Kisah Si Naga Langit Jilid 13

Untuk memenuhi tugas dari gurunya, Thian Liong lalu melakukan perjalanan ke Kun-lun-san. Tempat ini yang paling jauh di antara yang lain, maka dia hendak pergi ke Kun-lun-pai lebih dulu untuk menyerahkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada dalam buntalan kain kuning di punggungnya. Sesudah itu baru dia akan pergi ke Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai.

Kemudian dia akan pergi ke kota raja Hang-chou, menghadap Kaisar Sung Kao Tsung dan menyerahkan tiga belas buah kitab. Bila semua kitab yang dibawanya sudah dia serahkan kepada mereka yang berhak menerimanya, barulah dia akan menyelidiki tentang Perdana Menteri Chin Kui dan kalau pembesar itu ternyata masih merupakan pembesar lalim yang mengancam keselamatan kerajaan, maka dia akan menentangnya sekuat tenaganya.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan, melalui pegunungan dan gurun, akhirnya pada suatu hari dia sampai di kaki pegunungan Kun-lun. Ada sebuah jalan raya yang cukup lebar menuju ke barat dan jalan inilah yang biasanya dipergunakan oleh para rombongan pedagang yang membawa barang dagangan mereka dari dan ke daerah barat, menuju Tibet, terus ke selatan ke Kerajaan Bhutan Nepal, dan India.

Jalan itu baru ramai kalau musim panas tiba dan para pedagang banyak yang rnelakukan perjalanan dalam rombongan yang dikawal dengan amat kuat. Pada hari-hari lainnya jalan itu sunyi sekali, yang melewati jalan itu hanyalah penduduk dusun-dusun sekitarnya, para petani, pemburu, dan pencari hasil hutan.

Pagi hari itu Thian Liong berjalan di atas jalan besar, menanti-nanti kalau ada orang yang dapat dia tanyai tentang Kun-lun-pai. Dia telah kehabisan bekal. Uang yang dia dapat dari gurunya tidak berapa banyak dan sudah habis untuk membeli makanan dalam perjalanan selama ini.

Gurunya pernah berpesan kepadanya, untuk kebutuhan hidupnya dia harus mencari uang dengan bekerja. Bekerja apa saja asalkan tidak merugikan orang. Dengan menggunakan ilmu kepandaiannya, tentu saja dengan mudah dia dapat mengambil uang milik orang lain, akan tetapi hal itu berarti merugikan orang lain dan tentu saja dia takkan sudi melakukan perampokan atau pencurian. Akan tetapi pagi ini uangnya sudah habis sama sekali, maka dia tidak dapat membeli bekal makanan ketika pagi tadi melewati sebuah dusun.

Begitu tiba di sebuah jalan yang terletak di tempat tinggi, dia melihat jauh di depan ada debu mengepul dan terlihat gerakan banyak orang yang sedang bertempur. Ketika melihat adanya beberapa buah gerobak berdiri tak jauh dari tempat pertempuran itu, Thian Liong dapat menduga bahwa salah satu pihak dari mereka yang bertempur itu tentu rombongan pedagang. Maka teringatlah dia akan cerita gurunya bahwa para pedagang jarak jauh itu biasanya dikawal oleh orang-orang yang pandai ilmu silat karena banyak penjahat yang berusaha untuk merampok barang dagangan yang berharga mahal itu.

Thian Liong segera berlari cepat menuruni lereng itu dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat pertempuran. Dia melihat lima orang yang berpakaian sebagai saudagar berdiri ketakutan di dekat lima buah kereta penuh barang, bersama lima orang kusir kereta yang juga menonton perkelahian dengan sikap ketakutan.

Thian Liong memandang ke arah mereka yang berkelahi. Ternyata yang berkelahi hanya dua orang laki-laki yang dikeroyok oleh belasan orang yang berpakaian sebagai pengawal. Akan tetapi dua orang yang bersilat pedang itu lihai bukan main. Meski dikeroyok belasan orang tapi mereka sama sekali tidak terdesak, bahkan para pengeroyok yang kocar-kacir dan sudah ada lima orang di antara mereka yang roboh mandi darah.

Karena tidak tahu persoalannya, Thian Liong merasa ragu untuk bertindak. Dia tidak tahu siapa yang berada di pihak yang jahat sehingga dia meragu siapa yang harus dibelanya. Thian Liong lalu menghampiri lima orang saudagar yang bersama lima orang sais berdiri di dekat kereta.

"Sobat-sobat, apakah yang terjadi?" dia bertanya.

Para saudagar yang tadinya takut melihat Thian Liong mendekati mereka karena mengira bahwa pemuda itu kawan para perampok, menjadi lega mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi karena pemuda itu hanya nampak seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja dan lemah, mereka pun tidak dapat mengharapkan bantuan darinya.

"Orang muda, cepatlah kau pergi. Dua orang itu adalah perampok yang hendak merampas barang kami dan belasan orang itu adalah para piauwsu (pengawal barang) yang bertugas melindungi kami." jawab seorang kusir yang berdiri paling dekat dengan Thian Liong.

Sesudah mendengar ini, Thian Liong tidak ragu lagi pihak mana yang harus dia bantu. Dia memandang ke arah perkelahian. Dua orang itu memang lihai sekali. Para piauwsu yang juga menggunakan pedang sebagai senjata, sudah kewalahan dan terdesak ke belakang.

Dua pria itu berusia kurang lebih empat puluh tahun. Orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan muka berbentuk meruncing seperti muka tikus dan orang ke dua bertubuh pendek gendut akan tetapi gerakannya tak kalah cepat bila dibandingkan kawannya. Kedua orang itu mengenakan pakaian yang sama, seluruhnya berwarna hitam dari sutera halus dan di bagian dada ada gambar seekor burung rajawali putih.

Thian Liong berlari menghampiri pertempuran itu, kemudian sambil mengerahkan tenaga sakti dia berseru, "Hentikan pertempuran dan tahan senjata!"

Seruannya ini mengandung kekuatan yang memaksa mereka yang sedang bertempur itu masing-masing menahan gerakan kemudian berlompatan mundur sehingga pertempuran itu otomatis terhenti. Dua orang yang berpakaian hitam itu pun berlompatan ke belakang dengan wajah terheran-heran. Kini mereka semua memutar tubuh, lalu menghadapi Thian Liong dengan sinar mata heran dan juga penasaran.

Seorang di antara dua orang perampok itu, yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tikus, membawa sebuah kantung kain biru yang diikatkan pada punggungnya. Sekarang dialah yang membentak kepada Thian Liong,

"Heh, orang muda! Mau apa engkau menghentikan perkelahian kami?"

Thian Liong berkata dengan sabar, "Sobat, aku mendengar bahwa kalian berdua hendak merampok saudagar-saudagar ini sehingga di antara kalian telah terjadi perkelahian yang dapat mengakibatkan luka bahkan mungkin kematian. Mengapa kalian berdua melakukan kejahatan ini? Apa bila kalian memang membutuhkan sumbangan, saya kira kalian dapat memintanya secara baik-baik dari para saudagar ini dan mereka tentu tidak akan menolak untuk memberi sumbangan kepada kalian."

Dua orang perampok itu terbelalak keheranan. Sejenak keduanya saling pandang, lantas mereka tertawa geli melihat ulah pemuda yang mereka anggap tolol itu. "Heii, bocah tolol! Menggelindinglah pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami. Kami adalah orang-orang Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih), dan kami akan membunuhmu pula kalau engkau tidak cepat pergi dari sini!"

Setelah berkata demikian, dua orang itu segera menerjang lagi, menyerang para piauwsu yang kini tinggal berjumlah tiga belas orang itu. Para piauwsu juga menggerakkan pedang mereka sehingga mereka kembali berkelahi. Suara pedang bertemu pedang berdentingan dan dua orang yang mengaku sebagai orang-orang Pek-tiauw-pang itu mengamuk.

Thian Liong tertegun, kecewa bahwa dua orang itu tidak mau mendengarkan nasehatnya. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, tiba-tiba tampak bayangan merah muda berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda.

Gadis itu baru berusia kurang lebih tujuh belas tahun, cantik jelita seperti dewi. Sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam mencorong dan mata itu jeli bukan main. Dia berdiri di situ, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang ranting pohon yang masih ada daunnya, lalu terdengar suaranya melengking.

"Sudah lama kudengar akan kejahatan Pek-tiauw-pang! Sekarang aku melihat sendiri dua orang Pek-tiauw-pang merampok. Nonamu ini tidak akan mengampuni kalian!" Sesudah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali laksana seekor burung terbang dan dia sudah melayang, lalu dengan ranting pohon itu menyerang ke arah si pendek gendut!

Walau pun ranting itu hanya sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hanya satu meter, akan tetapi ketika menyambar ke arah kepala perampok pendek gendut itu, terdengarlah suara bercuitan dan ranting itu berubah menjadi sinar kehijauan yang menyambar ke arah jalan darah di leher si pendek gendut.

Jagoan Pek-tiauw-pang ini terkejut bukan kepalang sebab dia dapat merasakan sambaran angin serangan yang dahsyat mengarah ke lehernya itu merupakan serangan maut. Cepat dia mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi ada sehelai daun yang terlepas dari ranting itu lantas terbang menampar pipinya,

"Plakkk!"

Meski pun yang mengenai pipinya hanyalah sehelai daun basah, akan tetapi terasa cukup nyeri, panas dan pedih. Si pendek gendut menjadi marah sekali. Dia lantas mengeluarkan gerengan sambil memutar pedangnya, menyerang ke arah gadis berpakaian merah muda itu. Pedangnya menjadi sinar putih bergulung-gulung yang menyerbu ke arah gadis itu.

Akan tetapi dengan indahnya gadis itu berlompatan menghindar, kemudian terdengar dia mengeluarkan suara tawa merdu yang mengejek. "Hi-hi-hik, manusia macam katak buduk berani melawan nonamu? Engkau sudah bosan hidup!"

Ranting di tangan gadis itu lantas membalas, menyambar-nyambar. Akan tetapi si pendek gendut itu pun lihai. Dia dapat menangkis dengan pedangnya kemudian balas menyerang. Maka terjadilah perkelahian seru di antara mereka.

Sementara itu, tiga belas orang piauwsu yang melihat betapa si pendek gendut kini sudah berkelahi melawan gadis baju merah muda yang membantu mereka, serentak menyerbu dan mengeroyok si muka tikus!

Perampok tinggi kurus bermuka tikus ini mengerutkan alis, memutar pedang melindungi dirinya. Dia tahu bahwa kalau dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan tiga belas orang piauwsu itu maka dirinya dapat terancam bahaya. Dia melirik ke arah temannya dan mendapat kenyataan bahwa gadis muda itu lihai sekali, bahkan dengan sepotong ranting agaknya dapat membuat kawannya repot sekali. Tiba-tiba si tinggi kurus melompat jauh ke belakang kemudian melarikan diri!

Terdengar teriakan yang keluar dari kelompok saudagar itu. "Tolong! Orang itu membawa semua uang kami dalam kantung biru itu! Kejar dia...!"

Para piauwsu mengejar, akan tetapi ternyata orang tinggi kurus itu larinya sangat cepat. Melihat dan mendengar ini, Thian Liong segera melompat ke depan kemudian melakukan pengejaran. Para piauwsu menghentikan pengejaran mereka karena mereka teringat akan keselamatan lima orang saudagar yang harus mereka lindungi. Mereka kembali ke tempat tadi dan melihat gadis berpakaian merah muda itu masih bertanding melawan perampok gendut pendek, mereka menonton sambil bersiap siaga. Sebagian dari mereka merawat lima orang kawan yang terluka.

Sementara itu dengan menggunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur bagaikan terbang ketika melakukan pengejaran, sebentar saja Thian Liong sudah berhasil menyusul perampok tinggi kurus bermuka tikus yang melarikan diri itu.

"Perlahan dulu, sobat!"

Si tinggi kurus itu terkejut setengah mati mendengar ucapan ini, lalu dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri pemuda yang tadi mencela dia dan temannya karena melakukan perampokan! Tadinya dia terkejut sebab mengira bahwa yang dapat menyusulnya adalah gadis yang sangat lihai itu. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanyalah pemuda tadi yang nampak biasa-biasa saja, dia pun menjadi marah sekali.

”Mampuslah!” bentaknya.

Orang itu segera menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Thian Liong. Dia sudah membacok dengan sekuat tenaga dan sudah merasa cepat sekali, akan tetapi bagi mata dan telinga Thian Liong yang terlatih baik, bacokan itu datangnya lambat dan lemah saja. Maka dengan mudah dia mengelak, dengan miringkan tubuhnya sehingga bacokan itu hanya meluncur lewat mengenai tempat kosong.

”Sobat, aku tidak ingin berkelahi denganmu. Aku hanya menghendaki agar engkau suka menyerahkan buntalan biru itu,” kata Thian Liong tenang.

Si tinggi kurus itu menghentikan gerakannya. "Apa?! Engkau juga menghendaki uang ini? Kalau begitu kita adalah rekan segolongan, kenapa engkau menggangguku? Jika hendak minta bagian, engkau katakan saja dan aku pasti akan memberimu."

Thian Liong menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak menginginkan uang itu. Tetapi uang itu harus dikembalikan kepada pemiliknya yang merasa kehilangan. Serahkan buntalan itu kepadaku dan aku tidak akan menahanmu lagi."

"Engkau minta ini? Nah, terimalah!" Si muka tikus membentak akan tetapi bukan buntalan itu yang dia berikan, melainkan pedangnya sudah menyambar lagi dengan cepat karena dia mengerahkan seluruh tenaganya.

Akan tetapi dengan tenang namun jauh lebih cepat Thian Liong miringkan tubuhnya, lalu membuat langkah ke depan mengitari tubuh lawan, tangan kirinya menepis tangan lawan yang memegang pedang ada pun tangan kanannya meraih ke arah punggung perampok muka tikus itu.

"Dukk...! Brettt!"

“Aduhhh...!”

Tubuh perampok itu terhuyung dan buntalan yang tadinya tergantung pada punggungnya telah berpindah ke tangan Thian Liong.

Perampok itu marah sekali. Tentu saja dia tidak rela kalau buntalan biru berisi uang emas dan perak itu direbut begitu saja. Walau pun tangan kanannya terasa ngilu karena ditepis oleh tangan Thian Liong tadi, tetapi kemarahan membuat dia tidak merasakan ini dan dia sudah menerjang lagi seperti kesetanan.

"Kembalikan bungkusan itu!" teriaknya.

"Barang ini bukan milikmu," kata Thian Liong dan tubuhnya bergerak cepat mengelak dari sinar pedang yang menyambar-nyambar.

Sampai belasan kali pedang itu menyambar tetapi tak pernah dapat menyentuh ujung baju Thian Liong. Melihat kenekatan orang itu, Thian Liong menyadari bahwa penjahat seperti ini sukar untuk diharapkan kesadarannya tanpa memberi hajaran kepadanya.

"Singgg...!"

Pedang menyambar lagi, sekali ini membabat ke arah pinggang kiri Thian Liong. Pemuda itu menggerakkan kaki kanannya yang mencuat ke depan menyambut serangan itu. Ujung kakinya menendang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pedang terlepas dan terpental jauh, dan sebelum si muka tikus hilang kagetnya, kaki kanan Thian Liong sudah mencuat.

"Dukkk!"

Kaki itu menyambar dada dan tubuh perampok bermuka tikus itu segera terjengkang dan terbanting roboh. Sambil meringis kesakitan dia merangkak bangun. Sekarang maklumlah dia bahwa pemuda ini lihai sekali dan kalau dia melawan terus, maka berarti dia mencari penyakit.

Maka, setelah mampu bangkit berdiri dan kepeningan kepala serta kesesakan napasnya mereda, dia lalu melarikan diri meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri dengan sikap tenang. Sesudah melihat penjahat itu pergi, Thian Liong lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat di mana terjadi perampokan tadi.

Sementara itu Bi Lan masih bertanding seru melawan perampok yang bertubuh gendut. Ia termasuk seorang tokoh Pek-tiauw-pang dan tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi. Ilmu pedangnya pun lihai. Pedangnya berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Akan tetapi dia merasa penasaran sekali karena betapa pun cepatnya dia memutar pedangnya, sama sekali tak pernah dapat menyentuh ujung baju dara remaja yang menjadi lawannya.

Tentu saja dia menjadi sangat penasaran. Bagaimana mungkin dia, seorang jagoan dari perkumpulan Pek-tiauw-pang, kini tidak mampu mengalahkan seorang gadis yang usianya belum sampai tujuh belas tahun. Apa lagi gadis ini menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang ranting kecil!

Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis remaja itu adalah murid manusia sakti Jit Kong Lama, pendeta Lama dari Tibet yang sangat sakti dan yang sudah menggembleng murid perempuannya itu selama sepuluh tahun! Apa bila Bi Lan menghendaki, maka dalam satu dua jurus saja dia tentu mampu merobohkan lawannya. Akan tetapi dasar dia mempunyai watak yang lincah gemblra, jenaka dan nakal, selain galak dan cerdik. Gadis itu memang sengaja hendak mempermainkan lawannya.

"Singgg...!"

Pedang si gendut menyambar ke arah lehernya. Dengan mudahnya Bi Lan mengelak ke belakang kemudian ujung rantingnya menyambar.

"Brettt...!"

Ujung ranting itu menebas dari atas ke bawah, kemudian rontoklah semua kancing baju si gendut sehingga baju itu seketika terbuka menampakkan dada dan perutnya yang gendut sekali dan berkulit putih.

"Hiiih, kamu seperti babi!" Bi Lan berkata mengejek.

Belasan orang piauwsu yang menonton perkelahian itu tak dapat menahan tawa mereka. Si gendut menjadi marah bukan kepalang. Dia merasa dipermainkan, dihina dan dijadikan buah tertawaan semua orang itu.

"Bocah jahanam, mampuslah kau!" bentaknya.

Kembali pedangnya menyambar dahsyat, kini menusuk ke arah ulu hati gadis itu. Bi Lan menekuk lutut, merendahkan tubuhnya dan ketika pedang meluncur lewat atas kepalanya, dari bawah ranting di tangannya meluncur ke depan.

"Brettt...!"

Kini tali celana si gendut itu yang putus semua sehingga tanpa dapat dicegah lagi, celana itu terlepas dari perut yang gendut kemudian melorot turun!

"Hihhh! Menjijikkan!" Bi Lan cepat memejamkan mata dan memutar tubuh membelakangi lawannya yang kini sudah telanjang sambil menutupi mukanya dengan tangan kiri. Suara tawa meledak, bahkan ada yang terpingkal-pingkal melihat Si gendut kedodoran dan repot mengangkat celananya ke atas.


Muka Si gendut menjadi merah sekali seperti kepiting direbus. Tetapi begitu dia melihat Bi Lan berdiri membelakanginya, dia pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik untuk membalas penghinaan yang luar biasa itu. Tangan kirinya cepat menahan celananya agar jangan merosot turun, sedangkan tangan kanannya cepat menggerakkan pedang hendak memenggal leher gadis itu dari belakang.

"Wuuutt...! Crottt!"

Tubuh si gendut terkulai roboh. Darah bercucuran muncrat dari dadanya yang berlubang tertusuk ujung ranting yang tadi secepat kilat ditusukkan oleh Bi Lan sambil membalikkan tubuh, tepat memasuki dada si gendut selagi pedangnya masih terangkat ke atas.

Gerakan Bi Lan cepat bukan main sehingga lawannya sama sekali tak sempat mengelak atau menangkis lagi. Karena ranting itu telah menembus jantungnya, maka begitu terkulai roboh si gendut langsung tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Bi Lan membuang rantingnya yang berlumur darah dan sama sekali tidak melirik lagi ke arah lawan yang telah tewas itu.

Lima orang pedagang yang usianya sudah setengah tua itu kini berani keluar dari dalam kereta, lalu mereka menghampiri Bi Lan dengan sikap hormat. Pada saat itu Thian Liong datang berlari cepat sambil membawa sebuah kantung kain berwarna biru yang kelihatan berat.

Thian Liong menghampiri lima orang pedagang itu. Dia dapat menduga bahwa tentu lima orang itu yang memiliki barang-barang yang dikawal karena pakaiannya berbeda jauh dari para piauwsu.

"Ini milik kalian yang tadi dilarikan perampok, Terimalahl"

Lima orang pedagang itu nampak girang sekali. Seorang dari mereka menerima kantung biru itu, kemudian mereka berlima segera memberi hormat kepada Thian Liong dan Bi Lan. Mereka semua menyangka bahwa pemuda dan gadis itu tentu merupakan pasangan karena mereka datang pada saat yang sama dan keduanya merupakan orang-orang lihai yang telah menolong mereka.

Seorang dari lima saudagar itu lalu mewakili teman-temannya berkata kepada sepasang muda mudi itu dengan sikap hormat. "Ji-wi taihiap (pendekar besar) dan lihiap (pendekar wanita) telah menyelamatkan nyawa dan harta kami. Untuk itu kami semua mengucapkan banyak terima kasih dan kami harap taihiap berdua sudi menerima sedikit sumbangan dari kami ini sebagai tanda terima kasih kami." Saudagar berjenggot panjang itu lalu membuka kantung biru dan mengeluarkan segenggam uang emas, diserahkan kepada Thian Liong!

Thian Liong mengerutkan alisnya, lantas menggoyang tangan kanan menolak. "Tidak, apa yang kami lakukan sudah merupakan kewajiban kami, kami tidak mengharapkan upah!"

Tetapi Bi Lan sudah melangkah maju dan sekali tangannya bergerak, dia telah menampar tangan yang menggenggam uang emas itu sehingga saudagar itu berteriak kesakitan dan uang emasnya berhamburan di atas tanah.

"Engkau ini sungguh seorang yang sama sekali tidak mengenal budi, sudah ditolong tapi malah balas menghina dengan memberikan segenggam uang! Lupakah kalian bahwa kami berdua bukan hanya telah menyelamatkan harta bendamu akan tetapi juga nyawa kalian berlima dan belasan orang pengawal kalian? Apakah nyawa kalian semua harganya hanya segenggam uang emas ini? Betapa murahnya nyawa kalian!"

Lima orang saudagar itu sangat terkejut dan menjadi ketakutan. Si jenggot panjang yang agaknya menjadi pemimpin mereka cepat membungkuk-bungkuk kepada Bi Lan, memberi hormat dan berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.

"Ampunkan kami, lihiap, kami memang bersalah. Sekarang harap lihiap suka mengatakan apa yang lihiap kehendaki. Kami pasti akan memenuhi permintaan lihiap untuk membalas budi lihiap."

”Sebenarnya kami tidak mengharapkan apa-apa seperti yang dikatakan taihiap ini. Kami bukanlah pengawal kalian yang kalian gaji. Kami menyelamatkan kalian, membunuh dan mengusir penjahat, hanya karena hal itu sudah menjadi kewajiban para pendekar! Tetapi mengingat bahwa nyawa kalian telah diselamatkan, apakah tidak sepantasnya jika nyawa kalian dihargai sedikitnya separuh dari isi kantung uang itu?"

Mendengar ini Thian Liong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak dapat berkata apa-apa. Sementara itu lima orang saudagar itu membungkuk-bungkuk dan si jenggot panjang cepat berkata,

"Tentu saja, lihiap! Tuntutan itu lebih dari pada pantasl"

Dia cepat mengambil sebuah kantung kosong lalu memindahkan sebagian isi kantung biru ke kantung yang masih kosong, bahkan dia sengaja memilih emasnya saja. Setelah emas separuh kantung biru itu dipindahkan, dia lalu meletakkan kantung yang berisi emas itu ke atas tanah di depan Bi Lan sambil berkata,

"Silakan, lihiap. Bingkisan yang tak seberapa ini kami berikan kepada ji-wi (kalian berdua) dengan hati rela dan ikhlas. Kini kami mohon diri hendak melanjutkan perjaianan kami."

Dengan tergesa-gesa lima orang saudagar yang ketakutan melihat Bi Lan marah tadi lalu memberi isyarat kepada para piauwsu dan tidak lama kemudian kereta mereka bergerak meninggalkan tempat itu.

Thian Liong masih berdiri berhadapan dengan Bi Lan. Kantung berisi uang emas itu masih tergeletak di atas tanah, tepat di tengah-tengah di antara mereka. Mereka saling padang dan baru kini Thian Liong bisa mengamati wajah gadis berpakaian serba merah muda itu. Dia menjadi kagum dalam hatinya walau pun kekaguman itu tidak tampak pada wajahnya yang tetap tenang. Siapa yang tidak kagum melihat gadis remaja yang jelita itu?

Usianya paling banyak baru tujuh belas tahun, tetapi ilmu silatnya sangat hebat! Pakaian sutera serba merah muda itu sangat sesuai dengan tubuhnya yang ramping, dan kulitnya yang putih mulus nampak semakin bersih dan lembut dipadu dengan sutera merah yang membungkusnya.

Rambut di kepalanya hitam lebat dan panjang, digelung dengan indahnya dan dihias tusuk sanggul dari emas berbentuk burung kecil bermata merah. Sinom (anak rambut) lembut halus melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya. Sepasang telinga yang bentuknya indah itu terhias anting-anting sehingga membuat dia terlihat lucu dan kekanak-kanakan. Dahi yang halus dan putih itu tampak semakin mulus sebab sepasang alisnya amat hitam, menjelirit kecil melengkung, melindungi sepasang mata yang seperti bintang kejora, pandangannya tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat.

Hidungnya yang mancung itu amat serasi dengan mulutnya yang menggairahkan, dengan bibir yang indah dan kemerahan tanpa gincu, dihias pula dengan sepasang lesung pipit di kanan kirinya. Dagunya meruncing. Kulitnya putih mulus dan tubuh yang mulai dewasa itu seperti bunga sedang mekar atau buah sedang ranum, dengan lekuk lengkung yang amat menggiurkan. Pendeknya, seorang gadis remaja yang cantik jelita!

Tetapi pandang mata Thian Liong nampak tidak senang ketika dia melirik ke arah kantung uang. Sungguh sayang, gadis secantik itu ternyata mata duitan!

"Memalukan," katanya lirih tetapi penuh teguran, "Menerima upah untuk menolong orang. Seperti tukang pukul saja."

Gadis itu membelalakkan matanya sehingga kini matanya tampak lebar sekali, membuat wajahnya tampak lucu. Akan tetapi setelah melebarkan mata, dia kemudian mengerutkan alisnya dan matanya mencorong, bibirnya cemberut. Tampak jelas sekali bahwa gadis ini sedang marah!

"Apa kau bilang? Memalukan? Engkau munafik!" Dia memaki.

"Munafik? Aku?" Thian Liong melongo heran dan kaget dimaki munafik.

"Ya, engkau munafik! Coba jawab, apakah engkau memiliki banyak uang?"

Thian Liong menggelengkan kepalanya. 'Tidak sama sekali."

"Jawab lagi. Apakah engkau tidak membutuhkan makan, pakaian dan juga tempat tinggal untuk melewatkan malam?"

"Tentu saja aku membutuhkan."

"Jawab lagi. Jika engkau merasa lapar, apakah engkau mengemis makanan atau mencuri makanan? Jika pakaianmu rusak, dan sepatumu yang sudah butut sekali itu perlu diganti, dari mana engkau akan mendapatkan semua itu? Mencuri? Dan kalau engkau menginap di rumah penginapan, apakah setelah bermalam kemudian paginya engkau minggat tanpa membayar? Hayo jawab! Untuk semua itu engkau membutuhkan uang ataukah tidak?"

Diberondong begitu dan melihat sikap gadis itu membusungkan dada seperti menantang, Thian Liong menjadi gelagapan sehingga harus menelan ludah sebelum menjawab.

"Ya... ehh, tentu saja untuk semua itu aku membutuhkan uang."

"Bagus, ya? Engkau membutuhkan uang padahal engkau tidak punya uang, dan sekarang ada orang yang memberimu uang tapi engkau pura-pura menolak dan berani mengatakan memalukan. Apa lagi namanya itu kalau bukan munafik?"

"Akan tetapi aku menolong mereka bukan untuk memperoleh bayaran uang!" Thian Liong membantah.

"Berlagak suci! Kita tidak minta uang tetapi mereka yang memberikan kepada kita karena mereka ingin membalas budi. Uang ini sudah sepantasnya menjadi milik kita. Apa artinya uang sebegini kalau dibandingkan dengan harta kekayaan dan nyawa mereka berlima itu? Ini adalah uang halal, sama sekali tidak haram, tahu?"

Bi Lan membuka kantung itu, kemudian menuangkan isinya ke atas tanah dan membagi potongan-potongan emas itu menjadi dua. Yang setengah bagian dia masukkan ke dalam buntalan kuning berisi pakaiannya, ada pun yang setengahnya lagi dia masukkan kembali ke dalam kantung biru.

"Nah, yang itu adalah bagianmu. Ambillah!" katanya sambil menudingkan telunjuk kirinya yang kecil mungil ke arah kantung biru itu.

Akan tetapi Thian Liong tidak mengacuhkan kantung itu, melainkan menghampiri mayat perampok gendut yang tewas oleh ranting di tangan Bi Lan tadi. Dia membungkuk untuk memungut pedang milik perampok gendut yang tewas itu lalu mulailah dia menggunakan pedang itu untuk menggali tanah.

Melihat pemuda itu tak mengacuhkannya malah menggali lubang di tanah, Bi Lan menjadi penasaran. Dia menghampiri pemuda itu dan menegur, "Hei, apa-apaan yang kau lakukan ini?"

Semenjak tadi Thian Liong menahan kedongkolan hatinya terhadap gadis itu. Mendengar teguran itu, dia segera menghentikan pekerjaannya kemudian berdiri menghadapi Bi Lan, memandang dengan sinar mata tajam mengandung marah dan berkata, suaranya masih lirih dan lembut namun mengandung nada suara teguran keras.

”Nona, engkau masih amat muda namun sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sungguh sayang sekali bahwa engkau terlalu kejam!"

Sekarang gadis itu yang terbelalak, kaget dan heran, lalu alisnya berkerut dan dia menjadi marah. "Aku kejam?"

"Ya, engkau kejam! Engkau telah membunuh orang ini padahal tanpa membunuhnya pun, dengan mudah engkau akan dapat mengalahkannya!" kata Thian Liong penasaran, lantas melanjutkan pekerjaannya menggali lubang kuburan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar