Pedang Awan Merah Jilid 18

Gubernur Coan menyambut dengan gembira dan juga dengan sikap menghormat. Mereka segera dipersilakan memasuki ruang tamu yang sangat luas dan dijamu dengan hidangan mewah, sedangkan semua pengawal diperintahkan keluar oleh sang gubernur. Bukan itu saja, bahkan Gubernur Coan juga memanggil isteri-isterinya beserta tiga orang puteranya untuk mendampinginya menjamu dua orang muda itu. Jelas bahwa dia amat menghormati tamunya dan menganggap mereka seperti tamu agung atau keluarga sendiri.

Sesudah perjamuan selesai dia mengajak mereka berdua untuk masuk ke ruangan dalam, kemudian sang gubernur mengajak Leng Si dan San Ki bicara bertiga saja dalam sebuah kamar baca, tidak dihadiri orang lain.

“Nah, di sini kita dapat bicara dengan santai dan bebas,” katanya kepada Leng Si dan San Ki yang merasa aneh akan sikap tuan rumah yang demikian ramah dan manisnya.

“Paduka telah mengundang kami dan menerima kami dengan baik sekali, taijin,” kata San Ki. “Sesungguhnya apakah yang hendak taijin sampaikan kepada kami atau mungkin taijin menghendaki sesuatu dari kami?”

Gubernur Coan tertawa. “Ha-ha-ha, memang kami senang bergaul dengan para pendekar dan kami kagum sekali dengan kelihaian ji-wi. Sayang sekali kalau tenaga yang demikian hebat seperti ji-wi tidak dimanfaatkan untuk negara dan bangsa.”

“Hemm, benarkah penguasa dapat menghargai tenaga rakyat jelata?” kata Leng Si penuh penasaran. “Penguasa lebih suka mendengar bujukan manis dan kata-kata menjilat para pembesar korup dari pada mendengarkan nasihat pejabat yang baik. Kaisar sekarang pun tidak adil terhadap pejabatnya yang baik.” Leng Si yang teringat akan ayahnya mendadak berkata agak ketus.

Akan tetapi gubernur itu tidak marah. “Ahh, agaknya lihiap mempunyai penasaran. Kalau memang banyak terdapat penjilat dan pembesar korup, justru ini merupakan tugas orang-orang gagah seperti lihiap untuk memberantasnya! Katakanlah, lihiap, ada penasaran apa yang lihiap rasakan? Apakah karena sikap kurang ajar dari perwira itu? Dia sudah minta maaf dan dia sudah dihukum cambuk.”

“Bukan dia, taijin. Dia hanya merupakan urusan kecil yang tidak ada artinya. Akan tetapi Sribaginda Kaisar!”

Gubernur itu nampak terkejut atas keberanian wanita itu memburukkan nama Kaisar, apa lagi di depan dia. “Ada apakah, lihiap?”

“Kaisar lebih mendengarkan bujuk rayu manis para thaikam yang berhati palsu dari pada ucapan yang jujur dari pejabatnya yang setia.”

“Maksud lihiap, apakah yang telah terjadi?”

“Ayah saya adalah seorang pejabat di perpustakaan istana. Karena dia berani menentang kekuasaan thaikam penjilat yang lalim, thaikam itu lantas melemparkan fitnah kepadanya. Dan Sribaginda Kaisar malah menyuruh tangkap ayah saya.”

“Ahh, itu benar-benar membuat penasaran!” kata gubernur dan suaranya terdengar penuh semangat. “Siapakah nama ayah nona itu?”

“Ayahku bernama Cu Kiat Hin!”

“Ahh, kiranya Cu-taijin itu adalah ayah lihiap? Saya juga pernah mendengar urusan yang penasaran itu. Sampai sekarang ayah nona menjadi tahanan di rumah Kiu Thaikam, akan tetapi jangan khawatir, semua itu mungkin hanya kesalah pahaman di pihak Kui-thaikam. Saya kenal baik Kui-thaikam, dan saya akan dapat minta kepadanya agar membebaskan ayah nona.”

“Terima kasih, taijin. Saya akan berterima kasih sekali apa bila taijin dapat mengeluarkan ayahku dari tahanan.”

“Jangan khawatir, lihiap. Ehh, ya, siapakah nama lihiap dan siapa pula nama taihiap?”

“Nama saya Cu Leng Si, taijin. Dan ini suheng-ku bernama Gu San Ki.”

“Gu-taihiap dan Cu-lihiap, urusan Cu-taijin itu serahkan saja kepada kami. Kami tanggung dalam waktu singkat ayah lihiap pasti akan dapat dibebaskan. Memang Sribaginda Kaisar terlalu lemah dan menjadi kewajiban kita untuk mengubah keadaan ini.”

Dua orang muda itu terkejut. Ucapan itu berbau pemberontakan!

“Apa yang taijin maksudkan?” tanya San Ki.

“Jika sebuah pemerintahan tidak baik dan merugikan rakyat, bukankah sudah sepatutnya kalau diubah, dirombak dan diganti? Nah, itulah yang kami maksudkan tadi. Apakah ji-wi merasa tidak setuju?”

“Tentu saja kami sangat setuju!” jawab Leng Si dengan spontan karena dara ini memang merasa jengkel dan marah karena ayahnya ditangkap dan ditahan.

Jawaban yang keras ini disambut Gubernur Coan dengan gembira, dan dia pun mengajak mereka berdua mengangkat cawan arak untuk persamaan pendapat itu.

“Bagaimana kalau untuk tujuan mulia ini ji-wi bekerja untukku? Kami membutuhkan orang-orang gagah yang patriotik, yang suka membela rakyat seperti ji-wi ini, untuk menumpas pejabat yang menindas rakyat jelata. Bagaimana pendapat ji-wi?”

Leng Si dan San Ki saling pandang. Keduanya merasa sangsi dan ragu-ragu, akan tetapi dengan cerdik Leng Si lantas berkata, “Taijin, karena urusan ini gawat dan penting sekali, maukah taijin memberikan kesempatan kepada kami berdua untuk berunding terlebih dulu sebelum memberikan jawabannya?”

Gubernur Coan tertawa. “Ha-ha-ha! Tentu saja, bahkan bagus sekali. Untuk memutuskan suatu urusan penting haruslah dirundingkan semasak-masaknya. Bagaimana jika malam ini ji-wi bermalam di sini? Selama menginap di sini ji-wi dapat berunding berdua dan baru pada keesokan harinya memberi keputusan kepada kami?”

“Baik, taijin.”

Gubernur itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan pelayan supaya mempersiapkan dua buah kamar untuk mereka. Kemudian dia memesan pula kepada kepala pelayan agar dua orang tamu itu dilayani sebaik mungkin.

“Nah, sampai besok pagi, taihiap dan lihiap. Kami masih mempunyai banyak urusan yang harus diselesaikan.”

“Silakan, taijin. Sampai besok!” kata Leng Si dan San Ki.

Malam itu, setelah memeriksa dengan teliti bahwa ruangan di depan kamar mereka tidak ada orang lain sehingga percakapan mereka tidak dapat didengarkan oleh orang lain, San Ki dan Leng Si lalu bercakap-cakap sambil berunding.

“Bagaimana pendapatmu, Ki-suheng?” tanya Leng Si setelah mereka berada berdua saja.

“Hemm, aku mencium sesuatu yang busuk, berbau pemberontakan, sumoi.”

“Aku pun berpikir demikian, suheng. Dan kita bukanlah keturunan pemberontak. Aku tidak sudi diperalat oleh pembesar yang agaknya menghendaki pemberontakan.”

“Benar, kita sependapat, sumoi. Jika menurut pembicaraannya tadi, agaknya gubernur ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada Kaisar. Bahkan dia mengatakan bahwa dia mengenal baik thaikam Kui. Aku jadi curiga atas sikapnya yang ramah dan bersahabat itu. Jelas bahwa dia agaknya hendak mempergunakan kita, sumoi.”

“Biar pun ayahku ditangkap, aku sendiri tidak pernah mendendam kepada Kaisar, suheng, sebab aku mengerti bahwa semua ini adalah ulah Kui-thaikam. Memang Kaisar berwatak lemah, tetapi bukan berarti Kaisar jahat. Lalu apa yang harus kita lakukan, suheng?”

“Hanya tinggal dua pilihan bagi kita, sumoi. Pertama, kita tolak mentah-mentah ajakannya untuk bekerja kepada dia lalu kita pergi dari sini. Kedua, kita terima uluran tangannya, dan kita pura-pura bekerja untuknya, akan tetapi sesungguhnya itu untuk menyelidiki apa yang sebetulnya hendak dia perbuat. Apa bila benar dia merencanakan pemberontakan seperti yang kita duga, maka kita dapat melakukan sesuatu untuk membela kerajaan.”

Leng Si mengangguk-angguk kagum. “Engkau benar, dan aku setuju memilih yang kedua, hitung-hitung sebagai petualangan yang menarik. Bagaimana pendapatmu jika kita terima saja uluran tangannya itu? Kalau Han Lin dan sumoi sampai gagal membebaskan ayahku, siapa tahu dengan bantuan gubernur ini ayahku dapat dibebaskan.”

“Akan tetapi kalau begitu kita akan berhutang budi kepadanya, sumoi.”

“Memang benar, tapi hutang budi tidak harus dibalas dengan membantu pemberontakan. Sudahlah, soal ayahku bagaimana nanti sajalah. Yang penting, kita sudah sepakat untuk menerima uluran tangannya. Kita harus selalu waspada dan bekerja sama, dan kita harus menolak kalau disuruh melakukan kejahatan atau yang sifatnya pemberontakan.”

“Baik, sumoi. Aku setuju dan aku girang sekali bertemu dengan engkau dan dapat bekerja sama seperti ini.”

“Aku juga girang sekali, suheng.”

Keduanya saling bertemu pandang dan keduanya merasa bahwa telah terjalin keakraban dan kecocokan satu sama lain. Akan tetapi San Ki segera teringat kepada Ji Kiang Bwe, maka dia mengerutkan alisnya sambil menarik napas panjang.

Leng Si sempat melihat perubahan pandang mata pemuda itu. Tadinya pandang mata itu begitu mesra dan bahagia ketika memandangnya, tetapi tiba-tiba saja mata itu termenung dengan alis berkerut kemudian ditambah tarikan napas panjang, tanda bahwa hati pemuda itu sudah terganggu sesuatu.

“Ada apakah, Ki-suheng? Engkau kelihatan berduka.”

“Aku tiba-tiba saja teringat akan urusan yang menimpa diriku, yang sangat memusingkan hatiku, sumoi.”

“Ada urusan apakah, suheng? Apakah urusan ini merupakan rahasia pribadimu yang tidak boleh diungkapkan kepada orang lain?”

“Memang urusan pribadi yang tidak boleh dketahui orang lain, akan tetapi kepadamu aku tidak dapat merahasiakannya, sumoi. Entah mengapa timbul kepercayaan besar di dalam hatiku terhadapmu. Baiklah, kau dengarlah masalah yang memusingkan hatiku.”

San Ki lalu menceritakan tentang Ji Kiang Bwe dan suaminya, Souw Kian Bu. Betapa dia datang berkunjung kepada sumoi-nya yang seperti adiknya sendiri itu, dan ketika mereka bertemu dalam suasana akrab, suami sumoi-nya menjadi cemburu dan kini suami sumoi-nya lari pergi meninggalkan rumah dengan marah.

“Aihh, mengapa dia begitu pencemburu? Terus terang saja, suheng, apakah ada apa-apa antara engkau dengan sumoi-mu itu?”

“Sumoi, tadi telah kukatakan bahwa kepadamu aku tidak dapat menyimpan rahasia, maka biarlah engkau mengetahui semuanya biar pun hal ini merupakan rahasia pribadi, bahkan rahasia hatiku. Tidak kusangkal bahwa dulu ketika kami masih sama-sama menjadi murid subo Pek Mau Siankouw, aku sudah jatuh cinta kepada sumoi Ji Kiang Bwe. Akan tetapi karena dia hanya menyayangiku sebagai kakak sendiri, aku pun tidak berani menyatakan cintaku, hingga akhirnya dia pulang ke Kim-kok-pang bahkan menjadi ketuanya. Sejak itu tentu saja aku berada jauh darinya dan setelah berpisah selama bertahun-tahun, baru aku berkunjung kepadanya. Akan tetapi siapa sangka hal itu malah menimbulkan mala petaka bagi sumoi. Suaminya merasa cemburu lalu pergi meninggalkannya. Aku merasa sangat bersalah, sumoi, karena itu kepergianku ini sesungguhnya untuk mencari Souw Kian Bu, suami dari sumoi.”

Leng Si menghela napas panjang. Dia tidak kecewa mendengar masa lalu pemuda yang dikaguminya itu, karena bukankah dia sendiri juga pernah jatuh cinta kepada Han Lin?

“Memang tidak enak sekali kalau kita bertepuk sebelah tangan dalam urusan cinta,” kata Leng Si.

San Ki segera berkata, “Walau pun dahulu aku pernah jatuh cinta kepada sumoi-ku, tetapi sesudah dia menikah dengan sendirinya tidak ada sedikit pun pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku bukan orang macam itu, Si-sumoi. Sesudah suami sumoi-ku pergi, aku bersumpah kepadanya untuk mencari dan membawa pulang kepadanya suaminya itu.”

“Itu baik sekali, Ki-suheng. Setidaknya sudah membuktikan bahwa engkau memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan sumoi Ji Kiang Bwe. Suaminya itu orang macam apa? Apakah begitu pencemburu?”

“Dia seorang yang gagah perkasa, sumoi. Souw Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang telah membuat nama besar dengan sepak terjangnya yang gagah perkasa.”

“Akan tetapi dia pencemburu, tanda bahwa dia tidak mampu menguasai nafsunya sendiri. Aku akan membantumu, suheng. Jika bertemu dengan dia, demi sumoi Ji Kiang Bwe, aku akan memaki-makinya dan mengingatkannya bahwa isterinya sama sekali tidak bersalah, bahwa cemburunya itu tidak berdasar dan bodoh sekali.”

Pada esok harinya mereka berdua menghadap Gubernur Coan yang menyambut mereka dengan ramah, kemudian memerintahkan pelayan supaya menghidangkan santapan pagi untuk mereka. Setelah makan pagi yang ditemani sendiri oleh Gubernur Coan, pembesar ini lalu bertanya.

“Bagaimana, ji-wi sudah mengambil keputusan mengenai tawaran kami kemarin?”

Memang San Ki sudah menyerahkan kepada sumoi-nya untuk menjadi wakil pembicara, karena sumoi-nya itu memang lebih pandai bicara.

“Sudah, taijin. Tadi malam sudah kami bicarakan. Setelah kami mempertimbangkannya masak-masak, maka kami sepakat bahwa pendapat taijin itu benar adanya sehingga kami bersedia untuk membantu taijin. Apakah tugas yang diberikan taijin kepada kami?”

“Untuk sementara ini biarlah kalian menjadi pengawal pribadi kami. Kebetulan hari ini kami hendak mengunjungi rapat pertemuan yang amat penting, yang berhubungan dengan niat kita untuk mengubah keadaan. Karena itu harap kalian suka menjadi pengawalku dan ikut hadir pula dalam pertemuan agar kalian mengerti apa yang harus dilakukan.”

San Ki dan Leng Si saling lirik, lalu Leng Si berkata, “Baik, taijin kami gembira sekali bisa bekerja untuk taijin.”

Demikianlah, mulai hari itu juga dua kakak beradik seperguruan itu bekerja pada Gubernur Coan, mendapatkan kamar untuk masing-masing di bagian belakang gedung gubernur itu. Pada hari itu juga, sesudah hari menjadi malam, gubernur mengajak mereka pergi, akan tetapi kepergian gubernur ini tidak resmi. Buktinya dia berjalan kaki, tidak naik kereta dan juga mengenakan pakaian seperti penduduk biasa!

Gubernur Coan pergi dengan menyamar. Pada waktu San Ki dan Leng Si mengikutinya, ternyata mereka pergi ke sebuah rumah penginapan besar yang berada di kota Nan-yang, bahkan mereka masuk dari pintu belakang.

Penjaga pintu belakang hotel itu nampaknya sudah tahu, karena dia hanya membungkuk-bungkuk dengan hormat dan mempersilakan Gubernur Coan serta dua orang pengikutnya masuk ke dalam ruangan luas yang tertutup. Ternyata di situ telah berkumpul beberapa orang yang tidak dikenal San Ki.

Akan tetapi, sesudah Leng Si melihat tiga orang kakek yang juga berada di sana bersama orang-orang lain, dia menjadi terkejut sekali. Mereka itu adalah Sam Mo-ong! Ada urusan apa tiga orang datuk sesat yang dia tahu bekerja untuk kepala suku Mongol itu turut hadir di tempat ini, di tengah kota Nan-yang dalam sebuah pertemuan rapat yang dihadiri oleh Gubernur Coan?

Sam Mo-ong juga mengenal Jeng-i Sianli Cu Leng Si, karena itu mereka merasa tak enak sekali. Akan tetapi melihat Leng Si datang sebagai pengikut Gubernur Coan, mereka pun diam saja, pura-pura tidak mengenalnya.

Yang hadir di ruangan itu adalah Kwan-ciangkun, panglima berusia lima puluh tahun yang bermuka merah dan gagah, kepala pasukan Lok-yang yang mengepalai pasukan kuat dan berjumlah besar. Dia hadir bersama dua orang panglima bawahannya yang juga menjadi semacam pengawalnya.

Ternyata Sam Mo-ong datang sebagai pengikut seorang yang gendut pendek berusia lima puluh lima tahun, pakaiannya seperti seorang pembesar dalam istana dan dia bukan lain adalah Kui-thaikam yang mengepalai seluruh thaikam di istana. Kui-thaikam ini yang lebih dulu memperkenalkan tiga orang pengikutnya dengan bangga kepada Kwan-ciangkun dan Gubernur Coan.

“Kwan-ciangkun dan Coan-taijin, perkenalkan ketiga saudara ini. Mereka adalah Sam Mo-ong seperti yang dulu pernah saya bicarakan. Yang ini adalah Hek-bin Mo-ong, dan yang ini adalah Pek-bin Mo-ong, sedangkan yang di sana itu adalah Kwi-jiauw Lo-mo. Mereka sudah menunjukkan surat kepercayaan dari Ku Ma Khan.”

Sam Mo-ong cepat bangkit berdiri, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat kepada semua orang. Kini tiba giliran Gubernur Coan memperkenalkan dua orang pengikutnya.

“Ini adalah dua orang pembantuku yang baru, harap dikenal baik karena mereka ini adalah orang-orang yang sudah kami percaya dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nona ini bernama Cu Leng Si dan ini adalah suheng-nya yang bernama Gu San Ki. Mereka sudah menyatakan hendak membantu kita semua memperbaiki keadaan negara yang sekarang kacau balau karena lemahnya pemerintahan ini.”

Seperti yang dilakukan oleh Sam Mo-ong tadi, sambil memandang kepada semua orang Gu San Ki dan Leng Si segera bangkit berdiri lantas memberi hormat. Diam-diam Leng Si memperhatikan orang gendut berpakaian thaikam itu, karena sudah bisa menduga bahwa orang gendut yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu tentulah thaikam yang terkenal berkuasa itu, yaitu orang yang menyebabkan ayahnya ditangkap!

Gubernur Coan cukup cerdik untuk tidak membicarakan dulu tentang ayah Leng Si yang ditangkap itu, akan tetapi segera membicarakan persoalan yang lebih umum dan penting.

“Sekarang kita telah berkumpul, apa yang hendak kita bicarakan lebih dulu, Kui-taijin?”

“Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang terpenting dulu, agar kedatangan kita dari jauh tidak sia-sia belaka dan dapat menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil,” kata Kwan-ciangkun yang datang dari Lok-yang.

Dari pertanyaan gubernur Coan dan sikap panglima Kwan itu saja mudah diketahui bahwa kendali persekutuan ini berada di tangan Kui-thaikam! Dialah yang akan memimpin rapat dan menentukan langkah. Dan hal ini tidak aneh karena dialah yang berada di istana dan tahu akan segala keadaan di istana.

“Setelah mengenalkan Sam Mo-ong kepada ji-wi, pertama-tama kita ingin membicarakan pesan dari Ku Ma Khan yang dibawa oleh mereka. Nah, Sam Mo-ong. Sekarang jelaskan pesan itu kepada Gubernur Coan dan Kwan-ciangkun, juga kepada yang lain-lain.”

Kwi-jiauw Lo-mo yang menjadi pemimpin dari Sam Mo-ong, segera melirik ke arah Leng Si dan berkata, “Harap maafkan kami, Kui-taijin, akan tetapi kami merasa tidak enak dan tidak aman kalau berbicara di depan orang-orang yang kalau bukan benar-benar berada di pihak kita, kelak bahkan akan dapat mencelakakan kita sendiri.”

Kwan-ciangkun mengerutkan alis. “Apa yang dimaksudkan oleh Kwi-jiauw Lo-mo? Apakah tidak percaya kepada kami? Dua pengikut kami adalah dua orang panglima bawahan kami yang terpercaya!”

“Maaf, ciangkun. Tentu saja bukan kedua ciangkun itu yang saya maksudkan.”

“Ahh, agaknya Sam Mo-ong tidak percaya kepada kedua orang pengikutku yang baru ini? Kalau kalian tidak percaya kepada mereka, sama saja hendak mengatakan bahwa kalian tidak percaya kepadaku!” kata Gubernur Coan dengan wajah berubah merah.

“Maafkan, taijin. Tentu saja saya tidak bermaksud demikian, tetapi sebaiknya kita berhati-hati karena kebetulan sekali saya mengenal wanita yang berjuluk Jeng-i Sianli ini!”

Leng Si bangkit berdiri. “Kwi-jiauw Lo-mo, perlu apa kau mengusik dan menyebut-nyebut urusan pribadi? Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke dalam perundingan mengenai negara! Apakah aku perlu membongkar semua rahasia pribadi Sam Mo-ong yang terkenal busuk, jahat dan banyak melakukan hal-hal yang memuakkan di dunia kang-ouw? Kalau memang begitu kehendakmu, hayo kita saling membongkar rahasia pribadi. Aku hendak melihat kejahatan apa yang pernah dilakukan Jeng-i Sianli dan kejahatan apa yang pernah dilakukan Sam Mo-ong!”

Mendengar ledakan Leng Si, tentu saja Sam Mo-ong menjadi gentar. Bagaimana pun juga tadinya mereka hanya hendak berhati-hati karena mereka tidak mempercayai Jeng-i Sianli yang pernah membantu Sia Han Lin, musuh besar mereka. Dan memang mereka takkan mampu membongkar rahasia pribadi Leng Si karena Jeng-i Sianli memang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan mereka bertiga, memang mereka tidak pernah pantang melakukan apa saja.

Mendengar ucapan Leng Si yang demikian berkobar. Gubernur Coan menjadi tidak enak juga. “Sam Mo-ong, harap tidak membicarakan tentang urusan pribadi. Nona Cu Leng Si adalah orang kepercayaanku dan dia adalah tanggung jawabku, maka kalian boleh bicara secara terbuka!”

“Baiklah, kalau Coan-taijin berkata demikian. Kami pun tidak hendak menimbulkan urusan pribadi, hanya ingin bersikap hati-hati saja demi kebaikan ciangkun dan taijin sendiri. Nah, seperti yang sudah kami laporkan kepada Kui-taijin, kami datang diutus oleh raja kami Ku Ma Khan untuk mempererat hubungan kita. Raja kami telah mengirim beberapa puluh kati emas sebagai sumbangan agar gerakan yang diatur cu-wi dapat berjalan lancar. Juga raja kami telah mempersiapkan pasukan di perbatasan, agar kalau sewaktu-waktu dibutuhkan dapat segera maju membantu kelancaran gerakan ini. Raja kami juga menyatakan kagum dan amat menghargai usaha kalian yang hendak membersihkan pemerintahan, agar bisa menjalin hubungan dengan bangsa kami dan tidak menimbulkan perang yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata.”

Kwan-ciangkun dan Coan-taijin mengangguk-angguk. Bangsa Mongol yang dipimpin oleh Ku Ma Khan memang mendatangkan kesulitan besar. Penyerbuan mereka dari utara dan barat amat mengganggu kesejahteraan pemerintahan. Biar pun kaisar diganti, akan tetapi tetap saja tidak akan ada kedamaian selama gangguan itu masih ada. Maka, kalau dapat berdamai dengan bangsa Mongol, tentu hal itu akan baik sekali. Memang usaha berdamai dengan bangsa Mongol ini sejak lama sudah dirintis oleh Kui-thaikam dan baru sekarang ini, dengan perantaraan Sam Mo-ong, hubungan langsung dapat dilakukan.

“Benar,” kata Kui-thaikam. “Seperti yang dilaporkan oleh Sam Mo-ong, bingkisan emas itu telah kami terima dan kami simpan untuk penambahan biaya persiapan gerakan kita. Dan tentang bantuan pasukan, mungkin saja kita perlukan kalau-kalau para panglima di Tiang-an dan perbatasan akan mengadakan perlawanan. Memang kami berhasil menghubungi para panglima, akan tetapi para panglima tua amat sulit dibujuk. Mereka masih tetap setia kepada Kaisar yang lemah itu.”

“Kalau para panglima di Lok-yang tidak perlu dikhawatirkan karena semua sudah sepakat untuk membantu gerakan kita,” kata Kwan-ciangkun dengan tegas.

“Juga Nan-yang dapat dikuasai dengan mudah karena pasukan di Nan-yang tidak begitu kuat. Mulai sekarang kami akan mengunjungi dan membujuk para komandan pasukan di selatan. Sesudah kami mempunyai dua orang pembantu yang dapat diandalkan ini, maka kami merasa lebih leluasa bergerak dan merekalah yang akan kami utus mengunjungi dan mengadakan kontak dengan para komandan pasukan di selatan.”

“Bagus, kalau begitu mari kita membagi tugas. Sam Mo-ong harap kembali ke utara untuk melapor kepada Ku Ma Khan mengenai pertemuan ini dan agar pasukan di perbatasan itu segera dipersiapkan dan diperkuat. Akan tetapi harap menanti datangnya utusan, jangan sembarangan bergerak kalau belum ada pemintaan dari kami.”

“Baik, taijin, akan kami sampaikan kepada raja kami,” kata Kwi-jiauw Lo-mo.

“Dan Kwan-ciangkun harap memperkuat pasukan di Lok-yang sehingga kalau kami sudah memberi isyarat, dapat melakukan gerakan menuju ke kota raja.”

“Baik, jangan khawatir, taijin, kami memang sudah mempersiapkan segalanya.”

“Dan Coan-taijin, harap kamu lebih banyak mengadakan hubungan dengan para pejabat, karena semakin banyak yang mendukung usaha kita maka gerakan ini akan lebih lancar.”

“Siap, taijin. Akan tetapi bagaimana dengan gerakan di istana?”

“Hal ini adalah tugasku. Kita sudah membagi tugas. Urusan dengan Kaisar menjadi tugas utamaku, serahkan saja kepadaku. Kalau usaha ini berhasil, berarti kalian harus membuat gerakan serentak. Nah, kita telah cukup bicara, kita akan berkumpul lagi pada pertemuan mendatang. Kalian akan menerima undangan dariku untuk menentukan tempatnya.”

Semua orang menyatakan setuju, kemudian pertemuan itu dibubarkan tanpa ada orang lain yang mengetahui bahwa di bagian dalam hotel itu baru saja diadakan pertemuan dan perundingan penting dari orang-orang yang hendak melakukan pemberontakan terhadap Kaisar Thai Tsung.

Setelah mengiringkan Gubernur Coan pulang ke rumahnya sendiri, tentu saja Leng Si dan San Ki segera mengadakan perundingan sendiri.

“Wah, gawat, suheng. Seperti yang sudah kukhawatirkan, Gubernur Coan merencanakan pemberontakan bersama sekutunya. Bahkan yang menjadi pemimpin adalah Kui-thaikam yang sudah menjebloskan ayah ke dalam penjara! Apa yang harus kita lakukan sekarang, suheng?”

“Tenanglah, sumoi. Kita tidak boleh gegabah, tidak boleh tergesa-gesa, harus menunggu saat yang baik. Kalau kita sekarang tergesa-gesa, apa yang dapat kita lakukan? Melapor kepada Kaisar? Tidak ada buktinya! Bahkan kita yang dapat ditangkap Kaisar dan dituduh melakukan fitnah besar-besaran.”

“Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Sudah jelas sekali kehendak thaikam itu walau pun tidak dia jelaskan. Tindakan apa yang akan dia lakukan terhadap Kaisar? Tentu saja dia hendak membunuh Kaisar lalu menggantikannya dengan calon lain, mungkin seorang di antara para pangeran yang sekarang sudah diperalatnya!”

“Kurasa demikian, akan tetapi kita harus berhati-hati. Kurasa tidak ada jalan lain kecuali menghubungi pejabat atau panglima di kota raja yang masih setia terhadap Kaisar. Kalau saja kita mengenal panglima yang masih setia dan yang menguasai pasukan...”

“Ahh, aku ingat, suheng. Ayah memiliki seorang sahabat baik, yaitu Panglima Lo. Menurut ayah, sekarang yang tidak pernah korupsi dan tetap setia kepada Kaisar tidaklah banyak, namun di antara mereka yang paling menonjol adalah Panglima Lo. Karena kesetiaannya dan kejujurannya itulah maka dia selalu tergeser sehingga tidak menduduki jabatan yang penting, tidak menguasai pasukan besar. Akan tetapi kukira dialah yang paling tepat untuk dipercaya akan mampu menolong Kaisar kalau memang benar thaikam gendut itu berniat tidak baik terhadap Kaisar.”

“Baik, sumoi. Kau dengar bahwa kita akan diutus oleh Gubernur untuk menghubungi para pejabat. Bagaimana jika kita mengusulkan agar kita mengunjungi para pejabat di kota raja untuk membujuk mereka supaya ikut dalam persekutuan busuk ini? Dengan demikian kita akan mendapat kesempatan untuk mencari Lo-ciangkun.”

“Bagaimana kalau dia tidak setuju dan tidak mengirim kita ke sana?”

“Dia setuju atau tidak, dan ke mana pun dia mengirim kita, dapat saja secara diam-diam kita pergi ke kota raja mencari Lo-ciangkun. Bagaimana pun juga kita sudah mengetahui rahasia persekutuan busuk itu.”

“Baik, suheng.”

Ternyata cocok sekali dengan yang mereka inginkan. Pada esok harinya Gubernur Coan mengutus mereka mengunjungi seorang pejabat tinggi di kota raja untuk menyampaikan suratnya yang memperkenalkan mereka dan minta supaya pejabat itu mendengarkan apa yang dipesankannya kepada mereka. Kemudian gubernur itu juga memesan agar San Ki dan Leng Si membujuk pejabat tinggi bagian keuangan itu agar suka bergabung ke dalam persekutuan mereka.

Maka San Ki dan Leng Si lalu berangkat ke kota raja dengan hati gembira. Mereka berdua melakukan perjalanan dengan hati senang karena memperoleh kesempatan untuk bergaul lebih akrab…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar