Mestika Burung Hong Kemala Jilid 17

Souw Hui San mengelus-elus dahinya yang menjadi benjol sebesar telur ayam, tertimpa pedangnya sendiri yang tadi dilempar oleh Kim Hong.

"Wah, gadis yang lihai, galak dan sadis!" dia mengomel, kemudian mengeluarkan seguci kecil arak dan menggosok-gosok benjolan di dahinya dengan arak.

Tadi, ketika dia muncul dengan pura-pura menjadi orang sinting, dia memang bermaksud untuk menolong gadis yang membuat jantungnya berdebar keras. Begitu melihat Kui Lan, jantung di dalam dada Hui San seketika jatuh bangun. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis seperti itu! Cantik jelita, lemah lembut, dan perkasa pula.

"Kui Lan, namanya Kui Lan...," dia bicara seorang diri dan kalau ada yang melihatnya saat itu, tentu akan menganggap dia benar-benar sinting, bukan pura-pura seperti tadi.

"Agaknya dia she Kui dan bernama Lan, sungguh nama yang indah, secantik orangnya. Akan tetapi, sayangnya dia mengenal aku sebagai orang sinting..." Dia tersenyum pahit, lalu mengelus benjolan di dahinya sambil menyebut-nyebut nama gadis itu.

"Ahhh... Kui Lan... Kui Lan..."

Hui San melamun sebentar, wajah Kui Lan terbayang-bayang dan akhirnya dia menghela napas panjang, mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung, kemudian mendaki bukit itu. Setelah berada di puncak bukit, dari atas dia melihat ke segenap penjuru.

Hui San tersenyum lega melihat rombongan Bouw Ki menuruni bukit, kembali dari tebing karang penuh goa. Senyumnya menjadi tawa geli membayangkan betapa rombongan itu, dengan rasa puas dan menang, sekarang kembali ke kota raja sambil membawa Mestika Burung Hong Kemala yang palsu!

Sesudah merasa yakin bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang lain, barulah Hui San memanjat pohon besar di mana tadi dia meneliti ke empat penjuru dan dia pun mengambil benda pusaka Giok-hong-cu itu dari puncak pohon.

Tadi dia memang sudah menyembunyikan pusaka itu di sana. Kalau tidak demikian, tentu dia tidak akan berani muncul untuk menolong Kui Lan. Ketika buntalannya digeledah, dia pun tenang-tenang saja karena pusaka itu telah lebih dulu dia amankan di puncak pohon. Andai kata rombongan itu tadi bertindak kasar hendak menawan atau membunuhnya, dia tentu akan melakukan perlawanan.

Tadi ketika mengintai, dia kagum melihat munculnya seorang pemuda menolong Kui Lan, bahkan dia lalu membayangi ketika kedua orang itu menyelamatkan diri. Karena maklum bahwa mereka itu lihai, dia hanya mengintai dari jauh sehingga tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Akan tetapi dia tahu bahwa pemuda itu ternyata kakak si gadis, maka menguap dan lenyaplah perasaan tidak enak dan cemburu yang tadinya sudah mengusik perasaannya.

Setelah menyimpan Mestika Burung Hong Kemala yang asli, dia pun mulai menurun bukit itu dan menuju kembali ke kota raja. Dia merasa gembira melihat betapa kakak beradik itu pun menuju ke kota raja karena dia mengharapkan sekali untuk dapat bertemu kembali dengan Kui Lan, gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu…..

********************

Ji Siok atau Ji-wangwe (Hartawan Ji) membelalakkan matanya memandang kepada gadis yang duduk di depannya. Baru saja Cin Han meninggalkan mereka dan gadis ini, Kui Bi, menyatakan suatu keinginan yang membuat dia terkejut setengah mati dan terbelalak.

"Nona, keinginanmu itu tidak mungkin! Terlalu berbahaya itu!"

"Paman Ji," kata Kui Bi dengan sikap tenang. "Kenapa tidak mungkin? Bukankah paman juga mengetahui bahwa mendiang Bibi Yang Kui Hui dahulu pernah saling menjalin cinta dengan An Lu Shan? Dan paman tahu bahwa wajahku mirip mendiang Bibi Yang Kui Hui. Dengan sedikit hiasan maka aku akan menjadi Yang Kui Hui muda dan aku yakin An Lu Shan seolah menemukan kembali kekasihnya."

"Akan tetapi itu sungguh berbahaya sekali! Bagaimana mungkin nona bisa membunuhnya kemudian meloloskan diri? Nona akan ditangkap! Andai kata berhasil membunuhnya pun, nona akan dihukum dan dibunuh pula."

"Paman, mana ada perjuangan yang tidak mengandung bahaya? Resiko perang hanyalah menang atau kalah. Orang tuaku tewas karena ulah An Lu Shan, bahkan Kerajaan Tang runtuh oleh pengkhianat itu. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membalas dendam? Dengan cara itu aku akan dapat mendekatinya dan mencoba membunuhnya. Tentang aku akan berhasil meloloskan diri atau tidak, itu adalah urusan ke dua. Belum tentu aku tidak akan mampu meloloskan diri, paman!"

"Tapi... mengorbankan seorang gadis muda seperti nona...," kata hartawan itu meragu.

"Tak ada kata pengorbanan bagi seorang pejuang, paman. Andai dianggap pengorbanan sekali pun, aku rela mengorbankan nyawa demi membalas kematian ayah ibuku dan demi Kerajaan Tang. Tak perlu berpanjang kata, paman. Sekarang maukah paman membantu agar aku dapat masuk ke dalam kalangan istana sehingga aku mempunyai kesempatan untuk mendekati An Lu Shan?"

Hartawan itu menghela napas panjang. "Sebaiknya kita menanti dahulu sampai kakakmu datang..."

"Itu terlalu lama, paman. Dan Han-koko juga tidak akan bisa membantuku. Ini merupakan usaha pribadiku untuk bertindak. Kalau paman tidak mau membantu, biarlah aku mencari jalan lain."

Menghadapi gadis yang bersikap keras itu, Ji-wangwe hanya dapat menghela napas dan mengangguk-angguk.

"Baiklah, nona. Tetapi harus diatur sebaik mungkin. Kalau hendak mendekati An Lu Shan tanpa dicurigai, satu-satunya cara adalah menjadi seorang dayang istana. Kebetulan aku mempunyai hubungan dengan seorang thaikam (sida-sida) yang menjadi kepala dayang. Kurasa dia akan dapat memasukkan nona ke istana sebagai dayang baru. Tentu saja jika ada permintaan dayang baru dari istana."

Dan kebetulan sekali, atas permintaan permaisuri ternyata memang ada permintaan dari istana agar Gui-thaikam memasukkan lagi tujuh orang dayang baru untuk istana. Dengan sendirinya tiga hari kemudian Kui Bi telah berhasil diselundupkan sebagai seorang dayang baru.

Ketika tujuh orang dayang baru itu dihadapkan kepada Kaisar An Lu Shan, di situ hadir pula Pangeran An Kong di samping permaisuri dan para selir kaisar. Juga ada beberapa orang panglima yang sedang menghadap untuk urusan tugas keamanan. Di antara para panglima juga terdapat Sia-ciangkun, yaitu Panglima Sia Su Beng yang pernah bertemu dengan Yang Kui Lan.

Panglima inilah yang seketika menjadi bengong dan jantungnya berdebar-debar ketika dia ikut melihat masuknya tujuh orang calon dayang baru itu. Yang membuat dia kaget bukan main adalah melihat dayang yang berjalan dalam urutan nomor tiga. Hampir dia berteriak memanggil.

Bagaimana dia tidak akan terkejut melihat Kui Lan berada di antara tujuh orang dayang itu! Kui Lan, gadis perkasa yang katanya hendak menyusul ayahnya yang ikut rombongan Kaisar yang melarikan diri ke barat, gadis yang menjadi pejuang membela Kerajaan Tang, sekarang berada di sini sebagai calon dayang!

Tentu saja dia merasa khawatir bukan main, maklum akan niat gadis itu. Agaknya gadis itu hendak nekat, hendak membunuh An Lu Shan dengan menyusup sebagai dayang! Dia harus mencegah ini, karena melakukan perbuatan itu sama saja dengan membunuh diri! Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan? Dia akan mencari jalan!

Bukan hanya Sia Su Beng yang menjadi bengong ketika melihat Kui Bi yang disangkanya Kui Lan karena memang enci adik itu memiliki wajah yang mirip sekali. Juga An Lu Shan dan Pangeran An Kong memandang dengan mata yang tak pernah berkedip. An Lu Shan menatap dengan jantung berdebar keras. Dia seperti melihat Yang Kui Hui hidup kembali, dalam tubuh yang jauh lebih muda.

Namun tak salah lagi, wajah gadis dayang itu serupa benar dengan wajah mendiang Yang Kui Hui yang dahulu menjadi kekasihnya! Dia tidak akan pernah melupakan selir kaisar itu, karena harus diakuinya bahwa berkat bantuan Yang Kui Hui itulah dia mendapatkan kedudukan dan kepercayaan kaisar Kerajaan Tang dan akhirnya sekarang bahkan dapat merebut tahta Kerajaan Tang.

Sementara itu, Pangeran An Kong yang terkenal mata keranjang, juga sangat terpesona oleh kecantikan Kui Bi. Terlebih lagi ketika dengan sikap malu-malu, dengan kerling mata tajam serta senyum manis sekali, Kui Bi yang melakukan penghormatan sambil berlutut kepada keluarga An Lu Shan, mengerling ke arah An Lu Shan dan Pangeran An Kong.

Pangeran mata keranjang itu begitu tertarik oleh kerling mata dan senyum Kui Bi sehingga dengan tak sabar dia lalu berkata kepada Permaisuri,

"Ibunda, saya ingin agar calon dayang yang berbaju biru itu menjadi dayang saya!"

Mendengar ucapan yang terang-terangan menunjukkan betapa pangeran itu terpikat oleh dayang itu, semua orang tersenyum, maklum akan watak mata keranjang pangeran itu.

"Aihh, engkau begitu tergesa-gesa! Akan tetapi bolehlah..."

"Tidak!" terdengar suara Kaisar menggeledek.

Memang sudah timbul perasaan tidak senang di antara ayah dan anak ini. Pertama pada saat mereka saling memperebutkan seorang wanita istana Kerajaan Tang yang kemudian bunuh diri, kemudian sekali karena dengan dukungan banyak pejabat tinggi, Pangeran An Kong minta kepada ayahnya agar dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota.

"Engkau ini anak macam apa, An Kong! Tujuh orang calon dayang ini dipesan Permaisuri atas perintahku, tetapi begitu mereka muncul, enak saja engkau hendak memilih seorang di antara mereka? Akulah yang memutuskan, dan aku memerintahkan agar para calon ini menjadi dayang istana dan tidak boleh kau ambil begitu saja!"

Wajah Pangeran An Kong menjadi merah sekali, matanya mencorong penuh kebencian kepada ayahnya. Hanya karena urusan seorang dayang saja, ayahnya tidak segan-segan menegurnya sedemikian kasarnya, di depan banyak orang pula.

Ayahnya sudah mempermalukan dia di depan orang banyak, seperti pernah dilakukannya pada waktu dia mohon untuk diangkat menjadi pangeran mahkota. Kebencian menyesak dadanya, akan tetapi dia tidak berani banyak cakap lagi, hanya menundukkan mukanya dengan hati panas seperti dibakar. Terlebih lagi ketika dia bertemu pandang dengan Bouw Koksu yang dengan pandang mata memberi isyarat kepadanya, maka dia pun tak berani membantah lagi.

Peristiwa kecil ini tidak luput dari pengamatan Kui Bi. Gadis yang cerdik ini segera dapat mengetahui bahwa ada ketegangan dan kebencian di antara An Lu Shan dan An Kong, maka dia harus dapat memanfaatkan keadaan ini. Dia pun mengerling ke arah pangeran itu yang kebetulan mengangkat muka memandang kepadanya dan sebuah kedipan halus diisyaratkan oleh Kui Bi kepada sang pangeran, disusul senyum manis sekali.

Melihat keadaan yang tidak mengenakkan hati itu, sang permaisuri segera mengutus Gui-thaikam untuk menggiring tujuh orang dayang itu ke dalam istana.

Semua yang terjadi itu tidak luput dari perhatian mata Sia Su Beng. Bahkan dia sempat melihat kedipan mata gadis yang disangkanya Kui Lan tadi. Dia merasa tidak enak sekali dan menduga-duga, apa yang akan dilakukan gadis itu.

Kemudian dia teringat akan tekad Kui Lan untuk membantu Kerajaan Tang, maka dia pun mulai bisa menduga bahwa agaknya gadis pejuang itu sengaja menimbulkan ketegangan yang lebih hebat antara An Lu Shan dengan An Kong, untuk mengacaukan istana melalui rusaknya hubungan keluarga An Lu Shan. Dia merasa semakin tidak enak dan khawatir.

Kui Bi menjadi dayang permaisuri dan dia amat pandai membawa diri sehingga permaisuri merasa sayang kepadanya. Tetapi secara diam-diam permaisuri juga khawatir kalau-kalau dayang baru ini akan dipilih suaminya untuk menjadi selir. Dia tidak peduli kalau suaminya mengangkat selir baru berapa pun banyaknya, akan tetapi dia tidak rela kalau An Lu Shan menarik Kui Bi sebagai selir, karena dia tahu bahwa puteranya, Pangeran An Kong, amat menghendaki gadis cantik ini.

Maka kepada Kui Bi permaisuri sengaja memberi tugas yang selalu menjauhkan dayang ini dari kaisar, bahkan sejak berada di istana, Kui Bi tidak pernah dapat bertemu dengan kaisar. Hal ini amat mengesalkan hatinya, karena kalau tidak dapat bertemu degan kaisar, tidak pernah dapat berdekatan, lalu bagaimana mungkin dia mendapat kesempatan untuk membunuh An Lu Shan?

Beberapa hari kemudian, pada suatu malam setelah dia tidak mempunyai tugas apa pun, dan permaisuri telah memasuki kamarnya, tidak membutuhkan tenaganya, perlahan-lahan Kui Bi menyelinap keluar dan memasuki taman istana yang luas dan indah. Wajah gadis ini agak murung karena dia sama sekali tak melihat kesempatan untuk melaksanakan niat hatinya, yaitu membunuh An Lu Shan.

Untuk nekat saja mencari kamar kaisar baru itu dan mencoba membunuhnya, merupakan perbuatan yang nekat dan dia dapat mati konyol sedangkan hasilnya belum tentu ada. Dia teringat kepada Pangeran An Kong. Pangeran itu jelas tertarik kepadanya. Kalau saja dia dapat mendekati pangeran itu, mungkin akan terbuka jalan baginya untuk melaksanakan niatnya.

Kui Bi melamun sambil berjalan-jalan di dalam taman yang hanya diterangi lampu-lampu gantung di sana sini. Malam itu langit gelap, dan penerangan seperti itu membuat taman nampak semakin indah.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap gerakan orang. Ia menahan langkah dan membalik ke kiri.

"Siapa...?" tegurnya.

"Sssttt..., siauw-moi... ini aku, Sia Su Beng," terdengar suara lirih seorang pria kemudian orangnya muncul dari baik semak-semak.

Sinar lampu yang lemah menerangi muka pemuda yang tampan gagah itu. Begitu melihat pakaiannya, teringatlah Kui Bi akan seorang di antara para panglima yang hadir ketika dia bersama para dayang lainnya dihadapkan kepada kaisar dan keluarganya. Tentu saja dia terheran-heran mendengar suara yang nampak akrab itu, yang menyebutnya siauw-moi.

"Kau... siapakah dan ada apakah...?" tanyanya gagap.

"Aih, Lan-moi, apakah engkau lupa kepadaku? Aku Sia Su Beng dan kita pernah bertemu. Adik Kui Lan, sungguh aku amat mengkhawatirkan niatmu ini. Engkau hendak membunuh An Lu Shan, bukan? Jangan begitu gegabah, Lan-moi. Semua harus diperhitungkan baik-baik. Aku tidak ingin kehilangan engkau. Tunggulah saatnya tiba setelah aku siap dengan pasukanku. Aku sudah menghubungi para pejuang dan mereka pun siap membantu. Kita akan serbu istana dan kita basmi keluarga An Lu Shan kemudian menguasai istana. Para pengikutnya akan kita buat tidak berdaya dengan kepungan pasukan. Percayalah, jangan sembarangan bertindak menyerangnya dan mengorbankan dirimu..."

Kini mengertilah Kui Bi. Kiranya panglima ini seorang pembela Kerajaan Tang yang entah bagaimana telah berhasil menyusup menjadi seorang panglima pengikut An Lu Shan, dan agaknya panglima yang bernama Sia Su Beng ini sudah bertemu dan berkenalan dengan Kui Lan, kakaknya! Panglima muda ini tentu mengira dia adalah kakaknya.

Sebenarnya terdapat perbedaan antara wajah enci-nya dan wajahnya. Enci-nya, Kui Lan, yang wajahnya mirip sekali dengan mendiang Yang Kui Hui. Akan tetapi berkat usahanya untuk membuat wajahnya agar mirip Yang Kui Hui, maka dengan sendirinya kini wajahnya serupa benar dengan wajah enci-nya.

"Maaf, ciangkun. Engkau keliru. Aku bukan Kui Lan..."

Di bawah penerangan lampu yang suram, sepasang mata panglima itu terbelalak, akan tetapi dia tersenyum.

"Aihh, adik Kui Lan, harap jangan main-main. Ketika dihadapkan di depan keluarga kaisar, aku telah mengamatimu. Dan aku tahu pula bahwa engkau sengaja bermain mata dengan Pangeran An Kong. Tentunya untuk mengadu antara ayah dan anak itu, bukan? Engkau harus hati-hati, Lan-moi. Aku tetap yakin bahwa engkau adalah Lan-moi. Wajahmu, sinar matamu, suaramu, tidak dapat membohongaku. Jangan bermain api sendiri, Lan-moi, apa lagi terhadap Pangeran An Kong. Dia memiliki pendukung yang sangat kuat. Bouw Koksu dan banyak orang mendukungnya, banyak orang lihai di sekelilingnya. Agaknya dia sudah siap untuk menjatuhkan ayahnya sendiri dan merebut tahta."

Sekarang Kui Bi tidak ragu-ragu lagi. Panglima ini bukan sedang menjebaknya, melainkan benar-benar seorang pejuang dan benar-benar sudah mengenal baik enci-nya.

"Kui Lan itu enci-ku, ciangkun. dan dia sedang pergi ke barat untuk menyusul rombongan Sribaginda Kaisar. Namaku Kui Bi dan aku ini adiknya."

"Ahhh...! Pantas saja kalau begitu. Lan-moi bilang bahwa dia hendak menyusul ayahnya yang ikut rombongan Sribaginda. Karena itu aku merasa terkejut dan heran sekali ketika melihat engkau berada di antara tujuh dayang itu, heran mengapa Lan-moi yang pergi ke barat tiba-tiba muncul sebagai dayang di istana. Kiranya engkau adiknya?"

"Aku senang sekali dapat bertemu denganmu, Sia-ciangkun..."

"Adik Ku Bi, Kui Lan selalu menyebutku toako."

"Baiklah, Sia-toako. Karena kita sepaham, maka aku merasa tenang dan tahu bahwa ada teman seperjuangan di dekatku. Aku tahu bahwa aku tidak boleh bertindak tergesa-gesa dalam melaksanakan niatku. Aku harus menunggu kesempatan yang baik."

"Bagus, Bi-moi. Aku akan selalu mengamati dan melindungimu. Jangan bergerak sebelum ada tanda dariku. Bila semuanya telah dipersiapkan, barulah kita bergerak. Engkau akan bertindak dari dalam istana sebab engkaulah yang paling mudah melaksanakannya. Akan tetapi... ehh, maaf, apakah engkau juga selihai enci-mu?"

Kui Bi tersenyum. Ia merasa suka sekali kepada panglima ini. Tampan, gagah dan tegas! "Jangan khawatir, toako. Enci Kui Lan itu juga kakak seperguruanku."

"Bagus kalau begitu..."

"Ssstttt...!"' Kui Bi memperingatkan dan Sia Su Beng cepat menyelinap ke balik semak-semak tadi.

Seorang thaikam muda muncul dan tangannya membawa sebatang pedang. Ia termasuk thaikam yang ditugaskan melakukan penjagaan, maka dengan sendirinya dia bukanlah seorang yang lemah.

"Hemm, kiranya engkau dayang baru itu! Di mana pria yang berbicara denganmu tadi?!" bentak thaikam itu dengan nada bengis.

"Pria? Apa yang kau maksudkan?" Kui Bi pura-pura tidak mengerti dan sikapnya menjadi seperti orang ketakutan.

"Tak perlu berpura-pura dan berdusta! Tadi aku sudah melihatnya sendiri. Ada bayangan seorang pria bercakap-cakap denganmu di sini! Hayo katakan, siapa dia dan di mana dia sekarang? Kalau tidak mengaku, engkau akan kuseret dan kulaporkan kepada komandan pasukan keamanan dan engkau akan disiksa agar mau mengaku!"

Kui Bi merasa serba salah. Akan tetapi dia langsung teringat bahwa Sia Su Beng adalah seorang panglima yang tentu kekuasaannya jauh lebih besar kalau dibandingkan seorang prajurit pengawal thaikam biasa. Maka dia pun segera menjawab.

"Ahh…, kau maksudkan Sia-ciangkun tadi? Memang benar aku tadi bertemu dengan Sia-ciangkun di sini. Dia bertanya apa yang sedang kukerjakan di sini dan kujawab bahwa aku mencari hawa sejuk. Dia lalu pergi dan...”

"Siapa Sia-ciangkun? Jangan bohong kau!" Pengawal itu melangkah dekat dengan sikap mengancam.

"Aku tidak berbohong, yang bicara denganku tadi adalah Sia-ciangkun," kata Kui Bi. "Sia-ciangkun adalah panglima yang terkenal.”

"Tidak mungkin. Engkau hanya seorang dayang baru, bagaimana mungkin panglima Sia bicara denganmu di taman? Jangan melempar fitnah. Engkau harus kutangkap dan..."

Tangan kiri Kui Bi bergerak cepat sekali dan tangan itu sudah menyambar ke arah dada thaikam itu. Thaikam itu ternyata lihai, dia sempat meloncat ke belakang sehingga walau pun pukulan itu mengenai dadanya, akan tetapi tidaklah kuat benar, hanya membuat dia terhuyung.

Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan dengan cepat sinar pedang berdesing menyambar, maka robohlah thaikam itu dengan dada tertembus pedang. Penyerangnya adalah Sia Su Beng.


Pada saat itu pula terdengar teriakan Gui-thaikam dari pintu taman. "Nona Kui Bi, engkau di mana? Ke sinilah cepat, engkau dicari Yang Mulia Pangeran!"

Wajah Kui Bi berubah agak pucat karena kalau sampai ketahuan thaikam muda itu tewas di dekatnya dengan berlumuran darah, tentu dia akan celaka.

"Tenang, kusembunyikan dia," terdengar Sia Su Beng berkata lirih. Panglima itu menyeret mayat thaikam itu ke balik semak-semak. Sesudah panglima dan mayat itu tidak kelihatan lagi, barulah Kui Bi menjawab dengan teriakan.

"Aku berada di sini...!” Dan da pun menghampiri ke arah pintu taman.

Gui-thaikam nampak berlari-lari menghampiri.

"Aihh, apa saja yang kau lakukan malam hari di taman? Cepat, Yang Mulia Pangeran An Kong mencarimu, beliau akan marah kalau engkau tidak cepat menghadap."

Mendengar ini, Kui Bi mengerling sekali lagi ke arah semak-semak.Tentu Sia Su Beng juga mendengar ucapan itu, pikirnya.

Hatinya merasa agak lega karena dia tahu bahwa panglima itu tentu akan melindungi dan membantunya kalau ada bahaya mengancam. Dan entah bagaimana, dia merasa bahwa bahaya itu akan datang dari sang pangeran yang secara terus terang menyatakan terpikat olehnya dan menghendaki dirinya.

"Aku hanya mencari hawa segar di taman," katanya dan dia pun mengikuti thaikam yang menjadi kepala dayang itu keluar taman menuju ke gerbang taman.

Di sana telah menanti Pangeran An Kong bersama dua orang pengawal pribadinya. Kui Bi cepat melangkah maju lalu meniru Gui-thaikam memberi hormat kepada sang pangeran yang tersenyum melihatnya.

"Kui Bi, engkau memang cantik jelita," kata pangeran itu dengan rasa kagum ketika dia memandang wajah manis itu di bawah sinar lampu gantung kemerahan.

"Terima kasih, Pangeran. Hamba hanya seorang gadis dusun yang bodoh," kata Kui Bi merendah.

"Aku mendengar bahwa engkau disia-siakan ayahanda kaisar, tidak pernah diperhatikan dan hanya mendapat tugas di luar kamar yang tidak penting. Hemm, untuk apa ayahanda mempertahankan engkau dariku? Aku suka kepadamu, Kui Bi. Lebih baik engkau menjadi dayangku dan kalau engkau menyenangkan hatiku, engkau akan menjadi selirku."

Berdebar rasa jantung Kui Bi, berdebar karena marah, juga karena khawatir. Tentu saja dia tidak ingin menjadi selir pangeran itu atau selir kaisar sekali pun. Memang dia bersedia mengorbankan nyawa dalam perjuangan, tapi mengorbankan kehormatannya? Tidak! Dia akan mempertahankan kehormatannya, dengan nyawanya!

"Ampun, paduka Pangeran. Hamba tidak berani. Tanpa ijin Yang Mulia Sribaginda Kaisar, bagaimana hamba berani? Hamba akan menerima hukuman berat..." dia berkata dengan nada ketakutan.

Pangeran An Kong memberi tanda pada dua orang pengawalnya untuk meninggalkannya, demikian pula Gui thaikam karena ia ingin bicara berdua dengan Kui Bi dan tidak didengar orang lain.

Dua orang pegawal itu meninggalkan mereka akan tetapi tetap mengamati dari jauh untuk menjaga keselamatan sang pangeran, biar pun mereka maklum pula bahwa pangeran itu bukan orang yang lemah, bahkan ilmu silatnya lebih lihai dari pada mereka. Gui-thaikam juga meninggalkan tempat itu dengan taat, bahkan kembali memasuki bangunan belakang istana.

"Nah, sekarang kita hanya berdua saja, Kui Bi. Katakanlah, bukankah engkau lebih suka menjadi dayangku dari pada menjadi dayang Sribaginda? Aku sempat melihat kerling dan senyummu ketika itu "

Kui Bi berlagak tersipu malu. ”Ahh, Pangeran. Tentu saja hamba akan lebih senang kalau bisa menjadi dayang paduka..., akan tetapi Sribaginda memutuskan lain dan hamba tidak berani menentangnya."

"Tidak ada yang menentang. Akan tetapi katakan dulu, apakah engkau akan senang bila menjadi selirku, bahkan mungkin kelak menjadi isteriku berarti engkau menjadi permaisuri kalau aku menjadi kaisar?"

"Ahh... tentu... tentu saja Pangeran. Hamba akan... senang sekali...," kata Kui Bi biar pun di dalam hatinya dia memaki pangeran mata keranjang yang merayunya itu.

"Dan engkau akan suka membantu melakukan apa saja untukku agar kelak engkau dapat menjadi permaisuriku?"

Kui Bi memutar otaknya. Kalau pangeran ini menghendaki tubuhnya, tentu tidak demikian pertanyaannya. Pangeran ini tentu sedang merencanakan sesuatu dan kini membutuhkan bantuannya!

"Hamba akan berbahagia sekali, akan tetapi bagaimana mungkin hamba melayani paduka sebelum mendapatkan ijin Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri? Kecuali..."

"Ya? Lanjutkan, jangan takut-takut."

"Kecuali paduka sudah menjadi kaisar, tentu tidak ada yang akan membantah kehendak paduka."

"Bagus, agaknya engkau cerdik seperti yang sudah kuduga. Kami membutuh bantuanmu, Kui Bi. Nanti pada saatnya akan kami beri tahu bantuan apa yang kami harapkan darimu. Tugas yang hendak kami berikan itu teramat penting. Kalau berhasil, sebagai imbalannya aku berjanji engkau akan kami angkat jadi permaisuri kami."

"Hamba siap membantu paduka, Pangeran," kata Kui Bi, hatinya lega karena jelas bahwa setidaknya pada saat itu pangeran itu tidak menginginkan tubuhnya melainkan tenaganya untuk membantunya melakukan sesuatu yang masih dirahasiakan. "Tugas apakah yang dapat hamba lakukan? Apa yang harus hamba kerjakan? Mohon paduka memerintahkan sekarang juga."

Pangeran itu tersenyum. "Tidak sekarang, Kui Bi. Sekarang aku hanya ingin mendengar kesanggupanmu dulu. Besok atau lusa baru aku akan menjelaskan apa yang harus kau kerjakan." Setelah berkata demikian, sang pangeran meninggalkannya.

Kembali Kui Bi menoleh ke arah semak di tengah taman yang berada agak jauh dari situ. Dia mengharapkan Sia Sun Beng sudah menyingkirkan mayat thaikam tadi.

Ketika Gui-tahikam bertanya kepadanya apa saja yang dikehendaki Pangeran An Kong, Kui Bi tak berani berterus terang. Ia maklum bahwa thaikam yang menjadi kepala dayang ini mempunyai hubungan dengan Ji-wangwe, dan mungkin juga pendukung gerakan para pejuang pembela Kerajaan Tang, namun dia tidak merasa yakin. Dia harus menimbulkan kesan baik kepada pangeran yang sudah menaruh kepercayaan kepadanya.

"Ahh, beliau tidak bermaksud apa apa. Hanya karena sejak aku datang ke istana, beliau memang menaruh perhatian kepadaku, maka beliau bertanya apakah aku sudah senang tinggal di sini dan hanya itulah yang kami bicarakan. Pangeran An Kong itu baik sekali, beliau ramah dan sopan, sungguh aku amat terkesan dengan sikapnya."

"Sstttt, berhati-hatilah dengan beliau," kata Gui-thaikam.

Kui Bi senang karena kepala dayang itu tidak mencurigainya. Sejak malam itu dia sering membicarakan sang pangeran dengan para dayang lain, juga dengan para thaikam. Dia memuji-muji keramahan sang pangeran.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar