Jodoh Si Naga Langit Jilid 27

Thian Liong dan Bi Lan melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah, namun atas nasihat Thian Liong, mereka melakukan perjalanan secara santai karena selain hal ini akan lebih memudahkan mereka dalam mencari keterangan tentang dua orang murid Ouw Kan itu, juga tidak akan terlalu banyak menguras tenaga. Kalau malam tiba, mereka menginap di rumah penginapan sebuah kota, dan bila perjalanan terpaksa tertunda pada waktu malam selagi mereka berada di hutan, mereka pun bermalam di tengah hutan.

Selama melakukan perjalanan ini, keduanya saling tertarik. Han Bi Lan atau Han melihat kenyataan bahwa Souw Thian Liong adalah seorang pemuda yang sederhana, baik budi, rendah hati dan lembut.

Sebaliknya Thian Liong juga melihat bahwa Han Bi Lan adalah seorang gadis yang walau pun wataknya keras namun memiliki jiwa pendekar yang gagah. adil, pembela kebenaran dan... entah mengapa, segala gerak geriknya, cara dia berbicara, memandang, semua itu tampak amat menarik hati, membuat dia terkagum-kagum dan terpesona.

Di dalam lubuk hatinya Thian Liong membandingkan gadis ini dengan para gadis lain yang pernah dekat dengannya seperti Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai, Ang Hwa Sian-li atau Thio Siang In, dan banyak lagi gadis lain yang pernah bertemu dengannya.

Pada suatu siang mereka sampai di sebuah hutan di lereng bukit yang tidak terlalu besar. Thian Liong mengerling ke samping dan melihat gadis yang menyamar pria itu melangkah dengan tegap di sampingnya. Caping lebar dan mantel longgar yang menutup kepala dan badannya, menyembunyikan keaslian dirinya sebagai wanita.

Thian Liong menghela napas panjang. Mengapa dia tertarik dan berpikir yang bukan-bukan terhadap Bi Lan? Dia mencela pikirannya sendiri. Dia tahu bahwa Han Bi Lan oleh orang tuanya sudah dijodohkan dengan Kwee Cun Ki pemuda yang gagah dan tampan, putera Panglima Kwee yang namanya sangat terkenal, setia kepada Kaisar, bijaksana dan jujur itu! Dia harus membuang jauh-jauh khayalan hampa itu!

“Apa yang kau katakan?”

Tiba-tiba Thian Liong seperti terseret turun ke alam kenyataan dari lamunannya tadi. Dia menoleh kepada Han dan balas bertanya.

“Mengatakan apa? Aku tidak bicara...”

“Hemm, aku mendengar engkau tadi berkata-kata dengan bisikan.”

Thian Liong terkejut bukan kepalang. Jangan-jangan jalan pikirannya dalam lamunan tadi tanpa sadar telah terucapkan olehnya! “Oh... itu? Aku... aku tadi hanya bicara kepada diri sendiri bahwa... perutku lapar sekali...”

“Gila!” Han tertawa. “Perut lapar mengapa bicara kepada diri sendiri? Katakan saja dan kita dapat mencari makanan untuk perutmu yang gembul itu!”

“Ahh, aku malu untuk bilang bahwa perutku lapar.”

“Nah, itu sudah bilang! Mengapa tidak malu?”

“Ini namanya sudah terlanjur ketahuan!”

Mereka berdua tertawa. Akan tetapi suara tawa itu terhenti ketika tiba-tiba belasan orang muncul di hadapan mereka. Agaknya mereka itu tadi bersembunyi dan ketika Thian Liong dan Han tiba di situ, barulah mereka berlompatan keluar dari balik semak dan pohon.

Semuanya ada tiga belas orang, dipimpin seorang lelaki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan mukanya hitam. Laki-laki itu memegang sepasang golok besar, sedangkan dua belas orang kawannya semua memegang sebatang golok! Melihat penampilan mereka ini, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan penjahat, mungkin perampok.

Han tersenyum kepada Thian Liong sambil berbisik, “Nah, ini sudah datang para pelayan yang akan mencarikan makan untuk perutmu!”

Thian Liong tersenyum. Gadis ini memang pemberani dan di balik kekerasan hatinya, dia itu sebenarnya periang, jenaka dan nakal walau pun selama dalam perjalanan dia sering melihat Han bermuram durja tanpa mau mengatakan apa yang merisaukan hatinya.

Kepala perampok itu tertawa bergelak melihat dua orang pemuda yang tampaknya lemah itu. Dia tidak dapat mendengar jelas ucapan Han kepada Thian Liong karena Han hanya berbisik saja.

“Hoa-ha-ha, dua ekor anak ayam ini tidak banyak bulunya! Akan tetapi lumayan juga, dari pada ini hari kosong tidak ada pemasukan sama sekali!”

“Twako, siapa tahu di dalam buntalan mereka itu terdapat apa-apa yang berharga!” kata seorang di antara para anak buah perampok.

“Ha, benar juga! Hei, kalian dua orang bocah! Cepat tanggalkan buntalan dari pundakmu, juga tanggalkan pakaian luar dan sepatu kalian di sini. Barulah kami mau melepaskan dan membolehkan kalian melanjutkan perjalanan!”

“Ehh, muka hitam buruk seperti lutung! Kalau kami tidak mau, bagaimana?”

Muka yang sudah hitam itu menjadi makin hitam. Bagi orang lain yang kulit mukanya agak bersih mungkin akan tampak merah saking marahnya mendengar ucapan Han yang amat merendahkan dan mengejek itu. Dua belas orang temannya juga menjadi marah dan juga merasa heran sekali mendengar ada orang muda lemah berani bicara sedemikian kurang ajarnya kepada pemimpin mereka.

“Bangsat kurang ajar kamu! Kawan-kawan, tangkap dia! Kita gantung di pohon!” Si Muka Hitam membentak dan memerintahkan kawan-kawannya.

Karena mereka juga marah, dua belas orang anak buah perampok itu lalu mengepung Han yang menjauhkan diri dari Thian Liong sehingga hanya dialah yang dikepung. Thian Liong sendiri sambil tersenyum lalu duduk di atas akar pohon yang tersembul pada permukaan tanah dan menonton. Dia ingin sekali melihat apakah nasihat-nasihatnya diturut oleh Han, yaitu bahwa amat tidak baik kalau membunuh orang. Para penjahat ini mencari penyakit, pikirnya.

Dengan wajah bengis dua belas orang itu mengancam dan menyeringai menakutkan, lalu serentak maju sambil mengulurkan tangan-tangan mereka yang berotot dan besar untuk menangkap pemuda itu. Mereka hendak menangkap Han dan menggantungnya di pohon seperti yang diperintahkan pemimpin mereka tadi.

Si Muka Hitam berdiri bertolak pinggang sambil tertawa. Dia ingin segera melihat pemuda yang menghinanya tadi tergantung sampai mati di pohon.

Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu tiba-tiba saja berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika dia melihat betapa dua belas orang anak buahnya yang seolah berebut hendak menangkap pemuda itu, tiba-tiba telah berpelantingan ke belakang sambil mengeluarkan seruan-seruan kaget. Mereka semua terjengkang lantas terbanting ke atas tanah. Kini tampak pemuda yang hendak ditangkap dan digantung itu berdiri tegak dengan kedua lengan dilipat di depan dada, memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

Melihat ini, selain kaget dan heran, kepala perampok itu juga menjadi sangat marah dan penasaran. Karena tadi tidak melihat bagaimana anak buahnya tahu-tahu berpelantingan seperti itu, dia lalu berseru nyaring.

“Bunuh dia! Bunuhhh…!”

Dua belas orang itu memang penasaran juga. Tadi ketika mereka hendak menangkap, pemuda itu hanya berputar dan tahu-tahu mereka terjengkang seolah diterpa angin yang sangat kuat. Kini mendengar aba-aba itu, mereka berloncatan berdiri dan mencabut golok masing-masing. Tanpa menunggu komando lagi mereka menyerbu ke arah pemuda yang masih berdiri bersedakap sambil tersenyum-senyum itu.

Melihat ini Thian Liong tetap tenang saja karena dia yakin sekali bahwa mereka tidak akan mampu menyakiti Han. Juga tadi dia sudah melihat betapa Han hanya membuat mereka berpelantingan dan tidak mencederai mereka, apa lagi membunuh.

Andai kata kawanan perampok ini bertemu Han Bi Lan sebelum gadis itu bergaul dengan Thian Liong, sudah dapat dipastikan bahwa pada waktu pertama kali mereka menyerang tadi, tentu mereka sudah tewas semua. Akan tetapi ternyata Han tidak mau mencederai mereka.

Hal ini terjadi karena dia yakin bahwa perbuatan membunuh itu adalah sangat kejam dan tidak baik, namun terutama sekali karena dia merasa malu terhadap Thian Liong kalau dia melakukan pembunuhan. Tapi kini, melihat dua belas orang itu malah menggunakan golok menyerangnya, hatinya menjadi panas dan ingin memberi hajaran yang lebih keras lagi.

Karena dua belas orang itu menyerang dengan kepungan ketat, maka kepala perampok ini tidak dapat melihat apa yang terjadi. Namun dia menjadi semakin terkejut ketika orang-orangnya berteriak dan kini satu demi satu terlempar ke belakang dengan tubuh terluka!

Biar pun luka-luka itu tidak terlalu berat sehingga tidak mematikan, namun mengeluarkan banyak darah hingga pakaian mereka berlepotan darah mereka sendiri. Ada yang terluka di pundaknya, ada yang pahanya terbacok, ada yang lengannya tergores dan sebagainya, dan semua luka itu diakibatkan oleh golok mereka sendiri yang tiba-tiba membalik lantas menyerang diri mereka sendiri!

Melihat betapa dua belas orang anak buahnya roboh dan mengaduh-aduh, Si Muka Hitam cepat melarikan diri dari tempat itu.

“Heh, Muka Hitam, berhenti kau!” Han berteriak dan teriakannya itu melengking nyaring, mengandung getaran kuat. Kepala perampok itu pun tiba-tiba berhenti berlari seolah-olah berubah menjadi arca!

“Hei Muka Hitam, berbaliklah engkau lalu merangkaklah ke sini!” kembali terdengar suara yang penuh wibawa dari Han.

'I'hian Liong tersenyum sambil menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar nakal seperti anak kecil. Mempermainkan Si Muka Hitam dengan kekuatan sihir!

Si Muka Hitam itu memang seperti seorang prajurit mendengar perintah dari jenderalnya. Ia memutar tubuh menghadap ke arah Han, lalu menjatuhkan diri berlutut dan merangkak menghampiri Han!

Setelah tiba di depan kaki Han, kepala perampok itu berhenti. Semua anak buahnya yang masih kesakitan kini juga memandang heran dan seolah lupa dengan rasa nyeri di tubuh mereka ketika melihat pemimpin mereka merangkak-rangkak seperti itu.

Han tidak dapat menahan tawanya. “He-he-heh-hi-hik, engkau benar-benar seperti seekor lutung besar!” Karena dia tertawa maka pengerahan tenaga sihirnya juga terhenti.

Si Muka Hitam terkejut bukan main ketika melihat dirinya berlutut di depan kaki pemuda itu. Dia cepat melompat dan mencabut sepasang goloknya, kemudian menyerang dengan marah.

Melihat gerakan sepasang goloknya, Si Muka Hitam ini bukan seorang lawan yang lemah. Akan tetapi bagi Han tentu saja dia bukanlah apa-apa. Dengan gerakan ringan sekali dia bisa mengelak dari serangan dua golok yang datang bertubi-tubi itu. Betapa pun cepatnya sambaran sepasang golok yang membentuk dua gulungan sinar itu, namun gerakan Han lebih cepat lagi.

Tiba-tiba saja Si Muka Hitam berteriak mengaduh lantas dia roboh terkulai dan sepasang goloknya sudah berpindah tangan. Han menggerakkan sepasang golok itu dan…

“Cratt…! Cratt…!” dua pundak Si Muka Hitam terluka hingga darah mengucur membasahi bajunya.

“Han, jangan bunuh orang!” Thian Liong berseru.

Sambil menodongkan sepasang golok di leher Si Muka Hitam, Han menoleh, memandang Thian Liong dan tersenyum sambil menggeleng kepalanya. Kemudian dia menghardik Si Muka Hitam.

“Kau dengar itu?! Hemm, aku akan membunuhmu kalau engkau tidak segera memenuhi permintaanku!”

Si Muka Hitam tak dapat bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh akibat terkena totokan yang Iihai dari Han. Akan tetapi dia dapat bicara.

“Ampun, Taihiap (Pendekar Besar), saya akan melaksanakan semua perintah Taihiap!” katanya dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan.

“Nah, hayo cepat perintahkan anak buahmu untuk menyediakan makanan dan minuman untuk kami berdua. Kami lapar sekali! Hayo cepat!”

Si Muka Hitam cepat memerintahkan anak buahnya untuk memenuhi permintaan itu. Biar pun dia tidak mampu bergerak, namun suaranya masih lantang ketika dia memerintahkan para anak buahnya.

“Hayo cepat laksanakan perintah Taihiap!”

“Akan tetapi di sini tidak ada penjual masakan…“

“Goblok!” Si Muka Hitam membentak marah. “Carikan makanan seadanya yang terbaik. Cepat panggang daging binatang hutan, petik buah-buahan, juga ambilkan arakku dalam tempat penyimpanan. Apa saja keluarkan semua. Hayo cepat!”

Han menghampiri Thian Liong lalu duduk di dekat pemuda itu sambil tersenyum-senyum. “Nah, laparmu akan terobati, bukan?”

Thian Liong tertawa lalu memandang Si Muka Hitam yang masih rebah tak bisa berkutik. “Engkau bocah nakal! Kenapa dia dibiarkan seperti itu? Jika dapat bergerak pun dia tidak akan berani melawan atau melarikan diri. Bukalah totokan itu, Han.”

Sambil tersenyum Han memungut dua buah kerikil, lalu dua kali dia melontarkan kerikil-kerikil itu ke arah tubuh Si Muka Hitam. Dengan amat tepatnya kerikil itu mengenai jalan darah di punggung atas dan bawah tubuh Si Muka Hitam dan seketika orang itu terbebas dari totokan. Akan tetapi tentu saja dia tak berani melarikan diri. Dia hanya bangkit duduk lalu membalut luka di kedua pundaknya.

Tidak lama kemudian anak buah perampok itu telah berbondong datang sambil membawa berbagai makanan untuk kedua orang pemuda itu. Ada panggang daging kijang, arak, air teh, buah-buahan. Tanpa rikuh lagi Han langsung mengajak Thian Liong makan. Sesudah merasa kenyang dia iseng-iseng bertanya kepada Si Muka Hitam.

“Hei Muka Hitam, apakah engkau dan anak buahmu mengetahui di mana adanya seorang pemuda bernama Bouw Kiang berikut seorang gadis bernama Bong Siu Lan, dua orang murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan? Apakah kedua orang itu pernah lewat di sini? Kalau engkau tahu, hayo cepat katakan kepadaku sebagai penebus nyawa kalian yang sudah kuampuni!”

Si Muka Hitam memandang kepada anak buahnya yang berkumpul dan berjongkok tidak jauh dari situ. “Kalian dengar apa yang ditanyakan Taihiap? Kalau ada yang mengetahui, cepat laporkan!” kata Si Muka Hitam.

Dua belas orang itu berbisik-bisik dan seorang dari mereka yang matanya buta sebelah, berkata, “Kami tidak mengenal dua orang yang dicari Taihiap, akan tetapi kemarin kami melihat lima orang yang amat mencurigakan dan sangat lihai sehingga kami tidak berani memperlihatkan diri, hanya mengintai dari kejauhan. Kami sempat mendengar percakapan mereka dan dengan suara lantang seorang dari mereka, kakek yang berpakaian tambal-tambalan berkata bahwa dia akan senang sekali melihat musuh mereka tewas di depan kakinya.”

“Hemm, bagaimana kalian tahu bahwa mereka itu lihai sekali?” tanya Han tertarik.

“Mereka menerabas hutan dengan cara yang aneh. Segala apa pun yang menghalang di depan mereka, mereka singkirkan dengan cara yang luar biasa sekali. Pohon-pohon yang batangnya sebesar orang dewasa, sekali tendang langsung tumbang. Batu-batu sebesar kerbau mereka lempar-lemparkan seolah ringan saja.”

“Kelima-limanya sekuat itu?” tanya Han penasaran.

“Benar, Taihiap, kami berani bersumpah. Karena itulah kami hanya mengintai tidak berani keluar.”

“Hemm, dan siapa musuh yang mereka ingin lihat mati di depan kaki mereka itu?”

“Kakek berpakaian tambal-tambalan yang kurus pucat tapi amat lihai itu hanya menyebut nama Yok-sian (Dewa Obat).”

“Yok-sian...?” Kini Thian Liong bangkit berdiri kemudian menghampiri Si Mata Sebelah itu. “Mereka berlima itu hendak membunuh Yok-sian?”

Si Mata Satu itu terkejut bukan main melihat Thian Liong menghampirinya dan dia sudah sangat ketakutan. “Begitulah yang kami dengar dari pembicaraan mereka yang tak begitu jelas karena ketika itu mereka sedang melempar-lemparkan batu besar yang menghalang dan menumbangkan pohon-pohon sehingga gaduh sekali.”

“Hemm, coba gambarkan keadaan lima orang itu, mulai dari Si Kakek berpakaian tambal-tambalan,” kata Thian Liong. Han juga semakin tertarik mendengar bahwa yang hendak dibunuh lima orang itu adalah Yok-sian, nama julukan Tiong Lee Cin-jin guru Souw Thian Liong!

Melihat sikap Thian Liong tidak galak seperti sikap Han, Si Mata Satu itu menjadi tenang kembali. Dia menoleh kepada kawan-kawannya dan berkata, “Kalian bantulah aku kalau keteranganku keliru. Taihiap, kakek kurus bermuka pucat itu berusia sekitar enam puluh tahun, mukanya yang pucat dan kurus sekali itu seperti tengkorak. Matanya mencorong menakutkan dan di punggungnya terdapat sebatang pedang.”

“Hemm, Lam-kai...,” kata Thian Liong. “Coba gambarkan empat orang yang lain.”

Si Mata Satu melanjutkan. “Kakek kedua bertubuh tinggi besar, mukanya menyeramkan seperti singa dan dia membawa tombak. Dia inilah yang paling menakutkan, tampak buas. Dengan sekali ayun tombaknya dapat mematahkan sebatang pohon besar dan suaranya menggereng seperti seekor singa...”

“Ahh, itu Tung-sai!” kata pula Thian Liong dan Han mengangguk-angguk. “Dan tiga orang yang lain, bagaimana?”

Si Mata Satu berkata kepada kawan-kawannya. “Hayo, siapa di antara kalian yang dapat menceritakan tentang tiga orang muda itu? Aku tidak begitu ingat.”

Seorang yang mukanya brewok berkata dengan suaranya yang besar. “Mereka itu adalah dua orang pemuda dan seorang gadis. Pemuda yang pertama bertubuh sedang dan tegap, wajahnya bulat dan putih, matanya mencorong seperti mata harimau, rambutnya dikuncir dan di pungungnya tergantung sebatang pedang.”

“Dia pasti Can Kok,” kata pula Thian Liong.

“Pemuda yang kedua bertubuh tinggi besar, mukanya tampan akan tetapi hitam...”

“Dia membawa tongkat hitam?” Han memotong.

“Benar, Taihiap.”

“Ahh, jangan-jangan dialah Bouw Kiang yang kucari!” kata Han dengan hati tegang. “Dan gadisnya bagaimana? Hayo cepat ceritakan!” dia membentak sehingga Si Brewok menjadi gugup dan cepat bercerita.

“Gadis itu cantik, matanya lebar, tubuhnya ramping...”

“Dan senjatanya?” tanya Han.

“Kalau tidak salah, di punggungnya terdapat sepasang pedang.”

“Tak salah lagi, dia tentu Bong Siu Lan!”

“Sungguh aneh, apa hubungan dua orang murid Ouw Kan dengan para datuk itu?” Thian Liong bertanya heran.

“Apa anehnya? Ouw Kan juga seorang datuk, tentu mengenal dan mempunyai hubungan dengan para datuk lain. Mereka sama-sama sesatnya.”

“Ke arah mana mereka pergi dan sejak kapan?” tanya Thian Liong kepada Si Mata Satu.

“Mereka lewat kemarin, Taihiap, dan menuju ke arah sana. Mudah mengikuti jejak mereka karena mereka merobohkan pohon-pohon dan menyingkirkan batu-batu besar.” Orang itu menunjuk ke barat.

“Mari kita segera pergi, Han!” Setelah berkata demikian, Thian Liong dan Han berkelebat lalu lenyap dari depan gerombolan perampok itu sehingga mereka terkejut dan ketakutan. Akan tetapi mereka merasa beruntung karena tidak sampai dibunuh oleh dua orang muda yang memiliki kesaktian demikian hebat.

“Jelas bahwa lima orang itu hendak pergi ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi untuk mencari dan menyerang Suhu,” kata Thian Liong yang berlari bersama Han.

“Hemm, kalau hanya mereka berlima saja, kiraku tidak perlu khawatir. Locianpwe Tiong Lee Cin-jin pasti akan mampu menandingi mereka.”

“Mereka adalah orang-orang jahat yang lihai, juga licik dan curang. Meski pun Suhu dapat mengatasi mereka, namun sebagai muridnya aku harus membelanya.”

“Engkau benar, dan aku pun sudah berjanji akan membantumu. Apa lagi dua orang yang kucari, pembunuh-pembunuh ayahku berada di sana pula. Dengan begini dapat dikatakan kita satu kali tepuk dapat dua ekor lalat!”

Dua orang itu melanjutkan perjalanan dan betul seperti keterangan anak buah perampok bermata satu tadi, dengan mudah mereka dapat mengikuti jejak kelima orang itu karena mereka mengambil jalan pintas, menyingkirkan semua perintang dengan kekerasan.....

********************

Ketika Siang In berpamit kepada Thio Ki dan Miyana, suami isteri yang ia anggap sebagai ayah ibunya sendiri, suami isteri itu segera menyetujui karena biar pun Siang In berpamit untuk mengunjungi Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai, mereka pun tahu bahwa anak mereka itu sesungguhnya juga akan bertemu dengan ibu kandungnya sendiri, walau pun gadis itu masih belum mengetahui akan rahasia ini.

Tentu saja suami isteri itu sama sekali tidak menduga bahwa Siang In sudah mengetahui segalanya, dan bahwa ia memang ingin sekali bertemu dengan Tan Siang Lin, selir Kaisar Kin yang menjadi ibu kandungnya itu!

“Jaga dirimu baik-baik dan berhati-hatilah, anakku. Jangan lupa, bila engkau mengunjungi Puteri Moguhai dan kebetulan bertemu dengan ibunya yang menjadi selir Kaisar, engkau sampaikan salam hormatku kepadanya karena dahulu aku adalah sahabat baiknya.”

Diam-diam Siang In tersenyum di dalam hati. Tentu saja dia sudah tahu bahwa ibunya ini, Miyana, dahulu adalah sahabat baik selir kaisar yang sesungguhnya adalah ibu kandung anak kembar, dia dan Moguhai!

“Baik, Ibu. Aku tidak akan melupakan pesan Ibu,” jawabnya.

Dia lalu berkemas, membawa buntalan pakaian dan menunggang seekor kuda yang besar dan baik. Sesudah memperoleh pesan dan restu Thio Ki dan Miyana, Thio Siang In atau Ang Hwa Sian-li lantas menjalankan kudanya keluar dari pekarangan rumah orang tuanya, menuju ke pintu gerbang utara.

Tetapi sebelum tiba di pintu gerbang, dia bertemu dengan Cin Han yang berjalan seorang diri. Melihat Siang In berkuda, Cin Han menegurnya dengan ramah.

“Hai, Adik Siang In!” tegurnya sambil menghampiri.

Siang In menahan kudanya lalu melompat turun. Tidak enak rasanya kalau dia bercakap-cakap dengan pemuda itu dengan duduk di atas kuda sedangkan Cin Han berdiri di atas tanah.

“Han-ko (Kakak Han), engkau hendak ke manakah?” tegurnya.

Cin Han tersenyum. Wajahnya tampak tampan dan lembut bila sedang tersenyum. Putera pangeran ini memang halus budi pekertinya dan ramah.

“Aku hendak berkunjung ke rumahmu, In-moi (Adik. In).”

“Ahh, maaf, Han-ko. Aku hendak pergi maka tidak dapat menyambutmu.”

“In-moi, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?”

“Tentu saja boleh, Han-ko. Aku hendak pergi mengunjungi Puteri Moguhai di kota raja.”

“Berapa lama engkau akan tinggal di sana?” pemuda itu bertanya sambil memandang ke arah buntalan pakaian yang berada di punggung kuda yang besar itu.

“Entahlah, Han-ko, aku belum dapat menentukan. Mungkin bisa seminggu atau sebulan, tergantung keadaan.”

Cin Han mengangguk. “Baiklah, In-moi, harap engkau berhati-hati dalam perjalanan. Aku mendengar bahwa ada beberapa orang bekas sekutu Pangeran Hiu Kit Bong yang dahulu memberontak, sekarang membentuk gerombolan dan sering mengacau. Akan tetapi aku percaya bahwa engkau tak akan mudah diganggu penjahat. Nah, selamat jalan, In-moi.”

“Terima kasih dan selamat tinggal, Han-ko!” kata Siang In.

Siang In segera melompat ke atas punggung kudanya dan menuju ke pintu gerbang utara, diikuti pandang mata Cin Han yang memandang kagum. Dahulu dia tertarik sekali kepada Thio Siang In, dan setelah bergaul dekat dia kini yakin bahwa dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang berjuluk Ang Hwa Sian-li itu. Sambil tersenyum gembira Cin Han lalu kembali ke rumah orang tuanya.

Sementara itu Siang In sudah keluar dari kota Kang-cun. Dia membalapkan kudanya ke utara, ke arah Kota Raja Peking di mana saudara kembarnya, Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tinggal bersama ibu mereka di istana kerajaan. Pada saat dia membalapkan kudanya, terbayanglah wajah Cin Han di depan matanya. Pemuda itu benar-benar lembut, tampan dan juga telah memperlihatkan wibawa dan kecerdikannya ketika dulu membawa pasukan menolong dia dan Pek Hong Nio-cu.

Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan mengagumkan. Dan pemuda itu pernah melamarnya akan tetapi ia menolak keras padahal ia belum pernah melihat orangnya. Kini ia telah berkenalan dengan Cin Han dan kagum kepada pemuda yang lamarannya pernah ditolaknya itu. Dia menghela napas. Beruntunglah seorang gadis kalau dipersunting oleh pemuda tampan lembut putera seorang pangeran itu!

Siang In menarik napas panjang dan berbisik kepada diri sendiri. “Sayang dia seorang siu-cai (sastrawan) yang lemah dan tidak pandai ilmu silat...” Siang In menghela napas lagi dan tiba-tiba saja wajah Thian Liong terbayang dalam benaknya. “Ahh, kalau saja Cin Han memiliki kelihaian seperti Thian Liong...”

Dia sadar dari lamunannya lalu menggebrak kudanya sehingga binatang itu terkejut dan berlari cepat sekali, membuat rambut dan pakaian Siang In berkibar.

Di sepanjang perjalanan ini Thio Siang In mendengar berita dari penduduk bahwa memang benar apa yang dikatakan Cin Han kepadanya, di daerah-daerah banyak terjadi gangguan terhadap penduduk.

Gangguan ini dilakukan oleh gerombolan yang merampok dan membunuhi para pejabat kerajaan yang bertugas di dusun-dusun. Jelas bahwa gerombolan itu memang bersikap anti dan memberontak terhadap Kerajaan Kin.

Akan tetapi Siang In tidak mengalami gangguan seperti yang diharapkan karena dia ingin bertemu dan membasmi gerombolan pengacau itu. Dia tiba di kota raja dan langsung saja menuju ke istana. Kepada prajurit pengawal yang berjaga di pintu gapura istana dan yang terheran-heran melihat dia begitu mirip Puteri Moguhai, Siang In mengatakan bahwa dia bernama Thio Siang In dan ingin bertemu dengan Puteri Moguhai yang menjadi sahabat baiknya.

Mendengar bahwa gadis ini sahabat baik Puteri Moguhai yang mereka hormati dan takuti, prajurit kepala jaga yang bersikap hormat itu segera memberi-tahu bahwa Puteri Moguhai sedang tidak berada di istana.

Mendengar ini Siang In merasa kecewa sekali. Akan tetapi sesungguhnya kedatangannya ini terutama untuk mengunjungi ibu kandungnya, maka dia pun lalu berkata dengan sikap lembut.

“Kalau begitu, saya akan menghadap Ibunda Puteri Moguhai karena saya ada pesan yang amat penting dari Puteri Moguhai untuk disampaikan kepada Ibundanya.”

Kepala jaga itu mengerutkan keningnya. “Ahh, Nona. Untuk menghadap beliau kami harus melaporkan dulu kepada pengawal istana dan merekalah yang akan melaporkan ke dalam istana. Jika beliau bersedia menerimamu, barulah Nona akan diperkenankan dan dikawal oleh pengawal dalam istana. Mari kami antar Nona menemui kepala pengawal istana.”

Siang In lalu diantar oleh kepala jaga itu memasuki pekarangan istana yang amat luas dan segera dia dihadapkan kepada pengawal yang mengenakan seragam indah dan sikapnya angkuh. Akan tetapi kepala pengawal ini pun memandang heran setelah melihat Siang In yang demikian mirip dengan Puteri Moguhai.

Kepala jaga pintu gapura melapor bahwa gadis itu mohon untuk menghadap Ibunda Puteri Moguhai. Kepala pengawal yang memandang kepada Siang In dengan penuh perhatian itu lalu bertanya kepada Siang In.

“Siapakah engkau, Nona, dan apakah keperluanmu hendak menghadap beliau?”

“Nama saya Thio Siang In dan saya adalah sahabat baik dan saudara seperguruan Puteri Moguhai,” Siang In memperkenalkan diri, sengaja mengaku sebagai saudara seperguruan Moguhai karena dia tahu betapa di kerajaan Kin Moguhai sudah terkenal sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi.

Benar saja dugaannya. Kepala pengawal itu segera berubah sikap dan dengan hormat dia bertanya. “Thio-siocia, kami hendak melaporkan ke dalam. Akan tetapi kalau kami ditanya apa keperluan Nona mohon menghadap beliau, bagaimana kami harus menjawab?”

“Saya adalah anak dari Ibu Miyana yang dulu menjadi sahabat baik beliau dan juga tinggal di istana ini. Saya membawa pesan dari Puteri Moguhai dan dari Ibu Miyana yang sangat penting untuk disampaikan kepada beliau.”

“Akan tetapi, Nona. Kami takut kalau mendapat marah karena tidak boleh sembarangan orang memasuki istana, apa lagi bagian puteri. Beri-tahukan saja kepada kami pesan itu, dan kami yang akan menghaturkan kepada Beliau.”

“Tidak mungkin. Puteri Moguhai akan marah sekali kalau saya tidak dapat menyampaikan pesannya itu kepada Ibundanya.”

Ucapan ini manjur. Kepala pengawal itu tentu saja takut sekali kalau nanti Puteri Moguhai yang dia kenal amat keras itu marah padanya bila dia melarang saudara seperguruannya ini masuk.

“Baiklah, Nona. Silakan tunggu sebentar dan silakan duduk, saya sendiri yang akan pergi melaporkan ke dalam.” Sesudah berkata demikian kepala pengawal yang bertubuh tinggi besar itu meninggalkan Siang In di situ.

Siang In lalu duduk di atas bangku dan semua pengawal yang melakukan penjagaan tidak ada yang berani memandang kepadanya secara langsung. Ini berkat nama besar Moguhai yang ditakuti semua orang, pikir Siang In. Gadis ini merasa heran, ke manakah perginya Moguhai.....?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar