Mestika Burung Hong Kemala Jilid 19

Cin Han meninggalkan pekuburan itu dan dengan hati-hati dia melangkah, hendak kembali ke rumah Ji Siok melalui jalan yang sunyi agar tidak dikenal orang yang berlalu-lalang di jalan. Malam itu bulan hampir penuh, udara cerah dan hawanya sejuk sekali, cuaca yang remang terang itu mendatangkan suasana yang sangat romantis. Cahaya bulan nampak kuning kehijauan, dan pohon-pohon nampak seperti raksasa di tepi-tepi jalan.

Malam itu banyak orang keluar dari rumah untuk menikmati malam terang bulan. Jika bagi kebanyakan orang sang surya di siang hari melambangkan kejantanan dan kegagahan, keperkasaan dan kekuasaan, sebaliknya bulan melambangkan kelembutan, keayuan dan keindahan. Surya selalu melotot marah, sebaliknya bulan selalu tersenyum ramah.

Cin Han menyelinap ke jalan kecil di dekat persimpangan, mengambil jalan agak memutar menuju rumah Ji Siok. Kanan kiri jalan kecil ini ditumbuhi pohon-pohon sehingga jalan itu sendiri lebih banyak digelapkan bayangan pohon-pohon. Dia merasa lebih aman melalui jalan ini.

Ketika dia sedang berjalan dengan hati hati, tiba-tiba dia menahan langkahnya dan tangan kanannya yang memegang sebatang ranting pohon lantas menggenggam ranting itu erat-erat. Sesosok bayangan berkelebat di arah kirinya.

Akan tetapi karena tidak ada serangan atau gerakan lain, dia pun melanjutkan langkahnya dengan penuh kewaspadaan. Mungkin tadi dia salah lihat, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba di sebelah kanannya ada pula bayangan berkelebat.

Tempat itu amat sunyi dan tak nampak seorang pun pejalan kaki, maka dia tidak khawatir menunjukkan ketajaman matanya sehingga dia pun berseru,

"Sobat manakah yang hendak bermain-main dengan aku?"

"Seorang sobat lama," terdengar suara lirih dan lembut, suara seorang wanita.

Kemudian muncullah seorang gadis yang bertubuh ramping. Di bawah cahaya bulan yang lembut, wajah itu nampak seperti wajah bidadari, karena kebetulan sekali sinar bulan tepat menimpa wajah yang berbentuk buiat telur.

Rambutnya lebat berombak, matanya lebar dengan kedua ujungnya menjulang, mata itu sendiri nampak indah menantang dan mempunyai daya tarik yang sangat kuat. Mulutnya tersenyum manis, dengan bibir yang merah sehat dan lesung pipit di sebelah kiri bibirnya. Senyum dan sinar matanya jelas membayangkan bahwa dia adalah seorang gadis yang ramah, lincah jenaka. Usianya sekitar sembilan belas tahun lebih.

Begitu melihat wajah gadis itu, seketika Cin Han teringat. Selama ini wajah itu bahkan tak pernah meninggalkan benaknya, setiap waktu selalu terbayang. Wajah gadis cantik yang sangat lihai, yang ikut dalam rombongan Bouw-cingkun ketika mengambil Mestika Burung Hong Kemala tempo hari.

Baru tadi dia minta kepada Ji Siok untuk menyelidiki gadis lihai yang tidak menyerangnya dengan sungguh-sungguh itu, dan saat ini dia sudah berhadapan dengannya. Jelas bahwa gadis ini sengaja menghadangnya, berarti gadis inilah yang mempunyai keperluan untuk bertemu dengan dia.

"Ahh, kiranya engkau, nona Can Kim Hong yang terhormat!" Cin Han tersenyum.

Sepasang mata yang indah itu terbelalak sehingga Cin Han merasa betapa hatinya jungkir balik!

"Ehh…, bagaimana engkau dapat mengetahui namaku?" tanya gadis itu yang bukan lain adalah Can Kim Hong.

Cin Han masih tersenyum dan ada kebanggaan dalam senyumnya itu karena keheranan gadis itu sama dengan kekaguman.

"Nona, siapa yang tidak tahu akan keadaan diri nona yang amat lihai, bahkan merupakan pembantu utama dari pasukan istana? Nona sudah membuat jasa besar terhadap Bouw Koksu!"

Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya. "Tidak perlu menyindir!" katanya galak.

"Ketahuilah bahwa Bouw Koksu adalah bekas guruku, juga keluarganya yang merawatku sejak aku kecil. Sudah sepatutnya kalau aku membantu Panglima Bouw Ki yang terhitung kakak seperguruanku sendiri. Tetapi ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak membantu An Lu Shan."

"Aku sudah dapat menduganya, nona, karena bila engkau benar-benar membantu An Lu Shan, tentu saat ini aku sudah tidak ada lagi, sudah tewas di tanganmu. Akan tetapi apa bedanya. Biar pun engkau mengatakan bahwa engkau tidak membantu An Lu Shan, akan tetapi engkau sudah membantu dia mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala. Hal itu telah merupakan bantuan yang amat besar pula.'"

"Hemm, engkau menyindir lagi, betapa sombongnya engkau. Apa kau sangka di dunia ini hanya engkau saja yang setia pada Kerajaan Tang, Yang Cin Han?"

Kini Cin Han yang terkejut bukan main, terbelalak memandang kepada gadis itu.

"Ehh... dari mana kau tahu…"

Gadis itu tersenyum sehingga untuk kedua kalinya hati Cin Han jungkir balik dibuat salto beberapa kali dan jatuh terbalik di tempatnya.

"Hemm, kau kira hanya engkau saja yang pandai menyelidiki orang? Apakah aku percaya begitu saja sesudah engkau muncul sebagai pengemis tempo hari. Pakaianmu memang seperti pengemis, akan tetapi muka serta kulit lehermu, juga tanganmu, terlampau bersih bagi seorang pengemis. Dan ilmu silatmu lihai sekali. Tadinya aku hanya menduga bahwa engkau tentulah seorang pendekar yang menyamar. Tetapi sesudah aku melihat engkau dan adikmu bersembahyang di depan makam tadi, mudah saja mengetahui siapa engkau karena aku tahu bahwa makam itu adalah kuburan mendiang Nyonya Menteri Yang Kok Tiong."

"Bukan main! Celakalah aku kalau engkau benar-benar antek pemberontak An Lu Shan!" kata Cin Han, tidak main main lagi dan telah siap menghadapi serangan. "Tentu engkau akan menangkapku, bukan?"

"Salah! Aku hanya ingin memberi tahu kepadamu bahwa kalian putera puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong bermain dengan api yang sangat berbahaya. Bukankah adikmu yang seorang lagi sudah menyusup ke dalam istana sebagai seorang dayang"

"Nona, engkau sudah tahu pula tentang hal Itu? Sudahlah, aku benar-benar takluk dengan kecerdikanmu. Sekarang apa kehendakmu menghadangku? Menangkapku, atau bahkan membunuhku?"

"Bila itu yang kukehendaki, sudah sejak tadi aku menyerangmu, bukan? Atau kulaporkan saja kepada suheng-ku, Bouw-ciangkun dan engkau bersama dua adik perempuanmu dan juga Ji-Wangwe berikut semua temannya akan ditangkap!"

"Ahh... kau... kau agaknya sudah mengetahui segalanya!"

"Kau kira kalian saja yang pandai? Kalian saja yang berhak membela Kerajaan Tang? Aku pun telah menerima tugas dari guruku untuk membela Kerajaan Tang dan menentang An Lu Shan."

Bukan main girangnya hati Cin Han mendengar ucapan ini. "Sungguhkah? Aihh, alangkah lega dan gembira hatiku mendapatkan seorang teman seperjuangan sepertimu, nona Can Kim Hong! Akan tetapi..." Sejenak Cin Han meragu, "jika benar seperti yang kau katakan bahwa engkau juga membela Kerajaan Tang, mengapa engkau malah membantu mereka mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala, lambang kekuasaan kaisar?"

"Yang Cin Han, tak perlu engkau berpura-pura lagi. Engkau dan adikmu itulah yang sudah mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala yang asli lantas menukar dengan yang palsu sehingga kini Bouw-koksu mendapat yang palsu, bukan? Engkau memang cerdik. Diam-diam aku kasihan sekali melihat mereka tidak sadar bahwa mereka menemukan pusaka yang palsu."

"Sungguh aku tak mengerti apa yang kau maksudkan ini, nona. Kami tidak tahu menahu tentang pusaka itu, kami hanya mendengar bahwa peta penyimpanan pusaka itu terjatuh ke tangan Bouw-koksu dan aku bertugas untuk membayangi dan menyelidiki pengambilan pusaka itu. Dalam tugas itu aku lalu bertemu adikku Yang Kui Lan, dan bentrok dengan rombonganmu. Apa yang terjadi? Jadi rombongan Bouw-ciangkun mendapatkan pusaka yang palsu? Lalu siapa yang mengambil pusaka aslinya?"

Kini Kim Hong yang tertegun. Nampak beberapa orang lewat sehingga Kim Hong segera memberi tanda kepada Cin Han agar mengikutinya. Dia meninggalkan jalan kecil itu lalu menyelinap ke dalam tanah kuburan yang sepi, diikuti oleh Cin Han. Mereka pun duduk di bangku yang terdapat di luar sebuah makam yang mewah, kemudian bercakap-cakap.

"Sekarang kita dapat bicara secara leluasa di sini, nona..."

"Kita adalah orang dari satu golongan, tidak perlu engkau bernona-nona kepadaku. Atau engkau ingin kusebut tuan?" Kim Hong memotong sambil cemberut. Cin Han tersenyum.

"Baiklah, Kim Hong, memang tidak ada gunanya berbasa-basi. Tentu engkau sudah tahu mengenai keadaan kami. Ayahku mengikuti Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Ibuku tidak mau ikut dan ingin menanti kami pulang, akan tetapi ibu menjadi korban penyerbuan gerombolan An Lu Shan. Ibu membunuh diri. Kami bertiga sedang pergi berguru, kedua orang adikku terpisah dariku dan baru sekarang kami saling jumpa kembali. Aku menjadi murid Sin-tung Kai-ong, sedangkan kedua orang adikku menjadi murid Kong Hwi Hosiang. Sekarang aku dan adikku Kui Lan tinggal di rumah Hartawan Ji, sedangkan Kui Bi, seperti sudah kau ketahui, di luar pengetahuanku telah menyusup ke dalam istana. Nah, semua sudah jelas, bukan? Sekarang giliranmu, aku ingin sekali mengetahui tentang dirimu agar tidak timbul kesalah pahaman lagi di antara kita."

Gadis itu menarik napas panjang. "Aku bukan keturunan bangsawan seperti engkau. Aku hanya orang biasa..."

"'lhhh! Kenapa kata-katamu begitu cengeng?" Cin Han mencela. "Aku bosan mendengar kata bangsawan. Aku dan kedua orang adikku sudah lama muak dengan kebangsawanan itu. Kami melihat segala macam kepalsuan di istana dan hal itulah yang mendorong kami untuk pergi merantau dan berguru. Bahkan dulu aku sering ribut mulut dengan mendiang ayah karena aku tidak suka dijadikan pejabat. Kami bahkan lebih senang memilih menjadi rakyat biasa, tidak terlampau banyak peraturan, tidak hidup dengan banyak adat istiadat palsu. Nah, lanjutkan keterangan mengenai dirimu, Hong-moi (adik Hong). Aku tentu lebih tua darimu, maka aku akan menyebutmu Hong-moi."

"Engkau pemuda yang luar biasa, Han-ko. Engkau keturunan menteri besar, bangsawan tinggi, akan tetapi lebih suka menjadi rakyat biasa, engkau lihai dan pandai bicara. Tidak ada yang istimewa di dalam hidupku. Sejak kecil aku dirawat dan dididik oleh guru, yaitu Bouw-koksu sekarang ini. Ibuku seorang suku bangsa Khitan..."

Gadis itu berhenti, kemudian dengan teliti mencoba untuk mengamati wajah pemuda itu di bawah terang cahaya bulan yang tidak terhalang awan.

"Kenapa berhenti, Hong-moi? Lanjutkan..."

"Engkau tidak terkejut? Ataukah tidak jelas mendengar ucapanku tadi bahwa ibuku adalah seorang wanita Khitan..."

"Habis, kenapa? Kenapa aku harus terkejut? Wanita Khitan itu seorang manusia, bukan? Kalau engkau ceritakan bahwa ibumu seekor naga atau seekor burung Hong, barulah aku akan terkejut," kata Cin Han sambil tertawa.

Kim Hong tertawa juga, akan tetapi tawanya mengadung kepahitan. "Han-ko, bukankah kaum bangsawan bangsa Han selalu memandang rendah kepada suku bangsa lain yang dianggap sebagai bangsa liar? Engkau tidak memandang rendah kepadaku karena ibuku seorang Khitan?"

"Wah, kalau begitu engkau sudah keliru menilai diriku, Hong-moi. Bagiku, bangsa apa pun di dunia ini, asal dia manusia, maka dia sama saja dengan kita. Baik buruknya seseorang bukan dinilai dari kebangsaannya, atau kepintarannya, kedudukannya atau kekayaannya, melainkan dari perbuatannya. Tidak, Hong moi, aku tidak memandang rendah kepadamu atau ibumu!"

"Terima kasih, Han-ko. Ibuku sudah meninggal dunia dan ketika masih hidup, ibu pernah berpesan supaya aku mencari ayah kandungku, seorang Han… Ayahku seorang perwira pasukan Tang yang pernah menyerbu ke daerah Khitan dan tertawan oleh bangsa Khitan. Ayah kemudian menikah dengan ibu dan lahirlah aku. Pada saat mendapat kesempatan, ayah kandungku itu lalu melarikan diri dan kembali ke timur. Nah, ibu memesan agar aku mencari ayah kandungku. Aku lalu meninggalkan Khitan dengan diam-diam, tetapi guruku dulu yang sekarang menjadi Bouw Koksu dan puteranya, suheng Bouw Ki mengejar. Aku tentu sudah ditangkap dan dipaksa pulang kalau saja tidak ditolong oleh seorang sakti yang kemudian menjadi guruku."

"Siapakah penolong yang kemudian menjadi gurumu itu, Hong-moi?"

"Sebetulnya dia tidak ingin namanya kusebut, akan tetapi karena engkau sudah berterus terang mengenai dirimu, dan entah mengapa aku percaya kepadamu, maka biarlah kau mengetahui. Guruku itu berjuluk Si Naga Hitam bernama Kwan Bhok Cu..."

"Hebat! Aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh suhu-ku. Bukankah gurumu itu mengasingkan diri di Bukit Nelayan?"

"Benar, Han-ko. Setelah selesai mengajarkan ilmu kepadaku, suhu lantas memberi tugas kepadaku untuk membantu Kerajaan Tang, dan terutama sekali mencari Mestika Burung Hong Kemala untuk diserahkan kepada Sribaginda Kaisar Beng Ong. Aku menyelidiki ke kota raja kemudian bertemu dengan suheng-ku, Bouw Ki yang kini telah menjadi seorang panglima. Karena kuanggap dengan mendekati istana aku dapat lebih banyak membantu gerakan pendukung Kerajaan Tang, maka aku mau diminta tinggal di rumah mereka."

"Engkau ikut rombongan mengambil pusaka itu dengan maksud untuk merampasnya?"

"Kalau ada kesempatan, mengapa tidak? Suhu menugaskan aku untuk mencari pusaka itu dan mengembalikannya kepada Sribaginda Kaisar."

"Dan apa pula maksudmu dengan mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala yang didapatkan rombongan itu palsu?"

"Aku sendiri selama hidup belum pernah melihat pusaka itu, akan tetapi melihat peti kecil berikut tanda-tanda yang kutemukan, aku yakin bahwa ada orang yang telah mendahului rombongan, mengambil pusaka asli dan menukarnya dengan yang palsu. Hanya aku yang melihat adanya bekas tapak kaki di dalam goa, dan peti Itu pun bersih, tidak berdebu dan tidak basah seperti yang seharusnya, tanda bahwa peti itu baru saja diletakkan orang di sana. Akan tetapi rahasia ini kusimpan sendiri, dan tadinya kukira engkaulah yang sudah mendahului rombongan"

"Sama sekali tidak, Hong-moi. Ahh, kalau begitu ada orang lain yang kini telah menguasai pusaka aslinya. Ini bahkan jauh lebih sukar dari pada kalau pusaka itu berada di tangan Bouw Koksu, karena setidaknya kita mengetahui di mana adanya pusaka itu. Sekarang kita tidak tahu siapa yang memilikinya, lantas bagaimana mungkin kita bisa mencarinya?" Dalam suara Cin Han terkandung penyesalan.

"Aku mendapat petunjuk, Han-ko. Ini hanya dugaan, akan tetapi tidak ada orang lain yang patut dicurigai." Dia lalu menceritakan tentang pemuda berotak miring yang muncul ketika rombongan Bouw Ki mengepung Kui Lan.

"Baru setelah rombongan menemukan pusaka palsu, aku mengenang kembali pemuda itu dan sekarang aku mengerti kenapa seorang pemuda sinting berkeliaran di tempat kering kerontang seperti itu. Apa yang dicarinya? Dan ketika dia bicara mengacau tentang Kaisar Li Si Bin yang sakti, mengenai Tatmo Couwsu, sekarang aku mengerti bahwa dia sengaja mempermankan rombongan. Aku yakin bahwa dia seorang yang menentang An Lu Shan dan berpihak kepada adikmu Kui Lan itu, tapi dia hendak merahasiakan dirinya maka dia bersembunyi. Andai kata engkau dan adikmu terancam bahaya, aku yakin si gila itu akan muncul lagi. Juga sekarang aku ingat. Wajahnya tampan dan sinar matanya mencorong. Siapa lagi kalau bukan dia yang telah mengambil pusaka asli sesudah menggantikannya dengan yang palsu?"

"Memang dia mencurigakan sekali. Apakah dia memiliki ilmu silat yang tinggi?"

Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu menggelengkan kepala penuh keraguan. "Aku sudah memeriksa buntalan pakaiannya, tetapi tidak menemukan benda pusaka. Aku juga sudah mengujinya dengan serangan, ternyata dia tidak bisa bersilat. Ketika aku mengembalikan pedangnya, aku sengaja melemparkan pedang itu sehingga pedang mengarah kepalanya dan dia tidak mampu mengelak, bahkan dahinya menjadi benjol."

"Pedang? Orang gila yang tidak pandai silat membawa pedang? Sungguh aneh."

"Sekarang barulah hal itu kelihatan aneh. Alangkah bodohnya aku! Kami semua memang telah curiga, tetapi dia berkata bahwa pedang itu milik kakeknya yang katanya merupakan seorang tokoh besar dunia persilatan. Dia bilang jika aku tidak mengembalikan pedangnya maka dia akan menyiarkan ke seluruh dunia persilatan bahwa pedangnya dicuri seorang gadis... ehh, jelita dengan lesung pipit d pipi kiri..." Kim Hong agak tersipu.

"Dia memang benar sekali!" Cin Han terkejut sendiri karena suara hatinya itu begitu saja tercetus keluar.

"Apa maksudmu?" Kim Hong membelalakkan mata bertanya.

"Maksudku... ehh, bahwa dia tidak bohong... ehh, dia benar karena engkau memang jelita dan lesung itu... ehh, maksudku dia memang benar aneh.”

Cin Han benar-benar gagap dan salah tingkah menyadari kata-katanya yang seharusnya disimpan di hati saja menerobos keluar.

Kim Hong merasa betapa wajahnya panas. Warna kemerahan naik memenuh leher serta mukanya. Dara ini merasa heran sendiri. Mengapa mendengar pujian kacau balau itu dia tidak merasa marah bahkan menjadi tersipu malu? Padahal biasanya, kalau ada pria yang memuji kecantikannya, maka akan dianggapnya kurang ajar lalu dia akan marah-marah.

"Hemm, apakah sekarang orang sintingnya menjadi dua?" katanya mengejek dan Cin Han menjadi semakin gugup.

"Ehh... ohhh..., maafkan, ehh, maksudku…, harap teruskan ceritamu, Hong-moi."

"Semua keadaan diriku telah kuceritakan, Han-ko. Sekarang lebih baik kita berbagi tugas. Aku yang berada di dalam akan mengawasi adikmu Kui Bi dan kalau perlu membantunya, sedangkan engkau yang berada di luar menyebar kawan-kawan untuk menyelidiki tentang pemuda sinting itu. Kita harus dapat menemukan pusaka yang asli dan membiarkan Bouw Koksu memiliki suatu rencana gelap bersama Pangeran An Kong. Aku ingin sekali melihat mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia."

"Itu baik sekali, Hong-moi. Aku juga mendengar bahwa di antara Pangeran An Kong dan ayahnya, An Lu Shan, sudah terjadi ketegangan. Dan engkau sendiri, bagaimana mungkin engkau menentang orang yang pernah menjadi gurumu, yang memelihara dan mendidik engkau sejak kecil? Maaf kalau aku menanyakan hal ini, karena aku yakin seorang gadis yang gagah perkasa seperti engkau tentu tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar kebenaran dan keadilan."

Gadis itu menghela napas panjang. "Dahulu memang Bouw Koksu adalah guruku dan dia amat sayang kepadaku sehingga aku pun sayang dan taat kepadanya. Juga dahulu Bouw Ki merupakan suheng-ku dan kawanku bermain. Akan tetapi semenjak aku meninggalkan mereka, semua kesan baik atas diri mereka sudah terhapus. Mereka hendak memaksaku untuk menjadi selir Bouw Ki. Itulah sebabnya aku meninggalkan mereka. Ketika mereka hendak memaksaku pulang, muncullah suhu Hek-liong Kwan Bhok Cu yang menolongku. Sejak itu aku tidak mengakui mereka sebagai guru dan suheng. Tetapi ketika aku bertemu dengan Bouw Ki, sikapnya telah berubah dan agaknya mereka tidak berani memaksaku, bahkan membantuku sehingga aku dapat bertemu dengan ayah kandungku."

"Ahhh…! Ayah kandungmu yang melarikan diri dari Khitan itu?"

"Benar, ayahku bernama Can Bu. Dia adalah seorang perwira yang... ahh, hal inilah yang meresahkan aku. Ayahku menjadi anak buah Bouw Koksu dan agaknya dia sangat setia kepada bekas guruku itu."

"Apakah engkau tidak dapat menyadarkan dia, Hong-moi? Bukankah dahulu dia seorang perwira kerajaan Tang. Apakah dia tidak bisa melihat bahwa Bouw Koksu dan An Lu Shan hanya pemberontak yang merampas tahta kerajaan?"

"Sebenarnya sudah kucoba, akan tetapi agaknya tidak ada hasilnya. Hal ini benar-benar amat membingungkan hatiku. Aku harus menaati perintah suhu, yaitu membantu kerajaan Tang, akan tetapi ayah kandungku sendiri berpihak pada An Lu Shan." Gadis itu menarik napas panjang, nampaknya bingung dan kecewa sekali.

Cin Han dapat memaklumi hal itu. Apa bila gadis itu menaati gurunya, membela kerajaan Tang, hal itu berarti bahwa dia akan bertentangan dengan ayah kandung sendiri. Cin Han ikut merasa penasaran dan ingin sekali rasanya dia bertemu dengan ayah kandung gadis ini untuk mencoba ikut menyadarkannya.

"Hong-moi, bagaimana engkau dapat menemukan ayah kandungmu begitu mudahnya?"

Gadis itu memandang kawan barunya dengan wajah muram. "Justru Bouw Koksu beserta puteranya yang mencarikan ayahku itu dan menemukannya. Dia ternyata seorang perwira yang berada dalam pasukan yang dipimpin suheng Bouw Ki”

"Hemm… maafkan aku, Hong-moi, bukan maksudku hendak menyinggung hatimu, tetapi bagaimana engkau mengetahui dengan pasti bahwa dia adalah ayahmu, ayah kandungmu yang sedang kau cari?"

Mendengar pertanyaan ini, Kim Hong nampak terkejut. "Wah, Han-ko engkau menyentuh hal yang selalu mengganggu hatiku! Sejak bertemu ayah kemudian dia merangkulku, aku sendiri merasa dia seperti orang asing bagiku. Sering aku termenung dan menduga-duga apakah dia benar ayah kandungku, tetapi pikiranku segera membantah dan mengatakan bahwa tentu dia ayah kandungku karena hanya Bouw Koksu yang mengenalnya"

"Jadi engkau hanya percaya dengan keterangan Bouw Koksu dan pengakuan orang itu? Sama sekali tidak yakin karena tidak ada bukti?"

"Memang tidak ada bukti, akan tetapi ada saksinya, yaitu bekas guruku, Bouw Hun atau Bouw Koksu."

"Hemmm..." Cin Han meraba-raba dagunya, berpikir.

"Engkau dipertemukan dengan ayah kandungmu oleh Bouw Koksu, dan kebetulan sekali ayah kandungmu itu menjadi anak buah Bouw-ciangkun. Hemm, sungguh suatu kebetulan yang luar biasa..."

Kembali dia menundukkan kepala, berpikir dan tanpa disadarinya meraba-raba dagu yang sudah menjadi kebiasaannya. Pada saat yang sama Kim Hong juga menundukkan muka dengan sepasang alis berkerut. Gadis ini meraba-raba dan menarik-narik telinga kirinya, suatu kebiasaan kalau dia sedang berpikir keras.

Tiba-tiba Cin Han mengangkat muka dan berseru, "Ahhh...!"

Pada saat yang sama gadis itu pun mengangkat muka sambil mengeluarkan seruan yang sama. Agaknya mereka berdua mendapat pemikiran yang sama pada waktu yang sama pula. Mereka saling pandang kemudian Cin Han berkata,

"Hong-moi, agaknya keadaan ayahmu itu meragukan sekali, belum tentu dia adalah ayah kandungmu yang sebenarnya."

"Mungkin sekali, aku pun berpikir begitu. Coba engkau katakan, Han-ko, apakah alasan keraguanmu sama dengan alasan dugaanku. "

"Menurut ceritamu, ayah kandungmu pernah menjadi tawanan di Khitan sampai bertahun-tahun, maka tentu saja telah mengenal baik Bouw Koksu yang dahulunya menjadi kepala suku. Tetapi mengapa Bouw Koksu dan Bouw-ciangkun tidak tahu bahwa selama ini ayah kandungmu menjadi perwira bawahan Bouw-kongcu? Mereka baru menemukan ayahmu setelah engkau datang mencarinya. Seharusnya mereka mengenal ayah kandungmu, dan sebaliknya ayahmu juga mengenal mereka."

"Tepat sekali, Han-ko. Aku pun berpikir demikian. Menurut ibu kandungku, dahulu ayahku seorang gagah yang tidak mau tunduk, bahkan berhasil melarikan diri dari Khitan. Kalau benar yang diperkenalkan kepadaku itu ayah, tentu dia tidak akan sudi menjadi anak buah mereka."

Kim Hong lalu teringat akan sikapnya yang manis dan manja terhadap ayah yang sudah ditemukannya itu. Kalau orang itu bukan ayahnya yang sesungguhnya, berarti dia sudah dipermainkan orang.

"Hemm, kalau benar begitu, akan kuhajar orang yang berani mempermainkan aku itu!"

"Sabarlah, Hong-moi. Sebaiknya kalau engkau pura-pura tidak mencurigainya. Lagi pula semua ini baru dugaan kita, belum jelas dan kita belum yakin benar. Dengan pura-pura tidak curiga engkau akan dapat melakukan penyelidikan dengan lebih seksama. Aku akan minta kepada Ji Siok untuk melakukan penyelidikan pula. Dalam waktu beberapa hari ini tentu kita sudah tahu dengan pasti siapa orang yang sekarang mengaku sebagai ayahmu itu."

Kim Hong mengangguk setuju. "Sekarang aku harus pulang dulu, Han-ko. Jika terlampau malam, tentu mereka akan mencurigai aku. Apa lagi kalau orang yang kuanggap sebagai ayahku itu adalah palsu. Tentu dia adalah mata-mata mereka yang memata-mataiku."

"Wah, jika benar dugaan kita bahwa dia itu palsu, dan dia bersamamu dalam satu rumah, sungguh berbahaya bagimu, Hong-moi"

"Akan kuperhatikan dia dan aku akan berhati-hati. Untunglah bahwa selama ini aku masih merasa asing padanya sehingga aku tidak menceritakan isi hatiku. Dia tentu menganggap bahwa aku benar-benar membantu Pangeran An Kong dan bekas guruku Bouw Koksu."

"Bagus, tetaplah bersikap wajar sebagai anak yang baik, Hong-moi. Jadi bukan engkau yang membuka rahasia, malah dia sendiri yang akan terbuka kedoknya.'"

Mereka lalu berpisah, masing-masing merasakan sesuatu yang aneh terjadi di dalam hati. Terutama sekali Cin Han. Jantungnya berdebar penuh keriangan kalau dia teringat bahwa gadis yang semenjak pertemuan pertama, ketika mereka bertanding, sudah amat menarik hatinya, akan tetapi yang membuatnya kecewa karena gadis itu menjadi pembantu Bouw Koksu, kini ternyata bahwa gadis itu sama sekali tidak membantu Bouw Koksu, bahkan menentangnya, menentang An Lu Shan, dan setia terhadap kerajaan Tang…..

********************

Berkat usaha Gui-thaikam, kepala dayang sahabat Ji Siok yang banyak makan sogokan dari hartawan itu sehingga Kui Bi dapat menyusup sebagai dayang istana, maka dapatlah Kui Bi memenuhi panggilan Pangeran An Kong untuk mengadakan pembicaraan penting di pondok kecil dalam taman istana. Percakapan rahasia itu terjadi di malam hari, antara Kui Bi dengan Pangeran An Kong yang ditemani Bouw Koksu. Percakapan mereka hanya singkat saja.

"Kui Bi, katakan terus terang, bersediakah engkau bila kusuruh mengerjakan suatu tugas penting untukku?"

"Ampun, Pangeran. Harap paduka katakan dulu, tugas apakah itu dan apa pula imbalan yang akan hamba peroleh?" kata Kui Bi dengan cerdk.

Pangeran An Kong tersenyum dan saling pandang dengan Bouw Koksu.

"Sudah kukatakan kepadamu bahwa aku cinta padamu, Kui Bi, dan kalau engkau berhasil melaksanakan tugas yang kuperintahkan padamu, maka aku akan mengambilmu sebagai isteri."

"Akan tetapi paduka pernah mengatakan bahwa paduka akan mengangkat hamba menjadi permaisuri kalau paduka kelak menjadi kaisar, Pangeran."

Bouw Koksu mengerutkan alisnya dan matanya bersinar marah, akan tetapi pangeran itu cepat-cepat memberi isyarat dengan kedipan matanya sehingga Guru Negara ini tidak jadi memperlihatkan kemarahan hatinya.

"Menjadi isteriku berarti menjadi permaisuri, Kui Bi. Karena sekarang aku belum menjadi kaisar, maka tentu saja engkau belum dapat menjadi permaisuri."

"Hamba akan melakukan perintah apa pun dari paduka kalau paduka suka berjanji bahwa kelak setelah paduka menjadi kaisar, hamba diangkat menjadi permaisuri”

"Baik! Aku berjanji, Kui Bi. Paman Bouw ini yang menjadi saksi."

"Terima kasih, Pangeran. Akan tetapi sebelum paduka menjadi Kaisar, hamba tetap akan menjadi dayang istana sebab hamba tidak berani meninggalkan tempat pekerjaan hamba. Sekarang harap paduka jelaskan, tugas apakah yang harus hamba lakukan?"

"Tugasmu adalah membunuh Sribaginda Kaisar."

"Ihhhh...!" Kui Bi pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya.


"Bagaimana... bagaimana mungkin? Hamba hanya seorang dayang lemah... tak mungkin hamba dapat melaksanakan..!"

"Kami pun tidak bodoh, Kui Bi. Bukan membunuh dengan cara kasar, engkau tidak perlu menyerangnya, melainkan dengan cara halus. Engkau menyelundup ke dapur, kemudian mencampurkan bubukan merah ini ke dalam masakan kegemaran Sribaginda, dan ketika engkau ikut melayani Sribaginda dahar, usahakan agar sayur itu dimakan olehnya. Mudah saja, bukan?"

"Akan tetapi bagaimana mungkin Pangeran? Pertama, hamba tak pernah mendapat tugas melayani Sribaginda makan. Ke dua, hamba tak akan diijinkan memasuki dapur sehingga tidak akan ada kesempatan untuk mencampur racun dalam makanan, dan ke tiga, hamba takut karena hamba tentu akan ditangkap dan dijatuhi hukuman berat” kata Kui Bi dengan meratap.

Tentu saja tugas itu malah menyenangkan hatinya karena tanpa diperintah pun dia ingin membunuh kaisar baru yang tadinya berpangkat panglima itu. Kalau saja tidak ada Sia-ciangkun yang melarangnya, mungkin dia sudah mengambil jalan pintas, dengan nekat mendekati dan mencoba membunuh kaisar.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar