Kisah Si Naga Langit Jilid 41

Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si Tiong lalu melanjutkan ceritanya.

“Kami sama sekali tidak menyangka bahwa kematian pangeran Cu Si dalam perang telah membuat Raja Kin mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh kami. Akan tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih belum kembali dari perbatasan. Dia lalu menculik anak tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu dia berusia tujuh tahun, juga membunuh pengasuhnya. Maka ketika pulang kami terkejut sekali. Sejak itu kami lalu meninggalkan Lin-an, juga meninggalkan pekerjaan kami sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari anak kami yang diculik. Akan tetapi semua usaha kami sia-sia sehingga akhirnya kami pun menetap di sini untuk hidup dengan tenang di tempat sunyi ini.”

Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya lagi. Karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka. Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih, Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya itu.

“Tadi ketika kami sedang berjalan-jalan, kuda kami dibunuh oleh Ouw Kan, kemudian dia memperkenalkan dirinya. Dia bercerita bahwa memang dia sudah menculik Bi Lan, tetapi di dalam perjalanan anak kami itu telah lolos dari tangannya. Dia tidak mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana Bi Lan sekarang. Dia hanya bilang bahwa karena gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan selama sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil. Akhirnya dia menemukan juga tempat ini dan sengaja datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya.”

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai bercerita, Thian Liong diam saja karena dia masih merasa tak enak terhadap Pek Hong Nio-cu. Sejenak gadis itu pun diam saja, lalu berkata, suaranya wajar dan lantang.

“Gugurnya seseorang di dalam perang tidak semestinya mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi hanya menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang, dan kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal yang wajar dan dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak perlu disesalkan, apa lagi dijadikan dendam pribadi. Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit hati dan hendak membalas dendam. Apa lagi Ouw Kan itu. Dia yang telah menculik puteri paman dan bibi, tapi kini malah datang hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam dia!”

Thian Liong merasa lega dan senang sekali mendengar ucapan Pek Hong Nio-cu. Benar-benar seorang gadis berwatak adil yang berdiri di atas kebenaran dan keadilan! Sesudah mendengar pendapat gadis itu, barulah dia berani bicara.

“Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan sudah tahu bahwa paman dan bibi tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua tentu terancam. Bagaimana jika sewaktu-waktu dia datang kembali kemudian menyerang paman berdua? Lebih baik paman berdua meninggalkan tempat ini dan pindah ke tempat lain.”

Han Si Tiong menghela napas panjang. “Harus berpindah-pindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak, Souw-sicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan dikejar-kejar orang jahat. Jika dia datang lagi dan menyerang maka akan kami hadapi dan lawan mati-matian! Kami sudah menderita sebelas tahun lebih karena kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!”

“Benar sekali ucapan suamiku itu. Bi Lan anak kami sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup ataukah sudah mati. Kematian bukan hal yang menakutkan bagi kami. Aku pun tidak mau menjadi pelarian, bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu,” Liang Hong Yi berkata dengan sikap gagah.

Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main. Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah perkasa, pendekar sejati. Ia meminjam alat tulis dan minta kain putih kepada Liang Hong Yi, kemudian membuat tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu, menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.

“Bibi dan paman memang orang-orang yang gagah perkasa, membuat aku merasa kagum bukan main. Harap perlihatkan kain bertulis ini kepada Toat-beng Coa-ong jika dia berani datang mengganggu lagi. Setelah melihat kain putih ini mudah-mudahan dia takkan berani mengganggu lagi kepada paman berdua.”

Tentu saja suami isteri itu merasa heran dan tidak mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak bila menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua hanya memandang kepada Pek Hong Nio-cu dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani mereka keluarkan dengan ucapan.

Melihat ini Thian Liong lalu berkata kepada mereka. “Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah, kain putih bersurat itu kelak akan sangat berguna dan besar kemungkinannya akan menyelamatkan paman berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong.”

Setelah mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak merasa ragu lagi.

“Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu.”

Pek Hong Nio-cu tersenyum manis. “Tidak perlu berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya kalau kita saling tolong menolong, bukan?”

Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu. Dia menarik napas panjang kemudian berkata, “Aahhh... kalau saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu dia sudah sebesar engkau inilah...”

“Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar di dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu dengan puteri bibi. Kami akan memberitahu kepadanya bahwa paman dan bibi tinggal di dusun Kian-cung ini,” kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.

Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak amat jujur dan kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang bersikap begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan kasar. Sejak kemunculan dua orang muda penolongnya itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Meski pun wajahnya memang wajah gadis Han yang amat cantik namun nada bicaranya asing, jelas menunjukkan bahwa gadis itu datang dari utara.

Selain sikapnya yang begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang diberikannya tadi, yaitu sehelai kain bersurat yang katanya dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benar-benar mendatangkan kecurigaan kepadanya. Bukan merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu menolongnya, akan tetapi kejanggalan itulah yang membuat dia penasaran.

“Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah) Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong. Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka kami harap kalian suka menceritakan siapa ji-wi sebenarnya, terutama sekali Nona Sie Pek Hong. Nona Sie, siapakah sebenarnya nona?”

Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Aku adalah Sie Pek Hong, lantas engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si Tiong?” Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda orang.

“Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie? Apakah engkau mencurigai dia? Hal itu tidak pantas sama sekali!” Liang Hong Yi mencela suaminya.

“Aku bukan berprasangka buruk,” bantah Han Si Tiong, kemudian dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu. “Aku hanya curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih lagi sesudah engkau memberi kain bersurat itu kepada kami untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong.”

“Hemm, jadi menurut paman, siapakah aku ini? Katakan saja, paman, aku juga suka akan kejujuran dan keterbukaan, dan aku pun tidak akan marah.”

“Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau berasal dari utara, nona. Sedangkan penampilanmu, gerak gerik dan cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang bangsawan. Menurut pengakuan Ouw Kan tadi, dia adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja memiliki kekuasaan amat besar di kerajaan Kin, tetapi sekarang nona meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw Kan mengganggu kami. Itu berarti bahwa lewat tulisan itu Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati surat nona, berarti nona mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dari pada dia. Semua kenyataan ini membuat aku mengambil kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak akan heran kalau nona ini seorang puteri kaisar...”

Liang Hong Yi terkejut sekali dan berseru, “Dia puteri Kaisar Kin? Kalau begitu... dia... dia adalah saudara dari Pangeran Cu Si? Kalau begitu celaka...”

Pek Hong Nio-cu tertawa. “Hi-hik, jangan khawatir, bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang benar. Thian Liong, Paman Han Si Tiong hebat bukan main. Kupikir tidak perlu lagi merahasiakan diriku di depan mereka. Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biar aku mengaku terus terang sebagai pernyataan kagumku terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Dugaan paman tadi memang benar semuanya. Aku adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi di luar istana aku dikenal dengan sebutan Pek Hong Nio-cu.”

“Ahh, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap kurang hormat terhadap Tuan Puteri...” Liang Hong Yi berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat, lalu berkata ragu.

“Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang Pangeran Cu Si!”

“Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Meski ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru. Pangeran Cu Si itu memang kakakku, berlainan ibu. Aku menganggap dia gugur dalam perang membela negara. Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak peduli siapa yang membuatnya tewas dalam perang. Tak ada alasan untuk menyimpan dendam pribadi. Ada pun tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu bahwa dia adalah orang yang licik dan kejam. Oleh karena itu, dalam urusannya dengan paman dan bibi, tentu saja aku berpihak kepada paman berdua. Nah, aku sudah bicara dengan sejujurnya. Harap paman dan bibi sekarang menganggap aku sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan tidak menyebut-nyebut lagi tentang Puteri Kerajaan Kin.”

Han Si Tiong mengangguk-angguk. “Baiklah, nona Sie, kami akan memenuhi permintaan nona.” Dia lalu menoleh kepada Thian Liong. “Akan tetapi, Souw-sicu, bagaimana engkau mengajak... nona Sie ke daerah ini? Hal itu tentu saja sangat berbahaya baginya.”

“Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman. Bahkan sebaliknya, di mana-mana akulah yang terancam bahaya. Sekarang aku sedang menjadi orang buruan pemerintah kita.”

“Ehh, kenapa begitu sicu?” tanya Liang Hong Yi heran.

“Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui, perdana menteri busuk itu!” kata Pek Hong Nio-cu gemas.

“Wah, jadi kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga tidak suka kepada perdana menteri jahat yang sudah menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui itu. Kami juga menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau juga bermusuhan dengan dia, nona?”

“Panjang ceritanya, paman,” kata Thian Liong.

Kemudian dia menceritakan mengenai pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Kebetulan dia sedang berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia Song, namun akhirnya pemberontakan itu dapat dihancurkan.

“Akan tetapi Cia Song berhasil melarikan diri, dan dia tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui bahwa saya sudah berkhianat terhadap Kerajaan Sung dan menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat betapa para pejabat dan prajurit berusaha menangkap saya, maka mudah diduga bahwa Perdana Menteri Chin Kui agaknya berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah agar saya dijadikan buronan dan ditangkap, mati atau hidup. Padahal bantuan saya kepada Kerajaan Kin hanya dalam menghadapi pemberontak yang bersekutu dengan Chin Kui. Begitulah ceritanya. Kaisar Kerajaan Kin menganggap saya sudah berjasa, maka ketika saya hendak meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu menyatakan hendak membantu saya, Raja Kin lalu menyetujui. Nah, itulah sebabnya puteri... ehh, Pek Hong Nio-cu ini sekarang berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja sesudah beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang hendak menangkap kami.”

“Aihh…! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui, pengkhianat itu! Tetapi jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu. Di kota raja aku memiliki banyak kawan seperjuangan dan kami semua menentang Chin Kui. Akan kami beberkan semua rahasia jahatnya, bersekongkol dengan para pemberontak di Kerajaan Kin dan sekiranya pemberontakan itu berhasil, tentu dia akan telah mempunyai rencana jahat lainnya.”

“Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman tidak merepotkan diri karena berarti paman juga terjun ke dalam bahaya,” kata Thian Liong.

“Nanti kita sama lihat saja. Yang jelas, kita bersatu hati dalam menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin Kui yang amat jahat!” kata pula Han Si Tiong.

Setelah menginap satu malam di rumah bekas pemimpin pasukan Halilintar itu, pada esok harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu segera meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan yang sepi itu. Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso sambil makan rumput.

Ketika berada di rumah Han Si Tiong, pendekar yang memelihara belasan ekor kuda itu memberi mereka dua ekor kuda yang amat baik sebagai pengganti dua ekor kuda mereka yang sudah kelelahan karena melakukan perjalanan jauh.

“Thian Liong, sekarang kita akan pergi ke mana?” tanya Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong yang agak suram.

“Aku tengah memikirkan hal itu baik-baik, Nio-cu. Sekarang tugasku adalah mencari gadis pencuri kitab milik Kun-lun-pai dan membantu Kerajaan Sung supaya dapat terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui. Kiranya akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu karena kita tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan ke mana dia pergi. Maka tinggal tugas kedua yang paling penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu, aku harus pergi ke kota raja!”

“Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah, Thian Liong. Kalau engkau ke kota raja, bukankah hal itu sama saja dengan mencari penyakit?”

“Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu...”

“Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku Sie Pek Hong, kau ingat?”

Thian Liong tersenyum. “Hemm, aku heran sekali bagaimana engkau tiba-tiba memakai she Sie!”

“Ketika hendak memperkenalkan diri kepada Paman Han, aku teringat bahwa aku harus mempunyai she (marga). Aku lalu ingat Paman Sie yang sangat baik dan yang kuanggap sebagai guruku, maka aku lantas menggunakan nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku sebagai nama, menjadi Sie Pek Hong. Bagus, bukan?”

“Hemm, nama itu bagus sekali, Nio-cu...”

“Heittt…! Kau lupa lagi!”

“O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?”

“Ah, aku senang sekali. Dan aku akan menyebut engkau Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan adik?”

“Kakak dan adik seperguruan? Ahh, aku masih heran dan bingung memikirkan, Nio... ehh, Hong-moi. Saat suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya Paman Sie. Siapakah yang salah lihat? Engkau ataukah aku? Menurut penglihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku tidak mungkin salah lihat!”

“Aku pun tidak mungkin salah lihat, Liong-ko. Dia itu jelas Paman Sie yang dahulu pernah kulihat di taman istana ketika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Paman Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan rambut ini kepadaku!” gadis itu berkata kukuh.

“Hemm, apa mungkin bahwa Paman Sie itu adalah guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu orang, kenapa ilmu silatmu sangat berbeda dengan ilmu silatku?”

“Liong-ko, engkau sendiri pernah bercerita kepadaku bahwa gurumu itu menyuruh engkau membagi-bagikan kitab pelajaran ilmu silat kepada partai-partai persilatan...”

“Bukan membagi-bagi, Hong-moi, melainkan kitab-kitab itu memang merupakan hak milik partai-partai itu yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu.”

“Itu berarti bahwa gurumu mempunyai banyak kitab pelajaran ilmu silat, lalu apa anehnya jika dia juga memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain dari pada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!”

“Kemungkinan itu bisa saja, Hong-moi, atau ada dua orang yang sangat mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kukatakan tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau tidak, bagaimana aku dapat membantu kerajaan agar bisa terbebas dari pengaruh kekuasaan Chin Kui?”

“Akan tetapi engkau sedang dikejar-kejar, Liong-ko! Sebelum dapat memasuki kota raja, tentu engkau sudah dikepung dan ditangkap oleh pasukan pemerintah!”

“Aku dapat menyamar, Hong-moi. Dengan memasang jenggot dan kumis palsu, aku bisa memasuki kota raja. Betapa pun juga, hanya namaku yang menjadi buronan pemerintah. Wajahku tidak ada yang mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin semua perwira pasukan hanya mendengar gambaran tentang diriku, maka setelah aku sedikit mengubah wajahku, tentu tidak ada yang mengenaiku.”

“Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Dulu aku pernah mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku dapat memasang jenggot dan kumis palsu pada wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat memasuki kota raja, lalu apa yang akan kau lakukan di sana?”

“Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah berhasil memasuki kota raja, Hong-moi.”

Mereka lalu memasuki hutan di depan, dan di tempat tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari rambut pemuda itu sendiri.

Tak lama kemudian mereka pun telah melanjutkan perjalanan dan kini Thian Liong sudah berubah menjadi seorang yang berkumis dan berjenggot, membuat dia nampak lebih tua dari pada biasanya. Mereka menunggang kuda menuju ke arah kota raja Lin-an.

“Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko.”

“Itu benar sekali, Hong-moi. Mulai sekarang aku bernama San Lam dengan nama marga Mou.”

Pek Hong tersenyum. “Mou San Lam berarti Putera Gunung Mou? Kenapa kau memakai nama begitu, Liong-ko?”

“Ehh, jangan sebut Liong-ko lagi. Sebut Lam-ko agar rahasiaku tidak terbuka. Ketahuilah, di waktu kecil aku tinggal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao-mao), jadi tepat kalau aku memakai nama Putera Gunung Mou, bukan?”

Pek Hong tertawa. “Heh-heh-heh, engkau pandai mencari nama yang tepat, Liong... ehh, Lam-ko. Mari kita cepat melanjutkan perjalanan.”

Mereka lalu membalapkan kuda mereka dan benar saja, sesudah Thian Liong mengubah mukanya dan menggunakan nama Mou San Lam, tidak ada yang mencurigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di Lin-an, kota raja Kerajaan Sung…..

********************

Dua hari sesudah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong serta isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, membawa bekal pakaian dan uang, lalu keduanya menunggang kuda berangkat menuju ke Lin-an.

Sudah hampir dua belas tahun mereka meninggalkan kota raja, maka perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang membangkitkan kenangan masa lampau. Mereka masih mengenal dengan baik jalan raya menuju kota raja, dan diam-diam merasa sedih melihat betapa dusun-dusun tetap saja tidak ada kemajuan.

Sama sekali tidak nampak adanya perbaikan pada rumah-rumah rakyat, bahkan di mana-mana mereka mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para petani yang muram dan hampir setiap orang yang mereka tanya mengeluh tentang beratnya pajak yang harus mereka bayar.

Hampir semua kepala dusun selalu menekan dan memeras penduduknya, dan kalau Han Si Tiong serta isterinya menyelidiki kepala dusun itu, mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itu pun ditekan dan diperas oleh atasannya dengan ancaman akan dicopot kedudukannya apa bila mereka itu tidak dapat menyetorkan hasil yang jumlahnya sudah ditentukan.

Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat pemerasan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Chin Kui beserta para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia merasa sedih sekali karena agaknya Kaisar sudah tidak mempunyai wibawa lagi sehingga semua rakyat membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat dengan peraturan-peraturan yang amat menekan itu. Padahal Han Si Tiong dan isterinya tahu betul bahwa semua peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan Perdana Menteri Chin Kui dan kaki tangannya.

Pajak yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat yang memiliki penghasilan besar, ditambah sedemikian rupa oleh Chin Kui sehingga terasa memberatkan. Bahkan mereka yang berpenghasilan kurang sekali pun tetap saja dikenakan pajak, dan kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk ke kantong Chin Kui beserta para pembesar yang menjadi kaki tangannya.

Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan. Mereka tidak mencari bekas rumah mereka karena sudah tahu bahwa bekas rumah pemberian pemerintah itu kini tentu ditinggali oleh perwira lain. Juga mereka belum berkunjung kepada sahabat baik mereka, Kwee-ciangkun (Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga keamanan kota raja. Mereka hendak melihat keadaan dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik mereka itu.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa aman. Sebenarnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai musuh, kecuali tentu saja Chin Kui. Mereka mendengar bahwa perdana menteri itu amat membenci mendiang Jenderal Gak Hui, malah kabarnya selalu berusaha untuk membasmi semua pengikut setia jenderal besar itu.

Han Si Tiong merasa sudah cukup berjasa terhadap Kerajaan Sung, maka tak semestinya kalau dia dan isterinya takut berada di kota raja. Apa lagi mereka sudah hampir dua belas tahun meninggalkan kota raja.

Dahulu, ketika mereka masih memimpin Pasukan Halilintar, nama mereka sangat terkenal dan hampir semua prajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi sekarang siapa yang mengenal mereka? Wajah mereka sudah menjadi lebih tua. Kalau dulu, dua belas tahun yang lalu wajah Han Si Tiong bersih tanpa kumis atau jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga Liang Hong Yi kelihatan lebih tua dan kini wanita itu agak kurus karena selama bertahun-tahun prihatin memikirkan puterinya yang hilang.

Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi mencari keterangan. Mereka mendengar bahwa sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih menduduki jabatannya yang lama, yaitu komandan pasukan penjaga keamanan kota raja.

Biar pun di dalam hatinya Kwee-ciangkun merasa tidak suka, bahkan membenci Chin Kui seperti kebanyakan pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar lainnya, akan tetapi dia tidak memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kwee-ciangkun membencinya. Chin Kui tidak pernah mengganggunya, terlebih lagi karena Kwee-ciangkun adalah panglima yang dipercaya oleh Kaisar karena jasa-jasanya sudah banyak sekali.

Setelah mendengar keterangan mengenai sahabatnya itu, Han Si Tiong segera mengajak isterinya untuk pergi mengunjungi sahabatnya itu. Dan pada hari ketiga, pagi-pagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan berjalan kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.

Han Si Tiong dan isterinya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota raja, beberapa pasang mata telah memperhatikan mereka dan beberapa orang sudah membayangi dan selalu mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini adalah kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui yang memang disebar di seluruh penjuru kota raja untuk menyelidiki setiap orang yang memasuki kota raja!

Maka tidak mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja Chin Kui telah mengetahui Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia kepada mendiang Jenderal Gak Hui itu kini telah kembali ke kota raja. Tentu saja dia tidak tinggal diam dan cepat memerintahkan tiga orang jagoannya yang dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, bekas jagoan guru mendiang Ciang Bun putera mendiang Ciang Sun Bo atau Jenderal Ciang.

Seperti yang kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya telah tewas di tangan Han Bi Lan tetapi Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos. Tosu sesat ini lalu ditampung oleh Chin Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, masih ada dua orang kakak beradik seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana Menteri Chin Kui. Yang tertua adalah Bu-tek Mo-ko (Iblis Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun, ada pun sute-nya adalah Bu-eng Mo-ko (Iblis Jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang bertubuh pendek gendut.

Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui juga sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu, maka dia merasa yakin bahwa tiga orang jagoannya itu pasti akan dapat membinasakan mereka. Dia tidak mau mengirim banyak pasukan, karena hal itu akan menimbulkan kegemparan.

Suami isteri itu sudah dikenal rakyat dan dahulu nama mereka banyak dipuji-puji, bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekagumannya kepada suami isteri pimpinan Pasukan Halilintar itu. Maka, kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan menimbulkan kegemparan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar