Pedang Awan Merah Jilid 04

Kaisar Thai Tsung (773-779) baru setahun lebih menduduki tahta kerajaan. Namun ketika Kaisar ini bertahta, keadaan negeri sudah lemah dan parah akibat keruntuhan Kerajaan Tang ketika pada tahun 755 An Lu Shan melakukan pemberontakan dan bahkan berhasil menduduki Tiang-an dan mengusir kaisar yang melarikan diri ke barat. Semenjak saat itu sampai direbutnya kembali kekuasaan oleh kaisar kerajaan Tang, kerajaan itu sudah tidak seperti dulu lagi.

Kerajaan Tang pernah cemerlang ketika masih dipimpin oleh Kaisar Beng Ong (712-755). Akan tetapi kekuasaannya semakin menurun semenjak pemberontakan An Lu Shan pada akhir kedudukan Kaisar Beng Ong itu.

Bukan saja suku-suku yang dianggap liar dan biadab seperti suku bangsa Uigur dari barat dan suku bangsa Khitan dari utara semakin merajalela di daerah Tang bagian barat dan utara, akan tetapi para kepala daerah yang jauh letaknya dari kota raja, masing-masing juga menjadi raja-raja kecil yang mengacuhkan kekuasaan Kaisar Thai Tsung. Semua ini masih ditambah lagi dengan merajalelanya kekuasaan para thai-kam (Sida-sida, pria yang dikebiri) dan para pembesar tinggi yang palsu dan berwatak menjilat ke atas menekan ke bawah.

Kaisar Thai Tsung seolah boneka saja yang tanpa disadarinya dipermainkan oleh orang-orang ini. Lalu terjadilah sogok menyogok, para pembesar yang haus harta mengadakan hubungan rahasia dengan suku asing, dan penindasan terhadap rakyat terjadi di berbagai tempat sehingga menimbulkan dendam dan kekerasan di antara rakyat.

Karena para pembesar hanya mementingkan harta dunia, berenang dalam kemewahan, pesta-pesta makan enak, bermabok-mabokan di dalam rangkulan gadis-gadis jelita, tidak peduli akan keamanan rakyat, maka dengan sendirinya kejahatan tumbuh laksana jamur di musim hujan. Dalam keadaan seperti itu maka berlakulah hukum rimba. Siapa kuat dia yang menang, siapa yang menang dia berkuasa, dan yang berkuasa itu selalu benar.

Uang menjadi alat kekuasaan, karena dengan uang segalanya dapat dibeli! Setiap orang pejabat, baik besar mau pun kecil, semuanya memelihara tukang pukul. Juga setiap tuan tanah dan hartawan mempunyai gerombolan tukang pukul untuk melindungi mereka dan melaksanakan pemaksaan kehendak mereka, terutama terhadap rakyat bawahan.

Dalam keadaan rakyat sengsara ini, yang menonjol hanyalah perkembangan pada bidang kesenian, terutama sastera. Banyak bermunculan penyair-penyair besar seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain yang menjerit dalam syair mereka menyuarakan jeritan hati rakyat jelata.

Empat tahun yang lampau, ketika yang menjadi kaisar masih Kaisar Kui Tsung (768-773), terjadi pencurian pedang Ang-in Po-kiam sehingga gemparlah seluruh istana dan sebentar saja berita itu telah tersiar ke seluruh negeri. Kaisar Kui Tsung kemudian memerintahkan jagoan-jagoan istana untuk mencari pencuri itu, namun sia-sia belaka.

Pencuri itu sangat lihai, tanpa meninggalkan bekas, bahkan empat orang penjaga gedung pusaka yang dibuat tidak berdaya dengan totokan, tidak mampu menceritakan bagaimana macamnya pencuri itu sebab mereka dirobohkan tanpa terlihat siapa yang melakukannya. Karena Ang-in Po-kiam merupakan sebuah di antara pusaka lambang kekuasaan kaisar, Kaisar Kui Tsung yang merasa penasaran lalu mengumumkan bahwa barang siapa dapat menemukan kembali pedang pusaka itu, akan diberi hadiah harta benda dan kedudukan tinggi kalau dikehendaki.

Itulah sebabnya mengapa para tokoh kang-ouw membuka mata lebar-lebar dan membuka telinga untuk mendengar berita kalau-kalau dapat membawa mereka kepada pencurinya untuk merampas kembali pusaka istana itu. Namun semua itu tidak berhasil. Tak seorang pun mengetahui bahwa pencurian itu dilakukan oleh Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw. Sesudah Kaisar Thai Tsung menjadi kaisar, dia pun mengumumkan agar orang mencari pusaka yang hilang, bahkan menambah besarnya hadiah yang dijanjikan.

Para tokoh kang-ouw akhirnya mendengar bahwa pusaka itu dicuri oleh tokoh Cin-ling-pai dan berita ini sebetulnya didesas-desuskan oleh bekas anak buah Hoat-kauw yang sudah dibasmi pasukan pemerintah. Cin-ling-pai merupakan sebuah perkumpulan yang kuat dan yang tidak mau tunduk kepada Hoat-kauw, bahkan dalam bentrokan, banyak anak buah Hoat-kauw yang tewas. Karena itu, ketika sisa anak buah Hoat-kauw cerai berai, mereka lantas menyebarkan berita itu dengan maksud untuk melakukan fitnah agar Cin-ling-pai dimusuhi para tokoh kang-ouw lainnya.

Mendengar desas-desus ini, ketua Cin-ling-pai, Yap Kong Sin yang berjuluk Bu-eng Kiam-hiap (Pendekar Pedang Tanpa Bayangan) menjadi marah. Untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, dia lalu mengundang para tokoh kang-ouw untuk mengadakan pertemuan di kota Han-cung yang terletak di kaki pegunungan Cin-ling-san, di tepi sungai Han. Kota ini memang menjadi cabang terbesar dari Cin-ling-pai yang pusatnya berada di lereng puncak Cin-ling-san.

Kota Han-cung cukup besar dan ramai karena dari kota itu orang dapat mengirim barang-barang hasil sawah ladang dan hutan pegunungan melalui jalan air menuju ke kota-kota besar di timur karena sungai Han ini menjadi anak sungai Yang-ce.

Pada suatu pagi yang cerah Han Lin memasuki kota Han-cung. Pada saat dia memasuki pintu gerbang kota itu, dari arah belakangnya datang dua orang penunggang kuda yang menarik perhatiannya. Mereka adalah seorang pemuda gagah perkasa berpakaian putih-putih yang indah bersih, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, beserta seorang gadis cantik jelita yang berpakaian merah muda dan usianya sekitar delapan belas tahun.

Baik pemuda mau pun gadis itu jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakukan perjalanan. Hal ini dapat dilihat dari pedang yang tergantung di punggung mereka dan dari cara mereka menunggang kuda. Pakaian mereka yang terbuat dari sutera mahal indah itu juga berpotongan ringkas seperti biasa pakaian orang kang-ouw ahli silat. Kedua orang itu tidak memperhatikan Han Lin.

Memang pemuda ini tidak ada istimewanya sehingga tidak menarik perhatian. Pakaiannya sangat sederhana dan berjalan kaki, dengan buntalan pakaian di gendongannya. Pedang Ang-in Po-kiam selalu dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian, ada pun yang berada di tangannya hanyalah sebatang tongkat bambu butut menghitam.

Dia lebih mirip seorang pemuda dari dusun yang memasuki kota dan tidak akan menarik perhatian orang. Tidak ada yang mengira sama sekali bahwa dia adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan dialah yang memegang Ang-in Po-kiam, pedang pusaka istana yang lenyap dicuri orang sehingga menggemparkan seluruh kalangan kang-ouw itu.

Memang Han Lin sedang melakukan perjalanan ke Tiang-an, dan kota Han-cung sudah tak begitu jauh lagi dari kota raja. Ketika dalam perjalanan dia mendengar bahwa Cin-ling-pai mengundang orang kang-ouw pada umumnya, dia merasa tertarik dan ingin menonton untuk meluaskan pengalamannya.

Dia pernah mendengar dari Kong Hwi Hosiang mengenai perkumpulan-perkumpulan dan aliran-aliran persilatan yang terkenal, dan Cin-ling-pai adalah sebuah di antara perguruan besar yang mempunyai banyak murid pendekar. Bahkan gurunya pernah menyebut nama ketuanya, yaitu Bu-eng Kiam-hiap Yap Kong Sin sebagai seorang jago pedang yang amat tangguh.

Pagi itu sudah banyak rumah makan buka, melayani orang-orang yang hendak sarapan. Han Lin merasa lapar dan ketika dia melihat dua ekor kuda besar ditambatkan di depan sebuah rumah makan, dia segera teringat akan pemuda serta gadis yang elok dan gagah tadi, maka dia pun memilih rumah makan itu untuk membeli sarapan.

Rumah makan itu cukup besar dan luas. Ketika dia masuk nampak olehnya pemuda baju putih dan gadis baju merah muda telah duduk di situ. Di satu sudut duduk serombongan orang muda berusia antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun sebanyak lima orang dan mereka itu ternyata sudah setengah mabok. Sepagi itu sudah mabok-mabokan, dari kebiasaan ini saja sudah dapat dinilai orang-orang macam apa mereka itu.

Namun melihat pakaian mereka yang ringkas dengan lengan baju digulung, menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, tenaga dan ilmu silat. Mereka itu makan minum sambil tertawa-tawa dan mata mereka melirik secara kurang ajar kepada gadis berpakaian merah muda.

“Hemm, kalian mencari penyakit,” pikir Han Lin yang dapat menduga bahwa pemuda dan gadis itu bukanlah orang sembarangan. Apa bila kelima orang pemuda berandal itu berani mencari perkara dengan mereka berdua, maka berarti mencari penyakit sendiri.

Dia menoleh ke kiri dan melihat seorang gadis yang wajahnya berseri, cantik manis dan matanya kocak. Gadis ini berpakaian mewah, akan tetapi kecantikannya itu tampak aneh dan terasa asing bagi Han Lin. Biar pun pakaian dan tata rambut gadis itu seperti seorang gadis Han biasa, namun Han Lin dapat menduga bahwa dia bukanlah gadis Han. Matanya terlalu lebar dan hidungnya terlalu mancung untuk seorang gadis Han. Bentuk mulutnya yang selalu senyum itu juga nampak asing namun indah menarik. Seorang kakek duduk di samping gadis itu dan melihat kakek itu, Han Lin terbelalak heran.

Kakek itu berusia sekitar lima puluh enam tahun, pendek gendut bundar. Perutnya yang gendut kelihatan karena kancing bajunya sengaja dibuka seolah dia selalu merasa panas. Kulit mukanya hitam seperti arang, matanya lebar dan bibirnya tersenyum-senyum sendiri kadang setengah tertawa tanpa sebab seperti orang yang kurang waras.

Itulah Hek-bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Hitam), kata Han Lin dalam hatinya. Tidak salah lagi. Seorang di antara Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw!

Bahkan dia pernah bentrok dengan mereka pada saat dia membantu pasukan pemerintah dalam membasmi orang-orang Hoat-kauw yang bersekutu dengan bangsa Mongol hendak melakukan gerakan memberontak. Dan Sam Mo-ong adalah kaki tangan orang Mongol.

Kenapa Hek-bin Mo-ong berada pula di kota Han-cung? Dan siapa pula gadis cantik yang bersamanya itu? Ketika mereka makan minum, Hek-bin Mo-ong nampak bersikap sangat hormat kepada gadis itu. Han Lin yang kebetulan duduk agak di belakang sebelah kanan Hek-bin Mo-ong, mengerahkan pendengarannya dan dia dapat menangkap bahwa gadis itu menyebut suhu kepada kakek muka hitam itu.

“Suhu, kapan kita akan berkunjung ke sana?”

“Besok pesta itu baru dimulai. Ssstt, sudahlah, Mulani, jangan bicara mengenai itu,” kata kakek itu lirih dan perhatian mereka kini ditujukan ke arah meja pemuda dan gadis yang gagah itu.

Perhatian Han Lin juga beralih ke sana karena seperti yang sudah diduganya, gerombolan pemuda berandal itu kini telah mulai beraksi. Mereka memecah gerombolan menjadi dua, yang tiga orang menghampiri pemuda dan gadis perkasa itu, ada pun yang dua orang lagi menghampiri gadis manis yang duduk bersama Hek-bin Mo-ong! Mereka berjalan sambil menyeringai kurang ajar dan melihat ini, Han Lin pun tersenyum. Kalian mencari penyakit, pikirnya.

Dua orang pemuda yang menghampiri meja gadis dan kakek itu sudah tiba dekat mereka, kemudian seorang di antara mereka berkata, “Nona tentu kesepian hanya duduk makan bersama seorang kakek, bagaimana kalau kami berdua menemanimu?” Orang bermuka kuning itu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang lebih kuning lagi.

“He-he-heh, engkau manis sekali, nona. Kami akan bersenang-senang denganmu...,” kata orang kedua yang bertubuh pendek.

Kakek itu tersenyum lebar, dan gadis manis itu juga tersenyum lalu berkata, “Ihhh, kalian mengingatkan aku akan dua ekor anjingku. Aku mempunyai dua ekor anjing di rumah dan lagaknya persis kalian. Hayo jongkok dan aku akan memberimu makan...!” Dia menjentik-jentikkan jarinya seperti kalau memanggil anjing-anjingnya.

Dua orang lelaki muda itu terbelalak, muka mereka menjadi merah karena marah. Mereka telah dihina seperti anjing! Mereka hendak memaki lagi, tapi baru saja mereka membuka mulut, sepotong daging telah menyambar kemudian tepat memasuki mulut mereka.

Han Lin melihat betapa dengan gerakan cepat sekali gadis itu menggunakan sumpitnya mengambil potongan daging lantas menyambitkan dua kali berturut-turut ke mulut mereka dan tepat memasuki mulut yang sedang terbuka itu.

Tentu saja dua orang itu menjadi gelagapan dan semakin marah. Agaknya mereka adalah jenis orang-orang yang tidak tahu diri, selalu mengandalkan diri dan kawan-kawan berbuat sesukanya. Mereka meludahkan keluar daging yang memasuki mulut mereka, kemudian seperti dua ekor biruang, mereka mengembangkan tangan untuk menangkap gadis yang telah menghina mereka itu.

Kembali Han Lin melihat gerakan yang sangat cepat dari gadis itu. Hanya satu kali saja tangan kirinya bergerak melemparkan sepasang sumpit, akan tetapi akibatnya dua orang itu menjerit sambil memegangi tangan kanan dengan tangan kiri mereka. Ternyata tangan kanan mereka telah tertusuk sumpit tepat di tengah-tengah telapak tangan hingga sumpit itu tembus! Mereka berjingkrak kesakitan sambil mundur, terbelalak ketakutan. Terdengar Hek-bin Mo-ong dan gadis itu tertawa senang.

Sementara itu, tiga orang pemuda yang menghampiri meja di mana pemuda berpakaian putih dan gadis berpakaian merah muda duduk, juga mengalami nasib sial.

Sambil cengar-cengir ketiga orang pemuda ini menghampiri mereka dan berkata kepada si gadis. “Nona, agaknya nona berdua hendak mengunjungi pesta Cin-ling-pai besok pagi. Mari nona, kita bersama-sama, dan malam ini nona boleh bermalam di rumah kami.”

Melihat ada tiga pemuda berandal merubung adiknya, pemuda berpakaian putih menjadi marah sekali. Dialah yang bangkit berdiri kemudian menggebrak meja.

“Kawanan berandal berani kurang ajar terhadap adikku? Menggelindinglah dari sini atau terpaksa aku akan menghajar kalian seperti anjing!”

Tiga orang itu memang hendak mencari perkara. Mereka ingin memisahkan pemuda itu dari si gadis manis, karena itu serentak mereka berbalik menghadapi pemuda baju putih. Seorang di antara mereka yang matanya juling dan menjadi pimpinan mereka, bertolak pinggang.

“Ahh, engkau ini manusia tak tahu terima kasih. Kami menawarkan jasa-jasa baik, tetapi engkau malah memaki kami? Kami hanya membutuhkan nona ini, tidak punya keperluan dengan kamu dan untuk makianmu itu kamu harus dihajar! Hayo lempar dia keluar rumah makan!” katanya kepada dua orang kawannya.

Mereka serentak maju untuk menangkap pemuda baju putih itu. Akan tetapi begitu tangan dan kaki pemuda baju putih itu bergerak, tiga orang itu terlempar ke belakang lantas jatuh menimpa meja kursi.

Tiga orang itu tidak terluka parah, tetapi mereka benar-benar tak tahu diri karena mereka menjadi semakin marah. Mereka mencabut golok yang tergantung di pinggang, kemudian mereka maju pula hendak menyerang pemuda berpakaian putih itu. Kali ini gadis berbaju merah muda yang berseru,

“Koko, biarkan aku yang menghajar mereka!”

Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat dari atas kursinya. Bagaikan seekor burung garuda dia melayang ke arah tiga orang berandalan itu yang menyambut tubuhnya dengan bacokan golok mereka.

Akan tetapi gerakan gadis itu gesit bukan kepalang. Tubuhnya dapat menyelinap di antara bacokan golok, kaki tangannya bergerak lalu untuk kedua kalinya tiga orang itu terlempar dan terjengkang. Dengan ringan tubuh gadis itu sudah turun kembali, dan tanpa memberi kesempatan kepada ketiga orang itu untuk menyerangnya lagi, kakinya telah berloncatan dan diayun keras membagi tendangan sehingga tiga orang itu bergulingan, golok mereka terlepas dari tangan, serta muka mereka babak belur dan benjol-benjol.

Barulah mereka sadar bahwa mereka tak akan menang. Mereka merangkak bangun dan melihat dua orang kawan mereka mendatangi sambil merintih-rintih dengan tangan kanan terpaku sumpit, maka lenyaplah semangat mereka dan kelimanya lalu berlari keluar.

Semua tamu di rumah makan itu menjadi ketakutan. Pemilik rumah makan segera maju, lalu memberi hormat kepada pemuda dan adiknya itu sambil berkata, “Kongcu dan siocia, harap segera meninggalkan tempat ini. Gerombolan itu memiliki banyak kawan dan kalau pemimpin mereka datang...”

“Kami tidak takut!” gadis baju merah muda memotong. “Jika mereka datang akan kuhajar semua!”

“Tetapi, nona... tempat kami ini... bisa hancur berantakan. Tadi saja sudah merusakkan meja kursi dan mangkok piring, belum lagi mereka itu tidak membayar...”

“Paman, kau hitung semua kerugianmu, nanti akan kuganti,” kata pemuda pakaian putih itu. “Dan jangan khawatir, kalau pemimpin gerombolan itu datang, akan kubasmi mereka semua. Ketahuilah, kami dua bersaudara datang dari Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) dari kota raja, dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi gerombolan berandal!” ucapan ini amat lantang sehingga dapat terdengar oleh semua orang.

Diam-diam Han Lin menyesalkan kenapa kegagahan pemuda baju putih itu mengandung ketinggian hati.

Sementara itu, kebetulan Hek-bin Mo-ong memandang ke sekeliling dan biar pun Han Lin telah membuang muka, namun tetap saja Hek-bin Mo-ong dapat mengenalnya. Kakek itu nampak terkejut kemudian dia berbisik kepada gadis di sebelahnya, lalu membayar harga makanan dan tergesa-gesa pergi dari rumah makan itu.

Han Lin membiarkannya saja, karena memang dia tidak ingin bentrok lagi dengan datuk yang jahat dan sakti itu. Dia ingin melihat perkembangan peristiwa di rumah makan, dan melihat apa yang akan dilakukan muda-mudi tokoh Pek-eng Bu-koan itu.

Pemuda itu memang tinggi hati, akan tetapi adiknya nampaknya lincah jenaka dan tidak sombong seperti kakaknya. Bahkan gadis itu tadi sudah memperlihatkan kelincahan yang mengagumkan, agaknya lebih lincah dibandingkan gerakan kakaknya.

Demikianlah, setelah menanti beberapa lama akhirnya Han Lin melihat pemuda dan gadis itu meninggalkan rumah makan sesudah membayar semua kerugian yang diderita pemilik rumah makan. Han Lin segera membayangi dari jauh.

Tergesa-gesa Hek-bin Mo-ong meninggalkan rumah makan itu bersama gadis yang cantik manis itu. Hek-bin Mo-ong adalah seorang di antara Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis). Tokoh yang lain adalah Pek-bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Putih) yang tinggi kurus bermuka pucat seperti kapur dan matanya sipit seakan menangis terus. Akan tetapi dia juga lihai sekali, memiliki sinkang panas beracun sehingga tubuh orang yang terkena pukulan lihai ini akan hangus. Dia selalu memakai baju mantel seakan-akan selalu kedinginan. Datuk sesat ini sebenarnya adalah seorang peranakan suku bangsa Hui, dan bila mana dia mengerahkan sinkang-nya yang panas beracun, jari tangannya berubah merah seperti membara.

Orang ketiga adalah Kwi-jiauw Lo-mo yang merupakan orang tertua sekaligus pemimpin dari Sam Mo-ong. Orangnya berusia enam puluh enam tahun, tubuhnya pendek gendut seperti katak dan kalau berkelahi dia dapat menggelinding seperti peluru berputar. Kedua tangannya disambung dengan sepasang cakar setan yang amat ampuh dan mengandung racun mematikan. Kwi-jiauw Lo-mo ini peranakan Mongol, mukanya kuning dan dia masih mertua dari mendiang An Lu Shan, pemberontak yang sudah menjatuhkan Kerajaan Tang itu.

Gadis cantik dan lincah yang berjalan bersama Hek-bin Mo-ong bernama Mulani. Gadis ini berusia delapan belas tahun dan dia adalah puteri Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang menjadi atasan Sam Mo-ong. Mulani juga merupakan murid dari Sam Mo-ong, maka di bawah gemblengan tiga orang guru yang sakti ini dia menjadi seorang gadis yang sangat lihai seperti diperlihatkan ketika dia menggunakan sumpit menembus telapak tangan dua orang pemuda berandal yang berani kurang ajar kepadanya. Mulani adalah anak tunggal, maka dia agak dimanja dan sekali ini ayahnya tidak dapat melarang ketika dia merengek kepada ayahnya untuk ikut Hek-bin Mo-ong melakukan penyelidikan ke selatan,.

Sebetulnya ketiga Sam Mo-ong semua melakukan perjalanan ke selatan, namun mereka membagi tugas. Hek-bin Mo-ong bertugas untuk mengunjungi pesta ulang tahun Cin-ling-pai sambil melihat keadaan, dan puteri Mulani turut dengannya. Ada pun Kwi-jiauw Lo-mo sedang pergi mengunjungi Beng-kauw dalam usahanya hendak membalas dendam atas kematian cucunya An Seng Gun, putera mendiang An Lu Shan dan mendiang Kiauw Ni puteri Kwi-jiauw Lo-mo.

Setahun yang lalu, An Seng Gun ini mewakili Sam Mo-ong bersekutu dengan Hoat-kauw dan membantu Hoat-kauw dengan cara menyelundup ke dalam perkumpulan Nam-kiang-pang sehingga menguasai perkumpulan itu. Tetapi akhirnya An Seng Gun dan sekutunya, yaitu Hoat-kauw, digempur pasukan pemerintah yang dibantu oleh para pendekar.

Dalam pertempuran yang seru, An Seng Gun tewas di tangan seorang tokoh besar Beng-kauw, yaitu putera mendiang Sie Wan Cu ketua Beng-kauw yang bernama Sie Kwan Lee, yang sekarang menggantikan kedudukan ayahnya dan menjadi ketua Beng-kauw. Karena itu Kwi-jiauw Lo-mo mendendam kepada ketua Beng-kauw yang baru ini. Kepergiannya membalas dendam ke Beng-kauw ini ditemani oleh rekannya, yaitu Pek-bin Mo-ong. Dia tahu bahwa Beng-kaiw adalah perkumpulan yang kuat, mempunyai banyak orang pandai, maka dia mengajak rekannya.

Demikianlah, dengan tergesa-gesa Hek-bin Mo-ong bersama Mulani meninggalkan rumah makan. Dia terkejut sekali melihat Han Lin, pemuda yang dia tahu amat tangguh itu, maka dia segera meninggalkan pemuda itu.

“Suhu, kenapa begini tergesa-gesa?”

“Hayo cepatlah, Mulani. Aku tidak ingin terlibat dalam keributan di sana tadi, hanya akan mengganggu tugas kita saja,” kata Hek-bin Mo-ong sambil melangkah cepat diikuti gadis itu.

Karena tergesa inilah, ketika sampai di satu tikungan, dia hampir bertabrakan dengan dua orang yang diikuti beberapa orang lain, yang juga berjalan dengan setengah berlari. Untuk menghindarkan tabrakan, Hek-bin Mo-ong cepat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua orang itu.

Dia tahu bahwa dorongan itu akan membuat kedua orang itu terjengkang dan dia sendiri akan terbebas dari tabrakan. Akan tetapi betapa kagetnya ketika kedua orang itu melesat ke kanan kiri bagaikan terbang saja, sehingga dorongan kedua tangannya luput! Ternyata kedua orang itu memiliki ginkang yang hebat!

Hek-bin Mo-ong siap menghadapi dua orang lawan yang dia tahu bukan sembarang lawan itu. Juga Mulani maklum bahwa dua orang itu lihai. Dapat mengelak dari dorongan kedua tangan Hek-bin Mo-ong saja sudah hebat, apa lagi elakan itu dilakukan dengan meloncat sedemikian cepat dan tingginya seperti terbang saja, kemudian kedua orang itu tahu-tahu telah berada di atas pohon di kanan kiri jalan!

Belasan orang yang tadi berjalan di belakang dua orang itu, termasuk tiga orang yang tadi dihajar oleh kakak beradik ketika berada di rumah makan, sebab dua orang lainnya tidak dapat ikut karena tangan mereka yang tertembus sumpit itu terasa nyeri sekali, sekarang bergerak maju untuk mengeroyok kakek dan gadis cantik itu. Hek-bin Mo-ong dan Mulani sudah siap untuk menghajar mereka.

“Tahan…!” terdengar teriakan dari kanan kiri dan kedua orang yang tadi mengelak sambil berlompat ke atas pohon, kini melayang turun dengan gerakan indah dan cepat. Mereka kini berdiri di depan Hek-bin Mo-ong.

Kakek ini memandang penuh perhatian dan siap melawan. Akan tetapi ketika dia melihat siapa adanya kedua orang itu, mulutnya yang selalu menyeringai itu terbuka lebar.

“Ha-ha-ha! Kiranya kalian Thian-te Siang-kui (Sepasang Siluman Langit Bumi)!” katanya sambil tertawa.

Dua orang itu memang aneh. Yang seorang tubuhnya tinggi kurus, lebih tinggi sekepala dibandingkan orang yang tingginya seukuran umum. Dan yang seorang lagi kecil pendek, bahkan agak lebih pendek dibandingkan Hek-bin Mo-ong yang sudah pendek itu.

Kedua orang yang usianya sekitar lima puluh tahun itu lantas memberi hormat. Thian-kui (Siluman Langit) yang bertubuh tinggi berkata, “Harap maafkan kami, Mo-ong. Kami tidak tahu sama sekali bahwa Mo-ong yang akan lewat di sini sehingga hampir bertabrakan.”

“Agaknya Mo-ong hendak mengunjungi Cin-ling-pai besok pagi?” tanya Tee-kui (Siluman Bumi) setelah memberi hormat. “Dan siapakah nona ini, Mo-ong?”

Mulani yang melihat betapa kedua orang aneh itu agaknya sudah berkenalan baik dengan gurunya, bertanya. “Suhu, siapakah mereka ini?”

Hek-bin Mo-ong menjawab pertanyaan muridnya lebih dahulu. Ini berarti bahwa dia lebih mementingkan muridnya dan tidak terlalu sungkan terhadap dua orang itu. “Mereka inilah yang disebut Thian-te Siang-kui, dua orang datuk yang berkuasa di seluruh lembah sungai Han. Mereka adalah sekutu kita, Mulani.”

“Ahh, begitukah? Bagus sekali kalau begitu,” kata gadis itu.

Kini barulah Hek-bin Mo-ong menjawab pertanyaan kedua orang itu. “Aku beserta muridku Mulani memang akan berkunjung dan menghadiri undangan Cin-ling-pai.”

“Akan tetapi seyogianya kalau Mo-ong menyamar, karena para utusan serta wakil partai-partai akan hadir dan tentu akan terjadi keributan kalau melihat hadirnya Mo-ong di sana,” kata Thian-kui.

“Tentu saja, jangan khawatir. Akan tetapi kalian ini begitu tergesa-gesa hendak pergi ke manakah?” tanya Hek-bin Mo-ong.

Dia teringat bahwa kedua orang ini amat lihai sehingga tidak mudah bagi dia dan Pek-bin Mo-ong menundukkan mereka dahulu ketika Sam Mo-ong bersekutu dengan Hoat-kauw untuk menguasai dunia kang-ouw. Tapi akhirnya Thian-te Siang-kui tunduk juga dan mau bersekutu dengan mereka. Dua orang ini adalah kepala semua golongan hitam di semua kota dan dusun sekitar lembah sungai Han.

“Kami hendak memberi hajaran kepada dua orang yang mengaku tokoh Pek-eng Bu-koan sebab mereka berani menghajar tiga orang kami. Juga terhadap dua orang, yaitu seorang kakek dan seorang nona...” Thian-kui berhenti bicara melihat Mulani memandang dengan marah dan sekarang dia teringat laporan kedua orang anak buahnya bahwa yang melukai tangan mereka adalah seorang gadis cantik yang berpakaian mewah dan seorang kakek pendek gendut! “Ahh, kiranya Mo-ong dan nona yang telah memberi hajaran kepada dua orang anak buah kami yang bersikap kasar,” dia melanjutkan.

“Mereka bukan hanya kasar, mereka kurang ajar!” kata Mulani ketus.

“Sudahlah, salah pengertian di antara kita tidak perlu dibicarakan lagi. Tetapi kalau kalian hendak mencari muda-mudi itu di rumah makan, berhati-hatilah kalian terhadap seorang pemuda berpakaian sederhana yang membawa tongkat butut. Nah, sampai jumpa, Siang-kui!” Hek-bin Mo-ong melanjutkan perjalanannya, diikuti oleh Mulani.

Thian-te Siang-kui melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah makan itu dengan cepat. Melihat sepasang siluman ini memasuki kota bersama sepuluh orang anak buahnya dan wajah mereka terlihat bengis, maka semua orang yang sudah tahu siapa mereka seketika menjadi cemas.

Setiap kali muncul sepasang siluman ini pasti mendatangkan kekacauan, malah petugas keamanan agaknya jeri terhadap mereka yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan biasa membunuh orang tanpa berkedip. Seluruh penjahat besar atau kecil di daerah itu, bahkan di sepanjang lembah sungai Han, menjadi anak buah mereka, atau setidaknya menyatakan takluk dan selalu membagi rejeki yang mereka dapatkan…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar