Kisah Si Naga Langit Jilid 08

Setelah ditinggal suaminya, Hong Yi duduk sambil menundukkan wajah. Sikapnya tenang saja walau pun sesungguhnya hatinya mulai merasa curiga dan khawatir.

"Nona Liang Hong Yi, kenapa engkau menundukkan muka saja? Apakah engkau merasa malu kepadaku? Seorang calon prajurit tidak boleh malu-malu!" kata Ciang-goanswe.

Hong Yi mengangkat muka memandang wajah panglima itu. Dari sinar mata lelaki itu dia dapat melihat jelas sekali bahwa panglima itu memang memiliki niat tidak sopan terhadap dirinya.

"Saya tidak malu, ciangkun. Akan tetapi kenapa ciangkun menahan saya disini? Apa lagi yang hendak ciangkun tanyakan?"

"Aku harus mengujimu lebih dulu sebelum menerimamu sebagai prajurit, nona. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar memiliki kepandaian silat yang memadai untuk ikut bertempur. Jika engkau ternyata hanya seorang wanita lemah, tentu saja aku tidak boleh menerimamu karena hal itu berarti mengantarmu untuk dibantai musuh. Nah, aku hendak menguji ilmu silatmu. Bersediakah engkau?"

Hong Yi cepat bangkit berdiri. "Tentu saja saya siap, ciangkun!" katanya dengan perasaan lega sebab kalau hanya diuji ilmu silatnya, tentu saja dia siap dan dia penuh kepercayaan kepada diri sendiri bahwa kepandaiannya akan cukup memadai karena selania bertahun-tahun Bian Hui Nikouw menggemblengnya dengan sungguh-sungguh dan dia juga berlatih dengan tekun.

Ciang-ciangkun bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu melangkah ke tengah ruangan. "Ke sinilah, nona. Jika engkau dapat menahan sepuluh jurus seranganku berarti engkau lulus dan sudah pantas untuk menjadi komandan regu."

Hong Yi menghampiri panglima itu, berdiri di depannya lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kedua lengannya disilangkan di depan dengan jari-jari tangan terbuka. Itulah pembukaan jurus Garuda Mengatupkan Sepasang Sayapnya.

"Saya sudah siap, ciangkun." katanya.

Ciang Sun Bo adalah seorang laki-laki yang sejak muda sudah berkecimpung dalam dunia kemiliteran. Sejak di utara dia sudah menjadi seorang komandan, lalu ikut pula berperang ketika Kerajaan Sung diserang oleh bangsa Kin. Dia ikut mengundurkan dan melarikan diri ke selatan, dan karena kesetiaannya dia diangkat menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia pun terkenal sebagai seorang laki-laki mata keranjang. Maka, begitu melihat Hong Yi yang cantik manis, hatinya tertarik untuk mempermainkannya.

Ciang Sun Bo adalah seorang ahli silat yang bertenaga besar. Dengan tenaga raksasanya itu dia sangat menggiriskan musuh-musuhnya dalam pertempuran. Golok besarnya yang berat itu berkelebatan tak tertahankan lawan saking kuatnya senjata itu digerakkan.

Setelah berdiri saling berhadapan dengan Hong Yi, Ciang-ciangkun lantas berseru, 'Lihat seranganku!"

Tangan kanannya yang besar dan berlengan panjang itu meluncur ke arah pundak Hong Yi. Gerakannya mencengkeram pundak itu mendatangkan angin yang menyambar kuat. Hong Yi cepat mengelak ke kanan sehingga pundak kirinya terhindar dari cengkeraman. Akan tetapi tangan kiri panglima itu sudah meluncur ke arah perutnya! Kembali Hong Yi menghindarkan diri dengan elakan ke belakang.

"Bagus! Sekarang sambutlah serangan jurus kedua!" kata panglima itu dengan gembira. Kini kedua lengannya berkembang dan dia melakukan gerakan menubruk seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Hong Yi kembali mengelak dengan loncatan ke belakang.

Panglima atau Jenderal Ciang menjadi kagum dan dia pun melanjutkan serangannya yang menjadi semakin dahsyat. Hong Yi menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan selalu mengelak dengan amat cepatnya, bagaikan gerakan seekor burung walet sehingga semua serangan itu tak pernah menyentuh tubuhnya. Setelah menyerang sebanyak tujuh jurus, Panglima Ciang berhenti dan berkata.

"Nona, kalau seorang prajurit selalu mengelak dalam pertempuran, akhirnya dia akan mati terkena serangan musuh. Sebagai seorang prajurit yang bertempur, engkau jangan hanya mengelak saja, tetapi harus membalas juga!"

Mendengar ini, Hong Yi lantas bergerak menyerang. Akan tetapi karena yang diserangnya adalah seorang panglima yang tengah mengujinya dan pertandingan itu hanya merupakan ujian terhadap kemampuannya, maka tentu saja gerakan serangannya itu tidak didukung tenaga sepenuhnya dan dilakukan lambat saja. Dengan jari-jari terbuka tangan kanannya menampar ke arah dada panglima Ciang.

Akan tetapi mendadak panglima itu bergerak cepat menyambut serangan tangan Hong Yi dengan sambaran tangan kanan yang menangkap pergelangan tangan kanan Hong Yi lalu dengan sentakan tenaga raksasa yang amat kuat dia telah memuntir lengan kanan wanita itu dan terus menelikung lengan Hong Yi ke belakang tubuh. Tubuh Hong Yi berputar dan kini panglima itu mendekap tubuhnya dari belakang, lantas jari-jari tangan kiri panglima itu dari belakang menggerayangi dan meremas buah dadanya!

Hong Yi terkejut dan marah sekali. Tadi dia memang sengaja mengalah karena tentu saja dia tidak mau menyerang benar-benar agar serangannya jangan sampai mengenai tubuh Ciang-ciangkun, apa lagi sampai mengalahkannya. Akan tetapi sikapnya yang mengalah itu ternyata bahkan disalah gunakan panglima itu yang berbuat kurang ajar terhadapnya. Karena terkejut merasa betapa buah dadanya diremas, Hong Yi mengerahkan tenaganya, memutar tubuh ke kiri secara tiba-tiba lalu dengan hentakan keras dia menggerakkan siku lengan kirinya ke belakang menghantam dada panglima itu.

"Dukkk...!"

Dengan keras sekali siku kiri Hong Yi menghantam dada Panglima Ciang sehingga tubuh panglima itu terjengkang, mulutnya mengeluarkan keluhan mengaduh. Hong Yi sudah tak mau mempedulikannya lagi, maka wanita ini segera berlari keluar ruangan itu menuju ke ruangan depan ke mana suaminya pergi.

"He, tunggu, keparat!" Panglima Ciang memaki marah dan mengejar.

Ketika Hong Yi memasuki ruangan depan, dia melihat suaminya sedang berdiri di depan seorang petugas yang agaknya menanyakan segala macam data mengenai diri mereka. Hong Yi berlari masuk sehingga mengejutkan semgambua oaang,

"Yi-moi, ada apakah?” Si Tiong bertanya heran. Akan tetapi Hong Yi segera menyambar tangannya kemudian menarlknya.

"Mari, Tiong-ko, klta pergi saja dari tempat ini!" Hong Yi menarik tangan suaminya yang terpaksa mengikutinya.

Mereka berlari keluar dari ruangan itu dan tiba di pekarangan gedung. Tetapi pada saat itu Panglima Ciang keiuar pula dari ruangan itu dan berteriak kepada para prajurit penjaga di luar yang berjumlah lima belas orang.

"Tahan mereka! Tangkap mereka!"

Begitu mendengar aba-aba panglima atasan mereka, lima belas orang prajurit itu serentak bergerak dan mereka sudah mengepung Si Tiong dan Hong Yi. Sekarang suami isteri itu sudah terkepung, namun mereka pun siap membela diri dan berdiri saling membelakangi.

"Ciangkun, apakah kesalahan kami? Kenapa kami hendak ditangkap?" Si Tiong berteriak kepada panglima itu dengan penasaran.

"Tiong-ko, kita tidak bersalah sama sekali. Aku tidak melakukan kesalahan, demikian pula engkau. Percayalah kepadaku!" kata Hong Yi lirih kepada suaminya.

"Tangkap mereka, jebloskan mereka ke dalam penjara!" Panglima Ciang berteriak dengan marah.

Lima belas orang prajurit itu serentak menyerbu dan tangan-tangan mereka berserabutan hendak menangkap Si Tiong dan Hong Yi. Tentu saja suami isteri itu tidak membiarkan dirinya ditangkap. Mereka mengelak, menangkis, bahkan juga menampar dan menendang mereka sehingga para prajurit itu berpelantingan.

Melihat ini, Panglima Ciang menjadi semakin marah. "Gunakan senjata, kalau perlu bunuh mereka!" Dia sendiri sudah mencabut golok besar yang berat dan berkilauan. Para prajurit yang mendengar perintah ini segera mencabut senjata tajam masing-masing.

Pada saat itu terdengar suara bentakan menggeledek, "Tahan! Jangan bergerak semua!"

Semua orang menengok dan Panglima Ciang menjadi terkejut sekali ketika melihat siapa yang mengeluarkan bentakan itu. Si Tiong dan Hong Yi juga cepat menengok dan mereka melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya gagah dan berwibawa, pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang panglima yang berkedudukan tinggi. Di belakang panglima ini berdiri tujuh orang perwira tinggi lainnya.

Panglima Ciang Sun Bo tergopoh-gopoh menyambut panglima itu, cepat memberi hormat sambil menyebut, "Gak Tai-ciangkun (Panglima Besar Gak)!"

Mendengar sebutan ini, Si Tiong dan Hong Yi memandang kagum. Biar pun belum pernah bertemu, namun kedua suami isteri itu pernah mendengar nama Panglima Gak Hui yang terkenal di seluruh negeri sebagai seorang panglima yang gagah perkasa, bijaksana dan amat setia kepada negara, setia kepada Kerajaan Sung.

"Panglima Ciang, apa yang terjadi di sini? Mengapa engkau dan para prajurit mengeroyok dua orang muda ini?" Dia memandang ke arah Si Tiong dan Hong Yi.

Panglima Ciang tampak gugup. "...anu, Tai-ciangkun, dia... wanita ini berani melawan dan suaminya itu membantu.."

Panglima Gak Hui memandang kepada Si Tiong, lalu kepada Hong Yi dan diam-diam dia merasa heran mengapa ada wanita cantik dalam kantor penerimaan calon prajurit itu.

"Siapa nama kalian?". tanya panglima Gak Hui.

Si Tiong dan Hong Yi melangkah maju kemudian memberi hormat kepada panglima yang terkenal itu. "Saya bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteri saya bernama Liang Hong Yi, tai-ciangkun."

"Hemm, Nyonya, benarkah engkau melawan Ciang-ciangkun? Kalau benar, mengapa?"

Hong Yi sudah pernah bergaul dengan pria-pria bangsawan, sebab itu dia tidak malu-malu berhadapan dengan seorang panglima besar.

"Maafkan saya, tai-ciangkun. Kami tak bersalah. Saya dengan suami saya datang ke sini untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit. Kami ingin berjuang untuk membela negara dan bangsa, menentang bangsa Kin yang menjajah tanah air kita. Kami lalu diterima Panglima Ciang, kemudian dia hendak menguji ilmu silat saya, tetapi dia... dia bersikap tidak wajar dan melanggar susila, maka terpaksa saya melawannya, tai-ciangkun."

Jenderal Gak Hui mengerling ke arah Panglima Ciang. Dia telah lama mendengar tentang watak rekannya ini yang terkenal mata keranjang, maka dia sudah dapat membayangkan apa yang agaknya terjadi. Dari sepak terjang suami isteri muda ketika dikeroyok tadi, dia melihat bahwa mereka berdua, terutama si suami, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Tentu Pariglima Ciang sudah bersikap tidak sopan terhadap wanita cantik itu, akan tetapi dia bertemu dengan batu, wanita itu menolak dan melawan.

"Apa yang kau lakukan, Ciang-ciangkun?" tegurnya dengan suara tegas.

Panglima Ciang menjadi merah mukanya. Biar pun Jenderal Gak Hui termasuk rekannya, akan tetapi kekuasaan Jenderal Gak Hui lebih besar dibandingkan dia, apa lagi jenderal ini juga menjadi kepercayaan kaisar.

"Saya... saya sudah menerima mereka, Gak-ciangkun. Saya... saya hanya ingin menguji wanita itu, baik ilmu silatnya mau pun mentalnya karena tidak biasanya ada wanita yang mau menjadi prajurit."

"Hemm, sudahlah. Aku sendiri yang akan menerima Han Si Tiong dan isterinya ini, untuk menjadi pembantu-pembantuku."

Bukan main girangnya hati Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Tentu saja mereka merasa bangga bukan kepalang dapat menjadi pembantu-pembantu Jenderal Gak Hui yang amat terkenal dan dipuja rakyat jelata itu. Jenderal ini sudah terkenal sebagai pelindung rakyat jelata yang diganggu oleh para penjahat dan para prajurit Kerajaan Kin di perbatasan.

Memang Jenderal Gak Hui melarang keras pasukannya mengganggu rakyat, bahkan dia memerintahkan pasukannya supaya membantu rakyat dalam membangun dusun mereka yang rusak oleh perang, juga menolong rakyat bila mereka membutuhkan pertolongan.

"Banyak terima kasih, Gak tai-ciangkun!" Suami isteri itui berseru sambil memberi hormat.

Sesudah menyelesaikan kunjungannya untuk memeriksa pelaksanaan penerimaan calon-calon prajurit, Jenderal Gak Hui kemudian meninggalkan gedung Panglima Ciang sambil mengajak Si Tiong dan isterinya.

Jenderal Gak Hui mengajak mereka ke markasnya, dan sesudah melihat pasangan suami isteri ini mendemonstrasikan permainan silat mereka, Jenderal Gak Hui lalu mengangkat suami isteri itu menjadi perwira-perwira. Hong Yi tidak dipisahkan dari suaminya, bahkan diangkat menjadi pembantu perwira yang selalu mendampingi suaminya dalam memimpin pasukan. Tentu saja suami isteri ini menjadi girang bukan main dan berterima kasih sekali atas keputusan Jenderal Gak Hui yang bijaksana.

Sewaktu mereka bertugas di kota raja, pekerjaan mereka adalah melatih ilmu silat kepada para prajurit. Tugas ini mereka lakukan dengan penuh kesungguhan dan tekun sehingga para prajurit dalam pasukan yang dipimpin oleh mereka mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat dan olah keprajuritan.

Tentu saja Jenderal Gak Hui merasa puas dan girang bahwa dia tidak salah pilih ketika mengangkat suami isteri itu menjadi pembantunya. Hanya dalam waktu singkat saja Han Si Tiong telah mendapatkan kenaikan pangkat sehingga dia dan isterinya dipercaya untuk memimpin pasukan yang berjumlah ribuan orang.

Setahun kemudian Hong Yi melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Han Bi Lan. Tentu saja peristiwa ini menambah kebahagiaan suami isteri itu. Mereka kemudian mengirim utusan untuk menjemput Lu-ma karena Hong Yi membutuhkan bantuan bibinya itu untuk merawat dan mengasuh Bi Lan. Pula dia merasa kasihan kepada bibinya yang dahulu memang menginginkan untuk ikut dengannya bila mimpinya sudah terwujud, yaitu kalau dia dan suaminya telah memperoleh kedudukan dan kemuliaan di kota raja Lin-an.

Lu-ma datang dan dia merasa sangat bahagia. Walau pun dia dapat hidup berkecukupan sebagai pengelola rumah hiburan di Cin-koan, namun dia tidak pernah merasa bahagia, apa lagi sesudah ditinggal pergi Hong Yi. Dia menyayangi Hong Yi seperti anak kandung sendiri dan kini dia dapat hidup serumah dengan Hong Yi dan suaminya, apa lagi dia kini mempunyai momongan seorang cucu yang mungil! Maka dia mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya ketika dia tinggal di Cin-koan…..

********************

Kaisar Kao Tsung mengumpulkan para menteri serta semua panglima untuk mengadakan persidangan dan membicarakan usul yang diajukan oleh Jenderal Gak Hui kepada Kaisar. Persidangan itu dihadiri oleh semua pejabat tinggi, sipil dan militer. Tentu saja hadir pula Perdana Menteri yang merupakan pembantu kaisar yang terpenting. Perdana Menteri itu adalah Chin Kui.

Menteri Chin Kui adalah seorang laki-laki tinggi kurus berusia sekitar lima puluhan tahun. Mulutnya selalu condong tersenyum sinis, bentuk mukanya dan sepasang telinganya yang kecil membuat wajah itu mirip wajah tikus dengan kumisnya yang jarang dan menjuntai di kanan kiri mulutnya. Tetapi sepasang mata yang kecil itu selalu bergerak, membayangkan kecerdikan dan dia pandai membawa diri, pandai mengambil hati. Memang Menteri Chin Kui pandai bicara sehingga dapat mengambil hati Kaisar Kao Tsung dan amat dipercaya.

Persidangan segera dibuka sesudah munculnya Kaisar Kao Tsung yang disambut dengan penghormatan oleh seluruh bawahannya. Kaisar Kao Tsung lalu berkata dengan suaranya yang lembut,

"Persidangan ini kami adakan untuk membicarakan usul yang disampaikan Jenderal Gak Hui kepada kami. Kami harap kalian dapat memberi sumbangan pikiran bagaimana jalan terbaik yang harus diambil. Jenderal Gak, harap engkau suka kemukakan usulmu itu agar para menteri dan panglima dapat mendengarkan lalu ikut membantu memikirkan."

Jenderal Gak Hui memberi hormat kepada kaisar sambil mengucapkan terima kasih atas kesempatan bicara yang diberikan, lalu dia bangkit dan menghadap ke arah para menteri dan panglima.

"Saudara-saudara, para menteri dan panglima yang saya hormati. Saya telah mengajukan usul kepada Sribaginda Kaisar supaya saya diperkenankan menghimpun serta memimpin barisan untuk menyerang bangsa Kin dan mengusir mereka dari tanah air kita. Sekarang adalah saat yang terbaik untuk bergerak dan mengusir mereka."

Kaisar Kao Tsung mengangkat tangan memberi isyarat sehingga Jenderal Gak Hui lantas menghentikan ucapannya dan memberi hormat kepada kaisar lalu duduk kembali.

"Jenderal Gak Hui, kami ingin sekali mendengar alasanmu, kenapa engkau menganggap sekarang adalah saat terbaik untuk bergerak dan menyerang pasukan bangsa Kin?”

"Sribaginda Kaisar Yang Mulia, anggapan hamba ini berdasarkan alasan-alasan yang kuat sekali. Hamba tidak akan berani mengajukan usul ini kepada paduka apa bila hamba tidak merasa yakin benar. Pertama, dari para mata-mata serta penyelidik yang hamba kirim ke utara, hamba mendapat keterangan bahwa keadaan bangsa Kin yang menduduki daerah utara kini tidak terlampau kuat. Banyak kekacauan terjadi akibat rakyat memusuhi mereka sehingga rakyat tidak mau membantu ransum mereka secara suka rela. Kecuali itu terjadi pertikaian serta perebutan kekuasaan di antara para komandan yang menguasai daerah jajahan mereka itu. Ada pun alasan yang kedua, hamba sudah mempersiapkan pasukan dengan baik sehingga terkumpul barisan yang berjumlah cukup banyak. Selain itu, hamba juga sudah membentuk pasukan-pasukan inti yang dilatih ilmu silat dengan baik, bahkan didukung oleh para pendekar yang berjiwa patriot. Karena itu hamba yakin bahwa kalau hamba membawa barisan bergerak sekarang, hamba tentu akan berhasil membinasakan dan memukui mundur mereka."

Kaisar Kao Tsung mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Bagus sekali, Jenderal Gak Hui. Kami merasa setuju sekali karena kami pun sudah terlalu lama menanti-nanti saatnya untuk melihat bangsa Kin yang biadab itu dihancurkan supaya segala dendam sakit hati ini dapat terbalas. Akan tetapi kami juga ingin mendengar pendapat kalian. Kemukakanlah pendapat kalian agar kita dapat memikirkan dan merundingkan bersama."

Sebagian besar dari para menteri dan panglima dengan singkat namun tegas menyatakan mendukung usul dan pendapat Jenderal Gak Hui. Ketika tiba-tiba giliran Panglima Ciang Sun Bo untuk menyatakan pendapatnya, dia memberi hormat kepada kaisar lalu berkata,

"Hamba mohon ampun, Sribaginda Yang Mulia. Bukan sekali-kali hamba ingin menentang usul pendapat Jenderal Gak Hui, tetapi hamba hanya mengingatkan agar paduka berhati-hati sekali dalam mengambil keputusan untuk menyerang bangsa Kin. Hamba mendengar dan agaknya semua orang juga mengetahui bahwa bala tentara Kin sangat kuat sehingga hamba khawatir kalau-kalau barisan kita tidak akan mampu mengalahkan mereka."

Jenderal Gak Hui mengerutkan alisnya kemudian menoleh kepada Panglima Ciang Sun Bo. "Ciang-ciangkun, kalau engkau takut, jangan ikut maju berperang!"

"Jenderal Gak Hui, biarkan semua orang mengajukan pendapat mereka masing-masing," kata Kaisar Kao Tsung.

"Ampunkan hamba, Yang Mulia." kata Jenderal Gak Hui sambil mengerutkan alisnya dan menundukkan mukanya.

Dia maklum bahwa Panglima Ciang Sun Bo sengaja menentangnya karena memang ada perasaan tidak suka antara dia dan Panglima Ciang, apa lagi setelah peristiwa beberapa tahun yang silam, yaitu ketika terjadi keributan di gedung panglima itu karena dia hendak berbuat tidak sopan terhadap Liang Hong Yi yang kini bersama suaminya sudah menjadi pembantunya yang boleh diandalkan. Karena jasa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi itulah maka sekarang bisa dibentuk pasukan khusus yang kuat sehingga membesarkan hatinya untuk menyerang bangsa Kin di utara.

Perdana Menteri Chin Kui yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan saja, tiba-tiba berkata dengan suaranya yang halus namun cukup lantang.

"Yang Mulia, hamba kira apa yang dikatakan Panglima Ciang Sun Bo tadi sama sekali tak keliru sehingga patut diperhatikan dan direnungkan. Semua orang tahu alangkah kuatnya bala tentara Kin itu. Tentu paduka tidak lupa bahwa kejatuhan Sung di utara justru karena pasukan kita yang terlebih dahulu menyerang bala tentara Kin. Hal itu yang menyebabkan bangsa Kin menyerang terus sampai ke selatan. Tentu paduka tidak lupa akan kesalahan taktik yang ketika itu diusulkan oleh Perdana Menteri Cai Ching. Dia mengusulkan kepada mendiang Kaisar Hui Tsung untuk mengejar dan menyerang barisan Kin di utara sehingga para pimpinan Kin menjadi marah lalu berbalik menyerang kita sampai kerajaan terpaksa diungsikan ke sini. Yang Mulia, sebaiknya jangan mengganggu harimau yang tengah tidur. Saat ini bangsa Kin tenang-tenang saja tidak mengganggu kita, mengapa kita mendahului menyerang mereka?"

Kaisar Kao Tsung mengerutkan alisnya dan memandang kepada Perdana Menterinya itu dengan heran. "Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana engkau dapat berkata begitu? Jadi menurut engkau, kami tidak usah memusuhi bangsa Kin, tidak usah membalas dendam atas kematian ayahanda kami, tidak berusaha untuk merebut kembali wilayah Sung yang telah dirampasnya! Begitukah?" Dalam suara Kaisar Kao Tsung terkandung kemarahan.

"Ampun, Yang Mulia. Sama sekali bukan demikian maksud hamba. Akan tetapi kita tidak bisa selalu mengandalkan kekuatan tenaga. Kekuatan tenaga kasar belaka tanpa dibantu oleh pemikiran yang mendalam dan cerdik dapat menggagalkan semua usaha. Kalau kita hendak menyerang Bangsa Kin, kita harus mempergunakan perhitungan yang tepat, tidak sembrono. Mohon Paduka bayangkan, kalau kita sembrono lalu serangan itu gagal sama sekali, malah mengakibatkan bala tentara Kin menyerbu ke selatan kemudian menguasai seluruh negeri, bukankah hal itu akan merupakan sebuah mala petaka yang mengerikan? Kini hamba hendak bertanya kepada Jenderal Gak Hui, karena dialah yang mengusulkan penyerangan ke utara ini. Kalau penyerangan ini sampai gagal dan akibatnya seperti yang hamba khawatirkan itu, lalu siapa yang akan bertanggung jawab?"

Mendengar ucapan itu, Kaisar Kao Tsung lalu menoleh kepada Jenderal Gak Hui. Wajah Jenderal Gak Hui menjadi merah sekali. Hatinya yang keras dan penuh kesetiaan kepada Kerajaan Sung menjadi panas.

"Hamba tidak akan gagal, Yang Mulia!" katanya kepada kaisar yang masih memandang kepadanya.

"Akan tetapi di dunia ini tidak ada yang pasti, Gak Ciangkun. Bahkan hidup kita pun tidak dapat dipastikan kapan berhentinya. Bagaimana kalau engkau gagal, kalah dalam perang melawan bala tentara Kin? Bagaimana pertanggungan jawabmu kepada Yang Mulia, juga terhadap bangsa dan terhadap kerajaan?" Suara Perdana Menteri Chin Kui mengandung tantangan dan ejekan.

Jenderal Gak Hui merasa dadanya seolah hendak meletus saking marahnya. Akan tetapi di depan kaisar dia tidak berani memperlihatkan kemarahan dan menahan perasaannya. Apa yang hendak dia lakukan adalah demi kepentingan kerajaan dan bangsa, akan tetapi kegagalannya akan ditimpakan kepada dia seorang!

"Kalau saya gagal, saya bersedia untuk dipecat dan dijatuhi hukuman yang paling berat, Chin-taijin (Pembesar Chin)l" katanya sambil menatap wajah Perdana Menteri itu dengan sinar mata tegas dan keras.

"Bagus! Tentu saja kalau gagal engkau tidak cukup mengucapkan maaf lalu lepas tangan. Engkau mempertaruhkan nasib kerajaan dan bangsa dalam usulmu ini, ciangkun!"

"Sudahlah, Perdana Menteri Chin Kui!" kata Kaisar Kao Tsung.

"Jenderal Gak Hui sudah menyatakan pendapat dan kesanggupannya untuk bertanggung jawab. Kami mengenal Jenderal Gak Hui sebagai seorang gagah yang selalu memegang teguh kata-katanya. Kami juga percaya bahwa dia tentu akan berhasil. Karena itu kami memutuskan menerima usulmu, Jenderal Gak Hui. Laksanakanlah seperti yang telah kau rencanakan itu!"

"Terima kasih atas kepercayaan paduka. Hamba siap untuk melaksanakan perintah, Yang Mulia!" kata Jenderal Gak Hui dengan suara tegas yang mengandung kegembiraan.

Persidangan dibubarkan, dan Jenderal Gak Hui cepat kembali ke markasnya. Dia segera memanggil semua pembantu utamanya, yaitu para perwira yang menjadi komandan dari pasukan-pasukannya. Sesudah mereka berkumpul, di antara mereka terdapat pula Han Si Tiong dan isterinya, Liang Hong Yi, Jenderal Gak lalu menceritakan tentang persetujuan kaisar yang menerima usulnya untuk melakukan penyerbuan ke utara, mengusir penjajah Kin.

”Aku peringatkan kepada kalian bahwa kita semua adalah pengemban-pengemban tugas yang mulia, yaitu membela bangsa dan tanah air kita dengan taruhan nyawa. Hidup yang sempurna berarti dapat melaksanakan tugas dengan baik karena hidup ini sendiri berarti memikul tugas-tugas. Untuk dapat menjadi seorang manusia seutuhnya, kita harus dapat melaksanakan semua tugas itu dengan sebaik-baiknya. Tugas pertama dan utama adalah tugas seorang manusia terhadap Tuhannya, yaitu menaati semua perintah Tuhan melalui kitab agama masing-masing yang tentu bersumber pada kebaikan dan hidup bermanfaat bagi manusia dan dunia. Di dalam tugas utama ini tercakup tugas-tugas lain yang banyak macamnya, misalnya tugas kewajiban sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, sebagai seorang anak terhadap orang tuanya, sebagai suami terhadap isterinya atau sebaliknya, sebagai anggota keluarga terhadap sanak keluarganya, sebagai guru terhadap muridnya atau sebaliknya, sebagai anggota masyarakat, sebagai sahabat, sebagai warga negara terhadap negaranya dan sebagainya. Termasuk tugas yang sekarang kalian emban, yaitu tugas seorang prajurit terhadap atasan dan pasukannya, sebagai seorang patriot terhadap bangsa dan tanah airnya. Jika hendak menjadi seorang manusia seutuhnya, maka semua tugas itu harus dilaksanakan dengan baik. Kalau satu saja tugas itu diabaikan, dia tidak dapat menjadi manusia baik yang seutuhnya! Biar pun semua tugas yang kusebutkan tadi telah kalian laksanakan dengan baik, akan tetapi kalau kalian tidak memenuhi tugas kalian sebagai seorang prajurit dan patriot, maka kalian tetap akan menjadi orang yang tercela. Terlebih lagi kalau ada di antara kalian yang mengkhianati perjuangan. Nama pengkhianat akan dikutuk rakyat selama hidupnya. Aku yakin bahwa kalian adalah patriot-patriot yang gagah perkasa, yang siap mempertaruhkan nyawa demi keselamatan bangsa dan tanah air, demi kehormatan Kerajaan Sung."

Setelah memberi peringatan kepada para perwira itu, Jenderal Gak lantas membagi-bagi tugas kepada mereka. Sesudah pertemuan itu dibubarkan, Jenderal Gak memanggil Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke dalam kantornya.

"Kalian sudah berjasa besar dalam menggembleng Pasukan Halilintar sehingga pasukan yang kalian pimpin itu dapat dijadikan pasukan inti yang akan mempelopori dan memberi dorongan semangat kepada seluruh pasukan. Akan tetapi jasa kalian itu belum terbukti manfaatnya bagi kerajaan. Sekarang tiba saatnya kalian membuktikan bahwa kalian dan pasukan kalian betul-betul bisa diandalkan dan menjadi tulang punggung seluruh barisan. Apakah kalian berdua sudah siap lahir batin untuk melaksanakan tugas yang amat penting akan tetapi juga amat berbahaya ini?"

Dengan sikap tegak dan suara tegas pasangan suami isteri itu menjawab serentak, "Kami siap melaksanakan tugas, Tai-ciangkun!"


Gak Hui memandang suami isteri itu dengan kagum dan bangga. Tak salah penilaiannya terhadap suami isteri ini ketika pertama kali dia melihat mereka di dalam rumah Panglima Ciang Sun Bo. Han Si Tiong kini sudah menjadi seorang pria gagah perkasa berusia tiga puluh tiga tahun, sedangkan Liang Hong Yi yang juga berpakaian sebagai seorang perwira itu tampak gagah dan cantik manis dalam usianya yang dua puluh enam tahun.

"Sekarang kalian pulanglah untuk membuat persiapan. Seperti telah kita rencanakan tadi, besok pagi-pagi benar sebelum fajar menyingsing, kita akan berangkat"

"Baik, tai-ciangkun!" kedua orang suami isteri itu memberi hormat lalu bergegas pulang ke rumah mereka.

Sebagai perwira mereka telah mendapatkan rumah tinggal sendiri di mana mereka tinggal bersama anak tunggal mereka, Han Bi Lan yang kini telah berusia tujuh tahun dan Lu-ma yang kini selalu kelihatan gembira sehingga tubuhnya menjadi gemuk. Lu-ma inilah yang mengasuh Bi Lan dengan penuh kasih sayang seorang nenek apa bila ayah ibu anak itu meninggalkan rumah untuk bertugas.

Ketika Si Tiong dan Hong Yi baru melangkah masuk melewati pintu depan, Bi Lan, anak perempuan berusia tujuh tahun yang mungil dan manis itu, mendadak menyambut ayah ibunya dengan bentakan nyaring, "Ayah ibu awas seranganku!"

Dengan gerakan yang gesit sekali anak itu telah menyerang ayah ibunya dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan. Mulutnya yang kecil mungil berseru berulang-ulang,

"Haiiittt...! Hiaaattt…!"

Si Tiong dan Hong Yi mengelak, membiarkan anak mereka melakukan serangan bertubi-tubi sampai tujuh jurus. Kemudian Si Tiong menangkap lengan Bi Lan lantas mengangkat tubuh anak itu dan dipondongnya,

"Bagus, Bi Lan. Akan tetapi engkau harus berlatih lebih tekun lagi," kata Si Tiong sambil mencium pipi anaknya.

"Akan tetapi engkau juga tidak boleh melalaikan pelajaranmu membaca dan menulis, Bi Lan." kata Hong Yi.

Lu-ma muncul dari dalam. Badannya gemuk dan sehat, wajahnya penuh dengan senyum. "Mana berani dia melalaikan pelajarannya? Selama ada aku di sisinya, dia tak akan berani bermalas-malasan!"

Bi Lan cemberut dan melapor kepada ibunya. "Ibu, nenek Lu galak dan kejam! Kalau aku tidak menurut, dia tidak mau melanjutkan dongengnya!"

"Bukan galak dan kejam, melainkan karena dia sangat sayang kepadamu, Bi Lan. Nenek ingin engkau menjadi seorang yang pandai dan berguna bagi manusia dan dunia kelak." kata Hong Yi.

"Baiklah, nenekmu yang galak dan kejam ini malam nanti akan melanjutkan dongengnya tentang nenek sihir yang jahat itu," kata Lu-ma sambil tersenyum.

Bi Lan turun dari pondongan ayahnya, lantas lari menghampiri Lu-ma dan memeluknya. "Nenek Lu tidak galak dan kejam, melainkan baik hati sekali! Aku sayang kepadamu, nek. Malam nanti lanjutkan dongengnya, ya?"

Mereka semua tertawa menyaksikan kemanjaan anak itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar