Jodoh Si Naga Langit Jilid 25

“Bagaimana Bi Lan? Engkau tidak merasa keberatan melakukan perjalanan bersamaku, bukan?”

Thian Liong ingin sekali melakukan perjalanan bersama Bi Lan, terdorong oleh keinginan untuk membalas kebaikan gadis itu dan untuk membuktikan bahwa dia sama sekali tidak menghina atau merendahkan gadis itu. Apa lagi kalau dia teringat bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, suami isteri yang sangat dia hormati.

Akhirnya gadis itu mengangguk. “Akan tetapi bukan berarti aku ikut engkau atau engkau ikut aku, Thian Liong, melainkan hanya secara kebetulan saja kita melakukan perjalanan bersama.”

Thian Liong tersenyum, ingat akan ucapannya tentang dia melakukan perjalanan bersama Puteri Moguhai. “Tentu saja, Bi Lan.”

“Dan mulai sekarang, di depan semua orang, engkau jangan menyebut Bi Lan kepadaku.”

“Ehh? Lalu menyebut apa?”

“Sebut saja Han, tanpa embel-embel apa pun.”

“Lho, mengapa begitu?”

“Nanti akan kau lihat sendiri. Tunggu sebentar di sini!” Setelah berkata demikian, Bi Lan menyambar buntalan pakaiannya lalu berkelebat lenyap ke balik pohon-pohon.

Thian Liong menggerakkan bahunya sehingga bahu kanannya terasa nyeri, mengingatkan dia akan lukanya, juga mengingatkan betapa tadi Bi Lan dengan sungguh-sungguh sudah berusaha mengobatinya. Masih teringat dan terasa olehnya betapa lembut dan hangatnya jari-jari tangan gadis itu menyentuh lengannya ketika dia membalut luka di pangkal lengan kanannya itu.

Kini gadis itu bersikap aneh, minta dipanggil Han saja dan minta dia menunggu, kemudian menghilang di balik pohon-pohon. Apa maunya? Akan tetapi dia sabar menunggu.

Tak lama kemudian Thian Liong melihat seorang pemuda muncul dari balik pohon-pohon dan dia terkejut, juga merasa heran. Dia bangkit berdiri, siap menghadapi ancaman. Siapa tahu pemuda itu juga seorang musuh tangguh yang hendak menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu melangkah menghampirinya dan tersenyum.

“Thian Liong, perkenalkan, aku adalah Han.”

Walau pun suara pemuda itu wajar sebagai suara seorang pemuda, namun kata-kata itu tentu saja menyadarkan Thian Liong dengan siapa dia berhadapan.

“Bi Lan...!” serunya kagum bukan main.

Gadis itu benar-benar pandai sekali menyamar. Pakaian pria yang agak longgar itu dapat menyembunyikan lekuk lengkung tubuh gadisnya, dan hebatnya, gadis itu bisa mengubah penampilannya, menata rambutnya sehingga dia sendiri pun tak akan mengenalnya kalau tadi tidak bicara.

“Wah, engkau hebat sekali, Bi Lan. Sungguh aku sama sekali tidak mengenalmu. Engkau benar-benar menjadi seorang pemuda, tidak akan ada orang yang dapat menduga bahwa engkau adalah seorang gadis!”

“Engkau yang akan membuka rahasiaku kalau engkau masih menyebut namaku seperti itu. Aku bernama Han, jangan lupakan itu.”

Thian Liong tertawa. “Baiklah, Han kalau ada yang bertanya, engkau menjadi apaku?”

“Sahabat, apa lagi? Nah, mari kita berangkat.”

“Ke mana?”

“Mencari makanan, perutku lapar sekali.”

Mereka lalu keluar dari hutan itu, menggendong buntalan pakaian masing-masing. Setelah keluar dari hutan, jalan umum itu membawa mereka memasuki sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Ketika mereka mencari keterangan, mereka diberi-tahu bahwa itu adalah kota Leng-an dan kota itu terletak di sebelah selatan Telaga Kim-hi yang luas. Kim-hi-ouw (Telaga Ikan Emas) terkenal mengandung banyak ikan emas yang lezat dagingnya.

Thian Liong dan Bi Lan, atau lebih baik kita sebut saja Han seperti yang diinginkan gadis itu, memasuki sebuah rumah makan yang paling besar dan amat ramai dikunjungi orang. Mereka mendapatkan meja di sudut dan Han segera memesan masakan ikan emas yang membuat kota Leng-an terkenal.

Sesudah pesanan masakan dihidangkan dan mereka mulai makan, mereka membuktikan sendiri kelezatan masakan ikan emas telaga itu seperti yang disohorkan orang. Sesudah makan minum dengan puasnya, Han dan Thian Liong lalu duduk santai dan baru mereka memperhatikan sekeliling.

Tak jauh dari meja mereka ada tiga orang pemuda yang makan minum sambil bercakap-cakap. Mendengar mereka berbicara tentang seorang gadis tengah mencari jodoh dengan cara bertanding ilmu silat, mereka menjadi tertarik sekali.

Memang pada masa itu peristiwa seperti ini merupakan hal yang biasa saja. Banyak gadis dunia persilatan yang oleh ayahnya dicarikan jodoh dengan jalan pi-bu (mengadu ilmu silat), semacam sayembara!

“Sayang aku tidak memiliki kepandaian silat. Betapa akan senangnya menyunting bunga yang demikian indahnya!” kata salah seorang di antara mereka.

“Ah, kalau hanya mempunyai ilmu silat sedang-sedang saja, siapa berani mencoba-coba? Gadis itu lihai bukan main. Kemarin saja sudah ada tiga orang calon yang dikalahkannya. Kalau kalah, selain sakit badan dan juga sakit hati karena malu,” kata orang kedua.

“Memang sayang sekali. Gadis itu demikian cantik jelita dan tampak lemah lembut sekali, kulitnya putih mulus, akan tetapi ternyata bunga indah itu mempunyai duri yang tajam dan berbahaya. Kabarnya hari ini dia dan ayahnya sudah tidak mengadakan pertunjukan silat lagi. Apa mereka sudah meninggalkan kota ini?” kata orang ketiga.

“Ahh, tidak. Aku mendengar bahwa besok pagi gadis itu akan memberi kesempatan lagi kepada yang berminat untuk pi-bu. Kalau kabar ini sudah tersiar dan datang jago-jago dari kota lain, tentu akan ramai sekali.”

“Di mana akan diadakan pi-bu itu?”

“Di mana lagi kalau bukan di tempat yang kemarin, di tepi telaga itu. Besok kita harus ikut menonton, tentu menarik sekali. Aku ingin melihat berapa orang laki-laki lagi yang akan dirobohkannya dan siapa yang akhirnya beruntung menyunting bunga itu.”

“Ahh, kalau aku ogah mempunyai bini seperti itu. Biar pun cantik jelita, akan tetapi ilmu silatnya sangat lihai. Jangan-jangan setiap hari aku akan dipukul dan ditendangnya!”

Tiga orang itu berhenti bicara. Thian Liong dan Han segera membayar harga makanan. Han mendahului membayarnya sehingga Thian Liong hanya tersenyum saja. Melihat dua orang pemuda ini membawa buntalan pakaian yang ditaruh di atas meja, pelayan rumah makan itu lalu berkata, setelah menerima pembayaran.

“Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) agaknya baru datang dari luar kota. Kalau ji-wi (kalian berdua) membutuhkan pondokan, silakan bermalam di rumah penginapan kami yang ada di belakang itu. Kami mempunyai kamar-kamar yang bersih.”

Thian Liong hanya menoleh kepada Han, menyerahkan keputusannya kepada temannya itu. Sebenarnya tadi mereka memasuki Leng-an hanya untuk mencari makanan, dan tidak ada rencana untuk menginap.

“Baik, kami akan menginap di sini semalam. Sediakan dua buah kamar yang bersih,” kata Han kepada pelayan.

“Dua buah, Kongcu (Tuan Muda)?”

“Ya, dua buah!” kata Han singkat dan suaranya agak ketus menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan pertanyaan pelayan itu.

“Baik, baik, Kongcu. Mari silakan!”

Thian Liong dan Han mengikuti pelayan itu yang mengantar mereka ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakang rumah makan itu cukup luas dan di sana ada bangunan rumah penginapan yang memiliki belasan buah kamar. Mereka senang melihat kamar untuk mereka itu cukup bersih, biar pun perabotnya sederhana.

Begitu pelayan yang mengantar mereka pergi, Thian Liong langsung bertanya, “Apa yang menarik hatimu sehingga ingin bermalam di kota ini, Han?”

Han memandang wajah Thian Liong dan tersenyum. Hemm, pikir Thian Liong. Samaran itu sudah baik sekali, namun ada satu hal yang agaknya terlupa. Kalau tersenyum lebar, lesung pipit yang manis itu muncul di kanan kiri mulut Han, membuat wajah itu menjadi terlampau tampan sehingga akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan orang. Maka sebelum Han menjawab pertanyaan tadi, dia sudah cepat berkata,

“Han, jangan tersenyum lebar, penyamaranmu dalam bahaya kalau engkau tersenyum.”

Han mengerutkan alisnya. “Mengapa?”

“Terlalu... terlalu cantik, tidak jantan.”

Han mengangguk. “Akan kuingat itu.”

“Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang menarik hatimu untuk bermalam di sini?”

“Sama dengan yang menarik hatimu, Thian Liong. Engkau juga ingin sekali menonton pi-bu (adu silat) yang diadakan gadis di tepi telaga itu, bukan? Ehh, Thian Liong, siapa tahu engkau yang akan dapat mengalahkannya dan menjadi jodohnya.”

Digoda begitu, Thian Liong tidak mau membantah, bahkan dia berkata sambil tersenyum. “Yah, siapa tahu?” Dia terheran melihat betapa tiba-tiba wajah Han menjadi keruh, alisnya berkerut dan mulutnya merengut!

“Aku mau mengaso!” katanya singkat dan dia hendak memasuki kamarnya.

“Sore nanti kita melihat-lihat kota dan telaga, Han,” kata Thian Liong.

“Bagaimana nanti sajalah!” Han memasuki kamar dan menutup daun pintunya agak keras.

Thian Liong menggerakkan pundak dengan hati merasa heran atas sikap Han yang tidak dimengertinya itu. Ia pun memasuki kamarnya, melepaskan buntalan dan meletakkannya di atas meja lalu dia pun merebahkan diri mengaso.....

********************

Pada keesokan harinya, pagi-pagi setetah mandi dan tukar pakaian, Han mengajak Thian Liong keluar dan mereka berdua segera menuju ke pinggir telaga. Kemarin sore mereka sudah berjalan-jalan ke sini, bahkan sempat naik perahu sewaan berputar-putar di telaga. Mereka juga telah mendapat keterangan bahwa gadis yang mengadakan pi-bu itu kemarin mengambil tempat di bagian tepi telaga yang tanahnya agak tinggi.

Ketika sampai di tempat itu, tepi telaga sudah mulai ramai. Bukan saja ramai oleh mereka yang hendak berangkat dengan perahu untuk menangkap ikan, ada pula yang baru pulang dari mencari ikan semalam dan kini membawa hasil tangkapan mereka untuk dijual ke dalam kota. Ada juga yang hendak pesiar, dan banyak orang-orang muda yang sengaja datang hendak nonton gadis yang mencari jodoh dengan jalan mengadakan pi-bu. Akan tetapi agaknya gadis dan ayahnya itu belum datang.

Akan tetapi Thian Liong dan Han tidak perlu menunggu lama. Ketika suasana menjadi riuh dengan suara orang-orang yang menujukan pandang mata ke satu jurusan, Thian Liong dan Han juga memandang ke arah sana. Tampak seorang gadis bersama seorang lelaki setengah tua datang ke tepi telaga yang tanahnya tinggi itu.

Thian Liong memandang penuh perhatian. Gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun. Tak dapat disangkal bahwa gadis itu memang cantik menarik, dengan bentuk tubuh yang denok padat, kulitnya yang putih mulus. Yang paling menarik adalah sepasang matanya yang lebar dan indah.

Laki-laki yang berjalan di sampingnya berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning, wajahnya muram seperti orang yang tidak bahagia. Dengan langkah lebar mereka berdua menuju ke bagian tanah yang tinggi tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang memandang kepada mereka.

Setelah tiba di atas tanah tinggi itu, mereka lalu menurunkan buntalan kain dari punggung mereka dan meletakkannya di atas batu-batu yang tergeletak di atas tanah. Mereka juga melepaskan pedang berikut sarungnya dari pinggang dan meletakkan pedang mereka itu di atas buntalan pakaian.

Setelah kedua orang itu berada di sana, mereka yang memang datang hendak menonton segera berbondong-bondong datang dan tanpa diatur mereka telah membentuk lingkaran yang cukup luas sehingga kedua orang itu seperti berdiri di atas panggung tanah tinggi itu yang berupa gundukan tanah yang lumayan luas. Mereka yang nonton berdiri mengelilingi gundukan tanah itu.

Sesudah di sana berkumpul lebih dari lima puluh orang yang sebagian besar adalah para pemuda, laki-laki tinggi kurus itu lalu maju ke tengah lapangan itu dan menjura ke empat penjuru.

“Kami rasa Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah tahu atau sudah mendengar bahwa kami sedang mengadakan sayembara pi-bu (adu silat) untuk memilih jodoh. Siapa saja yang berminat dipersilakan memasuki sayembara ini. Ada pun syarat-syaratnya seperti berikut: Pengikut sayembara haruslah seorang laki-laki yang belum menikah. Pengikut sayembara harus disetujui dulu oleh anak kami sebelum bertanding. Pengikut sayembara harus dapat mengalahkan anak kami dalam pertandingan silat dengan tangan kosong dan setelah bisa mengalahkan anak kami, dia harus dapat bertahan melawan kami selama dua puluh jurus. Perkenalkan, nama kami Ouwyang Kun, sedangkan ini anak kami satu-satunya bernama Ouwyang Siu Cen yang sudah tidak mempunyai ibu lagi. Nah, kalau ada yang berminat, silakan maju!”

Ouwyang Kun lalu memberi hormat lagi dan kembali duduk di atas batu dekat puterinya. Para penonton mulai berisik saling bicara sendiri. Akan tetapi belum juga ada yang maju memasuki lapangan.

“Thian Liong, gadis itu cantik jelita. Apakah engkau tidak ingin mencoba?” bisik Han yang berdiri di samping pemuda itu.

“Mengapa tidak engkau saja yang maju dan mengalahkannya, Han?” jawab Thian Liong sambil tersenyum.

Han hampir saja tersenyum, lalu teringat dan dia cemberut. “Gila kau!” bisiknya.

Melihat belum juga ada yang memasuki lapangan, Ouwyang Kun lantas berbisik kepada puterinya. Siu Cen mengangguk lalu dia segera bangkit dan menuju ke tengah lapangan, berdiri tegak sambil memandang ke sekeliling dengan matanya yang lebar dan indah, lalu berkata dengan suara lembut.

“Sambil menanti munculnya peserta sayembara yang pertama, untuk mengisi waktu saya akan memainkan sebuah tarian pedang! Apa bila tarianku jelek dan banyak kesalahannya, harap Cu-wi suka memaafkan dan memberi petunjuk.”

Setelah berkata demikian Siu Cen segera mencabut pedangnya, dan mulailah dia dengan tarian pedangnya. Tarian itu sesungguhnya adalah ilmu silat pedang yang diberi gerakan kembangan sehingga tampak indah dan lemah gemulai.

Memang Siu Cen memiliki tubuh yang lentur dan gerakannya mengandung seni tari yang indah. Tapi di balik kelemasan, kelenturan dan keindahan itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan, juga daya tahan dan daya serang yang amat kokoh. Bila semua gerakan kembangan serta variasi itu dihilangkan, maka gerakan-gerakan pedang itu akan menjadi berbahaya sekali bagi lawan.

“Hemm, cantik dan indah sekali, Thian Liong,” Han berbisik pula.

“Ilmu silatnya cukup tangguh. Kuda-kudanya seperti yang biasa digunakan para hwesio (pendeta Buddhis) kalau mengajarkan silat kepada muridnya. Kokoh dan mantap.”

Tarian itu tidak terlampau lama. Tentu saja Ouwyang Siu Cen tidak mau menghamburkan banyak tenaga karena nanti dia akan menghadapi pertandingan silat kalau ada yang maju mengikuti sayembara.

Ayahnya, Ouwyang Kun memang bijaksana. Di antara syarat-syarat bagi calon jodohnya itu juga terdapat syarat bahwa ikutnya seorang calon harus atas persetujuannya. Berarti ayahnya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda yang sudah disetujuinya. Hal ini untuk mencegah supaya gadis itu tidak terpaksa menjadi isteri seorang laki-laki yang tidak disukanya hanya karena laki-laki itu dapat mengalahkannya dalam pi-bu.

Setelah Siu Cen menghentikan tarian silatnya, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun masuk ke dalam gelanggang, disambut tepuk tangan para penonton karena selain mereka sudah mengenal pemuda itu sebagai putera guru silat Ciang di kota Leng-an, juga semenjak tadi semua orang sudah tidak sabar menanti munculnya orang yang memasuki sayembara itu agar mereka dapat menonton pertandingan silat.

Melihat ada seorang pemuda yang memasuki gelanggang, Ouwyang Kun segera bangkit dan menghampiri sehingga berdiri berhadapan dengan pemuda itu, sedangkan Ouwyang Siu Cen mundur dan berdiri di belakang ayahnya sambil memandang kepada pemuda itu. Ciang Lun adalah seorang pemuda yang berwajah cukup ganteng, tubuhnya sedang dan dia berdiri di depan Ouwyang Kun dengan tegak.

“Apa kehendakmu masuk ke sini, orang muda?” tanya Ouwyang Kun.

“Kalau boleh, saya ingin mencoba kelihaian Nona Ouwyang.”

Ouwyang Kun menoleh dan memandang kepada puterinya. Siu Cen mengangguk, tanda bahwa dia mau berpi-bu melawan pemuda itu.

“Orang muda, siapa namamu?”

“Nama saya Ciang Lun.”

“Baik, kami mempersilakan engkau untuk saling menguji kepandaian dengan Siu Cen.”

Setelah berkata demikian, Ouwyang Kun lantas mundur dan duduk kembali ke atas batu. Kini Siu Cen berhadapan dengan pemuda itu.

“Silakan mulai, Nona. Aku telah siap!” kata Ciang Lun yang segera memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak, kedua kaki merapat dan dua tangannya direntangkan, yang kanan menunjuk ke atas, yang kiri menunjuk ke bawah.

“Pembukaan Thian-te Sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi),” bisik Thian Liong.

“Tapi rapuh,” bisik pula Han.

Thian Liong juga maklum bahwa pasangan kuda-kuda dari pemuda bernama Ciang Lun itu tidak cukup kokoh dan melihat gerakan kaki Siu Cen ketika menari silat pedang tadi dia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini tidak akan menang melawan gadis itu. Tingkat kepandaian mereka berselisih jauh.

“Kami tuan rumah dan engkau tamunya, silakan menyerang lebih dahulu,” kata Siu Cen yang juga sudah memasang kuda-kuda dengan menekuk kedua lututnya, menghadap ke samping dan memutar kepala ke arah lawan, kedua tangan dikepal di pinggang.

“Hemm, kalau tidak salah kuda-kuda itu dari aliran Kwan-im-kun (Silat Dewi Kwan Im),” kata Han lirih.

“Atau silat Dewa Ji-lai-hud, ilmu silat yang biasanya dimainkan para pendeta,” kata Thian Liong.

Mendengar ucapan gadis itu, Ciang Lun tersenyum. “Baiklah, maaf, sambut seranganku, Nona!”

Pemuda itu mulai menyerang dan dia memainkan ilmu silat Langit Bumi yang sebetulnya merupakan ilmu silat yang cukup ampuh sebab gerakan serangannya berganda, serangan ke bagian atas tubuh lawan yang hampir berbarengan langsung disusul dengan serangan dari bawah. Kalau saja dia telah menguasai dengan baik dan mempunyai sinkang (tenaga sakti) yang kuat, maka dia akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.

Akan tetapi Siu Cen bergerak cepat dan gerakannya amat ringan. Tubuhnya berkelebatan ketika mengelak dari serangkai pukulan pemuda itu. Dia pun balas menyerang dan Ciang Lun dapat menangkis serangan balasan itu dengan baik pula.

Bagi orang-orang yang tidak mengenal ilmu silat, atau yang hanya mengenal kulitnya saja tentu menganggap bahwa pertandingan itu seru dan seimbang. Telah lebih dari tiga puluh jurus mereka bertanding dan tampaknya belum ada yang lebih unggul sehingga kelihatan seru dan seimbang. Akan tetapi Han berbisik kepada Thian Liong.

“Wah, engkau terlambat, Thian Liong. Gadis itu agaknya telah memilih calon suaminya.”

“Engkau benar dan aku ikut girang, mereka berdua memang sangat serasi untuk menjadi pasangan hidup.”

Sementara itu Ouwyang Kun juga segera maklum apa yang terjadi dengan puterinya. Dia tahu benar bahwa kalau dikehendaki, dalam belasan jurus saja puterinya itu akan mampu mengalahkan lawannya. Akan tetapi agaknya Siu Cen tidak mau melakukan hal itu. Gadis itu mengalah dan hal ini hanya berarti bahwa puterinya itu jatuh cinta kepada Ciang Lun itu!

Bagi dia, mempunyai seorang menantu yang ilmu silatnya lebih rendah dari pada tingkat puterinya tidak menjadi soal. Yang penting Siu Cen mencintanya dan mantunya itu bukan orang jahat. Melihat betapa pertandingan itu telah berlangsung sampai hampir lima puluh jurus, Ouwyang Kun merasa cukup dan dia pun melompat ke tengah.

“Cukup, harap kalian berhenti!”

Dua orang itu langsung mundur dan Siu Cen cepat menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Ciang Lun memandang kepadanya dengan mulut terseyum, tampaknya dia girang sekali.

“Cu-wi, sayembara ini sudah selesai. Kami sudah menemukan pilihan calon suami puteri kami.”

“Tidak bisa! Ini tidak adil!” terdengar teriakan nyaring, lalu seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya hitam bopeng (bekas cacar) melompat ke tengah lapangan.

“Kemenangan bocah ini sama sekali tidak sah!” Dia berseru dengan suaranya yang parau dan terdengar logat bicaranya kaku dan asing.

“Hemm, dia itu orang dari barat, suku Tibet,” bisik Han kepada Thian Liong.

Pemuda ini juga sudah menduga demikian karena dia pernah bertemu dengan beberapa orang pendeta Lhama dari Tibet ketika mereka datang mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cin-jin.

Ouwyang Kun menghadapi orang itu dengan alis berkerut, akan tetapi dia masih menahan amarahnya dan bertanya, “Sobat, menentukan pilihan calon suami untuk puteriku adalah merupakan hak kami, orang luar sama sekali tidak berhak mencampuri.”

“Ho-ho-ha-ha! Enak saja engkau menentukan begitu! Akan tetapi tanyalah kepada semua penonton. Kalian berdua telah melanggar peraturan yang kalian adakan sendiri. Bukankah tadi engkau sendiri mengumumkan bahwa yang berhak berjodoh dengan puterimu adalah orang yang dapat mengalahkan puterimu dan dapat bertahan pula melawanmu selama dua puluh jurus? Hai, saudara-saudara, bukankah dia tadi berjanji demikian?”

Para penonton juga merasa tak puas dengan keputusan yang diambil oleh Ouwyang Kun karena mereka menginginkan pertandingan berikutnya yang lebih seru. Karena itu mereka segera berseru, “Benar...!”

Mendengar seruan orang banyak ini, Ouwyang Kun lalu bertanya dengan lantang. “Sobat, katakan siapa namamu!”

“Ho-ho, namaku Golam!” kata Si Tinggi Besar Muka Hitam. Dia berbangsa Mongol akan tetapi sudah belasan tahun tinggal di Tibet sehingga logat bicaranya seperti orang Tibet.

“Sekarang, apa kehendakmu maka engkau mencampuri urusan kami memilih jodoh ini?”

“Tentu saja engkau harus memegang janjimu, dan aku juga ingin memasuki sayembara, hendak mengalahkan puterimu kemudian menghadapimu selama dua puluh jurus. Kalau aku berhasil, maka puterimu ini harus menjadi isteriku!”

Ouwyang Kun mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang bopeng dan berwarna hitam itu. “Golam, melihat usiamu, engkau tentu sudah memiliki isteri dan anak, bukan?”

“Ho-ho, punya anak isteri atau tidak sama sekali tiada hubungannya dengan sayembara ini. Pendeknya aku memasuki sayembara, dan kalian harus memenuhi janji dan melawan aku. Kecuali, tentu saja, kalau kalian ayah dan anak merasa takut padaku! Kalau begitu, lebih baik kalian mengaku dengan terus terang di hadapan semua orang ini bahwa kalian takut melawan aku, lalu cepat gulung tikar dan tinggalkan kota ini sebagai pengecut!”

Beberapa orang penonton mengeluarkan suara tawa dan semua orang menjadi tegang karena mereka mengharapkan terjadinya pertandingan yang sungguh-sungguh dan sikap Golam itu memancing ketegangan.

Ouwyang Kun menjadi merah mukanya dan matanya mencorong marah.

“Golam!” bentaknya. “Sombong sekali engkau! Kalau mendengar namamu, engkau tentu seorang Mongol dan suaramu memperlihatkan bahwa engkau sudah lama tinggal di Tibet! Aku mengerti betapa banyaknya orang-orang Mongol yang terusir dari negaranya karena kejahatannya lalu berkeliaran di Tibet! Kami tidak pernah takut menghadapi orang-orang macam engkau ini. Guruku See-ong Hui Kong Hosiang tidak mempunyai murid pengecut!”

“Ho-ho-ha-ha-ha! Kiranya engkau murid See Ong (Raja Barat)? Bagus kalau kalian bukan pengecut. Suruh puterimu maju melawan aku, baru nanti engkau sendiri yang maju!”

Ouwyang Kun meragu, akan tetapi Siu Cen sudah bangkit berdiri dengan marah. Ketika itu Ciang Lun yang semenjak tadi berdiri di pinggiran sudah melangkah maju, lalu berkata kepada Golam dengan suara keras.

“Sobat, minggirlah! Jangan mencampuri dan mengganggu urusan orang lain!”

Golam menyeringai melihat pemuda itu berdiri di depannya dengan sikap menantang.

“Pergi kau!” Dia membentak dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah menampar ke arah kepala Ciang Lun. Pemuda itu cepat mengangkat tangannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

“Dukk!”

Tubuh Ciang Lun segera terpelanting, kemudian jatuh bergulingan saking kuatnya tenaga yang membentur tangkisannya. Golam tertawa bergelak sambil kepalanya menengadah dengan sikap sombong sekali.

“Manusia sombong!” tiba-tiba Ouwyang Siu Cen membentak dan dia sudah menghadapi Golam sambil memasang kuda-kuda ilmu silat Kwan-im-kun.

Ayah gadis ini, Ouwyang Kun memang murid See-ong Hui Kong Hosiang yang merangkai ilmu silat Ji-lai-hud. Ilmu silat yang dimainkan oleh Siu Cen adalah ilmu silat berdasarkan Ji-lai-hud-kun, tetapi khusus untuk wanita dan dinamakan Kwan-im-kun.

Akan tetapi Golam tertawa mengejek. “Nona manis, aku akan merasa malu kalau engkau bertangan kosong. Pakailah pedangmu itu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong. Itu baru adil namanya dan lebih seru!”

Akan tetapi Siu Cen sudah membentak nyaring, kemudian maju menerjang dengan cepat dan kuat. “Lihat seranganku!”

Namun Golam cepat menangkis, dan begitu lengan Siu Cen bertemu dengan tangannya, tenaga tangkisan itu demikian kuatnya sehingga tubuh Siu Cen terputar dan pada saat itu pula tangan kiri Golam sudah menyambar, lalu dengan kurang ajar sekali tangan itu telah mengelus dan membelai dagu dan leher.

Siu Cen menjerit kecil sambil melompat jauh ke belakang. Dia terkejut dan marah sekali.

“Ha-ha-ho-ho, sudah kukatakan. Pakailah pedangmu, Nona manis!”

Siu Cen cepat mengambil pedangnya, lalu melompat ke depan Golam dan membentak. “Keluarkan senjatamu!” tantangnya.

“Ho-ho, tidak seru kalau aku menggunakan senjata. Aku tidak mau melukai kulitmu yang putih mulus itu, Nona. Tangan kakiku ini sudah lebih dari cukup untuk melayanimu main-main. Majulah!”

“Sombong, sambut pedangku!” Siu Cen membentak dan menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali.

Akan tetapi ternyata lawannya memang hebat. Walau pun bertubuh tinggi besar, namun orang Mongol itu dapat bergerak cepat dan lebih hebat lagi, dia berani menangkis pedang Siu Cen dengan lengannya! Ketika pedang itu bertemu lengan Golam yang menangkis, terdengar bunyi seolah pedang itu bertemu sepotong baja yang amat kuat.

Kini para penonton mulai merasa tegang dan khawatir. Yang mereka tonton kini bukan lagi pertandingan adu ilmu untuk mengukur tingkat kepandaian masing-masing, melainkan pertandingan perkelahian sungguh-sungguh yang menggunakan senjata, yang dapat saja merobek tubuh dan merenggut nyawa! Maka banyak di antara para penonton yang mulai mundur menjauhkan diri, lalu menonton dari jarak agak jauh yang aman. Tinggal sedikit saja yang menonton di tempat semula, di antara mereka termasuk Thian Liong dan Han.

Setelah pertandingan antara Siu Cen yang menggenggam pedang melawan Golam yang hanya bertangan kosong itu berjalan lewat dua puluh jurus, terdengarlah Golam terkekeh dan diseling jerit-jerit kecil Siu Cen karena kini Golam yang lebih tinggi tingkatnya itu mulai mempermainkan Siu Cen. Tangannya secara kurang ajar menowel pipi, meraba dada dan mencubit pinggul. Siu Cen menjerit-jerit kecil dan merasa malu dan marah sekali.

“Jahanam busuk, biar kubunuh dia!” Han berbisik dengan muka berubah merah karena marahnya.

“Sstt, jangan, Han. Ouwyang Kun adalah murid See Ong, seorang di antara Empat Datuk Besar. Dia pasti tidak membiarkan puterinya diganggu,” kata Thian Liong. Baru saja Thian Liong habis bicara, terdengar Ouwyang Kun membentak lantang.

“Golam bangsat kurang ajar!”

Thian Liong memandang. Dia melihat betapa Golam sudah merampas dan mematahkan pedang Siu Cen dan kini dia menangkap dan merangkul gadis itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar