu diberi-tahu bahwa Cu Kiong banyak dimusuhi bangsawan-bangsawan yang menjadi durna dan penjilat kaisar, dan bahwa pangeran muda ini sudah beberapa kali hendak dibunuh. Oleh karena inilah maka dia mempelajari ilmu silat, bahkan sudah mengundang Kam-keng-chit-sian untuk menjadi pengawalnya.

Kemudian pangeran yang masih muda dan tampan itu memerintahkan para pengawalnya untuk mengundurkan diri, ada pun dia sendiri masih bercakap-cakap berdua dengan Thian Hwa. Sikapnya selalu ramah tamah dan sopan sehingga Thian Hwa merasa betah di situ.

“Lihiap, kau seorang gadis muda yang berasal dari daerah selatan, mengapa sampai bisa datang di kota raja? Dan mengapa pula kau sampai dapat berhubungan dengan orang-orang macam Pangeran Leng itu?”

Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya dengan terus terang. Dia menganggap pangeran ini amat baik dan jujur, maka pantaslah kalau dia minta tolong dan menaruh kepercayaan kepadanya.

“Demikianlah,” dia mengakhiri ceritanya. “Aku yang muda dan bodoh ini sampai menjadi nekad dan datang ke kota besar ini untuk mencari kedua orang tuaku.”

Cu Kiong memandangnya dengan penuh keheranan terbayang pada wajahnya yang putih. “Kau katakan tadi bahwa orang tuamu adalah bangsawan di kota raja ini?”

Thian Hwa mengangguk. “Demikianlah kalau menurut penuturan kakekku. Katanya ibuku adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tanda bintik kecil hitam di atas bibir sebelah kiri. Sayang sekali kakekku tidak tahu siapa ibuku atau ayahku...” kata Thian Hwa sedih.

Ketika ia menceritakan hal ini, kebetulan sekali pelayan laki-laki yang sudah tua dan amat hormat sikapnya sedang membersihkan meja dan mengangkut semua sisa makanan atas perintah Cu Kiong. Tadinya kakek tua ini bekerja sambil menundukkan muka, tapi ketika ia mendengar cerita Thian Hwa, agaknya dia menjadi terharu dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan Thian Hwa tak sengaja sedang memandangnya pula.

Untuk sesaat pelayan itu membelalakkan mata, kemudian dia menunduk kembali. Thian Hwa melihat wajah yang baik dan sabar, bahkan dia merasa seakan-akan wajah orang tua itu tidak asing baginya.

Setelah orang tua itu mengangkut pergi semua sisa makanan, Cu Kiong berkata, “Nona, percayalah kepadaku. Aku akan memerintahkan orang-orangku untuk mencari keterangan perihal puteri bangsawan yang mempunyai tahi lalat kecil di bibir kirinya, barang kali saja usahaku ini akan berhasil baik.”

Thian Hwa buru-buru berdiri dan menjura sambil mengucapkan terima kasih.

“Harap Kongcu maafkan aku, karena sekarang juga aku harus pergi. Tidak baik kalau aku mengganggumu, tetapi besok sore aku akan datang lagi mendengar hasil pertolonganmu itu.”

Pangeran Cu Kiong buru-buru mencegah. “Jangan kau pergi, Nona. Apakah bedanya jika kau menginap di dalam gedung ini? Lagi pula kau sudah menjadi musuh Pangeran Leng, dan kau tidak akan aman tinggal di luar. Kau tinggallah untuk sementara waktu di gedung ini sampai kau bisa bertemu dengan orang tuamu. Jangan khawatir, rumah ini mempunyai banyak kamar dan kau akan terjamin. Anggaplah ini sebagai rumah sendiri atau sebagai rumah saudaramu!” Sambil berkata demikian, pangeran itu tersenyum ramah.

Sesudah dibujuk-bujuk, akhirnya Thian Hwa tidak dapat menolak lagi, dan dengan girang sekali Cu Kiong memanggil pelayan, “Losam...!”

Pelayan tua yang tadi membersihkan meja muncul dari pintu samping dan menghampiri mereka.

“Losam, tolong antarkan Nona ini ke kamar tamu di bagian kiri. Berikan kamar paling baik yang terletak di ujung itu, dan selanjutnya suruh pelayan-pelayan wanita melayani segala keperluannya. Ingat, Siocia ini harus dilayani baik-baik agar betah tinggal di sini.”

Thian Hwa menghaturkan terima kasih lalu ikut pelayan itu menuju ke bangunan sebelah kiri yang besar dan di depannya penuh dengan kembang-kembang indah di dalam taman kecil yang mengitari bangunan itu.

Ketika mereka tiba di situ, Losam langsung disambut oleh beberapa orang pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik kemudian dihujani pertanyaan. Dengan suara sabar Losam memperkenalkan Thian Hwa sambil menyampaikan pesan majikannya. Pelayan-pelayan wanita itu dengan sikap hormat dan ramah lalu mengajak Thian Hwa memasuki kamarnya sehingga gadis itu merasa malu dan berterima kasih sekali.

Pangeran Cu Kiong bersikap demikian baik terhadap Thian Hwa hingga dia memerlukan mengirimkan beberapa setel pakaian yang indah kepada gadis itu, dan dia minta kepada Losam untuk mengantarkannya. Thian Hwa merasa malu dan tak enak hati melihat segala kebaikan ini. Dia menerima pakaian itu, tetapi tidak mau memakainya dan tetap memakai pakaiannya sendiri yang sederhana.

Ketika malam hari itu Thian Hwa keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman bunga, ternyata bahwa di belakang semua bangunan besar itu masih ada sebuah kebun bunga yang amat luas dan indah, bahkan di tengah-tengah taman terdapat kolam air yang lebar dan dalam serta airnya jernih sekali.

Thian Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil tumbuh besar di atas air Sungai Huang-ho, maka kini melihat air yang jernih itu, tidak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk mandi. Dia melihat betapa keadaan di situ sunyi tiada orang, maka segera dia tanggalkan pakaian luar sehingga kini hanya memakai pakaian mandi yang ringkas. Setelah itu ia lalu terjun ke dalam air yang dingin itu!

Ia berenang ke sana ke mari sambil menangkapi ikan-ikan emas yang menjadi kaget dan ketakutan karena tiba-tiba saja tempat mereka terganggu oleh suatu makhluk aneh yang menangkapi mereka lantas dilepas lagi berulang-ulang!

Thian Hwa merasa amat gembira. Ia tersenyum-senyum sambil memetik setangkai bunga teratai putih yang mekar berseri di permukaan kolam itu. Dia tidak tahu mengapa hatinya begitu girang dan bahagia. Ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang mendatangkan rasa nikmat di dalam hatinya dan bayangan Pangeran Cu Kiong yang tampan dan tersenyum-senyum itu tidak pernah meninggalkan bulu matanya!

Ah, alangkah baiknya orang-orang bangsawan ini, pikirnya. Tentu ayah ibunya juga sebaik Cu Kiong, dan dia percaya penuh pangeran yang baik hati itu tentu akan sanggup mencari keterangan tentang ayah ibunya.

Ia tidak tahu bahwa dari balik sebatang pohon, sepasang mata memandangnya dengan penuh gairah dan kagum. Kemudian orang yang mengintai itu keluar, seakan-akan tidak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia bertindak mendekati kolam, lalu berseru kaget.

“Ah, Thian Lihiap! Kiranya kau. Sungguh aku kaget sekali. Kukira siapa yang pada malam sekali begini mandi di sini!”

Thian Hwa kaget sekali dan cepat-cepat menengok. Ternyata Pangeran Cu Kiong sedang berdiri sambil memandangnya dengan mata kagum. Biar pun pada saat itu yang tampak hanya kepalanya saja, tetapi Thian Hwa merasa begitu malu sehingga dia pun buru-buru menyelam! Cu Kiong tertawa geli lantas membalikkan tubuh memandang ke lain jurusan, tetapi masih berdiri di tempat itu.

Di dalam air Thian Hwa merasa betapa dadanya berdebar keras dan napasnya terengah-engah. Ia merasa malu sekali untuk muncul lagi. Namun akhirnya ia tidak kuat menahan napasnya lalu munculkan kepalanya dengan perlahan dan hati-hati di belakang daun-daun dan bunga teratai. Dia melihat betapa Cu Kiong berdiri membelakanginya dan pemuda itu berkata,

“Nona, kalau kau sudah muncul lagi, katakan apakah aku harus pergi? Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengan kau! Tapi kalau kau menghendaki supaya aku pergi, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”

Thian Hwa berkata dengan suara lemah. “Kongcu, jangan kau melihat ke sini dulu!”

Terdengar pemuda itu tertawa dan menjawab, “Ha-ha-ha, kau anggap aku orang rendah macam apakah?”

Thian Hwa girang sekali mendengar ini. Ternyata pemuda itu benar-benar orang sopan dan baik. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia keluar dari air dan cepat-cepat berganti pakaian di balik pohon kembang dekat kolam itu. Pakaiannya yang basah ia letakkan di atas sebuah batu yang merupakan patung barongsai. Kemudian, sesudah mengenakan pakaiannya, ia keluar dan berkata sambil tertawa.

“Sekarang kau boleh melihat, aku sudah selesai.”

Cu Kiong cepat memutar tubuhnya dan memandang gadis itu dengan mata kagum. Sinar bulan menyinari wajah yang ayu itu. Thian Hwa menggunakan teratai yang dipetiknya tadi untuk menghias rambutnya yang hanya diikat ke atas secara sembarangan saja sehingga kecantikannya yang asli benar-benar mempesonakan.

Cu Kiong maju beberapa tindak dengan perlahan. Setelah dekat dengan gadis itu, barulah dia berhenti dan menatap wajahnya sambil berbisik, “Nona kau... kau... cantik sekali...”

Kalau saja yang berkata itu orang lain, tentu Thian Hwa akan marah sekali. Tetapi yang memujinya adalah pemuda yang memang selalu membayang di depan matanya, pula Cu Kiong mengucapkan pujian itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan maksud kurang ajar, maka Thian Hwa hanya menundukkan muka dengan malu-malu.

Cu Kiong maju setindak lagi dan tahu-tahu dengan halus perlahan ia pegang dua tangan Thian Hwa sambil berkata, “Sungguh, Nona, selama hidupku belum pernah aku melihat seorang secantik kau...”

Thian Hwa merasakan betapa seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya berdebar keras. Mukanya terasa panas dan kepalanya pening. Dia hendak menarik tangannya namun tak kuasa menggerakkan tangan itu dan terasa olehnya betapa mesra dan lembutnya tangan pemuda itu memegang tangannya.

Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap tindakan kaki orang, maka cepat sekali Thian Hwa menarik tangannya dan meloncat menghadapi orang yang datang itu. Betapa kagetnya melihat bahwa yang datang adalah Pat-chiu Lo-mo dan tiga orang lain dengan senjata di tangan dan sikap mengancam.

Melihat ini terkejutlah Cu Kiong dan dia segera bertepuk tangan tiga kali. Akan tetapi para pembantunya tidak muncul dan Iblis Bongkok itu tertawa mengejek.

“Ha-ha-ha! Kaki tanganmu tak mungkin datang, mereka sendiri sedang sibuk membela diri dan menjaga supaya nyawa mereka jangan melayang!” Kemudian Pat-chiu Lo-mo segera maju dan menggerakkan tongkatnya ke arah Cu Kiong.

Tapi Thian Hwa berseru nyaring dan ia maju menotok iga iblis itu dengan hebat. Terpaksa Si Bongkok menarik kembali tongkatnya dan kini dia melayani Thian Hwa. Kemudian tiga orang lainnya yang bersenjata pedang maju pula mengeroyok Thian Hwa sehingga gadis itu menjadi sibuk sekali, tetapi dia masih ingat untuk berseru kepada Cu Kiong.

“Kongcu, lekas kau pergi, biar aku menahan mereka ini!” Thian Hwa khawatir kalau-kalau pangeran itu mendapat celaka karena dia maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih terlampau rendah untuk melayani para penyerbu yang ternyata berkepandaian tinggi ini.

Namun Cu Kiong tidak mempedulikan teriakan Thian Hwa, bahkan dia cepat mengangkat sebuah bangku yang terdapat di kolam itu lalu menggunakan barang ini sebagai senjata. Dia meloncat menerjang pengeroyok Thian Hwa sambil berseru. “Niocu, jangan takut, aku bantu kau!”

Thian Hwa menjadi sibuk sekali karena untuk menjaga diri sendiri dengan tangan kosong terhadap empat pengeroyok saja sudah sangat sukar baginya, apa lagi kini dengan turut campurnya Cu Kiong, gerakannya makin kalut karena ia harus menjaga pemuda itu pula!

“Kongcu, pergilah kau!” teriaknya sekali lagi, tetapi Cu Kiong bahkan menyerang Pat-chiu Lo-mo dengan hebat!

Si Bongkok itu melihat datangnya serangan bangku, cepat menangkis dengan tongkatnya sedemikian rupa sehingga bangku itu terpental kembali dan menghantam dada Cu Kiong yang terpental jauh dan tercebur ke dalam kolam!

Melihat ini, hampir saja Thian Hwa menjerit ngeri dan ia lalu mengeluarkan pukulan Kwan Im yang hebat. Dengan gerakan yang tak terduga-duga sama sekali oleh lawan-lawannya, tubuhnya bergerak secepat kilat hingga mata para lawannya menjadi kabur dan tahu-tahu seorang pengeroyok sudah kena tertotok pundaknya hingga tubuhnya menjadi lemas dan roboh.

Pengeroyok yang lain menjadi terkejut dan segera meloncat mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk meloncat terjun ke dalam kolam. Dia menyelam dan memegang tubuh Cu Kiong yang telah lemas dan tenggelam kemudian cepat mengangkat pemuda itu keluar dari kolam. Karena para lawannya tidak pandai berenang, maka mereka hanya menanti dengan senjata di tangan.

Melihat hal ini, Thian Hwa lantas melihat ke kanan kiri dan ia melihat sebuah besi tempat gantungan lampu di tengah kolam. Besi itu sengaja dipasang untuk dipakai menggantung lampu dan memperindah kolam itu.

Thian Hwa lalu menggunakan tangan kanannya mencabut besi itu dan dengan tangan kiri memeluk tubuh Cu Kiong yang pingsan, ia cepat berenang ke tepi kolam. Tetapi musuh-musuhnya telah menunggu di situ dengan senjata mengancam sehingga ia menjadi sibuk sekali.

Tiba-tiba Thian Hwa membawa tubuh pemuda itu menyelam sehingga tidak nampak oleh musuhnya. Sejenak kemudian tahu-tahu dia sudah muncul di tepi lain sambil mengangkat tubuh Cu Kiong ke pinggir, dan dia sendiri lalu meloncat ke tepi dengan besi itu melintang di kedua tangan.

Pat-chiu Lo-mo dan kawan-kawannya cepat mengejar dan kini Thian Hwa dapat melayani mereka dengan baik karena besi itu merupakan senjata tongkat yang amat hebat. Karena bingung dan marah sekali melihat Cu Kiong terluka, ia langsung mengamuk hebat dengan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Dengan gerakan-gerakan kilat akhirnya dia berhasil menyerampang kaki seorang lawan. Sebelum rasa kaget mereka hilang, tahu-tahu ujung besi di tangannya dengan gerak tipu Heng-cia-jip-te atau Kauw-ce-thian Masuk ke Dalam Tanah dia menyerang lutut Pat-chiu Lo-mo dari atas. Serangan ini hebat bukan main karena menyambarnya besi sukar untuk ditangkis.

Terpaksa Si Bongkok yang menjadi kaget sekali itu meloncat tinggi untuk menghindarkan kaki atau lututnya dari serangan orang. Tetapi pada saat tubuhnya masih di tengah udara, Thian Hwa yang menjadi sengit sudah memutar tongkatnya dan menggunakan ujung yang sebelah lagi untuk menghantam dada Si Bongkok yang lihai itu.

Pat-chiu Lo-mo tak dapat berkelit mau pun menangkis, sudah tak keburu karena gerakan gadis itu luar biasa cepatnya. Maka dia lalu mengumpulkan lweekang-nya di bagian dada sambil menahan napas.

“Bukkk!”

Ujung besi yang melanggar dada itu menjadi bengkok! Tapi tubuh Si Bongkok itu terpental jauh dalam keadaan roboh pingsan karena dia mendapat luka di dalam dadanya!


Kedua pengeroyok lain melihat hal ini lalu meloncat mundur karena jeri, tetapi Thian Hwa tidak mempedulikan mereka lagi. Ia lalu menghampiri Cu Kiong yang masih rebah dengan memejamkan mata.

“Kongcu... Kongcu...” dengan bingung Thian Hwa menggoyang-goyang tubuh Cu Kiong, tapi pemuda itu tidak bergerak dan wajahnya pucat sekali.

Thian Hwa tidak tahu bahwa kedua musuhnya yang belum roboh masing-masing segera memondong seorang kawan yang terluka dan sudah meninggalkan tempat itu karena jeri terhadapnya.

Dengan bingung dan sedih gadis itu lalu memondong tubuh Cu Kiong dan membawa lari ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh itu di atas pembaringan kemudian memeriksa dadanya setelah merobek baju pemuda itu. Ia baru bernapas lega setelah melihat dada itu hanya mendapat luka di kulit saja hingga mengeluarkan sedikit darah dan menjadi matang biru. Yang membuat pemuda itu pingsan adalah akibat tenggelam ke dalam air tadi.

Thian Hwa memanggil-manggil pelayan tapi tak seorang pun yang muncul, karena semua pelayan agaknya sudah lari bersembunyi! Ia lalu melenyapkan semua perasaan malu dan menggunakan kain tilam pembaringan yang dirobeknya untuk membalut dada pemuda itu. Ia bingung sekali karena pakaian pemuda itu dan pakaiannya sendiri basah kuyup.

Pada saat itu Cu Kiong siuman dari pingsannya. Dia heran dan bingung sekali, tetapi dia segera teringat akan kejadian tadi. Cepat sekali dia meloncat bangun lalu melihat ke arah dadanya yang telanjang dan kini telah dibalut. Akhirnya dia memandang Thian Hwa yang pakaiannya basah kuyup, sama dengan pakaiannya sendiri.

“Thian Hwa... Nona... kau... kau telah menolong jiwaku...?”

“Sudahlah jangan ribut-ribut, kau perlu istirahat,” kata Thian Hwa dengan wajah merah dan mendekati pemuda itu yang segera ia pegang pundaknya untuk didorong agar tidur lagi.

“Eh, di manakah Kam-keng-chit-sian, mengapa mereka tidak muncul?” tiba-tiba Cu Kiong teringat akan para pengawalnya yang benar saja tidak muncul. Segera Thian Hwa teringat juga.

“Bukankah Si Bongkok tadi berkata bahwa mereka juga diserang? Tentu sekarang terjadi pertempuran hebat di atas gedung! Biar aku pergi melihatnya!”

Tapi Cu Kiong cepat memegang tangan Thian Hwa sambil berkata lirih, “Biarlah, Moi-moi, jangan tinggalkan aku lagi...”

Sekali lagi gadis itu menjadi lemas dan kepalanya terasa pening, tidak kuasa melepaskan diri dari pegangan tangan pemuda itu.

“Kongcu, kau perlu berganti pakaian yang kering, kau bisa sakit dalam pakaian basah ini,” katanya perlahan.

“Kau sendiri bagaimana?” kata Cu Kiong berbisik. “Pakaianmu sendiri juga basah kuyup.” Suaranya mengandung kasih sayang yang memabukkan kepala Thian Hwa.

Pada saat itu terdengar suara seorang di antara Kam-keng-chit-sian di luar pintu kamar. “Thaijin, apakah kau selamat saja?”

Tanpa membuka pintu atau bangun dari pembaringan Cu Kiong menjawab, “Aku tidak apa-apa, bagaimana dengan kalian?”

“Musuh telah terusir pergi, hanya seorang di antara kami mendapat luka.”

“Sudahlah, besok saja kita bicarakan!” pangeran itu berkata dan semua pengawal itu pergi lagi ke kamar masing-masing…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar